upaya pemerintah dalam menanggulangi pkl
TRANSCRIPT
1
1. Latar Belakang Masalah
Pedagang kaki lima di Indonesia merupakan hal yang wajar terjadi, ini
disebabkan karena minimnya lapangan pekerjaan yang ada, sehingga orang-orang
bekerja dengan berjualan di pinggiran jalan. Tetapi, karena ulah mereka berjualan di
pinggiran jalan dapat menyebabkan terjadinya kemacetan yang meresahkan juga bagi
pengguna kendaraan. Dalam hal ini pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang
dimana pedagang kaki lima tersebut dapat direlokasi ke tempat yang layak agar
terciptanya situasi yang aman dan nyaman.
Penanganan masalah pedagang kaki lima atau yang selanjutnya disingkat PKL
menjadi hal yang meresahkan saat ini, terutama bagi pemerintah daerah, baik
pemerintah kota maupun pemerintah kabupaten. Penanganan yang sebaiknya
dilakukan dengan penanganan yang akan berdampak positif kepada banyak pihak,
yaitu pemerintah, PKL itu sendiri dan masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa profesi PKL menjadi suatu mata pencaharian di
kala seseorang tidak punya pekerjaan atau tidak dapat ditampung dalam sektor formal.
Dengan demikian pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus
segera membuat strategi pengembangan PKL sebagai bagian dari pengembangan
sektor informal dalam rangka penanggulangan kemiskinan di perkotaan.
Beberapa strategi yang dikembangkan adalah penataan PKL sehingga kawasan
kota tetap cantik dalam bentuk pemberdayaan seperti : pemberian izin usaha,
pemberian modal, pemberian bantuan sarana dan prasana, serta pemberian pelatihan.
Terdapat beberapa pendekatan yang digunakan oleh pemerintah Kota
Padangsidimpuan, yaitu : pertama, pendekatan humanistik yang dijalankan oleh Kota
Padangsidimpuan yang memberdayakan PKL menjadi salah satu daya tarik kota dan
sumber pendapatan. Pendekatan kedua, pendekatan relokasi yang dimana
memberdayakan PKL ke tempat yang layak. sebagai lokasi PKL.
Pedagang Kaki adalah istilah untuk menyebut menawarkan dagangan yang
menggunakan gerobak. Saat ini istilah pedagang kaki lima juga digunakan untuk
sekumpulan pedagang yang menjual barang dagangannya di tepi-tepi jalan umum,
trotoar, yang jauh dari kesan rapi dan bersih. Pengertian dari Pedagang kaki lima itu
sendiri adalah orang dengan modal yang relatif kecil berusaha di bidang produksi dan
2
penjualan barang-barang untuk memenuhi kebutuhan, dan dilakukan di tempat-tempat
yang dianggap strategis.
Pada umumnya mayoritas pedagang kaki lima hanya terdiri dari satu tenaga
kerja. Keberadaan pedagang kaki lima merupakan salah satu bentuk usaha sektor
informal, sebagai alternatif lapangan pekerjaan bagi kaum urban. Lapangan pekerjaan
yang semakin sempit ikut mendukung semakin banyaknya masyarakat yang
bermatapencaharian sebagai pedagang kaki lima.
Dilihat dari berbagai profilnya PKL sebagai bagian ekonomi sektor informal
layak untuk dikembangkan sebagai suatu alternatif penanggulangan kemiskinan
dengan berbagai cara pengembangan dan pemberdayaanya di perkotaan, tanpa
melupakan pengembangan perekonomian di sektor lainnya baik di perkotaan dan di
pedesaan.
Menyikapi keberadaan PKL yang semakin hari terasa semakin memerlukan
perhatian dan penanganan yang bijaksana. Bagaimanapun juga, menata apalagi
meniadakan PKL, akan menimbulkan kekacauan yang beragam, karena masalah PKL
menyangkut banyak pihak yang berkepentingan. Keterbatasan sumber-sumber
keuangan memaksa kita harus menentukan prioritas. Prioritas pertama hendaknya
diberikan kepada kawasan-kawasan PKL yang secara langsung telah mengganggu arus
lalu lintas. Penanganan kawasan lainnya perlu disesuaikan dengan kondisi kawasan-
nya, apakah cukup pembinaan, penataan atau sudah diperlukan penertiban.
Permasalahan PKL sebagai sebuah wacana yang dapat dijadikan bahan diskusi
dengan melibatkan berbagai unsur yang terkait seperti, akademisi, lembaga swadaya
masyarakat, tokoh masyarakat, unsur pemerintah dan tidak ketinggalan para PKL nya
itu sendiri. Berbagai persoalan yang ada di kota Padangsidimpuan, misalnya
kemacetan, kebersihan, ketertiban dan keamanan, pengguran dan masih banyak lagi.
Sebenarnya masalah-masalah tersebut mamiliki hubungan dengan penataan pedagang
kaki lima. Misalnya, penjual buah atau makanan di pinggir-pinggir jalan,memang
mereka tidak terlalu berdampak pada kemacetan namum para pembeli yang parkir
kendaraannya di bibir jalan penyebabnya dan ini hampir kita lihat di sepanjang jalan di
Padangsidimpuan. Kemudian masalah kebersihan walaupun hanya berdampak sedikit
namun tidak bisa dipungkiri salah satu penyababnya adalah dari sampah, dan
pedagang kaki lima merupakan penyumbang sampah terbesar.sebaliknya pedagang
3
kaki lima ini memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap pendapatan asli
daerah (PAD) yang dipungur melalui retribusi.
Sedangkan bentuk sarana perdagangan yang digunakan pedagang kaki lima
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Gerobak/kereta dorong, yang biasanya digunakan oleh pedagang yang
berjualan makanan, minuman, atau rokok.
b. Pikulan/keranjang, bentuk saranan ini digunakan oleh pedagang keliling atau
semi permanen. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah dibawa
atau berpindah tempat.
c. Warung semi permanen, yaitu berupa gerobak/kereta dorong yang diatur
sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan meja dan kursi.
d. Kios, bentuk sarana ini menggunakan papan-papan yang diatur sedemikian
rupa sehingga menjadi sebuah bilik, yan mana pedagang tersebut juga tinggal
di dalamnya.
e. Gelaran/alas, pedagang menggunakan alas tikar, kain atau sejenisnya untuk
menjajakan dagangannya.1
Dari semua dampak negatif yang ditimbulkan karena keberadaannya yang tidak
pada tempat semestinya, kenyataannya sebagian besar masyarakat lebih memilih untuk
membeli barang atau makanan pada pedagang kaki lima. Hal ini disebabkan karena
mereka menjual barang dagangan dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan
dengan di toko. Semakin hari, bukannya semakin berkurang malah semakin bertambah
banyak. Hal ini karena modal dan biaya yang dibutuhkan kecil, sehingga banyak
pedagang bermodal kecil atau kalangan ekonomi lemah yang akan mendirikan
usahanya, kemudian memulai usahanya dengan menjadi pedagang kaki lima. Dampak
negatifnya adalah sangat sulit untuk melakukan penataan sampai benar-benar rapi.
Tidak hanya sekali dilakukan penataan, namun tetap saja pedagang-pedagang tersebut
tidak berkurang jumlahnya, tetapi semakin menjamur.
Seperti tahapan penataan di atas, sebelum melakukan penggusuran, terlebih
dulu petugas melakukan sosialisasi kepada para pedagang kaki lima. Petugas memberi
penjelasan mengenai peraturan yang mengatur keberadaan pedagang kaki lima, 1 Kartono kartini dkk, 2003.pedagang kaki lima, Universitas Pharayangan, Bandung. Hal.54
4
bagaimana dan dimana seharusnya mereka berjualan agar tidak melanggar aturan.
Serta tindakan apa yang akan pemerintah daerah setempat lakukan kepada pedagang
kaki lima bila menemukan adanaya pelanggaran aturan. Sehingga diharapkan para
pedagang kaki lima dapat mengerti dengan jelas dan mematuhi aturan tersebut yang
telah ditetapkan. Namun kenyataannya meskipun telah dilakukan sosialisasi, mereka
tetap pada pendiriannya untuk berjualan di tempat yang bukan semestinya.
Dilihat dari pemaparan latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini,
penulis mengambil judul Upaya Pemerintah Dalam Menanggulangi Pedagang
Kaki Lima Di Kota Padangsidimpuan.
2.Batasan Masalah
Karena keterbatasan penulis, baik dari segi waktu, materi, pikiran, maka penulis
membatasi penelitian ini hanya di Dinas Koperasi, UKM, Perindag dan Pasar Kota
Padangsidimpuan.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan sebelumnya maka
sebagai permasalahan dalam penelitian ini difokuskan pada permasalahan utama
terkait implementasi kebijakan penataan pedagang kaki lima di kota Padangsidimpuan,
yakni:
1. Upaya-upaya apakah yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi
pedagang kaki lima yang ada di Kota Padangsidimpuan ?
2. Apa kendala pemerintah dalam penataan pedagang kaki lima di Kota
Padangsidimpuan ?
4. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahuin upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam penataan
pedagang kaki lima yang ada di Kota Padangsidimpuan.
2. Untuk mengetahui Apa kendala pemerintah dalam penataan pedagang kaki lima di
Kota Padangsidimpuan
5
5. Manfaat Penelitian
1. Bagi akademisi memberi sumbangan pemikiran intelektual ke arah pengembangan
ilmu pengetahuan sosial, khususnya dalam bidang kajian pemerintahan.
2. Sebagai bahan informasi atau referensi bagi peneliti selanjutnya yang mempunyai
kesamaan minat terhadap kajian ini.
3. Bagi pemerintah menjadi bahan masukan bagi pemerintah dalam menetapkan
kebijaksanaan yang menyangkut masalah pedagang kaki lima.
4. Bagi masyarakat memberikan wawasan dan masukan kepada masyarakat khususnya
pedagang kaki lima dalam mengatasi masalah pedagang kaki lima.
6
6. Kerangka Teori
6.1 Konsep Pemerintah
Pada hakikatnya, pemerintah dibentuk bertujuan untuk menjaga
ketertiban dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah diadakan
bukanlah untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakatnya.
Pemerintah memiliki dua fungsi dasar, yaitu fungsi primer atau fungsi pelayanan,
dan fungsi sekunder atau fungsi pemberdayaan. Fungsi primer yaitu fungsi
pemerintah sebagai penyedia jasa-jasa publik yang tidak diprivatisasikan termasuk
jasa Pertahanan Keamanan, layanan sipil dan layanan birokrasi (Ndraha, 2003:75-
76). Fungsi sekunder yaitu sebagai penyedia kebutuhan dan tuntutan yang
diperintahakan barang dan jasa yang mereka tidak mampu penuhi sendiri karena
masih lemah dan tidak berdaya, termasuk penyediaan dan pembangunan sarana dan
prasarana.
Searah ungkapan Rasyid (1997:48), pemerintah mempunyai tiga fungsi hakiki
yaitu: Pelayanan, pemberdayaan dan pembangunan. Pelayanan akan membuahkan
keadilan dalam masyarakat, pemberdayaan akan mendorong kemandirian
masyarakat dan pembangunan akan menciptakan kemakmuran dalam masyarakat.
Pendapat ini memberikan kesan bahwa peran pemerintah tersebut hanya cocok
diterapkan pada masyarakat di Negara berkembang yang tingkat pemberdayaan
masyarakatnya masih rendah sehingga ketergantungannya kepada pemerintah masih
tinggi. Seiring dengan hasil fungsi-fungsi pembangunan dan pemberdayaan yang
dilaksanakan pemerintah, serta keterbatasan yang dimiliki pemerintah, secara
perlahan masyarakat dituntut untuk secara mandiri mencukupi kebutuhannya.
Dengan demikian, fungsi pembangunan dan pemberdayaan itu bersifat sementara.
Paradigma baru pemerintahan sebagaimana yang dikemukakan oleh Osborne
dan P.Plastrik (2009:45) bahwa pemerintah yang dulunya berperan langsung
sebagai penyedia pemberdayaan publik dan terlibat dalam kegiatan yang bersifat
teknis operasional untuk pemenuhan kebutuhan publik, akan bergeser perannya
pada fungsi mengarahkan. Fungsi ini mengharuskan pemerintah untuk dapat lebih
7
memberdayakan masyarakat dengan mendorong tumbuhnya partisipasi dalam
penyediaan pelayanan publik.
Searah dengan peranan pemerintah yang telah dipaparkan tersebut,
sehubungan dengan fenomena sosial Pedagang Kaki Lima yang terjadi di Kota
Padangsidimpuan, dapat ditemukan secara meluas, baik dalam lingkungan
masyarakat miskin dan marginal. Pedagang Kaki Lima yang pada dasarnya
pemerintah yang mengarahkan kondisi yang telah dikemukakan itu, tentunya
dengan latar belakang pengalaman dan kondisi yang relative berbeda akan
mempengaruhi aktivitas pedagang kaki lima (PKL). Jika pelaksanaan ini berproses
dalam tatanan aparat pemerintah di Kota Padangsidimpuan dengan prinsip loyalitas
yang dipahami secara keliru oleh aparat pemerintah yang telah mengarahkan
pedagang kaki lima turut pula memberikan implikasi mengakibatkan rendahnya
kemampuan melakukan tindakan diskres.
Selanjutnya peran pemerintah terhadap aktivitas Pedagang Kaki Lima (PKL)
menjadi amatan lokasi penelitian ini. Searah ungkapan hasil temuan penelitian
Suriyanto, (2009:16) program Pedagang Kaki Lima (PKL) Kota Padangsidimpuan
belum sepenuhnya menunjukkan gambaran keberhasilan dalam upaya aktivitas
PKL. Adapun sejumlah gejala yang menunjukkan masih terdapat masalah dalam
pelaksanaan kegiatan adalah pertama, masih banyak penduduk di Kota
Padangsidimpuan hidupnya miskin dan marginal. Kedua, infrastruktur seperti jalan
sering terjadi kemacetan, keindahan kota, keamanan, kesehatan dan kebersihan di
nikmati masyarakat. Ketiga, masih rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia.
Ingraham dan Romzek (2004:47) menggambarkan adanya realitas perubahan
dikalangan masyarakat yang semakin dinamik dan karenanya semakin tidak
mungkin direspon dengan gagasan atau saran dari pemerintahan yang moniolitis
sebagai upaya reformasi pelayanan publik melalui aktivitas PKL.
Paters (2003:23) mengatakan bahwa pemahaman masa lalu tentang
pemerintah dengan segala label peran pelayanan publik yang disandang saat ini
benar-benar sedang berubah dan sangat dipertanyakan. Sebagian besar peran
pelayanan publik yang selama ini dimainkan oleh organisasi pemerintah daerah
8
akan segera digantikan oleh model organisasi yang participatory, community-based,
dan learning-based. Alasan keterbatasan dan kendala ini semakin mendorong
pemerintah untuk me-reinvent perannya dengan tidak memaksakan public sector
dominance dalam penyediaan dan pengelolaan pelayanan publik, dan menyerahkan
bagian-bagian tertentu kepada pihak swasta dan LSM.
6.2. Pengertian Kebijakan Publik
Menurut Anderson dalam Tachjan (2006:19) menerangkan bahwa kebijakan
publik merupakan serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud atau tujuan
tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok aktor
yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperhatikan.
Menurut Nugroho (2003:52) menjelaskan bahwa kebijakan publik
berdasarkan usaha-usaha pencapaian tujuan nasional suatu bangsa dapat dipahami
sebagai aktivitas-aktivitas yang dikerjakan untuk mencapai tujuan nasional dan
keterukurannya dapat disederhanakan dengan mengetahui sejauhmana kemajuan
pencapaian cita-cita telah ditempuh.
6.3 Implementasi Kebijakan
Menurut Meter dan Horn dalam Winarno (2005:102) mendefinisikan
implementasi kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya.Tindakan-tindakan ini
mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-
tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka
melanjutkan usah-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang
ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan.
6.4 Pedagang Kaki Lima
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 41 Tahun 2012 tentang Pedoman
Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima menyebutkan pedagang kaki
9
lima adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan
menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan
prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik
pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap. Menurut
Kartono dalam Kurniadi, (2004:31-35) Pedagang Kaki Lima merupakan pedagang
yang kadang-kadang juga sebagai produsen sekaligus (misalnya pedagang makanan
dan minuman yang dimaksud sendiri).
Menurut Kurniadi (2004:19) bahwa peranan sektor informal sangat
membantu pemerintah dalam usaha menciptakan lapangan pekerjaan, terutama bagi
mereka yang berpendidikan rendah, sehingga dapat mengurangi pengangguran dan
menambah kesejahteraan rumah tangga. Untuk dapat dikatakan sebagai salah satu
usaha yang termasuk dalam usaha sektor informal, usaha tersebut harus memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
1. Kegiatan usahanya tidak terorganisir secara baik karena unit usaha informal
tidak mempergunakan fasilitas seperti yang tersedia bagi sector formal.
2. Pola usahanya tidak teratur, baik lokasi maupun jam kerja serta pada umumnya
tidak memiliki ijin usaha.
3. Tidak terkena langsung kebijaksanaan pemerintah untuk membantu ekonomi
lemah.
4. Mereka bermodal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak
resmi.
5. Sebagian besar hasil produksi atau jasa dapat dinikmati masyarakat
berpenghasilan randah serta sebagian kecil masyarakat golongan menengah.
6.5 Penanganan PKL
Pendekatan yang digunakan untuk penangangan PKL pada penulisan ini
mengacu pada aspek fisik dan non fisik. Integrasi pendekatan ini dinamakan
pendekatan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengabaikan kebutuhan generasi yang akan datang.
10
6.5.1 Ketegasan dan Konsisten Pemerintah Daerah
Di ruas jalan yang jelas-jelas disebutkan tidak boleh ditempati PKL atau bebas
PKL, sejak dini harus dilakukan pengawasan secara terus-menerus. Sebelum jumlah
PKL yang mangkal di daerah terlarang bertambah banyak, maka aparat disertai
dengan masyarakat dapat segera mengambil langkah-langkah pengawasan dan
penindakan.
Di wilayah di mana jumlah PKL sudah telanjur banyak, biasanya upaya
penindakan yang dilakukan akan jauh lebih sulit dan membutuhkan energi serta
dana yang jauh lebih besar. Sistem deteksi dini ini tentu saja baru dapat berjalan
dengan efektif jika pihak penduduk disekitar lokasi juga diberi dukungan, baik
fasilitas fisik maupun sumber daya manusianya.
Di wilayah perkotaan yang termasuk jalur rawan dijejali PKL dan masih
termasuk jalur utama yang dinyatakan bebas PKL, maka jumlah Satuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP) yang diperbantukan bagi perkotaan harus lebih besar.
Oleh karena itu, yang lebih penting dilakukan adalah bagaimana
mengkolaborasikan antara fungsi pembinaan, pengawasan, dan fungsi preventif,
serta fungsi penindakan itu sendiri untuk situasi khusus. Yang dimaksud fungsi
pembinaan adalah bagaimana upaya yang dikembangkan pemda terhadap kelompok
PKL binaan tidak hanya sekadar memberikan bantuan modal usaha, tetapi juga
difokuskan pada penataan PKL itu sendiri ke lahan-lahan yang tidak mengganggu
kepentingan publik.
Adapun yang dimaksud fungsi pengawasan adalah upaya pemda untuk
terus-menerus mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL serta
bangunan liar di berbagai wilayah kota. Tujuannya, supaya dapat diperoleh data
akurat dan up to date tentang keberadaan PKL.
Sementara yang dimaksud fungsi preventif adalah upaya pemda untuk
mencegah arus urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya
tampung kota.
Beberapa pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah,antara lain :
11
a. Pendekatan vertikal
Guna mengatasi persoalan PKL, upaya penataan yang dapat dilakukan dapat
dilakukan secara vertikal. Secara vertikal antara lain menyangkut perbaikan dari
segi perijinan, pembinaan, dan pemberian bantuan kepada para PKL. Perijinan bagi
aktivitas Pedagang kaki lima dalam melakukan usahanya didasari atas
pertimbangan agar memudahkan dalam pengaturan, pengawasan dan pembatasan
jumlah; membantu dalam penarikan retribusi.
b. Daya dukung lingkungan
Betapa pun harus disadari bahwa terjadinya urbanisasi berlebih (over
urbanization) di suatu kota adalah imbas dari persoalan yang muncul di desa asal
migran. Akibatnya, sepanjang persoalan di daerah asal itu tidak ditangani dengan
baik, maka kebijakan "pintu tertutup" yang dikembangkan kota besar di mana pun
tidak akan pernah mampu mengurangi arus migrasi.
Bagi PKL yang berada di kawasan tertentu yang masih memungkinkan
untuk ditoleransi, kebijakan penataan yang realistis adalah dengan program
rombongisasi atau tendanisasi. Meskipun program ini bukan jalan keluar yang
terbaik bagi ketertiban kota, program ini paling realistis karena dapat
mengompromikan kepentingan PKL agar tetap diperbolehkan berdagang di
kawasan ramai. Sementara pada saat yang sama keindahan kawasan itu tetap terjaga
karena para PKL bersedia diatur sedemikian rupa.
Keberadaan PKL dirasakan perlu dengan syarat tidak mengganggu ruang publik
yakni fungsi bahu jalan untuk pejalan kaki dan fungsi jalan bagi kendaraan
bermotor. Karena itu perlu dihitung berapa daya dukung bahu jalan bagi PKL agar
PKL tetap dapat berdagang dan masyarakat tidak diganggu hak publiknya.
c. Aspiratif
Dalam perencanaan tata kota, relokasi PKL seharusnya melibatkan PKL mulai
dari tahap penentuan lokasi hingga kapan harus menempati. Rekomendasi
kebijakannya adalah penciptaan forum stakeholder pembangunan perkotaan untuk
meningkatkan partisipasi dan akses ke proses pengambilan keputusan. Pemerintah
mestinya serius untuk mendengarkan aspirasi para PKL melalui paguyuban-
12
paguyuban PKL di lokasi masing-masing sehingga program-program penataan yang
diluncurkan tidak menjadi sia-sia belaka.
d. Pemberdayaan Ekonomi
Arus uang illegal dari PKL ke preman, oknum PP, polisi atau tentara seharunya
ditiadakan. Arus uang illegal tersebut dapat digantikan oleh tabungan
pemberdayaan ekonomi PKL. Tabungan tersebut bertujuan agar PKL dapat
memiliki lahan sendiri untuk berdagang kedepannya sehingga tidak terus menerus
sampai tua dikejar-kejar aparat karena berdagang di tempat yang ilegal.
Formulasinya adalah setiap PKL yang berdagang di lokasi tertentu di kutip uang Rp
10.000 setiap hari. Misalnya terdapat 5000 PKL di lokasi tsb, maka setahun (asumsi
330 hari berdagang efektif) terdapat tabung PKL sebesar Rp 16,5 M. Akumulasi
dari uang tersebut dapat digunakan untuk membeli asset daerah atau swasta yang
strategis namun pemanfaatannya kurang. Pungutan tersebut hendaknya dilakukan
oleh lembaga yang dipercaya PKL namun harus dikuatkan oleh peraturan dari
Pemda agar lebih transparan, akuntabel dan adil.
e. Pembinaan Mental
Mengelola PKL bukan hanya mengelola tempat tetapi juga mengelola orang.
Salah satu keengganan orang untuk berbelanja di pasar adalah kesadaran
lingkungan yang rendah dan ketidakjujuran. Kesadaran lingkungan yang rendah
terhadap sampah dan aroma yang menyengat hidung juga menyebabkan kalah
populernya PKL dibanding pusat perbelanjaan modern. Dan ketidakjujuran sangat
mengganggu proses jual beli di PKL. Untuk mencegah dan mengurangi hal tersebut
salah satu cara dengan social value system atau nilai-nilai yang mengikat di
masyarakat. Upaya pembinaan mental terhadap PKL perlu dilakukan agar PKL
menjadi lebih jujur dan sadar lingkungan.
Pembinaan mental dapat dilakukan dengan mengadakan kajian keagamaan yang
berkenaan dengan masalah muamalah atau himbauan yang dikemas dalam nuansa
religius baik melalui media tatap langsung, selebaran, dsbnya.
13
7.Metode Penelitian
7.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Dinas Koperasi, UKM, Perindag dan Pasar Kota
Padangsidimpuan, Jl. Letjend. Rizal Nurdin KM.7, Padangaidimpuan.
7.2 Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan
model pendekatan analisis deskriptif kualitatif, yaitu menggambarkan kenyataan
yang penulis teliti sebagai rangkaian kegiatan atau proses menjalankan informasi
sewajarnya dalam kehidupan suatu objek, yang dihubungkan dengan pemecahan
masalah baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis.
7.3. Informan Penelitian
Penelitian kualitatif tidak dimaksud untuk membuat generalisasi dari
penelitiannya. Oleh karena itu, pada penelitian kualitatif tidak dikenal adanya
populasi dan sampel (Suyanto, 2005: 171). Subjek penelitian yang tercermin dalam
fokus penelitian ditentukan secara sengaja. Subjek penelitian ini menjadi informan
yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses
penelitian. Informan penelitian meliputi beberapa macam, yakni informan kunci,
informan utama, dan informan tambahan.
Dalam penelitian ini menggunakan subjek penelitian:
1. Informan Kunci (key Informan), yaitu mereka yang mengetahui dan
memiliki berbagai formasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. Sebagai
informan kunci terdiri dari :
Kepala Dinas Koperasi, UKM, Perindag dan Pasar Kota Padangsidimpuan.2. Informan Utama, yaitu mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial
yang diteliti. Dalam penelitian ini yang menjadi informan utama adalah para
pedagang kaki lima di Kota padangsidimpuan.
3. Informan Tambahan, yaitu masyarakat atau pengunjung lokasi dagang
Pedagang Kaki Lima di Kota Padangsidimpuan.
14
7.4 Defenisi Konsep
Definisi konsep adalah abstraksi mengenai suatu fenomena yang
dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik, kejadian, keadaan,
kelompok atau individu tertentu (Singarimbun, 2003:34). Untuk lebih memberikan
pengertian yang jelas mengenai konsep- konsep yang digunakan maka peneliti
memberi konsep yang digunakan sebagai berikut :
1. Implemntasi Kebijakan
Implementasi Kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh
individu-individu atau pejabat-pejabat terhadap suatu objek/sasaran yang diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam hal ini
adalah implementasi kebijakan penataan Pedagang Kaki Lima (PKL).
2. Pedagang Kaki Lima
Pedagang kaki lima adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang
menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki
pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang.
7.5 Defenisi Operasional
Setelah berbagai konsep di uraikan dalam hal yang berhubungan dengan
kegiatan ini, maka untuk memepermudah dalam mencapai tujuan penelitian perlu
disususn defenisi operasional yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam penelitian
ini antara lain :
1. Pedagang Kaki Lima atau biasa di singkat pkl adalah pelaku usaha yang
melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak
maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas
umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat
sementara/tidak menetap. Dalam hal ini pedagang kaki lima yang ada di Kota
Padangsidimpuan.
2. Penataan pedagang kaki lima adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah
daerah melalui penetapan lokasi binaan untuk melakukan penetapan,
15
pemindahan, penertiban dan penghapusan lokasi PKL dengan memperhatikan
kepentingan umum, sosial, estetika, kesehatan, ekonomi, keamanan, ketertiban,
kebersihan lingkungan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Pemberdayaan pedagang kaki lima adalah upaya yang dilakukan oleh
pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat secara sinergis
dalam bentuk penumbuhan iklim usaha dan pengembangan usaha terhadap
pedagang kaki lima sehingga mampu tumbuh dan berkembang baik kualitas
maupun kuantitas usahanya.
4. Karakteristik pemerintah kota adalah mereka yang terkait langsung dengan tugas
pokok dan fungsinya dalam penataan wilayah yang berkaitan dengan pedagang
kaki lima, seperti dinas-dinas terkait.
5. Dampak yang ditimbulkan dari keberadaan pedagang kaki lima tersebut,
diantaranya:
a. Kesemrautan adalah kondisi dimana lingkungan berada pada situasi dimana
bercampurnya antar pedagang, pejalan kaki, dan penggunan atau pemakai
kendaraan;
b. Penyempitan jalan umum yang disebabkan keberadaan pedagang kaki lima;
c. Perubahan fungsi lahan perkotaan;
d. Kerawanan sosial, timbulnya preman pasar;
e. Pencamaran lingkungan akibat dari tumpukan sampah.
7.6 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan atau yang diinginkan dalam penelitian
ini penulis menggunakan beberapa teknik yaitu:
1. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penulis menggunakan
perpustakaan sebagai sarana pengumpulan data sekunder dengan mempelajari
buku-buku, dokumen yang ada hubungannya dengan penelitian sebagai dasar
teori dan konsep dalam hal penyusunan skripsi.
16
2. Penelitian lapangan (field work research) yaitu kegiatan penelitian yang penulis
lakukan dengan jalan berhadapan langsung dengan objek yang diteliti di
lapangan meliputi:
a. Observasi yaitu melakukan pengamatan secara langsung di lapangan
mengenai keadaan dan kondisi objek penelitian untuk mendapatkan data yang
diperlukan untuk menyusun skripsi ini.
b. Wawancara yaitu mengadakan tanya jawab dengan responden guna
mendapatkan keterangan secara langsung.
c. Penelitian dokumen yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui
pengumpulan data dari dokumen, arsip yang berkaitan dengan penanganan
PKL oleh Dinas Koperasi, UKM, Perindag dan Pasar Kota Padangsidimpuan.
7.7 Teknik Analisa Data
Dalam penelitian kualitatif, teknik ananlisis data lebih banyak dilakukan
bersamaan dengan pengumpulan data. Tahapan dalam penelitian kualitatif adalah
tahap memasuki lapangan dengan grand tour dan minitour question, analisis
datanya dengan analisis domain. Tahap ke dua adalah mementukan fokus, teknik
pengumpulan data dengan minitour question, analisis data dilakukan dengan
analisis taksonomi. Selanjutnya pada tahap selection, pertanyaan yang digunakan
adalah pertanyaan struktural, analisis data dengan analisis komponensial. Setelah
analisis komponensial dilanjutkan analisis tema.
Analisis data kualitatif menurut “Miles and Huberman dilakukan secara
interaktif melalui proses data reduction, data display, dan verification. Sedangkan
menurut spradley dilakukan secara berurutan, melalui proses analisis domain,
taksonomi, komponensial, dan tema budaya”.2
Analisis data kualitatif adalh bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan
data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesis. Berdasarkan
hipotesis yang dirumuskan berdasarkan data tersebut, selanjutnya dicarikan data
lagi secara berulang ulang sehingga selanjutnya dapat disimpulkan apakah hipotesis
tersebut diterima atau ditolakberdasarkan data yang terkumpul. Bilaberdasarkan 2 Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), Alpabeta, Bandung, 2011, hal. 383
17
data yang dapat dikumpulkan secara berulang ulang dengan teknik treangulasi,
ternyata hipotesis diterima, maka hipotesis tersebut berkembang menjadi teori.
18
DAFTAR PUSTAKA
Bagong, Suyanto, 2005. Pedagang Kaki Lima:Karakteristik Pedagang Kaki Lima.
Prenada Media, Jakarta.
Handoko, T. Hani, 2000. Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Lapera Pustaka,
Yogyakarta
Kartono Kartini dkk, 2003. Pedagang Kaki Lima, Universitas Pharayangan, Bandung.
Kurniadi, Tri dan Hessel Nogi S. Tangkilisan. 2004. Ketertiban Umum dan Pedagang
Kaki Lima di DKI Jakarta. YPAPI. Yogyakarta.
Miles, Matthew B. dan, A. Michael, Huberman 2007. Analisis Data Kualitatif.
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.
Muhammadi, 2001. Kebijakan Publik Konsep dan Strategi. PT. Gramedia, Jakarta.
Nugroho, Riant D. 2004. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi.
PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 2004. Metode Penelitian Survei, LP3S,
Jakarta.
Sugiyono. 2010. Metode penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta,
Bandung.
Sugiono. (2011), Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods),Alfabeta.cv,
Bandung.
Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. AIPI Puslit KP2W Lemlit Unpad,
Bandung.
Tohar M. 2001, Membuka Usaha Kecil, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Winarno, Budi. 2005. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Media Pressindo,
Yogyakarta.