vol 10 no 1 november 2019

99
Jurnal Spirits Khasanah Psikologi Nusantara ISSN (p) 2087-7641 ISSN (e) 2822-3236 Volume 10 No.1 November 2019 10

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Vol 10 No 1 November 2019

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara

ISSN (p) 2087-7641ISSN (e) 2822-3236

Volume 10 No.1 November 2019

10

Page 2: Vol 10 No 1 November 2019
Page 3: Vol 10 No 1 November 2019

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara

PENANGGUNGJAWAB

Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sarjanawiyata

Tamansiswa

EDITOR IN CHIEF

Dra. Titik Muti'ah MA., Ph.D

ASOSIATED EDITOR IN CHIEF

Ryan Sugiarto, S.Psi., MA

Sulistyo Budiarto, S.Psi., MA

Hartosujono, SE, S.Psi., Mpsi

EDITOR BOARD MEMBERS

Prof. Dr. Asmadi Alsa. MA

Prof. Drs. Koentjoro MBSc, Ph.D

Dr. Ahmad M.Diponegoro

Dr. Swarsono

Dr. Icwinarti M.Si

Dr. Arundati Shinta S.Psi, MA

Dr. Susan

Dra. Rinata Dewi M.Si, Psikolog

Berlina Henu S.Psi., M.Si

Titisa Ballerina. S.Psi., Msi

KESEKRETARIATAN

Amin Margono, S.Psi

DESAIN DAN TATA LETAK

Satupintu

HOTLINE PELANGGAN

Amin Margono

ALAMAT REDAKSI

Fakultas Psikologi Lt. 2

Universitas Sarjanawiyata

Tamansiswa Yogyakarta

Jl. Kusumanegara 157 Yogyakarta

Telp. [0274] 510062, Fax. [0274]

547042

CP: Sulistyo [08112507600];

Ryan [081327636371]

Email: [email protected]

WEBSITE:

http://jurnal.ustjogja.ac.id/index.p

hp/spirit

ISSN

ISSN (P) 2087-7641

ISSN (E) 2822-3236

Nomor Edisi

Diterbitkan Oleh:

Dapur Publikasi

Jurnal Spirit

Fakultas Psikologi Universitas

Sarjanawiyata Tamansiswa

Yogyakarta

Volume 10 No.1 November 2019

Page 4: Vol 10 No 1 November 2019

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara

DAFTAR ISI

Volume 10 No.1 November 2019

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara02

Catatan Jurnal Spirits

Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri

Faizah Najlawati

Indriyanti Eko Purwaningshih

Kebersyukuran Pada Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus

Aulia Rahman Putra

Nila Angrreiny

Keyakinan Tidak Rasional dan Stres Kerja Pada Profesi Guru

Ria Indah Sari Gaghana, Susy Purwanti,

I Made Krisna Dinata

Pengaruh Kemandirian Belajar Terhadap Pemanfaatan Internet

Sebagai Sumber Belajar

Juwandi

Rahma WIdyana

Meningkatkan Kemampuan Berhitung Pada Anak Usia Dini

dengan Cara Storytelling

Vella Fitrisia A

Konflik Psikologis Wanita “Nyerotd” Dalam Perkawinan Adat Bali

Kadek Jossy Alandari

Titik Muti’ahi

Kredit Sampul:

Abstact Water Collor

https://seminecraftgratuit.blogspot.com/2019/04/abstract-art-is-fundamentally.html

03

05

27

41

49

65

78

Page 5: Vol 10 No 1 November 2019

CATATAN JURNAL SPIRITS

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 03

Salam & Bahagia,Jurnal Spirits merupakan jurnal ilmiah yang dikelola Fakultas

psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta. Jurnal ini membawa spirits tumbuhnya ide dan gagasan-gagasan baru tentang pengetahuan psikologi utamanya berbasis pada kebudayaan sendiri. Sama seperti terbitan sebelumnya, Jurnal Spirits Volume 10 No 1 2019 menghadirkan enam artikel ilmiah penelitian psikologi. Selain itu jurnal Spirits juga konsisten menghadirkan aartikel penelitian yang berbasis lokal indigenous.

Pada volume ini dihadirkan dua artikel bernuansa indigenous, artikel pertama mengupas tentang dinamika psikologis perempuan nyerod (turun kasta) di Bali. Artikel selanjutnya mengupas tentang kesejahteraan psikologis keluarga penyintas bunuh diri di gunung kidul. Dimana peneliti mendalami konsep psikologi digulung digelaryang diyakini keluarga untuk memperthankan kesejahteraan psikologis keluarga. Empat artikel berikutnya mengupas tentang kebersyukuran, stress kerja dan pendidikan anak.

Kami mewakili pengelola jurnal spirtis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tinggi-tingginya kepada para penulis dan mitra bebestari yangtelah membantu terbitnya jurnal spirits. Sebagai penutup, kami berharap jurnal spirits mampu berkontribusi ada perkembangan ilmu psikologi di Indonesia, utamanya pada munculnya kajian-kajian indigenous.

selamat membaca!

Editorial Board,

Page 6: Vol 10 No 1 November 2019

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara04

Page 7: Vol 10 No 1 November 2019

KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS KELUARGA PENYINTAS BUNUH DIRI

1 2Faizah Najlawati; Indriyati Eko Purwaningsih

Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata

Tamansiswa Yogyakarta1 2

Email: ;

Kronologi Naskah:

Naskah Masuk, 1 Agustus 2019, Revisi 25 September 2019

Diterima 5 Oktober 2019

[email protected]@ustjogja.ac.id

Abstract. The purpose of this research was to know the description of the

psychological well-being of families suicide survivors in Karangrejek, Wonosari,

Gunungkidul. Research subjects were four family members with one family

member as a suicide survivor. Data research methods were observation and

interview. Data analysis techniques were data collection, data reduction, data

present, triangulation, and conclude data. The results of data analysis were six

aspects of self-acceptance, positive relationships with others, autonomy,

environmental control, life goals and personal growth that represent

psychological well-being in families of suicide survivors. The results of this study

found that families of suicide survivors had a good psychological well-being

influenced by personality and social support, and the philosophy of 'digelar

digulung' embedded in the family.

Keywords: psychological wellbeing, suicide, family

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 05

Page 8: Vol 10 No 1 November 2019

Abstrak. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui gambaran mengenai

kesejahteraan psikologis keluarga penyintas bunuh diri di Desa Karangrejek

Wonosari Gunungkidul. Subjek penelitian adalah empat orang anggota

keluarga dengan salah satu anggota keluarga sebagai penyintas bunuh diri.

Metode penelitian data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi

dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pengumpulan data, reduksi data, menyajikan data, triangulasi, dan

menyimpulkan data. Hasil analisis data adalah terdapat enam aspek yaitu

penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan

lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi yang mewakili

kesejahteraan psikologis pada keluarga penyintas bunuh diri. Hasil penelitian ini

diperoleh bahwa keluarga penyintas bunuh diri memiliki kesejahteraan

psikologis yang baik dengan dipengaruhi oleh kepribadian dan dukungan

sosial, serta adanya filosofi 'digelar digulung' yang ditanamkan dalam keluarga.

Kata kunci: bunuh diri, kesejahteraan psikologisbunuh diri, keluarga

Perilaku bunuh diri bukanlah hal yang asing bagi masyarakat.

Berbagai daerah di Indonesia, rata-rata terdapat individu yang

melakukan bunuh diri. Salah satu daerah yang marak terjadinya

pelaku bunuh diri di Indonesia ialah di Gunungkidul. Menurut

Yuwono (2017), angka bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul,

Yogyakarta, tergolong tinggi. Sampai semester pertama tahun

2017 terjadi 19 kasus dan dua percobaan bunuh diri.

Bunuh diri yang sering dilakukan adalah dengan cara

menggantungkan diri, sehingga masyarakat Gunungkidul

mengenalnya dengan sebutan 'pulung gantung'. Dhaksinarga

(2017) dari Data Inti Mata Jiwa (IMAJI) menyebutkan cara gantung

diri tersebut merupakan cerminan bahwa 'pulung gantung'

melekat dalam pikiran masyarakat Gunungkidul, tetapi menurut

kajian IMAJI penyebab bunuh diri adalah karena depresi. IMAJI

organisasi yang bergerak dalam kesehatan jiwa dan upaya

pencegahan bunuh diri, sepanjang Januari-Agustus 2017 sekitar

25 orang bunuh diri, sementara 2016 mencapai 30 orang dan 2015

ada 31 kasus bunuh diri, dan hampir seluruh korban mengakhiri

hidupnya dengan cara gantung diri. Masyarakat yang beresiko

melakukan bunuh diri menurut Dhaksinarga (dalam Lestari dan

Budhi, 2017), antara lain orang dengan sakit menahun, orang

lanjut usia atau lansia yang hidup sendiri dan juga orang dengan

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara06

Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih

Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri

Page 9: Vol 10 No 1 November 2019

masalah ekonomi.

Data lain juga didapatkan oleh peneliti ketika

mewawancarai salah satu perangkat desa pada tanggal 22

November 2017 di Desa Karangrejek, Kecamatan Wonosari,

Kabupaten Gunungkidul. Berdasarkan wawancara tersebut

didapatkan hasil bahwa terdapat 3 kasus bunuh diri dan 2 kasus

penyintas bunuh diri (gagal melakukan bunuh diri). Pada

beberapa kasus, dikatakan bahwa para pelaku bunuh diri rata-

rata sudah memiliki keluarga. Keluarga yang pernah merasakan

atau hampir kehilangan anggota keluarganya dengan cara bunuh

diri, diduga kesejahteraan psikologisnya dapat terganggu.

Penelitian Mulyani dan Eridiana (2018) menyebut bahwa

tingginya angka bunuh disebabkan adanya faktor individu, di

mana masyarakat tertutup ketika menghadapi masalah dan

kurang mampu meresolusi masalah yang dihadapi. Kedua faktor

sosial, di mana masyarakat jauh dari keluarga dan rendahnya

mobilitas. Selanjutnya, faktor ekonomi, di mana masyarakat

masih banyak yang bekerja keras di usia lanjut dan terserang sakit

menahun.

Kesejahteraan psikologis dapat diartikan sebagai suatu

bentuk kepuasan dalam hidup yang mendatangkan perasaan

bahagia atau damai, dan tentunya setiap individu akan memiliki

arti yang berbeda sesuai dengan standar kepuasannya. Anggota

keluarga yang kesejahteraan psikologisnya mulai

terguncang/terganggu dapat memicu terjadinya tindakan bunuh

diri. Hal tersebut sangat perlu diperhatikan, supaya kesejahteraan

psikologis keluarga penyintas bunuh diri tetap berada pada taraf

yang baik. Sehingga keberlangsungan hidup keluarga tersebut

dapat berjalan lancar dan mencegah agar tidak terjadinya

tindakan bunuh diri lagi pada keluarga tersebut.

Ki Hajar Dewantara (dalam Eko, 2012), bahwa keluarga

berasal dari bahasa Jawa yang terbentuk dari dua kata yaitu

kawula dan warga. Di dalam bahasa Jawa kuno kawula berarti

hamba dan warga artinya anggota. Secara bebas dapat diartikan

bahwa keluarga adalah anggota hamba atau warga saya. Artinya

setiap anggota dari kawula merasakan sebagai satu kesatuan

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 07

Page 10: Vol 10 No 1 November 2019

yang utuh sebagai bagian dari dirinya dan dirinya juga

merupakan bagian dari warga yang lainnya secara keseluruhan.

Keluarga yang memiliki anggota keluarga penyintas bunuh

diri masih dapat menerima kenyataan dan memiliki sikap positif

terhadap kejadian yang pernah terjadi. Anggota keluarga dapat

menerima kejadian yang terjadi dengan menanamkan nilai-nilai

positif dalam hidup, salah satunya kemampuan dalam

mengambil keputusan secara mandiri. Selain itu, anggota

keluarga penyintas bunuh diri juga memiliki keyakinan bahwa

hidupnya mempunyai arah dan tujuan, salah satunya dengan

memiliki harapan dan memiliki keyakinan positif bahwa kejadian

bunuh diri merupakan suatu kesalahan sehingga dapat

memperbaiki kehidupan selanjutnya dengan lebih baik.

Berdasarkan uraian tersebut peneliti bermaksud melakukan

penelitian mengenai kesejahteraan psikologis keluarga penyintas

bunuh diri di Desa Karangrejek, Kecamatan Wonosari, Kabupaten

Gunungkidul.

Bunuh Diri

Menurut Shneidman (1985) mendefinisikan bunuh diri

sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang ditujukan

pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh

diri sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Shneidman (1985)

mendeskripsikan bahwa keadaan mental individu yang cenderung

melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis dan

perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat

bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang

dihadapi yang bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan. Dari

aliran psikoanalisis, Menninger (dalam Maris, 2000) mendefiniskan

bahwa bunuh diri adalah (1) pembunuhan (melibatkan kebencian

atau keinginan untuk membunuh), (2) pembunuhan oleh diri

sendiri (sering melibatkan kesalahan atau ingin dibunuh) dan (3)

keinginan untuk mati (melibatkan keputusasaan).

Menurut Shneidman (1971), individu yang bunuh diri

dengan tujuan ingin mati dan bunuh diri tanpa ada keinginan

untuk mati, yang mengakibatkan kematian atau tidak,

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara08

Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih

Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri

Page 11: Vol 10 No 1 November 2019

dikategorikan ke dalam attempted suicide. Attempted suicide

dibagi kedalam dua kategori, yaitu:

1. Committed suicide, yaitu orang yang melakukan usaha

bunuh diri dengan tujuan ingin mati, baik yang bisa

diselamatkan atau tidak.

2. Non suicidal, yaitu orang yang melakukan usaha

bunuh diri namun tidak ada keinginan untuk mati.

Terdapat banyak faktor yang dapat mengakibatkan

seseorang melakukan percobaan bunuh diri, diantaranya yaitu:

adanya gangguan psikologis; penggunaan alkohol dan narkotik

(Substance Abuse); krisis kepribadian (Personality Disorder);

Penyakit-penyakit jasmani (Physical Illnesses); Faktor-faktor

genetis (Genetic Factors); perubahan dalam bursa kerja (Labour

Market); kondisi keluarga; dan pengaruh media massa (Al Husain,

2005).

Hasil penelitian Mukharromah (2014) menunjukkan

percobaan bunuh diri dilakukan karena faktor adanya rasa

kehilangan, sarana untuk mengekspresikan emosi-emosi negatif

yang dirasakan, hal ini disebabkan oleh depresi yang muncul

tidak dapat direduksi oleh ego. Lebih lanjut, Pada penelitian

mereka yang melakukan percobaan bunuh diri cenderung tidak

berpikir sistematis, sebagai akibat dari depresi yang timbul

sebelum percobaan bunuh diri berlangsung. Depresi juga

didukung karena adanya tekanan dari lingkungan sosial dan

subjek tidak mampu menyesuaikan dirinya, didukung dengan

adanya faktor internal yaitu pandangan negatif pada diri dan

masa depan, maka timbul rasa frustrasi yang diwujudkan dengan

percobaan bunuh diri.

Kesejahteraan Psikologis

Menurut Ryff (1989), kesejahteraan psikologis merupakan

sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif

terhadap diri sendiri, mampu menjalin hubungan yang baik

dengan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan

mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 09

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 12: Vol 10 No 1 November 2019

mengatur lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya,

memiliki tujuan hidup dan membuat hidupnya lebih bermakna,

serta berusaha mengekspresikan dan mengembangkan dirinya.

Lawton (1983) mengemukakan bahwa kesejahteraan psikologis

merupakan gambaran seseorang mengenai hidup yang

berkualitas yang terbentuk dari evaluasi terhadap aspek-aspek

dalam hidup yang dianggap baik atau memuaskan.

Lopez dan Synder (2003) memberikan pernyataan bahwa

kesejahteraan psikologis bukan sekedar ketiadaan penderitaan,

namun kesejahteraan psikologis meliputi ketertarikan aktif dalam

dunia, memahami arti dan tujuan hidup, dan hubungan

seseorang pada objek ataupun orang lain. Papalia, dkk (2009)

menambahkan bahwa manusia yang sejahtera secara psikologis

adalah manusia yang memiliki sikap positif terhadap diri sendiri

maupun terhadap orang lain. Manusia memiliki kemampuan

menentukan pil ihannya, menyesuaikan diri dengan

lingkungannya, memiliki tujuan hidup, serta mengembangkan

potensi dirinya sebaik mungkin.

Aspek-aspek kesejahteraan psikologis pada teori Ryff

(1989), meliputi enam dimensi yaitu: (a) penerimaan diri; (b)

hubungan positif dengan orang lain; (c) otonomi; (d) penguasaan

lingkungan; (e) tujuan hidup; dan (f) pertumbuhan pribadi.

Menurut Ryff dan Keyes (1995), faktor-faktor yang memengaruhi

kesejahteraan psikologis (psychological well-being), antara lain:

usia; jenis kelamin; Tingkat pendidikan dan pekerjaan. Penelitian

selanjutnya yang dilakukan oleh Schmutte dan Ryff (1997)

menyebutkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi

kesejahteraan psikologi (psychological well-being), antara lain:

a. Kepribadian pada faktor ini merupakan apabila individu

memiliki kepribadian yang mengarah pada sifat-sifat

negatif seperti mudah marah, mudah stress,mudah

terpengaruh dan cenderung labil akan menyebabkan

terbentuknya keadaan psychological well-being yang

rendah. Sebaliknya, apabila individu memiliki kepribadian

yang baik, maka individu akan lebih bahagia dan sejahtera

karena mampu melewati tantangan dalam kehidupannya.

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara10

Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih

Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri

Page 13: Vol 10 No 1 November 2019

b. Pekerjaan merupakan sifatnya rentan terhadap korupsi,

iklim organisasi yang tidak mendukung dan pekerjaan

yang tidak disenangi akan menyebabkan terbentuknya

keadaan psychological well-being yang rendah, begitu

pula sebaliknya.

c. Kesehatan dan fungsi fisik merupakan individu yang

mengalami gangguan kesehatan dan fungsi fisik yang

tidak optimal atau terganggu dapat menyebabkan

rendahnya psychological well-being individu tersebut.

Sebaliknya, apabila individu memiliki kesehatan dan fungsi

yang baik, akan memiliki psychological well-being yang

tinggi.

Selain yang disebut diatas para ahli juga mengungkap faktor-

faktor lain yang dapat memengaruhi psychological well-being.

Basaria (2017) well being terkait erat dengan kesehatan mental,

kualitas hidup dan kebahagiaan. Penelitian Ellison (1991)

menunjukkan bahwa individu yang memiliki kepercayaan

terhadap agama yang kuat, dilaporkan memiliki kepuasan hidup

yang lebih tinggi, kebahagiaan personal yang lebih tinggi serta

mengalami dampak negatif peristiwa traumatis yang lebih

rendah jika dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki

kepercayaan terhadap agama yang kuat. Cohern dan Syme

(dalam Wahyuningtiyas, 2016) menyebutkan bahwa dukungan

sosial dapat berkaitan erat dengan psychological well-being.

Dukungan sosial diperoleh dari orang- orang yang berinteraksi

dan dekat secara emosional dengan individu. Orang yang

memberikan dukungan sosial ini disebut sebagai sumber

dukungan sosial.

Metode

Subjek pada penelitian ini adalah empat anggota keluarga

dengan salah satu anggota keluarga sebagai penyintas bunuh

diri di Desa Karangrejek Wonosari Gunungkidul. Pada sebuah

anggota keluarga yang dijadikan penelitian, yaitu terdiri dari

suami (penyintas bunuh diri), istri, ibu suami, dan adik bungsu

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 11

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 14: Vol 10 No 1 November 2019

dari suami. Selain subjek, penelitian ini juga menggunakan

informan, yaitu kepala dukuh di Desa Karangrejek yang

rumahnya berdekatan dengan rumah keluarga penyintas bunuh

diri.

Metode pengumpulan data pada penelitian ini

menggunakan observasi dan wawancara. Dalam penelitian ini,

peneliti akan melakukan pengamatan secara langsung di lokasi

penelitian. Serta mencatat semua kejadian yang berkaitan

dengan penel it ian yang di lakukan sesuai dengan

fakta/kenyataan yang ada (Arikunto, 2010). Wawancara yang

digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi

terstruktur, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila

dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari

wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan

secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara

diminta pendapat, dan ide-idenya. Dalam melakukan wawancara,

peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang

telah dikemukakan oleh informan (Esterberg dalam Sugiyono,

2011).

Mengacu pada Miles (dalam Moleong, 2010) dalam analisis

data langkah pertama yang dilakukan peneliti sebelum

melakukan analisis data adalah koding. Koding merupakan

proses memberikan kode-kode pada materi yang diperoleh

dengan maksud untuk dapat mengorganisasi dan

mensistematisasi data secara lengkap dan detail seingga dapat

memunculkan data sesuai gambaran tentang topik yang

dipelajari. Peneliti memberikan koding pada data-data yang telah

terkumpul berdasarkan hasil wawancara.

Peneliti melakukan tiga tahapan koding, yaitu pertama

peneliti menyusun verbatim hasil wawancara. Kedua, peneliti

secara urut dan kontinyu melakukan penomoran dengan angka

kelipatan lima pada baris-baris transkip, misalnya lima, sepuluh,

lima belas, dan selanjutnya. Ketiga, peneliti memberikan nama

untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu. Peneliti

memilih kode yang dianggap tepat mewakili berkas tersebut

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara12

Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih

Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri

Page 15: Vol 10 No 1 November 2019

seperti, S1 menunjukkan subjek pertama, W1 menunjukkan

wawancara pertama, P atau L menunjukkan jenis kelamin

perempuan atau laki-laki, dan b menunjukkan baris. Pengambilan

kesimpulan dalam penelitian ini menggambarkan kesejahteraan

psikologis dengan pembahasan secara terperinci namun ringkas

mengenai kesejahteraan psikologis keluarga penyintas bunuh

diri.

H a s i l

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dimana

subjek penelitian dalam penelitian ini adalah sebuah keluarga

yang memiliki anggota keluarga penyintas bunuh diri. Semua

subjek bertempat tinggal di Desa Karangrejek, Gunungkidul,

Yogyakarta. Berikut adalah tabel pelaksanaan observasi dan

wawancara pada keempat subjek dan informan:

Tabel 1. Deskripsi Subjek Penelitian

Tabel 2. Deskripsi Informan Penelitian

Hasil penelitian dibagi menjadi beberpa kategori tema

pokok sebagai berikut: penerimaan diri, otonomi, interaksi

dengan orang lain, perkembangan pribadi, penguasaan

lingkungan dan tujuan hidup. Berikut uraian hasil penelitian

masing-masing tema.

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 13

No Nama Jenis

Kelamin

Usia Pendidikan Ket

1 Subjek 1 (M) Laki-Laki 41 SD Subjek Inti

2 Subjek 2 (SPL) Perempuan 27 SMA Subjek Inti

3 Subjek 3 (G) Perempuan 63 SD Subjek Inti

4 Subjek 4 (S) Perempuan 45 SD Subjek Inti

No Nama Jenis Kelamin Usia Pendidikan Ket

1 Informan Laki-Laki 41

Tahun

SMA Dukuh

Karangsari

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 16: Vol 10 No 1 November 2019

1. Penerimaan diri

Meskipun tidak mudah bagi keluarga ini untuk menerima

semua peristiwa dan pengalaman yang tidak menyenangkan

namun mereka mencoba untuk mengakui dan mampu menerima

kehidupan yang pernah dilewatinya. Peristiwa yang dilaluinya

dalam keluarga ini diakui cukup menyakitkan, sejak kehilangan

kaki, hingga melakukan percobaan bunuh diri pada Suami (S1).

Bagi S1 peristiwa yang dialaminya merupakan sebuah teguran dari

Tuhan atas perilaku yag telah dilakukan sebelumnya.

“Maknanya satu, ini berharga sekali, sakit merubah segalanya.

Dalam arti merubah segalanya, itu semua teguran dari Allah untuk

saya. Caranya masalahnya saya dikasih tau sama mulut ga

dipakai, diperingatkan dengan keadaan ini, mudah-mudahan

diperingatkan pakai ini bisa, ibaratnya seperti itu.”

(W1.S1.L.A1.b446-453)

S1 memiliki sikap positif terhadap perubahan yang terjadi

dalam dirinya. Baginya pengalaman yang dilaluinya sangat

berharga, karena melalui hal tersebut ia bersemangat untuk

melakukan perubahan diri. Meskipun susah, dan harus melualui

teguran keras kehilangan kaki dan putus asa melakukan

percobaan bunuh diri.

“Iya, berharga banget, saya itu senang-senang susah. Senangnya

saya itu yang jelas bisa merubah sifat saya yang jelek itu, susah

saya ya memang saya syukuri, saya syukuri, terus saya ambil sisi

positifnya saja.” (W1.S1.L.A1.b455-460)

Bagi istrinya (S4) perubahan positif yang ditunjukan

suaminya (S1) adalah hal yang luar biasa. Meskipun harus melalui

jalan yang pahit utk suaminya, dirinya beserta keluarganya. Istrinya

mampu menerima kondisi suaminya yang saat ini telah cacat dan

sempat melakukan percobaan bunuh diri. Istrnya menemukan

sosok yang lain dan lebih positif pada suaminya.

“Ya soalnya kalau dilihat kondisinya sekarang yang beliau banyak

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara14

Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih

Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri

Page 17: Vol 10 No 1 November 2019

perubahan ya insyaAllah tidak lah. Banyak soalnya pak

perubahannya alhamdulillah.” (W1.S4.P.A1.b152-156)

Tidak mudah melalui pengalaman seperti kelurga subjek,

memiliki anggota keluarga yang melakukan percobaan bunuh diri.

Namun setelah peristiwa tersebut berlalu, mereka mampu mampu

menerima kodisi tersebut. Penerimaan diri yang ditunjukan oleh

keluaga ini ditandai dengan perubahan sikap dan perilaku yang

positif pada masing-masing anggota keluarga.

2. Interaksi Sosial

Berkaitan dengan hubungan intersonal Subjek 1 memiliki

empati yang kuat dengan keluarganya. Sebagai contoh misalnya

ketika mau berbagi rumah dengan saudaranya. Karena subjek 1

memiliki banyak saudara yang menurutnya perlu dibantu.

“Saudara saya banyak jadi seandainya saudara saya ada yang mau

merasakan tinggal di rumah itu, saya persilahkan.”

(W1.S1.L.A2.b253-255)

Hubungan sosial yang baik yang dimiliki subjek ditandai

dengan adanya rasa kepercayaan terhadap orang lain. Subjek 1

mampu menaruh kepercyaan terhadap pamanya, karena merasa

pamnya orang yangtepat untuk diajak diskusi. Manakala subjek 1

memiliki persoalan, selalu mendatangi pamanya untuk bercerita.

“Masalahnya terus terang ya, saya ini kalau curhat tidak minta

disalahkan, tapi disarankan. Kalau om, katakanlah sekilas

menyalahkan, tapi habis itu kan enak pokoknya diajak ngobrol itu

nyambung lah. Tau sama tau lah.” (W1.S1.L.A2.b977-982)

Hubungan kasih sayang yang mendalam subjek 1 kepada

istrinya ditunjukan dalam perilaku sehari-hari. Pasca percobaan

bunuh diri subjek 1 nampak makin berperilaku positif untuk

menunjukan rasa sayang terhadap istrinya. Hal ini dikarenakan

subjek 1 merasa istrinya semakin memiliki beban berat pasca

dirinya kehilangan kaki dan melakukan percobaan bunuh.

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 15

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 18: Vol 10 No 1 November 2019

Sehingga sebisa mungkin, sekecil apapun ia menunjukan rasa

tersebut kepada istrinya melualui perilaku.

“Tapi pikiran saya cuma jangan sampai merepotkan, saya

walaupun seperti itu juga memikirkan istri saya, jangan sampai

merepotkan istri kasian, mikirin cari uang, mikirin lain sebagainya.

Mungkin lebih dari aku, satu-satunya jalan ya saya tidak ingin

merepotkan istri. Ya saya balas istri saya, kalau istri saya pulang

kerja habis maghrib tanpa diminta pasti saya pijat.”

(W1.S1.L.A2.b1084-1093)

Sebaliknya istri (subjek 4) membalas kasih sayang

tersebut dengan perilaku yang sama. Meskipun suaminya cacat,

sempat putus asa, dan melakukan percobaan bunuh diri istrinya

tetap setia mendampinginya. Yang menarik, justru istri merasakan

perubahan sikap yang positif dari suaminya sesduah suaminya

cacat. Sikap tersebut yang selama ini jarang sekali muncul

sebelum suaminya mengalami keacatan dan melakukan

percobaan bunuh diri.

Meskipun dahulu, subjek 4 seringkali disakiti suaminya,

justru hubungan yang erat ia jalin dengan keluarga besar

suaminya. Orangtua suaminya yang menguatkan istrinya untuk

tetap sabar dan bertahan menghadapi perangai suaminya.

Sementara itu adik-adik suaminya juga merasa dekat dengan

subjek 4, hubungan mereka cukup hangat layaknya kakak adik

kandung.

“Malah saya dengan keluarga suami itu deket. Terutama adik2nya

bapak. Saya sudah dianggap kakak sendiri. Ya sampai yang nolong

ke rumah sakit waktu itu kan adik bapak.” (W1.S4.P.A2.b231-235)

Meskipun mengalami masa-masa yang pahit suami-istri

mampu menunjukan hubungan interpersonal yang hangat. Baik

diantara keduanya maupun terhadap keluarga besarnya.

Hubungan ini semakin hangat justru ketika suami mengalami

kecacatan pada kaki dan sempat melakukan percobaan bunuh diri.

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara16

Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih

Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri

Page 19: Vol 10 No 1 November 2019

3. Otonomi

Dua temuan yang terkait dengan otonomi adalah

kemampuan mengambil keputusan secara mandiri serta

kemampuan mengarahkan perilakunya secara mandiri. Pada

subjek 1 meskipun mengalami kecacatan ia mampu membuat

keputusan untuk secara mandiri bekerja lagi. Namun dengan

keterbatasan yang dimiliki, subjek 1 menydari perlu membutuhkan

pihak lain untuk membantu. Untuk itu berusaha untuk mandiri

mencari bantuan kaki palsu kepada pihak lain agar mampu bekerja

lagi.

Sedangkan subjek 4 sebagai istri pada aspek otonomi

nampak ketika mengalami persoalan rumah tangga dengan

suaminya. Subjek 4 telah memahami apa yang harus dilakukan

ketika sedang berkonflik dengan suaminya. Ketika sedang

mengalami masalah dengan suaminya subjek 4, sudah mampu

memngambil sikap dan tindakan yang diinginkanya. Sebagai

contoh misalnya mendiamkan suami selama beberapa waktu. Hal

ini dilakuka dilakukan sebagai wujud sikap perlawanan terhadap

sikap suaminya.

“Kalau saya kalo marah lebih banyak tak diemin, tapi pernah sekali

sampai saya tampar suami saya. Ya waktu kejadian itu. Tapi ya

InsyaAllah sekali itu saja. Kasihan sebenernya, kasihan juga anak

saya kalau denger kita bertengkar makanya lebih baik kalau marah

saya diam.” (W1.S4.P.A3.b145-148)

Begitupula dengan subjek 2, sebagai adik ia sering

mendengar hal – hal yang tidak baik terhadap keluarga kakaknya,

yakni subjek 1. Ketika hal tersebut terjadi subjek 2 cenderung

memilih sikap untuk diam dan mengacuhkan. Ia meyakini apa yang

ia dengar sesungguhnya tidak sesuai dengan yang sebebanrnya

terjadi pada kakakynya. Terlebih kakaknya sudah telah banyak

berubah pasca kakinya diamputasi dan menjadi cacat.

Perkembangan pribadi

Meskipun mengalami peristiwa yang cukup menggetirkan,

akan tetapi seiring berjalanyawaktu keluarga ini sudah mulai

mampu untuk menyesuaikan dengan keadaan. Masing-masing

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 17

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 20: Vol 10 No 1 November 2019

anggota keluarga memeiliki rencana untuk masa depan, meskipun

agak sulit untuk mewujudkanya.

Subjek 1 sebenarnya pribadi yang cukup kreatif dan

pekerja keras. Menjadi cacat tentu memiliki dampak pada aktivitas

bekerja sebelumnya. Pasca percobaan bunuh diri, beberapa

bantuan datang kepada subjek 1, salah satunya adalah ketika

mendapatkan bantuan kaki palsu. Subjek nampak gigih berusaha

untuk segera beradaptasi dengan kaki palsunya. Harapanya ketika

sudah mampu beradaptasi dengan kaki palsunya subjek akan

bekerja kembali untuk memenuhi tanggung jawab sebagai kepala

keluarga.

Subjek 2, memiliki aktivitas menjahit, meskipun belum

menjadi tumpuan penghasilan. Aktivitas menjahit merupakan hobi

ynag dilakukan sejak dulu. Subjek 2 kemudian mulai menekuini

aktivitas menjadi dengan mengikutikursus menjahit selama 3

bulan.

Subjek 4 sebagi istri yang menjadi tulang punggung

keluarga pasca percobaan bunuh diri. K subjek 4 bekerja sebagai

buruh cuci di sebuah hotel di dekat kampungnya. Sebenarnya ia

inin sekali berciocok tanam, namun belum terlaksana karena tidak

memiliki sawah. Suatu saat apabila ingin mendapatkan rejeki ia

ingin sekali untuk membuka sawah agar bisa bercocok tanam.

“Sebenarnya saya suka bercocok tanam. Cuman saya tidak punya

sawah.” (W1.S4.P.A6.b306-309)

4. Penguasaan lingkungan

Meskipun menjadi buah bibir di lingkungan akibat

peristiwa percobaan bunuh diri, keluarga ini masih memiliki

sesemangat untuk akhtivitas bersama warga kampung. Subjek 2

merupakan kades posyandu didesanya, subjek 4 juga terlibat aktif

dalam kegiatan di kampung seperti arisan dan pengajian.

Sedangkan bagi subjek 1, perlu waktu untuk mu

beraktivitas kembali dengan masyarakat, ditambah lagi dengan

kondisi kecacatan yang dimilikinya saat ini. Meskiun begitu subjek

1 berusaha untuk berpartisipasi aktif di kegiatan lingkunganya

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara18

Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih

Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri

Page 21: Vol 10 No 1 November 2019

“Ikut arisan, saya masih ikut meskipun keadaan ini saya ikut. Saya

itu dulu itu enggak ikut saat masih keadaan sakit keadaan masih

belum srek lah istilahnya, belum bisa noto pikiran, wong jowo

ngomong. Belum bisa noto hati, sekarang sudah bisa. Walaupun

cuma kan yang lainnya pakai celana panjang saya cuma pakai

celana pendek.” (W2.S1.L.A4.b341-350)

5. Tujuan hidup

Tujuan hidup masing –masing subjek dalam keluarga ini

berbeda –beda namun sesungguhnya memiliki arah yang sama

yakni kebahagiaan. Subjek 1 meyakini dengan kondisi kecacatan

yang dialaminya saat ini masih mampu untuk bekerja demi

memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Subjek 1

rela bekerja meskipun sudah sulit bekerja seperti profesi

terdahulu.

Rela bekerja dimanapun yang penting halal untuk mencapai

tujuan hidupnya. (W1.S1.L.A5.b848-854)

Peristiwa yang telah dilalui keluarga ini berkaitan dengan

percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh subjek 1 , dianggap

sebagai pembelajaran hidup yang sangat berarti bagi anggota

keluarga lain. Mereka pelan-pelan telah memahami bahwa

pengalaman ini adalah ujian untuk mencapai tujuan hidup di masa

yang akan datang. Meskipun pahit, mereka justru bersyukur,

mendapatkan pengalaman hidup. Dengan bekal pengalaman ini

sebagai orangtua subjek 3 yakin pengalaman ini ada maknanya.

Meyakini ada makna dalam kehidupan yang dilewati demi tujuan

hidup yang mendatang.(W1.S3.P.A5.b93-94)

Diskusi

Meskipun keluarga pernah mengalami peristiwa yang

pahit, salah satu anggota keluarga mereka melakukan percobaan

bunuh diri namun memiliki kejahteraan psikologi yang baik. Ryff

dalam Diener, dkk (2009) mengatakan bahwa kondisi

kesejahteraan pskologi bukanlah sesuatu yang statis, namun Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 19

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 22: Vol 10 No 1 November 2019

bergerak dinamis dalam sepanjang rentang perkembangan hidup.

Pengalaman hidup yang meyakitkan justru menjadi modal

semangat untuk melakukan perubahan yang lebih baik.

Pengalaman hidup akan memberikan pengaruh terhadap

kondisi kesejahteraan psikologis. Penelitian Halim dan Wirawan

(dalam Harimukhti & Dewi, 2014) menunjukan individu yang

menderita penyakit kronis dan menjalani operasi serta

pengobatan hingga kehilangan salah satu fungsi tubuh di usia

dewasa cenderung akan memiliki peningkatan dalam pemahaman

kesejahteraan psikologis. Lebih lanjut , perubahan fungsi fisik yang

terjadi pada seseorang memiliki kecenderungan untuk mengubah

pola pikir individu menjadi lebih positif ,sehingga memiliki

dampak pada peningkatan kesejahteraan psikologis individu

tersebut.

Penerimaan diri yakni menerima sikap positif dalam diri

dan kehidupan yang telah dilewatinya. Individu yang

kesejahteraan psikologisnya tinggi,memiliki sikap positif terhadap

diri sendiri. Berdasarkan aspek penerimaan diri, peneliti

menemukan bahwa masing-masing subjek memiliki sikap positif

dengan merasa bersyukur dengan kehidupan yang dialami, subjek

juga dapat menerima kehidupan yang telah dilewatinya yaitu

setelah kejadian bunuh diri yang pernah dilakukan salah satu

anggota keluarga, sebagai suatu teguran untuk menjadikan

kehidupan berikutnya lebih baik lagi.

Rasa syukur erat kaitanya dengan kesejahteraan psikologis

(Wood, Joseph, & Maltby, 2009). Watkin dalam Emmons &

McCullough (2004) mengungkap bahwa individu sering bersyukur

maka memperbanyak pengalaman emosi dan memori positif.

Pengalaman positif berfungsi untuk merespon kondisi depresif.

Penelitian biopsikologi oleh Miller,dkk (2013) menemukan bahwa

orang yang bersyukur akan mengalami penebalan pada parietal,

oksipital, dan lobus frontal medial di hemisper kanan dan juga di

cuneus dan precuneus di hemisper kiri. Penebalan pada bagian

korteks ini meningkatkan ketahanan terhadap depresi. Hal ini

doperkuat dengan penelitian Dewanto dan Sofiawati (2015) yang

menyebutkan bahwa kebersyukuran mampu menigkatkan

kesejahteraan psikologis.Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara20

Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih

Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri

Page 23: Vol 10 No 1 November 2019

Hubungan positif dengan orang lain yakni menekankan

kemampuan individu dalam membina kehangatan dan hubungan

saling percaya, serta memiliki empati yang kuat dengan orang lain.

Kesejahteraan psikologis individu yang tinggi mampu menjalin

kepercayaan dengan orang lain, memiliki empati, dan memahami

hubungan timbal balik. Berdasarkan hubungan positif dengan

orang lain, masing-masing subjek dapat membangun hubungan

baik dengan orang-orang disekitarnya, setelah mengalami

kejadian penyintas bunuh diri yang menimpa salah satu anggota

keluarga. Cohern dan Syme (dalam Wahyuningtiyas, 2016)

menyebutkan bahwa dukungan sosial dapat berkaitan erat

dengan psychological well-being. Dukungan sosial diperoleh dari

orang- orang yang berinteraksi dan dekat secara emosional

dengan individu. Orang yang memberikan dukungan sosial ini

disebut sebagai sumber dukungan sosial.

Faktor dukungan sosial juga dapat mempengaruhi

kesejahteraan psikologis keluarga terdampak bunuh diri.

Dukungan sosial dapat diperoleh dari orang-orang yang

berinteraksi dan dekat secara emosional dengan individu.

Berdasarkan faktor dukungan sosial, keluarga ini mendapatkan

dukungan dari kerabat dekat maupun jauh, terutama bagi subjek

pertama mendapatkan dukungan dari sebuah yayasan yang

memberikan bantuan berupa kaki palsu, sehingga subjek memiliki

semangat baru untuk menjalani kehidupan yang mendatang.

Berkaitan dengan Otonomi dan penguasaan lingkungan,

meskipun belum maksimal namun perlahan mampu memiliki

kedua aspek tersebut. masing-masing subjek dapat mandiri dalam

mengambil keputusan, terutama dalam hal pekerjaan, berperilaku,

dan mengarahkan diri dengan baik ketika berada dalam

lingkungan. subjek pertama pernah menjadi ketua rt, dan setelah

kejadian bunuh diri yang dialami subjek mampu mengontrol

aktivitas dengan mengikuti kegiatan yang ada di desa, salah

satunya arisan rt. Ryff (1989) menyebut bahwa indvidu mampu

memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi

dirinya, berpartisipasi aktif dalam aktivitas lingkungan, mampu

memanipulasi dan mengontrol lingkungan, mampu mengontrol

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 21

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 24: Vol 10 No 1 November 2019

aktivitas, dapat menggunakan kesempatan dengan efektif

memiliki kemampuan enviromental mastery.

Latar budaya Jawa turut mewarnai keyakinan Pada

keluarga penyintas bunuh diri, terkait dengan tujuan hidup dan

pertumbuhan pribadi. Mereka memandang hati dan pikiran harus

'digelar digulung' yang memiliki arti pikiran itu harus dinaik-

turunkan. Filosofi tersebut hampir serupa dengan filosofi 'mulur

mungkret' yang dicetuskan oleh Ki Ageng Suryomentaram (dalam

Nurhadi, 2007) yaitu sifat keinginan itu abadi, yakni sebentar

mulur, sebentar mungkret (menyusut). Rasanya pun abadi, yakni

sebentar senang, sebentar susah. Berdasarkan filosofi yang

terdapat pada keluarga tersebutlah yang menyebabkan keluarga

penyintas bunuh diri masih memiliki kesejahteraan psikologis

yang positif.

Menurut KAS Manusia itu dipenuhi keinginan-keinginan

dengan tujuan mendapat kebahagiaan, namun sesungguhnya

tidak ada yang mutlak (Sugiarto, 2015). Tercapainya keinginan

tidak menjamin munculnya rasa bahagia. Hal ini karena keinginan

bersifat mulur atau mengembang, sehingga belum sempat

seseorang merasakan kebahagiaan sudah tertutupi oleh

pikirannya dalam meraih keinginan berikutnya. Begitu pun dengan

tidak tercapainya keinginan, juga tidak lantas membuat seseorang

merasakan kesusahan selama-lamanya. Hal ini karena, keinginan

juga bersifat mungkret atau menyusut.

Kesimpulan

Penelitian kesejahteraan psikologis keluarga penyintas

bunuh diri kepada empat subjek, yaitu sebuah keluarga yang

terdiri dari empat anggota keluarga dengan salah satu anggota

keluarga sebagai penyintas bunuh diri, dengan metode

pengumpulan data berupa observasi dan wawancara.

Berdasarkan dari uraian tentang aspek-aspek dan faktor

kesejahteraan psikologis didapatkan hasil bahwa keluarga

penyintas bunuh diri dapat menerima kehidupan yang telah

dilewatinya dengan baik, memiliki sikap positif dengan

mensyukuri kehidupannya saat ini. Anggota keluarga dapat

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara22

Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih

Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri

Page 25: Vol 10 No 1 November 2019

membangun hubungan baik dengan orang-orang disekitarnya,

dapat mengambil keputusan secara mandiri, serta mengarahkan

diri dengan baik ketika berada dalam lingkungan. Selain itu,

keluarga penyintas bunuh diri juga dapat menciptakan kondisi

lingkungan dan memanfaatkan kesempatan yang ada

dilingkungan dengan baik, serta memiliki tujuan, arah, dan niat

dalam kehidupan. Keluarga penyintas bunuh diri juga memiliki

filosofi 'digelar digulung' yang mendasari kesejahteraan psikologis

keluarga cenderung positif. Para anggota keluarga juga memiliki

keahlian sesuai kebutuhan individu dan keterampilan untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kesejahteraan psikologis keluarga penyintas bunuh diri

juga dipengaruhi oleh kepribadian anggota keluarga yang selalu

bersikap positif dan adanya dukungan sosial dari kerabat dekat

maupun jauh.

Saran

Subjek penelitian diharapkan mampu berbagi pengalaman

hidup kepada keluarga penyintas bunuh diri maupun orang lain,

bahwa peristiwa bunuh diri bukanlah hal yang patut dilakukan

dalam menyelesaikan masalah, bahwa sebagai penyintas bunuh

diri masih dapat melakukan segala kegiatan seperti orang-orang

pada umumnya tanpa merasa canggung, dan selalu bersikap

positif bahwa dibalik permasalahan yang terjadi ada sebuah

makna yang tersirat.

Masyarakat diharapkan memiliki peran penting dalam

memahami maupun memberi dukungan bagi keluarga maupun

penyintas bunuh diri agar memiliki sikap positif dalam diri.

Mengingat keluarga penyintas bunuh diri cenderung dipandang

negatif dalam masyarakat, sehingga menyebabkan keluarga

penyintas bunuh diri kurang memiliki sikap positif dan hubungan

timbal balik dengan lingkungan sekitar, karena hal tersebut

menimbulkan faktor psikis yang membuat keluarga penyintas

bunuh diri menjadi kurang berinteraksi dengan lingkungan sosial,

mudah tersinggung, mudah menyendiri, dan memiliki rasa

kepercayaan diri yang rendah.

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 23

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 26: Vol 10 No 1 November 2019

Perangkat desa diharapkan dapat bekerjasama dengan

sebuah lembaga untuk mengadakan konseling/motivasi/seminar

khususnya kepada keluarga penyintas bunuh diri. Selain itu,

perangkat desa juga dapat memfasilitasi diadakannya workshop

kewirausahaan/kerajinan bernilai jual untuk masyarakat yang

sekiranya membutuhkan keahlian ataupun wawasan tersebut

untuk meningkatkan kinerja maupun kebutuhan ekonomi

keluarga.

Bagi penelitian selanjutnya yang hendak meneliti dengan

topik yang sama, diharapkan mampu menelaah lebih dalam

tentang kesejahteraan psikologis yang terbentuk pada subjek

yang hendak diteliti. Peneliti diharapkan mampu meneliti

kesejahteraan psikologis pada keluarga penyintas bunuh diri

dengan mempertimbangkan faktor lain dan kriteria subjek yang

dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis pada diri individu,

sehingga dalam penelitian dapat menemukan hasil yang lebih

detail dan mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Husain. S. (2005). Mengapa Harus Bunuh Diri. Jakarta : Qisthi Pres

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Edisi

Revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Basaria, D. (2017). Gambaran Kecerdasan Emosi dan Psychological Well-

Being Tenaga Pendidik di Provinsi DKI Jakarta. Jurnal Psikologi

Pendidikan. Jakarta: Universitas Tarumanegara.

Dewanto, W., Retnowati, S. (2015). Intervensi kebersyukuran dan

kesejahteraan penyandang disabilitas fisik. GADJAH MADA

JOURNAL OF PROFESSIONAL PSYCHOLOGY. 1(1). 33 – 47

Diener, E., Wirtz, D., Biswas-Diener, R., Tov, W., Kim-Prieto, Chu, Choi,

Dong-won, & Oishi, S. (2009). New measures of well-being. E.

Diener (ed.), Assessing well-being: The collected works of Ed

Diener, Social. Indicators Research Series 39, 247-266.doi:

10.1007/978-90-481-2354-4_12.

Dhaksinarga, S.W. (2017). Mitos Pulung Gantung dan Upaya Menangani

K a s u s B u n u h D i r i d i G u n u n g k i d u l .

. (diakses

pada tanggal 25 Oktober 2017)

Eko, S. (2012). Disfungsi Sosialisasi dalam Keluarga sebagai Dampak

http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41194325

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara24

Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih

Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri

Page 27: Vol 10 No 1 November 2019

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 25

Keberadaan Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) (Studi

pada TPA Permata Hati di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi,

Kabupaten Sleman, Yogyakarta). Skripsi. Yogyakarta: Universitas

Negeri Yogyakarta.

Ellison, C.G. (1991). Religious involvement and subjective well-being.

Journal of Health and Social Behavior. 32(1), 80-99.

Emmons, R. A., McCullough, M. E. (2004). The Psychology of Gratitude.

New York: Oxford University Press, Inc.198 Madison Avenue.

Halim, W. & Wirawan, H. (2009). Quality of Life Janda Pasca Kemoterapi

dan Radioterapi. Skripsi (tidak diterbitkan). Universitas

Tarumanegara.

Harimukthi, M. T., & Dewi, K. S. (2014). Eksplorasi kesejahteraan psikologis

individu dewasa awal penyandang tunanetra. Jurnal Psikologi,

13(1), 64-77.

Lawton, M.P. (1983). Environment and other determinants of well-being in

older people. The Gerontologist, 23(4), 349-357.

Lestari, S dan Budhi, O. (2017). Mitos Pulung Gantung dan Upaya

M e n a n g a n i K a s u s B u n u h D i r i d i G u n u n g k i d u l .

. (diakses

pada tanggal 25 Oktober 2017)

Lopez, & Snyder, C.R. (2003). Positive Psychological Assessment a

Handbook of Models & measures.Washington. DC : APA

Maris,R.W. (2000). Comprehensive Text Book of Suicidology. New York: The

Guilfrod Press.

Miller, L. Bansal, R., Wikramaratne, P., Hao, X., Tenke, C. E., Weissman, M.

M., & Patterson, B. S. (2014). Neuroanatomical correlates of

religiousity and spirituality; a study in adults st high and low familial

risk for depression. JAMA Psychiatry . 71(2):128-35. http://dx.doi.org/ 10.101.jamapsychiatry.2013.306

Mukharromah, L. (2014). Dinamika Psikologis pada Pelaku Percobaan

Bunuh diri. Jurnal Psikoislamika.11(2). 31-36.

Mulyani, A. A., & Eridiana, W( 2018). Faktor-faktor yang melatarbelakangi

fenomena bunuh diri di Gunung Kidul. Sosietas, 8(2).

Moleong, L. J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Nurhadi (2007). Filsafat Suryomentaram: Satu Alternatif Analisis Karya

Sastra.

Jurnal. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

https://doi.org/10.14710/jpu.13.1.64-77

http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41194325

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 28: Vol 10 No 1 November 2019

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara26

Papalia, D. E., Old s, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development

Perkembangan Manusia. Jakarta: Salemba Humanika.

Ryff, C.D. (1989). Happiness is Everything, or Is It? Explorations on the

Meaning of Psychological Well-Being. Journal of Personality and

S o c i a l P s y c h o l o g y . 5 7 ( 6 ) . 1 0 6 9 - 1 0 8 1 . D o i

Ryff, C.D dan Keyes C.L.M. (1995). The Structure of Psychological Well

Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology.

69(4).719-727

Schmutte, P.S dan Ryff, C.D. (1997). Personality and Well Being:

Reexamining Methodes and Meaning. Journal of Personality and

S o c i a l P s y c h o l o g y . 7 3 ( 3 ) . 5 4 9 - 5 5 9 . D o i

Shneidman, E. (1985). Definition of suicide. New York: John Wiley & Sons.

. (1971). "Suicide" and "suicidology": A brief

etymological note.

Suicide and Life-Threatening Behavior, 1, 260-264.

Sugiarto, R. (2015). Psikologi Raos: Saintifikasi Kawruh Jiwa Ki Ageng

Suryomentaram. Sleman: Pustaka Ifada.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Wahyuningtiyas, D.T. (2016). Kesejahteraan Psikologis (Psychological

Well- Being) Orang Tua dengan Anak ADHD (Attention Deficit

Hyperactive Disorder) di Surabaya. Skripsi. Malang: Universitas

Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Wood, A. M., Maltby, J., Gillett, R. Linley, A., & Joseph, S. (2008). The Role Of

Gratitude In The Development Of Social Support, Stress, And

Depression: Two Longitudinal Studies. Journal of Research in

Personality, 42(8), 54–87.

Yuwono, M. (2017). Selama 6 Bulan, 19 Warga Gunungkidul Bunuh Diri.

. (diakses pada

tanggal 27 Oktober 2017)

https://doi.org/10.1037/0022-3514.57.6.1069

https://doi.org/10.1037/0022-3514.73.3.549

http://regional.kompas.com/read/2017/07/07/17191271/selama.6.bulan.19. warga.gunungkidul.bunuh.diri

Faizah Najlawati Indriyanti Eko Purwaningsih

Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas Bunuh Diri

Page 29: Vol 10 No 1 November 2019

KEBERSYUKURAN PADA ORANG TUA ANAK BERKEBUTUHAN

KHUSUS

1 2 Aulia Rahman Putra , Nila Anggreiny ,3Septi Mayang Sarry

Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

e-mail: [email protected]

Kronologi Naskah:

Naskah Masuk, 2 Oktober 2019, Revisi 20

Oktober 2019, Diterima 1 November 2019

Abstract. Parents who had more than one child with special needs had varieties of

more intensive problems. Parents were also required to attempt their best with the

limitations of their children. One of the best ways that parents could do for their

children with special needs behind their problems was to be grateful. This study

aimed to determine the description of gratitude in parents who had more than

one child with special needs. The method used in this study was a qualitative

research method with a phenomenological approach. Data collection techniques

utilized in this study was interview. The participants of this study were four

persons comprising of two parents who had more than one child with special

needs. Data analysis procedure used Moustakas method. The results of this study

indicated that parents who were grateful, when they had more than one child with

special needs, they would always pray for the children as a form of gratitude to the

God, accept the condition of the children, attempt their best for the children, have

a positive affection and feel life contentment, have a pro-social traits, have

improvement in terms of worship, take the wisdom from the children's condition,

and join the events concerning on children disability. Besides, parents would also

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 27

Page 30: Vol 10 No 1 November 2019

learn from the experience of caring for children with special needs. Gratitude for

parents was affected by religiousity, social support and children's condition

factors.

Keywords: Children With Special Needs, Gratitude, Parents

Abstrak. Orang tua yang memiliki lebih dari satu anak berkebutuhan khusus

mengalami berbagai permasalahan yang lebih instens. Orang tua juga dituntut

untuk mengusahakan yang terbaik dengan keterbatasan yang dimiliki oleh anak

mereka tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk

mengusahakan yang terbaik bagi anak, dibalik permasalahan yang mereka alami

adalah dengan bersyukur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran

kebersyukuran pada orang tua yang memiliki lebih dari satu anak berkebutuhan

khusus. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengumpulan data

menggunakan teknik wawancara. Partisipan penelitian berjumlah empat orang

yang terdiri dari dua orang tua yang memiliki lebih dari satu anak berkebutuhan

khusus. Prosedur analisa data menggunakan metode Moustakas. Hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa orang tua yang bersyukur ketika memiliki lebih dari satu

anak berkebutuhan khusus, akan selalu mendoakan anak sebagai bentuk rasa

syukur kepada Tuhan, menerima keadaan anak, mengusahakan yang terbaik

untuk anak, memiliki afek yang positif dan merasakan kepuasan hidup, memiliki

sifat prososial, mengalami peningkatan dari segi ibadah, mengambil hikmah dari

kondisi anak dan mengikuti acara yang berhubungan dengan keterbatasan anak.

Selain itu, orang tua juga akan belajar dari pengalaman pengasuhan terhadap

anak yang berkebutuhan khusus sebelumnya. Kebersyukuran pada orang tua

dipengaruhi oleh faktor religiusitas, dukungan sosial dan kondisi anak.

Kata kunci : Anak berkebutuhan khusus, Kebersyukuran, Orang tua

Orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus mengalami berbagai permasalahan yang disebabkan oleh keterbatasan yang ada pada anak mereka tersebut. Orang tua akan merasa terkejut, kebingungan dan tidak percaya dengan apa yang terjadi kepada anak mereka (Wardani, 2009). Selain itu, orang tua orang tua juga akan memperlihatkan emosi-emosi yang cenderung negatif, seperti menyalahkan diri, tidak dapat menerima keadaan, marah dan menyesal serta menempatkan orang tua pada resiko tingkat stres yang tinggi (Schieve, Blumberg, Rice, Visser, & Boyle, 2007; Wijaya, 2015). Orang tua juga akan merasakan perasaan tidak dimengerti, ditinggalkan sendiri, memikirkan masa depan anak, menghadapi tanggapan negatif terhadap anak dan kelelahan

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara28

Aulia Rahman PutraNila Anggreiny

Keebrsyukuran Pada Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus

Page 31: Vol 10 No 1 November 2019

secara fisik maupun psikis dikarenakan banyaknya waktu yang dihabiskan untuk mengurus anak (Morgan, 2006; Meiza, Puspasari, & Kardinah, 2018).

Memiliki lebih dari satu anak berkebutuhan khusus membuat orang tua semakin merasa tertekan dan semakin menambah beban pada orang tua (Matters, 2007). Selain itu, orang tua yang memiliki lebih dari satu anak berkebutuhan khusus juga membuat mereka semakin mengalami kesulitan dan ketidakstabilan keuangan serta materil dalam melakukan pengasuhan terhadap anak mereka yang memiliki keterbatasan (Meyers, Lukemeyer, & Smeeding, 1998).

Berbagai permasalahan yang dirasakan oleh orang tua ketika memiliki anak berkebutuhan khusus dapat diatasi dengan mengapresiasi hal positif yang dirasakan dalam hidup, yaitu dengan bersyukur (Prasa, 2012; Nura & Sari, 2018). Kebersyukuran berhubungan dengan menikmati hal-hal yang telah didapatkan oleh individu, kemudian kebersyukuran tidak hanya mempengaruhi kesejahteraan fisik pada individu saja tetapi juga berpengaruh kepada kesejahteraan psikologisnya, seperti mudah mengalami emosi positif, memiliki tingkat kepuasan hidup yang tinggi serta memiliki tingkat depresi dan stres yang rendah (McCullough, Emmons, & Tsang, 2002).

McCullough, Emmons dan Tsang (2002) menguraikan kebersyukuran ke dalam beberapa facet, dimana elemen dari masing-masing facet tersebut saling berhubungan dan terjadi secara bersamaan, facet tersebut terdiri dari : (1) Intensity, yang mengacu kepada perasaan positif yang dihasilkan oleh rasa syukur, (2) Frequency, yang mengacu kepada seberapa sering individu mengalami kebersyukuran, (3) Span, yang mengacu kepada sejumlah keadaan yang membuat individu bersyukur, (4) Density, yang mengacu kepada siapa saja individu bersyukur atas manfaat positif yang diterimanya.

McCullough, Emmons dan Tsang (2002) juga menguraikan beberapa ciri-ciri individu yang mengalami kebersyukuran, ciri-ciri tersebut terdiri dari (1) Possitive affective traits and well being, mengacu pada kecenderungan individu untuk mengalami emosi positif, kesejahteraan subjektif dan merasa puas akan hidupnya, (2) Prosocial traits, berhubungan dengan sifat prososial yang dimiliki oleh individu, (3) Religion/spirituality, yang mengacu kepada

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 29

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 32: Vol 10 No 1 November 2019

kecenderungan individu terlibat dalam praktek keagamaan dan memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan.

Kebersyukuran memiliki dampak positif dan dapat mempengaruhi individu dalam beberapa aspek, seperti kognisi, emosi, dan spiritual, sehingga individu akan lebih baik dalam merespon atau menyikapi setiap peristiwa yang terjadi di dalam kehidupannya (Cahyono, 2014). Selain itu, individu dengan kebersyukuran mampu melihat hidupnya secara lebih positif, memiliki sikap optimis ketika menghadapi suatu masalah dan berusaha untuk menyelesaikan permasalahannya dengan cara yang positif (Wood, Joseph, & Linley, 2007).

Indikasi kebersyukuran pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus dapat dilihat dari perilaku orang tua terhadap anak mereka tersebut. Orang tua dengan kebersyukuran cenderung menggunakan semua hal yang mereka miliki baik itu waktu, fisik dan materil untuk mengusahakan hal-hal yang positif bagi anak mereka, seperti mengusahakan pendidikan yang terbaik untuk anak dan mendidik anak sesuai dengan pola asuh yang sesuai dengan keterbatasan yang ada pada anak mereka tersebut (Murisal & Hasanah, 2017). Selain itu, orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus dengan kebersyukuran membuat orang tua menyadari bahwa segala yang terjadi di dalam kehidupan mereka merupakan anugerah dari Tuhan (Prasa, 2012).

Manfaat nyata dari kebersyukuran pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus adalah membuat orang tua menjadi lebih puas, berpikir positif, optimis serta membangkitkan harapan dalam memandang hidup dan membantu orang tua untuk dapat melihat kebaikan dalam situasi yang sulit ketika memiliki anak berkebutuhan khusus (

). Kemudian orang tua dengan kebersyukuran selalu memiliki keinginan yang baik terhadap anak mereka yang berkebutuhan khusus. Salah satu keinginan baik orang tua ditunjukkan dengan mengapresiasi kondisi anak mereka dan fokus pada hal-hal positif dalam pengasuhan anak dibalik banyaknya kesulitan yang mereka alami (Nura & Sari, 2018).

Kompleksnya permasalahan yang dialami oleh orang tua dengan anak berkebutuhan khusus, terkhususnya permasalahan yang dialami oleh orang tua yang memiliki lebih dari satu anak berkebutuhan khusus membuat peneliti tertarik untuk melakukan

Hambali, Meiza, & Fahmi, 2015

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara30

Aulia Rahman PutraNila Anggreiny

Keebrsyukuran Pada Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus

Page 33: Vol 10 No 1 November 2019

penelitian ini. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan masukan terkait pentingnya kebersyukuran pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus terutama pada orang tua yang memiliki lebih dari satu anak berkebutuhan khusus, agar orang tua bisa mengatasi permasalahan yang dialami ketika memiliki anak berkebutuhan khusus dan mengusahakan yang terbaik bagi anak mereka tersebut.

MetodePenelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan

pendekatan fenomenologi. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara. Penelitian ini dilakukan di Kota Padang. Partisipan penelitian berjumlah empat orang yang terdiri dari dua orang tua dengan karakteristik : (1) memiliki lebih dari satu anak berkebutuhan khusus, (2) pengasuhan utama dilakukan oleh partisipan penelitian, (3) tidak memiliki hambatan dalam menyampaikan informasi kepada peneliti.

Prosedur Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini merujuk kepada prosedur analisis data yang dikemukakan oleh Moustakas (1994), yaitu : (1) Peneliti menyalin pernyataan yang disampaikan ke dalam bentuk traknskrip verbatim tertulis, (2) Membuat daftar meaning units, mengelompokkan pernyataan yang sesuai topik penelitian, mereduksi serta mengeliminasi pernyataan yang berulang dan mengandung makna yang sama (3) Menyusun deskripsi tekstural dan deskripsi struktural, (4) Mengintegrasikan antara deskripsi tekstural dan struktural yang menjadi dasar pernyataan terkait esensi pengalaman partisipan secara menyeluruh.

H a s i lPartisipan dalam penelitian ini berjumlah empat orang yang

terdiri dari dua orang tua yang memiliki lebih dari satu anak berkebutuhan khusus. Orang tua 1 (P1 & P2) memiliki tiga anak berkebutuhan khusus dengan klasifikasi tunarungu. Orang tua 1 merupakan keluarga dengan golongan ekonomi menengah ke bawah dan sama-sama memiliki latar belakang pendidikan Sekolah menengah Atas (SMA).

Orang tua 2 (P3 & P4) memiliki dua anak berkebutuhan

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 31

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 34: Vol 10 No 1 November 2019

khusus dengan klasifikasi Autism Spectrum Disorder (ASD). Orang

tua 2 merupakan keluarga dengan golongan ekonomi menengah

ke atas. P3 (ibu) memiliki latar belakang pendidikan Strata 1,

sedangkan P4 (ayah) memiliki latar belakang pendidikan strata 3.

Pada penelitian ini diketahui bahwa keempat partisipan

mengalami kebersyukuran di dalam hidup mereka ketika

memiliki lebih dari satu anak berkebutuhan khusus.

Kebersyukuran pada keempat partisipan digambarkan melalui

sembilan tema yang ditemukan (Tabel 1). Tema yang ditemukan

terdiri dari partisipan yang selalu mendoakan anak sebagai

bentuk rasa syukur kepada Tuhan, menerima keadaan anak apa

adanya, mengusahakan yang terbaik untuk anak, memiliki afek

yang positif dan merasakan kepuasan dalam hidup, memiliki sifat

prososial, mengalami peningkatan dari segi ibadah, belajar dari

pengalaman pengasuhan ABK sebelumnya, mengambil himah

dan pembelajaran dari kondisi anak, mengikuti acara dan

kegiatan yang berhubungan dengan keterbatasan anak. Selain

itu, kebersyukuran pada orang tua dipengaruhi oleh faktor

religiusitas, dukungan sosial dan kondisi anak.

Tabel 1.Tema yang ditemukan terkait kebersyukuran pada

orang tua anak berkebutuhan khusus

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara32

Aulia Rahman PutraNila Anggreiny

Keebrsyukuran Pada Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus

Page 35: Vol 10 No 1 November 2019

DiskusiKebersyukuran sangat penting bagi orang tua yang memiliki

anak berkebutuhan khusus. Sebagaimana dikemukakan oleh Emmons dan Shelton (2002) bahwa individu yang bersyukur memiliki kecenderungan untuk merasakan kepuasan di dalam hidupnya dan terhindar dari berbagai macam emosi negatif yang dirasakan serta mampu meningkatkan kesehatan dan kebahagiaan subjektif. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Nura dan Sari (2018) menemukan bahwa orang tua yang bersyukur merasakan kepuasan di dalam hidup mereka dan merasa lebih tenang dan nyaman dalam menjalani hidup ketika memiliki anak berkebutuhan khusus. Selain itu, Hambali, Meiza dan Fahmi (2015) mengatakan bahwa orang tua yang bersyukur ketika memiliki anak berkebutuhan khusus, akan selalu mengusahakan hal-hal yang terbaik bagi anak mereka tersebut.

Orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus mengalami kebersyukuran di dalam hidup mereka dikarenakan

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 33

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 36: Vol 10 No 1 November 2019

mereka percaya bahwa memiliki anak berkebutuhan khusus merupakan takdir dan titipan dari Tuhan. Sebagaimana dikemukakan oleh

bahwa faktor religiusitas secara signifikan berhubungan dengan coping agama, yang mana individu akan semakin bersyukur ketika meyakini setiap peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya merupakan kehendak dari Tuhan dan percaya bahwa terdapat hikmah dibalik hal tersebut.

Orang tua juga mengalami kebersyukuran di dalam hidup mereka dikarenakan dukungan yang diberikan oleh pasangan mereka masing-masing, orang tua baik itu ayah maupun ibu saling mendukung, saling menguatkan satu sama lain dan sama-sama mengusahakan yang terbaik untuk anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus. Selain itu, orang tua juga mendapatkan dukungan dari keluarga, tetangga, teman-teman hingga orang yang tidak terduga oleh mereka sebelumnya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nura dan Sari (2018) yang menemukan bahwa dukungan sosial dapat mempengaruhi dan meningkatkan kebersyukuran pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.

Dukungan dan bantuan yang diperoleh orang tua juga membuat mereka semakin bersyukur. Orang tua menjadi semakin bersyukur dikarenakan mendapat bantuan dari orang yang tidak terduga dan tidak disangka-sangka oleh mereka sebelumnya. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Smith, Pedersen, Forster, McCullough dan Lieberman (2017) yang menemukan bahwa individu menjadi semakin bersyukur ketika seseorang secara tak terduga bermurah hati dan memberikan bantuan beserta manfaat kepadanya.

Nilai dan manfaat bantuan yang diterima oleh orang tua juga membuat mereka semakin bersyukur. Orang tua semakin bersyukur dikarenakan bantuan yang mereka terima sangat bermanfaat dan meringankan beban mereka ketika memiliki anak berkebutuhan khusus. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Forster, Pedersen, Smith, McCullough dan Lieberman (2017) yang menyatakan bahwa kebersyukuran lebih terkait dengan nilai atau manfaat yang diterima oleh individu.

Kebersyukuran pada orang tua juga disebabkan oleh kondisi anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus. Orang tua

Rothenberg, Pirutinsky, Greer dan Korbman (2015)

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara34

Aulia Rahman PutraNila Anggreiny

Keebrsyukuran Pada Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus

Page 37: Vol 10 No 1 November 2019

bersyukur dikarenakan kondisi anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus sudah jauh lebih baik dan berkembang dari kondisi sebelumnya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nura dan Sari (2018) yang menemukan bahwa sumber kebersyukuran pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus adalah setiap perkembangan kondisi yang dimiliki oleh anak mereka tersebut.

Nura dan Sari (2018) juga menemukan bahwa orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus mengalami kebersyukuran karena prestasi yang diperoleh anak mereka di sekolah. Pendapat tersebut sejalan dengan temuan yang ditemukan pada penelitian ini, dimana orang tua bersyukur dikarenakan anak mereka yang berkebutuhan khusus memiliki banyak kelebihan seperti pintar, aktif, dan memiliki banyak prestasi di sekolah mereka.

Pengalaman dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus juga membuat orang tua merasa bersyukur. Orang tua bersyukur dikarenakan merasa terhibur dengan perilaku anak mereka yang ketika berbicara suka mengulang-ngulang perkataannya dan suka berbicara secara ceplas-ceplos. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Jones (2012) bahwa orang tua akan merasakan kebahagiaan dan keceriaan selama mengasuh anak mereka yang berkebutuhan khusus.

Kebersyukuran pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus juga terlihat dari orang tua yang telah menerima keadaan anak mereka tersebut. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wood, Joseph dan Maltby (2009) yang menemukan bahwa kebersyukuran memiliki hubungan yang positif dengan penerimaan diri. Sejalan dengan penelitian tersebut, Wijayanti (2015) mengatakan bahwa orang tua dengan penerimaan diri yang baik maka akan dengan mudah menerima kekurangan yang ada pada anak mereka yang memiliki keterbatasan dan mudah menerima keadaan-keadaan yang disebabkan karena telah memiliki anak berkebutuhan khusus.

Orang tua yang bersyukur setelah menerima keadaan anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus, mereka akan mengusahakan yang terbaik bagi anak-anak mereka tersebut. Orang tua mengusahakan pengobatan, pendidikan, masa depan yang terbaik dan mengusahakan kebahagiaan untuk anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus. Hal ini sesuai dengan

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 35

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 38: Vol 10 No 1 November 2019

penelitian yang dilakukan oleh Murisal dan Hasanah (2017) yang menemukan bahwa orang tua yang bersyukur cenderung menggunakan semua hal yang mereka miliki baik itu waktu, fisik maupun materil untuk mengusahakan hal-hal yang terbaik bagi anak mereka yang berkebutuhan khusus.Kebersyukuran pada orang tua juga membuat mereka memiliki afek yang positif dan membuat mereka mengalami emosi-emosi positif serta mampu meminimalisir emosi negatif yang mereka rasakan ketika memiliki anak berkebutuhan khusus. Dimana orang tua tidak menutup diri mereka dari lingkungan, tidak malu dengan keadaan anak mereka yang berkebutuhan khusus serta tidak merasakan emosi-emosi negatif ketika menghadapi anak mereka tersebut. Selain itu, orang tua juga merasakan kepuasan di dalam hidup mereka ketika memiliki anak berkebutuhan khusus. Sebagaimana yang dikemukakan oleh McCullough, Emmons dan Tsang (2002) bahwa kebersyukuran membuat individu memiliki kecenderungan untuk mengalami emosi-emosi positif, kesejahteraan subjektif dan merasa puas akan hidupnya.

Smith, Parrott, Diener, Hoyle dan Kim (1999) menemukan bahwa individu yang bersyukur tidak mudah mengalami emosi-emosi interpersonal negatif, seperti marah, dendam, iri dan penghinaan yang diarahkan khusus kepada orang lain. Sejalan dengan penelitian tersebut, orang tua yang bersyukur ketika memiliki anak berkebutuhan khusus, mereka akan merespon dengan positif tanggapan negatif yang diberikan oleh orang lain terkait anak mereka yang berkebutuhan khusus, dimana orang tua tidak terpancing, tidak marah ataupun dendam ketika mendapatkan tanggapan negatif tersebut.

Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Lazarus dan Lazarus (1994)

Orang tua juga mengatakan bahwa ketika mereka memiliki anak berkebutuhan khusus, ada banyak mahasiswa yang meminta bantuan kepada mereka terkait tugas yang berhubungan dengan anak mereka tersebut. Kemudian orang tua tidak pernah menolak mahasiswa tersebut dan memberikan bantuan sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki serta melayani mahasiswa tersebut dengan baik.

yang menyatakan bahwa kebersyukuran disebut juga sebagai emosi empatik karena hal ini berkaitan dengan bagaimana kapasitas individu dalam mengenali manfaat dari tindakan yang dilakukannya terhadap

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara36

Aulia Rahman PutraNila Anggreiny

Keebrsyukuran Pada Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus

Page 39: Vol 10 No 1 November 2019

orang lain. Pendapat tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh

individu yang bersyukur memiliki sifat empati, memaafkan dan memiliki kecenderungan untuk memberikan bantuan serta dukungan kepada orang lain.

individu yang bersyukur cenderung bersifat spiritualis yang ditandai dengan sering terlibatnya mereka dalam praktik keagamaan dan memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan.

McCullough, Emmons dan Tsang (2002) yang menemukan bahwa

Ketika memiliki anak berkebutuhan khusus orang tua juga mengalami peningkatan dari segi ibadah mereka. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

kebersyukuran tidak hanya diekspresikan kepada orang lain atau sesama individu saja tetapi juga dapat diekspresikan terhadap sumber-sumber non manusiawi. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Emmons & Kneezel (2005) menemukan bahwa

Kesimpulan

Kebersyukuran pada orang tua yang memiliki anak

berkebutuhan khusus ditandai dengan orang tua yang selalu

mendoakan anak sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan,

menerima keadaan anak apa adanya, mengusahakan yang terbaik

untuk anak, memiliki afek yang positif dan merasakan kepuasan di

dalam hidup, memiliki sifat prososial, mengalami peningkatan dari

segi ibadah, mengambil hikmah dan pembelajaran dari kondisi

anak serta mengikuti acara dan kegiatan yang berhubungan

dengan keterbatasan pada anak mereka. Pada penelitian ini juga

ditemukan bahwasanya orang tua yang memiliki lebih dari satu

anak berkebutuhan khusus akan belajar dari pengalaman

pengasuhan terhadap anak yang berkebutuhan khusus

sebelumnya. Kebersyukuran pada orang tua dipengaruhi oleh

faktor religiusitas, dukungan sosial dan kondisi anak.

Saran

Masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait

dengan kebersyukuran pada orang tua yang memiliki anak

berkebutuhan khusus, penelitian dapat berupa penelitian

kualitatif secara lebih mendalam lagi ataupun penelitian

Snyder dan Lopez (2002) yang menemukan bahwa

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 37

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 40: Vol 10 No 1 November 2019

kuantitatif dengan mempertimbangkan variabel-variabel yang

dapat mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh kebersyukuran,

yang meliputi faktor sosial ekonomi dan gaya pengasuhan orang

tua terhadap anak yang berkebutuhan khusus.

Untuk orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus

sebaiknya berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan

mengembangkan kepercayaan bahwasanya memiliki anak

berkebutuhan khusus bukan disebabkan oleh kesalahan mereka,

melainkan takdir dan titipan dari Tuhan. Kemudian penting bagi

orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus untuk

mengetahui bakat dan keterampilan yang dimiliki oleh anak

mereka, sehingga bakat dan keterampilan tersebut bisa

dikembangkan dan bisa berguna bagi anak-anak mereka yang

berkebutuhan khusus nantinya.

Untuk masyarakat pada umumnya agar bisa

menghilangkan stigma negatif terkait anak berkebutuhan khusus,

karena hal tersebut bisa membuat beban pada orang tua yang

memiliki anak berkebutuhan khusus bisa berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

Emmons, R. A., & Kneezel, T. T. (2005). Giving thanks: Spiritual and

religious correlates of gratitude. Journal of Psychology and

Christianity, 24(2), 140-148.

Oxford

University Press.

Aji, W., Nashori, F., & Sulistyarini, I. (2013). Pengaruh pelatihan

kebersyukuran terhadap penerimaan orang tua pada anak retardasi

menta l . Ju rna l Ps i ko log i In tegra t i f , 1 (1 ) , 97-104 .

https://doi.org/10.14421/jpsi.2013.%25x

Cahyono, E. W. (2014). Pelatihan gratitude (bersyukur) untuk penurunan

stres kerja karyawan di PT. X. CALYPTRA , 3(1), 1-15.

http://www.journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/view/1659

Emmons, R. A., & Shelton, C. M. (2002). Gratitude and the science of

positive psychology. Dalam Snyder, C. R., & Lopez, S. J (Eds),

Handbook of positive psychology (hlm. 459-471). New York:

Forster, D. E., Pedersen, E. J., Smith, A., McCullough, M. E., & Lieberman, D.

(2017). Benefit valuation predicts gratitude. Evolution and Human

B e h a v i o r , 3 8 ( 1 ) , 1 8 - 2 6 .

https://doi.org/10.1016/j.evolhumbehav.2016.06.003

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara38

Aulia Rahman PutraNila Anggreiny

Keebrsyukuran Pada Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus

Page 41: Vol 10 No 1 November 2019

Hambali, A., Meiza, A., & Fahmi, I. (2015). Faktor-faktor yang berperan

dalam kebersyukuran (gratitude) pada orang tua anak berkebutuhan

khusus perspektif psikologi Islam. Psympathic: Jurnal Ilmiah

Psikologi, 2(1), 94-101.

Matters, E. D. C. (2007). Disabled children and child poverty. London:

Every Disabled Child Matters.

Meiza, A., Puspasari, D., & Kardinah, N. (2018). Kontribusi gratitude dan

anxiety terhadap spiritual well-being pada orang tua anak

berkebutuhan khusus.

Meyers, M. K., Lukemeyer, A., & Smeeding, T. (1998). The cost of caring:

Childhood disability and poor families. Social Service Review, 72(2),

209-233. https://doi.org/10.1086/515751

Morgan, P. L. (2009). Parenting your complex child: Become a powerful

advocate for the autistic, down syndrome, PDD, bipolar, or other

special-needs child. New York: AMACOM.

Murisal, M., & Hasanah, T. (2017). Hubungan bersyukur dengan

kesejahteraan subjektif pada orang tua yang memiliki anak

tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang. KONSELI: Jurnal Bimbingan

d a n K o n s e l i n g ( E - J o u r n a l ) , 4 ( 2 ) , 8 1 - 8 8 .

https://doi.org/10.24042/kons.v4i2.2176

Nura, A., & Sari, K. (2018). Kebersyukuran pada ibu yang memiliki anak

be rkebu tuhan khusus . J u rna l E cop sy , 5 ( 2 ) , 73 -80 .

Jones, D. L. E. (2011). The joyful experiences of mothers of children with

special needs: An autoethnographic study. Indiana: Ball State

University.

Lazarus, R. S., & Lazarus, B. N. (1994). Passion and reason: Making sense of

our emotions. New York: Oxford University Press.

McCullough, M. E., Emmons, R. A., & Tsang, J. A. (2002). The grateful

disposition: A conceptual and empirical topography. Journal of

Per sona l i ty and Soc ia l Psycho logy , 82 (1 ) , 112-117 .

https://psycnet.apa.org/doi/10.1037/0022-3514.82.1.112

Humanitas: Jurnal Psikologi Indonesia, 15(1),

1-10. https://dx.doi.org/10.26555/humanitas.v15i1.6599

Moustakas, C. (1994). Phenomenological research methods. California:

Sage Publication.

http://dx.doi.org/10.20527/ecopsy.v5i2.5041

Prasa, B.A. (2012). Stres dan koping orang tua dengan anak retardasi

mental. Empathy, 1(1), 210-224.

Rothenberg, W. A., Pirutinsky, S., Greer, D., & Korbman, M. (2015).

Maintaining a grateful disposition in the face of distress: The role of

religious coping. Psychology of Religion and Spirituality, 8(2), 134-

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 39

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 42: Vol 10 No 1 November 2019

140.

The

relationship between autism and parenting stress. Pediatrics, 119(1),

114-121. https://doi.org/10.1542/peds.2006-2089Q

Smith, R. H., Parrott, W. G., Diener, E., Hoyle, R. H., & Kim, S. H. (1999).

Dispositional envy. Personality and Social Psychology Bulletin, 25,

1007-1020. https://doi.org/10.1177%2F01461672992511008

Oxford University Press.

. (2015). Positive parenting program (triple p) sebagai usaha

untuk menurunkan pengasuhan disfungsional pada orang tua yang

mempunyai anak berkebutuhan khusus (dengan diagnosa autis dan

ADHD). Jurnal Psikologi, 13(1), 21-25.

Wood, A. M., Joseph, S & Maltby J. (2009). Gratitude predicts

psychological wellbeing above the big five facet. Personality and

I n d i v i d u a l D i f f e r e n c e s , 4 6 ( 4 ) , 4 4 3 - 4 4 7 .

https://doi.org/10.1016/j.paid.2008.11.012

https://doi.org/10.1037/rel0000021

(2007).

Schieve, L. A., Blumberg, S. J., Rice, C., Visser, S. N., & Boyle, C.

Smith, A., Pedersen, E. J., Forster, D. E., McCullough, M. E., & Lieberman, D.

(2017). Cooperation: The roles of interpersonal value and gratitude.

E v o l u t i o n a n d H u m a n B e h a v i o r , 3 8 ( 6 ) , 6 9 5 - 7 0 3 .

https://doi.org/10.1016/j.evolhumbehav.2017.08.003

Snyder, C. R., & Lopez, S. J. (2002). Handbook of positive psychology. New

York:

Wardani, D. S. (2009). Strategi coping orang tua menghadapi anak autis.

I nd igenous : J u rna l I lm iah P s i ko log i , 11 ( 1 ) , 26 -35 .

https://doi.org/10.23917/indigenous.v11i1.1628

Wijaya, Y. D

Wijayanti, D. (2015). Subjective well-being dan penerimaan diri ibu yang

memiliki anak down syndrome. Jurnal psikologi UNMUL, 4(1), 120-

130.

Wood, A. M., Joseph, S., & Linley, P. A. (2007). Coping style as a

psychological resource of grateful people. Journal of Social and

C l i n i c a l P s y c h o l o g y , 2 6 ( 9 ) , 1 0 7 6 - 1 0 9 3 .

https://doi.org/10.1521/jscp.2007.26.9.1076

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara40

Aulia Rahman PutraNila Anggreiny

Keebrsyukuran Pada Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus

Page 43: Vol 10 No 1 November 2019

KEYAKINAN TIDAK RASIONAL DAN STRES KERJA PADA PROFESI

GURU

1 2Ria Indah Sari Gaghana ,Susy Purnawati , I Made Krisna

2Dinata1Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana 2Bagian Ilmu Faal, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

1 2email: , , 3

Kronologi Naskah:

Naskah Masuk 3 Juli 2019, Revisi 20 Agustus 2019

Diterima 4 September2019

[email protected] [email protected]

[email protected]

Abstract. The emosional response such as stress is not a direct consequence of

stressors but it is regulated by the way of thinking or beliefs about stressors and

how someone can handle them. Everyone has rational and irrational beliefs. The

relationship between irrational beliefs and emotional disturbances can be

explained by the A-B-C theory. This study aimed to determine the relationship

between irrational beliefs and job stress on senior high school teachers in

Denpasar. It was an analytical study with a cross sectional design. The data were

taken from 46 samples with simple random techniques. Data were collected

through the distribution of irrational beliefs and job stress questionnaires. Data

analyzed by using Pearson product moment test. The results showed that r =

0.366 and p = 0.012 it means that there were positive and significant relationship

between irrational beliefs and job stress on senior high school teachers in

Denpasar.

Keywords: irrational beliefs, job stress, relatioship

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 41

Page 44: Vol 10 No 1 November 2019

Abstrak. Respon emosional seperti stres bukanlah konsekuensi langsung

terhadap stresor namun diatur oleh cara berpikir atau keyakinan tentang stresor

dan cara seseorang untuk mengatasinya. Setiap orang memiliki keyakinan

rasional dan tidak rasional. Hubungan antara keyakinan tidak rasional dengan

gangguan emosi dapat dijelaskan dengan teori A-B-C. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui hubungan antara keyakinan tidak rasional dan stres kerja pada

guru SMAN di Denpasar. Penelitian ini merupakan penelitian analitik uji korelasi

dengan desain penelitian studi potong lintang. Jumlah sampel yang diambil

sebanyak 46 sampel dengan teknik acak sederhana. Pengumpulan data melalui

penyebaran kuesioner keyakinan tidak rasional dan stres kerja. Teknik analisis

data menggunakan uji korelasi Pearson product moment. Hasil penelitian

menunjukkan r = 0,366 dan p = 0,012 yang berarti bahwa terdapat hubungan

yang positif dan signifikan antara keyakinan tidak rasional dan stres kerja pada

guru SMAN di Denpasar.

Kata kunci: hubungan, keyakinan tidak rasional, stres kerja

Setiap orang sering melakukan berbagai macam aktivitas seperti

bekerja. Salah satu pekerjaan yang ada yaitu sebagai seorang guru.

Keberhasilan seorang guru didalam memberikan ilmu tidak lepas

dengan cara guru menyelesaikan tuntutan kerja. Tuntutan kerja

merupakan salah satu faktor risiko yang dapat membuat guru

rentan mengalami stres kerja. Stres kerja biasanya terjadi apabila

individu memberi respon negatif terhadap lingkungan sehingga

mengakibatkan tekanan pada kondisi fisik, psikis, sosial maupun

perilaku. Stres kerja merupakan suatu tuntutan lingkungan kerja

dan tanggapan yang berbeda pada setiap individu dalam

menghadapi stres ''''' (Jumati dan Wusma, 2013). Stres kerja

merupakan sebuah fenomena gunung es dimana banyak kasus

yang tidak terlaporkan dan dapat berisiko semakin meluasnya

masalah stres kerja dengan dampak negatif di masyarakat (Susy-

Purnawati, 2014). Pada beberapa penelitian didapatkan guru

mengalami stres kerja sedang (Dhanilasari, 2013; Kusumadewi et

al., 2011). Respon emosional seperti stres bukanlah konsekuensi

langsung terhadap stresor namun diatur oleh cara berpikir atau

keyakinan tentang stresor dan cara seseorang untuk

mengatasinya.

Setiap orang memiliki keyakinan rasional dan tidak

rasional. Keyakinan rasional merupakan keyakinan atau

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara42

Ria Indah Sari Gaghana, Susy Purnawati, I Made Krisna Dinata

Keyakinan Tidak Rasional dan Stres Kerja Pada Profesi Guru

Page 45: Vol 10 No 1 November 2019

kepercayaan yang membantu seseorang untuk mencapai sesuatu

yang penting, realistis, masuk akal dan memiliki tujuan. Keyakinan

rasional sangat penting untuk membentuk suatu pendidikan yang

efektif dalam mengelola tingkatan stres (Mahfar et al., 2012).

Sedangkan keyakinan tidak rasional merupakan keyakinan atau

kepercayaan yang kurang atau yang gagal bagi seseorang untuk

mencapai tujuan pribadi dan tidak rasional, dogmatis, fanatik dan

tidak realistis (David et al., 2009).

Proses keyakinan atau berpikir memiliki keterkaitan

dengan keadaan emosinya. Hubungan antara keyakinan tidak

rasional dengan gangguan emosi dan perilaku seseorang dapat

dijelaskan dengan teori A-B-C (David et al., 2009). Teori A-B-C

adalah teori mengenai kepribadian yang menyatakan bahwa

masalah-masalah yang dihadapi manusia tidak selalu disebabkan

karena peristiwa yang sedang dialami, melainkan karena

keyakinan-keyakinan tentang peristiwa tersebut. A = Antecedent

event, yaitu peristiwa yang memicu. Hal ini berkaitan dengan

peristiwa atau kejadian yang dialami seseorang. B = Beliefs system,

yaitu keyakinan dalam diri seseorang yang berupa persepsi atau

pandangan seseorang terhadap peristiwa tersebut. Keyakinan

seseorang ada dua yaitu keyakinan rasional dan keyakinan tidak

rasional. Sedangkan C = Consequence yang berhubungan dengan

reaksi emosional seseorang, konsekuensi perilaku dan emosional

seseorang ditentukan oleh keyakinan seseorang terhadap suatu

peristiwa. C bukan akibat langsung dari A melainkan yang

menyebabkan C adalah B (David et al., 2009).

Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui apakah terdapat hubungan antara keyakinan tidak

rasional dan stres kerja pada guru SMAN di Denpasar. Manfaat

penelitian ini untuk memberikan tambahan informasi dan data

dasar penelitian untuk berkembangnya ilmu pengetahuan

khususnya dalam ilmu kedokteran. Berdasarkan penjelasan yang

telah disebutkan maka hipotesis dalam penelitian adalah “Ada

hubungan antara keyakinan tidak rasional dan stres kerja pada

guru SMAN di Denpasar”.

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 43

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 46: Vol 10 No 1 November 2019

Metode

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian analitik uji

korelasional dengan desain penelitian studi potong lintang. Subjek

penelitian yaitu guru SMAN di Denpasar dengan populasi

terjangkau adalah guru di SMAN 2 Denpasar. Sampel diambil

dengan metode simple random sampling. Variabel dalam

penelitian ini adalah karakteristik individu (usia, jenis kelamin,

pendidikan terakhir, masa kerja dan status pernikahan), keyakinan

tidak rasional dan stres kerja. Proses pengambilan data diawali

dengan memberikan informasi mengenai tujuan dan manfaat

penelitian setelah itu diberikan lembar informed consent pada

sampel. Setelah sampel menandatangani informed consent, maka

diberikan kuesioner keyakinan tidak rasional dan stres kerja. Alat

ukur menggunakan kuesioner The Smith Irratinal Beliefs Inventory

versi bahasa Indonesia yang terdiri dari 24 item pertanyaan dan

menggunakan kuesioner stres kerja yang terdiri dari 5 item

pertanyaan (Susy-Purnawati dan Gaghana, 2018; Smith, 2002;

Subawa dan Surya, 2017).

Dari hasil uji validitas dan reliabilitas kedua alat ukur

tersebut terbukti reliabel dan valid sehingga dapat digunakan.

Data kuesioner yang diperoleh, dinilai dengan skoring untuk

mengetahui keyakinan tidak rasional dan stres kerja. Untuk

mengetahui hubungan keyakinan tidak rasional dengan stres kerja

dilakukan analisis data menggunakan korelasi Pearson product

moment. Data yang diperoleh dari kuesioner kemudian dianalisis

dengan tabel dan narasi.

Hasil

Penelitian dilaksanakan di SMAN 2 Denpasar pada bulan

September 2018 dan sebanyak 46 responden diambil dan jumlah

responden memenuhi besar sampel minimal yang telah dihitung

menggunakan rumus sebesar 43 sampel. Data karakteristik dapat

dilihat pada Tabel 1. Selanjutnya dilakukan uji normalitas untuk

mengetahui apakah data yang diperoleh berdistribusi normal atau

tidak. Berdasarkan Tabel 2 data pada variabel keyakinan tidak

rasional memiliki nilai p sebesar 0,229 dan data pada variabel stres

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara44

Ria Indah Sari Gaghana, Susy Purnawati, I Made Krisna Dinata

Keyakinan Tidak Rasional dan Stres Kerja Pada Profesi Guru

Page 47: Vol 10 No 1 November 2019

kerja memiliki nilai p sebesar 0,054. Kedua variabel memiliki nilai p

> 0,05 maka kedua data tersebut dinyatakan berdistribusi normal.

Untuk uji hipotesis penelitian ini menggunakan analisis korelasi

Pearson product moment.

Hasil uji hipotesis penelitian dapat dilihat pada Tabel 3, dari

hasil analisis statistic didapatkan nilai r = 0,366 dan nilai p = 0,012

tampak bahwa hubungan kedua variabel signifikan karena nilai p <

0,05 dan nilai r yang positif menunjukkan hubungan positif antara

kedua variabel, yang artinya jika keyakinan tidak rasional

meningkat maka stres kerja meningkat. Dengan demikian,

hipotesis penelitian “Ada hubungan antara keyakinan tidak

rasional dan stres kerja pada guru SMAN di Denpasar” dapat

diterima.

Tabel 1.

Distribusi Karakteristik Sampel Penelitian

Tabel 2

Uji Normalitas dengan Uji Saphiro Wilk

Variabel Frekuensi Persentase

Usia

< 35 tahun 13 28,3 %

35-50 tahun 14 30,4 %

> 50 tahun 19 41,3 %

Jenis Kelamin

Laki-laki 22 47,8 %

Perempuan 24 52,2 %

Pendidikan Terakhir

S1 37 80,4 %

S2 9 19,6 %

Masa Kerja

1-15 tahun 21 45,7 %

16-30 tahun 16 34,8 %

> 30 tahun 9 19,6 %

Status Pernikahan

Belum Menikah 7 15,2 %

Sudah Menikah 39 84,8 %

Total 46 100 %

N Statistik P

Keyakinan Tidak Rasional 46 0,968 0,229

Stres Kerja 46 0,952 0,054

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 45

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 48: Vol 10 No 1 November 2019

Tabel 3

Hasil Uji Hipotesis Penelitian

Diskusi

Temuan utama pada penelitian ini adalah ditemukan

korelasi yang signifikan antara keyakinan tidak rasional dan stres

kerja pada guru. Keyakinan tidak rasional sebagai mediator dalam

hubungan antara stresor dan stres. Apabila terdapat stresor pada

individu yang memiliki keyakinan tidak rasional yang tinggi maka

akan memperburuk stres yang ada di lingkungan (Popov et al.,

2015; Mahfar et al., 2012). Teori A-B-C berarti stres terjadi sebagai

konsekuensi dari keyakinan tidak rasional dan tindakan atau

kondisi kerja yang penuh tekanan. Suatu penelitian menunjukkan

bahwa respon stres bukanlah respon langsung terhadap stresor

tetapi hasil persepsi individu mengenai stresor dan kemampuan

individu untuk mengatasinya (Popov et al., 2015). Hal ini

mengandung makna bahwa tinggi atau rendahnya skor stres kerja

seseorang dipengaruhi oleh sistem keyakinannya.

Penelitian ini juga diperkuat dengan penelitian yang

dilakukan oleh Popov et al. (2015) di Serbia yaitu keyakinan tidak

rasional pada guru berkorelasi secara signifikan dan positif dengan

stres dimana keyakinan tidak rasional sebagai mediator dalam

hubungan antara stresor dan stres. Penelitian yang sama yang

dilakukan oleh Mahfar et al. (2018) sesuai dengan teori A-B-C yang

menunjukkan keyakinan tidak rasional sebagai mediator

hubungan antara A dan C. Apabila terdapat stresor pada individu

yang memiliki keyakinan tidak rasional yang tinggi maka akan

meningkatkan stres. Selain itu, semakin tinggi keyakinan tidak

rasional terkait dengan mengajar maka semakin besar tekanan

mengajar '(Popov et al., 2015; 'Bernard, 2016).

Guru yang memiliki keyakinan tidak rasional yang tinggi

dianggap kurang efisien daripada guru yang memiliki keyakinan

tidak rasional yang rendah (Popov et al., 2015; Bermejo-Toro dan

Variabel Mean Standar Deviasi R P

Keyakinan Tidak Rasional 51,63 11,911 0,366 0,012

Stres Kerja 13,13 2,621

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara46

Ria Indah Sari Gaghana, Susy Purnawati, I Made Krisna Dinata

Keyakinan Tidak Rasional dan Stres Kerja Pada Profesi Guru

Page 49: Vol 10 No 1 November 2019

Prieto-Ursua, 2006). Pada penelitian yang dilakukan oleh 'Bernard

(2016) bahwa guru yang lebih berpengalaman menunjukkan

keyakinan tidak rasional dibanding dengan guru yang kurang

berpengalaman meskipun terdapat statistik yang signifikan

namun tidak tampak secara dramatis. Keyakinan tidak rasional

pada guru juga berhubungan secara positif dan signifikan dengan

variabel distres seperti stres terkait peran, kelelahan, gejala

psikopatologi, depresi dan absen pekerjaan (Bermejo-Toro dan

Prieto-Ursua, 2006).

Kesimpulan

Temuan utama pada penelitian ini adalah ditemukan

korelasi yang signifikan antara keyakinan tidak rasional dan stres

kerja pada guru. Keyakinan tidak rasional sebagai mediator dalam

hubungan antara stresor dan stress. Berdasarkan hasil penelitian

dan diskusi maka disimpulkan bahwa ada hubungan antara

keyakinan tidak rasional dan stres kerja pada guru SMAN di

Denpasar sesuai dengan teori A-B-C yaitu masalah-masalah yang

dihadapi manusia tidak selalu disebabkan karena peristiwa yang

sedang dialami, melainkan karena keyakinan-keyakinan tentang

peristiwa tersebut.

Saran

Peneliti menyarankan kepada pihak SMAN Denpasar untuk

menyediakan konseling dan memberikan motivasi untuk

mencegah stres dan dapat melakukan Cognitive Behaviour

Therapy bagi para guru. Peneliti menyarankan untuk hubungan

yang lebih mendalam dan lebih valid disarankan untuk melakukan

longitudinal study.

DAFTAR PUSTAKA

Bermejo-Toro, L., Prieto-Ursua, M. (2006). Teachers irrational beliefs and their relationship to distress in the profession. Psychology in Spain, 10(1), 8896.

Bernard, M. E. (2016). Teacher Beliefs and Stress. Journal of Rational - Emotive and Cognitive - Behavior Therapy, 34(3), 209224. http://doi.org/10.1007/s10942-016-0238-y

Dhanilasari, S. (2013). Analisis Faktor-Faktor Stres Kerja Guru Sekolah

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 47

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 50: Vol 10 No 1 November 2019

Dasar di Kecamatan Kepung Kabupaten Kediri. Malang: Universitas Negeri Malang.

David, D., Lynn, S. J. Ellis, A. (2009). Rational and Irrational Beliefs. Oxford University Press.

Jumati, N., Wusma, H. (2013). Stres Kerja (Occupational Stres) yang Mempengaruhi Kinerja Individu pada Dinas Kesehatan Bidang Pencegahan Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2P-PL) di Kabupaten Bangkalan. Jurnal NeO-Bis, 7(2), 117.

Kusumadewi, S., Wijono, S., Prapunoto, S. (2011). Stres Kerja dan Kepuasan Kerja Guru-Guru di Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 1(3). pp. 189-205.

Mahfar, M., Noah, S. M., Ahmad, J., Marzuki, W., Jaafar, W., Shah, I. M. (2012). Jurnal Teknologi Full paper The Relationship Between Irrational Belief System and Stress Among Fully Residential School Students in Johor, 59, 115123.Mahfar, M., Xian, K. H., Ghani, F. A., Kosnin, A., Senin, A. A. (2018). Irrational Beliefs as Mediator in the Relationship Between Activating Event and Stress in Malaysian Fully Residential School Teachers. Asian S o c i a l S c i e n c e , 1 4 ( 1 0 ) , 2 1 . http://doi.org/10.5539/ass.v14n10p21Popov, S.,

Popov, B., Damjanović, R. (2015). the Role of Stressors At Work and Irrational Beliefs in the Prediction of Teachers Stress. Uloga Stresora Na Radu I Iracionalnih Uverenja U Predikciji Nastavničkog Stresa, 8(1), 523. Smith, J.C. (2002). Stress Management, A Comprehensive Handbook of Techniques and Strategies. New York: Springer Publishing Company, Inc. pp. 111-114.

Subawa, IKA., Surya, IBK. (2017). Pengaruh Iklim Organisasi dan Stres Kerja Terhadap Kepuasan Kerja Guru SMA 1 Gianyar. E-Journal Manajemen Unud, 6(4), pp. 1962-1990.

Susy-Purnawati. (2014). Program Manajemen Stres Kerja di Perusahaan. Psikologi, 22(1), pp. 3644. http://doi.org/10.22146/bpsi.11452

Susy-Purnawati, S., Gaghana, R.I.S. (2018). Assessment of Irrational Beliefs among Senior High School Teachers in Denpasar: Reliability and Validity of Indonesian version of The Smith Irrational Beliefs Inventory. (Unpublished Material). Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar.

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara48

Ria Indah Sari Gaghana, Susy Purnawati, I Made Krisna Dinata

Keyakinan Tidak Rasional dan Stres Kerja Pada Profesi Guru

Page 51: Vol 10 No 1 November 2019

PENGARUH KEMANDIRIAN BELAJAR TERHADAP

PEMANFAATAN INTERNET SEBAGAI SUMBER BELAJAR

Juwandi dan Rahma Widyana

Universitas Mercu Buana Yogyakarta2

Email : ;

Kronologi Naskah:Naskah Masuk 5Agustus 2019, Revisi 20 September 2019

Diterima 5 November 2019

[email protected] [email protected]

Abstract. This research examined the influence learning independence on the use

of the internet as

.

Learning Independence, Use of the Internet as

Abstrak.Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh kemandirian

belajar terhadap pemanfaatan internet sebagai sumber belajar. Subjek penelitian

ini berjumlah 96 mahasiswa Universitas Paramadina Jakarta. Data dianalisis

menggunakan teknik analisis regresi. Hasil menunjukkan bahwa kemandirian

learning resource. The subjects of this study were 96 students at

Paramadina University Jakarta Data were analyzed using regression analysis

techniques. The results show that learning independence affects the use of the

internet as a learning resource with a coefficient of determination of 0.223. Froom

the t test it was found that the significance of the regression coefficient of learning

independence was 5,195 (p <0.005). This means that learning independence gives

a significant influence on the use of the internet as a learning resource.

Keywords: Learning Resource

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 49

Page 52: Vol 10 No 1 November 2019

belajar berpengaruh terhadap pemanfaatan internet sebagai sumber belajar

dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0,223. Dari uji t diketahui signifikansi

koefisien regresi kemandirian belajar sebesar 5.195 (p<0,005). Artinya

kemandirian belajar memberi pengaruh signifikan terhadap pemanfaatan

internet sebagai sumber belajar.

Kata Kunci: Kemandirian Belajar, Pemanfaatan Internet Sebagai Sumber Belajar

Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir masyarakat dunia

menyaksikan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi

yang demikian pesat, mengubah secara dramatis cara individu

berkomunikasi, berbagi informasi, belajar, berbisnis, berbelanja,

bermain dan sebagainya. Melalui internet seseorang dapat

melintasi batas geografis dan waktu untuk berkomunikasi dengan

banyak orang dari belahan dunia lain, menjelajah, mencari

informasi, dan menembus batas ilmu pengetahuan yang

sebelumnya identik dengan sekolah, universitas, pembelajaran

formal.

Melalui teknologi informasi dan komunikasi, rumah

ditransformasikan dalam situs budaya multimedia yang

mengintegrasikan audiovisual, informasi, dan layanan

telekomunikasi (Livingstone, 2001). Hal itu

Purbo, 2001;

Buente, Wayne dan Robbin, 2008)

Kemajuan teknologi informasi-komunikasi diikuti pula

dengan perluasan jaringan internet, pengenalan world wide web

dan teknologi pembelajaran baru. Hal itu menciptakan perubahan

signifikan dalam pendidikan dan terus memiliki implikasi besar

dalam belajar mengajar (Bates, 2005; Derrick, Ponton, dan Carr,

2005). Dari kenyataan itu tidak berlebihan bila harapan terkait

teknologi pendidikan difokuskan pada internet.

Melalui internet seseorang dapat dengan cepat dan mudah

mengeksplorasi minat dan menemukan informasi melampaui apa

yang dapat diakses di sekolah dan masyarakat lokal (Ito, Bittanti,

mengubah bentuk

massa, penyebaran data, penyiaran, dan percetakan menjadi

informasi digital yang fleksibel, memperpendek batas pandangan

terhadap segala jenis dan bentuk informasi yang terintegrasi

dalam kehidupan sehari-hari (Moris dan Ogan, 1996;

.

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara50

JuwandiRahma Widyana

Pengaruh Kemandirian Belajar Terhadap Pemanfaatan Internet Sebagai Sumber Belajar

Page 53: Vol 10 No 1 November 2019

Boyd, 2008). Ada milyaran sumber informasi yang dapat

digunakan secara berkesinambungan sesuai kebutuhan, tidak ada

batasan geografis, tempat, waktu dan sangat fleksibel (Candy,

2004; Draves, 2002; Long, 2001; Kerka, 1997).

Setidaknya, ada tiga karakteristik internet yang dapat

memberikan manfaat besar bagi dunia pendidikan. Pertama,

ruang lingkup. Internet memiliki cakupan yang sangat luas dan

sebagai perpustakaan virtual internet menawarkan materi yang

luar biasa banyak dan dapat diakses dari manapun (Teeler, 2000;

Tinio, 2004; Tafiardi, 2005; Mok dan Lung, 2005). Kedua, topikalitas.

Materinya selalu diperbarui dan seseorang dapat memperoleh

informasi dari terbitan manapun tanpa harus membeli, bahkan

materi yang tidak tersedia dalam bentuk cetak pun tersedia di

internet. Ada beragam berita, jurnal, artikel ilmiah, dan data base

lainnya yang menjadikan internet sebagai sumber informasi yang

penting (Teeler, 2000; Benson, dalam Metzger,2002). Ketiga,

personalisasi. Buku ajar sering tidak sesuai dengan kebutuhan

pembaca. Internet membantu melakukan tugas ini, dimana

materinya disajikan sesuai dengan tingkat kesulitan dan

pembelajar dapat menyesuaikan diri sesuai dengan

kemampuannya (Teeler, 2000). Internet dengan demikian dapat

dimanfaatkan sebagai sumber belajar.

Sumber belajar merupakan sumber yang dapat dipakai

peserta didik, baik individual maupun kolektif untuk memudahkan

belajar, misalnya buku, televisi, koran, museum, video dan

komputer (Percival dan Elington, 1984; Hamalik, 1989; Dimyati dan

Mujiono, 1994; Association for Education Communication

Technology, 2008). Pada prinsipnya segala hal yang diprediksi

dapat mendukung dan dimanfaatkan untuk mencapai

keberhasilan belajar dapat dipertimbangkan menjadi sumber

belajar (Nor, 2009). Adapun belajar menggunakan internet dapat

dilakukan dengan cara mengakses sumber yang relevan,

mengunduh informasi yang relevan, berinteraksi dengan sumber,

berinteraksi dengan orang lain tentang sumber, membuat analisis

tentang sumber dan memiliki respon tentang sumber (Anshori dan

Mu'adz, 2007).

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 51

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 54: Vol 10 No 1 November 2019

Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut dapat

disimpulkan bahwa pemanfaatan internet sebagai sumber belajar

adalah pemanfaatan berbagai sumber dari internet dengan cara

membaca, mendengar, menonton, mengunduh sumber belajar

(jurnal, e-book, website, audiovisual), dan berdiskusi tentang

sumber yang relevan dengan pembelajaran, misalnya materi yang

berhubungan dengan disiplin ilmu yang dipelajari, terkait dengan

mata kuliah yang diambil, pengetahuan umum dan peristiwa

faktual.

Melalui cara tersebut di atas pembelajar dapat menambah,

memperkaya, mempelajari dan mengeksplorasi materi yang telah

dan akan diajarkan, sehingga beban pengajar dapat berkurang

dan proses pembelajaran dapat berjalan lebih cepat. Seperti

dikemukakan Tung (2000) bahwa setelah kehadiran guru dan

dosen dalam arti sebenarnya, internet akan menjadi suplemen dan

komplemen dalam menjadikan wakil dosen atau guru yang

mewakili sumber belajar yang penting di dunia. Resnick (2002)

juga menegaskan bahwa teknologi informasi tidak hanya akan

sangat mewarnai masa depan tapi juga mengubah bukan saja apa

yang seharusnya dipelajari tapi juga apa yang dapat dipelajari.

Artinya, dengan tidak hanya mempelajari disiplin yang dipelajari,

tapi juga beragam pengetahuan yang relevan akan membuka

kesempatan pengembangan pengetahuan multidisiplin.

Meskipun demikian, disayangkan bahwa mahasiswa yang

semestinya akrab dengan kekayaan sumber belajar justru belum

memanfaatkan internet sebagai sumber belajar sebagaimana

mestinya. Penelitian menunjukkan 93% mahasiswa memanfaatkan

internet sebagai sumber belajar hanya karena adanya tugas kuliah.

(Rosni dan Utami, 2009). Penggunaan internet juga cenderung

berpola musiman, relatif lebih sering pada saat akhir semester

dibanding awal semester dan pada saat penyusunan skripsi

(Andriany, 2006). Lebih terdorong oleh motif rekreatif daripada

edukatif. Mengunjungi dan mengunduh jurnal atau data yang

relevan dengan pembelajaran juga kurang menjadi prioritas

(Wahyono, 2004). Survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

2004 menunjukkan kesadaran mahasiswa memanfaatkan

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara52

JuwandiRahma Widyana

Pengaruh Kemandirian Belajar Terhadap Pemanfaatan Internet Sebagai Sumber Belajar

Page 55: Vol 10 No 1 November 2019

teknologi informasi dalam pembelajaran masih sangat rendah

(Pannen, dalam Wahid 2005).

Hasil wawancara peneliti terhadap 15 mahasiswa juga

menunjukkan hal yang sama. Dari 15 mahasiswa hanya 2 yang

memanfaatkan internet sebagai sumber belajar dengan baik. Hal

itu ditandai dengan membaca, mengunduh, menonton dan

mendengar (berita, e-book, jurnal ilmiah, rekaman audiovisual),

termasuk berdiskusi tentang sumber yang relevan dengan

pembelajaran. Selebihnya, menggunakan internet hanya sebatas

untuk keperluan hiburan, mencari kesenangan dan melepas

kebosanan, seperti perbincangan di media jejaring sosial,

mendengarkan musik, menonton film, dan bermain game.

Internet dimanfaatkan sebagai sumber belajar hanya pada saat

mendapat tugas perkuliahan, dan hanya bergantung pada materi

yang diberikan dosen. Padahal responden masuk dalam kategori

heavy user, yakni mengakses internet lebih dari 40 jam perbulan,

berdasar kategori The Graphic, Visualization and Usability Center

(2002)

Dari fakta tersebut di atas penting disadari bahwa globalisasi

mengharuskan pembelajar untuk lebih sadar, terkontrol, mandiri,

dan aktif dalam pembelajaran (Chee, Divaharan, Tan, Mun, 2011).

Pembelajar perlu menempatkan diri dalam konteks interaksi

secara aktif dengan informasi baru, mengembangkan struktur

kognitif baru dan memasukkan informasi yang baru pula (Bruner,

1966). Terkait erat dengan hal itu, internet yang mempunyai

banyak potensi untuk mendukung proses pendidikan dapat

diharapkan memainkan peranan penting (Sanjaya, 1998). Secara

spesifik, hal itu dapat diwujudkan dengan tidak hanya bergantung

pada materi yang diajarkan, tapi kemauan menggunakan segala

bentuk sumber belajar yang relevan, termasuk mencerna bukan

hanya apa yang seharusnya dipelajari, tapi juga apa yang dapat

dipelajari. Hal itu dapat dan mudah dicapai dengan memanfaatkan

internet sebagai sumber belajar.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemanfaatan

internet sebagai sumber belajar, yaitu keterbatasan akses,

penempatan sarana, keterampilan penggunanya dan biaya akses

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 53

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 56: Vol 10 No 1 November 2019

(Rosni dan Utami, 2009). Adapun menurut teori pengunaan dan

kepuasan individu menggunakan suatu media dimotivasi tujuan

untuk memenuhi kebutuhan atau tujuan spesifik, dengan harapan

mendapatkan kepuasan (Katz, Blumler dan Gurevitch, 1974; Katz,

Gurevitch dan Haas, 1973). Papacharissi dan Rubin (2000)

mengidentifikasi lima motivasi, yaitu utilitas interpersonal,

menghabiskan waktu, mencari informasi, kenyamanan dan

hiburan. Parker dan Plank (dalam Papacharissi dan Rubin (2000)

mengidentifikasi tiga faktor, yaitu kebutuhan sosial, belajar, dan

relaksasi.

Dalam konteks pendidikan, beberapa penelitian

menunjukkan alasan mahasiswa menggunakan internet terkait

dengan faktor internal, yaitu pemenuhan kebutuhan kognitif,

afektif dan integrasi sosial (Andriany, 2006; Novianto, 2003; Asih,

2012). Mendasarkan pada teori pengunaan dan kepuasan dan

hasil-hasil penelitian terkait dapat disimpulkan bahwa

kemandirian belajar dan rasa ingin tahu pada dasarnya adalah

kebutuhan kognitif, kebutuhan belajar dan kebutuhan akan

informasi. Kemandirian belajar dan rasa ingin tahu itu dipilih oleh

peneliti sebagai bagian dari faktor-faktor yang diduga memiliki

kaitan dengan pemanfaatan internet sebagai sumber belajar.

Kemandirian belajar adalah aktivitas belajar individu dengan

kebebasannya dalam menentukan dan mengelola sendiri bahan,

waktu, tempat belajar, terampil memanfaatkan sumber belajar dan

bertanggungjawab (Tahar, 2006; Haryono, 2001). Dapat pula

dipahami sebagai potensi melakukan kontrol atau kemampuan

memantau perilaku diri sendiri dan kerja keras perseorangan

(Bandura, dalam Hargis, 2002; Wolters, Pintrich dan Karabenick,

2003). Dalam hal ini, seorang pembelajar memegang

tanggungjawab utama dalam perencanaan, pelaksanaan dan

mengevaluasi proses belajar (Brockett dan Hiemstra (1991).

Individu dengan kemandirian belajar akan mengambil inisiatif

(Knowles, 1975), kontrol, dan menerima kebebasan mempelajari

apa yang dipandang penting untuk dipelajari (Guglielmino, 1991),

mampu menangani situasi dan memecahkan masalah baru (Chee,

Divaharan, Tan, dan Mun, 2011). Individu dengan skor kemandirian

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara54

JuwandiRahma Widyana

Pengaruh Kemandirian Belajar Terhadap Pemanfaatan Internet Sebagai Sumber Belajar

Page 57: Vol 10 No 1 November 2019

belajar yang tinggi mampu mengidentifikasi kebutuhan belajar,

membuat perencanaan dan melaksanakannya (Guglielmino,

1991).

Bila karakteristik kemandirian belajar tersebut dikaitkan

dengan kebutuhan individu terhadap sumber belajar,

pengetahuan atau informasi tertentu, maka hal itu akan

menginisiasi individu untuk melakukan pencarian atas beragam

sumber belajar, pengetahuan dan informasi yang dibutuhkan.

Seperti dikemukakan oleh Krikelas (1983) bahwa kebutuhan

informasi terjadi ketika individu menyadari adanya ketidakpastian

atau kekurangan pengetahuan tentang situasi atau topik tertentu

dan dorongan untuk mengatasinya, yaitu dengan jalan mencari

informasi yang dibutuhkan. Selanjutnya, ditinjau dari segi teori

penggunaan dan kepuasan, Katz, Gurevitch, Haas (1973); Katz,

Blumler, Gurevitch (1974) menjelaskan bahwa individu memilih

diantara pilihan media berdasarkan seberapa baik setiap pilihan

dapat membantu memenuhi kebutuhan atau tujuan spesifik.

Berkaitan dengan seberapa baik suatu media dapat

memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan sumber belajar,

pengetahuan atau informasi tertentu, maka tidak ada media

pembelajaran, pencarian, dan eksplorasi yang melebihi internet

dalam hal kecepatan, kemudahan, keragaman, dan kekayaan

sumber belajar, selain bahwa internet tidak dibatasi tempat, ruang

dan waktu. Artinya, internet menjadi media yang paling mungkin

dipilih atau dimanfaatkan sebagai sumber belajar oleh individu

dengan kemandirian belajar.

Sebagaimana diketahui bahwa melalui internet kekayaan

bahan belajar pada hampir semua pelajaran dan dalam berbagai

media dapat diakses dari mana saja, kapan saja, sepanjang hari

dengan jumlah yang tidak terbatas. Selain itu, internet

memfasilitasi akses sumber daya manusia, mentor, ahli, peneliti,

dan profesional (Tinio, 2004; Mok dan Lung, 2005; Candy, 2004;

Draves, 2002). Pembelajar dapat dengan cepat dan mudah

mengeksplorasi minat dan menemukan informasi yang

melampaui apa yang dapat diakses di sekolah atau masyarakat

lokal (Ito, Bittanti, dan Boyd, 2008). Ada milyaran sumber informasi

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 55

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 58: Vol 10 No 1 November 2019

yang dapat digunakan secara berkesinambungan sesuai dengan

kebutuhan (Candy, 2004; Draves, 2002; Long, 2001). Penelitian juga

menunjukkan bahwa mahasiswa mendapat manfaat dengan

menggunakan internet, diantaranya memudahkan belajar,

mendapatkan informasi tambahan, pengetahuan bertambah,

informasi yang diperoleh semakin beragam dan memudahkan

penyelesaian tugas kuliah (Munawaroh, 2009).

Asumsi lain adalah bahwa individu dengan kemandirian

belajar memiliki kontrol atas kegiatan dan tanggungjawab untuk

memilih obyek, sarana maupun alat belajar (Mocker dan

Spear,1982; Boyer dan Kelly, 2005). Hal itu sejalan dengan

pemanfaatan internet yang sepenuhnya bersifat individual,

bergantung pada kemandirian, kontrol. dan pilihan bebas individu.

Artinya, bila individu tidak mengambil kontrol, memiliki inisiatif

untuk memilih obyek belajarnya sendiri, maka kecil

kemungkinanya akan memanfaatkan internet sebagai sumber

belajar.

Dari penjelasan teoritik tersebut dapat ditarik kerangka pikir

bahwa tanpa kemandirian belajar, kekayaan sumber belajar di

internet yang bebas untuk diakses siapa saja, kapan saja, dimana

saja tidak akan tersentuh dan hanya menjadi bagian dari inovasi

teknologi informasi komunikasi yang memuaskan aspek rekreatif,

bukan edukatif. Sebaliknya individu dengan kemandirian belajar

akan proaktif, inisiatif dalam memilih, mencari, menambah,

memperkaya, dan memperluas pengetahuan yang relevan dengan

pembelajaran. Berkaitan dengan hal itu, tidak ada media

pembelajaran, pencarian, dan eksplorasi yang melebihi internet

dalam kecepatan, kemudahan, keragaman dan kekayaan sumber

belajar, selain bahwa internet tidak dibatasi tempat, ruang dan

waktu. Individu dengan kemandirian belajar dengan demikian

kemungkinan akan memanfaatkan internet sebagai sumber

belajar.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian tentang pengaruh kemandirian

belajar terhadap pemanfaatan internet sebagai sumber belajar.

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara56

JuwandiRahma Widyana

Pengaruh Kemandirian Belajar Terhadap Pemanfaatan Internet Sebagai Sumber Belajar

Page 59: Vol 10 No 1 November 2019

Metode

Subjek penelitian ini berjumlah 96 mahasiswa Universitas

Paramadina Jakarta. Data dikumpulkan dengan menggunakan

dua skala, yakni skala pemanfaatan internet sebagai sumber

belajar dan skala kemandirian belajar. Adapun teknik analisis

datanya menggunakan analisis regresi.

Pemanfaatan internet sebagai sumber belajar dalam

penelitian ini didefiniskan sebagai pemanfaatan berbagai sumber

di internet dengan cara membaca, mendengar, menonton,

mengunduh sumber (web, e-book, jurnal, audiovisual) dan

berdiskusi tentang sumber yang relevan dengan pembelajaran.

Tinggi rendahnya pemanfaatan internet sebagai sumber belajar

akan diukur menggunakan skala pemanfaatan internet sebagai

sumber belajar yang disusun berdasarkan pada pendapat Anshori

dan Muadz (2007) tentang cara pemanfaatan sumber belajar dari

internet yang mencakup tiga aspek, yaitu (1) Membaca sumber

yang relevan dengan pembelajaran, seperti materi yang

berhubungan dengan disiplin ilmu yang dipelajari, materi kuliah,

jurnal, dan berita; (2) Mengunduh, menonton, mendengar sumber

yang relevan dengan pembelajaran, seperti mengunduh e-book,

jurnal, menononton-mendengar rekaman audiovisual yang

berkaitan dengan ilmu pengetahuan; dan (3) Berdiskusi tentang

sumber yang relevan dengan pembelajaran, seperti berdiskusi

tentang buku, teori, hasil penelitian, atau issu-issu sosial. Skor skala

yang tinggi menandakan subyek memanfaatkan internet sebagai

sumber belajar.

Dari 46 aitem yang diujicobakan 30 aitem dinyatakan sahih

dengan indeks daya diskriminasi 0.271 sampai 0.661. Selebihnya

16 aitem dinyatakan gugur. Aitem yang sahih sesuai dengan

jumlah yang telah ditetapkan sebelumnya, selanjutnya dilakukan

uji reliabilitas menggunakan teknik Alpha-Cronbach. Dari hasil uji

reliabilitas diketahui bahwa koefisien reliabilitas sebesar 0.858.

Artinya, skala layak digunakan untuk mengukur pemanfaatan

internet sebagai sumber belajar

Adapun kemandirian belajar adalah kemampuan individu

untuk mengatur, mengarahkan, mengendalikan diri sendiri

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 57

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 60: Vol 10 No 1 November 2019

berkaitan dengan tujuan dan proses belajar, tanpa harus

bergantung pada orang lain, baik secara fisik, kognitif, maupun

emosional. Tinggi rendahnya kemandirian belajar akan diukur

menggunakan skala kemandirian belajar yang disusun

berdasarkan aspek-aspek kemandirian belajar dari Hidayati dan

Listyani (2010) yang mencakup enam aspek, yaitu (1) Berperilaku

berdasar inisiatif sendiri dalam mengidentifikasi kebutuhan materi,

tujuan, perencanaan, strategi, dan evaluasi belajar; (2) Tidak

bergantung pada orang lain dalam mengerjakan tugas, memenuhi

kebutuhan materi belajar, menyelesaikan masalah, dan membuat

keputusan; (3) Percaya dengan kemampuan diri sendiri, tidak

mudah menyerah, dan mengenali kelebihan dan kekurangan diri

sendiri; (4) Berperilaku disiplin, terarah, teratur, tetap dan kontinu;

(5) Memiliki tanggung jawab, dalam arti, berkomitmen dan

bersedia menerima resiko; dan (6) Kontrol diri atau mampu

mengendalikan dan mengantisipasi akibat dari perilaku serta

melakukan penilaian atas apa yang dialami secara tepat-

proporsional. Skor skala yang tinggi menandakan bahwa subyek

memiliki kemandirian belajar.

Dari 84 aitem yang diujicobakan 36 aitem dinyatakan sahih

dengan indeks daya diskriminasi berkisar antara 0.255 sampai

0.516. Selebihnya 48 aitem dinyatakan gugur. Dari hasil uji

reliabilitas menggunakan teknik Alpha Cronbach diketahui bahwa

koefisien reliabilitas sebesar 0.846. Artinya, skala tersebut layak

digunakan untuk mengukur tingkat kemandirian belajar.

H a s i l

Hasil analisis regresi menunjukkan terdapat hubungan

positif yang signifikan antara kemandirian belajar dengan

pemanfaatan internet sebagai sumber belajar dengan nilai

koefisien korelasi sebesar 0,472 (p < 0,005). Dapat ditafsirkan

bahwa semakin tinggi kemandirian belajar mahasiswa akan

semakin tinggi pula pemanfaatannya atas internet sebagai sumber

belajar.

Hasil analisis juga menunjukkan terdapat pengaruh

kemandirian belajar terhadap pemanfaatan internet sebagai

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara58

JuwandiRahma Widyana

Pengaruh Kemandirian Belajar Terhadap Pemanfaatan Internet Sebagai Sumber Belajar

Page 61: Vol 10 No 1 November 2019

sumber belajar dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0,223.

Artinya, kemandirian belajar berkonstribusi sebesar 22,3 %

terhadap pemanfaatan internet sebagai sumber belajar,

sedangkan 77,7 ditentukan oleh faktor lain. Menurut penelitian

Rosni dan Utami (2009) faktor lain yang dapat mempengaruhi

adalah keterbatasan akses, keterampilan penggunanya, dan biaya

akses.

Dari besarnya F hitung 26.989 (p< 0,005) dapat pula

disimpulkan bahwa kemandirian belajar dapat memprediksi

pemanfaatan internet sebagai sumber belajar dengan persamaan

regresi Y = 53.896 + 0,319. Artinya, pemanfaatan mahasiswa atas

internet sebagai sumber belajar akan meningkat bila kemandirian

belajarnya ditingkatkan. Bila kemandirian belajar bertambah satu,

maka rata-rata pemanfaatan internet sebagai sumber belajar

bertambah 0,319. Dari uji t diketahui signifikansi koefisien regresi

kemandirian belajar sebesar 5.195 (p 0,005). Artinya, kemandirian

belajar memberi pengaruh signifikan terhadap pemanfaatan

internet sebagai sumber belajar.

Diskusi

Kemandirian belajar memberi pengaruh signifikan terhadap

pemanfaatan internet sebagai sumber belajar. Hal tersebut lebih

jauh dapat dijelaskan bahwa kemandirian belajar pada dasarnya

adalah aktivitas belajar individu dengan kebebasannya dalam

menentukan, mengelola sendiri bahan, waktu, tempat, dan

memanfaatkan berbagai sumber belajar yang diperlukan (Tahar,

2006). Ini akan menginisiasi individu untuk secara mandiri

melakukan pencarian, pemenuhan, memperkaya dan mempelajari

sumber belajar, atau dengan perkataan lain, tidak tergantung,

menunggu arahan atau pun materi, melainkan berusaha sendiri

untuk memenuhi kebutuhan sumber belajar, termasuk

memperkaya, mengeksplorasi, dan mempelajari materi yang akan

Sejalan dengan penjelasan tersebut, Knowles (1975)

mengemukakan bahwa individu yang mengarahkan dirinya

sendiri dalam belajar akan proaktif dan mengambil inisiatif.

Sementara itu, Chee, Divaharan, Tan, dan Mun (2011) menegaskan

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 59

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 62: Vol 10 No 1 November 2019

bahwa individu dengan kemandirian belajar berlaku adaptif,

mampu menangani situasi, dan memecahkan masalah baru.

Mocker dan Spear (1982); Brockett dan Hiemstra (1991) juga

mengatakan bahwa individu dengan kemandirian belajar memiliki

kontrol atas kegiatan dan tanggungjawab untuk memilih, baik

obyek maupun sarana dan alat belajar.

Sikap proaktif, inisiatif, adaptif, kehendak untuk terus belajar,

mengambil kontrol dan kebebasan untuk memilih dan

mempelajari sesuatu yang dipandang penting untuk dipelajari

itulah yang kemudian mendorong individu untuk memanfaatkan

internet sebagai sumber belajar. Hal itu logis dan mudah dipahami

sebab tidak ada media pencarian, pembelajaran, dan eksplorasi

yang melebihi internet dalam kecepatan, kemudahan, kekayaan,

dan keragaman sumber belajar, selain bahwa internet tidak

dibatasi tempat, ruang dan waktu. Hal itu sekaligus dapat menjadi

penjelasan konstribusi kemandirian belajar terhadap pemanfaatan

internet sebagai sumber belajar, yaitu sebesar 23,3%, dapat

memprediksi, dan memberi pengaruh terhadap pemanfaatan

internet sebagai sumber belajar. Ini sejalan dengan hasil penelitian

sebelumnya bahwa mahasiswa mendapat manfaat dengan

memanfaatkan internet sebagai sumber belajar, yaitu

memudahkan dalam belajar, mendapat informasi tambahan,

pengetahuan bertambah, informasi yang semakin beragam,

memudahkan penyelesaian tugas kuliah (Munawaroh, 2009).

Penjelasan tersebut juga sejalan dengan teori penggunaan

dan kepuasan bahwa individu memilih media berdasarkan

seberapa baik suatu media dapat membantu memenuhi

kebutuhan atau tujuan spesifik (Katz, Gurevitch, Haas, 1973; Katz,

Blumler dan Gurevitch, 1974). Berkaitan erat dengan hal itu, tidak

ada media yang melebihi internet dalam hal kecepatan,

kemudahan, keragaman, dan kekayaan atas segala hal yang dapat

menjadi sumber belajar dan segala sesuatu yang dapat

memuaskan dari rasa ingin tahu individu. Penelitian menunjukkan

pilihan menggunakan internet karena dianggap relatif lebih cepat,

murah, dan mudah dibanding media lain (Asih, 2012).

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara60

JuwandiRahma Widyana

Pengaruh Kemandirian Belajar Terhadap Pemanfaatan Internet Sebagai Sumber Belajar

Page 63: Vol 10 No 1 November 2019

Melalui internet mahasiswa dapat dengan cepat dan mudah

mengeksplorasi minat dan menemukan informasi melampaui apa

yang dapat diakses di sekolah dan masyarakat lokal (Ito, Bittanti,

dan Boyd, 2008). Internet dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa

utamanya yang terkait dengan kebutuhan sumber belajar. Internet

menyediakan akses yang cepat atas beragam berita, jurnal, artikel

ilmiah dan data base lain yang menjadikan internet sebagai

sumber informasi penting (Benson, dalam Metzger, 2002). Hal itu

senada dengan pendapat (Tung, 2000) bahwa setelah kehadiran

guru dan dosen dalam arti yang sebenarnya, internet akan menjadi

suplemen dan komplemen, menjadi wakil dosen dan guru yang

mewakili sumber belajar yang penting di dunia.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa

kemandirian belajar berpengaruh positif yang signifikan terhadap

pemanfaatan internet sebagai sumber belajar.

Saran

Berdasar hasil penelitian tersebut disarankan bagi

mahasiswa dengan kemandirian belajar yang rendah untuk lebih

menyadari tujuan dan tanggungjawabnya sebagai mahasiswa

sehingga dapat membangkitkan, memacu kehendak untuk

mengambil kontrol, kebebasan dan tanggungjawab atas proses

belajarnya. Selanjutnya bagi pengajar disarankan untuk

menerapkan model pembelajaran yang dapat mendorong

kemandirian belajar. Misalnya, mewajibkan mahasiswa untuk

mencari materi dalam silabus melalui website atau jurnal di

internet.

DAFTAR PUSTAKA

Andriany, D. (2006). Penggunaan internet oleh mahasiswa (Studi kasus:

mahasiswa FMIPA IPB angkatan 38-41). Skripsi. Program Studi

Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut

Pertanian Bogor.

Anshori, I & Mu'adz. (2007). Penggunaan internet sebagai sumber belajar

mahasiswa. Laporan Penelitian Dosen Muda. Surabaya: Fakultas

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 61

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 64: Vol 10 No 1 November 2019

Tarbiyah, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.

Asih, D.A.P (2012). Pola perilaku pencarian informasi melalui internet.

Skripsi. Banten: Konsentrasi Humas Program Studi Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa.

Bates, A. W. (2005). Technology, e-learning, and distance education.

London: Routledge

Boyer, N & Kelly, M. (2005). Breaking the institutional mold: blended

instruction, belf-direction, and multi-level adult education.

International Journal of Self-Directed Learning. 2, (1), 1-16.

Brockett, R. G & Hiemstra, R. (1991). Self-direction in adult learning:

perspectives on theory, research, and practice. New York: Routledge.

Bruner, J.S. (1966). The process of education: towards a theory of

instruction. Cambridge, Mass: Harvard University Press.

Buente, B & Robbin, A. (2008). Trends in internet information behavior,

2000-2004. Journal of the American Society for Information

Science. ), 1743-1760.

Candy, P. C. (2004). Linking thinking-self-directed learning in the digital

age. Canberra City, Australian Government: Department of

Education, Science and Training.

Chee, T.S., Divaharan, S., Tan, L & Mun, C.H. (2011). ICT: Theory, practice

and assessment self-directed learning. Singapore: Ministry of

Education Technology Division.

Derrick, G., Ponton, M & Carr, P., (2005). A preliminary analysis of learner

autonomy in online and face-to-face settings. International Journal

of Self-Directed Learning. 2, (1), 62-70.

Dimyati & Mudjiono. (1994) Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Proyek.

Draves, W. (2002). How the internet will change how we learn. The Seventh

Annual Teaching on the Community Colleges Online Conference,

M a y 2 1 - 2 3 , 2 0 0 2 .

http://www.williamdraves.com/works/internet_change_report.htm.

Diunduh 4 Januari 2018.

Guglielmino, L.M. (1991). Expanding your readiness for self directed

learning. Don Mills, Ontario: Organization Design and Development

Inc.

Hamalik, U. (1989). Media pendidikan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Hargis, J., (2002). The self-regulated learner advantage: learning science on

the Internet. http:/www.jhargis.com/. Diunduh 8 Juli 2018.

Haryono, A. (2001). Belajar mandiri: konsep dan penerapannya dalam

sistem pendidikan dan pelatihan terbuka jarak jauh. Jurnal

59, (11

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara62

JuwandiRahma Widyana

Pengaruh Kemandirian Belajar Terhadap Pemanfaatan Internet Sebagai Sumber Belajar

Page 65: Vol 10 No 1 November 2019

Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh. 2, (2), 137-161.

Ito, M., Bittanti, H.H.M & Boyd., (2008). Living and learning with new

media: summary of findings from the digital youth project. Chicago,

Illinois: The MacArthur Foundation.

Hidayati, K & Listyani, E. (2008). Pengembangan instrumen kemandirian

belajar mahasiswa. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Tahun

14, Nomor 1, 84-99

Katz, E., Blumler, G. J & Gurevitch, M. (1974). Uses and gratifications

research, Public Opinion Quarterly. 37 (4), 509-523.

Katz, E., Gurevitch, M & Haas, H., (1973). On the use of the media for

important things. American Sociological Review. 38, (2), 164-181.

Kerka, S. (1997). Distance learning, the internet and the world wide

Web.(ERIC Digest).

Knowles, M.S. (1975). Self-directed learning. New York: Association Press.

Krikelas, J., (1983). Information-seeking behaviour: patterns and concepts.

Drexel Lib. Quart. Spring.

Livingstone., Sonia & Magdalena. (2004). UK children go online: surveying

the experiences of young people and their parents. London: LSE

Research Online.http://eprints.lse.ac.uk/achive.Diunduh 23 Juli

2018.

Long, H. B. (2001). A new era in teaching and learning. Dalam H. B. Long &

Associates. Self-Directed Learning and the Information Age.

Boynton Beach, FL: Motorola University.

Munawaroh, H. (2009). Media online sebagai sumber belajar di kalangan

mahasiswa. Skripsi. Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas

Dakwah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Metzger, M.J., Pfalangin, L &Zwarun. (2002). College sudent web use,

perception of information credibility and verivication behavior.

www.elvisier.com/locakte/compedu. Diunduh, 4 Januari 2018.

Mocker, D. W & Spear, G. E. (1982). Lifelong learning:formal, nonformal,

informal, and self-directed. Colombus, Ohio: The National Center for

Reseach in Vocational Education The Ohio State University.

Mok, M.C.M & Lung, C.L. (2005). Developing self-directed learning in

student teachers. International Journal of Self-Directed Learning.

2,(1), 16-39.

Nor, I.A. (2009). Sumber belajar. Jakarta: PT Pustaka Rajawali..

Novianto, I. (2013). Perilaku penggunaan internet di kalangan mahasiswa,

Open Journal Unair, 2, (1), 1-40.

Moris, M & Ogan, C. (1996). The internet as mass medium.

http://www.ascuse. org/jeme/vol11/issue4/moris.html. Diunduh 8

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 63

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 66: Vol 10 No 1 November 2019

Agustus 2018

Papacharissi, Z & Rubin, M. A. (2000). Predictors of internet use, Journal of

Broadcasting & Electronic Media. 44, (2), 175-196.

Percival, F & Henry, E. (1984). Teknologi pendidikan. Alih bahasa:

Sudjarwo, S. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.

Purbo, O.W. , (2001) . Masyarakat pengguna internet d i

Indonesia. .Diu

nduh 8 Juni 2018.

Rosni dan Utami, S. (2009). Fasilitas internet sebagai sumber belajar

mahasiswa pendidikan geografi. Jurusan Pendidikan Geografi

Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan.

Sanjaya., (1995). Internet sumber informasi penting bagi profesional.

Elektro Indonesia. Nomor 3, Tahun I, Januari 1995.

Tahar, I & Enceng. (2006). Hubungan kemandirian Belajar dan hasil belajar

pada pendidikan jarak jauh. Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak

Jauh. 7, (2), 91-101.

Tafiardi., (2005). Meningkatkan mutu pendidikan melalui e-learning.

Jurnal Pendidikan Penabur. No.04/ Th.IV/ Juli 2005.

Teeler, D & Pete, G. (2000). How to use the internet in ELT. Jeremy Harmer

(ed). England: Longman.

Tinio, V.L. (2004). ICT in education. New York: United Nations

Development Programme-Asia Pacific Development Information

Programme.

Tung, K.Y. (2000). Pendidikan dan riset di internet. Jakarta: Dinastindo.

Wahid, F. (2005). Peran teknologi informasi dalam modernisasi

pendidikan bangsa. Media Informatika, 3, (1), 61-68

Wahyono, S.B. (2003). Mobilitas mahasiswa teknologi pendidikan mencari

sumber belajar dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran.

Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidkan Universitas Negeri Yogyakarta.

Wolters, C.A., Pintrich, P.R & Karabenick, S.A. (2003). Assesing academic

self-regulated learning. Conference on Indicators of Positive

Development: Child Trends.

http://www.geocities.com/inrecent/project.html

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara64

JuwandiRahma Widyana

Pengaruh Kemandirian Belajar Terhadap Pemanfaatan Internet Sebagai Sumber Belajar

Page 67: Vol 10 No 1 November 2019

Abstract. During this time there were many disagreements about the importance

of teaching math to early childhood, an opinion that supports saying that

teaching mathematic is useful for children to prepare for the next level of

education, opinions that refuse to say that the provision of mathematic material is

not in accordance with the stages of child development, feared children will

experiencing academic fatigue so that the child will become depressed at school.

To understand the two previous opinions, the purpose of this study was to

determine the effect of storytelling on counting skills in early childhood.

Storytelling was chosen as a method because it is considered as a fun and

interactive teaching method for children to convey complicated material. The

method used in this study is within-subject experiments with one group pretest

posttest design. There were 13 early childhoods involved as research subjects in

this study, the treatment provided in the form of storytelling in teaching math and

data collection tools used in the form of mathematic tests. Wilcoxon calculation

results show that p <0.05, which means there are differences in the counting

ability at children after being given counting material by storytelling.

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERHITUNG PADA ANAK USIA

DINI DENGAN CARA STORYTELLING

Vella Fitrisia.A

Fakultas Psikologi Universitas Tama Jagakarsa

Email :

Kronologi NaskahNaskah Masuk 28 Juli 2019 Revisi 20 Agustus 2019

Diterima 30 Oktober 2019

[email protected]

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara

65

Page 68: Vol 10 No 1 November 2019

Keywords: Counting Skill, Early Childhood, Storytelling

Abstrak. Selama ini terjadi banyak silang pendapat mengenai pentingnya

mengajarkan berhitung pada anak usia dini,pendapat yang mendukung

mengatakan bahwa mengajarkan berhitung berguna bagi anak untuk

kesiapannya menghadapi jenjang pendidikan selanjutnya, pendapat yang

menolak mengatakan bahwa pemberian materi berhitung tidak sesuai dengan

tahap perkembangan anak, ditakutkan anak akan mengalami kelelahan akademik

sehingga anak akan menjadi tertekan di sekolah. Untuk memahami kedua

pendapat sebelumnya maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh

storytelling terhadap kemampuan berhitung pada anak usia dini. Storytelling

dipilih sebagai metode karena dianggap sebagai metode mengajar yang

menyenangkan dan interaktif bagi anak-anak untuk menyampaikan materi yang

rumit. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen within

subject dengan desain one group pretest posttest. Ada 13 anak usia dini yang

terlibat sebagai subjek penelitian pada penelitian ini, perlakuan yang diberikan

berupa storytelling dalam mengajarkan berhitung dan alat pengumpulan data

yang digunakan berupa test berhitung. Hasil perhitungan Wilcoxon menunjukkan

bahwa p<0,05 yang artinya ada perbedaan kemampuan berhitung pada anak

setelah diberikan materi berhitung dengan cara storytelling.

Kata Kunci: Anak usia dini, Bercerita, Kemampuan berhitung

Pada anak usia dini cara mentransfer ilmu dalam proses belajar

mengajar haruslah menyenangkan dan kreatif sehingga anak tidak

merasa terbebani ketika di sekolah dan merasa riang gembira

dalam belajar. Idealnya proses belajar pada anak usia dini yang

dikedepankan memang bersosialisasi dan bermain. Tetapi adanya

tuntutan dari beberapa SD yang mensyaratkan agar anak sudah

bisa baca, tulis, dan hitung atau disebut juga calistung ketika

masuk SD dan ambisi orangtua yang merasa bangga jika anaknya

sudah bisa calistung sejak dini membuat calistung masuk dalam

kurikulum atau ekstra kurikuler pada pendidikan anak usia dini.

Berbagai kondisi ini membuat sistem pendidikan anak usia dini

bergeser mengajarkan calistung, trend mengedepankan calistung

sebagai ajang promo TK atau playgroup demi menarik minat

orangtua memasukkan anaknya ke TK atau playgroup tersebut

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara

66

Vella Fitrisia AMeningkatkan Kemampuan Berhitung Pada

Anak Usia Dini dengan Cara Storytelling

Page 69: Vol 10 No 1 November 2019

sering kita lihat. Bahkan untuk memenuhi permintaan pasar akan

calistung maka buku-buku calistung untuk anak usia dini banyak

diterbitkan.

Secara spesifik untuk kemampuan berhitung sebenarnya

anak usia dini sudah mempunyai potensi, terdapat prinsip-prinsip

kemampuan matematis pada anak yaitu, pertama, kestabilan yang

berarti bahwa menggunakan angka secara urut, kedua, setiap

angka digunakan untuk suatu objek pada satu set hitungan, ketiga,

nilai dari angka yang disebutkan terakhir mewakili jumlah dari

objek hitungan (Geary, 2004; Gelman & Meck, 1983). Terdapat

perbedaan pendapat mengenai penguasaan anak terhadap

prinsip-prinsip ini, beberapa peneliti menyatakan bahwa prinsip ini

dikuasai pada usia tiga tahun (Gelman & Meck, 1983). Sebagian

lagi menyatakan bahwa untuk mengerti mengenai prinsip ini

dimulai pada usia tiga tahun setengah (Wynn, 1992). Lalu ada yang

menyatakan bahwa anak tidak dapat menentukan kuantitas atau

jumlah sebelum umur empat tahun dan prinsip mengenai nilai

suatu objek hitungan akan muncul pada usia lima tahun (Freeman,

Antonucci & Lewis, 2000).

Tetapi menurut Piaget anak yang berusia dibawah tujuh

tahun tidak disarankan untuk belajar berhitung karena karena

pada masa itu anak-anak belum dapat berpikir operasional

konkret sehingga ditakutkan pelajaran tersebut akan membebani

anak-anak yang belum mampu untuk berpikir secara terstruktur.

Jika anak terbebani maka salah satu efek negatif yang terjadi

adalah school refusal dimana anak menolak untuk datang

kesekolah. School refusal dapat terjadi pada semua rentang usia

sekolah tapi mencapai puncaknya pada tiga tahap, pada saat mulai

sekolah, saat beralih atau pindah sekolah, dan pada awal masa

remaja. Tidak ada alasan khusus yang menyebabkan anak menolak

untuk bersekolah ada beberapa sebab, tetapi pasti ada pemicu

spesifik anak menolak untuk datang ke sekolah seperti

ketidakmampuan akademik, tantangan yang ada disekolah,

konflik keluarga, dan sakit (Wijetunge & Lakmini, 2011).

Sebaliknya ada pendapat yang mendukung pentingnya

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 67

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 70: Vol 10 No 1 November 2019

kemampuan berhitung pada anak usia dini karena menurut

pendapat ini skor matematik saat TK akan mampu memprediksi

kesuksesan akademik, oleh karena itu diharapkan guru TK fokus

untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman anak-

anak mengenai angka dan berhitung (Dunphy, 2009). Belajar

matematika sejak usia dini sangat penting karena bertindak

sebagai dasar untuk anak-anak dalam memahami konsep

matematika yang lebih tinggi di masa depan (Bakar, 2017).

Pengetahuan matematika sejak dini yang diperoleh melalui

pengalaman langsung dan bermakna dalam lingkungan yang

menyenangkan membantu dalam menumbuhkan minat anak

dalam belajar matematika (Ginsburg, Lee & Boyd, 2008).

Mengingat hal tersebut maka guru harus mensiasati

kondisi ini dengan menggunakan teknik mengajar alternatif ,

kreatif dan menyenangkan. Storytelling merupakan salah satu cara

untuk menarik minat pada anak untuk belajar apalagi jika cerita

yang disampaikan menarik dan bersifat interaktif maka anak akan

merasa senang saat belajar dan tidak bosan, dengan kondisi

mental yang tidak tertekan diharapkan anak dapat menyerap

pelajaran dengan baik. Storytelling menjadi media yang efektif

dalam proses belajar mengajar pada anak usia dini karena cerita

melibatkan kemampuan mendengar, dimana kemampuan

mendengar ini merupakan salah satu kemampuan awal yang

dikembangkan oleh manusia dan termasuk kemampuan yang

sering kali dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari (Roskos,

Christie & Richgels, 2003). Dalam bercerita tentu saja melibatkan

proses mendengar dan menyimak yang efektif sehingga

pendengar mampu mengambil sesuatu dari yang disampaikan

oleh yang bercerita, studi mengenai mendengar dilakukan oleh

Wolvin dan Coakely (2000) yang menyatakan bahwa 50 sampai 90

persen waktu dalam proses komunikasi pada anak di gunakan

untuk mendengar baik itu di dalam kelas atau di luar sekolah.

Penggunaan cerita juga membantu anak untuk memahami

dunia karena cerita memberikan pengaruh dan gambaran melalui

kata-kata yang dapat mengekspresikan perasaan, kemudian

matematika adalah cara untuk mengurutkan suatu pengalaman,

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara68

Vella Fitrisia AMeningkatkan Kemampuan Berhitung Pada

Anak Usia Dini dengan Cara Storytelling

Page 71: Vol 10 No 1 November 2019

kedua hal itu disatukan terhadap suatu objek atau peristiwa di

dunia nyata dan berusaha untuk memahaminya (Leeper, 2015).

Toor dan Mgombelo (2015) menambahkan bahwa matematika

akan terasa lebih manusiawi jika dalam penerapannya mampu

menerangkan secara matimatis suatu subjek, dimana pada

kesempatan ini berpikir secara mendalam digunakan daripada

hanya mengadopsi suatu prosedur matematis, dan dengan

storytelling matematika mampu melakukan ini.

Berdasarkan pemaparan diatas untuk melihat efektivitas

penggunaan teknik storytelling untuk mengajar berhitung maka

hipotesis dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh antara

storytelling dengan kemampuan berhitung pada anak usia dini.

Storytelling

Storytelling didefinsikan sebagai suatu narasi yang nyata

atau imajiner yang terstruktur dengan suatu gaya tertentu dan

satu kesatuan karakter. Selain itu cerita juga membangun

pengetahuan dan fondasi dalam memori dan proses belajar, cerita

juga menghubungkan manusia di masa lampau, saat ini, dan di

masa depan (Barzaq, 2009). Menurut Maynard (2005) cerita

merupakan cara manusia mengkomunikasikan pengalamannya,

memahami pengalaman orang lain, membentuk imajinasi menjadi

bebas, cara bagaimana memahami dunia dan memahami posisi

diri sendiri di dunia ini, dan cerita merupakan sesuatu yang penting

untuk manusia, politik, dan pendidikan. Storytelling merupakan

aktivitas linguistik yang edukatif karena pendengar dapat

membagikan pengalaman pribadi kepada orang lain dan

storytelling merupakan suatu seni yang terus diperbaharui selama

bertahun-tahun (McEwan, 1995).

Membawakan suatu cerita mempunyai banyak kelebihan,

pertama, dapat lebih dekat kepada anak, kedua, dapat membuat

kontak mata dengan anak dan memperhatikan bagaimana mereka

merespon, ketiga, mendorong anak untuk terlibat, sebagai contoh

dengan mengundang mereka untuk bergabung membuat cerita

menggunakan ide anak (Leeper, 2015).

Kemampuan berhitung

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 69

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 72: Vol 10 No 1 November 2019

Kemampuan berhitung pada perkembangan anak bermula

dari pengalaman mereka yang berhubungan dengan benda nyata

atau objek yang mempunyai perbedaan warna, ukuran, bentuk

dan jumlah yang berbeda-beda. Menurut Ojose (2008)

kemampuan matematis artinya anak mengembangkan

kemampuan melalui aktivitas pengalaman nyata, Menurut Jordan

dkk (2012) kemampuan berhitung adalah mengerti mengenai

angka dan operasionalnya, misalnya mengetahui urutan angka

dalam suatu kesatuan hitung, angka mana yang terlebih dahulu

atau angka mana yang datang setelahnya. Selanjutnya

Charlesworth dan Lind (2009) menekankan pada penggunaan akal

sehat pada angka dan peralatan yang digunakan pada

kemampuan berhitung, hal tersebut membantu anak untuk

mendeteksi kesalahan dan memilih pendekatan logis dan strategis

untuk memecahkan masalah matematik.

Pengembangan kemampuan berhitung dan konsep

matematis pada anak usia dini dibagi menjadi tiga bagian yaitu

posisi relatif, dimana anak mampu mengetahui lokasi suatu objek

atau angka, angka ordinal yaitu suatu proses menentukan yang

pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, bilangan pokok adalah

saat anak mampu menyebutkan jumlah barang atau benda dalam

suatu seting atau pada suatu kesatuan dan mampu

menghitungnya sampai akhir (

Metode

Subjek penelitian yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 13

anak-anak berusia empat dan lima tahun yang bersekolah di PAUD

Mutiara kota Depok. Metode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah rancangan eksperimen within subject karena jumlah subjek

sedikit. Adapun desain rancangan eksperimen yang digunakan

one group pretest-posttest design dengan simbol desain seperti

tertera pada gambar 1.

McGuire, Kinzie, & Berch,

2012).

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara70

Vella Fitrisia AMeningkatkan Kemampuan Berhitung Pada

Anak Usia Dini dengan Cara Storytelling

Page 73: Vol 10 No 1 November 2019

Gambar 1. One group pretest-posttest design

Keterangan :

O :Pengukuran sebelum manipulasi1 :

X : Manipulasi

O : Pengukuran setelah manipulasi2

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

variabel bebas yaitu storytelling dan variabel terikat yaitu

kemampuan berhitung. Adapun kontrol yang digunakan dalam

penelitian ini adalah konstansi karakteristik subjek dengan teknik

blocking, dalam teknik blocking ini peneliti menyetarakan kondisi

subjek penelitian yang mempunyai variabel sekunder yang sama

(Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2014). Dalam penelitian ini salah satu

variabel sekunder yaitu modal kemampuan berhitung yang

dimiliki oleh masing-masing anak sebelum mendapat perlakuan

diidentifikasi. Diketahui terdapat beberapa anak yang sudah

mempunyai kemampuan berhitung sampai dengan 20,

kemampuan tersebut akan berpengaruh terhadap hasil walaupun

tanpa diberikan perlakuan sehingga dianggap salah satu variabel

sekunder. Berdasarkan variabel sekunder tersebut peneliti memilih

anak-anak yang mempunyai kemampuan menghitung sampai

dengan 20, lalu yang mempunyai kemampuan berhitung kurang

atau lebih dari 20 tidak diikut sertakan dalam eksperimen.

Variabel lain yang sekiranya menjadi variabel sekunder

dalam penelitian ini adalah metode pengajaran khas yang

diterapkan sekolah, seperti diketahui saat ini beberapa sekolah TK

atau playgroup memakai metode khusus yang digunakan untuk

mengajar di sekolah tersebut dan menganggap metode tersebut

sebagai suatu ciri khas atau kelebihan yang dimiliki sekolah. Oleh

karena itu dalam penelitian ini dipilih sekolah yang masih

menggunakan metode pengajaran secara umum, dengan ini

diharapkan metode pengajaran lain tidak mencemari penelitian

dan mampu dikontrol.

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 71

O1 à X à O2

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 74: Vol 10 No 1 November 2019

Prosedur pelaksanaan eksperimen dilakukan selama

empat hari, pada hari pertama sebelum diberikan manipulasi

subjek diukur dengan menggunakan tes berhitung yang meliputi

mengurutkan angka, mencocokan angka dengan objek, mencari

angka yang hilang, menambah dan mengurangi angka dengan

kisaran hitung sampai 20. Hari kedua eksperimen dilakukan di

ruang kelas dengan menyajikan materi berhitung dengan metode

mengajar storytelling yang menggunakan suatu benda atau objek

yang disesuaikan dengan tema cerita sebagai alat bantu hitung

untuk menambah kekuatan cerita.

Cerita pertama tentang kelinci rakus yang memakan wortel

di kebun sehingga sakit perut, dan benda yang digunakan adalah

wortel. Hari ketiga masih disajikan cerita di kelas, mengenai

seorang anak yang mendapat hadiah permen untuk setiap

perbuatan baik yang dilakukan, benda yang digunakan adalah

permen lollipop.

Kemudian pada hari keempat anak diukur kembali setelah

mendapat perlakuan dengan tes berhitung yang sama seperti

sebelum mendapat perlakuan. Penggunaan benda sebagai alat

bantu dalam menyampaikan cerita karena menurut penelitian dari

Roslin dan Lin (2018) pengalaman yang berhubungan dengan

kemampuan berhitung yang diterapkan pada suatu benda atau

objek yang mempunyai nilai kualitas dan kuantitas seperti warna,

ukuran, bentuk sebelum beralih ke tahap gambar dan simbol akan

membantu pemahaman anak tentang berhitung.

H a s i l

Uji normalitas dan uji hipotesis pada penelitian ini dilakukan

dengan bantuan program SPSS versi 16.0 for Windows. Uji

normalitas dilakukan menggunakan uji Shapiro-Wilk, adapun hasil

uji normalitas menunjukkan bahwa nilai sig 0,015 atau p< 0,05

pada pretest dan nilai sig 0,000 atau p< 0,05 pada posttest, nilai ini

menunjukkan bahwa data berdistribusi tidak normal, oleh karena

itu akan digunakan uji statistik non parametrik untuk menguji

hipotesis.

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara72

Vella Fitrisia AMeningkatkan Kemampuan Berhitung Pada

Anak Usia Dini dengan Cara Storytelling

Page 75: Vol 10 No 1 November 2019

Pengujian hipotesis menggunakan uji Wilcoxon untuk

melihat apakah ada perbedaan nilai antara pretest dan posttest

seperti tertera pada tabel 1.

Tabel 1.

Hasil perhitungan statistik dengan Wilcoxon

Negative ranks pada nilai N, Mean Rank, maupun Sum Rank

menunjukkan angka 0. Artinya tidak ada penurunan dan

pengurangan nilai kemampuan berhitung antara nilai pretest dan

posttest. Positive ranks disini terdapat 12 data positif (N) yang

artinya ke 12 anak mengalami peningkatan hasil kemampuan

berhitung dari nilai pretest ke nilai posttest.

Mean Rank atau rata-rata peningkatan tersebut sebesar

6,50, sedangkan jumlah ranking positif atau sum ranks adalah

sebesar 78,00. Ties adalah kesamaan nilai pretest dan posttest,

disini nilai ties adalah 1, sehingga dapat dikatakan ada seorang

anak yang nilai kemampuan berhitungnya sama antara pretest dan

posttest.

Uji hipotesis berdasarkan hasil dari perhitungan Wilcoxon

Signed Rank Test, didapatkan nilai Z -3, 084 dengan nilai sig

sebesar 0,002 di mana p< 0,05, sehingga hipotesis yang

menyatakan bahwa ada pengaruh storytelling dengan

kemampuan berhitung pada anak usia dini diterima.

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 73

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 76: Vol 10 No 1 November 2019

Diskusi

Penelitian ini menemukan bahwa ada pengaruh antara

storytelling dengan kemampuan berhitung pada anak usia dini,

dengan nilai sig 0,002 atau nilai p< 0,05, hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh (Murti & Hastjarjo, 2015) yang

menyatakan bahwa permainan imajinatif dapat meningkatkan

metakognisi matematika dibanding yang tidak menggunakan

permainan imajinatif, lebih lanjut lagi permainan imajinatif berupa

dongeng mampu meningkatkan metakognisi dalam matematika

dibanding dengan permainan imajinatif berupa permainan pura-

pura yang tidak ada perbedaan dengan kelompok yang tidak

diberikan permainan imajinatif.

Pernyataan di atas diperkuat oleh pendapat yang

mengatakan bahwa storytelling untuk menyampaikan materi

matematika membuat belajar lebih mudah, menciptakan

lingkungan yang penuh imajinasi, penemuan, emosi, dan proses

berpikir yang pada akhirnya membuat matematika menjadi

menyenangkan (Modi, 2012). Storytelling juga memberikan

kesempatan memecahkan masalah dengan cara yang artistik

dimana yang bercerita menciptakan situasi yang disampaikan

kepada pendengarnya untuk merasakan kesenangan dan inspirasi

yang ada pada matematika (Gadanidis, 2012). Disatu sisi gaya

storytelling seperti dongeng , puisi, dan lagu sangat menghibur, di

sisi lain informasi utama yang ditransfer membekas di pikiran

orang yang mendengarkan (Zazkis & Liljedahl, 2009).

Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan

hasil kemampuan berhitung pada anak usia dini setelah diberi

perlakuan metode mengajar storytelling. Hasil penelitian

diharapkan mampu menjembatani atau memberikan pandangan

lain mengenai stereotipe anak usia dini yang tidak boleh diajarkan

berhitung, karena berdasarkan penelitian ini berhitung pada anak

Ini berarti bahwa dongeng sebagai

bentuk permainan imajinatif dapat digunakan sebagai stimulasi

dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan

kemampuan metakognisi dalam matematika pada anak.

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara74

Vella Fitrisia AMeningkatkan Kemampuan Berhitung Pada

Anak Usia Dini dengan Cara Storytelling

Page 77: Vol 10 No 1 November 2019

usia dini jika diajarkan dengan cara yang menyenangkan, interaktif

dan kreatif seperti dengan cara storytelling tidak berdasarkan

kertas dan pensil saja mampu membangkitkan rasa penasaran

anak akan matematika, dan anak merasa tidak tertekan dalam

belajar matematika sehingga kemampuan berhitung mereka

meningkat.

Saran

Bagi guru diharapkan mampu membuat berbagai macam

cerita yang menarik sebagai media untuk mengajarkan berhitung

pada anak usia dini, cerita dapat diambil dari pengalaman sehari-

hari, dongeng rakyat yang beredar, dan buku cerita, selanjutnya

untuk menunjang cerita guru juga dapat menggunakan benda-

benda di sekitar sebagai sarana alat peraga dalam berhitung.

Orangtua juga diharapkan mau meluangkan waktunya untuk

berbagi cerita pada anak yang isinya bersifat edukatif dan

menyenangkan sehingga tanpa anak sadari selain keterikatan

emosional terjalin, rasa senang yang di rasakan anak,

perkembangan kognitif juga berkembang. Dalam penelitian ini

telah menggunakan teknik mengajar storytelling untuk mengajar

berhitung, pada penelitian selanjutnya diharapkan peneliti dapat

menggunakan teknik mengajar kreatif dan inovatif lain yang

sekiranya dapat meningkatkan kemampuan berhitung pada anak.

Peneliti selanjutnya juga dapat menggunakan variabel jenis

kelamin untuk melihat efektivitas perlakuan yang diberikan

terhadap kemampuan berhitung berdasarkan jenis kelamin,

desain eksperimen between subject juga dapat digunakan untuk

penelitian selanjutnya jika memungkinkan jumlah subjek

penelitiannya memadai.

DAFTAR PUSTAKABakar, K. A. (2017). Young Children's Representations of Addition in

Problem Solving. Creative Education, 8, 2232-2242.

.

Barzaq, M. (2009). Integrating Sequential Thinking Thought Teaching

Stories in the Curriculum. Action Research. AlQattan Center for

https://doi.org/10.4236/ce.2017.814153

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 75

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 78: Vol 10 No 1 November 2019

Educational Research and Development QCERD.Gaza

Charlesworth, R., & Lind, K. K. (2009). Math and science for young children,

(7th Ed.). Belmont, CA: Wadsworth/Cengage.

Dunphy, E. (2009). Early childhood mathematics teaching: Challenges,

difficulties and priorities of teachers of young children in primary

schools in Ireland. International Journal of Early Years

Education,17(1), 3-16, doi: 10.1080/09669760802699829.

Freeman, N. H., Antonucci, C., & Lewis, C. (2000). Representation of the

cardinality principle: Early conception of error in a counterfactual

test. Cognition, 74(1), 71–89.

.

Gadanidis, G. (2012). Mathematics through as Arts lens. A paper

presentated at The Fields Institute for Research in Mathematical

Sciences – Math Education forms, University of Toronto, Toronto,

Canada.

Geary, D. C. (2004). Mathematics and learning disabilities. Journal of

Learning Disabilities, 37, 4–15.

Gelman, R., & Meck, E. (1983). Preschooler's counting: Principles before

skill. Cognition Psychology, 13, 343–359.

Ginsburg, H. P., Lee, J. S., & Boyd, J. S. (2008). Mathematics Education for

Young Child-ren: What It Is and How to Promote It. Social Policy

Report: Giving Child and Youth Development Knowledge Away,

22, 1-23.

Hastjarjo, T.D & Murti, H, A,S.(2015). Permainan Imajinatif Berdasarkan

Metakognisi dalam Belajar Matematika. Gadjah Mada Journal of

Psychology, 1(1), 1-12.

Jordan, N., Glutting, J., Dyson, N., Hassinger-Das, B., Irwin, C., & Graesser,

A.C. (2012). Building kindergartners'number sense: A

randomized controlled study. Journal of Educational Psychology,

104(3), 647-660.

Leeper, M. (2015). Developing Early Maths through Story: Step-by-step

advice for using storytelling as a springboard for Maths activities.

London: Practical Pre-School Books, A Division of MA Education

Ltd, St Jude's Church.

Maynard, B. (2005). The Importance of Story. Available in :

http://subversiveinfluence.com/2005/01/the-importance-of-

story/ [ June 12 2014]

McEwan, H. (1995). Narrative understanding in the study of teaching. In H.

McEwan & K. Egan (Eds.), Narrative in teaching, learning, and

research (pp. 166-183). New York: Teachers College Press.

https://doi.org/10.1016/S0010-0277(99)00064-5

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara76

Vella Fitrisia AMeningkatkan Kemampuan Berhitung Pada

Anak Usia Dini dengan Cara Storytelling

Page 79: Vol 10 No 1 November 2019

McGuire, P., Kinzie, M., & Berch, D. (2012).Developing number sense in

pre-k with fiveframes. Early Childhood Education Journal, 40(4),

213-222. doi:10.1007/s10643-011-0479-4.

Modi, K. (2012). Story Telling in Mathematics. Voice of Research, 1 (2), 31-33.

Ojose, B. (2008). Applying Piaget's Theory of Cognitive Development

Mathematics In-struction. The Mathematics Educator, 18, 26-30.

Roskos, K.A., Christie,J. F., & Richgels, D.D. (2003). The essentials of early

literacy instruction. Young Children, 3, 52-60.

Rosli, R., & Lin, T. W. (2018). Children Early Mathematics Development

Based on a Free Play Activity. Creative Education, 9, 1174-1185.

.

Seniati, L., Yulianto, A., & Setiadi, B,N.(2014). Psikologi Eksperimen.

Jakarta: Indeks

Toor, A. & Mgombelo, J.(2015). Teaching mathematics through

storytelling: Engaging the 'being' of a student in mathematics.

CERME 9 - Ninth Congress of the European Society for Research in

Mathematics Education, Charles University in Prague, Faculty of

Education; ERME, Prague, Czech Republic. pp.3276-3282.

Wijetunge, G.S. and Lakmini, W.D. (2011). School refusal in children and

adolescents. Sri Lanka Journal of Child Health, 40(3), pp.128–131.

DOI: .

Wolvin, A.D. and Coakely, C.G. (2000). Listening education in the 21st

century. International Journal of Listening, 12,143-152.

Wynn, K. (1992). Children's acquisition of the number words and the

counting system. Cognitive Psychology, 24(2), 220-251.

Zazkis, R., & Liljedahl, P. (2009). Teaching Mathematics as Storytelling.

Rotterdam, The Netherlands: Sense Publishers.

https://doi.org/10.4236/ce.2018.97087

http://doi.org/10.4038/sljch.v40i3.3511

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 77

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 80: Vol 10 No 1 November 2019

Abstract. This study aimed to describe the psychological conflicts of Balinese

Hindu women who describe the "Nyerod" caste. An identical wedding with

happiness is not fully enjoyed by Balinese Hindu women who visit down castes

"Nyerod. This is due to the existence of various customary rules that must be

lowered after caste. The caste affair experienced by every caste woman is not an

easy thing, where there will be many changes and disagreements from extended

family and environment as well as a dilemma feeling towards parents that will

affect the psychological conflict of the woman. The subjects in this study were

three Balinese Hindus who visited the "Nyerod" castle. Methods of data collection

in this study were semi-structured and non-participant interviews and see the

relationship between psychological conflicts with the narrative of each informant

through qualitative methods with narrative study approach. The results showed

that after marriage and down caste, the three subjects generally experienced a

temporary dilemma when confronted with negative customs and stigma in the

community. It became a consequence for all subjects who were broke the tradition

KONFLIK PSIKOLOGIS WANITA “NYEROD”

DALAM PERKAWINAN ADAT DI BALI

1 2Kadek Jossy Alandari , Titik Muti'ah

Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa1 2

Email: ;

Kronologi Naskah:

Naskah Masuk 29 Juli 2019, Revisi 10 September 2019

Diterima 25 November 2019

[email protected] [email protected]

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara78

Page 81: Vol 10 No 1 November 2019

rules. But, on the other side the subjects felt that the various negative things that

occur after down caste, balanced with the compensation that the subject get in

the form of love,support, and career that can be called as identity.

Keywords: Conflict of Psychology, Caste, Hindu's Woman in Bali, Nyerod

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konflik psikologis

wanita Hindu Bali yang mengalami turun kasta “Nyerod”. Pernikahan yang identik

dengan kebahagiaan tidak sepenuhnya dirasakan oleh wanita Hindu Bali yang

mengalami turun kasta “Nyerod. Hal tersebut dikarenakan adanya berbagai

peraturan adat yang harus dihadapi setelah turun kasta. Peristiwa turun kasta

yang dialami setiap wanita berkasta bukanlah hal yang mudah, dimana akan ada

banyak perubahan dan pertentangan dari keluarga besar maupun lingkungan

serta perasaan dilematis terhadap orangtua yang akan berpengaruh pada konflik

psikologis wanita tersebut. Subjek dalam penelitian ini berjumalah tiga wanita

Hindu Bali yang mengalami turun kasta “Nyerod”. Metode pengumpulan data

dalam penelitian ini adalah wawancara semi-terstruktur dan observasi non

partisipan serta melihat keterkaitan antara konflik psikologis dengan narasi

masing-masing informan melalui metode kualitatif dengan pendekatan studi

naratif. Hasil penelitian menunjukan setelah menikah dan turun kasta ketiga

subjek secara umum mengalami keadaan dilematis yang bersifat temporer saat

dihadapkan dengan adat istiadat dan stigma negatif dimasyarakat. Hal tersebut

telah menjadi kosekuensi bagi seluruh subjek yang dianggap telah melanggar

peraturan adat. Namun disatu sisi subjek merasa bahwa berbagai hal negatif yang

dialami setelah turun kasta, seimbang dengan kompensasi yang subjek dapatkan

yaitu berupa cinta, dukungan dan pekerjaan/karier yang dapat subjek tunjukkan

sebagai jati diri.

Kata kunci: Konflik Psikologi, Kasta, Wanita Hindu Bali, Nyerod

Masyarakat Hindu di Bali lekat dengan budaya kasta dengan

menggolongkan setiap lapisan masyarakat Hindu di Bali menjadi 4

golongan, yaitu Brahmana, Ksatria, Weisya dan Sudra. Menurut

Budawati (2011) wanita Hindu Bali dituntut menghadapi realitas

sosial dalam budaya kasta yang berperan dan berpengaruh dalam

tatanan serta peraturan adat dikehidupannya. Penggolongan

dimasyarakat Hindu Bali kadang menimbulkan diskriminasi dan

masalah khususnya pada wanita. Diskriminasian terhadap wanita

Hindu Bali khususnya pada wanita triwangsa. Peraturan yang

menyatakan bahwa seorang wanita Hindu Bali harus mendapatkan

pasangan atau laki-laki yang berasal dari kasta yang sama atau

yang berasal dari kasta Brahmana, Ksatria dan Weisya. Sebaliknya Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 79

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 82: Vol 10 No 1 November 2019

peraturan tersebut tidak berlaku pada kaum laki-laki. Selain karena

kasta, hal tersebut terjadi karena Pulau Bali menganut sistem

patrilineal.

Perkawinan Perkawinan dengan kasta yang berbeda

dilarang pada zaman dulu, namun sekarang sudah dilegalkan

dengan Paswara DPRD Bali No 11 Tahun 1951 namun dalam

pelaksanaannya masih kurang apalagi terkait pelaksanaan upacara

penurunan kasta atau upacara patiwangi. Hal ini menyebabkan

kedudukan perempuan menjadi kabur apalagi jika sampai terjadi

perceraian (Widetya, dkk, 2015).

Realitas sosial yang harus dihadapi wanita Hindu Bali yang

terlahir dari 3 kasta utama (Triwangsa) tidaklah mudah. Adanya

perkawinan larangan antara wanita triwangsa terhadap laki-laki

yang berkasta lebih rendah (Sudra) menyebabkan ruang lingkup

wanita triwangsa menjadi lebih sempit dalam menentukan

pasangannya. Pada kenyataannya tidak jarang wanita-wanita

triwangsa yang tidak mampu mendapatkan pasangan sekasta rela

menanggalkan kastanya dan mengikuti kasta pasangannya yang

lebih rendah (Dewi, 2013; Yanti, 2013).

Selain kehilangan kastanya, seorang wanita yang

memutuskan menikah dan turun kasta juga harus menanggung

konf l ik ps ikologis karena harus kehi langan nama

kebangsawanannya yang telah ia dapatkan sejak lahir. Turun kasta

pada wanita di Bali sama halnya seperti proses reinkarnasi, dimana

wanita tersebut bereinkarnasi menjadi perempuan tanpa gelar

kebangsawanaan, yaitu menjadi seorang wanita Sudra (tidak

berkasta). Hal yang lebih menyakitkan bagi wanita yang turun

kasta adalah ketika berhadapan dengan keluarga di Griya/Puri

maka wanita tersebut harus menjaga sikap, sebab derajat wanita

sudah tidak sama lagi dan harus berperilaku layaknya orang Sudra

di hadapan Gustinya (keluarganya sendiri). Seorang Dayu

mencurahkan kisahnya yang mengalami “

Nyerod”:“Setelah menikah keluarga besar saya tidak mau

memakai bahasa halus sama saya lagi. Juga tidak dipanggil

Dayu lagi, kecuali saudara kandung. Saya sudah tahu itu,

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara80

Kadek Jossy AlandariTitik Muti’ah

Konflik Psikologis Wanita “Nyerod” Dalam Perkawinan Adat Bali

Page 83: Vol 10 No 1 November 2019

sebelum menikah, tetapi tetap sakit hati, ya, kalau pulang ke

geriya. Kalau kami ada upacara di keluarga di rumah suami,

syukurlah, orang tua dan saudara saya selalu datang. Tetapi

mereka tidak boleh saya berikan lungsuran, mereka tidak

boleh memakannya. Syukurlah, perkawinan saya bahagia,

tetapi ada saja yang mengingatkan saya bahwa saya

Nyerod”.

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan oleh Budawati

(2011) terlihat bahwa Dayu mengalami konflik psikologis dan

kesedihan yang mendalam karena perubahan status yang dialami

setelah menikah. Perubahan status yang drastis tentu saja

menyebabkan kerancuan dan tekanan batin yang harus diampu

oleh seorang yang “Nyerod”. Maka dalam dirinya muncul konflik-

konflik intrapersonal yang bisa saja menjadi tidak berkesudahan.

Dikatakan demikian karena seorang yang “Nyerod” tidak dapat

menjalankan perannya dengan penuh atau seutuhnya.

Contohnya, ketika dia berperan sebagai seorang anak di

keluargnya sendiri, selalu ada batasan yang dia patuhi agar tetap

dikatakan menghormati Geriya. Jika hal tersebut dilanggar maka

sama saja dengan mencoreng kewibawaan Geriya. Sebaliknya

perannya sebagai anggota baru dalam keluarga suaminya yang

tidak berkasta akan menyebabkan perubahan peran yang sangat

drastis. Ketika dulu berada didalam Geriya dia akan dilayani dan

sangat dihormati oleh kalangan 'Sudra' (tidak berkasta) maka

dengan sekarang menjadi anggota keluarga Sudra, dia otomatis

harus melakukan pelayanan terhadap suaminya maupun keluarga

suaminya.

Konflik terdiri atas konflik eksternal dan konflik internal.

Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seseorang

dengan sesuatu yang di luar dirinya, dapat berupa lingkungan

alam atau berupa lingkungan manusia. Konflik internal atau konflik

psikologis adalah konflik yang terjadi dalam hati, jiwa seseorang

atau merupakan konflik yang dialami manusia dengan dirinya

sendiri, atau merupakan konflik yang dialami intern seorang

manusia (Gerungan, 2012).

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 81

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 84: Vol 10 No 1 November 2019

Surakhmat (Shofiyatun, 2009) mengemukakan bahwa

konflik psikologis adalah kebimbangan yang disebabkan oleh dua

atau lebih motif yang muncul pada saat bersamaan. Adapun

pengertian konflik batin menurut Alwi (2008) adalah konflik yang

disebabkan oleh adanya dua gagasan atau lebih, atau keinginan

yang saling bertentangan untuk menguasai diri sehingga

mempengaruhi tingkah laku.

Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melihat

gambaran konflik psikologis yang dialami wanita Hindu Bali

setelah turun kasta karena perkawinan. Melihat akibat yang akan

diterima oleh wanita yang mengalami turun kasta bukanlah hal

yang mudah, peneliti tertarik untuk melihat dan mengetahui

bagaimana seorang wanita yang mengalami turun kasta mampu

melewati perubahan dan menerima status baru dan beradaptasi

terhadap aturan-aturan adat mengenai hal-hal yang harus wanita

terima sebagai seorang Sudra. Bagaimana seorang wanita mampu

menghadapi kesulitan-kesulitan akibat dari peristiwa turun kasta

dan tetap mampu membangun kehidupan yang bermakana

sehingga tetap mampu memperpanjang harapan hidupnya dan

kebahagiaan walaupun sudah turun kasta

.Metode

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan

metode kualitatif dengan pendekatan studi naratif. Dalam

penelitian ini subjek berjumlah 3 wanita Hindu Bali yang

mengalami turun kasta “Nyerod” dalam rentang usia 28-37 tahun.

Seluruh subjek bertempat tinggal di Denpasar, Bali. Pengumpulan

data menggunakan metode wawancara semi terstruktur dimana

pedoman wawancaranya telah ditentukan sebelumnya oleh

peneliti dan observasi non partisipan, dimana peneliti dap

mengamati kegiatan yang sedang berlangsung tanpa ikut

bergabung di dalam kegiata tersebut. Triangulasi dalam penelitian

ini dilakukan dengan pengumpulan data dari significant others

yang berjumlah delapan orang sebagai penguat dan penambah

informasi yang telah didapatkan melalui narasumber. Metode

analisis yang digunakan dalam menganalisis data penelitian ini

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara82

Kadek Jossy AlandariTitik Muti’ah

Konflik Psikologis Wanita “Nyerod” Dalam Perkawinan Adat Bali

Page 85: Vol 10 No 1 November 2019

adalah metode analisis naratif. Naratif adalah studi yang berfokus

pada narasi, cerita, atau deskripsi tentang serangkaian peristiwa

terkait dengan pengalaman manusia (Creswell, 2013).

Hasil

Berdasarkan pada pokok pembahasan yang dikaji, yaitu

mengenai Konflik Psikologis Wanita Turun Kasta “Nyerod” dalam

Perkawinan Adat di Bali. Kemudian peneliti melakukan penggalian

data berupa bagaimana konflik psikologis yang dialami dalam

memberi arti terhadap fenomena terkait. Penggalian data ini

dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam kepada

subjek penelitian dan informan dalam penelitian, juga melakukan

observasi langsung mengenai bagaimana subjek penelitian

menginterpretasikan pengalamannya kepada orang lain.

Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Januari-April 2018.

Konflik dan penerimaan diri yang dialami keseluruhan

subjek sebelum dan setelah menikah dalam memperjuangkan

keputusan yang dipilih yaitu menikah dan turun kasta. Berbagai

perdebatan dari setiap keluarga ketiga subjek tidak menjadi

halangan seluruh subjek untuk tetap mempertahankan niatnya

menikah dan mengikhlaskan keadaan saat ini sebagai takdir dari

Tuhan.

Ketiga subjek beruntung, walaupun mengalami berbagai

halangan di pihak keluargannya namun seluruh subjek selalu

mendapat dukungan penuh dari suami, anak dan keluarga

barunya. Dukungan dari suami merupakan pengaruh terbesar

subjek untuk menentukan keputusan maupun kebahagiaan

hidupnya.

Ketidaksepakatan tentang peraturan adat dan perdebatan

dengan orangtua maupun keluarga adalah masalah yang dialami

subjek sejak masih remaja hingga memutuskan untuk menikah.

Ketiga subjek mengalami berbagai tekanan dan peraturan adat

yang mengikatnya selama menjadi wanita berkasta. Hal tersebut

menjadi penghalang seluruh subjek untuk menikah dengan lelaki

tanpa kasta. Ketiga subjek selalu berusaha mengalihkan

kesedihan karena perubahan status yang dialami maupun

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 83

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 86: Vol 10 No 1 November 2019

perasaan bersalah kepada kedua orangtua dan keluarga yang

selalu menghantui kehidupan subjek.

Perubahan yang paling dirasakan oleh seluruh subjek adalah

perlakuan dari lingkungan sekitar terhadapnya yang dulunya

dihormati, sekarang dianggap sederajat dan tidak lagi menerima

keistimewaan seperti saat masih menjadi wanita berkasta. Setiap

subjek menanggapi perubahan tersebut secara berbeda, subjek

tiga lebih siap dan cepat beradaptasi pada perubahan status

dibandingkan subjek satu dan dua. Ketidaknyamanan psikososial

yang dialami keseluruhan subjek seiring dengan kehidupan yang

dijalani dipengaruhi oleh lingkungan dan pendapat masyarakat

tentang status subjek yang dulunya wanita berkasta sekarang

harus turun kasta dan menjadi wanita.

Gambar 1. Skema Hasil Penelitian

Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh menurut keterangan

keseluruhan subjek, pernikahan dan turun kasta yang mereka

alami benar-benar karena keputusan pribadi. Walaupun semua

subjek mengalami pertentangan dari orangtua dan keluarga

mereka tetap memilih jalan untuk “Nyerod” dan menjalani

kehidupan sebagai seorang Sudra. Ketiga subjek juga berusaha

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara84

Kadek Jossy AlandariTitik Muti’ah

Konflik Psikologis Wanita “Nyerod” Dalam Perkawinan Adat Bali

Page 87: Vol 10 No 1 November 2019

untuk menerima dan mengihklaskan semua hal yang terjadi pada

dirinya. Pandangan bahwa peristiwa turun kasta merupakan

bagian dari takdir Tuhan menjadi wujud dari kepasrahan dari

keseluruhan subjek yang menggambarkan adanya sikap positif

maupun negatif terhadap diri sendiri yang berpotensi menjadi

konflik psikologis bagi subjek dari sebelum hingga setelah

menikah.

Tidak mudah bagi subjek dalam membuat keputusan

nyerod. Secara adat, menurut Atmaja (2008) nyerod atau yang

disebut juga Perkawinan asu pundung dan alangkahi karang hulu

oleh penguasa Bali zaman itu dianggap menentang hukum alam,

karena air mani lakilaki berkasta lebih rendah dialirkan ke atas

melalui ovum perempuan yang kastanya lebih tinggi. Tindakan ini

sama artinya dengan melangkahi kepala para bangsawan Bali.

Lebih laut Atmaja (2008) menyebutkan terdapat sanksi hukum

akan dikenakan bagi pasangan yang melakukan perkawinan

nyerod ini baik bagi mempelai laki-laki dan mempelai perempuan,

antara lain penurunan kasta bagi mempelai perempuan, Selong

yaitu hukuman buang keluar bagi kedua mempelai, bahkan sampai

hukuman labuh gni dan labuh batu.

Keyakinan bahwa nyerod merupakan sebuah takdir Tuhan

yang bisa dihindari pada subjek, menunjukan pergulatan

religiusitas yang rumit. Keyakinan tersebut menguatkan untuk

membuat keputusan pada diri subjek. Ini menunjukan meskipun

mengalami konflik batin secara psikologis dapat dikeloloa dengan

baik. Studi Ismail dan Desmukh (2013); Park dan Millora (2010),

religiusitas berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis.

Peran suami yang mendukung mampu mengurangi beban

psikologis yang dialami oleh subjek. Dukungan sosial muncul

orang–orang terdekat akan meningkatkan kesejahteraan

psikologis. Lebih lanjut, Taylor (2003) menyebut dukungan sosial

juga merupakan cara yang efektif yang dapat digunakan

seseorang untuk menyesuaikan diri dari peristiwa yang sulitdan

penuh tekanan. Orang-orang terdekat adalah sumber dukungan

social misalnya suami dan keluarga.

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 85

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 88: Vol 10 No 1 November 2019

Bagi subjek yang telah melakukan nyerod dukungan

keluarga merupakan modal untuk menjalani kehidupan setelah

menikah. Senada dengan hal tersebut, kepuasan akan perkawinan

bersal dari kontribusi dukungan keluarga. Puspitawati (2012)

adanya dukungan social akan menguatkan pasalngan dalam

menanggulangi permasalan perkawinan. Larasati (2012)

mengungkap bahwa suami memiliki peran dalam persepsi

kepuasan perkawinan pada isteri. Lebih lanjut menurut Selvarajan,

dkk (2013) dukungan sosial dapat memengaruhi interaksi individu

di dalam keluarga yaitu dukungan emosional terhadap pasangan,

dalam hal ini istri yang turun kasta karena nyerod.

Menjalani perkawinan beda kasta bukan hal mudah, perlu

komunikasi yang baik antara dua keluarga dari pasangan. Apbila

sudah ada titik temu tentang tata cara pelaksanaan upacara dan

sebagainya, mungkin tidak akan ada masalah. Selain kesepakatan

antara dua keluarga di dalam suatu perkawinan diperlukan saling

pengertian dan saling menerima pasangan masing-masing

dengan latar belakang keluarga dan kebiasaan yang berbeda

(Atmaja, 2008)

Perubahan yang paling dirasakan oleh seluruh subjek

adalah perlakuan dari lingkungan sekitar terhadapnya yang

dulunya dihormati, sekarang dianggap sederajat dan tidak lagi

menerima keistimewaan seperti saat masih menjadi wanita

berkasta. Muncul perasaan unconform dengan masyarakat,

merasa terasing dan mendapatkan stigma, dikeluarkan dari

keluarga besar. Darmayanti (2014) menyebutkan perempuan

mendapatkan perlakukan tidak adil sebagai akibat nyerod yakni,

perempuan brahmana yang menikah dengan laki-laki sudra

dianjurkan menggugurkan kandungan ketika hamil, dan

perempuan dilarang menyembah orang tua

Konflik psikologis ini muncul sebagai akibat tidak memiliki

konformitas perilaku dengan adat kebiasaan masyarakat Hindhu

di Bali. Menurut (Dyatmikawati, 2011) hukum adat yang dianut

oleh masyarakat Bali, yang dikenal dengan istilah desa adat atau

desa pakraman, perkawinan memiliki arti penting karena erat

kaitannya dengan tanggung jawab, kewajiban atau dikenal

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara86

Kadek Jossy AlandariTitik Muti’ah

Konflik Psikologis Wanita “Nyerod” Dalam Perkawinan Adat Bali

Page 89: Vol 10 No 1 November 2019

dengan istilah swadharma seseorang, baik terhadap keluarga

maupun masyarakat. Tanggungjawab atau kewajiban tersebut

meliputi kewajiban yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan

sesuai dengan ajaran agama Hindu atau parhayangan, aktivitas

kemanusiaan atau pawongan dan aktivitas memelihara

lingkungan atau palemahan, baik itu untuk kepentingan keluarga

maupun masyarakat. Tanggung jawab seseorang dalam

masyarakat adat atau desa pakraman, dituangkan lebih lanjut

dalam aturan yang berlaku di desa pakraman, yang dikenal dengan

sebutan awig-awig desa pakraman

Konformitas dijabarkan sebagai bentuk perilaku sama

dengan orang lain yang didorong oleh keinginan sendiri

(Sarwono, 2012). Adanya konformitas dapat dilihat dari perubahan

perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok,

baik yang sungguh-sungguh ada maupun yang dibayangkan saja

(Kiesler dalam Sarwono, 2012).

Bagi perempuan nyerod penyesuaian diri merupakan kunci

kehidupan dimasa akan datang. Christina (2016) membuktikan

bahwa penyesuaian perkawinan dan subjective well being

memiliki korelasi yang signifikan dengan konflik perkawinan.

Diketahui pula bahwa penyesuaian perkawinan dan subjective well

being mampu memberikan kontribusi negatif terhadap konflik

perkawinan.

Kesimpulan

Konflik psikologis dialami oleh ketiga subjek ditunjukkan

dengan keadaan dilematis yang bersifat temporer saat

dihadapkan dengan adat istiadat dan stigma negatif dimasyarakat.

Hal tersebut menjadi kosekuensi bagi seluruh subjek yang

dianggap telah melanggar peraturan adat serta mencoreng nama

baik keluarga besar. Mendapatkan pemutusan kasta atau

pemutusan hubungan keluarga dengan keluarganya terdahulu

menjadikan beban tersendiri bagi masing-masing subjek. Namun

disatu sisi subjek merasa berbagai hal negatif yang dialami setelah

turun kasta, seimbang dengan kompensasi yang subjek dapatkan

yaitu berupa cinta, dukungan dan pekerjaan/karier yang dapat

subjek tunjukkan sebagai jati diri.Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 87

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 90: Vol 10 No 1 November 2019

Saran

Pada wanita yang mengalami turun kasta diharapkan

memiliki pikiran yang terbuka dalam mengahadapi peristiwa turun

kasta. Pikiran yang terbuka akan mempermudah seorang wanita

yang mengalami turun kasta dalam menghilangkan konflik

didalam dirinya. Ketika wanita Hindu Bali mengalami turun kasta

diharapkan agar tidak melakukan penyesalan yang berlarut-larut.

Masyarakat Bali sebaiknya mampu menerima dan

memberi dukungan kepada wanita yang mengalami peristiwa

turun kasta. Diamana adanya penerimaan serta dukungan positif

dari masyarakat dapat membantu wanita yang mengalami turun

kasta membangun kesejahteraan psikologis ke arah yang positif.

Bagi peneliti selanjutnya yang akan meneliti topik yang sama,

selain diharapkan menggali lebih dalam konflik psikologis yang

dialami subjek yang akan diteliti, peneliti juga diharapkan

menggali lebih dalam mengenai peraturan-peraturan adat yang

mengatur tentang “Nyerod” pada asal daerah masing-masing

subjek untuk mengetahui lebih banyak peraturanadat yang

menjadi pertentangan.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, dkk. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia

pustaka Utama.

Arisandi, V (2015). “Psychological Well-Being Pada Wanita Hindu Bali

yang Mengalami Turun Kasta Akibat Perkawinan”. Skripsi.

Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

Atmaja, Jiwa. (2008). Bias Gender: Perkawinan Terlarang Pada Masyarakat

Bali. Denpasar: Udayana University Press.

Budawati, N. dkk. (2011). Buklet Seri Adat Payung Adat untuk Perempuan

Bali. Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk

Keadilan (LBH APIK) Bali dan Komunitas untuk Indonesia yang

Adil dan Setara (KIAS).

Christina, D. (2016). Penyesuaian Perkawinan, Subjective Well Being dan

Konflik Perkawinan. Jurnal Psikologi Indonesia. 5, (01),1 - 14

Creswell, J.W. (2013). Research Design: Pendekatan kualitatif, kuantitatif,

dan mixed edisi ketiga. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara88

Kadek Jossy AlandariTitik Muti’ah

Konflik Psikologis Wanita “Nyerod” Dalam Perkawinan Adat Bali

Page 91: Vol 10 No 1 November 2019

Darmayanti, I. A. M. (2014). Seksualitas Perempuan Bali dalam Hegemoni

Kasta: Kajian Kritik Sastra Feminis pada Dua Novel Karangan Oka

Rusmini. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora. 3, (2), 484-494.

Dyatmikawati, P. (2011). Perkawinan Pada Gelahangd alam Masyarakat

Hukum Adat di Provinsi Bali Ditinjau dari Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Jurnal Ilmu Hukum. 7(14)107-

123Gerungan W, A. (2012). Psikologi Sosial. Cetakaan ke-IV.

Bandung: Refika Aditama.

Ismail, Z., & Desmukh, S. (2013). Religiosity and psychological well-being.

International Journal of Business and Social Science, 3(11), 20-28.

Jiwa Atmaja (2008). Bias Gender Perkawinan Terlarang Pada Masyarakat

Bali. Udayana University Press, Denpasar.

Larasati, A. (2012). Kepuasan Perkawinan pada Istri Ditinjau dari

Keterlibatan Suami dalam Menghadapi Tuntutan Ekonomi dan

Pembagian Peran dalam Rumah Tangga. Jurnal Psikologi

Pendidikan dan Perkembangan. 1, (03), 1- 6.

Dewi, I, A, M, L., dkk. (2013). Implikasi Perkawinan Beda Kasta dalam

Perspektif Hukum, Sosial-Budaya dan Religius di Banjar

Brahmana Bukit, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Jurnal

Pendidikan, 1,1-14.

Moleong, L. J. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya

Park, J. J., & Millora, M. (2010). Psychological well-being for white, black,

latino/a, and asian american students: Considering spirituality

and religion. Journal of Student Affairs Research and Practice,

47(4), 1–18.

Puspitawati, H. (2012). Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di

Indonesia. Bogor (ID): IPB Press.

Sarwono, S. W. (2012). Psikologi remaja (15ed). Jakarta: Rajawali Pers.

Selvarajan, T. T., Cloninger, P.A., Singh, B. (2013). Social support and

work–family conflict: A test of an indirect effects model. Journal of

V o c a t i o n a l B e h a v i o r , 8 3 . 4 8 6 – 4 9 9 . D O I :

https://doi.org/10.1016/j.jvb.2013.07.004Shofiyatun. (2009).

Konflik Psikologis Tokoh Utama dalam Novel Tuhan, Izinkan Aku

Menjadi Pelacur Karya Muhidin M. Dahlan. Skripsi. Semarang:

Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Semarang.

Widetya, Alit Bayu, Rachmi Sulistyarini, dan Ratih Dheviana Puru. (2015).

Akibat Hukum Perceraian terhadap Kedudukan Perempuan dari

Perkawinan Nyerod Beda Kasta Menurut Hukum Kekerabatan

Adat Bali. Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum (Udayana

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 89

Jurnal Spirits Volume 10 No.1 November 2019

Page 92: Vol 10 No 1 November 2019

Master Law Journal), 5(2), 301.

https://doi.org/10.24843/jmhu.2016.v05.i02.p07

Yanti, K. L. (2013). Perkawinan Beda Kasta Pada Masyarakat Balinuraga di

Lampung Selatan. Jurnal Keguruan dan Ilmu pendidikan. 1-1

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara90

Kadek Jossy AlandariTitik Muti’ah

Konflik Psikologis Wanita “Nyerod” Dalam Perkawinan Adat Bali

Page 93: Vol 10 No 1 November 2019

JUDUL NASKAH PUBLIKASI (Center, Rockwell 18)

[Maksimum 14 kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Judul sebaiknya ringkas dan lugas menggambarkan isi tulisan.

Boleh menggunakan judul yang kreatif dan menarik minat

pembaca. Kata pengaruh, hubungan, dan studi kasus

sebaiknya tidak digunakan sebagai judul. Lokasi penelitian

dipaparkan di bagian metode, tidak disebut di judul]

1 2 3Penulis , Penulis , Penulis

[Tuliskan nama lengkap penulis tanpa gelar, instansi

tempat penulis bekerja/ belajar, dan alamat

korespondesi (e-mail) penulis]1,2Institusi/afiliasi; alamat, telp/fax of institusi/afiliasi

e-mail: * , ,

(Center, Segoe UI, 11 spasi 1)

Abstract. A maximum 200 word abstract in English with Segoe UI font 9 point, 1

spacing. Abstract should be clear, descriptive, and should provide a brief overview

of the problem studied. Abstract topics include reasons for the selection or the

importance of research topics, hipothesis, research methods and a summary of

the results. Abstract should end with a comment about the importance of the

results or conclusions brief.

Keywords: (in italics, alfabetic) 3-5 words

Abstrak. Maksimal 200 kata berbahasa Indonesia dengan huruf Segoe UI font 9

poin, spasi 1. Abstrak harus jelas, deskriptif dan harus memberikan gambaran

singkat masalah yang diteliti. Abstrak meliputi alasan pemilihan topik atau

pentingnya topik penelitian, hipotesis, metode penelitian dan ringkasan

hasil. Abstrak harus diakhiri dengan komentar tentang pentingnya hasil atau

kesimpulan singkat.

Kata kunci: (dicetak miring, ditulis secara alfabetis) 3-5 kata

[email protected] [email protected] [email protected]

Gaya Selingkung

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 91

Page 94: Vol 10 No 1 November 2019

[Bagian pendahuluan, permasalahan dan landasan teoritis]

Uraikan tentang latar belakang permasalahan, tujuan dan manfaat

penelitian, kajian teori, dan diakhiri dengan hipotesis (jumlah hlm

maksimal 20% dari keseluruhan hlm naskah). Berisi; (a) paparan

perkembangan terkini bidang ilmu yang diteliti yang

argumentasinya didukung oleh hasil kajian pustaka primer dan

mutakhir; (b) paparan kesenjangan; (c) argumentasi peneliti dalam

menutup kesenjangan tersebut sebagai janji kontribusi penelitian

bagi perkembangan ilmu; dan (d) paparan tujuan penelitian.

[Justify/rata kanan-kiri, Segoe UI 11, spasi 1)

Metode

Berisi identifikasi variabel, subjek penelitian, instrumen

penelitian, dan metode penelitian termasuk teknik analisis statistik

yang digunakan (jumlah hlm maksimal 20%). Berisi paparan

tentang segala sesuatu yang memang dilakukan oleh peneliti

dalam melakukan penelitian secara jelas seolah olah memberi

peluang peneliti lain untuk melakukan replikasi atau verifikasi

terhadap penelitiannya. Hindari definisi-definisi yang dikutip dari

buku dalam paparan di bagian metode.

[Justify/rata kanan-kiri, Segoe UI 11, spasi 1]

H a s i l

Hasil penelitian terdiri dari statistika deskriptif, hasil uji

asumsi, dan hasil uji hipotesis kemudian dianalisis secara kritis

(maks. 20% dari keseluruhan hlm naskah) dipaparkan secara

berurutan atau terpadu. Paparan bagian hasil berisi hasil analisis

data. Jika ada tabel/bagan/gambar berisi paparan hasil analisis

yang sudah bermakna dan mudah dipahami maknanya secara

cepat. Tabel/bagan/gambar tidak berisi data mentah yang masih

dapat atau harus diolah.

[Justify/rata kanan-kiri, Segoe UI 11, spasi 1]

Gaya Selingkung

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara92

Page 95: Vol 10 No 1 November 2019

Tabel dan Gambar

Semua tabel dan gambar yang dituliskan dalam naskah harus

disesuaikan dengan urutan 1 kolom atau ukuran penuh satu kertas,

agar memudahkan reviewer untuk mencermati makna gambar.

Contoh penulisan Tabel

Tabel 1.

[Ket. Tabel.....................]

Contoh Gambar

Gambar 1. [Ket. gambar....]Rumus Matematika[Gunakan persamaan Microsoft Equation Editor atau MathType,

ditulis ditengah, dan diberi nomor persamaan mulai dari (1), (2) dst.]

Diskusi

Penjelasan mengenai hasil penelitian, dikaitkan dengan

hasil penelitian-penelitian sebelumnya, dianalisis secara kritis dan

dikaitkan dengan literatur terkini yang relevan (jumlah hlm

Gaya Selingkung

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 93

Page 96: Vol 10 No 1 November 2019

maksimal 30-40% dari keseluruhan hlm naskah). Paparan bagian

diskusi berisi pemberian makna secara substansial terhadap hasil

analisis dan perbandingan dengan temuan-temuan sebelumnya

berdasarkan hasil kajian pustaka yang relevan, mutakhir dan

primer. Perbandingan tersebut sebaiknya mengarah pada adanya

perbedaan dengan temuan penelitian sebelumnya sehingga

berpotensi untuk menyatakan adanya kontribusi bagi

perkembangan ilmu.

[Justify/rata kanan-kiri, Seoe UI 11, spasi 1]

Kesimpulan

Isi kesimpulan merupakan rumusan jawaban dari tujuan

penelitian bukan rangkuman hasil penelitian. Kesimpulan dibuat

secara ringkas, jelas dan padat didasarkan pada hasil dan diskusi

(maksimal 1 hlm), dibuat dalam bentuk alinea (bukan numerik),

berisi temuan penelitian sebagai sintesis antara hasil analisis data

dan hasil pembahasan, serta lebih menonjolkan hal-hal yang baru

yang memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu psikologi.

[Justify/rata kanan-kiri, Seoe UI 11, spasi 1]

Saran

Saran dibuat secara ringkas, jelas dan padat, dan dibuat

dalam bentuk alinea (bukan numerik).

[Justify/rata kanan-kiri, Seoge UI 11, spasi 1]

DAFTAR PUSTAKA

(Tuliskan daftar pustaka yang menjadi acuan secara alfabetis dan

kronologis. Daftar Pustaka adalah daftar acuan/referensi

bukan bibliografi, maka harus memuat semua sumber yang diacu

dalam naskah, dan tidak perlu memuat sumber yang tidak diacu.

Daftar rujukan berisi semua yang dirujuk dalam teks yang berasal

dari sumber yang; (a) relevan, (b) minimal 80% mutakhir (10 tahun

terakhir), dan (c) minimal 80% primer, terutama dari artikel jurnal).

Penulisan referensi pada Jurnal Psikologi UGM mengacu pada Ed

American Psychological Association (APA) 6 Tahun 2010 http://www.apastyle.org/pubmanual.html

Gaya Selingkung

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara94

Page 97: Vol 10 No 1 November 2019

[Justify/rata kanan-kiri, Segoe UI 10, spasi 1]

(a) Contoh penulisan jurnal tanpa Digital Object

Identifier (doi)

Arbiyah, N., Nurwianti, F., & Oriza, D. (2008). Hubungan bersyukur

dengan subjective well being pada penduduk miskin. Jurnal

Psikologi Sosial, 14(1), 11-24.

Light, M. A., & Light, I. H. (2008). The geographic expansion of

Mexican immigration in the United States and its

implications for local law enforcement. Law Enforcement

Executive Forum Journal, 8(1), 73-82.

(b) Contoh penulisan jurnal dengan Digital Object

Identifier (doi)

Herbst-Damm, K. L., & Kulik, J. A. (2005). Volunteer support, marital

status, and the survival times of terminally ill patients. Health

Psychology, 24(1), 225-229. http://dx.doi.org/10.1037/0278-

6133.24.2.225

(c) Contoh penulisan artikel majalah

Chamberlin, J., Novotney, A., Packard, E., & Price, M. (2008, May).

Enhancing worker well-being: Occupational health

psychologists convene to share their research on work,

stress, and health. Monitor on Psychology, 39(5). 26-29.

(d) Contoh penulisan artikel majalah online

Clay, R. (2008, June). Science vs. ideology: Psychologists fight back

about the misuse of research. Monitor on Psychology, 39(6).

Diunduh dari:

(e) Contoh penulisan artikel koran tanpa penulis

Six sites meet for comprehensive anti-gang initiative conference.

(2006, November/December). OJJDP News @ a Glance.

Diunduh dari:

(f) Contoh penulisan tesis atau disertasi yang tidak

dipublikasikan

Rimawati, A. B. (2010). Model teoretik prasangka sosial. (Disertasi

tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta.

http://www.apa.org/monitor/ tanggal 10 Agustus

2012.

Gaya Selingkung

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara 95

Page 98: Vol 10 No 1 November 2019

(g) Contoh penulisan buku

Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi (ed.2). Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

(h) Contoh penulisan buku dengan editor

Cone, J. D. (1999). Observational assessment: Measure

development and research issues. Dalam P. C. Kendall, J. N.

Butcher, & G. N. Holmbeck (Eds.), Handbook of research

methods in clinical psychology (hlm. 183-223). New York:

Wiley.

(i) Naskah dari universitas yang tidak dipublikasikan

Nuryati, A., & Indati, A. (1993). Faktor-faktor yang memengaruhi

prestasi belajar. Naskah tidak dipublikasikan, Fakultas

Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Gaya Selingkung

Jurnal

SpiritsKhasanah Psikologi Nusantara96

Page 99: Vol 10 No 1 November 2019

Jurnal Spirits merupakan jurnal ilmiah yang dikelola

Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

Yogyakarta. Jurnal ini membawa spirits tumbuhnya ide

dan gagasan-gagasan baru tentang pengetahuan-

pengetahuan psikologi utamanya yang berbasis pada

kebudayan sendiri.

Dapur PublikasiFakultas PsikologiUniversitas Sarjanawiyata TamansiswaYogyakarta

Kesejahteraan Psikologis Keluarga Penyintas

Bunuh Diri

Faizah Najlawati

Indriyanti Eko Purwaningshih

Kebersyukuran Pada Orang Tua Anak

Berkebutuhan Khusus

Aulia Rahman Putra

Nila Angrreiny

Keyakinan Tidak Rasional dan Stres Kerja Pada

Profesi Guru

Ria Indah Sari Gaghana, Susy Purwanti,

I Made Krisna Dinat

Pengaruh Kemandirian Belajar Terhadap Pemanfaatan

Internet Sebagai Sumber Belajar

Juwandi

Rahma WIdyana

Meningkatkan Kemampuan Berhitung Pada Anak Usia

Dini dengan Cara Storytelling

Vella Fitrisia A

Konflik Psikologis Wanita “Nyerotd” Dalam

Perkawinan Adat Bali

Kadek Jossy Alandari

Titik Muti’ahi

Pada volume ini dihadirkan dua artikel bernuansa indigenous, artikel pertama mengupas tentang dinamika psikologis perempuan nyerod (turun kasta) di Bali. Artikel selanjutnya mengupas tentang kesejahteraan psikologis keluarga penyintas bunuh diri di gunung kidul. Dimana peneliti mendalami konsep psikologi digulung digelaryang diyakini keluarga untuk memperthankan kesejahteraan psikologis keluarga. Empat artikel berikutnya mengupas tentang kebersyukuran, stress kerja dan pendidikan anak.