warta cendana edisi ix no.3 2016 x7

36

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN KUPANG | ENVIRONMENT AND FORESTRY RESEARCH AND DEVELOPMENT INSTITUTE OF KUPANG

Edisi IX No. 3 Desember 2016

WARTA

Keanekaragaman Jenis Pakan Rusa Timor di Kawasan Savana

Tanjung Torong Padang, Nusa Tenggara Timur

di Hutan Gunung MutisPengendalian Penggembalaan Liar

MITOLOGI MBARU NIANGRelasi Manusia, Alam, dan Tuhan di Kampung Waerebo

KEBIJAKAN PENGELOAANMANGROVEdi Nusa Tenggara Timur

MENGENAL PERBEDAANCendana Jenggi (Santalum spicatum) dengan Cendana NTT (Santalum album)

Page 2: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

Dewan RedaksiRedaksi Pelaksana

PENERBIT

Balai Penelitian dan PengembanganLingkungan Hidup dan Kehutanan Kupang

Jln Untung Suropati No 7 B. Kupang Telp (0380)823357 Fax (0380) 831086

Email : [email protected]

REDAKSI

merupakan majalah ilmiah poluler Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan

Kehutanan Kupang yang diterbitkan 3 kali dalam satu tahun, berisikan tema rehabilitasi hutan dan

lahan, konservasi, sosial ekonomi, ekowisata, lingkungan, HHBK, managemen, hukum

kelembagaan, kebijakan publik dan lain-lain.

www.foristkupang.org

Redaksi menerima sumbangan artikel sesuai tema terkait, Tim Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mengubah isi materi tulisan, Tulisan dapat dikirim melalui email ke [email protected]

DAFTAR ISI

SEKAPUR SIRIHPada penghujung tahun 2016, warta cendana Edisi IX No. 3 kembali terbit. Hadir ke hadapan pembaca dengan berbagai informasi mengenai kegiatan penelitian, baik mengenai satwa maupun tumbuhan. Artikel mengenai Fauna berupa konflik antara buaya dan manusia, keanekaragaman pakan Rusa Timor di Tanjung Porong, dan pengendalian penggembalaan liar. Terdapat juga artikel mengenai mitologi mbaru niang, kebijakan mangrove di NTT dan perbedaan antara cendana jenggi dan cendana NTT.

Akhirnya dewan redaksi mengucapkan selamat tahun baru 2017, semoga tahun baru kali ini memberikan semangat perubahan menuju yang lebih baik.

| FOKUS |

Cover photoBuaya Muara TWA Menipo

by Brandon Sideleaudan Tegakan Kebun Benih Ampupu

(Eucalyptus Urophylla) di Buat - TTS by Mardyanto

Penanggung JawabKepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kupang

Imam Budiman, S.Hut, M.A .Budiyanto Dwi Prasetyo, S.Sos, M.A.Muhamad Hidayatullah, S.Hut, M.Si. Ali Ngimron

Mardiyanto

Kepala Seksi Data, Informasi dan Sarana Penelitian

Anggota

| GALERI PERISTIWA |

h.30Konfilk Buaya Vs Manusiadan Upaya MitigasinyaOleh : Grace S. Saragih

h.1

Keanekaragaman Jenis Pakan Rusa Timordi Kawasan Savana Tanjung Porong Panjang Nusa Tenggara TimurOleh : Kayat

h.6

Pengendalian Penggembalaan Liardi Hutan Gunung MutisOleh : Rahman Kurniadi, Herry Purnomo, Nurheni Wijayanto, Asnath Maria Fuah

h.10

Mitologi Mbaru NiangRelasi Manusia, Alam dan Tuhan di Kampung WaereboOleh : Budiyanto Dwi Prasetyo

h.14

Kebijakan Pengelolaan Mangrovedi Nusa Tenggara TimurOleh : M. Hidayatullah

h.19

Mengenal PerbedaanCendana Jenggi (S. spicatum) dengan Cendana NTT (S. album)Oleh : Hary Kurniawan

h.24

WARTA

• Kunjungan Sekretaris Badan Litbang dan Inovasi ke BPPLHK Kupang

• Penandatanganan nota kesepahaman antara Kepala badan Litbang dan Inovasi dengan Bupati Sumba Tengah

• Hari menanam Pohon Nasional

Page 3: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

| FO

KUS

|

1

PENDAHULUANKonflik manusia dan satwa liar semakin menjadi perhatian seiring dengan semakin tingginya tingkat kerusakan lingkungan. Penggunaan ruang (spaces) dan sumberdaya (resources) yang sama

oleh manusia dan satwa liar disinyalir sebagai penyebab konflik. Konsekuensinya, pkian opulasi satwa liar menurun karena habitatnya berkurang, sedangkan kese lamatan manus ia yang beraktifitas disekitar habitat satwa liar juga

WARTA Edisi IX No.3 Desember 2016

oleh: Grace S. Saragih

Page 4: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

2

terancam. Beberapa satwa liar yang sering berkonflik dengan manusia adalah gajah, harimau, dan buaya. Secara spesifik, diketahui bahwa intensitas serangan buaya terhadap manusia yang terjadi di berbagai belahan dunia kian meningkat. Berbagai penelitian mengenai penyebab konflik dan upaya mitigasi mengurangi konflik sudah dilakukan. Namun hingga kini belum ditemukan strategi paling efektif untuk mengatasi masalah tersebut. Ekologi Buaya

Buaya dikenal sebagai satwa air yang berukuran besar dan buas. Buaya dapat bergerak di dalam air dengan tanpa membuat suara ataupun percikan air. Dilengkapi dengan indra penciuman, penglihatan, pendengaran yang baik serta kemampuan mendeteksi getaran atau perubahan tekanan air, menjadikan buaya sebagai predator ulung. Preferensi mangsa buaya sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh habitat dan ukuran tubuhnya (Taylor, 1979). Selain itu, buaya dapat bertahan di dalam air dengan cara memperlambat detak jantung guna menahan nafas dalam jangka waktu yang cukup lama. Perilaku tersebut membuatnya dapat mengintai mangsa dengan tanpa terlihat (Department of Environment and Heritage Protection, 2015). Buaya memiliki peran penting dalam

ekosistem dan dianggap sebagai “keystone species” karena keberadaannya mampu memelihara struktur dan kelangsungan fungsi ekosistem. Satwa ini juga berperan sebagai predasi selektif jenis-jenis ikan, dan mendaur ulang nutrisi. Buaya berperan sebagai pemangsa dan mangsa. Buaya dapat memangsa satwa terestrial dan juga perairan. Energi dari pemangsaan ini digunakan untuk menghasilkan telur dalam jumlah banyak. Telur-telur buaya menjadi makanan satwa lain seperti kadal, ular, burung elang dan individu buaya lain sehingga terjadi proses transfer energi dalam rantai makanan. Hilangnya buaya dari ekosistem berarti hilangnya biodiversitas, potensi ekonomi dan stabilitas ekosistem (Thorbjarnarson, 1992). Sebuah penelit ian menunjukkan bahwa hilangnya satwa predator puncak (apex predator) akan merubah struktur dan fungsi ekosistem (Estes et al., 2011; Hines & Gessner, 2012).

Ada empat spesies buaya di Indonesia, yaitu Buaya Muara (Crocodylus porosus) Buaya Sinyulong (Tomistoma schelegelii), Buaya Siam (Crocodylus siamensis), dan Buaya Papua (Crocodylus novaguineae). Buaya muara adalah spesies yang daerah penyebarannya paling luas, meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia (Iskandar, 2002). Spesies ini adalah spesies reptil terbesar di dunia. Buaya muara jantan memiliki ukuran rata-rata 5 meter dengan berat lebih dari 450 kilogram. Buaya muara betina berukuran sekitar 3 meter dan berat hingga 150 kilogram (Department of Environment and Heritage Protection, 2015). Hingga saat ini buaya muara dengan ukuran paling besar adalah 'Lolong' yang panjang tubuhnya 6.17 meter ditangkap di Filipina (Britton et al., 2012). Buaya muara dapat hidup di air asin, air payau dan air tawar. Hal ini dikarenakan buaya muara dapat mensekresikan kelebihan garam dalam tubuhnya melalui urin, feses, respirasi dan melalui kulit.

Edisi IX No.3 Desember 2016 WARTA

Sumber: Queensland Environmental Protection Agency (2007)

Gambar 1. Perbedaan bentuk kepala (a) buaya air tawar dan (b) buaya muara

Page 5: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

3

KONFLIK ANTARA MANUSIA DAN BUAYADi berbagai belahan dunia, serangan buaya terhadap manusia merupakan salah satu kon�ik manusia dan satwa liar yang sering terjadi. Di Australia, Indonesia, dan Malaysia spesies buaya yang sering menyerang manusia adalah buaya muara (Crocodylus porosus). Di Sri Lanka dan India, spesies buaya yang menjadi perhatian adalah Mugger Crocodile (Crocodylus palustris). Sedangkan di Afrika, spesies yang sering menyerang manusia adalah Buaya Sungai Nil (Crocodylus niloticus). Informasi mengenai serangan buaya terhadap manusia seringkali tidak dilaporkan kepada pihak berwenang karena lokasi kejadian yang jauh di pedalaman dan sulit diakses. Oleh karena itu jumlah pasti kejadian serangan dan korban jiwa sangat sulit untuk dipastikan.Beberapa studi mengenai kon�ik manusia dan buaya menyimpulkan bahwa penyebab meningkatnya serangan buaya terhadap manusia dapat disebabkan oleh beberapa hal. Misalnya, 1) menjaga teritori habitat, 2) melindungi sarang atau anakan, 3) berburu makanan, 4) kesalahan mengidenti�kasi manusia sebagai satwa mangsa, dan 5) pembelaan diri karena merasa terancam (Caldicott et al.,, 2005). Studi mengenai serangan buaya terhadap manusia di Sabah, Malaysia, menyimpulkan bahwa penyebab meningkatnya insiden serangan dikarenakan ledakan populasi buaya (Andau dkk, 2004 dalam Caldicott et al., 2005). Sebaliknya, peningkatan populasi manusia juga dapat menjadi penyebab meningkatnya interaksi manusia dengan buaya.

Ada faktor lain yang diduga dapat menyebabkan meningkatnya serangan buaya, yaitu kerusakan habitat buaya akibat kegiatan antropogenik. Di beberapa negara, pembuangan sampah ke perairan meningkatkan kemunculan buaya di area pemukiman. Di Sri Lanka, kejadian serangan buaya terjadi di lokasi-lokasi dimana terdapat tumpukan sampah di sekitar perairan

(Mendis, 2014). Buaya banyak ditemukan di area-area yang terdapat tumpukan sampah. Masyarakat di lokasi kejadian serangan dihimbau untuk tidak membuang sampah terutama sisa daging, ikan dan ayam ke perairan karena akan memancing buaya untuk datang mencari makan. Hal yang serupa terjadi di Belize, Amerika Tengah, dimana pembuangan sampah yang meningkat menyebabkan semakin banyak satwa liar yang masuk ke area pemukiman untuk mencari makanan di tumpukan sampah. Bahkan karena buaya sudah terbiasa memakan sampah dan tidak memakan mangsa alaminya, populasi satwa mangsa buaya seperti tikus dan rakun meningkat dan memunculkan permasalahan baru (Anonim, The Sun Pedro Sun, 2010). Di Florida, Amerika Serikat, terkadang dijumpai pula Buaya Amerika (Crocodylus acutus) yang memasuki kawasan perumahan penduduk untuk mencari makan di tempat sampah atau untuk memangsa hewan peliharaan yang ada di sekitar rumah tempat tinggal manusia (Morello, n.d.). Rumah yang dimasuki buaya biasanya terletak dekat sungai, sungai kecil atau kolam air tawar. Perilaku ini berkembang disinyalir karena kebiasaan manusia membuat umpan memancing berupa campuran daging, tulang dan darah ikan. Hingga lama kelamaan hal itu telah mengubah preferensi pakan buaya. Buaya kemudian mengasosiasikan manusia dengan makanan dan menganggap mencari makan di tumpukan sampah lebih mudah daripada berburu mangsa di alam.

Kerusakan habitat mangrove juga disebut sebagai pendorong buaya mencari mangsa diluar habitatnya. Ekosistem mangrove merupakan habitat penting untuk buaya. Mangrove merupakan tempat buaya mencari pakan, berlindung dan membesarkan anak. Kerusakan dan hilangnya habitat merupakan dampak dari pembangunan pemukiman, konversi hutan mangrove, penambangan pasir, peningkatan akti�tas penangkapan ikan, dan pembangunan

WARTA Edisi IX No.3 Desember 2016

Page 6: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

4

fasilitas pariwisata (Thasun et al., 2015). Selain ekosistem mangrove, area rawa air tawar juga merupakan lokasi penting bagi buaya untuk bertelur. Maraknya penambangan pasir menyebabkan intrusi air laut sehingga buaya harus mencari area air tawar yang lebih jauh ke arah hulu sungai mendekati pemukiman manusia hanya untuk bertelur (Thasun et al., 2015). Akibatnya intensitas perjumpaan dengan manusia pun semakin meningkat.

UPAYA MITIGASIKon�ik manusia dan buaya menjadi rumit karena beberapa spesies buaya berstatus dilindungi. Seperti halnya buaya muara yang termasuk dalam satwa dilindungi di Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Oleh karen itu tindakan mengatasi kon�ik buaya dan manusia tidak semudah yang dibayangkan dengan hanya menangkap dan menyingkirkan buaya dari daerah pemukiman.

Ada beberapa strategi yang sudah dilakukan di beberapa negara untuk mengatasi kon�ik manusia dan buaya. Pertama dengan cara relokasi, buaya yang pernah menyerang manusia atau yang berukuran besar direlokasi ke daerah lain yang jauh dari pemukiman. Namun strategi ini bukan solusi yang efektif dalam jangka panjang karena buaya memiliki 'homing instinct' yang kuat (Letnic et al., 2011). Homing instinct adalah insting alami buaya untuk kembali ke habitat asalnya. Oleh karena itu, buaya yang ditangkap sebaiknya dimasukkan ke dalam penangkaran atau fasilitas penampungan lainnya dan tidak dilepas kembali ke alam.

Selain itu, di beberapa daerah dilakukan pemasangan pagar pembatas di area yang sering menjadi tempat akti�tas manusia di tepi sungai. Pembuatan pagar dianggap cukup efektif untuk melindungi masyarakat yang berakti�tas di sekitar tepi perairan. Pagar pengaman ada yang terbuat dari kayu maupun besi. Namun perlu

dipertimbangkan mengenai materi pagar pengaman dan biaya perawatannya dalam jangka panjang. Di Northern Territory, Australia, terdapat area yang bebas dari manusia dan area yang bebas dari buaya. Di area yang dikhususkan sebagai habitat buaya, tidak boleh ada akti�tas manusia sama sekali. Sebaliknya, apabila ada buaya yang memasuki area akti�tas manusia akan langsung ditangkap dan dipindahkan.

Edukasi terhadap masyarakat tentang perilaku buaya juga dapat mengurangi resiko diserang buaya. Membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan, tidak melakukan akti�tas di perairan sendirian, dan memperhatikan adanya jejak buaya disekitar tempat berakti�tas adalah beberapa tindakan yang bisa dilakukan untuk mengurangi resiko diserang buaya

Salah satu strategi untuk mengurangi jumlah serangan buaya terhadap manusia adalah dengan menjaga habitatnya. Ketersediaan pakan yang cukup, adanya area bersarang dan berlindung yang tidak terganggu akti�tas manusia akan mengurangi interaksi manusia dan buaya. Usaha penangkaran buaya juga dapat menjadi opsi untuk menampung buaya yang pernah menyerang manusia atau disebut 'problem crocodile'. Meski buaya muara termasuk dalam Apendiks II CITES yang berarti dapat diperdagangkan secara komersial, namun kuota pemanfaatannya tiap tahun ditentukan oleh Scienti�c Authority atau dalam hal ini LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Kuota ekspor kulit buaya muara pada tahun 2010 adalah 7.500 kulit stok hasil penangkaran dengan ukuran minimal 30-50 cm lebar dada (Kementerian Kehutanan, 2010).

PENUTUPKerjasama multi-pihak sangat dibutuhkan dalam menanggulangi kon�ik manusia dan buaya. Monitoring habitat dan populasi buaya pun

Edisi IX No.3 Desember 2016 WARTA

Page 7: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

5

penting dilakukan secara berkesinambungan sebagai dasar untuk menyusun manajemen pengelolaan dan menyusun strategi mitigasi kon�ik buaya dan manusia. Restorasi habitat buaya, terutama pada ekosistem mangrove akan mengembalikan ke situasi semula dimana terbentuk sebuah ekosistem yang mampu menyediakan pakan dan area berlindung bagi buaya. Pulihnya kondisi habitat buaya dapat mengurangi ancaman serangan buaya terhadap manusia.

DAFTAR PUSTAKAAnonim. 2010. Wild animal encounters on the

increase in San Pedro. The Island Newspaper, Ambergris Caye, Belize Vol. 2 0 , N o . 3 J a n u a r y 2 1 , 2 0 1 0 http://www.sanpedrosun.com/old/10-032.html. Diakses dari

Britton, A., Whitaker, R., dan Whitaker, N.2012. Here be a Dragon: Exceptional Size in a Sal twater Crocodi le (Crocodylus p o r o s u s ) f r o m t h e P h i l i p p i n e s . Herpetological Review 43(4), 2012.

Caldicott, D.G.E, Croser, D., Manolis, C., Webb, G., & Britton, A. 2005. Crocodile attack in australia: An analysis of its incidence and review of the pathology and management of crocodilian attacks in general. Wilderness & Environmental Medicine, 16(3), 143-159.

Department of the Environment. 2015. Crocodylus porosus in Species Pro�le and Threats Database, Department of the Environment, Canberra. Diakses dari http://www.environment. gov.au/sprat

tanggal 12 Maret 2015. Estes, J. A., Terborgh, J., Brashares, J. S., Power,

M. E., Berger, J., Bond, W. J., Wardle, D. A. 2011. Trophic Downgrading of Planet Earth. Science, 333(6040), 301-306.

Letnic, M., Carmody, P., and Burke, J. 2011. Problem crocodiles (Crocodylus porosus) in the freshwater, Katherine River, Northern Territory, Australia. Australian Zoologist Vol. 35 (3).

Morello, R. How Do The Florida Crocodiles Get T h e i r F o o d ? D i a k s e s d a r i h t t p : / / a n i m a l s . m o m . m e / � o r i d a -crocodiles-food-6209.html

Mendis, R. 2014. Crocs stray towards garbage dumps In search of food. Ceylontoday, 2 0 1 4 - 0 2 - 1 3 0 2 . D i a k s e s d a r i http://www.ceylontoday.lk/51-55838-news-deta i l -c rocs - s t ray- towards-garbage-dumps-in-search-of-food.html

Taylor, J.A. 1979. The foods and feeding habits of subadult Crocodylus porosus Schneider in Northern Australia. Australian Wildlife Research 6:347–359.

Thasun, A.A., Madawala, M.B., Karunarathna Suranjan, D.M.S., Manolis, S.C., de Silva, A., Sommerlad, R. 2015. Human-crocodile con�ict and conservation implications of Saltwater Crocodiles Crocodylus porosus (Reptilia: Crocodylia: Crocodylidae) in Sri Lanka. Journal of Threatened Taxa. 26 April 2015, 7(5): 7111–7130

WARTA Edisi IX No.3 Desember 2016

Page 8: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

6

PENDAHULUANSatwa liar tak terkecuali rusa timor (Rusa timorensis Blainville) membutuhkan komponen dasar habitat berupa pakan, air, dan pelindung untuk kelangsungan hidup individu dan keberlanjutan populasinya (Morrison et al., 2006). Alikodra (2010) mengatakan pengelolaan habitat bertujuan untuk menciptakan habitat yang mempunyai kualitas dan kuantitas yang tinggi. Habitat yang mempunyai kualitas yang tinggi nilainya diharapkan akan menghasilkan kehidupan satwa liar yang berkualitas tinggi. Salah satu tipe vegetasi yang merupakan habitat rusa timor adalah savana. Ewusie (1980) menjelaskan ekosistem savana dicirikan dengan pepohonan yang jarang, daerah tertutup hanya ditemukan pada daerah yang kandungan air tanahnya cukup tinggi seperti di dekat batang air atau lekukan. Sementara Crowder dan Chheda (1982) mendeskripsikan sebuah savana terdiri dari vegetasi kompleks

tanaman-berkayu - rumput di mana kepadatan pohon, semak-semak dan perdu sangat bervariasi dan penutup rumput berkembang dengan baik.Ciri khas savana adalah dataran terbuka atau sebidang tanah yang memiliki penutup padat rumput yang tinggi atau pendek dan berasosiasi dengan spesies herba atau semak. Bioma savana merupakan campuran dari tanaman berkayu (pohon dan semak) dengan lapisan bawah berupa rumput-rumputan dan forb (Suttie et al., 2005). De�nisi lain savana adalah bioma yang komplek yang merupakan transisi antara hutan dan padang rumput, didominasi oleh kanopi hutan terbuka dan tumbuhan bawah yang tahan kekeringan yang merupakan campuran rumput dan semak-semak (Monk et al., 1997; Ardhana, 2012).

Penelitian keanekaragaman jenis pakan rusa timor yang ada di kawasan savana Tanjung Torong Padang sangat diperlukan untuk mengetahui ketersediaan pakan yang ada, dan diharapkan merupakan titik awal untuk

| FO

KUS

|

KEANEKARAGAMANJENIS PAKAN RUSA TIMOR

oleh: Kayat

Edisi IX No.3 Desember 2016 WARTA

di Kawasan Savana Tanjung Torong Padang, Nusa Tenggara Timur

Page 9: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

7

menentukan langkah pengelolaan selanjutnya terhadap berbagai jenis pakan yang ada di habitat rusa timor tersebut.

METODOLOGILokasi dan Waktu PenelitianPenelitian ini dilakukan pada kawasan savana Tanjung Torong Padang yang secara administrasi berada diwilayah Desa Sambinasi, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur (Gambar 1), mulai bulan Agustus 2014 sampai dengan Maret 2015.

Pengambilan dan Analisis DataPengukuran keanekaragaman jenis pakan dilakukan dengan cara mencari lokasi bekas rusa timor merumput, kemudian membuat petak pengukuran berukuran 1m x 1m pada bekas merumput tersebut dan menghitung jumlah jenis dan jumlah rumpun yang ada di dalam petak tersebut. Jumlah petak pengukuran sebanyak 30 buah dan tersebar di seluruh areal penelitian. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dan memenuhi syarat analisis statistik selanjutnya. Metode yang digunakan untuk melihat keanekaragaman jenis pakan rusa timor di kawasan savana Tanjung T o r o n g P a d a n g d i g u n a k a n i n d e k s Keanekaragaman Shannon-Wiener (Magurran, 1988; Magurran, 2004) dengan menggunakan persamaan :

H' = - å pi. ln piKeterangan : H' = indeks Keranekaragaman Shannon-Wiener P = proporsi jumlah individu ke-i (n /N)i i

Nilai keanekaragaman jenis pakan yang diperoleh dibandingkan dengan kriteria indeks keanekaragaman menurut Odum (1998) pada Tabel 1.

HASIL DAN PEMBAHASANHasil inventarisasi jenis pakan yang ada di kawasan savana Tanjung Torong Padang adalah

seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 menunjukkan jenis pakan di kawasan savana Tanjung Torong Padang pada musim kemarau didominasi oleh jenis semak

dan/atau pohon (71,4%), sedangkan pada musim hujan didominasi oleh jenis rumput (70%).

Keanekaragaman jenis pakan di kawasan savana Tanjung Torong Padang pada musim hujan (indeks diversitas 1,7) lebih tinggi dibandingkan pada musim kemarau (indeks diversitas 1,3). Hal ini karena ada beberapa jenis tumbuhan yang sudah mati pada musim kemarau, namun tumbuh kembali pada musim hujan. Namun Magurran (1988) mengatakan para eko log memi l ik i kesu l i tan untuk menentukan apakah perbedaan nilai indeks s e p e r t i d i a t a s m e n u n j u k k a n b a h w a

I _rce mpg L gj_g

R endah <1

Sedang 1-3

T inggi >3

WARTA Edisi IX No.3 Desember 2016

Lm Nama lokal Nama latin Habitus Musim kemarau

1 Rengit Albizia lebbeck (L.) Benth. Semak/Pohon 2 Kurun Leersia hexandra Sw. Rumput 3 Wutha Excoecariaagallocha L. Semak/Pohon 4 Bangsi Lumnitzera racemosa Willd Semak/Pohon 5 Rumput sesor Sorghum timorense (Kunth) Rumput 6 Leli Barleria prionitis L. Semak

7 Kembo Morinda elliptica (Hook.f.) Ridl

Semak/Pohon

Musim hujan 1 Rengit Albizia lebbeck (L.) Benth. Semak/Pohon 2 Kurun Leersia hexandra Sw. Rumput 3 Kurun Pendek Festuca rubra subsp.

commutata Gaudin Rumput

4 Kusu Rusa Heteropogon contortus (L.) P.Beauv. ex Roem. & Schult.

Rumput

5 Kurun Sawat Urochloa reptans (L. ) Stapf.

Rumput

6 Kurun Tai Zarang

Urochloa subquadripara (Trin. ) R. D. Webster

Rumput

7 Garong Asystasia gangetica (L.) T.Anderson

Semak

8 Leli Barleria prionitis L. Semak 9 Kusu Rusa 2 Themeda triandra Forssk. Rumput

10 Kurun Satar Bothriochloa bladhii (Retz. ) S. T. Blake

Rumput

Tabel 1. Kriteria indeks keanekaragaman (Odum, 1998)

Tabel 2. Beberapa jenis pakan rusa timor di kawasan savana Tanjung Torong Padang

Sumber : Diolah dari data primer (2015)

Page 10: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

8

keanekaragaman tersebut sama atau berbeda. Magurran (1988) menjelaskan bahwa nilai indeks keanekaragaman (H') ini berhubungan dengan kekayaan spesies pada lokasi tertentu, tetapi juga dipengaruhi oleh distribusi kelimpahan spesies. Jika diasumsikan distribusi menyebar normal, maka pada kisaran 100 spesies akan didapatkan nilai H' ≈ 3, dan untuk mendapatkan H' > 5

5diperlukan 10 spesies.

Berdasarkan Kriteria Indeks Keanekaragaman menurut Odum (1998), keanekaragaman jenis pakan yang ada di kawasan Tanjung Torong Padang baik pada musim kemarau maupun musim hujan termasuk sedang (Tabel 3).

Menurut Umar (2013), suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman yang tinggi jika komunitas tersebut disusun oleh banyak spesies dengan kelimpahan spesies sama dan hampir sama. Sebaliknya, jika suatu komunitas disusun oleh sedikit spesies dan jika hanya sedikit spesies yang dominan maka keanekaragaman jenisnya rendah. Komunitas yang memiliki keanekaragaman yang tinggi lebih t idak mudah terganggu oleh pengaruh

lingkungan. Jadi, dalam suatu komunitas dimana k e a n e k a r a g a m a n n y a t i n g g i a k a n t e r j a d i interaksi spesies yang m e l i b a t k a n t r a n s f e r energi, predasi, kompetisi dan niche yang lebih k o m p l e k s . Keanekaragaman yang k e c i l t e r d a p a t p a d a komunitas yang ada pada daerah dengan lingkungan yang ekstrim, misalnya daerah kering dan tanah miskin. Kondisi ini seperti yang terdapat di kawasan savana Tanjung Torong P a d a n g , h a n y a a d a beberapa jenis rumput yang mendominasi di kawasan tersebut yaitu kusu rusa (Heteropogon contortus (L.) P.Beauv. ex Roem. & Schult.), kurun (Leersia hexandra Sw.), d a n k u r u n p e n d e k (Festuca rubra subsp. commuta ta Gaud in ) .

Sedangkan secara umum tipe savana di kepulauan Indonesia didominasi oleh spesies rumput seperti Andropogon, Heteropogon, Dichanthium, Bothr iochloa , Themeda,

Edisi IX No.3 Desember 2016 WARTA

Lm Jenis Pakan N Pi LnPi Pi*LnPi

A. Keanekaragaman jenis pakan pada musim kemarau

1 Rengit (Albizia lebbeck (L.) Benth.) 919 0,596366 -0,5169 -0,30826

2 Kurun (Leersia hexandra Sw.) 266 0,172291 -1,75857 -0,30299

3 Wutha (Excoecariaagallocha L.) 34 0,021739 -3,82864 -0,08323

4 Bangsi (Lumnitzera racemosa Willd) 86 0,055808 -2,88584 -0,16105

5 Rumput sesor (Sorghum timorense (Kunth)) 104 0,067489 -2,6958 -0,18194

6 Leli (Barleria prionitis L.) 18 0,011356 -4,47799 -0,05085

7 Kembo (Morinda elliptica (Hook.f.) Ridl) 115 0,074627 -2,59525 -0,19368

Jumlah 1.541 -1,282

H' = 1,3

B. Keanekaragaman jenis pakan pada musim hujan

1 Rengit (Albizia lebbeck (L.) Benth.) 468 0,249467 -1,38843 -0,34637

2 Kurun (Leersia hexandra Sw.) 229 0,122068 -2,10318 -0,25673

3 Kurun Pendek (Festuca rubra subsp. commutata Gaudin) 118 0,0629 -2,76621 -0,17399

4 Kusu rusa (Heteropogon contortus (L.) P.Beauv. ex Roem. & Schult.) 773 0,412047 -0,88662 -0,36533

5 Rumput sawat (Urochloa reptans (L. ) Stapf.) 29 0,015458 -4,1696 -0,06446

6 Rumput tai zarang (Urochloa subquadripara (Trin. ) R. D. Webster) 97 0,051706 -2,96219 -0,15316

7 Garong (Asystasia gangetica (L.) T.Anderson) 39 0,020789 -3,87334 -0,08052

8 Leli (Barleria prionitis L.) 75 0,039979 -3,21941 -0,12871

9 Kusu Rusa 2 (Themeda triandraForssk.) 19 0,010128 -4,59246 -0,04651

10 Kurun Satar (Bothriochloa bladhii (Retz. ) S. T. Blake) 29 0,015458 -4,1696 -0,06446

Jumlah 1876 -1,68024

H' = 1,7

Sumber : Diolah dari data primer (2015)

Tabel 3. Keanekaragaman jenis pakan pada musim kemarau (A) dan hujan (B) di kawasan savana Tanjung Torong Padang

Page 11: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

9

Hyparrhenia, Ischaemum, Chloris, Sorghum, Saccharum, dan Pennissetum (Van Steenis, 1958; Whyte, 1968 dalamCrowder dan Chheda, 1982).

Keberadaan beberapa jenis semak dan/atau pohon yang tahan kekeringan pada saat musim kemarau memberikan cadangan pakanuntuk rusa timor yang ada di kawasan savana Tanjung Torong Padang. Ewusie (1980) menjelaskan pada ekosistem savana, semak dan pohon yang tumbuh kebanyakan tahan terhadap kekeringan dan kebakaran. Sebagian besar terdiri dari anggota Leguminosae, salah satu jenis yang ada di kawasan Tanjung Torong Padang adalah rengit (Albizia lebbeck (L.) Benth.). Selanjutnya Ewusie (1980) mengatakan bahwa pada ekosistem savana terdapat perbedaan musim yang mencolok yang terdiri dari musim sejuk dan kering, musim hangat dan berhujan, dan musim panas dan kering. Musim sejuk dan kering ditandai dengan rumput mulai tumbuh, menandakan berakhirnya musim kering. Musim hangat dan berhujan ditandai dengan rumput mulai tebal dan pohon yang rapat. Sedangkan musim panas dan kering ditandai dengan rumput yang layu dan pohon yang meluruhkan daunnya. Kebakaran menyapu bersih rumput, tetapi tidak merusak pepohonan yang kebanyakan tahan api. Jenis pakan rengit (Albizia lebbeck (L.) Benth.) yang ada di kawasan Tanjung Torong Padang jika terbakar akan tumbuh kembali terubusan baru sebulan pasca terjadi kebakaran savana.

PENUTUPKeanekaragaman jenis pakan yang ada di kawasan savana Tanjung Torong Padang memberikan keuntungan bagi rusa timor yang ada di kawasan tersebut karena pakan selalu tersedia sepanjang tahun. Rusa timor tidak kekurangan pakan pada saat musim kemarau karena adanya jenis pakan semak dan/atau pohon yang tahan kekeringan. Sedangkan jenis rumput akan melimpah pada saat musim hujan sehingga

memberikan variasi pakan bagi rusa timor yang ada di kawasan savana Tanjung Torong Padang

DAFTAR PUSTAKAAlikodra, H. S. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa

Liar dalam rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. PT. Penerbit IPB Press. Bogor.

Ardhana, I.P.G. 2012. Ekologi Tumbuhan. Udayana University Press. Kampus Universitas Udayana Denpasar

Crowder, L.V., and H.R. Chheda. 1982. Tropical Grassland Husbandry. Longman Group Limited. New York.

Ewusie, J.Y. 1980. Pengantar : Ekologi Tropika; terjemahan Usman Tanuwidjaja. Penerbit ITB. Bandung.

Magurran, A.E. 2004. Measuring Biological Divers i ty.Blackwel l Publ i sh ing company. Malden Massachusetts. USA.

Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Princeton University Press. New Jersey.

Monk, K.A., Y.D. Fretes and G. Reksodiharjo-Lilley. 1997. The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Periplus Editions.

Morrison, M.L., B.G. Marcot, and R.W. Mannan. 2006. Wildlife-Habitat Relationships, Concepts and Applications. Third Edition. Island Press. Washington. Covelo. London.

Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada Univers i ty Press . Yogyakarta.

Suttie, J.M., S.G. Reynolds and C. Batello. 2005. Grasslands of the World. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome.

Umar, R. 2013. Penuntun Praktikum Ekologi Umum. Universitas Hasanuddin, Makassar.

WARTA Edisi IX No.3 Desember 2016

Page 12: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

10

oleh: Rahman Kurniadi, Herry Purnomo, Nurheni Wijayanto, Asnath Maria Fuah

DI HUTAN GUNUNG MUTIS

PENGENDALIANPENGGEMBALAAN LIAR

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan mengkaji upaya pengendalian penggembalaan liar di hutan gunung Mutis. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dengan masyarakat sekitar hutan dan stakeholders terkait. Hasil penelitian menunjukan, upaya pengendalian penggembalaan l iar dengan melarang masyaraka t menggemba lakan te rnak mengalami kegagalan karena resistensi masyarakat. Strategi lain yang dapat dilakukan adalah adalah dengan membatasi areal penggembalaan dan membatasi jumlah ternak di hutan gunung Mutis. Kata Kunci : mutis, sapi Bali, cagar alam, hutan lindung

PENDAHULUANPemerintah Daerah Kabuapten Timor Tengah Selatan (TTS) sedang berupaya meningkatkan produksi sapi potong melalui peningkatan populasi sapi. Hal ini memunculkan kebutuhan ikutannya yakni peningkatan produksi pakan ternak. Padahal luas padang gembala yang ada saat ini tidak memadai untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak. Konsekuensinya masyarakat melakukan penggembalaan di dalam hutan untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak. Situasi ini tentu menimbulkan masalah bagi kelestarian hutan. Keberadaan ternak di dalam kawasan

hutan dikhawatirkan akan mengganggu kelestarian hutan. Apabila ternak terkendali, penggembalaan liar yang diikuti praktik pembakaran hutan dapat mengubah hutan menjadi padang rumput secara permanen ( Piana dan Marsden , 2014). Menurut Piggin (2003) Sapi Bali pertama kali dikenalkan oleh Pemerintah Belanda kepada masyarakat di Pulau Timor pada tahun 1912. Jenis sapi ini mudah beradaptasi dengan baik di daerah ini. Namun demikian pengembangan sapi Bali tersebut tidak diikuti dengan penanganan masalah pakan. Masyarakat setempat melakukan penggembalaan liar di hutan untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak.Meski pihak kehutanan telah berupaya mengeluarkan sapi dari kawasan hutan, namun upaya tersebut gagal karena adanya penolakan dari masyarakat sekitar hutan.Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji upaya pengendalian penggembalaan liar di hutan gunung Mutis.

METODE PENELITIANPenelitian ini dilakukan di hutan gunung Mutis (Gambar 1). Data dikumpulkan dengan cara melakukan wawancara dengan masyarakat sekitar hutan, pihak Balai Besar Konservasi sumberdaya Hutan Nusa Tenggara Timur (BBKSDA NTT), Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Mutis Timau (KPHL Mutis

| FO

KUS

|

Edisi IX No.3 Desember 2016 WARTA

Page 13: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

11

Timau), Dinas Kehutanan Kab. Timor Tengah Selatan, Dinas Peternakan Kabupaten Timor Tengah Selatan, dan World Wildlife Fund (WWF). Wawancara terhadap masyarakat sekitar hutan dilakukan di desa Fatumnasi dan Desa Nenas. Keduadesa tersebut dipilih karena berbatasan langsung dengan hutan Mutis. Dari tiap desa dipilih 18 peternak sapi sebagai responden. Wawancara juga dilakukan di Kupang terhadap pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Kupang. Analisis data dilakukan secara secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASANKeadaan umum lokasi penelitianDisekitar hutan Mutis terdapat 16 Kecamatan dan sebagian besar masyarakatnya di melakukan usaha peternakan. Menurut Biro Pusat Statistik (2015) jumlah ternak yang ada di sekitar Hutan Mutis dan di dalam kawasan Hutan Mutis berjumlah 102.612 ekor (Tabel 1). Menurut Kahodkk (2010), 46%- 73% populasi ternak yang berada di sekitar hutan Mutis digembalakan di dalam kawasan hutan. Tabel 1 menggambarkan, peternakan sangat berperan bagi masyarakat sekitar hutan. Rata-rata kepemilikan ternak 6,74 ternak/kk.

Namun demikian jumlah ternak yang banyak ter sebut d ikhawat i rkan mengganggu

kelestarian hutan. Kelemahan penggembalaan liar adalah produktivitasnya yang rendah. Hal ini disebabkan rendahnya tingkat kelahiran dan tingginya angka kematian(Mullik dan Jelantik, 2009). Pertambahan populasi hanya sekitar 10% per tahun. Kelemahandari sistem ini meiliki dampak buruk pada lingkungan. Jika dilakukan di desa, sistem ini merusak areal pertanian. Sedangkan jika dilakukan di hutan, sistem ini mengganggu regenerasi pohon (Garrett et al., 2004). Gambar 2 menunjukan p a d a h u t a n y a n g d i g u n a k a n u n t u k penggembalaan liar memiliki jumlah vegetasi tingkat semai yang rendah sehingga regenerasi pohon terganggu. Kelemahan dari sistem ini rawan terhadap tindakan pencurian. Oleh

WARTA Edisi IX No.3 Desember 2016

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

L m Nama Kecamatan sapi Kerbau Kuda Jumlah Ternak

1 Kec. Amfoang Selatan

3576 8 87 3671

2 Kec. Amfoang Utara 4725 56 47 4828

3 Kec. Amfoang Barat Laut

7000 197 124 7321

4 Kec. AmfoangTimur 6680 242 53 6975

5 Kec. Amfoang Tengah

8001 106 741 8848

6 Kec. Mollo Utara 10602 5 204 10811

7 Kec. Fatumnasi 8656 3 487 9146

8 Kec. Polen 7585 85 24 7694

9 Kec. Mollo Barat 10303 76 5 10384

10 Kec. Tobu 5470 1 32 5503

11 Kec. Mollo Tengah 3303 0 0 3303

12 Kec. Nunbena 4350 0 4 4354

13 Kec. Miomaffo Barat

5973 107 0 6080

14 Kec. Musi 2162 0 0 2162

15 Kec. Mutis 8990 20 116 9126

16 Kec. BikomiNilulat 2402 3 1 2406

Jumlah 99778 909 1925 102.612

Tabel 1. Jumlah ternak di sekitar hutan gunung Mutisdata dilakukan secara secara deskriptif.

Sumber : Biro Pusat Statistik, 2015

Page 14: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

12

karena itu sistem ini hanya ada pada daerah yang memiliki tingkat pencurian ternak rendah.

Respon para pihak terhadap larangan penggembalaan liarPemerintah telah membuat peraturan yang melarang penggembalaan liar pada Cagar Alam dan Hutan lindung. Pihak-pihak terkait umumnya setuju dengan adanya larangan tersebut (Tabel 2). Hanya saja masyarakat sekitar hutan tidak setuju dengan peraturan tersebut.

Tabel 2 menjelaskan bahwa hanya pihak peternak /masyarakat lokal yang tidak setuju

dengan adanya larangan penggembalaan di hutan. Adanya penolakan tersebut membuat penggembalaan liar di hutan gunung Mutis tidak dapat dihentikan. Pada kasus ini masyarakat menjadi pihak yang menyebabkan

upaya pengeluaran ternak dari hutan mengalami kegagalan.

Upaya untuk menghentikan penggembalaan liar Upaya pertama yang dilakukan untuk mengendalikan penggembalaan liar di hutan gunung Mutis dengan mengeluarkan ternak dari kawasan hutan. Dalam upaya menjaga kelestarian hutan di gunung Mutis, terdapat b e b e r a p a p e r a t u r a n y a n g m e l a r a n g penggembalaan di kawasan hutan. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam terdapat larangan penggembalaan ternak di Cagar Alam. Sementara itu pada Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.47/Menhut-II/2013 tentang Pedoman, Kriteria Dan Standar Pemanfaatan Hutan Di Wilayah Tertentu Pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi terdapat peraturan yang mengharuskan adanya izin jika ingin memanfaatkan hutan lindung. Hingga kini tidak ada izin yang dikeluarkan untuk menggembalakan ternak di gunung Mutis. Namun demikian peraturan tersebut sulit diimplementasikan karena adanya penolakan dari masyarakat sekitar hutan. KPHL Mutis Timau dan BBKSDA NTT telah menyadari adanya penolakan dari masyarakat sek i tar hutan j ika ternak dikeluarkan dari dalam kawasan hutan.Maka dari itu dirumuskan beberapa alternatif untuk mengatasi masalah tersebut. Alternatif pertama adalah ternak dikeluarkan dari kawasan hutan tetapi masyarakat diizinkan mengambil pakan ternak dari hutan. Sebagian besar masyarakat tidak setuju dengan alternatif ini. Masyarakat memandang sistem pemeliharaan ini

Edisi IX No.3 Desember 2016 WARTA

Gambar 2. Kondisi hutan yang digunakan untuk penggembalaan (pertumbuhan vegetasi tingkat semai rendah).

Ngf _i � rcpi _gr P ersep si

B B K S D A N T T S etu ju

D in as P e tern ak an S e tu ju

D in as K eh u tan an K ab u p aten K u p an g S e tu ju

D in as K eh u tan an S e tu ju

P e tern ak / m as yarak a t sek ita r h u tan T id ak se tu ju

W W F (L S M ) S etu ju

Tabel 2. Respon para pihak terhadap larangan penggembalaan di hutan.

Page 15: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

13

memerlukan biaya tenaga kerja yang cukup tinggi.Sedangkan alternatif kedua adalah pemerintah mengizinkan penggembalaan ternak didalam kawasan hutan tetapi p e m e r i n t a h m e m b a t a s i l u a s a r e a l penggembalaan ternak dan membatasi jumlah ternak yang ada di dalam kawasan hutan. Dari hasil wawancara, sebagian besar masyarakat menyetujui alternatif ini. Namun demikian pihak kehutanan tidak setuju adanya ternak di dalam kawasan hutan. Dengan melihat kondisi sosial budaya masyarakat saat ini, alternatif kedua merupakan alternatif yang paling memungkinkan untuk mengendalikan penggembalaan liar di hutan gunung Mutis. Untuk mengimplementasikan alternatif ini pe r lu d ibua tkan zona khusus un tuk penggembalaan ternak sehingga ternak yang ada di dalam kawasan hutan lebih terkendali dan tidak merusak kawasan hutan lainnya. Pada zona ter sebut dapat d i l akukan penggembalaan secara terkontrol di bawah tegakan hutan.

KESIMPULANPeningkatan produksi ternak yang tidak diimbangi dengan upaya penyediaan pakan ternak berdampak pada kelestarian hutan. Terdapat dua alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut. Alternatif pertama adalah ternak dikeluarkan dari kawasan hutan tetapi masyarakat diberi izin untuk mengambil rumput dari kawasan hutan. Alternatif kedua adalah masyarakat diizinkan melakukan penggembalaan di dalam hutan tetapi dilakukan pembatasan terhadap areal penggembalaan dan jumlah ternak. Dilihat dari kondisi sosial budaya saat ini, alternatif kedua merupakan opsi paling memungkinkan untuk dilakukan guna mengatasi permasalahan penggembalaan liar di hutan gunung Mutis.

DAFTAR PUSTAKABiro Pusat Statistik. 2015. Kabupaten Timor

Tengah Selatan Dalam Angka. BPS. Soe Dinas Peternakan Kab. Timor Tengah Selatan.

2015. Statistik Ternak di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Tidak diterbitkan.

Garrett, H.E., Kerley, M.S., Ladyman, K.P., Walter, W.D., Godsey, L.D., Sambeek, V., B r a u e r, D . K . . 2 0 0 4 . H a r d w o o d silvopasture management in North America. Agroforestry Systems, 61:21-33.

Kaho, L.M.R., Nalle, A.A., Nomeni, Y.F., Sole, R.A., Victoriano, B.A., Tao, A., Messakh, O.S., Aithur, M., Kaho, U.J.R.. 2010. Penilaian ekonomi sumberdayakawasan CA Mutis. Tidak diterbitkan.

Mullik, M. danJelantik, I.G..2009. Strategi peningkatan produktivitas sapi bali pada sistem pemeliharaan ekstensif di daerah lahan kering: pengalaman Nusa Tenggara T i m u r . P r o s i d i n g s e m i n a r nas iona lpengembangan sap i Ba l i berkelanjutan dalam sistem peternakan rakyat. Mataram, 28 Oktober 2009.

Piana, R.P., dan Marsden, S.J.. 2014. Impacts of cattle grazing on forest structure and raptor distribution within a neotropical protected area. BiodiversConserv, 23:559–572

Piggin, C.M..2003. The role of Leucaena in s w i d d e n c r o p p i n g a n d l i v e s t o c k p r o d u c t i o n i n N u s a Te n g g a r a T i m u r P r o v i n c e , I n d o n e s i a . I n : Agriculture: New Directions for a New Nation East Timor (Timor-Leste). ACIAR Proceedings :115–129.

WARTA Edisi IX No.3 Desember 2016

Page 16: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

14 Edisi IX No.3 Desember 2016 WARTA

PENDAHULUAN Desa Satar Lenda yang berada di Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai tidaklah dikenal luas masyarakat Indonesia, terlebih masyarakat dunia. Beda halnya dengan Kampung Waerebo yang namanya sudah melanglang buana ke seantoro dunia. Bahkan, banyak orang menyebut Waerebo sebagai Desa. Baik dalam arti sistem pemerintahan maupun dalam arti sistem sosial budaya. Padahal, Waerebo hanyalah sebuah dusun dari Desa Satar Lenda. � Mungkin karena letaknya yang jauh dari pusat pemerintahan Desa Satar Lenda, banyak yang menyangka bahwa Waerebo adalah Desa tersendiri. Atau, bisa jadi karena Waerebo memiliki sistem sosial budaya yang kuat yang menyandarkan hidupnya pada aturan adat, memiliki keunikan tata ruang lingkungan yang serasi dengan alam dan mempertahankan

keutuhan tujuh buah rumah adat berbentuk kerucut yang berbeda dari rumah-rumah penduduk Desa Satar Lenda pada umumnya. � Penggunaan internet yang massif, terutama media sosial, menerbitkan tren gaya hidup eksibisionis dengan mengunggah apapun soal kehidupan pribadi kepada publik. Menjadi “online travelers” yang berbagi foto maupun video perjalanannya ke media maya tersebut pun banyak digemari. Popularitas Waerebo salah satunya diraih melalui jalur ini.� Waerebo sesungguhnya memang layak untuk menjadi destinasi wisata. Selain letak geografisnya yang unik dikelilingi puncak-puncak gunung, wisatawan bisa merasakan betapa harmonis kehidupan penduduk Waerebo, baik dengan lingkungan di sekitarnya maupun kepada Sang Maha Pencipta. Refleksi relasi manusia-alam-Tuhan menjadi hal lumrah mewarnai hari-hari di sana. Namun, apa

| FO

KUS

|

MITOLOGI

MBARU NIANGRelasi Manusia, Alam, dan Tuhan

di Kampung Waerebo

Oleh : Budiyanto Dwi Prasetyo

Page 17: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

15WARTA Edisi IX No.3 Desember 2016

sesungguhnya yang membuat keharmonisan itu bisa terpelihara? Tulisan ini akan membahas segitiga relasi manusia-alam-Tuhan dengan melalui pendekatan narasi deskriptif.

SAKRALITAS BENTUK LINGKARANHarmonisasi kehidupan penduduk Kampung Waerebo tidak terjadi dengan sendirinya. Pola

kehidupan masyarakat Waerebo didasari pada sebuah filosofi yang terpusat pada Gendang dan Gong dan Rumah Utama Mbaru Niang

(rumah bulat atau disebut pula rumah gendang). Gendang dan Gong merupakan artefak yang disakralkan masyarakat Waerebo. Penggunaannya hanya diperbolehkan pada waktu tertentu yang ditetapkan ketua adat. Misalnya saja untuk memanggil warga berkumpul di Rumah Gendang, mengiringi ritual dan doa kepada leluhur, hingga menggelar tari-tarian adat seperti Tari Caci. � Bangunan Mbaru Niang merupakan

simbolisasi atas eksistensi keadilan, hak dan kewajiban bagi masyarakat Waerebo. Nilai-nilai luhur itu terus dijaga guna menciptakan harmonisasi kehidupan baik antar sesama penduduk, maupun dengan alam dan dengan Tuhan. Maka dari itu, tugas berat pemangku adat adalah menjaga benda-benda pusaka yang diwariskan leluhur mereka. Termasuk menjaga Mbaru Niang agar tetap berdiri kokoh dan menjadi tempat yang aman menyimpan benda-benda pusaka.� Konsepsi bentuk bulat atau lingkaran bagi masyarakat Waerebo merupakan konsepsi sakral. Hampir diseluruh sistem pemanfaatan tata ruang dan struktur bangunan berlandaskan pada konsepsi bulat. Misalnya, rumah adat dibuat berbentuk bulat mengerucut. Compang atau tempat ritual upacara adat di depan Rumah Gendang Mbaru Niang juga berbentuk

Mbaru Niang Waerebo

Lodok Cancar di Ruteng

Gendang dan Gong di dalam Rumah Niang Maro

Page 18: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

16 Edisi IX No.3 Desember 2016 WARTA

bulat. Tata letak tujuh buah rumah adat Mbaru Niang diposisikan melingkar atau membentuk lingkaran. Dengan begitu, halaman yang terbentuk di tengah-tengah tujuh rumah itu otomatis berbentuk lingkaran pula.� Lebih jauh lagi, sistem pemanfaatan dan pembagian lahan (lingko) juga dibuat menurut kaidah lingkaran atau Niang. Penduduk Waerebo menyebut sistem ini sebagai lodok, atau titik pusat (poros) yang menjadi acuan awal pembagian lahan berbentuk lingkaran. Prinsipnya sama seperti rumah Mbaru Niang. Ketika atap rumah direbahkan, maka titik tengah (lodok) rumah akan menjadi poros bagi garis-garis atau jari-jari lingkaran tersebut. Sistem lodok ini banyak digunakan di daratan Manggarai , Flores . Sebagian suku di Manggarai percaya bahwa asal mula sistem lodok adalah dari Mbaru Niang Waerebo. Secara visual, jika di lihat dari atas, lahan ini berbentuk lingkaran seperti sarang laba-laba. Salah satu lodok yang terkenal adalah Lodok Cancar, di dekat Kota Ruteng, Manggarai Barat. MITOLOGI MBARU NIANGDi balik cerita fenomenal tentang konsepsi bulat dan lingkaran tersebut terdapat sebuah mitologi yang mengiringinya. Menurut Joseph Katub, salah satu tokoh adat masyarakat Waerebo, konsep lingkarang, bulat, atau huruf “O” yang diaplikasikan masyarakat Waerebo berasal dari leluhur mereka yang menyakralkan tempat yang terpilih (kini kampung Waerebo) sebagai tempat tinggal yang aman dan kelak akan membawa keberkahan buat mereka.

Menurut mitos yang dipercaya, penduduk Waerebo dulunya bukanlah penduduk asli daratan Flores. Mereka m e l a i n k a n s e k e l o m p o k g r u p ( k l a n ) pengembara dari Minang Kabau, Sumatera Barat. Hal itu diketahui dari kisah Maro (Kakek

Maro), seorang pemimpin klan yang berkelana dan mengakhiri pengembaraannya di lembah gunung yang kini di kenal dengan nama Waerebo. � Mitos itu tersebut menceritakan bahwa tidak diketahui kapan Maro dan rombongannya tiba pertama kali di Flores. Namun, Yoseph Katup menuturkan bahwa mereka adalah n e n e k m o y a n g p e n d u d u k Wa e r e b o . Dikisahkan bahwa Maro dan pengikutnya pertama kali masuk ke Flores melalui Weriloka (Labuan Bajo). Lalu mereka menyusuri pantai menggunakan perahu hingga ke Nangapang (sebelah Timur Kota Iteng). � Lalu lanjut ke Todo dan membangun beberapa Rumah Niang (bulat) di sana. Di Todo, mereka menetap cukup lama. Hingga akhirnya memutuskan untuk kembal i menjelajah ke Popo, Liho, Modo (sebelah Barat Lembor Selatan), Ndara (kini sudah menjadi kebun kopi) dan pindah lagi ke Regang (merupakan salah satu titik sakral dari tujuh titik bagi Kampung Waerebo). Setelah itu Maro dan pengikutnya hijrah ke Golonamu (sebelah barat Denge) dan ke Golopando (sebelah taman baca Denge sekarang). � Maro dan kelompok klannya menetap cukup lama (lebih dari setahun) di setiap tempat yang disinggahi. Dia mencari-cari tempat yang pas untuk dijadikan Kampung untuk menetap dimana terdapat tanah subur dan jauh dari wabah penyakit. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka Maro akan mencari tempat tinggal baru. � Menurut Joseph Katup, Waerebo merupakan tempat yang dijanjikan dalam mimpi Maro ketika menetap di Golopando. Saat Maro tertidur di malam hari, dia mimpi didatangi seorang tua yang mengaku dari Ulu Waerebo (sebuah hutan lebat sebelah utara Kampung Waerebo dimana terdapat sumber

Page 19: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

17WARTA Edisi IX No.3 Desember 2016

mata air yang dikenal dengan nama mata air Waerebo). � “Orang itu bilang: 'Maro, kalau kamu mau tinggal di sini, kamu jangan tinggal di tempat ini (Golopando), turunlah ke bawah (Kampung Waerebo sekarang). Buatlah rumahmu di bawah sana dan nanti kamu beri nama tempat itu Waerebo. Karena waerebo itu adalah tempat saya yang di utara sana. Selain tempat saya nanti masih ada enam tempat pelindung/pengawal kamu. Nanti kalau kamu hidup di bawah (Waerebo), hidup kamu nanti akan men jad i ba i k , pe r t an i an kamu menghidupkan, dan keluarga kamu nanti akan berkembang dan menguasai daerah ini,'” Tutur Joseph Katup. � Maka dipilihlah tempat yang kini menjadi Kampung Waerebo sebagai tempat tinggal Klan Maro. Kakek Maro pula yang membangun Rumah Gendang (utama) Mbaru Niang untuk pertama kalinya. Sehingga rumah itu dinamakan Mbaru Niang Maro (Rumah Bulat Maro). Secara gografis, tempat tersebut ternyata terletak di tengah-tengah lingkaran puncak-puncak gunung, dimana terdapat tujuh titik yang disakralkan penduduk Waerebo.

RELASI MANUSIA-ALAM-TUHANMasyarakat Waerebo memiliki kepercayaan tentang tiga hal yang saling kait-mengait. Tiga hal itu adalah Mori (Tuhan), leluhur (klan Maro), dan kekuatan alam (tujuh titik sakral). Tiga entitas ini saling jalin-menjalin mengisi pemahaman masyarakat Waerebo tentang kehidupan. Maka, dalam praktek keseharian, terdapat momen-momen sakral bagi mereka untuk berkomunikasi dengan tiga hal itu

Wawancara dengan Alex Ngadus, Ketua Adat Waerebo di dalam Mbaru Niang kediamannya.

Lm, Titik Sakral Bentuk 1. Ulu Waerebo Mata Air terdapat di

sebelah Utara Kampung Waerebo

2. Regang Mata Air terdapat di sebelah kanan Ulu Waerebo.

3. Ponto Nao Puncak bukit dan hutan 4. Polo Gunung batu dan

tembusan sungai Waerebo yang mampu menahan banjir besar dan mencegah banjir di Kampung Waerebo.

5. Goloponto Puncak bukit 6. Hembel Pohon Kayu berdiameter

lebih dari 3 meter. 7. Golomehe Puncak bukit

Page 20: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

18 Edisi IX No.3 Desember 2016 WARTA

melalui ritual-ritual. Hal ini ditujukan untuk memohon keselamatan, kesehatan, dan kesempurnaan hasil panen.� Menurut Ketua Adat Waerebo, Alex Ngadus, penduduk Waerebo mempercayai kekuatan alam dengan menyakralkan tujuh lokasi titik terletak di sekitar kampung sebagai pelindung Kampong Waerebo. Keberadaan titik sakral itu tersebar melingkari Kampung Waerebo dengan Ulu Waerebo berada di tengahnya. Ketujuh titik itu dijelaskan dalam tabel 1.�Tabel 1. Tujuh Titik Sakral Kampung WaereboSumber: wawancara dengan Yoseph Katub� Penduduk Waerebo selalu melakukan ritual untuk berkomunikasi, baik itu dengan Mori, Leluhur, maupun ketujuh tempat sakral i tu . Kesakra l an tu juh tempat i tu d i manifestasikan dalam bangunan tujuh Rumah Niang (bulat) dengan Mbaru Niang Maro berada di tengah. Rumah Niang adalah simbol keberadaan titik-titik sakral tersebut. Tata letak rumah itu diwariskan Maro dan pengikutnya secara turun-temurun. Dengan begitu, masyarakat Waerebo merasa tidak hidup sendiri di tengah-tengah puncak gunung, melainkan ada yang mengawal mereka yakni Tuhan Mori, Leluhur, dan 7 titik sakral. Tujuh titik sakral itu pula yang mendasari filosofi lingkaran dan bentuk bulat pada sistem tata ruang serta sistem sosial budaya masyarakat Waerebo.

Di sisi lain, relasi manusia dengan alam dapat dilihat dari ritual Kasawiang, yakni selamatan pergantian musim (pancaroba) pada

bulan Mei dan Oktober. Ritual Penti atau Perayaan Tahun Baru Waerebo setiap 16 November juga merefleksikan relasi tersebut. Momen sakral itu dijadikan masyarakat Waerebo sebagai pengingat untuk tetap berkomunikasi kepada Mori, Leluhur, dan tujuh titik alam semesta untuk mengharap keselamatan dan kesejahteraan. Melalui ritual itu, mereka akan selalu mengontrol diri untuk tidak mengeksploitasi hutan secara berlebihan.

KESIMPULANPopularitas Waerebo telah menjadi magnet bagi wisatawan domestik dan internasional. Namun, kehadiran wisatawan itu hanya ingin menikmati keindahan alam, keunikan Mbaru Niang, dan keramahan penduduk Waerebo. Padahal, magnet wisata Kampung Waerebo akan terus menarik pengunjung jika kondisinya mampu dipertahankan. Nilai-nilai budaya, mitologi, tempat-tempat sakral, bentang alam dan prinsip hidup penduduk Waerebolah yang mampu membuatnya bertahan. Perlu d u k u n g a n d a r i s e m u a p i h a k u n t u k menjadikannya tetap lestari. Tidak dengan memodernisasi penampilan fisik kampung dan perilaku penduduknya. Melainkan dengan mendampingi penduduk untuk tetap setia pada akar budayanya. []

Catatan: Tulisan ini disarikan dari laporan perjalanan data collection Penelitian “Peran H u k u m A d a t t e r h a d a p P e n g e l o l a a n Lingkungan Hidup dan Kehutanan” tahun 2016.

Page 21: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

19WARTA Edisi IX No.3 Desember 2016

| FO

KUS

|

di Nusa Tenggara Timur

Oleh : M. Hidayatullah

KEBIJAKANPENGELOLAAN

MANGROVE

PENDAHULUANMangrove memiliki banyak fungsi dan manfaat serta turut berperan dalam pembangunan nasional. Kusmana, C, dkk (2003) mengatakan bahwa fungsi magrove dapat dikategorikan kedalam 3 (tiga) macam yaitu : fungsi fisik, fungsi ekologis dan fungsi ekonomis. Sementara itu Anwar dan Gunawan, (2007) menambahkan bahwa mangrove juga memiliki fungsi sosial dan budaya. Keberadaan mangrove tidak dapat dipisahkan dengan aktifitas masyarakat pesisir dalam pemenuhan kehutuhan hidup, seperti pemenuhan kebutuhan kayu bakar, bahan bangunan maupun bahan pembuatan kapal. Konversi hutan mangrove menjadi area budidaya tambak, pembangunan area industri, p e l a b u h a n s e r t a b e b e r a p a a k t i f i t a s pembangunan lainnya merupakan contoh kontribusi hutan mangrove bagi pembangunan nasional. Selain itu, hutan mangrove juga m e n j a d i w i l a y a h p e n t i n g d a l a m perkembangbiakan beragam satwa seperti ikan, udang, kepiting bahkan beberapa jenis burung tertentu menjadikan hutan mangrove sebagai habitatnya. Mangrove juga dapat

menjadi tempat wisata dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan fungsi yang sangat kompleks tersebut, seharusnya mangrove mendapat perhatian semua pihak sehingga eksistensi keberadaannya dapa t t e r j aga secara berkelanjutan. Aktifitas pembangunan yang menggunakan kawasan hutan mangrove perlu memperhatikan daya dukungnya sehingga aktifitas pembangunan tersebut dapat meminimalisir dampak yang ditimbulkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam pengelolaan hutan mangrove adalah dengan menyusun sejumlah peraturan atau kebijakan p e m b a n g u n a n y a n g m e n g a k o m o d i r keberadaan dan keber lanjutan hutan mangrove.

PERATURAN PERATURAN MANGROVESalah satu konsep yang dikembangkan dalam pengelolaan hutan mangrove adalah konsep enabling environment yaitu suatu konsep yang berdasar pada pelibatan multi pihak dalam pengelolaan hutan mangrove. Dalam konsep ini akan dikaji tentang semua kebijakan yang terkait dengan mangrove dan pihak mana saja

Page 22: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

20 Edisi IX No.3 Desember 2016 WARTA

yang terlibat dalam pengelolaan mangrove sehingga pada akhirnya dapat dirumuskan sebuah konsep yang sesuai untuk pengelolaan hutan mangrove pada suatu wilayah (Huda, 2008). Sejumlah peraturan dan kebijakan nasional telah diterbitkan tekait dengan pengelolaan kawasan pesisir dan hutan mangrove. Pada skala nasional, terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan kawasan pesisir maupun yang secara spesifik terkait dengan hutan mangrove. Beberapa peraturan dimaksud antara lain adalah : Undang-undang dasar tahun 1945 Pasal 33 ayat 3, Undang-undang nomor 11 tahun 1974 tentang Perairan, Undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintah Desa, Undang-undang nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang nomor 5 tahun 1985 tentang Perikanan, Undang-undang nomor 28 tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang K o n s e r v a s i S u m b e r D a y a A l a m d a n Ekosistemnya, Undang-undang nomor 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan, Undang-undang nomor 15 tahun 1990 tentang Usaha Perikanan, Undang-undang nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan serta Undang-undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (Noor, Y. R, 2006) Sejumlah kebijakan pemerintah tentang pembuatan jalur hijau disepanjang garis pantai juga te lah ada se jak lama, beberapa diantaranya: SK Dirjen Perikanan Nomor : H.I/4/2/18/1975 yang mengatur perlunya mempertahankan areal sepanjang pantai

selebar 400 meter, SK Dirjen Kehutanan Nomor : 60/KPTS/DJ/I/1978 tentang Panduan Silvikultur Air Payau, ditetapkan 10 meter disepanjang sungai dan 50 meter disepanjang pantai pada pasang terendah. Selanjutnya Surat Keputusan Bersama (SKB) menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor KB.550/246/KPTS/1984 dan Nomor : 082/KPTS-II /1984 yang menghimbau pelestarian jalur hijau selebar 200 meter d i s e p a n j a n g p a n t a i d a n p e l a r a n g a n penebangan mangrove di jawa. Pada tahun 1990 dikeluarkan SK Presiden Nomor 32 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, yang menggantikan seluruh peraturan terdahulu mengenai jalur hijau. Dalam SK ini disebutkan bahwa jalur mangrove pantai minimal 130 kali rata-rata pasang yang diukur ke darat dari titik terendah pada saat surut (Noor, Y. R. 2006). Sedangkan yang terkait dengan penetapan jalur hijau mangrove adalah Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor : 26 tahun 1997 kepada Kepala Daerah untuk melakukan penetapan jalur hijau mangrove di daerahnya masing-masing. Semua kebijakan tersebut diatas mempunyai satu kesamaan yaitu pentingnya menjaga keberadaan hutan disepanjang sungai dan pantai dalam mendukung kelangsungan hidup mahluk hidup termasuk manusia. Perbedaan jumlah (luasan) lahan yang harus dipertahankan dalam beberapa keputusan tersebut hanyalah perbedaan sudut pandang dalam melihat kemampuan hutan dalam menjaga l ingkungan seki tarnya serta perbedaan karakteristik lingkungan. Secara garis besar kebijakan pengelolaan hutan mangrove nasional bertujuan dalam pencapaian 4 (empat) poin utama yaitu : 1). Pengelolaan hutan lestari seperti yang tercantum dalam UU nomor 41 tahun 1999

Page 23: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

21WARTA Edisi IX No.3 Desember 2016

pasal 2 bahwa pengelolaan hutan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keterpaduan, keadilan, keterbukaan dan kebersamaan, 2). Desentralisasi kewenangan pengelolaan, dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah pada pasal 14 ayat 1 disebutkan bahwa penyelenggaraan urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Propinsi, sedangkan dalam ayat 2 disebutkan bahwa urusan pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota, 3). Konservasi dan Rehabilitasi secara partisipatif, seperti yang tercatat dalam UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, disebutkan dalam pasal 16 bahwa penggunaan dana reboisasi sebanyak 60% untuk Pemerintah Pusat yang digunakan untuk rehabilitasi hutan dan lahan secara nas ional serta 40% diperuntukan buat pemerintah daerah dipergunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Kabupaten/Kota penghasil. 4). Pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan mangrove.

KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DI NTT Pada tahun 1997 telah disusun Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove (SNPEM), sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam pengelolaan hutan mangrove secara tepat dan terpadu. Selanjutnya SNPEM tersebut diperbaharui dengan mempertimbangkan konteks kekinian seperti adanya undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

yang memberikan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumberdaya alam, terbentuknya Kementerian Perikanan dan Kelautan yang sebagian tupoksinya mengelola wilayah pesisir dan laut, belum sinerginya program-program pengelolaan hutan mangrove yang dilakukan para pihak sehingga diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 73 tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang baru, sebagai ganti SNPEM sebelumnya. Bersamaan dengan peraturan presiden tersebut kemudian dibentuk Kelompok Kerja Mangrove Nasional (KKMN). S e l a n j u t n y a m a s i n g m a s i n g d a e r a h membentuk Kelompok Kerja Mangrove Daerah Tingkat I ( KKMD Propinsi) dan Tingkat II (KKMD Kabupaten). Sama seperti halnya pada tingkat nasional, keberadaan KKMD bertujuan untuk memudahkan koordinasi dan menyelaraskan kegiatan pengelolaan hutan mangrove. Pada wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) selain KKMD Propinsi, beberapa kabupaten juga telah membentuk KKMD Kabupaten . Ha l in i d i l akukan agar pengelolaan hutan mangrove di NTT dapat berjalan dengan baik melalui koordinasi lintas sektoral dan mensinergikan semua komponen terkait, sehingga keberadaan hutan mangrove dapat memberi nilai positif dalam aktifitas pembangunan. Namun demikian, sejauh ini belum banyak data/laporan yang bisa diperoleh terkait dengan kegiatan yang dilakukan oleh KKMD Propinsi dan KKMD Kabupaten di NTT. Propinsi NTT memiliki garis pantai sepanjang 5.785 km, dengan 432 pulau yang sudah terdaftar dan 808 desa pesisir. Kondisi ini menyebabkan pemerintah Propinsi NTT memberi perhatian yang serius terhadap

Page 24: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

22 Edisi IX No.3 Desember 2016 WARTA

pengelolaan kawasan pesisir, karena potensi mangrove secara t idak langsung akan berdampak terhadap kehidupan masyarakat terutama pada desa-desa pesisir. Sebagai wujud dari perhatian tersebut, pemerintah NTT telah menerbitkan sejumlah Peraturan Daerah (Perda) yang terka i t dengan pengelolaan hutan mangrove diantaranya : Perda Nomor 4 t ahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut, Perda Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau Kecil. Selain itu pengelolaan kawasan pesisir dalam jangka panjang juga telah diakomodir dalam Perda Nomor 1 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Nusa Tenggara Timur tahun 2010-2030. Secara keseluruhan Propinsi NTT memiliki hutan mangrove seluas 40.614,11 ha, dengan rincian kondisi : 20,41 % dalam keadaan tanpa tanaman (gundul), 48,16% dalam keadaan rusak dan 31,43 % yang dalam kondisi baik (hutan lebat) (BPHM Wilayah I Bali, 2011). Kerusakan hutan mangrove berpontesi terus terjadi karena tekanan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan ruang dan berbagai kebutuhan lain terus meningkat. Untuk memperbaiki kondsi tersebut tersebut , berbagai pihak pihak terus melakukan kegiatan penanaman atau pemberdayaan kelompok tani mangrove di wilayah Nusa Tenggara Timur, antara lain : Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah I Bali (BPHM Wil I Bali, 2011), selama periode 2007 – 2011, kegiatan penanaman atau reabilitasi hutan mangrove untuk wilayah NTT dilakukan pembuatan area model sebanyak 20.000 anakan pada tahun 2011, pada tahun 2010 sedianya direncanakan pembuatan area model dengan menanam sebanyak 100.000

anakan tetapi tidak direalisasikan. Selain itu juga dilakukan pembentukan Forum Kelompok Kerja Mangrove sebanyak 75 orang (tidak disebutkan lokasinya) serta pelatihan pengelolaan Mangrove bagi Masyarakat sebanyak 30 orang di Kabupaten Alor dan pelatihan pengelolaan mangrove bagi masyarakat dan petugas dinas sebanyak 60 orang di Rote. Kegiatan penanaman dan rehabilitasi yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina (BPDAS BN) periode tahun 2004-2009 total jumlah yang ditanam adalah seluas 4.642 Ha. Berdasarkan data dari BPDAS BN (2010), pada periode tahun 2004-2005 telah dilakukan kegiatan penanaman mangrove paling banyak yaitu 1.075 ha pada tahun 2004 dan sebanyak 2.250 ha pada tahun 2005. Sedangkan antara tahun 2006 – 2009 jumlah lahan yang direhabilitasi semakin menurun yaitu berturut-turut tahun 2006 seluas 405 ha, tahun 2007 seluas 574 ha, tahun 2008 seluas 318 ha dan tahun 2009 hanya seluas 20 ha. Sementara itu berdasarkan informasi dari staf Dinas Kehutanan Propinsi NTT, dalam 5 (lima) tahun terakhir tidak banyak kegiatan penanaman atau rehabilitasi hutan mangrove yang di lakukan oleh Dinas Kehutanan Propins i NTT. Kegiatan penanaman a tau rehab i l i t a s i banyak terkonsentrasi pada daerah kering atau wilayah darat, terutama untuk mendukung program Gubernur NTT terkait mengembalikan harum cendana di bumi NTT. Kegiatan penanaman atau rehabilitasi lebih didominasi oleh jenis cendana dan beberapa jenis lainnya. Sejumlah pihak lain yang terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove antara lain : Kementer ian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perikanan dan

Page 25: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

23WARTA Edisi IX No.3 Desember 2016

Kelautan, Kemente r i an Pa r iw i s a t a , Kementerian Pekerjaan Umum serta beberapa Kementerian/Lembaga lainnya. Pihak-pihak tersebut dapat terlibat dalam kegiatan penanaman secara langsung maupun turut terlibat dalam kegiatan pemberdayaan kelompok. Sementara itu untuk operasional di lapangan, keberadaan dinas terkait pada t ingkat prov ins i dan kabupaten/kota m e m e g a n g p e r a n a n p e n t i n g d a l a m mendukung pencapaian tujuan daerah. Sejumlah LSM dari dalam dan luar negeri maupun masyarakat setempat juga banyak yang melakukan program dan kegiatan terkait mangrove, seperti aspek pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan, sosial ekonomi dan kelembagaan, kegiatan penanaman dan rehabilitasi, penelitian dan lain-lainnya. Beragam kegiatan tersebut merupakan respon terhadap terjadinya penurunan kualitas ekosistem mangrove. Koordinasi antara muliti pihak, menjadi salah satu kunci keberhasilan pelaksanaan kegiatan di lapangan.

PENUTUPPada tingkat desa/kelurahan juga dapat terlibat secara aktif dalam pengelolaan hutan mangrove. Bahkan beberapa desa telah menerbitkan peraturan desa (Perdes) terkait pengelolaan kawasan pesisir, seperti Desa Pariti di Kecamatan Sulamu – Kabupaten Kupang, Desa Reroroja di Kecamatan Magepanda – Kabupaten Sikka serta banyak desa lain yang saat ini sedang merancang peraturan desa yang sejenis. Hal ini menggambarkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove sudah cukup baik. M e n e k a n a k t i f i t a s p e n e b a n g a n d a n memaksimalkan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dari hutan mangrove, serta peran

serta muliti pihak dalam pengelolaan hutan mangrove diharapkan dapat memperbaiki kondisi hutan mangrove di NTT secara perlahan. Sehingga pada akhirnya dapat memberi dampak positif terhadap kelestarian hutan mangrove, fungsi dan manfaatnya dapat dinikmati secara berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKAAanwar dan Gunawan, 2007. Peranan

Ekologis dan Sosisal Ekonomis Hutan M a n g r o v e d a l a m M e n d u k u n g P e m b a n g u n a n Wi l a y a h P e s i s i r. Proseding Seminar Hasil Penelitian : Kosnervasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Hutan, Padang, 20 September 2007. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

BPDAS BN. 2010. Statistik Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina Tahun 2011. BPDAS BN Noelmina, Kupang.

BPHM WIL I Ba l i , 2011 . S ta t i s t ik Pembangunan. Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah I. Denpasar - Bali.

Huda, N. 2008. Strategi Pengelolaan Mangroe Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Tesis. Program pasca sarjana universitas diponegoro semarang.

Kusmana, C, dkk 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Noor, Y. R. Khazali, M dan Suryadiputra, I. N. N, 2006. Panduang Pengenalan Hutan Mangrove di Indonesia. Wetlands International.

Peraturan Presiden Nomor 73 tahun 2012 tentang strategi nasional pengelolaan ekosistem mangrove.

Page 26: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

24

oleh : Hery Kurniawan

MENGENAL PERBEDAANCendana Jenggi

(Santalum spicatum)dengan Cendana NTT

(Santalum album )

Edisi IX No.3 Desember 2016 WARTA

| FO

KUS

|

Sekilas tentang Santalum album dan Santalum spicatumSantalum album Linn. merupakan jenis cendana yang sudah umum diketahui oleh masyarakat di Indonesia, terutama bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Selama berabad-abad yang lampau, tanaman ini telah diperdagangkan oleh para saudagar maupun kongsi dagang baik yang berasal dari Asia maupun Eropa. Terdapat banyak sebutan nama untuk cendana jenis S. Album, di NTT jenis ini biasa mendapat sebutan hau meni, hau plenat, hau nitu, hau lasi, dan masih banyak lagi

sebutan lainnya. Sementara itu, Santalum spicatum (R.Br.), merupakan jenis cendana yang banyak terdapat di Australia, khususnya Australia Barat dan Selatan. Cendana jenis ini d i k e n a l d e n g a n We s t e r n A u s t r a l i a n Sandalwood. Jenis ini diduga kuat juga ditemukan di Indonesia, khususnya di Aceh Besar yang dikenal cendana jenggi.� Keduanya merupakan tumbuhan dari famili Santalaceae dengan genus yang sama yakni Santalum. Meskipun memiliki genus yang sama, namun dari penampakan fisik dapat dibedakan dengan mudah. Utamanya dari

Page 27: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

25

wikipedia.com

WARTA Edisi IX No.3 Desember 2016

bentuk daun, batang serta buahnya. Menurut Rud j iman (1987 ) , t anaman cendana merupakan pohon yang berukuran kecil sampai sedang, dapat mencapai tinggi 20 m dan diameter 40 cm, tajuk ramping atau melebar, batang bulat agak berlekuk-lekuk, akar tanpa banir. Daun cendana merupakan daun tunggal, berwarna hijau, berukuran kecil-kecil, 4-8cm x 2-4cm dan relatif jarang. Bentuk daun bulat memanjang dengan ujung daun lancip dan dasar daun lancip sampai seperti bentuk pasak, pinggiran daunnya bergelombang, tangkai daun kekuning-kuningan dengan panjang 1-1,5cm. Cendana jenis S. album merupakan jenis yang menggugurkan daun di musim kemarau.� Sedangkan cendana jenis S. spicatum, merupakan pohon dengan ukuran kecil, tinggi hanya sekitar 5 hingga 8 meter. Seringkali menyerupai perdu atau semak dengan percabangan yang banyak. Namun ukuran buahnya lebih besar bila dibandingkan buah S. album. Ukuran buah S. spicatum bisa mencapai lebih dari 1 cm, atau sekitar tiga kali ukuran buah S. album yang hanya berdiameter sekitar 0,3 – 0,5 cm. Buah S. album bila telah matang akan berwarna h i tam, kadang h i tam kemerahan, sedangkan buah S. spicatum yang matang berwarna coklat. Bentuk daun S. spicatum adalah lanset dengan penampakan

yang lebih lonjong dan ramping namun lebih tebal dibanding daun S. album.

Sebaran dan Status Cendana Saat Ini Kharisma (1994) menyebutkan bahwa sebaran alami cendana selain di Jawa terdapat di kepulauan Flores, Solor, Alor, Pantar, Lomblen, Sumba, Rote, Timor, dan Wetar. Beberapa referensi menyebutkan bahwa Pulau Timor, Sumba dan kawasan NTT pada umumnya merupakan pusat penyebaran alami cendana di dunia. Kondisi ekologinya telah terbukti sangat mendukung bagi pertumbuhan cendana. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, habitat alami cendana banyak terdapat secara sporadis tumbuh di 9 kabupaten yaitu Kupang, Timur Tengah Selatan (TTS), Timur Tengah Utara (TTU), Belu, Sumba Barat, Sumba Timur, Manggarai, Alor dan Flores Timur (Solor) (anonim, 2010). S. album (cendana) dari Indonesia memiliki sejarah eksploitasi yang panjang, mulai dari lebih seratus tahun yang lampau. Beberapa meyakini jenis ini merupakan jenis eksotis di India, yang telah diambil dari Indonesia bagian timur oleh para pedagang, jenis ini memiliki ciri yaitu kayunya yang wangi .� Sedangkan jenis S. spicatum, memiliki sebaran di wilayah Australia selatan bagian barat, dan dilaporkan juga terdapat di sebagian

Santalum album di kebun benih milik Balai Penelitian Kehutanan Kupang Buah masak dan daun Santalum album

Page 28: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

26 Edisi IX No.3 Desember 2016 WARTA

wilayah NTT bagian selatan serta wilayah Aceh Besar di Sumatera. Western Australian sandalwood merupakan pohon kecil dengan tinggi hanya mencapai 8 meter, dengan tajuk yang lebat dengan diameter tajuk mencapai 2 m. Secara alami terdapat pada area yang sangat luas di wilayah Australia Barat, mulai dari pinggiran wilayah hutan sampai dengan padang pasir yang luas di negara bagian tersebut . � Kedua jenis ini (S. album dan S. spicatum) mulai sulit ditemukan di hutan alam yang merupakan habitat aslinya, disebabkan oleh adanya penebangan yang tidak terkontrol serta tingginya permintaan pasar. International Union for Conservation of natural Resources (IUCN), 1997 sudah memasukkan cendana jenis Santalum album Linn. ke dalam kategori jenis yang hampir punah (vulnerable). Sedangkan menurut CITES cendana dimasukkan ke dalam jenis Appendix II (WWF Indonesia dalam anonim, 2010). Kedua jenis ini banyak diminati karena wangi kayunya yang sangat khas dan kuat bahkan mampu bertahan puluhan tahun, yang dapat dimanfaatkan untuk kosmetika, pengobatan, parfum maupun kerajinan dan hiasan kayu cendana. Sebagian besar kayu S. Spicatum berasal dari populasi alam di Goldfields, dan sebagian kecil berasal dari sisa-sisa kayu mati yang diselamatkan di Midwest. Santalum spicatum pernah dipanen

secara luas dari wilayah negara bagian yang bercurah hujan sedang (menengah), akan tetapi sumber daya ini telah habis karena eksploitasi yang berlebihan dan pembersihan lahan untuk pertanian .

Habitat Tempat Tumbuh Kedua JenisBerbeda dengan cendana jenis S. Album yang mampu tumbuh hingga ketinggian lebih dari 1000 m dpl., S. Spicatum memiliki jangkauan ketinggian tempat tumbuh yang lebih rendah yakni maksimal hanya sekitar 500 m dpl. Kondisi tempat tumbuh S. Spicatum biasanya lebih ekstrim dibandingkan dengan habitat S. album. Meskipun sama-sama berhabitat di wilayah semi arid, namun S. spicatum mampu tumbuh di wilayah dengan curah hujan yang hanya berkisar 300 mm per tahun. Selain itu jenis ini juga biasa ditemukan di pegunungan yang berbatu, seperti kawasan Sandford Rock Nature Reserve sebelah timur laut kota kecil Westonia. Kawasan ini didominasi oleh formasi batuan granit yang muncul ke permukaan .� M e s k i p u n m e m i l i k i p e r b e d a a n persyaratan tempat tumbuh, namun masih terdapat kesamaan persyaratan tempat tumbuh dari kedua jenis. Kedua jenis ini banyak ditemukan di wilayah semi arid. Lebih sesuai pada kondisi tanah yang berbatu-batu, hingga kelerengan yang sangat terjal . Sering

Buah dan daun Santalum spicatum (Foto : Brian Myers).

Santalum spicatum yang tumbuh di lahan semi arid Australia Barat (Foto: www.fpc.wa.gov.au)

Page 29: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

27WARTA Edisi IX No.3 Desember 2016

ditemukan pada kondisi tempat tumbuh yang memiliki solum tipis dan didominasi oleh semak maupun perdu. Rasio K/Ca untuk daun semai S. Album dan daun S. spicatum yang telah dewasa adalah sama. Tingginya rasio ini pada S. spicatum menandakan kecenderungan serapan nutrisi K daripada Ca yang berasal dari tanaman inang, hal ini adalah umum untuk tanaman angiosperm yang bersifat parasit (Struthers et al., 1986). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio ini sudah ada sebelum terjadinya penempelan dengan inang dan mungkin merupakan sifat cendana apakah m e n e m p e l a t a u t i d a k p a d a i n a n g (Barret&Fox,1996).� S a n t a l u m a l b u m maupun Santalum spicatum merupakan jenis hemi parasit yang membutuhkan inang s e l a m a h i d u p n y a . P a d a cendana, inang primer selama di persemaian yang terbaik a d a l a h m e n g g u n a k a n A l thenantera sp . Inang sekunder yang d i t anam m e l i p u t i i n a n g j a n g k a menengah dan inang jangka panjang. Ada 3 jenis inang sekunder jangka panjang yang terbaik yaitu: Casuarina junghunniana, Cassia siamea dan Azederachta indica dan 3 jenis inang sekunder jangka menengah Acacia villosa, Leucaena leucocephala dan Sesbania grandiflora (Surata, 2006). � Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa jenis c e n d a n a m e n u n j u k k a n pertumbuhan yang segar dan

membaik saat ditanam bersama dengan inang dari jenis legum (Radomiljac and McComb 1998; Brand et al. 2000; Loveys et al. 2001). Telah lama dikenal bahwa jenis akasia juga merupakan inang yang utama bagi pertanaman cendana. Herbert (1925) dan Loneragan ( 1 9 9 0 ) m e l a p o r k a n b a h w a A c a c i a , Allocasuarina, Templetonia, Dodonaea, Eremophila dan Eucalyptus merupakan inang bagi S. spicatum. Sementara itu jelas bahwa Acacia acuminata adalah salah satu inang utama yang ideal bagi cendana di Australia Barat . Secara singkat perbedaan karakteristik dari kedua jenis ditampilkan pada Tabel 1.

Lm, Karakteristik Santalum album Santalum spicatum 1. Sebaran India dan Indonesia

(kepulauan NTT, Maluku, Timor Leste, dan Jawa Timur)

Wilayah Australia barat dan Selatan

2. Habitat Wilayah semi arid, hampir semua jenis tanah, lahan berbatu-batu

Wilayah semi arid, sebagian jenis tanah, lahan berbatu-batu terutama formasi granit

3. Ketinggian 0 – 1200 m dpl 0 – 500 m dpl 4. Morfologi Pohon mencapai tinggi

tinggi 20 m dan diameter 40 cm, tanpa banir. Daun tunggal, berwarna hijau, kecil-kecil, 4-8cm x 2-4cm dan relatif jarang. Bentuk daun bulat memanjang dengan ujung lancip, pinggiran daunnya agak bergelombang, tangkai daun kekuning-kuningan dengan panjang 1-1,5cm. Diameter buah sekitar 0,3 – 0,5 cm. Buah drupe, matang berwarna hitam keunguan.

Pohon dengan tingginya hanya sekitar 5 meter. Tumbuh di sekitar perdu atau semak dengan percabangan yang banyak. Bentuk daun lanset dengan penampakan yang lebih lonjong dan ramping namun lebih tebal dibanding daun S. album. Ukuran buah lebih besar dari S. album. bisa mencapai sekitar tiga kalinya. Buah S. spicatum yang matang berwarna coklat.

5. Inang Althenantera sp. (inang primer); Casuarina junghunniana, Cassia siamea, Azedirachta indica (sekunder menengah); Acacia villosa, Leucaena leucocephala dan Sesbania grandiflora (sekunder jangka panjang)

Acacia, Allocasuarina, Templetonia, Dodonaea, Eremophila dan Eucalyptus. Jenis inang terbaik adalah Acacia acuminata

6. Kandungan minyak bisa mencapai 5 % hanya sekitar 3 % 7. Kandungan santalol bisa mencapai 80% minyak hanya sekitar 48% minyak

Tabel 1. Perbedaan karakteristik S. album dan S. spicatum

Page 30: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

28 Edisi IX No.3 Desember 2016 WARTA

Peluang Pengembangannya di IndonesiaPemanfaatan kayu cendana selama ini adalah untuk diolah dan diproses lebih lanjut sebagai parfum, kosmetik, pengobatan, alat ibadah, maupun sebagai bahan baku kerajinan dan hiasan kayu cendana. Siaran Pers Departemen Kehutanan (pada saat itu) melaporkan bahwa saat ini dunia kekurangan pasokan minyak cendana sebesar 80 ton per tahun. Dengan asumsi rendemen minyak cendana adalah 5%, maka kekurangan pasokan minyak cendana tersebut setara dengan 1.600 ton kayu per tahun (Rohadi, et.al., 2010).� Kondisi di atas setidaknya menunjukkan bahwa peluang pasar bagi kedua jenis cendana ini masih sangat terbuka lebar. S. spicatum yang juga menghasilkan minyak cendana, bisa mengambil pangsa pasar yang saat ini belum mampu dipenuhi semua oleh suplai minyak cendana jenis S. album. Sehingga saat ini sangatlah penting untuk melakukan eksplorasi wilayah-wilayah yang berpotensi dan sesuai bagi budidaya cendana dari kedua jenis ini di Indonesia. Adanya catatan jejak masa lalu tentang melimpahnya cendana dari kedua jenis ini, seperti di NTT dan di Aceh Besar, merupakan informasi yang sangat berguna yang akan menjadi modal sumber daya alam utama bagi pengembangan cendana dari jenis S. album maupun S. spicatum. Dukungan dalam bentuk penelitian terkait kedua jenis ini, dengan payung peraturan daerah yang memadai, serta pemberdayaan masyarakat lokal dalam menggarap peluang budidaya dan pasar yang ada mutlak diperlukan apabila ingin mencapai hasil sesuai yang diharapkan. Perhatian dan aksi serius dari pemerintah dengan menggandeng peran swasta dan pe l iba tan masyarakat loka l , menjad i keniscayaan bagi pengelolaan yang mendesak untuk dilakukan.

Daftar PustakaAnonim. 2010. Inventarisasi tegakan Cendana

di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Timor Tengah Selatan.

______. 2010. Master Plan Pengembangan dan Pelestarian Cendana Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2010-2030.

______. 2015. Australian sandalwood thrives in s e m i - a r i d c o n d i t i o n s – p i c v i a http://www.fpc.wa.gov.au. Diakses tanggal 3 Agustus 2016.

Barrett DR and Fox JED, 1996. Santalum a l b u m : K e r n e l C o m p o s i t i o n , M o r p h o l o g i c a l a n d N u t r i e n t Characteristics of Pre-parasitic Seedlings under Various Nutrient Regimes

Brand, J.E., Crombie, D.S. and Mitchell, M.D. 2000. Establishment and growth of sandalwood (Santalum spicatum) in south-western Australia: the influence of host species. Australian Forestry 63, 60-65.

Fox, J.E.D., 1997. Why is Santalum spicatum common near granite rocks  ? Journal of the Royal Society of Western Australia, (Grani te Outcrops Sympos ium) , pp.209–220.

Herbert, D.A. 1925. The root parasitism of Western Australian Santalaceae. Journal of the Royal Society of Western Australia 11, 127-149.

Kharisma. 1994. Kombinasi Uji Keturunan dan Uji Sumber Benih Cendana Tingkat Semai. Thesis Kehutanan Program S2. P a s c a S a r j a n a U G M T i d a k dipublikasikan.

Loneragan, O.W. 1990. Historical Review of Sandalwood (Santalum spicatum) Research in Western Australia. Research Bulletin 4, Department of Conservation

Page 31: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

29WARTA Edisi IX No.3 Desember 2016

and Land Management, Como.Loveys, B.R., Tyerman, S.D. and Loveys, B.R.

2001. Transfer of photosynthate and na tura l l y occurr ing insec t i c ida l compounds from host plants to the root hemiparasite Santalum acuminatum (Santalaceae). Australian Journal of Botany 49, 9-16.

Mckinnell, F.H., 1990. Status of Management a n d S i l v i c u l t u r e R e s e a r c h o n Sandalwood in Western Australia and Indonesia. In: Hamilton, L. and Conrad, C . E . ( e d s ) P r o c e e d i n g s o f t h e Symposium on Sandalwood in the Pacific. USDA Forest Service Gen. Tech. Rep. PSW-122. Honolulu, Hawai, pp. 19-25.

Myers, B. 2011. 1016-Santalum spicatum-Sandalwood-The Humps-North of Wave R o c k - H y d e n - I M G _ 1 4 9 0 - C R . www.flickr.com. Diakses tanggal 3 3 Agustus 2016.

Radomiljac, A.M. and McComb, J.A. 1998. Nitrogenfixing and non-nitrogen-fixing woody host influences on growth of the root hemiparasite Santalum album L. In S a n d a l a n d i t s P r o d u c t s ( A . M . R a d o m i l j a c , H . S . A n a n t h a p a d m a n a b h o , R . M . W e l b o u r n a n d R a o K.Satyanarayana, eds), pp. 54-57. ACIAR Proceedings no. 84, Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra.

Robinson, J., Woodall, G.S. & Robinson, C.J., 2002. Direct seeding Acacias of different f o rm and func t ion a s hos t s f o r Sandalwood ( Santalum spicatum ). , 4(3), pp.130–134.

Rohadi, D., Riwu Kaho, L.M., Don Gilmour, Setyawati, T., Maryani, R., Boroh, P.

Analisa Kebijakan dan Insentif Ekonomi untuk Meningkatkan Par t i s ipas i Masyaraka t Loka l da l am Upaya Pelestarian Kayu Cendana di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Proyek ITTO PD 459/07 Rev.1 (F). 2010. Kementerian Kehutanan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Direktorat Bina Pengembangan Hutan Alam.

Rudjiman, 1987. Santalum album Linn. Taksonomi dan Model Arsitekturnya. Prosiding Diskusi Nasional Cendana. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Struthers R, Lamont BB, Fox JED, Wijesuriya S, Crossland T. 1986. Mineral nutrition of sandalwood (Santalum spicatum). Journal of Experimental Botany 37: 1274±1284.

Surata, 2006. Teknik Budidaya Cendana. Aisuli nomor : 21, 2006. BP2KBNT, Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Badan P e n e l i t i a n d a n P e n g e m b a n g a n Kehutanan.

Woodall, G. S., & Robinson, C. J. 2002. Same day plantation establishment of the root hemiparasite sandalwood ( Santalum spicatum ( R Br ) A DC  : Santalaceae ) and hosts. Journal of the Royal Society of Western Australia, 85(1), March 2002, 37–42.

Page 32: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

30 Edisi IX No.3 Desember 2016 WARTA

| GA

LERI

PER

ISTI

WA

|

Penanaman pohon Cendana di Stasiun Penelitian Oelsonbai BPPLHK Kupang

Kunjungan di penangkaran Rusa Timordi stasiun penelitian Oelsonbai BPPLHK Kupang

Pembinaan Pegeawai BPPLHK Kupang oleh Sekretaris Badan Litbang dan Inovasi Bpk. Ir. Tri Joko Mulyono, MM.

Page 33: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

31WARTA Edisi IX No.3 Desember 2016

Penyerahan bibit tanaman untuk penanaman di lingkungan masing-masing dalam rangka HMPI tahun 2016

Penanaman pohon pada peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia danBulan Menanam Nasional pada 28 November 2016

di Taman Doa-Oebelo Kabupaten Kupang.

Upacara peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia danBulan Menanam Nasional pada 28 November 2016

di Taman Doa-Oebelo Kabupaten Kupang.

| GA

LERI

PER

ISTI

WA

|

Page 34: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

32 Edisi IX No.3 Desember 2016 WARTA

Kunjungan Ka. Badan Litbang dan Inovasi di Kantor Bupati Sumba Tengah

Rangkaian acara penandatangan nota kesepahaman pengembangan spesies kuci budaya “Sirih Pinang”

Penandatangan nota kesepahaman pengembangan spesieskunci budaya “Sirih Pinang”. Ka. Badan Litbang dan Inovasi (Dr. Henry Bastaman, M.SE) dan Bupati Sumba Tengah (Drs. Umbu S. Pateduk)

| GA

LERI

PER

ISTI

WA

|

Page 35: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7

BAHASA Naskah artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia, memuat tulisan bersifat popular/semi ilmiah dan bersifat informatif.

FORMAT Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto pada satu permukaan dengan spasi 1,5 dan jumlah karakter maksimal 1.400 karakter. Ukuran tepi kertas disisakan 3,5 – 3,5 – 3 – 3 cm.

JUDUL Judul dibuat tidak lebih dari 2 baris dan harus mencerminkan isi tulisan, Nama penulis dan alamat email dicantumkan dibawah tulisan.

ISTILAH SULITIstilah – istilah yang jarang digunakan harus diberi keterangan tersendiri agar pembaca mudah memahami

FOTO Foto harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi judul dan keterangan pada gambar.

GAMBAR GARISGrafik atau ilustrasi lain yang berupa gambar diberi garis harus kontas dan dibuat dengan tinta hitam. Setiap gambar garsi harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA Daftar Pustaka yang dirujuk harus disusun menurut abjad nama pengarang dengan mencantumkan tahun penerbitan, sebagai berikut : .

PETUNJUK BAGI

PENULIS

Allan, J.E. 1961. The Determination of Copper by atomic Absorbstion of spectrophotometry. Spec-tophotometrim Acta (17), 459-466

Page 36: Warta Cendana Edisi IX No.3 2016 X7