wahyu
TRANSCRIPT
Seekor ular berbahaya daerah pertanian dan hutan, spesies ini memangsa tikus, katak dan vertebrata
kecil lainnya. Ini adalah diurnal, dan terutama tanah-penghuni. Sebagian besar pertemuan dengan Rat
Snake Indocina terjadi sebagai ular mencoba untuk menyeberang jalan pedesaan.
Hal ini dapat diidentifikasi dengan ekor berwarna zaitun gelap dengan sisik bermata, dan cokelat pucat
samar banding yang terjadi pada bagian paling tebal dari tubuh (meskipun fitur ini tidak terjadi pada
orang dewasa yang matang). Matanya relatif besar.
Berkisar spesies dari India, melalui Burma, Thailand dan Indochina, sampai ke Semenanjung Malaysia,
Singapura dan pulau-pulau Sunda dari Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali.
Figs 1 dan 2: pasangan kawin dari Bandung, Jawa, Indonesia. Foto terima kasih kepada Dave Welch.
Gambar 3: Spesimen dari Johor, Semenanjung Malaysia.
Keluarga: Colubridae
Spesies: Ptyas korros
Maksimum Ukuran: 2,6 mete
Indonesia sebagai daerah tropis merupakan surga bagi kebanyakan hewan melata
terutama ular (ophidia). Indonesia terletak di di 6⁰ Lintang Utara (LU) dan 11⁰ Lintang
Selatan (LS) serta di 141⁰ Bujur Barat (BB) dan 95⁰ bujur timur (BT). Di Indonesia terdapat
sekitar 17.504 pulau. Kepulauan ini benar-benar merupakan habitat yang sangat cocok
bagi kebanyakan reptil. Letak geografis Indonesia merupakan tempat atau habitat di bumi
ini di mana hewan berdarah dingin khususnya reptil betah tinggal untuk hidup dan
berkembang biak. Ditambah lagi, di Indonesia hanya terdapat 2 musim saja, yaitu musim
hujan (September—Februari) dan musim panas (Maret—Agustus). Di Indonesia terdapat
ular terkecil di dunia (Ramphotyphlops braminus) dan ular terpanjang di dunia
(Broghammerus reticulatus), serta ular berbisa terbesar dan terpanjang di dunia
(Ophiophagus hannah).
Ular buta brahmini (Ramphotyphlops braminus), merupakan ular terkecil di dunia.
Ular sanca kembang (Broghammerus reticulatus), merupakan ular terbesar dan terpanjang
di dunia
Ular anang atau king kobra (Ophiophagus hannah), merupakan ular berbisa terbesar dan
terpanjang di dunia
Indonesia merupakan habitat yang sangat cocok bagi berjenis-jenis reptil khususnya ular
(Ophidia), berdasarkan buku Ophidia van Java tulisan Van Hoesel tahun 1959, di
Indonesia terdapat 400 jenis ular (termasuk juga anak jenisnya). Sudah tentu data ini agak
ketinggalan tetapi masih cukup memadai digunakan karena sampai sekarang penelitian
yang akurat danacceptable masih belum memuaskan. Data-data dalam buku itu yang agak
ketinggalan adalah tentang penetapan nama ilmiah yang valid atau sah. Karena penetapan
ini dibuat berdasarkan konsensus bersama ahli-ahli biologi sedunia berdasarkan data-data
baru yang dapat diterima dan ditetapkanlah nama-nama baru untuk berjenis-jenis ular dan
anak jenisnya menjadi nama baru atau dipindahkan ke dalam marga atau suku baru. Dasar
dari semua itu adalah data penelitian yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan.
Akibatnya bila dilihat kembali, maka jenis-jenis ular atau nama-nama ilmiahnya serta marga
kemungkinan sudah banyak yang berubah. Perubahan ini sangatlah wajar karena
perkembangan dalam dunia ilmiah yang terus berjalan. Penelitian yang mendalam oleh
herpetologist atau oleh naturalist atau oleh ahli-ahli yang tertarik pada bidang ini sangatlah
perlu agar data baru yang lebih akurat dan acceptable didapatkan.
Habitat. Secara global ular di Indonesia memiliki habitat (1) di darat (terrestrial), (2) di
pepohonan (arboreal), (3) di air (aquatic), walaupun secara kenyataannya ketika habitat ini
tidak secara absolut ditinggali. Di alam sebenarnya ular laut itu juga naik ke daratan atau
pergi di daerah karang yang agak kering untuk beranak atau beristirahat dan tidak
selamanya tinggal di dalam air di laut. Batasan lain dapat juga dapat dikatakan
(4) terrestrial aquatic (di tanah dan juga di air) dan (5) terrestrial nonaquatic (di tanah
dan jarang masuk ke air). (6) terrestrial arborial, hidup di darat dan terkadang-kadang
tinggal pula di atas pepohonan.
1. Jenis-jenis ular yang memiliki habitat di darat (terrestrial), umpamanya: ular sendok
(Najasputatrix), ular sapi (Coelognathus radiatus), ular pelangi (Xenopeltis
unicolor), ular bandontan puspa (Daboia russellii) dan lain-lain. Jenis ini umumnya
tinggal di darat.
Ular sapi (Coelognathus radiatus) tinggal di darat
2) Jenis-jenis ular yang memiliki habitat di pepohonan (arboreal), umpamanya: ular pucuk
(Ahaetulla prasina), ular telampar angin (Dendrelaphis pictus), ular cincin mas (Boiga
dendrophila) dan ular hijau bakau (Gonyosoma oxycephala). Jenis-jenis ini umumnya
tinggal di atas dahan pepohonan.
Ular telampar angin (Dendrelaphis pictus), tinggal di pepohonan
Ular hijau bakau (Gonyosoma oxycephala), umumnya tinggal di pepohonan
3) Jenis-jenis ular yang memiliki habitat di air (aquatic), umpamanya: ular karung
(Acrochordus javanicus), ular lempe (Laticauda colubrina), ular kadut belang (Homalopsis
buccata), ular kadut pelangi (Enhydris enhydris). Jenis-jenis ini umumnya ditemukan di air
tetapi tidak selamanya berdiam di air.
Ular kadut pelangi (Enhydris enhydris), hidup di air
4) Jenis-jenis ular yang memiliki habitat terrestrial aquatic, umpamanya: ular macan
(Xenochropis piscator), ular air segitiga merah (Xenochrophis trianguligerus), ular kadut
tembaga (Enhydris plumbea). Jenis-jenis ini tinggal di atas tanah tetapi senang atau
mencari makan di air dengan mencari ikan.
Ular kadut tembaga (Enhydris plumbea), hidup di darat dan turun ke air mencari ikan
5) Jenis-jenis ular yang memiliki habitat terrestrial nonaquatic, umpamanya: ular bandotan
puspa (Daboia russellii), ular buta bramini (Ramphotyphlops braminus), ular picung
(Rhapdophis subminiatus). Jenis-jenis ini umumnya ditemukan di darat dan jarang
ditemukan berada di air.
Ular picung (Rhapdophis subminiatus), tinggal di darat dan jarang turun ke air, ular ini
memburu katak di darat
6) Jenis-jenis ular yang memiliki habitat terrestrial arboreal, umpamanya: ular sanca
(Broghammerus reticulatus), ular ular sanca batu atau ular sanca manuk (Python molurus),
ular koros (Ptyas korros). Jenis-jenis ini tinggal di tanah tetapi sering pula ditemukan di atas
pepohonan.
Ular koros (Ptyas korros), mencari makan di tanah dan bertelur di lubang tanah serta
bermalam di atas pepohonan
Pengetahuan tentang habitat ular di Indonesia, sangat berguna untuk mencari dan
menemukan jenis-jenis ular yang akan dipelajari dan diteliti. Habitat merupakan salah satu
kompas untuk menemukan jenis-jenis ular di alam yang terkadang sangat sulit dan berat
bagi kebanyakan orang awam.
Mempelajari ular. Ular merupakan reptil yang sangat penting fungsinya dalam ekologi
persawahan dan hutan. Dalam ekologi persawahan, ular-ular pemangsa tikus (Ptyas
spp,; Coelognathus sp,; Gonyosoma sp.; Broghammerus sp.; Python spp.) sangat penting.
Hasil persawahan yang susah payah diusahakan oleh petani dengan biaya yang cukup
tinggi akan mengecewakan hasilnya kalau ternyata penen padinya hanya sedikit bahkan
mungkin menjadi puso karena terserang hama tikus. Tikus sawah (Rattus diardi, Rattus
argentiventer dan Rattusspp., dan lainnya) sudah menyerang tanaman padi sejak baru
ditaman yang masih berumur 1 bulan. Bila, bulir-bulir padi mulai mengisi dan menguning
pun tidak luput dari serangan kawanan tikus-tikus di sawah.
Panen padi rendah. Tikus dapat menjadi populasi yang sangat besar dan berbahaya bila
tidak dikendalikan pertumbuhan populasinya. Dalam satu bulan seekor tikus betina dapat
melahirkan 6—12 anak tikus baru yang dalam 2—3 bulan kemudian tikus-tikus muda ini
sudah menjadi tikus dewasa yang siap melahirlan lagi. Sedangkan tikus betina setelah
berumur 2 bulan sudah siap melahirkan lagi. Dan, musim dari tikus sawah yang paling
efektif adalah ular-ular pemakan tikus. Oleh karena itu, jangan membunuhi ular-ular
pemakan tikus di sawah, kalau perlu dijaga jumlahnya agar memadai untuk menekan
populasi tikus sawah.
Produksi padi yang rendah, satu hektar sawah hanya menghasilkan 4—5 ton padi
merupakan faktor yang membuat petani padi menjadi miskin dan susah. Dan salah satu
faktor yang penyebabkannya adalah rusaknya ekologi persawahan yang disebabkan tidak
ada atau berkurangnya jumlah musuh alami tikus di persawahan, yaitu ular.
Pengobatan modern. Saat ini banyak penelitian yang meneliti obat-obat baru yang didapat
dari bisa ular. Bisa ular berisi banyak senyawa-senyawa organik yang dapat dipisahkan dan
dimanfaatkan sebagai obat. Bisa selain dimanfaatkan sebagai bahan penghasil serum
antibisa ular, juga merupakan bahan dasar dari obat-obatan di masa depan. Penelitian
mendalam tentang senyawa-senyawa organik dan asam-asam amino serta enzim-enzim di
dalam bisa ular amat menjanjikan bagi pengobatan di masa depan.
Biologi ular. Sebagai hewan berdarah dingin, ular memiliki suhu tubuh yang sama
dengan suku lingkungannya. Oleh karena itu, ular membutuhkan tempat yang hangat untuk
menjaga agar metabolisme tubuhnya berjalan dengan baik. Ular berdarah dingin karena
darah bersih dan darah kotor masih bercampur dan percampuran ini menyebabkan suhu
tidak dapat dipertahankan stabil. Akibatnya pula, ular membutuhkan zat-zat pembantu
pencernaan makanannya agak lebih cepat hancur. Selain asam lambung yang kuat (HCL)
ular juga memiliki bisa.
Aktifitas ular ada yang keluar mencari makan pada malam hari (nocturnal) dan ada pula
yang keluar siang hari (diurnal) untuk mencari makanannya. Tidak seperti hewan lain, ular
setelah mendapatkan mangsa yang cukup, ular akan bersembunyi untuk beberapa lama
agar semua mangsanya tercerna dengan sempurna di dalam perutnya.
Bisa. bagi ular, bisa tidak lain hanyalah zat pembantu pencernaan bagi ular. Bisa
membunuh dan menguraikan jaringan-jaringan tubuh mangsanya dan pada akhirnya
memudahkan ular untuk mencernakan mangsanya itu. Bisa diproduksi oleh kelenjar bisa
yang merupakan perkembangan dari kelenjar ludah yang sudah berubah fungsi dan
sekresinya. Secara sederhana, bisa adalah ludah ular yang telah berubah fungsi; tidak
hanya sebagai cairan pembantu pencernaan tetapi juga untuk membela diri. Secara umum
bisa digolongkan neurotoksin/nerotoksin (?) (perusak jaringan syaraf mangsanya) dan
haemotoksin/ hemotioksin (?) (perusak jaringan darah mangsanya). Walaupun detailnya di
dalam bisa itu terdapat juga kadiotoksin, renaltoksin, pulmotoksin dan toksin-toksin lainnya
yang semuanya berfungsi untuk mencairkan jaringan darah atau jaringan saraf mangsanya.
Karena bisa adalah alat bantu bagi ular untuk memudahkan menangkap dan mencerna
mangsanya. Bisa disuntikkan dengan bantuan taring bisa (glypha). Bagi ular tidak berbisa
(aglypha), cairan yang kuat dalam lambungnya (asam lambung, HCL) membantu
menghancurkan jaringan-jaringan tubuh mangsanya agar mudah diserap oleh usus ular.
Makan bagi ular adalah memperoleh unsur-unsur hara bagi tubuhnya yang berasal dari
mangsanya.
Virulensi bisa. Kekuatan bisa setiap ular berbeda-besa berdasarkan jenisnya, ukurannya
dan waktu bisa itu dikeluarkan. Jenis-jenis ular dari suku Elapidae umumnya memiliki
virulensi bisa yang tinggi 10–50 mg sudah dapat membunuh manusia sedangkan virulensi
bisa dari ular-ular dari suku Viperidae 40–100 mg. Ukuran ular juga amat penting diketahui,
ular berukuran besar pasti memiliki kelenjar bisa (glandula venomous) yang besar dan
banyak isinya. Waktu, sewaktu ular sehabis ular berganti kulit, umumnya memiliki
kandungan bisa yang tinggi virulensinya. Begitu pula ular yang terlah terprovokasi akan
menyiapkan untuk mematuk dengan jumlah bisa yang banyak dibanding dengan ular
yang mematuk cuma karena tidak sengaja atau kaget. Di alam ular bisa mematuk dengan
dosis bisa yang tidak terlalu besar sehingga korban seperti ini tidak mati, hanya mengalami
pembengkakan dan nekrosis setempat.
Unsur-unsur senyawa organik (enzim) yang terdapat dalam bisa ular adalah: proteinase,
L-asam amino oksidase, hialuronidase, kolinesterse, ribonuklease, fosfolipse A,
fosfomonesterase, dan lain-lain. Enzim-enzim ini membantu menguraikan jaringan
mangsanya agar mudah dicerna.
Kriteria ular berbisa. Ular berbisa harus memiliki kelenjar bisa dan gigi bisa serta bisanya
bervirulensi tinggi; bisa dapat mematikan mangsanya atau hewan lain yang terkena bisa
bila terpatuk. Sebab ada juga ular yang memiliki kelenjar bisa dan taring bisa tetapi bisanya
tidak cukup kuat untuk membunuh hewan lain atau manusia selain hanya untuk mangsanya
saja. Gigi bisa (glypha), berdasarkan letaknya ada yang di rahang bagian
depan proteroglypha dan ada pula yang letaknya di rahang bagian belakang opisthoglypha.
Tipe gigi berdasarkan saluran keluarnya bisa ada yang bercelah (sutura) dan ada pula yang
berliang (solenos). Ular-ular dari suku Viperidae umumnya memiliki gigi bisa tipe berliang
(soleno glypha) dan ular-ular dari suku Elapidae umumnya memiliki tipe gigi bisa (sutura
glypha). Penting diketahui, bahwa ular berbisa tidak bisa dicirikan dengan hanya melihat
bentuk kepala yang segi tiga, kulit yang mengkilat, gerakannya yang lambat. Semua itu
tidak benar dan sangat menyesatkan.
Kulit ular. merupakan pembungkus tubuh yang memiliki lapisan tanduk yang sewaktu-
waktu dapat mengelupas atau molting untuk memperbaiki kerusakan yang ada atau untuk
bertambah besar atau untuk mempercantik dirinya untuk menarik pasangannya. Pada
beberapa jenis ular, corak kulitnya amat indah dan terkadang kulit ini cukup tebal. Dan bagi
sebagaian yang lain amat tipis. Kulit ular, berguna untuk melindungi tubuhnya dari
sengatan matahari, duri, dan dari penyakit yang menular dan dari suhu yang terlalu dingin.
Pada beberapa jenis ular, corak dan warna kulit berbeda bagi individu jantan dan individu
betina. Di alam bahkan terdapat ular yang mengalami kelainan pigmentasi kulit sehingga
menjadi kaliko, leusistik dan albino.
Pengindraan. Ular mengindra mangsa atau lingkungannya dengan bantuan ujung
lidahnya yang bercabang. Semua ular memiliki ujung lidah yang bercabang yang
membantunya memperluar areal pengindraan. Udara atau aroma lingkungan ditangkap
oleh ujung-ujung lidahnya kemudian disentuhkan ke organ Jacobson yang terdapat pada
langit-langit di dalam mulut ular. Setelah di olah oleh otak ular, maka disadarilah tentang
objek yang ada di sekililingnya.
Perkembang-biakan. Ular berkembang biak dengan bertelur beranak (ovovivipar) dan
bertelur (ovipar). Setelah 60—80 hari telur-telur ular menetas. Terdapat jenis-jenis ular
yang membuat sarang dan menjaga telur-telurnya dan ada pula yang mengerami telur-
telurnya. Untuk ular yang bertelur beranak induknya menjaga hanya untuk beberapa saat
anak-anaknya kemudian pergi meninggalkannya. Telur dikeluarkan 6—100. Untuk ular-ular
kecil seperti ular buta telurnya hanya sedikit dan untuk ular-ular berukuran besar seperti
sanca, telur dapat dikelurkan sampai 100 butir. Suhu yang dibutuhkan telur-telur untuk
menetas sekitar 35—37 derajat Celsius. Sebelum bertelur ular betina akan mengadakan
kopulasi dengan ular jantan. Ular merupakan hewan yang membutuhkan waktu cukup
lama dalam melakukan penetrasi hemipenis ke tubuh betinanya. Secara garis besar ada
ular uang bertelur (oviparous) dan ada pula jenis-jenis ular yang bertelur beranak
(Ovoviviparous). Umumnya jenis-jenis ular laut bertelur beranak.
Penyakit. Ular kerap kali juga terserang penyakit seperti terinfeksi cacing, infeksi jamur
dimulut atau terinfeksi caplak di kulitnya. Infeksi pada mulut ular menyebabkan ular enggan
makan dan setelah beberapa lama akan mati. Obat-obatan antiinfeksi dapat mengobati
penyakit-penyakit ular. Caplak juga dapat menyebabkan ular gelisah dan menjadi kurus.
Penamaan ilmiah. Semua penamaan ilmiah ular memiliki arti mulai dari nama suku,
marga, jenis dan epitetnya. Kaidah bahasa Latin tetap dipakai dalam penamaan jenis-jenis
ular di seluruh dunia. Author nama ilmiahnya memberikan nama jenis dengan arti dan
maksud tertentu. Epitet diambil dari bahasa Latin atau dari bahasa Yunani atau dari bahasa
daerah lain yang telahdilatinkan.
Klasifikasi pemanaan jenis yang umum digunakan adalah
Kerajaan Animalia (kerajaan hewan)
Filum Chordata (memiliki tulang belakang)
Filum Chordata (memiliki tulang belakang)
Subfilum Vertebrata (bertulang belakang)
Kelas Retilia (hewan merayap)
Bangsa Squamata (bersisik)
Anak bangsaSerpentes (Ophidia) = (ular)
Suku Elapidae (ular elapid)
Marga Naja (ular sendok)
Jenis ular sendok (Naja sputatrix BOIE, 1827)
Ular sendok peludah, dari epitet Latin: sputare artinya peludah, penyembur.
Penulisan nama ilmiah lengkap dari ular sendok (Naja sputatrix BOIE, 1827). F. BOIE
adalahauthor (Inggris: author species) jenis yang pertama kali memaparkan atau
mempertelakan jenis ular ini kepada dunia lewat bulletin ilmiah atau majalah ilmiah (seperti
Treubia dll.) atau orang yang paling tepat memberikan laporan ilmiah tentang ular ini. Dan
melalui, konsensus ahli-ahli biologi sedunia (dalam symposium atau rapat ilmiah tingkat
dunia lainnya), berdasarkan rincian laporan ilmiahnya itu, maka F. BOIE ditetapkan sebagai
author nama jenis untuk ular ini.
Ular sendok (Naja sputatrix BOIE, 1827)
Suku-suku ular dengan jenis-jenisnya.
Di Indonesia terdapat 10 suku ular yang meliputi seluruh jenis ular (400 jenis dan anak
jenisnya) yang terdapat di Indonesia. Suku-suku ular di Indonesia adalah:
1) Suku Cylindrophiidae (suku ular pipa, pipe snakes family);
2) Suku Anomochilidae (suku ular pipa cebol, dwarf pipe snakes family);
3) Suku Xenopeltidae (suku ular pelangi, earth snakes family);
4) Suku Typhlophidae (suku ular buta, blind snakes family);
5) Suku Boidae (suku ular sanca, python and boas family);
6) Suku Colubridae (suku ular sapi, colubrid snakes family);
7) Suku Acrochordidae (suku ular karung, wart snakes family);
8) Suku Elapidae (suku ular sendok, elapid snakes family);
9) Suku Viperidae (suku ular bandotan puspa, viper snakes family);
10) Suku Hydrophiidae (suku ular lempe, sea snakes family).
Detail rincian suku-suku ular di Indonesia adalah sebagai berikut:
1) Suku Cylindrophiidae (suku ular pipa, pipe snakes family). Suku ular ini terdiri atas
2 marga, yaitu: a) Cylindrophis dan b) Anomochilus. Suku ular pipa ini memiliki 10 jenis
ular. Disebut ular pipa karena tubuhnya berbentuk membulat mirip pipa dan berkembang
biak dengan bertelur beranak (ovoviviparous). Jenis ular dari suku ini yang paling terkenal
adalah ular kepala dua (Cylindrophis rufus).
Ular kepala dua (Cylindrophis rufus). Jenis ini berukuran hanya sekitar 50—70cm.
Habitatnya di rawa, kolam, sungai dan danau. Ular ini tubuhnya berwarna hitam-keunguan
atau kehitaman dengan coreng-coreng merah. Bagian perut berwarna putih dan hitam
berselingan. Pada kepala dan ekor terdapat warna merah. Bila ular ini berjalan, ekornya
mengungkit ke atas seolah-olah kepada. Orang awam menamakannya ular kepada dua
karena tingkah lakunya itu. Ular ini makan lindung dan ikan kecil. Ular ini tidak berbisa.
Ular kepala dua (Cylindrophis rufus), jika diganggu, ekornya diangkat seolah-olah kepala
2) Suku Anomochilidae (suku ular pipa cebol, dwarf pipe snakes family). Suku ini hanya
memiliki 3 jenis ular yang terdapat di Sumatra, Kalimantan dan Malaysia. Ketiga jenisnya ini
adalah: a)Anomochilus leonardi, b) Anomochilus weberi, c) Anomochilus monticola. Jenis-
jenisnya tinggal di lubang-lubang tanah atau di celah-celah bebatuan atau selasah
tumbuhan yang tebal di daerah yang dekat dengan perairan.
3) Suku Xenopeltidae (suku ular pelangi, earth snakes family). Suku ular ini di
Indonesia hanya diwakili oleh satu jenis ular, yaitu ular pelangi (Xenopeltis unicolor). Tubuh
ular ini berwarna kehitaman dan bersinar atau mengeluarkan warna mengkilat mirip
pelangi. Ukuran tubuhnya hanya sekitar 70—100 cm. Jenis ini makan katak, kadal, tikus,
dan ular-ular kecil jenis lainnya. Ular pelangi tidak berbisa.
Ular pelangi (Xenopeltis unicolor), memiliki sisik yang mengeluarkan kilau seperti warna
pelangi
Ular pelangi (Xenopeltis unicolor), ular tidak berbisa yang jarang menggigit
4) Suku Typhlophidae (suku ular buta, blind snakes family). Suku ular ini terdiri atas 3
marga yang meliputi 166 jenis ular. Di Indonesia hanya terdapat dua marga saja, yaitu:
a) Typhlops dan b) Ramphotyphlops. Dari kedua marga ini hanya terdapat sekitar 34 jenis.
Jenis ular dari suku ini yang sering ditemukan adalah ular buta brahmini (Ramphotyphlops
braminus). Ular-ular kecil ini berkembang-biak dengan bertelur dan hidup dari makan telur
dan larva semut dan rayap.
Ular buta brahmini berukuran pendek dan kecil, panjang sekitar 8—15 cm dengan diameter
tubuh hanya sekitar 0,3—0,5 cm. Warna tubuhnya hitam, hitam agak cokelat atau keabu-
abuan. Kepala dan ekor hampir mirip. Bagian ekor berbeda dengan bentuk agak lancip.
Jenis ini makan telur semut atau telur rayap. Ular terkecil di dunia ini berkembang biak
dengan bertelur.
Ular buta brahmini (Ramphotyphlops braminus), merupakan ular terkecil di dunia
5) Suku Boidae (suku ular sanca, python and boas family). Suku ular ini terdiri atas 20
marga sedangkan di Indonesia hanya terdapat 7 marga saja. Marga-marga yang terdapat di
Indonesia adalah: a) Broghammerus, b) Python, c) Bothrochilus, d) Morelia, e) Candoia =
Enygrus, f)Chondropython, g) Liasis. Dari keenam marga ini terdapat sekitar 20 jenis ular
dari suku ini. Suku ini juga merupakan suku yang memiliki banyak jenis-jenis ular yang
dimanfaatkan sebagai hewan timangan (pet).
Suku ini memiliki jenis ular yang merupakan ular terpanjang dan terbesar di dunia, yaitu
jenis ular sanca kembang (Broghammerus reticulatus). Jenis ular sanca kembang dapat
mencapai panjang 11 meter (catatan ilmiah) dengan berar mencapai 100 kg lebih. Ular ini
makan tikus, katak, kadal, burung dan mamalia kecil lainnya. Jenis yang telah besar dapat
memangsa anak kijang, anak babi, anjing serta hewan mamalia lainnya di hutan-hutan.
Ular sanca kembang membunuh mangsanya dengan membelit. Mangsanya mati tercekik
karena tidak dapat bernapas. Ular sanca tinggal di lubang-lubang tanah di tepian kali, di
gua, dan di pepohonan atau di lubang dalam gorong-gorong kalau di daerah perkotaan.
Ular ini juga pandai berenang dan menyelam dalam air. Jenis ular ini berkembang biak
dengan bertelur. Selain ular sanca kembang, terdapat juga jenis ular sanca pohon yang
amat cantik dan indah, yaitu ular sanca hijau (Morelia viridis).
Ular sanca kembang (Broghammerus reticulatus), membunuh mangsanya dengan
membelit
Ular sanca hijau (Morelia viridis), memiliki warna kulit yang cantik dan umum diperlihara
sebagai hewan timangan (pet)
6) Suku Colubridae (suku ular sapi, colubrid snakes family). Suku ular tikus, suku ini
memiliki marga dan jenis paling banyak di dunia. Di dunia terdapat 1500 jenis ular yang
termasuk dalam suku ini yang terkelompok dalam 100 marga. Sedangkan di Indonesia
terdapat 240 jenis ular dari suku ini yang termasuk dalam 41 marga. Jenis ular dari suku ini
yang amat terkenal adalah ular sapi (Coelognathus radiatus). Disebut ular sapi
kemungkinan warna tubuhnya cokelat mirip warna sapi. Jenis ular ini merupakan pemangsa
tikus yang paling hebat. Tikus diburu ke sarangnya dan seluruh tikus yang berada di
dalam sarang ditelannya. Ular sapi berukuran sampai 2 meter. Bila ular ini marah, maka
akan melengkungkan bagian lehernya berbentuk huruf S dan membuka mulutnya. Warna
hitam dan putih bercorak kuning terlihat jelas, apabila ular ini marah. Ular sapi makan tikus,
katak, kadal dan mencit, dan burung serta berkembang biak dengan bertelur. Ular-ular dari
suku ini umumnya tidak berbisa, sebagian hanya berbisa lemah dan hanya terdapat satu
ekor yang berbahaya bagi orang yang bergolongan darah O, yaitu ular picung (Rhabdophis
subminiatus).
Ular sapi (Coelognathus radiatus), merupakan ular pemangsa tikus yang sangat baik
Ular picung (Rhabdophis subminiatus), bisanya berbahaya bagi orang yang bergolongan
darah O
7) Suku Acrochordidae (suku ular karung, wart snakes family). Suku ini hanya memiliki
2 marga, yaitu: a) Acrochordus dan b) Chersydrus yang meliputi 3 jenis ular saja. Kedua
marga ini terdapat di Indonesia. Ular dari suku ini merupakan ular yang umumnya
ditemukan di air atau di sekitar tambak-tambak ikan dan di daerah hutan-hutan bakau.
Jenis yang umum ditemui adalah ular karung (Acrochordus javanicus). Ular karung memiliki
kulit yang kasar karena memiliki bintil-bintil pada permukaan kulitnya. Ukuran ular yang
besar dapat mencapai 2 meter. Jenis ini makan ikan dan katak. Bagi petambak ikan, ular
karung merupakan ham perikanan. Jenis-jenis ular dari suku ini bertelur beranak
(ovovivipar). Jenis ular dari suku ini tidak berbisa.
Ular karung (Acrochordus javanicus), hidup di daerah pesisir dan daerah bakau
8) Suku Elapidae (suku ular sendok, elapid snakes family). Suku ini merupakan suku
ular berbisa. Semua anggota jenisnya memiliki bisa yang berbahaya bagi manusia.
Bisanya tergolong racun syaraf (neurotoksin). Di dunia terdapat 200 jenis ular yang
termasuk dalam suku dan tergolong dalam 38 marga. Di Indonesia terdapat 50 jenis ular
dari suku ini yang termasuk dalam 15 marga. Jenis ular yang paling terkenal dari suku ini
adalah ular anang atau ular lanang (Ophiophagus hannah) dan ada pula yang
menyebutnya king kobra. Ular anang merupakan ular terbesar dan terpanjang dari
kelompok ular berbisa. Bisanya berwarna kuning dan berbahaya untuk manusia dan
hewan. Ular anang dapat mencapai ukuran panjang sampai 6 meter dengan berat
mencapai 10 kg. Jenis ini bentuknya mirip dengan ular sendok tetapi berukuran lebih besar.
Ular anang bila marah kerapkali membuka mulutnya. Ular ini memangsa ular-ular jenis lain
dan berkembang biak dengan bertelur.
Ular anang atau king kobra (Ophiophagus hannah), ular berbisa terbesar dan terpanjang di
dunia
9) Suku Viperidae (suku ular bandotan puspa, viper snakes family). Di dunia terdapat
sekitar 40 jenis ular viper yang termasuk dalam 10 marga. Semua jenis ular dari suku ini
berbisa. Sedangkan di Indonesia terdapat 15 jenis ular viper yang termasuk dalam 7 marga.
Jenis yang umum dijumpai dari ular dalam suku ini adalah ular tanah (Calloselasma
rhodostoma). Jenis ular ini berukuran 60 cm—1 meter. Warna dasar tubuhnya adalah
cokelat dengan coreng atau batik cokelat tua atau cokelat muda. Ular tanah memangsa
tikus, mencit, katak dan kadal. Ular tanah berkembang biak dengan bertelur. Ular berbisa
ini sangat berbahaya bagi manusia dan hewan. Bisanya termasuk golongan racun darah
(haemotoksin). Jenis ular viper lainnya adalah ular cinta mani (Tropidolaemus wagleri) yang
senang tinggal di pepohonan.
Ular tanah (Calloselasma rhodostoma), ular berbisa dengan sifat galak dan sukar menjadi
jinak
Ular cinta mani (Tropidolaemus wagleri), senang tinggal di pepohonan
10) Suku Hydrophiidae (suku ular lempe, sea snakes family). Suku ini merupakan
suku ular yang jenis-jenisnya merupakan ular laut. Semua jenis ular dari suku ini bebisa
kuat dan berbahaya bagi manusia. Di dunia terdapat 53 jenis ular laut. Sedangkan di
seluruh perairan di Indonesia teradapat 32 jenis ular laut. Satu jenis yang sangat umum
ditemui oleh masyarakat adalah ular lempe (Laticauda colubrina). Ular ini berukuran sampai
1 meter tetapi umumnya ditemui lebih pendek dari itu 60—80 cm. Ular ini bertingkah lalu
jinak tetapi tetap berbahaya karena memiliki bisa yang mematikan. Para nelayan sering
menemukan ular ini tersangkut dalam jala ikan atau sering menemukannya bersarang di
antara celah-celah bebatuan karang di daerah pantai. Warna tubuhnya putih dan hitam
iaadengan bentuk tubuh silindris dan ujung ekornya melebar membentuk seperti dayung.
Semua jenis ular laut memiliki bentuk ekor seperti ini.
Indonesia merupakan surga bagi reptil khususnya ular. Kekayaan ini seharusnya dijaga dan
dilestarikan. Fungsi ular sebagai penyeimbang ekologi persawahan harus tetap
diperhatikan. Pemanfaatan tetap harus memperhatikan keseimbangan alam kalau tidak
masyarakat Indonesia sendiri yang akan mengalami kerugiannya di kemudian hari. Di alam
Indonesia terdapat jenis-jenis ular yang mengalami kelainan pigmen tubuh menjadi kaliko
(calico), leusistik (leucistic) atau albino. Bagi pecinta dan penangkar ular sebaiknya ular-
ular seperti ini dibudidayakan dan jangan dikeluarkan ke luar Indonesia sebelum
ditangkarkan di dalam negeri. Karena ular-ular seperti ini merupakan kekayaan alam yang
amat berharga. Silakan ditangkarkan dahulu, kemudian F3 dan F4 dan seterusnya boleh
dijual. Sanggar Natural, Budi Suhono.
Note: Mohon dikoreksi untuk perbaikan naskah, terima kasih.
Sumber:
Suhono, Budi. Mengenal ular di Indonesia. Jakarta: Sanggar Natural.
Suhono, Budi. Ular berbisa di Indonesia. Jakarta: Sanggar natural.
Poster ular berbisa di Indonesia, Sanggar Natural, 2013.
Poster ular berbisa lemah di Indonesia, Sanggar Natural, 2013.
Poster ular tidak berbisa di Indonesia (1), Sanggar Natural, 2013.
Poster ular tidak berbisa di Indonesia (2), Sanggar Natural, 2013.
Poster berbingkai dapat dipesan lewat budipedia.com
Daftar Pustaka
Bellaris dan Carrington, 1966, The World of Reptiles, London: Chatto and Windus Ltd.
Berhard, Sidney, 1968, The Structure and Function of Enzymes, New York: Benjamin Co.
Bucherl, W dan Buckley, Eleanor E. 1968. Venomous Animals and Their Venoms, New
York: Academic Press, vol. 1.
— 1968, Venomous Animals and Their Venoms, New York: Academic Press, vol. II/III.
Brongerma, L.D., 1958, Note on Vipera Russellii (Shaw), Laiden: Zoologische Mededeling,
deel 36, No. 4.
De Haas, C.P.J., 1950, Checklist of the Snakes of Indo-Australia Archipelago, Bogor:
Archipel Drukkerij, dari Treubia, vol.3, No. 3, p. 511-625.
Fowler, Murray E., 1979, Restrain and Handeling of Wild and Domestic Animals, Iowa State
University Press.
Lim Leong Keng, Francis, 1991, Tales and Scales, Singapure: Graham Bush Pte Ltd.
Goin and Goin, 1970, Introduction to Herpetology, San Fransisco: W.H. Freemen and
Company.
Gow, Graem F., 1982, Australia Dangerous Snake, Australia: Angus & Robertson
Publisher.
Heyne, K, 1978, Tumbuhan Berguna Indonesia, Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
Kawamura, Chinzei dan Sawai, 1975, Snakebites in Indonesia dari The Snake, vol. 7, p. 73-
78.
Kopstein, F., 1932, Bungarus javanicus, eine neue Giftschlange von Java (Herpetologische
Notizen), Treubia, vol. 14, p. 73-77.
Laporan, 1981, dari International Seminar on Epidemiology and Medical Treatment of
Snake-bites, dalam The Snake, vol. 13, p. 63-67.
Lim Bo Liat, 1981, Ular-Ular Berbisa di Semenanjung Malaysia, Kuala Lumpur: Art Printing
Works.
Neuhaus, H., 1935, Vipera russellii limitis (Merten) dalam Treubia, vol. 15.
Phelps, Tony 1981, Poisonous Snake, London: Blandfort Press Ltd.
Rogercaras, 1974, Venomous Animals of the World, USA: Prentice – Hall International Inc.
Shine, Richard, 1991, Australian Snakes a Natural history, Sydney, Australia: Reed Books
Pty Ltd.
Storer dan Usinger, 1981, Elements of Zoology, New York: Mc-Graw-hill Book Company,
Inc.
Suhono, Budhy, 1984, Mengenal Ular Berbisa, Jakarta: Berita Buana, 20 Agustus.
— 1985, Menenggang Ular Berbisa, Jakarta: Majalah Zaman No. 19/VI/2 February.
— 1985, Mengidentifikasi Ular Berbisa, Jakarta: Berita Buana, 13 Juni.
— 1985, Memberantas Hama Tikus secara Kontrol Biologi, Jakarta: Berita Buana, 6
September.
— 1986, Ular Tanpa Bisa Tidak Berarti Apa-Apa, Jakarta: Majalah Warnasari, No. 84/ VII.
— 1986, Ularmu, Bung, Jakarta: Majalah Aku Tahu No. 36/III Februari.
Storr dan L.A. Smith, serta R.E. Johnstone, G.M., 1986, Snakes Of Western Australia,
Perth, Australia: The Western Australian Museum.
Supriatna, Jatna, 1981, Ular Berbisa Indonesia, Jakarta: Bhatara Karya Aksara.
Tweedie, M.W. F., 1954, The Snakes of Malaya, Singapore: Government Printing.
Van Hoesel, J. K. P., 1959, Ophidia Javanica, Bogor: Percetakan Archipel.
Wall, Capt. F. I. M. S., 1902, Aids to the Differentiation of Snake, Bombay: Journal Bombay
Natural History Society, vol. 14, p. 337.
Wolf dan Eberhard Engelmann, 1981, Snake, Biolog, Behavior and Relationship to Man,
Fritz: Jurgen Obst.
Young, Genevieve G., 1961, Wilton’s Microbiology, New York: Mc-
ANALISIS ISI PERUT DAN UKURAN TUBUH ULAR JALI (Ptyas mucosus): Zoo Indonesia
15(2):121 - 127
121
ANALISIS ISI PERUT DAN UKURAN TUBUH ULAR JALI
(Ptyas mucosus)
Irvan Sidik
Museum Zoologicum Bogoriense
Puslit Biologi – LIPI Cibinong
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Sidik, I. 2006. Analisis isi perut dan ukuran tubuh ular Jali (Ptyas mucosus). Zoo Indonesia. Vol. 15 (2):
121-127. Peralihan dari musim kemarau ke musim hujan merupakan saat kebiasaan mencari makan bagi
ular Jali (Ptyas mucosus) menjadi lebih aktif. Ladang, kebun dan persawahan yang masih terbentang luas
di propinsi Jawa Tengah dan Timur adalah daerah yang telah umum diketahui penduduk sebagai tempat
hidup ular tersebut. Dalam survai singkat ini dilakukan analisa isi perut dari 90 individu ular yang
dimodifikasi dari teknik Flushing Water. Empat komposit utama yang terdapat dalam isi perut ular Jali
teridentifikasi berasal dari kandungan pati (14,7%), selulosa (30,85%), lignin (12,43%) dan serangga
(12,76%), selain itu ada kandungan lain yang tak teridentifikasi sebanyak (29,26%). Data ekologi
mengenai habitat ular Jali yang ditangkap dipergunakan sebagai data perbandingan terhadap
pendugaan ekstrapolasi daerah jelajahnya. Umumnya ular Jali mendapatkan sumber makanannya
berasal dari daerah pertanian. Hal ini diketahui dari campuran unsur serabut tumbuhan dalam komposit
hewan yang tercerna. Ada kemungkinan bahwa jenis Amfibia memegang peranan penting sebagai
makanan yang berkaitan erat dengan relung ekologinya.Kata kunci : ular jali, Ptyas mucosus, makanan,
amfibia.ABSTRACT
Sidik, I. 2006. Stomach contents and body size in common rat snake (Ptyas mucosus). Zoo Indonesia. Vol.
15 (2): 121-127. Climatic changed from drought (dry) to rainy (wet) season is represent the active habit
for foraging food of common rat snake (Ptyas mucosus). Farm, garden and rice fields which still
widespread in central and east Java provinces area have common known by resident as living place of
this snake. This study was to examine the stomach contents of live common rat snakes using dissecting
and flushing stomach contents that were modified. Liquid component such as juicy composite was
identified from stomach contained carbohydrate (14.7%), cellulose (30.85%), and lignine (12.43%).
Whereas solid materials consist of insect (12.76%), partly body of toads, frogs and skinks, and mammals
fur. Unidentified materials (29.26%) composed of very small particles, most probably grains and plant
seeds. Ecology data concerning habitat availability of common rat snake was used as comparison data to
extrapolate of foraging area. Generally, common rat snake get its food source from agriculture area. This
matterial was known from mixture of element of plant fiber in composite of digestible animal. There
wass possibility that amphibian as a important interconnected food with their ecology.
Keywords: common rat snake, Ptyas mucosus, feed, amphibia.ANALISIS ISI PERUT DAN UKURAN TUBUH
ULAR JALI (Ptyas mucosus): Zoo Indonesia
15(2):121 - 127
122
PENDAHULUAN
Ular jali, Ptyas mucosus (Linn 1758), adalah jenis ular yang mempunyai kebiasaan tinggal dalam liang-
liang tanah di sekitar lokasi pertanian dan belukar di perbukitan hingga mencapai ketinggian 800 m dpl.
Ular ini juga diketahui erat berhubungan dengan daerah perairan yang debit airnya berlimpah, seperti
saluran irigasi. Apabila ular Jali ditemukan di dataran rendah yang berparit, berarti ular tersebut sedang
atau akan melakukan aktifitas mencari mangsa. Ular ini tidak jarang juga terlihat di permukiman
penduduk, seperti pekarangan atau kebun. Penyebaran jenis ular ini di Indonesia meliputi wilayah Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, serta Sumatera dan P. Bangka. Sedangkan di luar negeri tersebar
mulai dari Iran, Afghanistan, Turkemenistan, Pakistan, India, Nepal, Bangladesh, Srilanka, Myanmar,
China, Taiwan, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand hingga Malaysia (Rooij 1915; Smith 1935). Dalam
bahasa daerah, ular ini dikenal sebagai Ulo Priting, sedangkan dalam bahasa asing disebut Common Rat
Snake (UNEP-WCMC 2001).Perilaku ular jali sangat aktif baik di siang maupun malam hari. Makanan
utamanya adalah tikus, akan tetapi bisa memangsa pula kodok, katak, kadal, bahkan jenis ular tertentu
yang tidak berbisa serta lebih kecil ukurannya. Telur yang dikeluarkan sebanyak 8-12 butir dan biasa
diletakkkan di bawah dedaunan yang telah gugur di sekitar rimbunan semak belukar. Diamater telur
antara 25 x 45 mm. Ular betina akan menjaga telurtelurnya selama proses pengeraman
yang memakan waktu sekitar 1-3 bulan (Keng & Tat-Mong 1989).Suatu hasil analisis isi perut dapat
memberikan banyak sumbangan informasi dari mulai jenis pakan yang paling disukai, hingga pada
strategi pengelolaan kawasan untuk tujuan konservasi in-situ maupun ex-situ (Bangsal & Keith, 1962).
Secara teoritis apabila makanan yang tersedia di alam kurang dan tidak sebanding dengan
kebutuhannya maka terdapat naluri kecenderungan untuk lebih selektif dalam mencari makanan
(Johnson 1980). Hingga saat ini, studi mengenai kebiasaan makan melalui analisis isi perut pada
kelompok herpet lebih banyak terfokus pada kelompok Kura-kura (Fields et al.2003). Sedangkan ular jali
di Indonesia termasuk salah satu jenis ular yang banyak diburu untuk tujuan ekspor, sehingga
pemahaman mendalam mengenai sifat jenis makanannya merupakan salah satua aspek yang cukup
penting dalam rangka penetapan strategi konservasinya.Pendekatan analisis isi perut diteliti untuk dapat
menerangkan kebiasaan makan dalam siklus ekologi terhadap populasi ular Jali. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui sifat pencarian makanan ular jali yang ada disekitar kawasan persawahan.
MATERI & METODE
Penelitian dilakukan dengan cara mengunjungi para pengumpul ular Jali yang berada di beberapa
kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah, di bulan Maret 2005 (Tabel 1). Sampel diambil
secara acak, dengan jumlah total 45 jantan dewasa dan 45 ekor betina dewasa. Perkiraan dewasa
dicirikan dengan ukuran badan yang besar dan panjang, dan kondisi ular diusahakan yang baru
tertangkap tidak lebih dari lima hari guna dapat mengevaluasi isi perutnya secara maksimal.ANALISIS ISI
PERUT DAN UKURAN TUBUH ULAR JALI (Ptyas mucosus): Zoo Indonesia 15(2):121 - 127
Pada setiap ular yang terpilih,
sebelum dilakukan pembedahan isi
perut, terlebih dahulu dilakukan
pengukuran morfologi badan yang
mencakup lebar kepala (Width HeadWH), panjang jarak moncong sampai
anus (Snout Vent Length-SVL),
panjang jarak antara anus sampai
ujung ekor (Tail Length-TL), berat
badan per individu (Weight-W) dan
jenis kelamin menurut Feriche et al.
(1993).
Setelah pengukuran morfologi
diselesaikan, dilakukan koleksi isi
perut dengan metode Flushing Water
(Field et al. 2000). Bagian kepala
dipotong dengan pisau kemudian kulit
dikelupas dari arah kepala menuju
kloaka atau ekor, hingga saling
terpisah. Kemudian isi perut
dikeluarkan semuanya dari bagian
lambung dan usus, dicuci bersih
dengan air destilasi dan dimasukkan
ke dalam tabung yang terisi 10%
larutan Formalin. Selain itu air destilasi
disemprotkan ke dalam lambung dan
saluran usus menggunakan pipa kecil
dengan maksud untuk mengeluarkan
isi usus. Kandungan yang terdapat di
dalamnya kemudian ditampung dalam
erlenmeyer yang telah berisi alkohol
70%.
Di laboratorium kandungan partikkelpartikel tersebut disaring dengan
kertas saring, dibilas dan akhirnya
ditampung dalam cawan petri yang
telah berisi air destilasi. Partikel yang
terapung kemudian dipisahkan dari
yang mengendap dan tidak. Bagian
yang mengapung adalah bahan yang
berasal dari anggota tubuh hewan
(serangga), dapat berupa potonganpotongan antena, kepala, sayap, kaki
bahkan adapula rambut hewan
mamalia kecil (tikus). Sedangkan
bagian yang tenggelam biasanya
terdiri dari partikel yang kasar dari
hewan yang ukurannya lebih besar.
Masing-masing partikel yang diketahui
identitasnya dipisahkan dan diukur
volumenya dengan menggunakan
gelas ukur. Sedangkan bagian lainnya
yang berukuran halus dan belum
diketahui identitasnya dibagi menjadi
empat bagian yaitu: satu bagian
merupakan kontrol dan tiga bagian
lainnya sebagai sampel yang akan
dianalisis. Dari setiap tiga bagian
tersebut dibagi lagi menjadi tiga
bagian sehingga terdapat sembilan
bagian yang masing-masing
bagiannya diperiksa dengan
menggunakan larutan Floroglucin,
Iodium dan Schultz.
Periksaan dari setiap bagian yang
menggunakan tiga macam larutan ANALISIS ISI PERUT DAN UKURAN TUBUH ULAR JALI (Ptyas mucosus):
Zoo Indonesia
15(2):121 - 127
124
tersebut di atas memberikan fungsi
yang berbeda-beda. Larutan
Floroglucin untuk menentukan
indikator senyawa lignin, larutan
iodium untuk mengetahui indikator
kandungan pati (amilum) dan larutan
Schultz untuk mengidetifikasi partikel
yang mengandung selulosa. Dalam
pengujian larutan-larutan tersebut
terhadap partikel kandungan isi perut
yang tidak teridentifikasi, dicatat
perubahan warna yang ditimbulkan.
Bahan kandungan yang mengandung
lignin akan berwarna kemerahmerahan atau merah muda bila
ditetesi dengan cairan floroglucin.
Bahan yang mengandung pati
warnanya berubah menjadi biru
kehitam-hitaman jika ditetesi cairan
iodium. Sedangkan pengujian untuk
mengidentifikasi selulosa, bahan
dipanaskan di dalam larutan Schultz
sampai mendidih, kemudian
ditambahkan gliserin dan air destilasi.
Setelah itu, disaring dengan
menggunakan kertas saring. Reaksi
yang terjadi adalah semua bahan
terlarut dalam proses tersebut,
terkecuali partikel yang mengandung
selulosa tidak larut dan memberikan
warna kuning.
Hasil pewarnaan yang terjadi dari
proses tersebut dihitung sebagai
perkiraan persentase volume
berdasarkan bidang pandang. Setiap
bagiannya dianggap mewakili 100%
volume dan dihitung berapa persen
bagian yang terjadi perubahan warna
pada tiap-tiap bagiannya. Adapun
analisis hasil isi perut yang diperoleh
dihitung dengan uji Duncan untuk
mengetahui perbedaan pada tiap-tiap
perlakuan.
HASIL & PEMBAHASAN
Dari hasil survey menunjukkan bahwa
jenis ular jali memegang persentase
tertinggi sebagai kelompok ular
tangkapan para pengumpul ular
dibandingkan dengan jenis ular
lainnya (Tabel 1). Dari 90 ekor ular Jali
yang diambil sebagai sampel,
menunjukkan ukuran ular sudah
termasuk dewasa, dicirikan dengan
ukuran anggota tubuh yang termasuk
besar (Cundall 1987). Namun
terhadap analisis jenis makanan yang
dikonsumsinya, hanya sedikit jenis
makanan yang dapat diidentifikasi
(Tabel 2). Hal ini kemungkinan karena
ular-ular tersebut telah cukup lama di
penampungan sebagai stok sehingga
isi perutnya telah kosong atau
memang ular masih belum mencapai
tahap mengkonsumsi yang optimal
saat tertangkap.
Tabel 2. Jumlah frekuensi (%) komposisi makanan pada isi lambung jantan dan betina
ular jali (Ptyas mucosus).
Jenis asal makanan Jantan (n=45) Betina (n=45) Total (n=90)
Amfibia
Bufo melanostictus 4 5 9
Fejervarya cancrivora 12 16 28
Fejervarya limnocharis 10 13 23
Tidak teridentifikasi
(Limnonectes?)
5 3 8
Reptil
Tidak teridentifikasi
(Mabuya?)
3 2 5
Burung
Passer domesticus 3 5 8
Mamalia
Binatang pengerat
(Rattus?)
9 6 15
Serangga
Arthropoda 5 7 12ANALISIS ISI PERUT DAN UKURAN TUBUH ULAR JALI (Ptyas mucosus): Zoo Indonesia
15(2):121 - 127
125
Dari hasil pemeriksaan didapatkan
bahwa kandungan isi perut ular jali
mengandung unsur pati (14.7%),
selulosa (30.85%), lignin (12.43%),
serangga (12.76%) dan partikelpartikel yang tidak dapat teridentifikasi
(29.26%). Kenyataan ini mendukung
dugaan bahwa ular jali lebih banyak
memakan kelompok hewan herbivora
dan omnivora (hewan pengerat) dari
pada hewan insectivora (hewan
amfibia). Hal ini didasarkan pada
pemikiran bahwa jenis hewan
pengerat seperti tikus atau bajing
dapat mengolah makanannya yang
berupa komponen pati seperti butirbutir padi, biji-bijian atau umbi-umbian.
Walaupun bagian lain dari tumbuhtumbuhan seperti kulit kayu dan daun
juga mengandung zat pati, tetapi
prosentasenya hanya sedikit. Pola
kebiasaan dalam memilih makanan
(mangsa) ular ini sangat berkaitan erat
antara proporsi dari materi yang
terkandung di dalam isi perut dengan
komposisi yang menjadi sumber
bahan makanannya di alam. Hal ini
dapat terlihat dari daerah sebaran ular
Jali yang berhasil ditangkap, rata-rata
berasal dari daerah pertanian atau
persawahan maupun perladangan.
Ptyas mucosus adalah jenis ular yang
bersifat oportunistik dan dapat
mengembara kemana-mana dalam
mencari makanan yang telah tersedia
di habitatnya. Saat musim penghujan
dimana daerah-daerah
pengembaraannya basah dan lebih
banyak menjadi perairan, ular ini
diduga akan mencari makanan berupa
katak maupun kodok (Keng & TatMong 1989). Informasi tentang jenisjenis hewan yang menjadi
makanannya akan berguna untuk
mengetahui dan menaksir suatu
dampak pemanena terhadap suatu
populasi hewan tertentu yang hidup
secara simpatrik dan berhubungan
satu sama lain. Data seperti ini juga
dapat dijadikan model pengembangan
bagi perlindungan, maupun pemulihan
suatu habitat dari populasi hewan
tertentu.
Berdasarkan frekuensi komposisi
utama makanannya, jenis kelamin
dapat merupakan faktor utama dalam
pemilihan makanan bagi ular. Betina
ternyata lebih menyukai
mengkonsumsi hewan pengerat,
diikuti oleh kelompok hewan amfibia,
reptil dan arthropoda. Ular jail jantan
mengkonsumsi binatang pengerat
lebih rendah dari pada amfibia
maupun reptile. Akan tetapi setelah
dilakukan pengujian jumlah massa
makanan yang dikonsumsinya,
ternyata amfibia menjadi sumber
utama makanan baik individu betina
maupun jantan (amfibia, P=0.01,
Dmax=0.92; reptil, P=0.003, Dmax
=0.97; mamal, P =0.50, Dmax =0.50;
arthropoda, P=0.02, Dmax =0.90).
Dari 90 isi lambung yang diuji,
32,6%nya berupa komposisi makanan
tunggal, hanya amfibia atau reptil saja.
Adanya sifat pemilihan makanan
tunggal ini masih harus dicermati lebih
lanjut, apakah sebagai suatu
kebiasaan umum atau karena hal lain,
seperti masalah kelangkaan
keragaman sumber makanan untuk
daerah tertentu.
Hasil analisa ontogenik antara jenis
makanan yang dikonsumsi terhadap
ukuran anggota tubuh menunjukkan
tidak adanya hubungan yang erat
diantara parameter yang diukur (Tabel
3). Walau demikian ada
kecenderungan bahwa semakin besar
ukuran tubuh ular kecenderungan
pemangsaan jenis satwa yang lebih
besar terlihat. Tabel 3. Variasi ontogenitas komposisi makanan Ptyas mucosus berdasarkan SVL.
Macam makanan Kelompok 1
SVL ≤ 1300 mm (n=16)
Kelompok 2
SVL > 1300 mm (n=74)
Amfibia
Bufo melanostictus 4 5
Fejervarya cancrivora 12 16
Fejervarya limnocharis 10 13
Tidak teridentifikasi
(Limnonectes?) 5 3
Reptilia
Tidak teridentifikasi
(Mabuya?) 3 2
Burung
Passer domesticus 3 5
Mamalia
Binatang pengerat
(Rattus?) 9 6
Serangga
Arthropoda 5 7
Dari hasil penelitian ini menunjukkan
pada dasarnya ular jali bukan
merupakan jenis reptil yang
tergantung pada satu jenis pakan saja.
Keseimbangan ketersediaan pakan
dari berbagai kelompok hewan antara
amfibia, repril kecil, burung hingga
mammal kecil serta serangga menjadi
kunci penting dalam rangka
kelangsungan perkembangan
populasi, selain dari laju penangkapan
yang harus dikontrol secara ketat.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Sugi, Siswo dan Minto
yang telah memberikan kesempatan
untuk menguji dan memanfaatkan
ular-ularnya. Untuk saudara Hadi
Dahrudin dan Lia R. Amalia yang telah
membantu dalam pengujian dan
analisi sampel di Laboratorium Nutrisi
Bidang Zoologi, Puslit Biologi LIPI.
Bapak Rendo yang telah membantu
dalam sumbangan informasi
mengenai pengetahuan sifat alamiah
ular. Kami mengucapkan banyak
terima kasih kepada Bapak Akiong
untuk informasi dan pengalamannya di
lapangan selama penelitian ini
berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Cundall, D. 1987. Functional
morphology. In Snakes:
ecology and evolutionary
biology: 106–140. Siegel, R. A.,
Collins, J. T. & Novak, S. S.
(Eds). New York: Macmillan.
Feriche, M., J.M Pleguezuelos. & A,
Cerro. 1993. Sexual
dimorphism and sexing of
mediterranean colubrid snakes
based on external
characteristics. J. Herpetol. 27:
357-362.
Keng, F.L & M.L Tat-Mong. 1989.
Fascinating Snakes of
Southeast Asia:An Introduction.
Tropical Press Sdn. Bhd. Kuala
Lumpur.
Legler, J.M. 1977. Stomach flushing: a
technique for chelonian dietary
studies. Herpetologica 33:281-
284.
Rendo, Personal Communication.
Snakes catcher in Ds. Pule,
Sawahan District, Madiun.
Rooij, N. de. 1915. The Reptiles of the
Indo-Australian Archipelago.
E.J. Brill Ltd. Leiden.
Smith, M. A. 1935. Reptilia and
Amphibia, Vol.II – Sauria. In:
The Fauna of British India. ANALISIS ISI PERUT DAN UKURAN TUBUH ULAR JALI (Ptyas mucosus): Zoo
Indonesia
15(2):121 - 127
127
Taylor and Francis Ltd.,
London. Reprinted 1973, Ralph
Curtis Books, Florida.
UNEP-WCMC. 2001. Checklist of
reptiles and amphibians listed
in the CITES appendices and in
EC Regulation No. 338/97. 8th
Edition. JNCC Report, No. 291.
Joint Nature Conservation
Committee. Petersborough,
United Kingdom.