warta herpetofaunabalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/warta-her...2019/03/01 · 2 warta...
TRANSCRIPT
Media Publikasi dan Informasi Dunia Reptil dan Amfibi
Volume XI, No. 1, Maret 2019
WARTA
HERPETOFAUNA
Analisa habitat Labi-labi Bintang (Chitra chitra)
Di Sungai Sempor, Sleman, DIY
Dua Biawak Pohon Papua :
Yang Tercantik dan Dilupakan
Melacak Lelembut Raksasa Penunggu Sungai di Jawa
2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
6 Dua Biawak Pohon Papua : Yang Tercantik dan Dilupakan
9 Sosialisasi Penanganan Kasus Snake Bite & Menelisik Keberadaan Jenis
Herpetofauna di Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Gunungkidul, Yogyakarta.
15 Tantangan dan Peluang Untuk Mengungkap Herpetofauna di KHDTK
Balitek KSDA Samboja, Kalimantan timur
19 Melacak Lelembut Raksasa Penunggu Sungai di Jawa
25 Survei awal analisa habitat ditemukannya Labi-labi Bintang (Chitra chitra)
Di Sungai Sempor, Sleman, DIY
34 Penjumpaan Dua Jenis Ular Genus Calamaria di Area Ekowisata Taman
Sungai Mudal, Kulon Progo,Yogyakarta
37 Sanca Kembang Kembali Hidup Bebas di Bumi Yogyakarta
39 Labi-labi Raksasa Temuan Warga Yogyakarta
42 Riam Angan Tembawang, Baksos Sekaligus Herping
44 Lakukan Pendataan Keanekaragaman Herpetofauna di Kawasan Gunung
Palung, Amfibi Reptil Indonesia Bentuk Tim Ekspedisi Cabang Panti Bersama Kamipala
46 Penyebab Penyu Mati Terdampar
50 #Saveherpetofauna
Volume XI, No. 1, MARET 2019
DAFTAR ISI
2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
3 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 3
25
6
34
40
42
9
19
WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 3
4 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
Berkat Kerjasama:
Penerbit:
Perhimpunan Herpetologi Indonesia
Dewan Redaksi:
Amir Hamidy
Mirza D. Kusrini
Evy Arida
Keliopas Krey
Nia Kurniawan
Rury Eprilurahman
Pemimpin Redaksi
Donan Satria Yudha
Redaktur
Prio Penangsang
drh. Slamet Raharjo
Ratna Sari Ramadani
Tata Letak & Artistik
Ratna Sari Ramadani
Sirkulasi:
Kelompok Studi Herpetologi (KSH)
Fakultas Biologi UGM
KPH “Phyton” Himakova
Alamat Redaksi
Laboratorium Sistematika Hewan
Departemen Biologi Tropika
Fakultas Biologi
Universitas Gadjah Mada,55281
WhatsApp : 081392665990
LINE ID : donan_satria
E-mail : [email protected]
Foto cover luar :
Chitra chitra (Ikhsan Jaya)
Foto cover dalam:
Ophiophagus hannah (Hendy Eka Putra)
Tropidolaemus subannulatus (Hastin Ambar Asti)
Foto cover belakang :
Eutropis multifasciata (Ikhsan Jaya)
Volume XI, No. 1, MARET 2019
WARTA HERPETOFAUNA
Ophiophagus hannah
Fakultas Biologi UGM
Kredit foto : Hendy Eka Putra
5 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 5
Edisi pertama Warta Herpetofauna (WH) di tahun 2019 telah terbit. Edisi kali
rubrik tetap mulai terisi penuh. Rubrik tetap tersebut adalah: Berita, Diversitas,
Komunitas, Zoonosia, Opini dan Profil. Pada beberapa rubrik tetap edisi kali ini, akan
banyak mengangkat cerita mengenai Labi-labi bintang (Chitra chitra). Pada awal tahun
2019, di Yogyakarta digemparkan dengan penemuan labi-labi bintang berukuran besar
di sungai daerah Sleman. Teman-teman dari komunitas, Museum Biologi UGM dan
Fakultas Biologi UGM melakukan beberapa penelitian mengenai keberadaannya.
Dapat dikatakan WH edisi ini adalah edisi Labi-labi bintang. Kami berharap teman-
teman yang tergabung dalam wadah “Sahabat PHI” dapat terus mengirimkan tu-
lisannya untuk WH, agar WH dapat terus menjadi lahan berbagi ilmu dan silaturahmi
antar semua anggota “Sahabat PHI”. Saya mewakili pengurus WH terus memohon
bantuan, masukan dan saran dari semuanya agar WH menjadi lebih baik.
Salam,
Redaksi
Donan
Tropidolaemus subannulatus
Kredit foto : Hastin Ambar Asti
REDAKSI MENERIMA SEGALA BENTUK TULISAN, FOTO, GAMBAR, KARIKATUR, PUISI
ATAU INFO LAINNYA SEPUTAR DUNIA AMFIBI DAN REPTIL. REDAKSI BERHAK UNTUK
MENGEDIT TULISAN YANG MASUK TANPA MENGUBAH SUBSTANSI ISI TULISAN
BAGI YANG BERMINAT DAPAT MENGIRIMKAN LANGSUNG KE ALAMAT REDAKSI
KATA KAMI
WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 5
6 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
B iawak biru, Varanus macraei Böhme
& Jacobs, 2001 termasuk di dalam
kriteria IUCN “Terancam” (Endangered/EN) sejak
tahun 2017 karena persebarannya di alam yang
terbatas (endemik) di Pulau Batanta, Provinsi
Papua Barat. Jenis ini merupakan salah satu
jenis biawak dari Indonesia timur yang paling
diminati sebagai komoditas pet dengan harga
pasaran internasional untuk satu ekor hewan
dewasa berkisar di antara US$ 500 -1500.
Nama “macraei” digunakan untuk menyebut jenis
biawak pohon yang pola warnanya sangat
menarik ini dengan alasan penghormatan kepada
seorang herpetolog bernama Duncan MacRae.
Jenis biawak ini telah diusulkan menjadi
salah satu jenis-jenis biawak yang dilindungi di
Indonesia dengan pertimbangan endemisitas dan
kecilnya populasinya di alam. Biawak biru
diketahui hanya tersebar di Pulau Batanta (warna
merah pada peta) yang memiliki luas kira-kira
450 km2 dan terancam oleh pembalakan hutan
dan konversi lahan. Perdagangan jenis biawak ini
di tingkat internasional telah berlangsung sekitar
dua dasawarsa sejak pencandraannya di tahun
2001. Tidak diketahui besaran populasinya di
Pulau Batanta, sehingga keberlangsungan jenis
ini di habitatnya menjadi sangat
mengkhawatirkan.
BERITA
DUA BIAWAK POHON PAPUA : YANG TERCANTIK DAN DILUPAKAN
Oleh: Evy Arida*
*Museum Zoologicum Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong , Jawa Barat
7 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 7
BERITA
Biawak biru telah berhasil dikembangbiak-
kan secara ex situ, namun keberhasilan pe-
nangkaran ini tidak cukup nyata jika dibanding-
kan dengan perdagangannya yang diperkirakan
bernilai total hingga US$ 2 Juta. Ketiadaan
laporan mengenai keberhasilan penangkaran
Biawak biru di Indonesia bahkan semakin men-
imbulkan spekulasi tentang pengambilan jenis ini
secara langsung dari habitatnya untuk di-
perdagangkan ke luar negeri.
Rekomendasi resmi dari LIPI sebagai
Otoritas Keilmuan di Indonesia tentang konvensi
internasional perdagangan tumbuhan dan satwa
liar (CITES) untuk melindungi Biawak biru
dengan undang-undang di tingkat nasional tam-
paknya telah diabaikan dengan terbitnya Pera-
turan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
No. 20 tahun 2018 yang tidak menyertakan jenis
biawak ini di dalam daftarnya. Kejadian serupa
juga berlaku bagi jenis biawak pohon yang lain
asal Papua, yaitu Biawak kordo.
Biawak Kordo, Varanus kordensis (Meyer,
1874) termasuk di dalam kriteria IUCN “Kurang
Data” (Data Deficient/DD) sejak tahun 2016 kare-
na persebarannya yang terbatas di Pulau Biak,
Provinsi Papua Barat. Pulau Biak (warna hitam
pada peta) memiliki area seluas 2.455 km2 yang
dihuni oleh sekitar 115.000 jiwa dan mengalami
perluasan konversi lahan serta pembalakan
hutan. Perdagangan jenis biawak ini di tingkat
internasional mengalami kenaikan yang signifikan
pada periode 1987-2015 dan menjadi salah satu
ancaman bagi keberlangsungan populasinya di
alam. Jenis biawak yang mirip dengan Varanus
prasinus atau Biawak Hijau yang dilindungi
dengan PP7/1999 ini merupakan salah satu di
antara jenis-jenis biawak pohon yang diminati di
pasar internasional satwa liar dengan perkiraan
harga pasar US$ 600 untuk satu pasang hewan
dewasa.
8 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
Tanpa penjelasan atau dialog mengenai
dikeluarkannya kedua jenis biawak pohon terse-
but dari daftar jenis yang direkomendasikan LIPI
untuk dilindungi, selayaknya masyarakat pemer-
hati herpetofauna Indonesia perlu mempertan-
yakan alasannya. Hingga kini, belum jelas men-
gapa yang dua biawak pohon yang tercantik asal
Papua ini dilupakan begitu saja ketika muncul
urgensi untuk melindunginya dari pemanfaatan
yang cenderung tidak memperhatikan kelestari-
annya.
BERITA
9 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 9
A. Sosialisasi Penanganan Kasus Snake Bite
& Pengenalan Jenis Ular
H ari Sabtu, 9 Februari 2019 Team
Rescue Animal Keeper Yogyakarta
diundang oleh Kepala Desa Ngalang di
Gunungkidul, Yogyakarta untuk menjadi
narasumber dalam acara sosialisasi penanganan
gigitan ular. Tingginya angka kasus gigitan ular di
Gunungkidul, membuat warga di Desa Ngalang
membutuhkan pengetahuan lebih banyak
mengenai pertolongan pertama saat terjadi
gigitan ular serta pengenalan jenis ular yang
berpotensi dijumpai di sekitar kawasan
pemukiman.
Team Rescue Animal Keeper Yogyakarta
(AKJ) yang terdiri dari Saliyo, Nur Rohmat,
Septian, Hank, Saktyari dan Bangkit melakukan
perjalanan dari Kota Jogja sekitar pukul 11.00
WIB. Hampir sekitar 2 jam perjalanan, kami pun
tiba di Balai Desa Ngalang. Acara pertama
dilakukan pembukaan oleh Kepala Desa,
kemudian di lanjutkan pemberian materi oleh
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)
Yogyakarta dan Ikatan Dokter Hewan
Gunungkidul mengenai konservasi dan informasi
medis seputar satwa liar.
Setelah itu dilanjutkan materi oleh Saktyari
mengenai pengenalan jenis ular berbisa dan
tidak berbisa yang umum dijumpai di sekitar
pemukiman warga. Pemateri menekankan
pengenalan jenis ular berdasarkan tipe habitat,
corak warna tubuh ular dan karakteristik
morfologi yang mudah dipahami oleh warga.
Saktyari juga menyampaikan tentang teknik
menghadapi ular saat bertemu di alam maupun
di dalam rumah. Teknik menangkap ular
disimulasikan menggunakan ular sanca batik
(Malayopython reticulatus) dan alat peraga
seperti snake hook dan grabstick.
Materi yang diberikan selanjutnya adalah
pertolongan pertama pada gigitan ular yang
dipaparkan oleh Saliyo dari AKJ. Pada awal
materi, Saliyo menekankan agar warga
mengurangi perburuan predator ular yang marak
dilakukan di Desa Ngalang. Berdasarkan
informasi yang didapatkan dari salah satu warga,
perburuan Garangan jawa (Herpestes javanicus)
yang menjadi salah satu predator ular cukup
sering dilakukan oleh warga setempat. Semakin
berkurangnya predator ular akan mengakibatkan
populasi ular yang tidak terkontrol. Hal ini
berpotensi mengakibatkan konflik ular dengan
manusia sehingga berujung dengan kasus snake
bite.
Materi yang disampaikan selanjutnya adalah
penanganan kasus gigitan ular. Menurut
standard WHO (World Health Organization),
penanganan pertama saat terjadi gigitan ular
adalah dilakukannya imobilisasi. Metode ini
dilakukan dengan cara mengurangi gerakan
SOSIALISASI PENANGANAN KASUS SNAKE BITE & MENELISIK
KEBERADAAN JENIS HERPETOFAUNA DI DESA NGALANG,
KECAMATAN GEDANGSARI, GUNUNGKIDUL, YOGYAKARTA.
Oleh : Saktyari*
*Animal Keeper Yogyakarta
BERITA
10 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
Gambar 1. Pemberian materi mengenai jenis-jenis ular oleh Saktyari (atas) dan penanganan pertama pada
gigitan ular oleh Salio (bawah)
BERITA
11 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 11
yang berlebih pada lokasi gigitan, agar bisa ular
yang masuk melalui kelenjar getah bening tidak
cepat menjalar ke bagian vital tubuh. Saliyo
mempraktekan proses imobilisasi dengan
membuat balut bidai menggunakan kayu. Salah
satu warga yang sukarela praktek disimulasikan
tergigit ular di bagian kaki. Saliyo mengatakan
bahwa posisi bidai harus terikat kencang dan
ukuran panjang bidai mulai dari mata kaki hingga
bagian atas lutut, bertujuan untuk mengurangi
gerakan pada lokasi kaki yang tergigit. Setelah
simulasi selesai, dilanjutkan sesi diskusi tanya
jawab oleh warga. Secara keseluruhan warga
mulai memahami dan mengerti cara melakukan
penolongan pertama pada gigitan ular. Warga
menjadi lebih berhati hati jika sewaktu-waktu
beraktivitas di kawasan yang berdampingan
dengan habitat ular. Di akhir acara, Team
Rescue Animal keeper Jogja menghimbau
kepada warga Desa Ngalang untuk selalu
menjaga kelestarian dan keseimbangan
ekosistem.
Gambar 2. Team Rescue AKJ mempraktekkan cara imobilisasi bisa ular menggunakan bidai dari kayu
pada kaki salah satu warga.
BERITA
12 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
B. Menelisik keberadaan Herpetofauna di
Desa Ngalang
Usai acara sosialisasi di Balai Desa, Team
Rescue Animal Keeper Jogja mempersiapkan diri
untuk observasi Herpetofauna di Desa Ngalang.
Kegiatan observasi ini bertujuan untuk
mengetahui jenis Herpetofauna apa saja yang
terdapat di Desa Ngalang, khusus nya jenis ular.
Hasil observasi diinfokan kembali pada warga
secara detail agar warga bisa lebih waspada
dalam melakukan aktifitas demi menghindari
konflik dengan ular.
Team Rescue Animal Keeper Jogja terlebih
dahulu singgah di kediaman drh. Retno yang
mengundang kami untuk beristirahat di
rumahnya. Setelah 3 jam beristirahat, kami
menuju lokasi observasi di salah satu kawasan
sungai dan persawahan di Desa Ngalang yang
dilaporkan sering dijumpai ular. Kami didampingi
oleh drh. Retno dan dua orang warga yang ikut
memandu observasi. Observasi dimulai pukul
21.00 WIB – 00.00 WIB dengan metode VES
(Visual Encounter Survey). Pengamatan diawali
dengan menelusuri area persawahan yang
ditumbuhi tanaman tebu, cuaca saat itu cerah
dengan suhu sekitar 21-23 0C dan kondisi
lembab karena sebelumnya turun hujan. Setelah
menelusuri persawahan, kami menuju habitat
perairan yang lokasinya tidak begitu jauh dari
lokasi observasi pertama. Saktyari dan Saliyo
menelusuri tepian sungai, sedangkan Septian,
Bangkit dan dua warga lokal menelusuri kawasan
terestrial di sekitar sungai.
Saktyari menemukan ular picung
(Rhabdophis subminiatus) pada tumbuhan perdu
dengan jarak 2 meter dari sungai. Beberapa
menit kemudian Septian dan Saliyo menemukan
dua individu ular tampar (Dendrelaphis pictus)
yang sedang beristirahat di cabang pohon asem
yang cukup tinggi dengan ketinggian sekitar 4
meter. Satu individu ular tampar kami tangkap
sebagai sampel untuk ditunjukkan kepada warga
Desa Ngalang. Jenis amfibi jarang ditemukan,
beberapa kali kami hanya melihat sekitar 2-3
individu Fejervarya sp. dan satu individu
Polypedates leucomystax.
Kami pun melanjutkan pengamatan di tepian
sungai, Saliyo menemukan ular kayu (Ptyas
korros) yang berada di cabang pohon dengan
ketinggian sekitar 2 meter. Ptyas korros yang
kami temukan memiliki panjang SVL (Snouth
Vent Length) 50 cm. Selanjutnya kamii
menemukan kembali satu individu Ptyas korros
yang berukuran cukup besar di pohon bambu,
kali ini Ptyas korros tidak bisa ditangkap karena
sulitnya jangkauan, sehingga informasi
morfometri dari ular tersebut tidak didapatkan.
Ular picung (Rhabdophis subminiatus) ditemukan
lagi di ranting pohon, yang berada persis di tepi
sungai berdampingan dengan bambu tempat
Ptyas korros ditemukan. Ular picung yang
ditemukan kemudian di tangkap untuk dijadikan
spesimen dari kawasan Kabupaten Gunungkidul.
Setelah berhasil menangkap ular picung, tim
kami bergegas melanjutkan observasi di
kawasan persawahan untuk mencari salah satu
spesies target yaitu ular weling (Bungarus
candidus).
Pada habitat sungai, kami menemukan tiga
jenis ular dengan jumlah individu yang berbeda.
Ular picung (Rhabdophis subminiatus) ditemukan
sebanyak dua individu, ular kayu (Ptyas korros)
ditemukan dua individu dan ular tampar
(Dendrelaphis pictus) ditemukan sebanyak tiga
individu. Berdasarkan hasil pengamatan ini, kami
menyimpulkan bahwa jenis ular yang ditemukan
cukup beragam dan habitat sungai di Desa
Ngalang ini cukup mendukung bagi kehidupan
herpetofauna.
Setelah keluar dari habitat sungai, kami
beristirahat sejenak di tepi sawah. Tidak lama
BERITA
13 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 13
saat kami sedang beristirahat, datang seorang
warga yang mengetahui lokasi penjumpaan ular
weling (Bungarus candidus). Bersama warga
lokal yang baru bergabung dengan tim observasi,
kami pun berangkat menuju lokasi yang diduga
sering dijumpai ular weling. Rute yang kami lalui
yaitu aliran air selokan yang berada di tepi
sawah. Setelah berjalan sekitar 300 m, pemandu
kami yang berada di posisi paling depan tiba-tiba
berteriak karena melihat ular weling yang
melintas di depan nya. Saktyari, Septian dan
Saliyo bergegas menuju lokasi ular weling dan
menangkapnya dengan bantuan snake hook.
Snake hook berguna untuk menekan bagian
leher ular yang kemudian dilanjutkan Hand
capturing, dengan memegang bagian tengkuk
dan pangkal ekor ular. Selesai pengamatan, kami
bergegas kembali ke rumah Pak Dukuh untuk
melaporkan hasil pengamatan herpetofauna di
Desa Ngalang.
Berdasarkan hasil pengamatan Team
Rescue Animal Keeper Jogja di Desa Ngalang,
terdapat 6 jenis herpetofauna yang dapat dilihat
pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Dengan adanya kegiatan ini diharapkan
warga Desa Ngalang dapat mengerti cara
penanganan pertama kasus gigitan ular. Selain
itu mereka diharapkan memahami jenis-jenis ular
secara umum di sekitar pemukiman yang
sebagian besar berdampingan dengan habitat
satwa liar. Hal ini penting untuk disampaikan agar
konflik manusia dan satwa liar dapat dihindari.
Dalam hal terkait, Team Rescue Animal Keeper
Jogja terus berupaya dalam melakukan edukasi
kepada masyarakat terkait kepedulian
lingkungan, kasus gigitan ular, menanamkan
pesan konservasi dan penanganan
permasalahan satwa lainya, khususnya di
Daerah Istimewa Yogyakarta demi kelestarian
lingkungan maupun kesejahteraan bagi manusia.
Sekian dari kami, Team Rescue Animal Keeper
Jogja...Salam Lestari!
Tabel 1. Jenis Reptil yang ditemukan di Desa Ngalang, Bantul, Yogyakarta.
No Nama Jenis Nama Lokal Family/Suku Jumlah
Individu
1 Rhabdophis subminiatus Ular Picung Natricidae 2
2 Ptyas korros Ular Kayu Colubridae 2
3 Dendrelaphis pictus Ular Tampar Colubridae 3
4 Bungarus candidus Ular Weling Elapidae 1
8 Total
Tabel 2. Jenis Amfibi yang ditemukan di Desa Ngalang, Bantul, Yogyakarta.
No Nama Jenis Nama Lokal Family/Suku Jumlah
Individu
1 Polypedates leucomystax Katak Pohon Rhacophoridae 1
2 Fejervarya sp. Katak Tegalan Dicroglossidae 3
4 Total
BERITA
14 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
Gambar 3. Kegiatan pendataan Herpetofauna oleh Tim AKJ di Desa Ngalang, Gedangsari, Gunungkidul
BERITA
15 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 15
TANTANGAN DAN PELUANG UNTUK MENGUNGKAP HERPETOFAUNA
DI KHDTK BALITEK KSDA SAMBOJA, KALIMANTAN TIMUR
Teguh Muslim
Balitek KSDA
K egalauan dan rasa penasaran un-
tuk mengungkap misteri
(herpetofauna) di rumah sendiri (KHDTK Sam-
boja) menjadi alasan penulis untuk membuat
artikel ini. Bertujuan membuka peluang sekaligus
tantangan bagi herpetolog (er) di Indonesia.
Keanekaragaman jenis herpetofauna di Kaliman-
tan (Borneo) lebih banyak diungkap oleh banyak
peneliti asing. Hal ini tidak lepas dari kurangnya
minat dari generasi pemerhati dan penelitian di
bidang herpetologi. Beberapa alasan yang mung-
kin masuk akal yang paling sering diantaranya :
satwa yang menggelikan/menjijikkan yaitu katak/
kodok, satwa yang berbahaya yaitu ular. Oleh
sebab itu memang diperlukan keberanian dan
pengetahuan tentang herpetofauna. Ternyata
pengetahuan dan keberanian saja tidak cukup,
karena untuk melakukan survei harus dilakukan
pada malam hari. Sedangkan pada umumnya
masyarakat kita menyadari bahwa malam hari
adalah waktu istirahat, berkumpul dengan keluar-
ga setelah lelah melakukan aktivitas pada pagi
dan siang hari kecuali ada kompensasi untuk
kegiatan eksplorasi malam.
Banyak pertimbangan seseorang untuk
menekuni bidang herpetologi, karena menekuni
bidang tertentu adalah pekerjaan, penghasilan
dan kebutuhan hidup. Bahkan untuk sebagian
masyarakat beranggapan bahwa sebagian besar
herpetofauna adalah satwa kecil yang tidak terla-
lu penting. Sebagai contoh di Litbang LHK
sekalipun belum ada yang tertarik di bidang her-
petologi dan tampaknya keadaan di Balitek KSDA
juga sama. Sulit untuk memotivasi tenaga teknis
yang membantu peneliti untuk mengumpulkan
data jenis herpetofauna, karena pekerjaan sehari-
hari pada pagi-sore hari sehingga untuk survei
pada malam hari dilakukan diluar jam kerja. Be-
lum lagi resiko bekerja di dalam hutan pada mal-
am hari lebih tinggi dibandingkan siang hari.
KHDTK Samboja merupakan bagian dari
kawasan Taman Wisata Alam Bukit Soeharto
yang memiliki luas ± 61.850 Hektar ( berdasarkan
Keputusan menteri Kehutanan No. 270/Kpts-
II/1991 pada tanggal 20 Mei 1991 ) yang selanjut-
nya status berubah menjadi Taman Hutan Raya
Bukit Soeharto ( berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan No. SK 419/Menhut-II/2004 pada
tanggal 19 Oktober2004 ). Kawasan Hutan
Penelitian Dengan Tujuan Khusus ( KHDTK )
Samboja di tetapkan berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor. SK 201/MENHUT-
II/2004 tentang penunjukan kawasan hutan
seluas ± 3.504 ( Tiga Ribu Lima Ratus Empat )
hektar pada kawasan Taman Wisata Alam Bukit
Soeharho di kabupaten Kutai karta Negara dan
kabupaten Penajam Paser Utara ( PPU ) Provinsi
Kalimantan Timur.
Untuk itu bersama artikel ini sekaligus
membuka peluang dan tantangan bagi para her-
petolog (er) muda untuk melakukan eksplorasi
(herping) di Kawasan Hutan Balitek KSDA
(KHDTK Balitek Samboja). Beberapa catatan
penting diantaranya, bahwa terdapat beberapa
trek yang cukup memadai untuk melakukan
herping. Trek-trek yang terdapat di KHDTK Sam-
DIVERSITAS
16 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
boja cukup aman dan representatif untuk
melakukan survei herpetofauna (herping). Tidak
terlalu “angker” karena deru kendaraan masih
terdengar dari dalam hutan yang notabene-nya
dekat dengan jalan raya Samboja – Semoi –
Penajam yang menghubungan antara kabupaten
Kutai Kertanegara dengan kabupaten Penajam
Paser Utara. Fasilitas untuk bermalam yang
cukup memadai untuk kondisi di tengah hutan.
Kehadiran para herpetolog muda di KHDTK
Balitek KSDA tentunya diharapkan akan membu-
ka dan menggunggah minat bagi generasi di
Balitek KSDA sendiri dan tentu saja sangat
membantu dalam up-dating data herpetofauna di
Kalimantan Timur khususnya dan di Indonesia
pada umumnya.
Beberapa jenis herpetofauna yang sudah
ditemukan di KHDTK Samboja, diantaranya
dapat dilihat pada tabel 1.
No Bangsa Suku Jenis
1
Anura
Bufonidae
Ingerophrynus parvus
2 Duttaphrynus melanostictus
3 Leptophryne borbonica
4 Ingerophrynus divergens
5 Phrynoidis aspera
6 Phrynoidis juxtasper 7
Dicroglossidae
Limnonectes malesianus
8 Limnonectes paramacrodon
9 Limnonectes macrodon
10 Limnonectes leporinus
11 Limnonectes blythii 12 Limnonectes finchi 13 Limnonectes hascheanus
14 Fejervarya limnocharis
15
Ranidae
Pulchrana picturata
16 Pulchrana glandulosa
17 Chalcorana chalconata
18 Amnirana nicobariensis
19 Rhacophoridae
Polypedates leucomystax
20 Rhacophorus appendiculatus (katak pohon kaki bergerigi)
21
Squamata
Scincidae
Eutropis multifasciata
22 Dasia vittata
23 Eutropis rudis
24
Agamidae
Aphaniotis ornata
25 Gonocephalus grandis
26 Gonocephalus borneensis
27 Bronchocela cristatella
28 Draco volans
29 Varanidae
Varanus rudicollis
30 Varanus salvator 31
Phytonidae Malayopython reticulatus
32 Python breitensteini 33
Elapidae Ophiophagus hannah
34 Naja sputatrix
35
Colubridae
Chrysopelea paradisi 36 Macropisthodon rhodomelas
37 Macropisthodon flaviceps
38 Dendrelaphis pictus
39 Dendrelaphis caudolineatus
40 Homalopsidae
Enhydris enhydris
41 Homalopsis buccata
42 Testudinidae Manouria emys Testudinata 43 Geoemydidae Cuora amboinensis
Tabel jenis Herpetofauna di KDHTK Samboja Tahun 2015 - 2019
DIVERSITAS
17 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 17
DIVERSITAS
Gambar 1. Lokasi Kawasan Hutan (KHDTK) Balitek KSDA
Gambar 2. Spot survei dan Shelter dalam Kawasan Hutan (KHDTK)
18 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
DIVERSITAS
Gambar 3. Beberapa jenis ular dan amfibi yang ditemukan di KHDTK Balitek KSDA
Samboja
19 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 19
A pakah Anda merasa ini tentang hal
gaib? Eits, jangan paranoid, ya.
Lelembut penunggu sungai ini adalah kelompok
reptil air tawar (Famili Trionychidae), Tuan
Raffless dahulu mengenalnya dengan softshell
atau tempurung lunak. Trionychidae biasa
disebut shoftshell karena memiliki tempurung
yang lunak, tulang tempurungnya mereduksi
sehingga tidak menutup sempurna seperti halnya
kura-kura dan penyu, justru karapas-plastronnya
ditutupi kulit daripada kepingan sisik, serta
hidung yang panjang seperti belalai kecil untuk
membantu bernafas saat berendam[1,4, 5].
Trionychidae dalam kamus Bahasa
Indonesia disebut Labi-Labi yang berasal dari
rumpun bahasa Melayu yang umum digunakan di
Sumatra. Anggota Trionychidae mampu tumbuh
besar mencapai ukuran raksasa, tetapi tidak
mudah untuk menemukannya lho. Cara hidupnya
yang soliter dan lebih senang berendam di aliran
sungai yang dalam menyebabkan tidak
sembarang orang mampu melihatnya, bahkan
dengan umpan sekalipun. Hal ini membuat
sebagian masyarakat, khususnya pemukim
bantaran sungai menyebutnya makhluk mitos
penunggu sungai. Mereka percaya jika ada yang
melihat Si Lelembut berukuran raksasa akan
mendapat sial, bahkan jatuh sakit. Masyarakat
pulau Kalimantan menyebutnya Bidawang,
masyarakat Jawa mengenalnya secara umum
dengan nama Bulus, Kedawang (Jateng-Jatim),
Kuya (Jabar)[5], sedangkan di kalangan warga
Madura disebut Ketempah. Nama-nama tersebut
ditujukan secara umum untuk semua anggota
Trionychidae.
Ada tiga spesies lelembut penghuni asli
sungai-sungai di pulau Jawa (Gambar 1.), yaitu
Amyda cartilaginea (Labi-labi Sawah), Dogania
subplana (Labi-labi Gunung), dan Chitra chitra
javanensis (Labi-labi Bintang)[1, 5, 7]. Labi-labi
Sawah merupakan jenis paling umum atau dapat
dikatakan lebih mudah ditemukan. Jika Anda
sedang jalan-jalan di sekitar sungai berlumpur,
rawa, atau waduk irigasi mungkin dapat
menjumpai labi-labi dengan karapas berukuran
sedang (dewasa mencapai 83 cm), berwarna
coklat kehijauan atau keabuan, memiliki bintik
kuning dengan guratan menonjol yang tajam[1, 5].
MELACAK LELEMBUT RAKSASA PENUNGGU SUNGAI DI JAWA
Hana Putra Wicesa, Ayudha Bahana Ilham P., Dian Sartika, Muhammad Malhan Amin, Budi
Setiadi Daryono
Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada
Gambar 1. Spesies asli anggota Trionychidae di Pulau Jawa
Amyda cartilaginea[9] Dogania subplana[7] Chitra chitra javanensis[4]
DIVERSITAS
20 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
Selain di Jawa, Labi-labi Sawah dapat ditemukan
di Sumatera, bahkan dengan kemampuan
masyarakat untuk membudidayakannya dapat
ditemukan juga di kepulauan lainnya di Indonesia[6, 8].
Labi-labi Gunung tersebar di wilayah
Indonesia barat, kecuali Bali, khususnya di
daerah hutan pegunungan dengan sungai
berarus pelan[1, 5]. Anda dapat mengenalinya
dengan karapas oval pipih yang berukuran kecil
(dewasa mencapai 30 cm), berwarna cokelat
kekuningan atau hijau pucat dengan bulatan
hitam dan garis hitam di sepanjang tulang
belakangnya. Kepalanya berukuran besar,
bagian pipi dan sisi samping leher kemerahan,
serta moncong bengkok ke bawat yang lebih
pendek[1, 5, 7].
DIVERSITAS
Leces, Probolinggo Kedung Wuni, Tanjung Barat, Jakarta Selatan
Kedung Babi, Tanjung Barat, Jakarta Selatan Kedung Sahong, Tanjung Barat, Jakarta Selatan
Kedung Kuda, Tanjung Barat, Jakarta Selatan Kedung Kuda, Leteng Agung, Jakarta Selatan
Gambar 2. Lokasi Pengamatan
21 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 21
Jenis terakhir, Labi-labi Bintang atau
Senggawangan dalam bahasa Betawi menjadi
lelembut mitos yang paling sulit ditemukan,
apalagi dicari. Kemunculannya tercatat tidak
lebih dari jumlah semua jari di kedua tangan
manusia[2, 3]. Jika Anda tidak sengaja (red:
beruntung) menjumpainya sedang muncul di
permukaan air atau malahan keluar dari sungai,
kemudian menuju hamparan pasir yang luas
untuk bertelur, ini yang perlu Anda kenali darinya.
Ukurannya yang raksasa dengan panjang total >
1 m, berwarna coklat gelap, corak punggung
dengan garis yangsedikit, tidak terdapat garis di
tulang vertebral, corak garis berbentuk lonceng di
anterior karapas mendekati leher, dan garis X di
antara mata[1, 3, 4, 7].
Kali ini pembahasan akan lebih
mengerucut pada jenis lelembut raksasa, si mitos
sungai di Jawa, yaitu C.c. javanensis. Catatan
temuan yang dimulai sejak tahun 1908 hingga
1997 yang kemudian dikoleksi oleh Museum
Zoologicum Bogoriense (MZB) di Cibinong hanya
berasal dari tiga lokasi, yaitu Tanjung Priok
(1908); Bengawan Solo di Bojonegoro (1987 dan
1999); Leces daerah perbatasan Probolinggo-
Pasuruan (1997); dan Jakarta Selatan (1977 dan
1978)[3, 4]. Setelah 22 tahun dari koleksi terakhir
MZB, C.c. javanensis muncul kembali di area
padat penduduk, tepatnya di Tanjung Barat,
Lenteng Agung, Jakarta Selatan pada November
2011. Warga menemukannya di Kali Ciliwung
yang berjarak 500 m dari pemukiman. Pertama
kali terlihat sepasang yang muncul ke permukaan
(diduga saat masa kawin) kemudian saat akan
ditangkap, si betina berhasil lolos sedangkan si
jantan tertangkap di kedalaman 20 m. C.c.
javanensis yang tertangkap itu berbobot 120 kg,
panjang 1400 cm, dan lebar 90 cm[2]. Raksasa
nggak tuh?Individu ini kemudian diambil oleh
pihak BKSDA Jakarta dan diserahkan di Kebun
Binatang Ragunan untuk dirawat (Pers.com: Ali
dan Udin 2017).
Beranjak dari berita yang menghebohkan
tadi, kami mencoba menawarkan ide
penelitiannya untuk mempelajari lebih lanjut
tentang seperti apa habitat, perilaku, dan
persebarannya di Jawa. Harapannya dapat
melengkapi informasi dasar yang sampai
sekarang masih sebatas deskripsi morfologi,
setelah spesies ini dipisahkan menjadi sub
spesies dari Chitra chitra tahun 2003[7]. Ide
penelitian ini mendapat apresiasi berupa dana
hibah dari lembaga konservasi internasional,
Mohammed Bin Zayed Conservation Fund yang
dilakukan pada tahun 2017. Landasan penelitian
yang difokuskan pada distribusi C.c. javanensis
mengacu pada catatan literatur penelitian, berita,
dan informasi warga. Selain itu ancaman dari
aktivitas manusia semakin mendesak populasi
C.c. javanensis yang memang belum ada
gambaran sama sekali. Sehingga titik pertama
yang kami datangi adalah Tanjung Barat
(Gambar 2.), berdasarkan berita terakhir
ditemukan.
Sungai Ciliwung di Tanjung Barat pada
bulan Agustus 2017 memasuki musim kemarau
meskipun sempat hujan beberapa kali tetapi
debit sungai memang sedikit. Kontur sungai yang
berkelok-kelok, nge-liwung dalam bahasa Betawi,
serta tebing yang cukup curam menyebabkan
penjelajahan kami tidak dapat menjangkau ke
banyak titik lebih jauh dari lokasi penemuan
tahun 2011. Selama pengamatan yang kami
lakukan selama seminggu dengan berpindah
lokasi dari hilir menuju hulu, Kedung Wuni (RT 10
Tanjung Barat) sebagai titik penemuan 2011,
Kedung Babi, Kedung Sahong, dan Kedung
Kuda(RT 05 Tanjung Barat)berdasarkan saran
dan informasi warga. Kedung Wuni
(06o19’00.8”S106o50’44.6”E) yang berada di
belakang Lapangan Tembak Brimob ini memiliki
diameter paling sempit (5-7 m), substrat lumpur
DIVERSITAS
22 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
batu, dan banyak pohon Buni (Antidesma bunius)
maupun rumpun bambu. Kedung Babi dan
Kedung Sahong berjarak 100 m dari sentra
produksi tempe tahu milik Primkopti Jakarta
Selatan, sekitar 700 m dari Kedung Wuni,
memiliki diameter 8-20 m, berkontur landai
sedangkan di tepian beralur sedalam 8-12 m
dengan beberapa ceruk yang membentuk
pusaran, lokasinya cukup terbuka, vegetasi lebih
banyak semak dan perdu, substrat lempeng batu
dan arus yang tenang. Kedung Kuda berjarak 2
km dari Kedung Wuni, berdiameter 10 m dan
baru saja mengalami longsor saat itu, berarus
cukup kuat dengan kedalaman sekitar 3 m. Kami
mencoba meletakkan jebakan menggunakan ikan
Bandeng (Chanos chanos) segar tetapi nihil.
Meskipun kami berpindah-pindah dan mencoba
menjebaknya, tetapi tidak pernah menjumpai
secara langsung bahkan sisa kehadirannya.
Kami juga melacak keberadaan C.c. javanensis
di Sungai Brantas, Leces, Probolinggo
(07o44.415’S 112o56.971’E) yang terletak di Jawa
Timur[3, 4, 7], sesuai catatan terakhir dari koleksi
MZB namun juga nihil karena kondisi sungai
yang sempit, terbuka tanpa vegetasi yang
berpotensi sebagai pelindung, dankeberadaan
dam yang digunakan sebagai irigasi sawah.
Memang sulit melacak lelembut raksasa ini,
kami kemudian mendata organisme perairan
yang berpotensi menjadi pakan alaminya baik
dengan pengamatan langsung di sungai, pasar
sekitar, dan wawancara dengan warga yang
tersaji dalam Tabel 1. dan Gambar 3. berikut ini.
Tabel 1. Fauna Sungai Ciliwung, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Jakarta Selatan pada tahun 2017
Lokasi Nama Lokal Nama Latin Sumber Keterangan
Kedung Babi Kedung Kuda Kedung Wuni
Bulan-bulan - Wawancara Introduksi , mirip Bandeng tetapi lebih panjang dan lebar
Kedung Babi Kedung Sahong Kedung Wuni
Lawak Barbonymus sp. Wawancara Mirip Tawes ekor merah
Kedung Babi Kedung Kuda Kedung Sahong Kedung Wuni
Tenggehet Barbonymus sp. Pengamatan Wawancara
Mirip Tawes
Kedung Babi Kedung Kuda Kedung Sahong Kedung Wuni
Lempalung Hampala macrolepidota Wawancara
Kedung Babi Kedung Kuda Kedung Sahong Kedung Wuni
Melem Osteochilus vittatus Wawancara
Kedung Babi Kedung Kuda
Mujair Oreochromis mossambicus Wawancara
Kedung Babi Kedung Kuda Kedung Sahong Kedung Wuni
Sapu-sapu Hypostamus sp. Pengamatan Wawancara
Introduksi
Kedung Babi Kedung Sahong
Bandeng Chanos chanos Wawancara Introduksi
Kedung Babi Kedung Kuda Kedung Wuni
Udang sungai Udang galah
Macrobrachium sp. Macrobrachium rosenbergii
Pengamatan Wawancara
- Muncul setelah banjir 2007
Kedung Wuni Kedung Sahong
Rajungan Portunus sp. Pengamatan
DIVERSITAS
23 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 23
C.c. javanensis jika merujuk literatur dari
spesies kerabatnya di Thailand, merupakan
omnivora perairan tawar[1, 4, 5, 7], sehingga dengan
bervariasinya organisme perairan lainnya yang
tersedia diduga semua spesies tersebut
berpotensi menjadi pakannya, terlebih ukurannya
yang lebih kecil. Karena tidak dapat menjumpai
lelembut ini secara langsung di habitat alaminya,
maka kami tidak dapat memastikan jenis pakan
spesifik mana yang disukai ataupun dihindarinya.
Jika melihat kondisi sungai dan bantaran
Ciliwung, memang patut diduga jika spesies ini
disebut lelembut karena perilakunya yang soliter
dan lebih sering berendam, lebih sering muncul
ke permukaan saat masa kawin-bertelur
(kebiasaan Trionychidae). Selain itu kompetisi
dengan Biawak (Varanus salvator) maupun
spesies omnivora perairan tawar lainnya dalam
mengakses makanannya. Ikan di Sungai
Ciliwung lebih melimpah dan sering muncul ke
permukaan saat malam hari, sehingga predator
ikan termasuk C.c. javanensis diduga kuat aktif
berburu saat malam (Pers.com: Ali dan Udin
2017). Ancaman perburuan dan perdagangan
untuk makanan, obat, dan koleksi[8], serta
desakan pada habitatnya berupa pencemaran
DIVERSITAS
Tenggehet (Barbonymus sp.) Udang Sungai (Macrobrachium sp.)
Bang Ali (kiri), Udin (kaos coklat), dan Tim Peneliti Sapu-sapu (Hypostamus sp.) hasil tangkapan warga
Gambar 3. Organisme yang berpotensi sebagai pakan Chitra chitra javanensis di Sungai Ciliwung
24 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
dan alih fungsi bantaran menjadi bangunan
menyebabkan hilangnya rumpun salak (Salacca
zalacca) yang melimpah di sekitar Ciliwung tahun
1990an (Pers.com: Ali 2017), sehingga diduga
dengan hilangnya vegetasi yang berpotensi
sebagai pelindung sarangnya menyebabkan C.c.
javanensis membatasi pergerakannya sebagai
bentuk adaptasi.
Pemerintah melalui Kementerian KLHK
telah melakukakan upaya perlindungan dan
konservasi C.c. javanensis melalui Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya. Sebenarnya ancaman dan
upaya perlindungan yang sama juga dialami oleh
anggota Trionychidae yang lain seperti kehadiran
spesies invasif,yaitu Pelodiscus sinensis dan
Pelochelys cantorii yang berasal dari daratan
Indo-Cina melalui perdagangan hewan eksotis[5, 7,
8]. Bahkan masyarakat telah mampu melakukan
penangkaranbeberapa spesies sebagai upaya
memenuhi permintaan pasar[6], alih-alih sebagai
pengganti perburuan terhadap spesies lain yang
‘langka’. Meskipun demikian, kesadaran kita
untuk mengurangi konsumsi plastik dan barang
turunan yang sekali pakai dan limbah minyak
sebagai pemicu kerusakan habitatnya akan
sangat bermanfaat. Mungkin dalam waktu-waktu
ke depan akan lebih sering muncul ‘makhluk
aneh’ bahkan dalam kondisi mati akibat dari
hilangnya area yang berfungsi sebagai
habitatnya.
Daftar Rujukan
[1] Das, I. 2010. A field guide to the reptiles of Southeast Asia. New Holland: London [2] detikNews. 2011. Wah! Kura-kura raksasa nongol di Lenteng Agung. https://m.detik.com/news/
berita/d-1767314/wah-kura-kura-raksasa-nongol-di-lenteng-agung, diakses tanggal 13 Februari 2019.
[3] Iskandar, D. T. 2004. On the giant Javanese softshelled turtles (Trionychidae). Hamadryad Vol. 28, No. 1&2: 128-130.
[4] McCord, W. P. and Pritchard, P. C. H. 2002. A review of the softshell turtles of the genus Chitra, with the description of new taxa from Myanmar and Indonesia (Java). Hamadryad Vol. 27, No. 1: 11-56.
[5] Mumpuni. 2011. Kerabat labi-labi (suku Trionychidae) di Indonesia. Fauna Indonesia Vol. 10, No. 2: 11-17.
[6] Purwantono, M. D. Kusrini, dan B. Masy’ud. 2016. Manajemen penangkaran empat jenis kura-kura peliharaan dan konsumsi di Indonesia. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 13, No. 2: 119-135.
[7] Rhodin, A. G. J., J. B. Iverson, R. Bour, U. Fritz, A. Georges, H. B. Saffer, and P. P. van Dijk. 2017. Turtles of the world: Annotated checklist and atlas of taxonomy, synonymy, distribution, and conservation status (8th Ed.) dalam Rhodin, A.G.J., J. B. Iverson, P. P. van Dijk, R. A. Saumure, K. A. Buhlmann, P. C. H. Pritchard, and R. A. Mittermeier (Eds).Conservation Biology of Freshwater Turtles and Tortoises: A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and Freshwater Turtle Specialist Group. Chelonian Research Monographs 7. doi: 10.3854/crm.7.checklist.atlas.v8.2017.
[8] van Dijk, P. P., B. L. Stuart, and A. G. J. Rhodin. 2000. Asian Turtle Trade: Proceedings of a Workshop on Conservation and Trade of Freshwater Turtles and Tortoises in Asia. Chelonian Research Foundation: Massachusetts.
[9] Auliya, M., P. P. van Dijk, E. O. Moll, and P. A. Meylan. 2016. Amyda cartilaginea (Boddaert 1770) –Asiatic Softshell Turtle, Southeast Asian Softshell Turtle dalam A.G.J. Rhodin, P.C.H. Pritchard, P.P. van Dijk, R.A. Saumure, K.A. Buhlmann, J.B. Iverson, and R. A. Mittermeier(Eds.). Conservation Biology of Freshwater Turtles and Tortoises: A compilation project of the IUN/SSC tortoiseand freshwater turtle specialist group. Chelonian Research Monographs No. 5 doi:10.3854/crm.5.092.cartilaginea.v1.2016
DIVERSITAS
25 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 25
L abi-labi bintang (Chitra chitra) ada-
lah kura-kura air tawar yang
cangkangnya lunak tanpa sisik keras. Labi-labi
bintang di Indonesia merupakan jenis yang
langka dengan persebaran yang terbatas di Su-
matera bagian timur dan Jawa. Persebaran
jenis ini di Jawa berada di Pulau Karimun Jawa,
Ciliwung dan Bengawan Solo (Das, 2010;
Pough, et al, 1998; Iskandar, 2000).
Pada tanggal 31 Januari 2019 sekitar
pukul 17.00 WIB, warga Desa Manyaran
menemukan seekor labi-labi bintang berukuran
besar di Sungai Sempor. Keesokan harinya labi-
labi bintang tersebut dibawa oleh BKSDA Yog-
yakarta dan dititipkan di Kebun Binatang Gembi-
ra Loka (GL Zoo) untuk dirawat dan diperiksa
kondisinya. GL Zoo merupakan Lembaga Kon-
servasi yang telah memiliki ijin, dan berada di
wilayah BKSDA Yogyakarta.
SURVEI AWAL ANALISA HABITAT DITEMUKANNYA LABI-LABI BINTANG
(Chitra chitra)
Di Sungai Sempor, Sleman, DIY
Donan Satria Yudha1, Rury Eprilurahman2, Irwanjasmoro3, Yohannes Supramono4
1. Museum Biologi UGM 2. Laboratorium Sistematika Hewan, Fakultas Biologi, UGM 3. Wild Water Indonesia 4. Pemerhati Kura-kura
Gambar 1. Sungai Sempor, Sleman DIY, lokasi ditemukannya Labi-labi bintang (Chitra chitra). Pak Irwan (kaos hitam di tengah sungai) sedang mengamati substrat. Titik dimana Pak Irwan mem-bungkuk adalah titik dijumpainya labi-labi bintang tersebut.
DIVERSITAS
26 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
Penemuan labi-labi bintang di wilayah
Propinsi DIY merupakan rekaman data baru, ka-
rena sebelumnya tidak ada rekaman data
mengenai labi-labi bintang di DIY (Iskandar,
2000; McCord & Pitchard, 2002; Iskandar 2004;
Perdamaian dkk, 2017).
Kami Tim Peneliti Herpetofauna dari Mu-
seum Biologi UGM dan Fakultas Biologi UGM
belum mengetahui secara pasti bagaimana habi-
tat labi-labi bintang dan bagaimana labi-labi bin-
tang tersebut bisa berada di Sungai Sempor.
Penelitian kali ini guna mengetahui potensial
habitat labi-labi bintang dan keberadaan labi-labi
bintang di Sungai Sempor, Sleman DIY. Data
tersebut dapat digunakan sebagai referensi guna
penelitian lanjutan maupun konservasi wilayah
yang lebih baik lagi untuk labi-labi bintang di DIY.
Labi-labi merupakan kura-kura air tawar
tempurung lunak yang dikelompokkan ke dalam
suku Trionychidae. Terdapat tiga jenis labi-labi
dari genus Chitra di dunia, yaitu: Chitra indica,
Chitra chitra, dan Chitra vandijki. Persebaran
alami Chitra indica berada di Bangladesh, India,
Nepal dan Pakistan. Persebaran alami Chitra
chitra berada di Thailand, Malaysia dan Indone-
sia terutama di Jawa. Persebaran alami Chitra
vandjiki berada di Myanmar, di Sungai
Ayeyarwadi, Chindwin dan kemungkinan Sungai
Sittaung (Pough, et al, 1998; Iskandar, 2000;
Das & Singh, 2009; McCord & Pitchard, 2002;
Platt, et al, 2014).
Di Indonesia terdapat tujuh jenis kura-
kura tempurung lunak dari suku Trinoychidae,
yaitu: Chitra chitra (Labi-labi bintang), Pelochelys
Gambar 2. Morfometri Labi-labi bintang (Chitra chitra) di kolam sementara BKSDA Yogyakarta sebelum dipindahkan ke GL Zoo.
DIVERSITAS
27 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 27
Labi-labi bintang (Chitra chitra) yang ditemukan di Sungai Sempor, Sleman DIY dalam proses pemindahan ke GL Zoo, setelah dilakukan analisis morfologi dan morfometri.
DIVERSITAS
28 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
cantori (Labi-labi raksasa, Antipa), Pelochelys
bibroni (Labi-labi Irian), Lissemys punctata (Labi-
labi katup), Dogania subplana (Labi-labi hutan),
Amyda cartilaginea (Bulus) dan Pelodiscus
sinensis (Labi-labi Cina). Jenis labi-labi Cina
merupakan hewan introduksi (Iskandar, 2000).
Perbedaan Chitra chitra (labi-labi bintang)
dengan Chitra indica (labi-labi India) berdasarkan
ukuran tubuh maksimal dewasa dan pola corak
tubuh. Labi-labi bintang dapat mencapai ukuran
panjang maksimal tubuh 140 cm dan berbentuk
lonjong, sedangkan labi-labi India hanya 60 cm
dan berbentuk bulat. Kemudian pola corak tubuh
Labi-labi bintang: perisai berwarna hitam atau
coklat dengan garis-garis putih yang mengarah
keluar, dan pada daerah marginal juga terdapat
bercak-bercak putih, bagian ujung moncong ter-
dapat dua garis putih ditepiannya, dan ada tanda
mirip garis silang diantara dua mata. Labi-labi
India: perisai berwarna hitam atau coklat dengan
warna putih berupa bercak-bercak dan meman-
jang tidak simetris, dan tidak membentuk pola
tertentu, bagian ujung moncong tanpa dua garis
ditepiannya dan tanpa pola garis silang diantara
dua mata (Iskandar, 2000; McCord & Pitchard,
2002).
Menurut McCord & Pitchard (2002) jenis
Chitra chitra memiliki dua anak-jenis yaitu: Chitra
chitra chitra dan Chitra chitra javanensis. Chitra
chitra javanensis (labi-labi bintang Jawa) mem-
iliki ciri-ciri: warna tubuh keseluruhan gelap, teru-
tama bagi individu muda; tidak memiliki garis-
garis karapas vertebral bagian tengah dan lateral
(lacking of midline and lateral vertebral carapa-
cial stripes); tubuh cenderung seperti bentuk lon-
ceng pada bagian anterior karapas; pola garis
silang “X” diantara mata; tidak ada ocelli parsial
diantara atau dibelakang mata; terdapat bercak
besar dan ocelli dibagian dagu; garis costal lebih
memanjang.
Gambar 4. Labi-labi bintang (Chitra chitra) yang ditemukan di Sungai Sempor, Sleman DIY dan telah berada di kolam sementara GL Zoo.
DIVERSITAS
29 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 29
Habitat dari Chitra indica adalah di sungai
-sungai berukuran besar dan sedang, dengan
turbiditas (kekeruhan) rendah dan dasar berupa
substrat berpasir, kadang dijumpai di lekukan
(busur, kuk, oxbow) anak sungai yang berpasir,
berpalung (Das & Singh, 2009; Das & Gupta,
2011). Jenis ini memakan ikan, katak dan molus-
ka (Prashad, 1914 dalam Das & Singh, 2009),
dan kemungkinan besar cara makannya bertipe
menyergap mangsa dengan menyembunyikan
sebagian besar tubuhnya dibawah pasir dan lum-
pur dasar sungai, hanya menyisakan ujung mon-
cong diatas permukaan substrat (Pritchard, 1984
dalam Das & Singh, 2009). Beberapa individu
dari Bangladesh memakan kepiting dan udang,
karena dijumpai sisa-sisa karapas dan kaki kepit-
ing serta udang, selain sisa karapas moluska dan
tulang ikan (Das & Singh, 2009).
Habitat Chitra chitra adalah sungai-sungai
besar dengan substrat berpasir dan berlumpur
(Kitimasak, et al, 2005). Berdasarkan penelitian
dari van Dijk and Thirakhupt (1995), Chitra chitra
diasosiasikan dengan air yang jernih dan bersih,
tetapi beberapa data lain menyebutkan bahwa
Chitra chitra juga dijumpai pada air keruh (turbid)
di Sungai Mae Klong. Chitra chitra mampu hidup
pada sungai keruh tetapi kurang optimal
(Kitimasak, et al, 2005).
Habitat dari Chitra vandjiki adalah di
sungai-sungai berukuran besar dan sedang di
dataran rendah, dengan tepian berupa substrat
berpasir, dan belum banyak diketahui mengenai
habitat dan ekologi dari jenis ini. Pakan alami
jenis ini adalah ikan, moluska, kepiting, udang
dan tumbuhan air (Smith 1931; Nutaphand 1979
dalam Platt, et al, 2014).
Berdasarkan referensi tersebut diatas,
dapat disimpulkan bahwa habitat potensial bagi
Chitra chitra adalah: sungai-sungai berukuran
besar dan sedang, dengan turbiditas (kekeruhan)
rendah dan dasar berupa substrat berpasir. Ka-
dang dijumpai di lekukan (busur, kuk, oxbow)
anak sungai yang berpasir, berpalung.
Pengambilan data kemungkinan habitat
Chitra chitra dilakukan di Sungai Sempor, wi-
layah Dusun Mantaran, Kelurahan Triharjo, Ka-
bupaten Sleman tempat ditemukannya labi-labi
bintang oleh warga. Penelitian dilakukan pada
hari Minggu, 10 Januari 2019, pukul 09.00 sd
11.30 WIB.
Data yang diambil adalah: lebar sungai,
kedalaman sungai, komposisi substrat di dasar
sungai, kedalaman ceruk ditepian sungai, keke-
ruhan air sungai, dan koordinat lokasi
dijumpainya labi-labi bintang menggunakan GPS
(Global Positioning System).
Proses pengambilan data dengan urutan
sebagai berikut: pertama ditentukan tiga titik
sampling guna pengambilan data lebar sungai,
kedalaman sungai, dan kedalaman ceruk.
Penentuan tiga titik sampling dimulai dari titik
sampling satu yaitu tempat ditemukannya labi-
labi, kemudian memanjang ke sisi selatan sepan-
jang 15 m guna menentukan titik sampling kedua
dan ketiga. Pengambilan data lebar sungai,
kedalaman sungai, dan kedalaman ceruk dengan
pengukuran langsung menggunakan meteran
pada setiap titik sampling. Pengukuran kedala-
man sungai dan ceruk dibantu dengan snorkel
full face untuk memudahkan melihat dasar
sungai dan ujung ceruk.
Selanjutnya yang kedua, dilakukan
penghitungan komposisi substrat sungai secara
kualitatif, yaitu tiap titik sampling ditentukan pan-
jang sungai 5 m, setiap 5 meter panjang sungai,
dilakukan persentase secara kualitatif mengenai
komposisi pasir, batu dan lumpur pada substrat
sungai. Kemudian mengambil sampel hewan air
yaitu: ikan, udang dan moluska di area sepan-
jang 5 meter. Lebar badan air diukur dari badan
air terlebar dan tersempit pada area 5 meter.
Kedalaman sungai diukur pada titik terdalam pa-
DIVERSITAS
30 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
da area 5 meter, dan kedalaman cerukan ditepi-
an sungai diukur semua. Profil melintang sungai
dilakukan dengan memotret sisi hulu dan sisi
hilir. Profil sungai penting untuk mengetahui
lebar sungai, adanya palung, cerukan ditepian
dan jenis substrat.
Proses ketiga adalah wawancara dengan
pemancing dan warga disekitar tepian sungai.
Wawancara dilakukan untuk mengetahui jenis-
jenis kura-kura dan labi-labi yang pernah ter-
tangkap pemancing dan warga. Dalam proses
pengambilan data tersebut, kami dibantu oleh
pihak BKSDA Yogyakarta, Mas Ilham Bahana
(alumni Pascasarjana Fakultas Biologi UGM),
Mas FX Sugiyo Pranoto (Frans) staf Museum
Biologi UGM, mahasiswa Kelompok Studi Her-
petologi (KSH), Fakultas Biologi UGM yaitu
Luthfi Fauzi, Hendy Eka Putera dan mahasiswa
skripsi fosil kura-kura yaitu Fidelis Aritona.
Gambar 5. Tim peneliti dari Museum Biologi UGM, Laboratorium Sistematika Hewan serta Kelompok Studi Herpetologi Fakultas Biologi UGM, BKSDA Yogyakarta, Wild Water Indonesia sedang meneliti lokasi ditemukannya Labi-labi bintang (Chitra chitra).
DIVERSITAS
31 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 31
Gambar 6. Pengukuran lebar dan kedalaman sungai, pengukuran suhu air, pengambilan sampel sub-
strat dan pengambilan sampel fauna sungai sebagai data penunjang analisis habitat labi-
labi bintang.
Gambar 7. Pengukuran lebar dan kedalaman sungai dilakukan oleh mahasiswa Kelompok Studi Herpetologi (KSH) Fakultas Biologi UGM.
DIVERSITAS
32 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
Pengambilan data lingkungan dan pengamatan profil sungai di Sungai Sempor diperoleh hasil
sebagai berikut:
Tabel 1. Data Fisik dan lingkungan di Sungai Sempor Dusun Mantaran, Kelurahan Triharjo, Kabupaten Sleman
Titik Sampling
Koordinat Lebar
Sungai (m) Dalam
Sungai (m) Suhu Air
(0C)
Keterangan
I -7.68424900
110.36350735 9,0 1,13 26
0C
Bagian terlebar & terdalam sungai yg diukur
II – 6,4 2,00 26 0C
Bagian terlebar & terdalam sungai yg diukur
III -7.68409804
110.36307694 8,4 1,43 26
0C
Bagian terlebar & terdalam sungai yg diukur
Tabel 2. Data potensial habitat di Sungai Sempor Dusun Mantaran, Kelurahan Triharjo, Kabupaten Sleman
Titik Sampling
Koordinat Cerukan
(cm) Komposisi substrat Tingkat kekeruhan
I -7.68424900
110.36350735 55, 60 & 70
Batu & kerikil 90% Pasir 10%
Jernih
II – 164 Batu & kerikil 40% Pasir 60%
Keruh
III -7.68409804
110.36307694 40, 40
Batu & kerikil 20% Pasir & lumpur 80%
Keruh
Dari tabel 1 & 2 diatas, dapat dikatakan bahwa TS III merupakan habitat potensial sebagai
kura-kura tempurung lunak (anggota suku Trionychidae). TS III memiliki kedalaman sungai yang
cukup, ada 2 titik cerukan serta komposisi substrat yang sesuai dengan literatur.
Tabel 3. Data jenis-jenis ikan, udang & kepiting di Sungai Sempor Dusun Mantaran, Kelurahan Triharjo, Kabu-paten Sleman, sekitar lokasi ditemukannya Chitra chitra
No Bangsa Suku Jenis Nama lokal
Ikan
Cypriniformes Cyprinidae Barbodes binotatus Wader cakul
Cypriniformes Cyprinidae Rasbora argyrotaenia Wader pari
Cypriniformes Cyprinidae Mystacoleucus marginatus Kepek
Cypriniformes Cyprinidae Neolissochilus hexagonolepis Mangur
Cypriniformes Nemacheilidae Nemacheilus fasciatus Uceng
Cyprinodontiformes Poeciliidae Xiphophorus hellerii Ikan ekor pedang
Cyprinodontiformes Poeciliidae Poecilia reticulata Guppy, cethul
Perciformes Channidae Channa gachua Kotes
Perciformes Cichlidae Oreochromis niloticus Nila
Udang
Decapoda Palaemonidae Macrobrachium lanchesteri Udang sungai
Decapoda Palaemonidae Macrobrachium pilimanus Udang sungai
Kepiting
Decapoda Gecarcinucidae Parathelphusa convexa kepiting sungai
DIVERSITAS
33 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 33
Berdasarkan tabel 3 diatas, dapat dikatakan bah-
wa ikan kepek, uceng dan kotes, semua jenis
udang serta kepiting sungai merupakan mangsa
potensial bagi kura-kura tempurung lunak
(anggota suku Trionychidae).
Beberapa argumen mengenai
keberadaan labi-labi bintang di lokasi tersebut
adalah: labi-labi bintang untuk mencapai ukuran
tubuh 145 cm (panjang total badan) membutuh-
kan waktu sekitar 40 sd 50 tahun. Berdasarkan
wawancara dengan warga dan pemancing, mere-
ka umumnya menemukan bulus Jawa (tidak ada
ornamentasi di karapas). Warga menemukan bu-
lus Jawa berbagai ukuran, dari kecil seukuran
tutup gelas hingga ban motor. Labi-labi bintang
merupakan hewan yang suka berdiam diri lama
di dalam pasir, tidak banyak bergerak, hewan ini
kalah bersaing dalam hal kompetisi pakan dari
saudaranya bulus Jawa. Bulus Jawa cenderung
aktif mengejar mangsa. Ukuran labi-labi bintang
yang besar membutuhkan pakan besar, sedikit
kompetitor dan lebar sungai yang lebih besar.
Titik Sampling III yang merupakan habitat poten-
sial, kurang memenuhi syarat lebar sungai,
kedalaman ceruk dan tingkat kekeruhan, bagi
labi-labi berukuran 145 cm tersebut. Hal tersebut
menjadikan alasan mengapa titik penemuan ter-
sebut kurang cocok dengan habitat labi-labi bin-
tang.
DAFTAR REFERENSI Das, Indraneil, and Shailendra Singh. 2009. Chitra indica (Gray 1830) – Narrow-Headed Softshell Turtle.
Conservation Biology of Freshwater Turtles and Tortoises: A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and Freshwater Turtle Specialist Group. A.G.J. Rhodin, P.H.C. Pritchard, P.P. van Dijk, R.A. Saumure, K.A. Buhlmann, J.B. Iverson, and R.A. Mittermeier, Eds. Chelonian Research Monographs (ISSN 1088-7105) No.5, doi: 10.3854/crm.5.027.indica.v.l.2009.
Das, Indraneil. 2010. A Field Guide to the Reptiles of South-east Asia. New Holland Publishers (UK) Ltd. Pp. 32, 176.
Das, Kulendra C., and Abhik Gupta. 2011. Site records of softshell turtles (Chelonia: Trionychidae) from Barak Valley, Assam, northeastern India. Journal of Threatened Taxa 3(4): 1722–1726
Iskandar, Djoko Tjahjono. 2000. Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini, Dengan Catatan Mengenai Jenis-jenis di Asia Tenggara. PALMedia Citra Bandung. Hal. 82-83.
Iskandar, D. T. 2004. On the giant Javanese softshelled turtles (Trionychidae). Hamadryad Vol. 28, No. 1&2: 128-130.
Kitimasak, Wachira, Kumthorn Thirakhupt, Sitdhi Boonyaratpalin, and Don L. Moll. 2005. Distribution and Population Status of the Narrow-Headed Softshell Turtle Chitra spp. in Thailand. The Natural History Journal of Chulalongkorn University 5(1): 31-42, May 2005.
McCord, William P., and Peter C.H. Pritchard. 2002. A Review of the Softshell Turtles of the Genus Chitra, with the Description of New Taxa from Myanmar and Indonesia (Java). Hamadryad, Vol. 27, No.1, pp. 11-56.
Perdamaian, A.B.I., D. Sartika, H.P. Wicesa, M.M. Amin, dan B.S. Daryono. 2017. Distribusi dan Ke-melimpahan Labi-Labi Bintang (Chitra chitra javanensis) di Sungai Ciliwung, Brantas, dan Ben-gawan Solo. Seminar Nasional dan Kongres Perhimpunan Herpetologi Indonesia ke-V, 10 sd 11 November 2017, di Bale Sawala – Universitas Padjadjaran, Bandung.
Platt, Steven G., Kalyar Platt, Win Ko Ko, and Thomas R. Rainwater. 2014. Chitra vandijki McCord and Pritchard 2003 – Burmese Narrow-Headed Softshell Turtle. Conservation Biology of Freshwa-ter Turtles and Tortoises: A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and Freshwater Tur-tle Specialist Group. A.G.J. Rhodin, P.H.C. Pritchard, P.P. van Dijk, R.A. Saumure, K.A. Buhlmann, J.B. Iverson, and R.A. Mittermeier, Eds. Chelonian Research Monographs (ISSN 1088-7105) No.5, doi: 10.3854/crm.5.074.vandijki.v.l.2014.
Pough, F.H., R.M. Andrew, J.E. Cadle, M.L. Crump, A.H. Savitzky, and K.D. Wells. 1998. Herpetology. Prentice-Hall, Inc. Upper Saddle River, New Jersey. Pp : 138, 169.
Vitt, Laurie J., and Janalee P. Caldwell. 2014. Herpetology: An Introductory Biology of Amphibians and Reptiles, 4th ed. Academic Press is an imprint of Elsevier. Elsevier Inc. All rights reserved. Pp. 529-531.
Zug, George, Vitt, Laurie J., and Janalee P. Caldwell. 2001. Herpetology: An Introductory Biology of Am-phibians and Reptiles, 2nd ed. Academic Press. Printed in USA. Pp. 447-449.
DIVERSITAS
34 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
P ada Warta Herpetofauna (WH) edisi
Desember 2018, telah ditulis artikel ten-
tang penjumpaan dua jenis ular dari genus Oli-
godon di Area Ekowisata Mudal. Kali ini di area
yang sama dijumpai dua jenis ular dari genus
Calamaria. Hal tersebut menunjukkan bahwa
Area Ekowisata Taman Sungai Mudal merupa-
kan habitat yang baik dan cocok bagi
keberadaan herpetofauna terutama ular. Ular-
ular genus Calamaria dijumpai di dataran tinggi,
misalnya ular jenis Calamaria linnaei banyak
dijumpai di ketinggian 700 m dan diatasnya,
contoh terbaru dari Calamaria linnaei dijumpai
di Dataran Tinggi Ijen di Sempol, Bondowoso,
Jawa Timur dengan ketinggian 950 – 1100 m,
(Sidik, et al, 2018; Hodges, 1993; de Rooij,
1917)
Pada hari Rabu tgl 28 Desember 2018,
sekitar pukul 17.57 WIB, saat cuaca mendung,
di area Ekowisata Sungai Mudal, tepatnya pada
dataran serasah dedaunan kering, letaknya 12
m dari sumber air dijumpai ular jenis Calamaria
bicolor. Ular ini dijumpai dengan posisi sembun-
yi di serasah dedaunan yang mulai busuk dan
PENJUMPAAN DUA JENIS ULAR GENUS Calamaria
DI AREA EKOWISATA TAMAN SUNGAI MUDAL,
KULON PROGO,YOGYAKARTA
Donan Satria Yudha1 dan Dwi Agus Stiana2
1. Laboratorium Sistematika Hewan, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada
2. Pengelola Taman Sungai Mudal
DIVERSITAS
Gambar 1. Ular alang-alang/gelagah dwi-warna Calamaria bicolor dijumpai di area Ekowisata Sungai Mudal, Kulon Progo, DIY.
35 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 35
lembab. Ular tersebut ditangkap oleh Mas Tyo
(Dwi Agus Stiana) pengelola Ekowisata Taman
Sungai Mudal, untuk difoto, dicatat koordinat
ditemukannya dan sayangnya sebelum dibawa
ke Laboratorium Sistematika Hewan, Fakultas
Biologi UGM untuk diidentifikasi lebih lanjut dan
disimpan sebagai spesimen voucher, ular terse-
but lepas dari kantong kain, dan untungnya lepas
di area Ekowisata Sungai Mudal.
Menurut de Rooij (1917), ular jenis Cala-
maria bicolor hanya dijumpai di Kalimantan
(Kinabalu, Paku di Sarawak atas, dan Singka-
wang). Sedangkan menurut Das (2010)
persebran ular Calamaria bicolor di Kalimantan
dan Jawa habitat di area perbukitan rendah (mid-
hills) hingga kaki gunung atau lereng bawah
daerah pegunungan (submontane). Berdasarkan
hal tersebut, dimungkinkan menjumpai ular alang
DIVERSITAS
Gambar 2. Serasah di belakang sumber air daerah Mudal, lokasi dijumpainya Calamaria bicolor.
36 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
-alang dwi-warna di area Ekowisata Sungai Mu-
dal, karena area tersebut berada pada ketinggian
800 mdpl dan merupakan lereng pegunungan,
habitat yang cocok bagi ular alang dwi-warna.
Kemudian pada hari Selasa tgl 15 Januari
2019, sekitar pukul 07.58 WIB, saat cerah be-
rawan, masih di area Ekowisata Sungai Mudal,
tepatnya di lereng-lereng bantaran sungai
dijumpai satu individu ular jenis Calamaria lin-
naei. Ular ini dijumpai dengan posisi diam berje-
mur di bebatuan kapur bantaran sungai. Ular
tersebut ditangkap oleh Mas Tyo dan direkam
semua datanya, selanjutnya dibawa ke Laborato-
rium Sistematika Hewan, Fakultas Biologi UGM
untuk diidentifikasi lebih lanjut dan disimpan se-
bagai spesimen voucher.
Menurut de Rooij (1917), ular Calamaria
linnaei dijumpai di beberapa wilayah di Jawa, se-
perti Gadok, Bogor, Salak, Sindanglaia, Gunung
Bunder, Gunung Pengalengan dengan ketinggian
4000 kaki, Gunung Cisurupan, Preanger, Suka-
bumi, Pegunungan Wilis di ketinggian 5000 kaki,
Kediri, Salatiga, Ambarawa, Wonosobo, Nongko-
jajar di Pegunungan Tengger ketinggian 1300 m.
ular ini juga dijumpai di Sumatera, Kalimantan,
Manado dan Maluku.
Sedangkan menurut Das (2010), habitat
dari ular Calamaria linnaei di area perbukitan ren-
dah (mid-hills) hingga kaki gunung atau lereng
bawah daerah pegunungan (submontane) den-
gan ketinggian sekitar 1500 mdpl. Persebaran
ular ini di Indonesia, diketahui di Jawa dan Pulau
Bangka. Deskripsi lain mengenai ular alang Lin-
naeus ini, yaitu :merupakan ular ovipar, dengan
jumlah telur antara 2 – 4 butir, berukuran 20 hing-
ga 26 x 7 hingga 9 mm. Memiliki masa inkubasi
64 sampai dengan 84 hari. Ketika menetas, uku-
ran anakan yang baru menetas 92 hingga 120
mm.
Dijumpainya dua jenis ular dari marga Ca-
lamaria di Mudal, menambahkan data rekaman
baru persebaran ular-ular di Jawa. Hal tersebut
juga menjelaskan bahwa area Mudal merupakan
area yang baik dan potensial bagi habitat bebera-
pa jenis ular, terutama ular-ular yang jarang di-
jumpai.
DIVERSITAS
Gambar 3. Ular alang-alang/gelagah Linnaeus Calamaria linnaei, dijumpai di area Ekowisata Sungai Mudal,
Kulon Progo, DIY.
Referensi Das, Indraneil. 2010. A Field Guide to the Reptiles of South-East Asia. New Holland Publishers (UK) Ltd. Pp 98,
100, 265, 268. de Rooij, Nelly Dr. 1917. The Reptiles of the Indo-Australian Archipelago. II. Ophidia. Leiden. E.J. Brill Ltd. Pp.
149 – 153; 165 – 166; 174 – 175. Hodges, Rick. 1993. Snakes of Java with special reference to East Java Province. British Herpetological Society
Bulletin, No.43. pp. 15-32 Sidik, I., Sumitro, S.B., Kurniawan, N. 2018. The Linnaeus’s Reed Snake, Calamaria linnaei Boie (Squamata:
Colubridae: Calamariinae) from Ijen Plateau, East Java, Indonesia. Research Journal of Life Science. Vol-ume 5, No.1. pp. 42-50.
37 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 37
S ebagian besar alam Kabupaten
Gunungkidul merupakan kawasan hu-
tan dan perbukitan. Keadaan ini sangat men-
dukung kehidupan berbagai satwa dan tum-
buhan. Gunungkidul menjadi daya tarik tersendiri
bagi para pengagum keindahan panorama alam
karena masih sangat asri, sejuk dan tenang serta
belum banyak tergusur oleh majunya pem-
bangunan. Masyarakatnya masih kental dengan
budaya pedesaan salah satunya makanan khas
tiwul yang berasal dari singkong kering atau
gaplek.
Pertengahan Maret 2019 para pecinta sat-
wa dan pelestari alam dari berbagai kalangan
antara lain mahasiswa biologi UGM, mahasiswa
biologi Atmajaya, Komunitas Animal Keeper Jog-
ja, pengamat Reptil Amfibi Jogja, dan FOREST
Jogja pergi ke Hutan Bunder untuk melakukan
kegiatan pengamatan herpetofauna dan
pelepasliaran Sanca Kembang (Malayophyton
reticulatus). Ular tersebut merupakan hasil
tangkapan warga karena masuk ke pemukiman
kemudian diserahkan kepada tim untuk dilepas-
kan di daerah yang aman. Animal Keeper Jogja
menerima serahan Malayophyton reticulatus
sebanyak tiga ekor dari panjang 1,5 meter sam-
pai 3,5meter. FOREST membawa satu ekor
sepanjang 3 meter dan Kang Sigit pecinta alam
membawa satu ekor dengan panjang 4 meter.
Total keseluruhan ada 5 ekor Malayophyton retic-
ulatus yang akan dilepas ke Hutan Bunder
Gunungkidul.
Sabtu sore tim berangkat menuju kawasan
Hutan Bunder, perjalanan sekitar satu jam dari
Kota Yogyakarta. Setelah sampai di posko tim
istirahat dan persiapan kegiatan selanjutnya.
Selesai sholat Isya’ tim mulai bergerak menuju
hutan yang berdekatan dengan Sungai Oyo.
Sungai ini merupakan sungai terbesar dan ter-
panjang di Kabupaten GunungKidul, di tempat
inilah satu per satu ular dilepaskan. Lokasi itu
dipilih karena berdekatan dengan sumber air,
jauh dari pemukiman, dan tersedia cukup ma-
kanan berupa burung dan Monyet Ekor Panjang
yang over populasi. Monyet Ekor Panjang diang-
gap hama oleh petani karena sering menjarah
lahan pertanian sehingga petani sering gagal
panen. Harapannya ular itu bisa menjadi predator
untuk menekan populasi Monyet Ekor Panjang di
Gunungkidul.
Setelah pelepasan ular, semua tim mulai
bergerak menyusuri hutan. Kondisi hutan sangat
sepi hanya menemukan Gekko gecko ( tokek ru-
mah ) yang merayap di batang pohon dan be-
berapa bunglon sisir ( Bronchocela jubata ) yang
tertidur lelap di ranting pohon serta kadal kebun
(Eutropis multifasciata) yang sedang santai di
celah batu. Selanjutnya tim beralih menuju banta-
ran Sungai Oyo, baru beberapa puluh meter me-
nyusuri tepian sungai team dengan 11 personil
yaitu Saktyari, Saliyo, Sigit, Firman, Novi, Afian,
Ainun, Arman, Harist, Ahmad Jamil, dan Bam-
bang menemukan Ahaetula mycterizans yang
masih juvenile sedang tidur di ranting pohon. Ular
KOMUNITAS
SANCA KEMBANG KEMBALI HIDUP BEBAS DI BUMI YOGYAKARTA
Saliyo
Animal Keeper Yogyakarta
38 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
tersebut didata dan didokumentasikan kemudian
tim kembali menyusuri sungai. Tim menemukan
Ahaetula prasina dengan panjang 1,6 meter se-
dang melingkar di pucuk ranting. Tidak jauh dari
lokasi itu tim menemukan kembali Ahaetulla
prasina di ranting-ranting pohon. Totalnya ada 11
ekor Ahaetula prasina yang di temukan di pinggir
Sungai Oyo. Karena sudah lelah dan waktu su-
dah lewat jam satu dini hari tim memutuskan
kembali ke posko untuk istirahat dan berdiskusi
tentang hasil pengamatan. Dalam perjalanan
Saliyo menemukan ular kawat ( Rhamphotyph-
lops braminus ) dengan panjang 13,5 cm saat
sedang mengecek daun jati kering. Ular ini mem-
iliki ukuran yang sangat kecil sehingga butuh
cukup lama untuk pendataan dan dokumentasi.
Jam 02.08 WIB tim sampai di posko, mem-
inum kopi hangat sambil berdiskusi hasil penga-
matan yang sudah dilakukan. Tim menyimpulkan
bahwa kondisi alam di Hutan Bunder masih baik
dan sangat mendukung untuk kegiatan herpe-
tofauna serta pelepasan Malayophyton reticula-
tus. Kabupaten Gunung Kidul masih menyimpan
banyak lokasi yang menarik untuk di elajahi serta
masih banyak konflik satwa liar yang butuh per-
hatian dan solusi. Tanpa terasa matahari telah
terbit disambut kicauan indah berbagai jenis bu-
rung. Setelah semua peralatan rapi tim bergegas
kembali ke rumah masing-masing. Satukan tekad
dan semangat, visi dan misi untuk konservasi se-
bagai solusi konflik satwa liar yang terjadi.
Kegiatan sampling setelah pelepasliaran Sanca Kembang (Malayophyton reticulatus) (kiri)
dan Eutropis multifasciata yang ditemukan saat pengamatan di Hutan Bunder, Gunungkidul (kanan)
KOMUNITAS
39 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 39
Y ogyakarta mempunyai hamparan
alam yang sangat indah. Hutan,
sawah, dan pantai yang dialiri sungai-sungai be-
sar berhulu di Gunung Merapi, Gunungkidul, dan
Jawa Tengah. Keadaan alam ini sangat men-
dukung hidupnya berbagai spesies satwa dan
tumbuhan. Keunikan dan keaneragaman
kekayaan alam terjaga oleh kearifan lokal
masyarakatnya. 31 Januari 2019 yang lalu,
seorang warga menemukan Labi-labi Bintang
( Chitra chitra javanica ) saat sedang menjaring
ikan di Sungai Sempor Kabupaten Sleman
dengan ukuran yang sangat besar. Berita
penemuan ini pun langsung menyebar di
masyarakat Yogyakarta dan viral di media sosial.
Balai Konservasi Sumberdaya Alam
( BKSDA ) Yogyakarta segera melakukan media-
si dengan penemu labi-labi dan melakukan tinda-
kan penyelamatan karena Labi –labi Bintang ter-
masuk dalam daftar satwa langka dan dilindungi.
Pada tanggal 2 Februari 2019 Chitra javanica
dipindahkan ke Cagar Alam Gunung Gamping
Sleman sambil menunggu kesiapan tempat di
Gembiraloka Zoo. Labi-labi tersebut diletakkan di
kolam besar.
Animal Keeper Jogja ( AKJ ) sebagai sa-
lah satu komunitas di Yogyakarta yang berbasis
konservasi dan sosial merasa terpanggil untuk
ikut andil dalam penyelamatan dengan
melakukan pengawalan satwa langka dan di lin-
dungi sehingga bisa membantu memberikan in-
formasi yang positif dan terpercaya kepada
masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat,
AKJ melalui ketua umum melakukan koordinasi
dengan BKSDA Yogyakarta dan diteruskan ke
Resort Sleman tempat labi-labi dirawat sementa-
ra. Tanggal 6 Februari 2019 AKJ bersama Muse-
um Biologi UGM menuju Cagar Alam Gunung
Gamping untuk melakukan pengecekan dan pen-
dataan. Bapak Donan Satria Yudha selaku
kepala Museum Biologi UGM mengungkapkan
bahwa Chitra javanica dari Sungai Sempor ini
merupakan penemuan pertama kali di wilayah
Yogyakarta. Labi-labi itu mempunyai panjang
100cm dan lebar 54cm. Bapak Donan Satria
Yudha juga mengungkapkan labi-labi ini di-
perkirakan berusia lebih dari 50 tahun dan ber-
jenis kelamin jantan. Setelah pendataan selesai
bersama BKSDA, tim dari Museum Biologi UGM
dan AKJ mengantar Chitra chitra javanica ke
Gembiraloka Zoo (GL Zoo).
Hampir dua bulan berlalu masyarakat mu-
lai melupakan labi-labi raksasa yang pernah
menghebohkan masyarakat Yogyakarta dan
sekitarnya. Tidak lagi terdengar perbincangan
terkait labi-labi itu di masyarakat. Perkembangan
kondisi labi-labi raksasa juga tidak di ketahui.
Ketua Umum AKJ kembali berkoordinasi ke Balai
Konservasi Sumber Daya Alam ( BKSDA ) Yog-
yakarta dan diteruskan ke pihak kebun binatang
Gembiraloka Zoo untuk melakukan kunjungan
memantau kondisi perkembangan Chitra chitra
javanica. Pada 1 April 2019 Saliyo selaku Ketua
Umum Animal Keeper Jogja ( AKJ ) bersama
Saktyari pengamat herpetofauna Yogyakarta
berkunjung ke Gembiraloka Zoo dan disambut
ramah oleh kepala bagian perawatan satwa
Bapak Miftah Nurkhasan serta diantarkan ke ko-
LABI – LABI RAKSASA TEMUAN WARGA YOGYAKARTA
Saliyo
Animal Keeper Jogja
KOMUNITAS
40 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
KOMUNITAS
Labi-labi Bintang diangkat dari kolam untuk pengambilan data morfometri
41 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 41
lam tempat Labi-labi tersebut dirawat. Bapak
Miftah menjelaskan Chitra chitra javanica
perkembangannya cukup bagus, luka-lukanya
hampir sembuh dan setiap hari rata-rata
menyantap empat ekor ikan lele berukuran se-
dang.
Chitra chitra javanica ditempatkan di ko-
lam berukuran 3 X 4m, sirkulasi berjalan baik dan
selalu tersedia ikan lele dan nila sebagai pakan.
Air kolam bersumber dari aliran Sungai Gajah
Wong. Kolam juga dibuat semirip mungkin
dengan habitat aslinya dengan dialasi pasir dan
beberapa batu. Animal Keeper Jogja akan terus
berupaya melakukan koordinasi dengan lembaga
pemerintah dan masyarakat dalam upaya peles-
tarian kekayaan alam di Yogyakarta. Maraknya
perburuan dan perdagangan satwa liar perlu
mendapat perhatian agar kekayaan alam ini terus
terjaga. Ekosistem yang seimbang akan berdam-
pak positif bagi kehidupan sosial dan kesejahter-
aan masyarakat. Dengan menjunjung tinggi rasa
gotong royong dan kerjasama baik masyarakat
dan lembaga-lembaga pemerintah, upaya peles-
tarian alam akan lebih mudah dan ringan. Keles-
tarian alam sudah sepatutnya menjadi
kesadaran, kebutuhan dan tanggung jawab ber-
sama untuk kesejahteraan masyarakat. Salam
konservasi , gotong royong, suka menolong!
KOMUNITAS
Gambar 2. Labi-labi Bintang diserahkan kepada GL Zoo dan ditempatkan di sebuah kolam
42 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
Sambil menyelam minum air, sambil baksos
sambil herping
H ari Minggu, 17 Februari 2019 yang
lalu dilakukan kegiatan bersih-
bersih di Objek Wisata Riam Angan Tembawang
di Kecamatan Jelimpo, Kabupaten Landak,
Kalimantan Barat. Aksi ini diprakarsai oleh Duta
Lingkungan Hidup Kabupaten Landak. Duta
Lingkungan Hidup menghimpun komunitas
pecinta alam di Kabupaten Landak untuk
berpartisipasi dalam aksi bakti sosial ini. Kegiatan
ini diikuti oleh banyak komunitas pecinta alam
dan komunitas amfibi reptil indonesia (AFRI).
Peserta berkumpul di taman baca Kota Ngabang
pada pukul 08.00 WIB untuk persiapan
keberangkatan menuju lokasi Riam Angan
Tembawang. Kami mendapatkan arahan dari
pihak kepolisian kemudian berangkat dengan
pengawalan polisi. Waktu tempuh menuju lokasi
memakan waktu 1,5 jam dari Kota Ngabang.
Perjalanan yg memakan tenaga dan menguras
waktu ini pun tidak sia-sia karena peserta
disuguhi pemandangan air terjun dan jeram yang
memanjakan mata. Merdunya gemericik air
seperti menyampaikan pesan untuk para peserta
agar menjaganya dan mengenalkannya kepada
para pengunjung di lokasi tersebut.
Setelah sejenak memanjakan diri di Objek
Wisata Riam Angan Tembawang acara
pembukaan pun dimulai, kemudian dilanjutkan
dengan ISHOMA. Amfibi Reptil Indonesia (AFRI)
pun memanfaatkan waktu ini untuk melakukan
survei biodiversitas herpetofauna di kawasan
Riam Angan Tembawang. AFRI melakukan
herping selama 1 jam 23 menit dan menemukan
spesies yg mendominasi dan menyukai gemericik
air serta kelembaban air terjun Angan
Tembawang, yaitu Staurois guttatus. Kami
menemukan kurang lebih 13 ekor Staurois
guttatus dengan letak yang berdekatan. Ternyata
tidak hanya kami yg menikmati keindahan dan
sejuknya air terjun di kawasan objek wisata ini.
Totalnya kami menemukan 4 spesies
anggota Famili Ranidae yaitu Staurois guttatus,
Odorrana hosii, Meristogenys jerboa dan Rana
nicobariensis. Kami juga menemukan 1 spesies
reptil yaitu Takydromus sexlineatus. Saat kami
herping salah seorang rekan kami yg bernama
Tedy tergelincir karena menginjak bebatuan yg
licin di area air terjun. Kejadian lain menimpa
rekan kami yg bernama Dedy supriyadi akibat
keasyikan herping sehingga kurang berhati-hati.
RIAM ANGAN TEMBAWANG, BAKSOS SEKALIGUS HERPING
Dedy Supriyadi
Komunitas Amfibi Reptil Indonesia
Komunitas Snake Owner Kota Intan
Gambar 1.Riam Angan Tembawang di Kabupaten
Landak, Kalimantan Barat
KOMUNITAS
43 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 43
Gambar 2. A. Lokasi herping di kawasan Riam Angan Tembawang; B. Meristogenys jerboa; C. Rana nico-
bariensis; D. Staurois guttatus ; dan E. Foto bersama dengan semua peserta usai kegiatan baksos .
A
B C D
E
KOMUNITAS
44 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
B ukit Lubuk Baji merupakan bagian dari
salah satu Kawasan Taman Nasional
Gunung Palung yang berada di Desa Sedahan
Jaya, Sukadana, Kabupaten Kayong utara,
Provinsi Kalimantan Barat. Bukit Lubuk Baji ini
memiliki luas 290,12 Ha serta memiliki ketinggian
460 mdpl. Selain itu Bukit Lubuk Baji juga
merupakan kawasan potensial karena memiliki
beragam habitat, mulai dari sungai alaminya,
hutan yang masih terjaga, terlebih area ini masuk
dalam kawasan hutan lindung.
Pendataan yang dilakukan selama 3 hari 2
malam ini diikuti oleh Devi Indah Lestari, Fandi
Winata, Muhammad rizki, Nurrahman, dan Toni
Herpandes selaku kepala ekspedisi. Tim
Ekspedisi Cabang Panti menggunakan metode
Visual Encounter Survey dan Transek Jalur
dalam melakukan pendataan. Metode ini
bertujuan untuk mencatat keanekaragaman relatif
pada suatu lokasi dan memudahkan tim dalam
melakukan pendataan. Pengamatan dimulai
setelah adzan maghrib yaitu pukul 18.30 WIB.
Tim mengalami beberapa kesulitan dalam
pengambilan data karena medan cukup terjal dan
lamanya jarak tempuh hingga ke Camp Lubuk
Baji. Pendataan pada malam pertama kurang
optimal sehingga tim sampai Camp Lubuk Baji
pukul 21.23 WIB. Pada malam pertama tim
disambut oleh 7 spesies, terdiri dari 3 spesies
reptil dan 4 spesies amfibi. Adapun spesies yang
ditemukan yaitu Sibynophis melanocephalus,
Cyrtodactylus pubisulcus, Staurois guttatus,
Limnonectes paramacrodon, Chalcorana
megalonesa, Gonochepalus grandis, dan
Limnonectes kuhlii. Hari pun sudah larut malam
dan tim ekspedisi sepakat untuk menyudahi
pendataan pada malam pertamanya dengan
beristirahat.
Pada hari kedua tim memulai pendataan
kembali pada pukul 08.14 WIB, pada awal
pendataan tim menemukan spesies Staurois
guttatus. Pada pukul 09.30 WIB kami
menemukan sebanyak 5 spesies antara lain
Chalcorana megalonesa, Staurois guttatus,
Tropidophorus brookei dan Eutropis multifasciata.
Tim memutuskan untuk beristirahat sejenak
sambil menikmati keindahan alam yang ada di
Bukit Lubuk Baji dengan mandi air terjun. Air
yang jernih dan murni dari mata air ini dapat
menghilangkan rasa penat yang melekat.
Matahari sudah merundukkan diri dan suara-
suara hewan malam berteriak lantang di dalam
hutan seakan menandakan malam akan datang.
Kami pun bergegas mempersiapkan diri untuk
mengambil data sebanyak mungkin di malam
terakhir. Malam pun tiba, kami mencoba
menyusuri sungai berharap masih menemukan
hewan eksotis lainnya. Benar saja beberapa saat
LAKUKAN PENDATAAN KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA
DI KAWASAN GUNUNG PALUNG, AMFIBI REPTIL INDONESIA
BENTUK TIM EKSPEDISI CABANG PANTI BERSAMA KAMIPALA.
Eka Tri Prasetiya
Komunitas Amfibi Repril Indonesia
KOMUNITAS
45 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 45
memulai penyusuran kami menemukan
Notochelys platynota atau yang di kenal dengan
kura-kura tempurung datar. Pendataan pada
malam kedua lebih terasa ringan sebab kami
sudah tidak membawa beban di punggung,
hanya membawa peralatan untuk keperluan
herping saja. Ditemani suara khas beberapa
hewan yang berada di Hutan Lubuk Baji
menjadikan pendataan malam itu semakin seru.
Kami akhirnya memutuskan untuk menyudahi
pendataan pada pukul 21.17 WIB, dimana
pendataan ditutup oleh momen yang sangat
indah yaitu melihat sepasang Megophrys nasuta
yang sedang kawin. Adapun spesies yang dapat
kami temukan di malam terakhir itu adalah
Notochelys platynota, Staurois guttatus,
Chalcorana megalonesa, Limnonectes kuhlii,
Ansonia spinulifer, Leptolalax gracilis,
Cyrtodactylus pubisulcus, Limnonectes
paramacrodon, dan Megophrys nasuta.
Akhirnya tibalah pada hari terakhir masa
ekspedisi. Satu spot telah kami lewati dengan
penuh cerita yang menggembirakan. Akan
sangat disayangkan jika dalam perjalanan pulang
menuruni bukit ini tidak sambil mendata. Dalam
perjalanan pulang kami menemukan berbagai
spesies, namun yang paling mengesankan di
dalam perjalanan adalah saat kami bertemu
dengan salah satu ular viper yang jarang ditemui
yaitu Trimeresurus borneensis. Perjalanan ini
akan menjadi cerita menarik bagi kami.
Hasil pengamatan kami selama tiga hari
dua malam sangatlah memuaskan. Kami
mendapatkan sebanyak 49 Individu, 10 famili, 14
genus dan 16 spesies dengan nilai
keanekaragaman sebesar 2,330.
KOMUNITAS
No Famili Spesies Inggris Ind Pi LN Pi H’ IUCN
1 Bufonidae Ansonia spinulifer Spiny Slender Toad 2 0,040 -3,198 0,130 Lc
2 Dicroglossidae
Limnonectes kuhlii Khul’s Creek Frog 4 0,081 -2,505 0,204 Lc
3 L.paramacrodon Lesser Swamp Frog 3 0,061 -2,793 0,171 Nt
4 Leptolalax gracilis Sarawak Slender Litter Frog 2 0,040 -3,198 0,130 Nt Megophryidae
5 Megophrys nasuta Bornean Horned Frog 2 0,040 -3,198 0,130 Lc
6 Ranidae
C.megalonesa White-lipped Stream Frog 5 0,102 -2,282 0,232 Lc
7 Staurois guttatus Black-spotted Rock Frog 16 0,326 -1,119 0,365 Lc
8 Agamidae G.grandis Malayan Crested Lizard 1 0,020 -3,891 0,079 Lc
9 Colubridae S.melanocephalus Black-headed Collared Snake 1 0,020 -3,891 0,079 Lc
10 Gekkonidae C. pubisulcus Inger’s Bent-toed Gecko 4 0,081 -2,505 0,204 Lc
11 Geoemydidae N.platynota Malayan Flat-shelled Turtle 1 0,020 -3,891 0,079 Vu
12
Scincidae
E.multifasciata Common Sun Skink 1 0,020 -3,891 0,079 Lc
13 Eutropis rudis Black-banded Skink 1 0,020 -3,891 0,079 Lc
14 L.bowringii Bowring’s Supple Skink 1 0,020 -3,891 0,079 -
15 T.brookei Brook’s Keeled Skink 4 0,081 -2,505 0,204 Lc
16 Viperidae T.borneensis Bornean Palm Pit Viper 1 0,020 -3,891 0,079 Lc
Total 49 2,330
Tabel 1.
46 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
Pendahuluan
I ndonesia adalah negara dengan mega-
biodiversitas terbesar ke dua di dunia
merupakan habitat alami bagi berbagai spesies
reptil seperti ular, penyu, biawak, buaya dan ban-
yak spesies reptil lainnya (Koch, 2011). Penyu
yang termasuk dalam ordo Testudina atau Che-
lonia hidup tersebar di seluruh dunia termasuk
Indonesia. Saat ini terdapat tujuh (7) spesies
penyu di seluruh dunia (Gambar 1) yaitu penyu
hijau (Chelonia mydas), penyu sisik
(Eretmochelys imbricata), penyu Kemp’s Ridley
(Lepidochelys kempii), penyu lekang
(Lepidochelys olivacea), penyu belimbing
(Demochelys coriacea), penyu pipih (Natator de-
pressus) dan penyu tempayan (Caretta caretta)
(Koch, 2011; Das, 2015).
Wilayah lautan Indonesia yang menjadi
persimpangan samudra Hindia dan samudra
Pasifik letaknya berada dekat garis khatulistiwa,
menjadikan perairan wilayah Indonesia memiliki
iklim yang cenderung hangat sepanjang tahun.
Perairan yang hangat menyediakan kelimpahan
pakan sepanjang tahun bagi hewan-hewan yang
hidup di lautan Indonesia, termasuk penyu.
Penyu-penyu karnivora dapat dengan mudah
menemukan pakan favoritnya seperti cumi-cumi,
ubur-ubur, udang, lobster, rajungan dan berbagai
jenis ikan, sedangkan penyu herbivora seperti
penyu hijau juga mudah menemukan padang
lamun dan rumput laut sebagai pakan favoritnya
(O’Shea and Halliday, 2002). Kondisi ini
menjadikan 6 dari 7 spesies penyu dunia dapat
ditemukan di wilayah perairan Indonesia. Penyu
Kemp’s Ridley (Lepidochelys kempii) menjadi
satu-satunya spesies penyu yang tidak
ditemukan di wilayah perairan lautan Indonesia
(Ramadhan, 2017).
Mengapa Ada Penyu Terdampar???
Semua hewan yang hidup di lautan ketika
sakit atau mati maka tubuhnya kemudian
tenggelam ke dasar laut, dimangsa predator atau
bangkainya terbawa arus laut dan akhirnya ter-
dampar ke pantai. Itulah sebabnya mengapa he-
wan laut seperti ikan-ikan bertubuh besar (hiu,
mola-mola, tuna, marlin, dll.), mamalia laut
(paus, lumba-lumba, dugong, anjing laut, singa
laut, walrus, dll.), reptil (buaya, penyu) ketika ter-
dampar ke pantai biasanya dalam kondisi sekar-
at ataupun dalam kondisi sudah mati bahkan su-
dah menjadi bangkai yang membusuk.
Penyu yang terdampar ke pantai dalam
kondisi sekarat atau baru saja mati biasanya
tubuhnya dalam kondisi utuh dan masih segar,
sedangkan penyu yang terdampar setelah mati
umumnya tubuh dalam kondisi sudah menjadi
bangkai yang tidak utuh lagi dan juga sudah
PENYEBAB PENYU MATI TERDAMPAR
Slamet Raharjo*
*Departeman Ilmu Penyakit Dalam FKH UGM
*Wakil Direktur Bidang Pendidikan RSH Prof. Soeparwi FKH UGM
Jl. Fauna No 2 Karangmalang Yogyakarta 55281
E-mail; [email protected] ; WA +62 878-3823-7607
ZOONOSIA
47 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 47
ZOONOSIA
Penyu Kemp’s Ridley Penyu Belimbing
Gambar 1. Tujuh spesies penyu di dunia
membusuk. Pada beberapa kasus, sebagian
anggota tubuh seperti kaki depan, kaki belakang,
kepala dan ekor sudah hilang. Pada kasus yang
lain bahkan kadang sudah sangat sulit untuk
dikenali spesiesnya karena bentuk tubuh yang
sudah rusak, bahkan hancur akibat mengalami
autolisis atau pembusukan hebat. Dalam kondisi
seperti ini, dibutuhkan ketelitian, kesabaran dan
kejelian untuk dapat menemukan ciri-ciri spesifik
sebagai kunci identifikasi spesies bangkai/
kadafer tersebut.
Apa Penyebab Penyu Mati Terdampar???
Setiap individu penyu yang ditemukan
mati terdampar di pantai selalu membawa misteri
yang harus dipecahkan oleh herpetolog.
Menemukan penyebab kematian penyu yang ma-
ti terdampar tidak selalu mudah karena kita tidak
mengetahui dengan pasti bagaimana kondisi
kesehatan penyu tersebut sebelum mati. Ketika
terjadi kematian pada penyu atau kura-kura yang
bukan hidup di lautan lepas, misalnya di Zoo/
Marine Aquarium, untuk mengetahui penyebab
kematian penyu atau kura tersebut akan lebih
mudah karena ada data recording manajemen
perawatan dan pakan serta medis yang dapat
digunakan sebagai dasar diagnosa sehingga
penyebab kematian dapat diketahui dengan lebih
akurat.
Berbeda dengan penyu di Zoo/Marine
Aquarium, penyu yang mati terdampar di pantai,
tidak ada yang memiliki data recordingnya se-
hingga semua misteri penyebab kematian penyu
48 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
tersebut harus digali dan diteliti untuk kemudian
dianalisis faktor-faktor yang menjadi penyebab
kematian penyu tersebut. Beberapa penyebab
yang sering menyebabkan kematian pada kasus
penyu mati terdampar misalnya kematian alami
karena umur tua (geriatrik), penyakit infeksius,
penyakit non-infeksius, keracunan, penyakit
metabolik/degeneratif, menelan benda asing, pe-
rubahan cuaca ekstrim, trauma fisik/kelukaan dan
pemangsaan oleh predator atau predasi.
Untuk mengetahui penyebab-penyebab
kematian penyu mati terdampar seperti tersebut
diatas perlu dilakukan 5 tindakan penting yang
harus dilakukan pada bangkai penyu untuk
menemukan penyebab kematian antara lain:
1. Identifikasi spesies
Identifikasi spesies sebagai kunci utama
untuk mengetahui penyebab kematian penyu
mati terdampar. Dengan mengetahui spesi-
esnya, herpetolog dapat melacak biologi dan
fisiologi spesies tersebut sebagai dasar
penentuan normal tidaknya kondisi bangkai
spesies tersebut.
2. Pendataan ukuran dan bentuk tubuh
penyu yang mati terdampar
Pendataan ukuran dan bentuk tubuh
pada penyu dapat digunakan sebagai pan-
duan perkiraan umur dan penentuan jenis ke-
lamin. Setiap spesies penyu memiliki ukuran
tubuh tertentu, sehingga dari data ukuran
tubuh penyu yang terdampar dapat dapat
dibandingkan dengan literatur spesies terse-
but sehingga diketahui apakah penyu terse-
but berjenis kelamin jantan atau betina dan
dengan membandingkan ukuran tubuh
dengan data literatur dapat diketahui apakah
penyu yang mati terdampar masih berukuran
anak-anak (infant), remaja (juvenile), dewasa
muda (adult) atau dewasa tua (mature).
3. Pemeriksaan fisik bangkai/kadafer
Pemeriksaan fisik bangkai/kadafer
penyu untuk menemukan abnormalitas seper-
ti kondisi bangkai yang masih segar, kelukaan
pada karapas, plastron dan bagian lain tubuh,
adanya pembengkakan tubuh, pembusukan,
predasi serta anggota tubuh yang hilang kare-
na autolisis dapat memberi informasi yang
akurat tentang perkiraan kematian, adanya
predasi maupun kondisi-kondisi lain yang ter-
jadi setelah kematian si penyu sampai saat
penyu terdampar (Nugent-Deal, 2005). Pada
kondisi fisik bangkai penyu yang masih segar
sebaiknya dilakukan upaya pengambilan
sampel tinja/feses dan darah untuk pemerik-
saan laboratoris (Jackson and Cockroft,
2002).
4. Bedah bangkai/Nekropsi
Bedah bangkai atau nekropsi merupa-
kan tindakan yang dilakukan untuk menge-
tahui lebih rinci kondisi bangkai penyu dan
organ-organ dalam tubuh. Nekropsi harus dil-
akukan oleh dokter hewan, patolog atau her-
petolog-patolog yang memahami anatomi
penyu dan penyakit-penyakit pada penyu
(Kelly, 2016). Bedah bangkai dimulai dengan
mencatat semua abnormalitas pada
permukaan tubuh, dilanjutkan membuka
plastron dan kulit leher sampai bawah
rahang. Semua abnormalitas pada organ dari
rongga mulut, hidung, kerongkongan
(esofagus), tenggorokan (trakea), jantung,
paru-paru, lambung, hati, lien, pangkreas,
usus halus, usus besar, ginjal, gonad (organ
reproduksi), kantung kemih (vesika urinaria)
dan kloaka (Kik and Mitchell, 2005). Setiap
abnormalitas yang ditemukan pada organ
dapat dianalisis secara medis untuk
digunakan sebagai dasar diagnosa penyebab
kematian. Adanya parasit dalam organ dalam
ZOONOSIA
49 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 49
seperti usus dan paru-paru dan adanya
kerusakan organ dalam seperti paru-paru,
hati dan ginjal dapat menjadi indikator
adanya penyakit infeksi maupun keracunan
(Schumacher, 2003). Adanya benda asing
seperti plastik dalam lambung ataupun usus
dapat mengakibatkan sumbatan lambung/
usus yang dapat menyebabkan kematian
penyu. Saat melakukan bedah bangkai
sekaligus dapat mengambil sampel organ
dalam untuk dilakukan pemeriksaan secara
laboratoris terutama pemeriksaan
histopatologi organ.
5. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan
terhadap sampel-sampel organ yang dicurigai
mengalami gangguan fungsi/abnormalitas
organ dengan tujuan untuk mengetahui
penyebab kematian secara lebih akurat dan
valid (Mader, 1996) terutama apabila
pemeriksaan nomor 1-4 belum menemukan
arah penyebab kematian. Hasil pemeriksaan
laboratorium seperti pemeriksaan tinja dan
darah menggambarkan kondisi kesehatan
penyu sebelum mati (Raharjo, 2008).
Pemeriksaan tinja/feses dapat digunakan
sebagai dasar ada tidaknya infestasi parasit
dalam saluran pencernaan dan pernafasan
sekaligus mengetahui derajat keparahan
infestasi parasit tersebut. Pemeriksaan darah
akurat untuk mengetahui ada tidaknya infeksi
oleh bakteri, virus, parasit dan agen lain serta
ada tidaknya kerusakan atau penurunan
fungsi organ dalam seperti hati dan ginjal
sebelum penyu mengalami kematian
sehingga dapat diketahui penyebab kematian
secara lebih akurat dan valid (Schumacher,
2003).
Dengan menganalisis data yang dik-
umpulkan dari 5 tindakan diatas, hepeteolog atau
dokter hewan yang melakukan pemeriksaan pa-
da bangkai penyu yang terdampar dapat menen-
tukan dan mengetahui penyebab kematian penyu
yang terdampar.
ZOONOSIA
DAFTAR PUSTAKA
Das, I. 2015. A Field Guide to the Reptiles of South-East Asia. Bloomsbury Publishing. UK: 10.
Jackson, P.G.G. and Cockroft, P.D. 2002. Clinical Examination of Farm Animal, Blackwell Science.
Kelly, W.R. 2016. Veterinary Clinical Diagnosis. Harcourt Publisher Limited, London.
Kik, MJL. and Mitchell, M.A. 2005. Reptile cardiology: a review of anatomy and physiology, diagnostic approaches, and clinical disease. Seminars in Avian and Exotic Pet Medicine 14(1): 52-60.doi: 10.1053/j.saep.2005.12.009
Koch, A. 2011. The Amphibians and Reptiles of Sulawesi: Underestimated Diversity in a Dynamic Environ-ment. In: F.E. Zachos and J.C. Habel (eds.), Biodiversity Hotspots. Springer, Berlin: 383-404.
Mader, D.R. 1996. Reptile Medicine and Surgery, WB Saunders Co. Philadelphia.
Nugent-Deal, J. 2005. Reptiles: Performing a Physical Examination. Veterinary Technician. 26(1).
O’Shea, M., and Halliday, T. 2002. Reptiles and Amphibians. South China Printing Company. China: 123.
Raharjo, S. 2008. Medis Veteriner dan Herpetofauna Indonesia. Makalah Seminar Nasional dan Kongress I Perhimpunan Herpetologi Indonesia 2008; Mengungkap Dunia Herpetologi Indonesia 2008, Fakultas Biologi UGM 24-25 Mei 2008.
Ramadhan, B. 2017. Wow, Ternyata 6 dari 7 Penyu Dunia Bisa Ditemukan di Indonesia. www.goodnewsfromindonesia.id
Schumacher, J. 2003. Reptile respiratory medicine. Vet. Clin. Exot. Anim. 6: 213–231.
50 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
P ertengahan tahun lalu, wacana pem-
bangunan properti penunjang pariwisata
(hotel) yang dianggap menerabas kawasan Ta-
man Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur,
menyebar di media massa. Memanen protes dari
berbagai kalangan. Dari aktivis pembela keles-
tarian lingkungan, Anggota Dewan, hingga seleb-
ritis. Tagar #savekomodo segera saja menjadi
trending topic selama berpekan-pekan.
Mayoritas penolakan publik bersandar
pada argumen ekologis dan konservasi. Bahwa,
tidak selayaknya hasrat pemerintah daerah
(Pemda) dan investor swasta untuk mengeduk
keuntungan material atas eksistensi naga purba
(Varanus komodoensis) di habitat aslinya itu,
berbalik kontraproduktif dengan ikhtiar-ikhtiar
konservasi in situ.
Tidak ada yang keliru dengan argumen
khalayak luas itu. Hanya saja, ada satu hal yang
tampaknya luput dicermati, yang justru menjadi
landasan kuat kenapa eksplorasi alam di negeri
ini terlihat investor oriented dan mengesamping-
kan dimensi konservasi satwa liar dan habi-
tatnya. Landasan itu adalah Peraturan Daerah
Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Perda Zonasi). Perda Zonasi ibarat ‘karpet
merah’ bagi investor untuk mendapatkan
kemudahan investasi. Mencakup jenis proyek
reklamasi, pariwisata, dan pertambangan.
Seperti diketahui, Perda Zonasi dikaitkan
dengan eksistensi 17 ribu lebih pulau yang
dimiliki Indonesia dengan 13.466 diantaranya
masuk kategori pulau kecil yang sudah diberi
nama. Sesuai UU No 1 Tahun 2014 yang
merupakan perubahan atas UU 27 tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau
Kecil, definisi pulau kecil mengacu pada luas
pulau yang lebih kecil atau sama dengan 2000
km2. Pulau Komodo, misalnya, luasnya 390
km2.
Diantara pulau-pulau itu, ada yang masuk
dalam kawasan Wallacea. Kawasan biogeografis
hasil kajian naturalis Inggris Alfred Russel
Wallace yang meliputi pulau-pulau dan
kepulauan di wilayah Indonesia bagian tengah.
Kawasan yang memiliki keragaman flora dan
fauna yang khas.
Pusat Data Dan Informasi KIARA (2019)
mencatat, hingga April 2019, 18 provinsi di
Indonesia telah mensyahkan Perda Zonasinya.
Sisanya, sebanyak 16 Provinsi masih dalam
proses pembahasan. Daerah yang terdampak
Perda Zonasi meliputi pulau-pulau kecil yang
juga masuk kawasan Wallacea itu, diantaranya
Sulawesi Utara (Perda No.1/2017), Sulawesi
Barat (Perda No.6/2017), NTB (Perda
No.12/2017), NTT (Perda No.4/2017), Sulawesi
Tengah (Perda No.10/2017), Maluku (Perda
No.1/2018), Maluku Utara (Perda No.4/2018).
Provinsi Maluku Utara yang masuk dalam
5 besar provinsi di Indonesia yang memiliki
paling banyak pulau kecil dengan 805 pulau,
OPINI
#SAVEHERPETOFAUNA
Prio Penangsang*
*Peminat Herpetofauna, Penulis Buku “Reptile Undercover”
51 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 51
adalah salah satu kawasan dalam garis
Wallacea yang niscaya akan terdampak oleh
Perda Zonasi. Provinsi Sulawesi Utara, tercatat
terdapat 330 Pulau kecil bernama.Tercatat 54
Pulau kecil, termasuk Pulau-Pulau Kecil di
Maluku Utara, telah dikuasai oleh 164 Izin
pertambangan mineral dan batubara.
Perda Zonasi di Lampung, misalnya,
melegalkan proyek reklamasi di Kabupaten
lampung Selatan. Perda Zonasi Kalimantan
Utara melegalkan proyek penambangan pasir
laut di Perairan Bulungan. Perda Zonasi Provinsi
NTB yang melegalkan tambang pasir laut di
perairan Selat Alas, Lombok Timur untuk
kepentingan reklamasi Teluk Benoa, Bali. Di
NTT, Perda Zonasi setempat melegalkan
perampasaan ruang melalui proyek pariwisata di
perairan Labuan Bajo dan Taman Nasional
Pulau Komodo.
Pulau-pulau kecil dengan potensi
kekayaan herpetofauna itu, idealnya tidak perlu
ditambang. Mengacu Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007, warga pesisir pulau kecil, nelayan,
serta pembudidaya ikan, diposisikan sebagai
pemangku kepentingan utama, terutama
masyarakat adat.
Pasal 35 huruf K misalnya, “Melakukan
penambangan mineral pada wilayah yang
apabila secara teknis dan atau ekologis dan atau
sosial dan atau budaya menimbulkan kerusakan
lingkungan dan atau pencemaran lingkungan
dan atau merugikan Masyarakat sekitarnya’.
Tengok juga Peraturan Menteri (Permen)
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.20/
MEN/2008, “..bahwa pertambangan tidak ada
kepentingan keberadaannya, sedangkan yang
terpenting adalah; konservasi; pendidikan dan
pelatihan; penelitian dan pengembangan;
budidaya laut; pariwisata’; usaha perikanan dan
kelautan secara lestari; pertanian organik; dan/
atau pertenakan’.
Melalui regulasi yang secara benderang
mendukung lingkungan dan habitat lestari itu,
idealnya menjamin kekayaan biodiversitas di
pulau-pulau kecil tetap dipertahankan.
Senyampang pulau-pulau besar susah
diharapkan sebab telanjur pepak oleh populasi
manusia dan massifnya konversi kawasan hutan
menjadi klaster industri perkebunan ataupun
properti.
Dampak eksplorasi pertambangan di pu-
lau kecil cukup mengenaskan. Pulau Gabe di
Maluku Utara, misalnya, mencuplik data
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam,2019),
setelah diperas 33 tahun oleh PT. Antam kini
Pulau Gebe juga dikapling lagi oleh 14 konsesi
dan blok pertambangan. Akibat aktivitas
pertambangan di Gebe, pesisir lalut menjadi
rusak. Temuan di lapangan, air laut yang
mayoritas berwarna biru dan hijau di pesisir
Gebe, namun di semenanjung dekat Jetty
tambang berwarna kuning. Sedimentasi dan
pembuangan limbah diduga kuat dibuang
langsung ke laut, tanpa ada proses instalasi
pengolahan air limbah. Hal ini juga diperparah
dengan aktivitas perusahaan yang
menggunakan pembangkit listrik tenaga
batubara, tanpa ada kejelasan lokasi
penempatan limbah B3 fly ash dan bottom ash.
Hal nyaris serupa terjadi di Pulau Wetar,
Halmahera Utara yang 83% luas pulaunya
dikuasai oleh tambang. Halmahera merupakan
salah satu pulau terbesar di gugusan kepuluan
Maluku bagian utara. Memiliki luas 26.900 km
persegi, memiliki tipe vegetasi dan keragaman
fauna yang beragam. Sampai 1997, wilayah
hutan Halmahera baru 20 persen saja yang
tereksplorasi. Kini, angkanya terus meningkat,
OPINI
52 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019
termasuk yang diakibatkan oleh eksplorasi
pertambangan.
Pulau Halmahera memiliki keragaman
herpetofauna dari kelas Amfibi dan Reptil yang
sejak zaman Belanda sudah diteliti. Boettger
(1895) misalnya, atau De Rooij (1915 &1917)
yang berhasil mempublikasikan daftar 29 jenis
Lacertilia (kelompok kadal), 19 Ophidia
(kelompok ular), 2 jenis Testudinaata (kura-kura)
dan 1 jenis Crocodilia (buaya).
Riset setelahnya, van Kampen (1923)
juga mempublikasikan 9 jenis amfibi. Herpetolog
Indonesia juga aktif melakukan riset dan
menemukan spesimen berharga di sana.
Diantaranya Pakar Herpetofauna Prof. Djoko T.
Iskandar dan Ed Colijn pada awal tahun 2001
dan 2002. Juga M. Iqbal Setiadi dan Amir
Hamidy pada 2006.
Sebaiknya izin pertambangan di pulau-
pulau kecil harus dikaji ulang dan bila perlu
dicabut. Pemerintah dan perusahaan-
perusahaan tambang yang terlibat, harus
melakukan pemulihan sosial-ekologis secara
komprehensif atas kerusakan pulau-pulau kecil
itu. Jika tidak, jangan kaget jika kelak riset-riset
herpetofauna, juga keragaman hayati satwa dan
flora lainnya di sana, akan menemui lubang-
lubang tambang menganga, gersang dan
kerontang. #SaveHerpetofuana . (*)
Gambar 1. Pulau Wetar, 83% jadi area pertambangan
OPINI
53 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 53
Eutropis multifasciata
Waduk Sermo, Kulon Progo, Yogyakarta
Kredit foto : Ikhsan Jaya