warta t enure-ed-8-juli2010
TRANSCRIPT
Warta Tenure Diterbitkan oleh:
Penanggungjawab: Dewan Pengurus WG‐Tenure
Iman Santoso Muayat Ali Muhshi Martua Sirait
Dewan Redaksi: Iman Santoso
Muayat Ali Muhshi Martua Sirait Retno Maryani
Asep Yunan Firdaus Emila
Redaktur Eksekutif:
Emila
Desain dan Tata Letak:
Anis Rohmani Eryandi Angga Pratama
Administrasi dan Distribusi:
Lia Amalia
Sekretariat: Jl. Cisangkui Blok B VI No. 1 Bogor Baru
Kecamatan Bogor Tengah Bogor Telp.+62 251 8323090
Email: [email protected] www.wg‐tenure.org
Warta Tenure diterbitkan secara berkala empat bulanan sebagai media informasi dan komunikasi bersama para pihak dalamupaya mencari solusi masalah penguasaan tanah di dalam kawasan hutan. Tulisan dalam Warta Tenure ini tidak selalu mencerminkan pendapat penerbit.
DAFTAR ISI
Dinamika WG‐Tenure 1
Kajian dan Opini
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH): Salah Satu Jalan Resolusi Konflik, Prakondisi Penyiapan Implementasi REDD 2
Soal Tenurial, KPH dan “The Trapped Administrator 5
REDD bagi Masyarakat Setempat: Ancaman atau Peluang 7
Opini “Permasalahan Land Tenure, Persiapan dan Kesiapan Masyarakat dalam Implementasi REDD” 11
Info Kebijakan
Reforma Tenure atas Sumber Daya Hutan 15
Proses Pembelajaran
SAMDHANA‐REDD Preparedness: Sebuah Dukungan Mentoring dan Hibah Kecil untuk Memahami Peluang dan Ancaman REDD di Tingkat Lokal 17
Jangan Ambil Hutan Kami! Suara‐suara dari area demonstration activities REDD di Kalbar 20
Seri Diskusi
Permasalahan Land Tenure dalam Persiapan Implementasi REDD: Antara Kebijakan dan Realitas 22
Resensi Buku
Pemanasan Global: Respons Pemerintah dan Dampaknya Terhadap Hak Masyarakat Adat 26
REDD, Bisakah Menjawab Deforestasi dan Menghadirkan Keadilan Iklim? Pembelajaran dari Indonesia 27 Redaksi mengundang para pihak untuk mengirimkan informasi, kajian dan opini yang berkaitan dengan masalah penguasaan tanah di dalam kawasan hutan. Tulisan dapat dikirim ke sekretariat redaksi.
Foto
: WG
T, M
itra
Sam
ya, M
itra
LH K
alte
ng
Sekapur Sirih
Warta Tenure kembali hadir di tengah‐tengah hiruk pikuk pembahasan seputar Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD). Tahun 2009‐2012 Pemerintah Indonesia menetapkan sebagai readiness phase implementasi REDD di Indonesia. Pada fase ini Pemerintah mencari ntervensi kebijakan yang diperlukan dalam upaya menangani penyebab mendasar deforestasi dan degradasi hutan, serta menyiapkan infrastruktur yang perlu diadakan untuk implementasi REDD. Sementara masyarakat sipil menanggapi REDD dengan perspektif yang beragam serta melakukan hal yang cukup beragam pula.
Bagaimana realita yang terjadi saat ini? Degradasi dan deforestasi masih terus berjalan. Pembangunan kebun‐kebun sawit berskala besar terus berjalan dan disinyalir banyak yang mengubah tutupan lahan hutan. Kegiatan pertambangan, terutama pertambangan batubara juga memberi kontribusi dalam degradasi hutan. Selain itu masalah tumpang tindih penguasaan dan peruntukan lahan dalam kawasan hutan juga masih belum dapat diselesaikan dengan baik. Warta Tenure edisi 8 hadir dengan tema ”Permasalahan Land Tenure, Persiapan dan Kesiapan Implementasi REDD”
Departemen Kehutanan mempersiapkan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prakondisi penting bagi penyiapan skema penanganan perubahan iklim dan pemanasan global. Keberadaan organisasi pengelola KPH di tingkat tapak akan mendukung skema penanganan perubahan iklim antara lain (a) menjadi salah satu institusi penting yang akan mengurusi proses penanganan perubahan iklim atau pemanasan global (b) wilayah kelolanya menjadi kepastian bagi DA‐REDD (c) KPH bertugas mendokumentasikan dan meregister pemanfaatan hutan termasuk jasa lingkungan bagi penanganan perubahan iklim. Bagaimana KPH ini menjadi salah satu jalan resolusi konflik, serta merupakan prakondisi penyiapan implementasi REDD diulas secara jelas dalam rubrik ”Kajian dan Opini” oleh Ir. Sriyono, MM dan Ir. Ali Djajono, MSc. dari Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan (WP3H) Ditjen Planologi yang membidangi KPH.
Masih dalam rubrik yang sama, Prof. Hariadi Kartodihardjo, staf pengajar dari Fakultas Kehutana IPB dan aktif di berbagai organisasi, termasuk KPH menyoroti masalah penyebab kerusakan hutan, kegagalan penanaman selama ini, serta memberikan ulasan tentang birokrasi yang terperangkap dalam tulisan bertajuk ”Soal Tenurial, KHP, dan ”The Trapped Administrators”. Kajian lain disajikan oleh Bapak Ilya Moeliono berjudul REDD bagi Masyarakat setempat: Ancaman atau Peluang. Selain kajian‐kajian tersebut disajikan pula opini singkat dari beberapa narasumber menanggapi tema yang diangkat dalam edisi 8 kali ini.
Pada rubrik info kebijakan secara khusus diajikan ‘oleh‐oleh’ dari Peer workshop FAO yang membahas Reformasi Tenure Hutan yang diikuti oleh Koordinator Pengurus WG‐Tenure, Dr. Iman Santoso, MSc. di Roma beberapa bulan yang lalu.
Beberapa hasil pembelajaran dari kegiatan mitra‐mitra Samdhana Insitute di lapangan untuk memotret peluang dan ancaman implementasi REDD dalam rangka untuk mendorong kesiapan (preparedness) masyarakat disajikan dalam rubrik “Aksi Pembelajaran”. Diskusi yang diselenggarakan WG‐Tenure dengan dukungan dari Samdhana Institute dengan mengambil tema “Permasalahan Land Tenure dan Persiapan Implementasi REDD; Antara Realita dan Kebijakan” diangkat dalam rubrik “Seri Diskusi”.
Beberapa kegiatan WG‐Tenure terkait permasalahan land tenure dan KPH diangkat dalam dinamika WG‐Tenure dan berita dalam gambar. Resensi buku yang ditulis oleh Bernadinus Steny dan diterbitkan oleh HuMa melengkapi berbagai informasi terkait persiapan dan kesiapan implementasi REDD.
Semoga sajian Warta Tenure edisi 8 ini dapat menambah informasi dan kajian terkait REDD dalam upaya untuk meningkatkan pemahaman berbagai pihak khususnya terhadap permasalahan land tenure di dalam kawasan hutan, sehingga pada saatnya REDD diimplementasikan masyarakat telah siap dan mendapatkan manfaat tidak justru sebaliknya serta yang utama fungsi hutan dapat tetap terjaga. Kritik dan saran konstruktif sangat kami perlukan.
SELAMAT MEMBACA !!!
Redaktur Warta Tenure
DINAMIKA WG TENURE
Permasalahan Land Tenure, KPH, dan persiapan implementasi REDD di Indonesia Oleh: Emila (Koordinator Eksekutif WGTenure)
engurangan emisi dari deforestasi dan de‐gradasi atau lebih dikenal dengan REDD men‐jadi perbincangan hangat pada beberapa tahun belakangan ini. Tahun 2012 merupakan tahun
terakhir yang ditetapkan Indonesia sebagai phase per‐siapan dan siap tinggal landas implementasi penuh REDD (full implementation) seperti telah disepakati oleh dunia. Sementara itu permasalahan land tenure masih menjadi persoalan dalam pengelolaan hutan di Indone‐sia. Bagaimana dengan kondisi land tenure yang masih carut marut ini kita mengahadapi pelaksanaan REDD?
Permasalahan yang seringkali berujung pada konflik land tenure yang dijumpai pada pengelolaan hutan di Indonesia antara lain disebabkan oleh batas kawasan hutan yang belum disepakati bersama baik oleh Pemer‐intah maupun masyarakat, serta perencanaan pemban‐gunan kehutanan yang kurang mengakomodir ke‐beradaan masyarakat yang telah ada di dalam kawasan hutan. Salah satu fokus kegiatan dari Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan adalah Pembangunan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Fokus kegiatan ini merupakan penjabaran dari kebijakan prioritas Ke‐menterian Kehutanan yaitu Pemantapan Kawasan Hu‐tan. Dengan adanya KPH dan organisasi pengelolaanya di tingkat tapak ditujukan agar pengelolaan hutan dapat lebih efisien dan lestari. Peran strategis KPH yang di‐harapkan pemerintah antara lain adalah optimalisasi akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan seba‐gai resolusi konflik land tenure. Selain itu keberadaan KPH mempunyai nilai strategis bagi kepentingan Nasional, antara lain mendukung komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020 (dimana 14%‐nya adalah sumbangan sektor kehutanan), karena KPH merupakan organisasi tingkat tapak (lapangan) yang akan berperan dalam penerapan pengelolaan hutan lestari, penurunan tingkat degradasi hutan, peningkatan rehabilitasi hutan, penurunan hotspot, serta dapat menjalankan fungsi Measurement, Reporting, Verification (MRV) yang merupakan salah satu indikator penting dalam penilaian keberhasilan penurunan emisi tersebut. WG‐Tenure melihat hal ini sebagai peluang yang cukup strategis dengan menem‐patkan system land tenure yang telah ada sebagai bahan pertimbangan yang penting dalam pembentukan dan pengelolaan KPH ke depan.
Dengan dukungan dana dari Partnership for Governance Reform (Kemitraan), WG‐Tenure bersama den‐gan mitra di lapangan melakukan asesment dan analisa tenurial di wilayah KPH Model di 3 (tiga) lokasi yaitu KPHP Model Register 47 di Kabupaten Lampung Ten‐gah, KPHL Model Rinjani Barat di Propinsi Nusa Teng‐gara Barat, dan calon lokasi KPHL Model di Kabupaten Kapuas. Pemilihan lokasi dilakukan melalui koordinasi dengan Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan (WP3H) Ditjen Planologi, Ke‐menterian Kehutanan. Sebelum melakukan asesment dan analisa tenurial WG‐Tenure bekerjasama dengan ICRAF, HuMA, dan Samdhana Institute mengadakan pelatihan “Perangkat Analisis Land Tenure”. Pelati‐han diikuti oleh staf BPKH (Regio Sumatera, Kaliman‐tan, dan Bali Nusa Tenggara); staf Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten yang wilayahnya menjadi lo‐kasi asesment; NGO (calon asesor); dan staf Planologi Kehutanan.
Metode kedua yang dikenalkan adalah Sistem Database Konflik yang dikembangkan oleh HuMa dan diberi label Huma‐win. HUMA sebuah perkumpulan untuk pemba‐ruan hukum berbasis masyarakat dan ekologi mengembangkan sebuah perangkat analisis untuk meretas atau mengurai dinamika permasalahan tenu‐rial dalam bentuk data base yang terkomputerisasi. Hal ini sangat dibutuhkan untuk mengelola data yang cu‐kup luas dan beragam (data spatial, kebijakan, nu‐merik/agregat, serta data‐data pendukung lainnya ter‐masuk gambar) dan disajikan dalam waktu relative singkat.
Perangkat lain yang coba dikenalkan adalah perangkat yang dikembangkan oleh Samdhana Institute untuk memahami gaya para pihak menghadapi dinamika per‐bedaan. Dengan alat yang disebut AGATA (Analisis Gaya Pihak Bersengketa) dapat pahami gaya para aktor un‐tuk menghadapi perbedaan, sehingga dapat dipilih proses penyelesaian konflik yang terjadi baik berupa mediasi, fasilitasi atau bentuk‐bentuk lainnya.
Sebagai tindak lanjut dari pelatihan WG‐Tenure beker‐jasama dengan mitra di lapangan (Mitra Samya Mata‐ram, Mitra Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah, serta mitra individu) melakukan assessment dan analisa land tenure di wilayah KPH Model.
1 Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
Bersambung ke halaman 4
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
KAJIAN DAN OPINI
2
KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) SALAH SATU JALAN RESOLUSI KONFLIK, PRAKONDISI PENYIAPAN IMPLEMENTASI REDD
Oleh: Ir. Sriyono, MM & Ir. Ali Djajono, MSc.
Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan
Ditjen Planologi, Kementerian Kehutanan
P embentukan KPH telah menjadi amanat peraturan perundangan bidang kehutanan antara lain UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya; UU 41/1999 tentang Kehutanan, PP 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan, PP 6/2007 Jo PP 3/2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan; PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota; PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah; Permenhut P. 6/Menhut‐II/2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH; dan Permenhut P.6/Menhut‐II/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) Pengelolaan Hutan pada KPH Lindung (KPHL) dan KPH Produksi (KPHP). Lalu mengapa harus ada KPH? Untuk menuju pengelolaan hutan lestari harus ada organisasi tingkat tapak sebagai organisasi teritory (wilayah). Organisasi tingkat tapak tersebut adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang benar‐benar menjalankan fungsi menagemen/pengelolaan pada wilayahnya.
Tentang KPH
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Seluruh kawasan hutan di Indonesia akan terbagi dalam wilayahwilayah KPH, serta akan menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, provinsi, kabupaten/kota. KPH meliputi KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL), KPH Produksi (KPHP), dimana dalam satu wilayah KPH, dapat terdiri lebih dari satu fungsi
pokok hutan, dan penamaannya berdasarkan fungsi hutan yang luasnya dominan.
Penetapan wilayah KPH menjadi kewenangan Menteri Kehutanan dan dapat dievaluasi untuk kepentingan efisiensi dan efektivitas serta karena adanya perubahan tata ruang. Pada setiap wilayah KPH dibentuk institusi pengelola yang merupakan organisasi tingkat tapak yang akan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan. Organisasi KPH tersebut harus dikelola oleh SDM yang profesional di bidang kehutanan.
Organisasi KPHL dan KPHP adalah Organisasi Daerah sementara Organisasi KPHK adalah Organisasi Pusat. Organisasi KPH menyelenggarakan fungsi pengelolaan (managemen) tidak menjalankan fungsi pengurusan (administrasi) termasuk kewenangan publik. Instansi
Ada Institusi
Tidak ada Institusi
Potensi SDHPotensi SDH (+)
(+)
(-)
(-)
Perambahan Illegal Loging
Rehabilitasi PHL
KAJIAN DAN OPINI
3 Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
Pemerintah (Dephut, Dinas Provinsi/Kab/Kota) menyelenggarakan fungsi administrasi atau pengurusan hutan. Selain tugas pengelolaan seperti digambarkan dalam bagan di atas tugas dan fungsi organisasi KPH lainnya antara lain adalah menjabarkan kebijakan kehutanan Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota untuk diimplementasikan; melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya; serta membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan. Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, sesuai kewenangannya bertanggung jawab terhadap pembangunan KPH dan infrastrukturnya. Sementara itu dana pembangunan KPH dapat bersumber dari APBN, APBD, serta sumberdana lain yang tidak mengikat. Pemerintah (Kementerian Kehutanan) berkewajiban menfasilitasi peningkatan kompetensi SDM pengelola KPH melalui Pendidikan dan Pelatihan. Dengan menjalankan fungsi pengelolaan hutan tersebut, KPH mempunyai peran Strategis dalam mendukung penyelenggaraan pembangunan kehutanan, antara lain: Optimalisasi akses masyarakat terhadap hutan
serta merupakan salah satu jalan bagi resolusi konflik. Keberadaan KPH di tingkat lapangan yang dekat masyarakat, akan memudahkan pemahaman permasalahan riil di tingkat lapangan, untuk sekaligus memposisikan perannya dalam penetapan bentuk akses yang tepat bagi masyarakat serta saran solusi konflik
Menjadi salah satu wujud nyata bentuk desentralisasi sektor kehutanan, karena organisasi KPHL dan KPHP adalah organisasi perangkat daerah.
Keberadaan KPH mempunyai nilai strategis bagi kepentingan Nasional, antara lain mendukung
GambaranGambaran Pembentukan Wilayah KPHPembentukan Wilayah KPH
KABUPATEN A
KABUPATEN B
KPHP
KPHK
KPHK
KPHL
TN
HP
CA TB
HL
HL
HP
HL
TN
HL
KPHL
komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26 % pada tahun 2020 (dimana 14 %nya adalah sumbangan sektor kehutanan), karena KPH merupakan organisasi tingkat tapak (lapangan) yang akan berperan dalam penerapan pengelolaan hutan lestari, penurunan tingkat degradasi hutan, peningkatan rehabilitasi hutan, penurunan hotspot, serta dapat menjalankan fungsi Measurement, Reporting, Verification (MRV) yang merupakan salah satu indikator penting dalam penilaian keberhasilan penurunan emisi tersebut.
Menjamin penyelenggaraan pengelolaan hutan akan tepat lokasi, tepat sasaran, tepat kegiatan, tepat pendanaan.
Menjembatani optimalisasi pemanfaatan potensi pendanaan penanganan iklim sektor kehutanan untuk kepentingan pembangunan masyarakat.
Kemudahan dalam investasi pengembangan sektor kehutanan, karena ketersediaan data/informasi detail tingkat lapangan.
Menjamin Peningkatan keberhasilan penanganan rehabilitasi hutan dan reklamasi, karena adanya organisasi tingkat lapangan yang mengambil peran untuk menjamin penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan reklamasi. Sekaligus akan menjalankan peran penanganan pasca kegiatan seperti: pendataan, pemeliharaan, perlindungan, monev.
KPH sebagai sebuah solusi konflik??
Pembentukan KPH bisa dijadikan sebagai peluang resolusi konflik. KPH dibangun sangat memperhatikan dan mempertimbangkan kekhasan masing‐masing daerah (local specific), sehingga KPH dibangun tidak ”seragam”, untuk menghindari permasalahan pada masing‐masing wilayah (lokasi). Menjadi jembatan bagi terjalinnya komunikasi institusi di tingkat Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota dengan masyarakat, karena KPH merupakan institusi pemerintah yang berada di tingkat tapak. Terjalinnya komunikasi
4
1. PerencanaanKehutanan
2. Pengelolaan3. Litbang, Diklat
Penyuluhan4. Pengawasan
1. Tata hutan & RP2. Pemanfaatan Hutan3. Penggunaan
Kawasan Hutan4. Rehabilitasi5. Perlindungan &
Konservasi
PENGURUSANHUTAN
BAGAN 1 POSISI PENGURUSAN DAN PENGELOLAAN HUTAN
DiselenggarakanOleh KPH
Diselenggarakan Dephut/Dinas Prov/Kab/Kota
4
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
SAMBUNGAN DARI HALAMAN 1
DINAMIKA WG‐TENURE
Keberadaan masyarakat telah merubah hampir seluruh tutupan lahan di Wilayah KPHP Model Register 47 Kabu‐paten Lampung Tengah dengan berbagai jenis tanaman pertanian (seperti jagung, singkong, padi, dan lain‐lain) maupun perkebunan (karet, sawit) dan sedikit tanaman kehutanan (akasia). Sementara itu permasalahan sertifi‐kasi lahan di dalam kawasan ditemui di KPHL Model Rin‐jani Barat, NTB. Bermacam‐macam sistem kelola masyarakat tradisional ditemui di calon KPH Model yang diusulkan Kab. Kuala Kapuas. Hasil assessment dan analisa tenurial telah dipresentasikan pada workshop sosialisasi dan konsolidasi KPH di Mataram NTB dan di Kabupaten Lampung Tengah. Dari ketiga wilayah assess‐ment tata batas kawasan hutan terlihat belum digunakan sebagai landasan untuk menetapkan wilayah KPH.
Keberadaan masyarakat dengan tata kelolanya bisa dili‐hat sebagai peluang dan tantangan, dengan mengede‐pankan tetap terjaminnya fungsi hutan untuk mewujud‐kan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari sesuai dengan cita‐cita pembentukan KPH. Hasil assessment dan analisa land diakses di www.wg‐tenure.org
Melihat berbagai persoalan land tenure dalam pengel‐olaan hutan serta kesiapan masyarakat dalam mengha‐dapi implementasi REDD, dengan dukungan dana dari Samdhana Institute, WG‐Tenure melakukan kegiatan dengan fokus meningkatkan pemahaman para pihak ter‐hadap permasalahan land tenure dalam persiapan dan kesiapan implementasi REDD di Indonesia.
Diskusi dengan tema “Permasalahan Land Tenure dan Persiapan Implementasi REDD: Antara Kebijakan dan Realita” telah diadakan pada 4 Mei 2010 yang lalu. Bagai‐mana proses diskusi tersebut disajikan dalam rubrik Seri Diskusi. ***
antara Instasni Pemerintah dengan masyarakat diharapkan dapat menjadi bahan bagi instansi pemerintah dalam menyusun program‐program di tingkatan masing‐masing (Pusat‐Provinsi‐Kabupaten/Kota). KPH harus berfungsi menterjemahkan program‐program Pusat/Provinsi/Kab/Kota yang telah ditentukan ke tingkat lapangan sesuai kebutuhan specifik lokasi dan masyarakat setempat.
Sebagai organisasi tapak, KPH mempunyai ”mata dan tangan” untuk menggali potensi sekaligus pemetaan social ekonomi masyarakat sekitar hutan. Disamping itu KPH dapat menjalin interaksi dan komunikasi intensif dengan masyarakat, sekaligus menggali alternative solusi sesuai kebutuhan masyarakat. Dengan demikian KPH dapat mengejawantahkan potensi dan permasalahan menjadi kegiatan yang benar‐benar mencerminkan harapan masyarakat dan aspirasi masyarakat.
Menjadi jembatan bagi terjalinnya komunikasi institusi di tingkat Pusat/Provinsi/Kabupaten/kota dengan masyarakat, karena KPH merupakan institusi pemerintah yang berada di tingkat tapak. Terjalinnya komunikasi antara Instansi Pemerintah dengan masyarakat diharapkan dapat menjadi bahan bagi instasni pemerintah dalam menyusun program‐program di tingkatan masing‐masing (Pusat‐Provinsi‐Kabupaten/Kota). KPH harus berfungsi menterjemahkan program‐program Pusat/Provinsi/Kab/Kota yang telah ditentukan ke tingkat lapangan sesuai kebutuhan specifik lokasi dan masyarakat setempat. ***
”Sebagai organisasi tapak, KPH mempunyai ”mata dan tangan” untuk menggali
potensi sekaligus pemetaan social ekonomi masyarakat sekitar hutan. Disamping itu
KPH dapat menjalin interaksi dan komunikasi intensif dengan masyarakat,
sekaligus menggali alternative solusi sesuai kebutuhan masyarakat.”
5
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
erusakan hutan disebabkan oleh tindakan manusia dan tindakan manusia akibat cara pikir yang digunakannya. Untuk itu bisa jadi kerusakan hutan bukan masalah penting,
karena hanya soal kerusakan fisik. Sangat berbahaya apabila kerusakan cara pikir – di balik tindakan‐tindakan manusia itu – tidak dapat diperbaiki. Dan memang terbukti sangat sulit memperbaikinya, dari‐pada sekedar membangun tegakan hutan untuk mengganti hutan yang rusak. Tulisan ringkas ini menunjukkan hal tersebut.
Penyebab kerusakan hutan
Meskipun banyak faktor sebagai penyebab kerusakan hutan, namun ketidak‐pastian status kawasan hutan dan lemahnya pengelola hutan di tingkat tapak/lapangan –Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)–diketahui sebagai akar masalahnya. Kenyataan‐kenyataan berikut dapat dipertimbangkan sebagai argumen: Kawasan hutan seluas 55,93 juta Ha (46,5%) tidak
dikelola secara intensif. Diantaranya seluas 30 juta Ha, dikelola Pemda (DepHut, 2009a).
Antara 17,6‐24,4 juta Ha kawasan hutan terdapat kon‐flik: tumpang‐tindih klaim, desa/kampung (19.410 desa di 32 prop), serta izin sektor lain (kebun/tambang) (BPS dan DepHut, 2007 dan 2009).
Data nasional, Desember 2007, luas kawasan hutan produksi yang dikonversi dan telah dilepaskan/dicadangkan oleh Menteri Kehutanan untuk budi‐daya perkebunan seluas 8.772.989,16 Ha untuk 806 unit perusahaan. Dari luas tersebut, tanaman yang telah direalisasikan hanya 1.629.110,06 ha (±18,5%). Fakta tersebut menunjukkan bahwa ijin untuk pembangunan perkebunan ternyata hanya dalih untuk memperoleh kayu. Kawasan hutannya sendiri akan ditelantarkan atau bahkan ijin pe‐lepasan kawasan hutan diperjual‐belikan (Sudharto, 2008).
Selama 2004‐2008, anggaran Departemen Kehutanan rata‐rata sebesar Rp. 3.303 milyar per tahun, untuk mengurus kawasan hutan hanya 6,07% (DKN, 2009).
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan hu‐tan – juga sumberdaya alam lainnya – tidak benar‐benar dilakukan, dan secara politik belum pernah mendapat pri‐oritas. Seluruh lembaga Pemerintah/Pemda sesuai UU No 39/2009 tentang Kementerian Negara dan PP No. 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah lebih ber‐fungsi mengadministrasikan ijin pemanfaatan sumber‐daya alam dan bukan mengelola sumberdaya alam. Untuk bidang kehutanan, Kementerian Kehutanan mengatasi masalah tersebut dengan membangun organisasi Ke‐satuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang berfungsi mengel‐ola hutan di tingkat tapak/lapangan.
Disamping itu belum ada mekanisme penyelesaian konflik penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan, dan peram‐bahan hutan pada umumnya cenderung dibiarkan. Sejum‐lah 19.410 desa di dalam kawasan hutan di atas menjadi bukti demikian itu.
Kerusakan hutan juga disebabkan oleh pembiaran terha‐dap pemegang ijin pengusahaan hutan alam (HPH/IUPHHK‐HA) yang kinerjanya buruk. Dari penilaian kinerja 2008‐2009 diperoleh hasil penilaian berkinerja baik 15%, sedang 45%, dan buruk 40%. Hal ini berarti bahwa dari 301 perusahaan seluas 26,2 juta Ha sekitar 10,5 juta Ha (40% x 26,2 juta) hutan alam produksi akan rusak, karena kinerja usahanya buruk, tanpa ada solusi kebijakan untuknya (Ismanto, 2010).
Penyebab kegagalan menanam
Kementerian Kehutanan dalam lima tahun ke depan akan menggalakkan kegiatan penanaman melalui berbagai skema yang melibatkan masyarakat, seperti: Hutan Ke‐masyarakatan, Hutan Rakyat, Hutan Tanaman, Hutan Rakyat Kemitraan, Restorasi Ekosistem serta Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai. Ditargetkan sampai dengan tahun 2020 akan ditanam setiap tahun berkisar 1,6 juta hektar sampai dengan 2,2 juta hektar, dan sampai 2020 diharap‐kan mencapai seluas sekitar 21 juta hektar.
Terkait dengan hal tersebut, Pokja Kebijakan Kementerian Kehutanan (2010) melakukan telaah terhadap penilaian GERHAN yang dilakukan oleh PT Equality Indonesia (2007) tahun 2006/2007 di wilayah Propinsi Jawa Barat, realisasi penanaman cukup tinggi melebihi 80%.
Soal Tenurial, KPH dan “The Trapped Administrators”
Oleh: Hariadi Kartodihardjo Pengajar pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan Sekolah Pascasarjana Insti‐tut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia, anggota Presidium Dewan Kehutanan Na‐sional <[email protected]>.
6
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
Rata‐rata realisasi penanaman di 13 kabupaten sekitar 84%. Namun tanaman yang hidup hanya sekitar 53%. Dari yang hidup sebagian besar kondisi pertumbu‐hannya tidak bagus atau tidak sehat. Rata‐rata tanaman yang hidup dan sehat hanya sekitar 42%. Dengan kondisi ini maka diperkirakan tanaman program GER‐HAN yang berhasil hidup sampai mencapai tingkat po‐hon hanya sekitar 21% (84*56*42=21%). Hal ini akibat dilakukan penanaman tetapi tidak dipelihara karena ti‐dak ada pengelolanya (KPH) atau lahannya konflik.
Hal yang terkait rencana penanaman di atas adalah pentingnya menjawab pertanyaan dimana lokasi 21 juta Ha di tengah‐tengah konflik penggunaan lahan saat ini dan siapa yang akan memelihara tanaman?
Birokrat terperangkap
Kondisi di atas sejalan dengan ide mengenai birokrat yang terperangkap (the trapped administrators), yaitu mereka yang setuju dengan perbaikan kebijakan namun ikut menghambat perubahan kebijakan ketika mengha‐dapi konsekuensi negatif bagi dirinya (Fox and Staw, 1979).
KPH dan penyelesaian masalah tenurial adalah bagian dari solusi kerusakan hutan maupun penyebab kega‐galan penanaman, namun belum pernah mendapat du‐kungan signifikan untuk mewujudkannya. Orientasi jangka panjang pembangunan KPH dan penyelesaian masalah tenurial belum pernah menjadi pilihan, sebali‐knya orientasi menanam pohon tanpa ada yang mengel‐olanya menjadi prioritas utama.
Realitas di atas sejalan dengan pendapat Niskanen (1968), bahwa birokrat yang terperangkap seolah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menjalankan kebi‐asaannya memaksimumkan anggaran tanpa memper‐hatikan efektivitas manfaatnya, karena lebih “menguntungkan” bagi dirinya. Akibat hal yang demikian itu, kebijakan kehutanan pada umumnya ber‐
isi prosedur administrasi birokrasi dan bukan solusi atas masalah nyata di lapangan. Untuk itu kebijakan prioritas Kementerian Kehutanan tidak akan efektif dijalankan apabila tidak disertai reformulasi peraturan‐perundangan serta reformasi birokrasi. ***
Daftar pustaka
BPS (Biro Pusat Statistik), 2007. Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan. Kerja sama Pusat Ren‐cana dan Statistik Kehutanan, Departemen Ke‐hutanan dengan Direktorat Statistik Pertanian, Badan Pusat Statistik, Jakarta
BPS (Biro Pusat Statistik), 2009. Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan. Kerja sama Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan dengan Direktorat Statistik Pertanian, Badan Pusat Statistik, Jakarta
Departemen Kehutanan (DepHut), 2009a. Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 2010‐2029. Departemen Kehutanan. Jakarta.
_______________________, 2009b. Kebijakan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman. Departemen Kehutanan. Jakarta.
DKN (Dewan Kehutanan Nasional), 2009. Meniti Langkah Membangun Pilar Kehutanan: Prioritas Revisi Regulasi Pengelolaan Hutan Alam dan Hutan Tanaman. Jakarta.
Fox, F. V. and Staw, B. M. 1979. The traPerum Perhuta‐nied administrator: Effects of job insecurity and policy resistance upon commitment to a course of action. Administrative Science Quarterly, 24(3):449–471.
Ismanto, A. D., 2010. Permasalahan Institusi Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Hutan Alam Produksi. Disertasi. Draft. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor.
Kelompok Kerja Kebijakan, Kementerian Kehutanan. 2010. Skenario Emisi dan Penyerapan Karbon. Kementerian Kehutanan. Jakarta.
Niskanen, W. A. 1968. The peculiar economics of bu‐reaucracy. American Economic Review, 58(2):293–305.
Sudharto, D., 2008. Hambatan Implementasi Kebijakan Kehutanan. paper sebagai bahan diskusiinformasi oleh Pusat Kajian Agraria/PKA‐IPB yang dihadiri oleh wakil‐wakil dari Departemen Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional pada tanggal 19 Mei 2008. Tidak diterbitkan.
“KPH dan penyelesaian ma‐salah tenurial adalah bagian dari solusi kerusakan hutan maupun penyebab kega‐galan penanaman, namun belum pernah mendapat dukungan signifikan untuk
mewujudkannya. “
7
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
Belakangan ini berbagai lembaga di Indonesia, baik lem‐baga pemerintah maupun LSM, mulai terkena “demam” REDD. Demam ini terpicu karena perkembangan REDD di tingkat internasional sebagai prakarsa untuk merang‐sang upaya‐upaya mitigasi perubahan iklim yang untuk sebagiannya terjadi karena emisi karbon dari defor‐estasi dan degradasi hutan. Rangsangan yang digagas‐kan adalah penyediaan insentif finansial bagi pemerin‐tah dan pemangku kepentingan lainnya yang berperan dalam upaya‐upaya mengurangi emisi karbon karena deforestasi dan degradasi hutan tersebut, dan inilah yang kemudian dikenal dengan istlah REDD (Reducing Emisions from Deforestarion and Forest Degradation).
Keikutsertaan Indonesia dalam Skema REDD sudah da‐pat dipastikan karena merupakan salah satu negara yang mengusulkan dimasukannya hutan tropis dalam prakarsa global penanggulangan perubahan iklim yang dikembangkan UNCCC. Namun hal itu kemudian menuai kontroversi ketika banyak pihak mengkhawatirkan bahwa jika Skema REDD diterapkan, masyarakat yang berada di dalam dan disekitar hutan bukan saja akan terabaikan bahkan bisa jadi disingkirkan. Kekhawatiran ini diungkapkan dalam berbagai publikasi dan dalam berbagai forum yang membahas REDD ini, baik di tingkat lokal, nasional dan internasional.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan karena dalam pengelolaan sumberdaya hutan dimasa lampau, bahkan sampai saat ini, seringkali warga masyarakat setempat memang terabaikan. Pengabaian dan penyingkiran ini terjadi karena berbagai hal, terutamanya ketidak‐jelasan hak‐hak masyarakat atas sumberdaya hutan. Tidak perlu disebutkan lagi bahwa dimasa lampau di banyak tempat di Indonesia wilayah konservasi (Taman Nasional, Cagar Alam, Hutan Lindung, dan sebagainya), konsesi kehutanan (HPH) dan perkebunan (HTI) ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah. Akibatnya berbagai kelompok masyarakat yang selama beberapa generasi telah hidup di lokasi‐lokasi yang bersangkutan diperhadapkan dengan kenyataan bahwa mereka tidak berhak lagi atas wilayah hidup dan lahan‐lahan yang mereka gunakan selama ini. Memang disana‐sini ada upaya untuk mengatasi sengketa atas sumberdaya hutan antara masyarakat, pemerintah, dan perusahaan, namun kebanyakan upaya itu masih bersifat lokal.
Skema hutan kemasyarakatan (HKM) di hutan‐lindung dan pengakuan atas keberadaan hutan adat, misalnya, di be‐berapa tempat cukup berhasil meredam sengketa antara masyarakat dan pemerintah.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah REDD bisa terlak‐sana dengan baik dalam keadaan seperti itu? Jangan‐jangan pihak‐pihak yang mengkhawatirkan bahwa REDD akan mem‐perburuk keadaan masyarakat akan terbukti benar. Bisa di‐pahami kemudian bahwa ada upaya penolakan terhadap Skema REDD itu, dan pekik perang AMAN “No Rights, No REDD” menjadi sangat masuk akal. Namun, jika kita melihat kenyataan bahwa Indonesia adalah salah satu negara pemra‐karsa REDD di forum UNCCC, bahwa pemerintah Indonesia sudah menyatakan komitmennya terhadap REDD di forum internasional itu, dan sudah pula melakukan berbagai persi‐apan (antara lain pembentukan Pokja REDD Nasional, penetapan Peraturan Menteri tentang REDD) apakah ke‐mudian upaya untuk menolak, atau setidak‐tidaknya menunda, REDD adalah sesuatu yang secara politis realistis?
Sisi terangnya adalah bahwa pokok persoalan tentang distri‐busi manfaat REDD pada masyarakat memang menjadi salah pokok perhatian para perunding di forum‐forum UNCCC tersebut. Ini tentu tidak terlepas dari prakarsa advokasi ber‐bagai lembaga konservasi dan lembaga yang berperhatian terhadap masyarakat setempat (indigenous people). Kepu‐tusan mutakhir di Conference of Parties (COP) di Copenhagen mengkaitkan Skema REDD dengan UNDRIP (United Nations Declaration on the Rights of Indegenous People), walaupun kemudian dinyatakan tidak mutlak mengikat. Juga Standar CCBA (the Climate, Community dan Biodiversity Alliance) men‐syaratkan bahwa Skema REDD harus bermanfaat pula bagi masyarakat, bahkan mensyaratkan pula FPIC (Free Prior Informed Consent) dari masyarakat yang berada di kawasan hutan yang akan dicakupkan dalam Skema REDD. Namun perlu dikatakan bahwa standar/prasyarat itupun bisa jadi hanya menjadi panduan yang tidak mengikat pula.
Bisa jadi memang bahwa “gelasnya setengah penuh” karena nampaknya REDD berpeluang digunakan untuk mengangkat dan memperjuangkan hak‐hak masyarakat lokal. Paling tidak, ketika nilai hutan berupa kredit karbon diperoleh dari hutan yang dibiarkan utuh, kepentingan masyarakat yang hidup dari sumber‐sumber hutan selain kayu semestinya lebih be‐sar kemungkinannya bisa diakomodasikan dalam sistem pengelolaan hutan yang bersangkutan.
REDD bagi Masyarakat Setempat: Ancaman atau Peluang
Oleh: Ilya Moeliono
8
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
Namun penerapan program pengelolaan sumberdaya hutan apapun, termasuk program/proyek REDD, harus memper‐timbangkan realita di lapangan. Beberapa kenyataan yang diamati adalah:
Timbunan karbon potensial berada di wilayahwilayah sengketa. Banyak hutan alam yang masih terjaga dan merupakan timbunan karbon potensial REDD sudah menjadi wilayah konservasi dan/atau wilayah konsesi, sementara ada masyarakat yang tinggal di wilayah itu. Dalam beberapa kasus penetapan wilayah konservasi dan konsesi itu sendiripun dapat dipertanyakan karena tidak memenuhi prasyarat dan prosedur yang ditetap‐kan oleh undang‐undang dan peraturan pemerintah yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri. Beberapa sengketa yang ditengarai adalah antara lain:
a. Sengketa antara pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten: walaupun berada di daerah dan harus pepertimbangkan dalam pengembangan tata‐wilayah daerah, kawasan konservasi pada umumnya meru‐pakan kewenangan pemerintah pusat, dan ini ke‐mudian di beberapa menjadi persoalan sendiri mana‐kala pusat dan daerah tidak bisa bersepakat, ber‐koordinasi, dan bekerjasama.
b. Sengketa antara pemerintah dan perusahaan. Ini bi‐asanya menyangkut penegakan regulasi tentang pengelolaan hutan atau kawasan serta kewajiban‐kewajiban menurut kontrak karyanya, termasuk ke‐wajiban terhadap masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang dikelola. Ini adalah suatu persoalan tersendiri ketika kemapuan pemerintah untuk memantau sepak‐terjang perusa‐haan dan menegakan aturan nyata‐nyatanya terba‐tas.
c. Sengketa antara perusahaan dan masyarakat. Di cu‐kup banyak wilayah konsesi (HPH, perkebunan) pe‐rusahaan yang bersangkutan merasa berhak penuh atas sumberdaya hutan yang bersangkutan karena memang telah memperoleh ijin konsesi yang legal, sementara masyarakat di wilayah itu merasa mem‐punyai claim sejarah atas wilayah yang sama.
d. Sengketa antara pemerintah dan masyarakat. Dalam banyak kasus unit pengelola wilayah konservasi pe‐merintah (Dinas Kehutanan, BKSDA, Balai Taman Nasional) merasa berwenang penuh atas wilayah yang secara legal memang menjadi jurisdiksinya, se‐mentara masyarakat yang berada di wilayah yang bersangkutan merasa memiliki hak sejarah atas wilayah itu.
e. Sengketa pemerintah dan/atau perusahaan dengan LSM. Ada berbagai LSM (Internasional, Nasional, dan Lokal) yang ikut meramaikan dunia pengel‐olaan sumberdaya alam. LSM‐LSM ini mengusung
berbagai agenda, antara lain agenda konservasi, agenda hak‐hak masyarakat, agenda pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, dan sebagainya. Mereka kemudian memperjuangkan agenda itu den‐gan berbagai pendekatan, mulai dari pengembangan masyarakat (community development), pengemban‐gan program konservasi, fasilitasi kerjasama multi‐pihak, sampai dengan advokasi konfrontasional. Dalam kegiatannya itu mereka sering berhadapan dengan para pemangku kepentingan lainnya karena perbedaan padangan dan pendekatan dalam mewu‐judkan agendanya,
Uraian ringkas tentang sengketa ini barulah gambaran yang terlalu sederhana karena dalam kenyataannya seng‐keta‐sengketa itu tidak hanya melibatkan dua pihak saja tetapi sering berupa sengketa multi‐pihak yang rumit dan sukar untuk diurai. Selain itu, masing‐masing pesengketa itu sering pula masih mengalami sengketa internal; ada sengketa kebijakan antar instansi pemerintah, ada seng‐keta tata‐batas antar desa, ada tumpang‐tindih wilayah konsesi antar perusahan, dan sebagainya. Juga, hubungan antara para pesengketa itu – terutama jika salah satu pi‐hak adalah masyarakat – seringkali sangat timpang, dan ini tentu akan menyulitkan penyelesaian sengketa itu den‐gan cara‐cara yang baik.
Selain itu, masih banyak masalah lainnya, antara lain:
Kesiapan pemerintah daerah. Beberapa pemerintah kabupaten yang terkena deman REDD dan berniat menjual karbon tanpa sepenuhnya memahami skema‐nya. Ada yang dipicu pula oleh “carbon cowboys”, pe‐rusahaan‐perusahaan intermediary yang berspekulasi yang menebar janji penjualan karbon rupanya tanpa penjelasan yang memadai. Ada pula pemerintah kabu‐paten yang cuek‐cuek saja walaupun sebagian wilayahnya telah dicanangkan sebagai wilayah REDD.
9
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
Singkat kata, masih terlalu banyak lembaga pemer‐intah kabupaten yang berminat dan semestinya ber‐peran penting namun tidak siap.
Kesiapan pemerintah desa dan kelemahan kelembagaan masyarakat. Kemampuan kelembagaan masyarakat untuk berpartisipasi secara bermakna juga merupakan tantangan yang besar. Partisipasi dalam skema REDD masyarakat hanya akan ber‐makna bila dikembangkan berdasarkan hak‐hak yang jelas. Jika dalam kenyataannya hak‐hak itu belum ada, masyarakat memerlukan kemampuan untuk memperjuangkan hak‐hak itu melalui advo‐kasi dan perundingan. Namun keterorganisasian sosial dan politik masyarakat untuk dapat melaku‐kan hal itu masih sangat rentan semetara pemerin‐tah desa sering memposisikan dirinya sebagai kepanjangan tangan pemerintah dan bukannya wakil masyarakat terhadap pemerintah dan pihak‐pihak lainnya, dan kelembagaan adat dimana masih ada sudah terlemahkan.
Uraian ringkas diatas ini nampaknya memberikan gam‐baran yang cukup suram tentang konteks sumberdaya hutan dalam mana REDD akan diterapkan.
Pertanyaannya kemudian apa yang dibutuhan untuk mengatasi masalah itu. Perlu diingat bahwa REDD nanti‐nya akan sangat tergantung pada pasar karbon, dan para calon pembeli karbon tentunya mengharapkan kepas‐tian bahwa investasi mereka benar‐benar akan mengu‐rangi emisi karbon sebanding dengan investasi mereka. Pengelolaan timbunan karbon yang mencakup wilayah hutan yang cukup luas niscaya akan memerlukan koor‐dinasi dan kerjasama antara semua pemangku kepentin‐gan, namun gambaran suram tentang berbagai sengketa antara para pemangku kepentingan (pengelola karbon) yang mengancam terwujudnya pengelolaan yang baik niscaya akan dinilai sebagai cukup berisiko dan inves‐tasi dalam keadaan itu pasti tidak akan dinilai sebagai gagasan yang baik.
Artinya, penciptaan iklim yang kondusif untuk investasi REDD menuntut kebijakan‐kebijakan pemerintah dan tindakan‐tindakan nyata dari semua pemangku ke‐pentingan yang mengarah pada penyelesaian sengketa‐sengketa yang ada, termasuk penyelesaian masalah hak‐hak masyarakat. Sebagai penjual karbon, pemerintah perlu dapat memberikan jaminan bahwa hutan terjaga dan bahwa standar REDD terpenuhi, termasuk standar CCBA yang mensyaratkan bahwa masyarakat mendapat‐kan manfaat yang layak dan sebanding dengan partisi‐pasi mereka. Pertanyaanya kemudian adalah apakah insentif REDD bisa menjadi motivasi yang cukup kuat bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk menyelesaikan masalah‐masalah yang berkenaan dengan hak‐hak masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar hutan sementara kita tahu bahwa masalah‐masalah itu sebenarnya bukan masalah baru, bahkan dapat dikatakan sudah menahun.
Katakanlah bahwa memang demikian – bahwa pemerintah dalam rangka menciptakan dan memantapkan semua pra‐syarat yang diperlukan untuk pelaksanaan REDD dengan berhasil akan cukup serius – lalu apakah yang dapat dan perlu dilakukan? Selain apa yang telah disebutkan diatas, se‐cara ringkas beberapa gagasan lain diberikan sebagai berikut:
Pemberdayaan semua pihak. Ini bukan saja menyangkut pemahaman tentang REDD sebagaimana yang disana‐sini sudah dilakukan dengan kegiatan “sosialisasi”, tetapi juga kemampuan nyata untuk mengelola kegiatan dan – ini yang terpenting – kemampuan untuk membangun ker‐jasama melalui perundingan dan perencanaan kolabo‐ratif. Hal ini tentunya penting untuk semua pihak, tetapi terutama untuk masyarakat. Artinya perlu upaya persia‐pan kelembagaan masyarakat, termasuk pemerintah desa, yang selama ini terabaikan.
Lalu siapakah yang akan melakukan hal ini? Dinas apakah di pemerintah kabupaten yang dapat mendamp‐ingi masyarakat dalam pengembangan kesadaran dan kemampuan organisasi dan managerial yang memadai? Ada beberapa LSM – terutamanya LSM Internasional den‐gan mitra LSM lokal – yang telah mulai prakarsa untuk ini. Tetapi kita tahu bahwa usaha‐usaha LSM pada umum‐nya hanya dilakukan pada skala yang terbatas dengan lokasi yang tersebar dan bisa jadi bahwa itu tidak cukup bermakna untuk skala REDD.
Pengelolaan sengketa. Sengketa yang berlanjut adalah pertanda hubungan buruk antara para pemangku ke‐pentingan dan menjadi hambatan dalam pengembangan kerjasama antara mereka. Karenanya diperlukan upaya untuk mengelola sengketa‐sengketa yang ada dan sejauh mungkin menyelesaikannya. Lebih ideal lagi mekanisme pengelolaan sengketa itu semestinya terlembagakan se‐bagai bagian dari kerjasama antara para pemangku ke‐pentingan.
Namun jika disadari bahwa penyelesaian persoalan hak‐hak masyarakat adalah suatu upaya jangka‐panjang se‐mentara program/proyek REDD akan mulai dilakukan pada tahun 2012, pertanyaannya adalah apakah persoa‐lan REDD bisa untuk sementara dilepaskan dari persoa‐lan hak ini. Mungkinkah suatu “winwin solution” dapat ditemukan, yakni suatu kesepakatan yang secara optimal memenuhi kepentingan semua pemangku kepentingan, dapat dikembangkan dalam waktu yang terbatas itu se‐mentara kita tahu bahwa proses resolusi sengketa bisa jadi merupakan proses yang panjang? Juga, pengelolaan sengketa adalah suatu pendekatan pragmatis berdasar‐kan kepentingan (interest based) dan bukan berdasarkan hak (rights based), dan apakah itu cukup sebagai dasar REDD? Ataukah persoalan ini bisa diselesaikan sebagai bagian terpadu dari prakarsa persiapan untuk REDD – REDDiness?
10
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
FPIC (free prior informed consent) – persetujuan yang diberikan sebelumnya (sebelum Skema REDD akan diterapkan), secara bebas, dan berdasarkan pemaha‐man yang memadai. Ini merupakan salah satu pra‐syarat keterlibatan masyarakat dalam REDD menurut standar CCBA dan juga merupakan salah satu prinsip dalam UNDRIP. Lalu, bagaimanakah ini dapat diwu‐judkan? Mengingat keberadaan masyarakat sebagai‐mana sudah digambarkan sekilas, dalam hal inipun cukup banyak tantangan yang perlu dihadapi. Jika kita serius tentang hal ini, nampaknya yang diperlu‐kan bukan sekedar sosialisasi pada masyarakat dan kemudian meminta persetujuan tohoh‐tokoh masyarakat. Ada berbagai hal yang perlu dilakukan, antara lain:
Pendidikan lingkungan. “Informed” dalam FPIC ber‐makna bahwa masyarakat benar‐benar memahami apa dan mengapa mereka menyetujui atau tidak menyetu‐jui REDD. Artinya konsep‐konsep lingkungan dan REDD yang relevan seperti gas rumah‐kaca, emisi, pe‐manasan global, deforestasi, degradasi hutan, nilai tambah (additionality), kelanggengan (permanence), kebocoran (leakage), kredit karbon, dan sebagainya – perlu dipahami. Juga skema‐skema alternatif perhitun‐gan dan distribusi insentif perlu dimengerti. Artinya perlu ada upaya kependidikan tersendiri untuk mem‐bantu masyarakat untuk memahami semua itu.
Pengembangan perwakilan yang benarbenar representatif. Beberapa program mengambil jalan pintas den‐gan meminta persetujuan pimpinan formal dan tokoh masyarakat. Walaupun kemudian program mendapat dukungan kelompok elit di masyarakat, perlu disadari bahwa kepentingan elit seringkali tidak sama atau bahkan bertentangan dengan kepentingan masyarakat banyak, dan jalan‐pintas itu bisa jadi menyesatkan dan menimbulkan persoalan dikemudian hari. Artinya perlu dimunculkan wakil‐wakil masyarakat yang benar‐benar merepresentasikan keanekaragaman kepentin‐gan yang ada dalam masyarakat.
Mekanisme pengambilan keputusan dan perencanaan yang demokratis di tingkat desa. Agar wakil masyarakat benar‐benar representatif dan tidak terlepas dari kon‐stituennya, mereka harus berangkat dari musyawarah di tingkat desa mereka. Sebagai bagian dari Sistem Per‐encanaan Nasional (UU No 25 Tahun 2004 tentang Sis‐tem Perencanaan Pembangunan Nasional), di setiap desa dilakukan Musrenbang (Musyawarah Pemban‐gunan Desa), dan dipikirkan bahwa REDD bisa dibahas
dalam forum Musrenbang ini. Namun kita tahu pula bahwa Musrenbang itu sendiri masih bermasalah ketika dalam kenyataannya penyelenggaraan didomi‐nasi elit dan hanya menghasilkan daftar keinginan (wishlist) dan masih jauh dari forum yang benar‐benar demokratis yang menghasilkan rencana yang benar‐benar terkaji.
Proses konsultasi dan negosiasi yang berjenjang. Karena program/proyek REDD pastinya meliputi ka‐wasan yang cukup luas yang mencakup beberapa atau banyak desa dan berbagai pemangku kepentingan, perlu upaya untuk membangun kesepakatan antara semua pihak itu. Kesepakatan yang cukup luas itu diperlukan untuk mencegah kebocoran (leakage). Salah satu alternatif dalam membangun kesepakatan itu adalah proses yang berjenjang mulai dari musy‐awarah di tingkat desa sampai musyawarah di tingkat kawasan. Lalu siapakah yang menyelenggarakan dan memandu proses konsultasi publik ini? Jika ingin di‐lakukan dengan baik dengan melibatkan komunitas masyarakat, ada suatu proses yang cukup panjang yang perlu ditempuh, sementara kita melihat ken‐yataan bahwa lembaga pemrakarsa menganggap proses yang baik terlalu merepotkan dan menyita waktu. Akibatnya berbagai jalan‐pintas ditempuh se‐hingga proses konsultasi itu tereduksi menjadi for‐malitas semata sekedar sebagai legitimasi. Bagaima‐nakah ini bisa dihindarkan?
Perencanaan bersama. Kesepakatan yang dibangun tidak dapat berhenti pada persetujuan umum tentang program/proyek REDD tetapi harus dijabarkan men‐jadi rencana kerja operasional dimana semua pe‐mangku kepentingan mengetahui apa yang harus dila‐kukannya. Rencana inipun harus menjadi bagian dari kesepakatan. Apakah hal ini bisa dicakupkan dengan hasil yang cukup baik dalam proses musrenbang seba‐gai telah disebutkan?
Semua pertanyaan itu menyangkut metodologi pendeka‐tan masyarakat yang partisipatif dalam upaya demokra‐tisasi pengelolaan sumberdaya alam. Paling tidak itu ga‐gasannya. Pertanyaannya adalah mampu dan bersediakah para pemangku kepentingan untuk melaku‐kan ini semua? Atau bisakah kemampuan itu dan semua prasyarat yang lain dikembangkan sambil jalan? Jika ti‐dak, alih‐alih mendapatkan manfaat dari program REDD, yang akan terjadi justru kesimpangsiuran, kegagalan, dan kekecewaan masyarakat dan semua pemangku kepentin‐gan lainnya. ***
11
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
Apa kata mereka tentang “Permasalahan Land Tenure, Persiapan dan Kesiapan Masyarakat dalam Implementasi REDD”?? Tahun 2009‐2012 Pemerintah Indonesia menyebutnya sebagai readiness phase implementasi REDD di Indonesia. Pe‐merintah menyusun strategi REDDI untuk readiness phase yang dimaksudkan untuk memberikan guidance tentang intervensi kebijakan yang diperlukan dalam upaya menangani penyebab mendasar deforestasi dan degradasi hutan, serta infrastruktur yang perlu disiapkan dalam implementasi REDD/REDD plus. Sementara itu masyarakat sipil mela‐kukan hal yang cukup beragam dalam merespon isu REDD. Samdhana Institute melakukan kegiatan dalam mendukung masyarakat sipil dengan nama yang terdengar hampir sama yaitu Preparedness untuk melihat peluang dan ancaman atas program REDD.
Bagaimana realita yang terjadi saat ini? Degradasi dan deforestasi masih terus berjalan. Pembangunan kebun‐kebun sawit berskala besar terus berjalan dan disinyalir banyak yang mengubah tutupan lahan hutan. Selain itu masalah tumpang tindih penguasaan lahan dalam kawasan hutan juga masih belum dapat diselesaikan dengan baik.
Departemen Kehutanan mempersiapkan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prakondisi penting bagi penyiapan skema penanganan perubahan iklim dan pemanasan global. Keberadaan organisasi pengelola KPH di tingkat tapak akan mendukung skema penanganan perubahan iklim antara lain melalui (a) menjadi salah satu institusi penting yang akan mengurusi proses penanganan perubahan iklim atau pemanasan global (b) wilayah kelolanya menjadi kepastian bagi DA‐REDD (c) KPH bertugas mendokumentasikan dan meregister pemanfaatan hutan termasuk jasa lingkungan bagi penanganan perubahan iklim.
Kami memberikan ruang kepada para pihak untuk berbagi opini terkait permasalahan land tenure, KPH, persiapan dan kesiapan serta kewaspadaan masyarakat dalam implementasi REDD dengan harapan dapat memberikan masukan dan dukungan terhadap terbentuknya KPH yang efektif sebagai bagian dari upaya persiapan implentasi REDD. Di lain pi‐hak memberikan ruang kepada masyarakat untuk merespon secara adil atas skema REDD. Opini ini merupakan penda‐pat yang dikemukakan secara independen, individu, dan bukan atas nama institusi.
Ir. Hartina, MM
Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Nusa Tenggara Barat
Undang‐undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan m e n g a m a n a t k a n untuk melakukan pengelolaan hutan sesuai fungsi dan peruntukan hutan, juga mengamanatkan t e n t a n g P e m b e n t u k a n Wilayah Pengelolaan
Hutan perlu segera dilaksanakan baik di tingkat Provinsi,Kabupaten/Kota dan unit pengelolaan (pasal 17 ayat 1 UU No. 41 tahun 1999) dalam bentuk KPHP,KPHL dan KPHK.
Dasar pemikiran pembentukan Unit‐unit pengelolaan tersebut adalah efisiensi dan efektivitas dengan memperhatikan kriteria dan prasyarat tertentu seperti : 1. Prakondisi kawasan hutan yang mantap
y a n g d i t a n d a i o l e h k aw a s a n h u t a n tetap,mantap,permanen degan batas‐batas tetap; 2. Efisiensi yang ditandai oleh tingkat aksebilitas yang tinggi; 3. Efektivitas ditandai oleh ketepatan pengelolaan sesuai dengan fungsi dan peruntukan kawasan hutan.
KPH sebagai salah satu strategi dalam pembangunan kehutanan tingkat tapak dibentuk dengan memperhatikan : 1. ekosistem melalui pendekatan DAS; 2. Kewenangan dengan pendekatan wilayah administrasi pemerintahan dan status kawasan; serta 3. Kemampuan pengawasan dengan pendekatan Span of Control atau jenjang pengawasan yang mengadopsi KPH di Jawa. Pengelolaan KPH dilakukan dengan menempatkan tenaga profesional secara permanen mulai dari Kepala KPH sampai dengan petugas lapangan (mandor).
Memperhatikan hal tersebut diatas,sangat tepat apabila KPH dijadikan sebagai salah satu skema penanganan perubahan iklim dan pemanasan global.
12
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
Dengan pendekatan jenjang pengawasan sampai tingkat tapak oleh mandor, maka KPH akan mampu mengurusi proses penanganan perubahan iklim serta mendoku‐mentasikan dan meregister pemanfaatan hutan.
Apabila KPH berada di Kabupaten maka akan memperkuat kelembagaan yang sudah ada di daerah,
dengan menempatkan mandor secara permanen dengan fungsi sebagai pengawas di tingkat tapak. Namun bagaimana apabila KPH berada di tingkat Provinsi, akan ada hal yang harus didiskusikan mendalam terkait dengan kelembagaan yang sudah ada secara riil di lapangan. *
Haryanto R. Putro
Staf Pengajar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
Sistem tenurial menentukan siapa yang memiliki dan siapa yang dapat menggunakan sum‐
berdaya, berapa lama dan pada kondisi apa. Sistem tenurial adat ditentukan pada tingkat lokal dan sering‐kali didasarkan atas kesepakatan lisan atau hukum adat. Sistem tenurial juga dikodifikasikan menurut Undang‐undang dan diterapkan oleh pemerintah sebagai hukum positif yang substansinya mengacu pada hukum adat. Kajian RRI dan ITTO (2009) menunjukkan bahwa kea‐manan tenurial sangat penting sebagai basis identitas sosial, keamanan personal dan kelangsungan budaya masyarakat lokal. Keamanan tenurial juga penting un‐tuk alasan ekonomi sebagai basis untuk menentukan siapa yang mendapatkan manfaat atau kerugian dalam kompetisi barang dan jasa ekonomi, termasuk jasa ling‐kungan yang diberikan ekosistem hutan. Keamanan tenurial seringkali merupakan prasyarat yang harus dipenuhi dalam investasi modal oleh pemerintah dan dunia usaha, sebaliknya konflik tenurial akan mele‐mahkan daya tarik investasi dan meruntuhkan pengel‐olaan hutan lestari. Keamanaan tenurial juga berperan penting dalam struktur insentif yang memotivasi per‐lindungan atau perusakan hutan. Banyak bukti bahwa menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan pada masyarakat lokal mendorong perbaikan kondisi hutan.
Kesiapan Implementasi REDD diukur dari kinerja pengelolaan hutan lestari yang kemudian mampu mem‐buktikan kelebihan stock karbon dalam biomasa, baik di atas tanah maupun di bawah tanah. Untuk Indonesia, meningkatnya transparansi pengelolaan hutan, terma‐suk persiapan implementasi REDD, telah menguak ban‐yaknya persoalan konflik tenurial di dalam kawasan hu‐tan yang selama beberapa dekade yang lalu tidak pernah tersentuh. Hasil inventarisasi Departemen Kehutanan dan Biro Pusat Statistik (2008) menunjukkan bahwa se‐jumlah 1500 desa ( 11,14 juta ha) terletak di dalam ka‐wasan hutan dan 8.662desa (28,46 juta ha) di tepi kawa‐san hutan. Bisa dibanyangkan bahwa di desa‐desa
tersebut terjadi konflik tenurial yang intensitasnya ber‐variasi. Penyelesaian masalah ini akan membutuhkan langkah panjang dan kesigapan Pemerintah untuk mem‐benahi penataan kawasan hutan yang secara terintegrasi menyatu dengan kebijakan penataan ruang. Pemban‐gunan KPH sebagai instrumen penataan kawasan hutan dan upaya mewujudkan keamanan kawasan hutan, se‐cara holistik harus mampu menyelesaikan masalah kon‐flik tenurial melalui penataan ruang kelola dan hak kel‐ola masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Dalam hal konflik terjadi pada kawasan hutan yang telah terlanjur dibebani ijin, KPH harus mampu mengembangkan pola kemitraan antara pemegang ijin IUPHHK dengan masyarakat tanpa mengabaikan sistem tenurial yang berlaku di tingkat tapak.
Pembangunan KPH, dengan demikian dapat menjem‐batani pengelolaan hutan dan penyelesaian konflik tenu‐rial pada tingkat tapak, keduanya merupakan prasyarat bagi terwujudnya kinerja pengelolaan hutan lestari. Ter‐wujudnya KPH yang dikelola secara profesional dan menghargai ruang/hak kelola masyarakat, didukung dengan implementasi governansi kehutanan yang baik, merupakan jalan mulus untuk memperoleh insentif REDD+, bila pendekatan ini dapat disepakati pada tahun 2012. Dalam konteks ini, pembangunan KPH yang dii‐kuti dengan investasi negara dan peningkatan kapasitas yang terencana, merupakan bagian tak terpisahkan bagi kesiapan Indonesia untuk meraih kinerja pengelolaan hutan lestari dan implementasi REDD+ pada masa yang akan datang. Pembentukan wilayah dan organisasi KPH, diikuti dengan penyusunan rencana bisnis tingkat KPH akan menjadi instrumen kunci bagi Indonesia untuk menyelesaikan konflik tenurial, meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal, meraih kinerja pengelolaan hu‐tan lestari dan mendapatkan insentif REDD+ pada masa datang. Keberhasilannya tergantung pada keseriusan pemerintah, pemerintah propinsi dan pemerintah kabu‐paten/kota dalam mengawal pembangunan KPH melalui governansi kehutanan yang baik. *
13
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
Indonesia dikenal sebagai Negara penghasil emisi terbesar dari peng‐gunaan lahan dan perubahan tutu‐pan lahan, sebagai peringkat ke‐3 dari keseluruhan emisi yang dihasil‐
kan dan emisi per kapita tertinggi di antara Negara‐negara Amerika Utara dan Eropa. Di bulan September 2009, Presiden Indonesia mengumumkan bahwa Indo‐nesia berkomitmen untuk mengurangi emisi bersih se‐banyak 26% dengan caranya tersendiri (dengan catatan menerima ‘baseline’ minus 26% dari sejarah sebelum‐nya), dan menyambut investasi luar negeri pengurangan emisi tambahan sebesar 41%. Akibatnya, Indonesia menjadi target utama bagi tujuan internasional pengu‐rangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) di Negara berkembang. Ekspektasi insentif fi‐nancial bagi pengurangan emisi telah membawa kemun‐culan konsep hak karbon, sebagai bentuk hak baru di dalam konsep land tenure dan property rights.
Isu utama dari perdebatan REDD dalam konteks hak kar‐bon adalah: (1) siapa yang berhak atau mengklaim men‐jual karbon atau meminta investasi bagi upaya pengu‐rangan emisi; dan (2) siapa yang berhak atau mengklaim hak untuk menerima dana dari insentif tersebut. Konsep hak karbon, sayangnya, tidak mudah dipahami didalam interaksinya dengan keberadaan atau kemunculan hak, kewenangan dan kekuasaan dalam pengambilan kepu‐tusan peruntukan lahan. Isu utama ini menuntut kejela‐san dan prosedur yang adil dalam menyelesaikan ‘basis legalitas’ dari land tenure dan tata pemerintahan terha‐dap sumberdaya hutan. Sebagai tambahan terhadap kompleksitas hak karbon di Indonesia, jawaban atas ‘siapa yang berhak menentukan hak karbon’ masih diperdebatkan.
Mengklarifikasi ‘basis legalitas’ di Indonesia seringkali berbenturan dengan kontradiksi dari peraturan dan ke‐bijakan, pemahaman dan interpretasi yang berbeda dan perubahan dari system local land tenure dan hak tanah masyarakat adat. Pemerintah seringkali mengubah aturan dan perundang‐undangan sehingga secara sen‐gaja atau tidak sengaja meredefinisi hak legal atas hutan. Perubahan dari aturan dan perundang‐undangan sering‐kali menimbulkan perubahan dan klaim atas land tenure dan praktek pemanfaatan hutan. Perubahan kebijakan telah menyebabkan pertentangan atas kepemilikan, hak dan tata kelola dari sumberdaya hutan.
Gamma Galudra ICRAF-SEA
Kompleksitas perubahan kebijakan yang berakibat pada perubahan system land tenure dan munculnya berbagai klaim kepemilikan dan penguasaan dapat ditemukan pada saat era desentralisasi kehutanan dilaksanakan sejak tahun 2001 dan di tahun 2006, sentralisasi kembali dilakukan di bidang kehutanan. Perubahan desentralisasi menuju sentralisasi men‐gakibatkan ketidakpastian siapa sebenarnya yang berwenang dalam pengaturan lahan hutan. Di Indo‐nesia, tidak hanya satu lembaga yang mengatur sis‐tem land tenure di dalam kawasan hutan, namun be‐berapa lembaga pemerintahan dengan kewenangan dan administrasi yang berbeda berdasarkan mandat perundangan yang berbeda pula ikut serta men‐gaturnya. Banyaknya lembaga yang mengatur sistem land tenure seringkali menyebabkan benturan ke‐pentingan, yang berakhir pula dengan konflik ke‐pentingan. Konflik terbuka seringkali terjadi di lapan‐gan. Penyelesaian konflik melalui jalur hukum tidak mampu menyelesaikan masalah karena benturan ke‐pentingan ini justru disebabkan oleh ketidakpastian aturan yang berlaku. Banyaknya lembaga yang men‐gatur system land tenure di dalam hutan dengan segala kepentingannya dapat menyebabkan ketidak‐pastian siapa yang menentukan dan menetapkan pi‐hak tertentu berhak atas insentif yang diberikan atas pengurangan karbon.
Selain itu pula, bentuk klaim atas kepemilikan dan kepenguasaan tanah bukan hanya berbasis pada legalitas semata. Di Jawa, banyak masyarakat lokal mengklaim hak kepenguasaan dan kepemilikan atas hutan konservasi dan hutan lindung hanya sekedar berdasarkan cerita nenek moyang di masa lalu dan bentuk kemitraan (sebagai contoh PHBM) yang dicip‐takan pada pemangku lahan sebelumnya (seperti Perum Perhutani). Klaim ini digunakan sebagai alat strategi bagi masyarakat lokal untuk menegosiasi ulang bentuk land tenure di dalam kawasan hutan. Untuk memahami hak karbon yang berbasis pada system land tenure yang ada, tidaklah cukup untuk focus hanya pada aspek legal saja, namun juga sejarah, politik dan perkembangan ekonomi yang digunakan dalam pembentukan dan penentuan hak atas tanah. Selain itu pula, perlu dipertanyakan apakah bentuk‐bentuk land tenure selain yang bukan didasarkan pada sistem Negara, namun berbasis pada system adat, agama dan sebagainya mampu
14
KAJIAN DAN OPINI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
Pengelolaan hutan di wilayah tapak memberi‐kan peluang untuk meminimalisir terjadinya pemanasan global dan salah satu respon konkrit terhadap perubahan ik‐lim. Contoh nyata yang
sudah di inisiasi oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah yang didukung oleh Kemitraan dan WG‐Tenure dalam melakukan assessment land tenure sebagai bagian dari usulan penetapan wilayah KPH model di Kabupaten Kapuas ini mestinya “segera di tiru” juga oleh kabupaten lain (khususnya di propinsi Kali‐mantan Tengah), jika tidak mau dianggap ketinggalan.
Di samping sebagai salah satu “pintu masuk” dalam kon‐tek penyelesaian konflik tenurial, pola pendekatan anal‐
isis land tenure (antara lain dengan menggunakan me‐tode RATA dan AGATA) dalam mendesain sebuah KPH bisa menyentuh akar permasalahan konflik tersebut, walau perlu proses yg sangat panjang.
Yang paling penting untuk di dorong sebagai tahap se‐lanjutnya adalah kepastian kebijakan dan kelembagaan yang mampu menjadi payung KPH tersebut juga jangan di abaikan, mesti ada "keterpaduan dan singkronisasi" pada lintas departemen serta antara pusat dan daerah, baik dari sisi perencanaan, teknis hingga pendanaa. Perlu juga diketahui bahwa Pejabat Dearah (Gubernur dan para Bupati) banyak yang belum memahami secara menyeluruh tentang KPH itu sendiri, sehingga sering‐kali dianggap sebagai sebuah “beban baru”. Pembentu‐kan dan pengelolaan KPH model harus ada ruang keter‐bukaan secara holistic bagi masyarakat untuk mengam‐bil peran dalam setiap proses tersebut. *
Kussaritano
Mitra LH Kalimantan Tengah
terakomodir sebagai pengklaim atas hak karbon dari upaya pengurangan emisi. Peraturan Menteri Kehu‐tanan No P.36/2009 mengatur siapa saja yang berhak mengklaim hak karbon di dalam skema penyerapan dan/atau penyimpanan karbon, namun sayangnya hanya membatasi diri pada system land tenure yang berbasis pada Negara dan belum mampu mengako‐modir system land tenure yang dianut oleh adat, agama dan sebagainya.
Tenure pepohonan merupakan bentuk lain dari land tenure. Studi kasus Lamandau menggambarkan bagai‐mana tenure pepohonan menambah kompleksitas hak karbon. Negosiasi proses untuk memberikan hak akses
atas tanah seperti HKm, hutan desa dan HTR dapat men‐imbulkan konflik khususnya ketika pemilik/ pengguna pepohonan tidak secara otomatis sama dengan pemilik/ pengguna tanah. Memahami land tenure perlu ditam‐bahkan pula pemahaman tentang multi guna dan multi akses terhadap tanah, pepohonan serta sumberdaya alam lainnya. Skema hutan kemasyarakatan (HKm), hu‐tan desa atau hutan tanaman rakyat (HTR) untuk mem‐berikan akses kepada masyarakat sekitar hutan dapat membantu persoalan tumpang tindih klaim. Namun, perlu kehati‐hatian pada saat mendefinisikan skema tersebut agar tidak merusak pembagian hak ke‐pemilikan/ penguasaan sumber daya hutan dengan pengguna dan pengakses lainnya.
15
INFO KEBIJAKAN
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
P ertengahan bulan Maret yang lalu WG‐Tenure diundang oleh FAO Roma sebagai salah satu peer reviewer untuk membahas dan memberi‐kan masukan pada draft FAO mengenai re‐
forma tenurial atas sumberdaya hutan. Reviewer lain yang terlibat dalam lokakarya dua hari ini adalah para individu dari lembaga‐lembaga Right and Resource Innitiative (RRI), International Union for Conservation of Nature (IUCN), International Land Coalition (ILC), The Center For People and Forests (RECOFTC), Center for Inter‐national Forestry Research (CIFOR), serta wakil‐wakil dari Korea Selatan, Iran, China, Australia, dan Swiss.
Latar Belakang dan Rekomendasi
Draft yang diberi judul Reforming Forest Tenure: Issues, Principles and Process tersebut di antaranya menyatakan bahwa secara global pemilikan hutan dan pengelolaan hutan oleh pemerintah masih mewarnai situasi tenurial hutan dunia. Berdasarkan FAO’s Global Forest Assessment (2010), delapan puluh persen (80% ) hutan dunia masih merupakan hutan publik, meskipun ada ke‐cenderungan peningkatan dalam kepemilikan dan pengelolaan hutan oleh individual dan masyarakat. Dalam situasi seperti itu kondisi sumberdaya hutan dunia masih terlihat kurang memuaskan, ditandai den‐gan masih tingginya laju deforestasi dan degradasi, serta masih tingginya angka kemiskinan pada masyarakat yang berada di dalam maupun di sekitar hutan.
Untuk memperbaiki pengelolaan sumberdaya hutan di suatu negara diperlukan keragamam sistem tenure, karena tenure yang sampai saat ini hanya berpusat pada pemerintah ternyata kurang berhasil dalam menjamin keutuhan sumberdaya hutan dan kesejahteraan masyarakat.
Hal ini disebabkan karena pemerintah sering mempun‐yai kapasitas yang kurang memadai untuk mengelola seluruh sumberdaya yang sangat luas, terpencar dan beragam dari sisi biofisik maupun sosial budaya. Ker‐agaman tenurial, diharapkan akan menjawab persoalan pengelolaan sumberdaya hutan yang beragam, me‐menuhi tuntutan keadilan sosial, dan dapat memper‐baiki kondisi sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam kaitan itu, keberhasilan pengelolaan sumberdaya hutan di suatu negara akan sangat ditentukan oleh
interaksi antara sistem tenure atas hutan dengan kerangka kebijakan dan peraturan yang ada, serta dengan kondisi tata kelola pemerintahan.
Ketiga elemen tersebut harus berada dalam suatu kesatuan konsep yang menjamin kepastian tenure atas sumberdaya hutan (secured forest tenure), yang menghormati hak‐hak adat dan hak‐hak lain yang telah ada. Oleh karena itu re‐forma tenure harus merupakan bagian dari reforma kehu‐tanan secara keseluruhan, dan harus menjadi bagian integral dari agenda pembangunan nasional atau wilayah. Keberhasi‐lan dari integrasi ketiga elemen itu akan terjadi bila ada per‐baikan atas sistem tata kelola pemerintahan yang lebih efek‐tif, yang selalu meningkatkan kapasitas para pihak dalam me‐laksanakan hak‐hak dan kewajibannya atas sumberdaya hu‐tan. Reforma tenurial dalam konsep ini sudah barang tentu tidak mencapai tujuannya dengan serta merta, karena akan melalui proses yang panjang dan iteratif melalui pendekatan ‘aksi dan pembelajaran’ (actionlearning approaches).
PrinsipPrinsip Reforma Tenure
Berdasarkan observasi atas upaya‐upaya reformasi tenure di berbagai negara, ditarik pelajaran bahwa reforma tenure harus merupakan suatu proses pembelajaran aksi bersama seluruh pihak secara daptif, dan harus menjadi bagian dari
REFORMA TENURE ATAS SUMBERDAYA HUTAN Konsep FAO dan Kemungkinan Pelaksanaannya di Indonesia
Iman Santoso
Koordinator Pengurus WGTenure
“Untuk memperbaiki pengel‐olaan sumberdaya hutan di suatu negara diperlukan ker‐agamam sistem tenure, karena tenure yang sampai saat ini
hanya berpusat pada pemerin‐tah ternyata kurang berhasil dalam menjamin keutuhan sumberdaya hutan dan kese‐
jahteraan masyarakat.“
16
INFO KEBIJAKAN
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
agenda reformasi menyeluruh dan terpadu. Reforma tenure juga harus dilakukan dalam rangka memberdayakan kelompok masyarakat yang selama ini termajinalkan, khususnya kelompok perempuan dan kelompok miskin. Dalam kaitan ini maka sistem tenure pada masyarakat adat yang masih relevan harus tetap dihormati dan dimasukkan dalam kerangka peraturan yang ada. Demikian pula halnya dengan hak‐hak yang sah lainnya, yang selama ini telah ada, tetap harus dihormati. Dalam hal ini, kapasitas pemegang hak perlu ditingkatkan agar mereka dapat mengunakan haknya dengan baik dan secara tepat dapat memenuhi ke‐wajibannya.
Dari sisi kelembagaan, reforma tenure seharusnya didu‐kung oleh kerangka kebijakan dan peraturan yang benar‐benar bisa diimplementasikan dan bersifat mengikat dan mewajibkan kepada pihak‐pihak yang terkait. Kerangka kebijakan dan peraturan tersebut harus cukup sederhana tidak ‘njelimet’ (complicated) sehingga mengakibatkan biaya transaksi tinggi dan sulit untuk dilaksanakan, teru‐tama bila akan diterapkan oleh pemegang hak skala kecil atau masyarakat. Pada akhirnya, kerangka peraturan untuk reforma tenure ini harus mengarah pada kepastian tenure sumberdaya hutan setegas mungkin.
Keberhasilan reforma tenure juga menuntut terselengga‐ranya tata kelola yang baik (good governance) di sisi Pe‐merintah, masyarakat maupun sektor swasta atau pen‐gusaha. Semua pihak hendaknya menerapkan keterbukaan dan transparansi atas berbagai informasi dalam proses re‐forma tenure. Yang tidak kalah penting, reforma tenure harus dilakukan secara bertanggung jawab dan bertang‐gung gugat, sehingga tercipta keadilan sosial dan kepanta‐san tindakan dalam proses reforma. Secara khusus pihak Pemerintah dituntut untuk tegas dan pasti (predictable) dalam menerapkan kebijakannya, serta melibatkan secara aktif seluruh pihak dalam proses pengambilan keputusan.
Implementasi Reforma Tenure untuk Indonesia
Konsep reforma tenure yang ditawarkan FAO merupakan konsep generik yang sangat mungkin untuk diterapkan di semua negara karena memuat hal dan prinsip normatif. Sudah barang tentu konsep ini menjadi mungkin untuk di‐laksanakan di suatu negara, hanya jika negara tersebut mempunyai kemauan politik untuk menjalankannya. Un‐tuk Indonesia, bila konsep ini diterapkan akan memerlukan langkah‐langkah penting, bahkan untuk beberapa aspek menuntut perubahan mendasar.
Pertama, Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Na‐sional, dan Kementerian Dalam Negeri beserta seluruh unit‐unitnya di Provinsi dan Kabupaten/Kota harus semakin meningkatkan koordinasi dalam menemukan kesepahaman‐kesepahaman baru mengenai hak‐hak atas tanah yang berada pada kawasan hutan; sedemikian rupa sehingga hak‐hak atas tanah yang secara de facto telah ada dalam kurun waktu yang cukup lama (periodenya ditentukan bersama) tetap diakui dan ditingkatkan menjadi pengakuan de jure.
Pengakuan ini tidak harus diikuti dengan perubahan fungsi kawasan, sehingga siapapun pemangku hak atas tanah di atas kawasan hutan harus mengikuti pengaturan pemanfaatan dan penggunaan tanah tersebut sesuai fungsi kawasan yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah.
Kedua, konsekuensi dari hal di atas, paradigma peman‐tapan kawasan hutan di Indonesia harus dirubah dari me‐mantapkan status kawasan yang clear and clean menjadi kawasan yang berfungsi optimal. Paradigma optimalisasi kawasan ini memungkinkan adanya berbagai tenure di dalam kawasan yang disertai dengan berbagai modus pe‐manfaatan dan penggunaan sumberdaya yang ada, namun kesemuanya itu harus tetap diarahkan untuk memantap‐kan fungsi kawasan (fungsi produksi, lindung, dan/atau konservasi). Dengan paradigma ini maka fungsi kawasan akan tetap dan jelas sesuai rencana tata ruang yang ada (clear), tanpa harus mengeluarkan (clean) hak‐hak yang telah ada. Dengan demikian, dalam proses pengukuhan dan penetapan kawasan hutan tidak perlu ada kategori enclave di dalam kawasan.
Ketiga, konsekuensi lain, pengelolaan kawasan hutan ha‐rus lebih intensif melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang secara khusus akan melakukan: i) identifikasi tenure yang ada untuk diproses kearah pengakuan formal (de jure) sesuai dengan kelayakan sosial maupun biofisik, sehingga ada kepastian tenure (tenure security), ii) pening‐katan kapasitas pemangku hak untuk implementasi hak dan kewajiban sesuai dengan tenure yang dimiliki, serta iii) memonitor dan mengendalikan penggunaan tenure di tingkat tapak (site).
Keempat, ide mengenai reforma tenure harus masuk dalam arus utama (main stream) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional maupun Provinsi, Kabupaten/Kota, sehingga ada konsekuensi di perancangan anggaran dan revisi beberapa kebijakan pembangunan. Proses in‐korporasi reforma ke dalam RPJP dan RPJM harus dilaku‐kan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh pihak, secara terbuka dan jujur, tanpa harus menyalahkan berba‐gai ‘keterlanjuran’ yang terjadi di masa lalu.
Kelima, reformasi birokrasi merupakan bagian terpenting dalam reforma tenure, terutama yang meliputi peningka‐tan transparansi dalam perencanaan penataan ruang, peri‐jinan pemanfaatan dan penggunaan kawasan, dan penye‐lesaiaan konflik, serta keterbukaan informasi dan kebija‐kan spatial. Reformasi dimaksud diarahkan untuk pen‐yederhanaan dan kepastian berbagai prosedur sehingga menimbulkan kondisi pemungkin bagi suksesnya reforma, dan tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
Mampukah kita melaksanakan hal itu ? Tentunya ini akan kembali kepada apakah kita mempunyai kemaun politik untuk melakukannya. Semoga. ***
17
PROSES PEMBELAJARAN
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
Pendahuluan
Indonesia memiliki laju deforestasi tertinggi di dunia (tahun 2009 1.08n juta ha/thn)1, bersama‐sama Amerika, China dan beberapa negara lainnya, secara khusus Indonesia menunjukkan tingkat emisi yang tinggi dari deforestasi dan perubahan penggunaan lahan. Be‐berapa pemerintah negara maju dan organisasi non pe‐merintah (Ornop) saat ini mendorong pelaksanaan proyek rintisan skema REDD dan pengembangan kebija‐kan di Indonesia. Saat ini sekitar 40 proyek rintisan skema REDD sedang dikembangkan di Indonesia. Namun demikian sebagian besar Ornop yang berkaitan dengan pengelolaan kekayaan alam dan masyarakat yang akan dipengaruhi oleh proyek rintisan REDD masih lemah dalam memahami apa itu REDD, keterkaitannya dengan mitigasi perubahan iklim, dan kebijakan‐kebijakan terkait. Sebagian besar pendukung pelaksanaan proyek rintisan skema REDD mengklaim bahwa proyek mereka adalah untuk keuntungan bagi masyarakat lokal, tetapi hanya sedikit informasi yang sitematis tersedia bagi warga masyarakat di lokasi proyek‐proyek rintisan tersebut akan dilaksanakan tentang bagaimana kelak masyarakat akan menerima manfaat. Dalam kondisi inilah Samdhana mengembangkan kegiatan REDD Preparedness, atau mengajak masyarakat untuk melihat kembali kesiapannya dalam melihat peluang dan ancaman atas program REDD.
Samdhana REDD Preparedness
Pelaksanaan kegiatan Samdhana REDD Preparedness dimulai sejak tahun 2009 dan sudah berjalan hampir dua tahun. Sebanyak 40‐an mitra turut bekerja bersama dengan kegiatan yang didukung oleh Packard dan NORAD ini, tersebar di lima wilayah, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Papua. Beberapa lembaga mitra yang terdiri dari Ornop, Organisasi Rakyat dan Kelompok Kerja Multi Pihak memberikan titik berat kegiatan di tingkat nasional maupun lokal. Kegiatan kesiapan masyarakat tersebut diantaranya adalah :
Perhatian pada kebijakan pemerintah nasional men‐genai resolusi UNFCCC, mitigasi perubahan iklim dan skema REDD serta kerangka kerja kelembagaan pada tingkat nasional dan sub‐nasional;
Pendidikan publik mengenai isu mitigasi perubahan iklim;
Analisa hukum mengenai skema REDD untuk masyara‐kat dan peran jajaran pengambil keputusan di Kabu‐paten;
Mendidik kelompok media cetak maupun elektronik dan media alternatif mengenai isu mitigasi peruba‐han iklim dan kepemerintahan (governance);
Mendukung kesiapan pengorganisasian, manajemen landscape/hamparan bentang alam, hak kepemilikan karbon, oleh masyarakat dan/atau organisasi sipil dalam keterlibatan mereka pada proyek perintis REDD termasuk prinsip‐prinsip socialecological safeguards;
Pemetaan; perencanaan (dan/atau monitoring pelak‐sanaan) tata ruang dalam konteks mitigasi peruba‐han iklim.
Hingga bulan Mei 2010 serangkaian pertemuan berbagi hikmah dan pembelajaran kesiapan masyarakat terhadap skema REDD di kelima region sudah selesai diselenggarakan. Berbagai pandangan dan masukan penting untuk dirajut ke tingkat nasional agar dapat memberikan kontribusi terhadap upaya kerangka kebijakan dan pelaksanaan yang sungguh‐sungguh memberikan manfaat bagi masyarakat dan keberlanjutan fungsi‐fungsi alam dari skema REDD dan mitigasi perubahan iklim nasional. Salah satu upaya menjaga kesinambungan proses, yaitu lokatulis hikmah dan pembelajaran yang mana beberapa tulisan disajikan Warta Tenure edisi khusus ini, sehingga pengalaman berharga dapat dijadikan sebagai referensi bagi pihak‐pihak yang memerlukan.
SAMDHANAREDD PREPAREDNESS:
SEBUAH DUKUNGAN MENTORING & HIBAH KECIL UNTUK MEMAHAMI PELUANG DAN ANCAMAN REDD DI TINGKAT LOKAL
Samdhana REDD Preparedness Advisors i)
———————————————————————————————
1Sumber RLPS, Seminar FWI 28 Agustus 2010
18
PROSES PEMBELAJARAN
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
Membangun Sinerji REDD Prepardness & Readiness
Pemerintah memiliki tugas yang luar biasa besar mela‐kukan penyiapan REDD (REDD Readinesii) dengan meny‐iapkan segala sesuatu kebijakan dan landasan hukum bagi skema‐skema REDD, serta menyiapkan agenda miti‐gasi perubahan iklim nasional. Akan tetapi REDD Readi‐ness sebagai inisiatif negara tidak dapat menyentuh se‐luruh persoalan dari atas hingga ke bawah, dimana pendekatan Readiness memiliki beberapa keterbatasan, misalnya melihat REDD sebagai suatu yang given dan tidak dapat banyak berubah, tetapi perlu diterjemahkan dalam kebijakan nasional serta lokal. Sehingga terkesan topdown.
Secara umum Samdhana Institute mengembangkan REDD Preparedness REDD Preparedness untuk berkon‐tibusi pada pengembangan dan implementasi REDD yang efektif, bukan hanya sebagai suatu proses yang top down, dengan cara meningkatkan pemahaman masyara‐kat melalui organisasi non‐pemerintah, organisasi
masyarakat dan kelompok kerja multi‐pihak dalam melihat resiko dan kesempatan yang ada dalam ker‐angka kerja mitigasi perubahan iklim dan membuka kesempatan pengambilan keputusan keputusan dengan proses partisipatif dan pengetahuan yang penuh. Samdhana Institute, memilih pendekatan khusus yaitu Teori Perubahan (Theory of Changeiii), pendekatan yang disusun untuk memberikan perubahan positif dengan meningkatkan pemahaman di tingkat lokal akan ma‐salah sosial, politik, perubahan biofisik tata guna lahan, yang dilanjutkan dengan dialog, negosiasi antar‐kelompok kepentingan pada berbagai tataran untuk membawa perubahan yang positif.
Secara khusus Samdhana Institute menyebut kegiatan ini REDD Preparedness, yang dirancang untuk mening‐katkan kesiapan masyarakat dalam mengorganisir diri dan mengartikulasikan hak‐haknya atas hutan dan usaha wanatani masyarakat serta sumber daya alam lainya, serta menegosiasikan berbagai keuntungan yang dapat dimanfaatkan dari suatu pengelolaan jasa‐jasa
19
PROSES PEMBELAJARAN
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
lingkungan (serapan karbon, keanekaragaman hayati serta fungsi tata air) oleh masyarakat, sebagai nilai tam‐bah atas apa yang telah dan sedang mereka laksanakan pada wilayah kelolanya secara adil dan lestari. Hal ini perlu selalu disinerjikan dengan REDD Readiness se‐hingga tercapai jalan bersama dalam menjawab persoa‐lan lokal dan global secara simultan.
Proses Belajar yang Tak Pernah Berhenti
Bersama mitra‐mitranya, Samdhana Institute merasa perlu terus belajar untuk dapat berkontribusi dalam pemikiran dan melakukan mentoring kemampuan anggotanya untuk mengembangkan kemampuan dan
pemahaman mitra‐mitra pada persoalan REDD di Indonesia dengan harapan para mitra dapat berkontribusi pada pemecahan permasalahan lokal dan sekaligus berkontribusi dalam menyelesaikan permasalahan global berperspektif lokal. Seperti kita ketahui bersama bahwa agenda mitigasi perubahan iklim terus berubah, dari CDM, RED, REDD, REDD+, bahkan REDD ++, hal tersebut sejalan dengan tarik menarik kepentingan para pihak. Proses belajar harus terus dilakukan, khususnya pada tataran lokal sehingga masyarakat dapat ikut menikmati keberhasilannya dan sedini mungkin dapat mencegah resiko buruk yang mungkin akan terjadi. ***
————————————————————————————————————————————————————
iAdvisor REDD‐Preparedness terdiri dari berbagai orang dengan latar belakang yang spesifik dengan keahliannya masing‐masing yang juga bertugas melakukan mentoring kepada mitra Samdhana sebagai berikut; Patrick Anderson, Gamal Pasya, Arif Wicaksono, Avi Mahan‐ingtyas, Tjatur Kukuh, Pete Wood, Nonette Royo, Kasmita Widodo, Mahir Takaka, Hapsoro dan Martua T. Sirait
iiTentang REDD Readiness lihat http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/5746 iiiTentang Theory of Change, lihat Increasing Community Preparedness for Risks and Opportunities Related to Climate Change Mitigation/REDD in Indonesia, 2009
20
PROSES PEMBELAJARAN
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
Jangan Ambil Hutan Kami! Suara-suara dari area demonstration activities REDD di Kalbar Laurensius Gawing 1)
erut dahi apai Kudi (75 th) tampak begitu kentara, tatkala mendengar bahwa Kapuas
Hulu mendeklarasikan diri sebagai kabupaten konser‐vasi sejak tahun 20032). Walaupun rumah panjang Sungai Utik di mana ia bermukim sekarang berjarak 75 Km dari Putussibau ibu kota kabupaten Kapuas Hulu, namun informasi ini begitu samar ia pahami. Sejak di deklarasikan tahun 2003, Pemda Kapuas Hulu belum memberi penjelasan kepada masyarakat adat Iban di rumah panjang Sungai Utik tentang apa dan bagaimana inisiatif tersebut muncul dan seperti apa perkembangannya saat ini. Belum genah mencerna informasi mengenai konsepsi kabupaten konservasi, kini Apai Kudi bersama khalayak umum di Kapuas Hulu dipusingkan dengan maraknya isu perubahan iklim terutama REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation). Situasi ini kian runyam ketika Ka‐puas Hulu kini menjadi wilayah ujicoba (demonstration activities) REDD oleh Fauna and Flora International (FFI) serta proyek bilateral Pemerintah Indonesia‐Jerman bertitel “Forest and Climate Change Pro‐grame” (ForClime). Kerut kening apai Kudi serta kebingungan masyarakat atas skema‐skema yang dibangun oleh Pemda seperti kabupaten konservasi, ditambah skema REDD yang konsepsinya datang dari luar, merupakan gambaran dinamika isu perubahan iklim di Kalbar secara umum. Bagaimana tidak, sejak diskursus perubahan iklim mengemuka di Indonesia seiring CoP3) ke 13 di Bali pada 2007, isu ini terus menggema tetapi anehnya hal ini tidak akrab dengan masyarakat Kalbar, khususnya Kapuas Hulu yang menjadi lokasi ujicoba. Informasi tentang isu perubahan iklim terutama REDD menjadi elit, hanya milik Ornop konservasi dan instansi pemerintah terkait sektor kehutanan semata. Informasi seadanya yang tersebar ke masyarakat kerap kali menjadi bola liar dan tak terkawal baik oleh Pemda, sehingga pemahaman masyarakat mengenai REDD hanya berkisar mengenai kucuran uang yang datang dari negara kaya.
Minimnya asupan informasi tentang isu perubahan iklim (REDD) membuat masyarakat kerap bertanya‐tanya, apa dan bagaimana REDD yang ramai diperbin‐cangkan tersebut. Namun, pada saat yang bersamaan Kapuas Hulu dan Kalbar secara umum tak memiliki banyak alternatif tempat bertanya mengenai hal terse‐but. Selain belum memiliki kelembagaan khusus seperti Pokja Perubahan Iklim/REDD, sulitnya publik mengak‐ses informasi di Pemda karena birokrasi tak penting menambah runyam pemahaman masyarakat tentang REDD, selain akses transportasi yang buruk. Situasi ini tentunya sedikit teratasi jika keterlibatan masyarakat diutamakan dalam proyek ujicoba REDD di Kapuas Hulu, terutama yang berada di dalam dan sekitar area ujicoba. Namun keadaan ideal tersebut sulit digapai karena masyarakat adat dalam prakteknya tidak men‐dapat perhatian serius dari pengembang REDD dan Pemda, padahal, hutan yang menjadi lokasi ujicoba berada di wilayah adat (hutan adat) yang selama ini dijaga dan dikuasai oleh masyarakat adat. Free Prior and Infromed Consent (FPIC)4) yang dipercayai sebagai sebuah prinsip penghormatan terhadap hak‐hak masyarakat adat dan dilakukan sebelum proyek dimu‐lai, kenyataan yang terjadi di lapangan tidaklah demikian. Masyarakat adat yang ada di dalam maupun sekitar wilayah ujicoba REDD menjelaskan bahwa, FPIC memang dipaparkan definisinya dalam presentasi melaui beberapa workshop yang dilakukan pemrakarsa REDD di kabupaten maupun kecamatan, namun hal tersebut tidak genah terpahami oleh peserta. Riset Lembaga Bela Banua Talino5) serta informasi masyarakat sekitar area DA menjelaskan bahwa, informasi FPIC secara umum dibagikan kepada masyarakat adat namun sesudah proyek mulai. Seperti contoh, MoU antara Pemda Kapuas Hulu dan FFI serta Macquarie Capital Groups Limited, diteken pada tang‐gal (22/8/2008) sedangkan proses‐proses sosialisasi terkait FPIC dilakukan pada 2009 dengan pendekatan yang jauh dari memadai.
21
PROSES PEMBELAJARAN
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
Simpang‐siurnya informasi tentang REDD di masyarakat terutama mengenai kejelasan hak‐hak dan akses atas hutan, memunculkan kecemasan pada masyarakat adat/lokal. Kecemasan mereka tentu sangat berdasar karena dilandasi oleh pengalaman empiris atas praktik konser‐vasi model pemerintah selama ini, seperti taman na‐sional, hutan lindung dan lain‐lain, yang menihilkan ke‐beradaan masyarakat serta memutus relasi mereka den‐gan hutan dan tanah leluhurnya. Pemutusan relasi sepihak antara masyarakat adat dan hutan melalui penetapan taman nasional yang tidak partisipatif seba‐gai salah satu contoh, berdampak buruk bagi kelangsun‐gan tradisi dan identitas budaya masyarakat. Hutan bu‐kan kumpulan tegakan pohon semata dalam pandangan masyarakat adat, bagi mereka hutan adalah urat nadi kehidupan, Dayak Iban kerap menyebutnya Darah ngau seput kitae (darah dan nafas). Bersamaan dengan itulah, kearifan dan pengetahuan lokal tumbuh menyertai ke‐hidupan masyarakat adat sehingga mereka mampu menjaga dan mengelola sumberdaya alamnya secara berkelanjutan. Praksis berbasis kearifan masyarakat tersebut, hingga kini mudah dijumpai pada komunitas masyarakat adat di Kapuas Hulu. Sungai Utik meru‐pakan satu model terbaik saat ini dalam menjaga hutan dan mengelola wilayah adatnya, pada 2008 komunitas ini dianugerahi sertifikat ekolabel dari LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia) karena sukses mengelola hutan se‐cara lestari. Yang menjadi kecemasan terbesar saat ini adalah, apalah artinya semua pengetahuan dan kearifan lokal yang ada jika pengembang REDD dan Pemerintah tutup mata, dan terus menuding masyarakat adat/lokal lah perusak hutan sesungguhnya. Tudingan itu kerap kali muncul dan menjadi basis legitimasi pengelolaan kawa‐san konservasi (taman nasional)6) yang represif. Konteks Kalbar, pemenjaraan Toro dan Pori warga
kampung Sungkup Melawi oleh TN Bukit Baka Bukit Raya, serta kasus penyitaan Gaharu milik masyarakat Kalis oleh TN Betung Kerihun adalah sekelumit fakta yang ada. REDD, hingga kini menjadi kecemasan terbesar masyarakat adat karena berpotensi represif menyerupai model taman nasional, yang membatasi relasi masyara‐kat dan hutan. Jika tidak ada penjelasan dan informasi memadai serta melibatkan masyarakat adat semaksimal mungkin, akan sulit mendapatkan model pelaksananaan REDD yang ideal serta bermanfaat bagi semua pihak. Artinya peran dari masyarakat adat sangat penting di‐wujudkan dalam skema‐skema pengurangan emisi yang dikembangkan saat ini. Menjamin hak‐hak atas hutan, serta mengelaborasi kearifan (local wisdom) dan penge‐tahuan lokal (indigenous knowledge) dengan skema yang dibangun oleh dunia internasional saat ini, adalah kata kunci sukses tidaknya skema mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia secara umum, dan Kalbar secara khusus. ***
Foto : L. Tatang
————————————————————————————————————————————————— 1) Task force Climate Change Lembaga Bela Banua Talino (LBBT) Pontianak. 2) Dengan dasar SK Bupati no 144 tahun 2003 tentang Penetapan Kabupaten Kapuas Hulu sebagai kabupaten Konservasi, sejak 2003 Pemda gencar berupaya mewujudkan kompensasi atas usaha konservasi ini.
3) Conference of Parties, adalah sebuah kelembagaan yang merupakan ‘supreme body’ dan otoritas tertinggi dalam pembuatan keputusan Konvensi Perubahan Iklim, selain itu CoP merupakan pertemuan tahunan yang mengumpulkan semua negara pihak (parties) anggota konvensi.
4) Free, Prior and Informed Consent’ (FPIC) telah berkembang sebagai prinsip utama dalam jurisprudensi internasional berhubungan den‐gan masyarakat adat dan telah diterima secara luas dalam kebijakan sektor swasta atas ‘tanggung jawab sosial perusahaan’ dalam sektor seperti pembangunan bendungan, industri ekstraktif, kehutanan, perkebunan, konservasi, pencarian‐genetika dan penilaian dampak lingkungan. Sehingga FPIC menjadi bagian penting Safe guarding bagi hak‐hak masyarakat adat menghadapi proyek REDD.
5) LBBT adalah sebuah Ornop yang bergerak di isu advokasi hak‐hak masyarakat adat di Kalbar, pada tahun 2009‐2010, melakukan dua riset mengenai masyarakat adat dan DA REDD di Kapuas Hulu terutama di wilayah sekitar Danau Sentarum dan Danau Siawan‐Belida yang merupakan area ujicoba REDD oleh FFI. Dua riset tersebut yakni tentang kerentanan hak‐hak masyarakat di dalam dan sekitar DA REDD serta menyoal bagaimana kesiapan Pemda Kapuas Hulu terkait kebijakan dan kelembagaan REDD.
6) Saat ini kabupaten Kapuas Hulu memiliki 2 buah Taman Nasional yaitu Betung Kerihun (800.000 Ha) dan Danau Sentarum (132,000 ha), secara keseluruhan 56,21% wilayah kabupaten Kapuas Hulu adalah kawasan konservasi.
22
SERI DISKUSI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
ejak COP‐13 di Bali sampai dengan COP‐15 di Copenhagen, Denmark, REDD dan REDD plus
menjadi perbincangan hangat di berbagai pertemuan. Bahkan sejak akhir tahun 2009, Departemen Kehu‐tanan telah memperkaya kebijakan prioritasnya dari 5 (lima) menjadi 8 (delapan) kebijakan. Hal ini dila‐kukan sejalan dengan permasalahan yang dihadapi dan tantangan ke depan, dimana salah satu kebijakan prioritas Departemen Kehutanan yang ditambahkan adalah Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan.
Saat ini Indonesia sedang dalam tahap persiapan (readiness phase) yaitu sejak tahun 2009 sampai dengan 2012. Selanjutnya Pemerintah menyusun strategi REDDI untuk readiness phase yang dimaksudkan untuk memberikan guidance tentang intervensi kebijakan yang diperlukan dalam upaya menangani penyebab mendasar deforestasi dan degradasi hutan, serta infrastruktur yang perlu disiapkan dalam implementasi REDD/REDD plus. Strategi readiness ini mencakup baik aspek metodologi maupun aspek kebijakan, serta kegiatan pendukung yaitu peningkatan kapasitas dan komunikasi para pihak.
Secara praktis REDD dilakukan melalui pengurangan kegiatan atau penghentian penebangan hutan, penghentian konversi kawasan hutan untuk pembangunan sektor‐sektor lainnya yang berbasis lahan, serta untuk kepentingan pembangunan wilayah. Dengan melaksanakan REDD maka secara praktis negara‐negara yang sedang berkembang akan
mengurangi produksi kayunya dan menghentikan pembukaan areal hutan untuk membangun wilayahnya. Semua tindakan praktis itu pada hakekatnya merupalan pengorbanan yang dilakukan demi mengurangi laju pemanasan global. Oleh karena itu pengorbanan tersebut layak dipandang sebagai opportunity cost yang harus ditanggung oleh masyarakat dunia sebagai kredit karbon.
Di tingkat nasional upaya ini bisa diperhitungkan sebagai suatu keuntungan, yaitu dalam bentuk penerimaan pembiayaan pembangunan, terpeliharanya sumberdaya hutan, maupun keuntungan politik lainnya. Namun di tingkat lokal, di mana REDD tersebut dilakukan, bisa jadi tidak memberikan manfaat yang optimal, karena segala ’keuntungan’ yang diterima di tingkat nasional itu tidak seratus persen akan dinikmati oleh pelaksana lokal, terutama masyarakat.
Penyelenggaraan proyek REDD di tingkat lokal, akan me‐nemui dua permasalahan sosial yang saling terkait dengan keberadaan masyarakat di dalam kawasan hutan (baca; hutan negara). Pertama, bahwa di dalam suatu lanskap kawasan hutan untuk impelementasi REDD tidak mustahil telah ada komunitas masyarakat yang selama ini tidak mempunyai kejelasan dan ketidakpastian hukum atas status penguasaaan tanah yang dihuni dan digarap. Keti‐dakpastian tenurial masyarakat atas lahan ini menyangkut ketidakpastian mengenai siapa saja yang mempunyai hak atas lahan pada lanskap itu, dan apa haknya serta sampai kapan hak itu melekat pada mereka (insecured land tenure). Kesulitan kedua adalah dalam meyakinkan para calon pembeli kredit karbon bahwa masyarakat tersebut bersedia melakukan REDD dalam jangka waktu tertentu, sementara Pemerintah (pusat maupun daerah) tidak seratus persen yakin bisa mengatur masyarakat agar
PERMASALAHAN LAND TENURE DALAM PERSIAPAN IMPLEMENTASI REDD: Antara Kebijakan dan Realitas Oleh: Emila
23
SERI DISKUSI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
tetap menjaga hutannya dari kemungkinan penebangan kayu untuk keperluan mereka sendiri, maupun untuk menjaga agar kawasan hutan itu tidak dialihkan untuk penggunaan lain selain hutan. Untuk itu, perencanaan dan implementasi REDD yang baik dan adil harus didu‐kung dengan data dan informasi yang terkait dengan aspek tenurial pada kelompok‐kelompok masyarakat yang ada di dalam kawasan hutan.1
Selanjutnya dalam ranah kebijakan Permenhut No. P. 30/Menhut‐II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD), Bab III Lokasi dan Pelaku REDD diatur bahwa masyarakat pemegang ijin IUPHH‐HKM, IUPHHK‐HTR, dan Pengelola Hutan Adat dan Hutan Desa termasuk pelaku REDD. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana dengan masyarakat lainnya yang sebagian besar selama ini be‐lum mempunyai kejelasan dan ketidakpastian hukum atas status penguasaaan tanah yang dihuni dan digarap.
Bagaimana realita yang terjadi saat ini? Degradasi dan deforestasi masih terus berjalan. Pembangunan kebun‐kebun sawit berskala besar terus berjalan dan disinyalir banyak yang mengubah tutupan lahan hutan, demikian juga dengan pertambangan yang berkontribusi terhadap degradasi hutan, begitupun dengan pembangunan Hutan Tanaman Industri. Selain itu masalah tumpang tindih penguasaan lahan dalam kawasan hutan juga masih belum dapat diselesaikan dengan baik.
Departemen Kehutanan melihat Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) akan menjadi salah satu prakondisi penting bagi penyiapan skema penanganan perubahan iklim dan pemanasan global. Keberadaan KPH di tingkat tapak akan mendukung skema penanganan perubahan iklim antara lain melalui (a) menjadi salah satu institusi penting yang akan mengurusi proses penanganan peru‐bahan iklim atau pemanasan global (b) wilayah kelolanya menjadi kepastian bagi DA‐REDD (c) KPH ber‐tugas mendokumentasikan dan meregister pemanfaatan hutan termasuk jasa lingkungan bagi penanganan peru‐bahan iklim.2
Dengan dukungan dana dari Samdhana Institute WG‐Tenure mencoba berkiprah dalam penguatan pemahaman para pihak terhadap isu tenurial dalam kesiapan implementasi REDD di Indonesia. Pada tanggal 4 Mei 2010 di Hotel Pangrango II, Bogor diadakan Diskusi dengan tajuk “Permasalahan Land Tenure dalam Persiapan Implementasi REDD; Antara Kebijakan dan Realitas” Diskusi ini dimaksudkan untuk membahas realita permasalahan land tenure di dalam kawasan hutan dan kebijakan‐kebijakan terkait dalam persiapan implementasi REDD di Indonesia. Diskusi dihadiri oleh sekitar 45 peserta dari unsur Pemerintah yaitu Kementerian Kehutanan, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian, NGO, Lembaga Donor, dan prívate sector.
Diskusi dipandu oleh moderator Ir. Martua Sirait, MSc (WGTenure) dengan menghadirkan 4 (empat) orang narasumber. Gamal Pasya (Samdhana Fellow) mem‐buka sesi presentasi dengan memaparkan background note kegiatan Samdhana yaitu hibah kecil Packard NORAD untuk mendukung mitra‐mitranya, termasuk di dalamnya WG‐Tenure, dalam kesiapan terutama masya‐rakat menghadapi implementasi REDD di Indonesia.
Narasumber dari Ditjen Planologi Kementerian Kehu‐tanan menyampaikan tentang Kebijakan Pemerintah dalam Persiapan Implementasi REDD serta Peluang KPH dalam penyelesaian permasalahan land tenure di Indonesia. DR. Ir. Ruandha Agung Sugardiman, MSc. (Kepala Sub Direktorat Jaringan Data Spatial) menyampaikan tentang Kebijakan Nasional REDD.
Dalam rangka implementasi REDD di Indonesia lima komponen yang ada dalam framework REDDI, dimana untuk menjalankan kelima komponen tersebut diperlukan: awareness raising; capacity building; akses terhadap data/informasi; akses terhadap teknologi; regulasi; instansi penanggungjawab dan pihakpihak yang menangani/terlibat; serta konsultasi/komunikasi stakeholder. Materi secara lengkap dapat diakses melalui www.wg‐tenure.org.
Menyambung presentasi sebelumnya Ir. Sriyono, MM (Direktur Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan, Ditjen Planologi) mengulas peluang KPH menjawab tantangan permasalahan land tenure di Indonesia. Apa dan bagaimana KPH dikupas tuntas dalam presentasi ini (dapat diakses melalui www.wg‐tenure.org). Ditjen Planologi menilai berbagai peran strategis KPH antara lain adalah Optimalisasi ak‐ses masyarakat terhadap hutan; resolusi konflik; nilai strategis dalam berperan mendudkung komitmen perubahan iklim; penyelenggaraan pengelolaan tepat lokasi, tepat sasaran, tepat kegiatan dan tepat pendanaan.
Sebagai penutup Bernadinus Steny (HuMa) mempre‐sentasikan hasil kajian bersama HuMa, JKPP, dan FWI tentang tumpang tindih penguasaan lahan di calon lokasi REDD di Kalimantan Barat. Presentasi mengguna‐kan peta yang dibuat di Kapuas Hulu Kalimantan Barat, dimana pengerjaan di lapangan di lakukan oleh FWI dan JKPP, sementar HuMa melakukan analisa. Titik survey dilakukan di beberapa tempat di mana jelas tertera nama masing‐masing kampung. Dari lokasi ini juga dapat dilihat adanya konsesi HPH antara lain di Tawang Meranti, sementara konsesi perkebunan sawit juga ada yang overlapping dengan wilayah konsesi HPH. Selain itu juga nampak wilayah adat yang overlapping dengan perusahaan sawit. Overlapping tidak hanya terjadi dalam wilayah konsesi tetapi juga adanya wilayah adat (masyarakat) yang diperuntukkan sebagai wilayah konsesi baik HPH maupun Perkebunan Sawit.
24
SERI DISKUSI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
Memperhatikan situasi realita di lapangan, nampaknya sudah tidak ada wilayah yang kosong, kemudian pertanyaannya adalah mau kemana REDD sebagai upaya Indonesia di tengah target menurunkan emisi karbon? Aspek hukum harus menjadi bahan pertimbangan penting, bagaimana dengan tenure masyarakat, serta konsesi yang berjangka waktu puluhan tahun.
Beberapa catatan hasil diskusi:
Diperlukan definsi‐definisi yang bisa dihantarkan secara sederhana kepada masyarakat terkait den‐gan REDD, sehingga diperoleh pemahaman yang benar. Pemahaman sederhana dari REDD adalah menjaga hutan sementara plus‐nya adalah menambah stok karbon dengan membangun hu‐tan.
Terkait dengan tantangan bagaimana mendorong ke‐siapan masyarakat dalam menghadapi implemen‐tasi REDD adalah bagaimana membangun basis informasi di lapangan dan pemahaman REDD dan Perubahan Iklim di tingkat masyarakat. Sosialisasi Pemerintah hanya dilakukan sampai tingkat provinsi. Bupati sudah mulai menangkap konsep REDD tanpa pemahaman yang tepat, sehingga ke‐mudian muncul broker, yang tentunya hal ini da‐pat merugikan masyarakat.
Samdhana dan para mitra mencoba menggunakan mass media, asosiasi tv, talkshow radio, memberdayakan jurnalis sebagai agen info, ada juga pertemuan tingkat desa hingga ke kabupaten sebagai sarana membangun basis informasi dan peningkatan pemahaman tentang REDD dalam rangka mendukung kesiapan masyarakat. Pada prinsipnya pemahaman masyarakat secara komprehensif terhadap REDD dalam kesiapan masyarakat perlu didukung.
Pemahaman terhadap REDD masih berbeda‐beda dan yang muncul lebih kepada nilai uang ketika bicara tentang REDD. Apabila ditilik dari definisi bahwa sesungguhnya prinsip REDD lebih pada mengu‐rangi emisi dengan mempertahankan hutan. REDD bicara tentang insentif tool. Para pihak kurang memberikan perhatian pada pengelolaan hutan secara lebih baik (HPH, HTI, maupun perkebunan). Intangible benefit dari SFM juga harus lebih disuarakan. Terkait dengan Pengelolaan Hutan yang lebih baik maka masalah land tenure dan hak pengelolaan mutlak dipastikan untuk masuk ke konsep REDD.
Terkait dengan kebijakan nasional perlu dilihat adanya komitmen pemerintah yang terkait dengan persetujuan internasional menyangkut hak‐hak masyarakat adat. Ketika akan menerapkan REDD semestinya juga mengadopsi pasal‐pasal yang berhubungan dengan masyarakat adat, contohnya FPIC (Free Prior Inform Consent), dimana hal ini di tingkat kebijakan nasional belum nampak. Hak masyarakat adat dalam REDD sebenarnya telah diakomodasi oleh kebijakan yang ada dimana pemegang hak pengelolaan hutan adat dapat menjadi pelaku REDD. Namun yang menjadi kendala adalah hutan adat akan diberikan hak pengelolaannya kepada masyarakat adat yang telah diakui keberadaannya oleh Peraturan Daerah (sesuai dengan UU 41/1999). Pada kenyataannya pemerintah daerah kebanyakan masih enggan untuk memberikan pengakuan kepada masyarakat adat. Selain itu belum ada mekanisme voluntary tentang siapa yang bisa berhubungan dengan mekanisme REDD ini. Pasar men‐jadi penting karena memegang fungsi yang dominan. Pasar dalam bursa saham CDM bisa sangat cepat naik, konsekunsinya pasar bermain pada kejelasan objek, misalnya siapa yang memiliki dan lain‐lain. Terkait hal ini tanpa diakui hak‐hak masyarakat adat akan tersing‐kir.
Konteks nasional approach diacu dalam implementasi REDD. Adanya DA‐REDD mempresentasikan keberagaman yang tidak bisa digeneralisir. Dengan adanya DA‐REDD di beberapa tipologi hutan, maka kebijakan nasional harus bersifat akomodasi dan komprehensif.
25
SERI DISKUSI
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
KPH dinilai sebagai sebuah upaya meningkatkan pengelolaan hutan di tingkat tapak, sehingga se‐benarnya tidak ada kaitannya dengan hak atas tanah. Oleh sebab itu persoalan land tenure harus diselesaikan pada saat pembentukan KPH tersebut. Sebetulnya pendekatan non legalitas harus disuara‐kan mengingat begitu banyak dan komplek masalah land tenure. Implikasinya, pemerintah boleh mem‐bentuk KPH (KPHK, KPHP, dan KPHL) namun den‐gan pendekatan non legalitas maka di lapangan nampaknya harus ada KPHS (KPH Sosial) untuk bisa menjawab persoalan‐persoalan social terkait land tenure yang terjadi di lapangan. Di dalam UU 41/1999 sebenarnya dimungkin adanya KPHA (KPH Adat) dan KPHKM (KPH Kemasyarakatan) tetapi dalam peraturan turunannya tidak diatur lagi.
Masih tampak sebagian persepsi dalam membangun KPH adalah seperti membangun rehabilitasi, se‐hingga lebih banyak terkait masalah teknis dan ber‐sifat liniear. Selain itu persepsinya bahwa KPH memberikan ijin‐ijin dan lain‐lain. Sehingga dipan‐dang perlu untuk mengkomunikasikan konsep‐konsep KPH secara benar.
Seringkali statement politik berakibat yang kurang baik di tingkat implementasi di lapangan sehingga sebai‐knya kebijakan dipisahkan dari masalah politik. Seperti halnya statemen presiden yang akan mengu‐rangi emisi sampai 26% pada tahun 2020 diang‐gap kurang valid sehingga untuk mewujudkan state‐ment politik ini menimbulkan beban yang cukup berat.
Kebijakan seringkali gagal karena gagal dalam peru‐musan masalah y, mendefinisikan masalahnya ber‐beda, kita tidak pernah bisa melihat fakta se‐benar2nya hanya melihat fakta yang ada di pikiran kita. Indonesia masih kental dnegan mslh land ten‐ure, kaitan dengan sertifikasi tidak bisa dipisahkan sehingga harus dijadikan bagian dari konsep REDD. Sesungguhnya land tenure adalah tujuan.
Organisasi KPHL dan KPHP adalah organisasi daerah, sehingga diperlukan kapasitas yang memadai. Ditegaskan oleh pemerintah bahwa SDM KPH harus professional, diilustraikan KPH seperti rumah sakit di dalam dinas kesehatan. Kepala KPH diperlukan forester, bahkan dimungkinkan harus bersertifikat. Saat ini diklat Kehutanan sudah melakukan pelati‐han‐pelatihan.
———————————————————————————————————————————————————————————
1Iman Santoso, 2008. Kepastian Tenure Masyarakat dalam Pelaksanaan REDD. Warta Tenure Edisi 6, Jan 2009 2Ditjen Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, 2009. Pembangunan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan)
Perlindungan Manusia (Human Security) atas ancaman kebebasan manusia memenuhi kebutuhan dasarnya yang insentifnya harus diarahkan pada do no harm masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan (hal 25‐26)
Hutang Ekologis (Ecological Debt) yaitu hutang negara industri kepada negara berkembang atas peman‐faatan sumber daya alam yang menyebabkan kerusa‐kan lingkungan termasuk gas rumah kaca, sehingga perlu diarahkan sesuai prinsip common but differentiated responsibility dan harus mengatakan tidak pada carbon offset (hal 26‐27)
Ketidakpastian penguasaan Tanah (Land Tenure Insecurity) yang merupakan tunggakan pekerjaan Ke‐menterian Kehutanan, yang sekali lagi cenderung diabaikan, dan hal ini harus dibenahi (hal 27‐28)
Pola Produksi dan Konsumsi (ProductionConsumption Pattern), perlu menjadi pertimbangan untuk tidak mengikuti permintaan pasar (demand), tetapi mengi‐kuti kemampuan daya dukung lingkungan, dengan fungsi ekologisnya (hal 28‐29).
Selain 4 pilar HELP ini masih terdapat hal hal penting lain yang perlu menjadi perhatian yaitu tentang kesenjangan partisipasi, kesenjangan pengetahuan, dan kesenjangan perdagangan dengan mata uang “baru” yaitu carbon, serta kesenjangan atas tunggakan masalah lama dan tum‐buhnya masalah baru dalam bidang kehutanan. Jika HELP dan beberapa point ini tidak dapat dijawab dalam pela‐sanaan REDD, maka lebih baik tidak menggunakan REDD sebagai salah satu mekanisme pengurangan emisi. Boleh dikatakan buku ini memberikan lampu “kuning” pada REDD dengan daftar persyaratan yang cukup panjang untuk segera ditangani. ***
SAMBUNGAN DARI HALAMAN 27 RESENSI BUKU
26
RESENSI BUKU
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
Dalam perundingan Internasional perubahan iklim, masyarakat adat menjadi salah satu isu yang hangat dibi‐carakan baik oleh para pihak yang terlibat dalam perundin‐gan maupun berbagai organisasi masyarakat sipil yang tu‐rut mengamati perundingan tersebut. Masyarakat adat mu‐lai masuk dalam panggung perundingan ketika REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) mulai dibicarakan, terutama sejak COP 13 di Bali. Usu‐lan yang mengemuka antara lain berbasis pada ketentuan yang tercantum dalam UNDRIP (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) yang juga di tandatan‐gani oleh pemerintah Indonesia.
Namun, perjuangan mendorong hak masyarakat adat ke dalam teks negosiasi perubahan iklim tidaklah mudah. Ber‐bagai kendala baik seperti hadangan sejumlah negara yang tidak mengadopsi atau menolak UNDRIP dan kendala tek‐nis seperti isu metodologi, menjadi tantangan utama dalam mendorong isu ini.
Di sisi lain, tantangan dalam negeri juga menjadi kendala mengapa hak masyarakat adat sulit mendapat tempat dalam panggung negosiasi. Buku ini mencoba melihat ba‐gaimana masalah hukum dalam negeri di Indonesia men‐jadi hambatan mengapa demikian sulit mengakomodasi masyarakat adat dalam berbagai proposal Indonesia ke UNFCCC. Salah satu masalah utama adalah sulitnya men‐gadopsi konsep hak masyarakat adat sebagai hak yang re‐latif mandiri seperti hak milik, tidak berada di bawah kung‐kungan kontrol hak menguasai negara (HMN). HMN dalam banyak interpretasi dan praktek telah memenjarakan luas dan lebar hak masyarakat adat menjadi sekedar hak pengelolaan dan pemanfaatan atas hutan. Masalah‐masalah tersebut merupakan warisan masa lampau yang jika dite‐lusuri jejaknya bisa ditengok hingga ke jaman Kolonial Belanda.
Dalam kompleksitas persoalan tersebut, hadir berbagai kebijakan REDD antara lain Permenhut 68/Menhut‐II/2008 tentang Penyelenggaran Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan, dan Permenhut No. 30/Menhut‐II/2009 Tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan De‐gradasi Hutan yang rupanya tidak banyak menolong men‐gatasi hambatan dalam merespons hak masyarakat adat. Alasannya antara lain kebijakan‐kebijakan ini lahir sebagai pelaksanaan dari kebijakan yang lebih tinggi. Sehingga, esensinya sekedar meneruskan saja kebijakan yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, belum ada semangat politik yang benar‐benar serius untuk mengadposi hak‐hak masyarakat adat.
Akan tetapi dalam menjalankan REDD Readiness (termasuk LoI Pemerintah Indonesia dan Pe‐merintah Norwegia) terdapat sebuah konsep penting dengan segala konsekuensi hukumnya yaitu, conditionalities, yaitu kon‐sep hukum dalam perjanjian kerjasama multi/bi‐lateral di‐mana kerjasama tertentu di‐dorong di satu wilayah untuk menciptakan kondisi kondisi tertentu bagi kerjasama yang lainnya (halaman 19‐28). Dalam mekanisme perubahan iklim, keberadaan masyarakat adat beserta hak‐haknya sesuai dengan berbagai instrument internasional, meru‐pakan suatu conditionality. Dalam prakteknya conditionality pernah diterapkan oleh IMF (International Monetary Fund) lewat Structural Adjustment Program yang men‐syaratkan banyak aspek untuk memperoleh pinjaman keuangan. Untuk mengukur pemenuhan syarat‐syarat tersebut, ditetapkanlah kriteria dan indikator yang cukup ketat. Nampaknya model structural adjustment yang dila‐kukan pada agenda‐agenda ekonomi, saat ini dipraktekkan juga pada agenda sosial dan lingkungan. Nampaknya penulis, sebagai seorang sarjana hukum pada perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) telah belajar banyak, diluar disiplin ilmu hukum yang dipelajarinya di Fakultas Hukum UGM (lulus tahun 2003). Dimana penulis dengan gamblang, menjelaskan logika‐logika ekologi dan penye‐bab pemanasan global (bab 1). Demikian pula penulis me‐mahami betul seluk beluk skema‐skema insentif peruba‐han iklim dan proses‐proses negosiasinya (bab II), melalui keterlibatan aktifnya dalam berbagai forum.
Dalam bab III penulis menggunakan kekuatan nalar kritis untuk melihat masalah‐masalah hukum yang dihadapi Pemerintah maupun Masyarakat dalam menjabarkan agenda mitigasi perubahan iklim. Nampaknya penulis juga memiliki orientasi pemberdayaan, sehingga dengan tidak segan‐segan penulis melampirkan aturan‐aturan serta bahan‐bahan yang dibahasnya (halaman 87‐115) untuk mengajak pembaca terlibat lebih jauh dalam mengem‐bangkan pemikirkannya. Buku ini patut dibaca oleh para penggiat REDD, termasuk pemerintah yang akan men‐jalankan program REDD Readiness, pendamping masyara‐kat serta para ahli hukum. Buku ini bisa didapatkan di HuMa Jl. Jati Agung no 8, Jati Padang, Pasar Minggu, Ja‐karta 12540, telp/fax 021‐7806959 atau dapat diunduh melalui website HuMa http://www.huma.or.id ***
Pemanasan Global: Respons Pemerintah dan Dampaknya Terhadap Hak Masyarakat Adat Penulis : Bernadinus Steni, HuMa 2009, 115 halaman Resensi Buku oleh Martua T. Sirait
27
RESENSI BUKU
Working Group on Forest Land Tenure www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 8 - Juli 2010
Buku ini dibuat oleh be‐berapa orang yang mewakili pandangan Forum Masyara‐kat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (Indonesian Civil Society Forum for Climate Justice/CSF), sebuah aliansi Ornop yang terdiri dari berbagai Ornop yang bergerak dalam bidang pe‐lestarian alam dan lingkun‐gan yang mempromosikan pengelolaan alam secara adil
dan lestari. Para penulisnya sudah tidak asing lagi di antara aktifis ornop yaitu Bernadinus Steni (learning Center HuMa), Mardi Minangsari (perkumpulan Telapak), Teguh Surya (Walhi) dan Giogio Budi Irianto (ICEL). Para penulis yang memiliki latar belakang lembaga yang ber‐beda, disiplin ilmu yang berbeda, serta pengalaman la‐pang yang berbeda, secara bersama menuangkan pikirannya ke dalam buku kecil ini, yang sekaligus men‐jadi pandangan CSF terhadap REDD, untuk tidak terjebak dalam posisi sederhana “tolak” atau “terima” REDD, tetapi mempertimbangkan suatu mekanisme yang seharusnya dapat digunakan untuk menyelamatkan ekosistem hutan Indonesia (hal 5) Buku ini secara ringkas menjabarkan lahirnya REDD dan beberapa varian lainnya yang dibawakan oleh berbagai pandangan pemerintah (negara emitter dan negara yang mengakui memiliki hutan luas) dengan segala kepentin‐gannya. Misal REDD+ untuk memperluas cakupan insentif bagi negara yang mengguasai hutan luas dan juga mem‐berikan insentif bagi kegiatan konservasi, perusahaan HTI skala besar, dan kemungkinan perkebunan kelapa sawit skala besar. Sehingga REDD selalu berwajah men‐dua, disatu sisi dapat memberikan insentif bagi usaha pelestarian hutan, tetapi disisi lain berpotensi memberi‐kan insentif kepada perusahaan kelapa sawit dan HTI yang melakukan perusakan hutan dalam proses produk‐
Lebih jauh melihat konsep dan asumsi REDD, buku ini menengok secara cepat pada 3 wilayah Demonstration Area (DA) REDD di Aceh, Jambi dan Kalimantan Barat dalam 4 skema REDD yang berbeda (hal 10‐23) antara lain; Skema Carbon Credit, melalui perjanjian dengan Carbon Conservation Pty dan Merryl Lynch selama tahun 2008‐2011 di Aceh, dijalankan oleh FFI pada hutan rawa yang masih 75% utuh.
Skema Community Carbon Pool, yang diharapkan dapat dikelola oleh masyarakat Sungai Utik‐Kalimantan Barat pada wilayah HPK dengan dukungan FFI.
Skema Restorasi Ekosistem, yang dikelola pada kawasan hutan di wilayah Gunung Putri dan danau Sentarum juga di Kalimantan Barat dengan dukungan FFI
Skema G to G, yang dikelola oleh KFCP pada hutan rawa di Kalimantan Tengah, yang diperkirakan akan men‐jalankan Carbon Offset
Penulis melihat masalah dan potensi masalah yang ada masih seputar ketidakpastian tanah dengan persyaratan perijinan yang mensyaratkan adanya bukti penguasaan dalam bentuk legal formal, yang tidak dapat dipenuhi masyarakat yang tidak terbiasa dengan masalah legal formal. Jika pendekatan dan cara‐cara ini diteruskan maka masyarakat adat akan semakin termarginalisasi dan berpotensi hanya menjadi penonton atas insentif REDD. Masalah lainnya yaitu masalah pembagian hasil yang belum ditemukan cara terbaik untuk mendistri‐busikan manfaatnya. Masalah lain yang juga dilihat yaitu masalah kebijakan dalam proyek DA‐REDD yang me‐nempatkan masyarakat sebagai objek dan bukan sebagai subjek dalam pengembangan DA‐REDD. Melihat banyaknya resiko yang akan ditanggung karena kegiatan REDD ini, maka penulis merasa perlu mene‐kankan pentingnya empat (4) pilar dalam menilai apakah REDD menjawab masalah deforestasi dan aspek keadilan secara utuh. Ke 4 pilar tersebut (yang disingkat HELP) adalah:
REDD, Bisakah Menjawab Deforestasi dan Menghadirkan Keadilan Iklim? Pembelajaran dari Indonesiai
Penulis; Bernadinus Steni, Mardi Minangsari, Teguh Surya & Giorgio Budi Irianto
Resensi Buku oleh; Martua T. Siraitii
———————————————————————————————————————————————————————————————————————————
iDiterbitkan oleh Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim, 2010, Jakarta (36 halaman) http://csoforum.net/, atas dukun‐gan Samdhana Institute.
iiPeneliti ICRAF‐SEA, Samdhana Institute Fellow, email [email protected]
Bersambung ke halaman 25
Pelatihan Perangkat Analisis Land Tenure (RATA; HuMa-win; AGATA)
Working Group on Forest Land Tenure (WG‐Tenure) bekerjasama dengan ICRAF, HuMA, dan Samdhana, dengan dukungan dana dari Kemitraan dan support dari Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan (WP3H) Direktorat Jenderal Planologi, mengadakan pelatihan “Perangkat Analisis Land Tenure (RATA, HuMawin, AGATA)” di Cisarua Bogor dan di Palembang. Pelatihan diikuti oleh staf BPKH, Planologi Kementerian Kehutanan, Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten, dan NGO.
Pelatihan Angkatan 1 Cisarua ‐ Bogor, 10‐12 November 2009
Pelatihan Angkatan 2 Palembang, 14‐16 Desember 2009
Modul pelatihan dapat diakses di www.wgtenure.org
Working Group on Forest Land Tenure (WG‐Tenure) adalah Kelompok Kerja Multipihak untuk Penanganan Masalah Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan. WG‐Tenure berdiri pada Bulan November 2001 melalui seri lokakarya dengan melibatkan multipihak di Bogor. WG‐Tenure lahir dari keprihatinan akan maraknya konflik pertanahan di wilayah yang disebut sebagai kawasan hutan dan sekaligus merespon lahirnya TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang memandatkan untuk segera menyelesaikan konflik pertanahan secara adil dan lestari dan sekaligus menjabarkan komitmen pemerintah kepada CGI untuk menyelesaikan permasalahan penguasaan tanah di kawasan hutan (commitment 12, bidang kehutanan, Februari 2001) WG‐Tenure pada saat didirikan beranggotakan multipihak yang terdiri dari Departemen Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, Departemen Dalam Negeri, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah Daerah, DPRD Kabupaten, swasta bidang kehutanan, Organisasi Non Pemerintah, Perwakilan Masyarakat Adat, Seri‐kat Tani, Perguruan Tinggi, dan Lembaga Penelitian. WG‐Tenure diharapkan dapat menjadi wadah para pihak tentang permasalahan penguasaan tanah di kawasan hutan dan dapat secara aktif memberikan rekomendasi kepada para pihak untuk penyelesaiannya.
Sekretariat:
Jl. Cisangkui Blok B VI No. 1 Bogor Baru, BOGOR Telp/Fax : + 62 251 8323090 Email: [email protected] Website: www.wg‐tenure.org