upacara penguburankematian
DESCRIPTION
upacara penguburan kematianTRANSCRIPT
UPACARA PENGUBURAN/PEMAKAMAN
JENAZAH
Upacara dimaksudkan adalah tata pelaksanaannya
melalui proses dari awal sampai akhir tentang pelaksanaan
upacara Penguburan. Untuk dapat dipahami lebih jelas
tentang pengertian upacara dan asal usul bahasanya dapat
dilihat dalam kamus sansekerta – Indonesia (1985:86) oleh
pemda Tingkat I Bali, bahwa upacara artinya mendekati
dalam bentuk maskulin mempunyai arti kelakuan, sikap,
pelaksanaan dan penghormatan. Secara etimologi kata
upacara berasal dari dua kata berasal dari kata Upacara dan
Mangubur. Kata Upacara berasal dari kata ” Upa ”yang
berarti dekat dan ” Cara ” berarti tradisi atau kebiasaan
yang merupakan tingkah laku manusia baik perorangan
maupun kelompok masyarakat yang didasarkan pada
kaidah-kaidah hukum yang berlaku (Kamus Sansekerta-
Indonesia). Jadi upacara dalam pemahamanan religi adalah
sesuatu yang bergerak untuk mendekati diri kepada Tuhan
dengan manifestasiNya. Sedangkan menurut kamus Besar
Bahasa Indonesia kata upacara artinya suatu rangkaian
tindakan atau perbuatan yang baik (dharma) terikat pada
aturan-aturan tertentu menurut adat dan agama, sebagai
jalan yang utama dalam memuji dan berhubungan dengan
Tuhan. Demikian juga dalam Kamus Bahasa Kawi –
Indonesia karya P.J. Zoetmulder, kata upacara artinya
tingkah laku atau kelakuan yang pantas dalam arti
kebenaran, kemuliaan, kebajikan (dharma). Sedangkan
mangubur berasal dari kata ” kubur ” yang berarti Kuburan.
Jadi upacara Penguburan adalah upacara menanamkan
jenazah ke liang kubur. Bagi umat Hindu Kaharingan
apabila seseorang meninggal dunia wajib diupacarakan
sesuai tradisi setempat.
Kajian dari beberapa konsep yang berkaitan tentang
upacara adalah merupakan bagian dari sikap dan tingkah
laku baik dalam pelaksanaan upacara Penguburan yang
melibatkan masyarakat sekitarnya. Dalam memahami suatu
tindakan hal tersebut perlu dilakukan motivasi, sebagai
contoh yang dilakukan oleh para filsuf Yunani. Filsuf-filsuf
Yunani di abad ke-XIX telah menelaah mengenai motivasi
bahwa perilaku manusia disebabkan oleh pengaruh fisik
dan spiritual. Para filsuf juga berpendapat bahwa pemikiran
merupakan sumbangan terhadap dorongan untuk manusia
bertindak, dimana pikiran adalah motivasi primer bagi
manusia (Rosana, 2000).
Pengaruh spiritual yang mendasari perilaku manusia
yang akhirnya menjadi motif manusia dalam bertindak
sesungguhnya adalah sebuah naluri dasar yang dimiliki
oleh setiap manusia. Salah satu naluri dasar dari manusia
adalah pengakuan akan eksistensi Tuhan yang melahirkan
berbagai macam ritual-ritual yang merupakan manifestasi
dari penyembahan, penyerahan diri dan pengagungan
terhadap Ranying Hatalla. Lahirnya ritual-ritual ini
merupakan dorongan dari dalam manusia yang dalam
perkembangannya menjadi sebuah lembaga yang kemudian
disebut dengan agama dan kepercayaan.
Praktik-praktik ritual dalam keagamaan ini bisa
berasal dari teks-teks kitab suci yang menjadi pedomannya
ataupun hasil kreasi olah pikir manusia. Keberadaan
praktik-praktik ibadah ini tidak bisa dilepaskan dari proses
sosial. Contoh dari proses sosial antara manusia dengan
lingkungannya adalah kehidupan bangsa Indonesia secara
umum. Bangsa Indonesia dengan penduduk yang
multikultural, beraneka budaya, suku bangsa serta agama
tetapi menjadi satu kesatuan nusantara dan membentuk satu
kebudayaan Indonesia. Pada prosesnya adat istiadat, agama
dan budaya menjadi sebuah rangkaian yang terkait dan
saling memperkaya. Praktik-praktik ritual adat yang ada di
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari akulturasi antara
budaya dan agama terutama agama Hindu.
bagi masyarakat Hindu Kaharingan di Palangka Raya.Walaupun di tengah gencarnya
arus modernisasi dan globalisasi serta letak geografis serta pengaruh dari budaya luar
yang berada di tengah kota, masyarakat umum tetap setia menjalankan tradisi ritual
tersebut. Hal inilah yang menimbulkan Upacara Penguburan adalah
merupakan bagian dari ritus kematian tingkat awal,
Upacara Penguburan merupakan hal awal dari proses
kematian yang wajib dilakukan oleh masyarakat suku
Dayak Kaharingan, terutama mereka yang menjadi salah
satu penganut kepercayaan leluhur. Karena hanya melalui
upacara ini puncak kebahagiaan hidup seorang manusia
suku Dayak Ngaju dapat dicapai. Penantian yang panjang
dari kelahiran sampai kepada upacara Penguburan tersebut
merupakan ruang kehidupan seorang manusia Dayak
Ngaju, sehingga seluruh perjalanan hidup seorang manusia
Dayak berpusat dalam pemenuhan janji yang terkandung
dalam upacara Penguburan, Oleh karena itu setiap sisi
kehidupan manusia Dayak Kaharingan selalu bertautan
dengan ragam dan aturan pada kepercayaan yang mereka
percayai tersebut. Ragam dan aturan dalam pemahaman
kepercayaan suku Dayak Kaharingan merupakan susunan
yang sangat rumit. Pemahaman susunan tersebut hanya
dapat dikuasai oleh pelaku atau pemimpin keagamaan yang
mereka percayai yaitu seorang Basir. Kepentingan Basir
adalah untuk menjembatani penghuni alam surgawi dan
alam manusia. Penghuni alam surgawi hanya bisa
berkomunikasi dengan Basir melalui suara yang diucapkan
dalam upacara yang dipimpinnya (Lewis Iman, Wawancara
18 Juli 2009). Ucapan Basir dalam ritual yang dipimpinnya
hanya dapat dimengerti oleh orang-orang tertentu dalam
bahasa tertentu yang dianggap suci. Oleh karena itu, bagi
mereka yang berada diluar lingkaran kepercayaan
masyarakat Hindu Kaharingan sebagai bagian dari suku
Dayak Ngaju, hal tersebut sangat rumit dan sama sekali
tidak dapat dimengerti. Bagi suku Dayak Ngaju yang non
Hindu Kaharingan pemahaman akan kepercayaan tersebut
kurang dipahami hanya dapat didengar. Dalam pengertian
ini hal-hal yang diucapkan seorang basir atau leluhur
merupakan pedoman hidup bijaksana.
Terjaganya upacara Penguburan dalam kehidupan
masyarakat Hindu Kaharingan ini tentunya tidak
berlangsung begitu saja, melainkan ada nilai-nilai yang
menjadi pandangan hidup dan sandaran di masyarakat.
Menurut keyakinan orang dayak, kehidupan dipandang
telah mengikuti suatu pola yang agung yang teratur dan
terkoordinasi yang harus diterima oleh mereka. Mereka
harus menselaraskan diri dengan apa yang lebih agung dari
diri mereka sendiri serta berusaha agar mereka tetap dalam
keadaan damai dan tentram (selamat). Maksud utama
praktek sosio religius orang dayak tidak ada lain kecuali
mendapatkan keselamatan di dunia ini tetap lestari dan
terjaganya upacara Penguburan ini menjadi keunikan
tersendiri keingintahuan penulis untuk meneliti lebih jauh
mengenai upacara Penguburan. Di balik tradisi upacara
Penguburan adalah merupakan rukun kemantian tingkat
awal bagi umat Hindu Kaharingan yang berlokasi di
Palangka Raya. Kegiatan ini merupakan suatu kewajiban
yang selalu dilakukan oleh masyarakat Hindu kaharingan
dengan tujuan penyucian, penyelamatan dan pembebasan
roh liau haring kaharingan (Liau Balawang Panjang dan
Liau Karahang Tulang) atau Unsur Ibu dan unsur Bapak
dari Rutas/Pali Belum (Pantangan Hidup).
Kamatian merupakan hal yang tidak dapat dihindari oleh
manusia dan semua manusia pasti akan mengalami
kematian. Kematian merupakan jalan yang telah ditentukan
oleh anying Hatalla bagi Keturunan Raja Bunu untuk
kembali kepada-Nya. Dalam Panaturan Pasal 29 ayat 4
dinyatakan sebagai berikut :
Hete RANYING HATALLA bapander panjang umba Raja Bunu, tuh bitim palus panarantang aim, akan ilaluhan kareh manyuang Batang Petak ije jadi injapaku hayak inyewut-Ku jete Pantai danum Kalunen tuntang panarantang aimte dapit jeha puna bagin matei . Artinya :
Dengan panjang lebar Ranying Hatalla berfirman kepada Raja Bunu, firmannya : Untuk engkau ketahui Raja Bunu, bahwa engkau dan semua anak keturunanmu akan aku turunkan mengisi permukaan tanah bumi yang telah kuciptakan dan Aku sebut itu Kehidupan serta bagi anak keturunanmu nantinya, ia kembali kepada-Ku melalui kematian. (Tim Panaturan, 1996 : 107-108 ).
Berdasakan isi Panaturan tersebut dapat kita
ketahui bahwa semua manusia telah ditakdirkan akan
mengalami kematian. Dalam hal kematian ini Umat Hindu
Kaharingan memiliki tata upacara Penguburan yang sesuai
menurut ajaran agama Hindu Kaharingan dan Desa, Kala
Dan Patra.
B. Proses Upacara Penguburan
Upacara Penguburan merupakan proses awal dari
kematian, karena dalam upacara tersebut berawal dari
adanya kematian. Pelaksanaan upacara itu didasari atas
kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat Hindu
Kaharingan sesuai dengan getaran hati (jiwa) untuk
berbhakti kepada leluhur, Ranying Hatalla Langit (Tuhan
Yang Maha Esa) dan segala manifestasinya. Selain itu
juga sebagai tanda kehormatan untuk melakukan yajna
kepada leluhur, karena pelaksanaan upacara Penguburan
merupakan visualisasi dan aktualisasi nilai-nilai agama
dan nilai-nilai budaya dalam kehidupan sosial
masyarakat. Nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya
adalah terdiri dari nilai religius, nilai sosial, nilai etika
dan nilai estetika sebagai berikut :
1. Nilai Religius.
Segala sesuatu yang bersifat religius untuk
pemujaan kepada Tuhan beserta segala
manifestasiNya termasuk manusia dan alam adalah
tindakan religi. Bagi durkheim religi merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan
masyarakat. Dalam masyarakat sederhana religi
merupakan sumber utama kehidupan sosial.
Pembagian kehidupan dunia yang sakral merupakan
ciri khas pemikiran religius (munhi,2003:128). Dari
keterangan tersebut diatas yang dimaksud religius
bukan saja yang bersifat sakral seperti tentang dewa-
dewa, roh dan ketuhanan akan tetapi tetapi juga
menyangkut segala pemikiran manusia tentang segala
sesuatu yang baik atau benar sebagai bhakti demi
keseimbangan dan keharmonisan alam.
Pemujaan bukanlah hanya suatu sitem tanda-
tanda yang mengarahkan kepada kepercayaan secara
lahiriah, melainkan cara kolektif untuk menciptakan
kembali kepercayaan itu secara abadi. Dalam upacara
religius memiliki aturan-aturan moral dan hukum yang
tak dapat dipisahkan dari aturan-aturan religius.
Upacara Penguburan yang dilakukan oleh masyarakat
Hindu Kaharingan Palangka Raya merupakan religi
yang mengandung nilai-nilai aturan dan hukum religi.
Religi merupakan suatu sistem pemikiran yang
bertujuan untuk memberikan pencerahan dalam
kehidupan dan sebagai sebuah obor yang dapat
menerangi kehidupan manusia dalam menjalankan
kepercayaan dan keyakinan yang dimiliki.
Dalam mengkaji nilai-nilai religius pada
upacara Penguburan dapat dibedakan kedalam dua
jenis yaitu nilai theologi atau ketuhanan dan nilai
inisiasi atau pensucian. Nilai theologi atau ketuhanan
menyangkut segala aspek kehidupan yang bersifat
sakral . Tuhan ada dalam segala mahluk (Iswara
sarwa bhutanam), seluruh alam semesta ini diliputi
Tuhan (Isvasyam idamjagat) dari petikan sloka
tersebut menurut Rasti dkk (2004:118) bahwa seluruh
yang ada di alam semesta ini merupakan perwujudan
dari Tuhan, tidak ada mahluk dan tempat yang tidak
ada Tuhan, karena beliau meresapi disegalanya.
Menurut konsep yajna seluruh yang ada dialam
semesta diciptakan oleh Tuhan dengan yajna, maka
untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam
semesta beserta segala isinya. Demikian juga konsep
Rna bahwa manusia sebagai mahluk yang diciptakan
oleh Tuhan mempunyai hutang (Rna) kepada Tuhan
dan anak mempunyai hutang budhi/jasa terhadap
orang tua yang harus dibalas atau ditebus dengan rasa
bhakti dan yajna. Sedangkan nilai inisiasi (Penyucian)
membahas tentang nilai-nilai inisiasi yang terdapat
dalam pelaksanaan upacara Penguburan.
Pelaksanaan upacara Penguburan mengantarkan
almarhum ke lewu Pasahan Raung secara ritual baik
aspek jasmani maupun rohani bagi keluarga yang
masih hidup. Menurut Elade (dalam Pals,2001:296)
ritual inisiasi adalah melakukan segala aktivitas yang
melalui isyarat dan prosedurnya, menciptakan kembali
asal usul besar semua pembaharuan penciptaan dunia
itu sendiri.
2. Nilai Theologi
Sesuai ajaran agama Hindu bahwa Tuhan merupakan
asal mula dari segala apa yang ada (sarwam khalu
idam Brahman) termasuk manusia, menurut kitab
Sarasamuscaya sloka 4 dinyatakan bahwa “menjelma
menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama”,
keutama karena makhluk yang hidup di bumi ini
hanya manusia yang mempunyai pikiran (citta) untuk
membedakan yang benar dan salah dalam
meningkatkan jati diri. Dalam sastra Jawa biasa
disebut “sangkan paraning dumadi” artinya Tuhan
merupakan awal dan akhir dari suatu kehidupan. Tak
ada satu kehidupan yang tidak berasal dan bertujuan
kembali menyatu kepada Tuhan. Tuhan dalam
menciptakan alam semesta dengan dilandasi cinta
kasih dan yajna. Kitab Bhagawadgita III.10
menjelaskan sebagai berikut :
Sahayajnah prajah srstva puro vasa prajapatih
Anena prasavisyadhvam esa vo ’stv istakamadhuk
Pada jaman dahulu kala Prajapati menciptakan
manusia dengan yadnya dan bersabda : dengan ini
engkau akan mengembang dan akan menjadi
kamadhuk dari keinginanmu (Mantra, 1989 : 43).
Pelaksanaan yajna yang dilakukan manusia
merupakan implementasi ajaran agama yang menjadi
kewajiban setiap manusia untuk mengembangkan
hidupnya. Tidak ada satu manusiapun yang lepas dari
hukum yajna hidup di dunia ini, bahkan semua
makhluk yang terimplikasi oleh yajna.
Kemahakuasaan Tuhan atas alam semesta ini dalam
upacara Penguburan menjadi salah satu perantara
awal dalam mengantar jenazah tersebut keliang Kubur
secara ritual yang dilakukan oleh Basir (rohaniwan)
hanya sampai di bukit pasahan raung sebagai
tempatnya sementara selama tiga hari menunggu
pelaksanaan upacara Tantulak Ambun Rutas Matei
dilakukan oleh para basir dengan tujuan mengantarkan
roh almarhum dari Bukit Pasahan Raung menuju ke
Bukit Nalian Lanting disanapun dia hanya sementara
menunggu upacara Tiwah yaitu rukun kematian
tingkat terakhir.
Ajaran Kaharingan yang merupakan ajaran Hindu
lokal genius menyatakan dengan jelas dalam
Panaturan bahwa segala sesuatu yang ada di alam
semesta berawal dan berakhir dari Ranying Hatalla
Langit (Tuhan), termasuk semua unsur tubuh manusia
yang nyata maupun yang abstrak. Lebih jelas
pernyataan Panaturan Pasal 32. ayat 7 yaitu :
Awi puna tamparan taluh hindai teuras bara AKU, kalute kea ulun kalunen palus aseng ngangkanae, atun Hambaruae, palus atun Lumpuk Matae, Isei, dahae, pupus bulue tulang-uhate, kareh ie tau buli AKU, amun ie haluli manyarurui jalae tesek dumah bara AKU.
Artinya :Sesungguhnya segala yang ada itu adalah berawal dari padaKU, demikian pula manusia ada napasnya, ada rohnya, ada pula kurnia matanya, dagingnya, darahnya, kulitnya, tulang dan uratnya, nanti ia bisa kembali kepadaKU, kalau ia kembali melalui jalannya ia datng dari padaKU (Tm, 2003 : 130).
Ditinjau dari ayat tersebut di atas pelaksanaan
Upacara Penguburan dijiwai ajaran ketuhanan yaitu
bahwa manusia berasal dari Tuhan dan kembalipun
kepada Tuhan sesuai jalan yang telah diajarkan. Salah
satu ajaran yang harus diimplementsikan untuk dapat
kembali kepada Tuhan adalah berawal dari kematian
yaitu dialakukan pelaksanaan upacara Penguburan
yang telah dicontohkan di Lewu Bukit Batu Nindan
Tarung. Segala perilaku masyarakat dalam
pelaksanaan upacara Penguburan syarat yang mutlak
dilakukan oleh masyarakat Hindu Kaharingan adalah
melalui Talatah yang telah diajarkan oleh Ranying
Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa) dengan
beberapa tindakan yang dilakukan dengan kesadaran
bahwa hidup ini ada yang menghidupi yaitu Ranying
Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa) yang maha
tinggi, tindakan itu ialah dengan melaksanakan Tata
Cara dalam upacara Penguburan yang sesuai dengan
talatah yang ada.
Dengan melakukan Doa yang dipanjatkan baik
tujuannya untuk almarhum maupun kepada keluarga
yang ditinggalkan adalah merupakan suatu tindakan
wajib dilakukan para rohaniwan dalam memuja
kebesaran Tuhan merupakan aktulisasi dari
pemahaman nilai-nilai ketuhanan yang perlu
dikembangkan dilestarikan demi meningkatkan jati
diri menuju cita-cita luhur yaitu jagadhita dan moksa.
Doa atau dengan manarijet behas yang dilakukan pada
saat upacara penguburan adalah menjadi salah satu
kehormatan bagi yang melaksanakan dan juga sebagai
simbol konsentrasi dan penyerahan diri kepada Tuhan
dalam keadaan suka maupun duka. Tuhan adalah spirit
bagi seluruh alam dan kehidupan, jika kita
menyadarinya sebagai spirit kehidupan manusia dalam
suka dan duka kita akan tetap menyerahkan diri dan
senantiasa menjaga kesadaran.
Sarana yang dipakai dalam upacara
Penguburan adalah syarat dengan simbol yang harus
diinterpretasikan untuk mendapatkan apa yang
diharapkan yang sesuai dengan tujuan. Sarana itu
merupakan simbol dari bhakti dengan manifistasikan
perasaan hatinya dalam sebuah beliau tak berbentuk
namun bercahaya suci murni, kekal abadi tak ada yang
lebih mulia dan agung dariNya. Dalam kitab
Bhagawadgita III.10 Tuhan menciptakan manusia
berdasarkan kasih terhadap kehidupan agar
berkembang biak, dengan yajna pada diriNya sendiri,
Tuhan menciptakan manusia, senada dengan kitab
Panaturan pasal 1 ayat 6 menyatakan :
Ranying Hatalla Langit menciptakan alam semesta juga karena kasih melihat sunyi senyap disekelilingNya, Ranying Hatalla Langit menciptakan alam dengan bayanganNya sendiri yang disebut Jatha Balawang Bulau, Kanaruhan Bapager Hintan (Zat Yang Maha Mulia).
Sesuai dengan konsep Rna manusia sebagai
makhluk berpikir dan religius, mempunyai kewajiban
dan tanggung jawab untuk menebus hutang dengan
memuja dan berbhakti kepada Yang Maha Tinggi dan
Maha Besar (Tuhan) untuk keselamatan hidupnya dari
akibat alam karena ketidak-berdayaan.
Menyimak keterangan tersebut di atas bahwa alam
semesta beserta isinya diciptakan oleh Tuhan dengan
kemahakuasaan membagi diri ke dalam ciptaannya.
Kata lain, alam semesta beserta segala unsurnya
berasal dari Tuhan Yang Maha Tunggal sumber dari
kehidupan. Umat Hindu Kaharingan sadar bahwa
hidup ini berasal dari Ranying Hatalla Langit, karena
alam berasal dari Ranying Hatalla Langit untuk dapat
menyatu kepadaNya manusia bersahabat dan bersatu
kepada alam dengan melakukan upacara Penguburan
yang sarana upacara dipersiapkan sesuai dengan
petunjuk para basir yang melaksanakan upacara
tersebut, karena dalam upacara Penguburan tidak
boleh sembarangan harus sesaui dengan petunjuk.
Jalan kembali ke alam Tuhan telah dicontohkan dalam
upacara Tiwah Bukit Batu Nindan Tarung, ajaran ini
menjadi kewajiban bagi semua orang untuk bisa
kembali ke Lewu Tatau, jika tidak menjadi beban dan
tanggung jawab saudara dan anak keturunannya.
Orang tua atau leluhur merupakan perwujudan Tuhan
yang nyata sebagai instrumen kelahiran dan
pemeliharaan anaknya, memuja dan menghormati
orang tua atau leluhur adalah implementasu sraddha
dan bhakti kepada Tuhan. Upacara Penguburan
sebagai bhakti kepada leluhur adalah pemujaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Leluhur akan menyatu
bersama Ranying Hatalla Langit di Lewu Tatau dunia
yang penuh kedamaian, kemuliaan dari kejayaan
mungkin dalam weda disebut Zat Zit Ananda
Brahman.
Analisis nilai religius dalam upacara
Penguburan adalah sebagai implementasi kewajiban
suci melaksanakan yajna untuk memuja Tuhan dan
leluhur dalam menebus hutang (Rna). Hakikat
manusia sebagai makhluk yang mempunyai pikiran
(citta) dan sebagai hamba Tuhan senantiasa berbhakti
kepada Tuhan dengan mencintai dan menghormati
segala ciptaanNya termasuk orang tua. Manusia pada
hakikatnya tidak bisa luput dari ruang waktu, kerja,
alam sekitarnya dan kehidupan yang satu dengan yang
lain saling keterkaitan membentuk sistem kehidupan.
Hubungan yang selaras dan harmonis vertikal-
horisontal, antara manusia dengan Tuhan, manusia
dengan manusia dan alam, dalam upacara
Penguburan disimbolkan dengan penyatuan
penyalumpuk liau Haring Kaharingan dengan
kemahakuasaan Ranying Hatalla, maka akan roh
tersebut akan hidup di alam kebadian, kesempurna dan
kesucian.
3. Nilai Kesucian
Menurut ajaran Hindu, hakikat hidup
manusia lahir ke dunia sebagai pensucian diri atas
dosa (karma wasana) masa lalu yang belum habis
dinikmati dalam kehidupan yang lampau dan untuk
mencapai empat tujuan hidup yaitu dharma, artha,
kama, dan moksa seperti tersirat dalam sloka “dharma
artha kama moksanam sariram sadanam”. Hidup di
dunia memungkinkan manusia untuk bertindak
kebenaran mencapai tujuan hidupnya. Analisa Herts
dalam upacara kematian sebuah penyucian dari badan
yang telah mati karena ditinggal pergi oleh atma (roh),
badan halusnya yang berasal dari perasaan, citta,
panca tanmatra dan panca indra yang masih
mempunyai kesan kehidupan serta pensucian roh
(atma) yang terbelunggu karma wasana.
Kehidupan sosial makhluk halus dalam
kepercayaan Kaharingan disebut Lewu Tatau yaitu
sebuah tempat keabadian, kesempurnaan dan kesucian
yang penuh kedamaian, kebahagiaan dan kemuliaan
tak kurang apapun. Manusia akan hidup kembali ke
alam Lewu Tatau dengan diselenggarakan upacara
kematian yang disebut upacara Penguburan. Ini
sebuah sakralisasi atau inisiasi untuk mensucikan
unsur badan yaitu liau Balawang panjang dengan liau
karahang tulang, dengan disucikan kedua unsur badan
ini akan kembali menyatu dan hidup kembali ke alam
Ranying Hatalla (Tuhan Yang maha Esa), akan tetapi
untuk sementara itu belum bisa hal itu terjadi karena
belum dilakukan upacara Tiwah sebagai upacara
penyucian.
Menurut Uwak D.Lenjun (wawancara, 21-
07-2009) kematian adalah merupakan proses lahir
kembali di alam Tuhan setelah disucikan. Hidup
kembali di alam Lewu Tatau dengan berbagai
kesempurnaan, kesucian dan keabadian menyatu
dengan kuasa Tuhan Ranying Hatalla Langit.
Namun sekarang setelah diteliti lebih mendalam
bahwa upacara penguburan adalah upacara awal dari
kematian. Dari penelitiannya di berbagai suku bangsa
di Indonesia Hertz menyimpulkan upacara kematian
itu terdiri dari tiga tingkat yaitu : Sepulture provisoire,
perioe intermediaie, ceremonie finale. Sesuai
kesimpulan Hertz dalam upacara kematian masyarakat
Hindu Kaharingan penyucian dilaksanakan dalam
tahap itu yaitu upacara penguburan jenazah (liau)
(sepulture provisoire), upacara mamapas pali/rutas
dan upacara Tiwah (Periode Intermediaire). Upacara
penguburan jenazah atau liau diupacari untuk
disemayamkan di kuburan yang dijaga oleh Raja Entai
Nyahu Kameluh Tantan Dandayu. Keyakinan
Kaharingan dalam dunia abstrak kuburan adalah
sebuah tempat perseistrahatan yang sementara. (Hudi,
wawancara:12-07-2009). Pada hari ketiga setelah
penguburan dilakukan tahap penyucian awal adalah
upacara Mapas Pali/Rutas dari keluarga tarantang
nule atau keluarga yang ditinggalkan oleh almarhum.
Dan juga upacara tersebut mempunyai tujuan untuk
menghantarkan atau menunjukkan jalan roh (liau
haring Kaharingan) ke lewu Bukit Nalian Lanting
sebagai tempat sementara menunggu upacara
penyucian tingkat terakhir yaitu upacara Tiwah.
Upacara yang terakhir adalah upacara Tiwah yang
ditunggu-tunggu oleh semua orang untuk
menyempurnakan leluhurnya dan menyucikan
keluarga yang masih hidup (ceremonie finale).
C. Jenis pelaksanaan upacara Penguburan.
Di kalangan Umat Hindu Kaharingan ada
empat cara Mengubur ( Penguburan ) Yaitu :
1) Diubur yaitu dikubur jenazah dengan cara ditanam
kedalam tanah. Cara ini merupakan cara yang paling
banyak digunakan oleh umat Hindu Kaharingan.
2) Dibakar yaitu menguburkan jenazah dengan cara
dibakar. Dimana setelah jenazah dibakar lalu abunya
diambil sebagian disimpan ditempat khusus
sementara menunggu proses upacara selanjutnya
yaitu upacara Tiwah.
3) Digantung yaitu mengubur jenazah dengan cara
digantung pada sebuah batang pohon atau tiang
khusus.
4) Pambak yaitu mengubur jenazah dengan cara
disemanyamkan ditempat khusus yang disebut
Pambak.
D. Tahapan Pelaksanaan Dalam Kematian Masyarakat
Hindu Kaharingan
1 Perawatan jenazah
Sebelum dikubur jenazah dirawat sebagaimana
orang yang masih hidup.
Adapun langka-langkah perawatannya adalah
sebagai berikut :
1) Memandikan jenazah
Yang disediakan pada saat memandikan
jenazah itu,
a. Air dalam ember
b. Sabun mandi
c. Pakaian yang akan digunakan oleh jenazah
d. Sisir,cermin,minyak,bedak
e. Piring tempat menampung rambut.
Adapun yang pertama kita lakukan yaitu
mengambil air menggunakan telapak tangan
disertai dengan mengucapkan mantra: “ Tuh
anu …... aku mempandui ikau hapa danum ije
barasih danum Pantis Rangkan atau Bulau
Rangkan Hintan mangat ikau tuh habalitan
Bulau Hintan buli nyembang Ranying Hatalla
Langit buli lewu Tatau ije dia Rumpang
Tulang Rundung Raja Isen Kamalesu Uhat
Manyak Pelek Uluh Tingang Tatu Atang
Hiang. ”
Setelah itu air tadi diusap kejenazah,
karena yang pertama tercipta dari manusia yaitu
mata. Kemudian diikuti dengan menyirami
seluruh anggota badan jenazah sampai merata
dengan menggosokan sabun disekujur tubuh
jenazah dengan berulang-ulang sampai benar-
benar bersih.
2) Mendandani jenazah
Setelah acara memandikan jenazah selesai
selanjutnya jenazah dikenkan pakaian yang
telah dipersiapkan dan didandani dengan pupur
dibagian wajah, cermin, menyisir rambut serta
diolesi minyak, ini dilakukan seperti seorang
yang akan berpergian jauh.
Kemudian jenazah yang telah selesai didandani,
ditempatkan diatas bale-bale diberi galangan
dengan menggunakan dua buah gong pada
bagian ujung masing-masing.
Posisi pada saat menempatkan jenazah
diatas bale harus memperhatikan orang yang
meninggal tersebut apakah laki-laki atau
perempuan. Bila yang meninggal adalah laki-
laki maka posisi kepalanya berada di barat
mengingat asal kejadian laki-laki yang pertama
berasal dari arah laut manggantung. Sedangkan
bila perempuan maka posisi kepala berada di
timur, mengingat wanita berasal dari Hulu
Batang Danum. Kemudian tangan jenazah tegak
lurus berada disamping badan. Pada tangan
sebelah kanan diberi telor ayam sebanyak satu
butir dan sejumlah uang yang digenggam pada
tangannya. Pada kedua matanya ditutup dengan
uang logam serta dibagian mulut diberi Lamiang
kemudian diatas dada jenazah ditaburi beras
yang sudah diberikan warna merah dan kuning,
sirih,pinang dan rokok kecil warna putih dengan
posisi telungkup.
Foto : Basir (rohaniwan) sedang mendandani dan melakukan manunding mayat Jenazah.
Telunjuk kaki jenazah kedua-duanya diikat,
setelah menyisir rambut, dan piring tempat
penampungan disimpan diatas kepala tempat
menampung ujung rambut jenazah. Setelah itu
ada sangku yang diisi Beras tempat mendirikan
Patung Palawi. Diteruskan dengan pemukulan
Gong (Nitih ) dengan jumlah pukulan tertentu.
Apabila yang meninggal laki-laki maka jumlah
pukulannya sebanyak tujuh kali, dan apabila
perempuan maka Gong dipukul sebanyak lima
kali.
Diatas jenazah dibuat langkau dari kain, langkau
itu tepat berada diatas tempat jenazah.
Jenazah ditunggu oleh kelurga yang
meninggal secara bergantian jangan sampai
ditinggal dan jangan sampai dilangkahi oleh
kucing, anjing karena sangat besar
pantangannya.
3). Membuat Peti Jenazah
Sebelum membuat peti jenazah, maka terlebih
dahulu jenazah diukur dengan menggunakan
rotan, yang diikuti dengan pemukulan Gong
sebanyak tujuh kali bila yang meninggal
perempuan pemukulan Gongnya sebanyak lima
kali. Ketika mau berangkat berangkat harus
dilengkapi dengan alat-alat seperti : Beliung,
Parang, Gergaji, Piring, Sendok, Panci,
Mangkok, Gelas dan Beras.
Sebelum menebang kayu untuk
pembuatan peti maka telebih dahulu diadakan
pemotongan ayam dan darahnya diambil untuk
dicampurkan dengan beras selanjutnya untuk
menaburkan pada batang kayu yang akan
ditebang dengan maksud agar batang kayu
tersebut dengan mulus tidak ada yang rusak,
menjauhkan roh-roh jahat / roh orang yang
meninggal tidak mengganggu orang-orang yang
mengerjakan peti jenazah tersebut. Sebelum peti
itu bawa masuk kedalam rumah harus
dibunyikan gong sesuai dengan jenis kelamin
orang yang meninggal. Bila laki-laki sebanyak
tujuh kali kalau perempuan sebanyak lima kali.
2 Proses Manyaluh Raung ( Peti Jenazah )
Setelah raung ( peti jenazah ) sudah siap
maka tinggal satu hari lagi untuk tinggal raung
( peti jenazahnya ) setelah tinggal satu hari baru
dimasukan jenazah kedalam raung ( peti jenazah )
waktu memasukan kedalam petinya terdiri tiga
sarat yaitu:
1. Serbuk Nyating ( Serbuk Damar )
2. Tamiang ( Tamiang Yang Sejenis Bambu )
3. Baliung ( Balayung )
Foto 1: Basir (Rohaniwan) sedang melakukan
manyaluh raung/Peti
Manyaluh Raung adalah mensucikan Raung secara
sipiritual,yaitu yang dilakukan oleh seorang Basir /
orang yang tua dan menghidupkan Tamiang
Sejenis Bambu yang telah berisikan serbuk,
nyating (Damar) lalu diayunkan mengelilingi
Raung ( Peti jenazah ) sesuai dengan jenis kalamin
orang yang meninggal dunia ( Bila Laki-Laki
Sebanyak Tujuh Kali Putaran dan Perempuan
Sebanyak Lima Kali Putaran ) kemudian
memukul-mukulkan Raung dengan mata Beliung
seraya mengucapkan mantra.
4. Memasukan Jenazah Ke dalam Raung/Peti Jenazah.
Memasukan jenazah kedalam raung ( Peti
jenazah ) diiringi dengan taburan beras merah dan
kuning dicampurkan dengan Giling Pinang Rukun
Tarahan di iringi dengan pemukulan Gong.
Foto 2 : Posisi Jenazah berada dalam Peti Mati/Raung
E. Berangkat Menggali Kubur
Yang perlu disiapkan terlebih dahulu sebelum
menggali kuburan terbagi dalam dua syarat yang perlu
disediakan yaitu:
1) Beras berwarna merah,kuning yang dicampurkan
dengan giling pinang dan rokok.
2) Beras dicampur dengan darah mentah
Setelah sampai dikuburan, sebelum menggali
kuburan, yang pertama kali dilakukan yaitu menabur
Beras Merah Kuning yang dicampur Giling pinang dan
Rokok tujuannya memberitahukan kepada Raja Entai
Nyahu dengan Kameluh Tantan Dandayu tinggal di
Tahanjungan Bukit Pasahan Raung Kereng Dararian
Sapendan lunuk Tarung.
Lalu setelah itu menaburberas dicampur dengan
darah mentah yang tujuannya untuk Kamben Kambe
Ngarungkung Sale, Kamben Lemba Nalawung Jela,
Siak Sakung Malik Malem, Sirat Pasat Ngarungkung
Tabuni, akan kare ganan bahutai diar ( Untuk Para
Bhuta Kala ) agar mereka semua menerima Beras
campur Darah Mentah, agar mereka tidak mengganggu
semua kegiatan Ritual Upacara agar pekerjaan semua
berjalan dengan lancar.
F. Pelaksanaan Upacara Penguburan
Pada saat pemakaman dilaksanakan melalui dua tahap
yaitu:
1. Mampalua Raung Bara Huma (Mengeluarkan peti
jenazah dari rumah duka ) Sebelum peti jenazah
dibawa keluar rumah duka terlebih dahulu disiapkan
sarana sebagai berikut:
1). Danum karak yaitu air yang dicampur dengan
kerak nasi
2). Tampung papas ( Sarana mamapas yang terdiri
dari daun andung / sawang gagar dan daun
kayu tungkun )
3). Darah hewan korban
4). Beras tawur ( Beras yang berwarna merah dan
kuning )
5). Giling pinang rukun tarahan
6). Bua baluh ( kendi berisi air )
7). Sumbu ( lampu tembok )
Setelah semua sarana telah siap maka peti
jenazah dibawa kepintu rumah dengan posisi, laki-
laki kepala kearah luar tetapi kalau perempuan posisi
kepalanya kedalam rumah. Kemudian dilanjutkan
dengan mamapas raung (mensucikan peti jenazah)
dengan sarana dengan danum yayah dan tampung
papas yang disertai dengan mantra kemudian peti
jenazah diayun-ayunkan kelur masuk ditengah-
tengah pintu atau lawang rumah, bila sudah keluar
peti manyat tersebut kendi air langsung dipecahkan
dimuka pintu rumah supaya sial kita itu habis
dibawanya, apabila laki-laki diayunkan sebanyak
tujuh kali, Bila perempuan diayunkan sebanyak lima
kali diiringi bunyi panyung (Bunyi Gong) peti
jenazah langsung dibawa keluar pintu rumah
langsung menuju tempat peristaratan yang terahir
(Tempat pemakaman).
2. Peti jenazah berada dipemakaman
1). Menyerahkan jenazah kepada Raja Entai Nyahu
( dewa penunggu kuburan )
2). Peti jenazah diletekan diatas liang kubur dan
ditopang galangan kayu supaya almarhum
diserahkan kepada Raja Entai Nyahu (Dewa
penunggu kuburan )
3). Acara penyerahan jenazah kepada Raja Entai
Nyahu (Dewa penunggu kuburan) dipimpin oleh
seorang basir (rohaniwan) dilaksanakan dengan cara
manawur (Manabur Beras Tabur ) yang telah
disiapkan, bertujuan agar almarhum diterima disisi
Ranying Hatalla Langit ( Tuhan ).
Foto 3 : Posisi Peti Jenasah sedang berada di
Pemakaman
G. Acara Pemakaman
1). Setelah acara menyerahkan jenazah kepada Raja
Entai Nyahu ( Dewa Penunggu Kuburan ) langsung
dilaksanakan pemakaman.
2). Dalam acara pemakaman peti jenazah dimasukan
keliang kubur ditutup dengan tanah dan langsung
ditancapkan ( mendirikan ) batu nisan dilanjutkan
dengan mambelep sumbu ( Matikan Lampu )
sebanyak tiga kali berturut-turut dengan diiringi
mantra.
Foto 4 : Rohaniwan sedang melaksanakan Upacara Penguburan yaitu Narinjet Behas
Foto 5 : Masyarakat sedang melakukan acara pemakaman/Penguburan
Foto 6 : Keluarga Duka sedang memberikan sambutannya pada acara Penguburan sekaligus mengucapkan selamat jalan kepada almarhum