volume 8 no.2 september 2012portal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/958/1... · eksperimen...

17
Perancangan Sstem Informasi Geografis Daerah Penghasil Komoditas Pertanian Unggul Di Indonesia Berlin P. Sitorus Rancang Bangun Game RPG (Role Playing Game) Again ST The Boss Dengan Macromedia Flash Profesional 8 Hernalom M. Sitorus, Bosar Panjaitan, Glory Ganawil Rancangan Sistem Informasi Nilai (Raport) berbasis Web di SMK Perwira Pertumpun Gurusinga, Siti Fitrianah Perancangan Dan Implementasi Sistem Informasi Pemesanan Tiket Pesawat Pada PT. Maxima Mandira Wisata Berbasis WEB Prionggo Hendradi dan Kunto Ari Wahyudi Pengolahan Sampah Skala Rumah Tangga Menggunakan Metode Komposting Yusriani Sapta Dewi, Tressnowati Pengolahan Limbah Kelapa Sawit Seca Biologi Dalam Kolam Aerobik Dan Anaerobik Dengan Memanfaatkan Mikroba Nurani Retno Asih Volume 8 No.2 September 2012 9 772161 184400 ISSN 0216-1184

Upload: truongkhanh

Post on 29-May-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Perancangan Sstem Informasi Geografis Daerah Penghasil Komoditas

Pertanian Unggul Di Indonesia

Berlin P. Sitorus

Rancang Bangun Game RPG (Role Playing Game) Again ST The Boss

Dengan Macromedia Flash Profesional 8

Hernalom M. Sitorus, Bosar Panjaitan, Glory Ganawil

Rancangan Sistem Informasi Nilai (Raport) berbasis Web di SMK Perwira

Pertumpun Gurusinga, Siti Fitrianah

Perancangan Dan Implementasi Sistem Informasi Pemesanan Tiket

Pesawat Pada PT. Maxima Mandira Wisata Berbasis WEB

Prionggo Hendradi dan Kunto Ari Wahyudi

Pengolahan Sampah Skala Rumah Tangga Menggunakan Metode Komposting

Yusriani Sapta Dewi, Tressnowati

Pengolahan Limbah Kelapa Sawit Seca Biologi Dalam Kolam Aerobik

Dan Anaerobik Dengan Memanfaatkan Mikroba

Nurani Retno Asih

Volume 8 No.2 September 2012

9 7 7 2 1 6 1 1 8 4 4 0 0

I SSN 21611 84

ISSN 0216-1184

Volume 8 Nomor 2 Tahun 2012 ISSN 0216-1184

JURNAL ILMIAH FAKULTAS TEKNIK

L I M I T’S

SUSUNAN REDAKSI

Pimpinan Umum/Penanggung Jawab: Berlin Sitorus, S.Kom.,M.Kom (Dekan Fakultas Teknik)

Staff Ahli: Dr. Ir. Jupiter Sitorus, M.Eng. Dr. Yusriani Sapta Dewi, MSi. Dr. Ir Tambak Manurung, MS.

Drs. S.H. Hutapea, M.Kom

Pimpinan Redaksi: Ir. Nunung Nurhayati, M.Si

Sekretaris Redaksi:

Kiki Kusumawati, ST, MMSi.

Anggota Dewan Redaksi: Drs. Charles Situmorang, M.Si.

Sukarno Bahat Nauli Sitorus, S.Kom., M.Kom. Agung Priambodo, S.Kom., M.Kom. Dra. Pertumpun Gurusinga, M.MSi.

Hernalom Sitorus, ST.,M.Kom. Bosar Panjaitan, SSi.,M.Kom. Riama Sibarani, SSi.M.MSi

Prionggo Hendradi, S.Kom.M.Kom

Sekretariat: Lina Mursadi, SE.

Alamat Redaksi Publikasi Ilmiah:

Fakultas Teknik – Universitas Satya Negara Indonesia Jl. Arteri Pondok Indah No. 11 Jakarta Selatan 12240 Indonesia

Telp. (021) 7398393, Fax: (021) 7200352 http://www.usni.ac.id

DAFTAR ISI

Perancangan Sstem Informasi Geografis Daerah Penghasil Komoditas 1 - 10

Pertanian Unggul Di Indonesia

Berlin P. Sitorus

Rancang Bangun Game RPG (Role Playing Game) Again ST The Boss

Dengan Macromedia Flash Profesional 8 11 - 18

Hernalom M. Sitorus, Bosar Panjaitan, Glory Ganawil

Rancangan Sistem Informasi Nilai (Raport) berbasis Web di SMK Perwira 19 - 25

Pertumpun Gurusinga, Siti Fitrianah

Perancangan Dan Implementasi Sistem Informasi Pemesanan Tiket 26 - 34

Pesawat Pada PT. Maxima Mandira Wisata Berbasis WEB

Prionggo Hendradi dan Kunto Ari Wahyudi

Pengolahan Sampah Skala Rumah Tangga

Menggunakan Metode Komposting 35- 48

Yusriani Sapta Dewi, Tressnowati

Pengolahan Limbah Kelapa Sawit Seca Biologi Dalam Kolam Aerobik 49 - 55

Dan Anaerobik Dengan Memanfaatkan Mikroba

Nurani Retno Asih

PENGOLAHAN SAMPAH SKALA RUMAH TANGGA MENGGUNAKAN METODE KOMPOSTING

Yusriani Sapta Dewi dan Treesnowati

Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Satya Negara Indonesia

[email protected]

Abstrak

Salah satu cara mengolah sampah organik adalah dengan metode komposting yang akan menghasilkan kompos. Pada prinsipnya pengembangan teknologi pengomposan didasarkan pada proses penguraian bahan organik yang terjadi secara alami. Prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (<20). Tujuan penelitian ini adalah mengolah

sampah rumah tangga pada skala rumah tangga dengan menggunakan metoda komposting,

sehingga didapat kompos dengan hasil yang terbaik. Metode yang digunakan adalah metode

eksperimen dengan menggunakan variasi activator EM4 dan jenis pupuk kandang. Analisis data

deskriptif. Hasil yang didapatkan adalah variasi 75 ml EM4 dari 100 ml aktivator pupuk kandang

kambing menghasilkan kompos dengan kandungan C/N optimal untuk mendukung perkembangan generatif tanaman.

Kata kunci : sampah organik, komposting, EM4

abstract

One way to process organic waste composting is a method that will produce compost. In principle, the development of composting technology is based on the decomposition process of organic materials that occur naturally. The principle of composting is to lower the C / N ratio of organic matter to the same as the C / N soil (<20). The purpose of this study was to process household waste at household level by using the method of composting, making compost obtained the best results. The method used is an experimental method using EM4 activator variations and types of manure. Descriptive data analysis. The result is variation in 75 ml of 100 ml EM4 activator produces goat manure compost with the content of C/N optimized to support the development of generative plants. Keywords: organic waste, composting, EM4

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Sampah didefinisikan sebagai limbah yang bersifat padat terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan (SNI Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan, 2004). Bila diasumsikan rata-rata volume sampah per orang sebesar 3 l/orang/hari, maka volume sampah di Indonesia pada tahun 1971 adalah 357.624,687 m

3/hari dan meningkat di tahun 2010

menjadi 712.923,978 m3/hari.

Meningkatnya timbulan sampah dari hari ke hari bila tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan permasalahan. Pengelolaan sampah perkotaan saat ini dikelola oleh Pemerintah Daerah. PEMDA saat ini belum menempatkan pengelolaan persampahan sebagai prioritas pembangunan sejajar dengan aspek pembangunan penting lainnya, sehingga hal tersebut menimbulkan masalah mulai dari sistem pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan. Masalah pada sistem pengumpulan antara lain

Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik LIMIT’S Vol.8 No.2

35

adalah belum adanya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya, sehingga menyebabkan banyak sampah yang tercecer di luar tempat pengumpulan sampah. Pada sistem pengangkutan masalah yang timbul umumnya karena jumlah armada tidak sebanding dengan jumlah sampah yang harus diangkut, sehingga banyak sampah yang tersimpan lama di tempat pengumpulan sebelum akhirnya dibuang ke tempat pembuangan akhir. Pada sistem pembuangan, masalah yang umumnya terjadi adalah lahan yang tersedia tidak sesuai dengan sampah yang harus diolah.

Rata-rata sampah di Indonesia terbanyak bersumber dari permukiman dan pasar tradisional. Pada sebuah penelitian diketahui bahwa sampah yang berasal dari permukiman umumnya sangat beragam, tetapi secara umum minimal 75% terdiri dari sampah organik dan sisanya anorganik. Sedangkan sampah pasar khusus seperti pasar sayur mayur, pasar buah, atau pasar ikan, jenisnya relatif seragam, sebagian besar (95%) berupa sampah organic (http://id.wikipedia.org/wiki/Sampah_Organik, ---).

Terdapat berbagai macam cara mengolah sampah organik, salah satunya adalah komposting yang akan menghasilkan kompos. Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembap, dan aerobik atau anaerobik (Crawford.J.H, ---). Sedangkan pengomposan adalah proses di mana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan (http://id.wikipedia.org/wiki/Kompos, ---). Dari latar belakang masalah di atas, maka menerik untuk diteliti tentang proses composting.

Rumusan Masalah Bagaimana proses mengolah sampah skala rumah tangga menggunakan metode composting ? Tujuan Penelitian

Mengolah sampah rumah tangga pada skala rumah tangga dengan menggunakan metoda

komposting, sehingga didapat kompos dengan hasil yang terbaik.

LANDASAN TEORI Umum

Secara alami bahan-bahan organik akan mengalami penguraian di alam dengan bantuan mikroba maupun biota tanah lainnya. Namun proses pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung lama dan lambat. Untuk mempercepat proses pengomposan ini telah banyak dikembangkan teknologi-teknologi pengomposan. Baik pengomposan dengan teknologi sederhana, sedang, maupun teknologi tinggi. Pada prinsipnya pengembangan teknologi pengomposan didasarkan pada proses penguraian bahan organik yang terjadi secara alami. Proses penguraian dioptimalkan sedemikian rupa sehingga pengomposan dapat berjalan dengan lebih cepat dan efisien. Teknologi pengomposan saat ini menjadi sangat penting artinya terutama untuk mengatasi permasalahan limbah organik, seperti untuk mengatasi masalah sampah di kota-kota besar, limbah organik industri, serta limbah pertanian dan perkebunan. Teknologi pengomposan sampah sangat beragam, baik secara aerobik maupun anaerobik, dengan atau tanpa aktivator pengomposan. Aktivator pengomposan yang sudah banyak beredar antara lain: PROMI (Promoting Microbes), OrgaDec, SuperDec, ActiComp, BioPos, EM4, Green Phoskko Organic Decomposer dan SUPERFARM (Effective Microorganism)atau menggunakan cacing guna mendapatkan kompos (vermicompost). Setiap aktivator memiliki keunggulan sendiri-sendiri. Pengomposan secara aerobik paling banyak digunakan, karena mudah dan murah untuk dilakukan, serta tidak membutuhkan kontrol proses yang terlalu sulit. Dekomposisi bahan dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bahan itu sendiri dengan bantuan udara. Sedangkan pengomposan secara anaerobik memanfaatkan mikroorganisme yang tidak membutuhkan udara dalam mendegradasi bahan organik.

Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik LIMIT’S Vol.8 No.2

36

Dasar-dasar Pengomposan Bahan-Bahan Yang Dapat Dikomposkan Pada dasarnya semua bahan-bahan organik padat dapat dikomposkan, misalnya: limbah organik rumah tangga, sampah-sampah organik pasar/kota, kertas, kotoran/limbah peternakan, limbah-limbah pertanian, limbah-limbah agroindustri, limbah pabrik kertas, limbah pabrik gula, limbah pabrik kelapa sawit, dll. Bahan organik yang sulit untuk dikomposkan antara lain: tulang, tanduk, dan rambut. Faktor yang memengaruhi proses Pengomposan Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah padat organik. Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri.

Faktor-faktor yang memperngaruhi proses pengomposan antara lain:

1. Rasio C/N Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat. Umumnya, masalah utama pengomposan adalah pada rasio C/N yang tinggi, terutama jika bahan utamanya adalah bahan yang mengandung kadar kayu tinggi (sisa gergajian kayu, ranting, ampas tebu, dsb). Untuk menurunkan rasio C/N diperlukan perlakuan khusus, misalnya menambahkan mikroorganisme selulotik (Toharisman, A. 1991) atau dengan menambahkan kotoran hewan karena kotoran hewan mengandung banyak senyawa nitrogen.

2. Ukuran Partikel Aktivitas mikroba berada di antara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.

3. Aerasi Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen(aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh porositas dan kandungan air bahan(kelembapan). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos.

4. Porositas Porositas adalah ruang di antara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplai Oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu.

5. Kelembapan (Moisture content) Kelembapan memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplay oksigen. Mikrooranisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembapan 40 - 60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembapan di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembapan 15%. Apabila kelembapan lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap.

6. Temperatur/suhu Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan

Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik LIMIT’S Vol.8 No.2

37

semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30 - 60

oC menunjukkan aktivitas pengomposan

yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60oC akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba

thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma.

7. pH Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 hingga 7.4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral.

8. Kandungan Hara Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan biasanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan.

9. Kandungan Bahan Berbahaya Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nickel, Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan.

10. Lama pengomposan Lama waktu pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposkan, metode pengomposan yang dipergunakan dan dengan atau tanpa penambahan aktivator pengomposan. Secara alami pengomposan akan berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun hingga kompos benar-benar matang.

Strategi Mempercepat Proses Pengomposan

Pengomposan dapat dipercepat dengan beberapa strategi. Secara umum strategi untuk mempercepat proses pengomposan dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu:

1. Memanipulasi kondisi/faktor-faktor yang berpengaruh pada proses pengomposan. 2. Menambahkan organisme yang dapat mempercepat proses pengomposan: mikroba pendegradasi

bahan organik dan vermikompos (cacing). 3. Menggabungkan strategi pertama dan kedua.

Strategi ini banyak dilakukan di awal-awal berkembangnya teknologi pengomposan.

Kondisi atau faktor-faktor pengomposan dibuat seoptimum mungkin. Sebagai contoh, rasio C/N yang optimum adalah 25-35:1. Untuk membuat kondisi ini bahan-bahan yang mengandung rasio C/N tinggi dicampur dengan bahan yang mengandung rasio C/N rendah, seperti kotoran ternak. Ukuran bahan yang besar-besar dicacah sehingga ukurannya cukup kecil dan ideal untuk proses pengomposan. Bahan yang terlalu kering diberi tambahan air atau bahan yang terlalu basah dikeringkan terlebih dahulu sebelum proses pengomposan. Demikian pula untuk faktor-faktor lainnya.

Strategi proses pengomposan yang saat ini banyak dikembangkan adalah mengabungkan dua strategi di atas. Kondisi pengomposan dibuat seoptimal mungkin dengan menambahkan aktivator pengomposan.

Seringkali tidak dapat menerapkan seluruh strategi pengomposan di atas dalam waktu yang bersamaan. Ada beberapa pertimbangan yang dapat digunakan untuk menentukan strategi pengomposan:

1. Karakteristik bahan yang akan dikomposkan. 2. Waktu yang tersedia untuk pembuatan kompos. 3. Biaya yang diperlukan dan hasil yang dapat dicapai. 4. Tingkat kesulitan pembuatan kompos

Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik LIMIT’S Vol.8 No.2

38

Prinsip Proses Pengomposan Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena perbandingan

kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan C/N tanah. Rasio C/N merupakan perbandingan antara karbohidrat (C) dan nitrogen (N). Rasio C/N tanah berkisar antara 10-12. Apabila bahan organik mempunyai rasio C/N mendekati atau sama dengan rasio C/N tanah, maka bahan tersebut dapat digunakan tanaman. Namun pada umumnya bahan organik segar mempunyai rasio C/N tinggi (jerami 50-70, dedaunan tanman 50-60, kayu-kayuan > 400, dll).

Prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (<20). Semakin tinggi rasio C/N bahan organik maka proses pengomposan atau perombakan bahan semakin lama. Waktu yang dibutuhkan bervariasi dari satu bulan hingga beberapa tahun tergantung bahan dasar. Proses perombakan bahan organik terjadi secara biofisika-kimia, melibatkan aktivitas biologi mikroba dan mesofauna. Secara alami proses peruraian tersebut bisa dalam keadaan aerob (dengan O2) maupun anaerob (tanpa O2). Proses penguraian aerob dan anaerob secara garis besar sebagai berikut:

Mikroba aerob

Bahan organik + O2 --------------------> H2O + CO2 + hara + humus + energi

N, P, K

Mikroba anaerob

Bahan organik --------------------> CH4 + hara + humus

N, P, K

Pada bahan organik yang telah terdekomposisi (menjadi kompos) telah terjadi proses mineralisasi unsur hara dan terbentuk humus yang sangat bermanfaat bagi kesuburan dan kesehatan tanah. Organisme apa saja yang terlibat dalam pengomposan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Organisme Yang Terlibat Dalam Proses Pengomposan

Kelompok Organisme Organisme Jumlah/gr kompos

Mikroflora Bakteri; Aktinomicetes; Kapang

109 - 10

9; 10

5 10

8; 10

4 -

106

Mikrofanuna Protozoa 104 - 10

5

Makroflora Jamur tingkat tinggi

Makrofauna Cacing tanah, rayap, semut, kutu, dll

Sumber: -----, Kompos, http://id.wikipedia.org/wiki/Kompos, ----

Sifat dan Karakteristik Kompos Karakteristik umum yang dimiliki kompos antara lain: (1) mengandung unsur hara dalam jenis

dan jumlah bervariasi tergantung bahan asal; (2) menyediakan unsur hara secara lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas; dan (3) mempunyai fungsi utama memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah. Berikut ini diuraikan fungsi kompos dalam memperbaiki kualitas kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah.

Sifat Fisika Tanah Kompos memperbaiki struktur tanah yang semula padat menjadi gembur sehingga mempermudah pengolahan tanah. Tanah berpasir menjadi lebih kompak dan tanah lempung menjadi lebih gembur. Penyebab kompak dan gemburnya tanah ini adalah senyawa-senyawa polosakarida yang dihasilkan oleh mikroorganisme pengurai serta miselium atau hifa yang berfungsi sebagai perekat partikel tanah. Dengan struktur tanah yang baik ini berarti difusi O2 atau aerasi akan lebih banyak sehingga proses fisiologis di akar akan lancar. Perbaikan agregat tanah menjadi lebih cepat sehingga mempermudah penyerapan air ke dalam tanah dan proses erosi dapat dicegah. Kadar bahan organik yang tinggi di dalam tanah memberikan warna tanah yang lebih gelap (warna humus coklat kehitaman), sehingga penyerapan energi sinar matahari lebih banyak dan fluktuasi suhu di dalam tanah dapat dihindarkan. Institut Pertanian Bogor (IPB) melaporkan bahwa

Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik LIMIT’S Vol.8 No.2

39

takaran kompos sebanyak 5 ton/ha meningkatkan kandungan air tanah pada tanah-tanah yang subur.

Sifat Kimia Tanah Kompos merupakan sumber hara makro dan mikromineral secara lengkap meskipun dalam jumlah yang relatif kecil (N, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, B, Zn, mo dan SI). Dalam jangka panjang, pemberian kompis dapat memperbaiki pH dan meningkatkan hasil tanaman pertanian pada tanah-tanah masam. Pada tanah-tanah yang kandungan P tersedia rendah, bentuk fosfat organik mempunyai peranan penting dalam penyediaan hara tanaman karena hampir sebagian besar P yang diperlukan tanaman terdapat pada senyawa P-organik. Sebagian besar P-organik dalam organ tanaman terdapat sebagai fitin, fosfolipid, dan asam nukleat. Kedua yang terakhir hanya terdapat sedikit dalam bahan organik tanah karena senyawa tersebut sangat penting dalam tanah (karena kemampuannya membentuk senyawa dengan kation poilvalen), terdapat dalam jumlah relatif tinggi, tetapi yang dekomposisinya lambat ialah inositol. Kompos juga mengandung humus (bunga tanah) yang sangat dibutuhkan untuk peningkatan hara makro dan mikro dan sangat dibutuhkan tanaman. Misel humus mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) yang lebih besar daripada misel lempung (3 – 10 kali) sehingga penyediaan hara makro dan mikromemineral lebih lama. Kapasitas tukar kation (KTK) asam-asam organik dari kompis lebih tinggi dibandingkan mineral liat, namun lebih peka terhadap perubahan pH karena mempunyai sumber muatan tergantung pH (pH dependent change). Pada nilai pH 3,5, KTK liat dan C-organik sebesar 45,5 dan 199,5 me 100 g

-1 sedangkan pada pH 6,5 meningkat menjadi 63

dan dan 325,5 me 100 g-1

. Nilai KTK mineral liat kaolinit (3-5 me 100 g-1

), linit (30 – 40 me 100 g-

1), montmorilonit (80 – 150 me 100 g

-1), sedangkan pada asam humat (485 -870 me 100 g

-1) dan

asam fulfat (1.400 me 100 g-1

). Oleh karena itu, penambahan kompos ke dalam tanah dapat meningkatkan nilai KTK tanah (Tan KH, 1991). Peranan bahan organik yang juga penting pada tanah adalah kemampuannya bereaksi dengan ion logam untuk membentuk senyawa kompleks. Dengan demikian ion logam yang bersifat meracuni tanaman serta merugikan penyediaan hara pada tanah seperti Al, Fe dan Mn dapat diperkecil dengan adanya khelat dengan bahan organik.

Sifat Biologi Tanah Kompos banyak mengandung mikroorganisme (fungi, aktinomisetes, bakteri dan alga). Dengan ditambahkannya kompos ke dalam tanah tidak hanya jutaan mikroorganisme yang ditambahkan, akan tetapi mikroorganisme yang ada dalam tanah juga terpacu untuk berkembang. Proses dekomposisi lanjut oleh mikro-organisme akan tetap terus berlangsung tetapi tidak mengganggu tanaman. Gas CO2 yang dihasilkan mikroorganisme tanah akan dipergunakan untuk fotosintesis tanaman, sehingga pertumbuhan tanaman akan lebih cepat. Amonifiksi, nitrifikasi, dan fiksasi nitrogen juga meningkat karena pemberian bahan organik sebagai sumber karbon yang terkandung di dalam kompos. Aktivitas berbagai mikroorganisme di dalam kompos menghasilkan hormon-hormon pertumbuhan, misalnya auksin, giberelin dan sitokirin yang memacu pertumbuhan dan perkembangan akar-akar rambut sehingga daerah pencarian makanan lebih luas. Pemberian kompos pada lahan sawah akan membantu mengendalikan atau mengurai populasi nematoda, karena bahan organik memacu perkembangan musuh alam nematoda, yaitu cendawan dan bakteri serta memberi kondisi yang kurang menguntungkan bagi perkembangan nematoda (Ladd, JN, 1985).

Jenis dan Sumber Bahan Kompos Bahan organik yang dapat digunakan sebagai sumber pupuk organik dapat berasal dari limbah

hasil pertanian dan non pertanian (limbah kota dan limbah industri) (Kurnia, U, Setyorini, T. Prihatini, S. Rochayati, Sutono dan H Suganda, 2001). Dari hasil pertanian antara lain berupa sisa tanaman (jerami dan brangkasan), sisa hasil pertanian (sekam padi, kulit kacang tanah, ampas tebu, dan belontong), pupuk kandang (kotoran sapi, kerbau, ayam, itik dan kuda), dan pupuk hijau. Limbah kota atau sampah

Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik LIMIT’S Vol.8 No.2

40

organik kota biasanya dikumpulkan dari pasar-pasar atau sampah rumah tangga dari daerah permukiman serta taman-taman kota. Limbah industri yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik antara lain limbah industri pangan. Berbagai bahan organik tersebut dapat dijadikan pupuk organik melalui teknologi pengomposan sederhana maupun dengan penambahan mikroba perombak serta pengkayaan dengan hara lain.

Pupuk organik yang berasal dari pupuk kandang merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dibanding bahan pembelah lainnya. Kadar hara yang dikandung pupuk organik pada umumnya rendah dan sangat bervariasi. Sebagai bahan pembenah tanah, pupuk organik membantu dalam mencegah terjadinya erosi dan mengurangi terjadinya retakan tanah. Pemberian bahan organik mampu meningkatkan kelembapan tanah dan memperbaiki porositas tanah.

Sisa Tanaman Kandungan hara beberapa tanaman pertanian ternyata cukup tinggi dan bermanfaat

sebagai sumber energi utama mikroorganisme di dalam tanah. Apabila digunakan sebagai mulsa, maka ia akan mengontrol kehilangan air melalui evaporasi dari permukaan tanah, dan pada saat yang sama dapat mencegah erosi tanah. Hara dalam tanaman dapat dimanfaatkan setelah tanaman mengalami dekompososisi. Kandungan haranya sangat bervariasi tergantung dari jenis bahan tanaman. Rasio C/N sisa tanaman bervariasi dari 80:1 pada jeram gandum hingga 20:1 pada tanaman legum. Selama proses dekomposisi ini nilai rasio C/N akan menurun mendekati 10:1 pada saat bahan tersebut bercampur dengan tanah. Kotoran Hewan

Kotoran hewan yang berasal dari usaha tani pertanian antara lain adalah kotoran ayam, sapi, kerbau, kambing, kuda dsb. Komposisi hara pada masing-masing kotoran hewan berbeda tergantung pada jumlah dan jenis makanannya. Secara umum, kandungan hara dalam kotoran hewan jauh lebih rendah daripada pupuk kimia sehingga takaran penggunaannya juga akan lebih tinggi. Hara dalam kotoran hewan ini ketersediaannnya lambat sehingga tidak mudah hilang. Ketersediaan hara sangat dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi/mineralisasi dari bahan-bahan tersebut. Rendahnya ketersediaan hara dari pupuk kandang antara lain disebabkan karena bentuk N, P serta unsur lain terdapat dalam bentuk senyawa kompleks organo protein atau senyawa asam humat atau lignin yang sulit terdekomposisi. Selain mengandung hara bermanfaat, pupuk kandang juga mengandung bakteri saprolitik, pembawa penyakit, dan parasit mikroorganisme yang dapat membahayakan hewan atau manusia. Contohnya: kotoran ayam mengandung salmonela sp. Oleh karena itu pengelolaan dan pemanfaatan pupuk kandang harus hati-hati.

Tabel 2 Kandungan Hara Beberapa Jenis Kotoran Hewan

Sumber N P K Ca Mg S Fe

% % % % % % %

Sapi perah 0.53 0.35 0.41 0.28 0.11 0.05 0.004

Sapi daging 0.65 0.15 0.3 0.12 0.1 0.09 0.004

Kuda 0.7 0.1 0.58 0.79 0.14 0.07 0.01

Unggas 1.5 0.77 0.89 0.3 0.88 0 0.1

Domba 1.28 0.19 0.93 0.59 0.19 0.09 0.02

Sumber: Tan K H, 1993, Environmental Soil Science, Marcel Dekker Inc, New York Hasil penelitian pembuatan kompos dari kotoran hewan di Jepang menunjukkan bahwa

10 – 25 % dari N dalam bahan asal kompos akan hilang sebagai gas NH3 selama proses pengomposan. Selain itu dihasilkan pula 5% CH4 dan sekitar 30% N2O yang berpotensi untuk mencemari lingkungan sekitarnya. Sebaliknya kan terjadi penyusutan volume bahan dan mempunyai rasio C/N yang lebih rendah dan suhu 60 – 65oC saat proses pengomposan berakhir.

Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik LIMIT’S Vol.8 No.2

41

Kematangan Kompos Kematangan kompos ditunjukkan oleh hal-hal berikut:

C/N rasio mempunyai nilai (10 – 20) : 1

Suhu sesuai dengan suhu air tanah

Berwarna kehitaman dan tekstur seperti tanah

Berbau tanah

Tidak Mengandung Bahan Asing seperti : Semua bahan pengotor organik atau anorganik seperti logam, gelas, plastik dan karet. Pencemar lingkungan seperti senyawa logam berat, B3 dan kimia organik seperti pestisida

Unsur Mikro Unsur mikro nilai-nilai ini dikeluarkan berdasarkan:

Konsentrasi unsur-unsur mikro yang penting untuk pertumbuhan tanaman (khususnya Cu, Mo, Zn)

Logam berat yang dapat membahayakan manusia dan lingkungan tergantung pada konsentrasi maksimum yang diperbolehkan dalam tanah, seperti dalam spesifikasi kompos dari sampa organik domestik

Organisme Patogen Organisme pathogen tidak melampaui batas berikut:

Fecal coli 1000 MPN/gr total solid dalam keadaan kering

Salmonella sp 3 MPN/4 gr total solid dalam keadaan kering Hal tersebut dapat dicapai dengan menjaga kondisi operasi pengomposan pada temperatur 55

oC.

Pencemar Organik Kompos yang dibuat tidak mengandung bahan aktif pestisida yang dilarang sesuai

dengan Kepmen Pertanian No 434.1/KPTS/TP.27/7/2001 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida pada Pasal 6 mengenai jenis-jenis pestisida yang mengandung bahan akrif yang telah dilarang.

Karakteristik Lainnya

Bahan organik : Minimal 27%

Kadar air : Maksimal yang diperbolehkan 50%

Indikator nilai agronomis : - pH dari kompos harus netral

- konsentrasi N, P2O5 dan K2O, konsentrasi unsur humus utama dalam kompos N, P2O5 dan K2O dari masing-masing tipe kompos tergantung dari penggunaan.

- Kemampuan mengikat air, kemampuan kompos dalam mengikat air untuk menetapkan dalam mengevaluasi kualitas kompos

METODOLOGI PENELITIAN Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen. Bahan dan Alat dengan bahan baku pembuatan adalah : sayuran bahan baku kompos, pupuk kandang dan sapi, tanah penutup, EM4 (effectivitas mikroorganisme), gula jawa, pot plastic, sekop pengaduk, plastik penutup, thermometer.

Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik LIMIT’S Vol.8 No.2

42

Tabel 3. Skema variasi penelitian

No Percobaan EM4 + Gula Jawa Pupuk Kandang

50 ml 75 ml 100 ml Sapi Kambing

1 I × ×

2 II × ×

3 III × ×

4 IV × ×

5 V × ×

6 VI × ×

Gambar 1. Skema pembuatan kompos

Prosedur Pengujian

Gambar 2. Diagram alir penelitian

3 cm

3 cm

3 cm

tanah penutup

pupuk kandang

sampah organik

tanah dasar

10 cm

Pengukuran volume sampah

Sampah organik (sayuran segar)

Pot plastik yang telah diberi dasar lapisan tanah

Larutan EM4

penutupan dengan pupuk kandang dan tanah

Pemantauan setiap hari:

pengukuran suhu dan pembalikan

pros

es p

engo

mpo

san

3 m

ingg

u

Kompos Matang

Pengukuran C/N rasio diakhir

penelitian

Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik LIMIT’S Vol.8 No.2

43

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan pada percobaan ini adalah: 1. Proses komposting

- Perubahan suhu harian - Perubahan fisik

2. Setelah menjadi kompos - Proses pertumbuhan di masing-masing media kompos

Perubahan Suhu Harian Dari pengamatan temperatur harian, diketahui bahwa temperatur untuk percobaan yang menggunakan pupuk kandang kambing lebih berfluktuasi

Tabel 3.Pengamatan Temperatur Harian

URAIAN P E R C O B A A N

1 2 3 4 5 6

EM + gula jawa (ml) 50 75 100 50 75 100

Pupuk kandang sapi sapi sapi kambing kambing kambing

Mulai percobaan 28/5/2012 28/5/2012 30/5/2012 30/5/2012 31/5/2012 31/5/2012

Temperatur (oC):

hari ke-1 25 25 25 25 27 27

hari ke-2 30 35 32 29 28 28

hari ke-3 27 29 28 28 30 30

hari ke-4 25 28 29 30 29 30

hari ke-5 25 28 28 28 29 30

hari ke-6 25 28 29 29 29 30

hari ke-7 32 28 29 29 29 29

hari ke-8 30 28 29 30 28 28

hari ke-9 28 27 28 28 29 28

hari ke-10 28 28 28 29 28 27

hari ke-11 27 26 28 28 29 28

hari ke-12 27 27 28 28 29 28

hari ke-13 26 27 28 28 27 27

hari ke-14 27 28 27 27 28 28

hari ke-15 28 28 28 28 28 28

hari ke-16 27 27 28 29 28 28

hari ke-17 28 28 28 28 27 27

hari ke-18 28 28 27 27 28 28

Keterangan : Pembalikan

Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik LIMIT’S Vol.8 No.2

44

Gb. 3. Pengamatan Temperatur Harian Percobaan 1 Gb. 4. Pengamatan Temperatur Harian Percobaan 2

Gb. 5. Pengamatan Temperatur Harian Percobaan 3 Gb. 6. Pengamatan Temperatur Harian Percobaan 4

Gb. 7. Pengamatan Temperatur Harian Percobaan 5 Gb. 8. Pengamatan Temperatur Harian Percobaan 6

Peningkatan suhu pada proses komposting merupakan satu gambaran aktivitas mikroorganisma (Kahlon & Kalra. 1986). Pada peringkat ini yaitu fasa lag, mikroorganisma campuran sedang menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungan baru (Pagga 1999; Polprasert 1985). Fasa lag akan diikuti dengan peningkatan suhu sehingga mencapai suhu maksimum. Mikroba yang aktif pada kondisi suhu tinggi adalah mikroba termofilik. Pada saat ini terjadi penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikrobamikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas (Rynk, 1992)

Untuk pengontrolan suhu supaya memenuhi syarat optimum penguraian pada timbunan kompos dilakukan pengudaraan langsung ke timbunan kompos dengan cara pembalikan (Robinzon et al, 2000). Pembalikan yang dilakukan mulai di hari ke-11 menyebabkan suhu di hari selanjutnya menurun dan stabil.

0

5

10

15

20

25

30

35

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Axis Title

Pengamatan Suhu Percobaan 1

Perkembangan temperatur

Te

mp

era

tur

(oC

)

Hari ke

0

5

10

15

20

25

30

35

40

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Axis Title

Pengamatan Suhu Percobaan 2

Perkembangan temperatur

Te

mp

era

tur

(oC

)

Hari ke

0

5

10

15

20

25

30

35

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Pengamatan Suhu Percobaan 3

Perkembangan temperatur

Te

mp

era

tur

(oC

)

Hari ke

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Axis Title

Pengamatan Suhu Percobaan 4

Perkembangan temperatur

Te

mp

era

tur

(oC

)

Hari ke

25.526

26.527

27.528

28.529

29.530

30.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Pengamatan Suhu Percobaan 5

Perkembangan temperatur

Te

mp

era

tur

(oC

)

Hari ke

25.526

26.527

27.528

28.529

29.530

30.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Pengamatan Suhu Percobaan 6

Perkembangan temperatur

Te

mp

era

tur

(oC

)

Hari ke

Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik LIMIT’S Vol.8 No.2

45

Pengamatan Pada Perubahan Fisik

Untuk menjaga suhu dan kelembaban kompos yang merata maka dilakukan pembalikan. Pembalikan dilakukan pada perioda hari ke-11 hingga hari ke-16. Temuan yang didapat selama proses komposting adalah sbb:

- Sampel 1 : hari ke 3 timbul air lindi - Sampel 2 : hari ke 3 timbul air lindi

hari ke 16 tumbuh lalat kecil dan kondisi tanah kompos basah - Sampel 3 : hari ke 3 timbul air lindi - Sampel 4 : hari ke 3 timbul air lindi - Sampel 5 : hari ke 3 timbul air lindi

hari ke 13 tumbuh ulat dan kondisi tanah kompos basah - Sampel 6 : hari ke 3 timbul air lindi

hari ke 13 tumbuh lalat kecil dan kondisi tanah kompos basah Pada hari ke-18 semua sampel memiliki ciri-ciri sbb:

- Tidak terlihat bahan aslinya (daun), tetapi menjadi butiran seperti tanah.

- Tidak berbau sampah atau busuk, tetapi berbau tanah.

- Wama kehitaman atau coklat kehitaman.

- Suhu sama dengan suhu tanah.

- Tidak berbau busuk, tetapi berbau tanah.

Air lindi dan bau busuk yang dihasilkan selama proses kompos terjadi karena: Air lindi merupakan cairan yang timbul akibat pembusukan sampah. Pada volume yang berlebih air lindi dapat mematikan mikroba aerob. Pada kondisi ini sudah tidak ada lagi kandungan O2, sehingga kemudian yang bekerja adalah mikroba anaerob, dan terjadilah proses pembusukan. Mikroba pembuat kompos perlu udara segar (oksigen) untuk tumbuh dan berkembang biak (mikroba aerob). Pada saat udara habis, mikroba anaerob akan mengambil alih. Mereka menguraikan secara lebih lambat, menghasilkan gas metan yang beracun dan gas H2S yang berbau seperti telur busuk. Keluar air lindi yang berwarna hitam dan berbau busuk.

Pada lapisan sampah yang baru, masih terkandung cukup oksigen. Tetapi kalau mikroba sudah mulai tumbuh, dan kompos sudah mulai terbentuk, mikroba ini memerlukan banyak oksigen, hal inilah yang menyebabkan pembalikan sampah perlu dilakukan agar udara segar dapat masuk.

Tumbuhnya ulat dan lalat disebabkan karena sampah merupakan tempat perindukan yang disenangi lalat. Pada wadah kompos yang tidak tertutup rapat, memberikan peluang kepada lalat untuk kontak dengan sampah dan melakukan perkembangbiakan. Secara umum tempat yang disenangi lalat untuk berkembang biak adalah tempat yang basah seperti sampah basah, kotoran binatang, tumbuh-tumbuhan busuk, kotoran yang menumpuk secara kumulatif (dikandang). (http://www.depkes.go.id/ downloads/Pengendalian%20Lalat.pdf)

Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik LIMIT’S Vol.8 No.2

46

Pada tabel 4 terlihat bahwa pada percobaan 5 bibit dapat tumbuh di ketiga sampel. Hal ini

mengindikasikan bahwa sampel 5 memiliki kandungan C/N rasio yang paling baik. Tanaman dengan C/N rasio yang tinggi akan lebih mudah dirangsang untuk segera memasuki fase generatif sehingga proses pembungaan dan pembuahan dapat segera terjadi. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penilitan maka dapat disimpulkan bahwa variasi EM4 dan pupuk kandang yang terbaik terdapat pada sampel 5, yaitu:

- EM 4 : 75 ml

- Pupuk kandang : pupuk kambing Saran

Beberapa saran yang dapat diusulkan:

1 Uji coba dengan menggunakan bibit tanaman harus menggunakan bibit yang unggul, sehingga didapat hasil yang baik

2 Kondisi kompos selama pemrosesan harus dalam suhu dan kelembaban yang seimbang.

DAFTAR PUSTAKA Agnes, Bimantoro Demanda, Rizka Miladina, Dwi Yemima, Bioaktivator dari EM4,

http://sobclasse.blogspot.com/2012/03/starter-bioaktivator-dari-em4_17.html, ----- Alamendah, Cara Sederhana Membuat Kompos Skala Rumah Tangga,

http://alamendah.wordpress.com/, 2011 Crawford.J.H, Composting of Agricultural Waste in Biotechnology Application and Research, Paul

N Cheremissionoff and R P O Jellette(ed), ------ Gaur, A C, Rapid Composting in Compost Technology, Project Field document no 13, 1980, Food and

Agriculture Organization of United Nations Garcia C, Hernandez T, Costa F, Ceccanti B, 1994, Biochemical Parameter in Solid Regeneration by

the Additon of Organic Wastes, Waste Management and Res. 12:457-456

Percobaan Foto Pengamatan Satuan

1 2 3

1 Pertumbuhan Tidak Ada Ada Ada

Jumlah tanaman (tanaman) Tidak Ada 13 7

daun/tanaman (Helai) Tidak Ada 2 2

Tinggi Tanaman (cm) Tidak Ada 8 - 18 8 - 15

2 Pertumbuhan Tidak Ada Ada Ada

Jumlah tanaman (tanaman) Tidak Ada 1 8

daun/tanaman (Helai) Tidak Ada 2 2

Tinggi Tanaman (cm) Tidak Ada 15 7 - 14

3 Pertumbuhan Tidak Ada Ada Ada

Jumlah tanaman (tanaman) Tidak Ada 7 11

daun/tanaman (Helai) Tidak Ada 2 Tidak Ada

Tinggi Tanaman (cm) Tidak Ada 7 - 12 7 - 18

4 Pertumbuhan Tidak Ada Tidak Ada Ada

Jumlah tanaman (tanaman) Tidak Ada Tidak Ada 3

daun/tanaman (Helai) Tidak Ada Tidak Ada 2

Tinggi Tanaman (cm) Tidak Ada Tidak Ada 5

5 Pertumbuhan Ada Ada Ada

Jumlah tanaman (tanaman) 15 11 15

daun/tanaman (Helai) 2 2 2

Tinggi Tanaman (cm) 10 - 14 5 - 15 7 - 18

6 Pertumbuhan Tidak Ada Ada Ada

Jumlah tanaman (tanaman) Tidak Ada 5 14

daun/tanaman (Helai) Tidak Ada 2 2

Tinggi Tanaman (cm) Tidak Ada 5 - 10 2 - 13

Tabel 4

Hasil Pengamatan Pertumbuhan Media Tanam

Sampel

Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik LIMIT’S Vol.8 No.2

47

Hadiwiyoto. S, Penanganan dan Pemanfaatan Sampah, Yayasan Idayu, 1983, Jakarta Joesi Endah H, Membuat Tabulampot Rajin Berbuah, PT Agro Media Pustaka, 2001 Kahlon, S.S. & Kalra, K.L. 1986 Chaetomium globosum, a non-toxic fungus: a potential source of

protein(SCP). Agricultural Wastes 18: 207-213. Kurnia, U, Setyorini, T. Prihatini, S. Rochayati, Sutono dan H Suganda, 2001, Perkembangan dan

Penggunaan Pupuk Organik di Indonesia, Rapat Koordinasi Penerapan Penggunaan Pupuk Berimbang dan Peningkatan Penggunaan Pupuk Organik, direktorat Pupuk dan Pestisida, Direktorat Jenderal Bina Sarana Pertanian, Jakarta, Nopember 2001

Ladd, JN, 1985, Soil Enzymes, p 175-221 in D D Vaughan and RE Malcolm (Eds), Soil Organic Matter and Biological Activity, the Hague, the Netherlands, Nijhoff and junk Publ.

Pagga, U. Compostable packaging material-test methods and limit values for biodegradation. Applied Microbiology & Biotechnology 51: 125-133. 1999.

Robinzon R.,E. Kimmel & Y. Avnimelech. 2000 Energy and Mass Balance of Windrow Composting System. Transactions of ASAE Vol. 43:1253-1259..

Rynk R, On-Farm Composting Handbook. Northeast Regional Agricultural Engineering Service, Pub. No. 54. Cooperative Extension Service. Ithaca, N.Y. 1992; 186pp. 1992. A classic in on-farm composting. http//: www.nraes.org (3 January 2007).

Sulistyawati Endah, Mashita Nusa, N Choesin Devi, Pengaruh Agen Dekomposter Terhadap Kualitas Hasil Pengomposan Sampah Organik Rumah Tangga, Sekolah Tinggi dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, 2008

SNI 19-7030-2004, --, “Spesifikasi Kompos Dan Sampah Organik”, --, 2004 Tan KH, 1991, Dasar-Dasar Kimia Tanah, Didik HG (Penterjemah), Edisi 1, Gajah Mada University

Press Toharisman, A. 1991. Potensi Dan Pemanfaatan Limbah Industri Gula Sebagai Sumber Bahan

Organik Tanah, -----------. -------, Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan, 2004, Standar Nasional

Indonesia -------, Sampah Organik, http://id.wikipedia.org/wiki/Sampah_Organik, ------ -------, Kompos, http://id.wikipedia.org/wiki/Kompos, -------- -----, Tatacara Teknis Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan, SNI 19–2454-2002, 2002 -----------, Spesifikasi Kompos Dari Sampah Organik Domestik, Standar Nasional Indonesia 19-7030-

2004, 2004 -----------, Pedoman Teknis Pengendalian Lalat,

http://www.depkes.go.id/downloads/Pengendalian%20Lalat.pdf, ------

Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik LIMIT’S Vol.8 No.2

48