uts wanita hukum

15
UTS WANITA HUKUM (INDIVIDUAL) ANINDITA DWIKINANTI PUTRI 1106007110 NOMOR 1 (A) Pemikiran awal dari feminis legal theory ini muncul mengikuti gelombang-gelombang pemikiran feminis, khususnya gelombang kedua dari feminis Amerika yang merefleksikan ketertarikan feminis pada bidang hukum. Hal ini antara lain disebabkan meningkatnya perempuan Amerika. Pokok pokok pikiran yang terdapat dalam feminist legal theory secara garis besar terdapat 4 aliran utama yang digagas secara garis besar, yaitu feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme kultural, dan feminisme post-modern. Dalam feminisme liberal menekanka kepada adanya kesesetaraan maka aliran ini berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki secara rasional setara, jadi mereka harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk menerapkan pilihan rasional. 1 Pendapat mengenai feminist legal theory yang pertama ini merupakan salah satu pendapat dimana kedudukan wanita dan pria permulaannya ada dalam posisi yang seimbang. Namun kesetaraan ini tidak selalu menjadikan kaum wanita untung. Pokok pikiran yang kedua adalah mengenai feminis radikal. Aliran feminist radikal ini memiliki konsep utama yaitu pembedaan dalam mendefiniskan perempuan dan laki-laki, yang tidak akan pernah dapat mencapai kesetaraan. Aliran ini juga gencar menentang pornografi yang menempatkan perempuan 1 Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta:YayasanObor Indonesia,2008), hlm. 43.

Upload: katherine-lee

Post on 26-Nov-2015

106 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

UTS WANITA HUKUM (INDIVIDUAL)ANINDITA DWIKINANTI PUTRI1106007110

NOMOR 1

(A) Pemikiran awal dari feminis legal theory ini muncul mengikuti gelombang-gelombang pemikiran feminis, khususnya gelombang kedua dari feminis Amerika yang merefleksikan ketertarikan feminis pada bidang hukum. Hal ini antara lain disebabkan meningkatnya perempuan Amerika. Pokok pokok pikiran yang terdapat dalam feminist legal theory secara garis besar terdapat 4 aliran utama yang digagas secara garis besar, yaitu feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme kultural, dan feminisme post-modern. Dalam feminisme liberal menekanka kepada adanya kesesetaraan maka aliran ini berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki secara rasional setara, jadi mereka harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk menerapkan pilihan rasional.[footnoteRef:1] Pendapat mengenai feminist legal theory yang pertama ini merupakan salah satu pendapat dimana kedudukan wanita dan pria permulaannya ada dalam posisi yang seimbang. Namun kesetaraan ini tidak selalu menjadikan kaum wanita untung. Pokok pikiran yang kedua adalah mengenai feminis radikal. Aliran feminist radikal ini memiliki konsep utama yaitu pembedaan dalam mendefiniskan perempuan dan laki-laki, yang tidak akan pernah dapat mencapai kesetaraan. Aliran ini juga gencar menentang pornografi yang menempatkan perempuan sebagai objek seks serta eminta adanya penilaian ulang terhadap hukum pidana yang di dalamnya ditemukan konsep ketidak-setaraan.[footnoteRef:2] Aliran ketiga adalah aliran feminis kultural, yaitu aliran yang mengemukakan arumennya yang berkaitan dengan permasalahan perbedaan perempuan dan laki-laki. Nilai moral perempuan dikatakan cenderung kepada penekanan tanggung jawan sedangkan laki-laki cenderung kepada hak mereka. Aliran ini menyatakan bahwa selama ini nilai-nilai moral yang berkaitan dengan perawatan dan pemeliharaan diidentifikasikan dan didefinisikan sebagai perbedaan esensial antara laki-laki dan perempuan.[footnoteRef:3] Aliran terakhir adaah aliran feminis Post-Modern yang melihat perempuan sebagai yang lain, yang mengalami alienasi disebabkan cara yang berada, berpikir dan bahasa perempuan yang tidak memungkinkan terjadinya keterbukaan, pluralitas, diversifikasi , dan perbedaan[footnoteRef:4]. [1: Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta:YayasanObor Indonesia,2008), hlm. 43.] [2: Ibid., hlm. 44] [3: Ibid., hlm. 45] [4: Ibid,. Hlm 45.]

Namun dari keempat teori yang menjad pokok pemikiran, yang paing sesuai dengan feminist legal theory adalah aliran ketiga yaitu feminist kultural dimana pada aliran ini ditemukan asumsi-asumsi dasar bahwa terdapat peraturan-peraturan yang tersirat maupun tersurat merupakan produk hukum dari sudut pandang laki-laki saja dan tidak menempatkan wanita dalam posisi yang seharusnya, bahkan dalam hal ini wanita dapat dikesampingkan kepentingan-kepentingan serta derajat martabat kehormatannya pada saat pembuatan peraturan perundang-undangan. Hubungan antara hukum dan gender dalam ofeminis legal theory ini yang seharusnya objektif dan netral, ditemukan sebaliknya. Bahwa pada kenyatannya, terjadi diskriminasi terhadap kaum yang tidak berkuasa (perempuan). Teori hukum itu sendiri apabila tidak ditelaah dari sisi hukum feminisme akan sangat mengkonsentrasikan dirinya terhadap yurisprudensi serta patriarkhi yang ada. Penerapan pasal-pasa serta UU yang syarat dengan diskriminasi merupakan salah satu tanda nyata bahwa hubungan antara hukum dan motode feminist legal theory ini dianggap tidak netral dan objektif.

(B)Prinsip netralitas dan objektivitas merupakan prinsip yang angat dijunjung tinggi yang mengartikn bahwa hukum tidak boleh berpihak kepada siapapun. Prinsip ini merupakan prinsip yang seharusnya ada dalam semua kaidah hukum. Namun apa yang menjadi suatu cta-cita hukum dapat berbeda dengan apa yang benar-benar terjadi dalam kehidupan yang nyata. Yang terjadi pada saat ini justru hukum yang memihak kepada golongan pembuatnya dan membuat golongan yang tidak berdaya (anak dan perempuan) merasa disingkirkan maupun kemerdekaannya dibatasi. Pembatasan-pembatasan tersebutlah yang mengakibatkan hak-hak perempuan yang seharusnya didapatkan menjadi hilang dan justru menyebabkan perempuan menjadi kaum yang marginal apabila dikaitkan dengan hukum dan feminist legal theory. Contoh nyata yang dapat diambil adalah pada anggaran kesehatan untuk 45 orang anggota DPRD jumlahnya jauh lebih banyak daripada anggaran kesehatan bagi seluruh orang miskin (perempuan dan anak) di wilayah yang sama.[footnoteRef:5] contoh yang dipaparkan diatas sudah dapat dikatakan dengan sangat jelas bahwa tidak terdapatnya netralitas berupa kesamaan daam hukum itu sendiri dan juga obyektivitas, dimana dari kata obyektif itu sendiri saja sudah menyalahi contoh nyata yang terjadi dalam negeri ini. Mengenai netralitas, netralitas atau persamaan disini mungkin tidak akan dapat terjadi karena perempuan perlu mendapatkan perlakuan istimewa bukan lagi setara. Apa yang dialami perempuan tidaklah sama dnegan apa yang dialami oleh laki-laki. Contohnya dalam hal cuti. Apabila ketentuan cuti tersebut disamakan antara laki-laki dan perempuan, maka akan terjadi suatu ketidakadilan bagi kaum perempuan. jadi, kurang tepat apabila suatu hukum sifat keberlakuaknnya harus netral serta objektif apabila dikaji melalui pandangan kritis yang berperspektif feminis. [5: Ibid., hlm. 35.]

(C) Contoh rumusan peraturan perundang-undangan yang memiliki implikasi ketidak adilan terdapat dalam Peraturan Daerah Tangerang mengenai Larangan Pelacuran Pasal 1 butir 4 tentang pelacuran itu sendiri yang menyatakan bahwa pelacuran merupakan hubungan seksual di luar pernikahan yang dilakukan oleh pria atau wanita, baik ditempat berupa hotel, restoran, tempat hiburan atau lokasi pelacuran ataupun ditempat-tempat lain di Daerah dengan tujuan mendapatkan imbalan jasa. Perumusan ini dirasakan tidak pro terhadap perempuan dan tdak memperhitungkan realitanya serta terdpat bahasa-bahasa yang vulgar yang cenderung mengeksploitasi kehormatan wanita itu sendiri. Dalam pasal 4 Peraturan Daerah Tangerang disebutkan bahwa larangan untuk bermesraan yang mengarah kepada hubungan seksual serta larangan orang berada di jalan umum yang menimbulkan kecurigaan bahwa ia atau mereka adalah pelacur. Pada saat hari pertama diberakukannya Perda ini, terdapat 26 orang perempuan yang ditangkap[footnoteRef:6]. Fenomena menyedihkan ini dapat memberikan suatu kesimpulan adanya diskriminasi terhadap wanita, dimana yang dianggap sebagai pelacur hanya wanita saja, begitulah gambaran mengenai pelacur menurut pembentuk undang-undang. Pelacur adalah wnaita yang keluar pada malam hari. pada faktanya, terdapat profesi-profesi perempuan yang memang jam kerja nya berakhir pada malam hari, contohnya buruh pabrik. Jadi dapat disimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan dalam hal ini Peraturan Daerah Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Larangan Pelacuran memiliki implikasi tidak adil terhadap perempuan serta adanya bentuk pelecehan-pelecehan melalui rumusan pasal-pasalnya yang vulgar. [6: Ibid., hlm 34.]

NOMOR 2

(A) Yang seharusnya dilakukan oleh sebuah negara yang meratifikasi konvensi internasional adalah meratifikasi konvensi tersebut melalui suatu UU. Dalam kasus ini Indonesia sudah meratifikasi konvensi CEDAW kedalam UU No. 7 Tahun 1984. Ini merupakan sebuah langkah yang tepat bag negara yang meratifikasi sebuah konvensi internasional. Dengan diratifikasikannya konvensi tersebut menjadi UU, maka negara dalam hal ini bangsa Indonesia harus mematuhi apa yang terdapat dalam UU No. 7 tahun 1984 sebagai hasil dari ratifikasi konvensi CEDAW tersebut. hal ini sejalan dengan Pasal 71 UU No. 39 tahun 1999 mengenai HAM, dimana dalam pasa tersebut dijelaskan bahwa Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak azasi manusia yang diatur dalam undang - undang ini, peraturan perundang - undangan lain, dan hukum internasional tentang hak azasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Pasal 71 UU HAM ini menunjukan bahwa hukum internasional mengenai HAM yang sudah diteroma oleh RI harus ditegakkan. Dengan diratifikasinya Konvensi CEDAW berarti terciptanya kewajiban dan akuntabilitas negara yang meratifikasi. Konsekuensi dari ratifikasi Konvensi internasional ialah bahwa Negara Peserta memberikan komitmen, mengikatkan diri unruk menjamin melalui peraturan perundangan, kebijakan, program dan tindakan khusus sementara, mewujudkan kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan serta terhapusnya segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.[footnoteRef:7] [7: Ibid., hlm 85.]

(B)Prinisp-prinsip yang dianut oleh Konvensi wanita adalag prinisp persamaan substantif, prinsip non diskrimintaif dan prinsip kewajiban negara. Prinsip substantif adah langkah tinfdak untuk merealisasikan hak perempuan yang ditujukan untuk mengatasi adanya perbedaan, disparitas/kesenjangan atau keadaan yang merugikan perempuan. Juga merupakan langkah tindak melakukan perubahan lingkungan sehingga perempuan mempunyai kesempatan dan akses yang sama dengan laki-aki serta menikmati manfaat yang sama. Dan, Konvensi Wanita juga mewajibkan negara mendasarkan kebijakan dan langkah-langkah pada prinsip-prinsipnya kesempatan serta akses yang sama bagi perempuan dan laki-laki serta hak untuk menikmati manfaatnya yang sama. [footnoteRef:8] prinsip kedua adalah prinsip non diskriminatif, yaitu diskriminasi dilarang dalam lebih dari satu traktat hak asasi manusia. Kovgenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melarang pembedaan berdasarkan ras, warna, jenis kelamin, dan bahasa sebagai jaminan atas hak individu. Pembedaan dalam pemberian hak atas dasar yang manapun merupakan tindakan diskriminatif dan bukan perlakuan berbeda yang memfasilitasi kesetaraan pengakuan, penikmatan, dan penerapan hak yang sama bagi semua.[footnoteRef:9] Sementara pada prinsip ketiga adalah prinsip kewajiban negara, yang meliputi menjamin hak perempuan melalui hukum dan kebijakan, serta menjamin hasilnya. Menajmin pelaksanaan praktis dari hak itu melaui langkah-tindak atau aturan khusus sementara, menciptakan kondisi yang kondusif unruk meningkatkan kesempatan dan akses perempuan pada peluang yag ada dan menikmati manfaat yang sama/adil dari hasil menggunakan peluamg itu. Jaminan tersebut tidak hanya de jure namun juga de facto. Negara juga tidak saja harus bertanggung jawab dan mengaturnya dalam sektor publik, tetapi juga harus melaksanakan terhadap tindakan orang-orang dan lembaga di sektor privat dan sektor swasta.[footnoteRef:10] [8: Ibid., hlm. 87] [9: Partner for Law in Development, Mengembalikan Hak-hak Perempuan, ter. Archie S. Luhulima, (Jakarta: SMK Grafika Desa Putera, 2007), hlm. 27] [10: Sulistyowati Irianto, Opcit., hlm 110.]

(C)Kedudukan dari suatu konvensi internasional yang diratifikasi dalam sistem hukum Indonesia adalah berdasarkan sistem Hukum Nasional kita, maka dengan meratifikasi suatu konvensi baik regional maupun multilateral, perjanjian bilateral, negara sudah terikat untuk tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam konvensi atau perjanjian tersebut. Suatu konvensi atau perjanjian internasional yang telah diratifikasi, baru dapat dilaksanakan apabila telah dimasukkan dalam suatu undang undang yang dikenal sebagai Undang-undang tentang Pengesahan Ratifikasi Perjanjian Internasional.[footnoteRef:11] Ratifikasi ini dilakukan sebagai tanda keseriusan pemerintah dalam menerapkan apa yang ada dalam perjanjian internasional tersebut, ditambah lagi jika ratifikasi tersebut dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan implementasinya. Hal ini dapat diartikan pemerintah telah siap siaga untuk bertanggung jawab secara penuh dan menjamin berlakunya anturan-aturan tersebut di Indonesia. [11: http://www.academia.edu/4018273/Hukum_Internasional]

Berdasarkan UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, ratifikasi atau pengesahan Perjanjian Internasional dapat dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden Pengesahan Perjanjian Internasional melalui undang-undang dilakukan berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk serta namanya. Klasifikasi ini dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum dan keseragaman antara bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang. Terdapat klasifikasi perjanjian yang ratifikasinya dilakukan dengan undang-undang, yaitu perjanjian yang berkenaan dengan masalah politik, perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah RI, kedaulatan atau hak berdaulat negara, dan hak asasi manusia dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru serta pinjaman dan/atau dana hibah dari luar negeri.[footnoteRef:12] Kekuatan mengikat dari perjanjian internasional yang diratifikasi ini dalam soistem hukum Indonesia, sifatnya mengikat secara umum dan terikat untuk melaksanakan isi konvensi ini secara konsisten serta tidak ada alasan yang dapat menyebabkan penyimpangan dari konvensi yang telah diratifikasi ini. Sebenarnya tidak ada suatu paksaan kepada negara berdaulat untuk meratifikasi konvensi internasional tetapi apabila ratifikasi telah dilakukan, maka secara otomatis isi konvensi itu mengikat secara umum kedalam negara yang meratifikasi konvensi internasional tersebut. jadi dapat disimpulkan bahwa kedudukan konvensi internasional yang telah diratifikasi sama dengan hukum nasional dan mempunyai daya ikat memaksa terhadap pengaturan-pengaturan serta hak dan kewajiban yang terdapat dalam konvensi internasionalnya. [12: Mochtar Kusumaatmaja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Jakarta: Penerbit ALUMNI, 2002), hlm. 120.]

(D) Pendapat saya ada dalam pendapat pertama dimana konvensi internasional yang diratifikasi bisa langsung mengikat dan dapat dipandang sebagai sumber hukum dan dgunakan untuk melakukan pendampingan terhadap kasus-kasus diskriminasi terhadap perempuan. Alasannya adalah pada saat di ratifikasi tersebut, sebuah perjanjian internasioanl daya ikatnya sama dengan hukum nasional. Legislasi seperti dalam UU no 24 Tahun 2000 sebgaimana yang dijelaskan dalam poin A diperlukan, namun tidak diperlukan lagi adanya UU implementasi terhadap konvensi internasional yang terkait. apalagi disaat ada kasus-kasus diskriminasi terhadap wanita perempuan terjadi, maka harus diadakan secara tegas dan sigap dalam pendampingannya, lamanya proses konversi perjanjian internasional kedalam hukum positif Indonesia tdak bisa dijadikan alasan untuk melindungi kaum yang terdiskriminasi, karena dalam asas hukum internasional disebuttkan juga bahwa hak asasi manusia dalam hal ini perempuan yang terdiskriminasi harus dibela. Jika harus menunggu peraturan lebih lanjut, yang entah memerlukan waktu berapa lama dalam pembahasan serta pembuatannya, untuk dapat menolong perempuan yang didiskriminasi maka hal ini rasanya sungguh tidak adil. Karena pertolongan pada mereka, harus dilakukan secara cepat sebelum terlambat dan terjadi resiko-resiko yang tidak diinginkan.

NOMOR 3

(1)Pendapat saya mengenai kasus Nurjanah dengan Suwardi adalah dimana suatu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat berujung kepada tekanan psikis seseorang yang dipendam selama bertahun-tahun dan mengakibatkan meledaknya emosi dalam suatu waktu yang berujung kepada wafatnya Suwandi. Dalam kasus ini, saya berpendapat bahwa Nurjanah, walaupun ia pada akhirnya melakukan tindakan yang mengakibatkan terbunuhnya Suwardi, tetap dianggap sebagai korban KDRT. Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami Nurjanah dihubungkan dengan UU No. 23 tahun 2004 yang pertama adalah kekerasan fisik yaitu dalam Pasal 6. Dinyatakan dengan jelas dalam Pasal 6 bahwa kekerasan fisik itu adalah yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Dalam kasus ini, Nurjanah dipukul dengan batu bata dan kepalan tangan, pada tanggal 31 Agustus 1999 ditampar pipinya kanan dan kiri, ditendang punggungnya serta pahanya oleh Suwandi. Hal ini pasti menyebabkan rasa sakit dalam diri Nurjanah, bukti nyata nya adalah Nurjanah mengalami depresi setelah 16 tahun menikah. Pemukulan serta penendangan yang dialami juga akan menimbulkan minimal rasa sakit dan bahkan luka berat. Nurjanah dapat mengalami luka berat akibat tindakan yang diakukan Suwardi tersebut. Maka, terkait penjelasan diatas dapat dibuktikan bahwa unsur-unsur dalam Pasal 6 UU No. 23 tahun 2004 dapat terpenuhi dalam kasus KDRT yang dialami oleh Nurjanah. Bentuk kekerasan yang kedua yang dialami Nurjanah berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004 adalah dalam Pasal 7, yaitu bentuk kekerasan psikis. Kekerasan psikis ini akan mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri , hilangnya kemampuan bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Terkait dengan kasus Nurjanah, ia mengalami kekerasan psikis yang dialami berupa penghinaan, ancaman dengan cara mengasah gunting ketika terjadi pertengkaran dengan maksud menakut-nakuti, kata-kata kasar Suwardi pada saat pulang kerja, dan juga pada saat Suwandi mengambil pisau untuk menakuti Nurjanah. Hal-hal yang dilakukan oleh Suwandi ini mengakibatkan penderitaan psikis berat dalam diri Nurjanah berupa rasa emosional yang terpendam dalam dirinya selama bertahun-tahun. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dalam pasal 7 UU No. 23 Tahun 2004 dapat terpenuhi. Bentuk kekerasan ketiga terkait dengan UU No. 23 tahun 2004 adalah kekerasan ekonomi yang tercermin pada Pasal 9 yaitu menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan. Sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 1 tahun 1974, suami wajib memberi nafkah kepada keluarganya. Dalam hal ini, Suwardi meninggalkan Nurjanah dengan alasan yang tidak jelas dan tidak meninggalkan biaya hidup sama sekali. Nurjanah, karena tidak diberi nafkah oleh suaminya, mengalami kesulitan dalam bidang ekonomi. Maka dapat disimpulkan bahwa, dalam unsur-unsur dalam Pasal 9 ayat (1) UU No 23 Tahun 2004, terpenuhi dan Nurjanah dapat dikatakan mengalami pelelantaran rumah tangga yang berupa kekerasan ekonomi.

(2) Konvensi wanita dan UU No. 7 Tahun 1984 memiliki sebuah spirit atau asas dasar yang sama yaitu perlindungan terhadap wanita, dalam hal ini korban KDRT. menurut pendapat saya hukuman yang dijatuhkan kepada Nurjanah berupa hukuman 1 tahun penjara akibat penusukan yang berujung kepada kematian Suwardi ini dirasa kurang adil mengingat Nurjanah sebenarnya adalah korban dalam kasus ini. Tindakan yang dilakukan Nurjanah pada Suwardi, merupakan akibat dari KDRT yang dilakukan Suwardi selama ini. Sangat wajar apabila ada ketidakstabilan emosi dalam diri Nurjanah akibat tindakan-tindakan keji yang dilakukan oleh Suwardi brerupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, serta penelantaran rumah tangga dengan tidak memberikan nafkah dalam waktu yang lama, dimana pemberian nafkah oleh suami ini termasuk hal yang diwajibkan. Ditambah lagi perilaku Suwardi yang tidak beretika yaitu gemar berselingkuh juga akan membuat seorang wanita termasuk Nurjanah akan merasakan perasaan hancur serta depresi yang mendalam dan menumpuk dengan keadaan tidak mampu berbuat apa-apa. Berdasarkan keadaan-keadaan yang disebutkan diatas, yang telah dialami oleh Nurjanah selama bertahun-tahun, ia tetap bertahan untuk tidak menceritakan keburukan suaminya tersebut. Bahkan walaupun sudah melapor kepada polisi serta KUA, masalah KDRT tersebut tidak berhasil juga untuk diselesaikan, maka hukuman yang dijatuhkan, justru kepada korban KDRT itu sendiri, dirasakan kurang adil dan tidak sesuai dengan spirit dalam UU No. 7 Tahun 1984 serta konvensi wanita yang menjujung tinggi kesamaan derajat antara wanita dan pria serta perlindungan tehadap wanita itu sendiri, tidak diterapkan secara nyata dan hal ini dapat diartikan bahwa penegakan hukum serta perkindungan hukum terhadap wanita belum dijalankan sebagaimana yang semestinya. Karena disini sudah sangat jelas bahwa Nurjanah merupakan korban yang tidak seharusnya dihukum, walaupun hukumannya sudah lebih rendah dari yang seharusnya.

(3) Pembelaan yang akan saya lakukan terkait dengan kasus KDRT oleh Suwardi terhadap Nurjanah yang mengakibatkan Suwardi wafat adalah, pada dasarnya Nurjanah merupakan korban dalam kasus ini sehingga tidak seharusnya Nurjanah mendapakan hukuman. Sebagaimana definisi korban menurut Pasal 1 butir (1) UU No 23 Tahun 2004 yaitu orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Dalam kasus ini Nurjanah dipastikan memenuhi unsur sebagai korban karena ia secara nyata mengalami kekerasan dan juga ancaman kekerasan akibat perlakuan suaminya tersebut. tindakan Nurjanah yang mengakibatkan suaminya wafat tersebut, dilakukan Nurjanah karena depresi mendalam yang dideritanya, yang menyebabkan ketidakstabilan emosi dalam dirinya, terlebih pada saat ia berhadapan dengan orang yang melakukan kekerasan terhadapnya. Jika dikaitkan dengan Pasal 10 UU No 23 Tahun 2004, maka dengan secara jelas terdapat kesalahan penerapan hukum disini. Sebagai korban, Nurjanah seharusnya mendapatkan hak-hak nya, bukan dihukum dalam penjara. Seharusnya Nurjanah mendapatkan perlindungan juga banuan dari keluarga kepolisian maupun pengadilan serta mendapatkan pelayanan kesehatan dan pelayanan rohani agar trauma dan depresi yang dialami Nurjanah dapat diatasi dan tidak akan berlangsung lebih lama lagi. Justru dengan memasukannya ke penjara, tindakan ini dapat dianggap sebagai tindakan melanggar hukum yang tidak sesuai dengan apa yang disyaratkan UU No 23 Tahun 2004 mengenai hak-hak yang seharusnya didaptkan korban. Pasal 44 ayat (1) UU No 23 Tahun 2004 disebutkan bahwa KDRT yang mengakibatkan kematian dihukum 15 tahun penjara namun tindakan Nurjanah yang membuat suaminya wafat tersebut tidak dapat dikenai pasal karena Nurjanah sebagai korban. Walaupun ia sebagai terdakwa, Nurjanah dapat memnuhi unsur dasar pemaaf yang terdapat dalam KUHP dimana alasan tersebut menghapuskan kesalahan terdakwa walaupun perbuatan yang dilakukannya tetap bersifat melawan hukum dan tetap merupakan tindakan pidana namun yang bersangkutan tidak dapat dikenai hukuman penjara. Dasar pemaaf ini dapat dijadikan pembelaan mengingat kondisi kejiwaan Nurjanah yang tidak stabil saat itu ditambah kondisi psikis yang depresi dan hancur akibat KDRT yang dilakukan suaminya sendiri selama bertahun-tahun.