wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi mononoke hime
TRANSCRIPT
TESIS
WACANA KONFLIK LINGKUNGANDALAM TEKS FILM ANIMASI MONONOKE HIME
KARYA HAYAO MIYAZAKI
IDA AYU WIDIASTUTI
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2014
TESIS
WACANA KONFLIK LINGKUNGANDALAM TEKS FILM ANIMASI MONONOKE HIME
KARYA HAYAO MIYAZAKI
IDA AYU WIDIASTUTINIM 1190161030
PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2014
WACANA KONFLIK LINGKUNGANDALAM TEKS FILM ANIMASI MONONOKE HIME
KARYA HAYAO MIYAZAKI
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magisterpada Program Magister, Program Studi Linguistik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
IDA AYU WIDIASTUTINIM 1190161030
PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2014
Lembar Persetujuan Pembimbing
TESIS INI TELAH DISETUJUITanggal 9 Desember 2014
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum.NIP 19440923 197602 1 001 NIP 19621214 199010 1 001
Mengetahui,
Ketua Program Magister Linguistik DirekturProgram Pascasarjana Program PascasarjanaUniversitas Udayana, Universitas Udayana,
Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi,Sp.S(K).NIP 19620310 198503 1 005 NIP 19590215 198510 2 001
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS
Tesis Ini Telah Diuji padaTanggal 9 Desember 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas UdayanaNo. 4407/UN.14.4/HK/2014 Tanggal 26 November 2014
Ketua : Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U.
Anggota :1. Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum.2. Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S.3. Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt.4. Dr. I Wayan Suardiana, M.Hum.
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ida Ayu Widiastuti
NIM : 1190161030
Program Studi : Linguistik, Konsentrasi Wacana Sastra
Judul Tesis : “Wacana Konflik Lingkungan dalam Teks Film AnimasiMononoke Hime Karya Hayao Miyazaki”
dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah ini bebas plagiat.
Apabila pada kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia
menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor
17, Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 9 Desember 2014Yang membuat pernyataan,
Ida Ayu Widiastuti
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena hanya atas Asung Wara Nugraha-Nya, tesis
ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika,
Sp. P.D.KEMD., selaku Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka
Sudewi, Sp. S(K)., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, dan
Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Budaya
Universitas Udayana, terima kasih atas fasilitas, motivasi, dan waktunya. Terima
kasih pula penulis ucapkan kepada Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum., selaku
Ketua Program Studi Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas
Udayana.
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U., selaku pembimbing I, terima kasih
atas bimbingan dan kesabarannya pada saat membimbing penulis. Dr. Ida Bagus
Rai Putra, M.Hum., selaku pembimbing II, terima kasih atas waktu yang diluangkan
selama membimbing dan saran-saran yang diberikan untuk kemajuan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Prof. Dr. I Nyoman Suarka,
M.Hum., selaku pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi dari masa
perkuliahan hingga penelitian tesis.
Kepada para penguji yang selalu membaca dengan cermat dan mengkritisi
penelitian ini dari proposal hingga penulisan tesis, penulis mengucapkan terima
kasih. Sumbangan pemikiran dari mereka sangat berarti dan memberikan pedoman
bagi kesempurnaan penelitian ini. Para dosen di Program Studi Magister Linguistik,
khususnya di Konsentrasi Wacana Sastra yang selalu memberikan ilmu tanpa
pamrih. Kepada pegawai administrasi dan perpustakaan Program Studi Magister
Linguistik, yang selalu membantu penulis dengan penuh kebaikan dan keramahan.
Kepada para dosen Program Studi Sastra Jepang Universitas Udayana,
khususnya Bu Mita dan Bu Silvi. Terimakasih atas motivasi dan bantuannya dalam
memeroleh sumber data dan informasi yang sangat bermanfaat dalam penyusunan
tesis ini.
Kepada ayah (Ida Bagus Wisnawa) dan ibu (Ida Ayu Astiti) yang selalu
memberikan dukungan, baik moral maupun materi. Kepada ayah mertua (Ida Bagus
Dirga) dan ibu mertua (Ida Ayu Puspawati) yang selalu memberikan dorongan
secara moral. Terima kasih banyak atas kasih yang diberikan dengan terwujudnya
tesis ini setidaknya merupakan bagian kecil yang bisa membuat bangga keluarga.
Kepada Ida Bagus Adinugraha suami tercinta yang dengan sepenuh hati
mendukung penulis menjalani perkuliahan dan membantu menyelesaikan tugas
akhir ini. Seluruh keluarga besar penulis yang memberikan semangat untuk
menyelesaikan tesis ini.
Terima kasih pula kepada teman-teman seperjuangan angkatan 2011
Konsentrasi Wacana Sastra (Dian, Ari, Widi, Putri, Alit, Suana, Ngurah, Bligus, Bli
Widana, Bli Artayasa, dan Bli Supertama) yang selalu memberikan masukan-
masukan dan dukungan selama ini. Chinatsu yang telah menyediakan waktu di
tengah kesibukannya dan membantu dalam memeroleh sumber data dan informasi
yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini.
Semoga Tuhan memberikan rahmat dan karunia kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian tesis ini. Akhir kata, penulis berharap tesis ini
dapat bermanfaat dan bisa menambah wawasan bagi para pembaca.
Denpasar, 9 Desember 2014
Penulis
ABSTRAK
WACANA KONFLIK LINGKUNGANDALAM TEKS FILM ANIMASI MONONOKE HIME
KARYA HAYAO MIYAZAKI
Penelitian ini mengkaji wacana konflik lingkungan dalam teks film animasiMononoke Hime karya Hayao Miyazaki. Alasan pemilihan film animasi ini karenamasalah konflik lingkungan disajikan Hayao Miyazaki dengan memasukkan unsuragama Shinto yang dikemas dalam film animasi modern. Analisis teks film animasiMononoke Hime bertujuan untuk menguraikan bentuk, fungsi, dan makna wacanakonflik lingkungan yang berkaitan dengan sumber daya alam.
Dialog antar tokoh dalam film animasi yang telah dipilih dalam penelitian ini,ditranskripsi dengan teknik catat lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.Data dianalisis dengan metode deskriptif analitik lalu disajikan dengan metodeinformal. Penelitian ini menggunakan teori semiotika dan teori konflik.
Hasil analisis menunjukkan bahwa Mononoke Hime terjadi pada zamanMuromachi. Pada saat alam dikuasai oleh manusia dengan teknologi, maka rasahormat terhadap penguasa alam yang disebut Kami semakin hilang. Pada saat ituterjadi konflik antara kelompok Kami dan kelompok manusia. Kelompok Kamimemiliki gagasan bahwa sumber daya alam harus dilindungi agar dapat dinikmatiseluruh makhluk hidup dalam jangka waktu panjang. Namun, populasi manusiaterus bertambah sehingga kebutuhan terus meningkat. Oleh karena itu, kelompokmanusia memiliki gagasan bahwa sumber daya alam harus dieksploitasi untukkesejahteraan hidup. Apabila sumber daya alam terus menerus dieksploitasi makapersediaannya akan habis dan berdampak pada kerusakan lingkungan. Konflik inidisebabkan oleh faktor lingkungan sehingga konflik lingkungan menjadi wacanautama dalam penelitian ini.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa konflik lingkungan berfungsi positif yaituuntuk memperkuat solidaritas dalam kelompok internal. Selain itu konflik jugaberfungsi sebagai pengendalian sosial agar tercipta integrasi sosial. Konfliklingkungan memiliki makna penghormatan atas alam sehingga terwujudharmonisasi alam. Namun konflik ini juga mengakibatkan kerusakan lingkunganyang dapat menimbulkan bencana bagi kehidupan seluruh makhluk hidup. Olehkarena itu, harmonisasi yang disertai penghormatan atas alam harus segeradiwujudkan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Kata kunci: teks film animasi Mononoke Hime, konflik lingkungan, harmonisasialam
ABSTRACT
ENVIRONMENTAL CONFLICT DISCOURSEIN ANIMATION FILM TEXT OF MONONOKE HIME
BY HAYAO MIYAZAKI
This study analysis environmental conflict discourse in the text of animationfilm of Mononoke Hime by Hayao Miyazaki. The reason of this film is chosenbecause of the environmental conflict issues has been presented by Hayao Miyazakiwith combination of elements of Shinto religion are packed in modern animationmovie. The analysis of animation movie subtitles of Mononoke Hime is aim toelaborate the form, function and meaning of environmental conflict discourse whichrelated to the natural resources.
The dialogue among the figures in the animation movie that has been chosenin this research, it is transcribed by technical note then translate into BahasaIndonesia. The data are analyzed by analytic descriptive method, and then it isserved by informal method. This research use semiotic theory and conflict theory.
The analysis result show that Mononoke Hime occur in the Muromachiperiod. When the nature was controlled by the humans with technology, then therespectfulness to the natural ruler called Kami are getting lost. The conflict wasoccurred at that time between the group of Kami and the group of humans. Thegroup of Kami have an idea that the natural resources must be protected in order toenjoy by all living things in the long term. However, humans populations are rapidlyincrease so they need to go up. Therefore, groups of humans have the idea thatnatural resources should be exploited to welfare. If the natural resources areconstantly exploited, it will affect to the out of supply and the environmentaldamages. The conflicts are caused by environmental factors whereas theenvironmental conflicts become the main discourse in this study.
This research conclude that environmental conflicts are positively useful tostrengthen the solidarity in the internal group. In addition, the conflicts also servesas a social control in order to create social integration. Environmental conflicts havemeaning of respect to the nature to realize a natural harmony. Nevertheless, theseconflicts also cause environmental damage that can lead to disaster for the entirelife of human being. Therefore, harmonization with respect to the nature must berealized in order to create a better future.
Key words: animation film text of Mononoke Hime, environmental conflict, naturalharmonization
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM iPRASYARAT GELAR iiPERSETUJUAN PEMBIMBING iiiSURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ivPENETAPAN PANITIA PENGUJI vUCAPAN TERIMA KASIH viABSTRAK viiiABSTRACT ixDAFTAR ISI xDAFTAR BAGAN xiiiDAFTAR GAMBAR xivGLOSARIUM xv
BAB I PENDAHULUAN 11.1 Latar Belakang 11.2 Rumusan Masalah 81.3 Tujuan Penelitian 91.3.1 Tujuan Umum 91.3.2 Tujuan Khusus 91.4 Manfaat Penelitian 101.4.1 Manfaat Teoretis 101.4.2 Manfaat Praktis 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DANMODEL PENELITIAN 12
2.1 Kajian Pustaka 122.2 Konsep 172.2.1 Konflik Lingkungan 172.2.2 Teks Film Animasi 182.2.2 Mononoke Hime 202.3 Landasan Teori 202.3.1 Teori Konflik 212.3.2 Teori Semiotika 222.4 Model Penelitian 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 273.1 Rancangan Penelitian 273.2 Jangkauan Penelitian 283.3 Jenis dan Sumber Data 283.4 Instrumen Penelitian 283.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data 293.6 Metode dan Teknik Analisis Data 293.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data 29
BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JEPANG PADA ZAMANMUROMACHI DAN KONFLIK DALAM TEKS FILM ANIMASIMONONOKE HIME KARYA HAYAO MIYAZAKI 31
4.1 Sinopsis 314.2 Hubungan Manusia dan Alam dalam Agama Shinto 344.3 Keadaan Sosial pada Zaman Muromachi 364.4 Pemetaan Konflik 394.4.1 Kelompok Tatara Ba 394.4.2 Kelompok Kami 424.4.3 Kelompok Jiko Bou 484.4.4 Kelompok Samurai 504.4.5 Ashitaka 504.4.6 Bagan Pemetaan Konflik 524.5 Dinamika Konflik 534.5.1 Prakonflik 544.5.2 Konfrontasi 544.5.3 Krisis 554.5.4 Pascakonflik 56
BAB V BENTUK WACANA KONFLIK LINGKUNGAN DALAM TEKS FILMANIMASI MONONOKE HIME KARYA HAYAO MIYAZAKI 58
5.1 Bahasa 585.1.1 Sonkeigo 595.1.2 Kenjoogo 605.1.3 Keitai 625.1.4 Jootai 635.2 Gaya Bahasa 655.2.1 Repetisi 655.2.2 Idiom 685.3 Bentuk Wacana Konflik Lingkungan dalam Mononoke Hime 695.3.1 Bentuk Wacana Perlindungan Alam 705.3.2 Bentuk Wacana Eksploitasi Alam 74
BAB VI FUNGSI WACANA KONFLIK LINGKUNGAN DALAM TEKS FILMANIMASI MONONOKE HIME KARYA HAYAO MIYAZAKI 82
6.1 Solidaritas Internal Masyarakat Jepang dalam MengatasiKonflik Lingkungan 82
6.2 Pengendalian Sosial Masyarakat Jepang dalam MenjagaHarmonisasi Alam 91
6.3 Integrasi Sosial Masyarakat Jepang dalam MewujudkanHarmonisasi Alam 98
BAB VII MAKNA WACANA KONFLIK LINGKUNGAN DALAM TEKS FILMANIMASI MONONOKE HIME KARYA HAYAO MIYAZAKI 102
7.1 Penghormatan Atas Alam 1027.2 Kerusakan Lingkungan 1107.3 Harmonisasi Alam 115
7.4 Pencerahan 121
BAB VIII PENUTUP 1228.1 Simpulan 1228.2 Saran 126
DAFTAR PUSTAKA 127
LAMPIRANBiografi Hayao Miyazaki
DAFTAR BAGAN
1. Bagan I Model Penelitian 252. Bagan II Bagan Pemetaan Konflik 523. Bagan III Hubungan Alam, Kami, manusia dalam agama Shinto 103
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 4.1 Eboshi memegang ishibiya 392. Gambar 4.2 Shishigami dan Daidarabocchi 423. Gambar 4.3 Inugami 444. Gambar 4.4 Inoshishigami yang dipimpin Okkotonushi 455. Gambar 4.5 Shoujou 466. Gambar 4.6 Kodama 477. Gambar 4.7 Jiko Bou dan Karakasaren 488. Gambar 4.8 Jibashiri 499. Gambar 4.9 Pasukan samurai 5010. Gambar 4.10 Ashitaka 5111. Gambar 6.1 Ashitaka memerhatikan para wanita yang menginjak fuigo 8612. Gambar 7.1 Tatara Ba 11113. Gambar 7.2 Kodama mati akibat lendir hitam 11414. Gambar 7.3 San dan Ashitaka mengembalikan kepala Shishigami 116
GLOSARIUM
AAnime : Diadaptasi dari kata animation dalam bahasa Inggris dan
digunakan di seluruh dunia untuk merujuk kepada kartun animasiyang diproduksi oleh seniman Jepang.
FFuigo : Alat untuk menghasilkan angin yang membantu prosespembakaran
pasir besi. Fuigo tersebut menggunakan papan kayu yang diinjaknaik dan turun untuk menghasilkan angin.
GGekokujo : Keadaan masyarakat di mana bawahan memberontak kepada
atasan.
HHarae : Upacara dalam agama Shinto untuk menghilangkan segala
macam kekotoran, kesalahan, dan kesengsaraan denganmemanjatkan doa kepada para dewa.
Hokucho : Istana utara yang didirikan oleh Ashikaga Takauji untukmendirikan kekaisaran baru di Kyoto.
IInoshishigami : Pasukan dewa yang berbentuk babi hutan berukuran besar dan
berwarna coklat tua. Kelompok ini dipimpin oleh Okkotonushi.Inugami : Dewa yang berbentuk serigala. kelompok Inugami yang terdiri
atas San, Moro, dan anaknya.Ishibiya : Senjata api yang diperkenalkan ke Jepang pada tahun 1543 oleh
bangsa Portugis saat melakukan perdagangan.Ishibiyashuu : Pasukan yang bersenjatakan senjata api yang diberikan Jiko Bou
kepada Eboshi untuk membantunya membangun pabrikpengolahan besi.
Ittaikan : Semangat kerja sama dan kebersamaan dalam kelompok yanglahir dan orang-orang yang masuk ke suatu kelompok tanpamembawa keterampilan atau keahlian yang menjadipengalamannya.
JJibashiri : Pasukan pemburu.Jinja : Bangunan-bangunan dianggap suci dalam agama Shinto yang
dikhususkan untuk keperluan memuja roh atau objek-objek ttertentu .
Jootai : Bahasa ‘bentuk biasa’ yang setiap bagian akhir kalimatnyamemakai verba bentuk kamus dengan berbagai bentukperubahannya dalam bentuk biasa yang tidak hormat.
KKami : Sebutan untuk dewa dalam bahasa Jepang. Kami berarti segala
bentuk kewujudan yang memiliki beberapa keistimewaan dansifat-sifat yang menimbulkan rasa takut dan segan.
Karakasaren : Pasukan suruhan kaisar yang dipimpin oleh Jiko Bou. Merekamengenakan pakaian berwarna merah dan putih serta membawapayung yang disebut karakasa.
Keitai : Keitai merupakan ‘bentuk hormat’ yang setiap bagian akhirkalimatnya selalu memakai verba bantu desu atau masu sebagaiungkapan menyatakan perasaan hormat.
Kenjoogo : Cara bertutur kata yang menyatakan rasa hormat terhadap lawanbicara dengan cara merendahkan diri sendiri termasuk benda-benda, keadaan, aktivitas, atau hal-hal lain yang berhubungandengannya.
Kodama : Roh pohon.Kyoudotai : Kepercayaan dan keyakinan yang ada pada diri seseorang
terhadap suatu tindakan yang bersifat kolektif. Setiap orang yangterlibat di dalam kelompoknya sudah dihadapkan dengan batasan-batasan yang menyangkut kebersamaan.
MMatsuri : Festival yang diadakan oleh orang Jepang untuk menghormati
dewa-dewa setempat.Mononoke Hime : Putri dari makhluk antara roh dan monster.
NNanbokuchou : Zaman istana di utara (hokucho) dan selatan (Nanchō).Nanchou : Istana selatan yang didirikan kaisar bernama Godaigo.
SShimenawa : Tali dari jerami yang digunakan sebagai penanda suatu yang suci.Shishigami : Dewa penguasa hutan yang berwujud rusa dengan banyak tanduk
dan memiliki wajah seperti manusia. Shishigami memilikikekuatan memberi kehidupan dan kematian kepada seluruhmakhluk hidup.
Shōgun : Jenderal atau panglima tertinggi.Shoujou : KeraShuudanshikou : Orientasi kelompok yang menjadi kerangka berpikir orang
Jepang terhadap kerja kelompok didasari kesadaran yang tinggiterhadap kepentingan kelompok dalam suatu kehidupan sosialmasyarakat yang diikat oleh kehidupan bekerja sama di dalamsatu kehidupan kelompok atau masyarakat.
Sonkeigo : Digunakan untuk menyatakan rasa hormat terhadap orang yangdibicarakan (termasuk benda-benda, keadaan, aktivitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya) dengan cara menaikkanderajat orang yang dibicarakan.
TTatara : Teknik pengolahan pasir besi menjadi besi. Tatara Ba adalah
tempat pengolahannya.Tatarigami : Dewa kutukan.
ZZaman Muromachi : Zaman pada saat terjadi banyak kekacauan sosial di Jepang
sekitar tahun 1333-1568.Zaman Sengoku : Akhir zaman Muromachi saat terjadi perang dan pemberontakan
antara pasukan panglima tertinggi bernama Ashikaga Takaujidan kaisar.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konflik lingkungan yang dihadapi saat ini sebenarnya bersumber pada cara
pandang manusia yang berbeda tentang sumber daya alam. Ada manusia yang
menganut paham ekosentrisme 1 , teosentrisme 2 , tetapi sebagian besar manusia
menganut paham antroposentrisme3 yang justru keliru. Kekeliruan tersebut telah
menimbulkan berbagai bencana akibat kerusakan lingkungan yang akan
mengancam kehidupan manusia itu sendiri. Sumber kesalahan cara pandang yang
demikian ternyata terletak pada masalah moral manusia untuk mematuhi etika
lingkungan. Menurut Sutaryono (2008:42) penanaman nilai moral tidak dapat
dilakukan secara mendadak, tetapi harus mengikuti perjalanan hidup manusia, yaitu
mulai dari anak-anak, dewasa, hingga tua atau pendidikan sepanjang usia.
Penanaman fondasi pendidikan lingkungan sejak dini menjadi solusi utama
yang harus dilakukan agar generasi muda memiliki bekal pemahaman tentang
lingkungan hidup yang kokoh. Masa anak-anak merupakan perjalanan yang kritis,
sebagai generasi bangsa pada masa mendatang. Jika pengetahuan dan cara yang
ditanamkan pada masa kanak-kanak itu benar, dapat diharapkan ketika berubah ke
1 Ekosentrisme adalah paham yang berpusat pada makhluk hidup secara keseluruhan dalam kaitanmemberikan penghormatan terhadap semua spesies (Susilo, 2012:111).
2 Teosentrisme adalah paham tentang lingkungan yang memerhatikan lingkungan secarakeseluruhan, yaitu antara hubungan manusia dan lingkungan. Namun, paham ini dibatasi olehagama dalam mengatur hubungan manusia dan lingkungannya (Susilo, 2012:35).
3 Antroposentrisme menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta, sementara alamseisinya hanyalah alat bagi pemuasan kepentingan sehingga mereka dapat melakukan apa sajaterhadap alam demi pemenuhan segala kebutuhannya (Sonny Keraf, 2010:47).
masa remaja dan dewasa, bekal pengetahuan, pembentukan perilaku, serta sikap
dalam dirinya terhadap sesuatu akan positif.
Film animasi merupakan salah satu sarana untuk mendidik anak-anak belajar
melestarikan lingkungan. Gambar-gambar tokoh yang menarik dan lucu serta alur
cerita yang sederhana membuat anak-anak memiliki keinginan untuk belajar
melalui film animasi. Banyak film animasi yang telah mengangkat tema tentang
lingkungan, baik film animasi barat maupun film animasi Jepang. Namun, film
animasi Jepang memiliki keistimewaan tersendiri. Berbeda dengan film animasi
barat, film animasi Jepang digunakan oleh animator-animator Jepang untuk
mengeksplorasi berbagai macam gaya, ide cerita, serta tema, dari yang ditujukan
untuk anak-anak, remaja, hingga dewasa. Selain itu, menurut Napier (2001:4--12)
film animasi Jepang merupakan bentuk kesenian kontemporer dengan narasi yang
khas dan estetika visual yang memuat budaya tradisional Jepang. Film ini juga
berguna sebagai cerminan dari masyarakat Jepang kontemporer dengan berbagai
materi yang memberikan wawasan mengenai isu, impian, dan kehancuran.
Salah satu animator terkenal Jepang, Hayao Miyazaki telah menciptakan
beragam film animasi, antara lain Kaze no Tani no Naushika, Tenkū no Shiro
Rapyuta, Tonari no Totoro, Majo no Takkyūbin, Porco Rosso, Sen to Chihiro no
Kamikakushi dan Mononoke Hime. Film yang tersukses adalah Sen to Chihiro no
Kamikakushi yang berhasil mendapatkan gelar Film Animasi Terbaik dalam
Academy Awards pada tahun 2002. Pada tahun 2005, Hayao Miyazaki dianugerahi
gelar Penghargaan Kehormatan Seumur Hidup pada Festival Film Venesia
(Diakses dari http://tipsindonesia.com/hayao-miyazaki-dan-studio-ghibli/ tanggal
20 Juni 2014).
Film animasi karya Hayao Miyazaki memiliki ciri khas dibandingkan dengan
film animasi Jepang lainnya. Hayao sangat mendukung feminisme, karena dalam
film animasinya perempuan diberikan hak untuk dapat bertahan dan membuat
perubahan dalam masalah yang dihadapi. Ciri khas kedua dalam film Hayao adalah
kekhasan pada tokoh antagonisnya. Inilah yang membuat filmnya digemari, karena
tokoh-tokoh yang seharusnya bersifat jahat, tetapi ternyata memiliki sisi hati yang
baik. Hayao sengaja mengaburkan hal ini dengan tujuan menciptakan resolusi
nonkekerasan. Tema-tema film Hayao juga sangat kental dengan suasana
penghormatan terhadap alam. Hayao mengajak penonton untuk melihat alam bukan
sebagai objek eksploitasi, melainkan sahabat untuk dijaga, seperti dalam film Kaze
no Tani no Nausicaa, Tonari no Totoro, dan Mononoke Hime.
Kaze no Tani no Nausicaa dan Tonari no Totoro berlatar waktu pada zaman
modern. Sebaliknya Mononoke Hime berlatar waktu pada zaman kuno, yaitu pada
zaman Muromachi4. Film ini mengangkat tema tentang agama Shinto, khususnya
penghormatan atas alam. Dalam Kaze no Tani no Nausicaa dan Tonari no Totoro
tidak ada interaksi langsung antara manusia dan alam. Berbeda dengan tokoh
binatang dalam Mononoke Hime yang diberikan kemampuan berbicara dengan
manusia sehingga manusia dan alam dapat saling berinteraksi. Oleh karena itu,
Mononoke Hime lebih menarik digunakan sebagai objek penelitian.
Mononoke Hime terdiri atas dua kata, yaitu Mononoke dan Hime. Apabila
diartikan dalam bahasa Indonesia, Mononoke berarti makhluk antara roh dan
monster. Kata hime berarti putri. Jadi, Mononoke Hime dapat berarti putri dari
4 Pada zaman Muromachi terjadi banyak kekacauan sosial. Kekacauan ini berlangsung dari tahun1333 ketika pasukan yang dipimpin oleh Ashikaga Takauji menghancurkan Keshogunan Kamakurasampai tahun 1568 ketika Oda Nobunaga merebut ibu kota Kyoto (Youko, 1996:73).
makhluk antara roh dan monster. Dalam film ini San disebut sebagai Mononoke
Hime karena merupakan seorang manusia yang dibesarkan oleh Kami5 berbentuk
serigala bernama Moro. Film animasi ini diproduksi oleh studio milik Hayao
bernama Studio Ghibli pada 12 Juli 1997 dan berdurasi 133 menit dalam bentuk
DVD. Penelitian ini menganalisis film animasi Mononoke Hime dalam bentuk teks
yang telah ditranskripsi dan diterjemahan ke dalam bahasa Indonesia.
Film animasi ini menceritakan kisah seorang pemuda bernama Ashitaka yang
terkena kutukan mematikan oleh Tatarigami 6 . Ia memulai perjalanan untuk
memecahkan misteri kutukannya di negeri yang bernama Tatara Ba, tempat
pengolahan pasir besi menjadi besi. Namun, tempat yang dikunjungi tersebut
terseret dalam pertempuran sengit antara manusia dan Kami.
Pemilihan film animasi tersebut disebabkan oleh sejumlah keistimewaan.
Pertama, binatang-binatang dalam Mononoke Hime diberikan kemampuan untuk
melawan manusia yang telah merusak alam sehingga penonton dapat melihat alam
dari sisi yang berbeda. Binatang-binatang tersebut merupakan roh penjaga hutan
digambarkan dalam bentuk hewan besar memiliki kekuatan dan dapat
berkomunikasi dengan manusia yang disebut sebagai Kami. Personifikasi hewan
tersebut dibuat oleh Hayao Miyazaki untuk menyatakan bahwa manusia harus
memiliki rasa hormat yang lebih terhadap alam.
5 Kami adalah sebutan untuk dewa dalam bahasa Jepang. Kami berarti segala bentuk kewujudanyang memiliki beberapa keistimewaan dan sifat-sifat yang menimbulkan rasa takut dan segan.(Djam’annuri, 1981:18)6 Tatarigami dapat berarti dewa kutukan. Orang-orang Tatara Ba yang dipimpin oleh Eboshimenembakkan bola logam menggunakan senapan untuk mengusir dewa dari hutannya. Hal inimenimbulkan kebencian dan marah dalam diri dewa hutan sehingga dewa tersebut terkena kutukandan berubah menjadi Tatarigami.
Kedua, Mononoke Hime mengangkat tema tentang agama Shinto, yaitu
pengormatan atas alam yang seiring dengan perkembangan zaman semakin hilang.
Hayao Miyazaki mengangkat kembali tema ini dalam film animasinya untuk
melestarikan kearifan lokal budaya Jepang. Penghormatan atas alam merupakan
kepercayaan masyarakat primitif yang berpandangan bahwa dunia dan alam
sekitarnya bukanlah objek, melainkan sebagai subjek seperti dirinya sendiri. Alam
dan lingkungan memiliki kehendak atas manusia dan kehidupan manusia
dikendalikan olehnya. Begitu kuatnya dominasi lingkungan mendorong manusia
mengembangkan ritus-ritus yang berisi rantai hubungan gerak alam dengan
kekuatan mitos supranatural (Ghazali, 2011:25--37). Dalam konteks ini,
penghormatan manusia pada alam dan lingkungan bisa dikatakan cukup besar.
Filosofi yang dianut masyarakat mengatakan bahwa alam perlu dihormati,
dipelihara, dan diajak bersahabat.
Konsep kepercayaan tersebut sama seperti kepercayaan masyarakat Jepang
terhadap Kami dalam agama Shinto. Objek pemujaan agama Shinto adalah segala
sesuatu yang dianggap sakral yang dijumpai manusia dalam alam sekitarnya yang
dapat disebut dengan Kami (Djam’annuri, 1981:18). Kami dapat berwujud gejala
alam, binatang, dan benda yang dianggap memiliki sifat-sifat istimewa. Kekuatan
Kami diyakini dapat memengaruhi kehidupan manusia, mendatangkan keuntungan
atau sebaliknya menimbulkan kesengsaraan. Pada angin, api, hutan, gunung, dan
gejala-gejala alam lainnya dirasa ada suatu kekuatan spiritual yang menumbuhkan
perasaan segan dan takut sehingga memaksa seseorang untuk memujanya, baik
karena mengharapkan rahmatnya maupun karena takut dan menghindarkan diri dari
hukumannya (Djam’annuri, 1981:121). Perasaan segan dan takut terhadap Kami
berpengaruh pada karakter masyarakat Jepang untuk tetap menjaga kelestarian alam.
Agama Shinto memiliki andil besar dalam mengatur hubungan antara manusia dan
lingkungan di Jepang. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran paham teosentrisme
yang mengatur hubungan antara manusia dan alam dalam batasan agama.
Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi
memudahkan manusia untuk mengelola sumber daya alam. Bahkan, dengan
angkuhnya manusia meyakini bahwa teknologi mampu menyelesaikan dampak-
dampak negatif yang dihasilkan lingkungan ke depan. Perasaan segan dan takut
akan alam semakin lama semakin pudar. Pemikiran manusia tentang alam beralih
ke dalam paham antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai penguasa
alam. Demi menuruti industrialisasi, sumber daya alam dieksploitasi secara luas.
Semakin berhasil manusia mengeksploitasi sumber daya alam, semakin sukses
manusia mengendalikan hidupnya dan semakin banyak pula material income yang
didapatkan.
Sebenarnya jika sumber daya alam dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan
masing-masing secara individu, alam akan memiliki kemampuan meregenerasi
dengan sendirinya. Hanya yang terjadi, penggunaan sumber daya alam tidak
memerhatikan daya dukung lingkungan, akibatnya lingkungan rusak di mana-mana
dan besar kemungkinan tidak terselamatkan. Akibat kerusakan lingkungan yang
banyak terjadi, manusia mulai berpikir untuk menyelamatkan lingkungan dan
beralih ke dalam paham ekosentrisme.
Paham ekosentrisme tidak melihat dunia sebagai sebuah objek yang terisolasi,
tetapi sebagai pertalian fenomena yang secara mendasar saling berhubungan dan
saling tergantung. Ekosentrisme berpusat pada makhluk hidup secara keseluruhan
dalam kaitan memberikan penghormatan terhadap semua spesies (Susilo,
2012:108,111). Namun, belum seluruh manusia menganut paham ekosentrisme,
masih ada yang menganut paham antroposentrisme, inilah yang menimbulkan
pertentangan. Hal tersebut terjadi akibat perbedaan paham setiap manusia dalam
pengelolaan lingkungan sehingga pertentangan tersebut dapat disebut sebagai
konflik lingkungan.
Ketiga, wacana konflik lingkungan ini tercermin dalam film animasi
Mononoke Hime. Paham teosentrisme dalam film ditunjukkan dengan adanya
berbagai macam Kami. Paham antroposentrisme tercermin dalam diri Eboshi
Gozen yang lebih mementingkan kelangsungan hidup manusia daripada alam.
Paham ekosentrisme tercermin dalam diri Ashitaka sebagai penengah konflik antara
dua paham tersebut. Ashitaka tidak memihak salah satunya, tetapi ia menginginkan
manusia dan alam dapat hidup berdampingan dan saling melengkapi.
Keempat, masalah-masalah tentang lingkungan disajikan Hayao Miyazaki
dengan latar waktu pada zaman kuno. Melalui film animasi ini, Hayao
mengingatkan kembali kepada penonon terhadap kepercayaan para leluhur tentang
kekuatan alam yang melebihi kuasa manusia sehingga membangkitkan rasa hormat
penonton terhadap alam. Ia berhasil menghubungkan tradisi budaya Jepang dengan
isu kontemporer dan menyajikannya dalam industri film modern. Setelah menonton
film ini Hayao berharap agar manusia dapat menghargai alam dan menghentikan
eksploitasi alam secara berlebihan kemudian kembali hidup ke alam.
Kelima, Mononoke Hime telah meraih berbagai penghargaan nasional dan
internasional, seperti film terbaik pada penghargaan Japan Academy Award ke-21,
film Jepang terbaik, animasi terbaik dan film Jepang pilihan pemirsa dalam
kompetisi film Mainichi ke-52, film Jepang terbaik dan film Jepang pilihan
pembaca dalam sepuluh festival film terbaik Asahi, penghargaan film terbaik dari
agen urusan budaya, sutradara terbaik dalam film festival Takasaki, dan lain-lain.
Film tersebut telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dirilis di banyak
negara, seperti Inggris, Cina, Jerman, Prancis, Korea, Spanyol, Portugis, Polandia,
Italia, dan lain-lain (Diakses dari http://www.nausicaa.net/wiki/
Princess_Mononoke tanggal 6 Februari 2013).
Wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi Mononoke Hime
menjadi satu satuan naratif cerita. Penulis menemukan kisah yang digerakkan oleh
konflik seorang protagonis yang kemudian selesai dengan happy ending. Artinya,
seorang reseptor (penonton yang dalam hal ini adalah penulis) tidak begitu saja
menemukan bentuk konflik, fungsi konflik, dan makna konflik dalam cerita. Hal
inilah kemudian melahirkan interpretasi, penafsiran penulis dengan melakukan
perbandingan-perbandingan terhadap keadaan sosial masyarakat Jepang pada
zaman Muromachi melalui media pembelajaran film animasi Mononoke Hime.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan judul penelitian ini dan pemaparan di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini dapat diperinci dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut.
1. Bagaimanakah bentuk wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi
Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki?
2. Apakah fungsi wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi
Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki?
3. Apakah makna wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi
Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki?
1.3 Tujuan
Pada dasarnya, setiap penelitian yang bersifat ilmiah tentu mempunyai tujuan
yang dapat memberikan arah dan sasaran yang tepat terhadap langkah – langkah
yang ditempuh. Adapun tujuan penelitian ini menyangkut dua hal, yakni tujuan
umum dan tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menggali dan mengembangkan
kesusastraan Jepang yang berupa film animasi sehingga lebih dikenal oleh
masyarakat dan dapat berkembang baik pada masa depan. Selain itu, penelitian ini
juga bertujuan untuk memotivasi masyarakat meningkatkan apresiasinya terhadap
film animasi, sehingga film animasi tidak dipandang hanya sebagai sarana hiburan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Selain memiliki tujuan umum, penelitian ini juga memiliki tujuan yang bersifat
khusus, sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan bentuk wacana konflik lingkungan dalam teks film
animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki
2. Mendeskripsikan fungsi wacana konflik lingkungan dalam teks film
animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki
3. Mendeskripsikan makna wacana konflik lingkungan dalam teks film
animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki
1.4 Manfaat
Manfaat penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan sumbangan
keilmuan dan praktis. Manfaat pertama adalah manfaat yang bersifat teoretis dan
manfaat kedua bersifat praktis yang dijabarkan sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis sebuah penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat.
Adapun manfaat teoritis yang diharapkan dari hasil penelitian ini, antara lain,
seperti di bawah ini.
1. Dapat memberikan sumbangan bagi studi sastra Jepang sehingga semakin
menarik bagi para peneliti sastra Jepang lainnya.
2. Dapat dijadikan sumber informasi mengenai model analisis wacana
kesusastraan Jepang modern, khususnya film animasi yang dilakukan secara
ilmiah.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis ada beberapa manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, antara
lain, sebagai berikut.
1. Dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan wawasan masyarakat
terhadap konflik lingkungan melalui film animasi Jepang.
2. Dapat memberikan kontribusi bagi program pemerintah Indonesia,
khususnya Bali dalam mendidik masyarakat untuk menjaga harmonisasi
antara manusia, alam, dan Tuhan melalui film animasi.
3. Dapat menjadi cerminan bagi industri film Indonesia untuk meningkatkan
kualitas film animasi dengan mengangkat isu kontemporer namun tetap
mempertahankan budaya tradisional.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Pada bab ini diuraikan penelitian sebelumnya terhadap objek penelitian dan
kajian lain yang relevan dengan penelitian ini. Hal ini dimaksudkan untuk
menunjukkan orisinalitas penelitian dan mengapresiasi peneliti yang sudah ada
sebelumnya. Selain itu, juga diuraikan dengan ringkas konsep, teori, dan model
penelitian. Ada beberapa peneliti atau tulisan yang membahas film animasi
Mononoke Hime, yaitu Ayuningsih (2013), Prabowo (2013), Roslyn McDonald
(2004), Napier (2001), dan Seiji Kano (1997). Penelitian mereka umumnya
membahas aspek kritik sastra, feminisme, dan gambaran umum mengenai film
animasi Mononoke Hime.
Penelitian mereka mampu memperkenalkan aspek menarik film animasi
Mononoke Hime, tetapi masih ada aspek lain yang juga bisa dianalisis lebih jauh.
Penelitian ini membahas masalah yang tidak dibahas dalam penelitian yang
disebutkan di atas, yakni konflik lingkungan terkait dengan kerusakan lingkungan
yang terjadi akibat perbedaan paham dalam mengelola sumber daya alam dalam
film animasi Mononoke Hime.
Penelitian Ayuningsih dalam bentuk skripsi yang berjudul “Cara Pandang
Antroposentris pada Tokoh Eboshi dan Ekosentris pada Tokoh Ashitaka dalam
Anime Mononoke Hime Karya Sutradara Miyazaki Hayao” (2013) meneliti
bagaimana tindakan manusia terhadap alam yang dipengaruhi cara pandang
antroposentris dan ekosentris. Penelitian ini menggunakan kajian kritik sastra
lingkungan yang berlandaskan teori etika lingkungan antroposentrisme dan
ekosentrisme. Dari penelitian ini ditemukan kesalahan cara pandang tokoh Eboshi
yang bersumber dari antroposentrisme, yaitu ia mengeksploitasi hutan tanpa
bertanggung jawab sehingga menimbulkan dampak buruk bagi makhluk hidup
penghuni hutan. Adapun paham ekosentrisme terdapat dalam diri Ashitaka yang
menjaga relasi hidupnya dengan lingkungan di sekitarnya dengan menghormati dan
melindungi alam tempat ia berada.
Penelitian Ayuningsih memiliki relevansi dengan penelitian penulis karena
membahas lingkungan dalam Mononoke Hime. Namun, penelitian Ayuningsih
hanya menganalisis tindakan manusia terhadap alam yang dipengaruhi oleh paham
antroposentrisme dan ekosentrisme. Penelitian ini tidak menganalisis paham
teosentrisme yang justru menjadi dasar dalam cerita Mononoke Hime. Padahal, film
ini mengangkat tema tentang kepercayaan masyarakat Jepang, yaitu penghormatan
atas alam yang dapat dilihat dari berbagai macam Kami yang ditampilkan. Oleh
karena itu, penelitian penulis tidak hanya menganalisis konflik antara manusia,
tetapi juga disharmoni yang terjadi antara manusia, Kami, dan alam dalam
Mononoke Hime.
Prabowo dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Feminisme Radikal dalam
Film Animasi Mononoke Hime” (2013) mencari hubungan antara tokoh Eboshi
beserta para pekerja wanita dan gerakan feminisme, khususnya feminisme radikal.
Penulis menggunakan metode kepustakaan dan metode analisis deskriptif di dalam
penulisan skripsi ini. Pada penelitian ini ditemukan adanya gerakan feminisme
radikal yang dilakukan oleh tokoh Eboshi dan para pekerja wanitanya yang
disebabkan oleh tekanan dari keadaan sosial, yaitu pria dianggap lebih dominan
dibandingkan dengan wanita. Penelitian Prabowo memiliki relevansi dengan
penelitian penulis karena menggunakan Mononoke Hime sebagai objek penelitian.
Penelitian ini dapat membantu mendeskripsikan karakter tokoh-tokoh wanita dalam
Mononoke Hime. Namun, penelitian tersebut hanya menganalisis feminisme dalam
Mononoke Hime, sedangkan dalam penelitian ini lebih difokuskan pada konflik
lingkungan antara Kami, manusia, dan alam.
Penelitian mengenai Mononoke Hime juga pernah dilakukan oleh Napier
dalam bukunya yang berjudul Anime from Akira to Princess Mononoke (2001:4--
12). Buku ini membahas dan mengkritisi muatan dari beberapa film animasi Jepang.
Salah satu diantaranya ialah Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki. Mononoke
Hime digolongkan sebagai film animasi apocalyptic, yaitu hasil penggambaran
kegelisahan masyarakat Jepang terhadap masa depan dengan penggambaran
environmental apocalypse di dalamnya. Film animasi ini memberikan sebuah
gambaran lain dari budaya Jepang dengan menghancurkan dua citra stereotype,
yaitu kaum wanita yang subordinat dan kehidupan harmonis orang Jepang dengan
alam. Selain itu, Mononoke Hime juga berbeda dengan jidaigeki, yaitu film tentang
masa-masa sejarah pada periode tertentu yang biasanya menampilkan kaum
samurai sebagai pusat perhatiannya. Di dalam Mononoke Hime kelompok yang
ditonjolkan justru kaum wanita, orang-orang yang tersingkir, dan suku non-Yamato,
yaitu bukan etnis Jepang. Walaupun menggunakan tema historis yang dibubuhi
fantasi sebagai ceritanya, Napier (2001:181) berpendapat bahwa Hayao Miyazaki
tidak membuatnya sebagai suatu sarana pelarian dari realitas untuk penonton, tetapi
justru sebagai sarana pendidikan. Dalam pandangan Hayao Miyazaki, abad ke-14
merupakan saat transisi, yaitu pandangan nilai manusia berubah dari dewa-dewa
menjadi uang.
Meskipun dalam penelitiannya Napier menggolongkan Mononoke Hime
sebagai bentuk dari environmental apocalypse, secara keseluruhan cenderung lebih
membahas nilai-nilai dalam film animasi tersebut yang justru berbeda dengan
pandangan stereotipe Jepang. Napier memaparkan wanita yang kuat dan
disharmoni antara manusia dan alam. Jadi, fokus penelitian Napier adalah pada
tema feminisme dan lingkungan. Berbeda dengan penelitian Napier, penelitian
penulis berfokus hanya pada tema lingkungan khususnya penyebab terjadinya
disharmoni antara manusia dan alam serta akibat dan solusi dari masalah tersebut.
Seiji Kano dalam penelitian yang berjudul Mononoke Hime Kisochishiki
menjelaskan hal-hal yang menginspirasi Hayao Miyazaki untuk membuat film
animasi Mononoke Hime (Diakses dari http:// www.yk.rim.or.jp. tanggal 5 Februari
2013). Ia mengungkapkan bahwa Hayao Miyazaki terinspirasi oleh kepercayaan
masyarakat Jepang pada zaman kuno, yaitu penghormatan atas alam. Pada saat itu
Jepang masih menjaga harmonisasi dengan alam dan berpikir sangat primitif.
Mereka percaya dengan adanya roh-roh dan dewa-dewa yang hidup di alam.
Namun, sejak zaman Muromachi pemikiran masyarakat Jepang mulai berubah
menjadi lebih mementingkan materi daripada alam. Penelitian ini memiliki
relevansi dengan penelitian penulis karena mengulas hal-hal yang mendasari film
animasi Mononoke Hime secara jelas sehingga penelitian ini dapat menjadi acuan
dan pembanding dalam penelitian. Namun, Seiji Kano tidak membahas konflik
lingkungan secara lebih mendalam.
Roslyn McDonald menulis esai yang berjudul Studio Ghibli Feature Films
and Japanese Artistic Tradition (dari Diakses dari http://www.nausicaa.net/
miyazaki/essay/files/RoslynMcDonald_Ghibli.pdf.tanggal 6 Februari 2013). Esai
ini mengulas tradisi seni dan budaya Jepang yang diungkapkan melalui cerita, tema,
karakter, dan citra dalam empat film animasi produksi Studio Ghibli, yaitu Hotaru
no Haka yang disutradarai oleh Isao Takahata dan Tonari no Totoro, Mononoke
Hime, dan Sen to Chihiro no Kamikakushi yang disutradarai oleh Hayao Miyazaki.
Penelitian Roslyn memiliki relevansi dengan penelitian penulis karena membahas
salah satu film animasi yang sama, yaitu Mononoke Hime. Namun, penelitian
tersebut hanya menjelaskan akibat pertempuran antara manusia dan alam tanpa
menjelaskan penyebab dan fungsi pertempuran tersebut. Selain itu, penelitian ini
melihat perdamaian manusia dan alam dari segi Mononoke Hime saja tanpa
mengaitkan dengan harmonisasi antara manusia dan alam dalam kehidupan nyata.
Penelitian–penelitian di atas menjadi kajian pustaka sebagai acuan dan
pembanding dalam penelitian ini. Walaupun terdapat penelitian yang membahas
tentang Mononoke Hime, penelitian ini berbeda dari penelitian-penelitian
sebelumnya. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dijelaskan bahwa perbedaan
penelitian ini dengan penelitian-penelitian tersebut adalah konflik lingkungan yang
menjadi dasar dilakukannya penelitian ini yang mencakup paham teosentrisme,
antoposentrisme, dan ekosentrisme. Penelitian ini menganalisis bentuk wacana
yang menjadi penyebab konflik lingkungan, fungsi konflik lingkungan bagi tiap
kelompok yang bertikai, serta makna konflik lingkungan terhadap kehidupan
manusia dan alam.
2.2 Konsep
Untuk melakukan kajian yang lebih jelas terhadap konflik lingkungan dalam
film animasi Mononoke Hime perlu dijabarkan beberapa konsep. Adapun konsep-
konsep yang dijelaskan pada penelitian ini adalah konflik lingkungan, teks film
animasi, dan Mononoke Hime.
2.2.1 Konflik Lingkungan
Konflik berarti ketegangan atau pertentangan (Moeliono, 2005:455). Konflik
lingkungan bisa diartikan sebagai suatu bentuk perbedaan ide atau pertentangan ide,
pendapat, paham, dan kepentingan tentang lingkungan di antara dua pihak atau
lebih. Pertentangan antarkelompok tersebut ada yang berkadar tinggi dalam bentuk
kekerasan dan ada pula berkadar rendah yang tidak menggunakan kekerasan.
Pertentangan tersebut berkembang menjadi konflik yang ditandai interaksi timbal
balik di antara pihak-pihak yang bertentangan. Selain itu, pertentangan juga
dilakukan atas dasar kesadaran pada tiap-tiap kelompok bahwa mereka saling
berbeda pemikiran dan berlawanan tentang pengelolaan lingkungan.
Dalam Mononoke Hime terjadi pertentangan antara beberapa kelompok yang
disebabkan oleh faktor lingkungan. Konflik tersebut berawal dari perebutan
kekuasan atas hutan Shishigami antara kelompok Tatara Ba dan kelompok Kami.
Kelompok Tatara Ba mengeksploitasi hutan dengan leluasa untuk mencari pasir
besi, tetapi kelompok Kami melindungi hutan yang merupakan tempat tinggalnya.
Baik pihak manusia maupun pihak Kami, memperebutkan hutan Shishigami untuk
mempertahankan kelangsungan hidup. Berdasarkan penjelasan di atas konflik
lingkungan menjadi wacana utama dalam Mononoke Hime.
2.2.2 Teks Film Animasi
Animasi berarti membuat gambar lebih kelihatan hidup, sehingga bisa
mempengaruhi emosi penonton, turut menjadi sedih, ikut menangis, jatuh cinta,
kesal, gembira, bahkan tertawa. Animasi juga dikenal dengan istilah motion picture
yang mempunyai pengertian gambar bergerak. Disebut gambar bergerak karena
dalam proses pembuatannya di gunakan gambar yang berurutan dan dimanipulasi
sedemikian rupa sehingga tampak seolah-olah gambar tersebut dapat bergerak
(Diakses dari http://www.referensimakalah.com/2013/01/pengertian-film-
animasi.html tanggal 7 Oktober 2014).
Film animasi berasal dari dua unsur, yaitu film yang berakar pada dunia
fotografi dan animasi yang berakar pada dunia gambar. Film animasi merupakan
teknik pembuatan film dengan efek animasi untuk menciptakan ilusi gerakan dan
serangkaian gambaran benda dua atau tiga dimensi. Penciptaan tradisional dari
animasi gambar-bergerak selalu diawali hampir bersamaan dengan penyusunan
storyboard7. Sketsa tambahan dipersiapkan kemudian untuk memberikan ilustrasi
latar belakang, dekorasi serta tampilan, dan karakter tokohnya. Pada masa kini,
hampir semua film animasi dibuat secara digital dengan komputer (Danesi,
2010:134).
Di Jepang film animasi disebut dengan anime. Kata anime merupakan
adaptasi dari kata animation dalam bahasa Inggris dan digunakan di seluruh dunia
untuk merujuk kepada kartun animasi yang diproduksi oleh seniman Jepang (Garcia,
7 Storyboard adalah sketsa gambar yang disusun berurutan sesuai dengan naskah. Storyboard dapatmenggiring khayalan seseorang mengikuti gambar-gambar yang tersaji, sehingga menghasilkanpersepsi yang sama pada ide cerita kita (Sukoco, 2014:1)
2010:155). Film animasi produksi Jepang berbeda dengan film animasi produksi
negara barat. Film animasi barat sebagian besar ditujukan untuk penonton anak-
anak sebagai sarana hiburan dan menyuguhkan cerita yang ringan agar mudah
dipahami. Berbeda dengan film animasi barat, film animasi Jepang digunakan oleh
animator-animator Jepang untuk mengeksplorasi berbagai macam gaya, ide cerita,
serta tema, dari yang ditujukan untuk anak-anak, remaja, hingga dewasa.
Menurut Napier (2001:4--12) film animasi Jepang memiliki pendalaman
mengenai isi-isu kontemporer yang tak jarang kompleks dan kritis tidak berbeda
dengan tulisan sastra. Film animasi Jepang selain menghibur penontonnya juga
menstimulasi penonton untuk mengkritisi isu-isu kontemporer yang tidak dapat
diberikan oleh bentuk kesenian tradisional. Film ini merupakan bentuk kesenian
kontemporer dengan narasi yang khas dan estetika visual yang memuat budaya
tradisional Jepang dan merupakan bagian dari seni dan media. Selain itu, juga
berguna sebagai cerminan dari masyarakat Jepang kontemporer dengan berbagai
materi yang memberikan wawasan, baik mengenai isu, impian, maupun mimpi
buruk.
Teks film animasi merupakan hasil penerjemahan percakapan dan uraian ke
dalam bahasa lain dan diproyeksikan pada bagian bawah film animasi. Percakapan
dan uraian dalam bahasa Jepang di film animasi Mononoke Hime dicatat dengan
jelas dan terperinci kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang
digunakan sebagai objek penelitian. Kutipan teks film animasi disajikan dalam
bahasa Jepang dan huruf Jepang dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
2.2.3 Mononoke Hime
Mononoke berasal dari kata mono dan ke. Kamata Toji mengartikan kata
mono sebagai roh. Ke berarti suatu karakter yang misterius serta tidak berbentuk.
Mononoke berarti roh yang misterius serta tidak berbentuk (Takashi, 2006:1).
Definisi lainnya menyebutkan Mononoke adalah makhluk antara roh dan monster.
Mononoke disebut sebagai monster karena ukurannya yang besar.
Sebenarnya tidak ada padanan kata yang tepat untuk mengartikan kata
Mononoke, baik dalam bahasa Inggris maupun dalam bahasa Indonesia. Oleh
karena itu, judul film ini dalam bahasa Inggris adalah Princess Mononoke. Kata
Mononoke tetap digunakan karena orang Jepang tidak menemukan kata yang tepat
untuk menerjemahkannya (Diakses dari http://www.nausicaa.net/miyazaki/mh/
faq.html tanggal 9 Juli 2014). Kata hime berarti putri sehingga Mononoke Hime
dapat berarti putri roh atau monster. Dalam film ini San disebut sebagai Mononoke
Hime karena merupakan seorang manusia yang dianggap sebagai anak oleh
Inugami bernama Moro.
2.3 Landasan Teori
Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, kata teori mengandung arti
seperangkat pengertian, konsep, proposisi yang mempunyai korelasi dan teruji
kebenarannya. Sebuah teori dengan tingkat keumuman yang tinggi dapat
dimanfaatkan untuk memahami sejumlah disiplin yang berbeda (Ratna, 2009:1).
Dalam kaitan dengan kegiatan penelitian, teori merupakan sebuah alat bedah yang
dapat dipakai untuk memahami dan mendeskripsikan suatu topik penelitian.
Berkaitan dengan pemahaman teori seperti itu, maka penelitian ini menggunakan
teori konflik dan teori semiotika.
2.3.1 Teori Konflik
Teori konflik adalah salah satu perspektif di dalam sosiologi yang
memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri atas bagian atau komponen
yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Artinya, komponen yang satu
berusaha menaklukkan kepentingan yang lain untuk memenuhi kepentingannya
atau memeroleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Perbedaan kepentingan dan
pandangan tersebut memicu terjadinya konflik sosial yang berujung saling
mengalahkan, melenyapkan, memusnahkan di antara elemen tersebut (Setiadi,
2011:347).
Teori konflik yang dikemukakan Lewis Coser sering kali disebut teori
fungsionalisme konflik, karena menekankan fungsi konflik bagi sistem sosial atau
masyarakat. Dalam perspektif teori konflik, individu dalam tatanan sosial bukan
saja sebagai penerima dan penerus nilai, melainkan juga penggagas dan penentu
nilai yang bertanggung jawab. Konflik bukan sesuatu yang disfungsional, destruktif,
atau patologis, sebagaimana dipersiapkan oleh pendukung teori struktural
fungsional. Konflik malah merupakan sesuatu yang positif dan fungsional bagi
terpeliharanya struktur sosial (Setiadi, 2011:372).
Coser mengatakan bahwa konflik merupakan mekanisme tempat kelompok
dan batas-batasnya terbentuk dan diperhatikan. Konflik dapat menyatukan anggota
kelompok melalui pengukuhan identitas kelompok. Untuk membedakan konflik
yang menjadi sumber kohesi atau perpecahan kelompok menurut Coser, tergantung
kepada asal mula ketegangan, isu tentang konflik, cara menangani, dan yang
terpenting struktur tempat konflik itu berkembang. Pada intinya, Coser menekankan
bahwa konflik dan konsensus, integritas dan perpecahan, merupakan proses
fundamental dan bagian dari setiap sistem sosial yang dapat dipahami (Polloma,
1994:80--129).
Konflik dalam perspektif penelitian ini dipandang sebagai pencerminan dari
kesadaran dan semangat pembaruan masyarakat Jepang. Konflik merupakan
refleksi dari proses dialogis antara tuntutan kepentingan individual material dan
tuntutan kepentingan sosiokultural etik. Dalam hal ini konflik adalah suatu proses
instrumental dalam pembentukan, pemeliharaan, dan perubahan struktur sosial.
Konflik yang terjadi dalam Mononoke Hime disebabkan oleh perbedaan
kepentingan tiap-tiap kelompok yang berujung pada peperangan. Namun, konflik
tersebut menciptakan harmonisasi antara manusia dan alam. Berdasarkan
penjelasan tersebut, teks film animasi Mononoke Hime dikaji menggunakan teori
konflik. Teori ini digunakan untuk mengkaji bentuk dan fungsi wacana konflik
lingkungan.
2.3.2 Teori Semiotika
Menurut Peirce, kata semiotika merupakan sinonim kata logika. Logika harus
mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran menurut hipotesis Pierce yang
mendasar dilakukan melalui tanda-tanda. Semuanya merujuk sebagai tanda karena
kehadirannya direspons manusia sebagai sarana komunikasi yang di dalamnya
mempunyai arti. Segala sesuatu yang dipersepsi oleh manusia mempunyai arti
hakikatnya adalah tanda dan manusia dalam kehidupannya tidak akan lepas dari
tanda, karena dalam komunikasi sehari – hari manusia selalu membutuhkan tanda.
Charles Sanders Peirce menyatakan bahwa manusia hanya dapat berpikir dengan
sarana tanda, artinya manusia dalam komunikasi sehari – hari selalu menggunakan
tanda. Secara definitif, tanda adalah segala apa yang menyatakan sesuatu yang lain
daripada dirinya. Tanda itu dihasilkan melalui proses signifikasi yang merupakan
proses yang memadukan penanda dan petanda (dalam Barthes, 2007:37--38).
Menurut Charles Sander Peirce, konsep tanda itu bersifat ‘triadik’ karena
terbangun atas representamen, interpretan, dan objek. Representamen adalah
sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain, dalam beberapa hal atau
kapasitas. Interpretan merupakan sesuatu yang lain itu. Objek merupakan sesuatu
yang diacunya. Peirce menjelaskan bahwa tanda – tanda berkaitan dengan objek–
objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat
dengan tanda–tanda karena ikatan konvensional dengan tanda–tanda tersebut.
Berdasarkan objeknya tanda terdiri atas tiga hal, yaitu sebagai berikut.
1. Ikon (icon) adalah suatu tanda yang menggunakan kesamaan dengan apa
yang dimaksudkannya, misalkan kesamaan peta dengan wilayah geografis
yang digambarkannya, kesamaan lukisan kuda dengan binatang yang
digambarkannya.
2. Indeks (index) adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan kasual dengan
apa yang diwakilinya, misalnya asap merupakan tanda adanya api, mendung
merupakan tanda akan datangnya hujan.
3. Simbol (symbol) adalah hubungan antara suatu penanda dan item yang
ditandainya yang sudah menjadi konvensi masyarakat. Misalnya lampu
merah berarti berhenti (Al-Ma’ruf, 2009:91).
Teks film animasi Mononoke Hime dianalisis dengan konsep trikotomi
semiotika oleh Peirce yang terbangun atas ikon, indeks, dan simbol. Tanda-tanda
yang berkaitan dengan konflik lingkungan dianalisis sehingga pada akhirnya
mendapatkan makna wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi
Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki.
2.4 Model Penelitian
(Bagan I. Model Penelitian)
Keterangan :
: Hubungan langsung
: Teori, metode, dan teknik penelitian
: Objek penelitian
: Wacana
: Hasil penelitian
Penjelasan :
Masalah konflik lingkungan menginspirasi Hayao Miyazaki untuk
menghasilkan sejumlah film animasi. Namun, diantaranya karyanya, Mononoke
Hime merupakan film animasi terbaik yang bertema lingkungan sehingga
digunakan sebagai objek dalam penelitian. Langkah awal dilakukan proses
pembacaan teks hasil transkripsi dari film animasi tersebut yang sudah
Metode danTeknik
Penelitian
Teori KonflikTeori Semiotika
Teks Film AnimasiMononoke Hime karya
Hayao Miyazaki
Wacana KonflikLingkungan
Bentuk MaknaFungsi
diterjemahkan dari bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian dilakukan
klasifikasi data yang terdapat konflik lingkungan. Data dianalisis dengan
menggunakan teori semiotika dan teori konflik. Metode yang diterapkan dalam
proses analisis adalah metode studi pustaka, deskriptif analitik, dan informal.
Teknik yang digunakan adalah teknik transkripsi, teknik penerjemahan, teknik baca,
dan teknik tulis. Pada akhirnya tujuan penelitian dapat dicapai, yaitu untuk
mengetahui bentuk, fungsi, dan makna wacana konflik lingkungan dalam teks film
animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dirancang dengan menggunakan paradigma ideografis dengan
penekanan penelitian pada ilmu–ilmu kemanusiaan (humaniora). Karena penelitian
ini mengemukakan banyak masalah sosial, maka pendekatan yang dilakukan adalah
pendekatan sosiologis. Penelitian ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas
akhir Program Studi Linguistik Konsentrasi Wacana Sastra Universitas Udayana.
Dengan pertimbangan bahwa teori–teori strukturalisme sudah berkembang menjadi
teori – teori yang baru, maka teori yang digunakan adalah teori postrukturalisme
dalam hubungan ini teori semiotika dan teori konflik. Konsep–konsep dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu leksikal dan operasional dalam penelitian yang lebih
banyak digunakan adalah konsep operasional. Untuk menganalisis keseluruhan
masalah dalam penelitian, maka metode dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu
pengumpulan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data. Pengumpulan
data menggunakan metode studi pustaka. Analisis data menggunakan metode
deskriptif analitik. Penyajian hasil analisis data dengan cara informal. Untuk
menopang metode di atas, maka teknik yang digunakan adalah teknik transkripsi,
teknik penerjemahan, teknik baca, dan teknik catat. Perangkat keras yang
digunakan untuk membantu keseluruhan cara di atas adalah sistem kartu data.
3.2 Jangkauan Penelitian
Penelitian ini dibatasi hanya menganalisis wacana konflik lingkungan dalam
teks film animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki. Wacana Konflik
lingkungan dalam teks Mononoke Hime dianalisis dalam bentuk, fungsi, dan makna
dengan menggunakan teori semiotika dan teori konflik.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data penelitian adalah kualitatif, berupa narasi, ungkapan, dan tanda
yang terdapat dalam film animasi yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini
menggunakan sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah teks
hasil transkripsi dan terjemahan dari film animasi Mononoke Hime karya Hayao
Miyazaki. Film tersebut dalam bentuk DVD berdurasi 133 menit dan menggunakan
bahasa Jepang.
Sumber data sekunder adalah buku dan artikel mengenai konflik lingkungan.
Selain itu, juga digunakan buku dan artikel yang dapat memberikan informasi yang
berhubungan dengan penelitian ini.
3.3 Instrumen Penelitian
Instrumen adalah alat bantu yang digunakan untuk mendapatkan data.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kartu data. Kartu data
berguna untuk mempermudah analisis tiap-tiap data.
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode penyediaan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan. Sementara itu, teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada
penelitian ini adalah teknik transkripsi, teknik penerjemahan, teknik baca, dan
teknik catat. Film animasi Mononoke Hime yang telah dipilih sebagai objek
penelitian ditonton secara berulang-ulang sampai menemukan data-data lisan
tentang konflik lingkungan yang tepat. Data-data lisan tersebut ditranskripsi dengan
teknik catat menjadi bentuk data tulis. Setelah data-data menjadi bentuk transkrip
yang bisa dibaca, peneliti melakukan penerjemahan dari bahasa Jepang ke dalam
bahasa Indonesia. Teks hasil terjemahan tersebut dianalis untuk menemukan bentuk,
fungsi, dan makna wacana konflik lingkungan dalam Mononoke Hime.
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data
Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif
analitik. Ratna (2009:53) menjelaskan bahwa, metode deskriptif analitik dilakukan
dengan cara mendeskripsikan fakta – fakta yang kemudian disusul dengan analisis.
Analisis secara deskriptif tidak hanya sekadar menguraikan, tetapi juga diharapkan
dapat memberikan pemahaman yang jelas sesuai dengan fokus penelitian.
3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Penelitian ini tidak menggunakan data statistik yang berupa angka – angka,
bagan, gambar, ataupun rumus, tetapi menggunakan data – data yang berupa kata-
kata, kalimat-kalimat, dan wacana. Oleh karena itu, penyajian hasil analisis data
dilakukan dengan metode informal, yang menggunakan kata-kata dan narasi.
Pada penelitian ini seluruh data disajikan dalam bahasa Jepang yang ditulis
dengan huruf hiragana, katakana, dan kanji disertai terjemahan dalam bahasa
Indonesia. Hasil analisis disajikan seutuhnya dalam bahasa Indonesia.
Analisis dituangkan dalam tujuh bab. Bab I terdiri atas latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Bab II terdiri atas
kajian pustaka, konsep, landasan teori, serta model penelitian. Bab III yaitu metode
penelitian terdiri atas rancangan penelitian, jangkauan penelitian, jenis dan sumber
data, instrumen penelitian, metode dan teknik pengumpulan data, metode dan
teknik analisis data, serta metode dan teknik penyajian analisis data. Bab IV
membahas gambaran umum masyarakat Jepang pada zaman Muromachi dan
konflik dalam teks film animasi Mononoke Hime. Bab V membahas bentuk wacana
konflik lingkungan dalam teks film animasi Mononoke Hime karya Hayao
Miyazaki. Bab VI menjelaskan fungsi wacana konflik lingkungan dalam teks film
animasi Mononoke Hime karya Hayao Miyazaki. Bab VII mengungkapkan makna
wacana konflik lingkungan dalam teks film animasi Mononoke Hime karya Hayao
Miyazaki. Bab VIII adalah bagian akhir yang berisi simpulan atas proses analisis
yang telah dilakukan serta saran – saran yang berkaitan dengan hasil analisis.
BAB IV
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JEPANG PADA ZAMAN
MUROMACHI DAN KONFLIK DALAM TEKS
FILM ANIMASI MONONOKE HIME KARYA HAYAO MIYAZAKI
Dalam bab ini diuraikan gambaran umum masyarakat Jepang pada zaman
Muromachi dan konflik dalam teks film animasi Mononoke Hime yang mencakup
sinopsis Mononoke Hime, hubungan manusia dan alam dalam agama Shinto,
keadaan sosial pada zaman Muromachi, pemetaan konflik, dan dinamika konflik.
Uraian yang dipaparkan dideskripsikan berdasarkan kutipan-kutipan pada teks film
animasi Mononoke Hime untuk menganalisis latar belakang yang memicu
timbulnya konflik lingkungan.
4.1 Sinopsis
Kisah ini terjadi pada zaman Muromachi 1333-1568 di Desa Emishi, sebuah
desa yang tersembunyi di timur laut Jepang. Suatu hari Desa Emishi terancam saat
kedatangan Tatarigami berwujud babi hutan besar yang ditutupi oleh ular hitam
dan membakar semua jalan yang dilewatinya. Ashitaka, calon pemimpin Desa
Emishi, mencoba untuk menghentikan monster itu. Lengan Ashitaka tertular ular
hitam dari Tatarigami. Namun, Ashitaka dapat mengarahkan tembakannya
menembus dahi Tatarigami hingga mati. Hii sama, seorang nenek dukun di desa
memberi tahu Ashitaka bahwa bekas luka itu terkutuk dari Tatarigami dan dapat
membunuh Ashitaka. Kemudian Ashitaka pergi meninggalkan desa untuk mencari
cara menyembuhkan kutukannya.
Ashitaka tiba di Tatara Ba, yaitu tempat pemukiman pekerja pengolah besi
yang menyerupai benteng dan dikelilingi oleh danau. Eboshi mengundang Ashitaka
untuk tinggal di sana sebagai tamu. Para pekerja Tatara Ba dengan bangga
menceritakan pada Ashitaka bagaimana Eboshi tanpa rasa takut membunuh
Inoshishigami bernama Nago no Kami. Ashitaka menyadari bahwa Nago no Kami
pasti adalah Tatarigami yang telah dibunuh. Ashitaka memberi tahu Eboshi tentang
Tatarigami dan kutukan yang diterima dari Tatarigami. Ashitaka sangat marah
pada Eboshi, tapi ia mengurungkan niatnya membunuh Eboshi.
Tiba-tiba datang San menyerang Tatara Ba lalu ia bertarung dengan Eboshi.
Ashitaka menengahi pertarungan antara Eboshi dan San. Lalu Ashitaka membawa
San pergi meninggalkan Tatara Ba. Tiba-tiba seorang wanita menembak Ashitaka
dengan Ishibiya8. Peluru menembus dada Ashitaka. Ia masih tetap berjalan sambil
membawa San dan Yakkul, rusa tunggangannya mengikutinya. Sesampainya di
kaki gunung Ashitaka jatuh terkulai karena terlalu banyak mengeluarkan darah.
San meletakkan Ashitaka dalam keadaan tak sadar di atas Yakkul dan
membawa mereka ke kolam yang ada di tengah hutan. Dalam tidur lelapnya
Ashitaka mengambang di air. Ia melihat Shishigami mendekatinya. Saat Ashitaka
terbangun, Shishigami menghilang. San muncul dan mengatakan bahwa Shishigami
membiarkan Ashitaka untuk hidup sehingga San akan menolongnya.
Sekelompok Inoshishigami muncul. Mereka mengatakan bahwa mereka
jauh-jauh datang dari utara untuk membunuh manusia dan melindungi hutan.
Pemimpin mereka bernama Okkotonushi mengatakan bahwa jika semua
8 Ishibiya merupakan senjata api yang diperkenalkan ke Jepang pada tahun 1543 oleh bangsaPortugis saat melakukan perdagangan. Dalam Mononoke Hime, ishibiya diproduksi oleh parapekerja Eboshi (Beasley, 2003:173).
Inoshishigami harus mati, ia harus membuat manusia-manusia itu menderita. San
bersama-sama dengan dua Inugami bergabung dengan Inoshishigami untuk
memulai serangan terhadap manusia dengan kekuatan penuh.
Di Tatara Ba Eboshi dan para pekerjanya tengah berjuang melawan para
samurai yang dipimpin tuan Asano. Mereka menuntut untuk mendapatkan pasir
besi tetapi Eboshi menolaknya. Eboshi berhasil mengusir samurai dengan ishibiya
kemudian Jiko Bou datang mengunjunginya. Ia menuntut Eboshi untuk memenuhi
janjinya berburu Shishigami. Eboshi terpaksa menyanggupinya karena hutang
budinya pada Jiko Bou. Lalu terjadilah perang antara kelompok manusia dan
kelompok Kami. Ashitaka hadir untuk meredakan pertempuran tersebut.
Ashitaka menemukan Eboshi dan Jiko Bou di hutan. Ia menyuruh Eboshi
untuk kembali ke Tatara Ba, tapi ia menolaknya. Lalu Shishigami muncul di sisi
lain dari kolam. Perlahan-lahan berjalan di atas air menuju Ashitaka. Kemudian
Eboshi yang bersembunyi di balik pohon, menembak Shishigami beberapa kali.
Pada tembakan ketiga peluru mengenai kepala Shishigami yang dalam wujud
setengah berubah menjadi Daidarabocchi. Kepala Shishigami jatuh ke tanah.
Tubuh Shishigami yang tanpa kepala berubah menjadi lendir hitam dan meledak.
Segala sesuatu yang disentuhnya mati. Eboshi meraih kepala Shishigami dan
melemparkannya ke Jiko Bou yang menempatkannya dalam sebuah wadah lalu ia
lari dengan anak buahnya. Daidarabocchi mencari kepalanya dengan berjalan dari
hutan sampai ke Tatara Ba dan menghancurkan apapun yang dilewatinya.
Ashitaka dan San menemukan Jiko Bou dan anak buahnya membawa wadah
dengan kepala di dalamnya. Sementara Ashitaka dan San berperang melawan Jiko
Bou dan anak buahnya, lendir hitam dari Daidarabocchi mengelilingi mereka. Jiko
Bou akhirnya menyerah dan membuka wadah. Ashitaka dan San memegang kepala
Shishigami di atas dan mengembalikannya pada Daidarabocchi. Setelah kepalanya
kembali, Daidarabocchi perlahan berdiri. Kemudian cahaya pagi menghantamnya.
Tubuh Daidarabocchi perlahan-lahan jatuh ke danau. Ia menghilang bersama
tiupan angin. Setelah angin, tanaman mulai tumbuh di seluruh hutan.
San merasa sedih karena Shishigami telah mati. Namun, Ashitaka
meyakinkan San bahwa Shishigami tidak mati dan ia akan hidup dengan sendirinya.
San menyukai Ashitaka tetapi, ia tetap tidak bisa memaafkan manusia. San
memutuskan tetap tinggal di hutan dan Ashitaka tinggal di Tatara Ba. Ashitaka
akan mengunjungi San di hutan. Eboshi menyadari kesalahannya dan berjanji
kepada para pekerjanya untuk mulai membangun Tatara Ba menjadi tempat yang
lebih baik tanpa merusak alam.
4.2 Hubungan Manusia dan Alam dalam Agama Shinto
Beberapa peneliti telah menemukan bahwa spiritualitas dan perhatian
terhadap kelestarian alam dalam Mononoke Hime berasal dari agama Shinto, sebuah
adat agama Jepang yang masih dilakukan hingga saat ini. Miyazaki menggunakan
agama Shinto untuk berkomunikasi dengan penontonnya menyampaikan
pentingnya melestarikan alam, dampak perbuatan manusia terhadap alam, dan
keseimbangan hubungan antara manusia dan alam. Penelitian ini menemukan
bahwa Shinto dapat digunakan untuk menafsirkan Mononoke Hime dan melihat
warisan budaya Jepang di dalam film animasi tersebut.
Agama Shinto pada mulanya adalah agama alam yang merupakan perpaduan
antara paham animisme dan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Dengan cara
yang sangat sederhana bangsa Jepang purba memersonifikasikan semua gejala alam
yang ditemukan. Bellah menyebutkan bahwa alam adalah kekuatan pemelihara
yang penuh kebajikan yang harus dihargai oleh manusia dan merupakan
perwujudan dari sumber kejadian. Alam tidaklah terpisah dari para dewa atau
manusia tetapi menyatu dengan keduanya (1992:82).
Semua benda di alam, baik yang hidup maupun yang mati, dianggap memiliki
roh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap pula berkemampuan untuk
berbicara. Semua roh atau spirit itu dianggap memiliki daya-daya kekuasaan yang
berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Daya-daya kekuasaan tersebut dipuja dan
disebut dengan Kami (Djam’annuri, 1981:56).
Seorang sarjana dan pembaru agama Shinto abad modern yang bernama
Motoori Nironaga menyebutkan bahwa istilah Kami pada mulanya diterapkan
terhadap berbagai macam Dewa Langit dan Dewa Bumi yang disebutkan dalam
catatan-catatan kuno dan terhadap spirit-spirit mereka yang berdiam di tempat-
tempat suci di mana mereka dipuja (dalam Djam’annuri, 1981:57) . Bukan hanya
manusia, melainkan binatang-binatang, tumbuh-tumbuhan, laut dan gunung-
gunung, serta semua benda yang lain apa pun bentuknya yang patut ditakuti dan
dipuja sebab kekuasaan yang luar biasa dan tinggi yang dimiliki, disebut Kami.
Wujud-wujud yang jahat dan mengerikan juga disebut Kami apabila mereka itu
merupakan objek-objek yang pada umumnya ditakuti.
Sewaktu tempat-tempat pemujaan permanen belum ada, maka objek-objek
alam, seperti gunung, sungai, pohon, dan sebagainya dipuja secara langsung. Akan
tetapi, lambat laun mulai didirikan bangunan-bangunan tertentu untuk keperluan
memuja dewa-dewa. Sebagian di antaranya hanya berupa tempat-tempat berteduh
yang dibangun sangat sederhana dan sebagian yang lain sudah merupakan
bangunan permanen yang dikhususkan untuk keperluan memuja roh atau objek-
objek tertentu. Bangunan-bangunan tersebut dianggap suci dan dalam bahasa
Jepang disebut dengan jinja. Pada umumnya jinja-jinja tersebut terletak di daerah
yang dikelilingi oleh hutan dan merupakan kelanjutan tempat-tempat pemujaan
alam pada zaman kuno (Djam’annuri, 1981:79). Namun, tradisi agama Shinto ini
mulai pudar seiring dengan perkembangan zaman. Saat teknologi mempermudah
manusia untuk menguasai alam maka rasa takut terhadap alam semakin hilang.
Keadaan tersebut mulai terjadi di Jepang sejak zaman Muromachi.
4.3 Keadaan Sosial pada Zaman Muromachi
Film animasi ini berlatar belakang zaman Muromachi pada tahun 1333-1568
yaitu zaman yang membingungkan karena terdapat dua penguasa sehingga sering
terjadi perang untuk memperebutkan kekuasaan. Saat ini sistem dari abad
pertengahan hancur dan masyarakat mulai bergerak menuju ke era modern.
Permasalahan diawali pada tahun 1333 saat kaisar Godaigo mulai menjalankan
pemerintahan baru yang berpusat pada kaisar di Kyoto. Namun, pimpinan militer,
yaitu Ashikaga Takauji merasa tidak puas dengan pemerintahan ini sehingga ia
memberontak dan menyerbu Kyoto. Kaisar kalah lalu melarikan diri ke Yoshino (di
Nara) dan mendirikan istana di sana (Yamakawa, 1990:68--69).
Ashikaga Takauji mendirikan kekaisaran baru yang disebut Hokucho (istana
utara) di Kyoto. Di lain pihak, kaisar Godaigo mendirikan istana Nanchō (istana
selatan) di Yoshino. Pada rentang waktu tersebut dikenal juga dengan zaman
Nanbokuchō (zaman istana di utara dan selatan). Saat terjadi situasi di mana kedua
istana saling bertentangan. Pada zaman ini banyak muncul gekokujo, yaitu keadaan
masyarakat di mana bawahan memberontak kepada atasan seperti yang dilakukan
Ashikaga Takauji kepada kaisar. Keadaan ini berlangsung selama kurang lebih
seratus tahun dan disebut zaman Sengoku (Yamakawa, 1990:70--74)
Orang yang menjadi penguasa baru pada zaman ini disebut sengoku daimyou9.
Sengoku daimyou tinggal di wilayah mereka, mencurahkan energi untuk
meningkatkan militer mereka sendiri, politik, dan kekuatan ekonomi. Kegiatan
mereka meliputi membangun kota-kota benteng, melakukan survei tanah,
menghancurkan pemberontakan petani dan membawa desa di bawah pengawasan
yang ketat (Youko, 1996:79)
Meskipun pemerintahan dalam negeri sedang kacau, tapi perdagangan baik
di dalam maupun luar negeri mengalami kemajuan yang pesat. Pada akhir zaman
ini bangsa barat pertama kali menginjakkan kakinya di Jepang. Ini merupakan titik
awal masuknya budaya barat yang berkembang menjadi kemajuan teknologi.
Tahun 1543 Portugis pertama kali datang ke Pulau Tanegashima untuk berdagang
dengan Jepang Dalam perdagangan ini bangsa portugis memperkenalkan senjata
api yang membawa kemajuan teknologi militer dalam periode Sengoku. Saat itu
perang terjadi di mana-mana sehingga orang Jepang dengan cukup cepat
mengadopsi beberapa teknologi militer bangsa Portugis, seperti meriam dan senjata
api. Dengan memiliki senjata api (yang paling canggih pada masa itu), akan dapat
menundukkan musuh-musuhnya lebih cepat dan mempertahankan wilayah yang
9 Daimyou berarti orang yang memiliki pengaruh besar di suatu wilayah. Di dalam masyarakatsamurai di Jepang, istilah daimyou digunakan untuk samurai yang memiliki hak atas tanah yangluas (tuan tanah) dan memiliki banyak samurai sebagai pengikut (diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/ Daimyo tanggal 6 Juni 2014).
telah dikuasainya serta membentuk pemerintahan pusat yang kokoh (Beasley,
2003:159).
Namun bahan dasar pembuatan meriam dan senjata api yaitu pasir besi di
Jepang merupakan benda yang sangat langka. Hal ini disebabkan adanya fakta
bahwa Jepang miskin atas sumber daya alam, terutama besi. Oleh karena itu orang
Jepang terkenal hemat dengan konsumsi sumber daya mereka. Apa yang sedikit
mereka miliki, mereka gunakan dengan keahlian yang tinggi. Oleh karena itu
dikembangkan metode tatara untuk memanfaatkan pengolahan pasir besi dengan
baik (diakses dari https://www.hitachi-metals.co.jp/e/tatara/index.htm.). Kemajuan
metode tatara semakin berkembang menjadi lebih modern sehingga menghasilkan
lebih banyak alat baru, seperti pedang dan baja yang juga sangat dibutuhkan dalam
masa perang.
Perang berakhir saat kekuatan keluarga Ashikaga yang ada di ibukota sudah
semakin lemah dan tidak mampu menjaga kestabilan negara. Salah seorang
daimyou terkuat yaitu Oda Nobunaga dengan bantuan Toyotomi Hideyoshi dan
Tokugawa Ieyasu berhasil mempersatukan Jepang. Tahun 1568 Nobunaga
merampas Kyōto dan mengangkat Ashikaga Yoshiaki sebagai Shōgun10 boneka
(Shōgun yang kekuasaannya ada di tangan majikannya). Jadi kekuasaannya ada di
tangan Nobunaga (Yamakawa, 1990:76).
10 Shōgun adalah istilah jenderal atau panglima tertinggi pasukan dalam Bahasa Jepang. PejabatShogun diangkat dengan perintah kaisar dan dalam prakteknya berperan sebagai kepalapemerintahan. Kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan kaisar Jepang (Diakses darihttp://id.wikipedia.org/wiki/Shogun tanggal 12 Agustus 2014)
4.4 Pemetaan Konflik
Pemetaan konflik memberikan deskripsi pendahuluan mengenai berbagai
sikap, perilaku, dan situasi yang berkembang dalam dinamika konflik (Susan,
2010:95). Situasi yang terjadi dalam Mononoke Hime adalah konflik antara empat
kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kelompok-kelompok
tersebut terdiri atas kelompok Tatara Ba, kelompok Kami, kelompok samurai, dan
kelompok Jiko Bou. Ashitaka menjadi penengah dalam konflik.
4.4.1 Kelompok Tatara Ba
Kelompok Tatara Ba terdiri atas Eboshi Gozen, Ishibiyashuu dan orang-
orang yang dikucilkan masyarakat seperti mantan wanita pelacur, penderita
penyakit lepra, dan orang-orang yang putus asa ditampung di Tatara Ba. Eboshi
Gozen merupakan pimpinan kelompok Tatara Ba yang disegani oleh para
pekerjanya. Di bawah ini adalah gambar Eboshi yang sedang memegang ishibiya.
Eboshi mengenakan topi berwarna merah, jaket berwarna biru dan baju berwarna
merah.
(Gambar 4.1 Eboshi memegang ishibiya)
Warna merah menandakan bahwa Eboshi adalah wanita yang kuat,
pemberani, dan berjuang keras untuk mencapai tujuannya yaitu membangun Tatara
Ba. Warna biru menandakan bahwa Eboshi juga memiliki karakter tenang, percaya
diri, stabil, dan bersikap dingin. Selain itu biru juga menandakan bahwa Eboshi
melindungi dan memberikan perhatian, dan bersahabat kepada para pekerjanya
sehingga ia sangat dihormati dan dicintai. Eboshi memegang ishibiya menandakan
feminisme dalam Mononoke Hime. Wanita dapat menggunakan senjata yang
biasanya hanya digunakan para pria sehingga dalam film ini kedudukan wanita dan
pria digambarkan sejajar.
Warna merah dan biru yang kontras menandakan Eboshi memiliki karakter
dualisme, yaitu tokoh antagonis yang memiliki sisi baik hati. Karakter Eboshi
diciptakan oleh Miyazaki sesuai dengan pernyataannya bahwa dia sudah bosan
melihat karakter antagonis yang berwajah seram dan jahat. Dia bukanlah karakter
yang jahat, tetapi memiliki ambisi yang besar demi kemajuan desa yang
dibentuknya, yaitu Tatara Ba. Bahkan ia tidak takut untuk membunuh Kami
sekalipun.
Kebaikan hati Eboshi dapat diketahui dari sikapnya terhadap para pekerja
Tatara Ba. Tatara Ba ialah utopia11 yang diciptakan oleh Eboshi untuk menampung
orang-orang yang dikucilkan masyarakat, mantan pekerja seks, dan penderita lepra
yang diasingkan oleh masyarakat. Eboshi menolong mereka dan memberinya
pekerjaan di Tatara Ba. Berikut ini adalah penjelasan laki-laki di Tatara Ba tentang
11 Utopia menunjuk ke sebuah masyarakat hipotetis sempurna. Kata sifat utopis digunakan untukmerujuk ke sebuah proposal yang baik, tetapi (secara fisik, sosial, ekonomi, atau politik) tidakmungkin terjadi atau paling tidak merupakan sesuatu yang sulit dilaksanakan (diakses darihttp://id.wikipedia.org/wiki/Utopia tanggal 10 Juli 2014).
kebaikan hati Eboshi. Eboshi mempekerjakan para wanita yang ditemukan di
tempat pelacuran untuk membantu proses pembakaran besi di Tatara Ba.
「エボシさまときたら、売られたむすめたちを、みんな、ひきと
っちまうからな。やさしい方なんだよ。」Terjemahan :“Nona Eboshi mengontrak setiap gadis yang ditemukan dari tempatpelacuran. Dia sangat baik.”
Hal lainnya adalah Eboshi juga menolong orang-orang yang terkena penyakit
lepra. Saat mereka dikucilkan oleh masyarakat, Eboshi justru menolong dan
mempekerjakan mereka. Tanpa takut tertular ia mengobati orang-orang tersebut
dan merawatnya dengan baik. Ia menyediakan tempat khusus di taman sebagai
tempat tinggal mereka. Eboshi memberikan mereka pekerjaan sebagai pembuat
ishibiya. Mereka merasa sangat dihargai dan hidupnya menjadi lebih berarti.
Berikut ini penjelasan salah seorang penderita penyakit lepra tentang Eboshi. Ia
melarang Ashitaka membunuh Eboshi karena Eboshi telah menyelamatkan mereka.
「その人は、わしらを、人として、あつかってくださった、たっ
たひとりの人だ。わしらの病を、おそれず、くさった肉をあらい、
布をまいてくれた。とうか、どうか、その人を・・・。」Terjemahan :“Dia satu-satunya yang menganggap kami sebagai manusia. Tanpaketakutan pada penyakit kami, dia yang mencuci daging busuk kami,mebaluti kami perban. Aku mohon padamu jangan bunuh nona Eboshi.”
Eboshi dibantu oleh pasukan Ishibiyashuu untuk mewujudkan ambisinya
memajukan industri besi Tatara Ba. Pasukan ishibiyashuu adalah pasukan yang
bersenjatakan ishibiya yang diberikan Jiko Bou kepada Eboshi untuk membantunya
membangun Tatara Ba. Pasukan ishibiyashuu bertugas menembak para Kami yang
menghalangi pekerja Tatara Ba menebang pohon-pohon. Selain itu pasukan ini
bertugas menjaga keamanan Tatara Ba dari serangan musuh yaitu kelompok
Inugami dan kelompok samurai.
4.4.2 Kelompok Kami
Kelompok Kami terdiri atas Inugami, Inoshishigami, Shoujou, Kodama, dan
Shishigami. Diantara para Kami, Shishigami yang memiliki kekuatan tertinggi
karena dapat memberikan kehidupan dan kematian. Ia menguasai hutan tempat
tinggal Kami sehingga hutan tersebut dinamakan hutan Shishigami. Gambar di
bawah ini adalah gambar Shishigami dan wujud perubahannya pada malam hari,
yaitu Daidarabocchi.
(Gambar 4.2 Shishigami dan Daidarabocchi)
Pada gambar di atas Shishigami berwujud rusa dengan banyak tanduk dan
memiliki wajah seperti manusia. Hayao Miyazaki menggunakan wujud rusa
sebagai Kami karena rusa dianggap penjelmaan Kami dalam agama Shinto. Tanduk
berwarna hijau dan berbentuk seperti cabang pohon, wajah seperti manusia, dan
tubuh berbentuk rusa menandakan bahwa Shishigami memiliki kuasa atas seluruh
unsur alam baik itu tumbuh-tumbuhan, hewan, maupun manusia. Shishigami dapat
memberikan kehidupan dan kematian kepada seluruh makhluk hidup.
Pada malam hari Shishigami berubah wujud menjadi Daidarabocchi yang
tampak seperti gambar di atas. Daidarabocchi yang disebut juga si pejalan malam
adalah raksasa, berwarna biru, dan berwujud rusa. Daidarabocchi merupakan salah
satu jenis youkai 12 yang ada dalam mitologi Jepang yang disebut sebagai
pemelihara bumi. Ia juga dapat memindahkan gunung dan membuat danau. Dalam
film animasi ini Shishigami bertransformasi menjadi Daidarabocchi karena wujud
raksasa Daidarabocchi memudahkannya berjalan – jalan pada malam hari untuk
menjaga dan mengawasi alam. Warna biru Daidarabocchi menandakan
perlindungan dan harmonisasi alam.
「シシ神は、命をあたえもし、うばいもする。そんなことも、わす
れてしまったのか。いのししども。」Terjemahan:“Dewa rusa memberikan kehidupan dan mengambilnya kembali. Apa kalianpara inoshishigami lupa akan hal itu?”
Selain Eboshi, Shishigami juga memiliki karakter dualisme karena ia
merupakan tokoh protagonis yang memiliki sisi yang buruk. Kutipan di atas
menunjukkan bahwa Shishigami memiliki kekuatan atas kehidupan dan kematian.
Kekuatan tersebut dapat terlihat pada jejak kakinya yang dapat menumbuhkan dan
mematikan tanaman yang diinjaknya. Menurut Ross hal tersebut berkaitan dengan
agama Shinto karena dalam Shinto semua Kami memiliki “sisi kasar” (ara-mi-
tama) dan “sisi lembut” (nigi-mi-tama) (1983:27). Sisi kasar Shishigami adalah
mengambil kehidupan dan sisi lembutnya adalah memberikan kehidupan. Di satu
sisi ia menyembuhkan luka di dada Ashitaka akibat tertembak peluru, di sisi lain
dia mencabut nyawa Moro dan Okkotonushi yang merupakan sesama Kami.
12 Youkai adalah makhluk gaib yang biasanya memiliki kekuatan supranatural. Selain itu youkaijuga pernah dianggap sebagai Kami, tetapi turun derajatnya (Miyata, 1990:10)
Selain Shishigami dan Daidarabocchi, Inugami dan Inoshishigami juga
merupakan Kami yang memiliki kekuatan serta dapat berkomunikasi dengan
manusia. Inugami merupakan Kami yang berbentuk serigala. Inugami dimunculkan
dalam film animasi ini karena merupakan salah satu makhluk yang dianggap
memiliki kekuatan mistis oleh masyarakat Jepang. Inugami merupakan hewan
peliharaan gaib yang loyal dengan satu orang pemilik atau keluarga, sama seperti
seekor anjing normal lainnya. Hanya saja, ketika Ia tidak diperlakukan dengan baik,
mereka akan menyerang balik majikannya (Diakses dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Inugami tanggal 18 Oktober 2014). Berikut ini adalah
gambar Inugami dalam Mononoke Hime.
(Gambar 4.3 Inugami)
Gambar di atas adalah kelompok Inugami yang terdiri atas San, Moro, dan
anaknya. Kelompok ini dipimpin oleh Moro, serigala yang berukuran paling besar.
San merupakan seorang manusia yang dibesarkan oleh Moro karena saat bayi
ditinggalkan di hutan oleh orang tuanya. Moro sangat menyayanginya seperti
anaknya sendiri. San merupakan wanita yang kuat dan pemberani. Mereka bertugas
untuk melindungi hutan dan Shishigami. Namun, hutan dan Shishigami
diperlakukan semena-mena oleh manusia sehingga Inugami bekerja sama dengan
Inoshishigami untuk menyerang manusia.
Inoshishigami adalah Kami yang berbentuk babi hutan berukuran besar dan
berwarna coklat tua. Inoshishigami datang jauh-jauh dari utara untuk membalas
kematian temannya bernama Nago karena ulah manusia yang telah merusak hutan.
Di bawah ini adalah gambar Okkotonushi, pimpinan kelompok Inoshishigami yang
berukuran paling besar, berwarna abu-abu, berumur 500 tahun dan buta.
(Gambar 4.4 Inoshishigami yang dipimpin Okkotonushi)
Dalam film ini wujud babi hutan dianggap sebagai Kami sesuai dengan mitos
di negara timur yang menyebutkan babi adalah hewan yang dianggap suci pada
zaman prasejarah. Salah satunya dalam mitologi Hindu, awatara Waraha
merupakan dewa wisnu yang menjelma menjadi babi hutan untuk menyelamatkan
bumi. Waraha dengan dua taring yang panjang mencuat menopang bumi yang
dijatuhkan oleh raksasa bernama Hiranyaksa (Diakses dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Waraha tanggal 18 Oktober 2014). Sesuai dengan
mitologi tersebut, Inoshishigami dalam Mononoke Hime memiliki karakter
pemberani dan pantang menyerah berperang melawan manusia demi
menyelamatkan hutan Shishigami.
Hutan Shishigami juga dihuni oleh hewan yang disebut Shoujou yang berarti
orangutan. Shoujou merupakan kera dalam legenda Jepang yang memiliki ekor
panjang, wajah seperti manusia, dan berjalan seperti manusia. Namun, dalam film
animasi ini Shoujou digambarkan dalam wujud perpaduan antara orangutan dan
gorila yang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan manusia seperti
gambar di bawah ini.
(Gambar 4.5 Shoujou)
Pada gambar di atas para Shoujou terlihat sangat marah karena manusia
membabat pohon-pohon di hutan sehingga mereka tidak memiliki tempat tinggal
dan sumber makanan. Berbeda dengan Inugami dan Inoshishigami yang
mempertahankan hutan dengan cara menyerang manusia, para Shoujou
mempertahankan hutan dengan cara menanam pohon. Mereka berulang kali
menanam pohon di hutan yang telah dibabat, tetapi Eboshi dan pekerjanya selalu
mengusirnya.
Selain Shoujou, hutan Shishigami juga dihuni oleh makhluk yang disebut
kodama. Kodama terdiri dari dua kata yaitu ko berarti pohon dan dama berarti roh.
Jadi kodama adalah roh pohon. Pada zaman kuno, kodama disebut Kami yang
tinggal di pohon-pohon, tapi saat ini kodama disebut youkai. Tidak ada yang tahu
persis seperti apa wujud kodama. Mereka tidak dapat dibedakan dari bentuk pohon
biasa. Dalam Mononoke Hime, kodama digambarkan dalam wujud makhluk yang
lucu, berwarna putih, bertubuh mungil dengan kepala bulat, bisa menghilang, dan
berjumlah banyak seperti gambar di bawah ini.
(Gambar 4.6 Kodama)
Kodama digambarkan seperti gambar di atas oleh Hayao Miyazaki agar
penontonnya yang sebagian besar anak-anak tidak takut terhadap roh pohon. Wujud
imajinasi Hayao Miyazaki ini membuat kodama menjadi terkenal di Jepang. Dalam
film ini kodama tidak dapat berkomunikasi dengan manusia tapi dapat mengerti
ucapan manusia. Ia juga memiliki sifat baik hati karena mengantarkan Ashitaka
keluar dari hutan Shishigami. Selain itu, ia memiliki kemampuan memanggil
Shishigami atau Daidarabocchi dengan cara menggerakkan kepalanya.
4.4.3 Kelompok Jiko Bou
Kelompok Jiko Bou terdiri atas karakasaren, jibashiri dan Jiko Bou sebagai
pimpinan. Mereka adalah agen suruhan kaisar yang bertugas memburu kepala
Shishigami untuk diberikan pada kaisar agar tetap abadi. Gambar di bawah ini
adalah gambar Jiko Bou dan pasukan karakasaren. Mereka mengenakan pakaian
berwarna merah dan putih serta membawa payung yang disebut karakasa.
(Gambar 4.7 Jiko Bou dan Karakasaren)
Warna pakaian merah dan putih pada pasukan tersebut sama dengan warna
bendera negara Jepang yang disebut Hinomaru. Hal ini menandakan bahwa Jiko
Bou dan pasukan karakasaren merupakan utusan pemimpin Jepang yaitu kaisar.
Warna merah pada pakaian mereka menandakan kekuatan dan ambisi. Jiko Bou
sangat berambisi untuk mendapatkan kepala Shishigami meskipun ia harus
menempuh bahaya sekalipun. Pasukan karakasaren menjadi kekuatan kelompok
ini untuk melancarkan tujuannya. Warna putih pada pakaian mereka menandakan
kebersihan. Dalam hal ini ‘bersih’ yang dimaksud adalah tindakan memburu kepala
Shishigami merupakan tugas mulia berdasarkan titah kerajaan karena dilakukan
untuk keabadian kaisar. Payung yang digunakan kelompok ini sebenarnya adalah
senjata utama mereka. Dibuat dalam bentuk payung besar untuk mengelabui orang-
orang.
Jiko Bou menyewa pasukan pemburu untuk membantunya memburu
Shishigami. Gambar di bawah ini adalah pasukan pemburu yang disebut dengan
jibashiri. Jibashiri mengenakan pakaian berwarna coklat dan penutup kepala dari
kulit binatang.
(Gambar 4.8 Jibashiri)
Warna coklat biasanya menandakan bumi, tanah, atau batang pohon. Jibashiri
menggunakan warna ini agar terlihat sama dengan warna tanah atau batang pohon
sehingga terlihat menyatu dengan alam. Warna coklat juga menandakan pemikiran
yang materialis. Jibashiri bersedia berburu Kami demi mendapatkan bayaran Jiko
Bou, meskipun hal itu merupakan tindakan kejahatan. Beberapa anggota pasukan
memakai pakaian dari kulit beruang sebagai penutup kepala. Mereka mengenakan
topi dari kulit binatang sebagai bentuk penyamaran mereka agar tidak terlihat dan
tercium oleh binatang yang diburu.
4.4.4 Kelompok Samurai
Kelompok samurai ikut masuk ke dalam konflik sehingga perseteruan
menjadi semakin rumit. Kelompok ini dipimpin oleh Tuan Asano yang sangat ingin
menguasai Tatara Ba untuk mendapatkan pasir besi. Pada gambar di bawah ini
adegan saat kelompok samurai menyerang Tatara Ba. Terlihat pasukan samurai
berjumlah sangat banyak dengan menggunakan berbagai macam senjata seperti
pedang, panah, dan tombak.
(Gambar 4.9 pasukan samurai)
4.4.5 Ashitaka
Konflik yang terjadi dalam Mononoke Hime ditengahi oleh seorang pemuda
dari Desa Emishi bernama Ashitaka. Ashitaka tidak memihak salah satu kelompok
dan mengutamakan perdamaian di antara kelompok yang bertikai. Di bawah ini
adalah gambar Ashitaka dengan mengenakan pakaian berwarna biru.
(Gambar 4.10 Ashitaka)
Warna biru yang dikenakan Ashitaka menandakan karakter tenang, bijak, dan
percaya diri. Selain itu, Ashitaka memiliki idealisme menciptakan perdamaian
untuk menyelesaikan masalah. Berbeda dengan pemikiran setiap kelompok yang
memilih jalan konflik untuk menyelesaikan permasalahan. Ashitaka bersahabat
baik dengan kelompok Kami dan kelompok Tatara Ba dan berusaha menciptakan
harmonisasi antara manusia dan alam.
4.3.6 Bagan Pemetaan Konflik
Berdasarkan pemaparan di atas, tiap-tiap kelompok dimasukkan dalam
gambar pemetaan untuk mengetahui hubungan mereka dalam konflik. Pemetaan
merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menggambarkan konflik secara
grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan masalah dan dengan pihak lainnya
(Susan, 2010:95). Berikut ini adalah bagan pemetaan konflik dalam Mononoke
Hime.
(Bagan II. Pemetaan Konflik)
: Kerja sama
: Netral
: Hubungan konflik
: Konflik tak langsung
Menurut Fisher, pemetaan konflik meliputi pemetaan pihak berkonflik dan
berbagai aspirasi dari pihak-pihak yang ada. Ketika masyarakat yang memiliki
berbagai sudut pandang berbeda memetakan situasi mereka secara bersama, mereka
saling mempelajari pengalaman dan pandangan masing-masing (dalam Susan,
2010:95).
Kelompok Tatara Ba: Eboshi Gozen Mantan wanita pelacur Orang-orang yang
dikucilkan Para penderita lepra Ishibiyashuu
Kelompok Jiko Bou : Jiko Bou Karakasaren Jibashiri
KelompokSamurai
Kelompok Kami : Shishigami Inugami Inoshishigami Shoujou Kodama
Ashitaka
Kelompok samurai yang dipimpin oleh Tuan Asano menyerang Tatara Ba
karena ingin menguasai pasir besi. Namun, orang-orang Tatara Ba
mempertahankan tempat tinggal mereka dan bertarung dengan menggunakan
ishibiya sehingga mempersulit para samurai yang hanya bersenjatakan pedang.
Kelompok Tatara Ba juga berkonflik dengan kelompok Kami. Eboshi sebagai
pimpinan Tatara Ba ingin menguasai hutan agar dapat dengan leluasa mengeruk
pasir besi untuk menafkahi pekerja-pekerjanya. Namun, kelompok Kami ingin
melindungi dan menjaga hutan sebagai tempat hidup mereka.
Kaisar mengirim pasukannya yang dipimpin oleh Jiko Bou untuk memburu
kepala Shishgami dan Eboshi bersedia bekerjasama dengan mereka karena utang
budinya pada Jiko Bou. Ashitaka menjadi penengah di antara kelompok yang
bertikai. Ia tidak memihak kelompok Kami ataupun kelompok Tatara Ba. Ia
menginginkan perdamaian antara kelompok tersebut. Demi melindungi kelompok
Tatara Ba dan kelompok Kami, Ashitaka melawan kelompok Jiko Bou dan
kelompok samurai yang dianggap dapat mengancam perdamaian.
4.5 Dinamika Konflik
Langkah selanjutnya setelah pemetaan konflik adalah menganalisis dinamika
konflik. Kunci memahami dinamika konflik pertama adalah dengan melihat sumber
konflik, yaitu segala sesuatu yang menjadi inti masalah, seperti sumber daya alam,
perbedaan tafsir agama, atau etnis (Susan, 2010:101). Konflik yang terjadi dalam
Mononoke Hime bersumber pada sumber daya alam, yaitu hutan Shishigami dan
pasir besi yang dikelola di Tatara Ba. Sesuai dengan pendapat Fisher tahapan
dinamika konflik dalam Mononoke Hime meliputi prakonflik, konfrontasi, krisis,
dan pascakonflik (dalam Susan, 2010:102--103).
4.5.1 Prakonflik
Prakonflik adalah periode pada saat terdapat suatu ketidaksesuain sasaran di
antara dua pihak atau lebih sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari
pandangan umum meskipun satu pihak atau lebih mengetahui potensi terjadinya
konfrontasi. Terdapat ketegangan hubungan di antara beberapa pihak dan keinginan
untuk menghindari kontak satu sama lain pada tahap ini (Susan, 2010:102).
Prakonflik terjadi pada saat Ashitaka terkena kutukan Tatarigami sehingga ia
harus pergi dari desa dan melakukan perjalanan ke Tatara Ba. Di Tatara Ba ia
mencari jawaban untuk menyembuhkan kutukan Tatarigami. Ia menemukan
jawabannya pada Eboshi yang ternyata telah menembak Inoshishigami bernama
Nago sehingga berubah menjadi Tatarigami. Ashitaka sangat marah akan tindakan
kejam Eboshi yang merusak hutan dan membunuh dewa penghuni hutan.
Seharusnya Tatarigami menyerang Eboshi yang telah menembaknya, tetapi ia
justru menyerang Ashitaka sehingga terkena kutukan. Penyerangan Tatarigami ke
Desa Emishi merupakan ketidaksesuaian sasaran. Sempat terjadi debat antara
Ashitaka dan Eboshi, tetapi Ashitaka mengurungkan niatnya menyerang Eboshi
untuk menghindari kontak karena ia telah menolong banyak orang di Tatara Ba.
4.5.2 Konfrontasi
Selanjutnya tahap konfrontasi memperlihatkan satu tahap pada saat konflik
mulai terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, para pendukungnya
mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Ladang
pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi di antara kedua pihak
(Susan, 2010:102).
Konfrontasi terjadi pada saat San menyerang Tatara Ba untuk membalaskan
dendam penghuni hutan yang telah dibunuh oleh Eboshi. Ashitaka mencoba
membujuknya untuk kembali ke hutan, tetapi ia tak menghiraukannya. Ia
menyerang Ashitaka hingga pisaunya merobek lehernya. Selanjutnya ia terlibat
pertarungan sengit satu lawan satu dengan Eboshi. Akan tetapi, ia seorang diri,
orang-orang Tatara Ba mengelilinginya seperti hewan yang akan dijebak. Dengan
mendesak masuk dalam keramaian, Ashitaka menengahi pertarungan Eboshi dan
San, lalu memukul Eboshi dan San sampai pingsan. Pertarungan ini hanya
kekerasan pada tingkat rendah sebagai bentuk perilaku konfrontatif San terhadap
Eboshi.
4.5.3 Krisis
Setelah konfrontasi terjadi tahap krisis yang merupakan puncak konflik.
Tahap ketika konflik pecah menjadi bentuk aksi-aksi kekerasan yang dilakukan
secara intens dan massal. Konflik skala besar ini merupakan periode perang ketika
orang-orang dari kedua pihak terbunuh. Akibat menunjukkan pada situasi yang
disebabkan oleh pecahnya konflik pada tahap krisis (Susan, 2010:102--103).
Masa krisis terjadi pada saat perang antara kelompok manusia dan kelompok
Kami. Kelompok manusia telah memasang jebakan untuk memancing kelompok
Kami keluar dari hutan. Saat kelompok Kami menyerang kelompok manusia, ranjau
yang telah dipasang kelompok manusia meledak sehingga membunuh banyak
korban, baik dari pihak Kami maupun manusia. Selain itu, perang juga terjadi di
Tatara Ba antara orang-orang Tatara Ba dengan kelompok samurai yang
menghancurkan pabrik pengolahan besi tersebut.
4.5.4 Pascakonflik
Tahapan yang terakhir pascakonflik merupakan situasi yang diselesaikan
dengan mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang, dan
hubungan mengarah ke lebih normal di antara kedua belah pihak. Pascakonflik bisa
juga disebut sebagai tahapan deeskalasi konflik kekerasan yang dapat terjadi karena
beberapa faktor. Pertama, kedua belah pihak yang berkonflik menemukan
pemecahan masalah dari konflik. Kedua, salah satu pihak mengalami kekalahan
luar biasa, tanpa mendapatkan apa pun yang diperebutkan, dan tidak memiliki
kemampuan melanjutkan konflik. Ketiga, semua pihak yang berkonflik mengalami
kehancuran dan tidak mampu melanjutkan konflik. Keempat, pihak berkonflik
menghentikan sementara waktu konflik untuk menyusun strategi selanjutnya
(Susan, 2010:103--104).
Pascakonflik terjadi pada saat Eboshi menembak kepala Shishigami lalu
keluar lendir hitam dari tubuhnya yang menghancurkan hutan Shishigami dan
Tatara Ba. Semua orang dan Kami berlari untuk menyelamatkan diri agar tidak
terkena lendir. Peristiwa tersebut mengakhiri pertempuran yang terjadi dan
hubungan antara kelompok yang berkonflik mengarah ke lebih normal. Sesuai
dengan penjelasan di atas tahapan deeskalasi konflik kekerasan berakhir karena
faktor ketiga, yaitu semua pihak yang berkonflik mengalami kehancuran dan tidak
mampu melanjutkan konflik. Kehancuran juga menyadarkan banyak pihak dampak
tentang konflik dan memilih untuk berdamai.
BAB V
BENTUK WACANA KONFLIK LINGKUNGAN DALAM TEKS FILM
ANIMASI MONONOKE HIME KARYA HAYAO MIYAZAKI
Dalam bab ini diuraikan bentuk-bentuk wacana konflik lingkungan yang
mencakup bentuk wacana perlindungan alam dan bentuk wacana eksploitasi alam
yang diawali dengan menganalisis bahasa dan gaya bahasa. Uraian yang dipaparkan
dalam bab ini mengacu pada perubahan sosial yang disebabkan masuknya budaya
barat yang membawa pengaruh bagi perkembangan teknologi sehingga mengubah
cara berpikir masyarakat Jepang menjadi lebih mementingkan materi dibandingkan
kelestarian alam. Perbedaan paham dalam pengelolaan sumber daya alam
menimbulkan konflik lingkungan antara manusia dan alam.
5.1 Bahasa
Bahasa adalah suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer,
digunakan oleh suatu masyarakat untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan
mengidentifikasikan diri (Keraf, 2010:30). Bahasa juga merupakan salah satu
manifestasi kebudayaan yang memiliki peran sangat penting dalam kehidupan
manusia. Melalui bahasa kita dapat mengenali kebudayaan suatu bangsa. Salah satu
contoh adalah bangsa Jepang yang selalu memperhitungkan status atau keberadaan
mitra bicara dalam menjalin hubungan sosial dan komunikasinya. Hal ini
menjadikan bahasa Jepang mengenal tingkatan bahasa dalam komunikasi sehari-
hari. Tingkatan bahasa tersebut terdiri atas bentuk hormat dan bentuk biasa.
Ragam bahasa hormat dalam bahasa Jepang disebut dengan keigo. Secara
singkat Terada Takanao menyebut keigo sebagai bahasa yang mengungkapkan rasa
hormat terhadap lawan bicara atau orang ketiga (dalam Sudjianto, 2007:189). Pada
dasarnya keigo dipakai untuk menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama
(pembicara atau penulis) untuk menghormati orang kedua (pendengar atau
pembaca) dan orang ketiga (yang dibicarakan). Jadi, yang dipertimbangkan pada
waktu menggunakan keigo adalah konteks tuturan termasuk orang pertama, orang
kedua, dan orang ketiga. Nomura Masaaki dan Koike Seiji dalam Nihongo Jiten
membagi keigo menjadi sonkeigo, kenjoogo, dan teineigo (dalam Sudjianto,
2007:190). Dalam Mononoke Hime terdapat hanya dua jenis keigo, yaitu sonkeigo
dan kenjoogo.
5.1.1 Sonkeigo
Oishi Shotaro menjelaskan bahwa sonkeigo digunakan untuk menyatakan
rasa hormat terhadap orang yang dibicarakan (termasuk benda-benda, keadaan,
aktivitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya) dengan cara menaikkan
derajat orang yang dibicarakan (dalam Sudjianto, 2007:190). Dalam Mononoke
Hime, sonkeigo muncul pada saat seorang tokoh memanggil orang yang
dihormatinya. Berikut ini adalah nama panggilan dalam bentuk hormat.
「アシタカさま」
「Ashitaka sama」“Tuan Ashitaka”
「兄さま」
「Ani sama」“Kakak (laki-laki)”
「エボシさま」
「Eboshi sama」“Nona Eboshi”
「ヒイさま」
「Hii sama」“Nyonya Hii”
Pada data di atas sonkeigo terdapat pada kata sama yang mengikuti di akhir
nama tokoh. Pemakaian kata sama dipakai untuk menghormati lawan bicara dengan
cara menaikkan derajatnya. Berbeda dengan bahasa Indonesia, dalam bahasa
Jepang tidak ada perbedaan gender saat memanggil orang yang dihormati. Kata
sama dapat merujuk baik pada arti tuan, nyonya, nona, maupun kakak tergantung
konteks kalimat.
5.1.2 Kenjoogo
Hirai Masao menyebut kenjoogo sebagai cara bertutur kata yang menyatakan
rasa hormat terhadap lawan bicara dengan cara merendahkan diri sendiri termasuk
benda-benda, keadaan, aktivitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya
(dalam Sudjianto, 2007:192).
「いずこよりいまし、あらぶる神とは存せぬも、かしこみ、かしこ
み申す。この地に塚をきずき、あなたの御霊を、おまつりします。
うらみをわすれ、しずまりたまえ。」
「Izuko yori imashi, araburu kami to wa zonzenu mo, kashikomi, kashikomimousu. Kono chi ni tsuka o kizuki, anata no mitama o, omatsuri shimasu.Urami o wasure, shizumaritamae.」Terjemahan :“Walaupun saya tidak tahu darimana asalmu, ya dewa yang mengamuk,saya dengan hormat bicara dengan engkau. Di tanah ini kita akan membangunkuburan dan mengadakan matsuri untuk menghormati arwah engkau.Lupakanlah kebencianmu dan tenanglah!”
Pada kutipan di atas kenjoogo terdapat pada kata mousu dan omatsuri shimasu. Kata
mousu berasal dari kata iu yang berarti ‘mengatakan.’ Mousu dipakai untuk
merendahkan aktivitas Hii sama sebagai orang yang berbicara untuk menyatakan
rasa hormat terhadap lawan bicara, yaitu Tatarigami. Kata omatsuri shimasu
berasal dari kata matsuri yang berarti ‘upacara’ disisipkan pola ‘o … shimasu’
sehingga artinya menjadi ‘mengadakan upacara’. Selain itu, penyisipan pola ‘o …
shimasu’ pada kata omatsuri shimasu dipakai untuk merendahkan aktivitas Hii
sama sebagai orang yang berbicara dari perwakilan warga Emishi untuk
menyatakan rasa hormat kepada Tatarigami sebagai orang yang dibicarakan.
「アシタカさま、おねがいします。お気をつけて。」
「Ashitaka sama, onegaishimasu. Oki o tsukete.」Terjemahan :“Tuan Ashitaka, tolong bawa kembali nona Eboshi. Berhati-hatilah!”
Pada kutipan di atas kenjoogo terdapat pada kata onegaishimasu dan oki o
tsukete. Kata onegaishimasu berasal dari kata negau yang berarti memohon kepada
seseorang agar apa yang diidamkannya bisa menjadi kenyataan. Kata negau
disisipkan pola ‘o … shimasu’ sehingga artinya menjadi onegaishimasu.
Onegaishimasu merupakan ungkapan yang banyak dipakai dalam menyatakan
harapan yang bermakna ‘tolonglah’ atau ‘bantulah’. Ungkapan ini digunakan secara
luas dalam berbagai situasi kepada orang yang lebih tinggi, sederajat, ataupun yang
lebih rendah kedudukannya (Edizal, 2010:95).
Penyisipan pola ‘o … shimasu’ pada kata onegaishimasu dipakai untuk
merendahkan aktivitas Toki, salah seorang wanita pekerja di Tatara Ba sebagai
pembicara untuk menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara, yaitu Ashitaka.
Kata oki o tsukete berasal dari kata ki o tsukete disisipkan awalan ‘o’ artinya adalah
‘berhati-hatilah’. Penyisipan awalan ‘o’ pada kata oki otsukete dipakai untuk
merendahkan aktivitas Toki sebagai orang yang berbicara untuk menyatakan rasa
hormat kepada Ashitaka sebagai orang yang dibicarakan.
「しし神よ、首をおかえしする。しずまりたまえ!」
「Shishigami yo, kubi o okaeshi suru. Shizumaritamae!」Terjemahan:“Dewa rusa! Kami mengembalikan kepalamu! Tenanglah dalam
kedamaian!”
Pada kutipan di atas kenjoogo terdapat pada kata okaeshi suru. Kata okaeshi
suru berasal dari kata kaeshi disisipkan pola ‘o … suru’ artinya adalah
‘mengembalikan’. Penyisipan pola ‘o … suru’ pada kata okaeshi suru dipakai untuk
merendahkan aktivitas Ashitaka sebagai orang yang berbicara untuk menyatakan
rasa hormat terhadap lawan bicara, yaitu Shishigami.
5.1.3 Keitai
Dalam pendidikan bahasa Jepang keitai yang merupakan ‘bentuk hormat’
sering disebut juga desu-masutai, yaitu ‘bentuk desu-masu’ karena setiap bagian
akhir kalimatnya selalu memakai verba bantu desu atau masu sebagai ungkapan
yang menyatakan perasaan hormat (Sudjianto, 2007:197).
1) 「だんな、だいじょうぶですか?顔色がまっさおです。」
「Danna, daijoubu desu ka? Kao iro ga massao desu.」“Tuan, apa kau baik-baik saja? Mukamu sangat pucat.”
2) 「あんな連中を、信用しちゃだめです。」
「Anna renchū o, shinyou shicha dame desu.」“Jangan percaya orang-orang itu!”
Kutipan di atas adalah bentuk keitai dalam Mononoke Hime. Kata desu pada
kutipan pertama dan kedua berasal dari kelas kata jodooshi (verba bantu) yang tidak
memiliki arti, tetapi berfungsi untuk menyatakan keputusan dalam bentuk halus.
Kutipan pertama merupakan ucapan Kouroku, laki-laki pekerja di Tatara Ba
kepada Ashitaka. Kouroku menggunakan bentuk desu untuk menyatakan rasa
hormat kepada Ashitaka. Kutipan kedua merupakan ucapan salah seorang pekerja
wanita di Tatara Ba kepada Eboshi. Bentuk desu dalam kutipan ini juga untuk
menyatakan rasa hormat wanita tersebut kepada Eboshi.
「いつも、いつもカヤは、兄さまをおもっています。」
「Itsumo, itsumo Kaya wa, ani sama o omotteimasu.」“Selalu, selalu Kaya akan memikirkan kakak.”
Kata omotteimasu pada kutipan di atas merupakan bentuk halus dari kata
omotteiru yang berarti ‘memikirkankan’. Bentuk masu pada kata omotteimasu
berasal dari kelompok jodooshi yang dipakai untuk menghaluskan bahasa. Kutipan
tersebut merupakan ucapan Kaya pada Ashitaka saat sebelum meninggalkan desa
Emishi. Bentuk masu digunakan Kaya untuk menyatakan rasa hormatnya pada
Ashitaka yang telah dianggapnya seperti kakak.
5.1.4 Jootai
Kebalikan istilah keitai adalah jootai, yaitu ‘bentuk biasa’ yang sering
disebut datai ‘bentuk da’, de arutai ‘bentuk de aru’ atau kedua-duanya disatukan
menjadi da-dearutai ‘bentuk da-de aru’ karena setiap bagian akhir kalimatnya
selalu memakai verba bantu da/de aru atau memakai verba bentuk kamus dengan
berbagai bentuk perubahannya dalam bentuk biasa yang tidak hormat (Sudjianto,
2007:198). Dalam Mononoke Hime paling banyak ditemukan bentuk jootai yang
menunjukkan keakraban hubungan antartokoh, baik sebagai teman maupun
bawahan. Berikut ini beberapa contoh jootai dalam Mononoke Hime.
アシタカ:「なにかくる!じいじ、なんだろう?」
じいじ:「わからぬ。人でわない。」
アシタカ:「村では、ヒイさまが、みなをよびもどしている。」
Ashitaka :「Nanika kuru! Jīji,nan darou?」Jiiji :「Wakaranu. Hito dewa nai.」Ashitaka :「Mura dewa, hii sama ga, mina o yobimodoshite iru.」Terjemahan :Ashitaka :“Ada sesuatu yang datang! Jiiji apa itu?”Jiiji :“Tidak tahu. Itu bukan manusia”Ashitaka :“Hii sama menyuruh semua orang kembali ke desa.”
Jootai pada kutipan di atas terdapat pada kata kuru dan yobimodoshite iru
yang merupakan verba bentuk kamus. Kuru merupakan bentuk kamus dari kata
kimasu yang berarti ‘datang’ dan yobimodoshite iru merupakan bentuk kamus dari
kata yobimodoshite imasu yang berarti ‘menyuruh’. Selain itu, ada kata dewa nai
yang merupakan bentuk biasa dari kata dewa arimasen yang berarti ‘bukan’.
Ashitaka berbicara kepada jiiji dengan menggunakan bentuk jootai yang
menunjukkan hubungan akrab antara mereka berdua yang sama-sama tinggal di
Desa Emishi.
「だが、ただ死をまつか、みずからおもむこかは、きめられる。
みなさい。あのいのししのからだに、くいこんでいたものだよ。ほ
ねをくだき、はらわたをひきさきむごい苦しみを、あたえたのだ。」
「Daga, tada shi o matsu ka, mizu kara omomuko ka wa, kimerareru.Minasai. Ano inoshishi no karada ni, kui konde ita mono da yo. Hone o kudaki,harawata o hikisaki mugoi kurushimi o, ataeta no da.」Terjemahan :“ Takdirmu sudah ditentukan. Kau tidak bisa meskipun kaumengusahakannya. Lihat! Ini ada di dalam tubuh monster itu! Dia kesakitan.Benda ini menghancurkan tulangnya dan mengoyak isi perutnya.”
Jootai pada kutipan di atas terdapat pada kata kimerareru dan da. Kimerareru
merupakan bentuk kamus dari kata kimeraremasu yang berari ‘ditentukan’. Kata da
merupakan bentuk biasa dari kata desu yang menyatakan keputusan. Kutipan di atas
merupakan perkataan Hii sama kepada Ashitaka. Hii sama adalah seorang nenek
yang berprofesi sebagai dukun di Desa Emishi. Hii sama menggunakan bentuk
jootai kepada Ashitaka yang menunjukkan hubungan atasan dan bawahan. Dapat
diketahui bahwa Hii sama merupakan orang yang dihormati di Desa Emishi
sehingga dapat menggunakan bahasa bentuk jootai kepada warga Emishi. Namun,
bawahan tidak dapat menggunakan bentuk jootai kepada atasan karena akan
terkesan tidak hormat.
5.2 Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan gagasan dan perasaan dengan
bahasa khas sesuai dengan kreativitas, kepribadian, dan karakter pengarang untuk
mencapai efek tertentu, yakni efek estetik dan efek penciptaan makna. Jangkauan
gaya bahasa sangat luas meliputi semua hierarki kebahasaan. Pilihan kata secara
individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara
keseluruhan (Keraf, 2010:112). Dalam Mononoke Hime ditemukan gaya bahasa
Jepang yang sangat khas, yaitu majas repetisi dan idiom.
5.2.1 Repetisi
Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat yang
dianggap penting untuk memberikan tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai
(Keraf, 2010:127). Kata atau kelompok kata yang diulang dalam repetisi bisa
terdapat dalam satu kalimat atau lebih dan berada pada posisi awal, tengah, atau di
tempat yang lain (Nurgiyantoro, 2010:301). Ada beberapa kata yang direpetisi
dalam Mononoke Hime.
「いずこよりいまし、あらぶる神とは存せぬも、かしこみ、かしこ
み申す.」「Izuko yori imashi, araburu kami to wa zonzenu mo, kashikomi,
kashikomi mousu.」Terjemahan :“Walaupun saya tidak tahu darimana asalmu, ya dewa yang mengamuk,
saya dengan hormat berbicara dengan engkau.”
Kutipan di atas merupakan ucapan Hii sama kepada Tatarigami. Repetisi
terdapat pada kata kashikomi yang berarti ‘dengan hormat’. Pengulangan kata
kashikomi menunjukkan penegasan. Hii sama menegaskan bahwa ia berbicara
kepada tatarigami dengan sangat hormat.
「おまもりするよう、息をふきこめました。いつも、いつもカヤは,兄さまをおもっています。きっと、きっと・・・。」
「O mamori suru yō, iki o fukikomemashita. Itsumo, itsumo Kaya wa,anisama o omotte imasu. Kitto, kitto.」Terjemahan :“Simpan ini untuk menjagamu. Aku akan selalu memikirkanmu, pasti.”
Saat Ashitaka akan meninggalkan Desa Emishi, Kaya menghampirinya. Kaya
memberikan sebuah kalung belati dari permata sebagai jimat untuk menjaganya
selama perjalanan ke negeri barat. Kutipan di atas adalah ucapan perpisahan Kaya
pada Ashitaka. Repetisi terdapat pada kata itsumo yang berarti ‘selalu’. Repetisi
tersebut bermakna penegasan bahwa Kaya pasti akan selalu memikirkan Ashitaka.
Antara Kaya dan Ashitaka tidah ada hubungan darah tetapi Kaya sudah
menganggap Ashitaka seperti kakaknya sendiri sehingga ia memanggil Ashitaka
dengan sebutan anisama yang berarti kakak laki-laki. Kaya sangat khawatir pada
Ashitaka karena ia terkena kutukan mematikan. Repetisi juga terdapat pada kata
kitto yang berarti ‘pasti’. Kaya mengucapkan kata tersebut untuk meyakinkan
Ashitaka bahwa ia pasti akan menunggu Ashitaka kembali lagi ke Desa Emishi
setelah menghilangkan kutukannya.
「これより、西へ西へとすすむと、山のおくの、また山おくに、人
をよせつけぬ、深い森がある。シシ神の森だ。」
「Kore yori, nishi e nishi e to susumu to, yama no oku no, mata yama oku ni,
hito o yosetsukenu, fukai mori ga aru. Shishigami no morida.」
Terjemahan :
“Jauh ke barat di dalam gunung adalah hutan dewa rusa. Belum ada yang
menapakkan kakinya di sana.”
Kutipan di atas merupakan penjelasan Jiko Bou pada Ashitaka tentang daerah
di barat. Repetisi terdapat pada kata nishi e yang berarti ‘ke barat’. Pengulangan
kata nishi e menjelaskan bahwa tempat yang terletak sangat jauh di barat dan daerah
tersebut ada di dalam gunung. Negeri barat yang dimaksud Jiko Bou adalah hutan
Shishigami yang merupakan hutan tempat tinggal para Kami. Para Kami tersebut
dipimpin oleh Shishigami, yaitu dewa rusa sehingga hutan tersebut disebut hutan
Shishigami. Keberadaan Kami di hutan tersebut membuat manusia merasa takut
untuk melewatinya.
「木、うえた。木、うえ、木、うえた。みな、人間ぬく。森、も
どらない。人問、ころしたい。」
「Ki, ueta. Ki, ueta, ki, ueta. Mina ningen nuku. Mori, modoranai. Ningen,koroshitai.」Terjemahan :“Kami menanam pohon, manusia menghancurkannya. Hutan tidak akankembali lagi. Kami membunuh manusia.”
Kutipan di atas merupakan ungkapan kekecewaan para Shoujou terhadap
manusia. Repetisi terdapat pada kata ki ueta yang berarti ‘tanam pohon’.
Pengulangan kata tersebut menjelaskan suatu pekerjaan yang dilakukan berulang-
ulang oleh para Shoujou, yaitu menanam pohon. Pohon-pohon di hutan tempat
tinggal para mereka dibabat habis hingga menjadi hutan yang gundul dan gersang.
Mereka berusaha menyelamatkan hutan dengan menanam pohon lagi dan lagi,
tetapi manusia menghancurkannya kembali sehingga tanah hutan menjadi rusak dan
tidak dapat subur seperti sebelumnya. Hal tersebut membuat para Shoujou ingin
membunuh manusia.
5.2.2 Idiom
Idiom merupakan konstruksi kata yang maknanya tidak sama dengan
gabungan makna anggota-anggotanya. Sekelompok kata yang berupa idiom
mempunyai makna khas dan tidak sama dengan makna kata per katanya. Jadi, idiom
mempunyai kekhasan bentuk dan makna di dalam kebahasaan yang tidak dapat
diterjemahkan secara harfiah (Al-Ma’ruf, 2009:72). Berikut ini adalah beberapa
idiom yang terdapat dalam Mononoke Hime.
「はい。タタリ神に矢を射るとき、心をきめました。」
「Hai. Tatarigami ni ya o iru toki, kokoro o kimemashita.」Terjemahan :“Ya, aku sudah siap sejak melepaskan panahku pada Tatarigami.”
Bentuk kamus dari idiom kokoro o kimemashita adalah kokoro o kimeru.
Kokoro berarti ‘hati’ dan kimeru berarti ‘memutuskan’. Dalam kutipan di atas idiom
tersebut berarti ‘sudah siap’. Apabila dihubungkan dengan arti sebenarnya, ‘hati
yang memutuskan’ menunjukkan kesiapan seseorang. Dalam film ini menunjukkan
kesiapan Ashitaka pergi dari desa untuk menyembuhkan kutukan Tatarigami di
tangannya.
「おいで、なかなおりしょう。おまえの主人をはこぶから、カをか
しておくれ。」
「Oide, nakanaori shou. Omae no shujin o hakobukara, chikara o kashiteokure.」Terjemahan :“Kemari. Mari berteman. Bantu aku membawa tuanmu ya.”
Bentuk kamus chikara o kashite okure adalah chikara o kashite okuru.
Chikara berarti ‘kekuatan’ dan kashite okuru berarti ‘pinjamkan’. Idiom tersebut
menunjukkan makna meminta bantuan. Dalam film ini diceritakan San meminta
bantuan Yakkul untuk memanggul Ashitaka yang sedang pingsan.
「のろいが、わが身を食いつくすまで、苦しみ、 生きろと ・・・。」
「Noroi ga, waga mi o kui tsukusu made, kurushimi, ikiro to.」Terjemahan :“ Dia menyembuhkan lukaku, tetapi bekasnya masih ada. Aku harusmenderita sampai kutukan ini membunuhku.”
Mi berarti ‘nyawa’, kui berarti ‘makan’. Mi o kui berarti ‘makan nyawa’.
Memakan nyawa menunjukkan arti ‘membunuh’. Dalam film ini diceritakan
Shishigami menyembuhkan luka Ashitaka, tetapi tidak menghilangkan kutukannya.
Ia harus merasakan penderitaan sampai kutukan itu membunuhnya.
5.3 Bentuk Wacana Konflik Lingkungan Dalam Mononoke Hime
Konflik dalam Mononoke Hime disebabkan oleh dua kelompok yang
memiliki pandangan berbeda terhadap pengelolaan lingkungan, yaitu kelompok
Kami dan kelompok manusia yang terdiri dari kelompok Tatara Ba, kelompok Jiko
Bou, dan kelompok samurai. Kelompok Kami melihat kegunaan alam dari
kacamata pemerhati lingkungan sedangkan kelompok manusia melihat kegunaan
alam dari nilai ekonomi. Kelompok Kami memaknai pemanfaatan sumber daya
alam sesuai dengan tingkat kecukupan akan sumber daya sampai pada kurun waktu
yang tak terhingga. Kelompok manusia berpandangan bahwa sumber daya alam
diperlukan sebanyak-banyaknya untuk mengakomodasi keperluan manusia.
Kelompok-kelompok tersebut memiliki pandangan dalam pengelolaan sumber
daya alam yang dapat berdampak baik dan buruk bagi masyarakat dan lingkungan
sekitarnya.
5.3.1 Bentuk Wacana Perlindungan Alam
Dalam Mononoke Hime kelompok Kami yang terdiri dari Inugami,
Inoshishigami, Kodama dan Shoujou dan dipimpin oleh Shishigami berjuang
melindungi hutan Shishigami dari tangan manusia yang telah merusaknya. Dalam
kelompok ini ada seorang manusia yang dibesarkan oleh Inugami bernama San. San
merupakan sosok wanita yang kuat dan pemberani dan ia berjuang mati-matian
untuk melindungi alam. Meskipun seorang manusia, tapi San lebih mementingkan
kehidupan alam dibandingkan manusia. Ia melawan kejahatan manusia terhadap
alam.
San dan kelompok Kami diintepretasikan sebagai masyarakat lokal yang
tinggal di sekitar daerah eksploitasi sumber daya alam dan memiliki kepedulian
terhadap lingkungan. Masyarakat ini biasanya memiliki kepercayaan terhadap
kekuatan alam yang melebihi kekuatan manusia. Seperti Shishigami yang memiliki
kekuatan alam yang dapat memberikan kehidupan dan kematian sesuai ucapan
Ashitaka dalam kutipan berikut.
「シシ神は、死にはしないよ。命そのものだから。生と死と、ふ
たつとも、もっているもの。わたしに、生きろといってくれた。」Terjemahan :“Shishigami tidak bisa mati. Dia hidup dengan sendirinya. Hidup dan mati
adalah sesuatu yang dia berikan dan dia ambil. Dia memberi tahu kitauntuk tetap hidup.”
Shishigami merupakan representasi dari sumber daya alam yang
menyediakan segala kebutuhan manusia sehingga dapat mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu masyarakat ini melakukan penghormatan
atas alam sehingga pantang bagi mereka untuk menebang tunas-tunas muda dan
mencemari lingkungan. Pola seperti ini diwariskan turun temurun, jika terdapat
anggota yang melanggar akan dikenakan sanksi. Berdasarkan mitos ini lingkungan
dapat dilestarikan oleh kelompok masyarakat lokal. Hal tersebut sejalan dengan
pemikiran dalam paham teosentrisme.
Teosentrisme mengacu pada pandangan bahwa sistem keyakinan dan nilai
terkait dengan Ketuhanan secara moralitas lebih tinggi dibandingkan dengan sistem
lainnya. Singkatnya, teosentrisme lebih menekankan keberpusatan pada Tuhan
dibandingkan pada manusia. Manusia menganut paham ini sebelum teknologi
ditemukan sehingga manusia merasa takut akan alam (Susilo, 2012:35,39). Dalam
paham ini manusia menganggap kehidupannya dikendalikan dan didominasi
kekuatan supranatural yang menguasai alam.
Masyarakat ini juga membangun mitos-mitos tertentu yang semata-mata
ditujukan sebagai tanggapan terhadap alam. Misalnya, manusia memiliki persepsi
yang beragam tentang bencana alam, gunung meletus, banjir, maupun peristiwa-
peristiwa lainnya. Alam dapat mendatangkan bencana bagi seluruh makhluk hidup
jika manusia terus mengekploitasi alam tanpa berusaha melestarikannya. Bencana
alam akan menghancurkan segalanya termasuk manusia itu sendiri.
Mitos-mitos tersebut bertujuan untuk mengendalikan perilaku eksploitasi
manusia terhadap alam karena sumber daya alam merupakan komponen utama
dalam menyokong kehidupan di bumi. Hampir seluruh peradaban manusia
membutuhkan sumber daya alam yang sifatnya terbatas. Sejarah membuktikan
semakin majunya peradaban manusia, maka kebutuhan akan sumber daya alam
akan semakin besar. Namun, perkembangan sumber daya alam khususnya bahan
pangan berbanding terbalik dengan jumlah populasi manusia. Pertumbuhan
manusia akan mengikuti deret hitung sedangkan perkembangan bahan pangan akan
mengikuti deret ukur. Kenyataan ini ternyata juga sebanding dengan kebutuhan
manusia lainnya. Alam yang dieksploitasi secara terus menerus akan
mengakibatkan kekurangan sumber daya alam sehingga manusia tidak dapat
mencukupi kebutuhannya dalam jangka waktu panjang. Hal tersebut juga
mengakibatkan alam tidak memiliki waktu untuk meregenerasi sehingga semakin
lama akan terjadi kerusakan alam.
Berdasarkan hal tersebut masyarakat lokal yang peduli terhadap lingkungan
memiliki gagasan untuk melindungi sumber daya alam. Dalam mewujudkan
gagasan ini masyarakat melakukan berbagai upaya seperti reforestation 13 dan
perlawanan kepada masyarakat yang merusak lingkungan. Dalam Mononoke Hime
upaya reforestation dilakukan oleh para Shoujou. Berikut ini kutipan ucapan
Shoujou yang telah berupaya menyelamatkan hutan Shishigami dengan menanam
pohon.
「木、うえた。木、うえ、木、うえた。みな、人間ぬく。森、も
どらない。人問、ころしたい。」Terjemahan :“Kami menanam pohon, menanam pohon, menanam pohon. Manusiamenghancurkannya. Hutan tidak akan kembali lagi. Kami membunuhmanusia.”
Para Shoujou berusaha menanam pohon terus menerus di hutan Shishigami, tetapi
manusia selalu menghancurkannya. Pohon-pohon tidak akan tumbuh lagi dan hutan
13 Reforestation adalah penghutanan kembali (Hidayat, 2011:10).
pun akan menjadi rusak. Shoujou merasakan kebencian terhadap manusia sehingga
ingin membunuhnya.
Upaya Shoujou tersebut sama seperti yang dilakukan masyarakat yang
berusaha menyelamatkan lingkungan dengan melakukan reforestation.
Reforestation merupakan konsep pengelolaan hutan yang lestari. Hasil alam yang
telah dipanen akan ditanam kembali sehingga sumber daya alam tetap terjaga
kelestariannya. Jika sumber daya alam selalu dilestarikan oleh manusia setelah
digunakannya, maka karunia alam dapat dinikmati seluruh makhluk hidup dalam
jangka waktu yang panjang.
Usaha yang dilakukan Shoujou tersebut sia-sia sehingga Inugami dan
Inoshishigami bekerjasama melakukan perlawanan terhadap manusia. Berikut ini
kutipan ucapan Okkotonushi, pimpinan Inoshishigami yang bermaksud melakukan
perlawanan terhadap manusia.
「モロ、わしの一族をみろ。みんな、小さく、ばか になりつあ
る。このままでは、わしらは、ただの肉として、人間に、符ら
れるようになるだろう。」Terjemahan :“Lihat suku kami, Moro. Kami tumbuh menjadi kecil, dan kami tumbuh
menjadi bodoh. Untuk mengakhiri ini adalah dengan cara mengakhiripermainan manusia yang suka berburu daging.”
Akibat ulah manusia yang telah merusak alam kekuatan Kami dan penghuni hutan
menjadi lemah, mereka merasa kecil dan bodoh. Okkotonushi ingin segera
mengakhiri penderitaannya dengan cara menyerang manusia.
Perlawanan kelompok Kami dapat diintepretasikan sebagai gerakan
penyelamat lingkungan. Warga sekitar lokasi kerusakan lingkungan melakukan
penyelamatan lingkungan dengan menggunakan sikap dan tindakan mereka. Upaya
ini dilakukan sebab upaya reforestation ini tidak dapat berjalan dengan baik
sehingga para penyelamat lingkungan melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak
yang telah merusak alam. Dampak-dampak yang dirasakan sangat merugikan
masyarakat dan lingkungan memaksa mereka bergerak dengan beragam cara.
Gerakan perlawanan ini berupa aksi-aksi demonstrasi di lapangan, lobi-lobi dengan
para pejabat negara, maupun penyebaran informasi dan opini ke berbagai kalangan.
Dalam pelaksanaannya gagasan masyarakat lokal tentang lingkungan tidak
selalu berdampak baik bagi perkembangan kehidupan manusia selanjutnya.
Manusia hanya akan bergantung dengan ketersediaan sumber daya alam dan
cenderung menyerah terhadap bencana alam. Apalagi seiring dengan
perkembangan zaman populasi manusia bertambah dengan cepat sehingga
kebutuhan manusia akan sumber daya alam tidak tercukupi. Oleh karena itu
diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengeksploitasi sumber daya
alam agar kebutuhan seluruh manusia dapat terpenuhi. Selain itu, manusia akan
mendapatkan keuntungan materi jika sumber daya alam dieksploitasi secara
maksimal.
5.3.2 Bentuk Wacana Eksploitasi Alam
Pada zaman Muromachi teknologi mulai dikenal oleh beberapa masyarakat
Jepang sehingga kepercayaan mereka akan kekuatan alam pun mulai berubah. Ilmu
pengetahuan dan teknologi membuat manusia dapat menguasai, mengendalikan,
bahkan dapat menaklukkan alam. Berdasarkan pemikiran tersebut lahirlah paham
antoposentrisme. Antroposentrisme merupakan paham yang memandang manusia
sebagai pusat dari sistem alam semesta (Susilo, 2012:105). Hori menjelaskan
bahwa pemikiran mengenai alam yang modern untuk hidup berdampingan dengan
alam pada akhirnya juga merujuk pada pemikiran mengenai utopia, yaitu alam
bekerja demi manusia (Hori, 2008:1). Dalam pemikiran antroposentrisme manusia
melihat alam sebagai suatu objek untuk memenuhi kebutuhan karena manusia tidak
dapat hidup tanpa alam. Pernyataan tersebut menjadi pembelaan oleh kaum
pendukung antroposentrisme (Sonny Keraf, 2010:34).
Paham antroposentrisme tercermin dalam diri Eboshi Gozen yang memiliki
gagasan mengeksploitasi alam demi kebutuhan manusia. Eboshi merupakan
representasi dari orang Jepang yang modern, yaitu demi modernisasi mereka harus
mengorbankan hutan dan Kami. Kami yang tinggal di hutan dipercaya sebagai
penjaga hutan maka dengan membunuh Shishigami yang menjadi penguasa hutan
tersebut Eboshi berharap dapat menguasai hutan. Hal tersebut dipaparkan dalam
kutipan berikut.
アシタカ:「あなたは、シシ神の森まで、うばうつもりか。」
エボシ:「古い神が、いなくなれば、ここは、ゆたかな国になる。
もののけ姫も、人間にもどろう。」Terjemahan :Ashitaka :“Bahkan kau juga menginginkan hutan Shishigami?”Eboshi :“Tanpa para dewa kuno, mereka hanyalah hewan buas. Dengan
hilangnya hutan dan Inugami itu tanah ini akan menjadikaya, dan Mononoke akan menjadi manusia.”
Dari pernyataan Eboshi tersebut dapat diketahui keinginannya untuk menguasai
alam. Dengan mengalahkan para Kami, maka yang memegang kendali atas hutan
adalah para manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Eboshi memiliki
gagasan bahwa alam digunakan sebagai objek eksploitasi manusia. Hal tersebut
dilakukannya karena keadaan pada zaman Muromachi, saat manusia berjuang mati-
matian untuk bertahan hidup. Saat terjadi banyak peperangan sehingga masyarakat
mengalami kesulitan ekonomi yang mengakibatkan wabah kepalaran dan
kemiskinan. Manusia harus memanfaatkan sumber daya alam secara maksimal
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Eboshi datang untuk merevolusi dan merevitalisasi industri besi dengan
mempekerjakan orang-orang yang dikucilkan masyarakat seperti mantan pelacur,
penderita kusta, pengemis, dan lain-lain untuk memperkuat Tatara Ba. Ia dicintai
oleh para pekerjanya karena telah memberikan mereka pekerjaan untuk mencari
nafkah dan memperlakukan mereka dengan baik. Eboshi digambarkan memiliki
jiwa revolusioner dalam kemajuan sosial dan teknologi. Kemajuan teknologi
digunakannya untuk mencari keuntungan materi dengan cara mengeksploitasi alam
agar dapat menafkahi pekerjanya. Inovasinya telah membawa kemakmuran dan
stabilitas rakyat Tatara Ba yang dapat hidup tanpa ancaman kelaparan dan
penindasan tuan tanah meskipun mereka harus bekerja keras mengolah besi.
Eboshi dapat diintepretasikan sebagai pelaku bisnis yang melihat sumber
daya alam dari segi ekonomi. Eboshi memiliki gagasan bahwa nilai ekonomi yang
terkandung dalam sumber daya alam yang dapat memberikan kesejahteraan,
melalui kegiatan pengelolaan dan pemanfaatannya. Mendapatkan manfaat ekonomi
dari pengelolaan sumber daya alam, maka terdapat relevansi bahwa pemanfaat atau
pengelolaan sumber daya alam dapat berkontribusi bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Namun, demi menuruti perkembangan industrialisasi, sumber daya alam
yang pasif tadi dieksploitasi secara luas. Semakin berhasil perusahaan
mengeksploitasi sumber daya alam, maka semakin sukses mereka dapat
mengendalikan hidupnya dan semakin banyak pula material income yang
didapatkan. Dalam hal ini pelaku bisnis bersikap individualism yakni sikap dan
keyakinan dengan menekankan dorongan personal tanpa memikirkan kepentingan
dan kerugian di pihak masyarakat lokal (Susilo, 2012: 65—68). Bentuk-bentuk
keserakahan semacam ini akan lebih mengorientasikan manusia hanya pada
kepentingan dan keberhasilan dirinya, tanpa berpikir panjang akibat yang akan
diterima kelompok masyarakat lokal. Menyangkut persoalan distribusi sumber daya
alam, persoalan yang sering terjadi adalah ketidakmerataan.
Usaha Eboshi membangun Tatara Ba didukung oleh Jiko Bou yang
merupakan agen suruhan kaisar. Kelompok Jiko Bou diperintahkan kaisar untuk
menjalankan tugas berburu kepala Shishigami yang dianugerahi keabadian untuk
diberikan kepada kaisar. Shishigami merupakan Kami yang menguasai alam karena
kekuatannya memberi kehidupan dan kematian. Jiko Bou dibantu oleh pasukan
karakasaren dan jibashiri. Jiko Bou melakukan berbagai cara agar tujuan kaisar
dapat tercapai. Ia memberikan pasukan ishibiyashuu kepada Eboshi untuk
membantunya membangun Tatara Ba. Kemudian Jiko Bou memaksa Eboshi untuk
mau bekerjasama dengannya memburu kepala Shishigami. Eboshi yang merasa
berhutang budi bersedia melaksanakannya. Selain itu, Jiko Bou juga menggunakan
kekerasan dan senjata untuk membunuh para penghuni hutan.
Pelaku bisnis seperti perusahaan dan investor dapat berkembang dengan
baik apabila didukung oleh pemerintah. Kaisar dalam film ini dapat diintepretasikan
sebagai pemerintah pusat suatu negara. Keinginan kaisar mendapatkan kepala
Shishigami untuk keabadiannya merupakan gambaran seorang penguasa yang
memperkuat kedudukannya dengan cara menguasai sumber daya alam. Dalam hal
ini fungsi negara dalam konsep hak menguasai negara atas sumber daya alam lebih
sebagai pihak yang mempunyai otoritas untuk melakukan penatagunaan sumber
daya alam. Penatagunaan sumber daya alam merupakan kebijakan pengelolaan
yang mengatur aspek-aspek penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan sumber
daya alam yang berwujud konsolidasi pemanfaatan sumber daya alam sebagai satu
kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil (Hidayat, 2011:20).
Negara dimaknai sebagai pemilik mutlak atas bumi, air dan kekayaan alam
yang ada di dalamnya tapi negara lebih pada posisi politis sebagai “badan penguasa”
dalam suatu wilayah. Pemerintah pusat memeiliki gagasan menguasai segala
sumber daya alam yang digunakan untuk tujuan sebesar-sebesarnya kemakmuran
dan kesejahteraan rakyatnya. Pemerintah pusat sebagai organisasi kekuasaan
tertinggi di dalam suatu wilayah, diberikan mandat oleh rakyatnya guna mengatur
dan memimpin kehidupan rakyatnya dalam suatu wilayah. Mereka bertugas untuk
dapat menciptakan rasa aman dan kesejahteraan bagi rakyatnya oleh karena itu
semua tanggung jawab pengurusan dan pengelolaan yang ada dalam suatu wilayah
diserahkan kepada pemerintah pusat termasuk mengatur, dan mengkoordinir
penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada pada wilayahnya. Selain
itu, negara juga mempunyai kewajiban melakukan pemeliharaan dan pelestarian
sumber daya alam (Hidayat, 2011:21--22).
Demi melancarkan gagasannya menguasai sumber daya alam, pemerintah
mengerahkan pasukan militer. Pasukan Jiko Bou diintepretasikan sebagai pasukan
militer. Kekuasaan yang menggunakan saluran militer menggunakan cara-cara
kekerasan dan paksaan agar pihak yang dikuasai yaitu masyarakat lokal memiliki
tingkat kepatuhan yang tinggi kepada pihak yang berkuasa. Sarana paksaan fisik
yang sering kali digunakan untuk menguasai pihak lain adalah senjata. Melalui
senjata, pasukan militer dapat menguasai pihak lain, sebagaimana sistem
pemerintahan kolonialisme. Tujuan dari kekuasaan yang menggunakan saluran
militer ini yaitu menimbulkan rasa takut masyarakat lokal agar menurut terhadap
apa yang diperintahkan oleh kekuatan militer tersebut. Mereka memandang
kekuasaan sebagai perjuangan, pertentangan, dominasi, dan konflik pada umumnya.
Kekuasaan yang demikian ini menimbulkan sifat kekuasaan yang otoriter.
Adapun kekuasaan atas sumber daya alam dipandang negatif jika
penggunaan sumber-sumber kekuasaan ini untuk mencegah masyarakat lokal
mencapai tujuan yang sebenarnya baik tetapi dipandang tidak perlu sehingga
merugikan pihak tersebut. Hal ini disebabkan kekuasaan pribadi tujuannya lebih
pada pencapaian tujuan individu atau kelompok kecil penguasa saja.
Penerapan konsep hak menguasai negara, atas sumber-sumber daya alam
yang ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat pada praktiknya lebih
banyak digunakan untuk melegitimasi negara dalam hal memberikan kesempatan
sebesar-besarnya bagi pemilik modal besar untuk membuka usaha-usaha
pengelolaan sumber daya alam dengan dalih untuk melaksanakan pembangunan
perekonomian. Akibatnya dari tujuan tersebut maka keluarlah berbagai kebijakan
pemerintah, yang tidak jarang akibat dari kebijakan tersebut mengeliminasi
keberadaan masyarakat termasuk masyarakat lokal dari tanah tempat
penghidupannya selama ini.
Kelompok samurai diceritakan ingin mendapatkan keuntungan dari Tatara
Ba. Kelompok samurai dipimpin seorang daimyou bernama Tuan Asano yang
memiliki pengaruh besar di sekitar wilayah Tatara Ba. Ia memiliki banyak samurai
sebagai pengikut yang membantunya dalam memperkuat kekuasaan. Tatara Ba
ingin dikuasai Tuan Asano karena pabrik pengolahan besi ini memiliki nilai
ekonomi yang sangat tinggi. Selain itu, Tatara Ba dapat mengolah besi menjadi
senjata yang sangat diperlukan untuk memperkuat dan memperluas kekuasaannya.
Tuan asano dan kelompok samurainya dapat diintepretasikan sebagai
pemerintah daerah yang turut mencari keuntungan dari pelaku bisnis seperti
perusahaan dan investor. Sumber daya alam merupakan aset esensial bagi daerah
terutama yang memiliki sumber daya alam berlimpah sehingga pada akhirnya
mampu meningkatkan pendapatan daerah dan taraf kehidupan masyarakatnya. Per-
izinan diberikan kepada perusahaan atau investor guna membuka lahan untuk
proses produksi berbagai bentuk sumber daya alam agar kesejahteraan masyarakat
dapat meningkat. Selanjutnya dapat memajukan daerah tersebut secara bertahap
dan berkelanjutan.
Dalam era otonomi daerah saat ini, pemerintah daerah memiliki kewenangan
mengizinkan kekuatan-kekuatan bisnis dalam sumber daya alam. Kewenangan dari
pemerintah daerah digunakan para pelaku bisnis untuk mengekploitasi alam secara
besar-besaran sehingga dapat meraih material income sebanyak-banyaknya.
Pemerintah daerah pun turut memperoleh keuntungan dari pelaku bisnis tersebut.
Sumber daya alam diekploitasi untuk kepentingan komersil dalam bidang
perekonomian, perindustrian, pariwisata, dan lain-lain. Semakin banyak sumber
daya alam yang dijadikan proyek komersil semakin banyak pendapatan daerah yang
diperoleh.
Dalam hal ini manusia memiliki sifat materialism14 dalam mengkonsumsi
sumber daya alam. Konsumsi bukan lagi sekadar sebagai sarana untuk bertahan
hidup atau menjaga kelangsungan hidup, tetapi ia telah berubah menjadi hidup itu
sendiri. Konsumsi merupakan gaya hidup baru yang diyakini sebagai salah satu
simbol dari modernitas. Akibatnya, ia menjadi semacam candu yang tak bisa
dikendalikan. Sebagai konsekuensi menuruti kebutuhan nafsu manusia ini, baik
pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun pelaku bisnis berlomba-lomba
mencari sumber-sumber material untuk memanjakan nafsu mereka.
Industri muncul demi memenuhi kebutuhan hidup manusia dan
mendatangkan keuntungan materiil bagi siapa pun yang berhasil menggerakkan dan
memanfaatkannya. Tetapi, sesuatu yang tidak bisa dihindari jika industri juga
menghasilkan dampak yang merugikan alam, lingkungan, dan tentunya habitat
manusia. Seperti yang dilakukan Shishigami yang telah menghancurkan segalanya
akibat ulah manusia yang mengeksploitasi alam.
Sebenarnya jika sumber daya alam dimanfaatkan hanya mengikuti
kebutuhan masing-masing secara individu, ia akan memiliki kemampuan
meregenerasi dengan sendirinya. Hanya yang terjadi penggunaan sumber daya alam
tidak memerhatikan daya dukung lingkungan dan minimnya usaha untuk
melestarikannya. Akibatnya lingkungan rusak di mana-mana dan besar
kemungkinan tidak terselamatkan.
14 Materialism adalah kemodernan yang diukur dengan tindakan-tindakan konsumsi(Susilo, 2012:66)
BAB VI
FUNGSI WACANA KONFLIK LINGKUNGAN DALAM TEKS FILM
ANIMASI MONONOKE HIME KARYA HAYAO MIYAZAKI
Dalam bab ini diuraikan fungsi wacana konflik lingkungan dalam teks film
animasi Mononoke Hime yang mencakup solidaritas internal masyarakat Jepang
dalam mengatasi konflik lingkungan, pengendalian sosial masyarakat Jepang dalam
menjaga harmonisasi alam, dan integrasi masyarakat Jepang dalam mewujudkan
harmonisasi alam. Fungsi wacana konflik lingkungan dianalisis sesuai dengan teori
fungsi konflik. Uraian ini perlu dilakukan untuk menganalisis fungsi konflik dalam
Mononoke Hime yang tidak selalu berdampak negatif, tetapi justru berdampak
positif bagi kehidupan masyarakat Jepang.
6.1 Solidaritas Internal Masyarakat Jepang dalam MengatasiKonflik Lingkungan
Coser mengungkapkan bahwa konflik dengan kelompok lainnya dapat
menghasilkan solidaritas di dalam kelompok tersebut sehingga menjadi kekuatan
yang mempersatukan. Konflik juga dapat berfungsi untuk memperlancar
komunikasi dalam kelompok (dalam Setiadi, 2011:372). Sebelum terjadi konflik
anggota-anggota kelompok akan berkumpul dan merencanakan apa yang akan
dilakukan. Lewat tukar-menukar pikiran bisa mendapat gambaran yang lebih jelas
akan apa yang harus dibuat entah untuk mengalahkan lawan atau untuk
menciptakan kedamaian. Selanjutnya komunikasi akan menjadi proses refleksi
internal kelompok-kelompok mengenai kelompok di luar mereka sehingga
meningkatkan partisipasi setiap anggota terhadap pengorganisasian kelompok.
Konflik dalam Mononoke Hime terjadi karena perubahan sosial dan
perbedaan kepentingan masing-masing kelompok. Inti masalah terletak pada
sumber daya alam, yaitu hutan Shishigami dan pasir besi yang bukan menjadi
masalah yang mendasar dalam kelompok internal. Konflik yang demikian itu saling
menetralisasi dan sesungguhnya berfungsi mempersatukan sistem sosial. Masalah-
masalah tersebut tidak menyangkut nilai-nilai inti dalam kelompok internal, maka
konflik yang demikian tidak membahayakan struktur sosial dalam kelompok.
Bahkan, justru dapat meningkatkan solidaritas internal, yaitu berbagai kelompok
bisa memiliki pandangan yang berbeda mengenai berbagai masalah yang berbeda
pula.
Karakter masyarakat Jepang yang berorientasi terhadap kelompok menjadi
dasar rasa solidaritas kelompok-kelompok dalam Mononoke Hime. Orientasi
kelompok adalah kerangka berpikir orang Jepang terhadap kerja kelompok yang
didasari kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan kelompok dalam suatu
kehidupan sosial masyarakat yang diikat oleh kehidupan bekerja sama di dalam satu
kehidupan kelompok atau masyarakat. Orientasi kelompok ini disebut dengan
shuudanshikou (Kawamoto, 1973:17). Orang Jepang ketika berinteraksi dengan
sesamanya di dalam kegiatan kelompok menunjukkan sikap keberadaannya dalam
kelompok. Mereka berusaha keras menjalankan tugas dan kewajiban dalam
melakukan kegiatan agar mereka memperoleh hasil yang menguntungkan bagi
kelompoknya.
Ada dua hal yang mendasari pemikiran orang Jepang dalam kerangka
orientasi kelompok dan keberhasilan dalam kehidupan kelompok, yaitu semangat
kebersatuan (ittaikan) dan kebersamaan (kyoudoutai) (Madubrangti, 2008:24).
Semangat kebersatuan (ittaikan) adalah semangat kerja sama dan kebersamaan
dalam kelompok yang lahir dan orang-orang yang masuk ke suatu kelompok tanpa
membawa keterampilan atau keahlian yang menjadi pengalamannya (Iwamoto,
1997). Kebersamaan (kyoudoutai) adalah kepercayaan dan keyakinan yang ada
pada diri seseorang terhadap suatu tindakan yang bersifat kolektif. Setiap orang
yang terlibat di dalam kelompoknya sudah dihadapkan dengan batasan-batasan
yang menyangkut kebersamaan (Durkheim, 1990:4). Shuudanshikou, ittaikan, dan
kyoudoutai mempererat hubungan internal dalam kelompok Tatara Ba dan
kelompok Kami saat terjadi konflik.
Solidaritas kelompok Tatara Ba dapat terwujud berkat peran pemimpin
mereka, yaitu Eboshi. Kekuasaaan digunakan Eboshi untuk mengendalikan dan
mengatur struktur sosial dalam kelompok internal sehingga rasa solidaritas dapat
terwujud. Eboshi merevitalisasi Tatara Ba dengan mempekerjakan orang-orang
yang terbuang dari masyarakat seperti penderita kusta, pelacur, dan orang-orang
yang putus asa. Para pekerja ini memperkuat proses pengolahan besi di Tatara Ba.
Eboshi dicintai oleh para pekerjanya karena diberikan kesempatan bekerja untuk
mencari nafkah dan memperlakukan mereka seperti layaknya manusia bukan
seperti orang buangan. Mereka diperlakukan dengan sangat baik, sopan, dan
diberikan perhatian oleh Eboshi sehingga ia dipercaya sebagai pemimpin.
Pemimpin yang baik hati dan peduli menciptakan suasana kerja yang
menyenangkan sehingga para pekerja dapat saling bekerjasama dan beorientasi
pada kepentingan kelompok. Eboshi telah menumbuhkan rasa ittaikan dan
kyoudoutai pada pekerja Tatara Ba agar terwujud shuudanshikou. Hal ini dapat
dilihat dari kinerja seluruh pekerja dalam pengolahan pasir besi. Ittaikan pada
kelompok Tatara Ba terlihat di dalam kegiatan mengolah pasir besi. Para pekerja
di Tatara Ba terdiri atas orang-orang yang tidak memiliki keahlian mengolah besi.
Namun, dalam sistem kerjasama kelompok Tatara Ba merupakan satu kesatuan unit
keluarga. Kesatuan unit keluarga sebagai tempat kerja ini terbentuk dari para
pekerja yang sebelumnya tidak memiliki suatu keterampilan dan mereka bekerja
sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing dalam organisasi yang
mengikatnya. Tugas dan kewajiban ini dilakukan para pekerja sebagai pengetahuan
yang dimiliki dan berkembang sebagai pengalaman yang dapat menyejahterakan
kelompok Tatara Ba.
Eboshi mengajari para wanita untuk bekerja mengolah pasir besi menjadi besi
dengan menggunakan metode tatara. Tatara merupakan metode Jepang kuno untuk
pengolahan pasir besi. Proses pembakaran pasir besi dengan metode tersebut
memerlukan suhu panas yang sangat tinggi sehingga membutuhkan alat yang
bernama fuigo untuk menghasilkan angin yang membantu proses pembakaran pasir
besi. Fuigo tersebut menggunakan papan kayu yang diinjak naik dan turun untuk
menghasilkan angin. Para pekerja tatara harus terus menginjak papan itu agar angin
tetap keluar tanpa henti (diakses dari https://www.hitachi-
metals.co.jp/e/tatara/index.htm.) Berikut ini adalah gambar proses pembakaran besi
di Tatara Ba yang dilakukan oleh para wanita dengan menginjak fuigo.
(Gambar 6.1 Ashitaka memerhatikan para wanita yang sedang menginjak fuigo)
Para pekerja wanita bergotong royong menginjak fuigo untuk menghasilkan
angin dalam proses pembakaran besi. Mereka bekerja sangat keras karena fuigo
tersebut alat yang cukup berat dan tidak boleh berhenti diinjak selama proses
pembakaran. Para wanita itu bergantian dengan teman-temannya apabila mereka
kelelahan. Ada lima orang di kanan dan lima orang di kiri yang silih berganti
menginjak fuigo naik turun.
Sistem kerja gotong royong menciptakan interaksi saling mengisi yang
dilakukan setiap pekerja dalam mengolah pasir besi dengan menginjak fuigo.
Mereka berkomunikasi dan bertukar pikiran sehingga terjalin keakraban
antarindividu. Keakraban tersebut memperkuat ittaikan dan kyoudoutai pekerja
wanita dalam kelompok Tatara Ba. Hal ini menunjukkan harmoni para pekerja
wanita sehingga terwujud solidaritas dalam kelompok Tatara ba.
Eboshi menanamkan persatuan kepada para pekerja sejak dini sehingga saat
terjadi konflik solidaritas dalam kelompok internal menjadi lebih meningkat. Hal
tersebut dapat terlihat dari sikap kebersamaan (kyoudoutai) dan kepedulian para
pekerja kepada pemimpin mereka. Saat menyerang Eboshi, Ashitaka disela oleh
salah seorang penderita lepra di Tatara Ba. Di bawah ini adalah kutipan ucapan
penderita lepra tersebut.
「お若い方、どうか、その人 を、 ころさない でおくれ。その人は 、
わしらを、人として、あつかってくださった、たったひとりの人だ。
わしらの病を、 おそれず、くさった肉をあらい、 布をまいてくれた。
とうか、どうか、その人を・・・。」Terjemahan :“Anak muda aku mohon padamu jangan bunuh nona Eboshi. Dia satu-satunya yang menganggap kami sebagai manusia. Tanpa ketakutan padapenyakit kami, dia yang mencuci daging busuk kami, mebaluti kami perban.”
Seorang penderita lepra memberikan pembelaan untuk menghentikan serangan
Ashitaka pada Eboshi. Orang itu meyakinkan Ashitaka bahwa Eboshi sebenarnya
adalah wanita yang sangat baik hati. Di saat penderita lepra dikucilkan oleh
masyarakat, Eboshi dengan berjiwa besar menerima dan merawat mereka. Bahkan
luka mereka dibersihkan dan dibalut olehnya tanpa rasa takut akan tertular. Eboshi
adalah satu-satunya orang yang memperlakukan mereka seperti layaknya manusia.
Selain itu, Eboshi juga memberikannya pekerjaan sebagai pembuat ishibiya
sehingga mereka tidak putus asa oleh penyakitnya dan memiliki semangat hidup.
Mereka merasa sangat berutang budi pada Eboshi yang telah merawat dan
menyayanginya.
Penjelasan di atas menunjukkan kekompakan Eboshi dan para pekerjanya.
Saat Eboshi mendapat serangan dari Ashitaka para pekerja segera membelanya.
Serangan Ashitaka yang secara potensial dapat menimbulkan konflik justru dapat
meningkatkan kekompakan dalam kelompok internal. Selain itu, konflik antara
Eboshi dan Ashitaka juga membantu memperkuat batas antara kelompok Tatara Ba
dengan pihak lain yang dianggap mengancam persatuan.
Eboshi tidak hanya memberikan perhatian terhadap para penderita lepra, tapi
juga pada para pekerja wanita. Ia dekat dan bersahabat dengan para pekerjanya. Hal
ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
トキ:「エボシさま、わたしたちも、おともさせてください。せっ
かく、石灰天を、おぼえたんだから。あんな連中を、信用
しちゃだめです。」
エボシ:「だからこそ、 みんなに、 ここをまもってもらいたいのさ。
こわいのは、もののけより、人間のほうだからね。シシ神
ごろしがすんだら、いろいろ、わかるだろうよ。 師匠連が、
シシ神の首だけで、ここから手をひくもんか。待だけじゃ
ない、石灰失衆が、敵になるかもしれないんだ。しっかり
やりな、みんな。」Terjemahan :Toki :“Biarkan kami pergi bersamamu! Jangan percaya orang-orang itu!
Kami tidak bisa menolongmu dari sini jika terjadi apa-apa! Kamitelah belajar bagaimana caranya menembak.”
Eboshi :“Itulah alasannya mengapa aku ingin kalian berada di sini. Akulebih takut pada manusia daripada dewa hutan. Dengan kematiandewa rusa, segalanya akan menjadi jelas. Apakah kepala dewa rusayang diinginkan oleh kaisar? Kita mungkin saja bertarung melawanpara penembak. Kita tidak bisa memercayai mereka. Tetaplahberada di tempat kalian berdiri.”
Kutipan di atas adalah percakapan antara Toki dan Eboshi ketika Eboshi
memutuskan untuk bekerja sama dengan kelompok Jiko Bou untuk melawan
kelompok Kami. Pekerja laki-laki ikut dalam pertempuran melawan Kami,
sedangkan pekerja wanita dan para penderita lepra tetap mempertahankan Tatara
Ba dari serangan kelompok samurai. Toki, salah seorang pekerja wanita
mengkhawatirkan Eboshi dan ingin ikut dengannya melawan kelompok Kami agar
dapat menolongnya jika terjadi musibah. Eboshi meyakinkan para pekerja wanita
untuk menjaga Tatara Ba karena ia telah mengajari mereka cara menembak. Eboshi
juga khawatir jika Ishibiyashuu berbalik melawan Tatara Ba. Ia memberikan
tanggung jawab kepada para wanita untuk menjaga Tatara Ba dari serangan musuh.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui hubungan antara Eboshi dan
para pekerjanya sebelum dan sesudah konflik. Sebagai pimpinan, Eboshi menjalin
komunikasi yang akrab dengan para pekerjanya sehingga mereka dapat saling
percaya. Kepercayaan ini yang mendasari sikap kyoudoutai dan ittaikan sehingga
anggota kelompok Tatara Ba terfokus pada shuudanshikou, bukan kepentingan
individu. Hal tersebut yang menciptakan solidaritas internal dalam kelompok
Tatara Ba saat terjadi konflik dengan kelompok Kami.
Solidaritas internal juga ditunjukkan oleh kelompok Inoshishigami dan
Inugami. Sekelompok Inoshishigami yang berasal dari utara pergi menuju hutan
Shishigami. Inoshishigami yang dipimpin oleh Okkotonushi tersebut mendengar
kabar bahwa para Inoshishigami yang dipimpin oleh Nago telah mati di hutan
Shishigami akibat ishibiya yang ditembakkan oleh manusia. Mereka datang dengan
seluruh kelompoknya untuk membalaskan dendam Nago dan untuk menyelamatkan
hutan Shishigami. Ketegangan sempat terjadi ketika Inoshishigami bertemu dengan
Inugami, tetapi dapat dihindarkan karena ketegangan itu dapat diproyeksikan ke
suatu sumber yang ada di luar masalah dalam kelompok. Hasilnya adalah bahwa
para anggota kelompok Kami mempersalahkan manusia karena kesulitan
internalnya daripada membiarkan kesulitan ini menghasilkan perpecahan atau
konflik dalam kelompok itu.
Kemudian mereka bergabung dengan Inugami dalam satu kelompok yang
membela para Kami dan penghuni hutan. Konflik dengan kelompok Tatara Ba
memperkuat kekompakan internal dan meningkatkan moral kelompok Kami.
Persepsi terhadap ancaman dari manusia membantu kelompok Kami meningkatkan
atau mempertahankan solidaritas internal. Di bawah ini adalah kutipan percakapan
antara Moro dan Okkotonushi tentang pemikirannya melawan manusia.
おっことぬし:「モロ、わしの一族をみろ。みんな、小さく、ば
かになりつある。このままでは、わしらは、ただ
の肉として、人間に、符られるようになるだろ
う。」
モロ:「気にいらぬ。いちどに、けりをつけようなどと、人間ど
もの、おもうつぼだ。」Terjemahan :Okkotonushi :“Lihat suku kami, Moro. Kami tumbuh menjadi kecil, dan
kami tumbuh menjadi bodoh. Untuk mengakhiri ini adalahdengan cara mengakhiri permainan manusia yang sukaberburu daging.”
Moro :“Untuk mempertaruhkan semuanya di pertempuran terakhir adalahbermain ke dalam permainan mereka.”
Akibat ulah manusia, Okkotonushi dan pasukan Inoshishigami merasa menderita.
Okkotonushi memutuskan untuk menyerang manusia agar perilaku kejam mereka
terhadap alam mendapat ganjarannya. Moro memiliki pemikiran yang sama untuk
menyerang manusia, lalu mereka sepakat untuk bekerja sama melawan manusia.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa konflik dengan
kelompok lainnya dapat menghasilkan solidaritas di dalam kelompok tersebut
sehingga menjadi kekuatan yang mempersatukan. Solidaritas dalam kelompok
internal dapat terwujud karena kelancaran komunikasi antar anggota dalam
kelompok. Mereka saling berinteraksi mencari jalan keluar untuk menghadapi dan
menyelesaikan konflik dengan cara mengalahkan lawan atau untuk menciptakan
kedamaian. Selanjutnya komunikasi akan menjadi proses refleksi internal
kelompok-kelompok mengenai kelompok di luar mereka sehingga tercipta ittaikan
dan kyoudoutai. Dua hal tersebut mendasari pemikiran masyarakat Jepang agar
berorientasi terhadap kelompok sehingga terwujud solidaritas internal.
Film animasi Mononoke Hime sebagai sarana edukasi yang mengajarkan
kepada penonton rasa ittaikan dan kyoudoutai dalam masyarakat Jepang. Ittaikan
dan kyoudoutai menurut Fukutake harus diajarkan sejak anak lahir, karena sejalan
dengan pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwanya ia sudah dihadapkan dengan
kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung di dalam kehidupan keluarga (1997: 39--41).
Kehidupan keluarga tidak terlepas dari tradisi yang menunjukkan rasa ittaikan dan
kyoudoutai yang menghasilkan solidaritas. Sikap solider terlihat dari kehidupan
anak tanpa disadari sehingga film animasi merupakan sarana edukasi yang baik
untuk menanamkan rasa solidaritas kepada anak sejak dini.
6.2 Pengendalian Sosial Masyarakat Jepang dalam MenjagaHarmonisasi Alam
Di dalam kehidupan sosial selalu terdapat alat kontrol atau alat kendali untuk
mengendalikan berbagai tingkah laku anggota kelompok sosial agar tingkah laku
para anggota tersebut tetap dalam batas-batas tingkah konformis. Artinya perilaku
manusia selalu dibatasi dalam batasan antara mana yang boleh dilakukan dan
perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan. Batasan ini tentu dalam bentuk
perintah dan larangan yang dinamakan pengendalian sosial. Menurut Joseph
S.Roucek pengendalian sosial adalah proses baik direncanakan maupun tidak
direncanakan, yang bersifat mendidik, mengajak, bahkan memaksa warga-warga
masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang berlaku (dalam
Setiadi, 2011:252).
Di dalam kenyataan tertentu pasti ada sebagian anggota masyarakat yang
menaati peraturan dan ada sebagian yang melakukan pelanggaran. Untuk mencegah
atau mengurangi agar warga masyarakat tidak melakukan pelanggaran aturan, maka
di dalam kelompok masyarakat terdapat seperangkat nilai dan norma. Norma dan
nilai sosial bukan hanya sebagai petunjuk arah bagi tata kelakuan para anggota
kelompok sosial saja tetapi ia juga memiliki kekuatan kendali yang mengikat
masyarakat agar tidak melakukan penyimpangan sosial
Dalam masyarakat Jepang ada berbagai aturan dan norma yang mengatur
kehidupan sosial. Aturan dan norma tersebut dipengaruhi oleh agama Shinto yang
mendasari nilai-nilai sosial Jepang sejak zaman dahulu kala. Salah satunya adalah
penghormatan atas alam. Menurut agama Shinto, alam adalah kekuatan pemelihara
yang penuh kebajikan yang harus dihargai oleh manusia dan merupakan
perwujudan dari sumber kejadian. Manusia dapat masuk ke inti realitas dan
menyatu dengannya melalui pemahaman atas bentuk-bentuk alam. Alam tidaklah
terpisah dari para dewa atau manusia, tetapi menyatu dengan keduanya (Bellah,
1992:82).
Norma sosial dalam agama Shinto mengatur masyarakat Jepang untuk
menghormati alam karena manusia dapat hidup melalui sumber daya alam. Selain
itu, segala sesuatu di alam diyakini memiliki kekuatan dan dapat menciptakan
bencana yang disebut dengan Kami. Alam, Kami, dan manusia tidaklah terpisah,
tetapi menyatu sehingga terwujud harmonisasi. Agama Shinto memiliki andil besar
bagi tercapainya harmonisasi alam, sebab melalui pendidikan keagamaan,
masyarakat Jepang dibimbing untuk menjadi manusia yang bertindak atas dasar
norma-norma agama yaitu untuk menghormati alam. Jika semua anggota
masyarakat bersedia menaati norma ini, maka hampir dapat dipastikan bahwa
lingkungan menjadi lestari dan kehidupan masyarakat akan makmur dan sejahtera
karena sumber daya alam yang memadai.
Dalam Mononoke Hime alam dibuat hidup dalam wujud binatang-binatang
berukuran besar, dapat berkomunikasi dengan manusia dan memiliki kekuatan
supranatural yang disebut dengan Kami. Alam diciptakan sedemikian rupa oleh
pengarang agar dapat melawan manusia yang telah merusak alam, yaitu kelompok
Tatara Ba. Kelompok Tatara Ba membabat hutan untuk kepentingan pabrik
pengolahan besi. Kelompok samurai menyerang Tatara Ba untuk menguasai besi.
Selain itu, kelompok Jiko Bou memburu kepala Shishigami. Kelompok Kami dan
para penghuni hutan melawan manusia untuk melindungi hutan sehingga terjadilah
konflik.
Sikap kelompok Tatara Ba, samurai, Jiko Bou, dan Kami tidak sesuai
dengan norma sosial dalam agama Shinto. Kelompok Tatara Ba, samurai, dan Jiko
Bou telah merusak alam demi kepentingan dan keuntungan pribadi sehingga tidak
sesuai dengan norma sosial, yaitu penghormatan atas alam. Manusia yang
seharusnya dapat melestarikan alam, justru merusaknya. Kemudian kemarahan
kelompok Kami kepada manusia telah menimbulkan disharmonisasi. Hal tersebut
juga tidak sesuai dengan norma agama Shinto, yakni terciptanya harmonisasi antara
Kami, manusia, dan alam. Ashitaka menjadi penengah dalam konflik dan berusaha
mengendalikan keadaan sosial yang sedang kacau.
Ashitaka berusaha meredakan permusuhan dengan melakukan komunikasi
baik kepada pihak Tatara Ba maupun pihak Kami. Namun konflik antara kedua
kelompok tersebut tidak dapat dihindari sehingga ia hanya mengikuti jalannya
konflik dan menjaga agar konflik tak menghancurkan seluruh struktur kelompok.
Di tengah perang antara kelompok Kami dan kelompok Tatara Ba ia mencoba
mencari jalan keluar yang meredakan permusuhan. Ia menolong kelompok Tatara
Ba dan kelompok Kami dan meyakinkan mereka untuk berdamai. Berdasarkan
pengalamannya tersebut Ashitaka melakukan mekanisme pengendalian sosial
dengan beberapa cara yaitu pengendalian secara persuasif, koersif, dan pervasi.
Pertama-tama Ashitaka melakukan pengendalian secara persuasif.
Pengendalian sosial yang dilakukan Ashitaka yaitu dengan cara tidak menggunakan
kekerasan, tindakan pengendalian dilakukan dengan cara pendekatan kepada setiap
individu. Mereka diajak, disarankan, diimbau, atau dibimbing melalui alasan yang
rasional sehingga imbauan, saran dan ajakan Ashitaka dapat diterima secara akal.
Dengan demikian pihak yang dikendalikan tidak melakukan penyimpangan sosial
atas dasar kesadaran dirinya, bukan karena tekanan. Pada saat meleraikan
perkelahian antara Eboshi dan San, Ashitaka menunjukkan tangan yang terkena
kutukan pada mereka sebagai bukti dampak dari kebencian. Ashitaka menghentikan
perkelahian tersebut karena tidak ingin lagi ada kebencian dalam diri manusia,
berikut ini kutipannya.
「そなたのなかには、夜又がいる。このむすめのなかにもだ。みん
な、みろ!これが、身のうちにすくう、にくし みと、うらみの
すがただ。肉をくさらせ、死をよびよせるのろいだ。これいじょ
う、にくしみに、身をゆだねるな!」Terjemahan :“Terdapat iblis di dalam dirimu dan di dalamnya. Lihat ini! Ini adalahbentuk dari kebencian yang ada padaku! Ini membuat busuk dagingku danbersiap menjemput nyawaku! Jangan membuat kebencian itu tumbuh!”
Ashitaka berusaha menciptakan persatuan di antara kelompok dengan cara terus
berkomunikasi membujuk mereka untuk menghentikan konflik dan berdamai.
Pengendalian secara persuasif tidak berhasil karena konflik masih saja terjadi
sehingga Ashitaka terpaksa melakukan pengendalian secara koersif. Tindakan
pengendalian yang dilakukan Ashitaka dengan menggunakan kekerasan atau
paksaan. Saat meleraikan perkelahian antara San dan Eboshi, Ashitaka terpaksa
memukul mereka untuk menghentikannya. Selain itu, Ashitaka melakukan
perlawanan dengan kelompok samurai yang menambah permasalahan dalam
konflik. Ashitaka juga bertarung dengan Jiko Bou yang mengambil kepala
Shishigami agar kerusakan lingkungan dapat dihentikan.
Kemudian Ashitaka melakukan pengendalian sosial dengan cara pervasi atau
pengisian. Ashitaka berusaha melakukan penanaman atau pengenalan norma secara
berulang-ulang dengan harapan hal yang berulang-ulang itu akan masuk ke
kesadaran seseorang sehingga orang akan mengubah sikapnya sesuai dengan yang
diinginkan. Tidak hanya sekali, tetapi berulang-ulang Ashitaka berusaha membujuk
Eboshi. Ambisi Eboshi membuat dirinya menjadi manusia yang serakah. Ia tidak
hanya menginginkan pasir besi, tetapi juga hutan Shishigami, bahkan ia menembak
kepala Shishigami agar semua keinginannya tercapai. Berikut ini adalah kutipan
percakapan Ashitaka yang membujuk Eboshi agar hutan dan pabrik hidup bersama.
Namun, Eboshi menolaknya, ia lebih memilih mengikuti ambisinya.
エボシ:「シシ神ごろしをやめて、侍ごろしを、やれと いう のか。」
アシタカ:「ちがう。森とタタラ場、ともに生きる道は、なしの
か!?エボシさま、もどりましょう。」Terjemahan :Eboshi :“Jadi maksudmu tidak usah membunuh Shishigami, dan
membunuh para samurai saja, begitu?”Ashitaka :“Bukan! Bisakah hutan dan pabrik besi hidup bersama? Eboshi
ayo kembali!”
Ketika Inoshishigami dan Moro bersiap-siap untuk menyerang manusia,
Ashitaka berusaha membujuk Moro mewujudkan persatuan. Ia membujuk Moro
agar hutan dan manusia hidup bersama dalam kedamaian. Di bawah ini adalah
percakapan saat Ashitaka membujuk Moro, tetapi ditolaknya.
「モロ、森と人が、あらそわずにすむ道は、ないのか。ほんとう
に、もう、とめられないのか?」
Terjemahan :
“Tak bisakah hutan dan manusia hidup bersama dalam kedamaian? Tidak
bisakah ini dihentikan?”
Inoshishigami sudah berjalan menuju ke tempat manusia dan Moro sudah sepakat
dengan Okkotonushi untuk membantu mereka. Selain itu, Moro ingin membalas
dendam pada Eboshi yang menjadi penyebab kerusakan hutan.
San pernah mengira Ashitaka ada di pihak Eboshi lalu perdebatan terjadi di
antara mereka. San menjadi lebih membenci manusia. Keinginan Ashitaka untuk
menciptakan perdamaian, dipandang sebagai pengkhianatan oleh San. San
menusuk dada Ashitaka. Akan tetapi, Ashitaka tetap berusaha meyakinkannya jika
mereka bersama-sama saling membantu, maka hutan akan terselamatkan dan San
menyanggupinya. Berikut ini adalah kutipan perdebatan antara Ashitaka dan San.
アシタカ:「モロが、かたきをうった。もう、罰はうけている。
首をさがしている。ここも、あぶない。サン、カを、か
してくれ。」
サン:「いやた!おまえも、人間のみかただ。その女をつれて、さ
っさといっちまえ!人間なんか、大きらいだ!」
アシタカ:「わたしは、人間だ。そなたも、人間だ。」
サン:「だまれ!わたしは山犬だ!」
アシタカ:「サン・・・。」
サン:「よろな!すまない。なんとか、とめようとしたんだが . . .。」「もう、おわりだ。なにもかも。森は死んだ・・・。」
アシタカ:「まだおわらない。 わたしたちが、生きているのだから。
力をかしておくれ。」
Terjemahan :Ashitaka : “Moro sudah melakukan balas dendam padanya.
Dia sedang mencari kepalanya. Kita tidak bisa berada di sini.San! Bantu aku!”
San : “Tidak! Kau ada di pihak mereka! Ambil wanita itu dan pergilah!Menjauhlah aku benci manusia!”
Ashitaka : “Aku manusia dan kau juga.”San : “Diam! Aku adalah Inugami!”Ashitaka : “San..”San : “Menjauhlah! Ini sudah berakhir. Semuanya. Hutan telah mati.”Ashitaka : “Belum. Kita masih hidup. Bantu aku.”
Perang antara kelompok manusia dan kelompok Kami mengakibatkan
kehancuran alam. Kehancuran tersebut merupakan hukuman kepada manusia dari
setiap bentuk perbuatan yang merusak alam. Konflik membuat manusia dan alam
memiliki batasan-batasan dan memperkuat kesadaran akan tindakan manusia yang
justru merugikan dirinya sendiri. Keegoisan dan keserakahan manusia akan alam
dapat terkendali setelah konflik mereda. Ashitaka mengendalikan keadaan dengan
mendidik dan berulang-ulang mengajak manusia dan alam untuk hidup harmonis,
bahkan dengan melakukan kekerasan agar persatuan dapat terwujud.
Manusia menyadari bahwa alam tidak hanya dapat dieksploitasi, tetapi juga
dijaga dan dilestarikan agar terwujud harmonisasi. Harmonisasi alam akan terwujud
jika anggota masyarakat mematuhi norma dan nilai sosial. Manusia akan hidup
dalam keadaan lingkungan sosial yang aman, tertib, damai, dan tenteram sehingga
tiap-tiap anggota masyarakat tidak menemukan berbagai macam gangguan sosial
dalam memenuhi kebutuhan sosialnya.
6.3 Integrasi Sosial Masyarakat Jepang dalam MewujudkanHarmonisasi Alam
Menurut Ralf Dahrendorf konflik berfungsi sebagai pengintegrasian
masyarakat. Integrasi sosial adalah suatu proses penyatuan antara dua unsur atau
lebih yang mengakibatkan terciptanya suatu keinginan yang berjalan dengan baik
dan benar. Selain itu, integrasi sosial dapat diartikan sebagai suatu proses
mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat sebagai sebuah sistem. Dalam
hal ini, konflik sebagai penyelesaian ketegangan antara unsur-unsur yang
bertentangan mempunyai fungsi penstabil dan menjadi komponen pemersatu
hubungan (dalam Setiadi, 2011:380).
Konflik yang terjadi dalam Mononoke Hime disebabkan oleh perubahan
sosial pada zaman Muromachi. Perubahan sosial ini diwarnai oleh gejala, yaitu
tatanan perilaku lama tidak digunakan lagi sebagai pedoman, sedangkan tatanan
perilaku yang baru masih simpang siur sehingga banyak orang kehilangan arah dan
pedoman perilaku. Keadaan ini memicu banyak orang bertingkah seenaknya yang
berakibat pada benturan antarkepentingan, baik secara individual maupun
kelompok sehingga memunculkan kelompok manusia dan kelompok Kami yang
saling bertentangan. Kelompok Kami melindungi dan memelihara alam untuk
ketersediaan sumber daya alam dalam jangka waktu yang panjang. Kelompok
manusia mengeksploitasi alam untuk kepentingan materi dan kesejahteraan
masyarakat.
Ashitaka menjadi penengah dalam konflik untuk meredakan permusuhan. Ia
mengendalikan keadaan dengan mendidik dan berulang-ulang mengajak manusia
dan alam untuk hidup harmonis. Namun, manusia dan Kami tetap bertentangan.
Hingga pada akhirnya terjadi perang yang menghancurkan segalanya. Kami dan
manusia sadar akan kesalahannya dan berusaha menyatukan perbedaan. Agar setiap
perbedaan dapat hidup berdampingan, maka perlu untuk menyelaraskan berbagai
perbedaan tersebut agar dapat dicapai kesatuan hidup yang lebih baik.
Integrasi sosial tercipta saat manusia dan Kami menghadapi kehancuran alam.
Berada dalam keadaan terdesak membuat mereka memiliki tujuan yang sama untuk
menyelamatkan diri dari kehancuran. Bahaya yang mengancam memaksa manusia
dan Kami untuk bekerjasama saling membantu. Eboshi yang sedang terluka telah
diselamatkan oleh Inugami, anak Moro. Meskipun sebelumnya ia sangat membenci
Inugami, setelah diselamatkan olehnya ia merasa berutang budi. Ternyata Eboshi
justru diselamatkan oleh musuhnya sendiri sehingga membuat Eboshi berubah
pikiran tentang Inugami. Eboshi juga berjanji kepada para pekerjanya untuk mulai
membangun Tatara Ba yang telah hancur. Mereka akan membangun Tatara Ba
menjadi desa yang lebih baik dengan tidak merusak alam dan tetap melakukan
penghormatan atas alam. Berikut ini kutipan janji Eboshi kepada para pekerjanya.
「ざまはない。わたしか、山犬の背ではこばれ、生きのこってしま
った・・・。」
「札をいおう。だれか、アシタカを、むかえにいっておくれ。みん
な、はじめから、やりなおしだ。ここを、いい村にしよう。」Terjemahan :“Bisakah kau mempercayai ini? Aku diselamatkan oleh serigala! Tolong
bawa Ashitaka padaku. Aku ingin berterima kasih padanya. Kita akanmemulainya dari awal lagi. Kita akan membangun desa yang baik.
Kutipan perkataan Eboshi di atas merupakan bentuk integrasi antara manusia
dan Kami. Meskipun tidak ditampilkan dalam film, tapi dapat dipastikan bahwa
Eboshi tidak akan menyerang para Kami dan penghuni hutan lagi karena hutang
budinya. Ashitaka telah berhasil menyadarkan Eboshi hingga ia berubah pikiran
akan membangun Tatara Ba menjadi desa yang baik. Baik dalam hal ini dapat
diartikan mendirikan pengolahan pasir besi tanpa membabat hutan dan menjalin
kerjasama dengan kelompok Kami. Eboshi telah menyaksikan kekuatan alam yang
dapat menghancurkan segalanya akibat perbuatannya. Ini dapat menjadi semangat
integrasi antara manusia dan Kami.
Integrasi antara Kami dan manusia juga ditunjukkan oleh Ashitaka dan San
saat menyerahkan kepala Shishigami. San sebagai simbol alam dan Ashitaka
sebagai simbol manusia bekerjasama untuk menyelamatkan segalanya yang telah
hancur. San menyukai Ashitaka, tapi ia tidak dapat memaafkan perbuatan manusia
terhadap alam. Ashitaka dapat mengerti perasaan San dan memutuskan untuk
tinggal di Tatara Ba dan menjalani hidup masing-masing. Namun Ashitaka berjanji
akan mengunjungi San di hutan. Kutipan di bawah ini percakapan antara Ashitaka
dan San.
サン:「アシタカは、すきだ。でも、人間を、ゆるすことは、でき
ない。」
アシタカ:「それでもいい。サンは森で、わたしはタタラ場で、く
らそう。ともに、生きよう。あいにいくよ。ヤックル
にのって。」Terjemahan :San :“Aku suka padamu, tetapi aku tidak bisa memaafkan apa yang sudah
Dilakukan manusia.”Ashitaka :“Itu benar. Kau tinggallah di hutan dan aku akan tinggal di pabrik
besi. Bersama kita akan hidup. Yakul dan aku akanmengunjungimu.”
Manusia diwujudkan sebagai Eboshi dan alam diwujudkan sebagai San.
Ashitaka ada untuk memudahkan mereka bersama-sama sehingga manusia dan
alam dapat hidup secara individual, tetapi harmonis. Individual yang dimaksudkan
adalah manusia dan alam hidup di habitat mereka masing-masing. Namun, saling
membutuhkan satu sama lain. Begitulah cara alam dan manusia dapat hidup dengan
harmonis.
BAB VII
MAKNA WACANA KONFLIK LINGKUNGAN DALAM TEKS FILM
ANIMASI MONONOKE HIME KARYA HAYAO MIYAZAKI
Dalam bab ini diuraikan makna wacana konflik lingkungan dalam film animasi
Mononoke Hime yang mencakup penghormatan atas alam, kerusakan lingkungan,
harmonisasi alam dan pencerahan. Pemaknaan terhadap konflik lingkungan
mendeskripsikan kepercayaan agama Shinto tentang penghormatan atas alam yang
memengaruhi hubungan harmonisasi antara manusia dan alam di Jepang.
Kepercayaan tersebut memberikan batasan pada manusia untuk tidak merusak alam
demi kepentingan materi karena manusia sebagai makhluk hidup tertinggi
seharusnya yang bertanggung jawab untuk melestarikan alam.
7.1 Penghormatan Atas Alam
Pada zaman dahulu kala, saat teknologi belum ditemukan, manusia
menganggap kehidupannya dikendalikan dan didominasi kekuatan supranatural
yang menguasai alam sehingga manusia merasa belum sepenuhnya memiliki
otonomi atas alam dan lingkungan. Begitu kuatnya dominasi alam mendorong
manusia mengembangkan ritus-ritus yang berisi rantai hubungan gerak alam
dengan kekuatan mitos supranatural (Susilo, 2012: 35). Dalam konteks ini,
penghormatan manusia pada alam dan lingkungan bisa dikatakan cukup besar.
Keyakinan ini disebabkan oleh kegamangan manusia dalam memahami dan
menjelaskan fenomena alam.
Dalam watak dominasi lingkungan, tidak heran jika dalam masyarakat
terlembaga tradisi-tradisi atau ritualisme. Selain untuk menghibur ketidakpastian,
ia juga merupakan cara manusia untuk menghormati alam. Alam terletak pada
setiap diri kita, oleh karena itu, alam merupakan bagian hidup manusia. Filosofi
yang dianut masyarakat mengatakan bahwa alam perlu dihormati, dipelihara, dan
diajak bersahabat.
Agama Shinto merupakan salah satu agama yang sejalan dengan filosofi
tersebut karena penghormatannya atas alam. Menurut agama Shinto, alam adalah
kekuatan pemelihara yang penuh kebajikan yang harus dihargai oleh manusia dan
merupakan perwujudan dari sumber kejadian. Manusia dapat masuk ke inti realitas
dan menyatu dengannya melalui pemahaman atas bentuk-bentuk alam. Alam
tidaklah terpisah dari para dewa atau manusia, tetapi menyatu dengan keduanya
(Bellah, 1992:82). Agama ini memiliki keyakinan tentang dewa yang menguasai
gejala-gejala alam dan lingkungan-lingkungan tertentu. Maka tidak heran dalam
beberapa mitos, tersebutlah dewa angin, dewa laut, dewa pohon, dan lain-lain.
(Bagan III. hubungan alam, Kami dan manusia dalam agama Shinto)
Gambar di atas adalah bagan penghormatan atas alam dalam agama Shinto.
Pada gambar di atas dapat terlihat posisi antara alam, Kami, dan manusia. Dalam
agama Shinto alam dianggap suci. Alam berada di atas Kami dan manusia karena
manusia dan Kami adalah milik alam. Arah panah tersebut menunjukkan bahwa
antara alam dan manusia tidak ada hubungan didominasi atau mendominasi dan
mereka tidaklah sama. Antara manusia dan alam terdapat hubungan saling
mempengaruhi dan saling menguntungkan satu sama lain (Bak, 2014:1).
Berdasarkan kepercayaan tersebut film animasi Mononoke Hime diciptakan
sehingga banyak ditemukan unsur-unsur Shinto dalam film animasi ini. Dalam
pembukaan film ini ditunjukkan keadaan alam Jepang yang masih begitu liar, yaitu
pegunungan yang diselimuti hutan lebat dengan pohon-pohon besar. Selain itu, juga
terdapat kata pengantar seperti berikut.
むかし、この国は、深い森におおわれ、そこには、太古からの神が
みがすんでいた。Terjemahan :Pada zaman dahulu negeri ini diselimuti oleh hutan belantara. Di sanatinggallah roh para dewa kuno.
Dari Mononoke Hime kalimat pengantar di atas dapat dimengerti bahwa dahulu
hutan di Jepang sangat luas dan dipercaya sebagai tempat tinggal para Kami.
Kemunculan Kami menandakan bahwa cerita dalam Mononoke Hime terinspirasi
dari kepercayaan dalam agama Shinto.
Pengormatan atas alam dalam agama Shinto terlihat pada sikap warga Desa
Emishi. Warga Emishi diceritakan memiliki kedekatan dengan alam dibandingkan
dengan masyarakat Jepang lainnya yang mulai berpikir untuk menguasai alam.
Hubungan suku Emishi dengan alam dapat diketahui dari kutipan berikut.
「山がおかし、鳥達がいないの、ケモノ達も」Terjemahan :“Burung-burung tiada, gunungnya aneh, juga para binatang”
Dari kutipan tersebut dapat dilihat kedekatan antara suku Emishi yang hidup di
gunung dan memerhatikan tanda-tanda seperti adanya burung dan hewan-hewan
sebagai pertanda bencana.
Selain itu, penghormatan atas alam dapat terlihat ketika Tatarigami
menyerang Desa Emishi. Inoshishigami yang bernama Nago berubah menjadi
Tatarigami karena rasa benci dan dendamnya kepada manusia. Tatarigami tersebut
mengamuk dan berjalan masuk ke desa Emishi. Ashitaka berusaha menghalanginya.
Walaupun sosok Tatarigami menakutkan, Ashitaka tetap memandangnya sebagai
Kami dan menghormatinya dengan berusaha membujuknya untuk kembali ke hutan
dan tidak mengganggu desa suku Emishi. Adegan dan percakapan saat Ashitaka
dikejar oleh Tatarigami dapat dilihat di bawah ini.
「しずまれ。しずまれたまえ!さぞかし名のある、山の主とみうけ
たが、なぜ、そのようにあらぶるのか!?とまれ! なぜ、わが村
をおそう!? やめろ、しずまれ!やめろおー!」Terjemahan :“Tenangkan amarahmu, aku mohon! Oh, dewa hutan yang tidak memilikinama, mengapa kau mengamuk seperti itu? Berhenti! Jangan hancurkan desakami! Berhenti! Tenangkan amarahmu! Berhenti!”
Ashitaka memandang Tatarigami sebagai seorang dewa, bukan sebagai monster
sehingga dia menghormatinya. Oleh karena itu, ketika melihat Tatarigami
menyerang desa, Ashitaka tidak menyerangnya, tetapi menenangkan dengan
hormat. Ashitaka tidak berhasil menenangkan Tatarigami yang sedang mengamuk
sehingga ia terpaksa menembaknya dengan panah sampai mati.
Tatarigami yang dikalahkan oleh Ashitaka terbaring sekarat. Lalu Hii sama
seorang dukun dari Desa Emishi membungkukkan badan memberikan hormat
sambil berkata, seperti di bawah ini.
「いずこよりいまし、あらぶる神とは存せぬも、かしこみ、かしこ
み申す。この地に塚をきずき、あなたの御霊を、おまつりします。
うらみをわすれ、しずまりたまえ。たたりがみ けがらわしい人間ど
もめ。わが苦しみと、にくしみを、しるがいい。」Terjemahan:“Dewa tak dikenal yang sedang marah aku berlutut padamu di tempat kaujatuh kami akan membuat gundukan dan melakukan matsuri. Jangan berikankami kebencian dan jadikanlah kedamaian.”
Kemarahan dan kebencian Kami dapat dihindari dan ditolak dengan melakukan
ritual keagamaan. Salah satu diantaranya adalah ritual Harae. Harae atau harai
merupakan upacara dalam agama Shinto untuk menghilangkan segala macam
kekotoran, kesalahan, dan kesengsaraan dengan memanjatkan doa kepada para
dewa (Djam’annuri, 1981:65). Harae dilakukan pada jasad Tatarigami untuk
mengembalikannya kepada kondisi atau keadaan agar dia dapat mendekati para
dewa dengan melakukan penyucian badan ataupun pikiran. Setelah itu Hii sama
membacakan doa untuk menyucikan arwah Tatarigami agar mati dalam kedamaian,
bukan dengan kebencian.
Jiiji sama tidak hanya mendoakan Tatarigami, tetapi juga membuat gundukan
untuk menguburkannya. Ia juga berjanji untuk mengadakan matsuri di tempat
gundukan tersebut. Matsuri adalah kegiatan yang dipercayai oleh masyarakat
Jepang sebagai ritual terhadap pemujaan kepada leluhur dan dewa-dewa alam
semesta (Madubrangti, 2008: 22). Ritual matsuri dilakukan di tempat itu untuk
menghormati Tatarigami dan mendoakannya agar terhindar dari kebencian
Tatarigami.
Selain Tatarigami, dalam Mononoke Hime juga muncul yaitu Kodama.
Kodama adalah Kami yang tinggal di pohon. Beberapa orang percaya bahwa
Kodama tidak terkait dengan satu pohon tapi bisa bergerak gesit melewati pohon
dan bepergian bebas dari pohon ke pohon. Beberapa orang lain percaya bahwa
Kodama berakar seperti pohon itu sendiri dan tampak tidak berbeda dari pohon-
pohon lainnya. Miyazaki dengan imajinasinya menggambarkan kodama menjadi
bentuk yang lucu berbadan mungil, berwarna putih dan berkepala bulat.
Kodama muncul pada saat Ashitaka menyelamatkan dua pekerja Tatara Ba
yang jatuh dari bukit akibat serangan Inugami. Salah satu pria yang diselamatkan
oleh Ashitaka bernama Kouroku merasa ketakutan ketika melihat Kodama.
Ashitaka menenangkan Kouroku bahwa Kodama tidak berbahaya dan menjelaskan
bahwa adanya Kodama menunjukkan hutan tersebut sehat. Kouroku yang ketakutan
mengatakan bahwa Kodama akan memanggil Shishigami. Ashitaka melihat kijang
tunggangannya tidak merasa takut, berbeda dengan saat diserang Tatarigami,
menyadari bahwa tidak adanya bahaya. Ashitaka menunjukkan rasa hormatnya
dengan meminta izin untuk melewati hutan tersebut. Berikut ini percakapan antara
Ashitaka dan Kouroku saat bertemu Kodama.
アシタカ:「コダマ?ここにも、コダマがいるのか?すきにさせて
おけば、わるさはしない。森が、ゆたかなしょうこ
だ。」
こうろく:「こいつらは、シシ神をよぶんだ。」
アシタカ:「シシ神? 大きな山犬か?」
こうろく:「ちがう、もっとおっかねえ、ばけものの親玉だ。うひ
ゃあ、またでた!」
アシタカ:「ヤックルが、へいきでいる。きけんなものは、近くに
はいない。すまぬが、そなたたちの森を、とおらせても
らぞ。」Terjemahan :Ashitaka :“Kodama? Mereka di sini juga? Kau terluka. Tenanglah. Mereka
tidak akan menyakitimu. Mereka hanya sebuah tanda yangmenandakan bahwa pohon tersebut sehat.”
Kouroku :“Mereka akan memanggil Shishigami.”Ashitaka :“Shishigami? Serigala yang besar?”Kouroku :“Bukan, monster yang besar. Dia pergi!”
Ashitaka :“Yakul tidak takut. Mereka tidak berbahaya. Kami mohontunjukkan jalan menuju keluar hutan kalian.”
Rasa takut Kouroku terhadap Kodama menunjukkan tahapan pertama cara
pandang manusia terhadap alam. Kepercayaan terhadap sesuatu yang mistis yang
menghuni hutan menimbulkan rasa takut. Rasa takut Kouroku juga berkaitan
dengan aktivitas mereka (penduduk Tatara ba) yang membabat hutan untuk
memeroleh pasir besi. Perlakuan Ashitaka terhadap para kodama berbeda karena
kedekatannya dengan hutan sehingga terjadi sifat menghormati.
Masyarakat Jepang memiliki kepercayaan bahwa siapapun yang menebang
pohon yang terdapat Kodama akan terkena kutukan. Kutukan Kodama adalah
sesuatu yang harus ditakuti. Kodama dikatakan memiliki kekuatan supranatural
yang dapat menjadi berkat dan kutukan. Kodama yang disembah dan dihormati
akan melindungi rumah dan desa-desa. Kodama yang dianiaya atau tidak dihormati
dapat memberikan kutukan. Masyarakat di desa Mitsune, Hachijou-jima, Jepang
merayakan festival setiap tahun untuk mengucap syukur dan hormat kepada
Kodama memohon pengampunan dan berkat ketika mereka menebang pohon untuk
industri kayu (Diakses dari http://hyakumonogatari.com/2012/08/05/kodama-the-
tree-spirit/ tanggal 11 Oktober 2014).
Penghormatan atas alam dalam Mononoke Hime juga ditunjukkan dengan
adanya berbagai macam Kami yang berwujud binatang, berukuran besar, dan
memiliki kekuatan supranatural. Dapat dikatakan bahwa Miyazaki memilih
menggunakan wujud binatang sebagai Kami untuk menunjukkan kedekatan antara
Kami dan alam atau hutan. Selain itu, binatang-binatang sering dianggap sebagai
Kami karena beberapa alasan. Binatang-binatang tersebut dirasa sebagai wujud-
wujud yang menakutkan, seperti harimau, serigala, ular, dan sebagainya. Binatang-
binatang tersebut dianggap sebagai pelayan-pelayan dewa, seperti rusa, kera,
burung merpati, kura-kura, dan sebagainya. Binatang-binatang tersebut dianggap
sebagai inkarnasi atau penjelmaan dewa, semisal burung kasa, ular naga, rusa, dan
sebagainya (Djam’annuri,1981:121). Dalam Mononoke Hime, Kami berwujud
binatang rusa, kera, babi hutan, dan serigala. Kami yang berwujud binatang ini
memiliki kemampuan untuk berbicara seperti manusia dan memiliki kekuatan luar
biasa sehingga ditakuti oleh manusia.
Personifikasi hewan yang diciptakan Hayao Miyazaki untuk memotivasi
penghormatan manusia terhadap alam. Alam sebaiknya diperlakukan seperti
layaknya manusia dan bukan seperti benda sekali pakai. Mempergunakan sumber
daya alam tanpa rasa hormat berarti menganggap rendah kekuatan alam. Jika ingin
sumber daya alam melimpah, maka manusia harus berusaha menghormatinya.
Pesan pengarang ini diperjelas dalam adegan komunikasi Kami dan penghuni hutan
pada Ashitaka, sedangkan mereka tidak berkomunikasi dengan Eboshi dan para
pekerja Tatara Ba.
Maksud pengarang dalam adegan tersebut adalah alam hanya akan
menghormati orang-orang yang memperlakukan mereka dengan hormat. Eboshi
dan para pekerjanya memperlakukan hutan seperti benda sekali pakai, menebang
hutan tanpa melestarikannya sehingga alam memberikan mereka bencana. Ashitaka
memperlakukan hutan dengan hormat, jadi meskipun penghuni hutan membenci
manusia, mereka masih memperlakukan Ashitaka dengan hormat yang sama seperti
yang ditunjukkannya.
Masalah lingkungan hendaknya diselesaikan dengan memberi penghormatan
atas alam. Alam tidak dapat selalu dapat memenuhi kebutuhan manusia, sedangkan
manusia telah menggunakan sumber daya alam melebihi kapasitas kebutuhannya.
Ada sesuatu yang hilang dalam sikap manusia terhadap alam, yaitu rasa hormat.
Wajar jika hal tersebut berdampak pada munculnya berbagai masalah lingkungan
yang menimbulkan bencana alam. Ada kalanya kekuatan alam melebihi kekuatan
manusia yang dapat menghancurkan manusia itu sendiri. Hal tersebut dapat
dihindarkan, jika manusia dapat memperlakukan alam dengan lebih hormat.
Mitos dan kepercayaan seperti dalam agama Shinto memberikan arah dan
pedoman kepada manusia agar bertindak lebih bijaksana. Menyadarkan manusia
tentang adanya kekuatan-kekuatan gaib, di luar mereka. Kemudian, manusia
dibantu untuk menghayati daya-daya itu sebagai kekuatan yang menguasai alam
dan kehidupan semuanya. Melalui film animasi ini, Hayao Miyazaki mengharapkan
agar manusia menyadari kekuatan alam yang melebihi kekuatan manusia. Manusia
dapat berhenti mengeksploitasi alam dan mulai untuk melestarikan alam. Selain itu,
manusia dapat mengucap rasa syukur dan terima kasih terhadap apa yang telah
diberikan oleh alam.
7.2 Kerusakan Lingkungan
Terjadinya konflik yang disebabkan oleh faktor lingkungan dapat
memberikan dampak negatif bagi lingkungan dan pihak yang terlibat di dalamnya.
Salah satunya adalah kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang
implikasinya akan merambat kepada perubahan sosial tidak akan pernah lepas dari
ulah manusia itu sendiri, terutama bagaimana ia mengelola alam lingkungannya.
Seiring dengan perkembangan industri upaya manusia untuk melestarikan alam
semakin berkurang karena materi menjadi lebih penting daripada alam dan
lingkungan. Semakin lama perkembangan industri justru membawa dampak yang
buruk bagi kehidupan sosial, terutama dengan semakin tingginya volume
pencemaran lingkungan.
Kerusakan lingkungan yang terjadi dalam Mononoke Hime disebabkan
konflik antara kelompok Tatara Ba yang mengekploitasi alam dan kelompok Kami
yang melindungi alam. Konflik terjadi pada zaman Muromachi sejak masuknya
bangsa barat ke Jepang yang membawa pengaruh bagi perkembangan teknologi.
Saat orang-orang mencoba menaklukan alam dan memperkosa lahan untuk
mendapatkan harta yang melimpah. Konflik dipicu oleh kelompok Tatara Ba yang
membangun industrialisasi dengan mengorbankan hutan dan penghuninya.
Industrialisasi merupakan salah satu langkah untuk mencapai kemajuan dan sarana
untuk mengejar ketertinggalan kehidupan kelompok Tatara Ba. Eboshi bersama
para pekerjanya membangun Tatara Ba untuk mengolah pasir besi.
(Gambar 7.1 Tatara Ba)
Pada gambar Tatara Ba di atas terlihat asap putih yang timbul dari proses
pengolahan besi yang menyebabkan pencemaran udara di lingkungan sekitarnya.
Hutan-hutan yang ada di sekitarnya terlihat gundul dan gersang terasa begitu
kontras dengan danau serta bukit lainnya yang masih hijau. Dalam pelaksanaannya,
industrialisasi di Tatara Ba ternyata harus mengorbankan hutan untuk menggali
lebih banyak pasir besi agar dapat mengolah besi. Asap yang dikeluarkan dari
proses pembakaran besi menyebabkan polusi udara yang berpengaruh pada hutan
Shishigami. Pengolahan besi dengan metode Tatara melahirkan permasalahan baru,
yaitu pencemaran lingkungan yang menyebabkan berbagai persoalan, terutama
ancaman kelangsungan hidup penghuni hutan dan manusia itu sendiri. Dengan
persoalan ini, maka industrialisasi yang direncanakan sebagai kemajuan hidup
manusia, justru akan membawa dampak buruk bagi kehidupan seluruh makhluk
hidup.
Dalam film ini Kami dan penghuni hutan menjadi korban industrialisasi yang
dilakukan oleh manusia. Mereka kehilangan tempat tinggalnya dan kekuatan hutan
menjadi lemah. Kami dalam bentuk hewan, tapi memiliki kecerdasan seperti
manusia, dihormati, dan ditakuti karena kekuatannya melakukan perlawanan
terhadap manusia sehingga terjadilah konflik. Senjata ishibiya yang digunakan oleh
manusia mengakibatkan banyak korban dari pihak Kami. Shishigami, Moro, dan
pasukan babi hutan mati terkena tembakan ishibiya. Kebencian Okkotonushi dan
Nago mengubahnya menjadi Tatarigami lalu mati. Demi mewujudkan ambisi
industrialisasinya manusia mengorbankan Kami dan penghuni hutan. Hal tersebut
menjadi gambaran bahwa perang yang disebabkan oleh manusia tidak hanya
menghancurkan lingkungan, tetapi juga satwa liar baik di masa lalu maupun masa
kini. Kenaikan tarif reproduksi manusia dan kemajuan teknologi menyebabkan
manusia menghancurkan habitat satwa liar dalam rangka memperluas kota dan desa.
Nago yang telah berubah menjadi Tatarigami melukai lengan Ashitaka,
warga Desa Emishi dan memberikannya kutukan mematikan. Kutukan itu dapat
meningkatkan kekuatan Ashitaka untuk melawan manusia yang menyebabkan
Nago menjadi Tatarigami. Luka tersebut merupakan simbol ancaman industri ke
desa. Industrialisasi memberikan pengaruh yang sangat kuat ke seluruh tempat, kota,
desa, bahkan sampai hutan. Pada akhirnya kutukan tersebut akan melahap tubuh
dan jiwa Ashitaka. Itu merupakan simbol industrialisasi yang menyebar ke seluruh
tempat hingga manusia mengeksploitasi seluruh sumber daya alam. Hal tersebut
menimbulkan kerusakan alam yang menghancurkan kehidupan seluruh makhluk
hidup.
Dalam film ini semua penduduk Tatara Ba mendapatkan manfaat dari
kerusakan lingkungan. Para penderita kusta dan mantan pelacur mendapatkan
pekerjaan, Eboshi mendapatkan besi, dan seluruh Tatara Ba menjadi kaya. Namun,
kerusakan lingkungan telah merugikan Kami, San, dan penghuni hutan lainnya
yang kehilangan tempat tinggalnya. Tatara Ba memperoleh manfaat dari kerusakan
lingkungan karena hutan dan penghuninya yang membayar semua kerusakannya.
Jika penghuni hutan diwujudkan sebagai masyarakat lokal yang tinggal di daerah
eksploitasi sumber daya alam, maka dapat dikatakan bahwa kerusakan lingkungan
dapat mendukung masyarakat pelaku bisnis yang telah menghancurkannya, tetapi
biaya kerusakan akan diproyeksikan ke masyarakat lokal. Kerusakan lingkungan
dapat bermanfaat bagi orang-orang yang telah menghancurkannya, tapi harus
membuat orang lain menderita, itu sungguh tidak layak.
(Gambar 7.2 Warna pohon berubah dan para kodama mati akibat lendir hitam)
Pada gambar di atas terlihat warna pohon yang berubah serta para Kodama
yang mati karena lendir hitam Shishigami. Eboshi dan Jiko Bou yang membunuh
Shishigami menunjukkan hilangnya rasa hormat manusia terhadap Kami dan hutan.
Kehilangan rasa hormat manusia terhadap alam menjadi penyebab hancurnya alam
itu sendiri.
Pada saat itu Shishigami menghancurkan segalanya dan membawa kematian
kepada Kami, manusia, dan alam. Manusia yang tersisa berjalan ketakutan
sementara hutan di sekitar mereka layu dan mati. Namun, setelah Ashitaka dan San
mengembalikan kepala Shishigami ke tubuhnya, ia menghilang dan seketika alam
yang telah rusak mulai tumbuh, penyakit penderita kusta tiba-tiba sembuh, dan luka
kutukan Ashitaka pun menghilang. Kekacauan yang dibuat oleh Shishigami
berfungsi untuk mengendalikan keserakahan manusia terhadap alam. Ia
menghancurkan segalanya dan memberikan kematian agar manusia menyadari
kesalahannya. Lalu memberikan kehidupan kembali agar manusia menyadari
kekuatan alam dan Kami sehingga manusia dapat mengontrol tindakannya dalam
memanfaatkan sumber daya alam.
Di sini Miyazaki membentuk sebuah wacana bahwa jika manusia
menghancurkan alam maka dirinya sendiri juga akan hancur karena manusia tidak
dapat hidup tanpa alam. Unsur fantasi yang ada di dalam Mononoke Hime
digunakan untuk mempertanyakan pemahaman kita mengenai kenyataan yang
terjadi. Kehancuran alam bukan hanya fantasi belaka, sejak dahulu manusia
mengeksploitasi alam untuk kepentingannya sendiri, baik setelah mengetahui
risikonya maupun belum. Miyazaki berusaha mendidik penontonnya, terutama
generasi muda agar dapat melihat bahwa kerusakan hutan terjadi akibat tanggung
jawab manusia.
7.3 Harmonisasi Alam
Kerusakan lingkungan yang terjadi dalam Mononoke Hime melahirkan
pejuang-pejuang yang berusaha menyelamatkan lingkungan yang telah rusak. Jika
kepentingan antroposentrisme membenarkan perilaku eksploitatif manusia, paham-
paham tandingan menjadikan proyek penyelamatan lingkungan sebagai asas-asas
dan tujuan-tujuan gerakan. Paham tersebut adalah paham ekosentrisme, yaitu
paham yang berpusat pada makhluk hidup secara keseluruhan dalam kaitan
memberikan penghormatan terhadap semua spesies (Susilo, 2012:111).
Paham ekosentrisme tercermin dalam diri Ashitaka. Ashitaka tidak memihak,
baik kelompok Eboshi maupun kelompok Kami. Ia tidak setuju jika manusia
mengekploitasi alam dengan cara menghancurkan alam dan penghuninya. Ia juga
tidak setuju jika alam melawan manusia. Ashitaka ingin manusia dan alam dapat
hidup berdampingan dan saling melengkapi. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran
ekosentrisme, yaitu manusia bisa berkembang menjadi penuh dan utuh justru dalam
relasi dengan semua kenyataan kehidupan dan alam.
Manusia harus menyadari, bahwa ia akan berhasil menjadi manusia yang
sempurna hanya dalam kesatuan asasi dengan alam atau melalui interaksi positif
manusia dengannya secara keseluruhan dan dengan bagian lain dari alam. Miyazaki
mengajarkan bahwa manusia tidak boleh menyerah dan bertanggung jawab atas
kerusakan alam. Hal ini digambarkan melalui perjuangan San dan Ashitaka untuk
merebut kembali kepala Shishigami dari Jiko Bou. Berikut ini adalah gambar San
dan Ashitaka yang mengembalikan kepala Shishigami.
(Gambar 7.3 San dan Ashitaka mengembalikan kepala Shishigami)
San dan Ashitaka mengembalikan kepala Shishigami sehingga dia kembali ke
dalam wujud dewa malam, yaitu Daidarabocchi. Walaupun demikian setelah
berdiri tegap, Daidarabocchi jatuh dan lenyap menjadi angin. Akan tetapi usaha
Ashitaka tidak sia-sia, luka-luka bekas kutukan di sekujur tubuhnya dan San telah
hilang. Begitu pula dengan bukit-bukit yang gundul mulai ditumbuhi rerumputan
dan kembali menjadi hijau. Para penderita lepra yang selamat dari bencana itu
secara ajaib sembuh.
Bagi San walaupun hutan kembali tumbuh, hutan itu tidak akan sama seperti
dahulu. Shishigami telah mati dan hutan yang ada sekarang menjadi hutan yang
tenang tidak seperti sebelumnya yang terlihat begitu liar dipenuhi pohon-pohon
besar. San tidak dapat memaafkan perbuatan manusia kepada hutan sehingga dia
menolak untuk tinggal bersama Ashitaka. Ashitaka juga berkata bahwa dia akan
membantu membangun kembali Tatara Ba dan akan terus mengunjungi San
sesering mungkin. Inilah yang dimaksud dengan hidup berdampingan, baik dengan
San maupun dengan alam. Berikut ini kutipan percakapan antara San dan Ashitaka.
サン:「よみがえっても、ここは、もう、シシ神の森じゃない。シ
シ神さまは、死んでしまった。」
アシタカ:「シシ神は、死にはしないよ。命そのものだから。生
と死と、ふたつとも、もっているもの。わたしに、生
きろといってくれた。」
サン:「アシタカは、すきだ。でも、人間を、ゆるすことは、でき
ない。」
アシタカ:「それでもいい。サンは森で、わたしはタタラ場で、く
らそう。ともに、生きよう。あいにいくよ。ヤックル
にのって。」Terjemahan :San :“Bahkan kalau mereka tumbuh kembali, mereka tidak akan menjadi
hutan Shishigami lagi. Dewa rusa telah mati.”Ashitaka :“Shishigami tidak bisa mati. Dia hidup dengan sendirinya.
Hidup dan mati adalah sesuatu yang dia berikan dan dia ambil.
Dia memberi tahu kita untuk tetap hidup.”San : “Aku suka padamu, tetapi aku tidak bisa memaafkan apa yang sudah
dilakukan manusia. “Ashitaka : “Itu benar. Kau tinggallah di hutan dan aku akan tinggal di pabrik
besi. Bersama kita akan hidup. Yakkul dan aku akanmengunjungimu.”
Pada kutipan di atas Ashitaka tidak dapat membujuk San untuk hidup di
antara manusia. San tidak mampu memaafkan manusia saat ia masih berduka
karena kematian Shishigami. Namun, Ashitaka percaya bahwa jiwa Shishigami
masih hidup sebab setelah ia menghilang tanaman mulai tumbuh dan kutukan di
lengan Ashitaka menghilang. Meskipun pandangan mereka yang berlawanan
terhadap kemanusiaan, mereka berjanji untuk mempertahankan persahabatan
mereka dan mengunjungi satu sama lain. Demikian juga manusia dan alam yang
tidak selalu sepakat, tapi tidak ada yang menghalangi kehidupan yang lebih baik
diantara mereka. Ini menjadi awal kesempatan bagi manusia dan alam untuk
mereformasi hubungan mereka. Bahkan Eboshi menyadari hal ini dan mengatakan
bahwa akan mulai membangan Tatara Ba menjadi tempat yang lebih baik tanpa
merusak alam. Eboshi yang sebelumnya berhati dingin telah memurnikan
pandangannya terhadap alam.
Miyazaki (dalam McCarthy, 1999:51) mengungkapkan bahwa tidak ada akhir
yang bahagia di dalam kisah perseteruan antara dewa dan manusia atau antara alam
dan budaya. Manusia tidak bisa terlepas dengan alam dan adanya keinginan untuk
kembali ke alam. Manusia memandang alam sebagai sesuatu yang diinginkan
kembali karena menimbulkan rasa nyaman dan tenang. Pada akhirnya rasa
kekaguman manusia terhadap alam juga merupakan sarana pemuasan dari
hasratnya itu sendiri tidak berbeda dengan tujuan sebelumnya yang memanfaatkan
alam sebagai sumber daya.
Walaupun Shishigami telah mati dan hutan yang liar menjadi tenang, pada
bagian akhir ditunjukkan bahwa kodama kembali hidup di hutan tersebut. Oleh
karena itu, Miyazaki menunjukkan nilai sakral dan mistis hutan tidak berubah.
Pandangan barat dan Jepang yang sama-sama mengidamkan keindahan alam dan
proses di baliknya mungkin mirip, tetapi memiliki perbedaan. Pandangan barat
menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan alam hanya terbatas antara
manusia dengan hutan dan binatang. Akan tetapi, manusia Jepang memandang
hutan bukan sebagai tempat tinggal dirinya sendiri, melainkan tempat tinggal dewa.
Wacana yang mengendalikan perbuatan manusia tentu berubah-ubah, tetapi jika
orang Jepang melihat pohon yang dililitkan oleh shimenawa 15 mereka akan
mengerti bahwa pohon tersebut bukan pohon biasa, melainkan pohon yang di
dalamnya terdapat kodama. Nilai-nilai seperti ini yang memisahkan pemikiran
mengenai hubungan manusia dan alam di Jepang (Napier, 2001:30).
Selama orang Jepang percaya bahwa terdapat nilai religius pada alam, mereka
akan tetap menghormati hutan, baik hutan itu telah mendapat campur tangan
manusia maupun tidak. Menurut Umehara, pandangan orang Jepang mengenai
hutan itu sendiri yang menyelamatkan 67% jumlah hutan yang ada di Jepang. Hori
mengkritik keterangan tersebut karena tidak ada pemisahan mengenai mana hutan
yang masih belum dijamah manusia dengan hutan yang sudah tidak natural. Hal ini
15 Shimenawa adalah tali dari jerami yang digunakan sebagai penanda suatu yang suci. Shimenawadipasang pengurus kuil di sekeliling kuil Shinto, sekeliling goshintai (objekpemujaan), batu besar, pohon besar, air terjun, atau sebagai penanda bagian dalam kuil Shinto yangdianggap suci (diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Shimenawa).
sama dengan membandingkan hutan pada awal film Mononoke Hime dan hasil
akhir yang ada. Walaupun berbeda, tetapi selama pandangan menghormati hutan
tidak berubah maka keharmonisan antara manusia dan hutan akan tetap ada (Hori,
2008:1)
McCarthy (1999:201) menyatakan bahwa jika manusia dapat memberikan
ruang kebebasan bagi alam dan tetap mencintainya juga menghormatinya tidak
untuk mengendalikannya sesuka hati, maka mungkin manusia dan alam dapat hidup
dengan harmonis. Keharmonisan inilah yang ditunjukkan melalui Ashitaka dan San.
Mereka tetap berdiri di posisinya masing-masing, yaitu manusia dan alam, tetapi
mereka saling mencintai dan menghormati. Ashitaka berkata bahwa dia akan tetap
mengunjungi San sesering mungkin, menunjukkan hubungan yang ideal antara
manusia dan alam.
Manusia tidak akan bisa berpisah dengan alam secara mutlak. Mereka yang
tinggal di kota akan melepas rindu sesekali dengan menikmati alam sama dengan
Ashitaka yang mengunjungi San. Akan tetapi, tetap harus ada pemisahan teritorial
antara manusia dan alam yang disertai rasa hormat. Miyazaki menunjukkan utopia
yang berbeda, yaitu tidak untuk tinggal di dalam alam tetapi untuk tetap tinggal di
dalam kota dan hidup berdampingan dengan hutan dan menghormatinya. Manusia
dan alam dapat mengatasi perbedaan mereka dan menghormati satu sama lain,
meskipun mereka tidak sering berinteraksi. Mereka dapat menghargai perbedaan
mereka tetapi tetap saling menghargai.
7.4 Pencerahan
Mononoke Hime adalah film yang mengajarkan kita untuk lebih
menghormati alam. Personifikasi hewan merupakan motivasi bahwa kita harus
memperlakukan alam seperti layaknya manusia. Manusia juga harus menghormati
perbedaan-perbedaan antara manusia dan alam. Film ini menawarkan sudut
pandang kita pada cara manusia memperlakukan alam dan pada tahapan klimaks,
manusia telah melangkah terlalu jauh merusak alam dengan cara membunuh spirit
hutan, yaitu Shishigami.
Alam memang dapat merevitalisasi seperti yang disaksikan di akhir film ini,
tetapi alam tidak dapat menahan begitu banyak kehancuran. Hampir terlambat
menyelamatkan kerusakan alam ketika Ashitaka dan San membuat upaya terakhir
mereka dengan mempersatukan kepala Shishigami dan tubuhnya. Ini menunjukkan
bahwa manusia harus menebus kesalahan mereka terhadap alam. Lebih baik jika
kita melakukannya segera karena jika menunggu terlalu lama, maka akan ada saat
kita akan terlambat untuk mengubah apa pun.
Melalui Mononoke Hime, Hayao Miyazaki ingin mendidik masyarakat
untuk masa depan yang lebih baik dengan mewujudkan harmonisasi antara manusia
dan alam. Film ini dibuat tidak hanya untuk masyarakat Jepang, tetapi juga untuk
masyarakat di seluruh dunia. Mengingat bagaimana manusia mencemari bumi
hampir sepanjang waktu, pelajaran dalam film ini bermanfaat bagi seluruh manusia
di dunia untuk merawat bumi menjadi tempat yang lebih baik daripada sebelumnya
dan segera melakukannya sebelum terlambat.
BAB VIII
SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan
Berdasarkan analisa di atas maka simpulan penelitian dapat dikemukakan
bahwa Mononoke Hime adalah film yang didominasi konflik antara kelompok
manusia dan kelompok Kami disebabkan oleh faktor lingkungan. Wacana tentang
konflik lingkungan disajikan dengan memasukkan unsur agama Shinto, khususnya
tentang hubungan antara manusia dan alam.
Wacana itu disampaikan melalui dialog tokoh-tokohnya dengan berbagai
ragam bahasa. Dalam Mononoke Hime terdapat tiga jenis ragam bahasa hormat,
yaitu sonkeigo, kenjoogo dan keitai. Film animasi ini lebih sering menggunakan
bahasa bentuk biasa yang disebut jootai. Bahasa itu menunjukkan keakraban
hubungan antartokoh sebagai teman maupun bawahan. Gaya bahasa Jepang yang
terdapat dalam film animasi ini, antara lain majas repetisi, majas personifikasi, dan
idiom.
Bahasa dan gaya bahasa membentuk wacana perlindungan alam dan wacana
eksploitasi alam dalam Mononoke Hime. Wacana tersebut dibentuk oleh dua
kelompok yang memiliki pandangan berbeda terhadap pengelolaan sumber daya
alam sehingga menimbulkan konflik. Wacana perlindungan alam dikemukakan
oleh kelompok Kami yang memiliki gagasan melindungi dan melestarikan sumber
daya alam sehingga seluruh makhluk hidup dapat menikmati karunia alam dalam
jangka waktu yang panjang. Namun, seiring dengan perkembangan zaman populasi
manusia bertambah dengan cepat sehingga kebutuhan manusia akan sumber daya
alam tidak tercukupi. Oleh karena itu sumber daya alam dieksploitasi untuk
memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat dan kesejahteraan hidupnya.
Wacana eksploitasi alam dikemukakan oleh kelompok manusia yang terdiri
dari kelompok Tatara Ba, kelompok Jiko Bou, dan kelompok samurai. Kelompok
manusia memiliki gagasan mengeksploitasi sumber daya alam secara maksimal
untuk kesejahteraan masyarakat. Namun, apabila sumber daya alam terus menerus
dieksploitasi dan digunakan secara maksimal maka persediaannya yang terbatas
akan segera habis. Kegiatan eksploitasi tanpa memerhatikan kelestarian alam juga
akan berdampak pada kerusakan lingkungan.
Konflik yang terjadi antarkelompok saling menetralisir dan sesungguhnya
berfungsi mempersatukan sistem sosial. Kekuatan solidaritas internal dalam
kelompok Tatara Ba bertambah erat karena tingkat permusuhan atau konflik
dengan kelompok Kami dan kelompok samurai bertambah besar. Sebaliknya,
konflik dengan kelompok Tatara Ba memperkuat kekompakan internal dan
meningkatkan moral kelompok Kami. Solidaritas internal dalam kelompok Tatara
Ba dan kelompok Kami sesuai dengan karakter masyarakat Jepang yaitu
shuudanshikou yang didasari oleh ittaikan dan kyoudoutai.
Konflik membuat manusia dan alam memiliki batasan-batasan dan
memperkuat kesadaran akan tindakan manusia yang justru merugikan dirinya
sendiri. Keegoisan dan keserakahan manusia akan alam dapat terkendali setelah
konflik mereda. Ashitaka mengendalikan keadaan dengan mendidik dan berulang-
ulang mengajak manusia dan alam untuk hidup harmonis, bahkan dengan
melakukan kekerasan agar persatuan dapat terwujud. Manusia menyadari bahwa
alam tidak hanya dapat dieksploitasi, tetapi juga dijaga dan dilestarikan agar
terwujud harmonisasi. Harmonisasi alam akan terwujud jika anggota masyarakat
mematuhi norma dan nilai sosial.
Selan itu, konflik juga berfungsi sebagai pengintegrasian masyarakat.
Integrasi sosial tercipta saat manusia dan Kami menghadapi kehancuran alam.
Berada dalam keadaan terdesak membuat mereka memiliki tujuan yang sama untuk
menyelamatkan diri dari kehancuran. Bahaya yang mengancam memaksa manusia
dan Kami untuk bekerjasama saling membantu. Manusia diwujudkan sebagai
Eboshi dan alam diwujudkan sebagai San. Ashitaka ada untuk memudahkan mereka
bersama-sama sehingga manusia dan alam dapat hidup secara individual, tetapi
harmonis. Individual yang dimaksudkan adalah manusia dan alam hidup di habitat
mereka masing-masing. Namun, saling membutuhkan satu sama lain. Begitulah
cara alam dan manusia dapat hidup dengan harmonis.
Konflik lingkungan yang terjadi dalam Mononoke hime memiliki makna
penghormatan atas alam. Penghormatan atas alam dalam agama Shinto terlihat pada
sikap hormat warga Desa Emishi terhadap Kami, kemunculan Kodama, dan adanya
berbagai macam Kami dalam wujud hewan besar. Personifikasi hewan yang
diciptakan Hayao Miyazaki bertujuan untuk memotivasi penghormatan manusia
terhadap alam. Selan itu, mitos dan kepercayaan dalam agama Shinto memberikan
arah dan pedoman kepada manusia agar bertindak lebih bijaksana. Masalah
lingkungan hendaknya diselesaikan dengan memberi penghormatan atas alam. Ada
kalanya kekuatan alam melebihi kekuatan manusia yang dapat menghancurkan
manusia itu sendiri. Hal tersebut dapat dihindarkan, jika manusia dapat
memperlakukan alam dengan lebih hormat.
Terjadinya konflik yang disebabkan oleh faktor lingkungan dapat
mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang terjadi dalam
Mononoke Hime disebabkan konflik antara kelompok Tatara Ba yang
mengekploitasi alam dan kelompok Kami yang melindungi alam. Eboshi dan Jiko
Bou yang membunuh Shishigami menunjukkan hilangnya rasa hormat manusia
terhadap Kami dan hutan. Kehilangan rasa hormat manusia terhadap alam menjadi
penyebab hancurnya alam itu sendiri. Di sini Miyazaki membentuk sebuah wacana
bahwa jika manusia menghancurkan alam maka dirinya sendiri juga akan hancur
karena manusia tidak dapat hidup tanpa alam.
Kerusakan lingkungan yang terjadi dalam Mononoke Hime melahirkan
pejuang-pejuang yang berusaha menyelamatkan lingkungan yang telah rusak. Hal
ini tercermin dalam diri Ashitaka yang menginginkan manusia dan alam dapat
hidup berdampingan dan saling melengkapi. Perjuangan San dan Ashitaka untuk
merebut kembali kepala Shishigami dari Jiko Bou merupakan bentuk tanggung
jawab manusia terhadap kerusakan alam. Jika manusia dapat memberikan ruang
kebebasan bagi alam dan tetap mencintainya juga menghormatinya bukan untuk
mengendalikannya sesuka hati, maka manusia dan alam dapat hidup dengan
harmonis. Keharmonisan inilah yang ditunjukkan melalui Ashitaka dan San.
Mereka tetap berdiri di posisinya masing-masing, yaitu manusia dan alam, tetapi
mereka saling mencintai dan menghormati. Harus ada pemisahan teritorial antara
manusia dan alam yang disertai rasa hormat.
Melalui Mononoke Hime, Hayao Miyazaki ingin mendidik masyarakat
untuk masa depan yang lebih baik dengan mewujudkan harmonisasi antara manusia
dan alam. Film ini dibuat tidak hanya untuk masyarakat Jepang, tetapi juga untuk
masyarakat di seluruh dunia. Mengingat bagaimana manusia mencemari bumi
hampir sepanjang waktu, pelajaran dalam film ini bermanfaat bagi seluruh manusia
di dunia untuk merawat bumi menjadi tempat yang lebih baik daripada sebelumnya
dan segera melakukannya sebelum terlambat.
8.2 Saran
Penelitian ini mengkaji Mononoke Hime sebagai salah satu karya film animasi
Jepang dengan pembahasan terbatas pada wacana konflik lingkungan. Adanya
konflik antara manusia dan alam yang disebabkan oleh perbedaan paham akan
pengelolaan sumber daya alam dipaparkan dalam penelitian ini. Konflik lingkungan
ini dapat mewujudkan harmonisasi hubungan manusia dan alam. Sebagai objek
kajian, film animasi Mononoke Hime tidak menutup kemungkinan adanya
penafsiran dan pemberian makna lain pada penelitian ini dengan sudut pandang
yang berbeda, baik teori maupun metode. Pada penelitian ini telah diperkenalkan
pula masyarakat dan budaya Jepang pada zaman Muromachi. Penelitian selanjutnya
diharapkan lebih banyak lagi penelitian masyarakat dan budaya Jepang modern
yang terdapat dalam film animasi Jepang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi PengkajianEstetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books.
Ayuningsih, Trie Kartika. 2013. “Cara Pandang Antroposentris pada Tokoh Eboshidan Ekosentris pada Tokoh Ashitaka dalam Anime Mononoke Hime KaryaSutradara Miyazaki Hayao” (Skripsi). Surabaya: Universitas Brawijaya.
Bak, Mikyung. Animism Inside Japanese Animations.www.kyoto-seika.ac.jp/ cumulus/e.../s2_4.pdf diakses 15 Oktober 2014
Beasley, W.G. 2003. Pengalaman Jepang Sejarah Singkat Jepang. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Bellah, Robert N. 1992. Religi Tokugawa Akar-Akar Budaya Jepang. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Bhartes, Roland. 2007. Petualangan Semiologi. Terjemahan Stephanus AswarHerwinarko. L’aventure Semiologique. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Chandra, T. 2004. Kamus Indonesia-Jepang. Jakarta: Kursus Bahasa JepangEvergreen.
Chandra, T. 2007. Mengenal Kanji. Jakarta: Kursus Bahasa Jepang Evergreen.Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta:
Jalasutra.Djam’annuri. 1981. Agama Jepang. Yogyakarta: PT.Bagus Arafah.Durkheim, Emile. 1990. Pendidikan Moral. (Drs. Lukas Ginting Pentj). Jakarta:
Erlangga.Edizal. 2010. Tutur Kata Manusia Jepang. Padang: Kayupasak.Fukutake, Tadashi. 1997. Nihon Shakai no Koozoo (Anak, Sekolah, Masyarakat).
Tokyo: Tokyo Daigaku Shuppan.Garcia, Hector. 2010. A Geek in Japan Discovering The Land of Manga, Anime,
Zen, and The Tea Ceremony. Singapore: Tuttle Publishing.Ghazali, Adeng Muchtar. 2011. Antropologi Agama. Bandung: Alfabeta.Hidayat, Herman. 2011. Politik Lingkungan. Yayasan Pustaka Obor Indonesia:
Jakarta.Hori, Iku. 2008. Watashitachi wa shizen to kyōsei dekiru no ka? : “Mononoke
hime” no tetsugaku-teki kōsatsu (Apakah mungkin untuk hidup dalamharmoni dengan alam kita? : pertimbangan filosofis dari "Mononoke Hime".http://ci.nii.ac.jp/naid/110007151074 diakses 13 Februari 2014.
Iwamoto, Yoshiteru. 1997. Ie to Kyoudoutai (Ie dan Kerja Sama). Tokyo: HouseiDaigaku Shuppan.
Kano, Seiji. 1997. Mononoke Hime Kisochishiki. http:// www.yk.rim.or.jp. diakses5 Februari 2013.
Kawamoto, Akira. 1973. “Ie” no Kouzou. (Struktur “Ie”). Tokyo: ShakaiShisousha.
Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia PustakaUtama.
Madubrangti, Diah. 2008. Undokai: Ritual Anak Sekolah Jepang dalam KajianKebudayaan. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
McCarthy, Helen. 1999. Hayao Miyazaki: Master of Japanese Animation.Berkeley: Stone Bridge Press.
McDonald, Roslyn. 2004. Studio Ghibli Feature Films and Japanese ArtisticTradition. http://www.nausicaa.net/miyazaki/essay/files/RoslynMcDonald_Ghibli.pdf. diakses 6 Februari 2013
Miyata, Noboru. 1990. Youkai no Minzokugaku; Nihon no Mienai Kuukan.Tokyo: Iwanami Shoten.
Moeliono, Anton. M. et.all. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga.Jakarta: Balai Pustaka.
Napier, Susan. 2001. Anime: From Akira to Princess Mononoke. New York:Palgrave.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.
Polloma, Margaret M. 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada.
Prabowo, Angelia Roberto Masami. 2013. “Analisis Feminisme Radikal dalamFilm Animasi Mononoke Hime”. (Skripsi). Jakarta: Universitas BinaNusantara
Ratna, I Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ross, Floyd Hiat. 1983. Shinto The Way of Japan. Conneticut: GreenwoodPress.
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Faktadan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya.Jakarta: Kencana.
Sonny Keraf, A. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit BukuKompas
Sudjianto dan Ahmad Dahidi. 2007. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang. Jakarta:Kesaint Blanc.
Sukoco, Bendol. Storyboard adalah sketsa gambar yang disusun berurutan sesuaidengan naskah. http://www.academia.edu/5703629/Storyboard_adalah_sketsa_gambar_yang_disusun_berurutan_sesuai_dengan_naskah diakses 26 Juli 2014.
Susan, Novri. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer.Jakarta: Kencana.
Susilo, Rachmad K. Dwi. 2012. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Rajawali Pers.Sutaryono, 2008. Pemberdayaan Setengah Hati: Subordinasi Masyarakat Lokal
dalam Pengelolaan Hutan. Yogyakarta: STPN & Lapera Pustaka Utama.Takashi, Shiraishi. et. all. 2006. Understanding Mononoke Over the Ages. Jurnal
Japan Echo Volume 33 No.5, October 2006 http://www.japanecho.com/sum/2006/330516.html diakses 16 Oktober 2014.
Taniguchi, Goro. 2000. Kamus Standar Bahasa Jepang - Indonesia. Jakarta : DianRakyat.
Yamakawa. 1990. Ryuu Gakusei no Tame no Nihon no Rekishi. Tokyo: TokyoUniversity of Foreign Studies.
Youko, Kawamono. 1996. Japanese History 11 Expert Reflect On The Past.Kodansha : Japan.
Film dan Referensi
Miyazaki, Hayao. 1997. Mononoke Hime. Studio Ghibli. (dalam bentuk DVD)Daimyou. http://id.wikipedia. org/wiki/ Daimyo diakses 6 Juni 2014.Hayao Miyazaki dan Studio Ghibli. http://tipsindonesia.com/hayao-miyazaki-dan-
studio-ghibli/ diakses 20 Juni 2014.Inugami. http://id.wikipedia.org/wiki/Inugami diakses 18 Oktober 2014.Kodama. http://hyakumonogatari.com/2012/08/05/kodama-the-tree-spirit/ diakses
11 Oktober 2014.Mononoke Hime FAQ. http://www.nausicaa.net/miyazaki/mh/faq.html diakses 9
Juli 2014.Pengertian Film Animasi. http://www.referensimakalah.com/2013/01/pengertian-
film-animasi.html diakses 7 Oktober 2014.Princess Mononoke. http://www.nausicaa.net/wiki/Princess_Mononoke diakses
6 Februari 2013.Shimenawa. http://id.wikipedia.org/wiki/Shimenawa diakses 6 Juni 2014.Shogun. http://id.wikipedia.org/wiki/Shogun diakses 12 Agustus 2014.Tatara. https://www.hitachi-metals.co.jp/e/tatara/index.htm. Diakses 9 Juli 2014.Utopia. http://id.wikipedia.org/wiki/Utopia diakses 10 Juli 2014.Waraha. http://id.wikipedia.org/wiki/Waraha diakses 18 Oktober 2014.
LAMPIRAN
BIOGRAFI HAYAO MIYAZAKI
Hayao Miyazaki lahir di Tokyo, Jepang pada 5 Januari 1941. Beliau adalahseorang sutradara film animasi, penulis komik, dan salah seorang pendiri studioanimasi bernama Studio Ghibli. Di antara film-film animasi Miyazaki,film Princess Mononoke dan Spirited Away yang tersukses di Jepang dalam sejarah.Beberapa tokoh yang memiliki pengaruh pada karya Miyazaki adalah Ursula K. LeGuin, Lewis Carroll, Diana Wynne Jones, dan Jean Giraud.
Saat masih kecil, Miyazaki sering menggambar pesawat terbang karenaayahnya merupakan direktur di sebuah perusahaan pembuat pesawat terbang.Ibunya yang gemar membaca dan mempunyai rasa keingintahuan yang besar kelakturut memengaruhi sifat Miyazaki pula. Pada tahun ketiga di sekolah menengah,Miyazaki menonton Hakujaden yang disebut sebagai film animasi layar lebarberwarna pertama Jepang dan mulai tertarik kepada dunia animasi.
Tahun 1963 ia lulus dari Universitas Gakushuin dengan gelar dalambidang ilmu politik dan ekonomi. Pada April 1963 ia menjadi seniman antara(menggambar adegan-adegan antara dua adegan penting atau keyframe) untuk filmanimasi Wanwan Chushingura di Toei. Tahun 1965 ia menikahi Akemi Ota, yangjuga seorang animator dan kelak memeroleh dua anak, Goro (yang kemudianmenjadi animator di Studio Ghibli) dan Keisuke.
Miyazaki diangkat menjadi animator kepala, seniman konsep, dan perancangadegan untuk film Hols: Prince of the Sun (1968) yang juga merupakan salah satukarya penting Isao Takahata. Isao terus menjadi kolaborator Miyazaki sepanjangtiga dekade selanjutnya. Setelah berperan penting dalam beberapa film animasiToei, pada tahun 1971 ia bergabung dengan A Pro, ia menjadi salah seorangsutradara enam episode pertama seri Lupin III bersama dengan Takahata.
Film Miyazaki selanjutnya, yaitu Nausicaä of the Valley of the Wind (Kazeno Tani no Naushika, 1984) merupakan sebuah film petualangan yangmemperkenalkan berbagai tema yang akan hadir kembali pada film-filmnya yangberikutnya: kekhawatiran terhadap ekologi, ketertarikan kepada pesawat terbang,dan penokohan-penokohan yang bermoral ambigu, khususnya di antara tokoh-tokoh musuh. Ini adalah film pertama yang ditulis dan disutradarai Miyazaki, hasiladaptasi dari komik yang dikarangnya juga.
Setelah kesuksesan Nausicaä of the Valley of the Wind, Miyazakimendirikan Studio Ghibli dengan Takahata dan memproduksi hampir seluruhkaryanya setelah itu melalui Studio Ghibli reputasinya terus berkembang seiringdengan film-film barunya, antara lain Laputa: Castle in the Sky (1986), MyNeighbor Totoro (1988), Kiki's Delivery Service (1989), dan Porco Rosso (1992).
Film berikutnya, yaitu Princess Mononoke (Mononoke Hime, 1997) menjadifilm tesukses di Jepang sebelum rekor ini diungguli film Titanic. MononokeHime juga dianugerahi gelar Film Terbaik pada Penghargaan Film Jepang.Miyazaki memutuskan untuk pensiun setelah itu. Namun, kala berlibur ia bertemudengan putri seorang temannya, yang menjadi inspirasi Miyazaki bagi filmanimasi Spirited Away (Sen to Chihiro no Kamikakushi, 2001). Film ini suksesbesar di Jepang dan mendapatkan gelar Film Terbaik di Penghargaan Film Jepang,Penghargaan Beruang Emas di Festival Film Berlin (2002), serta Film AnimasiTerbaik dalam Academy Awards (2002). Miyazaki kembali keluar dari masapensiun pada film Howl's Moving Castle setelah sutradaranya, Mamoru Hosoda,menarik diri dari film tersebut.
Pada tahun 2005 Miyazaki dianguerahi gelar Penghargaan KehormatanSeumur Hidup pada Festival Film Venesia. Film terbarunya, yaitu Ponyo on theCliff by the Sea (Gake no ue no Ponyo) dirilis pada 19 Juli 2008. Berikut ini adalahciri khas film animasi karya Hayao Miyazaki yang menjadi keunggulannya.
1. Tokoh ProtagonisMiyazaki selalu mengangkat sosok gadis kecil dalam film-filmnya. Mereka
tampil dengan karakter yang berani, mandiri, dan aktif. Akan tetapi, Hayao jugamenyertakan bocah laki-laki kecil dalam beberapa animasinya sebagai tokohutamanya. Intinya, anak-anak adalah subjek khas Hayao dalam film-filmnya. Inibisa dilihat dalam film Spirited Away, Ponyo, dan My Neighbour Totoro.
Ciri khas dan keunggulan Hayao, yaitu hadirnya tokoh gadis kecil yangenergik dan mandiri dalam film-filmnya. Ini bisa jadi adalah penyataan Hayaobahwa wanita sebagai kaum yang lemah, tetapi seiring dengan proses dalam filmini, mereka akhirnya memiliki keberanian dan kekuatan sampai berubah menjadisosok yang lebih dewasa. Hal ini tampak jelas dalam film Nausicaa, Spirited Away,My Neighboor Totoro, Kiki’s Delivery Service, Ponyo, Arriety, dan lain-lain.
Sosok gadis kecil ini pun terkadang digambarkan sebagai gadisyang polos atau lucu nan menggemaskan. Hayao memiliki kelebihan dalammenggambar gerak serta keluwesan anak-anak kecil. Karya Hayao dapat dikatakansangat mendukung feminisme karena di sini perempuan diberikan hak untuk dapatbertahan dan membuat perubahan dalam masalah yang dihadapi.
Ini menjadi semacam pernyataan Hayao terhadap kekurangan dalam budayaasia, khususnya Jepang, yaitu budaya patriarki masih mendominasi negara-negaradi Asia. Hayao sendiri pernah hidup pada sebuah zaman ketika Jepang terlibatperang dunia ke-2 dan akhirnya diluluhlantakkan oleh bom atom akibat peperanganyang didominasi oleh kaum laki-laki .
Hayao lahir tahun 1941 dan besar dengan film-film animasi yang berkembangpascapeledakan bom Hiroshima dan Nagasaki. Tema-temanya banyakmenceritakan penderitaan akibat ledakan bom atom tersebut seperti pada film
Grave Of The Fireflies. Dari sinilah, hati kecilnya terpanggil untuk menyuarakanperdamaian melalui filmnya dan Hayao memilih figur gadis kecil sebagai simbolpenggerak perdamaian tersebut. Ia melihat bahwa dominasi orang-orang dewasa,khususnya laki-laki sebagai pihak penguasa dan militer telah menyebabkan perangbesar dan kerugian, baik secara material maupun psikis bagi negaranya. Meskipunseorang pesimistis, Hayao tidak ingin rasa pesimis ini dibagikan kepada anak-anak.Ia merasa anak-anak berhak menciptakan cara pandang mereka sendiri terhadapdunianya.
2. Tokoh AntagonisCiri khas kedua dalam film Hayao adalah kekhasan pada tokoh antagonisnya.
Inilah yang membuat filmnya digemari karena tokoh-tokoh yang seharusnyabersifat jahat, tetapi ternyata memiliki sisi hati yang baik. Misalnya saja dalamSpirited Away, sang nenek penyihir Yubaba meskipun jahat, ternyata sangatpenyayang terhadap bayi kecilnya.
Hayao sangat pandai memainkan hal ini, bahkan terkadang sang tokoh yangantagonis bisa turut memberikan lelucon sehingga menimbulkan rasa simpatik jugaterhadap tokoh tersebut. Misalnya saja dalam film Porco Rosso dan Castle In TheSky. Pendekatan ini nantinya bisa membuat Hayao menyampaikan pesan cinta kasihuniversal, yaitu mencintai orang lain, bahkan musuh-musuh kita sekalipun.Pendekatan ini juga yang membuat kita bisa menerima alur cerita yang seperti ini,yakni tokoh antagonis bisa menjadi tokoh yang dikasihani, bahkan menghibur.
Banyak tokoh antagonis tersebut yang justru bekerja sama dengan tokohprotagonis pada akhir cerita, misalnya tokoh bajak laut udara dalam film Castle InThe Sky dan menyadari kesalahannya setelah melihat pengorbanan sang tokohprotagonis dalam film Nausicaa Valey of The Wind. Hal ini jugalah yangmembedakan karya Hayao dengan film animasi lainnya. Film animasi anak-anakumumnya harus bercerita sangat jelas siapa yang menjadi jagoan dan penjahat.Namun, Hayao mengaburkan hal ini dengan tujuan menciptakan resolusi nonkekerasan. Jadi, dari sini terlihat bahwa karya animasi Hayao bukan sekadar kartununtuk konsumsi anak-anak.
3. Tema-Tema dalam filmTema-tema film Hayao sangat kental dengan suasana penghormatan terhadap
alam dan kearifan lokal (budaya masyarakat sekitarnya dalam menjagakeseimbangan alam). Kedekatannya dengan tema ini tampak dari bagaimana caraia menggambarkan latar film dengan detail alam di mana tokoh berada. Hayaomembuat tampilannya selayaknya sebuah lukisan pemandangan. Bahkan, bentukgambar alam yang ditawarkan memberikan rasa “mistis dan magis” khas ketimuran(kebijakan masyarakat Asia dalam penghormatan terhadap alam dan roh leluhur).
Hayao tidak main-main dengan tema alam ini. Itulah sebabnya film Hayaotidak bisa disamakan dengan kartun yang hanya sekadar konsumsi anak-anak. Meskipun menghibur, tema besar di baliknya sangat mendorong kita untukmelihat alam bukan sebagai objek eksploitasi, melainkan sahabat untuk dijaga,seperti dalam film Princess Mononoke dan My Neighboor Totoro. Misalnya dalamfilm animasi pada masa awal-awal beliau berkarya, Nausicaä of the Valley of theWind ( 1984 ), tampak jelas di sana, Hayao sudah menancapkan pernyataannyabahwa alam bukanlah musuh atau objek eksploitasi, melainkan sahabat sekaliguswarisan pencipta yang patut dihargai.
Selain tema alam, Hayao juga sering menyentuh tema kekeluargaan. Bahkanbeberapa filmnya yang kurang dikenal menggambarkan tema-tema kekeluargaan.Tema berikutnya yang cukup kental adalah terkait dengan petualangan di udara. Initerkait dengan masa kecil dan hobi Hayao yang sering membantu ayahnyamenggambar bentuk-bentuk rancangan pesawat, seperti dalam film Laputa : CastleIn The Sky, Porco Rsso, dan Kiki’s Delivery Service.
4. Musik dan EfekBekerja bersama pembuat musik andalannya, Joe Hisaishi, Hayao
mengeksplorasi berbagai bunyi alam dan musik-musik lokal Asia seperti dalamsalah satu adegan pengejaran di film Spirited Away, yaitu tokoh utama Chihirodikejar Roh Tanpa Wajah, terdengar bunyi alunan khas musik Bali.
Musik yang ditawarkan Hayao terkadang bersifat magis dan mistis sesuaidengan gambaran cerita dan latar alamnya, suara vokalnya pun cenderung khusyukdan syahdu untuk didengar. Bahkan, untuk setiap karakter makhluk mistisnya,misalnya para roh alam atau dewa alam, ia menghadirkan mereka dengan bunyiefek yang khas. Seolah memberikan pernyataan bahwasanya mereka ada atau hadirdi dunia kita meskipun tidak terlihat secara mata, dapat didengar suaranya dalambatin kita yang selaras dengan alam. Suatu pernyataan yang sangat kental denganbudaya leluhur Asia, yaitu menghargai dan berkomunikasi dengan alam.
5. Karakter LucuBanyak karakter binatang dan monster rekaan Hayao yang tampil dengan
lucu, bahkan memiliki karakter yang unik. Misalnya saja dalam film My NeighboorTotoro ada dua binatang kecil dan satu Totoro yang besar tampak menggemaskan.Selain itu, dalam film Ponyo ada ikan-ikan kecil berwajah manusia yang lucu.
Ini menjadi daya jual sendiri bagi animasi-animasi garapan Hayao. Mungkinini juga yang membuat animasi Hayao mendapat tempat di hati anak-anakmeskipun tema yang disodorkan sebenarnya sangatlah serius. Film-filmnya jugakaya akan warna, khususnya warna keindahan dan keragaman alam.
6. PercintaanMeskipun tokoh-tokoh utama dalam film Hayao kebanyakan muncul dengan
pasangannya, misalnya gadis kecil dengan bocah pria seusianya dan lain-lain.Namun, sama seperti kehadiran tokoh antagonis yang seolah jahat, tetapi baik juga(ambigu), di sini Hayao juga membuat kedua tokoh atau pasangan tersebut seolahsaling mencintai, tetapi seolah juga tidak hanya bersahabat. Seiring dengan prosesfilm berjalan, chemistry antara kedua tokoh ini justru memperteguh emosipersahabatan dibandingkan dengan kisah percintaan mereka sehingga banyakfilmnya yang menjadi layak untuk dikonsumsi oleh anak-anak yang masih kecilsekalipun.
Awalnya penonton seolah dibawa kepada romantika kedua tokoh. Perlahanmereka menemukan bahwa yang mengikat kedua tokoh bukanlah romantika,melainkan unsur persahabatan, ketulusan, dan kepolosan sebagai bagian dalamdunia anak-anak.
7. Tokoh-Tokoh yang Sering MunculBeberapa tokoh yang menjadi ciri khas dan selalu muncul dalam film Hayao
Miyazaki adalah, sebagai berikut.a. Kucing dan babi
Khususnya kucing, hewan ini paling sering muncul dalam film-film Hayao,sebagai tokoh dengan kekuatan mistis. Sebaliknya, hewan babi muncul sebagaibentuk hukuman terhadap karakter buruk seorang tokoh atau kutukan alam.b. Nenek
Ada figur nenek yang tampak lembut dan ada juga yang tampak sebagainenek lincah dan antagonis. Jadi, mereka hadir sebagai sosok keibuan dan penuhkasih sayang kepada tokoh utama. Namun, di satu sisi lain mereka juga hadirsebagai tokoh wanita yang kuat, bahkan mengambil alih pimpinan dalam sebuahusaha atau kelompok kejahatan, seperti dalam film Spirited Away dan Castle In TheSky.c. Kaki tangan tokoh antagonis yang konyol
Mereka acap kali menjadi penghibur kita, lelaki bertubuh bongsor dan kadangbrewokan, tetapi sangat konyol dan lucu. Ini menjadikan kita melihat sosok tokohantagonis sebagai orang yang ternyata lemah, konyol, dan bisa memberikan rasasimpatik juga seperti tokoh anak-anak sang Bajak Laut Udara dalam film Castle InThe Sky dan Hantu Tanpa Wajah dalam Spirited Away.d. Dewa dan dewi alam
Meskipun sosok dewa dan dewi alam digambarkan besar dan menyeramkanada kesan anggun, bahkan indah. Akan tetapi, tetap saja kekuatan dewa-dewi danroh penjaga alam ini bisa terancam oleh keserakahan manusia. Suatu simbolis yangmenggambarkan bahwa keserakahan manusia bisa menghancurkan apa sajatermasuk keindahan dan keharmonisan yang sudah dijaga oleh sang Pencipta.
e. Kakek-kakek tua yang acap kali menjadi penolong tokoh protagonisSebagaimana peran para lansia di negara-negara Asia yang memberikan
pencerahan atau petuah atau petunjuk, kepada yang lebih muda, dalam film-filmHayao keberadaan tokoh kakek-kakek ini juga muncul sebagai orang yangmemberikan petunjuk, seperti tokoh kakek bertangan banyak dalam film SpiritedAway dan kakek penjelajah gua dalam Castle In The Sky.
Film animasi Hayao bukanlah sekadar film anak-anak. Karya-karyanya jugamemiliki konten dan pesan yang jauh lebih mendalam. Dalam gambar bergeraknya,ia memberikan pesan kepada dunia untuk menjaga kearifan lokal dan keindahanalam di sekitar kita. Jarang sekali seorang sutradara bisa menyampaikan pesan yangberat (pelestarian alam), tetapi dibalut dengan cerita yang cukup menyentak dansekaligus menghibur.
FilmografiSutradara, skenario, dan storyboard
Future Boy Conan, 1978 The Castle of Cagliostro (Lupin III), 1979 Sherlock Hound, 1982 Nausicaä of the Valley of the Wind, 1984 Laputa: Castle in the Sky, 1986 My Neighbor Totoro, 1988 Kiki's Delivery Service, 1989 Porco Rosso, 1992 On Your Mark, video klip pendek Princess Mononoke, 1997 Spirited Away, 2001 Howl's Moving Castle, 2004 Ponyo on the Cliff by the Sea, 2008