unud-271-730660155-tesis 2011
TRANSCRIPT
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebuah bangsa dapat berdiri tegak di antara bangsa-bangsa lain di dunia,
salah satunya dengan pencapaian prestasi yang tinggi di bidang olahraga. Prestasi
olahraga memiliki nilai yang sangat tinggi bagi suatu bangsa. Prestasi olahraga di
Indonesia secara makro sekarang ini belum menunjukkan perkembangan yang
menggembirakan apabila dilihat dari segi peringkat, perolehan medali pada
kegiatan-kegiatan seperti: Sea Games, Asean Games, dan Olimpiade serta pada
kejuaraan-kejuaraan dunia untuk masing-masing cabang olahraga prestasinya perlu
ditingkatkan. Prestasi olahraga Indonesia dapat berjaya kembali di Asean dan mulai
bicara di Asia melalui kerja keras selama 8 hingga 12 tahun lagi (Paulus, 2000).
Pemerintah Indonesia selalu menggaungkan semboyan memasyarakatkan olahraga
atau mengolahragakan masyarakat dengan tujuan untuk melakukan aktivitas
bergerak badan (Nala, 1992).
Olahraga merupakan suatu aktivitas yang banyak dilakukan oleh
masyarakat, keberadaannya sekarang ini tidak lagi dipandang sebelah mata tetapi
sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, sebab olahraga dewasa ini sudah
dikenal oleh masyarakat baik orang tua, remaja, maupun anak-anak. Hal ini terbukti
pada hari-hari libur di lapangan-lapangan serta tempattempat lainnya yang
memungkinkan untuk melakukan kegiatan olahraga.
-
2
Olahraga berdasarkan sifat dan tujuannya dapat dibagi menjadi olahraga
prestasi, olahraga pendidikan, serta olahraga kesehatan (Kanca, 2006). Bentuk
pelaksanaan latihan olahraga yang dilakukan berbeda-beda disesuaikan dengan
tujuan yang ingin dicapai.
Olahraga prestasi merupakan olahraga yang lebih menekankan pada
peningkatan prestasi seorang atlet pada cabang olahraga tertentu. Sejak delapan
tahun yang lalu, pada tahun 2002, Piala Thomas dan Piala Uber tak pernah lagi
digenggam Indonesia. Kemampuan atlet Indonesia pun tampak jauh ketinggalan
dibanding pemain negara lain. Padahal dulu jawara di bidang olahraga ini,
mengalahkan raksasa bulu tangkis seperti Cina atau Malaysia. Indonesia pernah
juara Thomas 13 kali. Kejayaan ini seolah tanpa bekas. Keterpurukan ini dibuktikan
dengan perolehan peringkat Taufik Hidayat dan ganda Markis kido/Hendra
peringkat 10 besar (BWF, 2011). Dengan terjadinya kemerosotan ini pembenahan
yang paling krusial dirombak adalah sistem pembinaan atlet (Tangkudung, 2006).
Prestasi olahraga dihasilkan melalui program pembinaan dan
pengembangan secara bertahap dan berkesinambungan, peranan ilmu pengetahuan
dan teknologi, sumber daya manusia dan sumber daya alam mempengaruhi
pencapaian prestasi. Dalam suatu pelatihan pencapaian prestasi secara maksimal
tidak lepas dari aspek fisik, tehnik, taktik dan mental. Menurut Bompa (2000),
faktor-faktor dasar latihan yaitu meliputi persiapan fisik, tehnik, taktik dan
kejiwaan (psikologi). Disamping itu juga komponen penting yang menentukan
keberhasilan seorang atlet untuk berprestasi adalah kesegaran jasmani. Tanpa
kesegaran jasmani yang prima atlet tidak akan berhasil memperoleh prestasi
-
3
walaupun memiliki keterampilan tehnik dan taktik yang baik. Kenyataan
menunjukkan bahwa kesegaran jasmani yang baik berhubungan dengan prestasi
olahraga. Latihan fisik dalam rangka memperbaiki dan mengembangkan kesegaran
jasmani merupakan jawaban yang tepat untuk menghadapi keadaan darurat dan
tekanan-tekanan yang datang mendadak dalam kehidupan (Setijono, 2001). Proses
pelatihan fisik yang terprogram dengan baik sehingga faktor-faktor tersebut dapat
dikuasai. Bompa (1999) menyatakan bahwa pelatihan merupakan sebuah aktivitas
olahraga yang sistematik dalam waktu lama yang ditingkatkan secara progresif dan
individual, yang mana mengarah kepada ciri-ciri fisiologis dan psikologis manusia
untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Program pelatihan sebaiknya
direncanakan dengan baik dan sempurna. Menurut Harsono (1988), program latihan
kondisi fisik haruslah direncanakan secara baik dan sistematis yang bertujuan
untuk meningkatkan kebugaran fisik dan kemampuan fungsional dari sistem tubuh
sehingga memungkinkan atlet mencapai prestasi yang lebih baik. Aktivitas yang
teratur memantapkan fungsi sistem kekebalan, sedangkan aktivitas marathon yang
melelahkan bersifat menekan kekebalan sehingga aktivitas yang teratur memiliki
kontribusi terhadap kesehatan (Sharkey, 2003).
Permainan bulutangkis sarat dengan berbagai kemampuan dan keterampilan
gerak yang kompleks. Sepintas lalu dapat diamati bahwa pemain harus melakukan
gerakan-gerakan seperti lari cepat, berhenti dengan tiba-tiba dan segera bergerak
lagi, gerak meloncat, menjangkau, memutar badan dengan cepat, melakukan
langkah lebar tanpa pernah kehilangan keseimbangan tubuh sehingga aspek kondisi
fisik dapat memegang peranan penting untuk permainan bulutangkis yang
-
4
membutuhkan kualitas kekuatan, daya tahan, kelentukan, kecepatan, kelincahan,
dan koordinasi gerak yang baik. Aspek-aspek tersebut sangat dibutuhkan agar
individu mampu bergerak dan bereaksi untuk menjelajahi setiap sudut lapangan
selama permainan. Karena itu, pebulutangkis sangat penting memiliki derajat
kondisi fisik prima. Berdasarkan hal tersebut salah satu komponen biomotorik
dalam permainan bulutangkis tidak lepas dari daya ledak otot lengan karena
melibatkan pukulan-pukulan di atas untuk menghasilkan pukulan yang keras,
dibutuhkan tenaga yang maksimal, yang bersumber dari kekuatan otot-otot bagian
tubuh, yang melibatkan segmen-segmen otot lengan dalam suatu rangkain gerakan
memukul yang utuh.
Daya ledak merupakan kemampuan otot untuk mengerahkan kekuatan
maksimal dalam waktu yang sangat cepat. Menurut Harsono (1988), cabang-cabang
olahraga yang gerakannya didominasi gerakan meloncat seperti dalam bola voli,
bulutangkis serta olahraga sejenisnya. Setiap individu yang memiliki daya ledak
seyogyanya memiliki derajat kekuatan otot, derajat kecepatan, dan derajat
keterampilan yang tinggi dalam keterampilan. Bentuk pelatihan daya ledak ditandai
adanya gerakan atau perubahan tiba-tiba yang cepat, seperti tubuh terdorong ke
atas, terdorong ke depan, atau melempar, memukul atau menyemes bola serta
menendang (Nala, 2002). Dalam kenyataan di lapangan atau sering ditemukan di
tempat pelatihan yang sering dilakukan seperti push up, angkat barbell dengan
gerakan naik turun dengan arah vertikal serta pelatihan weight trainning seperti
incline press, standing press up righ row, triceps extension, revers curl,bench press
kebanyakan pelaksanaan dilakukan dalam posisi duduk, berbaring, padahal dalam
-
5
permainan bulutangkis dilakukan posisi berdiri. Tipe pelatihan hendaknya
menyerupai gerakan memukul atas (overhead) pada olahraga bulutangkis sehingga
komponen biomotorik yang dilatih (spesifikasinya) tepat sasaran yaitu
meningkatkan daya ledak otot lengan. Tetapi akibat yang ditimbulkan otot lengan
semakin besar dan kuat sehingga hasilnya otot lengan yg besar bukan untuk
melakukan pukulan yg cepat dan tepat tetapi untuk mengangkat barang atau hanya
untuk sekedar keindahan. Sinkronisasi unit motorik, kelompok otot antagonis dan
sinergis pada lengan bahu dan dada serta kelompok tubuh lainnya belum terbina
(Nala, 2002), sehingga perlu dikembangkan tipe pelatihan yang posisinya
disesuaikan dengan karakteristik permainan bulutangkis pada saat melakukan
pukulan atas (overhead).
Berdasarkan dari kenyataan di atas timbul keinginan untuk mengadakan
penelitian yang berkaitan dengan meningkatkan daya ledak otot lengan khusus bagi
pemain bulutangkis melalui pelatihan menarik katrol beban yang posisi gerakannya
mirip dalam keadaan memukul overhead pada pukulan bulutangkis. Pelatihan
menarik beban berulang-ulang dengan sikap dan arah gerakan lengan seperti sikap
menyemes bola sesungguhnya merupakan cara yang tepat untuk melatih kekuatan
otot lengan (Nala, 2002). Pukulan smash dalam bulutangkis merupakan bagian dari
pukulan atas (overhead). Bentuk pelatihan menarik katrol merupakan salah satu
bentuk pelatihan beban dengan memberikan tahanan eksternal, berupa karung pasir
berbeban yang ditarik dengan menggunakan katrol. Cara pelatihan dengan menarik
lengan dari belakang, atas kepala setinggi jangkauan tangan dengan arah gerakan
dari atas ke bawah, posisi tubuh berdiri.
-
6
Untuk pelatihan menarik katrol melibatkan beberapa jenis otot. biseps braki,
otot brakialis, otot karoko brakiali, otot pectoralis major, otot deltoid, otot supra
spinatus, otot infra spinatus, otot teres major, otot muskulas triceps braki, muskulas
ekstensor karpi radialis longus, muskulas ekstensor karpi radialis brevis, muskulas
ekstensor karpi ulnaris, digitonum karpi radialis, muskulas ekstensor policis longus
yang sesuai dengan pukulan overhead pada permainan bulutangkis (Syaifuddin,
1996).
Alat yang digunakan dirancang sesuai dengan posisi dan arah gerakan.
Bentuk alat sederhana dapat dibuat sendiri, diharapkan dapat menghemat waktu dan
biaya karena bisa dilakukan di rumah. Takaran pelatihan untuk meningkatkan daya
ledak otot lengan dengan beban bervariasi, kontraksi cepat, dalam repetisi kalau
kecepatan berkurang pengulangan dihentikan (Satriya, dkk., 2007). Repetisi
merupakan bentuk pengulangan. Dalam teori takaran beban dalam pelatihan daya
ledak 40%-80% dari kemampuan maksimal (Satriya, dkk., 2007), sedangkan
repetisi 12-15 dan set 3-5 (Harsono, 1988). Pelatihan dengan frekuensi tiga kali
seminggu sesuai untuk pemula yang akan menghasilkan peningkatan yang berarti
(Fox, 1983). Pelatihan yang diterapkan pada penelitian ini menggunakan menarik
katrol beban yang menekankan pada perbedaan jumlah repetisi dan set dengan
beban yang sama. Pengulangan yang tinggi (Nala, 2002), akan menjadikan suatu
pelatihan sangat efektif dan hal ini sangat baik dalam mengembangkan tipe serabut
otot, terutama tipe otot putih yang sangat dibutuhkan dalam anggota gerak atas.
Dari penelitian pendahuluan dilakukan pengukuran dan hasil yang diperoleh
mampu melakukan menarik beban dari belakang, atas kepala samping ke bawah
-
7
sebanyak 12 repetisi dengan beban maksimal yang mampu ditarik duabelas kg.
Hasil maksimal beban duabelas kg dari beban ini diambil 40 % dari kemampuan
maksimal yaitu lima kg. Sedangkan repetisi dan set diperoleh antara 12-15 kali
dengan tiga set, karena pelatihan ini diberikan kepada pemula sehingga takaran
diambil dari yang terendah supaya semua sampel yang terpilih dapat melakukan
pelatihan. Berdasarkan hasil ini diperoleh repetisi, set, dan beban dalam pelatihan
menarik katrol dengan beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set, dan sembilan
repetisi, empat set dalam meningkatkan daya ledak otot lengan yang jumlah
totalnya tigapuluhenam kali.
Penelitian dilakukan terhadap siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK
dengan beberapa pertimbangan seperti siswa menguasai tehnik dasar bermain
bulutangkis, ditinjau dari umurnya berada pada masa remaja (adolescence), dimana
pada masa tersebut keterampilan secara maksimal dapat tercapai. Pertimbangan
lainnya siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK kurang bermunculan dilihat dari
prestasi tingkat PORJAR Denpasar sehingga perlu diberikan pelatihan menarik
katrol beban yang digunakan untuk meningkatkan daya ledak otot lengan dengan
beban yang sama tetapi set dan repetisi yang berbeda.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah yang
disampaikan sebagai berikut:
1. Apakah pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, dan
tiga set dengan frekuensi tiga kali seminggu selama enam minggu dapat
-
8
meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler
bulutangkis SMK-1?
2. Apakah pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, dan
empat set dengan frekuensi tiga kali seminggu selama enam minggu
dapat meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler
bulutangkis SMK-1?
3. Apakah pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, dan
tiga set dengan frekuensi tiga kali seminggu selama enam minggu lebih
baik dari pada pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan
repetisi, dan empat set dengan frekuensi tiga kali seminggu selama
enam minggu dalam meningkatkan daya ledak otot lengan
ekstrakurikuler bulutangkis siswa SMK-1?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1.3.1 Tujuan Umum
Mendapatkan tipe pelatihan menarik katrol beban serta takaran pelatihan
yang lebih baik dalam meningkatkan daya ledak otot lengan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui peningkatan daya ledak otot lengan pada pelatihan
menarik katrol beban lima kg, dengan duabelas repetisi, tiga set dalam
meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler
bulutangkis SMK-1.
-
9
2. Untuk mengetahui peningkatan daya ledak otot lengan menarik katrol beban
lima kg, dengan sembilan repetisi, empat set dalam meningkatkan daya
ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK-1.
3. Untuk mengetahui bahwa pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan
duabelas repetisi, tiga set lebih baik dibandingkan dengan pelatihan menarik
katrol beban lima kg, dengan sembilan repetisi, empat set dalam
meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler
bulutangkis SMK-1.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1. Memperoleh data empirik tentang tipe dan takaran pelatihan untuk
meningkatkan daya ledak otot lengan demi perkembangan kasana ilmu
pengetahuan di bidang olahraga.
2. Sebagai pedoman bagi pelatih, guru dan pembina olahraga dalam upaya
meningkatkan prestasi cabang olahraga khususnya yang memerlukan daya
ledak otot lengan.
-
10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pelatihan Olahraga
Pelatihan adalah suatu proses yang sistematis dari berlatih atau bekerja yang
dilakukan secara berulang-ulang dengan kian hari meningkatkan jumlah beban
latihan atau pekerjaan, dan salah satu yang paling penting dari latihan harus
dilakukan secara berulang-ulang dan meningkatkan beban atau tahanan untuk
meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot yang diperlukan untuk pekerjaannya
(Hairy, Junusul, 1989). Pelatihan dilakukan secara sistematis dan berulang-ulang
(repetitive) dalam jangka waktu lama, dengan pembebanan yang meningkat secara
progressive, memiliki tujuan untuk memperbaiki sistema serta fungsi fisiologi dan
psikologi tubuh agar pada waktu melakukan aktivitas olahraga dapat mencapai
penampilan yang optimal (Nala, 1998).
Menurut Nossek (1982) pelatihan adalah suatu proses atau dinyatakan
dengan kata lain periode waktu yang berlangsung selama beberapa tahun sampai
atlet tersebut mencapai standar penampilan yang tertinggi. Nossek (1982)
menyatakan pelatihan adalah suatu proses penyempurnaan olahraga yang diatur
dengan prinsip-prinsip yang bersifat ilmiah, khususnya prinsip-prinsip paedagogis.
Proses ini direncanakan dan sistematis, yang meningkatkan kesiapan untuk
melakukan dan kepastian penampilan atlet.
-
11
Pelatihan adalah sebuah aktivitas olahraga yang sistematik dalam waktu
yang lama ditingkatkan secara progresif dan individual, yang mana mengarah
kepada ciri-ciri fungsi fisiologis dan psikologis manusia untuk mencapai sasaran
yang telah ditentukan (Bompa, 1999). Pelatihan juga merupakan aktivitas fisik
yang dilakukan secara berkesinambungan, dengan memperhatikan prinsip-prinsip
pelatihan yang benar.
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat beberapa kesamaan dalam
mendefinisikan pelatihan antara lain:
1. Aktivitas yang dilakukan secara sistematis.
2. Bentuk suatu proses
3. Dilaksanakan dengan waktu yang relatif lama.
4. Berkesinambungan.
5. Adanya pembebanan secara bertahap
6. Untuk mencapai tujuan peningkatan kemampuan atau prestasi olahraga.
Dengan demikian pengertian pelatihan dapat disimpulkan sebagai suatu proses
penyempurnaan kemampuan olahraga, yang dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan, dengan memperhatikan prinsip-prinsip pelatihan yang benar,
untuk mencapai tujuan peningkatan kemampuan atau prestasi olahraga.
2.1.1 Tujuan Pelatihan
Tujuan pelatihan dalam bidang olahraga adalah untuk memperbaiki
kemampuan teknik (keterampilan) atau penampilan atlet sesuai dengan kebutuhan
dalam bidang olahraga spesialisasi atau yang digeluti, dan bertujuan untuk
meningkatkan kebugaran, jasmani dan menjaga kesehatan (Nala, 1998).
-
12
Berdasarkan atas hal ini maka pelatihan ditujukan untuk meningkatkan
pengembangan fisik baik menyeluruh maupun khusus perbaikan terhadap teknik,
pematangan strategi, dan teknik permainan sesuai dengan kebutuhan cabang
olahraga, menanamkan kemauan dan disiplin yang tinggi, pengoptimalan persiapan
tim dan olahraga beregu, meningkatkan serta memelihara kebugaran jasmani dan
kesehatan serta mencegah kemungkinan cedera.
Menurut Bompa (1999), untuk mencapai tujuan dalam latihan, yaitu
memperbaiki prestasi tingkat terampil maupun unjuk kerja dari atlet, diarahkan oleh
pelatihnya untuk mencapai tujuan umum latihan. Adapun tujuan-tujuan latihan
sebagai berikut:
1. Untuk mencapai dan memperluas perkembangan fisik secara menyeluruh.
2. Untuk menjamin dan memperbaiki perkembangan fisik khusus sebagai
suatu kebutuhan yang telah ditentukan di dalam praktik olahraga.
3. Untuk memoles atau menyempurnakan teknik olahraga yang dipilih.
4. Memperbaiki dan menyempurnakan strategi yang penting yang dapat
diperoleh dari belajar teknik lawan berikutnya.
5. Menanamkan kualitas kemauan melalui latihan yang mencukupi serta
disiplin untuk tingkah laku, ketekunan, dan keingginan untuk
menanggulangi kerasnya latihan dan menjamin persiapan psikologis.
6. Menjamin dan mengamankan persiapan tim secara optimal.
7. Untuk mempertahankan keadaan sehat setiap atlet.
-
13
8. Untuk mencegah cedera melalui pengamanan terhadap penyebabnya dan
juga meningkatkan fleksibelitas di atas tingkat ketentuan untuk melakukan
gerakan yang penting.
9. Untuk menambah pengetahuan seorang atlet dengan sejumlah pengetahuan
teoritis yang berkaitan dengan dasar-dasar fisiologis dan psikologis latihan,
pencernaan gizi, dan regenerasi.
Beberapa kesimpulan tersebut tidak menyarankan untuk dipakai secara kaku
dalam upaya latihan yang dilakukan, hal tersebut harus disesuaikan dengan ciri-ciri
khusus pada kecabangan olahraga yang dilakukan dan juga memperhatikan kondisi
atlet itu sendiri. Pendekatan yang perlu mendapat perhatian untuk mencapai tujuan
pelatihan utama adalah mengembangkan dasar-dasar latihan secara fungsional
yang diarahkan untuk mencapai tujuan khusus sesuai dengan kebutuhan cabang
olahraga itu sendiri. Pada cabang olahraga bulutangkis kebutuhan yang digunakan
kekuatan, kecepatan, dayatahan disesuaikan dengan kebutuhan cabang olahraganya.
Jenis Pelatihan menarik katrol berbeban merupakan salah satu tipe pelatihan yang
digunakan dalam penelitian ini. Menurut Nala (2002) cara pelatihan yang paling
tepat untuk melatih kekuatan otot agar smesannya kuat atau pukulannya keras yang
dilakukan dengan pelatihan menarik beban berulang-ulang dengan sikap dan arah
gerakan lengan seperti melakukan smash atau melakukan pukulan overhead.
Apabila diberi pelatihan, efek pada otot terjadi pada unit motorik (saraf dan otot),
ko-kontraksi otot antagonis, sinkronisasi. Adaptasi neural akan meningkatkan
kekuatan dan meningkatkan koordinasi.
2.1.2 Prinsip-Prinsip Pelatihan
-
14
Pelatihan yang modern harus direncanakan secara berhati-hati. Sebuah
rancangan pelatihan mencakup semua tindakan yang diperlukan untuk mencapai
sasaran-sasaran latihan (Nossek, 1982). Tujuan pelatihan yang telah dijelaskan akan
memberikan arah dari suatu pelatihan olahraga, dan untuk mencapai tujuan tersebut
secara maksimal, suatu pelatihan harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar pelatihan. Adapun prinsip-prinsip pelatihan adalah:
a. Prinsip Pelatihan beraturan (the principle of arrange ment of exercise).
Dalam setiap melaksanakan latihan, ada tiga tahap yang harus
dilakukan yaitu; pemanasan, latihan inti serta pendinginan. Latihan
hendaknya dimulai dari kelompok otot besar, kemudian dilanjutkan pada
kelompok otot kecil (Fox, dkk., 1993). Pemanasan bertujuan menyiapkan
kondisi fisik dan psikis sebelum latihan atau pertandingan/ perlombaan.
Pemanasan juga bertujuan meningkatkan suhu tubuh dan aliran darah pada
otot sekelet yang aktif (Nala, 1998). Dalam pelaksanaannya pemanasan
tidak harus selalu lama dilakukan, pemanasan yang berkisar lima sampai
limabelas menit sudah cukup untuk membuat tubuh berkeringat dan
bernafas dalam, sebagai tanda metabolisme meningkat dan tubuh siap untuk
mengikuti latihan berikutrnya. Selanjutnya latihan inti, gerakan inti olahraga
merupakan gerakan atau aktivitas yang pokok dalam suatu pelatihan atau
kecabangan olahraga. Kegiatan ini merupakan utama untuk mencapai tujuan
dari pelatihan. Pendinginan bertujuan untuk mengembalikan kondisi fisik
dan psikis pada keadaan semula. Pendinginan dilakukan setelah aktivitas
fisik atau pelatihan selesai dilaksanakan. Pendinginan akan bermanfaat
-
15
untuk pulih asal (recovery) setelah aktivitas fisik yang berat. Latihan-latihan
pendinginan mengikuti urutan yang sebaliknya dari urutan latihan
pemanasan (yaitu latihan aerobik ringan, kalistenik dinamis, dan peregangan
statis) (Giam dan Teh, 1993). Lamanya pendinginan tergantung pada tingkat
kelelahan yang diperoleh dari latihan inti atau tergantung pada cepatnya
asam laktat dirubah, lama pendinginan bisa dari 10 sampai 30 menit.
b. Prinsip Kekhususan (the principle of speciafity).
Adalah latihan untuk cabang olahraga mengarah pada perubahan
morphologis dan fungsional yang berkaitan dengan kekhususan cabang
olahraga tersebut (Bompa, 1999). Untuk itu, sebagai bahan pertimbangan
dalam menerapkan prinsip kekhususan, antara lain ditentukan oleh:(a)
spesifikasi kebutuhan energi, (b) spesifikasi bentuk dan model latihan, (c)
spesifikasi ciri gerak dan kelompok otot yang digunakan, dan (d) waktu
periodisasinya.
c. Prinsip Individualisasi (the principle of individuality).
Pelatihan yang diberikan harus disesuaikan dengan kemampuan atlet
untuk mencapai hasil yang baik. Menurut Bompa (1999) faktor individu
harus diperhatikan, karena pada dasarnya setiap individu mempunyai
karakteristik yang berbeda, baik secara fisik maupun secara psikologis.
Sukadiyanto (2005) menjelaskan, hal yang harus diperhatikan dalam prinsip
individualisasi adalah faktor keturunan, kematangan, status gizi, waktu
istirahat dan tidur, tingkat kebugaran, pengaruh lingkungan, cidera, dan
motivasi.
-
16
d. Prinsip Beban Bertambah (the principle of progressive resistance).
Adalah beban kerja dalam latihan ditingkatkan secara bertahap dan
disesuaikan dengan kemampuan fisiologis dan psikologis setiap individu
olahragawan. Pelatihan dengan penambahaan beban secara bertahap
merupakan suatu keharusan, untuk mencapai hasil dari pelatihan tersebut.
Menurut Bompa (1999) untuk menyiapkan fungsi dan reaksi sistem-sistem
syaraf, koordinasi neuromuskular, dan kapasitas psikologi untuk
menanggulangi stres peningkatan beban latihan, atlet membutuhkan waktu,
dan pendapat Astrand (1986) bahwa; Peningkatan kinerja olahragawan
memerlukan latihan dan penyesuaian dalam waktu yang panjang, disamping
itu peningkatan kemampuan organisme secara morphologis, fisiologis dan
psikologis bergantung pada peningkatan beban latihan. Dalam pembebanan
latihan, tuntutan ini adalah bahwa beban latihan harus berkelanjutan jika
harus ditingkatkan secara regular (progressive overload). Dalam mendisain
pelatihan overload, Bompa (1999) menyarankan untuk memakai the step
type approach system atau sistem tangga yang tampak pada gambar 1.
Gambar 2.1 The Step Type Approach System ( Bompa, 1999). Setiap garis vertikal menunjukan perubahan (penambahan) beban,
sedangkan garis horisontal adalah fase adaptasi terhadap beban yang baru.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
PRESTASI
-
17
Beban latihan tiga tangga (cycle) pertama ditingkatkan secara bertahap.
Pada cycle ke empat beban diturunkan (ini adalah yang dimaksud unloading
fase) yang maksudnya adalah untuk memberi kesempatan kepada organ-
organ tubuh untuk melakukan regenerasi (Harsono, 1988). The step type
approach atau sistem tangga berlaku untuk pelatihan olahraga yang
bertujuan untuk prestasi maupun kesehatan.
e. Prinsip Beban Berlebih (the overload principle).
Pelatihan untuk komponen kebugaran membutuhkan berkali-kali
kondisi-kondisi overload yang diikuti dengan kesempatan untuk istirahat
untuk mendapatkan efek pelatihan (Rushall dan Pyke, 1992). Menurut
Sukadiyanto (2005), beban latihan harus mencapai atau melampaui sedikit
di atas batas ambang rangsang. Sebab beban yang terlalu berat akan
mengakibatkan tidak mampu diadaptasi oleh tubuh, sedangkan bila terlalu
ringan tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas, sehingga
beban latihan harus memenuhi prinsip moderat. Untuk pembebanan
dilakukan secara progresif dan diubah sesuai dengan tingkat perubahan
yang terjadi pada olahragawan. Apabila tubuh sudah mampu mengatasi
beban latihan yang diberikan, maka beban berikutnya harus ditingkatkan
secara bertahap. Irianto (2002) mengatakan apabila tubuh ditantang dengan
beban latihan maka terjadi proses penyesuaian. Penyesuaian tersebut tidak
saja seperti pada kondisi awal namun secara bertahap mengarah pada
tingkat yang lebih tinggi yang disebut overkompensasi. Overkompensasi
(peningkatan prestasi) akan terjadi bila pembebanan yang diberikan pada
-
18
latihan tepat di atas ambang rangsang (threshold), disertai dengan
pemulihan (recovery).
Menurut Martens dalam Sukadiyanto (2005) tingkat penambahan
beban latihan berkaitan dengan tiga faktor, yaitu frekuensi, intensitas, dan
durasi. Penambahan frekuensi dapat dilakukan dengan cara menambah sesi
latihan. Untuk intensitas latihan dapat dengan cara meningkatkan kualitas
pembebanan. Sedangkan durasi dapat dilakukan dengan cara menambah
jam latihan atau bila jam latihan tetap dapat dengan cara memperpendek
waktu recovery dan interval, sehingga kualitas latihan menjadi meningkat.
f. Prinsip Beragam (variety principle).
Latihan memerlukan proses panjang yang dilakukan berulang-ulang,
hal ini sering menimbulkan kebosanan. Untuk mengatasi kebosanan pelatih
menciptakan suasana yang menyenangkan serta membuat aneka macam
bentuk latihan (Bompa, 1999).
g. Prinsip Pulih Asal (revercible principle)
Kualitas yang diperoleh dari latihan dapat menurun kembali apabila
tidak melakukan latihan dalam waktu tertentu. Proses adaptasi yang terjadi
sebagai hasil dari latihan akan menurun bahkan hilang bila tidak
dipraktekkan dan dipelihara melalui latihan yang kontinyu. Dengan
demikian latihan harus berkesinambungan.
2.1.3 Volume Pelatihan
Sebagai komponen utama latihan, volume adalah prasarat yang sangat
penting untuk mendapatkan teknik yang tinggi, taktik dan khususnya pencapaian
-
19
fisik. Volume latihan disebut juga jangka waktu yang dipakai selama sesion latihan,
yang melibatkan beberapa bagian secara integral sebagai berikut: (1) waktu atau
jangka waktu yang dipakai dalam pelatihan, (2) jarak atau jumlah tegangan yang
dapat ditanggulangin atau diangkat per satuan waktu, (3) jumlah pengulangan
bentuk latihan atau elemen teknik yang dilakukan dalam waktu tertentu. Jadi
diperkirakan bahwa volume terdiri jumlah keseluruhan dari kegiatan yang
dilakukan dalam latihan. Volume diartikan sebagai jumlah kerja yang dilakukan
selama satu kali latihan atau selama fase latihan (Bompa, 1999).
Menurut Nala (1998), bahwa volume latihan merupakan jumlah
seluruh aktivitas yang dilakukan selama latihan. Sering secara tidak
tepat, volume latihan ini disamakan dengan durasi atau lama latihan.
Padahal durasi ini merupakan bagian dari volume latihan. Pada umumnya
volume latihan ini terdiri atas:
a. Durasi atau lama waktu pelatihan (dalam detik, menit, jam, hari, minggu
atau bulan).
b. Jarak tempuh (meter), berat beban (kilogram) atau jumlah angkatan
dalam satuan waktu (berapa kilo-gram dapat diangkat dalam waktu satu
menit).
c. Jumlah repetisi, set atau penampilan unsur teknik dalam satu kesatuan waktu
(berapa kali ulangan dapat dilakukan dalam waktu semenit). Penggunaan
repetisi dan set ini amat penting dalam meningkatkan kemampuan komponen
biomotorik. Volume ini juga menunjukkan jumlah kerja atau aktivitas yang
dapat dilakukan selama phase latihan (Bompa, 1999).
-
20
Sedangkan menurut Sukadiyanto (2005) adalah ukuran yang menunjukkan
kuantitas (jumlah) suatu rangsangan atau pembebanan. Adapun dalam proses
latihan yang digunakan untuk meningkatkan volume latihan dapat dilakukan
dengan cara latihan itu: (1) diperberat, (2) diperlama, (3) dipercepat, atau (4)
diperbanyak. Untuk itu dalam menentukan besarnya volume dapat dilakukan
dengan cara menghitung: (a) jumlah bobot berat per sesi, (b) jumlah ulangan per
sesi, (c) jumlah set per sesi, (d) jumlah pembebanan per sesi, (e) jumlah seri atau
sirkuit per sesi, dan (f) lama-singkatnya pemberian waktu recovery dan interval.
Dalam penelitian ini volume pelatihan terhadap beban dan repetisi ditentukan
berdasarkan pengukuran sampel yang dilakukan pada penelitian pendahuluan. Hasil
penelitian pendahuluan bahwa kemampuan menarik katrol berbeban dengan beban
duabelas kg. Dari beban duabelas kg diambil 40% dari kemampuan maksimal
(Satriya, dkk., 2007) yaitu lima kg. Beban yang diberikan dari terendah karena
melibatkan anak pemula dalam penggunaan beban untuk daya ledak otot lengan.
Untuk menentukan repetisi dan set dilakukan menarik katrol berbeban lima kg hasil
yang diperoleh berkisar 12-15 kali dengan tiga set. Sehingga dalam penelitian daya
ledak otot lengan dengan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi dan tiga
set dengan istirahat lima menit yang ditentukan dari denyut nadi istirahat.
2.1.4 Intensitas Pelatihan
Intensitas pelatihan adalah dosis pelatihan yang harus dilakukan seseorang
menurut program yang telah ditentukan (Sajoto, 1995). Intensitas merupakan salah
satu komponen terpenting dari latihan. Intensitas menunjukan komponen kualitatif
pada penampilan kerja dalam suatu periode. Menurut Bompa (1999) bahwa
-
21
intensitas adalah fungsi dari kekuatan rangsangan syaraf yang dilakukan
dalam latihan dan kekuatan rangsangan tergantung dari beban kecepatan
gerakannya, variasi interval atau istirahat diantara tiap ulangannya. Intensitas
adalah faktor terpenting dalam pengembangan maksimal pemasukan oksigen
(VO2max), intensitas merefleksikan kebutuhan energi dan kalor energi yang
dikeluarkan (Sherkey, 2003). Intensitas juga merupakan ukuran yang menunjukan
kualitas suatu rangsangan atau pembebanan.
Menurut Harsono (1988) tingkatan intensitas beban pelatihan yang
dianjurkan untuk pelatihan kondisi fisik: rendah: 30-50%, ringan: 51-60%, sedang:
61-75%, submaksimal: 76-85%, maksimal: 86-100% dan super maksimal: 100%.
Sedangkan kondisi fisik untuk daya ledak (Satriya, dkk., 2007) pelatihan dengan
tahanan beban yang digunakan 40-80% kemampuan maksimal, kontraksi cepat,
repetisinya kalau kecepatan berkurang pengulangan dihentikan karena dalam daya
ledak ada kekuatan terdapat pula kecepatan (Harsono, 1988). Derajat intensitas
dapat diukur berdasarkan kepada bentuk latihan yang dilakukan untuk pelatihan
yang melibatkan kecepatan diukur dalam satuan meter/detik, atau intensitas untuk
kekuatan diukur dengan satuan kg, sedangkan untuk jarak contohnya jauh dan
tinggi diukur dalam satuan meter (Bompa, 1999).
Dalam meningkatkan kekuatan tanpa mengabaikan kecepatan, pembebanannya
submaksimal dengan lama waktu berkontraksi 7-10 detik. Pembebanan berkisar 60-
90% dari kekuatan maksimal berdasarkan Oshea (1976). Sedangkan meningkatkan
kecepatan tanpa mengabaikan kekuatan, intensitas pembebanannya berskala ringan
dan sedang dari kemampuan maksimal, demikian pula waktu rangsangan saraf dan
-
22
kontraksi diperpendek (Jensen dan Fisher, 1983). Manfaat dari pemberian beban
untuk melatih kecepatan atau kemampuan maksimal dapat dipertahankan karena
penyediaan energi dari sistem phospagen berlangsung cepat atau dua kali lipat
kecepatan dalam sistem asam laktat (Guyton dan Hall, 2007).
2.1.5 Repetisi dan Set
Repetisi adalah jumlah ulangan pada waktu pelatihan sedangkan set adalah
suatu rangkaian kegiatan dari suatu repetisi. Menurut Widana (1983) mensitir
pelatihan dari De Lorme dan Watkins, bahwa pelatihan meningkatkan kekuatan
otot dapat terujud melaui program dengan menggunakan 1-3 repetisi untuk 3-4 set
dengan menggunakan beban maksimum. Sedangkan pelatihan yang menggunakan
daya tahan otot hendaknya menggunakan program 10-12 repetisi dan 3-4 set.
Dalam Harsono (1988) untuk meningkatkan daya ledak menggunakan 1215
repetisi, 3-5 set. Menurut Oshea, (1976) dalam meningkatkan daya ledak antara
repetisi 8-10 repetisi dan 3-4 set. Menurut Fox (1984) manfaat pengulangan yang
tinggi untuk mengembangkan serabut otot tipe cepat yang sangat dibutuhkan dalam
kecepatan.
2.1.6 Densitas dan Frekuensi Pelatihan
Suatu frekuensi dimana atlet dihadapkan pada sejumlah rangsangan per
satuan waktu disebut densitas latihan. Jadi densitas latihan berkaitan dengan suatu
hubungan yang dinyatakan dalam waktu kerja dan pemulihan latihan. Suatu
densitas yang seimbang akan mengarah kepada pencapaian rasio optimal antara
rangsangan latihan dan pemulihan (Bompa, 1999). Berdasarkan hal tersebut, padat
atau tidaknya densitas ini sangat tergantung oleh lamanya pemberian waktu
-
23
pemulihan yang diberikan. Semakin pendek waktu pemulihan maka densitas latihan
makin tinggi, sebaliknya semakin lama waktu pemulihan maka densitas pelatihan
semakin rendah (kurang padat). Menurut Harre (Bompa, 1999) untuk membangun
komponen biomotorik dalam daya tahan otot misalnya densitas pelatihan yang
optimal antara waktu kerja dan waktu istirahat perbandingannya berkisar antara
1:, atau 1:1. Sedangkan untuk rangsangan yang itensif, perbandingannya 1:3 atau
1:6. Sehingga dalam melakukan aktivitas menyemes bola atau memukul shuttle
terus menerus untuk meningkatkan daya tahan otot lengan dan otot bahu bagi
pemain bulutangkis diperlukan selama satu menit maka waktu yang digunakan
selama 3-6 menit ( selama 3 x 1 menit =3 menit sampai 6 x 1 menit= 6 menit).
Setelah itu dilanjutkan kembali dengan gerakan menyemes atau memukul selama 1
menit. Untuk komponen kekuatan kekuatan otot waktu istirahat selama 2-5 menit,
bukan -1 menit. Lama istirahat untuk meningkatkan kekuatan tergantung pada
berat ringannya beban, jumlah repetisi, banyak set dan kecepatan irama
angkatannya. Bila beban ringan waktu istirahat cukup 2 menit tapi bila bebannya
berat, waktu istirahat sampai 5 menit.
Densitas latihan menunjukkan kepadatan (densitas) atau kekerapan
(frekuensi) dari suatu seri rangsangan per satuan waktu yang terjadi pada atlet
ketika sedang berlatih sedangkan Frekuensi adalah kekerapan atau kerapnya latihan
per-minggu. Menetapkan frekuensi latihan amat tergantung pada tipe olahraganya
dan jenis komponen biomotorik yang akan dikembangkan. Frekuensi latihan untuk
mengembangkan komponen kekuatan otot, jika dilakukan sebanyak tujuh kali
-
24
dalam seminggu dianggap densitasnya terlalu tinggi. Bila dilakukan sekali
seminggu dianggap densitasnya terlalu rendah.
Frekuensi latihan merupakan jumlah latihan yang dilakukan dalam periode
waktu tertentu. Pada umunya periode waktu yang digunakan untuk menghitung
jumlah frekuensi tersebut adalah dalam satu minggu. Frekuensi latihan bertujuan
untuk menunjukkan jumlah tatap muka latihan pada setiap minggunya. Frekuensi
latihan misalnya:
a. Untuk meningkatkan kekuatan otot dianggap cukup baik bila
dilakukan sebanyak 2-3 kali seminggu.
b. Sebaliknya untuk meningkatkan komponen daya tahan
kardiovaskular atau kesegaran jasmani (physical fitness), maka
frekuensi latihannya sebanyak 4-5 kali seminggu, dengan selingan
istirahat maksimal selama 48 jam atau tidak lebih dari dua hari
berturutan.
c. Sedangkan untuk daya tahan perenang dan pelari jarak jauh
frekuensi lat ihannya lebih kerap, t idak cukup sebanyak 3-4
kal i seminggu, tetap i sebanyak 6-7 kali seminggu.
d. Frekuensi latihan bagi atlet non-daya tahan aerobik (non-
endurance) atau anaerobik, cukup sebanyak 3 kali per minggu,
dengan durasi latihan selama 8-10 minggu (Nala, 1998).
Frekuensi tergantung dari jenis komponen yang akan dikembangkan,
untuk menjalankan program latihan tiga kali setiap minggu, agar tidak terjadi
kelelahan yang kronis dan lama latihan diperlukan selama enam minggu atau
-
25
lebih (Sajoto, 1995). Dalam penelitian ini menggunakan frekuensi pelatihan
tiga kali setiap minggu dan dilaksanakan selama enam minggu. Manfaat
gerakan pelatihan yang dilakukan berulang-ulang selama enam minggu akan
terpola pada sistem saraf sebagai pengalaman sensoris (Guyton dan Hall,
2007).
2.2 Pelatihan Fisik
Kondisi fisik adalah satu kesatuan utuh dari komponen-komponen yang
tidak dapat dipisahkan begitu saja, baik peningkatan maupun pemeliharaannya.
Artinya bahwa didalam usaha peningkatan kondisi fisik maka seluruh komponen
tersebut harus dikembangkan. Walaupun dilakukan dengan sistem prioritas tiap
komponen dan untuk keperluan apa keadaan atau status yang dibutuhkan. (Sajoto,
1988). Kondisi fisik adalah satu prasyarat yang sangat diperlukan dalam usaha
peningkatan prestasi seorang atlet, bahkan dapat dikatakan sebagai keperluan dasar
yang tidak dapat ditunda atau ditawar-tawar lagi. Menurut Harsono (1988), jika
kondisi fisik baik maka: (1) akan ada peningkatan dalam kemampuan sistem
sirkulasi dan kerja jantung. (2) akan ada peningkatan dalam kekuatan, kelentukan,
stamina, kecepatan dan lain-lain komponen kondisi fisik. (3) akan ada ekonomi
gerak yang lebih baik pada waktu latihan. (4) akan ada pemulihan yang lebih cepat
dalam organ-organ tubuh setelah latihan. (5) akan ada respon yang cepat dari
organisme tubuh apabila sewaktu-waktu respon demikian diperlukan. Proses latihan
kondisi fisik dalam olahraga, adalah suatu proses yang harus dilakukan dengan hati-
hati, dengan sabar dan dengan penuh kewaspadaan terhadap atlet. Melalui latihan
yang berulang-ulang dilakukan, yang intensitas dan kompleksitasnya sedikit demi
-
26
sedikit bertambah, lama kelamaan atlet akan berubah menjadi seseorang yang lebih
pegas, lebih lincah, lebih terampil dan lebih berhasil menurut Harsono (1988).
Kondisi fisik memegang peranan yang sangat penting. Program latihan kondisi fisik
haruslah direncanakan secara sistematis yang ditunjukkan untuk meningkatkan
kondisi fisik dan kemampuan fungsional dari sistem tubuh sehingga dengan
demikian dapat mencapai prestasi yang lebih baik haruslah direncanakan secara
sistematis yang ditujukan untuk meningkatkan kondisi fisik dan kemampuan
fungsional dari sistem tubuh sehingga dengan demikian dapat mencapai prestasi
yang lebih baik.
2.3 Komponen Biomotorik
Komponen biomotorik merupakan kemampuan dasar gerak fisik atau
aktivitas fisik dari tubuh manusia (Nala, 2002). Menurut Sajoto (1995) komponen
kondisi fisik adalah satu kesatuan utuh dari komponen-komponen yang tidak dapat
dipisahkan baik peningkatan maupun pemeliharanya. Komponen biomotorik yakni
kekuatan, daya tahan, daya ledak, kecepatan, kelentukan, kelincahan, ketepatan,
waktu reaksi, keseimbangan, dan koordinasi (Nala, 2002). Menurut Jensen dan
Fisher (1983) daya ledak merupakan unsur biomotorik yang sangat penting untuk
melakukan berbagai aktivitas dan menentukan seberapa cepat dapat berlari dan
berenang, seberapa tinggi dapat melompat, seberapa jauh dapat melempar, dan
seberapa keras seseorang dapat memukul. Dari kesepuluh komponen biomotorik
ini salah satu komponen biomotorik yaitu daya ledak yang akan digunakan dalam
pelatihan bulutangkis.
2.4 Daya Ledak
-
27
Daya ledak merupakan komponen biomotorik. Daya ledak adalah
kemampuan otot untuk menggerahkan kekuatan maksimal dalam waktu yang
sangat cepat (Juliantine, dkk., 2007). Daya ledak sering disebut eksplosif
atau daya otot. Menurut Sajoto (1995) daya otot (muscular power) adalah
kemampuan seseorang untuk mempergunakan kekuatan maksimum yang
dikerahkan dalam waktu yang sependek-pendeknya. Daya ledak sangat
penting untuk cabang-cabang olahraga yang memerlukan eksplosif, seperti
lari sprint, nomor-nomor lempar dalam atletik, atau cabang-cabang olahraga
yang gerakannya didominasi oleh meloncat, dalam olahraga voli dan juga
pada bulutangkis serta olahraga sejenisnya. Otot yang kuat otot yang
mempunyai daya ledak yang besar, sebaliknya otot yang mempunyai daya
ledak yang besar hampir dapat dipastikan mempunyai nilai kekuatan yang
besar (Boosey, 1980). Daya ledak ialah kemampuan sebuah otot atau sekelompok
otot untuk mengatasi tahanan beban dengan kekuatan dan kecepatan tinggi dalam
satu gerakan yang utuh (Suharno, 1993).
Daya ledak merupakan hasil dari kekuatan maksimum dan kecepatan
maksimum (Bompa,1999, Bosco, dan Gustafson, 1983). Daya ledak adalah
kemampuan seseorang mengatasi tahanan dengan kecepatan yang tinggi
dalam gerak yang utuh (Harre, 1982). Bosco dan Gustafson (1983)
menyatakan bahwa, daya ledak adalah kemampuan melakukan gerakan
secepat mungkin dengan kekuatan maksimum. Jensen (1983) menyatakan
bahwa daya ledak merupakan komponen yang penting untuk melakukan
aktivitas yang berat seperti meloncat, melempar, memukul dan sebagainya.
-
28
Bompa (1999), daya ledak merupakan hasil dari kekuatan dalam waktu yang
singkat. Menurut Bucher (Harsono, 1988) dikatakan bahwa seorang individu
yang mempunyai power adalah orang yang memiliki (a) derajat kekuatan otot
yang tinggi, (b) derajat kecepatan yang tinggi, dan (c) derajat yang tinggi
dalam keterampilan menggabungkan kecepatan dan kekuatan otot. Menurut
Suharno (1993), beberapa faktor yang menentukan daya ledak otot adalah: 1)
banyak sedikitnya fibril otot putih dalam tubuh atlet, 2) tergantung banyak
sedikitnya zat kimia dalam otot (ATP), 3) kekuatan dan kecepatan, 4) waktu
rangsangan dibatasi secara konkrit lamanya, 5) Koordinasi gerakan yang harmonis.
Menurut Brandon (2004) daya ledak adalah kemampuan untuk menghasilkan
kekuatan dengan cepat, diistilahkan dalam matematis sebagai kekuatan
dikalikan kecepatan. Berdasar pada definisi-definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa dua unsur penting yang menentukan kualitas daya ledak adalah kekuatan
dan kecepatan.
2.4.1 Jenis Daya Ledak
Bompa (1999) membagi daya ledak berdasarkan gerakan olahraga yang
dilakukan yaitu:
a. Daya ledak asiklik, biasanya dilakukan pada olahraga yang gerakannya
tidak sama. Contoh olahraga atletik, lompat, lempar. Pada olahraga
permainan bolavoli, sepakbola, bola basket, bulutangkis dll.
b. Daya ledak siklik, ini biasanya digunakan pada olahraga yang
gerakannya sama dan berulang-ulang. Contoh pada olahraga lari cepat,
berenang, balap sepeda, dan olahraga yang memerlukan kecepatan
-
29
tinggi.
Nossek (1982) membagi daya ledak menjadi dua bagian berdasarkan
aktivitas yang dilakukan yaitu:
a. Kekuatan eksplosif ini diterapkan untuk mengatasi atau menanggulangi
perlawanan yang lebih rendah dari pada perlawanan yang maksimum,
tetapi dengan kekuatan akselarasi maksimum.
b. Kekuatan Kecepatan, ini dilakukan melawan perlawanan dengan
akselarasi di bawah maksimum.
Penggunaan tenaga oleh otot atau sekelompok otot secara eksplosif
berlangsung dalam kondisi dinamis. Ini terjadi pada melemparkan benda,
pemindahan tempat sebagian atau seluruh tubuh, dan sebagainya hal ini untuk
gerakan tunggal atau satu pengulangan. Kekuatan maksimum dan eksplosif
atau perkembangan kekuatan kecepatan hendaknya dilatih sejajar (Nossek,
1982).
Faktor yang mempengaruhi daya ledak otot lengan bila dilihat lebih
mendalam potensi daya ledak seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan
faktor ekternal (Berger, 1982).
a. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh atlet
sendiri diantaranya: jenis kelamin, berat badan, panjang anggota gerak atas,
kebugaran fisik, umur, menunjukkan tingkat kematangan yang dikaitkan
dengan pengalaman. Perbedaan dan penambahan umur sangat menentukan
kekuatan otot, selain itu dimensi anatomis dan diameter otot (Astrand, 1986).
-
30
Tenaga mencapai puncak pada umur 20 tahun (Sharkey, 2003). Adapun
beberapa faktor internal yaitu:
1. Jenis Kelamin.
Secara biologis laki-laki dan wanita akan berbeda kekuatan
dan kecepatan karena adanya hormone testosterone pada laki-laki
dan wanita. Perbedaan terjadi sangat mencolok setelah mengalami
pubertas karena adanya perbedaan proporsi dan besar otot dalam
tubuh. Pada umur 18 tahun ke atas laki-laki mempunyai kekuatan
dua kali lebih besar daripada wanita (Powers dan Howleys 2004).
2. Berat Badan
Berat badan menentukan penampilan. Persen lemak adalah
presentasi keseluruhan berat badan yang berlemak. Berat badan
seseorang menyebabkan pembesaran massa otot dan juga akan
meningkatkan kekuatan. Makin tebal otot makin kuat otot
tersebut. Sehingga tebal otot mempengaruhi berat badan.
Kekuatan otot erat kaitannya dengan berat badan. Semakin berat
badan seseorang karena otot makin tebal maka kekuatan akan
bertambah. Tetapi otot kuat belum menjamin akan mempunyai
daya ledak tinggi tetapi dengan memiliki otot kuat merupakan
modal utama untuk dapat meraih daya ledak yang tinggi.
3. Tinggi badan
Tinggi badan adalah jarak dari alas kaki sampai titik
-
31
tertinggi pada posisi kepala dalam posisi berdiri. Tinggi badan
yang lebih tinggi dapat menpengaruhi pertumbuhan organ tubuh
lainnya yaitu panjang lengan dan panjang tungkai (Hadi, 2005)
4. Kesegaran jasmani
Kesegaran jasmani seseorang, merupakan salah satu
parameter dalam memeberikan pembebanan pelatihan, karena
tingkat kesegaran jasmani yang kurang dapat mengakibatkan
kelelahan sehingga tidak dapat melakukan pelatihan secara
maksimal. Semakin baik kapasitas aerobik sesorang akan makin
baik pula kebugaran fisiknya (Soekarman, 1986). Kebugaran
fisik dapat diukur melalui lari 2,4 km diukur menggunakan
stopwatch, yang dinyatakan dalam waktu tempuh, satuan menit
dengan ketelitian 0,01 menit. Penilaian kebugaran fisik
berdasarkan umur dan jenis kelamin dalam tabel (Sajoto, 2002).
b. Faktor Eskternal
1. Suhu lingkungan
Suhu lingkungan yang panas akan berpengaruh
terhadap aktivitas kerja otot karena akan mempercepat terjadinya
pengeluaran keringat. Sebagaian dari volume darah akan dibawa
kekulit untuk mengkompessasi kelebihan panas. Hal ini berarti
bahwa telah terjadi kekurangan kerja otot didalam melakukan
pelatihan. Begitu juga sebaliknya, pada suhu lingkungan yang
dingin tubuh akan bereaksi untuk mengimbangi kosentrasi panas
-
32
tubuh dengan reaksi menggigil, gerakan mengigil memerlukan
energi tambahan (Manuaba, 1983).
2. Kelembaban relatif
Kelembaban relatif menentukan proses pelatihan karena
perbandingan udara basah dan kering sangat menentukan
kenyamana dalm pelatihan. Apabila kelembaban udara cukup
tinggi atau diatas 90%, maka akan sangat mempengaruhi
kesanggupan pengeluaran panas tubuh akibat aktivitas pelatihan
melalui evaporasi. Apabila kelembaban udara dibawah 80%,
maka akan mempengaruhi keseimbangan panas tubuh,
metabolism meningkat akibat aktivitas tubuh untuk mengimbangi
suhu dingin sehingga tubuh mengeluarkan energi yang lebih besar
untuk menyesuaikan suhu tubuh dan suhu lingkungan.
Kelembaban relatif Indonesia berkisar antara 70-80% (Manuaba,
1983).
2.4.2 Penggunaan Daya ledak dalam olahraga bulutangkis
Bulutangkis merupakan olahraga prestasi yang mampu membawa
bangsa Indonesia ke prestasi tingkat dunia. Untuk mencapai prestasi
seseorang harus menguasai teknik dasar, teknik pukulan dan pola
pukulan dari tingkat kesukaran masing-masing. Teknik dasar merupakan
penguasaan yang pokok yang harus dikuasai oleh setiap pemain.
Adapun teknik pukulan menurut Tohar (1992) terdiri atas (1) pukulan
-
33
service, (2) pukulan lob, (3) pukulan drive, (4) pukulan dropshot, (5)
pukulan pengembalian service, (6) pukulan smash. Dilihat dari teknik
pukulan dalam bulutangkis seperti dropshot, lob dan smash, gerakannya
diawali dari atas kepala (overhead). Pukulan overhead (atas) yang
diarahkan ke bawah. (Tahir, dkk 2004). Dalam Faktor fisik diperlukan
adalah daya ledak. Gerakan pukulan overhead lebih banyak didominasi
oleh gerakan otot lengan. Oleh karena itu, perlu koordinasi gerak yang
baik dari gerakan pukulan lob secara cepat diubah menjadi pukulan
dropshot dan berubah ke pukulan smash. Dengan demikian semakin
cepat perubahan itu dilakukan maka semakin banyak pula komponen
gerakan yang harus dikoordinasikan. Mekanisasi gerakan tubuh yang
sama, terjadi pada tiga jenis pukulan clear (pukulan bersih), drop
(pukulan jatuh), dan smash (pukulan keras) menurut James (2009). Agar
faktor daya ledak otot lengan dapat berkembang optimal, seorang
pebulutangkis perlu latihan rutin dan mengarah pada kekhususan dengan
memperhatikan pola latihan. Salah satunya dalam pelatihan menarik
beban dengan katrol yang gerakannya sama dengan gerakan bulutangkis
pada saat melakukan pukulan atas (overhead). Gerakan melakukan
pukulan overhead yang sesuai dengan pelatihan menarik katrol berbeban
dalam bulutangkis:
1. Berat badan berpindah dari kaki kanan ke kaki kiri pada saat badan
berputar sehingga menghadap kedaerah sasaran
2. Lengan bergerak keatas mulai dari siku dan lengan bawah serta serta
-
34
pergelangan tangan berputar ke arah dalam
3. Pada saat raket menyentuh shuttle, pergelangan berubah menjadi lurus
4. Kepala raket mengayun ke bawah dengan pergelangan tangan setinggi
dada, sehingga terjadi suatu putaran ayunan penuh dan gerakan akhir
ayunan raket menyilang sebelah kiri tubuh (James, 2009).
Gambar 2.2 Gerakan Pukulan overhead (James, 2009)
2.4.3 Pengukuran Daya Ledak Otot Lengan
a. Melempar menggunakan bola softball
Alat yang digunakan bola softball dengan 198,45 gr dan lingkaran
30,80 cm. Pada tahap pelaksanaan orang coba berdiri melempar bola
soptball gerakannya seperti gerakan dalam bulutangkis pukulan atas
kepala (overhead). Lemparannya sejauh-jauhnya yang dimulai dari
belakang garis batas. Dalam pelaksanaan diberi kesempatan tiga kali
melempar. Skor lemparan diambil dari lemparan terjauh. Jarak diukur
diukur dengan satuan sentimeter (Nurhasan, 2000).
b. Melempar two hand mendicine ball put.
Alat yang digunakan bola medicine dengan berat 6 pound atau 2,7
kg. dan seutas tali. Pada tahap pelaksanaan orang coba duduk tegak
-
35
dengan punggung menyentuh dinding, sambil kedua tangannya
memegang bola medicine sehingga bola tersebut menyentuh dada.
Kemudian tangan mendorong bola medicine sejauh-jauhnya. Sebelum
orang coba mendorong bola medicine, badan bersandar pada dinding.
Hal ini untuk mencegah agar orang coba padawaktu mendorong tidak
dibantu oleh badan ke depan. Dalam pelaksanaan diberi kesempatan
melempar tiga kali. Skor jarak tolakan terjauh dari tiga kali percobaan,
yang diukur mulai dinding tembok, tempat bersandar sampai batas
tanda dimana bola tersebut jatuh. Jarak diukur dalam satuan sentimeter
(Nurhasan, 2008).
2.5 Pelatihan Pembebanan
Latihan otot untuk meningkatkan kemampuan fungsionalnya perlu
menggunakan beban yang berupa berat badan sendiri atau beban yang berasal
dari luar. Pemberian beban disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki
dalam menjalani pelatihan, sesuai dengan tujuan pelatihan, dan juga sesuai
dengan cabang olahraganya. (Giriwijoyo, 2008). Pada pelatihan yang
menggunakan beban hendaknya berpedoman pada empat prinsip yaitu prinsip
overload, prinsip penggunaan beban secara progresif, prinsip pengaturan
latihan dan prinsip kekususan program latihan menurut Sajoto (1995). Pada
permainan bulutangkis, untuk pelatihan otot lengan menggunakan beban pada
daerah 1/3 bawah minimal karena kebutuhan akan daya tahan dalam
melakukan pukulan secara beulang-ulang (Giriwijoyo, 2008). Sedangkan
(Satriya, dkk., 2007) penggunaan beban untuk daya ledak otot lengan yaitu
-
36
40-80% dari kemampuan maksimal.
2.5.1. Alat yang digunakan pada pelatihan menarik katrol berbeban
a. Beban dengan menggunakan karung berpasir
b. Katrol yang digunakan untuk menarik beban
c. Tali
Gambar 2.3 Pelatihan menarik katrol 2.5.2. Pelatihan menarik katrol
Pelaksanaan pelatihan menarik katrol. Posisi berdiri selebar bahu
membelakangi, kaki kiri maju didepan, kedua tungkai sedikit ditekuk
kemudian pelaksanaan tangan kanan lurus vertikal yang berada di atas kepala
samping dan tangan yang melakukan tarikan memegang pegangan tali.
Kemudian menarik katrol/mengayun lengan dengan hentakan sampai di depan
dada. Kemudian diulang lagi. Beban yang digunakan lima kg repetisi
duabelas dan tiga set, istirahat setiap set lima menit. Dan beban lima kg,
-
37
sembilan repetisi dan empat set.
2.5.3. Struktur angggota gerak atas.
2.5.3.1.Struktur Otot Bahu
Menurut Syaifuddin (1996), otot bahu hanya meliputi sebuah sendi
saja dan membungkus tulang lengan dan tulang belikat akromion yang
teraba dari luar.
1. Muskulus Deltoid (otot segi tiga), otot ini untuk membentuk lengkung
bahu dan berpangkal di sisi tulang selangka ujung bahu, balung tulang
belikat dan diafise tulang pangkal lengan. Fungsinya mengangkat lengan
sampai mendatar.
2. Muskulus Subskapularis (otot depan tulang belikat) otot ini mulai dari
depan tulang belikat menuju taju kecil pangkal lengan. Fungsinya
menengahkan dan memutar tulang humerus ke dalam.
3. Muskulus Suprasuspinatus (otot atas tulang belikat) otot ini berpangkal
dilekuk sebelah atas menuju tulang pangkal lengan fungsinya mengangkat
lengan.
4. Muskulus. Infraspinatus (otot bawah tulang belikat) otot ini berpangkal di
lekuk sebelah bawah tulang belikat dan menuju ke taju besar tulang
pangkal lengan. Fungsinya memutar lengan keluar.
5. Muskulus Teresmayor (otot lengan bulat besar)otot ini berpangkal di siku
bawah tulang belikat dan menuju ke taju kecil tulang pangkal lengan.
Fungsinya memutar lengan ke dalam.
-
38
6. Muskulus Teres minor (otot lengan belikat kecil) otot ini berpangkal di
siku sebelah luar tulang belikat dan menuju ka taju besar tulang pangkal
lengan. Fungsinya memutar lengan keluar
Gambar 2.4 Anatomi anggota gerak badan (Widiastuti, 2011) 2.5.3.2. Struktur Otot Lengan Atas
Menurut Syaifuddin (1996), otot-otot lengan atas terdiri dari:
1. Otot-otot ketul (fleksor).
a. Muskulus Biseps braki (otot lengan kepala dua) kepala yang panjang
melekat pada sendi bahu, kepala yang pendek melekat di sebelah luar dan
yang kedua di sebelah dalam. Otot itu kebawah menuju tulang
pengumpil. Di bawah uratnya terdapat kandung lender. Fungsinya
membengkokkan lengan bawah siku, merata hasta dan mengangkat
lengan.
-
39
b. Muskulus Brakialis (otot lengan dalam). Otot ini berpangkal di bawah
otot segitiga di tulang pangkal lengan dan menuju taju di pangkal tulang
hasta. Fungsinya membengkokkan lengan bawah siku.
c. Muskulus korako brakialis. Otot ini berpangkal pada prosesuskorakoid
dan menuju ke tulang pangkal lengan. Fungsinya mengangkat lengan.
2.Otot-otot kedang (ekstensor). Muskulus triseps braki (otot lengan
berkepala tiga).
a. Kepala luar berpangkal di sebelah belakang tulang pangkal dan menuju
ke bawah kemudian bersatu dengan yang lain.
b. Kepala dalam di mulai di sebelah dalam tulang pangkal lengan.
c. Kepala panjang di mulai pada tulang di bawah sendi dan ketiga-tiganya
mempunyai sebuah urat yang melekat di olekrani
2,5.3.3. Struktur Otot Lengan Bawah
1. Otot-otot kedang yang memainkan peranannya dalam pengetulan di atas
sendi siku, sendi-sendi tangan dan sendi-sendi jari dan sebagian dalam
gerak silang hasta.
a. Muskulus ekstensor karpi radialis longus.
b. Muskulus ekstensor karpi radialis brevis.
c. Muskulus ekstensor karpi ulnaris.
d. Digitonum karpi radialis, fungsinya ekstensi dari jari tangan kecuali
ibu jari.
e. Muskulus ekstensor policis longus, fungsinya ekstensi dari ibu jari
D. Gerakan Sendi Bahu
-
40
Damiri (1994) gerakan-gerakan yang dapat dilakukan pada sendi bahu
adalah sebagai berikut:
1. Mengayun lengan ke depan (swing forward anteflexion/flexion)
2. Mengayun lengan ke belakang (swing backward/flexion)
3. Mengangkat lengan ke samping menjahui badan (abduction)
4. Menarik lengan dari samping mendekati badan (addunction)
5. Memutar lengan ke arah dalam (inward rotation)
6. Memutar lengan ke arah luar (outward rotaion)
7. Sirkumduksi lengan (circumduction)
8. Menarik lengan dari posisi abduksi ke arah depan (horizontal adduction)
9. Menarik lengan dari posisi antefleksi ke posisi abduksi lengan (horizontal
adduction)
Pada saat melakukan overhead merupakan gerakan rotasi yang berpangkal
pada bahu. Sesuai dengan gerakan yang dapat dilakukan pada sendi bahu yaitu
mengayun lengan kebelakang (swing backward atau extention), maka untuk
melakukan gerakan overhead tersebut dibutuhkan ruang gerak sendi bahu yang
luas, serta elastisitas otot-otot disekitarnya.
-
41
Gambar 2.5 Anatomi lengan (Anonim. 2011) 2.6. Sistem Energi Latihan
Energi didefinisikan sebagai kapasitas atau kemampuan untuk melakukan
pekerjaan. Kerja kita artikan sebagai penerapan tenaga sehingga tenaga dan kerja
tidak dapat dipisahkan (Foss dan Keteyian, 1998). Energi diperoleh dari pemecahan
glukosa. Karbohidrat glukosa merupakan karbohidrat terpenting dalam kaitannya
dengan penyediaan energi di dalam tubuh. Hal ini disebabkan karena semua jenis
karbohidrat baik, monosakarida, disakarida maupun polisakarida yang dikonsumsi
oleh manusia akan terkonversi menjadi glukosa di dalam hati.
Banyak energi yang digunakan untuk kerja otot tergantung pada intensitas,
densitas, frekuensi, dam jenis latihan. Energi yang diperlukan untuk suatu kegiatan
-
42
atau kontarsi otot tidak dapat diserap langsung dari makanan yang kita makan, akan
tetapi melalui proses oksidasi yang terjadi di dalam sel-sel tubuh, karbohidrat
ataupun lemak kemudian akan digunakan untuk mensintesis molekul ATP
(adenosine triphosphate) yang merupakan molekul-molekul dasar penghasil energi
di dalam tubuh.
ATP terdiri dari satu molekul adenosine dan tiga molekul phosphate. Energi
dibutuhkan untuk kontraksi otot diperoleh dari pembebasan dengan merubah ATP
menjadi ADP + Pi (Bompa, 1999).
Persediaan ATP dalam sel otot sangat terbatas, walaupun begitu suplai ATP
harus secara berkesinambungan diganti lagi untuk memudahkan aktivitas fisik
secara berkelanjutan. Jumlah ATP yang terdapat dalam otot, bahkan didalam otot
seorang atlet yang berlatih baik, hanya cukup untuk mempertahankan daya tahan
otot yang maksimal yang baru terus menerus dibentuk (Guyton dan Hall 2008).
ATP diperlukan untuk menyediakan energi kontraksi otot dan daur cross
bridge selama kontraksi. Pemecahan ATP yang disebabkan oleh enzim ATPase
akan menghasilkan sejumlah energi, dimana energi tersebut akan memberikan
kesempatan pada cross bridge yang merupakan kepala dari filamen miosin untuk
berputar dan membentuk sudut baru dimana sebelumnya pada fase eksitasi cross
bridge saling tertarik dengan filamen aktin, sehingga filamen aktin akan meluncur
melewati filamen miosin mengakibatkan kedua filamen tersebut saling tumpang-
tindih dan terjadilah kontraksi otot.
Tanpa ATP filamen aktin tidak akan bisa meluncur melewati filamen
miosin. Tetapi persedian ATP di dalam otot hanya sedikit, cukup untuk kontraksi
-
43
maksimal otot yang berlangsung dalam satu detik. Untungnya tubuh mampu
mengisi/melengkapi ATP hampir secepat waktu yang dibutuhkan untuk
memecahkannya. Pengisian ATP ini terjadi apabila cadangan molekul bahan bakar
seperti karbohidrat dan lemak dipecah untuk menyediakan energi bebas yang dapat
dipergunakan bersama-sama ADP dan Pi untuk membentuk ATP (Hairy, Junusul,
1989). ATP senantiasa digunakan setiap kali otot berkontraksi, oleh karena itu ATP
harus selalu tersedia. Sedangkan untuk menyediakan ATP saja diperlukan energi.
Untuk itu tiga macam proses menghasilkan ATP (Hairy, Junusul, 1989):
1. ATP-PC atau sistem fosfagen. Dalam sistem ini energi untuk resintesis ATP
berasal dari hanya satu persenyawaan creatin phosphate (PC). Creatin
phosphate akan dipecah yang akan menghasilkan energi untuk mensintesis
ADP + P menjadi ATP dan selanjutnya ATP akan dipecah lagi menjadi ADP +
P yang akan menyebabkan pelepasan energi yang akan digunakan untuk
kontraksi otot. Menurut David (1984) sistem ini sangat penting ketika
melakukan latihan yang berat, seperti lari sprint dan angkat berat.
2. Glikolisis anaerobik atau sistem asam laktat (LA) penyediaan ATP berasal dari
glukosa atau glikogen. Sistem ini dilakukan dengan memecahkan glukosa atau
glikogen yang disimpan dalam sel otot dan hati. Sistem ini akan melepaskan
energi untuk meresintesi ADP + P menjadi ATP. Selama glikolisis anaerobik
hanya beberapa mol ATP yang dapat diresintesis dari glikogen, jika
dibandingkan dengan adanya oksigen. Melalui proses glikolisis ini 4 buah
molekul ATP akan dihasilkan serta pada awal tahapan prosesnya akan
-
44
mengkonsumsi 2 buah molekul ATP sehingga total 2 buah ATP akan dapat
terbentuk.
3. Sistem aerobik (O2). Bila suplai oksigen berlimpah dan otot tidak bekerja berat,
maka pemecahan glikogen atau glukosa dimulai dengan cara yang sama pada
glikolisis anaerobik. Bagaimanapun juga, dalam kondisi aerobik molekul asam
piruvat tidak dikonversi menjadi asam laktat, tetapi melewati sarkoplasma
masuk ke mitokondria, tempat rangkaian reaksi pemecahan. Di dalam
mitokondria asam piruvat hasil proses glikolisis akan teroksidasi menjadi
produk akhir berupa H2O dan CO2 di dalam tahapan proses yang dinamakan
respirasi selular (Cellular respiration). Proses respirasi selular ini terbagi
menjadi 3 tahap utama yaitu produksi Acetyl-CoA, proses oksidasi Acetyl-CoA
dalam siklus asam sitrat (Citric-Acid Cycle) serta Rantai Transpor Elektron
(Electron Transfer Chain/Oxidative Phosphorylation). Sistem aerobik
memerlukan kira-kira dua menit untuk memulai memproduksi energi dalam
meresintesis ATP dari ADP + P. Sistem aerobik memecahkan glikogen
berdasarkan hadirnya oksigen, sehingga denyut jantung dan pernapasan harus
ditingkatkan secara memadai untuk membawa sejumlah oksigen yang
dibutuhkan sel otot. Sistem aerobik merupakan sumber energi utama untuk
aktivitas olahraga yang berjangka waktu 2 menit sampai 2-3 jam. Aktivitas
yang lebih dari 3 jam akan mengakibatkan pemecahan lemak dan protein untuk
menggantikan cadangan glikogen yang mendekati habis.
Secara umum proses metabolisme secara aerobik akan mampu untuk menghasilkan
energi yang lebih besar dibandingkan dengan proses secara anaerobik. Dalam
-
45
proses metabolisme secara aerobik, ATP akan terbentuk sebanyak 36 buah
sedangkan proses anaerobik hanya akan menghasilkan dua buah ATP. Ikatan yang
terdapat dalam molekul ATP ini akan mampu untuk menghasilkan energi sebesar
7.3 kilokalor per-molnya.
Kebanyakan cabang olahraga dalam kaitannya dengan penggunaan sistem
energi sering secara kombinasi. Kegiatan fisik dalam waktu singkat dan eksplosif
sebagian besar energi diperoleh dari sistem energi anaerobik (ATP-PC dan LA).
Sedangkan kegiatan fisik dalam jangka waktu yang lama, energinya dicukupi dari
sistem aerobik.
Tabel 2.1 Karakteristik Sistem Energi (Fox, Bower, dan Foss, 1993)
Sistem ATP-PC Sistem Asam Laktat (LA) Sistem Oksigen (O2) Anaerobik (tanpa
oksigen) Anaerobik Aerobik
Sangat cepat Cepat Lambat Bahan bakar dari :
PC Bahan bakar dari:
glikogen Bahan bakar dari:
glikogen Produksi ATP
sangat terbatas Produksi ATP
terbatas Produksi ATP bukan
tak terbatas Dengan simpanan
di otot yang terbatas
Dengan memproduksi asam laktat, menyebabkan kelelahan otot
Dengan memproduksi kembali, tidak melelahkan
Menggunakan aktivitas lari cepat atau berbagai power yang tinggi dengan aktivitas pendek
Menggunakan aktivitas dengan durasi antara 1-3 menit
Menggunakan daya tahan atau aktivitas dengan durasi yang panjang
Pemahaman setiap pelatihan olahraga dalam menggunakan sistem energi
sangat diperlukan. Menurut Nala, (2002) bahwa dalam dunia olahraga kebanyakan
atlet menggunakan kedua sistem tersebut baik aerobik maupun anaerobik.
-
46
Penelitian ini tentang pelatihan menarik katrol berbeban yang menekankan pada
perbedaan jumlah set dan repetisi (pengulangan). Pengulangan yang tinggi menurut
Nala, (2002) akan menjadikan suatu pelatihan sangat efektif dan sangat baik dalam
mengembangkan tipe serabut otot putih yang sangat diperlukan dalam daya ledak
eksplosif.
-
47
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Berdasarkan rumusan masalah dan tinjauan pustaka, seperti yang telah
diuraikan sebelumnya, maka dapat dibuat suatu kerangka konsep sebagai berikut:
faktor daya ledak otot lengan sangat diperlukan dalam cabang olahraga bulutangkis.
Daya ledak otot lengan dapat ditingkatkan melalui pelatihan. Program pelatihan
harus dilakukan secara sistematis, terencana, teratur, dan berkelanjutan, salah
satunya dengan pelatihan beban. Tipe pelatihan yang digunakan sebelumnya
memilih komponen biomotorik yang dominan dengan melibatkan semua kelompok
otot yang ingin dilatih dan menyesuaikan dengan cabang olahraga.
Komponen biomotorik yang dominan dalam cabang bulutangkis adalah
daya ledak otot lengan. Daya ledak merupakan kemampuan untuk melakukan
aktivitas secara tiba tiba dan cepat mengerahkan seluruh kekuatan dalam waktu
yang singkat. Daya ledak dalam olahraga bulutangkis adalah daya ledak eksplosif,
yang melibatkan komponen biomotorik yaitu kecepatan dan kekuatan. Dalam
pelatihan daya ledak otot lengan melibatkan beban karung pasir dengan
mengayunkan lengan dari belakang atas kepala ke bawah dengan tangan menarik
katrol.
Daya ledak dipengaruhi baik oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor
internal antara lain umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, dan kesegaran
-
48
jasmani, sedangkan faktor eksternal, seperti suhu lingkungan dan kelembaban
relatif. Selain itu untuk mendapatkan daya ledak yang baik kekuatan dan kecepatan
harus baik.
Upaya untuk meningkatkan daya ledak otot lengan dengan pelatihan ayunan
lengan beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set, dan sembilan repetisi, empat set.
Pelatihan ini menggunakan frekuensi tiga kali dalam seminggu selama enam
minggu.yang disesuaikan dengan takaran jumlah set dan jumlah repetisi. Mengacu
pada beberapa landasan teori yang digunakan sebagai acuan dalam membuat
kerangka konsep, yaitu: Takaran beban dalam pelatihan daya ledak 40%-80% dari
kemampuan maksimal. Pelatihan dengan frekuensi tiga kali seminggu sesuai untuk
pemula akan menghasilkan peningkatan yang berarti. Takaran pelatihan untuk
meningkatkan daya ledak otot lengan dengan bervariasi, kontraksi cepat, dalam
repetisi kalau kecepatan berkurang pengulangan dihentikan. Pelatihan daya ledak
menggunakan repetisi 12-15 dan set 3-5. Mekanisasi gerakan tubuh yang sama
terjadi pada tiga jenis pukulan yaitu pukulan clear, drop dan smash. Dengan
melakukan pukulan overhead yang diarahkan ke bawah. Cara yang paling tepat
untuk melatih kekuatan otot agar smesannya kuat dengan menarik beban berulang-
ulang mempergunakan katrol.
-
49
3.2 Konsep Penelitian
Berdasarkan uraian dan pendapat tersebut diatas, maka dapat dibuat
bagan:
Gambar. 3.1 Konsep
3.3. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka dan konsep di atas, maka hipotesis dapat
dirumuskan sebagai berikut:
FAKTOR EKSTERNAL Suhu Kelembaban Penonton Keadaan Lapangan
PELATIHAN Pelatihan menarik beban katrol 5kg, 12 R, 3 set Pelatihan menarik beban katrol 5kg, 9 R, 4 set
FAKTOR INTERNAL Umur Jenis kelamin Berat badan Tinggi badan Indek massa tubuh Kebugaran Fisik
Daya Ledak Otot Lengan
-
50
1. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, dua belas repetisi dan tiga set
dalam tiga kali seminggu selama enam minggu meningkatkan daya
ledak otot lengan siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK-1.
2. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi dan empat set,
dalam tiga kali seminggu selama enam minggu meningkatkan daya
ledak otot lengan siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK-1.
3. Pelatihan menarik katrol berbeban lima kg, duabelas repetisi dan tiga set
dalam tiga kali seminggu selama enam minggu lebih baik daripada
sembilan repetisi, empat set, tiga kali seminggu selama enam minggu
dalam meningkatkan daya ledak otot lengan siswa ekstrakurikuler
bulutangkis SMK-1.
-
51
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan The
Randomized Pre and Post Test design (Pocock, 2008).
Rancangan ini memiliki skema sebagai berikut:
P1
O1 O2
P R S P2
O3 O4
Bagan 4.1 Rancangan Penelitian
P : Populasi
R : Random S : Sampling
O : observasi daya ledak otot lengan P1 : Kelompok perlakuan I, pelatihan menarik katrol beban lima kg, 12 repetisi,
tiga set
-
52
P2 : Kelompok perlakuan II, pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set
O1 : observasi daya ledak otot lengan kelompok-1 sebelum pelatihan menarik katrol beban lima kg, 12 repetisi, tiga set
O2 : observasi daya ledak otot lengan kelompok-1 sesudah pelatihan menarik katrol beban lima kg, 12 repetisi, tiga set
O3 : observasi daya ledak otot lengan kelompok-2 sebelum pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set
O4 : observasi daya ledak otot lengan kelompok-2 setelah pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1 Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di lapangan Lumintang Denpasar, karena aktivitas
olahraga SMK-1 dilakukan dilokasi Lumintang selain tempatnya luas.
4.2.2 Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2011.
Waktu pengambilan data dilakukan selama enam minggu, dilakukan tiga kali
seminggu, mulai pukul 05.30-07.00 Wita.
4.3 Populasi Dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah semua siswa kelas I SMK Denpasar yang
memilih kegiatan ekstrakurikuler bulutangkis berjumlah 40 siswa.
4.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini dari populasi yang memenuhi kreteria inklusi
dan eksklusi sebagai berikut:
-
53
4.3.2.1 Kriteria inklusi:
1. Bersedia sebagai subjek penelitian dari awal sampai selesai, dengan
menandatangani surat persetujuan bersedia sebagai sampel.
2. Berbadan sehat dan tidak cacat, berdasarkan pemeriksaan dokter.
3. Jenis kelamin laki-laki.
4. Umur 15-16 tahun.
5. Siswa kelas I SMK yang memilih ekstrakurikuler bulutangkis.
6. Berat badan 48,1-68,3 kg.
7. Tinggi badan 152,2-173,5 cm.
8. Indeks Masa Tubuh 18,5-24,9.
9. Kebugaran fisik 10,49-12.10.
4.3.2.2 Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi adalah subjek yang berdomisili di luar Kota Denpasar.
4.3.2.3 Kreteria tidak dilanjutkan sebagai subjek
Kriteria yang digunakan sebagai dasar untuk membatalkan keterlibatan
seseorang sebagai sampel:
a. Jika dalam pengambilan data orang tersebut tidak masuk atau tidak datang
ke lokasi pengambilan data
b. Jika selama penelitian orang tersebut tibatiba jatuh sakit atau cedera karena
kecelakaan
c. Jika selama penelitian orang tersebut pindah sekolah
d. Jika selama penelitian orang tersebut mengundurkan diri sebagai subjek
penelitian.
-
54
4.3.3 Besar Sampel
Besar sampel ditentukan berdasarkan penelitian pendahuluan daya ledak
otot lengan terhadap tujuh siswa kelas SMK yang berumur 15-16 tahun, diperoleh
data dengan rata-rata daya ledak otot lengan sebelum pelatihan adalah 26,16 m
dengan standar deviasi 3,42. Harapan peningkatan daya ledak otot lengan sebesar
% sehingga besar sampel disubstitusikan kedalam rumus Pocock (2008) sebagai
berikut:
Keterangan:
n= jumlah sampel = standar deviasi (SD) daya ledak otot lengan=3,42 f(, )=7,9 table velue 1=rata-rata daya ledak otot lengan sebelum pelatihan=26,16 m 2=harapan peningkatan daya ledak setelah pelatihan (15%)=30,084 m Berdasarkan perhitungan dengan rumus di atas, maka diperoleh hasil = 12,
untuk mengantisipasi subjek tidak melanjutkan penelitian ini, maka jumlah sampel
untuk tiap kelompok ditambah 15% dari jumlah (n) sehingga jumlah sampel
menjadi 14 orang untuk masing-masing kelompok. Total keseluruhan sampel
sebanyak 28 (2 kelompok x 14 orang).
4.3.4 Teknik Pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Mengadakan pemilihan sejumlah sampel dari seluruh populasi berdasarkan
kreteria inklusi dan eksklusi dengan cara acak sederhana (simple random
sampling)
2. Melakukan pembagian kelompok penelitian sebanyak dua kelompok dengan
masing-masing kelompok berjumlah 14 orang. Pembagian kelompok
( ) ( )
,
22
21
2
fn
=
-
55
dilakukan dengan cara acak sederhana. Selanjutnya kelompok I akan
menerima perlakuan pelatihan menarik katrol dengan beban lima kg,
duabelas repetisi, tiga set, dan kelompok II akan menerima perlakuan
pelatihan menarik katrol dengan beban lima kg, sembilan repetisi, empat
set.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Identifikasi variabel
4.4.1.1 Variabel bebas (independent variable).
Pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set dan
pelatihan lima kg, sembilan repetisi, empat set.
4.4.1.2 Variabel tergantung (dependent variable)
Daya ledak otot lengan
4.4.1.3 Variabel kendali (kontrol) adalah umur, berat badan, tinggi badan dan
indeks masa tubuh( IMT).
4.4.1.4. Variabel Random adalah kondisi lingkungan
4.4.2 Definisi Operasional Variabel
Untuk menghindari terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam
pengambilan data, maka berikut diuraikan definisi variabel sebagai berikut:
1. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan dua belas repetisi, tiga set.
Pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan 12 kali ulangan yang
diselingi dengan istirahat selama lima menit (disebut 1 set), lalu dilanjutkan
dengan duabelas kali ulangan menarik katrol sampai pada tiga set.
-
56
2. Pelatihan menarik katrol beban lima kg dengan sembilan repetisi, empat set.
Pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan sembilan kali ulangan yang
diselingi dengan istirahat selama lima menit (disebut 1 set), lalu dilanjutkan
dengan sembilan kali ulangan menarik katrol sampai pada empat set.
3. Daya ledak otot lengan
Kemampuan otot lengan untuk melakukan gerakan secara sentakan tiba-tiba
dan cepat dengan mengerahkan seluruh kekuatan dalam waktu yang singkat.
Daya ledak otot lengan diukur dengan melempar menggunakan bola softball
dengan mengukur jauhnya lemparan dalam satuan sentimeter (cm). Alat
yang digunakan bola softball dengan berat 198,45 gr dan lingkaran 30,80
cm yang diukur dari garis batas sampai titik jatuh bola dengan meteran
Kinglon buatan Jepang dalam satuan centimeter. Dengan cara subjek
melemparkan bola softball sejauh jauhnya. Pelaksanaan adalah posisi kaki
berdiri dibelakang garis batas, dengan jarak kaki selebar bahu, kaki kiri di
depan dan kedua tungkai sedikit ditekuk, lengan dan tangan kanan lurus
vertikal di belakang atas kepala memegang bola dengan cara di genggam,
lengan dan tangan kiri dalam keadaan bebas, posisi menghadap bentangan
tali yang apabila disentuh tepat mengenai pergelangan tangan, kalau lengan
kanan diayun ke depan dalam posisi bentuk 300 dari sikap semula. Tes
dilakukan selama tiga kali diambil dari jarak terjauh. Hasil yang digunakan
sebagai data penelitian dan dicatat dengan ketelitian 0,1 mm. Pelaksanaan
-
57
pengukuran sebelum dan sesudah pelatihan. Jarak lemparan bola softball
merupakan hasil yang menunjukkan seberapa besar kemampuan daya ledak
otot lengan.
4. Umur
Umur adalah usia dalam tahun berdasarkan tanggal, bulan kelahiran yang
tercatat dalam data administrasi sesuai dengan akte kelahiran yang berusia
sekitar 15-16 tahun.
5. Jenis kelamin
Jenis kelamin laki-laki yaitu jenis kelamin yang telihat penampakkan luar
(phenotif) dan kesesuaian yang tertulis dalam administrasi sekolah.
6. Berat badan
Berat badan adalah bobot tubuh subjek yang diukur dengan timbangan berat
badan merk Tanita dengan ketelitian 0.1 kg. Saat penimbangan tidak
menggunakan alas kaki.
7. Tinggi badan
Tinggi badan adalah ukuran tinggi badan yang diukur dengan antropometer
merk Super buatan Jepang dengan ketelitian 0.1 cm. Subjek berdiri tegak
membelakangi alat ukur dan pandangan lurus ke depan. Tinggi badan
diukur melalui panjang dari lantai tempat berpijak sampai ubun-ubun
(vertex).
8. Indeks Masa Tubuh ( IMT)
Indeks masa tubuh adalah nilai komposisi tubuh atau berat badan ideal yang
ditentukan dengan berat tubuh (kg) dan kuadrat tinggi badan (m).
-
58
9. Kebugaran Fisik
Kebugaran fisik adalah kategori kebugaran jasmani subjek yang diperoleh
melalui kemampuan melakukan lari 2,4 km dengan hasil yang dicatat
berdasarkan satuan menit yang dikonversikan dalam skor berdasarkan
penilaian Cooper. Waktu yang digunakan menggunakan stopwatch merk
Q&Q buatan Jepang dengan tingkat ketelitian 0,01 detik.
10. Suhu udara
Suhu adalah suhu kering yang rata-rata yang diukur setiap melakukan
penelitian dengan termometer elektronik. Merek Extech buatan Jerman
dengan tingkat ketelitian 0.10C.
11. Kelembaban Relatif udara
Kelembaban relatif adalah presentase uap air dalam udara yang diukur
dengan hygrometer elektronik digital merek Exctech buatan Jerman dengan
tingkat ketelitian 1%.
4.5 Alat Pengumpul data
Alat ukur atau instrument yang digunakan dalam penelitian:
1. Alat katrol beban yang dirancang khusus untuk pelatihan menarik katrol
berbeban.
2. Alat pelatihan dengan katrol dari bahan besi dengan lebar 200 cm dan
tinggi 200 cm dan bola soft ball.
-
59
3. Timbangan berat badan merk Tanita untuk mengukur berat badan yang
digunakan pada pelatihan menarik katrol beban dengan ketelitian 0.1 kg.
4. Karung pasir dengan berat lima kg sebagai beban yang ditarik pada
pelatihan menarik katrol beban.
5. Antropometer Super buatan Jepang untuk mengukur tinggi badan dalam
satuan centimeter (cm) dengan ketelitian 0,1 cm.
6. Stop watch digital merk Q&Q untuk mengukur kecepatan lari 2,4 km,
lama waktu istirahat tiap set, dan lamanya pelatihan dalam satu kali
pelatihan, denagn ketelitian1/100 detik.
7. Meteran merk Kinglon buatan Jepang.
8. Metronom merk Nikko buatan Jepang untuk mengukur irama gerakan
menarik katrol dengan arah gerakan dari belakang atas kepala ke bawah
supaya irama gerakan setiap mengangkat beban sama.
9. Norma penilaian tes lari 2,4 km Cooper, untuk mengukur status
kebugaran fisik subjek.
10. Termometer merk Extech buatan Jerman untuk mengukur suhu kering
lingkungan, satuan 0C, ketelitian 0,1 0C.
11. Higrometer elektronik digital merk Extech buatan Jerman untuk
mengukur kelembaban relative udara, ketelitian 1%.
12. Alat-alat tulis untuk mencatat data
13. Kamera digital merk Nikon buatan Jepang yang digunakan untuk
mendokumentasikan setiap kegiatan yang berkaitan dengan penelitian
ini.
-
60
4.6 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian terdiri dari tahap-tahap penelitian, yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:
4.6.1 Tahap Persiapan
Tahap persiapan menyangkut :
1. Studi kepustakaan dari buku, jurnal, proseding, internet dan lain-lain
yang relevan dengan topik penelitian ini.
2. Mengurus surat-surat penelitian.
3. Meminta persetujuan penelitian kepada kepala sekolah dan
mengkoordinasikan dengan wali kelas serta guru olahraga yang
menyangkut jadwal penelitian dan persiapan.
4. Membuat jadwal pelaksanaan penelitian.
5. Menyiapkan alat ukur yang baku dan memiliki ketelitian yang dapat
dipercaya dan diakui secara ilmiah.
6. Melakukan uji coba terkait alat yang dirancang khusus yang digunakan
pelatihan menarik katrol. Dalam bentuk beban (berupa karung pasir lima
kg) digantungkan dengan seutas tali melalui tiga buah katrol. Ujung tali
terhubung dengan beban, lengan kanan yang akan menarik. Subjek
berdiri dalam posisi tegak dengan sedikit tungkai ditekuk, kaki kiri maju
kedepan kemudian tangan kanan menarik katrol berbeban lima kg dari
atas kepala di arahkan ke bawah dan kembali ke posisi semula sesuai
dengan takaran pelatihan. Posisi tangan kiri bebas.
4.6.2. Tahap Penelitian Pendahuluan
-
61
1. Memberikan penjelasan tentang pelaksanaan penelitian
2. Menentukan subjek yang akan dilibatkan
3. Melakukan pengukuran pada beberapa variabel, seperti umur, berat
badan, tinggi badan dan daya ledak otot lengan
4. Mengolah hasil penelitian pendahuluan untuk menentukan besar sampel
dalam penelitian selanjutnya.
5. Pengukuran Kebugaran fisik. Kebugaran fisik diukur dengan tes lari 2.4
km, yaitu subjek berlari dengan menempuh jarak 2.4 km sesuai dengan
kemampuan tanpa henti. Waktu tempuh dikonversikan dengan table
tingkat kebugaran fisik menurut Cooper. Subjek yang dipilih adalah
subjek yang memiliki kategori fisik sedang.
6. Pengukuran berat badan.
7. Pengukuran tinggi badan.
8. Pengukuran daya ledak anggota gerak atas dilakukan dengan bola
softball dengan berat 198,45 gr dan lingkaran 30,80 cm. Pengukuran dari
garis batas sa