upt perpustakaan isi yogyakartadigilib.isi.ac.id/3979/5/jurnal.pdf · musik tiup logam (brass band)...
TRANSCRIPT
JURNAL PENELITIAN
MUSIK TIUP BARAT (BRASS BAND) DALAM SAJIAN GENDING GATI
Oleh:
Diky Kurniawan
1310515012
JURUSAN SENI KARAWITAN
FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
2018
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
ii
MUSIK TIUP BARAT (BRASS BAND) DALAM SAJIAN GENDING GATI
INTISARI
Skripsi dengan judul ”Musik Tiup Barat (Brass Band) Dalam Sajian
Gending Gati” ini bertujuan untuk mengetahui penyebab ketidaknyamannan
dalam perpaduan gamelan dengan musik tiup Barat. Dengan menggunakan
metode perbandingan ukuran frekuensi dan inteval nada pada gamelan Kanjeng
Kyai Sangumulya dan instrumen musik tiup Barat (trombon, terompet dan
klarinet) sebagai cara untuk membahas permasalahan yang ada. Berdasarkan
penjelasan dan hasil perbandingan melalui penghitungan ukuran frekuensi dan
interval nada, antara keduanya terdapat perbedaan ukuran frekuensi dan interval
pada nada-nada yang menyebabkan ketidaknyamanan serta terdapat nada-nada
yang kurang match saat didengarkan.
Jangkauan nada atau ambah-ambahan pada instrumen musik tiup Barat
yang mengikuti ricikan balungan yang juga menjadi pembahasan dalam penulisan
ini. Pemain musik tiup Barat dalam perpaduan gamelan dan instrumen musik tiup
Barat sebagian ada yang memainkan nada yang sesuai dengan harmoni lagu yaitu
dengan memainkan nada-nada tinggi dan ada yang memainkan sesuai dengan
ricikan balungan atau kembali lagi pada nada yang rendah. Penulisan ini juga
menggunakan metode penelitian kualitatif serta menggunakan pendekatan
kuantitatif untuk menuntaskan dan menjawab persoalan pada rumusan
permasalahan yang ada dengan mendapatkan hasil akhir yang kompleks.
Kata kunci: perbandingan, frekuensi, interval, gamelan, musik tiup Barat,
gending gati.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
iii
MUSIK TIUP BARAT (BRASS BAND) DALAM SAJIAN GENDING GATI
ABSTRAK
Thesis entitled "Western Blow Music (Brass Band) In Serving Gending
Gati" This aims to determine the cause of inconvenience in the fusion of gamelan
with Western inflatable music. By using the method of comparison of frequency
measure and tone inteval on Kanjeng Kyai Sangumulya gamelan and Western
wind instrument (trombon, trumpet and clarinet) as a way to discuss the problems.
Based on the explanation and comparison results through the measurement of
frequency sizes and tone intervals, between them there is a difference in the size
of the frequency and the intervals on the tones that cause discomfort and there are
less matching tones when heard.
The scope of tone or splinting on Western wind instruments which follow
the balungan ricikan which is also the discussion in this writing. Western
inflatable musicians in the combination of gamelan and Western wind instruments
some play a tune that corresponds to the harmony of the song is by playing high
notes and there is a play in accordance with the rhythm of the balungan or back
again on a low tone. This writing also uses qualitative research methods and uses
a quantitative approach to solve and answer the problem on the formulation of
existing problems by obtaining complex end results.
Keywords: comparison, frequency, interval, gamelan, Western inflatable music,
gending gati.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
1
I
A. Latar Belakang
Perpaduan instrumen musik Barat dengan gamelan Jawa sendiri
sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Awal mula masuknya musik Barat di
daerah Yogyakarta sendiri diawali dari musik militer yang diperkenalkan oleh
perusahaan perdagangan Belanda. Seorang pedagang dari Perancis bernama Jean
Baptise Tavernier menceritakan adanya iringan instrumen terompet yang
menyertai dirinya dengan Gubernur Jendral Van Der Lijn saat berwisata ke
Batavia pada tahun 1648 (Sumarsam, 2003:95). Perpaduan musik tersebut masih
dapat dijumpai hingga saat ini, salah satunya adalah dalam sajian musik iringan
tari untuk mengiringi tari di Keraton Yogyakarta. Perpaduan instrumen musik
Barat dengan gamelan Jawa untuk iringan tari putri terlihat pada tari bedhaya dan
srimpi. Iringan dalam penyajian tari ini menggunakan gamelan Jawa yang
dipadukan bersamaan dengan instrumen musik Barat, pada musik tiup seperti
terompet, trombon, klarinet dan pada gesek ada contra bas gesek, celo, biola alto
dan violin serta pada perkusi ada tambur atau senar drum (wawancara Widi
Darma, pada tanggal 26 mei 2018).
Perpaduan antara gamelan dan instrumen musik Barat menciptakan
nuansa baru pada sajian karawitan dan iringan tari, akan tetapi saat didengarkan
dalam perpaduannya banyak nada yang kurang match atau kurang menyatu antara
nada musik Barat dengan gamelan Jawa jika dilihat dari aspek larasannya.
Permasalahan yang sering dijumpai adalah pemaksaan atau penyamaan frekuensi
nada antara gamelan dengan nada musik Barat. Sajian tari bedhaya dan srimpi di
Keraton Yogyakarta menggunakan iringan yang sedikit berbeda dari tari klasik
lainnya. Perbedaannya terletak pada komposisi musik iringan yang menggunakan
instrumen tambahan yaitu alat musik tiup Barat, alat musik gesek dan ada alat
musik tambur (snare dram). Dalam permainannya alat musik tiup tersebut
memainkan nada melodi lagu pokok pada gending, selain itu dalam permainannya
sering kali ada juga beberapa sajian tari bedhaya dan srimpi pada musik tiup Barat
yang terdengar dimainkan dengan mengikuti alur harmoni melodi yang
semestinya. Bagian jangkauan nada ini sering terdengar kurang harmoni, jika
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
2
dalam urutan alur harmoni nadanya melangkah pada nada yang terlalu jauh.
Dalam kesempatan ini akan dibahas juga tentang ambah-ambahan nada musik
tiup yang mengikuti alur melodi balungan gending pada ricikan balungan serta
ada jugayang memainkan dengan menggunakan alur harmoni lagu pada
semestinya.
Mengingat luasnya ruang lingkup pada latar belakang yang tidak
memungkinkan dibahas secara mendalam dalam waktu yang relatif singkat, maka
penulisan ini hanya memfokuskan pada komparasi atau perbandingan ukuran
frekuensi dan interval nada pada gamelan laras pelog dan instrumen musik tiup
Barat (brass band), selain itu juga membahas mengenai ambah-ambahan melodi
ricikan balungan pada gamelan dan pada instrumen musik tiup Barat.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ukuran frekuensi
dan interval nada pelog antara gamelan dan instrumen musik tiup Barat pada
gending gati serta permasalahan harmonisasi nada antara gamelan dan musik tiup
Barat (brass band) yang tidak tercapai dengan baik. Selain itu juga dapat
digunakan sebagai bahan untuk mempelajari gamelan secara ilmiah serta
mengembangkan keilmuan terkini dan pemanfaatannya untuk masyarakat
khususnya bidang ilmu seni. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu mengacu teori tentang pengukuran interval nada dengan cara sederhana
tetapi akurat dengan menggunakan rumus logaritma10. Cris Forster dalam
bukunya yang berjudul ”Musikal Mathematics” yang dikutib dalam tulisan
pertanggungjawaban tertulis Penciptaan seni Nanang Karbito yang berjudul
”Jangkah: Penerapan Jangkah Laras Pelog Terhadap Klonthong”, menjelaskan
tentang metode pengukuran interval nada dengan menggunakan rumus
logaritma10. Forster menjelaskan, bahwa rumus mengukur interval dengan cara
sederhana tetapi akurat menggunakan logaritma sepuluh yaitu dengan cara rasio
frekuensi tinggi per frekuensi rendah kemudian dikalikan 3986,314 yang
merupakan angka stabil dalam frekuensi bunyi yang berkaitan dengan oktaf
(susunan nada).
x 3986,314=cents
(Rumus oleh Cris Forster dalam tulisan Nanang Karbito, 2017:12).
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
3
Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan
menggunakan pendekatan kuantitatif. Obyek dalam penelitian ini yaitu
menggunakan ukuran nada gamelan Kanjeng Kyai Sangumulya di Keraton
Yogyakarta yang berlaraskan pelog serta data tentang ukuran nada musik tiup
Barat atau ukuran nada baku pada musik Barat dari berbagai sumber tentang
musik Barat.
II
A. Riwayat Singkat Masuknya Musik Barat
Bangsa Portugis pertama kali memperkenalkan musik Barat di Jawa
sejak abad ke-16, serta membawa musik Portugis dan dimainkan di Jawa oleh
budak-budak yang terdiri dari orang-orang India, Afrika atau yang berasal dari
Asia Tenggara (Sumarsam, 2003:94). Perkembangan seni budaya yang terjadi di
Yogyakarta terpengaruhi oleh faktor budaya lokal yang berinteraksi dengan
budaya asing. Terlihat dalam bidang seni yang terletak pada masuknya musik
Barat yang bermula dari musik militer. Menurut Ricklefs berpendapat bahwa
musik militer di Keraton Yogyakarta muncul sejak masa pemerintahan Sultan
Hamengku Buwana I, tentang sumbangan instrumen alat musik Barat berupa
instrumen terompet dari pemerintah Belanda kepada Keraton Yogyakarta (R.M.
Surtihadi, 1995:50). Pada masa Pemerintahan Sultan Hamengku Buwana V terjadi
kontak kebudayaan antara Barat dan Timur yang berlangsung lebih kuat dari
sebelumnya dan peranan instrumen musik tiup Barat digunakan sebagai pengiring
beberapa tarian di Keraton Yogyakarta (R.M Surtihadi, 1995:4-6). Sumber sejarah
Keraton Yogyakarta, Babad Ngayogyakarta Volume III, menyebutkan pada masa
Hamengku Buwana V terdapat pesta perjamuan makan dan minum yang diselingi
oleh musik Barat, gamelan dan tarian (R.M Surtihadi, 1995:68-69). Adanya
fenomena pementasan musik Barat dan gamelan pada perjamuan pesta di keraton
dapat diduga hal ini merupakan awal mulanya masuk pengaruh musik Barat
dalam tradisi Keraton Yogyakarta. Ricikan gamelan Jawa yang dipakai untuk
mengiringi tarian tersebut dilengkapi dengan instrumen terompet. Penambahan
instrumen terompet dalam kesenian tradisional ini dipengaruhi oleh penggunaan
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
4
instrumen tersebut dalam pasukan militer. Dari beberapa penjelasan di atas dapat
dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana V
pertumbuhan seni karawitan di Keraton Yogyakarta sudah ada perkembangan.
Perkembangan dalam bidang karawitan khususnya dalam iringan tari yang
menjadikan nuansa baru dalam iringan tari di Keraton. Pertumbuhan dan
perkembangan seni pertunjukan di Keraton Yogyakarta mencapai puncaknya
yaitu pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII. Dapat dikatakan
demikian sebab pada masa itu ada pertumbuhan dan pengembangan dalam iringan
tari khususnya antara lain dalam penyempurnaan gamelan, diciptakan banyak
gending baru untuk mengiringi tari. Sultan Hamengku Buwana VIII pada saat itu
melakukan penyempurnaan gending dengan mengundang dua orang ahli musik
Barat yaitu Walter Spies dan Karl Gotsh untuk melatih para musisi yang
tergabung dalam Korps Musik Barat Keraton Yogyakarta yang berfungsi untuk
upacara protokoler, pesta dansa, menjamu minum anggur saat pertemuan di
keraton (R.M Surtihadi, 1995:73).
B. Gending Gati
Iringan tari di Keraton Yogyakarta sama halnya dengan iringan tari pada
umumnya, hanya saja terlihat pada beberapa tarian yang menggunakan iringan
berbeda. Berbeda disini artinya dalam hal instrumen atau alat musik yang dipakai
untuk mengiringi tarian ada perbedaan dari iringan tari tersebut. Perbedaan ini
terletak pada perpaduan antara gamelan Jawa yang dipadukan bersamaan dengan
alat musik Barat untuk mengiringi tarian di Keraton Yogyakara. Beberapa
instrumen musik Barat yang sering dipakai seperti tambur (senar drum) dan alat
musik tiup logam (brass band) antara lain trombon, terompet, saxofon dan
klarinet yang digunakan dalam mengiringi tari bedhaya dan srimpi di Keraton
Yogyakarta tersebut. Gending gati pada dasarnya digunakan sebagai iringan tari
di Keraton Yogyakarta. Gending gati digunakan hanya sebatas pada bagian
kapang-kapang saja. Kapang-kapang yaitu bagian maju penari (masuknya penari
kedalam arena pementasan) dan mundurnya penari (keluar dari tempat
pementasan). Menurut Subuh dalam Tugas Akhirnya yang berjudul ”Gending-
Gending Mars atau Gati Kraton Yogyakarta” menjelaskan tentang ciri-ciri atau
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
5
kekhususan yang dimiliki oleh gending gati diantaranya adalah sebagai berikut:
dalam penyajiannya dibuka dengan kalimat lagu satu gongan, tidak seperti
ladrang-ladrang yang lainnya, dalam penyajiannya gending gati selalu disajikan
dalam irama I (tanggung), gending gati atau mars termasuk gending soran,
kendhangan dalam gending gati menggunakan kendhangan khusus yaitu
kendhangan sabrangan, gending gati berlaraskan pelog (Subuh, 1986:24-27).
Berikut ini adalah notasi Gati Kumencar yang digunakan pada bagian kapang-
kapang maju dan Gati Main-main yang digunakan pada bagian kapang-kapang
mundur dalam sajian iringan dari Srimpi Pandhelori yang dituliskan dalam font
atau notasi Kepatihan (Muclas Hidayat, 2011:27-29).
Srimpi Pandhelori
1. Gati Kumencar Laras Pelog Pathet Barang
Buka : .5.7 .576 ..27 3276 .675 .672 3327 55.g5 .=5.7 .=57n6 .=.2p7 3=27n6 .=67p5 .=67n2 3=32p7 6=53gn5 2x 6=6.7 5=67n6 4=34p3 2=75n6 .=67p2 .=32n7 4=34p3 2=75g6 3=535 2=35n6 .=.2p7 3=27n6 .=67p5 .=67n2 3=32p7 6=53g5
2. Gati Main-main Laras Pelog Pathet Barang Buka : .532 .352 ..23 4327 ..72 3523 6527 55.g5
.=532 .=35n2 .=.2p3 4=32n7 .=.7p2 3=52n3 6=52p7 6=53ng5 2x 7=67. 5=67n6 7=56p7 3=27n6 .=.6p. j67=52n3 6=52p7 6=53ng5 2x
Kekhususan dan keunikan pada sajian iringan gending gati ini
menjadikan sebuah hal yang menarik bagi penulis untuk menjadikannya sebuah
kajian. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa gending gati mempunyai
perbedaan dan kekhususan dalam sajian maupun garap instrumennya jika
dibandingkan dengan gending-gending berjenis ladrang yang lainnya.
C. Frekuensi dan Interval
Frekuensi adalah banyaknya getaran yang dihasilkan dalam waktu 1 detik
menggunakan satuan ukuran Hertz (Hz), sedangkan Interval adalah jangka atau
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
6
jarak dari nada ke nada yang lainnya (AI. Sukohardi, 23). Menurut pendapat
Rahayu Supanggah dalam bukunya yang berjudul ”Bothekan Karawitan I”
manjelaskan bahwa, yang biasa digunakan dalam dunia karawitan untuk
menyebut istilah interval adalah jangkah, yaitu jarak nada satu ke nada berikutnya
atau lainnya yang biasanya dapat diukur dengan menggunakan satuan Cent
(Rahayu Supanggah, 2002:91).
D. Instrumen Musik Tiup Barat
Alat musik tiup Barat pada umumnya termasuk pada golongan alat musik
aerophone karena suara atau sumber bunyi yang dihasilkan dari udara dengan cara
ditiup. Instrumen musik tiup Barat yang digunakan pada gending gati memiliki
berbagai jenis instrumen yang antara lain yaitu: trombon, terompet, saxofon,
klarinet, tuba dan fren horn (wawancara Widi Darma, pada tanggal 2 Juni 2018).
III
A. Ukuran Nada Baku Musik Barat
Musik Barat mempunyai ukuran nada yang sudah dijadikan patokkan
atau standarisasi sebagai ukuran baku nada, sedangkan pada gamelan justru tidak
menggunakan standarisasi ukuran nada seperti halnya pada musik Barat
melainkan menggunakan kepekaan rasa dan pendengaran dari seorang empu yang
membuat gamelan pada masing-masing tempat pembuatan gamelan, yang
mengakibatkan setiap gamelan pada umumnya mempunyai ukuran nada yang
tidak sama. Ukuran standarisasi nada pada musik Barat yang digunakan sebagai
ukuran nada baku pada nada-nada musik Barat diambil dari buku-buku musik serta
dari sumber lainnya yang akurat.
B. Ukuran Nada Ricikan Gamelan Kanjeng Kyai Sangumulya
Ukuran nada gamelan yang diambil sampel ukuran nadanya adalah
gamelan Kanjeng Kyai Sangumulya yaitu gamelan berlaraskan pelog yang
dulunya berada di Bangsal Srimanganti dan saat ini dipindahkan ke Bangsal
Trajumas karena Bangsal Srimanganti sedang tahap renovasi, serta merupakan
gamelan yang sering digunakan untuk mengiringi tarian di Keraton Yogyakarta.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
7
C. Analisis Perbandingan Frekuensi Nada Ricikan Gamelan Kanjeng Kyai
Sangumulya dan Instrumen Musik Tiup Barat
Untuk mengetahui permasalahan tentang ukuran nada antara gamelan
dan nada musik Barat dilakukan perbandingan ukuran nada frekuensi dengan
metode diagram perbandingan untuk membandingkan ukuran frekuensi pada tiap
nadanya.
Diagram perbandingan adalah sebuah diagram yang didalamnya untuk
menjelaskan perbandingan ukuran frekuensi tiap-tiap nada pada ricikan gamelan
dan instrumen musik tiup sesuai dengan area register nadanya. Diagram tersebut
juga sebagai alat untuk membuktikan perbandingan ukuran frekuensi nada antara
gamelan dan instrumen musik tiup pada gending gati yang dipadukan secara
bersamaan.
Dari hasil perbandingan tiap nada pada diagram perbandingan dapat
dilihat dan disimpulkan ternyata banyak nada-nada pada tiap ricikan gamelan
yang tidak sama atau mengalami perbedaan dengan ukuran frekuensi baku yang
digunakan pada musik Barat. Sehingga dapat disimpulkan dari adanya perbedaan
nada yang terjadi antara perpaduan gamelan dengan instrumen musik Barat
tersebut dapat terdeteksi oleh telinga manusia dari hasil perbandingan pada
diagram perbandingan yang terdapat beberapa perbedaan nadanya. Dari hasil
analisa perbandingan tersebut dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan
tentang ketidaksamaan nada atau nada yang terdengar fals pada perpaduan antara
gamelan dan instrumen musik tiup Barat.
D. Analisis Perbandingan Interval Nada Musik Barat Dan Ricikan Gamelan
Kanjeng Kyai Sangumulya
Pada rumus yang dijelaskan oleh Forster tentang rumus untuk mencari
interval nada, yaitu rumus menghitung interval dengan cara sederhana tetapi
akurat mengggunakan rumus logaritma10. Berikut ini adalah rumusan
logaritma10 yang digunakan untuk menghitung interval nada.
x 3986,314=cents.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
8
Dari data hasil penghitungan interval dapat dibuat menjadi sebuah tabel
untuk mempermudah dan memperjelas dalam membandingkan hasil ukuran
intervalnya. Berikut ini adalah tabel perbandingan interval antara ricikan gamelan
dan interval pada musik tiup Barat.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
9
Tabel 5. Perbandingan Interval Nada Pada Ricikan Gamelan Kanjeng Kyai Sangumulya dan Instrumen Musik Tiup Barat.
(Perbandingan ukuran interval nada ricikan gamelan Kanjeng Kyai Sangumulya dan instrumen musik tiup Barat dari urutan nada rendah ke nada tinggi).
Keterangan:
B Pnb B : Bonang Penembung Bawah B Pnb A : Bonang Penembung Atas
B Brg B : Bonang Barung Bawah B Brg A : Bonang Barung Atas
B Pnr B : Bonang Penerus Bawah B Pnr A : Bonang Penerus Atas
Nada Interval Nada (cent)
Gamelan Musik Barat Slenthem B Pnb
B
B Pnb
A
B Brg
B
Demung
1
Demung
2
B Brg
A
Saron 1 Saron 2 Saron 3 Saron 4 B Pnr
B
B Pnr
A
Peking Trombon Terompet Klarinet
1<2 102,9
143,8
120,2
152,1
113,6
105,5
118,1
126,7
125,6
126,6
131,6
157,9
127,6
143,9
100,0
99,8
100,1
2<3 131,3
138,2
139,4
116,0
113,8
118,1
127,1
121,3
121,9
120,9
119,4
116,9
161,3
148,7
199,6
200,2
199,9
3<4 329,5
309,6
292,7
328,4
330,7
328,8
296,9
288,3
292,5
290,2
292,6
297,9
277,8
267,3
200,1
199,9
200,0
4<5 99,8
818,0
115,5
97,2
112,6
106,0
99,6
123,7
123,1
125,6
122,7
122,6
129,3
138,1
199,9
199,9
199,9
5<6 104,8
595,5
112,2
147,7
111,3
115,4
123,6
133,5
123,5
121,8
121,4
116,0
127,6
106,7
100,0
100,0
100,0
6<7 187,9
146,8
142,3
121,2
178,5
141,9 155,2 134,6
143,8
141,6
144,6
146,0
163,6
165,8
200,0 200,0
199,9
7<! 274,0
301,1 282,0 200,0 199,8
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
10
Dari data penghitungan interval nada di atas dapat disimpulkan bahwa
ukuran pada tiap ricikan gamelan Kanjeng Kyai Sangumulya tidak semuanya
dapat menghasilkan ukuran hasil interval dengan sempurna, terlihat pada ricikan
Bonang Penembung bawah pada nada 5 (limo). Hal tersebut dikarenakan pada
waktu pengukuran frekuensi nada menggunakan alat ukur, bunyi yang terdeteksi
menghasilkan ukuran nada seperti yang didapat tersebut meskipun sudah
dilakukan beberapa kali.
Dari data di atas didapatkan data ukuran interval nada yang dapat
dibandingkan dengan ukuran interval nada pada musik tiup Barat. Hasil dari
perbandingan ukuran interval nada antara gamelan dan musik tiup dapat dilihat
terdapat adanya banyak perbedaan ukuran interval pada nadanya. Hal ini juga
membuktikan bahwa hal tersebut yang memyebabkan dalam perpaduan gamelan
dan instrumen musik tiup tersebut terdengar agak berbeda rasa atau kurang match,
selain itu juga dapat dijadikan jawaban kesimpulan dari adanya ketidaknyamanan
rasa tiap nada yang sama antara perpaduan nada antara gamelan dan musik tiup
Barat.
E. Analisis Ambah-ambahan Nada
Suara atau bunyi pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu tinggi dan
rendah. Menurut pendapat Rahayu Supanggah dalam bukunya yang berjudul
”Bothekan Karawitan I” menjelaskan bahwa daerah atau cakupan frekuensi nada-
nada yang digunakan dalam perangkat yang bersangkutan dalam karawitan
disebut dengan istilah larasan atau ambah-ambahan atau Register (Rahayu
Supanggah, 2002:91).
Dapat dilihat atau didengar pada sajiannya dimainkan dengan dua cara
sajian yaitu: Pertama dengan cara mengikuti alur nada melodi ricikan balungan
dan bolak-balik terpaku hanya pada tujuh bilah nada yang ada pada ricikan
balungan tersebut, cara yang kedua dengan mememainkan sesuai ambitus serta
alur lagu atau harmoni pada instrumen musik tiup dalam sajian gending-gending
gati. Penyajian antara gamelan dengan musik tiup dalam gending gati dapat
didengarkan pada nada atau notasi bagian kapang-kapang yang menggunakan
inastrumen musik tiup Barat. Nada-nada pentatonis musik tiup dimainkan
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
11
mengikuti tinggi rendah nada pada balungan. Gending yang digunakan untuk
mengiringi pada saat kapang-kapang maju (penari masuk ke area pertunjukan tari)
adalah Gati Kumencar.
Pembahasan yang akan diulas adalah mengenai alur lagu terompet atau
musik tiup pada notasi balungan gending Gati Kumencar tersebut. Saat dilakukan
analisa ternyata ada beberapa bagian nada-nada yang dimainkan pada jarak atau
jangkauannya melangkah 1 gembyang (oktaf) di atasnya dan ada juga yang
menggunakan nada rendah. Misalnya pada bagian notasi balungan berikut .5.7
.576 ..27 3276, pada notasi tersebut nada 2 dan 3 yang dimainkan pada
terompet dalam penyajiannya ada yang menggunakan nada 2 dan 3 rendah dan
ada juga yang menggunakan nada 2 dan 3 tinggi. Jika dilihat dan didengarkan
menurut harmoni alur lagunya, semestinya akan lebih urut jika menggunakan 2
dan 3 tinggi dikarenakan posisi nada tersebut lebih dekat dengan nada 7 dalam
urutan register nadanya. Bagian balungan .672 3327 juga mengalami hal yang
sama, yang semestinya juga menggunakan nada 2 dan 3 tinggi pada terompet
yang posisinya lebih dekat dengan nada 7 akan lebih harmoni jika didengar dari
urutan nadanya. Hal yang sama juga terjadi pada balungan .672 3327.
Pada bagian kapang-kapang mundur (keluarnya penari meninggalkan
area pertunjukan) diiringi dengan gending gati yang berjudul Gati Main-main.
Dijelaskan juga mengenai register nada terompet pada notasi balungan gending
Gati Main-main yang ternyata juga terdapat beberapa bagian nada yang dalam
permainannya menggunakan jangkauan nadanya melangkah 1 gembyang (oktaf)
diatasnya, serta ada yang masih mengikuti jangkauan nada ricikan balungan.
Terlihat pada bagian notasi balungan gending Gati Main-main pada notasi
balungan 4327 ..72 serta pada bagian lainnya pada notasi balungan 6527.
Pembahasan mengenai permasalahan register atau jangkauan nada 2 dan
3 dalam permainan instrumen terompet yang dimainkan dengan nada rendah dan
tinggi ini juga dilakukan wawancara kepada beberapa narasumber seniman musik
tiup yang berpengalaman dalam bidangnya. Penjelasan dari beberapa narasumber
cukup memberikan keterangan dan kesimpulan bahwa permainan instrumen
terompet atau instrumen musik tiup dalam memainkan nada dengan gamelan pada
nada-nada tinggi mengalami beberapa kesulitan atau kendala. Hal ini disebabkan
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
12
oleh beberapa faktor, diantaranya adalah saat memainkan secara sendiri atau satu
terompet tanpa pendukung brass band (musik tiup Barat) lainnya maka akan
terasa berat dalam menjangkau nada-nada tinggi, ukuran skill atau kemampuan
pemain musik tiup juga sangat mempengaruhi dalam memainkan nada-nada tinggi
saat perpaduan dengan gamelan, dan tergantung pada kekuatan nafas oleh pemain
musik tiup tersebut mengingat saat memainkan nada-nada tinggi tersebut
menggunakan tenaga nafas yang kuat.
IV
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dan hasil perbandingan melalui penghitungan
ukuran frekuensi dan interval nada antara gamelan dan musik tiup Barat
khususnya pada ricikan gamelan Kanjeng Kyai Sangumulya dan instrumen musik
tiup (trombon, terompet dan klarinet), maka dapat disimpulkan antara keduanya
terdapat perbedaan ukuran frekuensi dan interval pada nada-nadanya. Ukuran
frekuensi dan interval pada hasil perbandingan ukuran nada banyak yang
mengalami perbedaan antara nada gamelan dan musik tiup Barat, perbedaan bunyi
atau nada tersebut telah melampaui pada batas ukuran perbedaan nada yang dapat
dirasakan oleh kepekaan indera pendengaran pada telinga manusia, hal itu yang
menyebabkan adanya nada yang terdengar tidak match dalam perpaduan gamelan
dan musik tiup Barat. Oleh sebab itu, dalam perpaduannya antara ricikan gamelan
dan musik tiup Barat sebagian pelaku atau pemain musik tiup mengalami
ketidaknyamanan dalam perpaduan nada yang tidak match tersebut.
Musik Barat mempunyai ukuran nada yang sudah dijadikan standarisasi
sebagai ukuran baku nada, sedangkan pada gamelan tidak menggunakan
standarisasi ukuran nada baku melainkan menggunakan kepekaan rasa dan indera
pendengaran dari empu atau pengrajin gamelan pada masing-masing tempat
pembuatan gamelan. Instrumen musik Barat dan gamelan tidak memiliki
persamaan ukuran frekuensi tiap nadanya. Selain itu pada musik Barat
menggunakan ukuran baku yang sangat ketat dalam perhitungan frekuensi dan
intervalnya, sedangkan pada gamelan tidak menggunakan ukuran baku pada tiap
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
13
nadanya. Sehingga dalam perpaduannya antara gamelan yang tidak menggunakan
ukuran baku dipadukan dengan musik Barat yang menggunakan ukuran nada yang
sangat ketat menghasilkan perbedaan rasa dalam satu sajiannya.
Jangkauan nada atau ambah-ambahan pada instrumen musik tiup yang
mengikuti ricikan balungan menjadi pembahasan yang mempunyai banyak
kesimpulan. Permasalahan dalam permainan instrumen terompet yang mengikuti
jangkauan ricikan balungan salah satunya disebabkan oleh faktor pemain
instrumen terompet itu sendiri. Permainan terompet saat memainkan nada-nada
yang tinggi membutuhkan tenaga serta tiupan yang keras dan kuat, sehingga pada
saat-saat tertentu hal tersebut sering dimainkan dengan menggunakan cara lain
atau dengan mengganti dengan nada-nada yang rendah untuk mendapatkan
kenyamanan dalam bermain musik. Faktor lainnya adalah pemain terompet yang
belum mengerti atau yang masih terlalu terpaku dengan notasi balungan.
Kebanyakan pemain musik tiup hanya memainkan dengan apa yang dimengerti,
sedangkan dalam balungan atau notasi karawitan sering kali tidak tertera tanda
tinggi rendah nada atau simbol yang menunjukkan nada tinggi atau rendah. Hal
lain disebabkan oleh beberapa faktor atau alasan, diantaranya adalah jika
dimainkan secara sendiri atau satu terompet tanpa pendukung musik tiup (brass
band) lainnya maka akan terasa berat dalam menjangkau nada-nada tinggi, ukuran
atau tingkat keterampilan (skill) atau kemampuan pemain musik tiup juga sangat
mempengaruhi dalam menyajikan nada-nada tinggi perpaduan dengan gamelan,
dan yang ketiga adalah tergantung pada kekuatan nafas oleh pemain musik tiup
tersebut mengingat saat memainkan nada-nada tinggi tersebut menggunakan
tenaga nafas yang kuat serta tinggi.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
14
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Tertulis
Banoe, Pono. 2003. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius.
Budi Prasetya, Hanggar. 2012. Fisika Bunyi Gamelan: Laras, Tuning dan
Spektrum. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.
___________, Siswadi. 2012. Laporan Fundamental Reserch, Menemukan Teori
Embat Gamelan: Sistem Pelayangan, Karakter, dan Keragaman
Gamelan Jawa. Yogyakarta: Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta.
Hastanto, Sri. 2009. Konsep Pathet Dalam Karawitan Jawa. Surakarta: Program
Pasca Sarjana bekerja sama dengan ISI Press Surakarta.
Hendarto, Sri. 2011. Organologi Dan Akustika I Dan II. Bandung: Lubuk Agung.
Jamalus. 1988. Panduan Pengajaran buku Pengajaran Musik Melalui
Pengalaman Musik. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga
Pendidikan.
Karbito, Nanang. 2017. Jangkah: Penerapan Jangkah Laras Pelog Terhadap
Klonthong. Yogyakarta: Program Penciptaan Dan Pengkajian
Pascasarjana ISI Yogyakarta.
Martopangrawit. 1972. Catatan Pengetahuan Karawitan I. Surakarta: ASKI
Surakarta.
Raharja, 2014. Larasan Dan Embat Gamelan Keraton Yogyakarta: Tinjauan
Budaya dan Etnomusikologi. (Desertasi). Yogyakarta: Sekolah
Pascasarjana UGM Yogyakarta.
Randall, Charles L. and Simone Mantia. 1936. Arban’s Trombone and Baritone:
Famous Method for Slide and Valve. New York: Carl Fischer Inc.
Senen, I Wayan. 1983. Pengetahuan Musik Tari: Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
Akademi Seni Tari Indonesia Yogyakarta.
Siswadi. 1999. Gending Bedaya Yogyakarta dan Surakarta: Sebuah Komparasi.
Yogyakarta: Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Soedarsono. 1978. Kamus Istilah Tari dan Karawitan Jawa. Jakarta: Proyek
Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
15
Subuh. 1986. Gendhing-Gendhing Mars Atau Gati Kraton Yogyakarta: Bentuk
Penyajian, Fungsidan Perkembangan. (Skripsi). Yogyakarta: Fakultas
Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sukohardi AI. Teori Musik Umum. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.
Sumarsam. 2003. Gamelan, Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di
Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Supanggah, Rahayu. 2002. Bothekan Karawitan I. Jakarta: Ford Foundation &
Masyarakat Seni Pertunjukan indonesia.
_________________. 2009. Bothekan Karawitan II: Garap. Surakarta: Program
Pasca Sarjana bekerja sama dengan ISI Press Surakarta.
Surtihadi, R.M. 1995. Instrumen Musik Tradisi Barat Dalam Iringan Tari dan
Upacara Protokoler Kraton Yogyakarta: Sebuah Tinjauan Historis.
(Skripsi). Yogyakarta: Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta.
Suwartono. 2014. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian. Yogyakarta: CV ANDI
OFFSET.
Suryabrata, Sumadi. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: CV. Rajawali.
Trustho. 2005. Kendangan Dalam Tradisi Tari Jawa. Surakarta: ISI Press.
Wardani, Indira. 2003. Konsepsi Musik Menurut Plato. (Skripsi). Yogyakarta: ISI
Yogyakarta.
B. Sumber Lisan
Arsa Rintoko. 27 tahun. Abdi Dalem Keraton Yogyakarta bagian musik
Keprajuritan di Keraton Yogyakarta.
Joko Suprayitno. 53 tahun. Pelaku musik sekaligus pengajar di Jurusan Musik
Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta.
Panji Gilig Atnadi. 27 tahun. Abdi Dalem Keraton Yogyakarta bagian pengrawit
di Kerton Yogyakarta.
Royke Bobby Koapaha. 57 tahun. Seniman musik sekaligus pengajar di Jurusan
Musik Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta.
Sunar, 44 tahun, Abdi Dalem bagian karawitan di Keraton Yogyakarta sekaligus
seniman karawitan di Yogyakarta.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
16
Surtihadi. 48 tahun. Pelaku musik sekaligus pengajar di Jurusan Musik Fakultas
Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta.
Sumanto, 45 tahun, Abdi Dalem bagian karawitan di Keraton Yogyakarta
sekaligus seniman karawitan di Yogyakarta.
Taryadi. 60 tahun. Pelaku musik sekaligus pengajar di Jurusan Musik Fakultas
Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta.
Teguh. 56 tahun. Abdi Dalem Keraton Yogyakarta bagian Musikan sekaligus
pengajar di Sekolah Menengah Musik (SMM) Yogyakarta.
Widi Darma. 54 tahum. Abdi Dalem Jajar Musik di Keraton Yogyakarta sekaligus
seniman musik tiup di Yogyakarta.
Wuri Hastuti. 37 tahun. Seniman musik tiup di Yogyakarta.
C. Webtografi
https://musik-sehat.blogspot.com/2015/05/ayo-mengenal-alat-musik-
trombon.html
http://pamantulis.blogspot.com/p/seni-musik.html?m=1
https://teorimusik1.blogspot.com/2016/01/dasar-dasar-akustik-dan-
organologi.html
https://yayasanklasikanan.org/artikel/trombon-2
http://oomyon-at-bengkel.blogspot.com/2009/12/spreadsheet-kalkulator-tangga-
nada.html?m=1
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta