vol-33-no-1-2010

Upload: yusuf-sihite

Post on 15-Jul-2015

311 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Pembuatan Model Permukaan Digital dan Orthoimage Digital Muryamto & Andaru

1

Pembuatan Model Permukaan Digital Dan Orthoimage Digital Dari Sumber Citra AlosRochmad Muryamto 1), Ruli Andaru 2)1) 2)

Jurusan Teknik Geodesi, FT UGM, Jl. Grafika No.2 Yogyakarta Jurusan Teknik Geodesi, FT UGM, Jl. Grafika No.2 Yogyakarta

Abstract Currently, orthophoto production in Indonesia has grown rapidly, but orthoimage production is still rarely performed. Ortho-satellite images have several advantages compared to conventional aerial photography (orthophoto) such as large coverage area, easier data acquisition, faster and cheaper. One kind of satellite images can be produced as orthoimage is ALOS (Advanced Land Observing Satellite) which has several advantages of recording a stereoscopic view of stereo image in the three-way recording / telescopes (backward, nadir, and forward) with the direction of satellites on the along track. Combination stereo image can be used to generate Digital Elevation Model (DEM) and then to create orthoimage. Extraction of DEM from ALOS stereo image uses the principle of parallax elevation and B/H ratio. The purpose of this research is to create orthoimage using ALOS PRISM where DEM data input is derived from ALOS PRISM imagery using nadir and forward. In this study, it will be formed Digital Elevation Model (DEM) from stereo image pairs using nadir-forward. The data required in the process orthorectification is the processed image using RPC model (Rational Polynomial Coefficient) and DEM information. DEM will be extracted through several stages; conjugate stereo image pairs; selection Ground Control Points (GCP); edits, additions dan review of GCP points; collection Tie Points (TPs); edits, additions, and review of TPs; epipolar image formation; setting DEM output projections; election DEM extraction parameters; and examination of DEM results. Evaluation of ALOS DEM is based on root mean square error in the elevation component (RMSz). It is found that RMS error in z component is 8.832 m. A few check control points are used to evaluate the orthoimage production. The result shows that in term of planimetric accuracy, ALOS orthoimage production from nadir image provides 6.546m accuracy, and forward image has 9.320m accuracy. Keywords : Digital Terrain Model, Orthoimage Digital, Alos Imagery

1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Pembuatan ortofoto/orthoimage dari berbagai jenis citra penginderaan jauh, seperti foto udara, citra satelit dan citra radar melalui proses ortorektifikasi sangat berguna untuk berbagai macam aplikasi pemetaan. Selama ini pembuatan ortofoto lebih banyak pada foto udara saja. Pembuatan ortofoto dari sumber citra satelit atau yang lebih dikenal sebagai orthoimage masih sangat jarang dilakukan. Tidak tersedianya data DEM merupa-

kan salah satu penyebab sulitnya diproduksi orthoimage pada suatu daerah tertentu. Namun dengan berkembangnya teknologi penginderaan jauh dan fotogrametri sekarang ini, terutama teknologi satelit, data DEM sebagai komponen utama dalam ortorektifkasi dapat secara langsung diekstrak dari sumber citranya sendiri, sehingga kendala tidak tersedianya DEM dapat diatasi. Penggunaan peta foto yang ada, dimana jenis peta ini umumnya diproduksi menggunakan data foto udara yang sudah cukup lama, tentu saja menyebabkan tidak sesuainya permukaan topo-

2

Forum Teknik Vol. 33, No. 1, Januari 2010

grafi yang ada saat sekarang karena sudah banyak terjadi perubahan topografi. Salah satu contoh adalah peta ortho daerah Merapi - Merbabu terbaru hanya menggunakan data foto udara skala 1 : 60.000 yang dipotret pada tahun 1981. Hal ini tentu saja menyebabkan berbagai informasi kebumian menjadi tidak sesuai dengan keadaan masa sekarang, karena rentang waktu data akuisisi yang sangat panjang. Hal inilah yang mendasari perlunya dilakukan updating peta dengan menggunakan data citra satelit, dimana citra satelit selalu menyediakan data yang up to date, akuisisi data dan pemrosesan yang relatif murah dan cepat. Perkembangan teknologi fotogrametri memungkinkan untuk memproduksi ortofoto digital dari sumber citra satelit atau disebut sebagai orthoimage melalui proses yang disebut ortorektifikasi. Citra satelit mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan foto udara konvensional, diantaranya adalah daerah cakupan yang lebih luas dan akuisisi data yang lebih cepat dan murah dibandingkan dengan foto udara. Pembuatan orthoimage dari sumber citra satelit dapat digunakan untuk pembaruan/ up dating peta foto yang ada, dimana biasanya peta foto yang ada dibuat dari sumber foto udara. Citra satelit yang dapat digunakan dalam pembuatan orthoimage salah satunya adalah citra ALOS PRISM. ALOS PRISM mempunyai kelebihan dibandingkan dengan jenis citra satelit lain yaitu, mempunyai pandangan streoskopis yang merekam citra stereo dari tiga arah perekaman/ teleskop (backward, nadir, dan forward) dengan orbit satelit searah jalur lintasan (along track). Ketiga teleskop tersebut mampu merekam objek yang sama pada lintasan yang sama dan dalam waktu yang hampir bersamaan dengan sudut kemiringan yang dibentuk oleh backward dan forward terhadap nadir sebesar 23.8 yang bertujuan untuk menghasilkan data stereo dengan rasio lebar/tinggi (base to height ratio) mendekati satu. Kombinasi citra stereo tersebut dapat digunakan untuk menghasilkan Digital Elevation Model (DEM) yang digunakan untuk membuat citra yang terortorektifikasi (orthoimage). Pembuatan orthoimage dari citra ALOS PRISM memberikan beberapa kemudahan dan efisiensi biaya dan waktu karena DEM-nya dapat diekstrak dari citra ALOS PRISM itu sendiri.

DEM tersebut dapat dibentuk secara otomatis dengan menggunakan teknik image matching antara nadir dan forward, yang akan digunakan sebagai input data DEM dalam proses ortorektifikasi. Hasil dari ortorektifikasi tersebut merupakan orthoimage dari citra ALOS PRISM. 1.2. Permasalahan Dengan sifat stereoskopis citra ALOS, DEM dapat dibentuk secara otomatis menggunakan teknik image matching antara band nadir dan band forward. Hasil ekstraksi DEM ini digunakan sebagai input DEM dalam proses ortorektifikasi citra ALOS. Untuk itu perlu dikaji seberapa besar ketelitian DEM hasil ekstraksi citra ALOS, dan juga seberapa besar akurasi hasil orthoimage yang dihasilkan citra ALOS untuk keperluan pembuatan peta. 1.3. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat ketelitian DEM hasil ekstraksi citra ALOS yang direpresentasikan dengan menggunakan kriteria root mean square error pada komponen elevasi (RMSEz) dan untuk mengetahui kualitas orthoimage dari sumber citra ALOS yang DEM-nya dibentuk dari citra ALOS dengan menggunakan teknik korelasi silang. 2. Fundamental 2.1. ALOS PRISM Jepang mempunyai dua tipe program satelit pengamatan bumi, yaitu satelit yang digunakan untuk pengamatan atmosfer dan kelautan, dan satelit yang digunakan untuk pengamatan lahan. Advanced Land Observing Satellite (ALOS) merupakan kelanjutan dari Japanese Earth Resources Satellite-1 (JERS-1) dan Advanced Earth Observing Satellite (ADEOS) yang akan menggunakan teknologi maju pengamatan lahan. ALOS yang dalam bahasa Jepangnya disebut DAICHI merupakan satelit sumberdaya milik Jepang yang diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006. ALOS dikembangkan oleh Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) dengan misi untuk menyediakan data kepada pengguna dengan resolusi yang mampu menghasilkan peta skala 1:25.000.

Pembuatan Model Permukaan Digital dan Orthoimage Digital Muryamto & Andaru

3

ALOS mempunyai tiga macam instrumen penginderaan jauh (sensor) yaitu Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM), Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2), dan Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR). Ketiga sensor tesebut mampu mengumpulkan data pengukuran secara akurat, yang saat ini sulit untuk dilakukan oleh satelit pengamatan yang lain. Salah satu sensor yang dibawa oleh satelit ALOS yaitu PRISM, merupakan citra pankromatik dengan resolusi spasial 2.5 m pada kondisi nadir, yang digunakan untuk menghasilkan Digital Elevation Model (DEM) dengan akurasi tinggi. ALOS PRISM merekam objek di lapangan menggunakan tiga teleskop (arah perekaman) yaitu teleskop belakang (backward), teleskop tegak lurus/vertikal (nadir), dan teleskop depan (forward). Ketiga teleskop tersebut mempunyai kemampuan merekam objek yang sama pada lintasan yang sama dan dalam waktu yang hampir bersamaan (Gambar 1). 2.2. Model Permukaan Digital (MPD) MPD adalah representasi relief permukaan bumi yang menggambarkan elevasi suatu permukaan obyek terhadap suatu datum dan tereferensi terhadap sistem koordinat tertentu. MPD merupakan sebuah penyajian digital matematis dari sebuah obyek tetap/virtual dan keadaan sekitarnyaAwal Akuisisi F 690 km ORBIT N Awal Akuisisi N

yang menunjukkan ketinggian permukaan tanah dan juga beberapa layer di atasnya seperti bangunan. Apabila informasi yang ditampilkan hanya terbatas pada ketinggian permukaan saja maka disebut Digital Elevation Model (DEM). Model permukaan digital dapat disimpan dengan berbagai metode, antara lain sebagai berikut (Djurdjani, 1999): a. Data berdistribusi teratur. Data disimpan dengan spasi yang teratur antar titik data sehingga membentuk suatu grid. Bentuk dasar dari grid yang paling sering digunakan adalah bentuk bujur sangkar. Data elevasi dicatat pada tiap jarak tertentu, sesuai dengan resolusi spasial dari grid. b. Data berdistribusi semi teratur. Pada metode ini, keteraturan terdapat pada salah satu unsur datanya, sedangkan unsur yang lain acak. Misalnya garis-garis kontur pada peta yang merepresentasikan ketinggian yang sama pada permukaan bumi dengan interval ketinggian tertentu yang konstan mempunyai keteraturan pada unsur Z, tetapi pada unsur X dan Y acak. c. Data berdistribusi acak. Pada metode ini, tidak ada keteraturan pada setiap unsur datanya. Salah satu bentuk struktur data acak adalah TIN (Triangulated Irregular Networks) dengan segitiga-segitiga tak beraturan sebagai satuan datanya.Awal Akuisisi B

F23.8 o

B23.8 o

GROUND 0 35 305 340 610 645 km

Gambar 1. Geometri Sistem Stereo along-track Satelit ALOS PRISM Sumber http://folk.uio/kaeab.publications/ppp08.pdf

4

Forum Teknik Vol. 33, No. 1, Januari 2010

d. Fungsi permukaan. Permukaan bumi dapat pula disajikan dalam model matematis tertentu, namun pemodelan ini cenderung hanya memberikan gambaran umum permukaan (trend surface) serta menghilangkan detil-detil lokal pada permukaan bumi, mengingat kenampakan fisik dari permukaan bumi sangat kompleks dan sulit dimodelkan melalui suatu fungsi matematis secara tepat. 2.3. Rational Polynomial Coefficient (RPC) RPC merupakan suatu model matematik sederhana dengan membangun hubungan antara sistem koordinat citra (baris dan kolom) dengan sistem koordinat tanah (lintang, bujur, dan tinggi) untuk setiap persamaan polinomialnya. Setiap fungsi polinomial mempunyai jumlah koefisien parameter berdasarkan jumlah dari data masukan titik kontrol tanah (GCP). Transformasi polinomial ini dipakai apabila hubungan antara kedua sistem yang akan ditransformasikan sulit diterangkan secara geometri, sehingga diasumsikan ada hubungan polinomial antara kedua sistem koordinat. Untuk persamaan polinomial orde 1, jumlah minimum titik kontrol tanah (GCP) yang harus diketahui adalah 3. Sedangkan untuk orde 2, jumlah minimum GCP adalah 6. Rational Polynomial Coefficient (RPC) sering digunakan dalam dunia fotogrametri digital. RPC menerapkan persamaan kolinear yang melibatkan hubungan antara sistem koordinat pada citra, koordinat tanah, dan koordinat pada pusat sensor/satelit. Teknik RPC ini melibatkan beberapa unsur yang terdapat pada sensor antara lain, nilai focal lenght, image pixel size, indicate angle along track, indicate angle across track, dan nilai masukan dari sistem koordinat tanah. Metode kolinearitas adalah suatu metode numerik murni yang secara serentak menghasilkan enam unsur orientasi luar. Kolinieritas merupakan kondisi dimana stasiun pemotretan foto, titik obyek di foto dan obyek sebenarnya di lapangan berada dalam satu garis lurus (Wolf, P.R., 1993). 2.4. Ortofoto/orthoimage Ortofoto adalah foto yang menyajikan gambaran obyek pada posisi ortografik yang benar (Wolf, P.R., 1993). Beda utama antara ortofoto

dan peta adalah bahwa ortofoto terbentuk oleh obyek sebenarnya, sedangkan peta menggunakan garis dan simbol yang digambarkan sesuai dengan skala untuk mencerminkan kenampakan. Ortofoto dapat digunakan sebagai peta untuk melakukan pengukuran langsung atas jarak, sudut, posisi, dan daerah tanpa melakukan koreksi bagi pergeseran letak gambar. Ortofoto dibuat dari foto perspektif melalui proses rektifikasi differensial, yang meniadakan pergeseran letak gambar yang disebabkan oleh posisi miring sensor pada saat perekaman dan variasi topografi. Pada foto miring, pergeseran letak gambar oleh relief tergantung pada tinggi terbang, jarak titik dari nadir, kelengkungan bumi, dan ketinggian. Dalam prosesnya, pergeseran letak oleh relief pada sembarang foto dan variasi skala dapat dieliminasi sehingga skala menjadi seragam pada seluruh foto. 2.5. Tingkat Ketelitian DEM dan Orthoimage Untuk mengetahui akurasi hasil DEM digunakan kriteria RMSE pada komponen elevasinya. RMSE (Root Mean Square Error) merupakan suatu nilai yang digunakan untuk menunjukkan ketelitian dengan melibatkan semua faktor kesalahan yang terjadi selama proses pengukuran atau produksi data. Definisi matematis dari RMSE mirip dengan kesalahan baku, yaitu akar kuadrat dari rata-rata jumlah kuadrat residual.

=

( xi ) 2n 1

(1)

Dalam hal ini : = kesalahan baku xi = nilai hasil ukuran = nilai sebenarnya n = jumlah pengukuran Untuk mengevaluasi ketelitian orthoimage digunakan kriteria perbedaan jarak dan pergeseran (dx dan dy) menggunakan beberapa titik kontrol sebagai cek. Pengecekan yang dilakukan meliputi perbedaan jarak (d) dan pergeseran (dT) koordinat yang terjadi pada titik cek di orthoimage dengan titik cek peta acuan (peta foto). Pergeseran terjadi pada arah sumbu x (dTx) dan sumbu y (dTy).

Pembuatan Model Permukaan Digital dan Orthoimage Digital Muryamto & Andaru

5

d = jarak titik cek pada peta foto jarak titik cek pada orthoimage (2)

dT = (dTx)Dalam hal ini :

2

+ (dTy )

2

(3)

daerah kajian, dilakukan pemotongan pada kedua citra tersebut. Pemotongan citra ALOS PRISM nadir dan forward dilakukan dengan memperhatikan jarak basis antara kedua citra tersebut.

dTx = Selisih nilai absis titik cek pada peta foto dengan nilai absis titik cek pada orthoimage ALOS dTy = Selisih nilai ordinat titik cek pada peta foto dengan nilai ordinat titik cek pada orthoimage ALOS3. Metodologi

Peralatan dan bahan yang dipergunakan pada penelitian ini adalah: a. Satu scene citra ALOS (tahun 2006) pada media CD-ROM yang meliputi daerah Merapi dan sekitarnya. b. Peta Rupabumi 1:25.000 tahun 1994, lembar 1408244 c. Peta Foto daerah Merapi dan Merbabu , skala 1 : 25.000 tahun 1981 d. Satu unit notebook dengan processor Intel Core 2 Duo 2 GHz, memori 3 Gb, dan harddisk 160 Gb. e. Perangkat lunak Envi 4.5, untuk melakukan proses pembuatan RPC, rektifikasi citra dan ortorektifikasi citra. f. Perangkat lunak Prism DEM dan PCI Geomatic 9.3 untuk ekstraksi DEM.Lokasi penelitianGambar 2. Citra Forward (kiri) dan Nadir (kanan) Full Scene

Lokasi penelitian yang dikaji mencakup daerah Merapi dan sekitarnya. Gambar 2 menunjukkan lokasi penelitian pada citra ALOS PRISM.Ekstraksi data citra dan penentuan GCP

Setelah dilakukan pemotongan, tahapan selanjutnya adalah identifikasi titik GCP pada kedua citra dengan mengacu peta RBI dan peta ortofoto sebagai data acuan untuk penentuan titik kontrol.Pembuatan RPC

Citra ALOS dalam media CDROM dilakukan ekstraksi untuk kedua band (nadir dan forward). Citra nadir dan forward full scene pada gambar 2 mempunyai ukuran piksel 19616 x 16000 (kolom x baris). Ukuran citra yang besar tersebut dapat memakan waktu yang lama dalam pengolahannya dan membutuhkan kapasitas memori yang besar pula. Sehingga untuk lebih memfokuskan pada

Sepasang citra stereo yang mengandung posisi RPC diperlukan dalam proses ekstraksi DEM. Citra ALOS PRISM nadir dan forward yang dikaji tidak mengandung posisi RPC, sehingga perlu dilakukan pembuatan RPC pada masing-masing citra tersebut. Proses pembuatan RPC menggunakan 8 buah titik GCP yang diperoleh dari data identifikasi obyek pada peta

6

Forum Teknik Vol. 33, No. 1, Januari 2010

ortofoto. Proyeksi yang digunakan adalah proyeksi UTM zona 49 (selatan) dengan datum WGS 84. Dari proses pembuatan RPC ini, akan diperoleh akurasi titik GCP, serta hasil hitungan RPC yang ditunjukkan dengan besarnya nilai XsYs,Zs,,,. Kualitas hasil RPC pada citra ALOS PRISM nadir dan forward dapat diketahui dengan melakukan pengecekan titik cek hasil RPC pada nadir dan forward secara planimetris (x,y).Ekstraksi DEM

yang digunakan adalah proyeksi UTM zona 49 (selatan) dengan datum WGS 84. Untuk X pixel size dan Y pixel size menggunakan Ground Sample Distance (GCD) citra ALOS PRISM yaitu 2.5 meter. Rektifikasi citra ALOS PRISM dilakukan untuk melakukan perbandingan terhadap kualitas hasil rektifikasi citra ALOS PRISM dan kualitas orthoimage-nya.Analisis tingkat ketelitian orthoimage ALOS PRISM DEM dan

Proses ektraksi DEM membutuhkan sepasang citra stereo yang mengandung posisi RPC. RPC digunakan untuk men-generate titik-titik TP dan meng-calculate hubungan sepasang citra stereo. Proses ektraksi DEM citra ALOS PRISM nadir dan forward dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Envi 4.5 dikombinasi dengan Prism DEM dan PCI Geomatic 9.3 melalui sembilan tahapan pengolahan, yaitu pemilihan pasangan citra stereo; pemilihan titik-titik GCP; pengeditan, penambahan, dan peninjauan titik-titik GCP; pengumpulan titik-titik Tie Point (TP); pengeditan, penambahan, dan peninjauan titik-titik TP; pembentukan epipolar image; pengaturan proyeksi output DEM; pemilihan parameter ekstraksi DEM; dan pemeriksaan hasil DEM. Pada tahapan pembuatan stereo-pairs dilakukan input data pasangan citra stereo yaitu nadir sebagai citra kiri dan forward sebagai citra kanan. Untuk ketinggian minimum dan maksimum sudah diset secara otomatis dari RPC yang telah dibentuk.Rektifikasi citra ALOS PRISM nadir dan forward

Ketelitian DEM hasil ekstraksi citra ALOS dilakukan dengan membandingkan elevasi 45 titik cek pada DEM dengan elevasi titik cek sebenarnya yang diperoleh dari data DEM sumber foto udara (orthofoto) pada area yang sama menggunakan kriteria RMSEz (Rumus 1). Ketelitian orthoimage yang dihasilkan dari citra ALOS dilakukan dengan menggunakan 15 titik cek. Identifikasi dan pengukuran titik cek tersebut dilakukan pada orthoimage dan pada peta foto (sebagai peta acuan). Dari titik cek ini kemudian dihitung nilai pergeseran titik. Pengecekan yang dilakukan meliputi perbedaan jarak (d) dan pergeseran (dT) koordinat yang terjadi pada arah sumbu x (dTx) dan pergeseran pada sumbu y (dTy), sesuai Rumus (2) dan (3).4. Hasil dan Pembahasan Hasil ekstraksi DEM

Citra yang digunakan adalah citra ALOS PRISM level 1B1 yang sudah terkoreksi secara radiometrik namun belum terkoreksi secara geometrik. Proses rektifikasi citra digunakan untuk melakukan koreksi geometrik citra. Koreksi geometrik citra dilakukan dengan mentransformasikan sistem koordinat citra ke sistem koordinat tanah (UTM). Proses rektifikasi dilakukan pada citra ALOS PRISM nadir dan forward. Input data yang digunakan dalam proses rektifikasi sama dengan input data pada proses pembuatan RPC yaitu menggunakan delapan titik GCP. Proyeksi

Hasil ekstraksi DEM sangat dipengaruhi oleh penempatan titik-titik Tie Point (TP). Penempatan titik TP yang tidak cermat akan menghasilkan DEM yang tidak seperti kondisi lapangan yang sebenarnya. Sehingga penempatan titik TP sangat penting untuk diperhatikan. Titik TP dipilih agar dapat mewakili kondisi terrain. Ketelitian titik TP dapat dilihat dari besarnya nilai maximum Y paralax. Nilai maximum Y paralax idealnya sebesar nol. Apabila nilainya kurang dari satu piksel maka tidak perlu dilakukan pengaturan/pengeditan lebih jauh, dan apabila nilainya lebih besar dari satu piksel maka harus dilakukan pengujian ulang dan koreksi pada setiap titik TP. Ketelitian TP yang diperoleh adalah sebesar 0.843 piksel. DEM yang dihasilkan mencakup daerah pertampalan antara citra nadir dan forward

Pembuatan Model Permukaan Digital dan Orthoimage Digital Muryamto & Andaru

7

dengan ukuran 5132 x 3991 (kolom x baris). Hasil DEM tidak perlu dilakukan proses geocoding karena sudah terikat ke tanah berdasarkan data GCP yang telah dimasukkan pada tahap pemilihan titik GCP. Hasil ekstraksi DEM menggunakan teknik korelasi silang memerlukan banyak editing karena banyak terjadi daerah yang failed (daerah dimana korelasi silang gagal dilaksanakan) pada permukaan DEM. Korelasi silang, sebagai salah satu metode image-matching berdasar area (areabased image-matching) mempunyai beberapa kelemahan, yaitu : a. Tidak memberikan solusi untuk daerah yang tingkat keabuannya homogen, misalnya salju, padang rumput, dataran pasir. b. Tidak memberikan solusi untuk daerah yang sangat gelap, maupun sangat terang, seperti daerah bayang-bayang atau permukaan atas awan. c. Tidak memberikan hasil yang tepat untuk daerah dengan perulangan pola tertentu (repeated patterns). d. Tidak memberikan hasil yang tepat pada daerah yang sama sekali tidak mirip, misalnya apabila objek pada salah satu citra tertutup awan. Gambar 3 adalah DEM hasil ekstraksi sebelum dilakukan editing, yang menunjukkan daerah dengan warna hitam adalah daerah failed karena tertutup awan.

Daerah failed area akan mempunyai nilai elevasi -100 m, sehingga untuk mengoreksi elevasi pada daerah failed area, dilakukan editing 2D dengan mengambil nilai elevasi dari DEM peta orthofoto. Editing dilakukan tiap piksel pada masing-masing daerah failed area. Hasil editing failed area ditunjukkan pada Gambar 4, dan visualisasinya dalam model colour drapped pada Gambar 5.

Gambar 4. Hasil editing failed area

Gambar 5. Visualisasi DEM dalam model

Ketelitian DEMFailed area Gambar 3. Failed area pada sebagian permukaan DEM

Ketelitian dari model permukaan digital ini direpresentasikan dengan menggunakan kriteria root mean square error pada komponen elevasinya (RMSEz). Elevasi titik-titik dengan koordinat

8

Forum Teknik Vol. 33, No. 1, Januari 2010

tertentu pada model permukaan digital dibandingkan dengan elevasi titik-titik tersebut pada DEM acuan, sehingga dapat dihitung besar RMSEz-nya. Histogram selisih elevasi 45 titik cek pada model terhadap elevasi titik cek pada peta orthophoto dapat dilihat pada Gambar 6. Dengan menggunakan 45 titik tinggi yang terdapat pada permukaan DEM daerah Merapi, besar RMSEz dari model permukaan digital yang dihasilkan adalah 8.832 meter. Tingkat ketelitian yang dievaluasi dalam penelitian ini hanya komponen vertikal (elevasi) dari model saja, karena komponen posisi horisontal (koordinat x,y) telah terdefinisi dengan tepat secara matematis dalam sistem proyeksi UTM. Titik-titik grid model bersifat tetap di posisinya dan dapat dianggap konstan untuk tujuan menentukan ketelitian model. Berdasarkan acuan ketelitian baku peta topografi menurut United States National Map Accuracy Standard tahun 1947 pada Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa hasil DEM yang diturunkan dari citra ALOS PRISM nadir dan forward pada penelitian ini dapat digunakan dalam pembuatan peta skala 1:100.000 atau lebih kecil lagi.Hasil Ortorektifikasi

DEM yang sama. Hasil ortorektifikasi (Gambar 7) menunjukkan bahwa citra nadir memberikan hasil yang lebih memuaskan dari pada citra forward. Hal ini dikarenakan citra ALOS nadir mempunyai kemiringan obyek yang lebih kecil dari pada forward, atau dengan kata lain pergeseran relief yang terjadi lebih kecil dari citra forward.Tabel 1. Hubungan antara skala peta dan akurasi RMSE (menurut United States National Map Accuracy Standards) Skala peta RMSE xy (m) RMSE z (m) 1 : 25.000 7.5 3 1 : 50.000 15 6 1 : 100.000 30 6 - 15 1 : 250.000 75 15 - 30 1 : 500.000 150 30 Ketelitian Orthoimage ALOS

Untuk mengetahui tingkat ketelitian hasil ortorektifikasi, digunakan sebanyak 15 titik cek yang tersebar merata di permukaan citra. Dari hasil perhitungan ketelitian planimetrik diperoleh nilai RMSE xy untuk citra nadir sebesar 6.546 m dan citra forward sebesar 9.320 m. Hal ini berarti orthoimage citra ALOS PRISM nadir dan forward yang dihasilkan dapat digunakan dalam pembuatan peta skala 1:25.000 atau lebih kecil lagi menurut United States National Map Accuracy Standards (Tabel 1).

DEM yang dihasilkan dalam proses sebelumnya kemudian digunakan untuk proses ortorektifikasi. Ortorektifikasi dilakukan terhadap citra nadir dan forward dengan menggunakan data

16 14 12Frekuensi

10 8 6 4 2 0 -30 -20 -10 0 10 20 30 MoreSelisih Elevasi (meter)

Gambar 6. Selisih elevasi titik cek pada model terhadap elevasi titik cek pada peta ortofoto

Pembuatan Model Permukaan Digital dan Orthoimage Digital Muryamto & Andaru

9

Gambar 7. Hasil orthorektifikasi nadir (kiri) dan forward (kanan)

5. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Produk utama dari penelitian ini adalah model permukaan digital dari sumber citra Alos berukuran 5132 x 3991 piksel dengan resolusi spasial 2.5 meter yang diperoleh secara otomatis dengan teknik korelasi silang. 2. Hasil uji ketelitian elevasi terhadap beberapa titik cek, diperoleh root mean square error (RMSEz) sebesar 8.832 meter, sehingga memenuhi persyaratan ketelitian untuk keperluan pembuatan peta topografi dengan skala 1:100.000 atau lebih kecil lagi (menurut US National Map Accuracy Standards). 3. Hasil ekstraksi DEM ALOS pada penelitian ini terjadi beberapa failed area (daerah dimana elevasi DEM tidak bisa didapatkan) pada permukaan DEM. Failed area ini timbul karena citra yang tertutup awan, daerah pada citra yang terlalu gelap, tingkat keabuan yang sangat homogen pada daerah citra, perbedaan shading, dan kemiringan obyek yang sangat ekstrim antara band nadir dan pada band forward. 4. Hasil perhitungan ketelitian planimetrik orthoimage ALOS, diperoleh untuk citra nadir sebesar 6.546 m dan citra forward sebesar 9.320m, sehingga memenuhi persyaratan kete-

litian untuk pembuatan peta skala 1:25.000 atau lebih kecil lagi.Daftar Pustaka

Anonim, 1997, ALOS, http://www.eorc.nasda. go.jp/ALOS/about/about_index.htm dan http://www.eorc.nasda.go.jp/ALOS/about/pris m.htm (akses tanggal 3 Juli 2009). Anonim, 1999, Calibration and Validation, Utilization Research, and Scientific Research, ALOS Research Announcement, Earth Observation Research Center, National Space Development Agency, Japan, http://www.eorc.nasda.go.jp/ALOS/ra/alos_ra .pdf (akses tanggal 5 Juli 2009). Andaru, R., 2005, Pembuatan Model Permukaan Digital dan Orthoimage Digital dari Citra ASTER Level 1B, skripsi, Jurusan Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Aniello, P., 2003, Using ASTER DEMS to produce Ikonos Orthophotos, Annual Conference Proceedings, Anchorage, Alaska. Chen, T., et al., 2004, Triplet Matching for DEM Generation with PRISM, ALOSA Case Study using Air-Borne Three Line Scanner Data, http: //www. isprs. org/istanbul2004/ comm3/papers/258.pdf (akses tanggal 14 Agustus 2009).

10

Forum Teknik Vol. 33, No. 1, Januari 2010

Djurdjani, 1999, Model Permukaan Digital, Jurusan Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Frianzah, Anof, 2009, Pembuatan Orthoimage Dari Citra Alos Prism, skripsi, Jurusan Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Maruya, M., dan Ohyama, H., 2007, Accurate DEM and Ortho-rectified Image Prodeuction from ALOS/PRIM, http: //www. securecms. com/ IGARSS2008/ Abstracts/pdfs/2032.pdf (akses tanggal 23 Oktober 2009).

Takaku, J., Tadono, T., dan Shimada, M., High Resolution DSM Generation from ALOS PRISM Calibration Update-, http: //www. igarss08. org/ Abstracts/ pdfs/1645.pdf (akses tanggal 13 Agustus 2008). Weser, T., et al, 2008, An Improved Pushbroom Scanner Model for Precise Georeferencing of ALOS PRISM Imagery, Cooperative Research Centre for Spatial Information, Department of Geomatics, The University of Melbourne, Australia. Wolf, P. R., 1993, Elemen Fotogrametri, Penerj. Gunadi, Gunawan, T., dan Zuharnen.

Segmentasi Citra Adaptif Berbasis Logika Fuzzy Teroptimasi Soesanti, dkk.

11

Segmentasi Citra Adaptif Berbasis Logika Fuzzy Teroptimasi untuk Analisis Citra MedisIndah Soesanti1), Adhi Susanto2), Thomas Sri Widodo2), Maesadji Tjokronegoro3)1)

Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta email: [email protected] 2) Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 3) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Abstract The success of an image analysis system depends mainly on the quality of its segmentation, where the goal of image segmentation is to separate the image into region which are meaningful for a given task. In medical imaging, this could relate to the detection of organs or tissue types from MRI images. One way of performing segmentation is by classification, in which image pixels are classified into different classes according to their respective features. In this research, the Fuzzy C-Means algorithm with spatial information is applied to segment MRI medical images. This FCM clustering utilizes the distance between each pixel and the cluster centers in the spectral domain to compute the membership function. The pixels on an object in the image are highly correlated, and this spatial information is an important characteristics which can be used to aid their labeling. The FCM method has successfully classified the brain MRI images into five clusters, and the best representation values of the partition coefficient and partition entropy are 0.967 and 0.052 respectively. Keywords: medical image, image segmentation, fuzzy c-means, magnetic resonance imaging.

1. Pendahuluan Teknologi pencitraan digital telah lama merambah dunia medis, antara lain untuk kepentingan diagnosis. Pencitraan medis dengan teknologi digital bersifat non-invasive, painless, serta dapat memberikan informasi bagian dalam tubuh manusia dalam bentuk potongan atau slice tertentu untuk keperluan diagnosis. Teknologi yang mampu memberikan informasi ini adalah pencitraan CT (Computed Tomography) Scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging). MRI memiliki keunggulan dibanding CT scan karena tidak menggunakan radiasi pengion dan lebih unggul dalam mendeteksi kelainan pada jaringan lunak, misalnya pada otak. Guna mendapatkan hasil yang optimal, dibutuhkan pengolahan citra medis MRI, yang diharapkan dapat membantu dalam hal diagnosis yang lebih objektif. Penelitian-penelitian terkait peng-

olahan citra telah banyak dilakukan di antaranya kompresi citra (Soesanti, 2008), pengurangan derau (Soesanti, 2008), deteksi tepi (Sharifi, 2002), hingga segmentasi citra (Martinez, 2003). Salah satu permasalahan penting dalam bidang pengolahan citra dan pengenalan pola adalah segmentasi citra ke dalam area homogen (Schulze, 1993). Ekstraksi ciri dan segmentasi citra merupakan langkah awal dalam analisis citra. Beberapa metode segmentasi citra telah diusulkan, di antaranya metode-metode berbasis thresholding histogram, clustering, ataupun region growing. Segmentasi citra merupakan kegiatan yang sangat diperlukan dalam usaha memahami ciri citra secara lengkap. Segmentasi citra merupakan salah satu proses dalam pengolahan citra yang paling sulit (Gonzales, 2004). Keakuratan segmentasi menentukan keberhasilan dalam analisis suatu

12

Forum Teknik Vol. 33, No. 1, Januari 2010

citra. Algoritma segmentasi citra grayscale (misalnya citra medis) umumnya berdasar pada dua sifat dasar nilai intensitas citra, yaitu diskontinuitas dan kesamaan. Pada segmentasi citra berdasar diskontinuitas, pendekatan yang dilakukan adalah dengan melakukan partisi citra berdasar perubahan drastis intensitas citra, yang dikenal juga sebagai proses deteksi tepi. Sedang segmentasi citra berdasar kesamaan, pendekatan yang dilakukan adalah melakukan partisi citra ke dalam regionregion yang sama berdasarkan himpunan kriteria yang telah didefinisikan di awal. Segmentasi pada citra medis akan menghasilkan citra medis yang disertai batasan objek yang merupakan ciri penting karena dapat menggali informasi untuk pengenalan pola guna keperluan analisis. Tujuan utama segmentasi adalah membagi citra ke dalam bagian-bagian yang mempunyai korelasi kuat dengan objek dalam citra. Citra medis yang tersegmentasi dengan baik akan memberi informasi batasan-batasan objek dengan jelas, misalnya untuk keperluan deteksi sel tumor pada pasien. Informasi ini sangat membantu tenaga medis makin objektif dan akurat dalam melakukan analisis, diagnosis, perencanaan pengobatan, dan tindakan medis yang diperlukan. Untuk itu dalam penelitian ini akan dilakukan segmentasi citra medis secara adaptif menggunakan metode fuzzy c-means (FCM) dengan informasi spasial yang berguna dalam segmentasi citra asli yang berderau. Beberapa peneliti telah mengembangkan metode-metode segmentasi citra. Akan tetapi pada metode-metode tersebut tidak dimanfaatkan informasi multispektral isyarat MRI. Pengklasteran FCM (Clark, 1994), (Yang, 2002) merupakan teknik tak-terbimbing yang berhasil diterapkan untuk analisis ciri, pengklasteran, dan rancangan pengklasifikasi dalam bidang-bidang seperti astronomi, geologi, pencitraan medis, pengenalan sasaran, dan segmentasi citra. Setiap citra dapat direpresentasikan dalam berbagai ruang ciri, dan algoritma FCM mengklasifikasikannya dengan mengelompokkan titik-titik data yang serupa dalam ruang ciri ke dalam masing-masing klaster. Pengklasteran ini dicapai secara iteratif meminimisasi fungsi cost yang tergantung pada jarak piksel ke pusat klaster dalam domain ciri.

Piksel-piksel pada objek citra pada dasarnya mempunyai korelasi kuat, piksel yang dekat dengan tetangga mempunyai data ciri yang hampir sama. Oleh karenanya, relasi spasial antar piksel tetangga merupakan karakteristik penting yang sangat membantu dalam segmentasi citra. Teknik deteksi batas umum memanfaatkan kelebihan informasi spasial ini untuk segmentasi citra. Akan tetapi, algoritma FCM konvensional tidak sepenuhnya memanfaatkan informasi spasial ini. Pedrycz dan Waletzky (1997) menggunakan informasi klasifikasi yang ada dan diterapkan sebagai bagian dari prosedur optimisasinya. Ahmed dkk (2002) memodifikasi fungsi objektif algoritma FCM standar untuk memberikan label pada tetangga piksel untuk mempengaruhi pelabelannya. Algoritma FCM modifikasi itu memberikan hasil yang lebih baik dibanding metode FCM konvensional pada citra berderau. Akan tetapi, cara menggabungkan informasi piksel tetangganya terbatas untuk aplikasi masukan ciri-tunggal. 2. Fundamental Tujuan penelitian ini adalah melakukan segmentasi adaptif citra medis MRI menggunakan metode Fuzzy C-Means Clustering berdasar informasi spasial. Dalam metode yang dikembangkan ini digabungkan informasi spasial yang didapat, dan bobot keanggotaan setiap klaster diubah setelah memperhitungkan distribusi klaster antar tetangga. Skema ini bermaksud untuk meminimalkan pengaruh derau. Dalam penelitian ini dilakukan segmentasi terhadap sebuah citra medis MRI otak normal dan citra medis MRI otak dengan kelainan. Orisinalitas dalam penelitian ini adalah pada metode: ukuran window yang digunakan adalah 3x3, berbeda dengan penelitian sebelumnya, karena dengan informasi spasial berbasis window 3x3 diharapkan tidak akan mengurangi atau mengubah informasi pada citra. Sedang orisinalitas yang ada pada objek, yakni dalam penelitian ini metode langsung diterapkan untuk menganalisis citra MRI otak normal (data primer dari pasien), otak dengan Infark (sumber: Besese, Cranial MRI, 1991), dan otak dengan tumor (data primer dari pasien).

Segmentasi Citra Adaptif Berbasis Logika Fuzzy Teroptimasi Soesanti, dkk.

13

Fuzzy C-Means Clustering Algoritma FCM menetapkan piksel setiap kategori dengan menggunakan fungsi keanggotaan fuzzy. Misalkan X=(x1, x2,.,xN) menyatakan citra dengan N piksel yang dipartisi masing-masing menjadi c klaster, dengan xi merepresentasikan data. Algoritma ini merupakan optimisasi iteratif yang meminimalkan fungsi cost yang didefinisikan sebagai berikut:m J = u ij || x j vi || 2 j =1 i =1 N c

FCM Spasial Salah satu karakteristik penting dari objek citra adalah bahwa piksel tetangga terkorelasi tinggi. Dengan kata lain, piksel tetangga tersebut memiliki nilai ciri yang sama, dan mempunyai probabilitas yang tinggi bahwa piksel-piksel tersebut termasuk dalam klaster yang sama. Hubungan spasial ini sangat penting pada pengklasteran, tetapi tidak digunakan dalam algoritma FCM standar. Untuk memanfaatkan informasi spasial, suatu fungsi spasial didefinisikan sebagai

(1)

dengan uij merepresentasikan keanggotaan piksel xj dalam klaster ke-i, vi adalah pusat klaster ke-i, dan m adalah konstanta. Parameter m mengendalikan fuzziness partisi hasil, dan dalam studi ini digunakan m=2. Fungsi cost diminimalkan saat piksel dekat sentroid klasternya yang ditandai dengan nilai keanggotaan tinggi, dan nilai keanggotaan rendah ditetapkan untuk piksel dengan data yang jauh dari sentroid. Fungsi keanggotaan merupakan representasi probabilitas bahwa suatu piksel termasuk klaster khusus. Dalam algoritma FCM, probabilitas tersebut tergantung hanya pada jarak antara piksel dan masing-masing pusat klaster individu dalam domain ciri. Fungsi keanggotaan dan pusat klaster diperbarui menggunakan persamaan berikut:

hij =

ik kNB ( x j )

u

(4)

dengan NB(xj) merepresentasikan window yang terpusat pada piksel xj dalam domain spasial. Dalam penelitian ini digunakan window 3x3. Fungsi spasial hij merepresentasikan probabilitas bahwa piksel xj termasuk klaster ke-i. Fungsi spasial suatu piksel untuk setiap klaster akan bernilai besar jika mayoritas tetangganya termasuk dalam klaster yang sama. Fungsi spasial tergabung dalam fungsi keanggotaan berikut:

u =' ij

q u ijp hij

uk =1

c

(5)q kj

p kj

h

u ij =

1 || x j vi || x v k =1 j kc

dengan p dan q adalah parameter untuk mengendalikan kepentingan relatif kedua fungsi. Dalam daerah homogen, fungsi spasial benarbenar mengukuhkan keanggotaan asli, dan hasil pengklasteran tetap tak berubah. Akan tetapi, untuk piksel berderau, formula ini mengurangi bobot klaster berderau dengan label piksel tetangganya. Hasilnya adalah bahwa piksel tak-terklasifikasi di daerah berderau atau tumpukan palsu dapat dikoreksi dengan mudah. FCM spasial dengan parameter p dan q dinyatakan dengan sFCMp,q. Jadi, sFCM1,0 identik dengan FCM konvensional. Pengklasteran adalah proses dua-jalan (twopass) pada setiap iterasi. Jalan pertama adalah sama dengan FCM standar untuk menghitung fungsi keanggotaan dalam domain spektral. Pada jalan kedua, informasi keanggotaan setiap piksel dipetakan ke domain spektral, dan fungsi spasial dihitung dari domain spektral tersebut. Iterasi

|| ||

2 /( m 1)

(2)

dan

vi =

uj =1 N j =1

N

m ij

xj(3)

u

m ij

Dimulai dengan taksiran awal untuk setiap pusat klaster, FCM konvergen pada solusi untuk vi yang merepresentasikan minimum lokal fungsi cost. Konvergensi nilai-nilai ini dapat dideteksi dengan membandingkan perubahan fungsi keanggotaan atau pusat klaster pada dua langkah iterasi berturut-turut.

14

Forum Teknik Vol. 33, No. 1, Januari 2010Mulai Data x, sentroid v, jumlah data N, jumlah kelas c, ambang , Parameter m, Iterasi n,Parameter p, q

FCM diproses dengan keanggotaan baru yang tergabung dengan fungsi spasial. Iterasi akan berhenti pada saat perbedaan maksimum antara dua pusat klaster pada dua iterasi berturut-turut lebih kecil dari nilai ambang. Setelah konvergen, defuzifikasi diterapkan untuk menentukan setiap piksel ke klaster spesifik agar keanggotaan maksimal. Keaslian penelitian ini adalah: pada metode, perbedaan dengan penelitian yang lalu adalah pada nilai beberapa parameter serta ukuran window yang digunakan. Sedang pada objek aplikasi, perbedaannya adalah perangkat lunak akan diaplikasikan pada citra MRI otak normal dan citra MRI otak dengan kelainan, guna membantu tim medis dalam menganalisis lebih lanjut . 3. Metodologi Langkah-langkah dalam penelitian ini secara umum ditunjukkan sesuai diagram alir pada Gambar 1. Objek dalam penelitian ini adalah citra medis MRI otak normal dan citra medis MRI otak dengan kelainan. Sumber data citra sekunder dari Cranial MRI (Besese, 1991), sedang data primer dari pasien langsung. Pada setiap citra medis MRI tersebut dilakukan segmentasi sesuai dengan tahapan pada Gambar 1. 4. Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian yang sudah dicapai adalah segmentasi terhadap tiga citra medis MRI yakni Citra MRI otak normal, Citra MRI otak Infark, dan Citra MRI Otak dengan Tumor. Masing-masing adalah citra grayscale dengan ukuran 256x256. Pertama segmentasi dilakukan terhadap Citra MRI otak normal, dengan citra asli pada Gambar 2. Citra hasil segmentasi 5 level untuk citra normal ditunjukkan pada Gambar 3, dengan parameter (a) p=2 dan q=1, (b) p=1 dan q=1, dan (c) p=1 dan q=2. Tampak jelas dari hasil bahwa citra MRI dapat tersegmentasi dan menunjukkan area-area tertentu, dan hasil pada (b) dan (c) lebih baik dibanding (a).

Menghitung fungsi keanggotaan uij

Menghitung fungsi spasial hij

n=n+1 Menghitung fungsi keanggotaan uij

Menghitung Sentroid vij

Uji kondisi berhenti

| uij

( n +1)

uij

(n)

|< ?

Tidak

Ya Selesai

Gambar 1. Diagram alir langkah penelitian

Gambar 2. Citra MRI Otak Normal asli.

Segmentasi Citra Adaptif Berbasis Logika Fuzzy Teroptimasi Soesanti, dkk.

15

Pada Gambar 5, citra hasil segmentasi dengan parameter (a) p=2 dan q=1, (b) p=1 dan q=1, dan (c) p=1 dan q=2. Tampak jelas hasil segmentasi pada area yang paling putih merupakan kelainan atau ketidaknormalan.

(a)

(a)

(b)

(b)

(c) Gambar 3. Citra hasil segmentasi MRI otak Normal dengan nilai parameter p, q yang berbeda.

Selanjutnya dalam penelitian ini dilakukan segmentasi terhadap citra medis MRI otak infark, dengan citra asli ditunjukkan pada Gambar 4.

(c) Gambar 5. Citra hasil segmentasi MRI otak Infark dengan nilai parameter p, q yang berbeda.

Kemudian dilakukan segmentasi citra medis MRI tumor. Citra ini berbentuk grayscale dengan ukuran 256x256. Citra MRI tumor asli ditunjukkan pada Gambar 6. Pada Gambar 7 ditunjukkan citra hasil segmentasi dengan (a) segmentasi 5 level dengan parameter p=2 dan q=1, (b) segmentasi 5 level dengan parameter p=1 dan q=1, dan (c) segmentasi 5 level dengan parameter p=1 dan q=2.Gambar 4. Citra MRI Infark A

Analisis juga dilakukan dengan menghitung fungsi validitas yaitu partisi fuzzy dan struktur ciri.

16

Forum Teknik Vol. 33, No. 1, Januari 2010

Fungsi validitas tersebut digunakan untuk mengevaluasi unjukkerja pengklasteran. Gagasan fungsi validitas tersebut adalah bahwa partisi dengan fuzziness yang kurang, berarti menunjukkan unjukkerjanya lebih baik. Hasilnya adalah bahwa pengklasteran terbaik dicapai pada saat nilai Vpc maksimal atau saat nilai Vpe minimal. Fungsi representasi untuk partisi fuzzy adalah koefisien partisi Vpc dan entropi partisi Vpe yang didefinisikan sebagai

Dari Tabel 1 terlihat secara keseluruhan untuk nilai Vpc di atas 0,85, hal ini menunjukkan bahwa fungsi validitas untuk semua citra MRI otak sudah tinggi. Didapatkan nilai Vpc tertinggi dan Vpe terendah pada SFCM1,2, yang berarti bahwa SFCM1,2 memberikan hasil yang relatif lebih baik dibanding SFCM2,1 dan SFCM1,1. Secara visual, baik segmentasi pada citra MRI otak normal, citra MRI otak Infark, maupun citra MRI otak tumor, telah ditunjukkan bahwa metode FCM dengan ditambah fungsi spasial pada nilai keanggotannya, mampu untuk mensegmen atau membagi citra ke dalam area-area atau bagian-bagian tertentu yang ingin ditonjolkan, serta dapat memberikan batas-batas yang lebih tegas antar area, sehingga hasil citra tersegmentasi dapat untuk dianalisis lebih lanjut secara lebih tepat.

V pc =dan

uj i

N

c

2 ij

N (u ij log u ij )j i N c

(6)

V pe =

N

(7)

Gambar 6. Citra MRI E asli.

(a) (b) (c) Gambar 7. Citra hasil segmentasi MRI otak kelainan dengan nilai parameter p, q berbeda.

Tabel 1. Nilai Vpc dan VpeCitra Normal Infark Tumor Vpc FCM S2,1 0,931 0,919 0,899 Vpe FCMS2,1 0,135 0,155 0,180 Vpc FCM S1,1 0,941 0,932 0,919 Vpe FCMS1,1 0,078 0,128 0,158 Vpc FCM S1,2 0,967 0,957 0,938 Vpe FCMS1,2 0,052 0,092 0,098

Segmentasi Citra Adaptif Berbasis Logika Fuzzy Teroptimasi Soesanti, dkk.

17

DAFTAR PUSTAKA Ahmed, M.N., Yamany. S.M., Nevin A. Mohamed, A. Farag, T. Moriarty, 2002, A modified fuzzy c-means algorithm for bias field estimation and segmentation of MRI data, IEEE Transaction on Medical Imaging; 21:1939. Besese, J.H., 1991, Cranial MRI, A Teaching File Approach, McGraw-Hill, International Edition, Medical Series. Clark, M.C., L.O. Hall, D.B. Goldgof, L.P. Clarke, R.P. Velthuizen, M.S. Silbiger, 1994, MRI segmentation using fuzzy clustering techniques, IEEE Engineering Medical Biology; 13: 73042. Gonzales, R.C., R.E. Woods, S.L. Eddins, 2004, Digital Image Processing using Maltab, Pearson Prentice Hall, Inc., New Jersey. Martinez, J.C., D. Sanchez, B.P Suarez, E.G. Perales, M.A. Vila, 2003, A Hierarchical Approach to Fuzzy Segmentation of Colour Images, The IEEE International Conference on Fuzzy Systems, 966-971. Pedrycz, W., J. Waletzky, 1997 Fuzzy clustering with partial supervision, IEEE Transaction on System of Management Cybernets; 27: 78795.

Schulze, M.A., J.A. Pearce, 1993, Linear Combinations of Morphological Operators: The Midrange, Pseudomedian, and LOCO Filters, IEEE International Conference, Acoustics,Speech, and Signal Processing, Vol. V, pp. 57-60. Sharifi, M., M. Fathy, M.T. Mahmoudi, 2002, "A classified and comparative study of edge detection algorithms", International Conference on IT: Coding and Computing, Proceedings. Soesanti, I, 2008, "Kompresi Citra Medis Menggunakan Alihragam Kosinus Diskret dan Sistem Logika Fuzzy Adaptif ", Semesta Teknika (FT UMY) Vol.11, No.1, Mei 2008, hal. 1 7. Soesanti, I, 2008, "Aplikasi Tapis Adaptif untuk Pengurangan Derau pada Citra Satelit", Forum Teknik (FT UGM) Vol. 32, No. 1, Januari 2008. Soesanti, I, 2008, "Pengurangan Derau Citra Medis Menggunakan Tapis Adaptif", Media Teknik (FT UGM) No. 2 Th. XXX, Mei 2008, hal. 167 174. Yang, M.S., Y.J. Hu, K.C.R. Lin, C.C.L. Lin, 2002, Segmentation Techniques for Tissue Differentiation in MRI of Ophthalmology Using Fuzzy Clustering Alg., MRI Journal; 20: 1739.

18

Forum Teknik Vol. 33, No. 1, Januari 2010

Aplikasi Deteksi Tepi Citra Termografi untuk Pendeteksian Keretakan Permukaan MaterialRamadoni SyahputraJurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Jl. Lingkar Barat Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta 55281 E-mail: [email protected]

Abstract Cracking may impair the durability of concrete by allowing immigration of external aggressive agents; therefore, crack monitoring is always a vital part in building pathology. This research proposed a method of infrared thermography image edge detection for surface crack detection by using shared image subtraction method. This method allows full-field and noncontact qualitative observation of thermal radiation from an object surface and is highly accepted in the aerospace industry. It is superior to the common practice of surface crack detection visual inspection. The overall inspection time is reduced and hence maintenance costs lowered. Surface cracking is detected based on the difference in heat emission between cracks and intact region. The results show that shared image subtraction method can detect surface cracks with 0.5 mm to 1 mm crack width (mayor-cracks) and 0.1 mm to 0.5 mm crack width (micro-cracks) successfully. In addition, this study also compared the performances of traditional Sobel and Canny edge detectors for crack detection. The results show that the sheared image subtraction method is significantly more effective than the other two edge detection techniques in identifying cracks. Keywords: Surface crack detection, image edge detection, thermography image.

1. Pendahuluan Termografi merupakan suatu cara pengukuran dan pemetaan panas dari suatu objek menggunakan kamera khusus guna menghasilkan citra termal. Citra termografi (thermography image) adalah citra yang dihasilkan dari kamera infrared. Teknologi yang digunakan dalam menghasilkan citra termografi ini dikenal sebagai teknologi termografi infrared (infrared thermography). Termografi infrared menggunakan kamera pencitraan infrared untuk melihat energi termal yang dipancarkan dari suatu objek. Kamera infrared mengungkapkan energi yang dipancarkan ke dalam suatu citra tampak menggunakan tampilan berwarna dan/atau tampilan grayscale guna merepresentasikan variasi temperatur yang diberikan suatu objek. Dengan perkembangan teknologi yang pesat dalam bidang kamera infrared telah menghasilkan kamera infrared digital dengan kemampuan yang

sangat baik. Kamera infrared yang tersedia saat ini telah dapat membedakan perbedaan temperatur yang kecil yaitu sebesar 0,08C atau kurang dari 1F. Sensitifitas kamera infrared yang luar biasa tersebut membuatnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi. Citra termografi telah diterapkan pada berbagai bidang misalnya di bidang medis untuk membedakan jaringan yang tidak sehat pada tubuh, di bidang teknik elektro untuk mengetahui kerusakan isolasi suatu peralatan listrik, di bidang teknik sipil untuk mengetahui komposisi material ataupun keretakan bangunan, dan lain-lain. Tampilan citra termografi biasanya berupa citra warna, dengan masing-masing warna menunjukkan derajat temperatur yang berbeda. Segmentasi citra termografi berguna untuk menentukan klasifikasi daerah dengan derajat temperatur tertentu pada suatu objek. Guna keperluan ini

Aplikasi Deteksi Tepi Citra Termografi Syahputra

19

maka sangat menarik untuk dilakukan penelitian mengenai deteksi tepi pada citra termografi. Tujuan penelitian ini adalah melakukan deteksi tepi citra termografi untuk keperluan analisis menggunakan metode deteksi tepi shared image subtraction, Sobel, dan Canny sehingga didapatkan operator dengan nilai ambang yang optimal. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis dan pengembangan ilmu pengetahuan serta pihak-pihak terkait dalam penelitian ini. Faedah yang diharapkan adalah: a) citra termografi dengan tepi terdeteksi dapat menambah keakuratan dalam analisis citra, misalnya untuk keperluan analisis citra medis, citra logam, citra kerusakan gedung, dan citra isolasi kabel listrik, dan b) bagi penulis, bermanfaat untuk menambah wawasan mengenai pengolahan citra, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, sehingga diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran mengenai pengolahan citra khususnya citra termografi. 2. Fundamental 2.1 Kajian Pustaka Deteksi tepi citra yang akurat akan memberikan hasil analisis yang optimal. Banyak algoritma yang telah diusulkan untuk tujuan deteksi tepi citra. Karena tepi pada suatu citra terkait dengan perubahan drastis intensitas citra atau diskontinuitas, maka deteksi tepi selalu menggunakan derivatif orde pertama dan persilangan nol derivatif orde kedua. Dalam operasi derivatif orde pertama, tepi citra dapat dideteksi sebagai maksimum lokalnya yang dikonvolusi dengan sebuah operator derivatif orde pertama. Prewitt, Robert, Sobel mengimplementasikan algoritmanya menggunakan gagasan ini (Jain, 1995). Algoritma deteksi tepi yang juga menggunakan cara tersebut adalah operator Canny (Canny, 1986). Pada algoritma deteksi tepi menggunakan derivatif orde kedua, tepi citra dideteksi sebagai lokasi pada saat derivatif orde keduanya bersilangan dengan nol. Algoritma deteksi tepi yang menggunakan derivatif orde kedua adalah algoritma Laplacian of Gaussian.

Operasi diferensiasi pada citra selalu menimbulkan derau khususnya derau frekuensi tinggi, sehingga biasanya disertai penapisan. Algoritma deteksi tepi yang disertai penapisan derau di antaranya telah dikembangkan oleh Kaushal (1994) yang meninjau kontras luminans, Hardie dan Boncelet (1995) yang menerapkan pratapis peningkatan tepi untuk mengubah tepi yang halus menjadi tajam sekaligus menghilangkan derau, Russo (1998) yang mengusulkan teknik tapis dengan penalaran fuzzy, dan Paplinski (1998) yang mengusulkan penapisan berarah. Beberapa penelitian dilakukan guna mengevaluasi metode-metode deteksi tepi sebelumnya, di antaranya dilakukan oleh Shin dkk. (2001) yang menyajikan evaluasi unjuk-kerja detektor tepi berdasarkan strukturnya. Mereka menemukan bahwa detektor Canny berunjuk-kerja terbaik dan paling kokoh dalam konvergensi dan merupakan salah satu detektor dengan eksekusi tercepat. Sharifi dkk. (2002) mendiskusikan kelebihan dan kekurangan algoritma deteksi tepi yang biasa digunakan diantaranya operator-operator Canny, Marr-Hildreth, Sobel, Kirch, dan Laplacian. Selanjutnya Maini dan Sobel (2006) mengevaluasi unjuk-kerja detektor tepi Prewitt untuk citra berderau dan berhasil menunjukkan bahwa detektor Prewitt sangat baik untuk citra digital yang rusak akibat derau Poisson, sedang untuk jenis derau lain tidak. 2.2 Landasan Teori 2.2.1 Citra Termografi Citra termografi (thermography image) adalah citra yang dihasilkan dari kamera infrared. Teknologi yang digunakan dalam menghasilkan citra termografi ini dikenal sebagai teknologi termografi infrared (infrared thermography). Termografi infrared menggunakan kamera pencitraan infrared untuk melihat energi termal yang dipancarkan dari suatu objek. Kamera infrared mengungkapkan energi yang dipancarkan ke dalam suatu citra tampak menggunakan tampilan berwarna dan/atau tampilan grayscale guna merepresentasikan variasi temperatur yang diberikan suatu objek.

20

Forum Teknik Vol. 33, No. 1, Januari 2010

Gambar 1. Spektrum elektromagnetik

Gambar 4. Contoh citra termografi untuk mendeteksi sambungan pipa.

Diagram pada Gambar 1 menunjukkan keberadaan infrared dalam spektrum elektromagnetik terkait cahaya tampak. Sebagian besar aplikasi yang dibangun menggunakan gelombang panjang (LW, long-wave). Penggunaan citra termografi diantaranya pada bidang teknik elektro misalnya untuk mendeteksi kerusakan kabel, bidang teknik sipil sipil misalnya untuk mendeteksi kerusakan struktur bangunan, bidang teknik mesin misalnya untuk mendeteksi keretakan suatu material, dan juga bidang kedokteran misalnya untuk mendeteksi jaringan tubuh yang mengalami kelainan ataupun sakit. Pada Gambar 2 ditunjukkan contoh citra termografi untuk mendeteksi kerusakan isolasi kabel listrik, sedang Gambar 3 menunjukkan aplikasi citra termografi untuk mendeteksi kerusakan elbow.

Gambar 4 menunjukkan salah satu manfaat citra termografi dalam bidang teknik sipil yaitu mendeteksi kualitas sambungan pipa dalam gedung. 2.2.2 Deteksi Tepi Deteksi tepi (edge detection) pada suatu citra adalah suatu proses yang menghasilkan tepi-tepi dari objek-objek citra, yang bertujuan untuk: a) menandai bagian yang menjadi detail citra, dan b) memperbaiki detail citra yang kabur. Suatu titik (x, y) dikatakan tepi dari suatu citra jika titik tersebut mempunyai perbedaan yang tinggi dengan tetangganya. Deteksi tepi adalah kelengkapan dasar untuk mendapatkan informasi frame citra sebagai salah satu langkah yang dilalui dalam operasi ekstraksi ciri dan segmentasi. Proses ini mendeteksi garis pinggir terluar sebagai batas antar citra objek dengan citra latar. Dasar deteksi tepi adalah operasi matrik pada daerah gradien yang menentukan tingkat perbedaan variasi warna antara piksel-piksel yang berbeda. Operator deteksi tepi dihitung dengan membentuk pusat matrik pada sebuah piksel yang dipilih sebagai pusat daerah matriks. Jika nilai matriks di atas nilai ambang maka piksel tengah diklasifikasikan menjadi tepi. Penggunaan gradien sebagai dasar pada deteksi tepi terdapat pada algoritma Robert, Prewitt, dan Sobel. Struktur elemen atau biasa disebut sebagai kernel, berisi pola yang mengkhususkan koordinat dari beberapa titik yang memiliki relatifitas yang sama ke suatu pusat (origin). 2.2.3 Algoritma Shared Image Subtraction

Gambar 2. Contoh citra termografi untuk mendeteksi kerusakan isolasi kabel listrik.

Gambar 3. Contoh citra termografi untuk mendeteksi kerusakan isolasi elbow.

Metode deteksi tepi yang sering digunakan adalah metode Sobel dan Canny, yang digunakan

Aplikasi Deteksi Tepi Citra Termografi Syahputra

21

juga sebagai pembanding dalam penelitian ini. Detektor tepi Sobel pada dasarnya merupakan tapis konvolusi dan mempunyai keunggulan dalam kesederhanaan dan kecepatan komputasinya dibanding detektor Canny. Detektor Sobel berbasis algoritma gradien spasial. Akan tetapi metode ini rentan terhadap derau citra. Oleh karenanya dalam mendeteksi keratakan material pada citra termografi lebih disukai menggunakan metode Canny. Detektor tepi Canny pada dasarnya juga merupakan tapis konvolusi dan relatif lebih unggul dibanding detektor Sobel. Pertama-tama citra dihaluskan melalui konvolusi dengan Gaussianmask sehingga sebagian besar derau dapat dihilangkan dan karenanya menghasilkan deteksi tepi yang relatif lebih baik dibanding metode Sobel. Selanjutnya tepi citra dideteksi melalui pendeteksian modulus gradien yang diambil dalam arah gradien. Dalam penelitian ini diusulkan metode deteksi tepi shared image subtraction untuk deteksi keretakan citra termografi. Citra disubtraksi melalui pergeseran citra dalam arah x dan y. Shared image subtraction berkaitan dengan perbedaan temperatur relatif terhadap daerah yang dekat dengan bagian utuh. Dengan demikian, kontras keretakan dengan distribusi temperatur yang berbeda akan meningkat secara signifikan.

dengan L(x, y) adalah intensitas cahaya dalam koordinat (x, y) yang diperoleh dengan subtraksi piksel diagonal (shared image). 3. Metodologi Langkah-langkah penelitian secara garis besar ditunjukkan dalam diagram blok Gambar 6.Akuisisi Citra Termografi

Digitalisasi Citra

Pembentukan Citra Grayscale Penerapan Operator Shared Image Detection

Membandingkan Hasil Operator Shared Image Detection dan Operator Canny

Analisis Gambar 6. Diagram blok langkah-langkah penelitian.

P(x0, y0) P(x0+1, y0+1)

4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Akuisisi Citra Termografi Dalam penelitian dilakukan deteksi citra termografi untuk keperluan deteksi keretakan pada permukaan lapisan semen. Citra termografi yang digunakan dalam penelitian ini diacu dari citra eksperimen yang dilakukan oleh Sham dkk (2008), seperti terlihat pada Gambar 7 dan Gambar 8. Pada Gambar 7 terlihat lapisan permukaan semen yang mengalami keretakan. Lebar keretakan yang terjadi pada lapisan semen tersebut berkisar antara 0,1 mm hingga 1 mm. Lapisan semen tersebut terbuat dari pasta semen dan keretakan pada permukaannya.

Citra asli Citra ter-share Gambar 5. Shared image subtraction.

Algoritma dasar metode ini ditunjukkan pada diagram skematik dalam Gambar 5. tepi yang lebih tajam diperoleh dengan menghitung gradien intensitas piksel-piksel yang berdekatan. Intensitas tepi yang baru diekspresikan oleh persamaan: L(x, y)=[P(x0, y0) P(x0+1, y0+1)] (1)

22

Forum Teknik Vol. 33, No. 1, Januari 2010

1 mm diklasifikasikan sebagai keretakan permukaan mayor, sedang keretakan dengan lebar 0,1 mm hingga 0,5 mm disebut keretakan mikro (Sham dkk, 2008). Guna mendeteksi dengan akurat keretakan pada permukaan semen, maka diperlukan pencitraan termografi pada permukaan dimaksud. Pencitraan permukaan lapisan semen menggunakan kamera digital masih belum dapat menunjukkan keretakan yang sebenarnya terjadi. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan citra hasil pengambilan menggunakan kamera digital biasa dengan pengambilan citra menggunakan kamera termografi inframerah, seperti ditunjukkan pada Gambar 9 dan Gambar 10. Gambar 9 menunjukkan citra digital lapisan permukaan semen menggunakan kamera digital biasa, sedang Gambar 10 menunjukkan citra termografi yang diambil menggunakan kamera inframerah. Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa dengan pencitraan digital biasa hanya dapat menampilkan sedikit keretakan mayor, sedang keretakan mikro sama sekali tidak terlihat. Dapat dibandingkan secara visual pada Gambar 10 bahwa keretakan mayor terlihat relatif lebih jelas, selain itu juga terlihat keretakan mikro walaupun tidak begitu jelas.

Gambar 7. Lapisan semen yang mengalami keretakan.

Selanjutnya lapisan semen yang mengalami keretakan tersebut dicat dengan warna hitam sehingga menghasilkan emisivitas yang mendekati 1, seperti terlihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Lapisan semen yang dicat hitam.

Pada Gambar 8 terlihat bahwa dengan pengecatan berwarna gelap (hitam) maka hampir tidak terlihat lagi keretakan yang sebenarnya terjadi pada permukaan semen. Lapisan permukaan yang berwarna hitam ini digunakan sebagai citra uji untuk mendeteksi keretakan berdasar pencitraan termografi. 4.2 Deteksi Keretakan Keretakan permukaan lapisan semen yang mempunyai lebar keretakan antara 0,5 mm hingga

Gambar 9. Citra digital lapisan permukaan yang mengalami keretakan.

Kamera termografi inframerah mampu menunjukkan keretakan lebih jelas dibanding kamera digital biasa, karena kamera inframerah bekerja berdasar radiasi termal yang dipancarkan oleh

Aplikasi Deteksi Tepi Citra Termografi Syahputra

23

material permukaan. Perbedaan bentuk permukaan misalnya karena keretakan akan memancarkan radiasi dengan distribusi temperatur yang berbeda. Perbedaan temperatur ini kemudian diterjemahkan ke dalam intensitas cahaya, sehingga bagian-bagian yang mempunyai bentuk permukaan berbeda walaupun memiliki warna fisik yang sama akan tetap dapat dibedakan bentuk sebenarnya dengan bantuan kamera inframerah. Hal ini dapat diamati pada Gambar 10.

ketiga metode tersebut adalah citra termografi inframerah seperti terlihat pada Gambar 10. Citra hasil deteksi tepi yang diperoleh ditunjukkan pada Gambar 11, Gambar 12, dan Gambar 13. Pada Gambar 11 ditunjukkan hasil deteksi tepi menggunakan metode deteksi tepi shared image subtraction. Sebagai pembanding ditunjukkan pada Gambar 12 dan Gambar 13 masing-masing menggunakan metode deteksi tepi Sobel dan Canny.

Gambar 10. Citra termografi lapisan permukaan yang mengalami keretakan.

Gambar 11. Citra hasil deteksi tepi untuk keretakan mayor menggunakan metode shared image subtraction.

Pada Gambar 10 terlihat bahwa walaupun citra termografi yang dihasilkan sudah memperlihatkan keretakan mayor, tetapi masih kurang jelas sehingga sulit untuk dilakukan analisis citra. Untuk itulah diperlukan metode pendeteksian tepi citra guna memastikan keretakan yang sebenarnya terjadi. Ada beberapa metode deteksi tepi yang telah digunakan dalam pengolahan citra digital di antaranya metode deteksi tepi Sobel, Prewitt, Robert, Canny, dan Laplacian of Gaussian (LoG). Dalam penelitian ini digunakan metode deteksi tepi shared image subtraction untuk deteksi keretakan lapisan permukaan semen. Sebagai perbendingan guna melihat unjukkerja metode yang digunakan, maka diterapkan juga metode Sobel dan Canny untuk citra yang sama. Pertama-tama dilakukan deteksi tepi untuk keretakan permukaan mayor (lebar keretakan 0,5 mm sampai 1 mm) menggunakan ketiga metode deteksi tepi tersebut. Citra yang diuji dengan

Gambar 12. Citra hasil deteksi tepi untuk keretakan mayor menggunakan metode Sobel dengan nilai threshold 10.

Berdasar Gambar 11 sampai Gambar 13 terlihat bahwa hasil deteksi tepi menggunakan metode shared image subtraction memberikan hasil yang

24

Forum Teknik Vol. 33, No. 1, Januari 2010

relatif lebih baik dibanding hasil deteksi tepi menggunakan metode Sobel dan Canny. Detektor tepi Sobel dan Canny tidak mampu mendeteksi keretakan permukaan dengan encarian gradien intensitas maksimum dari citra termografi berderau, sedang metode shared image subtraction memberikan hasil yang relatif lebih baik karena mampu menghilangkan derau citra dan mendeteksi gradien spasial dengan baik.

Gambar 14. Citra termografi lapisan permukaan untuk keretakan mikro.

Selanjutnya pada citra termografi seperti terlihat pada Gambar 4.8 diterapkan metode deteksi tepi shared image subtraction. Sebagai pembanding maka diterapkan juga operator deteksi tepi Sobel dan Canny untuk citra yang sama. Hasil deteksi tepi untuk keretakan mikro ini ditunjukkan pada Gambar 15 sampai Gambar 17.Gambar 13. Citra hasil deteksi tepi untuk keretakan mayor menggunakan metode Canny dengan nilai threshold 0,15.

Guna melihat lebih jauh unjukkerja metode deteksi tepi yang digunakan, maka tahap selanjutnya adalah dilakukan deteksi keretakan pada permukaan untuk keretakan permukaan mikro (lebar keretakan antara 0,01 sampai 1, campuran bahan bakar dan udara adalah gemuk (rich). Berdasar gambar 10, untuk campuran kurus akan dihasilkan emisi HC dan CO meningkat. Penambahan elemen pemanas ternyata justru dapat menurunkan emisi HC dan CO. Suhu campuran dalam intake manifold setelah elemen pemanas Suhu campuran udara dan bahan bakar di dalam intake manifold menurun seiring kenaikan putaran mesin. Putaran mesin yang semakin tinggi, mengharuskan campuran udara dan bahan bakar berada di dalam intake manifold dalam waktu yang semakin pendek. Kuat arus listrik ke elemen pemanas dijaga tetap, sehingga panas yang dihasilkan oleh elemen pemanas adalah tertentu. Karena penyerapan panas oleh campuran udara dan bahan bakar semakin tinggi bila putaran mesin dinaikkan, berakibat suhu campuran udara dan bahan bakar setelah elemen pemanas cenderung menurun.

Pengaruh Penambahan Elemen Pemanas pada Intake Manifold Sukidjo

47

Kesimpulan Dari data dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Penambahan elemen pemanas berpengaruh terhadap proses pembakaran di dalam silinder mesin, terbukti ada penurunan konsentrasi CO dan HC, sedangkan konsentrasi CO2 meningkat. Penurunan CO dan HC cukup signifikan pada putaran mesin sekitar 1750 rpm sampai 2250 rpm, sebesar 2,9% volume CO dan 255,8 ppm untuk HC. Konsentrasi CO2 meningkat 4,29% volume. 2. Penambahan elemen pemanas tidak mempengaruhi nilai AFR secara ignifikan Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang unjuk kerja mesin meliputi torsi, daya dan pemakaian bahan bakar spesifik untuk mengetahui bagaimana pengaruh pemanasan campuran bahan bakar dan udara terhadap besaran-besaran tersebut.

Daftar Pustaka Borman G. L., 1998, Combustion Engineering, Mc Graw-Hill, Boston Ferguson R. F., 1986, Internal Combustion Engine, Applied Thermodynamics, John Wiley & Sons, New York Ganesan V., 2004, Internal Combustion Engine, Second Edition, Tata Mc Graw-Hill Publishing Company Ltd, New Delhi Pulkabrek W.W., 2004, Engineering Fundamentals of the Internal Combustion Engine, Second Edition, Pearson Prentice-Hall, London Walsh M. P., 2004, The Impact of Fuel Parameters on Vehicle Emissions, Arlington, Virginia --------, 2009, Gasoline, http://en.wikipedia.org/ wiki/Gasoline, 24 Februari 2009.

48

Forum Teknik Vol. 33, No. 1, Januari 2010

Pola Aliran dan Korelasi Kecepatan Kritis Fenomena Flooding pada Saluran VertikalMahmuddin1), Samsul Kamal2), Indarto3), dan Purnomo4)1)

Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Mesin dan Industri Fakultas Teknik UGM 2), 3), 4) Staf Pengajar Jurusan Mesin dan Industri Fakultas Teknik UGM Jl. Grafika No. 2 Kampus UGM. Yogyakarta 55281

Abstract Flow pattern observations and critical flooding velocity for various Reynolds numbers in annular counter current flow in vertical pipe have been conducted. Visual observations and the onset of flooding at liquid flow rate 2.90 (10-5) 20.13 (10-5)m3/s. Air was injected from the bottom of the colum and water was coming in the top of the colum. Flow pattern was recorded with digital camera, and critical velocity of flooding was measured with flowmeter. The experimental results consist of the flow pattern, churn flow, plug flow, annular flow and single wave. A single wave that move vertically up also occurs at critical velocity. Flow structure in flooding velocity tends to fluctuate and become constant with increasing air flow rate. Significant reduction of critical flooding velocity was observed with increasing water flow rate (ReL).

(

* jG )1/ 2

Correlation between velocity air and water at onset of flooding is obtained * + 0,51( j L )1/ 2 = 0,74 , with value parameters m=0.51 and C=0.74

Keywords: Flow Pattern, Critical velocity and Flooding. 1. Pendahuluan Kecepatan kritis (critical velocity). adalah kecepatan udara tepat terjadi pembalikan arah aliran, yaitu sebagian cairan mengalir ke atas searah aliran udara. Fenomena ini disebut batas aliran berlawanan arah (Counter-current flow limitation, CCFL) atau peristiwa flooding. Peristiwa flooding dapat dijumpai pada reaktor nuklir, bila inti reaktor menjadi kering sebahagian atau keseluruhan, dan kemudian diusahakan pembasahan dari atas. Air yang mengalir ke bawah masuk ke dalam inti, mungkin dilawan aliran uap hasil pendidihan (flashing) yang mengalir ke atas, sehingga mengakibatkan gagalnya pendinginan dinamakan Loos Of Coolant Accidents (LOCAs). Misalnya pada reaktor bertekanan tinggi (pressurized water reactor, PWR), bila terjadi kerugian akibat kegagalan pendinginan yang mengakibatkan temperatur permukaan naik secara tiba-tiba dan memungkinkan terjadi ledakan. Kenaikan temperatur ini karena kecepatan uap melebihi dari kecepatan uap yang diizinkan untuk mempertahankan pembasahan pada dinding reaktor. Bila kenaikan temperatur permukaan tidak bisa dihindarkan, dan dapat menimbulkan bahaya akibat pemanasan lebih pada reaktor. Penggunaan Compact heat exchangers terus dikembangkan terutama untuk aplikasi kondensor reflux. Didalam kondensor refluks uap masuk kondensor ke atas. Air kondensasi mengalir ke bawah berlawanan arah dengan uap secara gravitasi. Kemampuan kondensor refluks terbatas oleh fenomena flooding. Aliran berlawanan arah (countercurrent flow, CCF) di dalam pipa vertikal dapat terjadi bila film cairan mengalir ke bawah akibat gaya berat dan udara diinjeksikan secara aksial dari bawah saluran. Aliran udara cair yang mengalir dari arah berlawanan, cairan mengalir ke bawah berlawanan arah aliran udara (counter-current flow), merupakan salah satu sistem aliran multi-fase (multiphase-flow). Friedel dkk, 2002 (di dalam Drosos. dkk, 2003), melaporkan bahwa belum ada suatu

Pola Aliran dan Korelasi Kecepatan Kritis Fenomena Flooding Mahmuddin, dkk.

49

korelasi umum yang dapat meramalkan permulaan flooding untuk semua ukuran pipa dan semua sifat-sifat cairan. Hal ini juga telah diungkapkan oleh Bankoff dan Lee (1986), Hewitt (1995) (di dalam Mouza. AA, dkk, 2002). Sedangkan Delhaye dkk (1981) menyatakan bahwa flooding dan flow reversal merupakan mekanisme dasar yang terjadi pada reaktor nuklir. Proses di industri, flooding dan flow reversal tidak jarang dijumpai pada peralatan heat exchanger, vertical tube destilation, vertical reflux condensor, dan cooling tower. Tujuan penelitian 1. Untuk menggambarkan pola aliran dan mekanisme flooding. 2. Untuk mengetahui kecepatan kritis saat flooding pada berbagai angka Reynolds cairan. Tinjauan Pustaka Govan dkk (1991), telah melakukan percobaan fenomena flooding dan pengukuran pada daerah acak (churn flow) dalam pipa vertikal, dengan sinter masukan berdinding porous, keluaran cairan berbentuk dinding berlubang (porous), tirus, dan segiempat. Menunjukkan bahwa masukan udara dan keluaran cairan berbentuk tirus, flooding diawali oleh formasi gelombang tunggal di dekat keluaran cairan, yang dapat mempengaruhi terbentuknya aliran sumbat (pluq flow), sehingga memberikan kenaikan laju flooding yang rendah. Jayanti dkk (1996), disimpulkan dari hasil penelitiannnya bahwa mekanisme flooding tergantung pada diameter pipa. Mereka juga menyatakan bahwa pada pipa diameter kecil terjadi pergerakan gelombang ke atas, sedangkan pipa diameter besar terjadinya droplets atau butiran-butiran cairan dekat masukan cairan. Watson dan Hewitt (1998) seperti yang dikemukaan Vijayan dkk (2001) (didalam Fiedler. S, dkk, 2002) bahwa pada diameter pipa kurang 30 mm, flooding terjadi oleh adanya gerakan naik gelombang besar sedangkan diameter di atas 65mm terjadi droplets atau cairan yang tidak stabil. Mahmuddin dan Indarto (2006), menyimpulkan bahwa, flooding terjadi fluktuasi aliran dengan munculnya gelombang kecil yang merambat ke atas dan kemudian terjadi penyumbatan saluran oleh cairan sehingga mengakibatkan

flooding. Fenomena ini juga terjadi pada saluran berdiameter 32 mm, tetapi terjadi pada kecepatann udara yang lebih tinggi Mahmuddin dkk (2006).Mouza dkk (2002) melakukan kajian mekanisme flooding dengan memperlihatkan pengaruh diameter pipa, sudut kemiringan dan sifat-sifat fisis cairan. Diameter pipa yang digunakan adalah 6, 7, 8 dan 9 mm, dengan sudut kemiringan pipa 30, 60 dan 900 dari posisi horizontal. Fluida kerja terdiri dari air, minyak tanah, dan udara dengan properti masing-masing cairan seperti dalam Tabel 1. Tabel 1. Properti cairan dalam penelitian yang dipakai oleh Mouza dkk (2002).Properti No cairan 1 , (kg/m3) 2 , (kg/m.s) 3 , (kg/s2) Minyak tanah 800 1,4x10-3 0,028 air 1000 1,0x10-3 0,072 udara 1,2 1,8x10-5 -

Pada pipa vertikal, mereka melaporkan bahwa pada Reynolds cairan rendah (ReL