· web viewaturan adat suku dani mencakup segala aspek kehidupan, dari sistem kepercayaan, mata...
TRANSCRIPT
PETANI BUAH PANDAN (Pandanus yulianti martilli) DALAM HUTAN LINDUNG DESA EKAPAME,
LANNY JAYA, PAPUA
PROPOSAL DISERTASI
Sebagai Ganti Nilai UAS Dua Mata Kuliah (Ekonomi Sumberdaya Alamdan Lingkungan dan Perencanaan Pembangunan dan
Pengembangan Wilayah)
DARI
Prof. Dr. Ir. SOEMARNO, MS
OLEH
BEEN KOGOYANIM : 107040100111006
PROGRAM PASCASARJANAFAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG
2012KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
atas karunia dan Rahmat-Nya penulis dapat menyusun tugas suatu evaluasi
akhir kuliah atau ujian Akhir semester (UAS), dari dua mata kuliah Ekonomi
sumberdaya alam dan lingkungan dan perencanaan pengembangan wilayah
yang diberikan dengan tujuan menyusun proposal Disertasi untuk sejauh mana
kemampuan mahasiswa menguasai materi yang diberikan dalam proses
belajar mengajar selama perkuliahan berlangsung.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Prof. Dr. Ir. SOEMARNO, SM. Selaku Direktur Program Pascasarjana,
Fakultas Pertanian, juga sebagai Guru Besar Universitas Brawijaya (UB)
Malang yang telah memberikan kuliah Ekonomi sumberdaya alam dan
lingkungan dan perencanaan pengembangan wilayah,
2. Semua teman-teman kuliah minat pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan angkatan tahun 2011 yang telah memberikan masukan dan
semangat dari teman-teman sehingga tugas ini bisa dapat dikerjakan 170
halaman dalam jangka waktu tiga bulan.
Tugas Proposal Disertasi ini masih jauh dari sempurna karena
terbatasnya kemampuan dan pengalaman penulis oleh karena itu penulis
secara terbuka menerima kritik dan saran dari pembaca untuk menuju
kesempurnaannya sebuah karya Tulis yang berkualis (Disertasi). Sebelumnya
penulis tak lupa ucapan terima kasih.
Malang 22 Januari 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTARA ISI ...................................................................................................... iiBAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1 1.2. Perumusan Masalah ..................................................................... 6 1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 12 1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................... 13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 14 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Tanaman Pandanus ............ 14 2.1.1. Marfologi dan Genetika Tanaman Pandanus ..................... 14 2.1.2. Lingkungan Tumbuh tanaman Pandanus Panjang .............. 21 2.1.3. Budidaya Tanaman Pandanus ........................................... 26 2.1.4. Manfaat Tanaman Pandanus ............................................ 33 2.1.5. Strategi Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung .................. 45 2.1.5.1. Pengelolaan Tanaman Nasional Gunung Halimun ...
45 2.1.5.2. Strategi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(DAS) manggar ....................................................... 532.2. Kajian Teori ..................................................................................... 55 2.2.1. Faktor-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi
Pertumbuhan Tanaman Hutan Tropis ..................................... 55 2.2.2. Ekologi Hutan ........................................................................ 72 2.2.3. Ekosistem Hutan ................................................................... 84 2.2.4. Hutan Lindung dan Fungsinya ............................................. 110 2.2.5. Hubungan Hutan dan Masyarakat Setempat ........................ 113 2.2.6. Kearifan Lokal ...................................................................... 120
BAB III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN .................................................... 1293.1. Kerangka Pikir ............................................................................... 1293.2. Definisi Operasional dan Metode Pengukuran Variabel ................ 145
BAB IV. METODE PENELITIAN ....................................................................... 1544.1. Objek dan Ruang Lingkup Penelitian .............................................. 1544.2. Metode Penentuan Daerah Penelitian dan Penarikan Contoh ........ 1554.3. Langkah-langkah Prosedur Penelitian ............................................ 1574.4. Metode Pengumpulan Data ............................................................ 1594.5. Metode Analisis Data ....................................................................... 160
4.5.1. Deskripsikan Lingkungan Tumbuh Tanaman Buah Pandan . . 160
4.5.2. Deskripsikan Dua Jenis Tanaman Buah Pandan ................... 160
4.5.3. Deskripsikan sistem Budidaya Tanaman buah pandan ......... 1614.5.4. Analisis SWOT ....................................................................... 161
4.5.4.1. Analisis IFAS dan EFAS .......................................... 1614.5.4.2. Matrik SWOT ............................................................. 164
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 169DAFTAR TABEL
1. Perbedaan kondisi lingkungan tumbuh tanaman pandanus panjang ............
25
2. Suhu rata-rata bulanan ................................................................................. 57
3. Kecepatan angin dalam hutan tropis ............................................................. 60
4. Biomassa produktivitas bersih pada setiap kelompok komponen vegetasi
yang menyusun ekosistem hutan .................................................................. 107
5. Berbagai manfaat yang diperoleh oleh masyarakat lokal dari sumberdaya
hutan sekitarnya ........................................................................................... 120
6. Analisis strategi faktor internal (IFAS) .......................................................... 164
7. Analisis strategi faktor Eksternal (EFAS) ..................................................... 165
i
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka pikir penelitian hubungan antara manusia, buah pandan dan
hutan lindung ................................................................................................. 133
2. Prosedur penarikan contoh penentuan wilayah dan petani bertahap ...........
157
3. Skema langkah-langkah operasional penelitian ........................................... 158
4. Matrik SWOT ................................................................................................. 166
5. Diagram analisis SWOT ................................................................................ 168
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Buah Pandan (Pandanus yulianettii martelli) merupakan salah satu
tumbuhan buah tropik yang dapat tumbuh dalam hutan lindung di kawasan
pegunungan Jayawijaya yang memiliki lima jenis dari marga Pandanus adalah
anggota Pandanaceae yang paling luas penyebarannya dan kisaran habitat
yang ditempatinya di pegunungan tengah Jayawijaya Papua . Buah pandan
termasuk tanaman endemik, secara umum habitat asal tanaman ini adalah
hutan primer dengan kondisi tanah lembab, subur berhumus, kapur, hingga
tanah berpasir putih yang relatif kering dan miskin zat-zat hara. Tanaman ini
ditemukan tumbuh liar di wilayah Papua dan Papua New Guinea merupakan
suatu suku tumbuhan yang berbentuk semak, perdu atau dengan pohon
batang besar dan tumbuh tegak, bercabang-cabang atau liana. Di wilayah
Papua, tanaman buah pandan ditemukan tumbuh di daerah dengan ketinggian
antara 3.500-4000 meter di atas permukaan laut, sehingga tanaman buah
pandan tidak dapat tumbuh pada daerah dataran dibawah 3000 meter di atas
permukaan laut di Papua.
iii
Craven dan de Fretes (1987) menyatakan bahwa berbagai jenis
pandanus sudah sejak lama dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di
daerah dataran tinggi Irian Jaya dan Papua New Guinea. Masyarakat lokal
sudah dimanfaatkannya secara ekstensif. Buahnya digunakan sebagai bahan
pangan, sedangkan daunnya untuk membuat tikar dan atap rumah. Buah
pandan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi untuk kebutuhan bagi umat
manusia, dibandingkan dengan pandanus lainnya. Dalam masyarakat di tanah
papua bagian pedalaman pegunungan tengah jayawijaya buah pandan lebih
dikenal dengan sebutan nama daerah adalah woromo, lim, gawan, terep dan
tawi, sebagai makanan fungsional. Sebutan nama buah pandan berdasarkan
ciri khas tanaman buah pandan seperti karakteristik daun, batang, biji, daging,
dan ketebalan kulit biji dan daging buah, sedangkan masyarakat umum
dengan sebutan kelapa hutan karena buah pandan hidup di dalam hutan. Buah
pandan yang terdiri dari beberapa kultivar yang belum dikenal oleh masyarakat
luas tetapi masyarakat pegunungan Jayawijaya secara tradisional sejak dahulu
telah mengkonsumsi sebagai makanan sehari-hari diambil dari bagian biji dan
daging buah, karena rasanya gurih enak dan aromanya seperti kelapa
karenanya orang menyebutnya kelapa hutan. Salain itu bagian daun dibuat
tikar dan atap rumah, batang sebagai papan untuk bangunan rumah dan akar
sebagai bahan dasar pembuat tas (noken) khas papua dan teknologi
budidaya, penanganan pascapanen yang sederhana merupakan warisan
secara ilmu turun-temurun dari nenek moyang.
Pada dasarnya terdapat lima jenis buah pandan di Papua. Namun,
secara garis besar diketahui ada 4 jenis terdiri dari 12 kultivar yang
1
2
dikembangkan oleh masyarakat setempat, karena memiliki nilai ekonomis, dan
sesuai dengan agroekologi buah pandan masing-masing daerah pegunungan
tengah Jayawijaya mempunyai variasi iklim dari suatu daerah ke daerah lain
berbeda-beda menyebabkan munculnya banyak kultivar baru buah pandan.
Rose (1982), Klasifikasi tanaman buah pandan adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plant/tumbuhan
Divisi : Spermaophyta
Kelas : Angiospermae
Subkelas : Monocotyledonae
Ordo : Pandanales
Famili : Pandanaceae
Genus : Pandanus
Spesies : pandanus yulianti martelli
Buah pandan mempunyai prospek yang cerah untuk dikembangkan di
daerah pedalaman pegunungan Jayawijaya Papua, karena memiliki peluang
besar untuk eksplorasi pangan dari biji dan daging buah. Biji dapat
menghasilkan minyak goreng yang berkualitas baik dari segi kesehatan
dibandingkan dengan minyak goreng dari kelapa sawit dan daging buah dapat
menghasilkan tepung untuk pembuatan berbagai macam jenis makanan
olahan. Akar selain pembuatan tas (noken) juga akan dimanfaatkan sebagai
tali pengikat kapal, karena benang dari akar buah pandan memiliki karakter
halus dan kuat. Selain itu daun memiliki peluang besar untuk membuat berbagi
kegiatan lain terutama untuk pembuatan tikar, karena buah pandan memiliki
3
karakter daun halus, kuat, panjang dan lebar dibandinggkan dengan daun
pandan lain yang memiliki daun kasar tebal dan pendek, namun telah lama
dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan tikar oleh masyarakat di Jawa Barat
dan hasilnya di ekspor (Siti dan Mulyati, 2010). Disamping itu untuk dalam
rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah pedalaman papua
melalui buah pandan ini lebih mudah dan tepat dibandingkan dengan komoditi
pertanian yang lainnya karena pengetahuan secara tradisional telah ada pada
mereka.
Selain dari nilai manfaat langsung dari buah pandan juga memiliki nilai
manfaat tidak langsung yaitu sebagai pengatur hidrologi air juga melindungi
tumbuhan dan hewan lain disekitarnya, karena buah pandan memiliki ciri khas
tumbuh dibawah tegakan lebih baik daripada tumbuh tanpa naungan, sehingga
petani memiliki pengetahuan unik dalam sistem budidaya buah pandan
dibawah naungan dari tegakan hutan lindung. Pengetahuan ini dari turun
temurun khususnya masyarakat pegunungan Jayawijaya pada umumnya.
Karena hutan mempunyai pengaruh untuk buah pandan tumbuh baik dan
menghasilkan buah yang tersedia pangan bagi masyarakat setempat.
Anonimous (1993) menyebutkan bahwa masyarakat yang tinggal di
daerah pedalaman papua merupakan suku terpencil yang tinggal di
pegunungan Jayawijaya yaitu suku Dani. Papua Selatan sejak akhir abad 14
suku ini hidup di bawah suatu sistem struktur sosial dan aturan adat yang
sangat ketat. Aturan adat suku Dani mencakup segala aspek kehidupan, dari
sistem kepercayaan, mata pencaharian, kehidupan sosial dan aturan-aturan
tentang kehidupan sehari-hari. Selain contoh-contoh di atas, aturan adat ini
4
juga mencakup pengaturan sistem pertanian ladang berpindah. Wilayah
mereka dibagi ke dalam 2 zonasi berdasarkan struktur dan fungsinya yaitu
zonasi pertama yang berupa hutan kampung, zonasi kedua merupakan
daerah hutan lindung yang tidak boleh dibuka menjadi ladang berpindah.
Sistem pengelolaan yang memberikan banyak keuntungan ini belum banyak
dipahami oleh masyarakat di luar komunitas selain suku Dani.
Dalam sejarah perkembangan kelompok masyarakat tradisional di
seluruh dunia pada umumnya sistem pertanian lahan berpindah, sama halnya
dengan kelompok masyarakat di pegunungan tengah jayawijaya, namun agak
berbeda sejarahnya, mereka telah mempunyai suatu bentuk pengetahuan
lokal/tradisional tentang alokasi wilayah pengelolaan sumber daya alam
dengan sistem pertanian ladang tetap di dalam hutan lindung sebagai kebun
buah pandan dan hutan kampung sebagai budidaya pertanian lainnya .
Pengetahuan yang biasa disebut Pengetahuan Ekologi Tradisional (Traditional
Ecological Knowledge) ini didapat dari akumulasi hasil pengamatan pada kurun
waktu yang lama dan diwariskan secara turun-temurun. Kelompok masyarakat
pegunungan tengah jayawijaya mempunyai tradisional aturan tata guna lahan
tersendiri, namun umumnya sama dalam beberapa prinsip dasar. Sebagai
kelompok masyarakat yang telah hidup lama berdampingan dengan alam
sekitarnya, mereka menyadari pentingnya kelestarian alam. Perlindungan ini
ternyata mempunyai arti penting bagi ekosistem sekitarnya, karena hutan
berfungsi sebagai penyangga kekayaan sumber genetik (genepool), sebagai
habitat dari hewan liar, melindungi tanah dari erosi, menjaga hidrologi air ketika
hujan dan kemarau, untuk menjaga mikroklimat, pelindung dari angin, produksi
5
sumber humus, penyedia pestisida alami, penyedia makanan, dan lain
sebagainya (Sunaryo dan Joshi, 2003).
Sistem pertanian ladang atau perladangan telah lama dikenal
masyarakat luas dan telah lama pula dipraktekkan di berbagai negara tropis di
Asia, Amerika dan Afrika, termasuk di negara Indonesia (Sutanto,2003) .
Sistem pertanian ladang di pegunungan tengah Jayawijaya memiliki karakter
khusus, yaitu menggarap lahan pertanian secara berpindah-pindah di lahan
hutan kampung. Para peladang, menebang hutan untuk ditanami tanaman
umbi-umbian dan tanaman lainnya secara terus menurus pada lahan
yang ,sama menyababkan tanah semakin menjadi miskin unsur hara bagi
tanaman. Pada saat lahan diberokan, berlangsung proses suksesi alami
menuju terbentuknya hutan sekunder. Hutan sekunder tersebut dapat dibuka
kembali sebagai ladang, dan dengan demikian daur pemanfaatan lahan untuk
pertanian dimulai kembali bahwa bila masa bero berlangsung cukup lama,
struktur dan komposisi hutan sekunder tersebut hampir mendekati struktur dan
komposisi hutan primer.
Sedangkan sistem ladang pertanian tetap di dalam hutan (kebun buah
pandan) dapat menunjukkan bahwa jumlah total biomasa dari hutan primer
telah menyediakan waktu puluhan sampai ratusan tahun sehingga hutan primer
setelah tersedia kadar nutrien bertambah secara signifikan bagi tanaman
pertanian dan siklus nutrisi serta mekanisme konservasi dijaga baik oleh siklus
berulang dari sistem perladangan tetap di dalam hutan primer, sehingga lahan
tetap di hutan primer merupakan lahan hidup yang menghasilkan berbagai jenis
makanan dan materi lainnya . Disamping itu hutan primer juga memiliki
6
komponen abiotik dan komponen biotik yang mencakup produser, konsumen
dan pengurai secara alamiah sehingga hasil produk pertanian tidak memiliki
dampak yang negatif bagi umat manusia . Namun saat ini komoditi pangan
yang mempunyai nilai ekonomis tinggi belum ada yang mampu dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik dibawah naungan tegakan hutan primer dengan
produksi dalam jumlah yang lebih besar tujuan untuk pasar, oleh karena itu
dirasa penting untuk melakukan penelitian ilmiah akademik komoditi pertanian
yang sesuai kearifan lokal berkenaan dengan meningkatkan pendapatan
masyarakat di sekitar hutan yang menentukan pengelolaan hutan yang
berkelanjutan.
1.2. Perumusan Masalah
Selama ini telah banyak terdapat indikasi bahwa kebutuhan
manusia terhadap sumberdaya hutan selalu meningkat, demikian juga
pada dekade mendatang. Diperkirakan pada tahun 2050 penduduk di
kawasan pegunungan Jayawijaya akan meningkat empat kali lipat, sehingga
permintaan dan konsumsi akan sumber-sumber biologi dan fisik akan
bertambah pesat pula, sekaligus juga meningkatkan dampak terhadap jasa
yang dapat diberikan oleh hutan. Hal ini bersamaan pula dengan meningkatnya
degradasi dalam hal kemampuan hutan untuk menyediakan jasa. Sekitar 40
persen dari lahan pertanian telah mengalami degradasi selama setengah
abad terakhir akibat erosi, salinisasi, pemampatan, penurunan zat-zat hara,
polusi dan urbanisasi (Anonymous, 2001). Dijelaskan lebih lanjut, bahwa
pengaruh lain yang diakibatkan oleh manusia terhadap hutan diantaranya ialah
7
perubahan siklus nitrogen, fosfor, belerang dan karbon, sehingga
menyebabkan terjadinya hujan asam, peledakan populasi, serta matinya ikan
di sungai-sungai dan perairan pesisir. Selain itu secara bersamaan telah
terjadi pula perubahan iklim yang terpicu oleh perubahan tersebut di atas.
Degradasi jasa hutan ini menjadi lebih parah oleh hilangnya pengetahuan
tradisional suatu pengetahuan yang seringkali ternyata dapat membantu
pemanfaatan hutan yang lestari.
Kombinasi dari permintaan terhadap jasa hutan yang senantiasa
tinggi dan degradasi hutan yang bertambah parah ini telah memperkecil
peluang untuk menuju pembangunan berkelanjutan. Kesejahteraan manusia
dipengaruhi tidak hanya oleh kesenjangan antara ketersediaan dan permintaan
jasa hutan, namun juga oleh bertambahnya kerentanan individu, masyarakat
dan negara. Hutan yang produktif beserta segala jasanya dapat
menyediakan sumberdaya untuk manusia dan pilihan-pilihan yang ada dapat
dimanfaatkan untuk melawan bencana alam atau pergolakan sosial yang
mungkin terjadi. Hutan yang tertata dengan baik akan mengurangi resiko dan
kerentanan, sementara hutan yang tidak dikelola dengan baik akan
membahayakan manusia karena mempertinggi resiko terjadinya banjir,
kekeringan, kegagalan panen pertanian atau penyakit.
Degradasi jasa hutan dapat terjadi karena berbagai sebab, antara lain
permintaan yang tinggi terhadap jasa tersebut akibat pesatnya
pertumbuhan ekonomi, perubahan demografis dan pilihan-pilihan individu
(individual choice). Mekanisme pasar ternyata tidak selalu menjamin
keberlangsungan jasa konservasi hutan, mengingat bahwa mekanisme
8
pasar untuk jasa hutan tertentu, seperti jasa kultural atau jasa pengaturan,
memang tidak tersedia. Kalaupun mekanisme pasar tersebut telah
dikembangkan, kebijakan dan institusi yang ada tidak memungkinkan
masyarakat yang hidup pada hutan tersebut untuk mengambil
keuntungan yang tersedia. Contohnya, saat ini mulai dikembangkan tatanan
institusi mengenai penjualan karbon dengan cara mempertahankan suatu
lahan berhutan agar tidak ditebang. Sementara itu, dipihak lain terdapat
dorongan kuat untuk menebang hutan guna mendapatkan insentif
ekonomi. Jadi, meskipun suatu mekanisme pasar untuk jasa hutan telah
dikembangkan, hasil yang diperoleh secara sosial atau ekologis mungkin
tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perlu ditekankan pula bahwa pasar
seringkali tidak mampu memenuhi aspek keadilan inter dan atau antar generasi
yang terkait dengan pengelolaan hutan untuk generasi masa kini dan masa
mendatang, mengingat bahwa beberapa perubahan yang terjadi pada
hutan tidak akan dapat dikembalikan ke kondisi semula.
Sementara itu perencanaan pengelolaan hutan lestari dan
pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan, selama ini oleh
pemerintah selalu dilakukan secara sentralistik tanpa melibatkan peranserta
masyarakat. Sebagian elit birokrasi beranggapan bahwa untuk mencapai
efisiensi dalam pembangunan, masyarakat tidak mempunyai kemampuan
untuk menganalisis kondisi dan merumuskan permasalahan, apalagi mencari
solusi pemecahannya, sehingga masyarakat kurang terlibat dalam setiap
tahapan proses pemberdayaan. Akibatnya masyarakat kurang
memahami dan mengerti untuk apa dan bagaimana program tersebut
9
dilakukan, sehingga mendorong masyarakat bersikap tidak peduli dan tidak
bertanggung jawab terhadap keberhasilan dan kegagalan program tersebut.
Kondisi seperti ini telah ditunjukkan dari hasil penelitian Mulyadi (2005)
dalam Rujehan (2010) bahwa pada masyarakat lokal di Hutan
Pendidikan dan Penelitian Bukit Soeharto (HPPBS), bahwa masyarakat
yang terlibat pada intensitas partisipasi relatif kecil yaitu sebesar 29,79 %
(sebanyak 56 responden dari total 188 responden). Keterlibatan mereka
pada intensitas partisipasi "informasi", "konsultasi" dan "pengambilan
keputusan", ini mengindikasi-kan bahwa kecil kemungkinan terjadi adanya
perubahan di masyarakat yang dapat mendorong keberhasilan program
konservasi di wilayah tersebut.
Mengingat kondisi yang terjadi seperti di atas maka perlu
dilakukan penelitian secara mendalam apa yang terjadi sesungguhnya pada
pengelolaan hutan. Konflik pemanfaatan hutan antar pihak yang
berkepentingan yang sering terjadi di mana-mana mengindikasikan
sistem pengelolaan hutan belum maksimal. Oleh karena itu perlu
dicari solusi yang tepat dalam upaya memperbaiki sistem pengelolaan
yang ada. Sistem pengelolaan yang ada selama ini masih mengandalkan
konsep konservasi tanpa pemanfaatan langsung oleh masyarakat setempat.
Meskipun melalui perambahan hutan dalam upaya memenuhi kebutuhan
ekonomi masyarakat setempat, ini mengindi-kasikan memang
masyarakat tersebut memerlukan keberadaan hutan untuk menunjang
kebutuhan hidupnya. Hutan dianggap sebagai lahan yang dapat memberikan
kontribusi ekonomi yang cukup berarti. Disisi lain kontribusi ekonomi yang
10
diraih terkadang bertentangan dengan prinsip kelestarian ekosistem hutan.
Untuk itu, strategi pengelolaan hutan yang dapat mempertimbangkan prinsip
biologi dan prinsip ekologi menjadi pertanyaan yang perlu dijawab.
Pada era otonomi khusus di Papua ada tekanan terhadap hutan
disebabkan tidak hanya oleh pertumbuhan penduduk yang memerlukan ruang
dan lahan untuk hidup, tetapi juga oleh perubahan sistem sosial. Perubahan
sistem sosial masyarakat tadinya memandang hutan itu sebagai
sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat subsistem
sudah beralih menjadi komersial. Berubahnya sistem ini sebagai
konsekuensi dari meningkatnya akses infomasi di masyarakat sehingga
berdampak berubahnya sikap masyarakat yang cenderung menganggap
sumberdaya alam merupakan potensi untuk meningkatkan pendapatan.
Dalam prakteknya dari kecenderungan tersebut berdasarkan fakta yang ada di
lapangan, tidak hanya dilakukan secara legal tetapi secara ilegal atau
disebut dengan perambahan hutan ataupun dalam bentuk pemanfaatan
hutan yang tidak terkendali. Sebagai contoh di Kabupaten Jayawijaya
dimekarkan menjadi beberapa kabupaten baru, disamping itu untuk akses
barang bangunan masuk di wilayah pendalaman Papua ini melalui transpotasi
udara menyebabkan harga bahan bangunan lebih mahal, sehingga
pembangunan gedung perkantoran dan perumahan rata-rata dibangun dengan
bahan kayu ini memberikan peluang bagi pengusaha kayu masuk di dalam
hutan menebang pohon yang berumur ratusan sampai ribian tahun yang ada di
alam dengan cara permintaan langsung kepada masyarakat setempat diberi
11
uang untuk perpohon, tanpa penduli dengan tanaman mereka yang ada di
dalam hutan.
Dari berbagai kondisi yang telah disampaikan di atas, maka disini
permasalahan secara umum dalam rencana penelitian ini ialah “bagaimana
untuk mempertahankan pengetahun lokal/tradisional tentang dudidaya
tanaman buah pandan papua di dalam hutan kawasan hutan lindung
pegunungan tengah Jayawijaya dapat menunjang upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat setempat dan perlindungan keberadaan hutan tetap
hijau berkelanjutan sebagai persembahan untuk anak cucu secara regenerasi
umat manusia” Dari rumusan permasalahan umum tersebut, maka selanjutnya
secara rinci permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana karakteristik lingkungan tumbuh buah pandan di dalam
hutan lindung di desa Ekapame?
2. Bagaimana karakteristik dua jenis buah pandan yang telah budidayakan
oleh petani di dalam hutan lindung di desa Ekapame?
3. Bagaimana sistem penggunaan lahan dan budidaya buah pandan oleh
petani di dalam hutan lindung di desa Ekapame?
4. Bagaimana karakteristik lingkungan internal dan eksternal petani buah
pandan dalam pengelolaan hutan lindung di desa Ekapame?
5. Bagaimana strategi pelestarian buah pandan dalam hutan lindung di
desa Ekapame yang berkelanjutan ?
1.3. Tujuan Penelitian
12
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan tersebut, maka
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini agar dapat menjawab
permasalahan yang ada sebagai berikut :
1. Untuk memperoleh gambaran lengkap dan mendalam tentang
karakteristik lingkungan tumbuh buah pandan di dalam hutan lindung di
desa Ekapame.
2. Untuk memperoleh gambaran lengkap dan mendalam tentang
karakteristik dua jenis buah pandan yang dibudidayakan di dalam
hutan lindung oleh petani di desa Ekapame.
3. Untuk memperoleh gambaran lengkap dan mendalam tentang sistem
penggunaan lahan dan budidaya buah pandan di dalam hutan lindung
oleh petani di desa Ekapame.
4. Untuk memperoleh gambaran lengkap dan mendalam tentang
lingkungan internal dan eksternal petani buah pandan dalam
pengelolaan hutan lindung di desa Ekapame.
5. Untuk strategi pelestarian buah pandan dan hutan lindung yang
berkelanjutan di desa Ekapame.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik secara praktis
maupun secara akademis sebagai berikut :
1. Sebagai bahan masukan bagi penyusun rencana pengelolaan hutan lestari
kawasan pegunungan jayawijaya secara komprehensif dan partisipatif
dalam memperbaiki dan meningkatkan sistem pertanian yang ada.
2. Sebagai bahan referensi untuk pengembangan keilmuan yang berkaitan
dengan pelestarian hutan dalam rangka memperkaya dan
1313
menyempurnakan materi, disamping itu juga dapat digunakan sebagai
acuan bagi para peneliti selanjutnya.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Tanaman Pandanus
2.1.1. Marpologi dan Genetika Tanaman Pandanus
Hasil kajian etnobotani pandan semak ( Pandanus odoratissimus L.f)
oleh Mulyati el. al (2008), Lokasi penelitian etnobotani pandan pantai di Ujung
Kulon, Banten dilakukan di 3 lokasi yaitu Ciundil (di luar kawasan taman
nasional), Legon Pakis dan Tanjung Lame (di dalam kawasan Taman Nasional
Ujung Kulon) tujuan penelitian adalah etnobotani tentang pemanfaatan dan
peranan ekonomi pandan samak (Pandanus odoratissimus) di kawasan Taman
Nasional Ujung Kulon dan sekitarnya. Metode penelitian observasi atau
pengamatan langsung di lapangan dan wawancara semi structural dan open
ended dengan subyek beberapa informan yang meliputi pengrajin pandan dan
tokoh adat. Data yang dicatat mencakup keberadaan dan kepemilikan tanaman
pandan samak (P. odoratissimus) di lapangan, proses pembuatan anyaman,
dan aspek sosial-ekonomi produk anyaman tersebut bagi masyarakat
setempat. Melaporkan bahwa perawakannya berupa pandan pohon berukuran
sedang hingga besar. Batang tingginya mencapai tinggi 15 m. Akar penopang
tampak jelas, mencapai tinggi 1 m atau lebih, berbintil tajam, kulit luar abu-abu
kecoklatan. Dedaunan tersusun dalam karangan rapat, di ujung atas batang,
tersusun melingkar dalam 3 lingkaran; helaian daun berukuran 50-300 cm x 5-
14
16 cm, kaku, agak berlilin putih, ujung meruncing, tepinya berduri kaku-sangat
tajam, duri kuning pucat; permukaan atas hijau, halus, duri pada lipatan daun
bagian atas tidak jelas, pertulangan daun halus; permukaan bawah hijau pucat,
pertulangan daun lebih jelas, duri di sepanjang tulang daun utama, duri
membalik sangat jelas.
Perbungaan jantan di ujung, panjang ca. 1 m, tandan dengan ca. 10
cabang perbungaan, masing-masing cabang dengan daun pelindung, daun
pelindung kuning pucat hingga kuning pucat-krem, panjang mencapai 50 cm;
bunga jantan sangat banyak, tersusun kompak dan berjejalan dalam satu
cabang perbungaan, wangi, membuka hanya dalam 1 hari, dalam 3-4 hari
perbungaan jantan layu. Perbuahan tunggal, di ujung, bentuk gada, panjang
ca. 1 m atau lebih. Buah berupa buah majemuk dua tingkat (cephalium),
membulat hingga bulat melonjong, keras, berat mencapai 15 kg, panjang 8-30
cm, diameter 4-20 cm, hijau berubah menjadi oranye kemerahan bila masak,
tersusun atas jejalan 38-200 buah majemuk tingkat satu (phalange); antara
satu tingkatan dengan tingkatan lainnya dipisahkan oleh relung. Phalange bulat
melonjong hingga membulat telur, menyempit di bagian bawah, hijau hingga
oranye di bagian atas, kuning hingga oranye kemerahan di bagian bawah, 2.5-
11 cm x 1.5-6.5 cm, terdiri dari 4-15 daun buah; tiap phalange terdiri dari
jejalan 4-15 buah tunggal (drupa), tersusun kompak dan rapat. Drupa bulat
melonjong hingga membulat telur, bentuk-ukuran-warna sama dengan
phalange; pangkal putik pendek, coklat hingga coklat kehitaman, menghadap
ke dalam.
15
Karakter morfologi P. odoratissimus -terutama bentuk, warna dan ukuran
phalange- sangat bervariasi. Sedemikian bervariasinya sehingga banyak nama
jenis baru diterbitkan untuk tiap variasi tersebut (Jebb, 1992). Beberapa nama
jenis yang dipublikasi untuk takson dari Jawa saja antara lain P. littoralis
Junghuhn dan P. samak Hasskarl. Kedua nama tersebut sudah dinyatakan
sebagai sinonim untuk P. odoratissimus (Warburg, 1900a dan 1900b). Selain
itu keabsahan nama jenis P. odoratissimus sendiri masih merupakan
kontroversi hingga saat ini, terutama terkait dengan polemik di antara para ahli
akan mana nama yang lebih valid P. odoratissimus atau P. tectorius Parkinson
ex.Z.
Heyne (1927) mencatat banyak nama daerah untuk takson yang
diidentifikasi sebagai P. odoratissimus, antara lain pandan laut, pandan samak,
pandan tebu, pandan nipah, pandan bau-bau, pandan putih, pandan kapur,
pandan abu, pandan cucuk, pandan duri, dan masih banyak lagi. Pemberian
nama daerah merujuk kepada tiga hal penting, yaitu morfologi (termasuk
kemiripan dengan jenis tumbuhan lain yang lebih dikenal misalnya tebu, nipah),
tempat tumbuh, dan kegunaannya. Pemberian nama daerah merujuk kepada
ketiga hal tersebut merupakan praktek yang sangat umum dalam berbagai
kebudayaan (Berlin, 1992).
Hasil penelitian Sri Endarti dan Sri Handayani (2010), tentang
keragaman genetik pandan asal Jawa Barat melaporkan bahwa hasil
amplifikasi DNA dengan PCR menggunakan dua primer menunjukkan 10 jenis
Pandanus menghasilkan produk PCR yang dapat dibaca dan diberi nilai
sehingga hasilnya pola pita DNA setelah gel elektroforesis menunjukkan
16
bahwa setiap jenis primer menghasilkan pita DNA yang berbeda. Jumlah pita
yang dihasilkan sangat bergantung pada bagaimana primer mengenal
homolognya pada cetakan DNA yang diinginkan 11. Semakin banyak situs
penempelan dari primer yang digunakan, semakin banyak jumlah pita DNA
yang dihasilkan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa diperoleh 19 fragmen
DNA yang berukuran dari 200 bp hingga 1.5 kb dimana 17 (91,5%) diantaranya
merupakan pita polimorfik. Tingkat polimorfisme yang relatif tinggi dengan
penanda ISSR menunjukkan indeks penanda yang tinggi. Rata-rata setiap
primer menghasilkan 9,5 pita yang dapat dideteksi dan diberi nilai. Jumlah pita
polimorfik tertinggi 11 terdapat pada primer ISSR2 dan jumlah pita polimorfik
terendah (2) terdapat pada primer ISSR7. Hasil ini sesuai dengan hasil seleksi
primer sebelumnya. Kedua primer ini merupakan primer yang menghasilkan
pola pita polimorfik untuk 10 jenis Pandanus. Hasil pengamatan menunjukkan
tidak adanya fragmen DNA unik yang dideteksi pada dua primer.
Analisis ketidaksamaan genetik. Data digunakan untuk 10 jenis
Pandanus berdasarkan produk amplifikasi DNA. Nilai ketidaksamaan genetik
untuk 10 jenis Pandanus berkisar antara 0,267-0,957 dengan yang tertinggi
(0,957) terdapat antara P. pseudolais dan P. spinistigmaticus, dan antara P.
kurzii dan P. pseudolais sedangkan nilai ketidaksamaan genetik terendah
0,267 terdapat antara P. scabrifolius dan P. bidur. Jenis yang memiliki nilai
ketidaksamaan genetik tertinggi menunjukkan kedua jenis ini sangat berbeda
secara genetik satu dengan yang lain sedangkan jenis yang memiliki
ketidaksamaan genetik terendah menunjukkan bahwa kedua jenis ini memiliki
properti genetika sangat mirip satu dengan yang lain.
17
Analisis klaster. Berdasarkan profil pita DNA setelah diinterpretasi dan
diterjemahkan ke data biner, dilakukan analisis klaster. Analisis klaster pada 10
jenis Pandanus menghasilkan. Pengelompokan terbentuk pada jarak genetik
0,46-0,96 (tingkat kemiripan 4-54%. Hal ini menunjukkan bahwa ke 10 jenis
Pandanus memiliki keragaman genetik yang tinggi. Pada jarak genetik 0,60
(tingkat kemiripan 40%) didapatkan tiga kelompok. Empat jenis Pandanus,
yaitu P. bidur, P. polycephalus, P. multifurcatus dan P. dubius menyebar pada
kelompok I, lima jenis lain Pandanus lainnya, yaitu P. spinistigmaticus, P.
pseudolais, P. kurzii, P. nitidus dan P. scabrifolius pada kelompok II, dan satu
jenis, yaitu P. amaryullifolius memencil sendiri pada kelompok III.
Nilai ketidaksamaan genetik ke 10 jenis Pandanus berkisar antara 0,267
hingga 0,957 menunjukkan keragaman genetik yang tinggi. Nilai
ketidaksamaan genetika tertinggi (0,957) tercatat antara P. pseudolais dan P.
spinistigmaticus, juga antara P. kurzii dan P. pseudolais, sedangkan
ketidaksamaan genetik terendah (0,267) tercatat antara P. scabrifolius dan P.
bidur. Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa Pandanus memiliki variasi
genetik yang luas sehingga diduga semua jenis Pandanus yang ada di Jawa
Barat semuanya bervariasi secara genetik. Hal ini mendukung beberapa
pendapat bahwa tanaman pandan yang umumnya berumah dua termasuk
tanaman menyerbuk silang. Populasi tanaman menyerbuk silang umumnya
akan mempunyai variasi genetik yang luas Hasil penelitian Stone (1983)
tentang sistem polinasi pada tanaman pandan menyatakan bahwa tanaman
pandan mempunyai jumlah polen per bunga yang sangat banyak.
18
Darjanto dan Satifah (1990), bahwa tanaman yang memiliki polen yang
banyak merupakan ciri dari tumbuhan menyerbuk silang. Dengan adanya
variasi ini, untuk selanjutnya kegiatan seleksi dapat dilakukan. Baihaki
menyatakan bahwa seleksi akan berhasil apabila tanaman yang akan diseleksi
memiliki variasi. Informasi jarak genetik dapat dijadikan dasar untuk
menentukan aksesi yang akan dipilih sebagai materi persilangan untuk merakit
pandan hibrida. Semakin jauh jarak genetik antar aksesi, maka akan memiliki
efek heterosis yang tinggi apabila disilangkan. Walaupun demikian, dalam
seleksi materi untuk persilangan, tidak hanya faktor jarak genetik yang
diperhitungkan, tapi karakter-karakter lain yang menarik dan menonjol perlu
diikutsertakan untuk menghasilkan rekombinan yang baik. Untuk itu perlu
diketahui korelasi antara karakter vegetatif dan generatif, sehingga lebih
terarah dan efektif. Dan dapat disimpulkan bahwa keragaman genetik 10 jenis
Pandanus asal Jawa Barat dapat dideteksi menggunakan penanda ISSR. Hasil
ini memperkuat laporan sebelumnya bahwa penanda ISSR dapat digunakan
secara efektif untuk menduga keragaman genetik pada tingkat jenis. Dari dua
primer ISSR diperoleh 19 pita DNA, dan 17 pita (91,5%) diantaranya
merupakan pita polimorfik.
Hasil dendrogram menunjukkan pada jarak genetik 0,60 terdapat tiga
kelompok utama, kelompok pertama terdiri atas empat jenis Pandanus, yaitu P.
bidur, P. polycephalus, P. multifurcatus dan P. dubius, kelompok kedua terdiri
atas lima jenis, yaitu P. spinistigmaticus, P. pseudolais, P. kurzii, P. nitidus, dan
P. scabrifolius, dan kelompok ketiga terdiri atas satu jenis, yaitu P.
amaryllifolius. Untuk memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh mengenai
19
kondisi keragaman genetika Pandanus, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
dengan berbagai jenis yang ada di Jawa menggunakan lebih banyak primer
ISSR dan/atau menggunakan marka molekuler selain ISSR, seperti AFLP dan
SSR untuk mendeteksi keragaman genetik yang lebih akurat.
Siti dan Mulyati (2010), menyatakan bahwa Pengetahuan lokal
masyarakat setempat tentang keanekaragaman jenis pandan ini
menunjukkan bahwa masyarakat Sunda di Tasikmalaya mengenal 3 jenis
pandan, yakni:
1. Pandan wangi (P. amaiyllifolius Roxb.) daunnya dimanfaatkan untuk
pewangi makanan.
2. Pandan samak (Pandanus tectorius Sol.) daunnya
merupakan bahan baku kerajinan anyaman.
3. Cangkuang (P.fiircatus Roxb.), daunnya dimanfaatkan untuk pembungkus
gula kelapa dan garam.
4. Pandan wangi ditanam di pekarangan rumah, meskipun jarang dijumpai.
Pandan samak ditanam di pekarangan dan kebun. Hasil
pengamatan yang dilakukan menunjukkan bahwa pertumbuhan dari pandan
samak di pekarangan kurang berkembang dengan baik (perawakannya kecil).
Di kebun jenis ini ditanam secara tumpangsari dengan tanaman lain seperti
pisang dan kelapa.
Cangkuang kurang dikenal oleh masyarakat lokal di Tasikmalaya dan
jenis ini dijumpai tumbuh liar menggerombol di tepi jalan meniju Cipatujah.
Pandanus tectorius dikenal dengan beberapa nama lokal, seperti pandan darat
atau pandan laut. Pemberian nama lokal tersebut disesuaikan dengan habitat
20
hidupan liamya. Setelah dibudidayakan, jenis ini dikenal dengan beberapa
nama, daerah seperti "pandan temen", "pandan jaksi" atau "jaksi", dan "jaksi
jalu" atau jaksi jantan.
Pandan temen mempunyai ciri-ciri morfologi sebagai berikut: panjang
daun dapat mencapai 3 m, lebar 6 cm, warna hijau keabuan, tekstur agak
kasar; duri pada tepi daun agak rapat; daun muda tumbuh menjulai/jatuh;
sistem perakarannya tidak melebar. Menurut penuturan masyarakat kultivar ini
peka terhadap hama dan penyakit.
Pandan jaksi mempunyai ciri-ciri morfologi sebagai berikut: panjang daun
kurang dari 2 m, lebar kurang dari 6 cm, warna hijau muda, tekstur halus,
berduri jarang; daun muda tumbuh sedikit melengkung; sistem
perakarannya melebar. Masyarakat menuturkan bahwa kuttivar ini lebih
kuat terhadap serangan hama dan penyakit.
Pandan jaksi jalu memiliki ciri hampir sama dengan pandan jaksi hanya
panjang daun lebih pendek (kurang dari 1 m), warna daun lebih hijau; duriduri
pada tepi daun lebih rapat, lebih panjang, lebih tajam dan bentuknya agak
melengkung seperti taji ayam.
2.1.2. Lingkungan Tumbuh Tanaman Pandanus Panjang
Hasil penelitian Naingolan (2001) tentang aspek ekologi pandanus
panjang (Pandanus conodineus Lamk) di daerah dataran rendah Manokwari.
Tujuan penelitian adalah mengkaji aspek ekologis Pandanus panjang serta
keadaan pertumbuhannya pada dua daerah SP6 dan Nuni pada berbagai
ketinggian tempat di Manokwari. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
21
dengan teknik survey selama satu bulan. Variabel pengamatan aspek ekologis
meliputi analisa tanah (jenis, sifat fisik), iklim mikro (temperatur udara,
kelembaban udara, dan intensitas cahaya matahari), persentase naungan,
topografi ketinggian tempat serta asosiasi dengan tumbuhan lain. Hasilnya
melaporkan bahwa tanah di daerah tempat tumbuh pandanus kultivar panjang
terbagi dalam dua kelompok jenis tanah, yakni typic Tropofluvents yang setara
dengan Alluvial Gleik/Eutrik dan Regosol. Tanah Tropofluvents bisa terbentuk
dari bahan endapan alluvium yang terbawa arus sungai di saat banjir, akibat
morfologi profit tanah memperlihatkan enam lapisan lembaran yang pada
dasarnya bukan horizon karena bukan hasil perkembangan tanah. Sebaliknya
jenis tanah Quart/ipsamments terbentuk dari bahan utama pasir pantai. Bahan
yang ada di horizon A masih baru mengalami pelapukan. Tanah terebut
tersusun dalam tiga lapisan dimana pasir merupakan fraksi pembentuk utama.
Berdasarkan pembagian daerahnya, jenis tanah typic Tropofluvents dijumpai
pada semua unit pengamatan 100 % di daerah SP6, sedangkan jenis tanah
Quartzipsamments di daerah nuni.
Kelas tekstur tanah tempat pandanus panjang secara keseluruhan terdiri
atas tiga kelas yaitu lempung liat berdebu, liat berdebu dan lempung berpasir.
Tekstur tanah lempung liat berdebu di daerah SP6 dijumpai tiga unit
pengamatan 75 %. Satu unit yang lain termasuk dalam kelas tekstur tanah liat
berdebu, sedangkan kelas tekstur tanah lempung berpasir hanya dijumpai di
daerah Nuni.
Tanah tempat tumbuh pandanus panjang dapat dikelompokan ke dalam
tiga bentuk tekstur tanah yaitu sudut, sudut membulat dan butir lepas. Bentuk
22
struktur tanah yang terakhir hanya dijumpai di daerah Nuni. Bentuk struktur
tanah seperti ini dikarenakan daerah tempat tumbuh pandanus panjang
tersebut berada pada zone pantai yang memiliki butiran tanah berupa
campuran humus hasil dekomposisi dan pasir. Meskipun sudut membulat
merupakan struktur tanah paling dominan dijumpai didaerah SP6, tetapi
dijumpai juga tanah struktur tanah yang lain yaitu sudut.
Warna tanah di daerah tempat tumbuh pandanus panjang dapat
dibedakan menjadi tiga yaitu coklat tua kekuningan, coklat kekuningan dan
hitam. Perbandingan jumlah unit pengamatan berdasarkan warna tanah dari
empat unit pengamatan yang dibuat untuk daerah SP6 adalah 1 : 1 dimana
sebanyak dua unit 50 % memiliki warna tanah coklat tua kekuningan dan dua
unit 50% yang lain berwarna coklat kekuningan warna kuning pada tanah
tersebut dikarenakan adanya kandungan liat yang banyak dijumpai, sedangkan
untuk warna coklat ada kemungkinan berasal dari bahan induk alluvium dan
penambahan humus hasil dekomposisi serasah. Warna hitam yang hanya
dijumpai pada tanah di daerah Nuni dimungkinkan oleh kandungan bahan
organic yang relatif tinggi sebagai dekomposisi serasah.
Variabel pengamatan terhadap iklim mikro meliputi kelembaban udara,
temperature udara, dan intensitas cahaya matahari. Intensitas cahaya matahari
diukur sekali pada siang hari selama satu minggu. Pengukuran temperature
dan kelembaban udara dilakukan selama satu minggu pada setiap plot
pengamatan yang dibuat. Frekwensi pengukuran setiap harinya berlangsung
tiga kali yaitu pagi, siang dan sore sehingga memperoleh rata-rata harian dan
rata-rata frekwensi pengukuran pada tabel berikut ini :
23
Tabel 1. Perbedaan kondisi lingkungan tumbuh pandanus panjang
Variabel Pengamatan SPA NuniTemperatur Udara (0C) 23,5-33,0 (27,8)* 24,8-31,4 (27,7)*
Kelembaban udara (%) 73,0-98,0 (87,8)* 76,0-96,0 (87,9)*
Intensitas Cahaya Matahari (LUX) 1628,6->3000 1000->3000
Pesentase naungan (%) 0-15 10
Topografi (%) 0-5 5
Ketinggian tempat (mdpl) 25-70 10
Sumber : Naingolan 2001. nilai rata-rata
Hasil pengukuran temperature dan kelembaban udara pada lingkungan
tempat tumbuh pandanus panjang tidak menunjukkan adanya perbedaan hasil
pengukuran yang besar atau relatif sama. Adanya perbedaan hasil
pengukuran yang relative kecil dapat dipengaruhi oleh letak, kondisi tempat
tumbuh, penutupan tajuk serta kondisi cuaca yang berawa pada saat
pengukuran di tiap-tiap lokasi. Tanaman pandanus panjang yang diamati di
daerah Nuni berbeda pada zone tepi pantai dengan kondisi penutupan tajuk
yang agak rapat dan pada kondisi tanah tempat tumbuh yang berair.
Kisaran temperatur udara untuk daerah tempat tumbuh pandanus
panjang adalah 23,5-28,0 0C di pagi hari 28,0-33,0 0C di siang hari dan 26,7-
24
29,2 0C di sore hari. Kelembaban udara untuk kedua daerah tersebut
berkisaran antara 85,0-98,0 % pada pagi hari, siang hari antara 73,0-91,0 %
dan 86,0-98,0 pada sore hari. Berdasarkan hasil tersebut bahwa suhu
optimum bagi pertumbuhan tanaman pandanus panjang di daerah dataran
rendah manukwari berkisar antara 23,5-33,0 0C dengan kelembaban udara
optimum 73,0-98,0 %.
Pandanus panjang pada dasarnya membutuhkan intensitas cahaya
matahari yang relatif tinggi terutama untuk proses fotosintesis pada saat
pembentukan buah, meskipun pandanus panjang berasosiasi dengan
tetumbuhan lain, tetapi bagian tajuk yang ternaungi relatif sangat kecil bahwa
untuk kondisi tajuk yang jarang rata-rata intensitas cahaya matahari yang
diterima >3000 lux, dengan kisaran 2800 lux - >3000 lux nilai terendah kisaran
untuk daerah SP6 sebesar 2800 lux lebih banyak disebabkan oleh kondisi
cuaca yang berawan pada saat pengukuran.
Rata-rata intensitas cahaya matahari dibawah kondisi tajuk yang rapat
untuk kedua daerah tempat tumbuh pandanus panjang adalah 1692,85 lux,
dengan kisaran 1000-2107,1 lux. Pandanus panjang di daerah Nuni mencapai
penutupan tajuk hingga 80 %, sedangkan di daerah SP6 hanya berkisar antara
60-70 %. Penutupan tajuk pandanus panjang yang lebih rapat yang
dipengaruhi oleh jumlah individu perumpun yang lebih banyak mengakibatkan
hasil pengukuran intensitas cahaya matahari dibawah kondisi tajuk yang rapat
di daerah Nuni lebih rendah dibandingkan kondisi penutupan tajuk yang sama
untuk daerah SP6, sehingga dapat disimpulkan bahwa pandanus panjang
tergolong jenis yang membutuhkan banyak cahaya untuk proses
25
pertumbuhannya.
Hasil pengamatan persentase naungan menunjukkan bahwa tajuk
rumpun pandanus panjang yang ternaungi vagetasi lain relatif kecil. Dari
empat unit pengamatan yang ada di daerah SP6, dua unit berbeda pada
naungan sebesar 10 % sementara dua unit yang lain berada pada naungan 15
% dan tanpa naungan. Persentase naungan yang diterima untuk unit
pengamatan di daerah Nuni sebesar 10 %. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pandanus panjang dapat tumbuh dengan baik pada kondisi
tanpa naungan hingga naungan ringan sebesar 15 %.
Keadaan topografi lapangan kedua daerah tempat tumbuh pandanus
panjang tidak menunjukkan perbedaan yang besar. Pandanus panjang
dijumpai pada topografi datar hingga landai. Kondisi topografi tempat tumbuh
pandanus panjang untuk daerah Nuni tergolong landai 5%. Pandanus panjang
di daerah SP6 ditemukan pada lapangan dengan topografi datar 0 %
sebanyak dua unit pengamatan. Unit-unit pengamatan yang lain untuk daerah
SP6 berada pada kondisi topografi landai 5%. Dengan demikian pandanus
panjang untuk daerah dataran rendah di Manokwari cenderung ditanam dan
tumbuh dengan baik pada areal dengan topografi datar hingga landai.
Pengamatan ketinggian tempat secara keseluruhan pada kedua daerah
penelitian menunjukkan bahwa pandanus panjang tumbuh pada ketinggian 10
meter hingga 70 meter di atas permukaan laut. Empat unit pengamatan yang
dibuat untuk daerah SP6 dua unit 50% ditemukan ketinggian 30 meter di atas
permukaan laut. Kedua unit yang lain berada pada ketinggian 25 meter dan 70
meter di atas permukaan laut. Pandanus panjang di daerah Nuni hanya
26
dijumpai pada ketinggian 10 meter di atas permukan laut.
2.1.3. Budidaya Tanaman Pandanus
Hasil penelitian Aditya dan Benyamin (2008) tentang teknik budidaya
tanaman pandan. bertujuan Penelitian untuk mengetahui teknik pembibitan
dan penanaman pandan tingkat persemaian sampai siap tanam. Metode
penelitian Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan perlakuan yang
diujicobakan polybag ukuran besar (11 cm x 18 cm), sedang (8 cm x 15 cm),
dan kecil (6 cm x 12 cm), serta jenis media sapih yaitu: tanah (M1) serta
campuran tanah dan pasir laut (M2). Kedua faktor perlakuan tesebut
dikombinasikan menjadi enam kombinasi perlakuan masing-masing 10 sampel
dan tiga ulangan sehingga total adalah 180 semai. Pertumbuhan tinggi dari
yang terbesar sampai terendah terlihat pada perlakuan sebagai berikut : U1M1
(37,70 cm), U1M2 (37,77 cm), U2M2 (33,57 cm), U2M1 (33,33 cm), U3M1
(33,27), dan U3M2 (22,13 cm). Benih pandan yang ditanam pada media tanah
dan pasir dalam polybag 11 cm x 18 cm menunjukkan pertumbuhan yang
terbaik sampai siap tanam. Hasilnya melaporkan bahwa ukuran polybag besar
dengan media campuran tanah dan pasir laut (U1M2) memberikan
pertumbuhan terbaik dari parameter tinggi, jumlah daun, berat basah akar, dan
rasio tucuk akar. Sedangkan pertumbuhan terendah ditunjukkan pada
perlakuan polybag ukuran kecil dengan media sapih campuran tanah dan pasir
laut (U3M2). Hal ini diduga disebabkan karena polybag ukuran besar
mempunyai volumen media tumbuh lebih besar sehingga mampu menyediakan
hara yang lebih banyak bagi semai sampai umur siap tanam (enam bulan),
27
sedangkan polybag ukuran kecil dengan volume media yang kecil memberikan
ketersediaan unsur hara yang lebih rendah, sehingga kurang mencukupi
kebutuhan semai sampai umur enam bulan. Campuran tanah dan pasir laut
memberikan pertumbuhan terbaik diduga keberadaan pasir laut memberikan
tempat tumbuh seperti pada habitat alaminya, karena pandan wong merupakan
jenis yang banyak tumbuh di daerah pantai berpasir.
Berdasarkan nilai uji Duncan diketahui bahwa kombinasi perlakuan
terbaik dalam jumlah daun adalah kombinasi perlakuan ukuran polybag besar
dengan media sapih campuran tanah dan pasir (U1M2) dengan jumlah daun
sebanyak 13 helai. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa jumlah daun
berkorelasi positif dengan pertumbuhan tinggi semai. Hal ini terjadi karena
adanya hubungan antara daun dan proses fotosintesis. Daun dalam jumlah
yang banyak, maka proses fotosintesis menjadi lebih optimal, karena daun
berfungsi menangkap dan memanfaatkan cahaya matahari untuk selanjunya
proses menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik yang sangat
diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan seluruh bagian tanaman.
Pasir laut memberikan kondisi media mempunyai drainase dan aerasi
yang lebih baik, menjaga media tetap remah dan gembur serta media menjadi
lebih ringan sehingga lebih memudahkan pada saat pengangkutan. Menurut
standar SNI (1999) mengenai pembuatan persemaian permanen hutan, media
sapih yang baik memiliki persyaratan yaitu: 1) Cukup kuat dan rapat untuk
menahan benih, kecambah atau stek selama proses perkecambahan atau
pengakaran; 2) Dapat menyerap air sehingga penyiraman tidak terlalu sering
dilakukan; 3) Cukup mudah untuk melewatkan air apabila terlalu sering
28
dilakukan; 4) mengandung unsur hara yang memadai; 5) Tingkat keasaman
normal; 6) Bebas dari benih tanaman pengganggu; dan 7) Cukup ringan. Pasir
laut mengandung unsur Na dan Cl, sehingga keberadaannya pada media
tumbuh dapat memperkaya unsur hara mikro Cl yang berperan penting untuk
reaksi fotosintesis yang menghasilkan oksigen (Atmanto, 2000).
Biomassa akar semai sebagai hasil dari pertumbuhan akar tanaman
yang dipengaruhi oleh ukuran polybag sebagai ruang tumbuh dan media
tanaman sebagi penyedia unsur hara. Pada ukuran polybag yang besar
pertumbuhan akar tanaman menjadi lebih baik karena ruang tumbuh lebih luas.
Biomassa merupakan hasil dari proses metabolisme tanaman yang mengambil
zat-zat yang dibutuhkan dari lingkungan, baik dalam bentuk zat-zat anorganik
maupun organik (Atmanto, 2000). Ruang tumbuh yang lebih besar juga
memberikan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan tanaman terutama
pertumbuhan akar yang berkorelasi positif dengan pertumbuhan bagian atas.
Kosasih dan Heryati (2006) mengatakan bahwa suatu media harus mempunyai
empat fungsi utama yaitu memberi unsur hara dan sebagai medium perakaran,
menyediakan air dan sebagai tempat penampungan air, menyediakan udara
untuk respirasi akar, dan sebagai tempat bertumbuhnya tanaman.
Mindawati dan Susilo (2005), bahwa anakan yang siap dipindahkan ke
lapangan harus mempunyai nisbah pucuk akar antara 2-5, untuk daerah
temperate akan lebih baik jika nisbah pucuk akar mendekati 5, sedangkan
untuk daerah tropika akan lebih baik jika nisbah pucuk akar mendekati 1.
Berdasarkan nilai uji Duncan nisbah pucuk akar terbaik ditunjukkan pada
kombinasi perlakuan ukuran polybag sedang dengan media campuran tanah
29
dan pasir (U2M2) tetapi tidak berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan
U2M1, U1M2, dan U2M1. Hal ini diduga karena pada ukuran polybag sedang
pertumbuhan akar seimbang antara pertumbuhan lateral dan pertumbuhan
memanjang, sedangkan polybag besar karena mempunyai ruang tumbuh akar
lebih lebar, mengakibatkan pertumbuhan akar tidak hanya memanjang ke
bawah tetapi juga ke samping/lateral. Bahwa ketesediaan unsur hara
dipengaruhi oleh kecepatan hara bergerak melalui tanah (media) ke
permukaan akar dan kecepatan pertumbuhan akar, serta jenis media yang
digunakan sangat berpengaruh pada pertumbuhan bibit. Pertumbuhan akar
pada pandan sangat penting karena di samping untuk pertumbuhan tanaman
juga fungsi akar pandan sangat diperlukan ketika ditumbuhkan di lapangan
yaitu di tepi pantai sebagai penahan abrasi pantai serta mempertahankan
tanaman supaya tidak mudah roboh karena di tepi laut pada umumnya
mempunyai tiupan angin yang kencang. Berdasarkan hasil penelitiannya dapat
disimpulkan bahwa :
1. Perlakuan ukuran polybag dan media sapih memberikan pengaruh yang
berbeda nyata dengan pertumbuhan tinggi dari yang terbesar sampai
terendah adalah sebagai berikut : U1M1 (37,70 cm), U1M2 (37,77 cm),
U2M2 (33,57 cm), U2M1 (33,33 cm), U3M1 (33,27), dan U3M2 (22,13 cm).
2. Penggunaan pasir laut sebagai campuran media sapih pandan wong dapat
memberikan kondisi draenase dan aerasi yang lebih baik serta menyiapkan
semai pada kondisi tempat tumbuh alaminya.
3. Bibit pandan wong siap untuk ditanam di lapangan setelah berumur enam
bulan di persemaian dengan tinggi rata-rata di atas 30 cm.
30
4. Kombinasi perlakuan polybag ukuran sedang dengan media campuran
tanah dan pasir dapat diaplikasikan untuk kegiatan budidaya pandan wong
karena selain mempunyai nisbah pucuk akar terbaik, pertumbuhan tinggi
baik serta lebih ekonomis.
Mulyati et.al (2008), menyatakan bahwa budidaya pandan samak tidak
memerlukan persyaratan khusus. Anakan atau tunas-tunas yang keluar dari
batang dan dikenal dengan sebutan “sengket” dapat dijadikan bibit. Bibit
ditanam pada lahan yang agak basah dengan kedalaman 20-30 cm dengan
jarak tanam 80-100 cm Penyiangan atau pembersihan gulma tidak diperlukan
setelah 1 tahun masa tanam. Pengambilan daun pertama dapat dilakukan
setelah tanaman berumur 2 tahun atau setelah keluar daun 19-15 lembar.
Pemanenan dapat dilakukan setiap 2 bulan sekali selama lebih dari 20 tahun.
Siti susiarti dan Mulyati Rahayu (2010), menyatakan bahwa Pandan
merupakan salah satu komoditi perkebunan di Tasikmalaya dan dengan
area seluas 599 ha dengan produksi 282,33 ton per tahun, tak ayal lagi
pandan memiliki prospek pengembangan yang baik. Umumnya perkebunan
pandan dimiliki oleh rakyat. Bahan baku kerajinan pandan di Tasikmalaya
dirasakan tidak mencukupi kebutuhan sehingga diperlukan upaya
budidaya. Area perkebunan pandan terdapat di beberapa kecamatan seperti di
Cikalong (103 ha), Cipatujah (31 ha), Pager Ageung (302 ha), Parung ponteng
(130 ha), Rajapolah (24 ha), dan Sukaresik (121 ha). Di dua lokasi yang pertama
pandan ditanam di sekitar tepi pantai, sementara di lokasi-lokasi lainnya hingga
sekitar 500 m di atas permukaan laut. Area perkebunan di Cikalong dan
Cipatujah mengalami kerusakan akibat adanya tsunami pada tanggal 17 Juli
31
2006. Saat ini kekurangan bahan baku pandan dipasok dari daerah luar seperti
Gombong dan Serang.
Usaha pembudidayaan pandan t idak memerlukan persyarat-an
khusus. "Sengke" (tunas-tunas) atau anakan yang keluar dari batang
dapat dijadikan bibit, ditanam pada lahan yang agak basah dengan jarak
tanam I x 2 m. Pengambilan sengke sebaiknya yang telah mempunyai akar
cukup panjang. Penyiangan dan pemupukan dilakukan pads awal penanaman
dan tidak diperlukan setelah 1 tahun inasa tanam. Pengambilan daun pertama
dapat dilakukan setelah berumur 2 tahun (pandan temen) dan 1 tahun (pandan
jaksi). Pemanenan dapat dilakukan setiap 2 minggu dan dengan pemeliharaan
optimal, pemanenan dapat mencapai lebih dari 20 tahun. Pembudidayaan
pandan dapat pula dilakukan dari bijinya (umumnya pandan laut), namun
prosesnya cukup lama sehingga jarang dilakukan.
Beberapa hams dan penyakit juga ditemukan menyerang perkebunan
pandan. Stone (1983), melaporkan sejenis jamur Alternaria alternate
menyerang perkebunan pandan di India, yang menyebabkan daun-
daun pandan berubah warna menjadi hitam, sedangkan Botryodiplodia
theobrornae mengakibatkan daun menjadi pucat. Hama yang menyerang
perkebunan pandan di Tasikmalaya adalah sejenis ulat Acara microce. Hama
ini menyerang pada bagian pangkal umbut batang sehingga menyebabkan
daun berlubang dan pucuk-pucuk daun mengering. Pada serangan ringan,
pemberantasannya dapat dilakukan dengan cara rnenyemprotkan pestisida,
sedangkan senangan yang cukup berat sebaiknya tanaman dihancurkan
dan diganti dengan tanaman baru. Menurut informasi petani pandan
32
setempat, penyemprotan dengan jenis pestisida yang digunakan tidak efektif,
oleh karena itu perlu dilakukan alternative lain atau penelitian lebih lanjut untuk
menentukan jenis atau dosis pestisida tentang teknik-teknik menganyam perlu
ditingkatkan, sehingga produk hasil anyaman pandan dapat lebih bervariasi
dan dapat bersaing dengan produk kerajinan dari bahan baku lainnya. Dengan
demikian salah satu dari pengetahuan lokal, tradisi dan budaya bangsa
Indonesia tetap terpelihara. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian
antara lain penjualan langsung bahan baku setengah jadi (lontongan) ke
luar negri, yang dapat menyebabkan menurunnya kreatifitas pengrajin dan
hasil industri.
2.1.4 Manfaat Tanaman Pandanus
Hasil penelitian Ina dan Totok (2006), tentang peningkatan teknik
pengolaan pandan. Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh informasi
proses pengeringan dan pewarnaan untuk meningkatkan kualitas daun pandan
sebagai bahan baku barang kerajinan. pengeringan dan pewarnaan untuk
meningkatkan kualitas daun pandan sebagai bahan baku industri kerajinan.
Metode Pegujian yang dilakukan adalah pengujian sifat mekanik (kekuatan
tarik) dan analisa kimia yang terdiri dari analisa lignin dan selulosa. Selain itu
dilakukan pengujian hasil pewarnaan ketahanan terhadap sinar. (a). Analisis
komponen kimia Cara pengambilan/persiapan bahan untuk analisis dilakukan
berdasarkan standar dan prosedur yang berlaku di laboratorium Puslitbang
Hasil Hutan, Bogor. Setiap contoh digiling halus dan diayak sampai didapat
serbuk yang lolos saringan 40 mesh dan tertahan pada saringan 60 mesh.
33
Analisis sifat kimia yang terdiri dari kadar lignin dilakukan berdasarkan standar
D-1106-56 dan penetapan kadar holoselulosa dilakukan menurut metode
Norman dan Jenkin, (b). Analisis sifat mekanik Pengujian yang dilakukan
adalah kekuatan tarik pandan setelah diberi perlakuan dengan menggunakan
SNI 08-0276. Kekuatan tarik serat adalah beban maksimal yang dapat ditahan
oleh suatu contoh uji hingga putus. (c). Pengujian hasil pewarnaan daun
pandan Metode yang dilakukan berdasarkan pada SNI 08-0289-1989 (Tahan
luntur warna terhadap cahaya terang hari). Pengujian dilakukan di Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik di Yogyakarta.
Evaluasi hasil pewarnaan dilakukan terhadap kenampakan visualnya (skala
nilai 1-4). Makin tahan terhadap sinar, maka makin tinggi nilainya.
Data hasil pengujian sifat fisiko dan mekanik daun pandan dicermati
dengan rancangan percobaan acak lengkap berpola faktorial. Sebagai faktor
adalah kondisi daun pandan (A), terdiri dari dua taraf, yaitu segar (a1) dan
kering (a2); macam zat warna yang digunakan (B), yaitu zat warna sam (b1)
dan zat warna basa (b2); dan suhu pengovenan (C) terdiri dari 3 taraf yaitu 50
°C (c1), 60 °C (c2) dan 70 °C (c3). Ulangan masing-masing taraf kombinasi
perlakuan dilakukan sebanyak 2 kali. Sekurangnya pengaruh faktor dalam
bentuk tunggal (A, B, C) atau bentuk interaksi (AB, AC, BC, ABC) nyata, maka
pencermatan data dilanjutkan dengan uji beda jarak Duncan.
Hasilnya melaporkan bahwa komponen kimia pandan dari Banten,
Pandeglang banyaknya mengandung air di dalam struktur dinding sel suatu
pohon hidup pada dasarnya tetap konstan dari musim ke musim, meskipun
banyaknya air dalam rongga sel daun mungkin berubah-ubah. Air di dalam
34
rongga sel pada daun digunakan sebagai bahan untuk fotosintesis. Kandungan
air daun pandan yang telah mengalami perlakuan berkisar antara 7,88-9,14%.
Selanjutnya menurut uji Duncan (Tabel 3) menunjukkan bahwa yang berasal
dari pandan segar, zat warna asam dengan suhu pengovenan 70°C (A1B1C3)
menghasilkan kadar air yang berbeda nyata dengan semua contoh perlakuan.
Kadar air tertinggi terdapat pada contoh pandan segar, zat warna asam dan
pengovenan selama 50°C (A1B1C1) yaitu 9,14% dan kadar air terendah
terdapat pada contoh pandan segar, zat warna asam dan suhu oven selama
70°C (A1B1C3) yaitu 7,36%. Dapat dilihat bahwa suhu oven 70°C
menghasilkan kadar air yang rendah bahkan bila dibandingkan dengan kontrol
(pandan masyarakat) meskipun tidak terlalu jauh berbedanya. Daun pandan
memiliki kadar air yang cukup tinggi (9%) disebabkan mempunyai epidermis
yang memiliki kutikula (lapisan berlilin), kutikula menghambat pertukaran gas
antara daun dan atmosfer sehingga mencegah kehilangan air yang berlebihan.
Selanjutnya dibandingkan dengan kontrol (tanpa perlakuan), ternyata kadar air
daun pandan yang mengalami perlakuan (A, B, dan C) lebih tinggi. Analisis
keragaman menunjukkan bahwa kondisi daun (A) berinteraksi dengan macam
zat warna (B) mempengaruhi kadar lignin. Sedangkan suhu oven (C) tidak
berpengaruh nyata. Demikian pula interaksinya dengan kondisi daun dan
macam zat warna (AC, BC dan ABC) tidak berpengaruh nyata terhadap kadar
lignin. Lignin adalah suatu polimer yang komplek dengan berat molekul yang
tinggi. Lignin terdapat di antara sel-sel dan di dalam dinding sel. Diantara sel-
sel, lignin berfungsi sebagai perekat untuk mengikat sel bersama-sama. Dalam
dinding sel, lignin sangat erat hubungannya dengan selulosa dan berfungsi
35
memberikan ketegaran pada sel. Kandungan lignin daun pandan berkisar
antara 18-22%, Contoh pandan segar (A1) atau yang direbus terlebih dahulu
dan ditambah dengan soda kostik secara rata-rata memperlihatkan kadar lignin
yang lebih rendah dibandingkan dengan pandan yang tidak dimasak (pandan
kering) (A2). Hal ini disebabkan lignin dan mungkin lemak-lemak alam lainnya
larut bila dikerjakan dengan alkali (soda kostik). Pengerjaan dengan soda
kostik selain memberikan akibat yang menguntungkan yaitu menambah daya
serap, juga memberikan dampak yang merugikan dengan larutnya lignin dan
lemak alam yang ikut menopang kekuatan serat. Selanjutnya kadar lignin daun
pandan yang tidak mengalami perlakuan (kontrol) berada pada selang kisaran
kadar lignin daun pandan yang mengalami perlakuan berupa kondisi daun,
macam zat warna dan suhu oven. Kadar holoselulosa, ternyata macam zat
warna (B) berinteraksi dengan suhu oven (C) dan mempengaruhi kadar
holoselulosa tersebut (Tabel 2). Demikian pula interaksi antara kondisi daun
(A) dengan suhu oven (C) berpengaruh nyata terhadap kadar holoselulosa.
Selulosa adalah bentuk polisakarida sebagai hasil fotosintesis dalam
tumbuh-tumbuhan. Struktur selulosa terdiri dari unit-unit anhidro glukosa yang
terikat satu sama lain pada atom C ke satu dan atom C ke empat dengan beta
konfigurasi. Selulosa mempunyai fungsi untuk memberikan kekuatan tarik pada
suatu sel, karena adanya ikatan kovalen yang kuat pada cincin piranosa dan
antar unit gula penyusun selulosa, semakin tinggi kadar selulosa maka
kelenturan juga semakin tinggi. Selanjutnya berdasarkan hasil uji beda jarak
Duncan menunjukkan bahwa terdapat terdapatnya variasi kandungan selulosa
pada daun pandan. Kandungan selulosa pada daun pandan berkisar antara
36
83-88 persen. Kandungan selulosa tertinggi terdapat pada contoh pandan
segar, zat warna basa dengan suhu oven 70°C (A1B2C3) dan contoh pandan
kering, zat warna asam dengan suhu oven 60°C (A1B1C2) dan terendah
terdapat pada contoh pandan segar zat warna asam dengan suhu oven 50 dan
60°C (A1B1C1 dan A1B1C2). Pandan dari masyarakat memiliki nilai selulosa
yang lebih kecil yaitu sebesar 76 persen. Apabila dilihat secara keseluruhan,
maka pandan yang menggunakan zat warna asam memiliki kadar selulosa
yang lebih kecil bila dibandingkan dengan yang menggunakan zat warna basa,
hal ini disebabkan karena zat warna asam, adalah zat warna yang pada
pencelupannya menggunakan asam sebagai bahan bantunya, dengan
demikian besar kecilnya dosis asam yang digunakan akan berpengaruh
terhadap serat selulosa, sebab umumnya serat selulosa tidak tahan terhadap
asam mineral, sehingga alternatif pemakaiannya harus diperhitungkan secara
benar. Di samping itu tidak semua golongan zat warna asam dapat mencelup
serat selulosa. Selanjutnya kadar holoselulosa daun pandan tanpa perlakuan
atau kontrol (76,37%) ternyata nilainya berada di bawah kadar untuk daun
pandan yang diberi perlakuan yaitu pada selang 83,27 – 88,72 %.
Selain menganalisis sifat kimia, daun pandan juga diuji sifat fisiknya
yaitu gaya tarik dan ketahanan pandan terhadap sinar. Sifat fisik dan
ketahanan pandan terhadap sinar. Kekuatan merupakan salah satu sifat serat
yang sangat penting supaya serat-serat tersebut tahan terhadap tarikan-tarikan
pada waktu pengolahan selanjutnya. Kekuatan dalam keadaan basah yang
diperlukan lebih rendah dari keadaan kering karena pengerjaan atau
pengolahan selanjutnya dilakukan pada keadaan kering. Kekuatan tarik serat
37
adalah beban maksimal yang dapat ditahan oleh suatu contoh uji hingga putus.
Kekuatan tarik pandan berkisar antara 2,3 – 6,0 kg. Sedangkan pandan
masyarakat memiliki kekuatan tarik 5 kg. Analisis sidik ragam menunjukkan
bahwa kondisi daun (A) berinteraksi dengan suhu oven (C) mempengaruhi
kekuatan tarik. Demikian pula halnya dengan macam zat warna (B), tetapi
interaksinya (BC, ABC) tidak berpengaruh nyata terhadap kekuatan tarik.
Kekuatan tarik merupakan salah satu sifat serat yang sangat penting supaya
serat-serat tersebut tahan terhadap tarikan-tarikan pada waktu pengolahan
selanjutnya. Kekuatan dalam keadaan basah yang diperlukan lebih rendah dari
keadaan kering karena pengerjaan atau pengolahan selanjutnya dilakukan
pada keadaan kering. Dari data dapat dilihat bahwa kekuatan tarik atau gaya
tarik pandan sangat bervariasi. Tetapi dapat dilihat bahwa contoh pandan
segar yang direbus dan ditambah dengan soda kostik (A1) serta menggunakan
zat warna asam (B1) memiliki nilai gaya tarik yang lebih kecil bila dibandingkan
dengan contoh pandan kering (A2) dan menggunakan zat warna basa (B2).
Hal ini kemungkinan disebabkan larutnya kadar lignin dan lemak alam lainnya
yang berpengaruh pada kekuatan serat pada waktu dikerjakan dengan alkali
dan zat warna asam pada dosis tertentu berpengaruh pada serat selulosa,
sebab pada umumnya serat selulosa tidak tahan terhadap asam mineral
(Anonimous, 1985). Kekuatan tarik daun pandan tanpa perlakuan (kontrol)
yaitu 5,1 kg berada pada selang kekuatan tarik daun pandan yang diberi
perlakuan yaitu 2,3 – 6,0 kg.
Nilai ketahanan sinar hasil pencelupan pandan masyarakat
menunjukkan nilai yang sama dari pandan hasil pemutihan. Nilai ketahanan
38
sinar berkisar antara 2-3. Meskipun nilai ketahanan sinar pandan yang
menggunakan zat warna asam lebih tinggi sedikit dari pandan yang
menggunakan zat warna basa, secara visual pandan yang menggunakan zat
warna basa menghasilkan warna yang lebih terang dan lebih meresap pada
serat pandan dibandingkan bila menggunakan zat warna asam. Hal ini
mungkin disebabkan sifat zat warna itu sendiri terhadap pandan, dimana zat
warna tersebut akan terserap dengan kondisi dan konsentrasi yang berbeda-
beda, sedangkan secara teoritis, zat warna basa tidak mempunyai afinitas
terhadap serat selulosa. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
dapat disimpulkan bahwa :
1. Hasil analisa komponen kimia daun pandan adalah kadar air berkisar
antara 7-9 persen; kadar lignin 18-22 persen; kadar selulosa 83-88
persen. Sedangkan kekuatan tarik pandan berkisar antara 2-6 kg dan
ketahan pandan terhadap sinar berkisar antara 2 - 3. 2.
2. Pewarnaan daun pandan dengan menggunakan zat warna basa
menghasilkan warna yang lebih baik dan cerah serta rata-rata kadar lignin
dan kadar selulosa yang lebih besar daripada menggunakan zat warna
asam. Nilai ketahahan terhadap sinar untuk daun pandan yang
menggunakan zat warna basa adalah 2-3. 3.
3. Contoh daun pandan dengan perlakuan keadaan tidak segar,
menggunakan zat warna basa dengan suhu pengovenan 70°C rata-rata
menghasilkan kadar air, kadar ligin dan selulosa serta gaya tarik yang
baik.
39
Secara tradisional pandan digunakan oleh masyarakat di kawasan
Malesia dan Pasifik untuk berbagai macam keperluan sehari-hari.
Pemanfaatan padan di bagian barat Malesia (termasuk kawasan barat
Indonesia) tidak seluas di bagian timur Malesia (termasuk kawasan timur
Indonesia) dan Pasifik (Powel, 1976; Stone, 1982, 1984; Leigh, 2002). Di
bagian barat Indonesia umumnya hanya daun pandan yang digunakan, seperti
untuk bahan penyedap makanan (pandan wangi P. amaryllifolius Roxb.) dan
pemanfaatan lain hanya sebatas untuk peralatan rumah tangga seperti tikar,
topi, keranjang, dan upacara adat (pandan samak P. odoratissimus; pandan
bidur P. dubius Spreng. dan cangkuang P. furcatus Roxb.). Di Lombok (Nusa
Tenggara Barat), daun pandan digunakan dalam upacara adat perang-
perangan yang berkaitan dengan prosesi kesuburan tanah (Keim, 2007).
Hasil pengamatan dan wawancara diketahui bahwa pemanfaatan
pandan samak di lokasi penelitian hanya untuk kebutuhan bahan baku
anyaman seperti tikar dan keperluan rumah tangga lainnya dan tidak dijumpai
adanya tradisi penggunaan pandan samak untuk upacara adat. Selain pandan
samak, masyarakat di Jawa Barat khususnya di daerah Tasikmalaya, juga
mengenal takson lain yang dibudidayakan guna dimanfaatkan daunnya
sebagaimana layaknya pada pandan samak. Takson ini dikenal dengan nama
daerah jaksi atau pandan jaksi, jaksi jalu dan pandan temen (Susiarti dan
Rahayu, 2006).
Perbedaan ketiga takson tersebut didasarkan pada ukuran panjang
daun, warna, tektur dan duri pada daun serta sistem perakaran. Di antara
ketiga tanaman pandan budidaya ini, pandan jaksi adalah yang paling umum
40
ditanam dan digunakan pengrajin pandan Tasikmalaya karena tektur daunnya
lebih halus sehingga lebih mudah untuk dianyam untuk berbagai keperluan.
Berbeda dengan pandan samak, pandan-pandan tersebut di atas ditemukan
dan dibudidayakan di daerah pegunungan. Lebih jauh lagi, pandan-pandan ini
ditemukan tidak pernah berbunga, ukuran daun lebih pendek, tekstur yang
lebih halus dan lunak sehingga lebih mudah untuk dianyam.
Keim et.al (2006) bahwa pandan jaksi kemungkinan besar adalah
cangkuang, jenis yang juga diketahui terdapat di Jawa Barat, tumbuh di
pedalaman (termasuk dataran agak tinggi), dan juga dibudidayakan serta
dimanfaatkan daunnya (Backer, 1925; Backer dan Bakhuizen v.d. Brink Jr.,
1968). Cangkuang diketahui ditanam oleh masyarakat Sunda pada tempat-
tempat suci Hindu-Sunda atau yang dikeramatkan seperti yang ditemukan di
Subang yang dikenal sebagai situs candi Cangkuang. Berbeda dengan
masyarakat di Tasikmalaya dan Subang, masyarakat di Ujung Kulon hanya
mengenal tanaman budidaya pandan laut (P. odoratissimus), mereka
menyebutnya dengan pandan samak dan pandan wangi (P. amaryllifolius
Roxb.) sebagai jenis-jenis pandan yang dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-
hari mereka. Meski di Ujung Kulon juga ditemukan P. furcatus dan bidur P.
dubius Spreng. Lebih lanjut Keim et al,. (2006), masyarakat setempat tidak
membudidayakan serta memanfaatkannya sebagaimana pandan samak.
Dalam kaitan dengan P. odoratissimus, masyarakat Ujung Kulon
mengenal dua entitas yang berbeda di mana mereka membedakan antara
takson yang dibudidayakan (disebut dengan pandan samak) dan yang liar
(disebut dengan pandan laut). Masyarakat Ujung Kulon memahami dengan
41
baik meskipun menempatkan keduanya ke dalam dua entitas yang berbeda,
mereka menempatkan keduanya sebagai berkerebat sangat dekat, lebih dekat
daripada dengan cangkuang atau bidur. Pembubuhan kata “laut” dalam nama
daerah pandan “laut” dapat ditafsirkan bahwa masyarakat Ujung Kulon
memahamniya sebagai takson liar darimana pandan samak dahulu diambil
oleh leluhur mereka untuk dibudidaya.
Daun muda pandan yang masih lentur dengan panjang 1 m atau lebih
diambil untuk bahan anyaman. Bagian ujung dan pangkal daun dipotong
sehingga berukuran 80-100 cm. Duri di bagian tepi daun dihilangkan dengan
menggunakan alat yang disebut “panyucuk”, kemudian daun dibelah
memanjang dengan “panyoak” menjadi 4 bagian. Daun yang telah dibelah
menjadi 4 tersebut dikenal dengan sebutan “aray”. Lebar aray dapat diatur
dengan panyoak. Makin sempit lebar array, hasil anyaman semakin halus,
kemudian getah atau lendir yang terdapat pada aray dihilangkan dengan
menggunakan “pamaut” sehingga aray menjadi lentur dan mudah untuk
dianyam. Setelah aray terkumpul sebanyak 1 genggam (dihasilkan dari sekitar
20 lembar daun pandan), lalu diikat, dijemur atau dikering anginkan selama
sekitar 2-3 jam, kemudian dilipat menjadi 4 bagian, selanjutnya direbus selama
6 jam. Setelah itu didiamkan atau direndam dalam air selama 2 jam dengan
tujuan untuk menghilangkan sisasisa lendir yang masih menempel pada daun.
Aray yang telah dimasak, dijemur kembali di bawah sinar matahari selama 2
hari dan hasilnya disebut “aray putihan” atau “aray bodas” (bodas artinya
putih). Sebelum dianyam aray putihan ini dipukul-pukul perlahan-lahan atau
dipaut kembali agar menjadi lemas dan permukaannya halus.
42
Proses awal menganyam disebut ”ngelabang” karena bentuknya seperti
kaki kelabang- dan akhir menganyam disebut”ngaput” yaitu menutup bagian
tepi anyaman. Sebelum dipasarkan, hasil anyaman tikar dijemur kembali agar
terlihat tidak kusam. Lamanya perebusan dan ukuran aray merupakan
beberapa faktor yang mempengaruhi mutu hasil anyaman. Jika pada
penjemuran kurang sinar atau cuaca mendung maka hasil anyaman tampak
berwarna putih kusam, sedangkan jika perebusan aray kurang lama maka aray
mudah patah pada saat dianyam. Proses menganyam “samak” tikar atau
“kaneron” tas membutuhkan waktu selama 2 hari. Setiap 1 lembar tikar dengan
ukuran 1,20 x 2 m memerlukan 3 ikatan aray bodas, sementara untuk kaneron
sebanyak 2 ikatan. Menurut penuturan penduduk, selain pandan samak, daun
cangkuang dan bidur juga dapat dianyam, namun kurang umum dilakukan
karena hasil anyaman daun kedua jenis tersebut kurang halus dan kurang awet
(hanya bertahan sekitar 2 tahun saja), sementara hasil anyaman pandan
samak dapat bertahan hingga 4 tahun. Pandan “laut” (hidupan liar dari pandan
samak) tidak diminati sebagai bahan baku anyaman karena struktur daunnya
yang kaku dan getas (mudah patah) sehingga proses pemasakannya akan
memakan waktu yang jauh lebih lama.
Kebiasaan menganyam tampaknya merupakan tradisi yang telah
dilakukan sejak dahulu oleh masyarakat di Jawa (Backer 1925; Hofstede
1925), termasuk di Ujung Kulon. Menurut informasi masyarakat, saat ini
kegiatan menganyam pandan di Ujung Kulon hanya dijumpai di beberapa
daerah seperti Ciundil, Legon Pakis, Tanjung Lame dan Cegok. Hanya di
Ciundil bahan baku daun pandan untuk kerajinan anyaman dipanen dari
43
tanaman yang dibudidaya, sementara di kedua lokasi lainnya diambil dari
tumbuhan liar. Menurut keterangan masyarakat, pandan samak pertama kali
dibudidayakan di Ciundil pada tahun 1950-an. Kegiatan budidaya tersebut
ditengarai sudah jauh lebih tua dari yang diketahui, karena Hofstede (1925)
dan Backer (1925) telah mencatat bahwa masyarakat di Jawa Barat, termasuk
Ujung Kulon, telah lama menanam pandan samak untuk kebutuhan seharihari.
Catatan di seputar tahun 1950-an lebih mengacu kepada penanaman secara
luas untuk kegiatan perekonomian. Kegiatan menganyam daun pandan di
Ciundil sebagian besar dilakukan oleh kaum wanita. Kaum pria umumnya
membantu dalam pengambilan daun dan memasarkan hasil anyaman. Sekitar
90% dari jumlah KK di Ciundil dapat menganyam daun pandan samak untuk
tikar (tikar samak). Pembuatan tikar selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri,
juga untuk diperdagangkan. Dalam 1 bulan pengrajin dapat menghasilkan 10-
15 lembar tikar samak yang diperdagangkan dengan harga jual Rp. 10.000-
15.000 per lembarnya. Karena tidak semua penduduk mempunyai pohon
pandan samak, maka pembagian hasil penjualan antara pemilik pohon dan
pengrajin adalah 2 : 1.
Kendala yang dihadapi pengrajin pandan adalah pemasarannya.
Menurut mereka saat ini dalam 1 bulan hanya terjual 5-10 tikar. Berdasarkan
hasil pengamatan penyebab rendahnya daya jual tikar samak masyarakat
Ujung Kulon terutama disebabkan oleh masih sederhananya teknik
penganyaman serta tidak digunakannya pewarna sehingga tikar masih nampak
kusam dan kurang menarik. Penyuluhan tentang teknik penganyaman yang
lebih baik dengan ditunjang oleh pewarnaan yang lebih kaya dan variatif
44
sangat dianjurkan dengan harapan dapat meningkatkan nilai jual tikar produksi
masyarakat Ujung Kulon tersebut.
Berbeda dengan Ciundil, di Legon Pakis dan Tanjung Lame kegiatan
menganyam tikar samak hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kedua
lokasi tersebut terletak di dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon,
sehingga pengambilan daun sangat dibatasi karena eksploitasi yang
berlebihan dikhawatirkan dapat mengganggu pelestarian ekosistem kawasan
Taman Nasional.
Lebih lanjut susiarti dan Rahayu (2010) bahwa masyarakat Ujung Kulon
memanfaatkan daun pandan pantai (Pandanus odoratissimus) untuk
pembuatan aneka kebutuhan rumah tangga, terutama tikar. Masyarakat
mengenal dua entitas yang berbeda untuk dua taksa yang diidentifikasi
sebagai P. odoratissimus, pandan samak dan pandan “laut”. Keduanya
dianggap berkerabat dekat dengan pandan “laut” yang merupakan hidupan liar
untuk pandan samak. Meskipun mengenal dengan baik cangkuang (P.
furcatus) dan bidur (P. dubius), keduanya tidak dipakai sebagai bahan baku
anyaman. Hanya di Ciundil pandan samak tercatat dibudidayakan masyarakat.
Perlu adanya penyuluhan tentang teknik menganyam dan penerapan model
(desain) dan tata warna yang lebih bervariasi guna meningkatkan nilai jual tikar
samak masyarakat Ujung Kulon. Peningkatan nilai jual diharapkan akan
meningkatkan volume penjualan dan pada akhirnya akan menarik lebih banyak
keterlibatan anggota masyarakat dalam industri kerajinan tersebut serta
akhirnya akan melestarikan tradisi kerajinan daun pandan Ujung Kulon.
45
2.1.5. Strategi Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung
2.1.5.1. Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH)
Widada (2001), pernah melakukan penelitian pada kawasan lindung di
antaranya adalah Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Hasil yang
diperoleh dari penelitiannya menunjukkan bahwa dalam memantapkan fungsi
kawasan terdapat sejumlah kendala, baik kendala internal maupun kendala
eksternal yaitu :
1. Kendala Internal
a. Aksebilitas rendah, yaitu : kondisi fisik lingkungan berupa topografi yang
bergunung-gunung, jalan menuju kawasan sebagian besar jelek
(berbatu), sarana angkutan umum sangat terbatas.
b. Sarana dan prasana terbatas, yaitu : meliputi sarana dan prasarana
untuk kegiatan wisata alam, pengamanan kawasan, maupun untuk
kepentingan penelitian dan pengelolaan TNGH.
c. Sumber daya manusia (SDM) terbatas, terutama dari segi kualitas dan
distribusi di lapangan.
d. Publikasi dan promosi TNGH belum optimal, baik untuk skala lokal,
nasional maupun Internasional. Demikian juga data, informasi dan
materi promosi belum tersedia secara memadai.
e. Kondisi tata batas tidak jelas.
f. Peraturan yang bersifat teknis belum lengkap
2. Kendala Eksternal
46
a. Tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat sekitar kawasan yang
relafif masih rendah menyebabkan persepsi mereka tentang peranan
TNGH sebagai kawasan pelestarian alam masih terbatas.
b. Terbatasnya keterampilan di bidang kewirausahaan menyebabkan
sebagian besar masyarakat sekitar kawasan tergantung pada
sumberdaya hutan sebagai sumber perekonomian mereka. Hal ini tidak
jarang mengakibatkan munculnya pengambilan hasil hutan kayu dan
non kayu secara illegal.
c. Adanya potensi tambang emas di sekitar dan di dalam kawasan TNGH
menarik minat masyarakat sekitar kawasan maupun pendatang untuk
melakukan kegiatan penambangan emas secara liar,
d. Secara tradisional, sebagian besar masyarakat di sekitar kawasan
melakukan perburuan satwa liar di dalam kawasan hutan dan juga
melakukan perambahan hutan.
e. Koordinasi belum dilakukan secara optimal, baik dengan instansi terkait
yaitu Pemerintah Daerah, Dinas Pariwisata, Pekerjaan umum,
Perindustrian, Pertanian dan Perkebunan, Koperasi, Lembaga Sosial
masyarakat (LSM), Perguruan Tinggi maupun pihak swasta dan pihak
terkait lainnya.
Perwujudan secara optimal pengelolaan kawasan
perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan dengan memperhatikan
potensi dan sejumlah kendala yang ada, maka landasan strategi
pengelolaan dan pengembangan TNGH di arahkan kepada 3 (tiga) aspek
sebagai berikut:
47
1) Peningkatan Fungsi Ekologis; yaitu bagaimana pengelolaan
dan pengembangan TNGH tetap mempertahankan kelestarian
sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman
hayati dan ekosistemnya.
2) Peningkatan Fungsi Pemanfaatan, yaitu bagaimana pengelolaan dan
pengembangan TNGH mampu mewujudkan kegiatan wisata alam atau
ekowisata, penelitian dan pendidikan konservasi, serta budidaya
dengan tetap mempertahankan kelestarian dan ekosistem hutan TNGH.
3) Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Sekitar; yaitu
bagaimana pengelolaan dan pengembangan TNGH mampu
meningkatkan peranserta dan kesejahteraan masyarakat sekitar TNGH.
Selanjutnya dalam upaya pemantapan kawasan pengelolaan
TNGH, dimana salah satu kendala yang cukup rumit ialah mengenai
tata batas kawasan yang masih belum jelas dan juga mengenai bentuk
kawasan yang menyerupai jari-jari tangan manusia. Karena bentuknya yang
tidak teratur serta tata batas yang belum jelas, mengakibatkan munculnya
kerumitan dalam upaya pengelolaan TNGH. Ketidakjelasan tata batas
sering menimbulkan konflik antara petugas TNGH dengan pihak lain,
baik dengan masyarakat maupun dengan instansi lain. Oleh karena itu,
dalam rangka pemantapan kawasan tersebut maka dilakukan upaya-
upaya, antara lain :
1) Rekonstruksi Tata Batas, adalah penataan batas ulang kawasan TNGH.
Untuk itu diupayakan melalui kerjasama kehutanan dengan Pemerintah
Daerah dan melibatkan pula persetujuan masyarakat setempat.
48
2) Penataan Batas Zonasi, adalah penataan batas berdasarkan
fungsi kawasan yang mencakup zona inti, zona rimba dan zona
pemanfaatan intensif.
3) Survei Identifikasi Kawasan Hutan dalam rangka usulan perluasan
kawsan TNGH.
Sementara upaya pengelolaan sumberdaya alam mencakup aktivitas
penelitian, inventarisasi, monitoring dan evaluasi terhadap potensi flora,
fauna dan ekosistemnya termasuk sumberdaya air. Data potensi yang
diperoleh dari kegiatan penelitian atau inventarisasi tersebut dijadikan
database untuk mendukung perkembangan Sistem Informasi Manajemen
(SIM) dan sekaligus untuk kepentingan dalam penentuan rencana dan
kebijakan pengelolaan TNGH.
Dalam rangka optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam, maka TNGH
berupaya melibatkan dan bekerja sama dengan instansi lain, seperti LIPI,
Litbang Kehutanan, Perguruan Tinggi, atau LSM yang terkait dalam kegiatan
penelitian, evaluasi dan monitoring. Di samping itu, TNGH juga
memberikan banyak kemudahan kepada pihak lain (mahasiswa atau peneliti)
yang ingin melakukan kegiatan di TNGH. Sarana dan prasarana untuk
mendukung program penelitian telah mulai dikembangkan, misainya
dengan membangun Pusat Penelitian Cikaniki yang dilengkapi
dengan berbagai peralatan laboratorium dan konservasi yang memadai.
Demikian juga untuk penelitian ekosistem tajuk hutan, telah tersedia fasilitas
Canopy Trail dengan panjang 100 meter dan tinggi 20-30 meter dari
permukaan tanah.
49
Sedangkan upaya perlindungan dan pengamanan untuk mencegah dan
membatasi kerusakan flora dan fauna beserta ekosistemnya akibat dari adanya
gangguan kawasan. Gangguan kawasan TNGH yang bersumber
dari perbuatan manusia antara lain perambahan kawasan, pencurian kayu,
perburuan ilegal, dan lain-lain. Di samping itu, gangguan kawasan bisa
disebabkan karena hama dan penyakit atau akibat bencana alam.
Upaya penanggulangan gangguan kawasan dilakukan
dengan pendekatan secara preventif dan represif. Preventif, yaitu tindakan
pencegahan yang dilakukan melalui kegiatan operasi gabungan, patroli rutin
secara intensif, mengembangkan pengamanan swakarsa masyarakat,
menjalin kemitraan dengan kader konservasi, dan lain-lain. Sedangkan
secara represif, yaitu penindakan sesuai dengan hukum yang berlaku, dan
dilakukan melalui upaya penindakan pelanggar secara langsung
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
TNGH dengan segala potensi keindahan, kekayaan alam, dan budaya
masayarakat setempat serta dengan jarak yang relatif dekat dari Jakarta (±
100 km) pada dasarnya memiliki nilai jual yang tinggi sebagai obyek
wisata. Dengan kata lain, upaya pengembangan wisata alam TNGH
menjanjikan dan berpeluang tumbuh dan berkembang dan mampu menjadi
pemicu pertumbuhan ekonomi dan sumber pendapatan bagi masyarakat di
sekitar kawasan TNGH.
Dalam rangka mewujudkan optimalisasi pengembangan wisata
alam TNGH dengan memperhatikan potensi dan kendala yang ada,
maka upayaupaya yang ditempuh antara lain sebagai berikut:
50
1. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia TNGH, melalui
berbagai pelatihan di bidang wisata alam, baik di dlaam maupun di
luar negeri di samping kegiatan on the job training untuk
meningkatkan kemampuan SDM dalam perencanaan, pengembangan
dan pengelolaan wisata alam.
2. Pembangunan sarana dan prasarana serta fasilitas untuk
mendukung kegiatan wisata alam serta pengembangan potensi obyek
wisata untuk berbagai jenis kegiatan wisata di berbagai lokasi di TNGH.
3) Peningkatan sarana, media, dan kegiatan publikasi serta promosi TNGH
baik dalam skala nasional maupun internasional dengan media
elektronik dan cetak.
4) Pembangunan Pusat informasi Pengunjung di kantor pusat TNGH di
Kabandungan dan Cikaniki, serta membangun arboretum sebagai
miniatur kawasan TNGH.
3) Pembinaan dan pengembangan keterampilan dalam wirausaha di bidang
wisata alam kepada masyarakat di sekitar kawasan maupun dengan
lembaga bisnis professional dan juga melibatkan LSM serta perguruan
tinggi.
4) Pengembangan paket-paket wisata alam bernuansa
pendidikan lingkungan dan atau penelitian konservasi dengan
melibatkan LSM clan perguruan tinggi serta pishak-pihak terkait lainnya.
Selanjutnya dalam hal pembinaan daerah penyangga yang
dilakukan dengan memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Mengingat tingkat sosial ekonomi masyakarakt di sekitar kawasan TNGH
51
(52 desa penyangga) kondisinya masih sangat rendah, maka salah
satu kunci keberhasilan pengelolaan adalah dengan melibatkan
partisipasi masyarakat melalui pendekatan pemberdayaan ekonomi
desa penyangga. Sejalan dengan upaya tersebut, maka program
pembinaan daerah dilakukan dengan tujuan utama, yaitu :
1) Memberikan dan meningkatkan wawasan/pengetahuan masyarakat
desa penyangga tentang pentingnya upaya konservasi sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya.
2) Meningkatkan keterampilan masyarakat desa dalam melakukan budidaya
sumberdaya alam yang berwawasan konservasi.
3) Meningkatkan keterampilan kewirausahaan sehingga mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa penyangga.
4) Menjalin kemitraan dengan harapan masyarakat mampu berperan
aktif dalam upaya menjaga dan melestarikan keanekaragaman
tumbuhan, satwa dan ekosistem kawasan TNGH.
Sedangkan program-program pembinaan daerah diwujudkan melalui kegiatan-
kegialan, antara lain:
1) Pelatihan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan konservasi
(Participatory Rural Appraisal - PRA).
2) Pelatihan kewirausahaan dan koperasi bagi masyarakat desa penyangga.
3) Pengembangan ekonomi masyarakat desa penyangga melalui pemberian
bantuan Usaha Pedesaan yang sejalan dengan misi konservasi.
4) Pengembangan model atau pilot project pemberdayaan ekonomi
masyarakat berbasiskan konservasi sumberdaya alam. Pendidikan
52
lingkungan atau pendidikan konservasi untuk tingkat anak-anak (sekolah
dasar), generasi muds dan tingkat dewasa (masyarakat).
Terakhir dari sisi pemantapan koordinasi dalam rangka optimalisasi
pengelolaan TNGH, maka dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan
kawasan dilakukan koordinasi dengan pihak-pihak lain seperti
Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota, tokoh masyarakat, LSM,
perguruan tinggi, dan pihak-pihak lain yang terkait.
Hasil penelitian yang dilakukan Widada (2001) seperti yang
disampaikan di atas ternyata belum melakukan kajian analisis SWOT
((Stemgths, Weaknesses, Opportunities, Threats) secara komprehensif,
sehingga hasil analisis yang dicapai belum tentu berdasarkan kondisi
internal dan eksternal yang terjadi. Disamping itu hasil penelitian tersebut
belum spesifik, karena antara upaya pelestarian manfaat ekonomi dan
manfaat non ekonomi tidak jelas.
Sementara penelitian yang dilakukan di kawasan HLSW lebih terarah
dan mendalam. Sehingga dengan mengkombinasikan strategi pelestarian
manfaat ekonomi dengan manfaat non ekonomi HLSW diharapkan
dapat mencapai sasaran (goals) penelitian, yaitu peningkatan
kesejahteraan masyarakat setempat dan pelestarian lingkungan.
4.5.1.2. Strategi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Manggar
DAS Manggar terletak di wilayah administratif kota
Balikpapan. Fitriansyah (2006) dalam telah melakukan penelitian
berkenaan dengan strategi pengelolaannya menggunakan analisis SWOT
53
(Sterngths, Weaknesses, Opportunities, Threats). Berdasarkan kajian faktor-
faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor-faktor eksternal
(peluang dan ancaman) yang ada, kemudian dilakukan analisis sehingga
telah menghasilkan beberapa formulasi strategi sebagai berikut:
1) Strategi SO; mengundang investor yang mau berinvestasi di
bidang pertanian, peternakan ataupun pariwisata dan membangun
sarana dan prasarana lainnya sesuai peluang yang ingin
dikembangkan, seperti perbaikan jalan atau penunjang lainnya.
Selain itu bekerjasama antara instansi terkait dan masyarakat dalam
kegiatan pelestarian DAS Manggar yang masih kurang.
2) Strategi ST; karena sering terjadinya kebakaran lahan khususnya
ketika musim kemarau tiba, maka dapat membentuk tim
penanggulangan kebakaran hutan yang melibatkan instansi
terkait dan masyarakat. Selanjutnya DAS atau waduk Manggar
sebagai sumber air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
untuk kota Balikpapan dapat terganggu debitnya pads musim
kemarau, maka dapat dilakukan kegiatan reboisasi di sekitar hutan
lindung clan waduk serta melakukan penghijauan. di sekitar sungai.
Adanya kegiatan peternakan yang mengganggu khususnya babi
dapat dilakukan dengan membatasi kegiatan tersebut atau memindahkan
ke lokasi yang jauh dari DAS Manggar karena limbah dari perternakan ini
dapat mencemari waduk.
3) Strategi WO; dibentuk tim yang tugasnya khusus mengelola DAS
Manggar dengan melibatkan beberapa instansi terkait (seperti BP-DAS,
54
Bapedalda, Kelurahan setempat) dan masyarakat sebagai mitra
dalam pengelolaan karena selama ini pengelolaan hanya berada di
tingkat propinsi (BP-DAS). Disamping itu dapat meningkatkan
koordinasi dan berbagi informasi antar instansi terkait dan masyarakat.
Banyak masyarakat yang berada di DAS Manggar perlu dilakukan
sosialisasi untuk pengembangan DAS tersebut, karena masih banyak
masyarakat yang tidak mengetahui tentang DAS Manggar terutama
obyek hutan lindung dan waduk. Memberikan pelatihan kerja yang
sesuai dengan kondisi daerah mereka serta mengganti dengan harga
yang layak atau tanah masyarakat yang terkena pengembangan
DAS Manggar (waduk).
4) Strategi WT; banyak kegiatan pertanian dan peternakan perlu dilakukan
penyuluhan tentang pertanian dan peternakan yang balk agar
tidak mengganggu lingkungan sekitar seperti pencemaran air, tanah
dan udara atau kerusakan lainnya. Mengendalikan hama binatang yang
menggangu pertanian masyarakat sebagai akibat adanya kawasan
hutan lindung. Kemudian membuat kebijakan atau peraturan untuk
pengelolaan DAS Manggar secara komprehensif demi terjaganya
keanekaragaman hayati yang masih ada.
Metoda analisis penelitian yang dilakukan di kawasan DAS
Manggar hanya terbatas pads penggunaan analisis SWOT saja.
Sementara metoda analisis penelitian yang dilakukan di kawasan HLSW tidak
hanya terbatas pada penggunaan analisis SWOT.
55
2.2. Kajian Teori
2.2.1. Faktor-Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tanaman Hutan
Arief (1994) menyatakan bahwa daerah tropis adalah wilayah yang
terletak di antara garis isoterm 180 C bulan terdingin. Daerah tropis secara
keseluruhan mencakup 30 % dari luas permukaan bumi. Hutan Tropis
merupakan hutan yang berada di daerah tropis. Di daerah tropis suhu udara
rata-rata tahunan umumnya tinggi (di atas 180°C dengan perubahan antara
suhu rata-rata pada bulan terpanas dan terdingin sangat rendah. Jadi dapat
dikatakan bahwa di daerah tropis ini suhu udara hampir sama sepanjang
tahun. Perubahan suhu harian, antara suhu minimum dan maksimum harian
cukup tinggi. Sebagai contoh disampaikan keadaan temperatur udara di Bogor
(300 m dpl) sebagai berikut :
Tabel 2. Suhu Rata-Rata Bulanan
Maksimum (juli) 25,3o C
Minimum (juni) 24,3°C
Perbedaan 1,0°C
Suhu rata-rata harian
Maksimum (Pkl 14.00) 32,4°C
Minimum (Pkl 06.00) 23,4°C
Perbedaan 9,0°C
Perbedaan suhu akan berkaitan pula dengan tinggi tempat di atas
permukaan laut (d.p.l). Semakin tinggi suatu tempat suhu akan semakin turun,
rata-rata setiap penambahan tinggi suatu sebesar 100 m suhu akan turun 0,4 –
0,7°C.
56
Curah hujan di daerah tropis umumnya tinggi. Di sekitar equator (Lintang
00) mempunyai curah hujan yang tertinggi dan semakin jauh dari equator curah
hujan akan semakin berkurang. Matahari akan berada tepat di atas equator
(zenit) dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan Maret dan September. Pada
saat matahari berada tepat di atas equator akan terjadi pemanasan yang tinggi,
udara lembab akan bergerak naik dan menjadi dingin sehingga akan terbentuk
awan yang selanjutnya akan turun kembali sebagai hujan.
Pembentukan awan hujan juga dipengaruhi oleh angin, yaitu angin
Pasat Timur Laut dan angin Pasat Tenggara, dan untuk daerah Asia Tenggara
dipengaruhi pula oleh adanya angin Monsun (angin Musim), yaitu angin
Monsun Timur Laut dan angin Monsun Tenggara. Adanya angin tersebut akan
menimbulkan adanya periodisasi curah hujan, yaitu adanya musim penghujan
dan musim kemarau. Hal ini mempunyai arti penting baik bagi vegetasi secara
umum maupun dalam hal pemanfaatan lahan.
Besar kecilnya curah hujan di daerah tropis juga dipengaruhi oleh tinggi
tempat dan jarak tempat dari permukaan laut. Pada suatu wilayah pegunungan
curah hujan akan semakin besar dengan bertambahnya ketinggian tempat
namun pada tempat yang lebih tinggi lagi curah hujannya semakin berkurang
(Weidelt, 1995). Ciri lain curah hujan di wilayah tropis adalah tingginya
intensitas curah hujan. Sebagai contoh : tahun 1974 di daerah Honduras
terjadi curah hujan sebesar 1.000 mm dalam kurun waktu 48 jam, di Baguio
(Filiphina) tercatat curah hujan sebesar 1.130 mm dalam 24 jam dan di
Venezuela sebesar 1.200 mm hanya dalam jangka waktu 4 jam.
57
Daerah tropis mempunyai lama penyinaran matahari yang tinggi dan
merata sepanjang tahun dengan perbedaan yang sangat rendah. Radiasi sinar
matahari dengan intensitas yang tinggi akan berkurang dengan adanya awan
dan kelembaban udara yang tinggi. Di Hutan hanya pohon-pohon yang
tertinggi saja yang menerima cahaya secara penuh. Perlindungan terhadap
tingginya intensitas cahaya dilakukan antara lain : warna daun muda yang
merah kecoklatan, panphotometri dan adanya permukaan tajuk yang
mengkilat.
Pada lapisan tajuk bagian bawah intensitas cahaya akan semakin
berkurang dan intensitas cahaya yang dapat mencapai permukaan tanah
hanya sekitar 1%. Cahaya merupakan faktor yang sangat penting terutama
untuk ruangan di antara lapisan tajuk bagian tengah dan permukaan tanah,
dimana pada ruangan tersebut terdapat permudaan berbagai jenis pohon.
Angin dapat pula dimasukkan dalam faktor iklim. Efek Mekanis dan
fisiologis angin terhadap vegetasi seperti halnya yang terjadi pada wilayah iklim
campuran. Hal yang tidak dapat dibandingkan adalah seringnya terjadi badai di
daerah tropis atau siklon tropis. Adanya siklon ini sangat membahayakan
tegakan, tidak hanya merusak hutan alam yang ada, merusak suksesi yang
telah berlangsung dan bahkan lebih berbahaya untuk hutan tanaman.
Hutan dapat mengurangi kecepatan pergerakan angin. Weidelt (1995)
telah mengukur kecepatan angin di hutan hujan tropis di wilayah Brasilia
bagian Selatan. Hasil Pengukuran adalah sebagai berikut :
58
Tabel 3. Kecepatan Angin Dalam Hutan Tropis
LOKASI PENGUKURAN KECEPATAN ANGIN
Tempat Terbuka
(150 m dari tepi hutan)0,63 km/jam
100 m di dalam tegakan 0,13 km/jam
1100m di dalam tegakan 0 km / jam (tidak ada angin
Angin merupakan faktor lingkungan yang penting, yang berperan dalam
mengalirkan udara baru yang banyak mengandung karbondioksida. Apabila
tidak ada angin kandungan karbondioksida dalam hutan tidak tercukupi.
Fotosintesis atau fotosintesa merupakan proses pembuatan makanan
yang terjadi pada tumbuhan hijau dengan bantuan sinar matahari dan enzim-
enzim. Fotosintesis adalah suatu proses biokimia yang dilakukan tumbuhan,
alga, dan beberapa jenis bakteri untuk memproduksi energi terpakai (nutrisi)
dengan memanfaatkan energi cahaya.
Fotosintesis adalah fungsi utama dari daun. Proses fotosintesis sangat
penting bagi kehidupan di bumi karena hampir semua makhluk hidup
tergantung pada proses ini. Proses Fotosintesis juga berjasa menghasilkan
sebagian besar oksigen yang terdapat di atmosfer bumi.
59
Daun terdiri dari jaringan-jaringan yang masing-masing mempunyai
fungsi spesifik. Jaringan-jaringan tersebut adalah Epidermis Jaringan ini terbagi
menjadi epidermis atas dan epidermis bawah, berfungsi melindungi jaringan
yang terdapat di bawahnya. Jaringan Pagar atau Jaringan Tiang dikenal juga
dengan istilah jaringan palisade, merupakan jaringan yang berfungsi sebagai
tempat terjadinya proses fotosintesis.
Jaringan bunga karang disebut juga jaringan spons karena lebih
berongga bila dibandingkan dengan jaringan palisade, berfungsi sebagai
tempat menyimpan cadangan makanan. Berkas pembuluh angkut terdiri dari
xilem atau pembuluh kayu dan floem atau pembuluh tapis, pada tumbuhan
dikotil keduanya dipisahkan oleh kambium. Xilem berfungsi untuk mengangkut
air dan garam yang diserap akar dari dalam tanah ke daun (untuk digunakan
sebagai bahan fotosintesis). Floem berfungsi untuk mengangkut hasil
fotosintesis dari daun ke seluruh bagian tumbuhan, termasuk daun itu sendiri.
Stoma (jamak: stomata) berfungsi sebagai organ respirasi. Stoma
mengambil CO2 dari udara untuk dijadikan bahan fotosintesis, mengeluarkan
O2 sebagai hasil fotosintesis. Stoma ibarat hidung kita dimana stoma
mengambil CO2 dari udara dan mengeluarkan O2, sedangkan hidung
mengambil O2 dan mengeluarkan CO2. Stoma terletak di epidermis bawah.
Selain stoma, tumbuhan tingkat tinggi juga bernafas melalui lentisel yang
terletak pada batang.
Fungsi Daun adalah pembuat makanan yang utama bagian dari hampir
semua tumbuhan. bunga, rumput, semak belukar, dan pohon tergantung pada
daun-daunnya untuk membuat makanan untuk keperluan tumbuhan tersebut.
60
Demikian juga banyak tumbuhan yang lain, meliputi paku-pakuan, sayur-
sayuran, buah-buhan dan rumput-rumputan. Tiap daun merupakan suatu
pabrik makanan kecil. Daun menangkap energi dari cahaya matahari dan
digunakan untuk membuat gula merupakan hasil menyerap air dari tanah dan
karbondioksida dari udara. Gula ini diubah untuk banyakunsur kimia lain.
Unsur ini menjadi makanan yang menyediakan energi pada tumbuhan
untuk bertumbuh, untuk menghasilkan bunga dan benih, dan untuk
melanjutkan semua aktivitas lainnya. Cadangan makanan tumbuhan dibuat
oleh daun tersimpan dalam buah, akar, biji, batang, dan bahkan di dalam daun-
daunnya. Tanpa makanan ini, tumbuhan tidak bisa hidup. Sebagai tambahan,
semua bahan makanan yang manusia dan binatang makan dihasilkan juga dari
tumbuhan atau dari hewan yang memakan tumbuhan. Daun beragam ukuran
dan bentuknya antar tumbuh-tumbuhan. Banyak yang bujur telur, tetapi yang
lain berbentuk lancip, menjari, berbentuk hati, atau banyak lagi bentuk yang
lain. Kehidupan tumbuhan hijau sangat tergantung pada daun, karena daun
merupakan organ terpenting bagi tumbuhan autotrof obligat, tumbuhan harus
membuat kebutuhan energinya sendiri melalui konversi energi cahaya menjadi
energi kimia.
Bentuk daun sangat beragam, namun biasanya berupa helaian, bisa
tipis atau tebal. Gambaran dua dimensi daun digunakan sebagai pembeda bagi
bentuk-bentuk daun. Bentuk dasar daun membulat, dengan variasi cuping
menjari atau menjadi elips dan memanjang. Bentuk ekstremnya bisa
meruncing panjang. Daun juga bisa bermodifikasi menjadi duri (misalnya pada
kaktus), dan berakibat daun kehilangan fungsinya sebagai organ fotosintetik.
61
Daun tumbuhan sukulen atau xerofit juga dapat mengalami peralihan fungsi
menjadi organ penyimpan air. Daun segar (kiri) dan tua. Daun tua telah
kehilangan klorofil sebagai bagian dari penuaan. Warna hijau pada daun
berasal dari kandungan klorofil pada daun. Klorofil adalah senyawa pigmen
yang berperan dalam menyeleksi panjang gelombang cahaya yang energinya
diambil dalam fotosintesis. Sebenarnya daun juga memiliki pigmen lain,
misalnya karoten (berwarna jingga), xantofil (berwarna kuning), dan antosianin
(berwarna merah, biru, atau ungu, tergantung derajat keasaman). Daun tua
kehilangan klorofil sehingga warnanya berubah menjadi kuning atau merah
(dapat dilihat dengan jelas pada daun yang gugur).
Daun sebagai organ tumbuhan yang berwarna hijau mempunyai beberapa
fungsi :
1. Tempat terjadinya fotosintesis. pada tumbuhan dikotil, terjadinya fotosintesis
di jaringan parenkim palisade. sedangkan pada tumbuhan monokotil,
fotosintesis terjadi pada jaringan spons.
2. Sebagai organ pernapasan atau respirasi. Di daun terdapat stomata yang
befungsi sebagai organ respirasi (lihat keterangan di bawah pada Anatomi
Daun).
3. Tempat terjadinya transpirasi. Transpirasi merupakan proses menguapnya
air pada daun. Proses transpirasi terjadi pada daun lewat stomata atau
mulut daun yang terdapat pada permukaan daun, dan lebih banyak pada
permukaan daun bagian bawah.
4. Tempat terjadinya gutasi. Tempat keluarnya cairan dari dalam tumbuhan
62
5. Alat reproduksi vegetatif. Daun dapat dijadikan bagian untuk memperbanyak
tanaman. contoh sederhana pada tanaman cocor bebek (tunas daun).
Sejumlah Angiospermae efisien dalam melakukan fotosintesis pada
intensitas cahaya rendah daripada intensitas cahaya tinggi, sedangkan banyak
Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi. Perbandingan antara
kedua kelompok tanarnan tersebut pada intensitas cahaya rendah dan tinggi seringkali
dapat memberikan tekanan-tekanan pada kapasitas fotosintesis terutama pada pe-
nimbunan makanan.
Simarangkir (2000) mengemukakan pertumbuhan diameter tanaman
berhubungan erat dengan laju fotosintesis akan sebanding dengan jumlah
intensitas cahaya matahari yang diterima dan respirasi. Akan tetapi pada titik
jenuh cahaya, tanaman tidak mampu menambah hasil fotosintesis walaupun
jumlah cahaya bertambah. Selain itu produk fotosintesis sebanding dengan
total luas daun aktif yang dapat melakukan fotosintesis. Pernyataan Daniel, et
al. (1992) bahwa terhambatnya pertumbuhan diameter tanaman karena produk
fotosintesisnya serta spektrum cahaya matahari yang kurang merangsang
aktivitas hormon dalam proses pembentukan sel meristematik kearah diameter
batang, terutama pada intensitas cahaya yang rendah.
Parameter penting iklim untuk mengungkapkan kondisi iklim di hutan
adalah suhu dan curah hujan. Banyak usaha telah dilakukan untuk membuat
korelasi antara zone-zone vegetasi dengan daerah-daerah
iklim tropis. Kadang-kadang suhu dipertimbangkan sebagai faktor yang paling
penting dan juga curah hujan sebagai faktor yang terberat.
6263
Pada umumnya pertumbuhan meningkat kalau temperatur naik dan
menurun apabila temperatur turun. Namun kecepatan pertumbuhan ini tidak
terus menerus bertambah dengan naiknya temperatur, oleh karena pada suatu
saat timbul efek-efek membahayakan dan kecepatan pertumbuhan menurun.
Kerusakan karena suhu yang tinggi disebabkan oleh kekeringan dan respirasi
yang amat tinggi, sehingga konsumsi bahan makanan akan melebihi produksi
fotosintesa. Suhu mempengaruhi pertumbuhan karena efeknya terhadap semua aktivitas
metabolisme seperti digesti, translokasi, respirasi dan pembangunan protoplasma baru.
Pertumbuhan biasanya bertambah dengan meningkatnya suhu sampai mencapai suatu
suhu tinggi yang kritis untuk suatu spesies dan kemudian pertumbuhan menurun
dengan cepat. Penurunan pertumbuhan mungkin disebabkan oleh respirasi yang
berlebihan dan mereduksi karbohidrat karena penurunan fotosintesis.
Pada daerah tropika hujan yang jumlahnya tinggi dan merata sepanjang
tahun terjadi di daerah sekitar equator tetapi semakin berkurang baik jumlah
maupun sebarannya pada daerah yang semakin jauh dari equator. Hal ini
menyebabkan terjadinya variasi iklim. Dengan adanya variasi iklim membawa
konsekuensi ekologis penting terhadap kehidupan vegetasi antara lain
berpengaruh pada proses pertumbuhan daun, bunga dan buah. Selain hujan
berpengaruh pada variasi iklim, hujan juga berpengaruh bagi tersedianya air
bagi pertumbuhan tanaman.
Lakitan (1993), iklim banyak diubah oleh ketinggian
tempat. Bagian-bagian yang lebih tinggi dari suat daerah umumnya lebih
6364
banyak kena pasir daripada bagian-bagian yang lebih rendah. Pada elevasi-
elavasi yang lebih tinggi radiasi matahari selama cuaca terang adalah lebih
terik daripada elevasi-elevasi yang lebih rendah. Angin yang lebih keras
meniup pada elevasi-elevasi yang tinggi daripada elevasi-elevasi yang lebih
rendah. Temperatur tanah menurun dengan meningkatnya ketinggian.
Atmosfer kurang rapat pada elevasi-elevasi yang lebih tinggi karena itu kurang
dapat mengabsorbsi dan memegang panas. Lembah-lembah dan jurang-jurang
dapat lebih banyak terkena bahaya hawa dingin dibandingkan lereng-lereng
didekatnya yang berada beberapa ratus meter lebih tinggi.
Lebih lanjut Lakitan (1993), menjelaskan bahwa ketinggian tempat
mempunyai efek-efek tidak langsung terhadap riap dan bentuk pohon-pohon
hutan. Efek tidak langsung dari bertambahnya ketinggian terhadap pohon-
pohon sebagai individu adalah sebagai berikut :
1. Pertumbuhan tinggi menurun secara teratur,
2. Riap total lambat laun akan menurun,
3. Waktu pengembangan diperpanjang, yaitu pohon memerlukan waktu
lebih lama untuk menjadi dewasa.
4. Perkembangan tajuk lambat laun menjadi lebih rendah dan lebih
mendekati tanah
5. Proporsi cabang-cabang dan ranting-ranting meningkat
Efek dari bertambahnya elevasi terhadap keseluruhan tegakan, yaitu :
1. Banyak/jumlah batang per hektar bertambah, namun proporsi dari
batang yang mempunyai klas diameter lebih besar menurun
65
2. Tinggi rata-rata dari tegakan menurun
3. Riap tahunan rata-rata dari seluruh tegakan dewasa menjadi sangat
kurang
4. Proporsi dari ranting-ranting dan kayu cabang meningkat.
Lereng dapat didefnisikan sebagai sudut yang dibentuk oleh permukaan
dengan horisontal, dan menunjukkan habungan dari permukaan tempat
tumbuh terhadap horisontal (Lakitan, 1993). Efek penting dari lereng adalah
terhadap pengaliran air di atas permukaan tanah dan drainase, dan melalui
faktor-faktor kandungan air tanah. Efek penting lainnya adalah melalui
pengeringan terhadap temperatur dan air dari permukaan tanah. Lereng
merubah intensitas pengeringan dengan cara merubah sudut jatuh sinar
matahari. Kedalaman tanah dan kandungan air berubah secara langsung
dengan besarnya lereng. Besar kecilnya lereng dan pengaruhnya terhadap
keadaan tanah adalah sebagai berikut :
a. Lereng-lereng kecil, kedalaman tanahnya sedang, suplai air biasanya
banyak. Produksi dapat tinggi asalkan iklim baik.
b. Lereng-lereng sedang, kedalaman tanah sedang, suplai air sedang.
Tegakan-tegakan rapat dan produksi tinggi kalau iklim baik.
c. Lereng-lereng curam, tanah biasanya dangkal, pohon-pohon tertentu
tumbuh disini, terutama yang dangkal perakarannya.
d. Lereng-lereng Amat curam, tanahnya tipis dengan batu-batuan tersebar
dipermukaan. Biasanya ditumbuhi pohon-pohon dan kecil.
Lakitan (1993), arah lereng juga berpengaruh terhadap pertumbuhan
pohon, karena arah lereng menentukan banyaknya sinar matahari yang
66
diterima. Lereng yang mengarah ke kutub jauh lebih lembab dan lebih sejuk
daripada yang mengarah ke khatulistiwa/equator. Lereng yang menghadap ke
timur kena pengaruh matahari pagi, dan lebih terlindung dari pengaruh angin
barat daya dan angin barat selama bagian siang hari yang terpanas. Lereng
yang menghadap ke Timur bagus untuk pertumbuhan pohon dan seringkali
ditandai dengan oleh tegakan-tegakan yang rapat dan yang baik
pertumbuhannya. Begitu juga dengan lereng-lereng yang menghadap ke utara
terlindung dari efek matahari selama siang hari dan juga terlindung dari efek
angindan biasanya pertumbuhan pohon juga baik di sini. Lereng-lereng yang
menghadap ke selatan keadaannya panas dan relatif kering seperti halnya
dengan lereng-lereng yang menghadap ke barat. Keadaan kering di sini
menyebabkan api lebih cepat merusak, sehingga pertumbuhan pohon
umumnya terganggu.
Cahaya merupakan faktor penting terhadap berlangsungnya
fotosintesis, sementara fotosintesis merupakan proses yang menjadi kunci
dapat berlangsungnya proses metabolisme yang lain di dalam tanaman
(Kramer dan Kozlowski, 1979). Setiap tanaman atau jenis pohon mempunyai
toleransi yang berlainan terhadap cahaya matahari. Ada tanaman yang tumbuh
baik ditempat terbuka sebaliknya ada beberapa tanaman yang dapat tumbuh
dengan baik pada tempat teduh/bernaungan. Ada pula tanaman yang
memerlukan intensitas cahaya yang berbeda sepanjang periode hidupnya.
Pada waktu masih muda memerlukan cahaya dengan intensitas rendah dan
menjelang sapihan mulai memerlukan cahaya dengan intensitas tinggi
(Faridah, E. 1996).
67
Banyak spesies memerlukan naungan pada awal pertumbuhannya,
walaupun dengan bertambahnya umur naungan dapat dikurangi secara
bertahap. Beberapa spesies yang berbeda mungkin tidak memerlukan
naungan dan yang lain mungkin memerlukan naungan mulai awal
pertumbuhannya. Pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan
semai-semai yang berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan temperatur
dan evaporasi. Oleh karena adanya naungan, evaporasi dari semai dapat
dikurangi. Beberapa spesies lain menunjukkan perilaku yang berbeda.
Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas cahaya yang
tinggi tetapi beberapa spesies tidak. (Suhardi, 1995), Sebagian dari jenis-jenis
dipterocarpaceae terutama untuk jenis kayu yang mempunyai berat jenis tinggi
atau tenggelam dalam air atau sebagian lagi tergolong jenis semi toleran atau
gap appertunist yaitu jenis-jenis yang memiliki kayu terapung atau berat jenis
rendah.
Kebutuhan cahaya untuk pertumbuhannya di waktu muda (tingkat
anakan) berkisar antara 50 – 85 % dari cahaya total. Untuk jenis-jenis
semitoleran naungan untuk anakan diperlukan sampai umur 3 – 4 tahun atau
sampai tanaman mencapai tinggi 1 – 3 meter. Sedangkan untuk jenis-jenis
toleran lebih lama lagi yaitu 5 – 8 tahun. Sangat sedikit jenis yang tergolong
intoleran antara lain Shorea concorta (Rasyid H. A. dkk, 1991).
Suhardi (1995) mengemukakan Hopea gregaria yang termasuk dalam
jenis Dipterocarpaceae, di tempat penuh memberikan pertumbuhan yang jauh
lebih baik dibandingkan dengan tempat cahaya masuk sebahagian.
Dibandingkan dengan lama penyinaran dan jenis cahaya, intensitas cahaya
68
merupakan faktor yang paling berperan terhadap kecepatan berjalannya
fotosintesis.
Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa sampai
intensitas 10.000 lux, grafik kecepatan fotosintesis bergerak linear positif. Data
penelitian tersebut adalah untuk tanaman dewasa, sedangkan untuk tanaman
muda (tingkat semai-sapihan) belum diperoleh data. Selain itu, penelitian
mengenai kekhususan sifat akan kebutuhan cahaya pada jenis-jenis tanaman
tertentu juga belum dikerjakan. Pengurangan intensitas sinar sampai 60%
berpengaruh positif nyata terhadap pertumbuhan awal tinggi dan diameter
semai kapur.
Rasyid H.A dkk (1991) lebih jauh menjelaskan bahwa penanaman jenis
Diperocarpaceae di lapangan terbuka harus mempergunakan peneduh. Jenis
tanaman peneduh yang dapat digunakan antara lain Albizia falcataria (Sengon)
atau jenis lain yang memiliki tajuk ringan dan memiliki persyaratan tempat
tumbuh yang sama dengan jenis Dipterocarpaceae yang akan ditanam
ditempat tersebut. Pada umumnya anakan meranti khususnya pada tingkat
seedling kurang tahan terhadap defisit air tanah, kecuali anakan Shorea
leprosula. Pada tempat terbuka kondisi permudaan semai umumnya berdaun
kecil dan lemah. Pada bagian hutan yang bercelah lebar umumnya banyak
dijumpai tumbuh pancang dan tiang. Permudaan tingkat semai dari jenis-jenis
meranti ringan umumnya kurang tahan terhadap naungan berat, kecuali
permudaan dari jenis-jenis meranti berat/tenggelam.
Marjenah (2001) yang mengadakan penelitian untuk jenis Shorea
pauciflora dan Shorea selanica mengemukakan, pertumbuhan tinggi dan
69
diameter tanaman dipengaruhi oleh cahaya; pertumbuhan tinggi lebih cepat
pada tempat ternaung daripada tempat terbuka. Sebaliknya, pertumbuhan
diameter lebih cepat pada tempat terbuka dari pada tempat ternaung sehingga
tanaman yang ditanam pada tempat terbuka cendrung pendek dan kekar.
Sudut percabangan tanaman lebih besar di tempat ternaung daripada di
tempat terbuka.
Simarangkir (2000) lebih lanjut memperlihatkan perbandingan besar riap
diameter jenis Dipterocarpaceae Dryobalanops Lanceolata pada lebar jalur
tanaman sebesar 56,8% pada lebar jalur tanaman 4 m dan pada lebar jalur
tanam 2 m besarnya 43,2% sehinga nilai riap diameter pada jalur tanam 4 m
lebih tinggi 5.7 mm (13,6%) dari tiap diameter dilebar jalur tanam 2 m. Hal ini
menunjukkan bahwa ruang lingkup tumbuhnya lebih memadai untuk
pertambahan diameter tanaman, disebabkan besarnya intensitas cahaya yang
diterima telah cukup dan juga lebih bebas dari himpitan atau gangguan
tanaman dari bagian samping atau sekitarnya mengakibatkan pertumbuhan
tanaman kearah bagian samping terganggu/tertekan. Lakitan (1993)
menyatakan bahwa pertumbuhan diameter batang tergantung pada
kelembaban nisbi, permukaan tajuk dan sistem perakaran juga dipengaruhi
iklim dan kondisi tanah. Tingginya suhu udara akan meningkatkan laju
transpirasi, hal ini antara lain dapat ditandai dengan turunnya kelembaban
udara relatif. Apabila hal seperti ini cukup lama berlangsung maka, dapat
menyebabkan keseimbangan air tanaman terganggu dan dapat menurunkan
pertumbuhan tanaman termasuk diameter tanaman.
Pengujian pengaruh naungan terhadap pertumbuhan diameter semai
Shorea pauciflora dan Shorea selanica secara keseluruhan menunjukkan
bahwa antara perlakuan tanpa naungan riap diameter lebih besar daripada
sarlon satu lapis dan sarlon dua lapis. Hal ini membuktikan bahwa dalam
pertumbuhannya, tumbuhan sangat memerlukan cahaya (sinar), sehingga
pada kondisi dimana tumbuhan cukup mendapatkan cahaya untuk aktivitas
fisiologisnya, tumbuhan cenderung melakukan pertumbuhan ke samping
(pertumbuhan diameter). Shorea pauciflora dan Shorea selanica yang ditanam
pada bedengan dengan naungan sarlon mempunyai luas daun yang lebih
besar daripada yang ditanam di pada tanaman sebagai akibat dari perbedaan
intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman.
Marjenah (2001) lebih lanjut menyatakan bahwa morfologi jenis
memberikan respon terhadap intensitas cahaya juga terhadap naungan.
Naungan memberikan efek yang nyata terhadap luas daun. Daun mempunyai
permukaan yang lebih besar di dalam naungan daripada jika berada pada
tempat terbuka. mengemukakan bahwa jumlah luas daun menjadi penentu
utama kecepatan pertumbuhan. Keadaan seperti ini dapat dilihat pada hasil
penelitian dimana daun-daun yang mempunyai jumlah luas daun yang lebih
besar mempunyai pertumbuhan yang besar pula.
Jumlah daun tanaman lebih banyak di tempat ternaung daripada di
tempat terbuka. Jenis yang diteliti memberikan respon terhadap perbedaan
intensitas cahaya. Daun mempunyai permukaan yang lebih besar di dalam
naungan daripada di tempat terbuka. Naungan memberikan efek yang nyata
70
71
terhadap luas daun. Tanaman yang ditanam ditempat terbuka mempunyai
daun yang lebih tebal daripada di tempat ternaung. Jumlah daun tanaman
lebih banyak di tempat ternaung daripada di tempat terbuka. Ditempat terbuka
mempunyai kandungan klorofil lebih rendah dari pada tempat ternaung.
Naungan memberikan efek yang nyata terhadap luas daun. Daun mempunyai
permukaan yang lebih besar di dalam naungan daripada di tempat terbuka.
bahwa kandungan klorofil Shorea parvifolia pada tempat terbuka mempunyai
kandungan klorofil lebih rendah yaitu 34,80 satuan, sedangkan dengan
naungan sarlon satu lapis berjumlah 42,21 satuan dan naungan sarlon dua
lapis 48,05 satuan; sedangkan Shorea smithiana pada tempat terbuka
kandungan klorofilnya 32,91 satuan, naungan sarlon satu lapis 36,49 satuan
dan naungan sarlon dua lapis 40,01 satuan. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Daniel et al (1992) bahwa daun-daun yang berasal dari posisi terbuka dan
ternaung, atau dari tumbuhan toleran dan intoleran, mempunyai morfologi yang sangat
bervariasi. Daun yang terbuka, lebih kecil, lebih tebal dan lebih menyerupai kulit
daripada daun ternaung pada umur dan jenis yang sama
Simarangkir (2000) menyatakan bahwa tanaman yang tumbuh dengan
intensitas cahaya nol persen akan mengakibatkan pengaruh yang berlawanan,
yaitu suhu rendah, kelembaban tinggi, evaporasi dan transportasi yang rendah.
Tanaman cukup mengambil air, tetapi proses fotosintensis tidak dapat
berlangsung tanpa cahaya matahari. Sedangkan Lakitan (1993) berpendapat
bahwa pengaruh cahaya terhadap pembesaran sel dan diferensiasi sel
7172
berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, ukuran daun serta batang. Pada
umumnya cahaya yang diperlukan oleh setiap jenis tanaman berbeda.
2.2.2. Ekologi Hutan
Istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos yang berarti rumah
atau tempat tinggal atau tempat hidup atau habitat, dan logos yang berarti
ilmu, telaah, studi, atau kajian (Soemarwoto, 1983; Irwan, 1992; Resosoedarmo
dkk., 1986). Oleh karena itu, secara harfiah ekologi berarti ilmu tentang makhluk
hidup dalam rumahnya atau ilmu tentang tempat tinggal makhluk hidup.
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan lingkungannya (Soerianegara dan Indrawan, 1982;
Resosoedarmo dkk., 1986). Irwan (1992), ekologi adalah ilmu
pengetahuan mengenai hubungan antara organisme dengan
lingkungannya. Dapat juga didefinisikan bahwa ekologi adalah ilmu yang
mempelajari pengaruh faktor lingkungan terhadap makhluk hidup. bahwa
ekologi adalah ilmu yang mencoba mempelajari hubungan antara tumbuhan,
binatang, dan manusia dengan lingkungan tempat mereka hidup; bagaimana
kondisi kehidupannya, dan mengapa mereka ada atau hidup di lingkungan
tersebut.
Kendeigh (1980) mengemukakan bahwa ekologi adalah ilmu yang
mempelajari hubungan timbal balik antara organisme yang satu dengan
organisme yang lain serta lingkungannya. Hubungan timbal balik itu
merupakan kenyataan yang telah terbukti sebagai respon organisme dalam
cara-caranya berhubungan dengan organisme lain maupun dengan semua
73
komponen lingkungannya. Hubungan timbal balik atau yang dikenal dalam
pengetahuan ekologi sebagai interaksi antara organisme dengan
lingkungannya, sesungguhnya merupakan hubungan yang sangat erat
dan kompleks, sehingga ekologi disebut juga sebagai biologi lingkungan
(Odum, 1993).
Lingkungan merupakan gabungan dari berbagai komponen fisik maupun
hayati yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme yang ada di
dalamnya. Jadi, lingkungan di sini mempunyai arti luas mencakup
semua hal yang ada di luar organisme yang bersangkutan, misalnya radiasi
matahari, suhu, curah hujan, kelembapan, topografi, parasit, predator, dan
kompetitor (Kendeigh, 1980; Heddy, Soemitro, dan Soekartomo, 1986).
Odum (1993) menyatakan bahwa ekologi adalah suatu studi tentang
struktur dan fungsi ekosistem atau alam dan manusia sebagai
bagiannya. Struktur ekosistem menunjukkan suatu keadaan dari sistem ekologi
pada waktu dan tempat tertentu termasuk keadaan densitas organisme,
biomassa, penyebaran materi (unsur hara), energi, serta faktor-faktor fisik dan
kimia lainnya yang menciptakan keadaan sistem tersebut. Fungsi ekosistem
menunjukkan hubungan sebab akibat yang terjadi secara keseluruhan antar
komponen dalam sistem. Hal ini jelas membuktikan bahwa ekologi
merupakan cabang i lmu yang mempelajari seluruh pola hubungan timbal
balik antara makhluk hidup yang satu dengan makhluk hidup lainnya,
serta dengan semua komponen yang ada di sekitarnya.
Adapun ekologi hutan adalah cabang dari ekologi yang khusus
mempelajari ekosistem hutan. Hutan dipandang sebagai suatu
74
ekosistem karena hubungan antara masyarakat tetumbuhan pembentuk hutan
dengan binatang liar dan alam lingkungannya sangat erat. Oleh karena itu,
hutan yang dipandang sebagai suatu ekosistem dapat dipelajari dari segi
autekologi maupun sinekologinya (Soerianegara dan Indrawan, 1982). Dari segi
autekologi, maka di hutan bisa dipelajari pengaruh suatu faktor lingkungan
terhadap hidup dan tumbuhnya suatu jenis pohon yang sifat kajiannya
mendekati fisiologi tumbuhan, dapat juga dipelajari pengaruh suatu faktor
lingkungan terhadap hidup dan tumbuhnya suatu jenis binatang liar atau
margasatwa. Bahkan dalam autekologi dapat dipelajari pola perilaku suatu
jenis binatang liar, sifat adaptasi suatu jenis binatang liar, maupun sifat
adaptasi suatu jenis pohon. Dari segi sinekologi, dapat dipelajari berbagai
kelompok jenis tumbuhan sebagai suatu komunitas, misalnya
mempelajari pengaruh keadaan tempat tumbuh terhadap komposisi dan
struktur vegetasi, atau terhadap produksi hutan. Dalam ekosistem hutan itu
bisa juga dipelajari pengaruh berbagai faktor ekologi terhadap kondisi populasi,
baik populasi tumbuhan maupun populasi binatang liar yang ada di dalamnya.
Akan tetapi pada prinsipnya dalam ekologi hutan, kajian dari kedua segi
(autekologi dan sinekologi) itu sangat penting karena pengetahuan tentang
hutan secara keseluruhan mencakup pengetahuan semua komponen
pembentuk hutan, sehingga kajian ini diperlukan dalam pengelolaan sumber
daya hutan.
Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem adalah sangat tepat,
mengingat hutan itu dibentuk atau disusun oleh banyak komponen yang
masing-masing komponen tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa dipisah-
75
pisahkan, bahkan saling memengaruhi dan saling bergantung. Berkaitan
dengan hal tersebut, perlu diperhatikan beberapa definisi tentang hutan
sebagai berikut.
(1) Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI
No. 41 Tahun 1999).
(1) Hutan adalah lapangan yang ditumbuhi pepohonan yang secara
keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam
lingkungannya atau ekosistem (Kadri dkk., 1992).
(2)Hutan adalah masyarakat tetumbuhan yang dikuasai atau
didominasi oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan
lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan
(Soerianegara dan Indrawan, 1982).
(3) Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan binatang yang hidup dalam
lapisan dan di permukaan tanah dan terletak pada suatu kawasan, serta
membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan
dinamis (Arief, 1994).
Jika ditelaah lebih mendalam tentang beberapa pengertian atau definisi
tentang hutan tersebut, maka di dalam pengertian hutan itu terkandung dan
erat kaitannya dengan proses alam yang saling berhubungan. Di antara proses
alam yang dimaksudkan antara lain (Arief, 1994), sebagai berikut :
1. Proses yang berkenaan dengan siklus air dan pengawetan tanah, dan
disebut dengan proses hidrologi. Ini berarti bahwa hutan merupakan
76
gudang penyimpanan air dan tempat penyerapan air hujan maupun
embun yang akhirnya akan mengalir air ke sungai-sungai di tengah
hutan yang memiliki mata air, dan proses ini berlangsung secara teratur
mengikuti irama alam. Selain itu, adanya komunitas tumbuhan yang
membentuk hutan bisa berperan untuk melindungi tanah dari kekuatan
erosi, serta melestarikan siklus unsur hara di dalamnya.
2. Proses pengendalian iklim maupun pengaruh iklim terhadap
eksistensi hutan. Vegetasi pembentuk hutan merupakan komponen alam
yang mampu mengendalikan iklim melalui pengendalian fluktuasi atau
perubahan unsur-unsur iklim yang ada di sekitarnya, misalnya
temperatur, kelembapan, angin, dan curah hujan, serta menentukan
kondisi iklim setempat dan iklim makro. Sebaliknya, unsur-unsur iklim
tersebut adalah komponen alam yang memengaruhi kehidupan.
Sehingga curah hujan (air), radiasi matahari, temperatur,
kelembapan, dan angin semuanya sangat memengaruhi kehidupan
yang ada di permukaan bumi.
3. Proses yang berkaitan dengan kesuburan tanah. Tanah hutan
merupakan tempat pembentukan humus yang utama dan tempat
penyimpanan unsur-unsur mineral yang dibutuhkan oleh
tetumbuhan dan akan memengaruhi komposisi dan struktur
vegetasi hutan yang terbentuk. Kesuburan tanah sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis batuan induk yang
membentuknya, kondisi selama dalam proses pembentukan, tekstur
dan struktur tanah, kelembapan tanah, suhu tanah, air tanah,
77
topografi wilayah, vegetasi, dan organisme hidup. Semua faktor tersebut
yang menyebabkan terbentuknya bermacam-macam formasi hutan dan
vegetasi hutan.
4. Keanekaragaman hayati. Hutan merupakan gudang plasma nutfah
(sumber genetik) dari berbagai jenis tumbuhan (flora) dan binatang
(fauna). Jika hutan rusak, dapat dipastikan akan terjadi erosi plasma
nutfah yang akan berakibat punahnya berbagai kehidupan yang tadinya
ada di hutan serta menurunnya keanekaragaman hayati. Perlu
diperhatikan bahwa keanekaragaman hayati merupakan sumber
daya alam yang sangat bermanfaat.
5. Kekayaan sumber daya alam. Hutan merupakan sumber daya alam
yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia karena
dapat memberikan sumbangan hasil alam yang cukup besar bagi
negara. Selain itu, hutan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar
hutan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya baik berupa
kayu, binatang liar, pangan, rumput, maupun obat-obatan.
6. Objek wisata alam. Hutan mempunyai potensi yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi, sarana untuk mengenal dan
mengagumi keagungan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dan sebagai
tempat rekreasi.
Berdasarkan atas komposisi jenis organisme yang dikaji, maka ekologi
digolongkan menjadi dua sebagai berikut.
1. Autekologi, yaitu ekologi yang mempelajari suatu spesies
organisme atau organisme secara individu yang berinteraksi
78
dengan lingkungannya. Contoh autekologi misalnya mempelajari sejarah
hidup suatu spesies organisme (baik tumbuhan maupun binatang),
perilaku, dan adaptasinya terhadap lingkungan. Jadi, jika kita
mempelajari hubungan antara pohon Pinus merkusil dengan
lingkungannya, maka itu termasuk autekologi. Contoh lain adalah
mempelajari perilaku hidup siamang (Hylobates syndactylus) di
habitat aslinya, mempelajari kemampuan adaptasi badak jawa
(Rhinoceros sundaicus) di suatu taman nasional Pulau Sumatra,
mempelajari kemampuan adaptasi pohon merbau (Intsia
palembanica) di padang alang-alang, dan lain sebagainya.
2. Sinekologi, yaitu ekologi yang mempelajari kelompok organisme yang
tergabung dalam satu kesatuan dan Baling berinteraksi dalam daerah
tertentu. Misalnya mempelajari struktur dan komposisi spesies
tumbuhan di hutan rawa, hutan gambut, atau di hutan payau,
mempelajari pola distribusi binatang liar di hutan alam, hutan wisata,
suaka margasatwa, atau di taman nasional, dan lain sebagainya.
Berdasarkan atas habitat suatu spesies atau kelompok spesies organisme,
maka ekologi dapat digolongkan sebagai berikut.
1. Ekologi daratan (terestrial), yaitu mempelajari hubungan timbal balik
antara organisme dengan organisme lainnya serta dengan semua
komponen lingkungan yang ada di wilayah daratan. Contoh wilayah
daratan adalah tegalan, kebun, ladang, hutan lahan kering, padang
rumput, atau. gurun.
2. Ekologi air tawar (freshwater), yaitu mempelajari hubungan timbal balik
79
antara organisme dengan organisme lainnya serta dengan semua
komponen lingkungan yang ada di wilayah perairan tawar. Contoh
wilayah perairan tawar adalah danau, sungai, kolam, sumur, rawa,
atau. sawah.
3. Ekologi bahari, yaitu mempelajari hubungan timbal balik antara
organisme dengan organisme lainnya serta dengan semua
komponen lingkungan yang ada di wilayah perairan asin atau
lautan.
4. Ekologi estuarin, yaitu mempelajari hubungan timbal balik antara
organisme dengan organisme lainnya serta dengan semua
komponen lingkungan yang ada di wilayah perairan payau. Contoh
wilayah perairan payau adalah muara sungai, daerah perairan
pantai dan teluk.
5. Ekologi hutan, yaitu mempelajari hubungan timbal batik antara
organisme dengan organisme lainnya serta dengan semua
komponen lingkungan yang ada di ekosistem hutan.
6. Ekologi padang rumput, yaitu mempelajari hubungan timbal balik antara
organisme dengan organisme lainnya serta dengan semua komponen
lingkungan yang ada di ekosistem padang rumput.
Mempelajari ekologi hutan merupakan kegiatan manusia secara
menyeluruh dengan tujuan mengarahkan atau memelihara ekosistem hutan
dalam keadaan yang memungkinkan untuk selalu bisa dijadikan sebagai
sumber pemenuhan kebutuhan manusia sepanjang masa. Mengingat hutan
merupakan suatu ekosistem, dan setiap ekosistem apapun dibentuk oleh
80
banyak komponen baik komponen hayati maupun komponen non hayati, maka
semua informasi tentang masing-masing komponen sangat penting, dan
untuk itu diperlukan bidang ilmu yang relevan terhadap kajian komponen
ekosistem. Oleh karena itu, beberapa bidang ilmu yang relevan dengan ekologi
hutan diuraikan sebagai berikut (Arief, 1994; Soerianegara dan Indrawan,
1982).
Tanah adalah tubuh alam (bumi) yang berasal dari berbagai campuran
hasil pelapukan oleh iklim dan terdiri atas komposisi bahan organik dan
anorganik yang menyelimuti bumi, sehingga mampu menyediakan air, udara,
dan hara bagi tumbuhan, serta sebagai tempat berdiri tegaknya tumbuh-
tumbuhan. Ilmu tanah murni disebut pedologi, sedangkan ilmu yang mempelajari
tanah dari sudut pandang sebagai faktor tempat tumbuh disebut edafologi.
Kesuburan tanah memengaruhi keadaan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di
atasnya. Kesuburan tanah akan berpengaruh terhadap tipe vegetasi yang
terbentuk serta berpengaruh terhadap keproduktifan hutan. Oleh karena itu,
tanah merupakan salah satu faktor pembatas alam yang memengaruhi
pertumbuhan semua spesies tumbuhan, struktur, dan komposisi vegetasi,
sehingga akan berpengaruh terhadap tipe hutannya.
Indriyanto (2005) menyatakan bahwa kajian dari segi autekologi
terhadap makhluk hidup yang ada di dalam hutan hampir sama dengan kajian
fisiologi (fisiologi tumbuhan maupun fisiologi hewan). Telah dikemukakan
bahwa fisiologi mempelajari proses kerja yang terjadi dalam tubuh
organisme. Salah satu proses yang terjadi di dalam tubuh organisme ada
proses yang bersifat kimia yang dinamakan proses biokimia. Sebagai contoh
81
pengetahuan tentang proses pembentukan resin pada pohon anggota genus
Pinus, pembentukan damar pada pohon anggota famili Dipterocarpaceae,
pembentukan lateks pada pohon Hevea brassiliensis, Dyers costulata,
pembentukan kopal pada pohon anggota genus Agathis, pembentukan
kemenyan pada pohon Styrax benzoin, dan pengetahuan tentang proses
biokimia lainnya sangat diperlukan. Hal ini dimaksudkan agar dapat
diketahui unsur-unsur lingkungan apa yang berpengaruh terhadap
produksi resin, damar, lateks, kopal, atau kemenyan.
Sebuah ekosistem terdiri atas komponen hayati (makhluk hidup) dan
non hayati yang antara kedua komponen tersebut saling berinteraksi (Odum,
1993). Sehingga hubungan timbal balik (interaksi) antara tumbuhan,
binatang, manusia, dan unsur lingkungan lainnya di mana tumbuhan, binatang,
atau manusia itu hidup, bagaimana mereka hidup, dan mengapa mereka hidup
di suatu habitat.
Cagar alam dan suaka margasatwa, taman burung dan taman wisata,
taman laut, taman nasional, hutan lindung, dan hutan produksi, semuanya
merupakan suatu ekosistem. Manusia yang memanfaatkan atau mengelola
ekosistem tersebut harus mempunyai pengetahuan ekologi (ekologi hutan)
dan mau menerapkan dalam setiap kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan
hutan, sehingga hutan dapat dimanfaatkan secara maksimal dan
kelestariannya terjamin. Bahkan seharusnya pengetahuan ekologi hutan
menjadi prasyarat bagi profesi rimbawan, bagi para. petugas yang mengelola
ekosistem hutan, bagi para pecinta alam dan lingkungan, dan bagi siapa pun
yang ingin memanfaatkan atau mempunyai kepentingan dengan ekosistem
82
hutan (Manan, 1978). Dengan demikian, kesalahan yang mungkin terjadi
dalam melakukan pengelolaan terhadap semua jenis ekosistem hutan dapat
dicegah dan dihindari.
Dalam bidang pembinaan hutan, dapat dikemukakan bahwa
silvikultur sesungguhnya sama dengan penerapan ekologi hutan untuk aspek
budi daya pohon hutan. Manan (1978) menyatakan bahwa pentingnya
menerapkan konsep ekologi dalam perhutanan, hal itu sebagai respons
terhadap adanya upaya penanaman secara monokultur yang dilakukan besar-
besaran. Sesungguhnya yang dinamakan silvikultur intensif (intensive
silviculture) itu hanya bisa bertahan jika dilakukan pemberian pupuk,
pemberantasan hama dan penyakit, Beserta perlindungan secara intensif
terhadap kebakaran. Gejala tersebut sudah mulai tampak dan terasa dalam
pengelolaan hutan jati dan hutan tusam di Indonesia, sehingga memang
lebih baik berhatihati dalam membangun hutan monokultur, tegakan murni,
ataupun hutan seumur dalam Skala besar.
Berdasarkan atas uraian di atas, maka logis (masuk akal) bahwa setiap
langkah dan tindakan manusia dalam mengelola sumber daya alam seperti air,
tanah, mineral, minyak bumi, energi, dan hutan akan selalu mengakibatkan
perubahan yang positif maupun negatif. Dalam hal demikian, pengetahuan
ekologi dapat membantu manusia untuk memanfaatkan dan melestarikan
sumber daya alam. Oleh karena itu, di bidang perhutanan, kesalahan
pengelolaan hutan dapat dihindari jika semua orang yang terkait dengan
ekosistem hutan itu memahami aturan main ekologi yang disebut sebagai
konsep ekologi.
83
Penebangan hutan atau penjarangan pohon yang dilakukan terlalu
keras, kesalahan memilih jenis pohon untuk reboisasi, pemasukan jenis asing
tanpa pengujian dan percobaan lapangan terlebih dahulu, konversi
hutan alam di pegunungan menjadi hutan tanaman monokultur,
penebangan hutan tanpa keahlian rimbawan, pembakaran hutan,
perladangan berpindah, dan kegiatan lain yang merusak ekosistem
hutan, semuanya akan berakibat parch dan mengancam kelestarian sumber
daya hutan di Indonesia. Dengan demikian, para rimbawan dan calon
rimbawan harus berpandangan jauh ke depan tentang kelestarian hutan,
dan perlu membekali diri dengan pengetahuan ekologi hutan. Menurut
saran yang dikemukakan oleh Manan (1978): "Lebih baik berhemat dalam
memanfaatkan kekayaan nasional berupa hutan daripada di kemudian hari
kita dan generasi kita mewarisi jutaan hektar padang alang-alang yang
gersang."
2.2.3. Ekosistem Hutan
Istilah ekosistem pertama kali diusulkan oleh seorang ahli ekologi
berkebangsaan Inggris bernama A.G. Tansley pada tahun 1935,
meskipun tentu saja konsep itu sama sekali bukan merupakan konsep yang
baru. Terbukti bahwa sebelum akhir tahun 1800-an, pernyataan resmi tentang
istilah dan konsep yang berkaitan dengan ekosistem mulai terbit cukup menarik
dalam literatur-literatur ekologi di Amerika, Eropa, dan Rusia (Odum, 1993).
Beberapa penulis lain telah menggunakan istilah yang berbeda, tetapi
maksudnya sama dengan ekosistem. Misalnya pada tahun 1877 seorang ahli
84
ekologi bangsa Jerman bernama Karl Mobius telah menulis tentang komunitas
organisme dalam batu karang, dan menggunakan istilah yang mempunyai
makna sama dengan ekosistem yaitu biocoenosis (biokoenosis). Pada tahun
1887 seorang ahli ekologi berkebangsaan Amerika bernama S.A. Forbes telah
menulis karangan kuno tentang danau, dan menggunakan istilah yang
mempunyai makna sama dengan ekosistem, yaitu microcosm (mikrokosm).
Pada periode tahun 1846-1903 seorang ahli ekologi bangsa Rusia bernama V.V.
Dokuchaev dan seorang ahli ekologi hutan bangsa Rusia bernama G.F.
Morozov telah menaruh perhatian besar terhadap ekosistem dan menggunakan
istilah yang mempunyai makna sama dengan ekosistem yaitu
biokoenosis, sedangkan di kalangan ahli ekologi bangsa Rusia Bering
menggunakan istilah geobiokoenosis yang memiliki makna sama dengan
ekosistem. Demikian juga masih ada ahli-ahli ekologi lainnya yang telah
menggunakan istilah yang mempunyai makna sama dengan ekosistem antara
lain: Friederichs pada tahun 1930 menggunakan istilah holocoenl holokoen,
Thieneman pada tahun 1939 menggunakan istilah biosystem-biosistem,
Vernadsky pada tahun 1944 menggunakan istilah bioenert body (Odum, 1993).
Beberapa definisi tentang ekosistem dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Ekosistem, yaitu suatu unit ekologi yang di dalamnya terdapat struktur
dan fungsi (Setiadi, 1983). Struktur yang dimaksudkan dalam definisi
ekosistem tersebut adalah berhubungan dengan keanekaragaman
spesies (species diversity). Pada ekosistem yang strukturnya kompleks,
maka akan memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi. Adapun kata
fungsi yang dimaksudkan dalam definisi ekosistem menurut A.G. Tansley
85
adalah berhubungan dengan siklus materi dan arus energi melalui
komponen-komponen ekosistem.
2. Ekosistem, yaitu tatanan kesatuan secara kompleks di dalamnya terdapat
habitat, tumbuhan, dan binatang yang dipertimbangkan sebagai unit
kesatuan secara utuh, sehingga semuanya akan menjadi bagian
mats rantai siklus materi dan aliran energi (Setiadi, 1983).
3. Ekosistem, yaitu unit fungsional dasar dalam ekologi yang di dalamnya
tercakup organisms dan lingkungannya (lingkungan biotik dan abiotik)
dan di antara keduanya saling memengaruhi (Odum, 1993). Ekosistem
dikatakan sebagai suatu unit fungsional dasar dalam ekologi karena
merupakan satuan terkecil yang memiliki komponen secara lengkap,
memiliki relung ekologi secara lengkap, serta terdapat proses ekologi secara
lengkap, sehingga di dalam unit ini siklus materi dan arus energi terjadi
sesuai dengan kondisi ekosistemnya.
4. Ekosistem, yaitu tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap
unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi (UU Lingkungan Hidup
Tahun 1999). Unsur-unsur lingkungan hidup baik unsur biotik maupun
abiotik, baik makhluk hidup maupun benda coati, semuanya tersusun
sebagai satu kesatuan dalam ekosistem yang masing-masing tidak bisa
berdiri sendiri, tidak bisa hidup sendiri, melainkan saling
berhubungan, saling mempengaruhi, saling berinteraksi, sehingga tidak
dapat dipisah-pisahkan.
5. Ekosistem, yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh
hubungan t imbal ba l ik antara makhluk hidup dengan
86
lingkungannya. Tingkatan organisasi ini dikatakan sebagai suatu sistem
karena memiliki komponen dengan fungsi berbeda yang terkoordinasi
secara baik sehingga masing-masing komponen terjadi hubungan timbal
balik. Hubungan timbal balik terwujudkan dalam rantai makanan yang pada
setiap proses ini terjadi aliran energi dan siklus materi.
Semua ekosistem, baik ekosistem terestrial (daratan) maupun
akuatik (perairan) terdiri atas komponen-komponen yang dapat dikelompokkan
berdasarkan segi trofik atau nutrisi dan segi struktur dasar ekosistem (Odum,
1993). Pengelompokan masing-masing komponen ekosistem dari tiap segi
tersebut berdasarkan atas segi struktur dasar ekosistem, maka komponen
ekosistem terdiri atas dua jenis sebagai berikut (Gopal dan Bhardwaj, 1979;
Setiadi, 1983) sebagai berikut :
1. Komponen biotik (komponen makhluk hidup), misalnya tetumbuhan dan
mikroba.
2. Komponen abiotik (komponen benda coati), misalnya air, udara, tanah, dan
energi.
Berdasarkan segi trofik atau nutrisi, maka komponen biotik dalam
ekosistem terdiri atas dua jenis sebagai berikut (Odum, 1993; Gopal dan
Bhardwaj, 1979; Resosoedarmo dkk., 1986; Irwin, 1992).
1. Komponen autotrofik (autotrophic). Kata autotrofik berasal dari kata autos
artinya sendiri, dan trophikos artinya menyediakan makanan. Komponen
autotrofik, yaitu organisme yang mampu menyediakan atau mensintesis
makanannya sendiri berupa bahan organik berasal dari bahan-bahan
anorganik dengan bantuan klorofil dan energi utama berupa radiasi
87
matahari. Oleh karena itu, organisme yang mengandung klorofil termasuk
ke dalam golongan autotrof dan pada umumnya adalah golongan
tetumbuhan. Pada komponen autrofik terjadi pengikatan energi radiasi
matahari dan sintesis bahan anorganik menjadi bahan organik kompleks.
2. Komponen heterotrofik (heterotrofhic). Kata heterotrof berasal dari kata
hetero artinya berbeda atau lain, dan trophikos artinya menyediakan
makanan. Komponen heterotrofik, yaitu organisme yang hidupnya selalu
memanfaatkan bahan organik sebagai bahan makanannya, sedangkan
bahan organik yang dimanfaatkan itu disediakan oleh organisme lain. Jadi,
komponen heterotrofik memperoleh bahan makanan dari komponen
autotrofik, kemudian sebagian anggota komponen ini menguraikan
bahan organik kompleks ke dalam bentuk bahan anorganik yang
sederhana. Dengan demikian, binatang, jamur, jasad renik termasuk ke
dalam golongan komponen heterotrofik.
Odum (1993) mengemukakan bahwa semua ekosistem apabila ditinjau
dari segi struktur dasarnya terdiri atas empat komponen. Pernyataan yang
serupa juga dikemukakan oleh Resosoedarmo dkk. (1986) bahwa ekosistem
ditinjau dari segi penyusunnya terdiri atas empat komponen, yaitu komponen
abiotik, komponen biotik yang mencakup produsen, konsumen, dan pengurai.
Masing-masing dari empat komponen tersebut diuraikan sebagai berikut.
1. Komponen abiotik (benda coati atau nonhayati), yaitu komponen fisik dan
kimia yang terdiri etas tanah, air, udara, sinar matahari, dan lain sebagainya
yang berupa medium atau substrat untuk berlangsungnya kehidupan.
Setiadi (1983), komponen biotik dari suatu ekosistem dapat meliputi
88
senyawa dari elemen inorganik misalnya tanah, air, kalsium, oksigen,
karbonat, fosfat, dan berbagai ikatan senyawa organik. Selain itu, juga ada
faktorfaktor fisik yang terlibat misalnya uap air, angin, dan radiasi matahari.
2. Komponen produsen, yaitu organisme autotrofik yang pada umumnya
berupa tumbuhan hijau. Produsen menggunakan energi radiasi matahari
dalam proses fotosintesis, sehingga mampu mengasimilasi CO2 dan H20
menghasilkan energi kimia yang tersimpan dalam karbohidrat. Energi kimia
inilah sebenarnya merupakan sumber energi yang kaya senyawa karbon.
Dalam proses fotosintesis tersebut, oksigen dikeluarkan oleh tumbuhan hijau
kemudian dimanfaatkan oleh semua makhluk hidup di dalam proses
pernapasan.
3. Komponen konsumen, yaitu organisme heterotrofik misalnya binatang dan
manusia yang makan organisme lain. Jadi, yang disebut sebagai konsumen
adalah semua organisme dalam ekosistem yang menggunakan hasil
sintesis (bahan organik) dari produsen atau dari organisme lainnya.
Berdasarkan kategori tersebut, make yang termasuk konsumen adalah
semua jenis binatang dan manusia yang terdapat dalam suatu ekosistem.
Konsumen dapat digolongkan ke dalam: konsumen pertama, konsumen
kedua, konsumen ketiga, clan mikrokonsumen (Resosoedarmo dkk., 1986;
Setiadi, 1983).
a. Konsumen pertama adalah golongan herbivora, yaitu binatang yang
makan tetumbuhan hijau. Contoh organisme yang termasuk herbivora
adalah serangga, rodensia, kelinci, kijang, sapi, kerbau, kambing,
zooplankton, crustaceae, dan mollusca.
89
b. Konsumen kedua adalah golongan karnivora kecil clan omnivore.
Karnivora kecil, yaitu binatang yang berukuran tubuh lebih kecil dari
karnivora besar dan memakan binatang lain yang masih hidup, misalnya
anjing, kucing, rubah, anjing hutan, burung prenjak, burung jalak, dan
burung gagak.
c. Konsumen ketiga adalah golongan karnivora besar (karnivora tingkat
tinggi). Karnivora besar, yaitu binatang yang memakan atau memangsa
karnivora kecil, herbivore, maupun omnivore, misalnya singe, harimau,
serigala, dan burung rajawali.
d. Mikrokonsumen adalah tumbuhan atau binatang yang hidupnya
sebagai parasit, scavenger, dan saproba. Parasit tumbuhan maupun
binatang hidupnya bergantung kepada sumber makanan dari
inangnya. Sedangkan scavenger dan saproba hidup dengan makan
bangkai binatang dan tumbuhan yang telah mati.
4. Komponen pengurai, yaitu mikroorganisme yang hidupnya
bergantung kepada bahan organik dari organisme mati (binatang,
tumbuhan, dan manusia yang telah mati). Mikroorganisme pengurai
tersebut pada umumnya terdiri atas bakteri dan jamur. Berdasarkan atas
tahap dalam proses penguraian bahan organik dari organisme mati, make
organisme pengurai terbagi atas dekomposer dan transformer (Setiadi,
1983). Dekomposer, yaitu mikroorganisme yang menyerang bangkai
hewan dan sisa tumbuhan mati, kemudian memecah bahan organik
kompleks ke dalam ikatan yang lebih sederhana, dan proses dekomposisi
itu disebut humifikasi yang menghasilkan humus. Transformer, yaitu
90
mikroorganisme yang meneruskan proses dekomposisi dengan mengubah
ikatan organik sederhana ke dalam benhik bahan anorganik yang
siap dimanfaatkan lagi oleh produsen (tetumbuhan), dan proses
dekomposisi itu disebut mineralisasi yang menghasilkan zat hara.
Pada semua ekosistem dengan tingkat organisasi yang berbeda-
beda, di dalamnya selalu terdapat empat komponen utama, selalu terjadi
interaksi antar komponen, dan terdapat proses ekologi yang secara umum
sama (Resosoedarmo dkk., 1986). Perbedaan antarekosistem yang
tingkat organisasinya berbeda itu hanya terletak pada beberapa hal antara lain:
1. jumlah spesies organisme produsen yang menjadi komponen ekosistem,
2. jumlah spesies organisme konsumen yang menjadi komponen
ekosistem,
3. jumlah spesies organisme pengurai yang menjadi komponen ekosistem,
4. jumlah dan jenis komponen abiotik yang terdapat dalam ekosistem,
5. kompleksitas atau kerumitan interaksi antarkomponen dalam ekosistem,
6. tiap-tiap proses ekologi yang berjalan dalam ekosistem.
Irwan (1992), bahwa ekosistem itu mempunyai keteraturan sebagai
perwujudan dari kemampuan ekosistem untuk memelihara diri sendiri,
mengatur diri sendiri, dan dengan sendirinya mengadakan keseimbangan
kembali. Keseimbangan yang terdapat dalam suatu ekosistem disebut
homeostatis, yaitu kemampuan ekosistem untuk menahan berbagai perubahan
dalam sistem secara keseluruhan (Resosoedarmo dkk., 1986).
Homeostatic berasal dari kata homeo yang artinya sama, dan static
yang artinya berdiri (Odum, 1993). Oleh karena itu, homeostatis itu
91
sesungguhnya adalah kestabilan yang dinamis, karena perubahan-perubahan
yang terjadi pada ekosistem akan tetap mengarah kepada tercapainya
keseimbangan barn. Keseimbangan ekosistem itu diatur oleh berbagai faktor
yang sangat kompleks (rumit). Faktor-faktor yang terlibat dalam mekanisme
keseimbangan ekosistem antara lain mencakup mekanisme yang
mengatur penyimpanan bahan-bahan, pelepasan hara, pertumbuhan
organisme dan populasi, proses produksi, serta dekomposisi bahan-
bahan organik.
Berdasarkan uraian tersebut, maka kondisi ekosistem dalam
keseimbangan (homeostatis) mempunyai arti bahwa ekosistem itu telah
mantap atau telah mencapai klimaks, sehingga ekosistem mempunyai daya
tahan yang besar untuk menghadapi berbagai gangguan yang .
menimpannya. Daya tahan ekosistem dalam menghadapi gangguan
sangat bergantung kepada usia dari ekosistem tersebut. Ekosistem muda
tentu mempunyai daya tahan yang lebih rendah dibandingkan dengan
ekosistem dewasa (tua).
Daya tahan ekosistem yang besar menunjukkan bahwa ekosistem
mampu menghadapi gangguan, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi
akibat gangguan itu masih ditolerir bahkan ekosistem mampu pulih kembali
dan menuju kepada kondisi keseimbangan. Berkaitan dengan daya tahan
ekosistem seperti tersebut, di dalam ekologi terdapat istilah yang dikenal
dengan daya lenting. Soemarwoto (1983), daya lenting (resilience)
menunjukkan kemampuan ekosistem untuk pulih setelah terkena
gangguan. Makin cepat kondisi ekosistem itu pulih berarti makin pendek
92
masa pulih, makin banyak gangguan yang dapat ditanggulangi, sehingga
berarti juga makin besar atau makin tinggi daya lentingnya.
Suatu ekosistem yang ingin dipertahankan sifat-sifatnya seperti taman
nasional, cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata, taman burung, taman
hutan raga, serta jenis ekosistem lainnya, harus memiliki daya lenting yang
tinggi. Irwan (1992) mengemukakan bahwa setiap ekosistem akan
memberikan tanggapan (respons) terhadap suatu gangguan. Tanggapan
ekosistem terhadap gangguan dilakukan sesuai dengan daya lentingnya.
Daya lenting merupakan sifat suatu ekosistem yang memberikan
kemungkinan ekosistem tersebut pulih kembali ke keseimbangan semula
setelah mengalami gangguan. Oleh karena itu, suatu ekosistem yang
mendapat gangguan ada kemungkinan kembali kepada kondisi keseimbangan
seperti semula atau juga berkembang menuju kepada keseimbangan baru
yang berbeda dengan kondisi awal, hal demikian bergantung kepada
besar kecilnya gangguan yang dialami dan bergantung kepada besar kecilnya
daya lenting yang dimiliki ekosistem.
Gangguan yang jauh melebihi daya lenting suatu eksosistem, akan
menciptakan dinamika yang mengarah kepada terbentuknya kondisi
ekosistem yang menyimpang atau berbeda dengan ekosistem
sebelumnya. Bahkan Resosoedarmo dkk. (1986) mengemukakan bahwa suatu
ekosistem itu mempunyai daya lenting (daya tahan) yang besar, tetapi pada
umumnya batas mekanisme keseimbangan dinamis (homeostatic) masih dapat
diterobos oleh kegiatan manusia. Misalnya aktivitas penebangan/eksploitasi
hutan alam yang berlebihan, apalagi penebangan liar serta perambahan yang
93
dilakukan terhadap kawasan pelestarian alam (taman nasional, hutan wisata,
suaka alam, dan lain sebagainya), dan hutan lindung merupakan suatu
kegiatan yang seringkah melampaui batas mekanisme homeostatic
dalam ekosistem hutan. Kegiatan inilah yang disebut dengan merusak hutan
karena ekosistem hutan dapat berubah secara permanen atau bahkan rusak
sama sekali.
Semua makhluk hidup mempunyai tempat hidup yang disebut habitat
(Soemarwoto, 1983; Resosoedarmo dkk., 1986; Irwan, 1992; Odum, 1993).
Kalau kita ingin mencari atau ingin berjumpa dengan suatu organisme tertentu,
maka harus tabu lebih dahulu tempat hidupnya (habitat), sehingga ke habitat
itulah kita pergi untuk mencari atau berjumpa dengan organisme
tersebut. Oleh sebab itu, habitat suatu organisme bisa juga disebut alamat
organisme itu (Resosoedarmo dkk., 1986; Irwan, 1992).
Semua organisme atau makhluk hidup mempunyai habitat atau tempat
hidup. Contohnya, habitat pans dan ikan hie adalah air laut, habitat ikan mas
adalah air tawar, habitat buaya muara adalah perairan payau, habitat monyet
dan harimau adalah hutan, habitat pohon bakau adalah daerah pasang curet,
habitat pohon butun dan ketapang adalah hutan pantai, habitat Cemara di
gunung adalah hutan dataran tinggi, habitat manggis adalah hutan dataran
rendah dan hutan rawa, habitat ramin adalah hutan gambut dan daerah
dataran rendah lainnya, pohon-pohon anggota famili pada umumnya hidup di
daerah dataran rendah, pohon aren habitatnya di tanah darat dataran
rendah hingga daerah pegunungan, dan pohon durian habitatnya di
tanah darat dataran rendah.
Istilah habitat dapat juga dipakai untuk menunjukkan tempat
tumbuh sekelompok organisme dari berbagai spesies yang membentuk suatu.
komunitas. untuk tempat hidup suatu padang rumput dapat menggunakan
habitat padang rumput, untuk hutan mangrove dapat menggunakan istilah
habitat hutan mangrove, untuk hutan pantai dapat menggunakan habitat
hutan pantai, untuk hutan rawa dapat menggunakan habitat hutan
rawa, dan lain sebagainya. Dalam hal seperti ini, maka habitat sekelompok
organisme mencakup organisme lain yang merupakan komponen lingkungan
(komponen lingkungan biotik) dan komponen lingkungan abiotik
(Resosoedarmo dkk., 1986). bahwa habitat suatu organisme itu pada
umumnya mengandung faktor ekologi yang sesuai dengan persyaratan hidup
organisme yang menghuninya. Persyaratan hidup setiap organisme
merupakan kisaran faktor-faktor ekologi yang ada dalam habitat dan diperlukan
oleh setiap organisme untuk mempertahankan hidupnya. Kisaran faktor-faktor
ekologi bagi setiap organisme memiliki perbedaan pada batas bawah disebut
titik minimum, batas atas disebut titik maksimum, di antara titik minimum dan
titik maksimum disebut titik optimum. Ketiga titik tersebut dinamakan titik
kardinal.
Oleh karena itu, setiap organisme mempunyai habitat yang sesuai
dengan kebutuhannya. Apabila ada gangguan yang menimpa pada habitat
akan menyebabkan terjadi perubahan pada komponen habitat, sehingga ada
kemungkinan habitat menjadi tidak cocok bagi organisme yang menghuninya.
Jadi, apabila kondisi habitat berubah hingga di luar titik minimum dan
maksimum (di luar kisaran faktor-faktor ekologi) yang diperlukan oleh
94
95
setiap organisme di dalamnya, maka organisme itu dapat pindah (migrasi) ke
tempat lain. Jika perubahan yang terjadi dalam habitat berjalan lambat,
misalnya berjalan selama beberapa generasi, maka organisme yang
menghuninya pada umumnya bisa menyesuaikan diri dengan kondisi yang
baru meskipun di luar batas-batas semula. Melalui proses adaptasi
(penyesuaian diri) tersebut, lama-lama terbentuklah ras-ras baru yang
mempunyai sifat berbeda dengan sebelumnya.
Perlu diketahui bahwa habitat organisme bisa lebih dari satu
tempat. Misalnya burung pipit mempunyai habitat di sawah untuk aktivitas
mencari makan, juga mempunyai habitat di atas pepohonan untuk bertelur.
Habitat ikan salem ketika dewasa adalah di laut, waktu akan bertelur pindah
habitatnya di sungai, bahkan sampai ke hulu sungai. Ikan salem bertelur
di hulu sungai dan anak yang telah ditetaskan akan tinggal bertahun-tahun
di sungai, kemudian ketika memasuki fase dewasa ikan salem itu pindah
habitat lagi ke laut (Soemarwoto, 1983). Pohon matoa (Pometia pinnata)
mempunyai habitat di pinggir sungai, juga di daerah yang bertanah liat, tanah
pasir atau lempung di hutan daratan dataran rendah hingga di hutan
pegunungan (ketinggian tempat kurang dari 1.700 m dpl.). Pohon
kempas (Koompassia malaccensis) mempunyai habitat di hutan rawa, juga
di hutan daratan dengan tanah liat atau pasir yang ketinggian tempatnya
adalah 0-600 m dpl.
Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu
organisme dalam ekosistem (Heddy dkk., 1986). Resosoedarmo dkk. (1986),
relung yaitu posisi atau status organisme dalam suatu komunitas atau
96
ekosistem tertentu. Relung suatu organisme ditentukan oleh tempat
hidupnya (habitat) dan oleh berbagai fungsi yang dikerjakannya,
sehingga dikatakan sebagai profesi organisme dalam habitatnya. Profesi
organisme menunjukkan fungsi organisme dalam habitatnya. Berbagai
organisme dapat hidup bersama dalam satu habitat. Akan tetapi, jika dua
atau lebih organisme mempunyai relung yang sama dalam satu habitat, maka
akan terjadi persaingan. Makin besar kesamaan relung dari organisme-
organisme yang hidup bersama dalam satu habitat, maka makin intensif
persaingannya.
Energi didefinisikan sebagai kemampuan untuk melakukan kerja (Odum,
1993). Manusia memerlukan energi untuk berjalan, untuk berpikir, dan untuk
aktivitas lainnya. Bentuk-bentuk energi yang nyata berguna bagi organisme
hidup dapat berupa energi mekanik, energi kimia, energi radiasi, dan energi
panas. Energi yang dimiliki oleh setiap organisme hidup adalah energi kimia
yang diperoleh dari makanannya dalam bentuk protein, karbohidrat,
lemak, dan sebagainya. Energi tersebut diciptakan pertama kali pada tingkatan
produsen, yaitu tumbuhan hijau dengan mengubah energi matahari ke dalam
bentuk energi potensial. Energi potensial adalah energi yang tersimpan dan
dapat digunakan untuk melakukan kerja, contohnya protein, karbohidrat,
dan lemak. Adapun energi kinetik merupakan energi yang terlepaskan
atau energi yang dibebaskan oleh organisme berupa energi gerak. bahwa
energi di alam bebas atau di dalam ekosistem ini tunduk pada hukum
termodinamika, yaitu hukum termodinamika I dan hukum termodinamika II
(Odum, 1993 dalam Indriyanto, 2005), sebagai kerikut :
1. Hukum termodinamika I berbunyi: "energi dapat diubah dari satu bentuk
energi ke bentuk energi yang lain, tetapi tidak pernah dapat diciptakan atau
dimusnahkan". Misalnya, energi cahaya sebagai bentuk energi dapat
diubah menjadi energi kinetik, dapat diubah menjadi energi panas, dan
dapat diubah menjadi energi potensial dalam suatu makanan bergantung
kepada keadaan, tetapi tak satu pun dari energi tersebut dimusnahkan,
bahwa penyerapan radiasi matahari oleh daratan dan lautan akan
mengakibatkan adanya suatu daerah yang panas dan dingin, timbul
perbedaan tekanan udara antar daerah panas dan dingin, sehingga
timbullah gerakan udara dari daerah bertekanan udara tinggi ke daerah
bertekanan udara rendah. Gerakan udara itu yang disebut angin dan dapat
dimanfaatkan untuk menggerakkan kincir angin untuk berbagai keperluan.
Hal itu suatu bukti bahwa energi tidak dimusnahkan, tetapi diubah dari
bentuk energi yang satu ke bentuk energi lainnya. Memang hukum
tersebut menerangkan bahwa energi itu dapat diubah-ubah bentuknya,
dan semua energi yang memasuki organisme, populasi, atau
ekosistem dapat dianggap sebagai energi yang tersimpan atau
terlepaskan. Jadi, organisme dapat dianggap sebagai salah satu komponen
pengubah energi dalam sistem ekologi.
2. Hukum termodinamika II berbunyi: "setiap terjadi perubahan bentuk energi,
pasti terjadi degradasi energi dari bentuk energi yang terpusat menjadi
bentuk energi yang terpencar, dan di dalam proses transformasi energi
selalu melepaskan panas dalam bentuk energi yang tidak dapat digunakan".
Misalnya, benda yang panas pasti akan menyebarkan panas ke lingkungan
97
98
yang suhunya lebih rendah. Dalam proses fotosintesis tidak semua energi
radiasi matahari yang diterima oleh tumbuhan hijau diubah menjadi energi
kimia (energi potensial) dalam bentuk pangan (karbohidrat, protein, dan
lemak), tetapi sebagian dari energi itu dilepaskan ke lingkungan sebagai
energi panas. Oleh karena itu, tidak ada sistem pengubahan energi yang
berjalan secara efisien (tidak ada. yang 100%). Hukum ini berguna untuk
menerangkan bahwa meskipun energi itu tidak pernah hilang (tidak pernah
musnah atau hancur) dari sistem alam, tetapi energi tersebut sebagian
akan berubah menjadi bentuk energi yang kurang bermanfaat. Misalnya,
suatu energi yang diambil binatang dari tumbuhan atau dari binatang lain
biasanya dalam bentuk makanan padat dan bermanfaat untuk keperluan
hidupnya. Akan tetapi, sebagian dari energi itu akan keluar dari tubuh
binatang berupa energi panas karena melakukan kegiatan. Energi panas
inilah merupakan energi yang terbuang tanpa guna.
Kedua proses tersebut (aliran energi dan siklus materi) berjalan melalui
rantai makanan. Adanya aliran energi dan siklus materi yang berjalan melalui
rantai makanan, menyebabkan rantai makanan menjadi salah satu proses ekologi
yang mewujudkan hubungan timbal balik antar organisme atau dengan
lingkungannya. Di samping itu, berdasarkan tingkat energi yang diperoleh
setiap komponen dalam rantai makanan (mencakup produsen dan konsumen),
maka komponen tersebut dapat digolongkan ke dalam beberapa golongan sesuai
dengan tingkat energi atau tingkat nutrisi yang disebut dengan tingkat trofik.
Rantai makanan, yaitu transfer atau pemindahan energi dari sumbernya
melalui serangkaian organisme yang dimakan dan yang memakan (Odum,
99
1993). Mengingat energi makanan itu ada dalam bentuk energi kimia atau
energi potensial, dan di dalamnya mengandung energi dan materi, maka rantai
makanan dapat didefinisikan sebagai transfer atau pemindahan energi
dan materi melalui serangkaian organisme.
Di dalam suatu ekosistem hanya tumbuhan hijau yang mampu
menangkap energi radiasi matahari dan mengubahnya ke dalam bentuk energi
kimia dalam tubuh tumbuhan, misalnya karbohidrat, protein, dan lemak. Energi
makanan yang dibuat oleh tumbuhan hijau itu sebagian digunakan untuk dirinya
sendiri dan sebagian lagi merupakan sumber daya yang dimanfaatkan oleh
herbivore. Herbivore dimangsa oleh karnivora, dan karnivora dimangsa oleh
karnivora lainnya, demikian seterusnya terjadilah proses pemindahan energi
dan materi dari satu organisme ke organisme lain dan ke lingkungannya. Dari hal
tersebut dapat terlihat bahwa suatu kehidupan dapat menyokong kehidupan
lainnya. Dengan kata lain, dari satu organisme ke organisme yang lain akan
terbentuk suatu rantai yang disebut dengan rantai makanan. Semakin pendek
rantai makanan, maka semakin dekat jarak antara organisme pada permulaan
rantai dan organisme pada ujung rantai, sehingga semakin besar energi yang
dapat disimpan dalam tubuh organisme di ujung rantai makanan
(Resosoedarmo dkk., 1986).
Pada prinsipnya, rantai makanan dapat dibedakan ke dalam tiga
kelompok sebagai berikut.
1. Rantai pemangsa, yaitu pemindahan energi dan materi dari produsen
(tumbuhan) ke binatang kecil, kemudian ke binatang yang besar, dan
berakhir pada binatang paling besar termasuk manusia.
100
2. Rantai parasit, yaitu pemindahan energi dan materi dari organisme besar ke
organisme kecil.
3. Rantai saprofit, yaitu pemindahan energi dan materi dari organisme coati
(bahan organik) ke mikroorganisme atau jasad renik.
Jaringan makanan, yaitu gabungan dari berbagai rantai makanan
(Odum, 1993). Semua rantai makanan dalam suatu ekosistem tidak berdiri
sendiri, melainkan saling berkaitan antar rantai makanan. Bahkan di dalam
ekosistem, ketiga kelompok rantai makanan yang telah disebutkan di etas (rantai
pemangsa, rantai parasit, dan rantai saprofit) saling berkaitan. Dengan kata lain,
jika tiap-tiap rantai makanan yang ada di dalam ekosistem disambung-
sambungkan dan membentuk gabungan rantai makanan yang lebih kompleks,
maka terbentuk jaringan makanan.
Jaringan makanan dalam suatu ekosistem dapat menggambarkan
kestabilan ekosistem tersebut. Makin banyak rantai makanan dan makin besar
kemungkinan terbentuknya gabungan dalam jaringan makanan, akan
menunjukkan kestabilan ekosistem makin tinggi. Oleh karena itu, untuk menjaga
kestabilan ekosistem, di dalam setiap kegiatan pengelolaan sumber daya alam
tidak diperkenankan memutuskan rantai makanan yang ada, apalagi
menghilangkan satu atau lebih rantai makanan yang ada dalam ekosistem.
Dalam ekosistem alam dikenal adanya tingkat trofik suatu kelompok
organisme. Heddy dkk. (1986), menyatakan bahwa tingkat trofik menunjukkan
urutan organisme dalam rantai makanan pada suatu ekosistem. Oleh karena
itu, berbagai organisme yang memperoleh sumber makanan melalui langkah
yang sama dianggap termasuk ke dalam tingkat trofik yang sama
101
(Resosoedarmo dkk., 1986; Odum, 1993).
Berdasarkan atas pemahaman tingkat trofik, maka organisme dalam
ekosistem dikelompokkan sebagai berikut.
a. Tingkat trofik pertama, yaitu semua organisme yang berstatus sebagai
produsen. Semua jenis tumbuhan hijau membentuk tingkat trofik pertama.
b. Tingkat trofik kedua, yaitu semua organisme yang berstatus sebagai
herbivora. Semua herbivora (konsumen primer) membentuk tingkat
trofik kedua.
c. Tingkat trofik ketiga, yaitu semua organisme yang berstatus sebagai
karnivora kecil (konsumen sekunder).
d. Tingkat trofik keempat, yaitu semua organisme yang berstatus sebagai
karnivora besar (karnivora tingkat tinggi).
e. Tingkat trofik kelima, yaitu semua organisme yang berstatus sebagai
perombak (dekomposer dan transformer) atau semua mikroorganisme.
Odum (1993), bahwa fenomena interaksi yang terjadi dalam rantai
makanan dan hubungan antara ukuran organisme dan metabolismenya
menghasilkan berbagai komunitas dengan struktur trofik tertentu. Oleh karena
itu, setiap tipe ekosistem, misalnya danau, hutan, terumbu karang, dan
padang rumput akan memiliki struktur trofik dengan sifat tertentu.
Struktur trofik dapat diukur dan dideskripsikan dengan istilah biomassa
(standing crop) per satuan luas atau dengan pemyataan jumlah energi yang
terikat per satuan luas per satuan waktu pada setiap tingkat trofik secara
berurutan. Jika diperhatikan dengan saksama bahwa pada setiap tahap dalam
102
rantai makanan akan ada sejumlah energi yang hilang karena tidak
terasimilasi atau lepas sebagai panas, sehingga organisme yang berada pada
ujung tingkat trofik akan memperoleh energi lebih kecil. Dengan kata lain, jika
makin panjang rantai makanan, energi yang tersedia bagi kelompok organisme
yang terakhir semakin kecil (sedikit). Apabila energi yang tersedia dalam suatu
rantai makanan itu disusun secara berurutan berdasarkan urutan tingkat trofik,
maka membentuk sebuah kerucut yang dikenal dengan piramida ekologi.
Dengan demikian, sesungguhnya piramida ekologi itu merupakan
susunan tingkat trofik (tingkat nutrisi atau tingkat energi) secara
berurutan menurut rantai makanan atau jaringan makanan dalam
ekosistem.
Sumber daya energi yang utama untuk semua tingkat trofik adalah
radiasi matahari. Suatu permukaan di alam yang tidak terlindung dan
mendapat radiasi matahari secara langsung, maka permukaan itu akan
menerima energi dari radiasi matahari dengan kecepatan 1,94
g-kalori/cm2/menit, akan tetapi pada umumnya radiasi matahari yang dapat
mencapai permukaan bumi hanya 46%, hal itu disebabkan adanya penyerapan
dan pemantulan sebagian energi oleh atmosfer, asap, partikel-partikel debu,
dan awan (Kendeigh, 1980).
Manfaat utama dari energi matahari yang bisa sampai ke
permukaan bumi adalah untuk kepentingan tetumbuhan hijau yang dalam
proses kehidupan tumbuhan dikenal dengan fotosintesis dan respirasi. Dalam
proses fotosintesis, organisme-organisme yang berfotosintesis (autotrof)
hanya memanfaatkan 50% dari radiasi matahari yang diterima dan efisiensi
103
pemanfaatan energi yang diserap oleh autotrof hingga mencapai produktivitas
primer bersih hanya lebih kurang 1% (Odum, 1993). Vickery (1984)
menyatakan bahwa energi radiasi matahari yang memasuki sebuah ekosistem
hanya sebagian kecil saja yang secara nyata diterima oleh organisme-
organisme autotrof dan diubah menjadi energi kimia. Tumbuh-tumbuhan hijau
berfotosintesis selama lebih kurang 10 jam per hari dalam waktu siang hari.
Jika intensitas radiasi matahari dalam kondisi maksimal, maka faktor yang
menjadi pembatas efektivitas proses fotosintesis adalah ketersediaan air,
CO2 dan unsur hara-unsur hara lainnya dari lingkungan. Pada ekosistem hutan
alam yang kondisi vegetasinya sempurna, jumlah klorofil per satuan luas
lebih banyak dibandingkan dengan ekosistem lainnya, hal itu disebabkan
karena keanekaragaman yang tinggi dari spesies tumbuhan penyusunnya dan
stratifikasi yang kompleks menempatkan daun-daun pada setiap strata tajuk,
sehingga jumlah energi radiasi matahari yang dapat diubah menjadi energi
kimia pada ekosistem hutan tersebut menjadi lebih banyak.
Di dalam setiap ekosistem baik daratan maupun perairan, terdapat
organisme hidup dan benda coati (lingkungan abiotik) yang menunjang proses
kehidupan. Proses kehidupan di alam tersebut merupakan kejadian yang
mengubah bentuk energi pada berbagai komponen ekosistem. Proses-proses
yang terlibat dalam pengubahan energi dalam ekosistem meliputi proses
metabolisme, aliran energi pada berbagai tingkat trofik, dan siklus biogeokimia
(Chapman dan. Reiss, 1997; Odum, 1993). Proses metabolisme merupakan
proses fisiologi yang terdapat pada tubuh organisme hidup dan proses ini
menjadi ciri yang membedakan antara organisme hidup dengan benda coati.
104
Metabolisms meliputi proses anabolisme dan katabolisme. Anabolisme yaitu
proses penyusunan (asimilasi) kimiawi yang dilakukan dalam proses foto-
sintesis dan menghasilkan zat-zat kimia seperti karbohidrat, protein, lemak, dan
lain sebagainya. Katabolisme, yaitu proses pembongkaran (disimilasi) energi
yang tersimpan dalam zat-zat kimia hasil anabolisme untuk
menyelenggarakan proses kehidupan, dan katabolisme ini dikenal juga
sebagai proses respirasi. Hasil dari kegiatan metabolisms adalah pertumbuhan
dan penambahan biomassa, dan penimbunan biomassa itu disebut produksi
(Odum, 1993; Kormondy, 1991). produksi selama periode waktu tertentu disebut
produktivitas. Baik produksi maupun produktivitas kedua-duanya secara
umum berhubungan dengan biomassa pada tingkat trofik tertentu (Kendeigh,
1980).
Resosoedarmo dkk. (1986) bahwa setiap ekosistem atau komunitas
atau bagian-bagian lain dalam organisme makhluk hidup memiliki produktivitas.
Kecepatan energi radiasi matahari yang diubah oleh tetumbuhan hijau
menjadi energi kimia dikenal sebagai produktivitas primer (Vickery, 1984;
Chapman dan Reiss, 1997). Odum (1993) menyatakan bahwa produktivitas
primer merupakan kecepatan energi radiasi matahari yang disimpan melalui
aktivitas fotosintesis oleh organisme produsen dalam bentuk bahan
organik yang dapat digunakan sebagai bahan pangan. Produktivitas primer
digolongkan menjadi dua, yaitu produktivitas primer kotor dan produktivitas
primer bersih.
1. Produktivitas primer kotor, yaitu kecepatan total fotosintesis, mencakup
banyaknya bahan organik yang digunakan dalam respirasi atau
105
pernapasan selama periode pengukuran. Produktivitas primer
kotor disebut juga fotosintesis total atau asimilasi total.
2. Produktivitas primer bersih, yaitu kecepatan penyimpanan bahan organik
dalam jaringan tumbuhan sebagai kelebihan bahan organik yang sebagian
telah dipakai untuk respirasi tumbuhan selama proses pengukuran.
Produktivitas primer bersih disebut juga fotosintesis yang kelihatan atau
asimilasi bersih.
Di dalam suatu ekosistem hutan pada umumnya terjadi distribusi vertikal
dari produktivitas primer bersih, hal itu berhubungan dengan terjadinya
distribusi vertikal dari biomassanya. Data distribusi biomassa dan produktivitas
primer bersih pada setiap kelompok komponen vegetasi yang menyusun
ekosistem hutan disajikan pada tabel sebagai berikut.
Tabel 4. Biomassa dan Produktivitas Primer Bersih pada Setiap Kelompok Komponen Vegetasi yang Menyusun Ekosistem Hutan.
Kelompok Komponen VegetasiBiomassa
(g/m2)
Produktivitas Primer Bersih (g/m2/tahun)
Pohon (bagian batang dan tajuk) 6.403 796
Perdu (bagian batang dan tajuk) 158 61
Semak dan herba (bagian batang dan 2
Tajuk 2
Pohon (bagian akar) 3.325 260
Perdu (bagian akar) 305 73
106
Semak dan herba (bagian akar) 1 4
(Sumber: Odum, 1993)
Produktivitas primer bersih memiliki kegunaan yang sangat penting
untuk memahami sebuah ekosistem karena hal itu dapat menggambarkan
energi yang memiliki produktivitas primer bersih rendah, akan menyokong
organisme heterotrof yang jumlahnya sedikit dibandingkan dengan ekosistem
yang memiliki produktivitas primer bersih tinggi. Produktivitas primer bersih
pada hutan tropik, secara kasar dapat dikaitkan dengan banyaknya hujan di suatu
daerah. Pada hutan hujan yang selalu hijau (ever green) mempunyai
produktivitas primer bersih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan savana
(padang rumput yang sangat luas).
Produktivitas komunitas bersih, yaitu kecepatan penyimpanan bahan
organik yang tidak digunakan oleh pemakan (heterotrof) selama satu tahun atau
selama musim pertumbuhan. Dengan kata lain bahwa produktivitas komunitas
bersih, yaitu kecepatan penyimpanan bahan organik pada penghasil-penghasil
primer yang telah ditinggalkan oleh pemakai. Adapun produktivitas sekunder,
yaitu kecepatan penyimpanan energi pada organisme hidup tingkat konsumen.
Sudah tentu bahwa energi yang tersimpan pada tingkat trofik yang lebih tinggi
akan semakin kecil atau menurun. Total arus energi pada tingkatan heterotrof
sebaiknya disebut asimilasi dan bukan produksi karena organisme heterotrof
mengambil bahan organik dari organisme autotrof dan mengasimilasikannya ke
dalam jaringan tubuh mereka, maka konsep produktivitas kotor dan
produktivitas bersih pada tingkatan heterotrof tidak digunakan. Dengan
demikian, peningkatan biomassa pada, heterotrof merupakan laju asimilasi dan
bukan produksi (Odum, 1993).
Vickery (1984), hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi
hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 10° LU
dan 10° LS. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada
daerah dengan curah hujan 2.000-4.000 mm per tahun, rata-rata temperatur
25°C dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang tahun, dan rata-rata
kelembapan udara 80%. Arief (1994) mengemukakan bahwa hutan hujan tropis
adalah klimaks utama dari hutan-hutan di dataran rendah yang mempunyai tiga
stratum tajuk, yaitu stratum A, B, dan C, atau bahkan memiliki lebih dari tiga
stratum tajuk.
Santoso (1996) dan Direktorat Jenderal Kehutanan (1976)
mengemukakan bahwa tipe ekosistem hutan hujan tropis terdapat di wilayah
yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut klasifikasi iklim Schmidt dan
Ferguson), atau dapat dikatakan bahwa tipe ekosistem tersebut berada pada
daerah yang selalu basah, pada daerah yang memiliki jenis tanah Podsol,
Latosol, Aluvial, dan Regosol dengan drainase yang baik, dan terletak jauh dari
pantai.
Tegakan hutan hujan tropis didominasi oleh pepohonan yang selalu.
hijau. Keanekaragaman spesies tumbuhan dan binatang yang ada di hutan
hujan tropis sangat tinggi. Vickery (1984) menyatakan bahwa jumlah spesies
pohon yang ditemukan dalam hutan hujan tropis lebih banyak dibandingkan
dengan yang ditemukan pada ekosistem yang lainnya. Misalnya, hutan hujan
tropis di Amazonia mengandung spesies pohon dan semak sebanyak 240
spesies.
107
108
Haeruman (1980) juga menyatakan bahwa hutan alam tropis yang
masih utuh mempunyai jumlah spesies tumbuhan yang sangat banyak. Hutan
di Kalimantan mempunyai lebih dari 40.000 spesies tumbuhan, dan merupakan
hutan yang paling kaya spesiesnya di dunia. Di antara 40.000 spesies
tumbuhan tersebut, terdapat lebih dari 4.000 spesies tumbuhan yang termasuk
golongan pepohonan besar dan penting. Di dalam setiap hektar hutan
tropis seperti tersebut mengandung sedikitnya 320 pohon yang berukuran
garis tengah lebih dari 10 cm. Di samping itu, di hutan hujan tropis Indonesia
telah banyak dikenali ratusan spesies rotan, spesies pohon tengkawang,
spesies anggrek hutan, dan beberapa spesies umbi-umbian sebagai
sumber makanan dan obat-obatan.
Tajuk pohon hutan hujan tropis sangat rapat, ditambah lagi adanya
tetumbuhan yang memanjat, menggantung, dan menempel pada dahan-dahan
pohon, misalnya rotan, anggrek, dan paku-pakuan. Hal ini menyebabkan
sinar matahari tidak dapat menembus tajuk hutan hingga ke lantai hutan,
sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk berkembang di bawah
naungan tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan yang telah beradaptasi dengan
baik untuk tumbuh di bawah naungan (Arief, 1994). Itu semua merupakan ciri
umum bagi ekosistem hutan hujan tropis. Selain ciri umum yang telah
dikemukakan di atas, masih ada ciri yang dimiliki ekosistem hutan hujan
tropis, yaitu kecepatan daur ulang sangat tinggi, sehingga semua komponen
vegetasi hutan tidak mungkin kekurangan unsur hara (Vickery, 1984). Jadi,
faktor pembatas di hutan hujan tropis adalah cahaya, dan itu pun hanya berlaku
bagi tetumbuhan yang terletak di lapisan bawah. Dengan demikian, herba
dan semak yang ada dalam hutan adalah spesies-spesies yang telah
beradaptasi secara baik untuk tumbuh di bawah naungan pohon.
Menurut ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan hujan tropis
dibedakan menjadi tiga zona atau wilayah menurut (Santoso, 1996;
Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976).
1. Zona 1 dinamakan hutan hujan bawah karena terletak pada daerah dengan
ketinggian tempat 0-1.000 m dari permukaan laut.
2. Zona 2 dinamakan hutan hujan tengah karena terletak pada daerah dengan
ketinggian tempat 1.000-3.300 m dari permukaan laut.
3. Zona 3 dinamakan hutan hujan atas karena terletak pada daerah dengan
ketinggian tempat 3.300-4.100 m dari permukaan laut.
Ekosistem hutan musim merupakan ekosistem hutan campuran yang
berada di daerah beriklim meson (monsoon), yaitu daerah dengan perbedaan
antara musim kering dan basah yang jelas (Arief, 1994). Tipe ekosistem hutan
musim terdapat pada daerah-daerah yang memiliki tipe iklim C dan D (tipe
iklim menurut klasifikasi Schmid dan Ferguson) dengan rata-rata curah
hujan 1.000-2.000 mm per tahun dengan rata-rata suhu bulanan sebesar 21°-
32°C (Santoso, 1996; Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976; Arief, 1994).
Penyebaran lokasi ekosistem hutan musim meliputi wilayah negara-
negara yang beriklim musim (monsoon), misalnya di India, Myanmar, Indonesia,
Afrika Timur, dan Australia Utara (Vickery, 1984). Di Indonesia, tipe ekosistem
hutan musim berada di Jawa (terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur), di
kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian. Vegetasi yang berada dalam
ekosistem hutan musim didominasi oleh spesies-spesies pohon yang
109
110
menggugurkan daun di musim kering, sehingga tipe ekosistem hutan musim
disebut juga hutan gugur daun atau deciduous forest (Vickery, 1984). Pada
ekosistem hutan ini umumnya hanya memiliki satu lapisan tajuk atau satu
stratum dengan tajuk-tajuk pohon yang tidak saling tumpang-tindih, sehingga
masih banyak sinar matahari yang bisa masuk hutan sampai ke lantai hutan,
apalagi pada saat sedang gugur daun. Hal itu memungkinkan tumbuh
dan berkembangnya berbagai spesies semak dan herba yang menutup lantai
hutan secara rapat, sehingga menyulitkan bagi orang untuk masuk ke dalam
hutan.
2.2.4. Hutan Lindung dan Fungsinya
Undang-undang kehutanan No. 41 Tahun 1999 pada 1 dijelaskan
bahwa hutan ialah suatu kesatuan ekosistem berupa hambaran lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan
alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan,
sedangkan devinisi “kawasan hutan” yang dijelaskan dalam pasal yang sama
yaitu sebagai wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipergunakan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990
tentang pengelolaan kawasan hutan lindung pada Bab IV pada 8 disebutkan
kriteria kawasan hutan lindung ialah :
1. Kawasan hutan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, curah
hujan yang melebihi nilai skor 175 dan atau;
111
2. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % atau lebih, dan
atau;
3. Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2.000
meter atau lebih;
Areal hutan yang dijadikan hutan lindung secara ideal ialah hutan alam yang
masih utuh terdiri dari pohon-pohon yang besar dan tinggi sampai kepada
pohon-pohon yang perdu, serta tumbuhan yang merambat, yang semuanya
menyusun lapisan-lapisan tajuk (strata). Oleh karena itu dengan keutuhannya,
maka hutan lindung menjadi bagian terpenting dalam suatu DAS, karena
hutan dapat memperkecil perbedaan debit air sungai pada musim hujan dan
kemarau. Hutan mempunyai tempat atau kedudukan yang strategis pada suatu
daerah yang tinggi dengan kelerengan yang besar dan pada tanah berpasir
yang mudah tererosi dengan curah hujan besar dan intensitas hujan tinggi.
Mengingat hutan lindung pegunungan jayawijaya sangat strategis dengan
beberapa pemakaran Kabupaten baru, maka penelitian strategi pelestarian
menjadi bagian penting dipertimbangkan.
Selanjutnya fungsi hutan lindung yang tercantum dalam Undang-
Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 ialah sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah erosi,
mengendalikan erosi, mencegah intruksi air laut dan memelihara kesuburan
tanah. Dengan dasar ini, HLPJ merupakan bagian terpenting dalam
mengendalikan lingkungan yang terancam. Fakta di lapangan bahwa Hutan
Lindung Pegunungan Jayawijaya (HLPJ), sedang mengalami berbagai tekanan
dari program pembangunan wilayah oleh pemerintah pusat melalui pemerintah
112
provinsi Papua melakukan pemekaran delapan Kabupaten baru di wilayah
pegunungan Jayawijaya menyebabkan kebutuhan kayu di pasar cukup tinggi,
sehingga kondisi yang alami HLPJ dapat terganggu fungsi ekosistem yang
dimilikinya.
Hutan dengan vegetasinya mempunyai kaitan yang erat dengan tanah
dan air. Apa yang terjadi dengan hutan akan berpengaruh kepada
kelangsungan hutan, oleh karena itu tindakan pengelolaan hutan dengan baik,
secara terpadu, juga merupakan upaya konservasi tanah dan air. Hutan
memiliki fungsi klimatologi yang penting, khususnya dengan penyerapan CO2
dalam proses fotosintesis sekaligus pelepasan O2 dalam proses yang sama
(Rujehan, 2010). Pemanfaatan hutan yang dilakukan pada blok perlindungan
berupa pemanfaatan yang diperuntukkan bagi peneliti dan kunjungan formal.
Pada blok kegiatan terbatas dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan jasa
lingkungan yang dimaksud yaitu peneliti, kunjungan formal, kunjungan
pendidikan dan pelatihan, olahraga tantangan dan kunjungan ekowisata.
2.2.5. Hubungan Hutan dan Masyarakat Setempat
Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa
hutan ialah suatu kesatuan ekosistem berupa hampran lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sementara
Rahmawati (2004) bahwa hutan sebagai sumberdaya alam yang memberikan
manfaat bagi kesejahteraan manusia, baik baik manfaat tangible yang
113
dirasakan secara langsung, maupun manfaat intangible yang dirasakan secara
tidak langsung. Manfaat langsung seperti penyediaan kayu, satwa dan hasil
tebang. Sedangkan manfaat tidak langsung seperti manfaat rekreasi,
perlindungan pengaturan tata air, serta pencegahan erosi. Sedangkan istilah
masyarakat setempat dijelaskan pula dalam Undang-Undang tersebut di atas
ialah kesatuan sosial yang terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang
tinggal di dalam dan atau di sekitar hutan, yang membentuk komonitas yang
didasarkan pada mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan,
kesejahteraan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib
kehidupan bersama. Teori ini sangat relevan dengan perilaku masyarakat
setempat sekitar pegunungan Jayawijaya, karena masyarakat yang ada disana
hidup berkelompok tinggal di sekitar/pinggiran hutan lindung yang memerlukan
lahan dan ruang untuk hidup.
Hubungan hutan dan masyarakat setempat tidak lepas dari konsep
ekosistem yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal
balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Soemarwoto, 2004).
Selanjutnya Soerjani, Ahmad dan Munir (1987) lebih jauh menyatakan bahwa
ekosistem dicirikan dengan berlangsungnya pertukaran materi dan
transformasi energi yang sepenuhnya berlangsung diantara berbagai
komponen dalam sistem itu sendiri atau dengan sistem lain di luarnya,
sehingga antara hutan dan masyarakat setempat bukan tidak mungkin memiliki
saling ketergantungan. Namun beberapa kebijakan pemerintah bahwa
sumberdaya alam hanya diperlakukan sebagai komoditi dan alat produksi,
tanpa memperhatikan subsistem sosio-kultural dan masyarakat yang
sehurusnya merupakan bagian dari sistem alam dan kehidupan (Riyanto,
2006). Hal ini tentunya membutuhkan dukungan sumberdaya alam atau hutan
untuk mewujudkan hal tersebut.
Ketergantungan masyarakat setempat terhadap hutan sebenarnya
sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun. Tentu saja orientasi dan
motivasi ketergantungan tersebut tidak akan sama antar generasi atau antar
satu kelompok masyarakat di suatu wilayah dengan kelompok masyarakat di
wilayah lainnya. Kondisi ini bias saja dan senantiasa berubah sesuai dengan
perkembangan budaya dan perekonomian seiring dengan keterbukaan wilayah
sebagai dampak pembangunan. Perubahan motivasi yang umum di jumpai
ialah dari skala subsistem menuju ke semi-komersial atau bahkan komersial
(Sardjono, 2004). Soemarwoto (1983), menyatakan perubahan suatu sistem
(termasuk sistem sosial) pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari
suatu pembangunan. Sejalan dengan kondisi yang terjadi pada kawasan
pegunungan Jayawijaya yang sudah terdampak dari pembangunan wilayah
dan akses pemekaran Kabupaten baru ke wilayah masyarakat setempat,
sehingga sistem sosial di masyarakat sedang mengalami perubahan yang
menuju pada skala komersial, sementara luasan lahan pertanian semakin
terbatas.
Selanjutnya dijelaskan disini bahwa ketergantungan masyarakat lokal
terhadap hutan dalam tingkatan tertentu juga harus dilihat dari keuntungan
yang juga bias diperoleh sumberdaya itu sendiri dari masyarakat sekitarnya
yaitu terjaga kelestarian struktur dan fungsi yang dimilikinya. Dengan kata lain
terdapat saling ketergantungan (Interdependence) antara masyarakat dan
114
115
sumberdaya hutan di sekitarnya. Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan di
beberapa lokasi kegiatan kehutanan di Provinsi Kalimantan Timur (Sardjono, et
all. 1998) mengidentifikasikan berbagai bentuk interdependence hutan dan
masyarakat sesuai dengan perkembangan wilayahnya serta pengelompok-
kannya dalam empat pola. Dengan sedikit modifikasi ke empat pola tersebut
disajikan sebagai berikut :
1). Pola Ekstrasi
Pola ini dijumpai pada kelompok masyarakat tradisional yang lokasinya
tidak langsung berdekatan dengan industri. Pemanfaatan sumberdaya
terbatas kebutuhan yang dikendalikan etika dan norma yang berlaku.
Pandangan bahwa lingkungan sosial merupakan bagian dari ekosistem yang
lebih luas mendorong pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana.
Dengan demikian struktur sumberdaya walaupun ada perubahan tetapi dengan
resiliensi yang dimilikinya mampu memperbaiki diri dan mengembalikan
fungsinya kembali.
2). Pola Eksploitasi
Pola ini merupakan konsekuensi dari peningkatan populasi (termasuk
akibat migrasi) dan peningkatan kebutuhan hidup yang menyebabkan sistem
sosial terpisah dari sistem hutan guna meningkatkan aliran manfaatnya.
Kondisi ini dijumpai pada daerah-daerah terbuka yang berada di sekitar pusat
pembangunan ekonomi dengan tingkat migrasi dari luar yang relatif tinggi
(termasuk desa-desa baru yang dihuni masyarakat pendatang). Struktur dan
116
fungsi hutan mengalami degradasi akibat aliran baik (dalam bentuk
pemeliharaan dan rehabilitasi) yang kurang diperhatikan.
3). Pola Konfrotasi
Pola ini ditujukan khusus pada wilayah-wilayah hutan yang dapat
dikonversi ataupun bahkan kawasan konservasi yang memiliki kekayaan
sumberdaya alam mineral. Adapun konflik kepentingan yang tinggi
mengakibatkan tidak adanya kejelasan akan keselarasan kepentingan
pembangunan ekonomi dan kebutuhan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan
yang dibutuhkan oleh masyarakat lokal. Struktur dan fungsi hutan alam
(dengan demikian juga manfaat yang diberikan pada masyarakat) akan sangat
tergantung dari input dan tujuan yang ingin dicapai, untuk itu sistem sosial tidak
integral dengan sistem alam atau hutan.
4). Pola Kooperasi
Pola ini pada dasarnya merupakan konsep pola ideal yang merupakan
alternatif pendayagunaan saling ketergantungan masyarakat lokal dengan
sumberdaya hutan disekitarnya. Pola ini adanya kepentingan paralel antara
upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat (sistem sosial) dan
mempertahankan kesinambungan struktur dan fungsi sumberdaya hutan
(sistem alam) aliran fungsi dan manfaat dari sistem sosial dalam perspektif
kelestarian tidak cukup sama besarnya dengan pemanfaatan sistem alam,
tetapi bilamana mingkin justru lebih besar. Kondisi ini penting ditinjau dari : (1)
aspek demografi peningkatan penduduk beserta tuntutan kebutuhan hidup);
dan (2) aspek daya dukung lingkungan yang dapat menurun tanpa upaya
memandai. Pola ini tampaknya yang menjadi paradigma baru pembangunan
kehutanan yaitu community based and ecosystem ariented.
Dari berbagai pola yang disebutkan di atas, kawasan HLPJ sudah
mengarah kepada pola konfrontasi mengingat banyak terjadi konflik
kepentingan baik secara vertikal maupun horizontal, sehingga hal ini menjadi
landasan untuk menemukan pelestarian yang tepat berdasarkan kondisi
internal dan eksternal wilayah untuk menyelamatkan ekosistem hutan dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Beberapa pola hubungan antara hutan dan masyarakat dengan pola
yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut sangat berkaitan dengan
perkembangan kondisi wilayah. Pada kondisi wilayah yang belum banyak
tersentuh pembangunan dan masyarakat masih menganggap sumberdaya
hutan pemenuhan kebutuhan yang bersifat subsistem, maka pola interaksinya
cenderung pada pola ekstrasi. Hutan pada wilayah yang lebih maju karena
sudah tersentuh pembangunan dan masyarakatnya sudah berpikir ke arah
komersialisasi akibat dari tuntutan hidup yang berkembang, maka pola
interaksinya cenderung pada pola eksploitasi dan konfrontasi. Sementara pola
kooperasi adalah pola yang paling ideal karena adanya keseimbangan
kepentingan antara tuntutan hidup masyarakat setempat dengan tuntuntan
pelestarian hutan.
Kawasan HLPJ yang sedang terdampak dari pembangunan wilayah
sehingga mengalami peningkatan jumlah kerusakan hutan, tentu masyarakat
tidak lagi menjadi komponen ekosistem hutan seperti pola ekstrasi, tetapi
sudah pola eksploitasi bahkan pola konfrontasi. Kondisi seperti ini sangat
117
118
berdampak pada kelestarian HLPJ, sehingga diperlukan perencanaan yang
matang dalam pengeloaan kawasan, agar fungsi utama HLPJ terjaga. Oleh
karena itu dalam penetilian ini ingin mencari suatu komoditi unggul yang tepat
sesuai karakteristik wilayah kelola di hutan sebagai landasan pengelolaan
kawasan tersebut ke depan.
Sebenarnya amat mudah dipahami bilamana sebagian besar
masyarakat di wilayah-wilayah pedesaan atau pendalaman di luar Jawa
mengantungkan kehidupan dan penghidupannya dari sumberdaya hutan,
mengingat lebih dari 60 % dari luas wilayah datarannya berupa hutan.
Ketergantungan tersebut tidak sebatas pada aspek produksi hutan, tetapi juga
fungsi perlindungan tata klimat yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat lokal
secara langsung maupun tidak langsung dari ekosistem tersebut, dalam
mempertahankan hidup (axistence) dan peningkatan kesejahteraan mereka
(Welfare) (Sardjono, 2004). Secara jelas hal tersebut disajikan pada tabel 5
Tabel 5. Berbagai Manfaat yang Diperoleh oleh Masyarakat Lokal dari Sumberdaya Hutan di Sekitarnya.
Hutan Manfaat Bagi Masyarakat LokalLangsung Tidak Langsung
Produksi Hasil hutan kayu dan turunannya (konstruksi berat,atap/dinding, peralata, kayu bakar/arang);
Hasil hutan Nir-Kayu (a.l. buah-buahan, biji-bijian, sayur-mayur, rempah-rempah, binatang buruang, getah-getahan, rotan bambu, gaharu, sarang, burung, madu);
Penghasilan (semi komersial dan);
Pelestarian kegiatan budaya lokal yang berbasis produk hutan (a.l. upacara “beliant” masyarakat dayak);
Pelestarian dan perkembangan industri rumah tangga
119
Areal untuk bercocok tanam/berladang;
masyarakat;
Lindung
Tanah (kesuburan tanah, kelembaban, erosi air dan angin, bentang alam);
Tata air (air bersih, proteksi banjir, dan kekeringan);
Keaneka ragaman hayati (flora dan fauna, mikroorganisme);
Keterjaminan produktivitas pertanian dan kemandirian pangan;
Kesehatan dan kesejahteraan masyarakat;
Pelestarian pengetahuan dan teknologi tradisional (a.l. budidaya tanaman, berburu binatang, pembuatan zat pewarna dan racun, pemanenan madu);
Tata Klimat
Iklim mikro (kesejukan, dan curah hujan lokal);
Udara bersih (penghasilan oksigen dan menyerap karbondioksida);
Sinar matahari; Polusi udara (fitter debu dan
partikel padat lainnya, serta kebisingan);
Kenyamanan dan kedamaian kehidupan pedesaan;
Mendukung kehidupan yang sehat dan sejahtera;
Mengurangi dampak bencana alam (misalnya kemarau panjang dan kebakaran hutan);
Lain-Lain
Tabas tanah dan/atau tanda kepemilikan lahan;
Perlindungan tempat-tempat keramat/dihormati termasuk tanah atau hutan adat;
Mendukung pelestarian identitas kelembagaan lokal (a.l. gotong-royong, pewarisan, ganti rugi);
Melestarikan etika konservasi dan pergaulan hidup anggota masyarakat;
Sumber : Sardjono 2004
Tabel di atas menunjukkan berbagai manfaat dari hutan untuk
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat setempat. Manfaat yang diperoleh
berupa manfaat langsung dan tidak laungsung sesuai dengan fungsi hutannya.
Manfaat tidak langsung sebagai manifestasi positif yang diterima masyarakat
setempat dari manfaat langsung, sehingga pada gilirannya kedua manfaat
yang diterima tersebut dapat disejahterakan masyarakat setempat.
2.2.6. Kearifan Lokal
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua
kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John
120
M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom
(kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom
(kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat ( local)
yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya.
“Berpijak pada Kearifan Lokal” Anonimous (2001), menyatakan bahwa
kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi dalam
suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman
Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai
keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti
luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara
terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai
yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. bahwa secara
konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan
manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku
yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap
baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan
melembaga.
Lebih lanjut Anonimous (2001) menjelaskan bahwa tentang kearifan
berarti ada yang memiliki kearifan. Kearifan adat dipahami sebagai segala
sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh
ketentuan agama. Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan
niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial
yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu
121
tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami
penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara
sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak
baik akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila
demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan. Bentuk-
bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika,
kepercayaan, adat-istiadat, hokum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh
karena bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya
masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-macam.
Edy (2010) menyatakan bahwa ada beberapa kekayaan budaya,
kearifan lokal di Nusantara yang terkait dengan pemanfaatan alam yang pantas
digali lebih lanjut makna dan fungsinya serta kondisinya sekarang dan yang
akan datang. Kearifan lokal terdapat di beberapa daerah:
1. Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku).
Gunung Erstberg dan Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah
dianggap sebagai bagian dari hidup manusia. Dengan demikian maka
pemanfaatan sumber daya alam secara hati-hati.
2. Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan celako kumali. Kelestarian
lingkungan terwujud dari kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam
berladang dan tradisi tanam tanjak.
3. Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana‘ ulen. Kawasan hutan
dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan
dilindungi oleh aturan adat.
122
4. Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat. Masyarakat ini mengembangkan
kearifan lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan
mengklasifikasi hutan dan memanfaatkannya. Perladangan dilakukan
dengan rotasi dengan menetapkan masa bera, dan mereka mengenal tabu
sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian
sederhana dan ramah lingkungan.
5. Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat.
Mereka mengenal upacara tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan
hutan hati-hati. Tidak diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh
adat.
6. Bali dan Lombok, masyarakat mempunyai awig-awig. Kerifan lokal
merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat,
tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran
masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang
sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan.
Kebudayaan dipandang sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau
kelompok orang yang selalu mengubah alam. Kegiatan manusia
memperlakukan lingkungan alamiahnya, itulah kebudayaan. Kebudayaan
merupakan usaha manusia, perjuangan setiap orang atau kelompok dalam
menentukan hari depannya. Kebudayaan merupakan aktivitas yang dapat
diarahkan dan direncanakan . Oleh sebab itu dituntut adanya kemampuan,
kreativitas, dan penemuan-penemuan baru. Manusia tidak hanya membiarkan
diri dalam kehidupan lama melainkan dituntut mencari jalan baru dalam
mencapai kehidupan yang lebih manusiawi. Dasar dan arah yang dituju dalam
123
perencanaan kebudayaan adalah manusia sendiri sehingga humanisasi
menjadi kerangka dasar dalam strategi kebudayaan (Hidayat, 2000). Dengan
melihat kearifan lokal sebagai bentuk kebudayaan maka ia akan mengalami
reinforcement secara terus-menerus menjadi yang lebih baik. Lebih lanjut
menjelaskan bahwa humanisasi merupakan ideal proses dan tujuan
kebudayaan. Oleh karena itu maka kearifan lokal sebagai manifestasi
kebudayaan yang terjadi dengan penguatan-penguatan dalam kehidupannya
menunjukkan sebagai salah satu bentuk humanisasi manusia dalam
berkebudayaan. Artinya sebagai manifestasi humanitas manusia, kearifan lokal
dianggap baik sehingga ia mengalami penguatan secara terus-menerus.
Tetapi, apakah ia akan tetap menjadi dirinya tanpa perubahan, benturan
kebudayaan akan menjawabnya.
Sunaryo dan Joshi (2003) menjelaskan bahwa ada beberapa alasan yang
menyebabkan teknologi dan informasi yang ditawarkan ditolak para petani,
antara lain: (1) Teknologi yang direkomendasikan seringkali tidak menjawab
masalah yang dihadapi petani sasaran. (2) Teknologi yang ditawarkan sulit
diterapkan petani dan mungkin tidak lebih baik dibandingkan teknologi lokal
yang sudah ada. (3) Inovasi teknologi justru menciptakan masalah baru bagi
petani karena kurang sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi-budaya setempat.
(4) Penerapan teknologi membutuhkan biaya tinggi sementara imbalan yang
diperoleh kurang memadai. (5) Sistem dan strategi penyuluhan yang masih
lemah sehingga tidak mampu menyampaikan pesan dengan tepat. (6) Adanya
ketidakpedulian petani terhadap tawaran teknologi baru, seringkali akibat
pengalaman kurang baik di masa lalu. (7) Adanya ketidak-pastian dalam
penguasaan sumber daya (lahan, dan sebagainya).
Para pemegang kebijakan, pakar atau peneliti kadang kala kurang dapat
memahami hambatan dan peluang yang berkembang di masyarakat sehingga
teknologi yang dianjurkan tidak menyentuh pada akar permasalahan yang ada.
Dengan demikian, diseminasi teknologi yang tidak tepat guna banyak yang
tidak diadopsi oleh masyarakat. Para pakar pertanian membantah bahwa
gagalnya masyarakat mengadopsi teknologi anjuran dikarenakan mereka
konservatif, irrasional, malas atau bodoh (Sunaryo dan Joshi, 2003), tetapi
lebih dikarenakan Manusia mempunyai kapasitas untuk apa yang terjadi di
sekelilingnya, selanjutnya menganlisis dan menafsirkan baik sebagai hasil
pengamatan maupun pengalaman, yang pada gilirannya dapat digunakan
untuk meramalkan ataupun sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan
keputusan. Jadi pengetahuan merupakan keluaran dari proses pembelajaran,
penjelasan berdasarkan pemikiran dan persepsi mereka. Namun demikian
dalam tataran falsafah ilmu, pengetahuan bukanlah merupakan kebenaran
yang bersifat mutlak atau hakiki. Pengetahuan sendiri tidak mengarah ke suatu
tindakan nyata. Di balik pengetahuan atau di sisi pengetahuan dalam
masyarakat ada norma budaya atau kewajiban yang dapat mempengaruhi arah
keputusan yang diambil baik kemudian bersifat positif maupun negatif.
Pilihan tindakan tidak lepas juga dari pertimbangan faktor-faktor
eksternal seperti kekuatan pasar, kebijakan pemerintah, termasuk kondisi
keuangan rumah tangga petani sendiri sehingga mungkin mendorong petani
untuk memilih tindakan pengelolaan yang sederhana (sub-optimal) baik secara
124
125
teknis maupun ekologis. Namun petani dapat belajar akibat dari tindakan
mereka dan akan memperkaya serta mempertajam pengetahuannya.
Pengamatan dan tanggapan seksama terhadap hasil uji coba atau observasi,
bahkan kerugian akibat serangan hama dan penyakit serta kerusakan akibat
alam (musim, iklim) akan lebih memperkaya system pengetahuannya. Lebih
lanjut, tambahan pengetahuan petani juga mungkin diperoleh dari sumber
eksternal seperti radio, televisi, tetangga dan penyuluh. Ringkasnya, sistem
pengetahuan petani bersifat dinamis, karena terus berubah sesuai dengan
waktu dan interaksi dengan lingkungan yang berkembang.
Sunaryo dan Joshi (2003), lebih lanjut menjelaskan bahwa pengetahuan
indigenous adalah sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok
masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan
alam. Pengetahuan seperti ini berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan
dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Pengetahuan ini juga merupakan
hasil kreativitas dan inovasi atau uji coba secara terus-menerus dengan
melibatkan masukan internal dan pengaruh eksternal dalam usaha untuk
menyesuaikan dengan kondisi baru setempat. Oleh karena itu pengetahuan
indigenous ini tidak dapat diartikan sebagai pengetahuan kuno, terbelakang,
statis atau tak berubah. Pengetahuan indigenous ini berkembang melalui
tradisi lisan dari mulut ke mulut atau melalui pendidikan informal dan
sejenisnya dan selalu mendapatkan tambahan dari pengalaman baru, tetapi
pengetahuan ini juga dapat hilang atau tereduksi. Sudah tentu, pengetahuan-
pengetahuan yang tidak relevan dengan perubahan keadaan dan kebutuhan
akan hilang atau ditinggalkan. Kapasitas petani dalam mengelola perubahan
juga merupakan bagian dari pengetahuan indigenous. Dengan demikian,
pengetahuan indigenous dapat dilihat sebagai sebuah akumulasi pengalaman
kolektif dari generasi ke generasi yang dinamis dan yang selalu berubah terus-
menerus mengikuti perkembangan jaman.
Indigenous berarti asli atau pribumi. Kata indigenous dalam
pengetahuan indigenous merujuk pada masyarakat indigenous. Yang
dimaksud dengan masyarakat indigenous di sini adalah penduduk asli yang
tinggal di lokasi geografis tertentu, yang mempunyai sistem budaya dan
kepercayaan yang berbeda dengan sistem pengetahuan dunia
intelektual/internasional. Kenyataan ini menyebabkan banyak pihak yang
berkeberatan dengan penggunaan istilah pengetahuan indigenous dan mereka
lebih menyukai penggunaan istilah pengetahuan lokal (Noor, et.all 2007).
Pengetahuan lokal merupakan konsep yang lebih luas yang merujuk
pada pengetahuan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang hidup di wilayah
tertentu untuk jangka waktu yang lama. Pada pendekatan ini, kita tidak perlu
mengetahui apakah masyarakat tersebut penduduk asli atau tidak. Yang jauh
lebih penting adalah bagaimana suatu pandangan masyarakat dalam wilayah
tertentu dan bagaimana mereka berinteraksi dengan lingkungannya, bukan
apakah mereka itu penduduk asli atau tidak. Hal ini penting dalam usaha
memobilisasi pengetahuan mereka untuk merancang intervensi yang lebih
tepat-guna.
Dalam beberapa pustaka istilah pengetahuan indigenous sering kali
dirancukan dengan pengetahuan lokal. Perkembangan terakhir menunjukkan
bahwa kata indigenous dalam pengetahuan indigenous lebih merujuk pada
126
127
sifat tempat, dimana pengetahuan tersebut berkembang secara ‘in situ’, bukan
pada asli atau tidaknya aktor yang mengembangan pengetahuan tersebut. Jika
kita berpedoman pada konsep terakhir ini, maka pengetahuan indigenous
sama dengan pengetahuan lokal dan dalam paparan selanjutnya kedua istilah
tersebut berarti sama. Pengetahuan lokal suatu masyarakat petani yang hidup
di lingkungan wilayah yang spesifik biasanya diperoleh berdasarkan
pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun. Adakalanya suatu
teknologi yang dikembangkan di tempat lain dapat diselaraskan dengan kondisi
lingkungannya sehingga menjadi bagian integral sistem bertani mereka.
Karenanya teknologi eksternal ini akan menjadi bagian dari teknologi lokal
mereka sebagaimana layaknya teknologi yang mereka kembangkan sendiri.
Pengetahuan praktis petani tentang ekosistem lokal, sumber daya alam dan
bagaimana mereka saling berinteraksi, akan tercermin baik di dalam teknik
bertani maupun keterampilan mereka dalam mengelola sumber daya alam.
Jadi pengetahuan indigenous tidak hanya sebatas pada apa yang dicerminkan
dalam metode dan teknik bertaninya saja, tetapi juga mencakup tentang
pemahaman (insight), persepsi dan suara hati atau perasaan (intuition) yang
berkaitan dengan lingkungan yang seringkali melibatkan perhitungan
pergerakan bulan atau matahari, astrologi, kondisi geologis dan meteorologis.
Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan,
norma dan budaya, dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos, yang dianut
dalam jangka waktu cukup lama inilah yang disebut ’kearifan budaya lokal’.
Dalam penelitian ini akan mempelajari tentang kearifan lokal penduduk di
kawasan pegunungan tengah Jayawijaya yang mempunyai pengetahuan
tentang budidaya tanaman buah pandan di dalam hutan sebagai pengetahuan
warisan nenek moyang dari turun temurun.
BAB IIIKERANGKA KONSEP PENELITIAN
3.1.Kerangka Pikir
Tuhan menciptakan Pulau Papua dengan berbagai keunikan alamnya
mulai dari bentang laut sampai bentang pegunungan (Papua Natural
Landscape Unique). Di Pulau Papua inilah juga hidup Ciptaan Mulia
“Papuanees” sebanyak 250 suku dengan berbagai budaya yang juga unik.
Sejak kapan Pulau Papua terbentuk dan Sejak kapan 250 suku asli Papua
128
mendiami Pulau Papua ini merupakan rahasia dan kuasa mutlak Tuhan
sebagai Pencipta Alam Semesta. Yang Pasti Tuhan menciptakan Papuanees
untuk mendiami, menguasai, mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan
ciptaanNya dengan takut akan Tuhan agar tidak menjadi bencana bagi alam
semesta Pulau Papua. Pulau Papua dapat terbentuk melalui proses geologi
yang berlangsung jutaan tahun lampau membuat Pulau Papua sungguh sangat
kaya sehingga tidak berlebihan kalau dijuluki sebagai Heaven’s Land or Island.
Keunikan Landscape dan Ekosistem Hutannya (Unique’s Natural Landacape
and Forest Ecosystem of Papua Island) turut memposisikan Pulau Papua
sebagai pulau dengan kekayaan sumber daya alam hayati darat dan laut
tertinggi dengan tingkat species endemisme tertinggi (Highest Biodiversity with
highest endemic species) di Indonesia dan bahkan di Dunia.
Di Pulau Papua diperkirakan tumbuh 20.000-30.000 jenis tumbuhan
berkayu; hidup 330 jenis reptilia dan amfibi, 650 jenis burung, 164 jenis
mamalia dan 750 jenis kupu-kupu (anonymous, 2009). Pulau Papua dengan
jumlah penduduk kurang lebih 2.5 juta mendiami daratan seluas 42.224.840
hektar, lebih dari 80 % wilayah daratan Papua masih merupakan kawasan
hutan. Kawasan hutan Papua sungguh sangat kaya dengan flora dan fauna
serta berbagai jasa lingkungan “environmental services”. Selama lebih dari tiga
dekade yaitu sejak tahun 1970an, kekayaan sumberdaya hutan baik kayu dan
non kayu di hutan tropis Papua telah dieksploitasi dan bahkan dijadikan
regional and national economy wheel primary mover terutama dalam hal antara
lain perolehan devisa termasuk peningkatan pendapatan asli daerah,
penyediaan lapangan kerja, dan mendorong pengembangan wilayah serta
129
pertumbuhan ekonomi namun tidak berbasis pendekatan masyarakat asli
papua terpinggirkan.
Salah satu keunikan flora di Papua adalah Bauh pandan. Buah Pandan
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Kuasa yang dianugerahkan kepada
masyarakat Papua khususnya penduduk pegunungan Jayawijaya merupakan
kekayaan yang dikuasai oleh Masyarakat setempat yang memberikan manfaat
serbaguna yaitu buah sebagai pangan, daun pengerajin tikat, akar pengerajin
tas (noken), dan batang sebagai bahan bangunan rumah dibandingkan dengan
700 spesies tumbuahan pandan yang lain di dunia. Buah pandan juga
merupakan salah satu sumber daya alam yang berperan dalam menjaga,
mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dan kesuburan tanah.
Ketersediaan air dan kesuburan tanah merupakan urat nadi kehidupan
manusia.
Buah pandan tumbuh dan berkembang biak dalam hutan secara bebas
merupakan salah satu tumbuhan endemik yang terdiri dari beberapa jenis yang
belum teridentifikasi baik keberadaannya di Papua terutama pedalaman
pegunungan tengah sepanjang dari New Gunea sampai tembagapura, dan
setiap daerah masing-masing memberi nama sesuai dengan fungsi dan
manfaat buah pandan. Rata-rata penduduk membudidayakan dengan cara
yang sama, karena menurut sejarah peradaban manusia mulai bergerak dari
timur arah ke barat melalui pegunungan tersebut, sehingga budaya yang sama
yaitu pola budidaya dalam hutan dengan cara penanganan pascapanen yang
unik dengan pertanian pada umumnya.
130
Keberadaan buah pandan dalam hutan merupakan pelindung bagi hutan
dari ancaman manusia dan sebaliknya tanpa hutan buah pandan tidak dapat
tumbuh dan berbuah dengan baik, hubungan dengan manusia akan
kekurangan pangan, sehingga antara satu dengan yang lain saling berkaitan,
antara manusia, buah pandan dan hutan tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan di alam pegunungan tengah Jayawijaya. Dengan demikian
tertekaitan hubungan antara manusia dengan alam dan lingkungan tidak
terpisahkan dari antara satu dengan yang lain, maka kita akan menjumpai
penduduk di kawasan pegunungan tengah Jayawijaya mempunyai
kepercayaan bahwa hutan adalah ibu (mama) yang artinya sumber kesediaan
makanan bagi manusia seperti sosok seorang ibu yang menyimpan makanan
dan memberi kepada anak-anaknya, memelihara, mendidik dan setelah
meninggal dunia rohnya akan kembali kepadanya atau ada yang menyebutkan
bahwa hutan adalah rumah penjimpanan makanan bagi manusia. Gambar
berikut menjelaskan kerangka pikir penelitian yang secara garis besar
menunjukkan hubungan antara manusia, hutan dan buah pandan dalam
rangka menjaga kesimbangan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat
setempat dan pelestarian Hutan yang berkelanjutan.
Hutan
Buah PandanPenduduk
Aktivitas Ekonomi
Prinsip Ekonomi : Pendapatan dan PertumbuhanPenyangga
Kehidupan Sosial Ekonomi
Penyangga Kehidupan Sosial
Budaya
Tujuan Sosial Budaya dan
Ekonomi
Peningkatan Ekonomi Masyarakat Setempata dan Pelestarian Hutan yang Berkelanjutan
Fungsi dan Manfaat Lahan
Nilai Ekonomis
131
132
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Hubungan antara Manusia, Buah Pandan dan Hutan.
Prinsip ekonomi dari nilai-nilai buah pandan yang terkandung tersebut
menyangkut pendapatan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat.
Secara ekonomi tentunya buah pandan dapat memberikan kontribusi bagi
penghidupan masyarakat tersebut sebagai pendukung ekonomi keluarga,
terutama bagi mereka yang tinggal di sekitar hutan. Hasil penelitian Lestari
(2006), di wilayah Hutan Lindung Bontang (HLB), menyebutkan bahwa
masyarakat yang melakukan pemanfaatan lahan dalam bentuk usahatani pada
kawasan hutan lindung tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarga yang berpenghasilan terbatas. Dengan kata lain hal tersebut
termotivasi untuk memenuhi kekurangan penghasilan yang diperoleh dari
usaha selain bertani seperti pegawai negeri, berdagang dan jasa lainnya.
Prinsip Ekologi: Keseimbangan
Ekosistem (Konservasi)
Manfaat sosial budaya dan Ekonomi
Strategi Pelestaraian Buah Pandan
Prinsip ekologi menuntut adanya keseimbangan dan ketersediaan
ekosistem dalam hutan lindung pegunungan Jayawijaya (HLPJ), dimana
eksistensi dan esensi ekosistemnya belum banyak dapat dirubah oleh aktivitas
masyarakat setempat. Aktivitas masyarakat setempat sangat bersahabat
dengan lingkungan, tentu banyak kerangaman hayati yang belum punah dari
habitat aslinya dan tetap bertahan baik flora maupun Fauna di kawasan
pegunungan Jayawijaya. Keseimbangan tersebut diduga sebagai dampak
saling keterkaitan antara manusia, buah pandan dan hutan. Hubungan antara
keterkaitan memberikan peluang bagi kehadiran flora dan fauna yang lain
berinteraksi dalam kawasan hutan tersebut sebagai tempat tinggal mereka dan
berkembang biak menjadi suatu komonitas baru dalam hutan lindung. Hal ini
ditambah lagi dengan adanya sistem sosial budaya masyarakat setempat yang
mengambil seperlunya saja secara teratur pada lahan mereka masing-masing
untuk memenuhi kebutuhan mereka, dan belum memenuhi kebutuhan pasar.
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungan yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sementara
Rahmawaty (2004) memahami bahwa hutan sebagai sumberdaya alam yang
memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible
yang dirasakan secara langsung, maupun intangible yang dirasakan secara
tidak langsung. Manfaat langsung seperti penyediaan kayu, satwa, dan hasil
tambang. Sedangkan manfaat tidak langsung seperti manfaat rekreasi,
perlindungan dan pengaturan tata air serta pencegahan erosi.
133
Tindakan di atas mengindikasikan keberadaan buah pandan di dalam
hutan lindung pegunungan Jayawijaya telah memberikan kontribusi ekonomi
bagi masyarakat setempat melalui aktivitasnya. Buah pandan arti penting
dalam kehidupan sosial budaya dan ekonomi bagi masyarakat pegunungan
jayawijaya. Setiap keluarga memiliki kebun rahasia dalam hutan sebagai
tempat penjimpanan pangan, karena buah pandan setiap tahun berbuah. Pada
musin panen setiap keluarga memanen hasil buah pandan dan hasil panen
tersebut disimpan di dalam rumah rahasia sebagai tempat penjimpanan hasil
panen sementara dan di tempat ini memiliki fungsi sebagai pengeringan
sekaligus pengemasan untuk di pasar atau konsumsi sendiri ataupun kegiatan
bakti sosial lainnya.
Hubungan hutan dan masyarakat setempat tidak lepas dari konsep
ekosistem yaitu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik
antara makhluk hidup dengan lingkungan (Suemarwoto, 2004). Selanjutnya
Soerjani, Ahmad dan Munir (1987) lebih jauh menyatakan bahwa ekosistem
dicirikan dengan berlangsungnya pertukaran materi dan transformasi energi
yang sepenuhnya berlangsung di antara berbagai komponen dalam sistem itu
sendiri atau dengan sistem lain di luarnya, sehingga antara hutan dan
masyarakat setempat bukan tidak mungkin memiliki saling ketergantungan.
Namun beberapa kebijakan pemerintah, bahwa sumberdaya alam hanya
diperlukan sebagai komoditi dan alat produksi, tanpa memperhatikan
subsistem susio-kultural masyarakat yang seharusnya merupakan bagian dari
sistem alam dan kehidupan (Kartodiharjo, 2006). Sementara itu masyarakat
sebagai sebuah kesatuan sosial memiliki kecenderungan untuk menuju
134
keadaan yang stabil dan teratur (Riyanto, 2006). Hal ini tentunya membutuhkan
dukungan sumberdaya alam atau hutan untuk mewujudkan hal tersebut.
Ketergantungan masyarakat setempat terhadap hutan sebenarnya
sudah berlangsung ratusan bahkn ribuan tahun. Tentu saja orientasi dan
motivasi ketergantuangan tersebut tidak akan sama antar generasi atau antara
satu kelompok masyarakat di suatu wilayah dengan kelompok di wilayah
lainnya. Kondisi ini bisa saja dan senantiasa berubah sesuai dengan
perkembangan budaya dan perekonomian seiring dengan keterbukaan wilayah
sebagai dampak pembangunan. Perubahan motivasi yang umum dijumpai
ialah dari skala subsistensi menuju semi-komersial atau bahkan komersial
(Sarjono, 2004). Soemarwoto (2004), menyatakan bahwa perubahan suatu
sistem (termasuk sistem sosial), pada dasarnya merupakan konsekuensi logis
dari suatu pembangunan. Sejalan dengan kondisi yang terjadi pada kawasan
pegunungan tengah jayawijaya yang sedang berlangsung terdampak dari
pembangunan wilayah dan akses informasi yang terbuka ke wilayah
masyarakat sempat, sehingga sistem sosial dimasyarakat yang bersahabat
lingkungan sedang mengalami perubahan yang menuju pada pengolahan
kayu, sementara tanaman buah pandan sedang mengalami kerusakan yang
luas.
Karena dengan adanya pemakaran beberapa kabupaten baru di wilayah
pegunungan Jayawijaya mengakibatkan lahan buah pandan sedang dirusakan
bahkan dalam kebun buah pandan sedang dirusakan demi membangun kantor
pemerintahan. Disamping kayu-kayunya diambil untuk membangun kantor-
kantor pemerintahan dan lebih parah lagi beberapa taman nasional yang ada di
135
136
kawasan tersebut saat ini dijadikan sebagai pusat kantor pemerintahan yaitu
Kabupaten Nguda merupakan dalam kawasan taman nasional Lorenzt,
Kabupaten Mamberamo Tengah dalam Cagar Alam Foja. Dan tidak dapat
mempertimbangkan keberadaan berbagai jenis hayati baik flora maupun fauna
yang ada di dalamnya yang tidak dimiliki dunia lain ini sebagai kekayaan alam
Indonesia yang seharusnya dipertahankan dan dipelihara tetapi hilang begitu
saja dalam kurung waktu singkat demi pemekaran Kabupaten baru di Papua.
Untuk menghilangkan sumberdaya alam lebih mudah dan cepat
daripada pemulihan kembali sumberdaya alam, oleh karena itu pentingnya
kesadaran untuk mengatur, memelihara dan mengelola sumberdaya alam yang
ada secara bijaksana, agar menikmati hasil sumberdaya alam saat ini yang
sama dengan generasi yang akan datang, karena dunia ini bukan milik
individual tetapi milik bersama artinya siapa saja hadir (lahir), di suatu wilayah
tertentu mempunyai hak untuk menikmati apa saja yang tersedia di alam
tersebut, tetapi ia mempunyai kewajiban untuk mengatur, memelihara dan
mengelola sumberdaya alam yang ada sebagai kekayaan yang dimiliki untuk
mempertahankan hidupnya di dunia. Dengan demikian sebagai tindakan
perlindungan, pengawetan, pemeliharaan dan pengumpulan barang-barang
yang ada. Ide untuk pengawetan sumberdaya lahan bagi pemakaian di masa
yang akan datang ialah ide yang paling banyak mendapat perhatian, sehingga
disini perlu dilihat pentingnya penggunaan sumberdaya alam yang efisien dan
teratur secara berkesinambungan.
Widada (2001), menyatakan bahwa suatu bentuk evolusi kultural dimana
pada saat dulu, pengelolaan sumberdaya alam yang menjamin pemanfaatan
137
secara bijaksana dan bagi sumberdaya terbaharui menjamin keseimbangan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya. Jadi sumberdaya alam bukalah memelihara persediaan
secara permanen tanpa pengurangan dan pengrusakan, karena jika demikian
penggunaan sama dengan nol (Suparmoko, 1997). Lebih lanjut di kemukakan
oleh Suparmoko (1997), bahwa pengurangan atau peniadaan penggunaan,
karena lebih mementikan bentuk penggunaan yang lain dalam hal sumberdaya
itu memiliki penggunaan yang bermacam-macam (multiple use resource).
Pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaataan dilakukan secara
bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
Dikaitkan dengan kebun buah pandan di dalam hutan lindung adalah suatu
kegiatan penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan
dan satwa, pemanfaatan sumberdaya lestari, pencegahan dan
penanggulangan ancaman dan gangguan kerusakan kawasan hutan, hasil
hutan dan kelestarian hutan yang berkelanjutan.
Hutan dan penghidupan masyarakat Adat di Tanah Papua merupakan
dua hal yang saling berhubungan erat dan tidak dapat terpisahkan, bagi
masyarakat setempat di Tanah Papua yang masih hidup bergantung
sepenuhnya pada pemanfaatan sumberdaya hutan sebagai sumber
penghidupannya. Secara turun-temurun. Masyarakat setempat penghidupan-
nya bergantung dari kekayaan alam, termasuk kekayaan hutan. Pengelolaan
hutan dan pemanfaatanya dilakukan dengan cara yang sederhana
berdasarkan pengetahuan setempat. Kebutuhan air bersih, protein hewani,
138
bahan pangan lokal dan obat-obatan, bahan bangunan diambil dari kawasan
hutan mereka.
Rujehan (2010) menyatakan bahwa sistem sosial dan sekosistemnya
selalu menunjukka interaksi dinamik dan terjadi perubahan pada sistem yang
disebabkan oleh sistem yang lain, sehingga menimbulkan perubahan baru
pada sistem tersebut. Interaksi ini adalah sebuah gaya yang tidak terputus.
Interaksi antara dua sistem dapat di analisis melalui perpindahan (aliran),
energi, materi dan informasi antara dua sistem tersebut dengan komponen
individualnya. Dalam interaksi lingkungan alam (ekosistem) dan manusia,
manusia merupakan pelaku pembangunan. Masyarakat di sekitar hutan
dengan kehidupan yang bersentuhan langsung dengan hutan merasakan
dampak keberadaan hutan secara langsung, baik dalam arti positif maupun
negatif. Maka sangat berasalan menempatkan masyarakat disekitar hutan
sebagai mitra utama pengelolaan hutan menuju hutan lestari. Hal ini sejalan
dengan konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM), sebagai
paradigm baru pengelolaan hutan.
Pengelolaan hutan secara lestari ialah proses pengelolaan hutan
permanen untuk mencapai satu atau lebih tujuan yang telah ditentukan dengan
berdasarkan komoditas produksi dan manfaat lain yang diinginkan, tanpa
mengakibatkan kemuduran nilai dan produktivitas dimasa yang akan datang
dan tanpa mengakibatkan timbulnya akibat yang tidak diharapkan pada
komponen fisik dan lingkungan sosial (Soedirma, 1995 dalam Rujehan, 2010).
Berdasarkan pemahaman ini, maka hutan buah pandan dimanfaatkan untuk
tujuan ekonomi. Sementara Anonimous (2002), menyebutkan bahwa
139
pengelolaan hutan secara lestari mengintegrasikan pengelolaan lingkungan,
ekonomi dan sosial. Pengelolaan hutan lestari (sustainable forest
managemeng) sebagai suatu sistem pengelolaan hutan yang menjamin
keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dengan memperhatikan
fungsi ekonomi, sosial dan lingkungan secara seimbang. Sosial disini
dimaksudkan dampak positif pada kesejahteraan sosial dan ekonomi jangka
panjang untuk masyarakat lokal. Selanjutnya lingkungan dimaksudkan
menjaga fungsi lingkungan hidup yang meliputi stabilis daerah aliran sungai,
konservasi sumberdaya biologi dan perlindungan habitan kehidupan liar.
Sedangkan ekonomi dimaksudkan konsep kelestarian hasil (Anonimous 2008).
Perlu digaris bawahi, bahwa prinsip kelestarian hutan cukup hanya
ditinjau dari sisi mempertahankan dan jika memungkinkan meningkatkan daya
dukung dan fungsi lingkungan (environmental sustainability) atau dari sisi
produktivitas dan keuntungan ekonomi antar generasi (economic sustainability)
sama. Akan tetapi juga tidak bisa diabaikan kelestarian ditinjau dari segi aspek
sosial (social sustainability), yaitu kesesuaian dengan pengelolaan sumberdaya
hutan dengan norma-norma sosial masyarakat setempat (Sarjono, 2004).
Lebih jauh dijelaskan lagi, bahwa hal tersebut dapat diartikan sebagai
pengelolaan sumberdaya yang mampu merefleksikan kepentingan (interests)
dan kependulian (concerns) dari individu, kelompok dan institusi sosial.
Sementara Upton dan Bass (1995), menyetakan prinsip-prinsip umum
kelestarian yang diharapkan dalam pengelolaan hutan ialah :
1. Kelestarian lingkungan (environmental sustainability), menunjukkan
bahwa ekosistem mampu mendukung kehidupan organisme secara
140
sehat, disamping pada waktu yang bersamaan mampu memelihara
produktivitas, adaptabilitas, serta kapabilitas untuk memperbaharui diri
(renewable), dimana hal ini mensyaratkan pengelolaan hutan yang
menghormati dan dibangun atas dasar proses-proses alami;
2. Kelestarian sosial (social sustainability), merefleksikan hubungan antara
pembangunan dan norma-norma sosial, dimana hal ini suatu kegiatan
secara sosial lestari bilamana memiliki kesesuaian dengan norma-norma
sosial atau tidak melebihi kapasitas masyarakat untuk suatu perubahan;
3. Kelestarian ekonomi (economic sustainability), menuntut bahwa
keuntungan bagi suatu (beberapa) kelompok tidak melebihi biaya yang
diperlukan dan capital yang setara dapat diwariskan dari suatu generasi
ke generasi berikutnya;
Sementara Sagaroa (2006), menyatakan bahwa konflik penguasaan
sumberdaya alam terjadi manakala struktur dan tatanan hukum lokal (adat)
dihancurkan. Adanya pengintegrasian dan penyeragaman ketentuan yang
mengatur pola penguasaan dan pengelolaan didominasi oleh pemerintah
sebagai refresentasi negara, untuk kepentingan mengejar pertumbuhan
ekonomi negara. Akan tetapi pola penguasaan dan pengelolaan tersebut
seringkali tanpa memperhatikan kehidupan masyarakat yang bergantung
hidupnya dari daya dukung lingkungan dan hutan. Oleh karena itu, penelitian
yang dilakukan di kawasan hutan pegunungan jayawijaya untuk menemukan
strategi yang adil dan pengelolaan hutan tanpa merusakan mendapat
keuntungan dari hutan melalui budidaya tanaman buah pandan sesuai kondisi
lingkungan dan sosial budaya masyarakat setempat.
Hutan merupaka kekayaan alam yang harus dipelihara dan
dimanfaatkan untuk kehidupan umat manusia, dimana dalam pemanfaatannya
harus memperhatikan azas kelestarian yang berkelanjuatan, sehingga generasi
mendatang masih dapat merasakan manfaatnya. Dengan menjaga kelestarian
hutan, maka secara tidak langsung membantu dalam memperlambat terjadinya
pengaruh yang sangat ditakuti oleh seluruh dunia yaitu dengan menipisnya
lapisan ozon, yang diduga dipengaruhi oleh rusaknya hutan-hutan tropis akibat
dari penebangan liar (Ilegal Loging), yang oleh sebagian orang dijadikan mata
pencarian kehidupan dan pengambilan sumberdaya alam yang berlebihan oleh
pemerintah. Dengan prinsip pengelolaan hutan lestari, generasi mendatang
masih dapat melihat hutan dalam cara pandang yang sepaham, yaitu hutan
yang sehat secara ekologi serta produktif bagi ekonomi (Soemarno, Affandi
dan priyono, 2011).
Lebih lanjut , Soemarno, Affandi dan priyono (2011), mejelaskan lebih
jauh bahwa pengelolaan hutan dapat dikatakan lestari bila memenuhi 3 (tiga)
kriteria yaitu : (1) kelestarian produksi, adalah terjadinya keberlangsungan
pemanfaatan hasil hutan dan usahanya; (2) kelestarian ekologi/lingkungan,
adalah salah satu dimensi hasil pengelolaan hutan lestari yang dapat menjamin
terpeliharanya fungsi ekosistem beserta komponennya (biotik dan abiotik)
dalam jangka panjang dan ; (3) kelestarian sosial dan budaya, adalah salah
satu dimensi hasil pengelolaan hutan lestari yang menjamin kesejahteraan dan
integrasi sosial melalui pelaksanaan jaminan akses dan control komuniti
terhadap sumberdaya hutan, pengendalian dampak pengusahaan hutan
141
terhadap komuniti, dan hubungan ketenagakerjaan yang harmonis antara unit
manajemen dan pekerja.
Raharjo dan Pradhan (2000), pengelolaan sumberdaya hutan berbasis
masyarakat (PSHBM) ialah salah satu alternatif atau pilihan dalam pengelolaan
sumberdaya hutan yang saat ini mengalami keterpurukan, sebagai akibat
akumulasi dari kesalahan-kesalahan pengurusan dimasa lalu. Kesalahan dari
pengelolaan dimasa yang lalu pada intinya adalah pada pengurusan sektoral
dan sentralistik dan tidak patuh pada prinsip pengelolaan berkelanjutan yang
secara jelas menekankan pada aspek ekonomi, ekologi dan equity (keadilan).
Ketidakpatuhan tersebut juga memperlihatkan pada pengurusan yang mangkir
terhadap amanah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 mengamanatkan
bahwa hutan sebagai sumberdaya alam harus dimanfaatkan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Dijelaskan lebih lanjut, bahwa pada banyak tempat selain Indonesia,
alasan memilih metode pengelolaan berbasis masyarakat adalah : (1)
kurangnya “keampuhan” dan tidak berkelanjutan secara ekonomi daripada
metode “konservasi yang mengesampingkan” masyarakat yang diwariskan dari
masa kolonial; (2) pentingnya melindungi sumberdaya alam dimana populasi
masyarakat yang tinggal disekitarnya berada dalam proporsi besar; (3)
kebutuhan untuk menyediakan insentif ekonomi kepada masyarakat lokal
sehingga mereka dapat menggunakan sumberdaya dengan berkelanjutan; (4)
kelangsungan pengelolaan hak milik bersama; (5) adanya bukti-bukti
kemanjuran pendekatan “bottom up” terhadap pembangunan daerah pedesaan
142
dan; (6) pentingnya menyediakan ganti rugi terhadap ketidakadilan akibat
pemindahan secara paksa saat dibentuknya wilayah yang dilindungi.
Untuk menuju hutan lestari yang dimaksud, perlu dipertahankan kualitas
manfaat biologi, ekologi dan ekonomi yang diberikan oleh ekosistem hutan
sehingga pada gilirannya lingkungan ekosistem dapat terjaga dengan baik.
Akan tetapi berdasarkan laporan dari kementerian Kehutanan Republik
Indonesia menyebutkan bahwa ekosistem hutan di Indonesia sudah
mengalami banyak gangguan yang dapat menurunkan nilai manfaatnya. Dari
laporan tersebut menjelaskan bahwa gangguan-gangguan ekosistem ini
menyebabkan degradasi ekosistem hutan yang sudah mencapai 59,17 juta
hektar dari luas total Indonesia sebesar 120,3 juta hekar atau dengan laju
degradasi reta-rata pertahun mencapai 2, 8 juta hektar (Tuheteru, 2008).
Degradasi ekosistem tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
diantaranya perambahan hutan atau illegal loging, tumpang tidih pemanfaatan
lahan dan kebakaran hutan. Khusus yang berkaitan dengan aktivitas
perambahan hutan biasanya disebabkan oleh beberapa faktor yaitu seperti
faktor-faktor ekonomi dan sosial budaya masyarakat.
Untuk menghindari hal tersebut, pengembangan komoditi unggulan dan
sistem pengelolaan karifan lokal berorientasi pada penguatan ekonomi
masyarakat setempat. Sistem pengelolaan partisipatif dapat menjamin
kelestarian manfaat ekonomi (tangible dan intangible), sebagai penyangga
penghidupan dan kehidupan untuk menuju kesejahteraan manusia dan
mahkluk lainnya. Manfaat tersebut, bagi hutan yang sudah terlajur degradasi
dapat ditingkatkan lagi melalui konservasi kawasan baik melalui kegiatan
143
144
perlindungan, pemeliharaan atau pengawetan maupun pemanfaatan yang
terbatas.
Konservasi diartikan sebagai suatu usaha pengelolaan yang dilakukan
oleh manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam sehingga dapat
menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya secara berkelanjutan untuk
generasi manusia saat ini, serta tetap memelihara potensinya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi generasi yang akan datang
(Irwanto, 2006). Dari kenyataan ini jelaslah bahwa kegiatan konservasi berarti
keberlangsungan fungsi ekologi dan manfaat ekonomi, sehingga
keberlangsungan fungsi dan manfaat tersebut menjadi indikator keberhasilan
suatu konservasi.
Rujehan (2010), menjelaskan bahwa tujuan utama konservasi, menurut
“Strategi Konservasi Sedunia” (World Consevation Strategy) ada tiga yaitu : (1)
memelihara proses ekologi yang esensial dan sistem pendukung kehidupan;
(2) mempertahankan keanekaan genesis dan; (3) menjamin manfaat jenis
(spesies) serta ekosistem secara berkelanjutan. Dari tujuan tersebut, maka ada
peluang bagi masyarakat pegunungan Jayawijaya untuk memanfaatkan buah
pandan dan ekosistem yang ada di sekitarnya. Disisi lain bila dilihat dari
sejarah perkembangan peradaban manusia di muka bumi, sesungguhnya
manusia tidak pernah lepas dari aspek pemanfaatan dan pengelolaan aneka
ragam jenis dan ekosistem di lingkungan sekitarnya.
3.2. Definisi Operasional dan Metode Pengukuran Variabel
145
Untuk mendapatkan kesamaan pikir dan pemahaman yang sama pada
penelitian ini dalam berbagai istilah, maka diperlukan batasan operasional
dengan beberapa penjelasan dan cara pengukurannya adalah tanaman buah
pandan memiliki struktur botani lengkap yaitu akar, batang, dan daun.
Tanaman ini tumbuh pada suatu daerah tertentu mempunyai kondisi iklim yang
berdeda dengan daerah lainnya, sehingga pola usahatani tanaman buah
pandan pun berbeda dengan tanaman pertanian lainnya, maka cara
pengukurannya sebagai berikut :
1. Gambaran lengkap adalah pengambilan data atau informasi secara fisik
maupun non fisik secara luas pada suatu wilayah/daerah tertentu tentang
aktivitas masyarakat terhadap objek tertentu yang sedang atau akan
diamati untuk mampu mendeskriptifkan untuk memberikan informasi
kepada pengguna jasa objek tersebut lebih luas.
2. Gambaran mendalam adalah pengambilan data atau informasi secara
khusus pada objek tertentu melalui pendekatan partisipan (ikut terlibat)
dalam aktivitas masyarakat pada suatu daerah tertentu untuk memaknai
dari objek yang diamati sebagai suatu nilai budaya, sosial, ekonomi,
politik, hukum dan pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat sebagai aset
milik suatu bangsa.
3. Ketinggian tempat adalah pengukuran ketinggian dari kawasan
pegunungan jayawijaya terdapat suatu titik pada daerah yang lebih jauh
dari permukaan di atas laut (DPL), memiliki ciri khas iklim yang berbeda
dengan keberadaan flora dan fauna yang unik di dunia. Salah satu hasil
flora yang unik adalah buah pandan yang dapat tumbuh di daerah
146
pegunungan jayawijaya memiliki cirri khas buah pandan sebagai pangan
dibandingkan dengan jenis pandan yang lain, karena membedakan antara
jenis pandan satu dengan yang lain indikasinya adalah ketinggian tempat.
4. Topografi adalah kawasan pegunungan jayawijaya memiliki garis kontur
benteng alam yang berbeda dengan wilayah lain dan terdapat benda-
benda alam yang unik membandingkan dengan wilayah lain di dunia.
Karakteristik unik yang membedakan peta topografi dari jenis peta lainnya
adalah peta ini menunjukkan kontur topografi atau bentuk tanah di
samping fitur lainnya seperti jalan, sungai, danau, dan lain-lain. Karena
peta topografi menunjukkan kontur bentuk tanah, maka peta jenis ini
merupakan jenis peta yang paling cocok untuk kegiatan outdoor dari peta
kebanyakan.
5. Buah adalah pertumbuhan sempurna dari bakal buah (ovarium). Setiap
bakal buah berisi satu atau lebih bakal biji (ovulum), yang masing-masing
mengandung sel telur. Bakal biji itu dibuahi melalui suatu proses yang
diawali oleh peristiwa penyerbukan, yakni berpindahnya serbuk sari dari
kepala sari ke kepala putik. Setelah serbuk sari melekat di kepala putik,
serbuk sari berkecambah dan isinya tumbuh menjadi buluh serbuk sari
yang berisi sperma. Buluh ini terus tumbuh menembus tangkai putik
menuju bakal biji di mana terjadi persatuan antara sperma yang berasal
dari serbuk sari dengan sel telur yang berdiam dalam bakal biji,
membentuk zigot yang bersifat diploid. Pembuahan pada tumbuhan
berbunga ini melibatkan baik plasmogami, yakni persatuan protoplasma
sel telur dan sperma, dan kariogami, yakni persatuan inti sel keduanya.
Setelah itu, zigot yang terbentuk mulai bertumbuh menjadi embrio
(lembaga), bakal biji tumbuh menjadi biji, dan dinding bakal buah, yang
disebut perikarp, tumbuh menjadi berdaging (pada buah batu atau drupa)
atau membentuk lapisan pelindung yang kering dan keras (pada buah
geluk atau nux). Sementara itu, kelopak bunga (sepal), mahkota (petal),
benangsari (stamen) dan putik (pistil) akan gugur atau bisa jadi bertahan
sebagian hingga buah menjadi pembentukan buah ini terus berlangsung
hingga biji menjadi masak. Pada sebagian buah berbiji banyak,
pertumbuhan daging buahnya sebanding dengan jumlah bakal biji yang
terbuahi.
6. Daging buah adalah dinding buah pandan yang berasal dari
perkembangan dinding bakal buah pada bunga, dikenal sebagai perikarp
(pericarpium). Perikarp ini sering berkembang lebih jauh, sehingga dapat
dibedakan atas dua lapisan atau lebih. Yang di bagian luar disebut dinding
luar, eksokarp (exocarpium), atau epikarp (epicarpium); yang di dalam
disebut dinding dalam atau endokarp (endocarpium); serta lapisan tengah
(bisa beberapa lapis) yang disebut dinding tengah atau mesokarp
(mesocarpium). Pada sebagian buah, khususnya buah tunggal yang
berasal dari bakal buah tenggelam, kadang-kadang bagian-bagian bunga
yang lain (umpamanya tabung perhiasan bunga, kelopak, mahkota, atau
benangsari) bersatu dengan bakal buah dan turut berkembang
membentuk buah. Jika bagian-bagian itu merupakan bagian utama dari
buah, maka buah itu lalu disebut buah semu.
147
7. Temperatur adalah sebuah keadaan standar yang digunakan dalam
pengukuran tekanan udara. Standar ini digunakan agar setiap data dalam
percobaan yang berbeda-beda dapat dibandingkan. Standar yang paling
umum digunakan adalah standar IUPAC dan NIST. Terdapat juga variasi
standar lainnya yang ditetapkan oleh organisasi-organisasi lainnya.
Standar IUPAC sekarang ini adalah temperatur 0 °C (273,15 K, 32 °F) dan
tekanan absolut 100 kPa (14,504 psi), sedangkan standar NIST adalah
20 °C (293,15 K, 68 °F) dan tekanan absolut 101,325 kPa (14,696 psi).
Pengembunan akan terjadi bila kelembaban nisbi mencapai 100 %. Pada
daerah lembab seperti di daerah tropis, ρ v akan lebih tinggi daripada
daerah temperate yang relatif kering terutama pada musim dingin (winter).
Pada musim dingin kapasitas udara untuk menampung uap air menjadi
kecil.
8. Suhu udara adalah ukuran energi kinetik rata - rata dari pergerakan
molekul- molekul. Jadi suatu keadaan yang menentukan kemampuan
untuk memindahkan (transfer) panas ke benda - benda lain atau menerima
panas dari benda - benda lain tersebut. Selama 24 jam, suhu udara selalu
mengalami perubahan – perubahan. Di atas lautan perubahan suhu
berlangsung lebih banyak perlahan – lahan daripada di atas daratan.
Variasi suhu pada permukaan laut kurang dari 1°C, dan dalam keadaan
tenang variasi suhu udara dekat laut hampir sama. Sebaliknya diatas
daerah pedalaman continental dan padang gurun perubahan suhu udara
permukaan antara siang dan malam mencapai 20°C. Sedangkan pada
148
daerah pantai variasinya tergantung dari arah angin yang bertiup.
Variasinya besar bila angin bertiup dari atas daratan dan sebaliknya.
9. Daun adalah salah satu organ tanaman buah pandan tumbuh dari batang,
umumnya berwarna hijau (mengandung klorofil) dan terutama berfungsi
sebagai penangkap energi dari cahaya matahari melalui fotosintesis. Daun
merupakan organ terpenting bagi buah pandan dalam melangsungkan
hidupnya karena buah pandan adalah organisme autotrof obligat, ia harus
memasok kebutuhan energinya sendiri melalui konversi energi cahaya
menjadi energi kimia. Bentuk daun makhota menempel pada batang pokok
sebelum membentuk cabang. Bentuk ekstremnya bisa meruncing panjang.
Warna hijau pada daun berasal dari kandungan klorofil pada daun. Klorofil
adalah senyawa pigmen yang berperan dalam menyeleksi panjang
gelombang cahaya yang energinya diambil dalam fotosintesis, daun juga
memiliki pigmen lain, misalnya karoten (berwarna jingga), xantofil
(berwarna kuning), dan antosianin (berwarna merah, biru, atau ungu,
tergantung derajat keasaman). Daun tua kehilangan klorofil sehingga
warnanya berubah menjadi kuning atau merah sampai coklat. Stoma
berfungsi sebagai organ respirasi. Stoma mengambil CO2 dari udara untuk
dijadikan bahan fotosintesis, mengeluarkan O2 sebagai hasil fotosintesis.
Stoma ibarat hidung kita dimana stoma mengambil CO2 dari udara dan
mengeluarkan O2, sedangkan hidung mengambil O2 dan mengeluarkan
CO2. Stoma terletak di epidermis bawah.
149
10. Batang adalah salah satu bagian organ dari tanaman buah pandan
setelah akar. Batang bersatu dengan akar melanjutkan sari makanan yang
dibawa oleh akar melalui jaringan pengangkut ke daun dan sebaliknya dari
daun ke akar. Batang berfungsi sebagai tempat menyimpan cadangan
makanan juga sebagai jalur transfer air melalui jaringan xylem dari akar ke
daun untuk mempercepat proses fotosintesis kemudian pengangkutan
hasil proses fotosintesis berupa gula untuk disimpan pada organ tubuh
bagian bawah melalui jaringan pholoem dari daun. Dan juga ada yang
melepaskan dari hasil proses fotosintesis melalui stomata daun sebagai
gas yang tidak penting bagi kebutuhan tanaman dalam bentuk respirasi
sebagai hasil buangan dari sisa tubuh tanaman.
11. Kelembaban udara adalah menggambarkan kandungan uap air di
udara yang dapat dinyatakan sebagai kelembaban mutlak,
kelembaban nisbi (relatif) maupun defisit tekanan uap air.
Kelembaban nisbi membandingkan antara kandungan/tekanan uap air
aktual dengan keadaan jenuhnya atau pada kapasitas udara
untuk menampung uap air. Kapasitas udara untuk menampung uap
air tergantung pada suhu udara selisih antara tekanan uap air jenuh
dengan tekanan uap aktual.
12. Biji adalah bagian yang berasal dari bakal biji dan di dalamnya
mengandung calon individu baru, yaitu lembaga. Lembaga akan terjadi
setelah terjadi penyerbukan atau persarian yang diikuti oleh pembuahan.
Habitus atau perawakan buah pandan biji sangat bervariasi, tergantung
150
151
pada jenisnya, misalnya Woromo, gawan, lim dan terep. Pengelompokan
klasik menjadi Monocotyledoneae (tumbuhan berkeping biji tunggal)
13. Benih adalah tanaman atau bagiannya yang digunakan untuk
memperbanyak dan atau mengembangbiakkan tanaman. Dalam
perkembangbiakkan secara generatif, bibit diperoleh dari benih yang
disemaikan. Sementara perkembangbiakkan secara vegetatif bibit dapat
diartikan sebagai bagian tanaman yang berfungsi sebagai alat reproduksi.
Kecilnya embrio tanaman tertutup dalam penutup yang disebut kulit biji,
biasanya dengan beberapa makanan yang disimpan . Pembentukan benih
melengkapi proses reproduksi pada tumbuhan biji (dimulai dengan
perkembangan bunga dan polinasi ), dengan embrio yang dikembangkan
dari zigot dan kulit biji dari integumen dari ovula. Benih telah menjadi
perkembangan penting dalam reproduksi dan penyebaran tanaman
berbunga. Hal ini dapat dilihat oleh keberhasilan tanaman bibit
(angiosperma) dalam mendominasi biologi relung di darat, dari hutan ke
padang rumput baik dalam panas dan dingin iklim .
14. penanganan pascapanen adalah tahap tanaman produksi segera setelah
panen , termasuk pembersihan, sortasi dan pengepakan. Tanaman
dipisahkan dari pohon tanamannya. Penanganan pascapanen sangat
menentukan kualitas akhir, apakah tanaman ini dijual seharga segar
konsumsi, atau digunakan sebagai bahan dalam makanan olahan produk .
Tujuan yang paling penting dari penanganan pasca panen adalah menjaga
produk, untuk menghindari hilangnya kelembaban dan memperlambat
perubahan kimia, dan menghindari kerusakan fisik untuk menunda
pembusukan. Setelah lapangan, pascapanen dilanjutkan di rumah
kemasan. Dalam pemanenan mekanis, pengolahan juga mungkin mulai
sebagai bagian dari proses panen yang sebenarnya, dengan awal
pembersihan dan penyortiran yang dilakukan oleh petani. Pascapanen
awal kondisi penyimpanan sangat penting untuk menjaga kualitas.
Tanaman buah pandan memiliki kisaran optimum untuk suhu penyimpanan
dan kelembaban. Berbagai metode berkecepatan tinggi pemanas, dapat
dikontrol untuk memperpanjang masa simpan.
15. Sistem budidaya adalah budidaya tanaman buah pandan pertanian
berkelanjutan seperti pertanian organik atau pertanian ekstensif , yang
melibatkan masukan lebih tinggi dari tenaga kerja, dan energi relatif luas
tanah bertani, tetapi fokus pada menjaga kesehatan jangka panjang
ekologi lahan pertanian, hasil produk yang tinggi tanpa menggunakan
bahan kimia.
16. Akar adalah organ tanaman yang terletak di bawah permukaan tanah. Hal
ini tidak selalu terjadi, namun karena root juga dapat udara (tumbuh di atas
tanah udara ) atau mengaerasi (tumbuh di atas tanah atau terutama di atas
air). Selanjutnya, batang biasanya terjadi di bawah tanah tidak luar biasa
baik (lihat rimpang ). Jadi, lebih baik untuk mendefinisikan root sebagai
bagian dari tubuh tanaman yang beruang tidak ada daun, dan karena itu
juga tidak memiliki node . Ada juga perbedaan penting antara struktur
internal batang dan akar. Akar pertama yang berasal dari tumbuhan
disebut radikula . Empat fungsi utama dari akar adalah 1) penyerapan air
dan nutrisi anorganik, 2) penahan dari tubuh tanaman untuk tanah dan 3)
152
penyimpanan makanan dan nutrisi dan 4) untuk mencegah erosi tanah.
Menanggapi konsentrasi nutrisi, akar juga mensintesis sitokinin , yang
bertindak sebagai sinyal untuk seberapa cepat tunas dapat tumbuh. Akar
sering berfungsi dalam penyimpanan makanan dan nutrisi..
17. Naungan adalah tanaman kemampuan untuk mentolerir rendah cahaya
tingkat. Istilah ini juga digunakan dalam hortikultura dan lansekap ,
meskipun dalam konteks ini penggunaannya kadang-kadang ceroboh,
terutama berkenaan dengan pelabelan tanaman untuk dijual di pembibitan
. Naungan toleransi adalah istilah relatif, dan penggunaannya dan makna
tergantung pada konteks. Satu dapat membandingkan besar pohon satu
sama lain, tetapi ketika membandingkan understory pohon-pohon dan
semak , atau non-kayu tanaman, istilah mengambil makna yang berbeda.
Bahkan dalam konteks tertentu, toleransi naungan bukanlah variabel
tunggal atau kontinum sederhana, melainkan, kompleks multi-faceted
milik tanaman, karena tanaman yang berbeda menunjukkan berbeda
adaptasi untuk teduh . Bahkan, tanaman yang sama dapat menunjukkan
berbagai tingkat toleransi naungan atau bahkan
kebutuhan untuk cahaya, tergantung pada sejarah masa
lalu atau tahap perkembangan.
BAB IVMETODE PENELITIAN
4.1. Objek dan Ruang Lingkup Metode Penelitian
153
sesuai dengan konsep petani buah pandan dalam hutan lindung, maka
penelitian ini metode yang akan digunakan adalah metode kualitatif untuk
mempelajari fenomena kesesuaian lingkungan tumbuh tamanan buah pandan,
jenis buah pandan yang dapat dibudidayakan oleh petani di Pegunungan
Jayawijaya. Jadi objek utama atau unit analisis penelitian adalah lingkungan
tumbuh yaitu : ketinggian tempat, suhu, kelembapan, cahaya, temperature,
intensitas cahaya matahari,dan jenis buah pandan terdiri dari dua yaitu
Woromo dan Gawang yang menjadi objek pengamatan adalah masing-masing,
karakteristik daun, akar, batang, biji, daging buah dan karakteristik pohon.
Dan pola budidaya yaitu karakteristik perbenihan, pesemaian, pemindahan
bibit, cara penanaman, pemeliharaan tanaman dan penanganan pascapanen.
Dan objek pelengkan adalah individu atau petani buah pandan dalam aktivitas
usahatani di dalam hutan lindung pada umumnya bertemu langsung dengan
petani atau anggota rumah tangganya. Berdasarkan semua aspek kajian di
atas akan membuat strategi pelestarian hutan lindung di kawasan pegunungan
Jayawijaya. Oleh karena itu, lingkup kajian tidah hanya pada teknis budidaya,
tetapi juga kajian strategi pengembangan tanaman buah pandan, agar hutan
tetap terpelihara sepanjang masa yang berkelanjutan.
4.2. Metode Penentuan Daerah Penelitian dan Penarikan Contoh
Desa sentra produksi buah pandan yang dipilih sebagai daerah atau
lokasi penelitian terletak di Kabupaten Lanny Jaya sebagai pemekaran dari
154
155
Kabupaten Jayawijaya merupakan Kabupaten induk di kawasan pegunungan
jayawijaya provinsi Papua.
Untuk penentuan daerah dan penarikan contoh digunakan teknik
penarikan beberapa tahap (Multistage Sampling), Tarigan dan Suparmoko
(1995). Tahap-tahap penentuan daerah dan penarikan contoh populasi adalah
sebagai berikut : tahap pertama memilih salah satu Kabupaten pemekaran
baru sentra produksi buah pandan secara radom. Tahap kedua memilih salah
satu kecamatan sentra produksi buah pandan dari beberapa kecamatan dalam
wilayah kabupaten sentra produksi yang terpilih pada tahap pertama secara
radom. Tahap ketiga, memilih satu desa sentra produksi buah pandan dari lima
besar desa sentra produksi dalam wilayah kecamatan yang terpilih pada tahap
kebua secara radom. Tahap keempat menarik petani contoh di desa terpilih
pada tahap ketiga. Tahap kelima menerapkan teknis wawantara yakni petani
pemilik kebun buah pandan. Untuk membantu memahami, mekanisme
penarikan contoh secara bertahap tersebut dalam bentuk alur di gambar 2
berikut.
8 Kabupaten Baru Pegunungan Jayawijaya
7 Kabupaten yang tidak masuk dalam wilayah penelitian
Kabupaten Lanny Jaya yang terpilih sebagai
daerah penelitian
Kecamatan Gamilea terpilih sebagai
daerah penelitian
Desa Ekapame yang terpilih sebagai
daerah penelitian
Desa Ekapame mempunyai jumlah penduduk 1.300 jiwa
10 orang dipilih sebagai contoh petani
sampel
156
Gambar 2. Prosedur Penarikan Contoh penentuan wilayah penelitian dan petani bertahap (Multistage Sampling)
4.3. Langkah-Langkah Prosedur Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan melalui 4 (empat), tahap. Tahap pertama
melakukan studi pendahuluan dengan tujuan untuk melihat dan memahami
dari dekat tentang situasi dan kondisi wilayah penelitian. Hal ini dilakukan untuk
Kabupaten Lanny Jaya memiliki10
Distrik
9 Distrik tidak masuk dalam daerah
Penelitian
Distrik Gamilea mempunyai 42 Desa
41 Desa yang tidak masuk dalam daerah
Penelitian
Individu (kepala suku, tokoh adat, tokoh Agama) di Desa Ekapame merupakan sampel tidak termasuk jumlah petani sampel di atas
Studi Pendahuluan
157
mengetahui permasalahan yang ada dalam kawasan pegunungan jayawijaya
terutama permasalahan dari kondisi biofisik kawasan hutan. Dari sini akan
dapat diketahui bagaimana hubungan kondisi boifisik kawasan hutan dengan
perilaku masyarakat yang bermukim disekitarnya, sehingga atas dasar studi
pendahuluan dan kerangka pikir akan menjadi landasan dalam menentukan
penelitian bagaimana diskemakan dalam langkah-langkah operasional sebagai
berikut (Gamber 3)
t
Gambar 3. Skema langkah-langkah Operasional Penelitian Berdasarkan skema pada gambar 3, di atas selanjutnya tahap kedua
adalah identifikasi ekolagi jenis buah pandan yang sesuai dengan kondisi
lingkungan tumbuh di kawasan pegunungan Jayawijaya sebagai komoditi
unggulan daerah tersebut. Pada tahap ini menyerap beberapa data dan
Identifikasi Lingkungan
Tumbuh Buah pandan
Identifikasi dua jenis Buah
pandan
Identifikasi sistem Bududaya Buah
pandan masyarakat setempat
Identifikasi Kondisi Internal dan Eksternal Budidaya dalam hutan
berdasarkan isu-isu pengelolaan hutan
berkelanjutan
Analisis Deskriptif
Analisis SWOT
Ekosistem terpelihara
Strategi Pelestarian buah pandan dan Hutan yang
berkelanjutan
Survei
158
informasi dari masyarakat setempat mengenai tujuan pemanfaat kawasan dan
cara-cara pemanfaatan lahan hutan lindung. Data dan informasi yang diperoleh
selanjutnya dijadikan sebagai bahan analisis dalam memahami perilaku
masyarakat setempat dalam pemanfaatan lahan hutan dan kemungkinan
dampak ekosistem yang ditimbulkan.
Selanjutnya untuk mengetahui manfaat buah pandan bagi masyarakat
setempat, tahap ketiga melakukan analisis mengenai dampak sosial budaya
dan ekonomi dalam masyarakat setempat yang dianggap nilai-nilai penting dari
leluhur mereka tentang pemanfaatan lahan hutan dan cara-cara pengaturan
untuk memberikan nilai ekonomi dalam keluarga masyarakat setempat.
Selanjutnya tahap keempat melakukan indentifikasi kondisi internal dan
eksternal petani buah pandan berdasarkan isi-isu manfaat ekonomi,biologi dan
ekologi hutan lidung tersebut. Dalam identifikasi kondisi internal, data dan
informasi yang dibutuhkan yang berkaitan dengan faktor-faktor kekuatan dan
kelemahan upaya mempertahankan hutan lindung, sementara identifikasi
kondisi eksternal berkaitan dengan faktor-faktor peluang dan ancaman upaya
menpertahankan hutan lindung. Data dan informasi ini selanjutnya dianalisis
untuk menentukan strategi tetap mempertahankan hutan lindung. Analisis
strategi tersebut dilakukan secara terpisah menjadi 2 (dua) bagian yaitu
strategi mempertahankan manfaat ekonomi dan strategi mempertahankan
manfaat non ekonomi (biologi dan ekologi) hutan lindung.
4.4. Metode Pengumpulan data
159
Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer atau data utama dapat dikumpulkan dari para
responden terpilih dari masyarakat setempat melalui teknik wawancara
langsung yang akan dipandu kuesioner yang dirancang dengan format
terstruktur dan semi-struktur (structured interview and semi-structured
interview). Mulyana (2001), menyatakan bahwa dalam merancang kuesioner
tersebut ada 2 (dua) hal yang perlu dijawab yaitu : 1) bagaimana responden
dijangkau dan; 2) spesifikasi data yang ingin diperoleh. Cara lain dalam
pengumpulan data disini adalah melalui diskusi kelompok terfokus (focus group
discussion-FGD), melibatkan para pihak terkait seperti kepala suku, tokoh
Adat, tokoh Agama masyarakat setempat.
Disamping itu data utama juga akan dikumpulkan melalui observasi
langsung ke lapangan (field observation), dengan cara dokumentasi atau
mencatat kondisi lingkungan melalui atat pengukuran thermohigrometer untuk
temperature udara, kelembapan udara, Lux meter untuk intensitas cahaya
matahari, klinometer untuk topografi dan ketinggian tempat di atas permukaan
laut (DPL), dan alat pengaris dan meter untuk menggukur luas daun, panjang
daun, diameter batang, rata-rata panjang akar udara, ukuran biji yaitu : besar,
sedang, kecil dan karakteristik buah pandan sesuai dengan tujuan penelitian.
Sedangkan data sekunder atau data penunjang akan dikumpulkan dari Dinas
kehutanan dan perkebunan Kabupaten maupun Provinsi Papua. Untuk
melengkapi data penunjang yang dimaksud juga akan dikumpulkan melalui
studi kepustakaan, informasi yang bersumber dari majalah, buletin dan
jurnal/laporan penelitian (media cetak dan elektronik/internet).
4.5. Metode Analisis Data
Untuk memudahkan penyajian analisis, maka sistimatika uraian sesuai dengan
tata urutan penyajian tujuan penelitian.
4.5.1. Deskripsi Lingkungan Tumbuh Tanaman Buah Pandan
Deskripsi tersebut pada dasarnya diarahkan untuk memahami :
1. Temperatur Udara rata-rata harian di daerah asal tumbuh tanaman buah
pandan.
2. Kelembapan Udara rata-rata harian di daerah asal tumbuh tanaman buah
pandan.
3. Intensitas Cahaya matahari rata-rata harian di daerah asal tumbuh
tanaman buah pandan;
4. Persentase naungan tajuk tegakan lain terhadapa tanaman buah pandan
5. Topografi, rata-rata kemiringan daerah asal tumbuh tanaman buah
pandan;
6. Ketinggian tempat, rata-rata ketinggian tempat asal tumbuh tanaman
buah pandan;
7. Kondisi tanah yaitu, warna, struktur, tekstur dan kandungan bahan
organik serta pH tanah.
4.5.2. Deskripsi dua Jenis Tanaman Buah Pandan
Deskripsi 2 (dua) jenis buah pandan tersebut pada dasarnya diarahkan untuk
memahami :
1. Daun yaitu : rata-rata jumlah, bentuk, ukuran dan warna daun
160
161
2. Buah yaitu : rata-rata berat buah, warna buah, ukuran biji , warna daging
dan manfaat buah pandan;
3. Pohon yaitu : rata-rata bentuk pohon, banyaknya jumlah anakan, cabang,
warna pohon, banyaknya akar udara dan penampilan pohan buah
pandan;
4.5.3. Deskrisi Sistem Budidaya Tanaman Buah Pandan
Deskripsi tersebut pada dasarnya diarahkan untuk memahami :
1. Aspek Pembibitan yaitu : pemilihan benih, cara pesemaian, pemeliharaan
bibit dan cara pemindahan pada lahan penanaman (tempat tetap)
2. Aspek Penanaman yaitu : persiapan lahan, pemindahan bibit, pengaturan
jarak tanam, pemeliharaan tanaman;
3. Aspek penanganan pascapanen yaitu : cara panen, pengeringan hasil
panen, pengemasan hasil panen dan cara memasarkanya.
4.5.3. Analisis SWOT
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah identifikasi
faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal dengan menggunakan SWOT,
pembuatan matrik SWOT.
4.5.4.1. Analisis IFAS dan EFAS
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
analisis faktor-faktor strategi internal dan disusun dalam suatu tabel IFAS
(Internal strategy factor analysis summary), yang merumuskan faktor-faktor
162
strategi disebut dalam kerangka strength (kekuatan) dan weakness
(kelemahan) Petani. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
a. Analisis Strategi Faktor Internal (IFAS)
Untuk membuat matrik faktor strategi internal (IFAS), dengan cara
sebagai berikut :
1. Menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan serta kelemahan
petani dalam kolom 1(satu).
2. Membuat bobot masing-masing faktor dalam kolom 2 (dua) mulai dari
1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting), berdasarkan
pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap posisi strategi petani. Jumlah
bobot tidak boleh lebih dari 1,00
3. Menghitung ranting (dalam kolom 3) untuk setiap faktor dengan memberi
skala mulai dari 4 (outstanding), sampai dengan 1,00 (poor).
4. Mengalikan bobot pada kolom 2 (dua) dengan rating pada kolom 3 (tiga)
untuk mendapatkan pembobotan dalam kolom 4 (empat). Hasil berupa
skor pembobotan untuk setiap faktor yang nilainya bervariasi mulai dari
4 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).
5. Menggunakan kolom 5 (lima), untuk memberi komentar atau catatan
mengenai alasan dipilihnya faktor-faktor tertentu dan bagaimana
perhitungannya skor pembobotannya.
6. Menjumlahkan skor pembobotan (pada kolom 4) untuk mendapatkan
total skor pembobotan bagi petani yang bersangkutan. Nilai total
menunjukkan bagaimana petani tertentu bereaksi terhadap faktor-faktor
strategi internalnya.
163
Tabel 6. Analisis Strategi Faktor Internal (IFAS)
Faktor internal Bobot Ranting Bobot x Ranting Komentar1 2 3 4 5
KekuatanKelemahanTotal
b. Analisis Strategi Faktor Eksternal (EFAS)
Menggunakan analisis faktor-faktor Strategi Eksternal yang disusun dalam
suatu tabel EFAS (Eksternal Strategi factor Analysis Summary), dalam rangka
opportunities (peluang) dan Threats (Ancaman) petani. Langkah-langkahnya
sebagai berikut :
1. Menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan serta kelemahan
petani dalam kolom 1(satu).
2. Membuat bobot masing-masing faktor dalam kolom 2 (dua) mulai dari
1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting), berdasarkan
pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap posisi strategi petani. Jumlah
bobot tidak boleh lebih dari 1,00
3. Menghitung ranting (dalam kolom 3) untuk setiap faktor dengan memberi
skala mulai dari 4 (outstanding), sampai dengan 1,00 (poor).
4. Mengalikan bobot pada kolom 2 (dua) dengan rating pada kolom 3 (tiga)
untuk mendapatkan pembobotan dalam kolom 4 (empat). Hasil berupa
skor pembobotan untuk setiap faktor yang nilainya bervariasi mulai dari
4 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).
5. Menggunakan kolom 5 (lima), untuk memberi komentar atau catatan
mengenai alasan dipilihnya faktor-faktor tertentu dan bagaimana
perhitungannya skor pembobotannya.
164
6. Menjumlahkan skor pembobotan (pada kolom 4) untuk mendapatkan
total skor pembobotan bagi petani yang bersangkutan. Nilai total
menunjukkan bagaimana petani tertentu bereaksi terhadap faktor-faktor
strategi internalnya.
Tabel 7. Analisis Strategi Faktor Eksternal (EFAS)
Faktor Eksternal Bobot Ranting Bobot x Ranting Komentar1 2 3 4 5
Peluang Ancaman Total
4.5.4.2. Matrik SWOT
Menggunakan analisis SWOT untuk menentukan strategi yang dipilih,
semua informasi yang didapat dari analisis strategi factor internal dan eksternal
dimasukkan dalam model kuantitatif perumusan strategi. Alat yang dipakai
adalah matrik SWOT. Matrik SWOT dapat mengambarkan secara jelas
bilamana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi petani dapat
disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matrik ini dapat
menghasilkan 4 (empat) set kemungkinan alternative strategi dapat lihat pada
gambar berikut ini :
IFAS
EFASSTRENGTH
WEAKNESS
OPPORTUNITIES STRATEGI SO
Strategi yang menggunakan
kekuatan untuk menangkap
kesempatan/peluang
STRATEGI WO
Strategi untuk
mengatasi kelemahan
dengan mengambil
165
kesempatan yang ada
THRETS
STRATEGI ST
Strategi yang menggunakan
kekuatan untuk menghindari
ancaman
STRATEGI WT
Strategi untuk
mengatasi kelemahan
dan menghindari
ancaman
Gambar 4. Matrik SWOT
David (2004), menyatakan bahwa matrik SWOT merupakan alat
pencocokan yang penting untuk membantu manajer mengembangkan 4
(empat) tipe strategi yaitu : SO, Strategi WO, Strategi ST dan Strategi WT.
strategi SO adalah strategi kekuatan peluang yang mana menggunakan
kekuatan internal organisasi untuk memanfaatkan peluang eksternal, strategi
WO atau strategi kelemahan peluang bertujuan untuk memperbaiki kelemahan
dengan memanfaatkan peluang eksternal, strategi ST atau strategi kekuatan
ancaman menggunakan kekuatan ornganisasi untuk menghindari dan
mengurangi dampak ancaman eksternal, dan WT atau strategi kelemahan
ancaman diarahkan untuk mengurangi kelemahan internal dan menghindari
ancaman lingkungan.
Tujuan dari penggunaan matrik SWOT tersebut adalah untuk
menghasilkan strategi alternatif yang layak, bukan untuk memilih atau
menetapkan strategi mana yang terbaik. Langkah-langkah dalam membuat
matrik adalah :
1. Membuat daftar peluang eksternal Petani Buah Pandan
2. Membuat daftar ancaman eksternal Petani Buah Pandan
166
3. Membuat daftar kekuatan internal Petani Buah Pandan
4. Membuat daftar kelemahan internal Petani Buah pandan
5. Mencocokan kekuatan-kekuatan internal dan peluang-peluang eksternal
dan mencatat hasilnya dalam sel strategi SO.
6. Mencocokan kelemahan-kelemahan internal dan peluang-peluang
eksternal dan mencatat hasilnya dalam sel strategi WO.
7. Mencocokan kekuatan-kekuatan internal dan ancaman eksternal dan
mencatat hasilnya dalam sel strategi ST
8. Mencocokan kelemahan-kelemahan internal dan ancaman eksternal
dan mencatat hasilnya dalam sel strategi WT.
Untuk mengetahui kinerja petani dan arah pengembangan selanjutnya
dapat ditentukan oleh kombinansi faktor internal dan eksternal. Kedua faktor
tersebut harus dipertimbangkan antara faktor eksternal peluang (opportunities)
dan ancaman (threts) dengan faktor internal kekuatan (strength) dan dengan
kelemahan (weaknesses) (Rangkuti, 1996) dapat lihat pada gamabr 5, berikut
ini :
3 1
(WO) (SO)
Mendukung Strategi Mendukung Strategi Konservatif Agresif
BERBAGAI PELUANG
167
4 2
(WT) (ST)
Mendukung Strategi Mendukung Strategi Defensif Deversifikasi/Bersaing
Gambar 5. Diagram Analisis SWOT
Keterangan :
Kuadran 1. Merupakan situasi yang menguntungkan Petani karena Petani
dapat menggunakan kekuatan internalnya untuk memanfaatkan
peluang eksternal, mengatasi kelemahan internal dan
menghindari ancaman eksternal. Strategi yang harus diterapkan
dalam kondisi inia adalah mendukung budidaya kearifan lokal
yang agresif.
Kuadran 2. Meskipun menghadapi berbagai ancaman, Petani masih memiliki
kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah
menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka
panjang dengan strategi diversifikasi (produk/pasar).
Kuadran 3. Petani menghadapi peluang pasar yang sangat besar, tetapi dilain
pihak Petani menghadapi beberapa kendala atau kelemahan
internal. Fokus strategi ini adalah meminimalkan masalah-
BERBAGAI ANCAMAN
KEKUATAN INTERNAL YANG
BERSAR
KELEMAHAN INTERNAL YANG
KRITIS
168
masalah internal Petani sehingga dapat merebut peluang pasar
yang lebih baik dengan strategi konservatif.
Kuadran 4. Situasi ini sangat tidak menguntungkan karena petani dihadapi
pada berbagai ancaman dan kelemahan internal.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 1985. Cara uji Ketahanan luntur warna terhadap cahaya terang hari. Departemen Perindustrian, Jakarta. SNI 08-0289. Browning. B. L. The Chemistry of Wood. John Willey and Sons Inc. New York.
169
,1990. Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan Hutan Lindung, Jakarta.
,1993. Etnografi Irian Jaya. Panduan sosial budaya. Buku satu kelompok penelitian Etnografi Irian Jaya. UNCEN Jayapura.
,1999. Undang-undang nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, Jakarta.
,1990. Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan Hutan Lindung, Jakarta.
,2001. Ekosistem dan kesejahteraan manusia. Suatu kerangka piker untuk penelitian. Laporan kelompok kerja “ conceptual framework millennium ecosystem assessment”. pp.42http://www.kehati.or.id/pdf/summaryMA Indonesia.pdf.
,2002. Buku I pengelolaan hutan lestari di tingkat unit manajemen hak perusahaan hutan. Prosiding lokakarya dan pameran. Berau forest management project, Jakarta.pp.129
, 2008. Hasil hutan bukan kayu (sebuah potensi bagi peningkatan kesejahteraanmasyarakat). http://www.bpdasjeneberang.net/index2.php?option =com content&do pdf=1&id=22
, 2009. Peluang investasi di Papua. Badan koordinasi
penanaman modal (BKPM) of Papua Province. http://www.Papua.go.id.
Aditya Hani dan Benyamin Dendang, 2008. Teknik pembibitan pandan (pandanus tectorius parlinson EX.Z). Balai penelitian Kehutanan Ciamis. Info Hutan Vol. V No. 3 : 255-260, Hal
Atmanto, W.D. 2000. Fisiologi Pohon. Diktat Kuliah. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 1999. Pembuatan Persemaian Permanen Tanaman Hutan. Jakarta.
Berlin, B. 1973. Folk systematics in relation to biological classification and nomenclature. Annual Review of Ecology & Systematic 4: 250-271.
170
,1992. Ethnobiological Classification: Principles of Categorization of Plants and Animals in Traditional Societies. Princeton: Princeton University Press.
Backer, C.A. 1925. Handboek voor de Flora van Java. vol. 1. Batavia: Drukkerijen Ruygrok.
Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink Jr. 1968. Flora of Java (Spermatophytes only). vol. 3. Groningen: NV. P. Noordhoff.
Chapman, J. L. dan M. J. Reiss. 1997. Ecology: Principles and Applications. Cambridge University Press. Fifth Edition.
Craven,I. and Y. de Fretes, 1987. Arfak mountains nature conservation area Irian jaya. A world wildlife fund roport for the direetorate general of forest protection and nature conservation Bogor, Indonesia.
Daniel T. W, J.A. Helms and F.S. Baker, 1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
David R. fred, 2004. Konsep-konsep manajemen strategi. Edisi Sembilan. PT. Intan sejati klaten.
Darjanto, S. Satifah, 1990. Biologi Bunga dan Teknik Penyerbukan Silang Buatan, PT Gramedia, Jakarta, p.143. hal
Direktorat Jenderal Kehutanan. 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Jakarta: Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Kehutanan.
Edy Suryadi, 2010. Kearifan lokal dan perilaku edukatif, ilmiah, religious. Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 8-10 November. pengaruh kearifan lokal Sunda terhadap akumulasi perilaku edukatif, ilmiah, dan religious sivitas Akademik Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.pp.601-617 hal
Faridah E, 1996. Pengaruh Intensitas Cahaya, Mikoriza Dan Serbuk Arang Pada Pertumbuhan Alam Drybalanops Sp Buletin Penelitian Nomor 29. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Fitriansyah, M. 2006. Pelaksanaan dan strategi pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) manggar wilayah kota Balipapan. Skripsi program sarjana pada jurusan manajemen hutan fakultas kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. http://www.rimbawa.com/sosial/MODEL%20FOREST%20PPROACH.pdf.
171
Gopal, B. dan N. Bhardwaj. 1979. Elements of Ecology. Department of Botany. Rajasthan University Jaipur, India.
Haeruman Js, H. 1980. Hutan sebagai Lingkungan Hidup. Jakarta: Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup.
Heddy S., S.B. Soemitro, dan S. Soekartomo. 1986. Pengantar Ekologi. Jakarta: Rajawali.
Heyne, K. 1927. De Nuttige Planten van Nederlandsch Indië. 2nd ed. vol. 1. Batavia: Department van Landbouw, Nijverheid en Handel in Nederlandsch Indië.
Hidayat, T. 2000. Studi kearifan budaya petani Banjar dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut. Jurnal Kalimantan Agrikultura 7(3), Desember 2000. Hlm. 105-111. Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.
Hofstede, H.W. 1925. Het Pandanblad: Als Grondstof voor de Pandanhoedenindustrie op Java. Eibergen: H. Heinen.
Ina Winarni dan Totok K. Waluyo, 2006. Peningkatan teknik pengolahan daun pandan dalam pewarnaan dan pengeringan. Makara sains, Volume 12, No.7, mei 118-136. Hal
Indriyanto, 2005. Ekologi hutan. PT. Bumi Aksra. Jakarta.
Irwan, Z.D. 1992. Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi: Ekosistem, Komunitas, dan Lingkungan. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Jebb, M. 1992. A Field Guide to Pandanus in New Guinea, the Bismarck Archipelago & the Solomon Islands. Madang: Christensen Research Institute.
Kadri, W. dkk. 1992. Manual Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
Kartodiharjo, H., dan Supriono, A. 2000. Dampak pembangunan sektoral terhadap konversi dan degradasi hutan alam : kasus pembanguna HTI dan perkebunan di Indonesia. Occasional paper No. 26 (1). Center for International forestry research, Bogor. Pp. 17 http://www.cofi.cqiar.or/publications/pdf file/occpapers/op-26i.pdf
172
Kramer P. J. and T. T. Kozlowski, 1979. Physiology of Woody Plants. Academic Press, Inc. Florida.
Keim, A.P., Rugayah, S. Prawiroatmodjo, M. Rahayu, F.I. Windadri, S. Sunarti, K. Kramadibrata, Y. Santika, Dewi, Sunardi, dan Hamzah. 2006. Keanekaragaman suku pandan (Pandanaceae) di beberapa wilayah terpilih dalam lingkup Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Laporan Perjalanan Eksplorasi dan Pengungkapan Pemanfaatan Flora untuk Revisi Suku-suku Terpilih, Taman Nasional Ujung Kulon-Banten. Herbarium Bogoriense, Bogor. Bogor: Puslit Biologi LIPI.
Keim, A.P. 2007. 300 tahun Linnaeus: Pandanaceae, Linnaeus dan Koneksi Swedia.”Memperingati 300 tahun Carolus Linnaeus”. Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Bogor, 24 Mei 2007.
Kendeigh, S.C. 1980. Ecology with Special Reference to Animal and Man. Department of Zoology University of Illinois at Urbana-Champaign. New Delhi: Prentice-Hall of India Private Limited.
Kormondy, E.J. 1991. Concepts of Ecology. Third Edition. New Delhi: Prentice-Hall of India Private Limited.
Kosasih, A. S. dan Y. Heryati. 2006. Pengaruh Medium Sapih Terhadap Pertumbuhan Bibit Shorea selanica Bl. di Persemaian. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam III (2) : 147-155. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Lakitan, B. 1993. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Leigh, C. 2002. Baining Dances and Bark Cloth Masks, East Britain Province-Papua New Guinea. Tucson: Art-Pacific.
Lestari, W. 2006. Kajian pratek-praktek pemanfaatan lahan oleh masyarakat di sekitar hutan lindung Bontang (HLB). Skripsi program Sarjana pada jurusan manajemen hutan Fakultas kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda.pp.83
Manan, S. 1978. Masalah Pembinaan Kelestarian Ekosistem Hutan. Bogor: Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Marjenah, 2001. Pengaruh Perbedaan Naungan di Persemaian Terhadap Pertumbuhan dan Respon Morfologi Dua Jenis Semai Meranti. Jurnal Ilmiah Kehutanan ”Rimba Kalimantan” Vol. 6. Nomor. 2. Samarinda. Kalimantan Timur.
173
Mindawati, Nina dan E. Y. Susilo. 2005. Pengaruh Macam Media terhadap Pertumbuhan Semai Acacia mangium Willd. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam II (1) : 53-59. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Mulyana Deddy. 2001. Metodologi penelitian kualitatif pradigma baru ilmu komunikasi dan ilmu sosia lainnya. PT. Remaja Rosdakya Bandung.
Mulyadi,F. 2005. Partisipasi masyarakat lokal dalam upaya konservasi di hutan penelitian dan pendidikan di bukit Soeharto. Tesis program master pada program studi kehutanan program pasca sarjana Universitas Mulawarman, Samarinda. pp. 128
Mulyati Rahayu, Siti Sunarti, Ary Prihaedhyanto Keim, 2008. Kajian Etnobotani pandan Semak (Pandanus odoratissimus L.f) : pemanfaatan dan peranannya dalam usaha menunjang penghasilan keluarga di Ujung kulon Banten. “Herbarium bogoriense” Bidang Botani, pusat penelitian biologi-LIPI. Biodiversitas volume 9, nomor 4 oktober 310-314 Hal.
Naingolan, 2001. Aspek ekologi kultivar buah merah panjang (pandanus conoideus Lamk) di daerah dataran rendah Manokwari. Jurusan kehutanan, Fakultas Pertanian. Universitas Cenderawasih manokwari. Manokwari.
Noor, H.Dj., S.S. Antarlina dan I. Noor. 2007; Kearifan lokal dalam budidaya jeruk di lahan rawa. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.
Odum, E. HLM. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahjono Samingan dari buku Fundamentals of Ecology. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Powell, J.M. 1976b. Some useful wild and domesticated plants of the Huli of Papua. Science in New Guinea 4: 173-201.
Raharjo, D.Y. dan Pradhan U, 2000. Pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat : wahana atau pilihan. 11 Hal.http://www.damarnet.org/download/makalah%20seminar%20PSHBM-Damar.pdf.
Rahmawaty, 2004. Tijauan Aspek pengembangan hutan rakyat. Fakultas pertanian jurusan Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Medan.pp. 9. http://www.library.usu.ac.id/downlond/pdf/hutan-rahmawaty9.
174
Rasyid. H.A, Marfuah, Wijayakusumah. H, Hendarsyah. D. 1991, Vademikum Dipterocarpaceae. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Riyanto, G. 2006. Orde politik dan kebijakan pengelolaan Hutan di Indonesia. Masyarakat (jurnal sosiologi), Edisi: XIII. No. 2. Des-2006. Tema Pembangunan sosial dan lingkungan. Lab sosio-pusat kajian sosiologi fisip UI, Jakarta. pp. 216.
Rose, C.J. 1982 Preliminary observations on the Pandanus (Pandanus julianettii Martelli). Proceedings of the Second Papua New Guinea Food Crops Conference. Port Moresby: Department of Primary Industry, PNG. Rumphius, G.E. 1743. Herbarium Amboinense. Vol. 4. Amsterdam: Franciscus Changuion.
Resosoedarmo, S., K. Kartawinata, dan A. Soegiarto. 1986. Pengantar Ekologi. Bandung: Remadja Rosda Karya.
Rujehan, 2010. Pengelolaan kawasan Hutan lindung sungai wain (HLSW) Kalimantan Timur. Disertasi Program Doktor Ilmu pertanian. Program pascasarjana Universitas Brawijaya Malang.
Sagaroa, Y. 2006. Kebijakan dan kelembagaan CBFM di tingkat Nasional dan kolaborasi mulpihak. Paper untuk workshop kelembagaan CBFM . UGM dan JAVLEC. Yogyakarta. pp.9
http://www.infojawa.org/pekanraya/downlond/h3cbfmmaterilohsagaroa.doc
Santoso, Y. 1996. Diversitas dan Tipologi Ekosistem Hutan yang Perlu Dilestarikan. Proseding Simposium Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi pada Tanggal 10-12 Agustus 1995. Kerja Sama Fakultas Kehutanan IPB dengan Yayasan Gunung Menghijau dan Yayasan Pendidikan Ambarwati. Bogor.
Setiadi, Y. 1983. Pengertian Dasar tentang Konsep Ekosistem. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Simarangkir B.D.A.S, 2000. Analisis Riap Dryobalanopslanceolata Burck pada Lebar Jalur yang Berbeda di Hutan Koleksi Universitas Mulawarman Lempake. Frontir Nomor 32. Kalimantan Timur.
Sri Endarti Rahayu dan Sri Handayani, 2010. Keragaman genetik panda nasal Jawa barat berdasarkan penanda inter simple sequence repeat. Jurusan biologi, fakultas biologi, Universitas Nasional. Makara sains, Volume 14, No.2, November 158-162 Hal
Soerianegara, I. dan A. Indrawan. 1982. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor:
175
Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor
soemarno, Affandi, M.R.; dan Sugeng Priyono, 2011. Green Teknologi pengelolaan lahan Agroforestry. Program pascasarjana, Fakultas pertanian Universitas Brawijaya malang. Malang.
Soedirman, S. 1995. Manajemen perusahaan hutan (diklat kuliah), Fakultas kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. pp. 34
Soerjani, M.; R. Ahmad dan R. Munir, 1987. Lingkungan (Sumberdaya alam dan kependudukan dan pembangunan). Penerbit Unversitas Indonesia Jakarta. pp.283
Soemarwoto, O. 1983. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Djambatan.pp.381
Suhardi, 1995. Effect Of Shading, Mycorrhiza Inoculated And Organic Matter On The Growth Of Hopea Gregaria Seedling Buletin Penelitian Nomor 28. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Susiarti, S. dan M. Rahayu. 2006. Kajian Etnobotani Pandanaceae di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Laporan Perjalanan Eksplorasi dan Pengungkapan Pemanfaatan Flora untuk Refisi Suku-suku Terpilih. Bogor: Puslit Biologi LIPI.
, 2010. Kajian etnobotani pandan semak (Pandanus tectorius Sol) di kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Berita biologi 10 April Laboratorium etnobotani. Pusat penelitian biologi-LIPI. Bogor.
Sunaryo dan L. Joshi. 2003. Peranan pengetahuan ekologi lokal dalam sistem agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office. Bogor, Indonesia.
Suparmoko, 1997. Ekonomi sumberdaya alam (suatu pendekatan teori) Edisi ketiga. BPFE. Universitas Gajah Mada Yogyakarta.pp,568
Stone, B.C. 1982. New Guinea Pandanaceae: First approach to ecology and biogeography. In: Gressitt, J.L. (ed.). Biogeography and Ecology of New Guinea. Vol. 1. Monographiae Biologicae 42. The Hague: Dr. W. Junk Publ.
,1983. A guide to collecting Pandanaceae (Pandanus, Freycinetia and Sararanga). Annals of the Missouri Botanical Garden 70: 137-145.
176
,1984. Pandanus from Ok Tedi Region, Papua New Guinea, collected by Debra Donoghue. Economic Botany 38: 304-313.
Tuheteru, F.D. 2008. Deforestasi dan pemanasan Global. Mahasiswa pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor.
http://www.hotinfile.com/files/877235dqz/ASIDANPEMANASANGLOBAL-051207.DOC.
Upton, C. and Bass, S. 1995. The forest certification handbook. Earthscan publications Ltd. London.
Vickery, M.L. 1984. Ecology of Tropical Plants. John Wiley and Sons. New York. HLM. 56-76. Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
Warburg, O. 1900b. (21 Dec.). Pandanaceae. In: Engler, A. (ed.). Pflanzenreich 4, 9 (3): 1-100. Berlin: Engelmann.
Weidelt, H. J, 1995, Silvikultur Hutan Alam Tropika (Diterjemahkan oleh : Nunuk Supriyanto), Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.
Widada, 2001. Konservasi sumberdaya alam hayati dan upaya pengelolaan taman Nasional Gunung Halimun. Program pascasarjana/ S3 Institut Pertanian Bogor. http://www.dephut.go.id/INFORMASI/PHP/TFGD. htm.