v. analisis keterkaitan-revisi
TRANSCRIPT
Moch. Rum Alim. ANALISIS KETERKAITAN DAN KESENJANGAN EKONOMI INTRA DAN INTERREGIONAL JAWA-SUMATERA. Disertasi. IPB. 2006
V. ANALISIS KETERKAITAN SKETOR-SEKTOR INTRA DAN INTERREGIONAL JAWA DAN SUMATERA
5.1. Keterkaitan Antarsektor Produksi Intra Region
Analisis keterkaitan antara sektor-sektor produksi dapat dilihat dari dua sisi,
yakni dari sisi keterkatan ke belakang (backward linkages) dan dari sisi
keterkaitan ke depan (forward linkages). Keterkaitan ke belakang menunjukan
daya penyebar, artinya kalau terjadi peningkatan permintaan akhir terhadap suatu
sektor tertentu maka sektor tersebut akan mendorong peningkatan output semua
sektor dengan kelipatan sebesar nilai multipliernya. Sebagai contoh, keterkaitan
ke belakang sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya di Jawa (Tabel 9. baris
kedua, kolom kedua) sebesar 2.4916. Angka ini mengandung arti bahwa apabila
permintaah akhir atas produk tanaman pangan dan tanaman lainnya meningkat
sebesar satu rupiah, maka output semua sektor akan meningkat sebesar 2.4916
rupiah. Hal ini terjadi karena kenaikan permintaan akhir terhadap output sektor
tanaman pangan dan tanaman lainnya sebesar satu rupiah, mendorong sektor ini
meningkatkan permintaan input dari sektor-sektor lainnya, yang kemudian
sektor-sektor lain tersebut meningkatkan output mereka yang juga memerlukan
tambahan input. Akhirnya seluruh sektor ekonomi meningkat sebesar 2.4916
rupiah. Backward linkages menggambarkan keterkaitan antra sektor (aktivitas)
produksi yang berada di hilir (downstream sectors) dengan sektor-sektor produksi
yang berada di hulu (upstream sectors). Sisi pandangnya adalah sebagai pembeli
input. Backward linkages akan eksis apabila peningkatan produksi sektor-sektor
hilir memberikan dampak eksternalitas positif terhadap sektor-sektor hulu.
Pada sisi lain, keterkaitan ke depan (forward linkages) menunjukkan derajat
kepekaan suatu sektor tertentu terhadap permintaan akhir semua sektor-sektor
lainnya. Dengan kata lain, jika terjadi kenaikan permintaan akhir pada semua
sektor produksi maka suatu sektor tertentu akan memberikan respon dengan
menaikan output sektor tersebut dengan kelipatan sebesar keofisien
keterkaitannya. Contoh, koefisien keterkaitan ke depan sektor tanaman pangan
dan tanaman lainnya di Jawa sebesar 3.7586 (Tabel 9. baris kedua, kolom ketiga).
Angka ini mempunyai makna bahwa apabila permintaan akhir semua sektor
produksi meningkat sebesar satu rupiah, maka output sektor tanaman pangan dan
tanaman lainnya meningkat sebesar 3.7586 rupiah. Forward linkages
menggambarkan keterkaitan antra sektor (aktivitas) produksi yang berada di hulu
(upstream sectors) dengan sektor-sektor produksi yang berada di hilir
(downstream sectors). Sisi pandangnya adalah sebagai penjual input. Forward
linkages akan eksis apabila peningkatan produksi oleh sektor hulu (upstream
sector) memberikan dampak eksternalitas positif terhadap sektor-sektor hilir
(downstram sectors).
Observasi Tabel 9. menunjukan bahwa dalam kelompok sektor primer di
Jawa, sektor kehutanan dan perburuan memiliki daya penyebar yang paling
tinggi, kemudian disusul oleh sektor perikanan, sektor peternakan, dan yang
terendah adalah sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya. Di pihak lain, sektor
tanaman pangan dan tanaman lainnya memiliki derajat kepekaan yang paling
tinggi dalam kelompok sektor primer di Jawa, yang kemudian disusul oleh sektor
pertambangan dan penggalian; sektor peternakan; dan sektor perikanan,
sedangkan yang terendah dalam kelompok sektor primer adalah sektor kehutanan
dan perburuan.
Selanjutnya, sektor industri kertas, barang percetakan, alat angkutan, barang
logam dan lainnya merupakan sektor yang memilik daya penyebar tertinggi;
137
Tabel 9. Koefisien Keterkaitan Ke belakang dan Keterkaitan Ke depan Menurut Sektor Produksi di Jawa
Sektor ProduksiLinkages Ranking
Backward
Forward
Backward
Forward
Tanaman pangan dan tanaman lainnya 2.4916 3.7586 16 5
Peternakan 3.5627 2.3479 7 10
Kehutanan dan perburuan 3.5705 1.3967 4 16
Perikanan 3.5677 1.9912 6 12
Pertambangan dan Penggalian 3.3018 2.5739 15 9
Industri makanan, minuman dan tembakau 3.4371 8.2077 13 2
Industri pemintalan, tekstil dan kulit 3.5153 3.3516 10 7
Industri kayu dan barang-barang dari kayu 3.4060 1.5673 14 15
Industri kertas, cetak, alat angkutan, barang logam dan lainnya 3.5680 1.8916 5 13Industri kimia, pupuk, barang dari tanah liat, semen dan logam dasar 3.5115 4.8150 11 4
Listrik,gas dan air 3.5769 2.0668 3 11
Konstruksi 3.5871 1.7262 2 14
Perdagangan, restoran dan hotel 3.5275 10.2690 9 1
Transportasi dan komunikasi 3.5095 3.6193 12 6
Keuangan dan perbankan 3.5414 3.2567 8 8
Jasa-jasa lainnya 7.1807 7.2828 1 3
Sumber : SAMIJASUM 2002 Updating (diolah)
disusul kemudian oleh sektor industri pemintalan, tekstil dan kulit, sektor industri
kimia, pupuk, barang dari tanah liat, semen dan logam dasar, sektor industri
makanan, minuman dan tembakau, dan yang paling rendah adalah sektor industri
kayu dan barang-barang dari kayu. Di samping itu, sektor yang memiliki derajat
kepekaan paling tinggi dalam kelompok industri pengolahan adalah sektor
industri makanan, minuman dan tembakau, disusul kemudian oleh sektor industri
kimia, pupuk, barang dari tanah liat, semen dan logam dasar; sektor industri
pemintalan, tekstil dan kulit; sektor industri kertas, cetak, alat angkutan, barang
logam dan lainnya; dan sektor industri kayu dan barang-barang dari kayu. Dalam
kelompok sektor jasa, sektor yang memiliki daya penyebar tertinggi barturut-turut
adalah sektor jasa-jasa lainnya; sektor konstruksi, listrik, gas dan air; sektor keuangan
dan perbankan, sektor perdagangan, restoran dan hotel; sektor transportasi dan
komunikasi. Sedangkan yang memiliki derajat kepekaan yang tinggi, berturut-turut
138
adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel; sektor jasa-jasa lainnya; sektor
transportasi dan komunikasi; sektor keuangan dan perbankan; dan sektor konstruksi.
Tabel 10. menunjukan bahwa dalam kelompok sektor primer di Sumatera,
sektor peternakan memiliki daya penyebar yang paling tinggi, kemudian disusul
oleh kehutanan dan perburuan; sektor perikanan; dan yang terendah adalah sektor
tanaman pangan dan tanaman lainnya. Sedangkan sektor yang memiliki derajat
kepekaan yang paling tinggi dalam kelompok sektor primer di Sumatera adalah
sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya, kemudian disusul oleh sektor
peternakan dan sektor perikanan, dan yang terendah adalah sektor kehutanan dan
perburuan.
Tabel 10. Koefisien Keterkaitan Ke belakang dan Keterkaitan Ke depan Menurut Sektor Produksi di Sumatera
Sektor ProduksiLinkages Ranking
Backward Forward Backward Forward
Tanaman pangan dan tanaman lainnya 1.8498 4.1745 16 4
Peternakan 2.8504 3.1524 4 7
Kehutanan dan perburuan 2.8047 1.4821 6 14
Perikanan 2.7716 3.0670 13 8
Pertambangan dan penggalian 2.6570 2.2984 15 10
Industri makanan, minuman dan tembakau 2.8163 6.8853 5 2
Industri pemintalan, tekstil dan kulit 2.7876 1.9577 8 11
Industri kayu dan barang-barang dari kayu 2.7875 1.6024 9 13
Industri kertas, cetak, alat angkutan, barang logam dan lainnya 2.7848 1.3244 10 15Industri kimia, pupuk, barang dari tanah liat, semen dan logam
ds 2.7718 3.1594 12 6
Listrik,gas dan air 2.8728 1.6068 3 12
Konstruksi 2.9291 1.1881 2 16
Perdagangan, restoran dan hotel 2.7878 7.0974 7 1
Transportasi dan komunikasi 2.7434 3.5741 14 5
Keuangan dan perbankan 2.7793 2.3346 11 9
Jasa-jasa lainnya 5.8070 4.2210 1 3
Sumber : SAMIJASUM 2002 Updating (diolah)
Selanjutnya, untuk kelompok industri di Sumatera, sektor yang memiliki
daya penyebar tertinggi di dalam kelompok ini bertutut-turut adalah : sektor
industri makanan, minuman dan tembakau; sektor industri pemintalan, tekstil dan
139
kulit; sektor industri kayu dan barang-barang dari kayu; sektor industri kertas,
cetak, alat angkutan, barang logam dan lainnya; sektor industri kertas, cetak, alat
angkutan, barang logam dan lainnya; dan sektor industri kimia, pupuk, barang dari
tanah liat, semen dan logam dasar. Sedangkan sektor yang memiliki derajat
kepekaan paling tinggi dalam kelompok industri pengolahan di Sumatera adalah
sektor industri makanan, minuman dan tembakau, kemudian diikuti oleh sektor
industri kimia, pupuk, barang dari tanah liat, semen dan logam dasar, lalu sektor
industri pemintalan, tekstil dan kulit, sektor industri kayu dan barang-barang dari
kayu, dan yang terakhir adalah sektor industri kertas, cetak, alat angkutan, barang
logam dan lainnya.
Dalam kelompok sektor jasa, sektor yang memiliki daya penyebar tertinggi
berturut-turut adalah sektor jasa-jasa lainnya; sektor konstruksi; sektor listrik, gas dan
air; sektor perdagangan, restoran dan hotel; sektor keuangan dan perbankan; dan sektor
transportasi dan komunikasi. Sedangkan yang memiliki derajat kepekaan yang tinggi,
berturut-turut adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel, sektor jasa-jasa lainnya;
sektor transportasi dan komunikasi; sektor keuangan dan perbankan; sektor listrik, gas
dan air; dan yang terakhir adalah sektor konstruksi.
Secara agregat sektor-sektor ekonomi di Jawa yang memiliki daya penyebar
(backward linkages) yang paling tinggi adalah sektor jasa-jasa lainnya; sektor
konstruksi; sektor listrik, gas dan air; sektor kehutanan dan perburuan, dan sektor
industri kertas, barang percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan lainnya.
Sedangkan sektor-sektor yang memiliki daya penyebar yang paling rendah adalah
sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya; sektor pertambangan dan
penggalian; sektor industri kayu dan barang dari kayu; sektor industri makanan,
140
minuman dan tembakau; sektor transportasi dan komunikasi; dan sektor industri
kimia, pupuk, barang dari tanah liat, semen dan logam dasar. Di pihak lain,
sektor-sektor yang multiplier forward linkages tertinggi adalah sektor
perdagangan, restoran dan hotel; sektor industri makanan, minuman dan
tembakau; sektor jasa-jasa lain; sektor industri kimia, pupuk, barang dari tanah
liat, semen dan logam dasar; dan sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya.
Multiplier backward linkages menunjukkan besar peningkatan keseluruhan
sektor sebagai akibat peningkatan sektor tertentu yang disebabkan oleh
meningkatnya permintaan akhir pada sektor tersebut. Sementara itu forward
linkages menunjukkan peningkatan sektor tertentu sebagai akibat meningkatnya
permintaan akhir seluruh sektor. Sesungguhnya backward linkages berkaitan
dengan permintaan input pada berbagai sektor di belakangnya (kaitan hilir ke
hulu). Permintaan input dalam perekonomian senantiasa terjadi secara berantai,
sehingga seluruh matarantai akativitas produksi akan terkena dampak dari suatu
guncangan (shock) output pada sektor tertentu. Persoalannya adalah seberapajauh
matarantai yang terkena dampak dari perubahan suatu sektor tertentu. Hal ini
dapat dilihat dari besaran koefisien backward linkages-nya. Semakin besar
koefisien backward linkages-nya berarti semakin dalam keterkaitannya.
Sebaliknya, semakin kecil koefisien multipliernya berarti semakin dangkal
keterkaitannya. Di sisi lain, forward linkages berkaitan dengan pasokan input dari
suatu sektor tertentu kepada sektor-sektor lain di depannya (dari hulu ke hilir).
Forward linkages menyatakan besarnya dampak yang diterima suatu sektor
tertentu sebagai akibat dari perubahan permintaan akhir dalam perekonomian.
Permintaan akhir terdiri atas permintaan konsumsi rumahtangga, konsumsi
141
pemerintah, pembentukan modal, dan ekspor. Dengan demikian, forward linkages
berada pada konsep menerima dampak perubahan dan bukan menciptakan
dampak perubahan. Sekalipun demikian, konsep forward linkages mendorong
peningkatan sektor-sektor di depannya, sehingga eksternalitas ekonomis sektor
(hulu) tersebut terhadap sektor-sektor di depannya menjadi penting.
Dalam konteks kecenderungan suatu sektor berada pada posisi hilir atau pada
posisi hulu, dilakukan dengan cara membandingkan koefisien backward linkages
dengan koefisien forward linkages. Sektor yang memiliki koefisien backward
linkage lebih besar dari koefisien forward linkages berarti sektor tersebut
cenderung berada pada posisi hilir, dan sebaliknya berarti cenderung berada pada
posisi hulu. Dalam perspektif ini nampaknya dalam perekonomian Jawa, sektor-
sektor yang cenderung berada pada posisi hulu adalah sektor perdagangan,
restoran dan hotel; sektor industri makanan, minuman, dan tembakau; sektor jasa-
jasa lainnya; sektor industri kimia, pupuk, barang dari tanah liat, semen, dan
logam dasar; sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya; dan sektor transportasi
dan komunikasi. Sedangkan sepuluh sektor lainnya lebih cenderung berada pada
posisi hilir.
Idealnya, sektor industri makanan, minuman, dan tembakau berada pada
posisi yang agak ke hilir sehingga sektor ini lebih mampu menarik sektor-sektor
di belakangnya untuk meningkat, terutama sektor pertanian. Demikian pula
dengan sektor perdagangan, restoran dan hotel. Tabel 10 menunjukkan bahwa
kedua sektor ini justru berada pada posisi yang paling hulu dibandingkan dengan
sektor-sektor lainnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kedua sektor ini lebih
berorientasi pada penggunaan input impor daripada input lokal.
142
Sektor kehutanan dan perburuan di Jawa lebih cenderung berada pada posisi
hilir. Kemungkinan hal ini terjadi karena di Jawa sektor ini dikelola secara
intensif, sehingga memerlukan input dari sektor-sektor di belakangnya dan
terjadilah keterkaitan yang relatif dalam. Yang sulit dimengerti adalah posisi
sektor kehutanan dan perburuan yang relatif agak lebih ke hilir daripada posisi
sektor industri kayu dan barang-barang dari kayu. Ini menunjukkan bahwa antara
sektor kehutanan dan perburuan dengan sektor industri kayu dan barang-barang
dari kayu, kurang terdapat terkait langsung secara vertikal.
Dalam perekonomian Sumatera, sektor-sektor yang relatif lebih cenderung
beradapada posisi hulu adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel; sektor
industri makanan, minuman, dan tembakau; sektor tanaman pangan dan tanaman
lainnya; sektor industri kimia, pupuk, barang dari tanah liat, sektor peternakan;
sektor perikanan; dan sektor transportasi dan komunikasi. Sedangkan sembilan
sektor lainnya relatif lebih cenderung pada posisi hilir.
Perbedaan sektor-sektor yang cenderung berada pada posisi hulu dalam
perekonomian Jawa dan perekonomian Sumatera adalah sektor jasa-jasa lainnya,
sektor peternakan, dan sektor peternakan. Ini berarti bahwa sektor-sektor lain,
selain tiga sektor tersebut, memiliki perilaku peranan yang relatif sama di dalam
perekonomian kedua wilayah. Sektor jasa-jasa lainnya, sekalipun mempunyai
posisi yang berbeda di dalam perekonomian Jawa dan Sumatera, namun
mempunyai peranan yang cukup besar dalam menyebarkan peningkatannya
kepada sektor-sektor dibelakangnya dan mendorong peningkatan sektor-sektor di
depannya.
143
Perbedaan posisi sektor peternakan dan sektor perikanan di dalam
perekonomian Jawa dan perekonomian Sumatera, menunjukkan perbedaan
peranan kedua sektor ini di dalam perekonomian kedua wilayah. Dalam
perekonomian Jawa, sektor peternakan dan sektor perikanan relatif lebih
cenderung berada pada posisi hilir, sedangkan di dalam perekonomian Sumatera
relatif lebih cenderung berada pada posisi hulu. Hal ini menunjukkan bahwa
sektor peternakan dan sektor perikanan di Jawa relati sudah dikelola secara
intensif. Pengelolaan secara intensif (budidaya) memerlukan berbagai input, yang
antara lain misalnya pakan dan obat-obatan. Racikkan pakan dan obat-obatan
memerlukan input dari berbagai sektor, dan berbagai sektor tersebut juga
memerlukan input dan begitu seterusnya.
Sekalipun kedua sektor ini dalam perekonomi Sumatera relatif lebih
cenderung berada pada posisi hulu, namun sektor peternakan di Sumatera mampu
menyebarkan peningkatannya kepada sektor-sektor di belangnya dengan derajat
peningkatan yang relatif tinggi dibandingkan dengan sektor-sektor yang berada
pada posisi hilir dalam perekonomian Sumatera.
5.2. Analisis Keterkaitan Interregional
Analisis keterkaitan interregional dapat ditinjau dari dua sisi, yakni dari sisi
keterkaitan kebelakang (backward linkages) dan keterkaitan kedepan (backward
linkages). Keterkaitan kebelakang (backward linkages) dan keterkaitan kedepan
(forward linkages) dalam model SAM interregional secara konseptual terdapat
pada kuadran II dan kuadran III. Dalam kuadran II terdapat backward linkages
dan forward linkages Sumatera-Jawa. Sedangkan dalam kuadran III terdapat
backward linkages dan forward linkages Jawa-Sumatera. Kuandran II pada
144
dasarnya hendak menjelaskan keterkaitan (backward linkages dan forward
linkages) antara sektor-sektor produksi di Sumatera dengan sektor-sektor
produksi di Jawa, dimana sektor-sektor produksi di Sumatera berada pada posisi
hulu dan sektor-sektor produksi di Jawa pada posisi hilir. Sedangkan kuadran III
hendak menjelaskan keterkaitan (backward linkages dan forward linkages) antara
sektor-sektor produksi di Jawa dengan sektor-sektor produksi di Sumatera,
dimana sektor-sektor produksi di Jawa berada pada posisi hulu dan sektor-sektor
produksi di Sumatera pada posisi hilir. Perbedaan pokok backward linkages dan
forward linkages dalam konteks keterkaitan interregional adalah bahwa backward
linkages menggambarkan efek perubahan permintaan akhir pada suatu sektor hilir
tertentu terhadap semua sektor hulu, sedangkan forward linkages menggambarkan
efek perubahan permintaan akhir pada semua sektor hilir terhadap salah satu
sektor hulu tertentu. Dengan demikian, backward linkages Sumatera-Jawa
diinterpretasikan sebagai efek perubahan permintaan akhir pada suatu sektor
produksi tertentu di Jawa terhadap total output seluruh sektor produksi di
Sumatera. Sedangkan backward linkages Jawa-Sumatera diinterpretasikan sebagai
efek perubahan permintaan akhir pada suatu sektor produksi tertentu di Sumatera
terhadap total output seluruh sektor produksi di Jawa. Sementara itu, forward
linkages Sumatera-Jawa diinterpretasikan sebagai efek perubahan permintaan
akhir pada seluruh sektor produksi di Jawa terhadap output sektor tertentu di
Sumatera. Sedangkan forward linkages Jawa-Sumatera diinterpretasikan sebagai
efek perubahan permintaan akhir pada seluruh sektor produksi di Sumatera
terhadap output sektor tertentu di Jawa.
145
Koefisien backward linkages Sumatera-Jawa diinterpretasikan sebagai
peningkatan permintaan akhir pada suatu sektor tertentu di Jawa mengakibatkan
total output semua sektor di Sumatera meningkat dengan kelipatan sebesar
koefisien keterkaitan. Sedangkan koefisien forward linkages Sumatera-Jawa
diinterpretasikan sebagai peningkatan permintaan akhir seluruh sektor produksi di
Jawa sebesar satu satuan mengakibatkan output sektor tertentu di Sumatera
meningkat dengan kelipatan sebesar koefisien keterkaitan. Dipihak lain, backward
linkages Jawa-Sumatera diinterpretasikan sebagai peningkatan permintaan akhir
pada suatu sektor tertentu di Sumatera mengakibatkan total output seluruh sektor
produksi Jawa meningkat dengan kelipatan sebesar koefisien keterkaitan.
Sedangkan forward linkages Jawa-Sumatera diinterpretasikan sebagai
peningkatan permintaan akhir pada semua sektor produksi di Js\awa
mengakibatkan output sektor tertentu di Jawa meningkat dengan kelipatan sebesar
koefisien keterkaitan.
Koefisien keterkaitan interregional model SAMIJASUM 2002 direkam ke
dalam Tabel 11. dimana backward linkages Sumatera-Jawa berada pada kolom
kedua dan forward linkages Sumatera-Jawa berada pada kolom ketiga. Pada baris
kedua kolom kedua dan ketiga Tabel 11. terdapat koefisien backward linkages
sebesar 0.3896 dan forward linkages sebesar 0.7613. Angka yang disebutkan
pertama menunjukkan bahwa apabila permintaan akhir sektor tanaman pangan
dan tanaman lainnya di Jawa meningkat sebesar satu rupiah, maka output semua
sektor yang berada didalam perekonomian Sumatera meningkat sebesar 0.3896
rupiah. Sedangkan angka yang disebut kedua menunjukan bahwa apabila
permintaan akhir semua sektor dalam perekonomian Jawa meningkat sebesar satu
146
rupiah, maka output sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya di Sumatera
meningkat sebesar 0.7613 rupiah.
Selanjutnya, pada baris kedua kolom keempat termuat backward linkages
Jawa-Sumatera sebesar 1.8385 dan forward linkages pada baris kedua kolom
kelima sebesar 2.8030. Koefisien backward linkages tersebut menyatakan bahwa
apabila permintaan akhir sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya di Sumatera
meningkat sebesar satu rupiah, maka output semua sektor dalam perekonomian
Jawa meningkat sebesar 1.8385 rupiah. Sedangkan koefisien forward linkages
Jawa-Sumatera menyatakan bahwa apabila permintaan akhir semua sektor dalam
perekonomian Sumatera meningkat sebesar satu rupiah, maka output sektor
tanaman pangan dan tanaman lainnya di Jawa meningkat sebesar 2.8030 rupiah.
Tabel 11. menunjukkan semua koefisien backward linkages Sumatera-Jawa
lebih kecil dari satu dan backward linkages Jawa-Sumatera lebih besar dari satu.
Ini berarti bahwa meningkatnya permintaan akhir pada setiap sektor produksi
yang manapun di Jawa sebesar satu rupiah mengakibatkan peningkatan output
semua sektor produksi di Sumatera kurang dari satu rupiah, sedangkan perubahan
yang sama di Sumatera mengakibatkan peningkatan output semua sektor produksi
di Jawa lebih besar dari satu. Dengan demikian, dari sisi backward linkages telah
terjadi kesenjangan keterkaitan sektor-sektor produksi antara kedua wilayah.
Ketimpangan backward linkages ini mencerminkan bahwa sektor-sektor produksi
di Jawa memberikan dampak eksternalitas positif dari kepada sektor-sektor
produksi di Sumatera relatif sangat kecil dibandingkan dengan dampak
eksternalitas positif dari sektor-sektor produksi di Sumatera kepada sektor-sektor
produksi di Jawa.
147
Tabel 11. Koefisien Keterkaitan Antarsektor SAM-Interregional Sumatera-Jawa dan Jawa-Sumatera
Sektor Produksi
Linkages
SM-JW JW-SMBackwar
dForward
Backward
Forward
Tanaman pangan dan tanaman lainnya 0.3896 0.7613 1.8385 2.8030
Peternakan 0.3670 0.4054 1.8580 0.8886
Kehutanan dan perburuan 0.3654 0.1237 1.8707 0.2574
Perikanan 0.3764 0.4148 1.8928 0.7638
Pertambangan dan penggalian 0.3561 0.3719 1.9195 1.4069
Ind. makanan, minuman dan tembakau 0.4024 1.1160 1.8592 5.5035
Ind. pemintalan, tekstil dan kulit 0.3831 0.1981 1.9327 1.7956
Ind. kayu dan barang-barang dari kayu 0.4026 0.1406 1.9270 0.6451Ind. kertas, cetak, alat ang., brg. Logam dan Lainnya
0.3670 0.0964 1.9435 0.8232
Ind. kimia, pupuk, tanah liat, semen dan logam dasar
0.3855 0.4756 1.8866 2.9606
Listrik, gas dan air 0.3834 0.1008 1.8576 0.7191
Konstruksi 0.3514 0.0230 1.8035 0.5381
Perdagangan, restoran dan hotel 0.3665 1.2128 1.8604 6.4550
Transportasi dan komunikasi 0.3818 0.5501 1.8962 1.9784
Keuangan dan perbankan 0.3714 0.2826 1.8871 1.7160
Jasa-jasa lainnya 0.7090 0.4572 3.6356 3.5791
Keterangan : SM = Sumatera, dan JW = JawaSumber: SAMIJASUM 2002 Updating (diolah)
Selan itu, Tabel 11. juga menunjukkan bahwa koefisien forward linkages
Sumatera-Jawa pada umumnya lebih kecil dari satu, kecuali pada sektor industri
makanan, minuman dan tembakau (1.1160) dan sektor perdagangan, restoran dan
hotel (1.2128). Disisi lain, koefisien forward linkages Jawa-Sumatera tidak
seluruhnya lebih besar dari satu. Namun demikian, seluruh koefisien forward
linkages Jawa-Sumatera lebih besar dari koefisien forward linkages Sumatera-
Jawa. Koefisien forward linkages Jawa-Sumatera yang terbesar terjadi pada sektor
perdagangan, restoran dan hotel (6.4550), sektor industri makanan, minuman dan
tembakau (5.5035), sektor jasa-jasa lainnya (3.5791), sektor industri kimia,
pupuk, barang dari tanah liat, semen dan logam dasar (2.9606), dan sektor
tanaman pangan dan tanaman lainnya (2.8030). Ini berarti bahwa pasokan input
148
antara dari Jawa kepada perekonomian Sumatera yang terbesar berasal dari lima
sektor tersebut.
Secara keseluruha, baik dari sisi backward linkages maupun forward linkages,
menunjukkan bahwa perekonomian Sumatera membutuhkan input-antara dari
perekonomian Jawa relatif sangat besar daripada kebutuhan perekonomian Jawa
terhadap input-antara yang berasal dari Sumatera. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat ketergantungan perekonomian Sumatera terhadap input-antara yang
berasal dari Jawa lebih besar dari tingkat ketergantungan perekonomian Jawa
terhadap input-antara yang berasal dari Sumatera. Dari perspektif teori
interdependence yang saling menguntungkan, seharusnya perekonomian Jawa
membutuhkan input-antara dari perekonomian Sumatera jauh lebih besar
daripada sebaliknya. Implikasi dari penyimpangan tersebut adalah bahwa
perekonomian Jawa yang diharapkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi
nasional tidak terjadi, sehingga partisipasi perekonomian Sumatera dalam
pertumbuhan ekonomi nasional menjadi terbatas.
5.3. Rangkuman
1. Backward linkages pada dasarnya berkaitan dengan penggunaan input oleh
suatu sektor tertentu, sehingga apabila permintaan akhir terhadap output sektor
tersebut meningkat maka peningkatan itu akan berpengaruh terhadap
peningkatan output seluruh sektor dalam perekonomian. Di sisi lain, forward
linkages hendak menunjukkan besarnya peningkatan output sektor tertentu
sebagai akibat adanya peningkatan permintaan akhir seluruh perekonomian.
Dalam hubungan ini sektor jasa-jasa lainnya di Jawa merupakan satu-satunya
sektor yang di samping mempunyai backward lingkages yang tinggi juga
149
disertai dengan forward linkages yang tergolong tinggi. Di Sumatera, selain
sektor jasa-jasa lainnya, sektor industri makanan, minuman dan tembakau juga
mempunyai backward lingkages yang tinggi disertai forward linkages yang
juag tergolong tinggi. Sektor perdagangan, restoran dan hotel di Jawa
walaupun backward linkages tidak tergolong yang paling tinggi tetapi forward
linkages-nya yang paling tinggi.
2. Koefisien forward linkages sektor perdagangan, restoran, dan hotel, dan sektor
industri makanan, minuman, dan tembakau di Jawa dan Sumatera lebih besar
dari koefisien backward linkages-nya. Hal ini menunjukkan bahwa kedua
sektor ini di dalam perekonomian Jawa dan Sumatera cenderung berada pada
posisi hulu. Berarti bahwa kedua sektor tersebut relatif kurang terkaitan
dengan sektor-sektor di belakangnya di masing-masing wilayah. Dengan
demikian sektor perdagangan, restoran, dan hotel, dan sektor industri
makanan, minuman, dan tembakau kurang mampu menyebarkan
peningkatannya kepada sektor-sektor lain di dalam perekonomian masing-
masing wilayah. Di samping itu kondisi tersebut juga mengindikasikan bahwa
kedua sektor tersebut relatif lebih berorientasi pada input impor daripada input
lokal.
3. Koefisien backward linkages sektor peternakan dan sektor perikanan dalam
perekonomian Jawa lebih besar dari koefisien forward linkages-nya;
sedangkan dalam perekonomian Sumatera adalah kebalikannya. Hal ini
mengindikasikan bahwa kedua sektor tersebut di dalam perekonomian Jawa
dikelola secara intensif, sedangkan di Sumatera pengelolaannya masih
150
ekstaktif. Pengelolaan intensif akan meningkatkan total output dan nilai
tambah per sektor yang lebih tinggi.
4. Koefisien backward linkages sektor kehutanan dan perburuan dalam
perekonomian Jawa dan Sumatera lebih besar dari koefisien backward
linkages sektor industri kayu dan barang dari kayu. Ini berarti bahwa sektor
kehutanan dan perburuan relatif berada pada posisi yang condong agak ke hilir
daripada sektor industri kayu dan barang dari kayu. Hal ini mengindikasikan
bahwa kedua sektor tersebut relatif kurang saling terkait secara vertikal, baik
di dalam perekonomian Jawa maupun di dalam perekonomian Sumatera. Ini
berarti, hasil produksi sektor kehutanan dan perburuan lebih banyak dijual ke
negara lain dalam bentuk asalan (belum terolah).
5. Posisi hulu (upstream) dan hilir (downstream) dalam perspektif keterkaitan
intra region dilihat dari besaran koefisien forward linkages dan backward
linkages. Dalam perspektif keterkaitan interregional, posisi hulu dan hilir
dilihat dari penyebutan wilayah. Wilayah yang disebutkan pertama berada
pada posisi hulu dan yang disebutkan kedua berada posisi hilir. Keterkaitan
Sumatera-Jawa misalnya, menunjukkan bahwa Sumatera pada posisi hulu dan
Jawa pada posisi hilir, baik dari sisi backward linkages maupun forward
linkages. Dalam hal ini perekonomian Jawa sebagai pemakai input dan
perekonomian Sumatera sebagai pemasok input. Pengertian ini membuka tabir
bahwa tingkat ketergantungan perekonomian Sumatera terhadap input-antara
yang berasal dari perekonomian Jawa jauh lebih tinggi daripada tingkat
ketergantungan perekonomian Jawa terhadap input-antara yang berasal dari
Sumatera. Kebutuhan perekonomian Sumatera atas input-antara yang berasal
151
dari perekonomian Jawa yang paling besar bersumber dari sektor
perdagangan, restoran dan hotel, sektor industri makanan, minuman dan
tembakau, sektor jasa-jasa lainnya, sektor industri kimia, pupuk, barang dari
tanah liat, semen dan logam dasar, dan sektor tanaman pangan dan tanaman
lainnya.
6. Dampak eksternalitas positif dari kemajuan ekonomi Jawa terhadap
perekonomian Sumatera relatif kecil. Dengan demikian kekuatan
menyebarkan kemajuan ekonominya ke Sumatera sangat lemah, sehingga
harapan bahwa wilayah Jawa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi nasional
tidak terjadi.
152