warisan kopi dari bandung - kopi aroma

3
W Warisan Kopi dari Bandung Widya Pratama, pemilik Kopi Aroma, bertahan menjadi semut yang menggigit di antara pemain di industri kopi besar dan modern. Tapi justru di sana letak kekuatan bisnisnya. Ini kisahnya. Oleh Dian Sari Pertiwi WANGI KOPI menyeruak di tengah hiruk pikuknya Jalan Ban- ceuy 51, Kota Bandung, Jawa Barat. Ada peman- dangan biasa terjadi setiap harinya di sana, antrean pembeli kopi berlabel Koffie Fabriek mengular sampai luar. Saat Fortune Indonesia berkunjung jam 10 pagi, ada belasan orang antre, sedikitnya mereka membeli 2-3 bungkus kopi robusta dan arabika kemasan 1 kilogram (kg). Salah seorang pelanggan Kopi Aroma, Kiki Khoiriyah, mengaku ru- tin membeli kopi di toko milik Widya karena kolega suaminya dari Jepang kerap menitip. “Tiap tiga bulan sekali dia ada di Jakarta, jadi nanti kopi ini saya kirim ke sana,” kata Kiki saat mengantre di toko kopi Aroma. Semakin siang jumlah antren bertambah banyak. Sejumlah warga negara asing juga terlihat ikut meng- antre. “Saya sering dengar kabar ada kopi enak di sini. Kebetulan lagi ada acara di Bandung,” ujar Ivan Yu, salah seorang eksekutif PT Jindo Industries, perusahaan asal Taiwan yang ikut dalam antrean. Ivan awalnya mau membeli 35 ki- logram (kg) kopi dari toko itu untuk oleh-oleh dibawa ke negara asalnya. Namun, dia tidak bisa membawa kopi sebanyak itu karena pembelian diba- tasi hanya 5 kg. VENTURE 27 April 2014 profil FORTUNE INDONESIA 43 foto oleh MELISA WIJAYA Widya di gudang penyimpanan biji kopi

Upload: dian-sari-pertiwi

Post on 21-Jul-2015

299 views

Category:

Business


6 download

TRANSCRIPT

W

Warisan Kopi dari BandungWidya Pratama, pemilik Kopi Aroma, bertahan menjadi semut yang menggigit di antara pemain di industri kopi besar dan modern. Tapi justru di sana letak kekuatan bisnisnya. Ini kisahnya. Oleh Dian Sari Pertiwi

Wangi kopi

menyeruak di tengah hiruk pikuknya Jalan Ban-ceuy 51, Kota

Bandung, Jawa Barat. Ada peman-dangan biasa terjadi setiap harinya di sana, antrean pembeli kopi berlabel Koffie Fabriek mengular sampai luar. Saat Fortune Indonesia berkunjung jam 10 pagi, ada belasan orang antre, sedikitnya mereka membeli 2-3 bungkus kopi robusta dan arabika kemasan 1 kilogram (kg).

Salah seorang pelanggan Kopi Aroma, Kiki Khoiriyah, mengaku ru-tin membeli kopi di toko milik Widya karena kolega suaminya dari Jepang kerap menitip. “Tiap tiga bulan sekali dia ada di Jakarta, jadi nanti kopi ini saya kirim ke sana,” kata Kiki saat mengantre di toko kopi Aroma.

Semakin siang jumlah antren bertambah banyak. Sejumlah warga negara asing juga terlihat ikut meng-antre. “Saya sering dengar kabar ada kopi enak di sini. Kebetulan lagi ada acara di Bandung,” ujar Ivan Yu, salah seorang eksekutif PT Jindo Industries, perusahaan asal Taiwan yang ikut dalam antrean.

Ivan awalnya mau membeli 35 ki-logram (kg) kopi dari toko itu untuk oleh-oleh dibawa ke negara asalnya. Namun, dia tidak bisa membawa kopi sebanyak itu karena pembelian diba-tasi hanya 5 kg.

Venture

27 April 2014

profil

fortune indonesia43

foto oleh MELiSa WiJaYa

Widya di gudang

penyimpanan biji kopi

Proses pembuatan kopi aroma

fortune indonesia44

adalah mesin panggang manual yang menggunakan tungku kayu.

Setiap beberapa menit sekali, Widya mengecek hasil panggangan-nya lewat tongkat besi yang diselipkan ke dalamnya dan mengorek biji kopi dari dalam. Hanya dia dan generasinya yang mengerti bagaimana kadar dan kualitas biji yang bisa diangkat. WiDYa adalah orang yang percaya akan proses. Ia percaya untuk menjadi pengusaha yang baik perlu proses. Be-lajar melayani, belajar menghasilkan produk yang baik dan belajar menge-lola sumber daya yang ada.

Widya mempelajari semua itu dari pengalamannya selama kurang lebih 30 tahun mengelola bisnis kopi. Anak tunggal dari Tan Houw Sian dan Tjia Kiok Eng ini meneruskan usaha orang-tuanya yang nyaris bangkrut.

Dia bilang, salah satu usaha untuk membuat bisnis Kopi Aroma bertahan adalah dengan memberi pelayanan ter-baik kepada konsumen. Dulu, di tengah keterbatasan sarana transportasi dia bahkan rela menggowes sepeda hingga ke luar kota untuk mengantarkan pesanan pelanggannya. “Sepeda itu yang dulu membantu saya mengantar-kan pesanan kopi,” ujar Widya seraya menunjuk tiga buah sepeda onthel yang dipajang di salah satu sudut tokonya

“Saya membatasi untuk menjaga keseimbangan bisnis,” ujar Widya Pratama, pemilik Kopi Aroma yang mengajak kami untuk melihat proses produksi kopi buatannya.

Widya yang hari itu menggunakan baju serba coklat bilang, ia tidak ing in serakah memenuhi permintaan pelang-gan dengan menjual kopi seba nyak-banyaknya kepada salah satu pem-beli. Dia ingin kopinya bisa dinikmati semua kalangan dan menjaga pasar sehingga dengan pembatasan tersebut, si pembeli akan kembali lagi. Dari sini-lah pasar Kopi Aroma terbentuk. “Me-mang dengan kualitas kopi yang kami buat, orang bernafsu membeli dengan jumlah banyak sebagai buah tangan atau stok simpanannya. Ini yang kami hindari demi menjaga keseimbangan bisnis,” ujarnya.

Meski aroma kopinya terkenal di mancanegara, toko kopi yang dike-lola Widya jauh dari kesan perlente khas coffee shop masa kini. Bangunan tokonya tua khas arsitektur Belanda. Di beberapa bagian bahkan terkesan tidak terawat.

Tapi, di balik itu semua ada daya tarik tersendiri yang menggoda para peminum kopi hingga berbondong-bondong ke sana. Di dalam toko itu ada harta karun tak ternilai pening-galan sang ayah dari tahun 1930. Di salah satu sudut bangunan terdapat gudang penyimpanan biji kopi dan tempat proses pengolahannya. Gudang itu menampung berkarung-karung kopi hingga puluhan ton jumlahnya. Kopi-kopi tersebut berasal dari sejum-lah daerah di Indonesia seperti Toraja (Sulawesi), Flores, Bangka, Aceh, dan dari pulau Jawa. Aset paling berharga

Begitu pula untuk menghasilkan kopi berkualitas, dibutuhkan proses yang tidak sebentar. Ini juga yang menjadi alasan mengapa Widya tetap mempertahankan dua mesin roaster (pemanggang) milik ayahnya yang memiliki kapasitas 80 kg dan 100 kg. Dalam sehari, Widya biasanya memanggang antara 3-5 kali. Ia berpendapat kopi yang enak adalah kopi yang dipanggang minimal 2 jam dengan menggunakan kayu bakar. Meski proses tersebut membuat setiap biji yang dipanggang akan menyusut sebanyak 20%. Berbeda dengan cara pengolahan kopi era modern, yang me-manggang hanya 5 menit dan meng-gunakan gas.

Widya juga mengatakan wajib hukum nya menyimpan terlebih dahulu biji kopi selama bertahun-tahun, meski setiap 100 kg biji yang disimpan akan hilang sebanyak 1 kg setiap tahunnya. “Biji kopi robusta disimpan selama 5 tahun, sedangkan arabika 8 tahun. Ini perlu dilakukan agar kadar asam bisa hilang sehingga tidak membuat perut kembung,” kata pria yang juga menga-jar di Universitas Padjadjaran ini.

Secara hitungan bisnis, apa yang dilakukan Widya mungkin tidak ma-suk akal. Menyimpan kopi bertahun-tahun tentu membutuhkan ruang yang besar dan biaya. Perputaran barangnya

“XXXXX.” –XXXX

Venture

pun tidak bisa cepat. “Tapi saya bisa melakukannya dan bertahan karena saya memanfaatkan semua sumber daya yang ada,” ujarnya.

Agar biaya produksi tidak besar, kata Widya, ia langsung berhubungan dengan para petani kopi dan tidak me-lalui perantara. Lalu, untuk kebutuhan kayu bakar, ia bekerja sama dengan para petani. Dia juga memanfaatkan limbah-limbah kayu sehingga tidak mahal. “Dengan cara seperti ini biaya produksi bisa dikurangi,” kata lelaki yang gaya bicaranya halus itu.

Menurut M. Sulistio Rusli Ketua Sekolah Tinggi Manajemen PPM, biji kopi yang disimpan selama 5-8 tahun bisa menjadi investasi kalau dikelola dengan baik. “Pengelolaan itu seperti cara penyimpanan yang baik sehingga meminimalisir pengurangan jumlah biji kopi,” cetusnya. kopi aRoMa sesungguhnya memiliki kesempatan untuk menjadi besar. Namun, Widya belum berminat untuk membuka cabang atau memperbe-sar skala usahanya. Tidak sekali dua kali investor baik dari dalam negeri maupun luar negeri datang untuk menawarkan suntikan modal hingga niat akuisisi. Tapi Widya tidak bergem-ing. Bisnis ini adalah kecintaan, minat dan hidupnya.

Menurut Sulistio, umumnya peru-sahaan-perusahaan keluarga yang ada di daerah jarang yang mau memper-besar skala usahanya. Mereka telah puas dengan pendapatannya sehingga tidak berpikir untuk memperbesar skala bisnis. “Kalau lihat potensi produknya, skala bisnis Kopi Aroma bisa menjadi besar. Seharusnya gene-rasi penerus sudah memproyeksikan pertumbuhan bisnis untuk 5-8 tahun ke depan dengan cara mulai menata manajemen dan proses produksi agar mampu melayani permintaan pasar,“ kata Sulistio.

Sulistio juga berpendapat dengan skala Kopi Aroma saat ini, strategi pemasaran yang pas adalah model word of mouth. “Semakin antre di depan tokonya semakin membuat terkenal karena orang beranggapan produknya banyak diburu orang, pa-dahal kapasitas produksi tidak banyak dan mampu memenuhi permintaan pasar,” katanya.

Widya beralasan ia tidak ingin mengembangkan bisnisnya selain tak ingin serakah tapi juga karena ada tujuh hal atau 7M (men, methods, machine, material, market, money dan management) yang belum bisa ia penuhi . “Antara ketujuh kompo-nen tersebut harus seimbang,” ujar bapak dari tiga anak ini. Menurutnya

market (pasar/ pangsa pasar) harus disesuaikan dengan men (sumber daya manusia), machine (kapasi-tas produksi mesin), methods (cara produksi), material (bahan baku), money (uang) dan management (tata kelola). “Jika ketujuh hal tersebut belum siap, jangan berpikir untuk melakukan ekspansi yang agresif karena hanya akan meruntuhkan bis-nis,” ujarnya.

Ketujuh hal ini juga yang ia terus coba tanamkan kepada Moni ka Tanara, anak sulungnya yang digadang-gadang sebagai penerus bisnis keluarga.

Monika mengakui godaan untuk berekspansi selalu ada terlebih ia generasi ketiga yang hidup di era co­ffee shop dan tren nongkrong. Tapi, ia akan menjaga tradisi yang diting-galkan ayahnya menjadi nilai jual di tengah persaing an bisnis kopi yang masif, instan dan sengit. Bidikan pasar yang diincarnya tidak lagi berfokus pada kapasitas atau kuantitas produk terjual, tapi seni membuat kopi secara tradisional dan manual. “Kesan vin­tage itu yang ingin kami tawarkan,” kata Monika. “Apalagi Dinas Pariwisa-ta mengajak kami bekerja sama dan berharap toko ini tidak diubah atau direnovasi. Karena bukan hanya tem-pat jual kopi tapi juga wisata sejarah,” tambah gadis berkacamata itu.

27 April 2014

profil

fortune indonesia45