welcome to unud repository - unud repository
TRANSCRIPT
TEKS
1
KATA PENGANTAR
Om Swastiastu
Puji Syukur kami panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan
Yang Maha Esa, karena atas berkat-NYA buku naskah lengkap “Workshop on
Pneumonia: Deal the Challenge – Improve the Outcome” ini dapat disusun
dan diterbitkan. Buku ini diharapkan dapat menjadi acuan peserta workshop
khususnya, serta klinisi pada umumnya dalam menangani kasus pneumonia.
Pneumonia merupakan salah satu masalah infeksi utama di dunia. Hingga
saat ini, angka kematian akibat pneumonia masih cukup tinggi bila
dibandingkan dengan kematian akibat penyakit infeksi lain. Melalui
workshop yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Kesehatan Paru
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana pada tanggal 23 Juli 2016 ini,
diharapkan mampu menyebarluaskan ilmu dan informasi dalam menangani
kasus pneumonia. Kegiatan dan buku naskah lengkap ini merupakan
sumbangsih kami kepada institusi, teman sejawat, serta masyarakat pada
umumnya dalam rangka menigkatkan keberhasilan penatalaksanaan
pneumonia.
Dengan diadakannya wokshop beserta diterbitkannya buku naskah lengkap
ini, kami harapkan dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Manfaat
dari bidang akademis, pelayanan kesehatan, serta pengabdian kepada ilmu
pengetahuan dan masyarakat.
TEKS
2
Akhir kata, kami sampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua
sejawat selaku kontributor buku naskah lengkap ini. Semoga mendapatkan
manfaat dari kegiatan ini.
Om Santhi Santhi Santhi
Denpasar, 11 Juli 2016
Ida Bagus Ngurah Rai
Teks
3
DAFTAR ISI
Pneumonia Overview ..............................................................................
Pneumonia Pathogenesis ........................................................................
Pathophisiologi of Pneumonia ................................................................
Diagnosis of Pneumonia .........................................................................
Pneumonia Layanan Primer .....................................................................
Pneumonia Komunitas .............................................................................
HCAP ........................................................................................................
HAP ..........................................................................................................
VAP ...........................................................................................................
Pneumonia Aspirasi .................................................................................
Pneumonia Viral .......................................................................................
Pneumonia Jamur ....................................................................................
Pneumonia MRSA ....................................................................................
Pneumonia Acineto Bacter Baumanni .....................................................
Pneumonia Atipical ..................................................................................
Pneumonia Imunocompromised .............................................................
Pneumonia pada Pasien Geriatri .............................................................
Pneumonia pada Penggunaan NAPZA .....................................................
Pneumonia pada Kehamilan ....................................................................
Pneumonia terkait Wisata (traveler Pneumonia) ....................................
TEKS
4
PNEUMONIA: OVERVIEW
Ida Bagus Ngurah Rai
Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pneumonia adalah suatu penyakit paru yang disebabkan oleh infeksi bakteri,
virus atau mikroorganisme lainnya di parenkim paru. Infiltrasi sel radang
beserta komponen lainnyayang terlibat dalam proses peradangan di daerah
alveoli mengakibatkan gangguan proses difusi. Hal ini menyebabkan
keadaan klinis pasien dengan pneumonia cenderung berat dan berpotensi
fatal.
Pasien pneumonia yang di rawat inap di rumah sakit tidak sedikit
jumlahnya. Dari pengamatan lapangan harian yang dilakukan dalam kurun
waktu 2015-2016 ini di Ruang Rawat Intermediate Instalasi Rawat Darurat
Rumah Sakit Sanglah Denpasar, 70% lebih pasien yang dirawat dengan
masalah paru dan respirasi adalah pneumonia. Hampir seluruh pasien
pneumonia tersebut, menderita penyakit komorbid lainnya antara lain
penyakit paru obstruktif kronik, penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis
rutin, penyakit keganasan, pasca infeksi demam berdarah, diabetes mellitus,
infeksi HIV, stroke. Hal yang sama ditemukan di Ruang Rawat Pelayanan
Jantung Terpadu, hampir 80% pasien dengan masalah paru dan respirasi
yang dirawat di situ adalah pneumonia. Di Inggris, dalam periode waktu 10
tahun (1998-2008) terjadi peningkatan 4,2% per tahun pasien pneumonia
komunitas dan semakin meningkat pada tahun 2009-2014 menjadi 8,8% per
Teks
5
tahun.1 Penelitian di Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan bahwa CAP
berat membutuhkan perawatan di ICU dan angka kematiannya mencapai
39%.2 Sebuah penelitian multisenter di Malaysia, Indonesia dan Filipina yang
melibatkan masing-masing 58.075, 134.500, 50.791 pasien MRS
menunjukkan proporsi kasus pneumonia dan case fatality rate (CFR) yang
berbeda-beda. Proporsi kasus pneumonia di Malaysia, Indonesia, Filipina
masing-masing 6,4%; 1,5%; 19,9% sedangkan CFR diantara kasus pneumonia
masing-masing 11,5%; 5,2%; 3,6%.3 Berdasarkan data WHO tahun 2012,
infeksi saluran napas bawah (pneumonia) merupakan penyebab kematian
terbanyak keempat (5,2%) di Indonesia.4 Proporsi kasus pneumonia yang
dirawat inap di rumah sakit adalah 53,95% laki-laki dan 46,05% perempuan,
dengan CFR 7,6% .5
Permasalahan Pneumonia
Beberapa masalah penting dalam perawatan pasien pneumonia mencakup
diagnostik dan terapi.
Diagnostik
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, namun bakteri
merupakan patogen penyebab pneumonia terbanyak. Pneumonia
berpotensi menjadi penyakit berat dan seringkali pada pemeriksaan kultur
tidak ditemukan kuman penyebab infeksi sehingga diperlukan prediktor lain
untuk menentukan penyebab dengan cepat tanpa harus menunggu hasil
kultur.
TEKS
6
Pneumonia bakterial secara klinis dapat dibedakan dengan
pneumonia virus. Gambaran klinis pneumonia bakterial yaitu gejala respirasi
akut seperti batuk produktif dan purulen, demam tinggi; gambaran
konsolidasi pada pemeriksaan fisik dan foto toraks.5 Gambaran klinis
pneumonia virus yaitu gejala rinore dan gambaran ground glass opacity
pada foto toraks.6 Pemeriksaan PCR dari usapan nasofaring atau orofaring
dapat digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi virus. 6,7
Pemeriksaan petanda infeksi seperti prokalsitonin (PCT) dan c-
reactive protein (CRP) dapat membantu menentukan penyebab pneumonia.
PCT akan meningkat pada infeksi dan inflamasi terutama infeksi bakteri
berat, sepsis, syok sepsis dan sindrom disfungsi multiorgan. Peningkatan
CRP menunjukkan adanya inflamasi yang signifikan namun spesifisitasnya
rendah karena dapat meningkat pula pada keadaan lain seperti obesitas,
merokok, diabetes melitus, uremia, hipertensi, terapi pengganti hormon,
penuaan.8,9
Untuk menilai derajat keparahan pneumonia dapat digunakan
sistem skor menurut pneumonia severity index (PSI) atau CURB-65.10
Terapi
Pneumonia diterapi secara empiris menggunakan antibiotik sebelum
organisme penyebab dapat diidentifikasi. Antibiotika harus segera diberikan
begitu diagnosis pneumonia ditegakkan berdasarkan klinis, radiologi dan
laboratorium sebelum pasien meninggalkan UGD ataupun poliklinik. Paling
tidak dalam waktu 4 jam setelah datang ke rumah sakit.11,12
Penelitian oleh
Daniel dkk menunjukkan bahwa angka mortalitas lebih rendah pada pasien
Teks
7
yang diberikan pemberian antibiotika dalam waktu ≤ 4 jam dibandingkan > 4
jam (p=0,003).13
Antibiotika dapat diberikan secara oral maupun intravena. Pasien
rawat inap biasanya diberikan antibiotika secara intravena.14
Pemberian
antibiotika intravena harus segera diganti oral begitu hemodinamik stabil,
klinis membaik, mampu menelan obat, dan fungsi gastrointestinal
normal.5,11,12
ATS/IDSA menyarankan pemberian antibiotika minimal 5 hari,
pasien afebril selama 48-72 jam dan klinis stabil. Terapi dapat diberikan
lebih lama jika terapi inisial yang diberikan tidak aktif melawan patogen
penyebab atau terdapat komplikasi infeksi ekstrapulmonal seperti
meningitis atau endokarditis.12
BTS menyarankan pasien dengan pneumonia
komunitas, ringan-sedang dan tanpa komplikasi diberikan terapi antibiotika
yang tepat selama 7 hari. Pada pasien pneumonia berat dapat diberikan
selama 7-10 hari dan dapat diperpanjang sampai 14-21 hari tergantung
pertimbangan klinis.11
Pemberian antibiotika dievaluasi secara klinis dalam
72 jam pertama, jika didapatkan perbaikan klinis dapat dilanjutkan
sedangkan jika terjadi perburukan maka antibiotika harus diganti sesuai
dengan hasil biakan atau pedoman empiris.5 Pemilihan dosis dan jenis
antibiotika harus berdasarkan farmakokinetik dan farmakokinetik masing-
masing obat. Pengetahuan tentang farmakokinetik dan farmakodinamik
memungkinkan menentukan konsentrasi obat untuk mendapatkan efek
yang diinginkan, efek samping minimal serta dosis yang tepat untuk
mencapai konsentrasi tersebut.15
TEKS
8
Pemilihan antibiotika empiris pada pasien pneumonia idealnya berdasarkan
hal-hal berikut:
Pola kuman dan kepekaan terhadap antibiotika di masyarakat atau unit-
unit perawatan spesifik di rumah sakit yang diperiksa secara berkala.
Bakteri penyebab pneumonia yang paling sering di Amerika Serikat
adalah Streptococcus pneumonia. Bakteri lain yang sering juga
menyebabkan pneumonia adalah Haemophilus influenza, bakteri
atipikal (seperti Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae dan
Legionella spp).16
Penyebab terbanyak pneumonia komunitas di
Indonesia berdasarkan data dari beberapa rumah sakit pada tahun 2012
adalah kuman gram negatif (seperti Klebsiella pneumoniae,
Acinetobacter baumannii, Pseudomonas aeruginosa) sedangkan kuman
gram positif (seperti Streptococcus pneumoniae, Streptococcus viridans,
Staphylococcus aureus) ditemukan dalam jumlah sedikit.5
Faktor risiko yang mempengaruhi kecenderungan pasien terkena kuman
tertentu. Faktor risiko yang berkaitan dengan infeksi pseudomonas
adalah pemakaian kortikosteroid ≥10 mg per hari, riwayat penggunaan
antibiotika spektrum luas ≥7 hari pada bulan sebelumnya dan
malnutrisi.12,17
Faktor risiko yang berkaitan dengan infeksi Acinetobacter
yaitu penggunaan antibiotika sebelumnya, operasi saraf, trauma kepala,
imunosupresi, sepsis sebelumnya, penyakit paru kronik, usia tua,
penggunaan alat invasif (selang endotrakea dan gaster), lamanya
dirawat di RS, dan lamanya menggunakan ventilasi mekanik.18
Teks
9
Berdasarkan panduan pemberian antibiotika empiris yang dikeluarkan
oleh organisasi profesi misalnya panduan yang dikeluarkan oleh
ATS/IDSA di Amerika Serikat atau PDPI di Indonesia.
Saran
Diagnosis yang tepat dan terapi yang cepat serta akurat dapat
menurunkan risiko morbiditas berat dan kematian pada pasien
pneumonia.
Gambaran klinis serta prediktor lain dapat digunakan untuk
menentukan kemungkinan penyebab pneumonia sehingga dapat
diberikan antibiotika yang tepat sasaran.
Perlu penelitian atau kajian terhadap peranan biomarker dan prediktor
klinis dalam menentukan penyebab pneumonia
Perlu pemeriksaan berkala pola kuman dan kepekaan terhadap
antibiotika di masyarakat dan masing-masing unit pelayanan di rumah
sakit
Daftar Pustaka
1. Quan T, Fawcett N, Wrightson J, Finney J, Wyllie D, Jeffery K, et al.
Increasing burden of community-acquired pneumonia leading to
hospitalisation, 1998-2014. Thorax. 2016; 71: p. 535-42.
2. Liapikou A, Cilloniz C, Gabarrus A, Amaro R, De La Bellacasa J, Mensa J,
et al. Multilobar bilateral and unilateral chest radiograph involvement:
TEKS
10
implications for prognosis in hospitalised community acquired
pneumonia. Eur Respir J. 2016; 48: p. 257-61.
3. Azmi S, Aljunid S, Maimaiti N, Ali A, Nur A, Rosas-Valera M, et al.
Assesing the burden of pneumonia using administrative data from
Malaysia, Indonesia and the Philippines. Int J Infect Dis. 2016; 49: p. 87-
93.
4. WHO. Indonesia: WHO statistical profile. ; 2015.
5. PDPI. Pneumonia komuniti: pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia. 2nd ed. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2014.
6. Kim J, Kim U, Kim H, Cho S, An J, Kang S, et al. Predictors of viral
pneumonia in patients with community-acquired pneumonia. PLoS ONE.
2014; 9(12): p. 1-13.
7. Burk M, El-Kersh K, Saad M, Wiemken T, Ramirez J, Cavallazzi R. Viral
infection in community-acquired pneumonia: a systematic review and
meta-analysis. Eur Respir Rev. 2016; 25: p. 178-88.
8. Meili M, Kutz A, Briel M, Christ-Crain M, Bucher H, Mueller B, et al.
Infection biomarkers in primary care patients with acute respiratory
tract infection-comparison of procalcitonin and C-reactive protein. BMC
pulmonary medicine. 2016; 6(43): p. 1-9.
9. Seligman R, Ramos-Lima L, Oliviera V, Sanvicente C, Pacheco E, Rosa K.
Review biomarkers in community-acquired pneumonia; a state of the art
review. Clinics. 2012; 67(11): p. 1321-5.
10. Ravindranath M, Raju C. Validity of pneumonia severity
index/pneumonia outcome research trial and CURB-65 severity scoring
systems in community acquired pneumonia in Indian setting. Int J Adv
Teks
11
Med. 2016; 3(2): p. 338-44.
11. BTS. Guideline for the management of community acquired pneumonia
in adults update 2009 a quick reference guide. Thorax. 2009; 64: p. 1-14.
12. Mandell L, Wunderink R, Anzueto A, Bartlett J, Campbell G, Dean N, et
al. Infectious diseases society of America/American thoracic society
consensus guidelines on the management of community-acquired
pneumonia in adults. Clin Infect Dis. 2007; 44: p. 27-72.
13. Daniel P, Rodrigo C, Mckeever T, Woodhead M, Welham S, Lim W. Time
to first antibiotic and mortality in adults hospitalised with community-
acquired pneumonia: a matched-propensity analysis. Thorax. 2016; 71:
p. 568-70.
14. Belforti R, Lagu T, Haessler S, Lindenauer P, Pekow P, Priya A, et al.
Association between initial route of fluoroquinolone administration and
outcomes in patients hospitalized for community acquired pneumonia.
Clin Infect Dis. 2016; 63(1): p. 1-9.
15. Nielsen E, Friberg L. Pharmacokinetic-pharmacodynamic modeling of
antibacterial drugs. Pharmacol Rev. 2013; 65: p. 1053-90.
16. Marrie T, Poulin-Costello M, Beecroft M, Herman-Gnjidic Z. Etiology of
community-acquired pneumonia treated in an ambulatory setting.
Respir Med. 2005; 99: p. 60.
17. von Baum H, Welte T, Marre R. Community-acquired pneumonia
through Enterobacteriaceae and Pseudomonas aeruginosa: diagnosis,
incidence and predictors. Eur Respir J. 2010; 35: p. 598.
18. Hartzell J, Kim A, Kortepeter M, Moran K. Acinetobacter pneumonia: a
review. MedGenMed. 2007; 9(3).
TEKS
12
PATOGENESIS PNEUMONIA
Ketut Suryana
Divisi Alergi-Imunologi, Bagian SMF Ilmu Penyakit dalam
FK Unud – RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan
Pneumonia merupakan inflamasi pada jaringan paru, dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus dan mikroorganisme lainnya meskipun relatif jarang, obat-obatan tertentu serta penyakit otoimun
1-3.
Kejadian pneumonia dapat dijumpai hampir pada 450 juta (7% dari populasi) penduduk dunia per tahun dan menyebabkan sekitar 4 juta kematian. Lebih dari ¼ nya meninggal dalam 30 hari dan hampir 50% dari yang meninggal berkaitan dengan komorbid, bukan oleh karena pneumonianya. Pada abad ke-20 ini angka harapan hidupnya meningkat dengan semakin pesatnya perkembangan terapi antibiotika dan vaksinasi
4,5.
Manifestasi klinis dari pneumonia seperti ; batuk, nyeri dada, demam dan kesulitan bernafas / sesak nafas. Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang seperti foto toraks dan semai dahak. Pneumonia dikelompokkan berdasarkan pada dimana dan bagaimana pneumonia itu didapatkan : community-acquired, aspiration, healthcare-associated, hospital-acquired dan ventilator-associated pneumonia). Ada juga yang mengelompokkan berdasarkan area paru yang terinfeksi : lobar pneumonia, bronchopneumonia dan acute interstitial pneumonia
6.
Serangkaian mekanisme proteksi saluran nafas (respiratory tract defence mechanisms) baik yang imun maupun non-imun bekerja kolaboratif secara efektif pada tingkatan yang berbeda dengan luaran yang sama yaitu menjaga sistim pernafasan (paru) tetap normal / optimal dan bebas dari zone bakteri
1,2. Terjadinya pneumonia berkaitan dengan berbagai faktor
Teks
13
seperti jalur penularan, jenis mikroorganisme, status respon imun saluran nafas, adanya faktor predisposisi dan suseptibilitas terhadap infeksi mikroorganisme penyebab pneumonia. Kegagalan dari respiratory tract defence mechanisms, adanya faktor predisposisi tertentu dan susceptibilitas terhadap infeksi merupakan patogenesis yang mendasari terjadinya pneumonia bakteri
1,2.
Pemahaman tentang respiratory tract defence mechanisms, patogenesis pneumonia dengan baik dan benar diharapkan dapat menjadi dasar kajian dalam strategi pengelolaan pneumonia yang lebih paripurna dimasa yang akan datang.
Key Words : Pneumonia, respiratory tract defence mechanism, patogenesis.
Sistim Imun Saluran Pernafasan
Sistim imun pada saluran pernafasan / paru bekerja secara
kolaboratif terkoordinasi, sehingga memberikan luaran yang efektif dalam
menjaga intergritas respon imun dari saluran pernafasan / paru.
Mekanisme jalur penyebaran mikroorganisme pada pneumonia
dapat digambarkan seperti pada tabel-1 berikut ini :
Tabel-1. Patofisiologi Jalur Penyebaran 7
.
Mekanisme / jalur Mikroorganisme
Inhalasi Mycoplasma pneumoniae Chlamydophila psittaci Chlamydophila pneumoniae Legionella pneumophila
Sekresi oropharyngeal Streptococcus pneumoniae
TEKS
14
Aspirasi Haemophilusinfluenzae, anaerobes, gram-negative bacilli
Penyebaran haematogenous Staphylococcus aureus
Reaktivasi mikroorganisme laten Mycobacterium tuberculosis, Pneumocystis jiroveci
(Singh, 2012)
Kegagalan dari sistim imun saluran pernafasan, berkaitan dengan
adanya faktor predisposisi tertentu dan susceptibilitas terhadap infeksi dan
merupakan kondisi yang mendasari terjadinya pneumonia. Kondisi yang
dapat sebagai faktor predisposisi terjadinya pneumonia antara lain 7,8
. :
1. Perubahan dari flora normal
Adanya IgA, komplemen dan flora normal mencegah terjadinya
kolonisasi mikroorganime di orofaring.
2. Batuk dan reflex glottis
Batuk dan reflex glottis dapat menyebabkan aspirasi dari isi
lambung terutama pada usia tua, pada penderita dengan PPOK,
operasi torakoabdominal.
3. Penurunan kesadaran
Pada orang dewasa sehat terdapat 10-100 juta bakteri pada setiap
1 mililiter sekresi orofaring dan lebih dari 50% mengaspirasi sekret
orofaring pada saat tidur nyenyak. Pada keadaan terjadi penurunan
kesadaran seperti : koma, stroke, alkoholisme, depresi SSP akibat
overdosis obat, sekret orofaring dapat teraspirasi lebih banyak.
Teks
15
4. Berkurangnya fungsi mukosiliar
Pembersihan dahak tergantung fungsi optimalnya gerakan dari
siliar dan sifat fisik / kekentalan dari mukus. Kelenjar submukosa
dan sel goblet epitel permukaan memproduksi cairan permukaan
saluran pernafasan (airway surface fluid). Cairan tersebut terdiri
dari cairan gel mirip mucin sebagai lapisan atas / permukaan dan
cairan non-gel sebagai lapisan bawah.
5. Disfungsi Makrofag Alveoli
Monosit setelah bermigrasi ke inflammatory site segera
berdifrensiasi menjadi makrofag untuk membantu aktifitas dan
fungsi makrofag yang sudah ada. Substansi serum lain yang juga
turut menginduksi akselerasi respon imun adalah 1-25-
Dihydroxyvitamin D dan IL-10. Makrofag Alveoli merupakan
merupakan highly effective phagocytic cells. Sebagian besar
mikroorganisme dapat dihancurkan segera dengan sistim lisosomal.
Mikrisidal lainnya yang juga tidak kalah penting seperti misalnya :
Toll Like Receptor protein, Reactive Oxygen Species (ROS), dan
Nitric Oxide (NO). Perokok, anemia, starvasi, hypoxemia, infeksi
virus pada saluran pernafasan dapat mempengaruhi efektivitas
fungsi Makrofag Alveoli sehingga dapat terjadi pneumonia.
6. Disfungsi Imun
Respon imiun merupakan komponen utama yang melindungi tubuh
terhadap infeksi oleh mikroorganisme patogenik. Sistim imun baik
yang spesifik (celluler specific immunity : Limfosit T dan B) maupun
non spesifik (celluler non-specific immunity : pulmonary dendritic
cells, macrophages, neutrophils, eosinophils dan mast cells).
Menurunnya aktivitas sistim imun baik congenital maupun didapat
merupakan predisposisi terjadinya pneumonia.
TEKS
16
Respon Imun Saluran Pernafasan
Mekanisme respon imun dari saluran pernafasan pada masing-
masing segmen saluran pernafasan berfungsi secara kolaboratif dan
terkoordinasi sehingga memberikan luaran respon imun yang optimal. Peran
dari segmen nasofaring, trachea / bronchus, bronchus terminalis / alveoli,
seperti pada tabel-2 berikut 7
.
Tabel 2. Mekanisme Respon Imun Saluran Pernafasan
Lokasi Mekanisme sistim Imun
Nasopharynx Nasal hairs and turbinates Mucocilliary apparatus IgA secretion
Trachea / bronchi Cough, epiglottic refelxs Mucocilliary apparatus Immunoglobulin secretion (IgG, IgM, IgA)
Terminal airays / alveoli Alveolar macrophages Pulmonary lymphatics Alveolar lining fluid(surfactant,
complement, Ig, fibronectin), Cytokines (interleukin-1, tumor necrosis
factor) Polymorphoneuclear leukocytes Cell mediated immunity
(Singh, 2012)
Teks
17
Patogenesis Pneumonia
Masuknya bakteri ke dalam saluran pernafasan maka tubuh
(respon imun) akan menghalau mikroorganisme tersebut. Kapan pneumonia
bisa terjadi ?, tergantung hasil akhir interaksi dari virulensi dan densitas
mikroorganisme dengan respon imun. Primary respiratory defense
mechanisms merupakan respon imun dari saluran pernafasan / paru untuk
melindungi dari infeksi atau inflamasi sehingga respon imun saluran nafas /
paru tetap normal / optimal dan kompeten dalam menghalau
mikroorganisme penyebab infeksi 7,9
.
Beberapa kondisi yang dapat berkaitan dengan primary respiratory
defense mechanisms seperti pada table-3 9 :
Table 3. Kondisi yang berkaitan dengan primary respiratory defense
mechanisms
Respiratory Defense Mechanism Function (s)
Factors that impair function
Nasopharyngeal defense
IgA protects against bacterial proliferation Sneezing removes microbes from respiratory tract
IgA deficiency Hay fever Comon cold Trauma to the nose
Glottic and cough reflexes
Protect against aspiration
Reduced cough reflex due to stroke, neuromuscular disease, sedation, anesthesia, tracheal intubation
Mucocilliary clearance system
Removes microbes from nasopharynx down to alveoli
Smoking Viruses Cold, dry air Tracheal intubation
TEKS
18
Alveolar macrophages Removes microbes from alveoli
Cold, dry air Alcohol use Smoking Obstruction hypoxia
IgG and IgM Help to remove microbes from the blood
IgG and/or IgM deficiency
(Porth, 2005)
Kegagalan dari Sistim Imun Saluran Pernafasan
Kegagalan dari sistim imun saluran pernafasan / respiratory tract
defence mechanisms merupakan salah satu faktor yang amat penting
berkaitan dengan terjadinya pneumonia. Faktor lainnya yang juga berperan
pada pathogenesis pneumonia yaitu adanya faktor predisposisi tertentu dan
susceptibilitas terhadap infeksi.
Teks
19
Tanda dan gejala pneumonia:
Gambar 1. Tanda dan gejala pneumonia 10
.
Klasifikasi Pneumonia
Pneumonia umumnya dikelompokkan berdasarkan pada dimana
dan bagaimana pneumonia itu didapatkan. Berdasarkan hal tersebut maka
pneumonia dikelompokkan menjadi 11
:
- Community-acquired,
- Healthcare-associated / hospital-acquired dan
- Ventilator-associated pneumonia
TEKS
20
Community Acquired Pneumonia(CAP)
Merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
signifikanpada orang dewasa. CAP merupakan inflamasi pada parenkim paru
yang bukan didapat di rumah sakit / selama perawatan di fasilitas kesehatan
/ kontak dengan sistim layanan kesehatan. Di Amerika Serikat dijumpai CAP
antara 5 – 11 per 1000 penduduk dan sebagian besar terjadi pada musim
dingin, dengan mikroorganisme penyebab terbanyak adalah Streptococcus
pneumoniae 11
.
Dilaporkan mikroorganisme penyebab CAP pada beberapa
kelompok populasi, seperti pada tabel 4, berikut :
Teks
21
Patogenesis Pneumonia Mycoplasma pneumonia
Gambar 5. Postulated schema for pathogenesis of human Mp pneumonia 12,13
TEKS
22
Patofisiologi CAP
Gambar 6. Patofisiologi CAP 14
.
Teks
23
Gambar 7. Patofisiologi CAP 14
.
Ventilator-associated pneumonia
Ventilator-associated pneumonia (VAP) adalah saluran pernafasan
bawah yang berkaitan dengan endotracheal intubation dan merupakan
penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan di Intensive Care Unit /
ICU. VAP merupakan salah satu healthcare-associated/hospital-acquired
pneumonia 15
.
TEKS
24
Bakteriologi VAP
Mikroorganisme penyebab VAP bervariasi, mencakup
mikroorganisme gram-negatif dan gram-positif. Durasi penggunaan
mechanical ventilation merupakan faktor penting yang berkaitan dengan
jenis VAP pathogens. Pada durasi dini yaitu penggunaan mechanical
ventilation < 5 hari ; jenis mikroorganisme penyebab VAP adalah
Haemophilus Influenzae, Streptococcus pneumonia, Methicillin-Sensitive
Staphylococcus Aureus (MSSA) dan Enterobacteriaceae. Sedangkan pada
durasi penggunaan mechanical ventilation > 5 hari, Mikroorganisme
penyebab VAP : multidrug – resistant organisms seperti pseudomonas
aeruginosa, Acinetobacter spp, Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus
(MRSA) 15
.
Patofisiologi VAP
Beberapa faktor / sumber patogen yang berkaitan dengan terjadinya VAP, seperti yang tampak pada gambar 7
15
Gambar 7. Patofisiologi VAP 15
Teks
25
Ringkasan
Pneumonia adalah inflamasi pada jaringan paru, dengan bermacam
penyebab, yaitu : infeksi bakteri, virus dan mikroorganisme lainnya
meskipun relatif jarang, obat-obatan tertentu serta penyakit otoimun. Sistim
imun pada saluran pernafasan / paru bekerja secara kolaboratif
terkoordinasi, sehingga memberikan luaran yang efektif dalam menjaga
intergritas respon imun dari saluran pernafasan / paru. Kegagalan dari sistim
imun saluran pernafasan / respiratory tract defence mechanisms, faktor
predisposisi tertentu dan susceptibilitas terhadap infeksi yang menjadi
merupakan berbagai faktor penting pada patogenesis pneumonia.
Pneumonia umumnya dikelompokkan berdasarkan pada dimana dan
bagaimana pneumonia itu didapatkan. Berdasarkan hal tersebut maka
pneumonia dikelompokkan menjadi : Community-acquired, Healthcare-
associated / hospital-acquired dan Ventilator-associated pneumonia .
Daftar Pustaka :
1. McLuckie, A. ed. 2009. Respiratory disease and its management. New York: Springer.p.51.
2. Leach, Richard E. 2009. Acute and Critical Care Medicine at a Glance. 2nd
ed. Wiley-Blackwell.
3. Jeffrey CP, 2010. Alcamo’s FUncamentals of Microbiology. 9th
ed. Sudbury MA: Jones & Bartlett.p.323.
4. Singanayagam A, Elder DHJ, Chalmers JD. Is Community-acquired pneumonia an independent risk factor for cardiovascuker disease ? Eur Respir J 2012 ; 39 : 187-196.
TEKS
26
5. Osler, W. 1901. Principles and Practice of Medicine. 4th
ed. New York: D. Appleton and Company.p.108.
6. Sharma, S, Mascher B, Eschun G. 2007. Radiological imaging in pneumonia: recent innovations. Current Opinion in Pulmonary Medicine;13(3):159-69.
7. Singh, YD. Pathophysiology of Community Acquired Pneumonia. 2012. Supplement Tojapi;60:7-9.
8. Song Z, Zhang J, Zhang X, Li D, Wang H, Xu X, et al. Interleukin 4 Deficiency Reverses Development of Secondary Pseudomonas aeruginosa Pneumonia During Sepsis-Associated Immunosuppression. The Journal of Infectious Diseases. 2015;211:1616–27.
9. Porth CM. Pneumonias. In: Porth CM, ed. Pathophysiology-Concepts of Altered Disease States. 7
th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2005; Table 30-1:666
10. Nair, GB; Niederman, MS (November 2011). "Community-acquired pneumonia: an unfinished battle". The Medical clinics of North America 95 (6): 1143–61.
11. Watkins RR. Diagnosis and Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults. Am Fam Physician. 2011 ; 83 (11) : 1299-1306.
12. Paats MS, Bergen IM, Hanselaar W, Groeninx van Zoelen EC, Hoogsteden HC, Hendriks RW. et al. Local and systemic cytokine profiles in nonsevere and severe community-acquired pneumonia. Eur Respir J 2013; 41: 1378–1385.
13. Saraya T, Kurai D, Nakagaki K, Sasaki Y, Niwa S, et al. Novel aspects on the pathogenesis of Mycoplasma pneumonia pneumonia and therapeutic implications. Frontiers in Microbiology. August 2014 | Volume 5 | Article 410: 1-18.
14. McCance, K. L. & Heuther, S. E. (2010). Pathophysiology: The biologic basis for disease in adults and children. St. Louis, MO: Elsevier.
Teks
27
15. Waters B & Muscedere J. A 2015 Update on Ventilator-Associated Pneumonia: New Insights on Its Prevention, Diagnosis, and Treatment. Curr Infect Dis Rep (2015) 17: 41
TEKS
28
Patofisiologi Pneumonia
Putu andrika
Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Fungsi paru utamanya adalah melaksanakan pertukaran gas untuk
menopang metabolisme jaringan yang dilakukan secara kontinyu. Kontak
langsung berulang dengan lingkungan luar akan menyebabkan paru sering
terpapar dengan berbagai bahan asing bahkan kuman infeksius. Pneumonia
merupakan hasil dari proliferasi kuman patogen pada level alveolar dan
respon tubuh terhadap kuman tersebut. Mikroorganisme dapat mencapai
saluran pernafasan bawah melalui beberapa jalur. Jalur tersering mikro
organisme melalui aspirasi dari orofaring. Aspirasi dapat terjadi saat tidur
meski dalam volume yang kecil (terutama pada orang tua) dan pada pasien
dengan penurunan kesadaran. Beberapa kuman dapat melalui jalur
terinhalasi seperti pada contaminated droplet. Jarang sekali pneumonia
terjadi melalui jalur hematogenous (cth. pada tricuspid endocarditis) atau
melalui perluasan secara contaguous dari pleura yang terinfeksi atau ruang
mediastinum.
Pertahanan saluran nafas secara mekanik memainkan peranan penting. Bulu
rambut dan aliran turbinates dari rongga hidung akan mampu menangkap
partikel besar yang terinhalasi sebelum mencapai saluran nafas bawah.
Arsitektur percabangan dari pohon trakeobronkial akan memudahkan
terperangkapnya partikel pada sepanjang saluran nafas, yang nantinya akan
dibersihkan oleh mucociliary clearance dan faktor antibacterial local akan
membunuh kuman tersebut. Gag reflek dan mekanisme batuk memberikan
perlindungan jika terjadi aspirasi. Juga ikut berperan flora normal pada sel
mokosa orofaring mencegah kuman pathogen melekat dan dengan
demikian menurunkan risiko pneumonia.
Teks
29
Jika pertahanan mekanik saluran nafas tersebut mampu dilalui atau karena
kumannya terlalu kecil terinhalasi sampai ke alveolar, makropag yang
berada di alveolar termasuk mampu dengan sangat efisien untuk
membersihkan atau membunuh kuman. Makropag akan dibantu oleh
protein local (spt protein A dan D surfaktan) yang mempunyai opsonizing
properties atau aktifitas antibakteri atau antiviral. Sekali kuman tertelan
oleh makropag jika tidak mati akan dieliminasi melalui antara mucociliary
elevator atau melalui system limfatik sehingga tidak merupakan ancaman
lagi. Hanya jika kemampuan makropag alveolar untuk menelan atau
membunuh kuman terlampaui maka akan terjadi pneumonia secara klinis.
Pada situasi demikian makropah alveolar akan memperkuat pertahanan
saluaran nafas bawah. Respon inflamasi tubuh tampak lebih dibanding
faktor proliferasi kuman patogen dalam memicu sindroma klinis pneumonia.
Dilepaskannya mediator inflamasi seperti interleukin (IL)-1 dan tumor
necrosis factor (TNF) akan menyebabkan demam. Chemokines seperti IL-8
dan granulocyte colony-stimulating factor, akan menstimulasi pelepasan
neutrophil dan tertarik bergerak ke paru, menyebabkan leukositosis perifir
dan meningkatnya secret yang purulen. Mediator inflamasi yang dilepaskan
makropag alveolar dan neutrofil yang baru terekrut akan menyebabkan
alveolar capillary leak seperti pada acute respiratory distress syndrome
(ARDS), namun pada pneumonia kebocoran tersebut bersifat local. Eritrosit
bahkan bisa melewati alveolar-capillary membrane, dengan akibat terjadi
hemoptisis. Kebocoran kapiler akan tampak pada gambaran infiltrat pada
radiografi dan terdeteksi melalui auskultasi akan terdengar rales, dan
hipoksemia. Efek lokal dari cellular influx, produksi sitokin, dan
meningkatnya alveolar capillary permeability menyebabkan penurunan
ventilasi dan menurunnya compliance paru. Ventilation-perfusion mismatch
mayor terjadi dengan peningkatan righ-to-left shunting sesuai perburukan
konsolidasi. Hipoksia pada pneumonia berat menyebabkan pulmonary
vasoconstriction. Meningkatnya respiratory drive akan menyebabkan
alkalosis respirasi. Menurunnya compliance akibat kebocoran kapiler,
hipoksemia, meningkatnya respiratory drive, meningkatnya sekresi, dan
TEKS
30
kadang kadang infection-related bronchospasm semuanya menyebabkan
sesak nafas. Pada kasus berat perubahan perubahan sekunder pada
mekanik paru mengarahkan penyusutan volume paru dan compliance paru
dan intrapulmonary shunting dapat menyebabkan kematian.
Daftar pustaka
Mason CM, Summer WR. Respiratory Infection In: Ali J, Summer WR,
Levitzky, eds. Pulmonary Pathophysiology. 3rd
ed. New york, McGraw-Hill
company: 2010:166-86
Mandell LA, Wunderink R. Pneumonia. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrisons Pulmonary and
Critical Care Medicine. 17th
eds. New York, McGraw-Hill company:2010:99-
114
Teks
31
DIAGNOSIS PNEUMONIA
I Gede Ketut Sajinadiyasa
Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pendahuluan
Pneumonia suatu penyakit infeksi pada parenkim paru yang dapat
disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur. Pneumonia merupakan penyebab
morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi pada pasien dewasa utamanya
pasien usia lanjut.1 WHO tahun 2011 melaporkan bahwa infeksi saluran
napas bawah termasuk penumonia menempati urutan ke tiga sebagai
penyebab kematian di dunia., setelah penyakit jantung iskemik, stroke.2 Di
Eropa pneumonia sebagai penyebab kematian utama oleh karena infeksi,
dengan sekitar 90% kematian terjadi pada lansia > 65 tahun.3
Kelompok yang berisiko untuk terjadinya pneumonia diantaranya
individu dengan usia lebih dari 65 tahun, merokok, malnutrisi, memiliki
penyakit paru sebelumnya seperti fibrosis kistik, asma, PPOK, juga penyakit
seperti diabetes, penyakit jantung, adanya kondisi depresi imun seperti
terinfeksi HIV, transplantasi organ, kemoterapi dan pengunaan steroid
jangka lama. Risiko juga dijumpai pada pasien dengan reflek batuk yang
kurang baik seperti pasien stroke, minum obat tidur atau penenang,
alkoholik dan mobilitas yang terbatas serta orang-orang yang sering
terinfeksi saluran napas atas.3
TEKS
32
Untuk kepentingan terapi pneumonia dibedakan dalam dua
golongan besar yaitu pneumonia komunitas (CAP; Community Acquired
Pneumonia) dan pneumonia nosokomial, yang terdiri atas HAP( Hospital
Acquired Pneumonia), HCAP; (Healht Care Associated Pneumonia) dan VAP; (
Ventilator Associated Pneumonia).1,4
Untuk menurunkan beban pneumonia terhadap upaya kesehatan
tentu diperlukan penanganan yang tepat dan akurat dan untuk mencapai
tujuan tersebut sudah tentu diperlukan diagnosis yang benar. Bagaimana
menegakkan diagnosis pneumonia dipaparkan pada tulisan ini.
Pendekatan Diagnosis Pneumonia
Dalam menegakan diagnosis pneumonia dapat dilakukan dengan
pemeriksaan klinis dan beberapa pemeriksaan penunjang. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang baik sudah dapat memberikan dugaan diagnosis yang
baik dan untuk memastikan diagnosis dilanjutkan dengan pemeriksaan
radiologi dan laboratoris. 1,4,5
Gejala dan tanda klinis
Gejala yang umumnya didapatkan pada pasien dengan pneumonia
adalah deman disertai dengan gejala respiratorik seperti batuk, sesak napas,
berdahak dan nyeri pluritik. Pasien dengan pneumonia sering juga mengeluh
lemah, adanya gejala gastrointesinal dan kringat malam. Kadang-kadang
gejala yang tidak spesifik sering ditemukan. Pemeriksaan fisik pada pasien
dengan pneumonia menunjukkan demam lebih dari 80% kasus, ronki pada
Teks
33
auskultasi pada 80% kasus dan tanda konsolidasi ditemukan pada 15-30%
kasus. Pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosis pneumonia adalah
pemeriksaan rontgen dada. 1,4,5
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan rongent dada posterioanterior dan lateral seharusnya
dikerjakan untuk pasien dengan suspek pneumonia. Pada rontgen dada
umumnya akan tampak bayangan opasitas/infiltrat focal ataupun difus. Dan
umumnya bayangan opasitas baru akan tampak setelah 12 jam adanya
gejala. Dan bila rontgen dada dilakukan lebih cepat maka bayangan opasitas
atau adanya infiltrat sering tidak akan ditemukan. Pada pasien dengan
kondisi imunosupresi terutama pada keadaan netropenia, diabetes,
alkoholik dan uremik gambaran infiltrat akan tampak lebih lambat.
Gambaran lain yang juga ditemukan pada rontgen dada pasien pneumonia
adalah adanya gambaran air bronchogram, tanda silhouette, efusi pleura
(parapneumonic effusion) dan komplikasi dari pneumonia seperti abses paru
dan atelektasis. Temuan gambaran rontgen dada yang berhubungan dengan
peningkatan mortalitas adalah efusi pleura bilateral dan pneumonia
multilobar. 5,6,7
CT scan dada mulai banyak digunakan pada praktis klinis.
Penggunaan ct scan untuk pneumonia digunakan secara terbatas. Ct scan
merupakan cara yang sensistif, resolusi sangat baik, dapat menunjukan
anatomi paru yang lebih rinci. Adanya nodul, opasitas ground-glass,
TEKS
34
konsolidasi, air bronchogram dan distribusi sentrilobuler atau perilobuler
dengan ct scan tampak lebih jelas dibanding foto rontgen biasa. Ct scan
sangat baik dalam mengevaluasi awal penyakit dan sangat baik dalam
menentukan batas kelainan patologis dimana konsolidasi belum komplit.
Opasitas ground-glass didefinisikan sebagai peningkatan atenuasi paru yang
terlokalisir dan terlihatnya struktur vaskuler pada daerah paru yang terkena.
Ground glass bukan merupakan tanda yang spesifik pada pneumonia juga
dapat dijumpai pada penyakit alveolar dan interstisial. Walaupun ct scan
tidak di rekomendasikan untuk evaluasi awal namun dapat sebagai
pemeriksaan tambahan pada kondisi pasien yang tidak mengalami
perbaikan atau yang tidak terdiagnosis dengan pemriksaan radiologi
konvensional.6,7
USG Toraks. Pada kondisi tertentu USG toraks memiliki keuntungan
dibanding foto rontgen dada terutama untuk pasien hamil , pasien-pasien
yang tidak stabil dan anak-anak. Namun USG ini sangat membutuhkan
tenaga yang sangat baik dan berpengalaman. Bererapa studi USG toraks
untuk mendiagnosis pneumonia memiliki sensitifitas sampai 98% dan
spesifisitas 95%. Konsolidasi akan terlihat sebagai daerah yang hipoekoik
pada jaringan paru sedangkan adanya gambaran hiperhekoik didalamnya
dapat diakibatkan oleh adanya udara dalam bronkus yang disebut
ultrasound air bronchogram. Gelembung udara tersebut akan terlihat
bergerak selama respirasi sedang daerah konsolidasi tidak berubah.8,9,10
Pemeriksaan laboratorium
Teks
35
Untuk penegakkan diagnosis klinis pneumonia pemeriksaan
laboratorium tidak banyak dilakukan. Pemeriksaan darah lengkap untuk
mengetahui jumlah leukosit, dimana jumlah leukosist salahsatunya yang
dipergunakan dalam kriteria diagnosis pneumonia. Pemeriksaan
laboratorium lainya lebih diperlukan dalam menentukan diagnosis etiologik
dan data resistensi kuman serta melihat adanya komplikasi.1,4,5
Pemeriksaan mikroskopis dari sputum memiliki peran yang cukup penting
dalam evaluasi pasien dengan pneumonia. Kualitas sputum harus baik bila
tidak akan memberikan informasi yang tidak akurat. Sebagian besar
pneumonia bakterial akan dijumai sel PMN lebih banyak pada sputumnya
sedangkan pada mikoplasma dan virus akan dijumai sedikit sel PMN dan
lebih banyak mononuklear. Pneumokokus, stapilokokus dan gram negatif
basil tampak sebagai populasi bakteri yang homogen sedangkan pada
pneumonia aspirasi yang disebabkan oleh bakteri campuran dari orofaring
akan tampak morfologi bakteri yang berbeda. Baketri legionela tidak dapat
dilihat dari pemeriksaan sputum smear biasa. Bakteria mikoplasma dan virus
tidak dapat terlihat dengan mikroskopis biasa dan dominan hanya sel
mononuklear sebagai respon inflamasi.1,4
Selain pengecatan gram, pemeriksaan kultur sputum juga sering dikerjakan,
tetapi beberapa kuman sulit tumbuh dan untuk legionela diperlukan media
kuhusus. Bila dahak tidak didapatkan dari batuk spontan dan diagnosis
etiologi harus diketahui maka dapat dilakukan bronkoskopi, aspirasi jarum
pada paru, biopsi paru. Pengecatan gram dan kultur sputum rutin tidak
TEKS
36
dapat digunakan untuk kuman: mikoplasma, klamidofilia dan legionella.
Kadang-kadang diagnosis dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologi dengan
adanya peningkatan titer antibodi dari organisme penyebab pneumonia.
Metode lainya seperti direct fluorescent antibody staining dan urinary
antigen radioimmunoassay hanya untuk legionella pneumophila. Metode
PCR dapat memeriksa ketiga kuman tersebut diatas dan metode PCR ini
merupakan harapan dimasa depan. Pemeriksaan laboratorium lainnya
seperti analisa gas darah untuk menilai adanya komplikasi apakah ada
hipoxsemia atau adanya kegagalan respirasi.1
Gambar 1. Alur diagnosis infeksi saluran napas bawah.6
Teks
37
Kriteria diagnosis
Seperti telah disebutkan di atas bahwa pneumonia dapat ditegakan
berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Adapun kriteria yang umum digunakan untuk menegakkan diagnosis klinis
pneumonia adalah jika pada foto rontgen dada ditemukan infiltrat baru atau
infiltrat yang progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala dibawah ini:4,11
1. Batuk-batuk bertambah berat
2. Perubahan karakteristik dahak / riwayat demam
3. Suhu tubuh ≥ 37,50C atau riwayat demam
4. Pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda konsolidasi dan ronki
5. Leukosit ≥ 10.000 atau < 4500
Sedangkan untuk mendiagnosis atau kriteria pneumonia berat bila dijumpai
salah satu atau lebih kriteria di bawah ini.12
Kriteria minor:
1. Frekuensi napas ≥ 30 kali per menit
2. PaO2/FiO2 ≤250
3. Infiltral multilobuler
4. Kesadaran menurun / disorientasi
5. Uremia (kadar BUN, ≥ 20 mg/dL)
6. Leukopenia (jumlah leukosit < 4000 sel/mm3)
7. Thrombositopenia (jumlah platelet < 100,000 sel/mm3)
8. Hipotermi (temperatur < 300C)
9. Hipotensi yang membutuhkan resusitasi cairan yang agresif
TEKS
38
Kriteria mayor:
1. Membutuhkan ventilator mekanik invasif
2. Shok septik yang membutuhkan vasopresor
Ringkasan
Dalam menegakkan diagnosis pneumonia pada dasarnya sama
dengan menegakkan diagnosis penyakit pada umumnya. Diagnosis
pneumonia ditegakkan melalui proses anamnesis, pemeriksaan fisik dan
kemudian pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang kemudian terbentuk suatu kriteria klinis
diagnosis pneumonia yaitu : adanyanya infiltrat baru atau adanya infiltrat
yang progresif pada foto rontgen dada yang disertai dua atau lebih gejala
dibawah ini:
1. Batuk-batuk bertambah berat
2. Perubahan karakteristik dahak / riwayat demam
3. Suhu tubuh ≥ 37,50C atau riwayat demam
4. Pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda konsolidasi dan ronki
5. Leukosit ≥ 10.000 atau < 4500 sel/mm3
Daftar pustaka
1. Weinberger SE, Cockrill BA, Mandel J. Pneumonia. In Principles of
Pulmonary Medicine. edition 5th saunders Elsevier Philadelphia
2008. p283-305
Teks
39
2. Gigson J, Loddenkemper R, Sibille Y, Lundback B. The burden of
lung disease. In The European Lung white book . European
Respratory society, Charlesworth Press UK 2013.p2-15
3. Torres A, Peetermans WE, Viegi G, Blasi F. Risk factors for
community-acquired pneumonia in adults in Europe: a literature
review. Thorax 2013;68:1057-1065
4. Bartlett JG. Management of Respiratory tract Infectionn edisi 3rd
Lippincott Williams & Wilkins Philadelphia 2001. p1-122
5. Watkins R, Lemonovic T. Diagnosis and Management of
Community-Acquired Pneumonia in Adults Am Fam Physician
2011;83(11):1299-1306.
6. Franquet T. Imaging of pneumonia: trends and algorithms, Eur
Respir J 2001; 18: 196–208.
7. Nambu A, Ozawa K, Kobayashi N, Tago M. Imaging of community-
acquired pneumonia: Roles imaging examinations, imaging
diagnosis of specific pathogens and discrimination from
noninfectious diseases. World J Radiol 2014; 6(10): 779-793
8. Chavez MA, Shams N, Ellington LE, Naithani N, Gilman RH,
Steinhoff MC, Santosham M, Black RE, Price C, Gross M, Checkley
W. Lung ultrasound for the diagnosis of pneumonia in adults: a
systematic review and meta-analysis. Respiratory Research 2014;
15: 50
TEKS
40
9. Blavias M. Lung Ultrasound in Evaluation of Pneumonia. J
Ultrasound Med 2012; 31: 823-826
10. Edward S, Kapil R. Ultrasound in the diagnosis and management of
pneumonia. Current opinion in infectious diseases. 2016; 29: 223-
228
11. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia,
Pneumonia didapat di Masyarakat, inRani AA, Soegondo S, Nazir
AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjorer A editor, Panduan Pelayanan
Medik, Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta 2006,
hal.90-99
12. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell GD,
Dean NC, Dowell SF, File Jr. TM, Musher DM, Niederman MS, Torres
A, and Whitney CG.IDSA/ATS consensus guidelines on the
management of community-acquired pneumonia in adults. CID
2007;44:S27 – S72
Teks
41
Tatalaksana Pneumonia pada Dokter Layanan Primer
Ida Bagus Nguran Rai
Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
PENDAHULUAN
Batuk akut dan gejala saluran respirasi bawah merupakan alasan
untuk datang ke fasilitas kesehatan primer. Yang termasuk infeksi saluran
napas bawah antara lain bronkitis dan pneumonia. Bronkitis sering
disebabkan oleh virus, sedangkan pneumonia merupakan kondisi serius
yang memerlukan antibiotika. Pneumonia adalah keradangan parenkim paru
yang dapat menyebabkan kelainan difusi dan memiliki angka mortalitas yang
tinggi. Infeksi saluran napas bawah termasuk pneumonia menduduki urutan
ke-3 dari 30 penyebab kematian di dunia. Di Amerika, rerata insidens
tahunan adalah 6 per 1000 pada kelompok umur 18 – 39 tahun dan
meningkat menjadi 34 per 1000 pada kelompok umur di atas 75 tahun.
Sekitar 20 – 40 % pasien pneumonia komunitas memerlukan perawatan
rumah sakit dan sekitar 5 – 10 % memerlukan perawatan intensif. Di
Indonesia pneumonia termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di
rumah sakit dengan proporsi kasus 53,95% laki-laki dan 46,05% perempuan,
dengan crude fatality rate (CFR) 7,6%, paling tinggi bila dibandingkan
penyakit lainnya. 1,2
Dokter di fasilitas kesehatan primer sering dihadapi dengan
masalah identifikasi dan tatalaksana pneumonia. Berdasarkan sumber
TEKS
42
infeksi, jenis pneumonia yang terdiagnosis pada layanan primer adalah
pneumonia komunitas (CAP) dan pneumonia terkait pelayanan fasilitas
kesehatan (HCAP). Pada penelitian di Belanda, 79 % kasus pneumonia
komunitas terdiagnosis di dokter layanan primer. Diagnosis dan keputusan
untuk merujuk ke rumah sakit didasari dengan penilaian klinis dan sistem
penilaian derajat keparahan. Penilaian riwayat penyakit serta klinis penting
untuk menentukan terapi antibiotika yang tepat dan adekuat.3
DIAGNOSIS PNEUMONIA
Pneumonia didiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
radiologi. Diagnosis pneumonia ditegakkan jika pada foto toraks terdapat
infiltrat baru maupun progresif, ditunjang dengan leukositosis atau
peningkatan marker infeksi. Pada layanan primer, sering kali pasien datang
tidak membawa hasil radiologi maupun penunjang, sehingga dokter
diharapkan dapat menggali riwayat gejala pasien dengan cermat. Gejala
yang mengarah pada kecurigaan pneumonia antara lain:
1. Batuk bertambah
2. Perubahan karakteristik dahak/purulen.
3. Suhu tubuh > 38°C (aksila) atau riwayat demam.
4. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda konsolidasi, dan
ronki.
Teks
43
Tanda konsolidasi pada pemeriksaan fisik paru antara lain:
Inspeksi : Terlihat bagiam yang sakit tertinggal saat bernapas.
Palpasi : fremitus meningkat pada bagian yang sakit.
Perkusi : redup di bagian yang sakit.
Auskultasi : Terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang
dapat disertai ronki.1,4
Pneumonia komunitas adalah infeksi di parenkim paru pada pasien
tanpa riwayat rawat inap atau tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang
lebih dari 2 minggu. Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia
komunitas dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor antara lain
PORT, CURB 65, SMARTCOP, atau CRB 65. Fasilitas kesehatan primer
memiliki keterbatasan dalam penilaian derajat keparahan pneumonia,
karena ketiadaan fasilitas laboratorium penunjang, sehingga sistem skor CRB
65 merupakan pilihan yang sesuai. Sistem skor CRB65 merupakan parameter
yang baik untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko kematian yang
rendah dan tidak memerlukan rawat inap.1
British Thoracic Society (BTS) membuat skor CRB65 berdasarkan
data parameter yang menyangkut:
Confusion (gangguan kesadaran) berdasarkan Uji Mental dengan
skor ≤ 8, atau disorientasi orang, tempat atau waktu yang baru saja
muncul.
Peningkatan Respirasi ≥30 kali/menit
TEKS
44
Hipotensi (Blood Pressure) diastolik ≤ 60 mmHg, atau sistolik < 90
mmHg.
Usia 65 tahun atau lebih
Masing-masing gambaran di atas diberi skor 1 poin sebagai pedoman
menentukan penderita pneumonia menjalani rawat inap atau rawat jalan.
Jumlah poin tersebut adalah sebagai berikut:
0: penderita cukup menjalani rawat jalan
1-2: dipertimbangkan untuk menjalani rawat inap
3-4: harus segera menjalani rawat inap.5,6,7
Pneumonia terkait pelayanan fasilitas kesehatan (Health Care
Associated Pneumonia – HCAP) memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi
karena bakteri penyebabnya merupakan patogen yang resisten terhadap
antibiotika. Pasien dengan gejala pneumonia dengan kriteria HCAP harus
segera dirujuk dan menjalani rawat inap. Kriteria pasien dengan HCAP
antara lain pasien yang menjalani rawat inap sebelumnya dalam 90 hari
terakhir, tinggal di panti jompo atau fasilitas perawatan jangka panjang di
luar rumah sakit, atau pernah mendapat antimikroba parenteral,
kemoterapi, atau perawatan luka dalam 30 hari.
Teks
45
TATALAKSANA PASIEN RAWAT JALAN
Tatalaksana pasien yang menjalani rawat jalan antara lain:
1. Istirahat di tempat tidur
2. Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
3. Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
4. Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
5. Pemberian antibiotika kurang dari 8 jam, dengan pilihan terapi
empiris antara lain:
Pada pasien yang sebelumnya sehat, tidak mendapatkan terapi
antibiotika dapat diberikan macrolide atau doxicyclin. Sedangkan
pada pasien dengan riwayat antibiotika sebelumnya diberikan
golongan fluorokuinolon tunggal atau golongan beta laktam +
makrolid generasi terbaru.1,4,5
TIPS
Dokter di fasilitas kesehatan primer sering dihadapi dengan masalah
identifikasi dan tatalaksana pneumonia karena seringkali pasien datang
tanpa membawa penunjang radiologis maupun laboratorium, sedangkan
pneumonia membutuhkan terapi antibiotika segera agara tidak terjadi
mortalitas. Berikut adalah tips untuk mendiagnosis dan manajemen pasien
pneumonia.
TEKS
46
1. Pasien dengan gejala batuk bertambah, dahak purulen, demam
tinggi, serta gejala konsolidasi mengarahkan dokter pada gejala
pneumonia.
2. Berdasarkan sumber infeksi, jenis pneumonia yang terdiagnosis
pada layanan primer adalah pneumonia komunitas (CAP) dan
pneumonia terkait pelayanan fasilitas kesehatan (HCAP).
3. Pada pneumonia komunitas keputusan untuk merujuk ke rumah
sakit didasari dengan penilaian klinis dan sistem penilaian derajat
keparahan dengan skor CRB 65. Pemberian antibiotika empiris
dipilih berdasarkan riwayat antibiotika sebelumnya.
4. Pasien dengan kriteria HCAP harus dirujuk untuk menjalani rawat
inap.
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia komunitas
pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia 2014.
2. Hoare Z, Lim WS. Pneumonia: update on diagnosis and
management. BMJ 2006; 332 (7549): 1077-1079.
3. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell DG,
Dean NC, Dowell SF, File TM, Musher DM, Niederman MS, Torres
A, Whitney CG. Management of community-acquired pneumonia
in adults. Clinical Infectious Diseases 2007; 44: S27–72.
Teks
47
4. Snijder EP, Hoek W, Stirbu I, Sande MAB, Gageldonk-Lafeber AB.
General practitioners’ contribution to the management of
community acquired pneumonia in the Netherlands: a
retrospective analysis of primary care, hospital, and national
mortality databases with individual linkage. Primary Care
Respiratory Journal 2013; 22: 400-405.
5. British Thoracic Society. Guidelines for the management of
community acquired pneumonia in adults: update 2009. THORAX,
2009; 64: 1-61.
6. Akram AR, Chalmers JD, Hill AT. Predicting mortality with severity
assessesment tools in out-patients with community-acquired
pneumonia. Q J Med 2011; 104: 871-879.
7. McNally M, Curtain J, O;Brien K, Dimitrov BD, Fahey T. Validity of
British Thoracic Society guidance (the CRB-65 rule) for predicting
the seveity of pneumonia in general practice: systematic review
and meta-analysis. British Journal of General Practice, 2010: 423-
433.
TEKS
48
Penatalaksanaan Pneumonia Komunitas
Ida Bagus Suta
Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pendahuluan
Infeksi saluran napas bawah atau pneumonia adalah proses
keradangan akut parenkim paru . Pneumonia yang terjadi di masyarakat / di
luar rumah sakit dikenal sebagai Pneumonia Komunitas ( PK ) / Community
Aequired Pneumonia ( CAP ), sedangkan pneumonia yang terjadi 72 jam
atau lebih setelah masuk RS dikenal sebagai Pneumonia Nosokomial /
Hospital Aequired Pneumonia (HAP ) Pneumonia disebabkan oleh berbagai
macam sebab, meliputi infeksi karena bakteri, virus,jamur atau parasit. 1.2
Pneumonia Komunitas ( PK ) adalah penyakit yang sering terjadi
dan cenderung menjadi berat dan salah satu penyakit infeksi dengan angka
kematian yang tinggi. Di AS pneumonia menempati urutan ke-6 penyebab
kematian dan merupakan penyebab kematian yang pertama pada penyakit
infeksi. Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komunitas banyak
disebabkan bakteri gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini
laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komunitas adalah
bakteri gram negatif. 5,6,7,8
Di Indonesia pnemonia menempati urutan ke-3
setelah penyakit kardiovaskuler dan TB Paru.2.3.4
Teks
49
Pneumonia Komunitas (PK) terus menjadi masalah kesehatan
utama meskipun sudah ada antimikroba yang ampuh. Dampak medis dan
ekonomi pneumonia pada masyarakat semakin besar dan meningkat,
sehingga rumah sakit dan dokter ditantang untuk memberikan standar tinggi
perawatan dengan cara yang hemat biaya.
Dalam penatalaksanaan pneumonia beberapa masalah harus
dipertimbang kan antara lain: indikasi perawatan (rawat jalan/rawat inap)
yang dihubungkan dengan resiko kematian, patogen baru, masalah
pemilihan antibiotika dan resistensi kuman, switch therapy, pneumonia
pada keadaan khusus seperti pada pecandu narkoba, penderita
HIV/AIDS.4.5.6
Makin kompleknya pengetahuan dan perkembanagn ilmu dalam
masalah infeksi paru memerlukan pemahaman yang mendalam oleh para
klinisi sebelum memutuskan untuk memberikan atau tidak memberikan
antibiotik serta pemilihan antibiotik yang akan digunakan dengan harapan
kesembuhan penderita dengan biaya yang memadai serta tidak
menimbukan resistensi kuman terhadap antibiotika7.8.9
.
Manifestasi Klinis
Gejala yang didapatkan pneumonia antara lain demam, menggigil,
nyeri dada, dan batuk. Batuk mungkin tidak produktif pada awal penyakit,
selanjutnya menjadi produktif dengan dahak berwarna kekuningan atau
bernanah dan kadang-kadang bercampur darah. Pada pasien dengan abses
TEKS
50
paru (infeksi anaerob), mungkin memiliki bau busuk. Pada orang tua akan
didapatkan gejala yang gejala yang lebih ringan dibandingkan pasien lebih
muda. 1.10.11
Atas dasar gambaran klinis yang berbeda, dikenal bakterial
pneumonia/typical pneumonia dan atipikal pneumonia. Pneumonia atipikal
ditandai dengan gejala penyakit yang lebih ringan dengan batuk yang tidak
produktif atau batuk dengan dahak berlendir saja.8.9.11.13.
Gejala non-respirasi seperti sakit kepala, mual, muntah, sakit perut,
diare, myalgia, dan arthralgia merupakan gejala umum pada pasien dengan
pneumonia terutama pada PK yang disebabkan oleh kuman atipikal
Diagnosis Etiologi
Pneumonia merupakan tantangan bagi para klinisi, karena etiologi
pneumonia tidak dapat ditentukan dari pemeriksaan klinis dan data
pemeriksaan mikrobiologis belum tersedia setidaknya selama 48 jam.
Bahkan isolasi kuman dari dahak, tidak dapat dipastikan bahwa kuman itu
adalah organisme yang menyebabkan pneumonia, karena kemungkinan
kontaminasi kuman pada saluran napas bagian atas. Tidak ada test
laboratorium tunggal yang dapat menentukan semua patogen potensial,
dan masing-masing test mempunyai keterbatasan. Disamping itu banyak
penelitian melaporkan bahwa penderita PK bisa disebabkan oleh campuran
infeksi ( mixed infection ) meliputi bakteri dan kuman atipik. Peranan kuman
atipik masih kontrofersial karena keberadaan kuman tersebut sangat
Teks
51
tergantung dari test diagnostik dan kriteria yang dipergunakan, dan belum
jelas benar apakah kuman tersebut menginfeksi bersamaan dengan bakteri
patogen ataukah merupakan infeksi awal yang kemudian menjadi
predisposisi infeksi bakterial sekunder. Sebagian besar PK baik yang rawat
jalan maupun rawat inap disebabkan atas S. Pneumonia 2.5.12
.
ATS Guidelines for CAP in Adults 2001 mengelompokkan penderita
pneumonia sesuai tempat perawatan menjadi group I : outpatients, no
cardiopulmonary diseasen no modifying factors. Group II : outpatient, with
cardiopulmonary disease, and / or other modifying factors group II :
outpatient, with cardiopulmonary disease, and / or other modifying factors
groupIII : inpatients, not in icu table 5. group IV : icu-admitted patients
dengan 4 kuman utama yaitu S. Pneumoniae,,H. Influenzae, M.
pneumoniae,,C. Pneumoniae.dan pada group IV kemungkinan adanya
P.Aeruginosa.2.
IDSA/ATS Guidelines for CAP in Adults 2007 mengelompokkan
kuman penyebab pneumonia sesuai dengan pengelompokan perawatan
penderita apakah rawat jalan, rawat inap di ruangan biasa atau rawat inap
di ICU dengan bakteri utama adalah Streptococcus pneumoniae,
Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Chlamydophila
pneumoniae. Sedangkan bakteri utama pada kelompok penderita rawat inap
di ICU adalah S. Pneumoniae,Staphylococcus aureus,,Legionella species,
Gram-negative bacilli, H. Influenzae., serta perhatian khusus pada bakteri
Pseudomonas dan MRSA (Tabel 1)5
TEKS
52
Terjadinya Drug Resisten Pneumococcus Pneumoniae (DRSP)
semakin meningkat di AS dan beberapa negara lainnya.12.13
Faktor resiko
untuk terjadinya infeksi DRSP adalah umur > 65 tahun, terapi -lactam
dalam 3 bulan terakhir, penderita imunosupresif. Faktor resiko terjadinya
infeksi oleh bakteri gram negatif adalah adanya penyakit kardiopulmoner,
pemakaian antibiotik sebelumnya dan penderita dari panti jompo ( nursing
home) sedangkan faktor resiko terjadinya infeksi oleh P. Auriginosa meliputi
penyakit paru struktural, menapat terapi kortikosteroid, terapi antibiotika
spektrum luas, dan malnutrisi. 10.12.14
Secara epidemiologis diketahui bahwa pada keadaan tertentu atau
pada kelainan struktural paru yang spesifik biasanya didapatkan kuman
patogen yang khas, misalnya pada penderita PPOK sering akan dIjumpai
bakteri S. pneumoiae, gram-negative bacilli, H. influanzae, Staphylococcus
oureus, anaerobes Chlamydia (Tabel 2) 5.14.16
Table 1. Most Common Etiologies Of Community-Acquired
Pneumonia.
Patient type Etiology
Outpatient Streptococcus pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Haemophilus influenzae
Chlamydophila pneumoniae
Teks
53
Respiratory virusesa
Inpatient (non-ICU) S. pneumoniae
M. pneumoniae
C. pneumoniae
H. influenzae
Legionella species
Aspiration
Respiratory virusesa
Inpatient (ICU) S. pneumoniae
Staphylococcus aureus
Legionella species
Gram-negative bacilli
H. influenzae
IDSA/ATS Guidelines for CAP in Adults • CID 2007:44 (Suppl 2)
Penilaian Keparahan Penyakit dan Tempat Perawatan
Setelah diagnosis pneumonia dibuat, maka pertimbangan
berikutnya yang harus diputuskan segera adalah tempat perawatan
penderita apakah penderita perlu rawat jalan poliklinis, perawatan di
rumah sakit atau perawatandi ruang intensif (ICU) . Keputusan untuk
menentukan tempat perawatan penderita merupakan keputusan yang
TEKS
54
sangat penting bagi seorang dokter. Penelitian menunjukkan bahwa adanya
faktor resiko akan meningkatkan angka kematian dan resiko terjadinya
komplikasi. Keputusan untuk rawat inap penderita PK lebih ditekankan
untuk observasi ketat pada awal perjalanan penyakit.2.6
Walaupun demikian
sebagian besar masyarakat mengharapkan agar penderita tetap dapat rawat
jalan sesuai dengan faktor sosio-ekonomi. Oleh karena itu sangat penting
untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat memprediksi perkembangan
pneumonia selanjtnya. Beberapa pedoman klinis yang dapat memprediksi
mortalitas telah dikembangkan yang sering dipakai pegangan untuk
memutuskan tempat perawatan penderita yaitu Pneumonia Severity Index
(PORT Score) dan CURB-65 (confusion; urea; respiratory rate; blood
pressure; age ≥65 years). 5.9.16
TABEL 2. Epidemiologic Conditions Related To Specific Pathogens In Patients With Community-Acquired Pneumonia
Condition Commonly Encountered Pathogens
Alcoholism
COPD / smoker
Nursing home residancy
Streptococcus pneumoniae ( including
DRSP ), anaerobes, gram-negative
bacilli, tuberculosis
S. pneumoniae, Hemophilus
influenzae, Moraxella catarhalis,
Legionella
S. pneumoiae, gram-negative bacilli, H.
influanzae, Staphylococcus oureus,
anaerobes Chlamydia pnemoniae,
Teks
55
Poor dental hygiene
Expidemic Legionnaire’s
disease
Exposure to bats
Exposure to birds
Exposure to rabbits
Travel tosouthwest United
States
Exposure to farm animals or
parturient cats
Influenza active in community
Suspected large-volume
aspiration
Structural disease of lung
( bronchiectasis, cystic fibrosis,
etc )
Injection drug use
Endobronchial obstruction
Recent antibiotic therapy
tuberculosis
Anaeroes
Legionella species
Histoplasma capsulatum
Chlamydia psittaci, Cryptococcus
Neoformans, H. capsulatum
Francisella tularensis
Coccidioidomycosis
Coxiella burnetii ( Q fever )
Influenza, S.pneumoniae, S. aures, H.
influenza
Anareobes, chemical pnemonitis, or
obstruction
P. auruginosa, pseudomonas
cepacia,or S.aureus
S. aeures, anareobes, tuberculosis,P.
carinii
Anaerobes
Drug-resistent pneumococci, P.
Aeruginosa
Am J Respir Crit Care med 163, 2001
TEKS
56
Pada pedoman PSI penderita pneumonia dibagi 5 strata yaitu klas I
– V. pada klas I – III mortalitasnya < 1%, pada klas IV menjadi 9% dan pada
klas V mortalitasnya menjadi 27%. Penderita klas I – II dapat dirawat di
rumah/rawat jalan, klas III mungkin memerlukan observasi sebelum
diputuskan akan dirawat di ruangan yang sesuaidan dan klas klas IV dan V
mungkin memerlukan perawatan di ruangan/ICU. Pada pedoman CURB - 65
skor berkisar dari 0 – 5. Untuk skor 0 tingkat kematian adalah 0,7%; skor 1
adalah 3,2% ; 2 adalah 3%; 3 adalah 17%; skor 4 adalah 41,5%, dan skor 5
adalah 57%.
Walaupun sudah dibuat pedoman prediksi beratnya penyakit,
namun keputusan untuk perawatan penderita tetap merupakan seni
keputusan seorang dokter karena harus tetap memperhatikan faktor psiko-
sosio-ekonomi penderita.1.5.8
Faktor resiko yang meningkatkan mortalitas, morbiditas dan terjadinya
komplikasi a.l :
1. Usia diatas 65 tahun
2. Adanya penyakit dasar sebelumnya (co-morbid) seperti PPOK,
bronkiektasis, keganasan, DM, GGK, Payah Jantung Kongestif, penyakit
hati kronis, malnutrisi, penyakit serebrovaskuler, splenektomi, riwayat
rawat inap dalam tahun terakhir.
Teks
57
3. Pemeriksaan fisik didapatkan : ferekwensi napas >30/mt; Tekanan
diastolik < 60 mmHg; frekwensi nadi 125/mt; tempratur 40C atau
35C, bingung (confused) atau penurunan kesadaran dan adanya lesi
infeksi ekstrapulmonal.
4. Laboratorium :
a. Leukosit < 4 x 109 / L atau > 30 x 10
9 / L.
b. Pa O2 < 60 mgHg, atau Pa CO2 > 50 mgHg.
c. Adanya gangguan fungsi ginjal : serum kreatinin > 1,2 mg / dl
atau BUN > 20 mg / dl.
d. Adanya kelainan foto-toraks seperti pneumonia multilobar,
adanya kavitas, gambaran radiology yang progresif dan adanya
efusi pleura.
e. Hematokrit < 30% atau Hb < 9 g / dl
f. Adanya tanda – tanda sepsis atau disfungsi organ yang
dicerminkan oleh asidosis motabolik atau adanya kuagulopati.
g. PH arteri < 7.35
Indikasi rawat inap adalah : 6
Orang tua > 65 tahun
Pasien dalam keadaan imunosupresi
Kesadaraan terganggu
Gangguan yang mengarah pada gagal jantung dan pernapasan.
Pneumonia Berat (Severe Pneumonia)2.6.15
TEKS
58
Peumonia berat secara klinik dianggap sebagai entity terpisah yang
harus dikenal segera karena tingginya angka kematian pada kelompok ini.
Walaupun tidak ada definisi yang secara universal disepakati, namun secara
sederhana adalah semua penderita pneumonia yang memerlukan
perawatan ICU.
Pada pneumonia berat dikenal 9 kriteria minor, 2 kriteria mayor.
Kriteria minor adalah : Frekwensi napas 30/mt, PaO2 / FiO2 < 250, bilateral
pneumonia atau multilobar pneumonia, bingung/disorientasi, Uremia (BUN
level, 20 mg/dL), Leukopenia (WBC count, !4000 cells/mm3),
Thrombocytopenia (platelet count, !100,000 cells/mm3), Hypotermia
(temperatur, <360C), Hypotension. Kriteria mayor adalah ventilation
mechanical dan Septic shock yang memerlukan vasopresor 5
Dari penelitian retrospektif diketahui bahwa penderita perlu
perawatan ICU apabila ada 3 kreteria minor ( tekanan sistolik < 90 mmHg,
infiltrat multi lober, PaO2/FiO2 <250), atau satu dari dua kreteria mayor (
perlu ventilasi mekanik atau septik syok ).
Indikasi rawat ICU 6:
Hipotensi ( tekanan sistolik < 90 mmHg )
Ancaman gagal napas ang mebutuhkan ventilasi mekanik
Hipoksemia ( PO2 < 60 mmHg )
Status hemodinamik yang tidak stabil
Gagal organ
Teks
59
Perburukan penyakit yang merupakan ko-morbid
Gagal jantung, DM, PPOK
Pengobatan
Pada perinsipnya pengobatan PK meliputi pengobatan yang holistik
mencakup tindakan umum, koreksi terhadap kelainan yang ada dan
pemberian obat antiinfeksi. Tindakan umum bersifat simtomatis untuk
mengatasi demam tinggi, nyeri dada, pemberian nutrisi, rehidrasi,
memperbaiki ventilasi. Koreksi kelainan yang ada misalnya pada empiema,
diabetes melitus, gangguan metabolik, mengatasi syok septik. 5.16.17
Pemilihan Antibiotik 17.18.19
Pemilihan antibiotik dalam pengobatan PK tergantung dari
beberapa faktor seperti spektrum antibiotik, farkamotinetik, sensitivitas,
efek samping, dan harga obat. Pemilihan antibiotik dalam terapi emperik
PK hendaknya mempunyai aktivitas yang kuat terhadap S. Pneumoniae H.
Influenzae, M. Katarrhalis, L. Pneumophila, M. Pneumoniae dan C.
Pneumoniae. IDSA/ATS 2007 menganjurkan pemilihan antibiotik sesuai
dengan Tabel 3.
Makrolid yang dianjurkan adalah makrolid baru : roxitromocin, azitromicin,
claritomicin. Pengembangan fluorokuinolon yang disebut sebagai respiratory
quinolon atau fluorokuinolon generasi ke-4 yaitu kuinolon yang mempunyai
aktivitas lebih kuat terhadap S.Pneumoniae (temasuk yang resiten terhadap
penisilin), kuman aerob, kuman
TEKS
60
atipik atau kuman lain penyebab infeksi saluran nafas bawah
tampaknya akan menjadi antibiotik yang terpilih untuk engobatan
pneumonia. Fluorokuinolon tersebut adalah levofloksasin, moksifloksasin,
gatifloksasin, gemifloksasin.
Respon dan pemberian antibiotik awal
Pada dasarnya antibiotik awal secara emferik harus diberikan sedini
mungkin. Penelitian retrospektif menunjukkan adanya peningkatan angka
kematian yang berhubungan dengan keterlambatan pemberian
antibiotika terutama bila melampaui 8 jam. Hasil yang lebih baik bila
antibiotik diberikan kurang dari 4 jam setelah ditangani dokter atau
dirawat. Jadi pemberian antibiotka hendaknya segera diberikan setelah
dugaan peneumonia dibuat serta sebaiknya diberikan ketika pendeerita
masih ditempat penerimaan pertama seperti triage/UGD ataaupun di
poliklinik tanpa menunggu penderta sampai di ruangan.
Lama pemberian antibiotik belum ada kesepakatan yang pasti.
Penderita yang dirawat perbaikan klinik sudah dapat dilihat dalam 72 jam
pertama pengobatan. Selama ini kebiasaan pemberian antibiotik IV
umumnya selama 7 hari, namun dengan pergantian dini dari IV ke oral
akan memperpendek lama rawat inap yang akan menekan biaya
pengobatan. Switch therapy dari IV ke oral dapat dilakukan segera setelah
kondisi pasien stabil dan dapat menerima terapi oral dalam waktu 72 jam
setelah rawat inap. Lama pemberian antibiotik penderita PK yang
disebabkan dengan kuman gram positif antara 7-14 hari.5.18.19
Teks
61
Dengan pemilihan antibiotik dan dosis yang cermat dalam pengobatan PK
diharapkan tidak akan terjadi kegagalan terapi. Apabila terjadi perburukan
maka analisis pertama yang dilakukan apakah diagnosis awal sudah benar.
Bila benar analisis berikutnya ditujukan kepada faktor host, antibiotik dan
patogen penyebab. Faktor host misalnya adanya obstruksi saluran napas,
respon imun yang tidak adekuat, atau super infeksi. Faktor obat meliputi
pemilihan obat yang salah, dosis yang tidak tepat, cara pemberian obat dan
efek samping; faktor patogen mungkin resisten obat atau bukan bakteri.
Penggantian antibiotika ke antibiotaka lainnya atau penambahan
antibiotoka kain dapat dibenarkan apabila perbaikan klinis tidak terjadi
dalam kurun waktu 1 – 2 hari.
Table 3. Recommended empirical antibiotics for communityacquired
pneumonia.
Outpatient treatment
1. Previously healthy and no use of antimicrobials within the previous 3
months
A macrolide (strong recommendation; level I evidence)
Doxycyline (weak recommendation; level III evidence)
2. Presence of comorbidities such as chronic heart, lung, liveror renal
disease; diabetes mellitus; alcoholism; malignancies; asplenia;
immunosuppressing conditions or use of immunosuppressing drugs; or use
of antimicrobials within the previous 3 months (in which case an alternative
from a
different class should be selected) A respiratory fluoroquinolone
(moxifloxacin, gemifloxacin, or
levofloxacin [750 mg]) (strong recommendation; level I evidence)
A b-lactam plus a macrolide (strong recommendation; level I evidence)
TEKS
62
3. In regions with a high rate (125%) of infection with high-level (MIC _16
mg/mL) macrolide-resistant Streptococcus pneumoniae, consider use of
alternative agents listed above in (2) for patients without comorbidities
(moderate recommendation; level III evidence) Inpatients, non-ICU
treatment
A respiratory fluoroquinolone (strong recommendation; level I evidence)
A b-lactam plus a macrolide (strong recommendation; level I evidence)
Inpatients, ICU treatment
A b-lactam (cefotaxime, ceftriaxone, or ampicillin-sulbactam) plus either azithromycin (level II evidence) or a respiratory fluoroquinolone (level I evidence) (strong recommendation) (for penicillin-allergic patients, a respiratory fluoroquinolone and aztreonam are recommended)
Special concerns
If Pseudomonas is a consideration
An antipneumococcal, antipseudomonal b-lactam (piperacillintazobactam, cefepime, imipenem, or meropenem) plus either ciprofloxacin or levofloxacin (750 mg)
or
The above b-lactam plus an aminoglycoside and azithromycin
or
The above b-lactam plus an aminoglycoside and an
antipneumococcal fluoroquinolone (for penicillin-allergic patients,
Teks
63
substitute aztreonam for above b-lactam) (moderate
recommendation; level III evidence)
If CA-MRSA is a consideration,
add vancomycin or linezolid (moderate recommendation; level III
evidence)
IDSA/ATS Guidelines for CAP in Adults • CID 2007:44 (Suppl 2) • S45
NOTE. CA-MRSA, community-acquired methicillin-resistant Staphylococcus
aureus; ICU, intensive care unit.
Terapi sulih ( Switch therapy) dan step down therapy2.5..6.19
Terapi sulih ( Switch therapy) adalah merubah pemberian antibiotik
IV ke oral yang sama efektifitasnya. Bila menggunaka antibiotik yang sama
dengan bentuk IV disebut step down therapi, bila mengganti ke antibiotik
oral lain (sefalosporin I.V ke makrolid oral) disebut sebagai sequential
therapy. Indikasi switch therapi adalah pada pasien yang memberikan
respon klinik yang cepat terhadap antibiotik IV.
Kriteria klinik terapi sulih ( Switch therapy) adalah 2.5.6.19
:
Tidak ada indikasi klinik untuk melanjutkan terapi IV
Tidak ada kelainan absorpsi saluran cerna
Avibril sekurang-kurangnya 8 jam
Gejala batuk dan sesak mereda
Hitung leukosit menurun
C-reactive protein kembali normal
TEKS
64
Ringkasan
Infeksi parenkim paru yang terjadi di masyarakat dikenal sebagai
Pneumonia Komunitas (Community-Acquired Pneumonia/CAP). Diagnosis
ditegakkan dengan riwayat kejadian penyakit yang akut, demam, batuk
dengan dahak yang purulen, sesak napas. Patogen penyebab pnemonia
sangat sulit ditentukan, tetapi secara epidemiologis doketahui bahwa pada
umumnya disebabkan oleh bakteri S. Pneumoniae, H. Influenzae, M.
Katarrhalis, L. Pneumophila, M. Pneumoniae dan C. Pneumoniae.
Penentuan tempat rawat penderita apakah rawat jalan, perawatan
di ruangan /bangzal, atau di ruangan intensif (ICU) sangat penting dalam
penatalaksanaan penderita serta efisiensi biaya perawatan. Severity of
illness score seperti CURB 65 (Confution, Uremic, Respiratory rate, low
Blood pressure, age 65 years or greater) atau PSI (Pneumonic Severity Index)
dapat dipergunakan dalam penentuan tempat perawatan penderita.
Dengan mengetahui kuman penyebab peneumonia secara eoideniologis,
pemilihan antibiotik secara emfirik diharapkan mampu mengatasi kuman
tersebut sehingga kesembuhan penderita tercapai.
Daftar Pustaka
1. Marei TJ.. Acut Bronchitis and Community Acquired Pneumonia, In Pulmonari Diseases ang Disorder. ED. Alfred P. Fishman, Fourth Edition. New York Chicago San Francisco Lisbon London. 2008; 2097-2114.
2. American Thoracic Society ( ATS ). Guidelines for Initial Management of Adult with Community-acquired Pneumonia:
Teks
65
Diagnosis, Assessment of Severity, and Initial Antimcrobial Therapy and Prevention. Am. J. Respir Crit Care Med. 2001 ; 163 : 1730 – 1754
3. Winariani K. Infeksi Saluran Nafas bagian Bawah ( Pneumonia ). Diagnostik dan Pengobatan. PKB IV Ilmu Penyakit Paru 2000 : 17 – 31
4. Fine M J., Auble TE., Yealy DM. Et Al, A Prediction Rule To Identify Low-Risk Patients With Community Acquired Pneumonia, N Engl J Med 1997;336:243-50.
5. Mandel LA et al, Infectious Diseases Society of America/American Thoracic Society Consensus Guidelines on the Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults. IDSA/ATS Guidelines for CAP in Adults • CID 2007:44 (Suppl 2)
6. Menendez R et al. Guidelines for the Treatment of Community-acquired Pneumonia Predictors of Adherence and Outcome. Am J Respir Crit Care Med Vol 172. pp 757–762, 2005
7. Cunha B.A. Community-Acquired pneumonia. Diagnostic and terapeutic Approach. Medical Clinik of North America, 2001,85: 43-75
8. Fein A, Grossman R, Ost D, Farber B, Cassiere H. Community-Acquired Pneumonia. In : Diagnosis and Management of Pneumonia and Other Respiratory Infection. 1st. ed. Professional Communications, Inc. United States of America, 1999.
9. Mason CM. Pulmonary Host Defenses : Implication for Therapy. Clinics in Chest Medicine, Niederman MS .ed. W.B. Saunder Company, Philadelphia, 1999 : 475 – 488.
10. Godfrey S, Wilson R. Pneumonia, Martin Dunitz Ltd. London, 1996.
TEKS
66
11. Skerrett S.J. Diagnostic Testing for Cummunity Acquired Pneuminia. In Clinics in Chest Medicine, Niederman MS .ed. W.B. Saunder Company, Philadelphia, 1999 :531-548.
12. Lieberman D. Atypical Pathogens in Community – Acquired Pneumoni. Clinics in Chest Medicine, Niederman MS .ed. W.B. Saunder Company, Philadelphia, 1999 ; 20 : 469 – 497.
13. Harwell Jl, BrownRB. The Drug – Resistant Pneumococcus. Clinical Relevance, Therapy and Prevention. CHEST 2000 ; 117 : 530 – 341
14. Feldman C. Pneumonia in The Elderly. In : Clinics in Chest Medicine. Editor : Niederman MS.W.B. Saunders Company, Philadelphia, 1999, p. 563 – 564
15. Bernstein JM. Treatment of Community – Acquired Pnemonia – IDSA Guideline. CHEST 1999; 115 : 9S – 13S
16. Ewig S, Torres A. Severe Community-Acquired Pnemonia. In : Clinics in Chest Medicine. Niederman MS, ed. WB Saunders Company, Phiadelphia, 1999, 575 – 587
17. Burgess DS. Phamacodynamic Principles of Antimicrobial Therapy in The Prevention of Resistance. Chest 1999 ; 115 : 19S – 23S
18. Mandell LA. Antibiotic Therapy for Community-Acquired Pneumonia. In: Clinics in Chest Medicine. Niederman MS, Ed. WB Sounders Companny, Philladelpia,1999: 589-596.
Teks
67
Healthcare-associated Pneumonia (HCAP)
IGN Bagus Artana
Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pendahuluan
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi utama yang
sering memerlukan perawatan di rumah sakit. Pneumonia masih menjadi
masalah kesehatan utama di bidang infeksi di seluruh dunia. Setengah
pasien yang dirawat inap dengan pneumonia adalah pneumonia komunitas.
Sedangkan lebih dari 20% kasus adalah HCAP. The American Thoracic
Society (ATS) and the Infectious Diseases Society of America (IDSA)
memberikan definisi HCAP berdasarkan temuan salah satu factor risiko:
riwayat rawat inap 2 hari atau lebih dalam 90 hari terakhir; menghuni panti
jompo/rumah perawatan (nursing home residents/NHR); terapi
intravena/infus di rumah; dialysis kronik dalam 30 hari; perawatan luka di
rumah; ada anggota keluarga dengan multidrug-resistant pathogen.1,2
Healthcare-associated pneumonia (HCAP) merupakan kondisi
tersendiri, terpisah baik dari CAP dan pneumonia nosocomial (VAP dan
HAP). Walaupun pasien HCAP datang dari komunitas, tetapi epidemiologi
dan bakteriologi HCAP jauh berbeda dari karakteristik komunitas. Salah
satunya dilihat dari pathogen penyebab, dimana pathogen yang resisten,
misalnya methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan
Pseudomonas aeruginosa sangat sering dijumpai pada kasus HCAP.1,3,4
TEKS
68
Staphylococcus aureus merupakan pathogen utama pada semua
jenis pneumonia, dengan frekuensi lebih tinggi pada kasus pneumonia non-
CAP. HCAP juga memiliki proporsi yang lebih tinggi dibandingkan CAP dalam
hal pemberian antibiotika empiris yang tidak tepat. Hal ini kemungkinan
akibat kurangnya kewaspadaan klinisi untuk mengenal kasus HCAP pada
pasien pneumonia yang dating berobat ke rumah sakit. Angka mortalitas
HCAP hampir sama dengan mortalitas hospital acquired pneumonia/HAP
(19,8% vs 18,8%), jauh lebih tinggi dari mortalitas community acquired
pneumonia/CAP (10%; p < 0,0001), serta lebih rendah dari mortalitas
ventilator associated pneumonia/VAP (29,3%, p < 0,0001).4,5
Melihat angka kematiannya yang jauh lebih tinggi dari CAP, dan
relatif sebanding dengan mortalitas HAP, maka tingkat kewaspadaan klinisi
akan HCAP haru ditingkatkan. Klinisi juga harus mengenal beberapa
instrumen yang dapat meningkatkan kewaspadaan dan kecurigaan kita pada
kasus HCAP. Berikut ini akan disampaikan beberapa hal mengenai HCAP
untuk dapat meningkatkan kewaspadaan klinisi akan HCAP dan agar dapat
memberikan terapi yang tepat dan adekuat.
Etiologi HCAP
Health Care-Associated Pneumonia (HCAP) disebabkan oleh
berbagai spectrum patogen yang kemungkinan polimirobial. Pada pasien
dengan status imun menurun, penyebab viral dan jamur juga dapat
dipertimbangkan. Patogen yang umum ditemukan pada kasus HCAP serupa
Teks
69
dengan yang ditemukan pada kasus HAP atau VAP. Patogen-patogen
penyebab utamanya adalah kuman basil gram negatif aerob (P. aeruginosa,
Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, dan Acinetobacter species). Bakteri
kokus gram positif (Staphylococcus aureus, terutama methicillin resistant S.
aureus/MRSA) dalam beberapa dekade terakhir sangat meningkat infeksinya
pada pasien dengan status imun yang menurun, terutama di Amerika dan
Eropa.1,7
Pada pasien usia tua, kejadian pneumonia yang sering terjadi
adalah HCAP dalam bentuk khusus. HCAP pada pasien lanjut usia ini
memiliki spectrum pathogen yang serupa dengan kasus HAP atau VAP late
onset. Pada populasi khusus pasien lanjut usia yang tinggal di nursing home,
El-Solh mendapatkan kuman penyebab HCAP terdiri dari S. aureus (29%),
enteric batang gram-negatif (15%), Streptococcus pneumoniae (9%), dan
Pseudomonas species (4%).4,8
Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan infeksi oleh
bakteri multidrug-resistant (MDR) pada kasus-kasus HCAP. ATS/IDSA tahun
2005 telah mempublikasikan factor risiko pasien untuk terinfeksi oleh
bakteri yang bersifat multidrug-resistant (Tabel 1). Hal ini menunjukkan
potensi adaptabilitas yang dimiliki oleh pathogen-patogen penyebab
pneumonia ini. Infeksi oleh patogen multidrug-resistant merupakan salah
satu pembeda utama antara CAP dan HCAP. Hal ini juga yang
mengakibatkan mortalitas HCAP jauh melebihi CAP. Tabel 1 merupakan
TEKS
70
acuan untuk menilai pasien HCAP berisiko untuk mendapat infeksi patogen
multidrug-resistant.1
Jamur dan virus pathogen juga dapat menyebabkan HCAP,
terutama pada pasien dengan imunitas yang rendah, misalnya pasien
transplantasi organ, penyakit imunosupresif, serta pasien netropeni.
Beberapa spesies jamur yang sering dihubungkan dengan kondisi ini adalah
Candida spp dan Aspergillus fumigatus. Kejadian luar biasa pneumonia
akibat infeksi virus sering bersifat musiman. Beberapa jenis virus yang
dilaporkan menjadi sumber infeksi adalah influenza, parainfluenza,
adenovirus, measles, dan respiratory syncytial virus.1,9
Tabel 1. Faktor Risiko Infeksi oleh Patogen Multidrug-Resistant1
Terapi antibiotika dalam 90 hari terakhir
Perawatan di rumah sakit lima hari atau lebih
Kejadian resistensi antibiotika yang tinggi di masyarakat atau unit
spesifik di rumah sakit
Factor risiko HCAP (dirawat inap minimal 2 hari dalam 90 hari
terakhir, penghuni nursing home/ rumah perawatan/ panti jompo,
terapi ifus di rumah, dialysis kronik dalam 30 hari terakhir,
perawatan luka di rumah, anggota keluarga dengan infeksi oleh
pathogen multidrug resistant
Penyakit atau terapi imunosupresif
Teks
71
Manajemen HCAP
Setiap pasien yang dating ke unit gawat darurat dengan keluhan
gejala respirasi akut harus dilakukan identifikasi ke arah HCAP, atau dengan
kata lain dibedakan dari CAP. Kegagalan identifikasi HCAP saat awal pasien
datang akan meningkatkan risiko kematian pasien hingga tiga kali. Langkah
kedua yang kita lakukan adalah menilai risiko infeksi oleh pathogen
multidrug-resistant dengan acuan Tabel 1 di atas, seperti terlihat pada
Gambar 1. Berdasarkan risiko infeksi oleh patogen multidrug-resistant,
pasien dikelompokkan menjadi dua, untuk kemudian diberikan terapi
antibiotika empiris. Pada pasien tanpa risiko pathogen MDR, diberikan
terapi antibiotika dengan spectrum yang lebih terbatas (Tabel 2). Sedangkan
pasien dengan risiko infeksi oleh pathogen MDR, antibiotika spektrum yang
lebih luas diberikan (Tabel 3).1,5,7
Diagnosis HCAP terdiri dari diagnosis klinis dan kultur specimen
saluran nafas bawah. Kriteria diagnosis klinis yang dipakai sama dengan
diagnosis klinis pneumonia secara umum disertai dengan upaya mencari hal-
hal yang menjadi factor risiko HCAP dari anamnesis pasien. Kriteria klinis
umum pneumonia yang dimaksud, yaitu temuan radiologis khas disertai
minimal satu keluhan klinis (demam, leukositosis, atau dahak purulent).
Kriteria diagnosis ini memiliki sensitivitas yang cukup baik, tetapi
spefisitasnya kurang baik. Spesifisitas akan meningkat dengan semakin
banyaknya kriteria klinis yang ditemukan pada pasien.1,4,6
TEKS
72
Gambar 1. Algoritme Strategi Manajemen HCAP1
Guideline ATS/IDSA tahun 2005 merekomendasikan untuk
mengambil sampel specimen dari saluran nafas bawah untuk dilakukan
kultur (pemeriksaan bakteriologis) dan pemeriksaan mikroskopik dari setiap
pasien yang dicurigai menderita HCAP dari parameter klinis. Upaya untuk
mendapatkan sampel specimen untuk dilakukan pemeriksaan bakteriologis
pada pasien HCAP sering sulit dilaksanakan. Kesulitan ini dapat diantisipasi
dengan beberapa teknik seperti protected specimen brush (PSB) atau
bronchoalveolar lavage (BAL), sehingga didapatkan sampel yang
representatif.1
Teks
73
Tabel 2. Antibiotik empiris inisial pada HCAP tanpa ridiko pathogen MDR1
Patogen penyebab potensial Rekomendasi antibiotika
Streptococcus pneumoniae
Haemophilus influenzae
Methicillin-sensitive Staphylococcus aureus
Antibiotic-sensitive enteric gram-negative bacilli
o Escherichia coli
o Klebsiella pneumoniae
o Enterobacter species
o Proteus species
o Serratia marcescens
Ceftriaxone
atau
Levofloxacin, moxifloxacin, or ciprofloxacin
atau
Ampicillin/sulbactam
atau
Ertapenem
Penggunaan procalcitonin (PCT) belakangan ini banyak diusulkan
sebagai salah satu biomarker spesifik untuk menilai infeksi bakterial.
Procalcitonin banyak dipakai untuk membantu klinisi dalam memutuskan
pemberian antibiotika pada kasus pneumonia. Procalcitonin 0,25 µg/L atau
lebih dapat dijadikan dasar untuk mulai memberikan antibiotika pada pasien
pneumonia. Pemakaian PCT juga dipakai untuk follow up setelah
pengobatan selama 2-3 hari. Apabila penurunan PCT paska terapi lebih dari
TEKS
74
80% nilai awal atau nilainya kurang dari 0,24 µg/L, maka de-eskalasi dapat
dilakukan dengan melihat hasil kultur sputumnya.7,8
Outcome yang optimal dapat dicapai dengan memberikan terapi
inisial yang tepat dan dan adekuat. Untuk memberikan terapi yang adekuat,
tidak hanya tergantung dari jenis antibiotiknya saja, tetapi juga dengan dosis
yang optimal dan rute pemberian yang tepat. Hal ini akan memastikan
penetrasi antibiotika yang baik pada lokasi infeksi. Pada kasus HCAP dengan
risiko infeksi oleh pathogen multidrug-resistant, kombinasi antibiotika saat
terapi inisial merupakan suatu keharusan untuk mencapai outcome yang
baik. Pada kasus HCAP, banyak pasien yang sudah mendapatkan antibiotika
sebelumnya. Pada kondisi ini, antibiotika yang dipilih adalah antibiotika dari
jenis lain yang masih setara, sesuai panduan pada Tabel 2 dan 3.1
Tabel 3. Antibiotika empiris inisial pasien HCAP dengan risiko pathogen
MDR1
Patogen potensial Kombinasi antibiotika
Patogen pada Tabel 2 dan patogen MDR
Pseudomonas aeruginosa
Klebsiella pneumoniae (ESBL)
Acinetobacter species
Antipseudomonal cephalosporin (cefepime, ceftazidime)
atau
Antipseudomonal carbepenem (imipenem or meropenem)
atau
β-Lactam/β-lactamase inhibitor (piperacillin-tazobactam)
Teks
75
Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
Legionella pneumophila
plus
Antipseudomonal fluoroquinolone (ciprofloxacin or levofloxacin)
atau
Aminoglycoside (amikacin, gentamicin, or tobramycin)
plus
Linezolid or vancomycin
Kombinasi harus melibatkan macrolide atau levofloxacin
Karakteristik farmakodinamik dari berbagai jenis antibiotika juga
harus dipahami oleh klinisi untuk mendapatkan outcome yang optimal.
Salah satu contohnya adalah kemampuan penetrasi antibiotika ke paru.
Antibiotika golongan fluorokuinolon dan linezolid memiliki konsentrasi yang
setara antara paru dan sserum. Sedangkan golongan β-lactams memiliki
penetrasi yang kurang baik ke paru. Mekanisme kerja antibiotika juga
penting dalam pemberian terapi pasien HCAP. Mekanisme kerja ini akan
mempengaruhi dosis obat yang diberikan, efikasi, dan toksisitasnya.
Antibiotika golongan fluorokuinolon bekerja dengan sifat concentration-
dependent, artinya kemampuan antibiotika ini dalam membunuh pathogen
akan lebih baik dan cepat pada konsentrasi yang lebih besar. Antibiotika
TEKS
76
jenis lain misalnya β-lactams atau vancomycin bersifat time dependent,
dimana kemampuan antibiotika ini membunuh pathogen ditentukan pada
seberapa lama konsentrasi antibiotika ini pada serum melebihi minimal
inhibitory concentration (MIC) kuman patogen. Acuan dosis antibiotika
untuk kasus HCAP dengan risiko infeksi pathogen multidrug-resistant dapat
dilihat pada Tabel 4.1,3,5
Tabel 4. Dosis Terapi empiris inisial pasien HCAP dengan risiko infeksi oleh
patogen MDR1
Jenis Antibiotika Dosis
Antipseudomonal cephalosporin
Cefepime
Ceftazidime
Carbepenems
Imipenem
Meropenem
β-Lactam/β-lactamase inhibitor
Piperacillin–tazobactam
Aminoglycosides
Gentamicin
Tobramycin
Amikacin
Antipseudomonal quinolones
1–2 g setiap 8–12 jam
2 g setiap 8 jam
500 mg setiap 6 jam atau 1 g setiap 8 jam
1 g setiap 8 jam
4,5 g setiap 6 jam
7 mg/kg per hari
7 mg/kg per hari
20 mg/kg per hari
Teks
77
Levofloxacin
Ciprofloxacin
Vancomycin
Linezolid
750 mg setiap hari
400 mg setiap 8 jam
15 mg/kg setiap 12 jam
600 mg setiap 12 jam
Durasi pemberian antibiotika pada kasus HCAP masih menjadi
perdebatan. Pemberian yang konvensional selama 14-21 hari dikatakan
meningkatkan risiko kolonisasi oleh bakteri yang resisten antibiotika. Selain
itu, pemberian yang terlalu lama juga dapat mengganggu fungsi ginjal.
Berbagai konsensus pneumonia hanya menuliskan lama pemberian
antibiotika setidaknya 7 hari untuk kasus HCAP. Pada akhirnya dikembalikan
kepada klinisi masing-masing untuk menentukan durasi pemberian
antibiotika tergantung dari perbaikan klinis pasien serta data
mikrobiologisnya.2,5,10
Ringkasan
Healthcare-associated pneumonia (HCAP) merupakan kondisi
tersendiri, terpisah baik dari CAP dan pneumonia nosocomial (VAP dan
HAP). HCAP memiliki karakteristik dan pathogen serupa pneumonia
nosocomial tetapi mengambil setting komunitas. Klinisi sangat memerlukan
kewaspadaan dan kejelian dalam menangkap kasus HCAP saat praktek.
Kegagalan identifikasi HCAP sejak awal akan mempengaruhi outcome
pengobatan dan transmisi pathogen rumah sakit pada komunitas.
TEKS
78
Daftar Pustaka
1. American Thoracic Society Documents. Guidelines for the
Management of Adults with Hospital-acquired, Ventilator-
associated, and Healthcare-associated Pneumonia. Am J Respir Crit
Care Med 2005;171: 388-416
2. Kollef MH, Morrow LE, Baughman RP, Craven DE, et al. Health
Care–Associated Pneumonia (HCAP): A Critical Appraisal to Improve
Identification, Management, and Outcomes—Proceedings of the
HCAP Summit. CID 2008; 46: S296-334
3. Seymann GB. Health care–associated pneumonia: Meeting the
clinical challenges. J respir dis 2008; 29(5): 208-213
4. Chalmers JD, Taylor JK, Singanayagam A, Fleming GB, Akram AR, et
al. Epidemiology, Antibiotic Therapy, and Clinical Outcomes in
Health Care–Associated Pneumonia: A UK Cohort Study. CID
2011;53(2):107–113
5. Rosato A, Santini C. Management of Health-Care Associated
Pneumonia (HCAP). Italian Journal of Medicine 2012; 6: 87-90
6. Craven DE. 2005 IDSA/ATS Hospital acquired pneumonia guidelines:
New principles for improving management. Proceeding of
Interscience Conference on Antimicrobial Agents and
Chemotherapy Annual Meeting. Washington DC. December 17,
2005
Teks
79
7. Zilberberg MD, Shorr AF. Healthcare-associated Pneumonia: The
state of evidence to date. Curr Opin Pulm Med. 2011;17(3):142-147
8. Maruyama T, Fujisawa T, Okuno M, Toyoshima H, Tsutsui K, et al. A
New Strategy for Healthcare-Associated Pneumonia: A 2-Year
Prospective Multicenter Cohort Study Using Risk Factors for
Multidrug-Resistant Pathogens to Select Initial Empiric Therapy. CID
2013;57(10):1373–83
9. Cardoso T, Almeida M, Carratalà J, Aragão I, Costa-Pereira A, et al.
Microbiology of healthcare-associated infections and the definition
accuracy to predict infection by potentially drug resistant
pathogens: a systematic review. BMC Infectious Diseases 2015;
15:565-578
10. Cardoso T, Almeida M, Friedman ND, Aragão I, Costa-Pereira A, et
al. Classification of healthcare-associated infection: a systematic
review 10 years after the first proposal. BMC Medicine 2014, 12:40-
53
TEKS
80
HOSPITAL ACQUIRED PNEUMONIA
I Made Bagiada
Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pendahuluan
Pneumonia adalah infeksi parenkhim paru dapat berupa community
acquired pneumonia (CAP), health care associated pneumonia (HCAP), atau
hospital acquired pneumonia (HAP). Ketiga bentuk pneumonia tersebut
sering diantara pasien yang dirawat di rumah sakit. HAP, pneumonia yang
didapat di rumah sakit adalah kelompok yang terpenting karena dapat
memperpanjang rawat inap pasien, menunjukkan angka kematian tinggi,
dan biaya rumah sakit tinggi (1).
Secara epidemiologi diperkirakan bahwa kejadian HAP sekitar 0,5% sd 5%
dari semua pasien yang dirawat di RS. Kejadian ini malah lebih sering pada
penderita dengan ventilator, kejadiannya sampai 15% sampai 25%.
Sementara risiko kematian di antara pasien HAP lebih tinggi dibandingkan
dengan rata-rata pasien yang dirawat inap (1).
Ada sejumlah faktor risiko yang meningkatkan risiko terjadinya HAP.
Intubasi endotracheal adalah penentu terkuat dari factor risiko yang
meningkatkan risiko terjadinya HAP. Adanya slang endotracheal memberi
kesempatan jalan langsung bagi mikroorganisme ke saluran napas bawah
Teks
81
yang normalnya steril. Hal ini juga memungkinkan untuk pengumpulan
sekresi orofaringeal meningkat, sekresi ini yang akhirnya akan disedot ke
dalam saluran napas sesuai dengan berjalannya waktu. Masih ada banyak
faktor risiko lain untuk terjadinya HAP (1).
Definisi HAP
HAP didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi paling tidak dalam waktu
48 jam setelah dirawat. Pneumonia HAP dapat dalam bentuk ringan atau
yang lebih berat. Secara klinis HAP apabila secara radiologi ditemukannya
infiltrate parenkhim paru baru atau progresif dan dibutuhkan paling tidak 2
tanda-tanda berikut: perubahan suhu < 36°C atau > 38,3°C, WBC < 5.000
sel/mm3 atau > 10.000 sel/mm3, atau sputum menjadi purulent (2,3).
Faktor risiko
Tidak hanya kelompok pasien tertentu berisiko lebih besar untuk HAP,
namun hos tertentu, misal faktor lingkungan atau farmakologis
meningkatkan kecenderungan pasien terkena pneumonia. Identifikasi
faktor-faktor risiko memungkinkan membuat strategi untuk pencegahan
HAP dan keputusan terapi (4).
Faktor hos
Kolonisasi pathogen mikroorganisme saluran pernapasan atas dan
saluran pencernaan merupakan faktor utama predisposisi pasien untuk HAP.
Kolonisasi orofaringeal cepat meningkat setelah rawat inap, dan sangat
TEKS
82
cepat meningkatnya pada pasien yang di rawat di ICU. Untuk pasien di ICU,
risiko terjadinya HAP pada 5 hari pertama masih rendah, kemudian
mengalami percepatan sampai mencapai puncaknya 5% perhari, dan
kemudian menurun setelah 14 hari dengan risiko 1% perhari. Faktor untuk
meningkatkan kolonisasi saluran napas termasuk terapi antibiotik
sebelumnya dandiberikan terus menerus, intubasi endotrakeal, merokok,
gizi buruk, bedah umum, plak gigi dan terapi yang meningkatkan pH
lambung (4,5).
Factor risiko hos yang lain adalah: usia, komorbiditas (penyakit
ginjal dan penyakit system saraf pusat) dan peralatan peralatan invasive
(kateter vena sentral, kateter urin, slang naso-enteral) (5).
Berkaitan dengan faktor risiko, sejumlah variable yang mungkin
berpengaruh terhadap risiko terjadinya HAP yang lebih berat, yaitu
terutama munculnya pathogen multi-resisten. Faktor terkuat adalah terapi
antimicrobial 90 hari sebelumnya (4), rawat inap lebih dari 5 hari, tingginya
prevalensi resistensi antibiotic di komunitas atau unit rumah sakit khusus,
imunosupresan, atau faktor risiko lain untuk infeksi yang resisten, seperti
rawat inap akhir-akhir ini, bertempat tinggal di fasilitas kesehatan, terapi
intravena di rumah, perawatan luka di rumah, atau dialysis kronik, sehingga
HAP berhubungan dengan adanya resisten obat multiple.
Faktor-faktor berikut secara signifikan terkait dengan prognosis
pasien dengan pneumonia nosokomial: umur, skor kondisi gaya hidup
premorbid (LSS), diagnosis non-bedah, penggunaan antasida atau histamin
Teks
83
tipe 2 (H2) blocker, penggunaan antibiotik sebelumnya, terapi antibiotika
yang tidak sesuai, adanya mikro-organisme MDR, indeks simple acute
physiology score (SAPS), adanya gagal napas, infiltrat bilateral pada foto
toraks, adanya syok septik dan gagal organ multipel (MOF) (6).
Faktor lingkungan
Lamanya nasogastric tube terpasang terbukti telah meningkatkan
refluks gastroesofageal sekresi oral dan menjadi faktor risiko independen
HAP. Slang yang ada pada mesin ventilasi mekanik membentuk kondensat
sebagai akibat dari perbedaan temperatur antara gas terinspirasi dan udara
sekeliling. Kondensat ini mudah terkontaminasi oleh sekresi pasien yang
mengandung mikroorganisme. Saluran air rumah sakit, perpindahan pasien
ICU untuk tindakan diagnostik atau menjalani prosedur pembedahan keluar
dari ruang ICU juga merupakan faktor risiko terjadinya HAP (4).
Faktor farmakologi
Factor lingkungan berkaitan dengan penggunaan antibiotik, para
peneliti mendapatkan hasil yang berbeda untuk risiko terjadinya HAP.
Penggunaan antibiotik profilaksis di ICU mendorong risiko superinfeksi oleh
bakteri multiresisten tetapi menunda timbulnya infeksi nosokomial.
Keadaan pH lambung non-asidik menyebabkan kolonisasi bakteri lambung
akibatnya kontaminasi pada slang pasien ventilasi mekanik. Obat yang
berdampak pada pH lambung dapat berdampak pada risiko VAP (HAP). Jika
ada indikasi profilaksis stres ulkus, sebelum diberikan supresi-asam dan
TEKS
84
sukralfat harus ditimbang risiko dan manfaatnya. Pemberian agen paralitik
untuk pasien dengan ventilasi mekanik juga telah dicatat sebagai faktor
risiko untuk VAP (HAP) (4).
Pathogenesis HAP
Gambar 1. Patogenesis HAP (4).
Etiologi
Sejumlah besar mikroorganisme masuk dan mencapai saluran
napas dan menguasai pertahanan hos dan kemudian terjadi HAP, atau HAP
dapat terjadi jika pertahanan hos pasien terganggu atau jika mereka
terinfeksi dengan strain yang sangat virulen. Untuk menentukan terapi
Teks
85
antimikroba empiris optimal sebaiknya diketahui pola lokal patogen
penyebab, dengan cara identifikasi pathogen yang sensitif, spesifik dan
cepat identifikasinya kemudian dilanjutkan dengan uji sensitivitas. Terapi
terbaik berdasarkan sensitivitas obat terhadap pathogen. Sayangnya
penemuan agen penyebab pada HAP sering sulit karena bermasalah apakah
hanya sekadar kolonisasi trakheobronkhial atau sebagai pneumonia
nosokomial yang sebenarnya. Tantangan lainnya yang menghambat terapi
antimikroba yang optimal adalah fakta bahwa tidak adanya pertumbuhan
kuman atau alternatifnya, tumbuh beberapa kuman (4). Berikut ini disajikan
jenis-jenis kuman penyebab HAP dan VAP. Terlihat jelas bahwa kuman
penyebab HAP didominasi basil Gram negative, kemudian disusul kokus
Gram positif (Tabel 1).
TABLE 1. Microbiological causes of hospital-acquired pneumonia and ventilator-associated pneumonia (level A-2) (4).
Frequency of isolation Microbiological diagnosis (% of patients) Gram-negative bacilli 35–80
Escherichia coli Klebsiella species Enterobacter species Proteus species Serratia marcescens Pseudomonas aeruginosa Acinetobacter species Stenotrophomonas maltophilia
TEKS
86
Gram-positive cocci 9–46 Streptococcus pneumonia Streptococcus species Staphylococcus aureus (MSSA and MRSA)
Polymicrobial 9–80 Anaerobes 0–54 Blood culture positive 0–40 No growth 2–54 Jones RN menyebutkan kuman-kuman tersering yang diisolasi pada pasien
dengan HAP dari tahun ke tahun (tahun 1985 – 1998). Kuman
Staphylococcus aureus menempati urutan pertama kemudian disusul oleh
Pseudomonas aeruginosa (Tabel 2).
Diagnosis HAP
Berbeda dengan diagnosis CAP, diagnosis HAP cukup sulit. Ada
banyak teknik diagnostik untuk memastikan kecurigaan HAP. Meskipun
demikian belum ada konsensus yang memadai sebagai strategi diagnostik.
(7)
Teks
87
Kecurigaan klinis adalah langkah pertama untuk evaluasi pasien dengan
kemungkinan HAP. Kecurigaan terhadap HAP berdasarkan adanya infiltrat
paru baru dan bukti klinis infeksi seperti: demam, perubahan jumlah sel
darah putih, dan sekresi dahak purulen. Melakukan penilaian secara hati-
hati terhadap lekosit dan morfologi bakteri pada pengecatan Gram dapat
meningkatkan spesifisitas diagnostik. Tetapi apabila hanya mengandalkan
klinis saja sering over diagnosis (8), sebab tanda-tanda klinis tersebut
adalah nonspesifik dan dapat juga terlihat pada pasien dengan kondisi
seperti edema paru, sepsis, Acute Respiratory Syndrome (ARDS), emboli
paru dan atelectasis (9). Namun kenyataan bahwa untuk menurunkan angka
mortalitas harus diberikan antinbitik yang sesuai se-segera mungkin. Ada
tool klinik tambahan untuk diagnostik infeksi paru yaitu Clinical Pulmonary
Infection Score (CPIS). CPIS pertama kali didefinisikan oleh Pugin dkk.
(1991)dan menemukan bahwa CPIS mempunyai spesivisitas dan sensitivitas
tinggi (sensitivitas 100% dan spesifisitas 88%) (10). CPIS mengkombinasikan
data klinis, radiologi, fisiologi, dan mikrobiologi kedalam skor numerik yang
berkorelasi dengan adanya pneumonia. Skor CPIS di atas 6 memiliki korelasi
yang bagus untuk diagnosis pneumonia. Tetapi skor CPIS ini kurang
digunakan, karena peneliti lain menemukan bahwa CPIS menpunyai
sensitifitas 77% dan spesifisitas 42%, membuat skor ini kurang dimanfaatkan
(8). Zilberberg dan Shorr (2010) menyimpulkan bahwa CPIS perannya
terbatas baik untuk klinik maupun tool penelitian (11). Da Silva dkk. (2014)
meneliti penderita HAP (VAP) secara dengan menggunakan CPIS-modifikasi
TEKS
88
dan mendapatkan bahwa pasien risiko-rendah bila hasil kultur negative pada
hari ketiga harus dipikirkan pemberian antibiotik jangka pendek dan pasien
risiko-tinggi bila tidak ada perbaikan skor dan memiliki potensi gagal terapi
(12). Berikut ini disajikan skor CPIS.
Table 3 Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) criteria
Component Value
Point
Temperature °C >36.5 and <38.4
0
>38.5 and <38.9
1
>39.0 and <36.0
2
Blood leukocyte (mm3) >4000 and <11000
0
<4000 or >11000 1 Tracheal secretions Few 0
Moderate 1
Large and purulent 2
(>25 PNL per LPF) Oxygenation >240 or presence of ARDS 0
Teks
89
(Pa02/Fi02, mm Hg) <240 and absence of ARDS 2 Chest radiograph No infiltrate 0
Patchy or diffuse infiltrate 1
Localized infiltrate 2
Progression of pulmonary No radiographic progression 0 Infiltrate Radiographic progression 2
(After CHF and ARDS excluded)
Culture <10000 cfu bacteria per ml BAL or no growth 0
>10000 cfu bacteria per ml BAL 1
ARDS, Acute Respiratory Distress Syndrome; BAL, Bronchoalveolar Lavage; CFU, Colony Forming Unit; CHF, Congestive Heart Failure; CPIS, Clinical Pulmonary Infection Score; Fi02, Fraction of inspired oxygen; LPF, Low Power Field; Pa02, Partial arterial oxygen; PNL, Polymorphonuclear Neutrophils. Sumber: Guler dkk. (2012).
Terapi HAP
Terapi pneumonia nosokomial terutama ditentukan oleh terapi
antibiotik dini dan tepat. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat (misalnya,
pilihan antibiotik awal yang tidak mencakup patogen utama) mungkin
merupakan penentu terkuat hasil akhir terapi. Meskipun demikian, factor
TEKS
90
yang berkaitan dengan hos (misal, status imun, kondisi komorbid dan
beratnya presentasi klinis), pathogen (missal, jumlah , factor virulensi), dan
juga jenis antimicrobial juga menentukan hasil akhir terapi. Ada juga hal lain
yang perlu diperhatikan yaitu pola kuman lokal dan resistensinya.
Antibiotik dengan spectrum luas merupakan pilihan terapi awal terbaik.
Terapi kombinasi aminoglikosida dan beta-laktam merupakan agen yang
sinergi dan memiliki mekanisme ganda, sehingga mencegah resistensi.
Monoterapi dengan antibiotik spektrum luas tertentu mungkin tepat,
terutama setelah patogen dan kepekaan terhadap kuman diketahui. Durasi
terapi tetap merupakan area ketidakpastian, dengan rejimen pengobatan
tradisional membutuhkan waktu hingga 21 hari terapi antibiotik (4).
Meskipun demikian rata-rata terapi antibiotik adalah 14 hari. Perlu
dipertimbangkan kemungkinan patogen MDR, kemungkinan ini dapat
dipertimbangkan secara klinis berdasarkan durasi rawat inap sebelum
terjadinya pneumonia, pasien yang telah dirawat di rumah sakit setidaknya
5 hari memiliki risiko lebih besar disebabkan oleh patogen MDR, terapai
kombinasi antibiotic lebih disukai, missal sefalosporin anti-pseudomonas
atau carbapenem atau penisilin anti-pseudomonas dalam kombinasi dengan
fluorokuinolon anti-pseudomonas atau aminoglikosida. Untuk pasien
dengan onset pneumonia <5 hari, monoterapi antibiotik mungkin cukup
dengan menggunakan sefalosporin, kuinolon, atau penisilin spectrum luas.
Untuk pasien dengan pneumonia late-onset, kemungkinan patogen MDR
lebih besar dan karena itu terapi kombinasi antibiotik lebih dianjurkan (13).
Teks
91
Ternyata HAP disebabkan oleh berbagai kuman kokus Gram-positif
dan basil Gram-negatif, sangat penting untuk mengetahui aktivitas agen
antimicrobial yang sering digunakan melawan pathogen ini. Cephalosporin
generasi ke 3 (misal cefotaxime, ceftriaxone dan ceftazidime), penicillin
spectrum-luas (misal piperacillin/tazobactam), fluoroquinolone (misal
ciprofloxacin dan levofloxacin) aminoglycosides (misal gentamicin) dan
carbapenem (misal imipenem dan meropenem) spectrum aktivitasnya
sangat luas untuk melawan pathogen aerobic tersering sebagai penyebab
HAP. Agen lain yaitu macrolide (misal erythromycin dan azithromycin) dan
lincosamide (clindamycin), linezolid dan vancomycin memiliki aktivitas yang
baik sekali melawan kokus Gram-positif, dan aktivitasnya kecil terhadap
basil Gram-negatif. Antinkrobial yang paling aktif untuk melawan kuman
anaerob adalah metronidazole, clindamycin, carbapenem dan penicillin
spectrum-luas dikombinasi dengan inhibitor beta-lactamase. Gatifloxacin
dan moxifloxacin aktivitasnya sangat bagus membunuh Bacteroides fragilis
tetapi efek samping dari gatifloxacin yang menyebabkan agen ini tidak bisa
digunakan (4).
Untuk pasien dengan infeksi MRSA, baik linezolid atau vankomisin
dianggap tepat. Sementara linezolid memiliki penetrasi jaringan pernafasan
yang lebih baik dan telah dikaitkan dengan hasil yang lebih baik pada
pneumonia MRSA, keunggulannya untuk meningkatkan hasil klinis masih
harus dibuktikan bila dibandingkan dengan vankomisin untuk pneumonia
MRSA. Dengan terapi yang efektif, perbaikan terlihat jelas dalam waktu 42
TEKS
92
sampai 72 jam. Untuk pasien yang tidak respon dalam waktu tersebut, harus
dievaluasi kemungkinan organisme lain, atau ada diagnosis lain, atau apakah
ada faktor penyulit lain (abses paru atau empiema, obat demam, dll), yang
telah mempengaruhi respon terhadap terapi (4).
Berikut dijelaskan dengan lebih ringkas yang harus dilakukan dalam
menentukan pemberian antibitika pada pneumonia HAP: (13)
1. Jangan menunda pemberian antibiotik hanya untuk tujuan melakukan tes diagnostik.
2. Pilihan antibiotika empirik harus berdasarkan risiko pasien untuk mendapat patogen MDR.
3. Kombinasi terapi lebih dianjurkan sebagai rejimen awal pada pasien berisiko terinfeksi dengan patogen MDR untuk menghindari antibiotik yang tidak pantas.
4. Antibiograms lokal harus diketahui ketika akan memilih terapi empirik. 5. Jika pasien mendapat antibiotik sebelumnya, pilihlah antibiotik baru
dari kelas yang berbeda dari yang sebelumnya untuk menghindari memilih antibiotik yang telah menjadi resisten.
6. Bila rejimen antibiotik awal tepat dan memadai, lakukan usaha untuk memperpendek durasi terapi antibiotik. Jika pasien mendapat terapi antibiotik empiris yang tepat dan memadai, durasi pengobatan antibiotik dapat dipersingkat dari biasanya 14-21 hari menjadi 7 hari (jika organisme etiologi bukan Pseudomonas aeruginosa).
7. Hasil kultur negatif palsu terjadi pada pasien yang telah mendapat antibiotik 24-72 jam sebelum pengambilan spesimen respirasi. Pada pasien ini, menggunakan ambang batas BAL 10 kali lipat lebih rendah dari biasanya dapat membantu untuk menghindari hasil negatif palsu.
8. Jika probabilitas pretest klinis VAP tinggi, antibiotik harus dimulai segera terlepas dari apakah hasil kultur positif.
9. Organisme tertentu, seperti Escherichia coli, spesies Klebsiella, dan spesies Enterobacter menghasilkan extended-spectrum beta-laktamase (ESBL), dan tes skrining untuk produksi ESBL harus dilakukan.
Teks
93
Carbapenems umumnya efektif terhadap organisme memproduksi-ESBL ini.
10. HAP (VAP) pada trauma multi organ yang terjadi < 4 hari berisiko rendah mendapat
pathogen MRSA, MRSA dipikirkan pada trauma multi organ >4 hari
(13).
Pencegahan
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan pada pasien dengan HAP
adalah: pasien dengan intubasi dan ventilasi mekanik, risiko HAP pada
pasien ini 3 – 18 kali lipat dan sebisa mungkin harus dihindari
pemakaiannya, untuk itu pakailah ventilasi non-invasif (NIV) terutama pada
pasien PPOK eksaserbasi, gagal napas hipoksia akut, penderita dengan
imunosupresi dan gagal napas. Posisi pasien juga dikaitkan dengan
peningkatan insiden HAP, posisi terlentang meningkatkat insiden HAP
sebaiknya pasien posisi setengah duduk. Penggunaan antibiotika
sebelumnya meningkatkan kemungkinan mendapat HAP oleh pathogen
resisten (MDR) (13).
Karena pengobatan HAP sulit dan menyebabkan kematian tinggi,
upaya penting harus diarahkan kepada pencegahan pneumonia nosokomial.
Ada sejumlah faktor yang telah terbukti membantu dalam pencegahan
pneumonia nosokomial. Mencuci tangan mungkin salah satu metode yang
paling efektif, namun itu sangat kurang dimanfaatkan oleh banyak pihak.
Faktor-faktor lain yang dapat dimodifikasi termasuk penggunaan slang
nasogastrik (dibandingkan dengan slang orogastric) dan slang endotrakeal
TEKS
94
(dibandingkan dengan penggunaan non-invasif ventilasi tekanan positif),
dekontaminasi selektif pada saluran pencernaan atau dekontaminasi saluran
orofaringeal, rotasi antibiotik empiris strategi, aspirasi dan penghapusan
sekresi subglottic sekitar slang endotrakeal, dan posisi semi-berbaring.
strategi akhir - hanya mengangkat kepala tempat tidur dengan lebih dari 30
derajat - telah terbukti mengurangi risiko HAP sampai dengan 3 kali.
Aspirasi subklinis adalah peristiwa yang umum pada individu tidak dirawat
dan sehat. Aspirasi isi lambung ke dalam cabang tracheobronchial jauh lebih
sering dengan posisi terlentang dibandingkan dengan posisi semi-berbaring.
Jadi, posisi semi-berbaring dan mencuci tangan adalah strategi sederhana
untuk pencegahan HAP dan juga mungkin salah satu yang paling efektif (4).
Ringkasan
HAP adalah infeksi parenkhim paru sering terjadinya dan khususnya
sering dan mematikan pada pasien ICU dengan ventilasi mekanik. Angka
kematian kasar sering melebihi 50%. Patogen penyebab HAP terbanyak
adalah basil Gram negative dan kokus Gram positif. Penegakan diagnosis
HAP masih belum ada consensus yang pasti, tetapi diagnosis berdasarkan
klinis dan penunjang. Terapi utama HAP adalah pemberian antibitika sedini
mungkin setelah diagnosis ditegakkan. Ada sejumlah faktor yang dapat
dimodifikasi yang dapat mencegah perkembangan HAP, seperti posisi
semirecumbent (terutama untuk pasien yang enteral makan), cuci tangan,
dan minimalisasi perangkat oropharyngeal invasif seperti tabung
Teks
95
endotrakeal dan tabung nasogastrik. Untuk pasien dengan dugaan HAP,
spesimen budaya harus diperoleh segera (apakah melalui tabung
endotrakeal, mini-BAL, atau dengan kuantitatif BAL) dan sesuai antibiotik
spektrum luas harus dimulai tanpa penundaan.
Kepustakaan
1. ATS/IDSA. 2005. Guidelines for the Management of Adults with
Hospital-acquired,
Ventilator-associated, and Healthcare-associated Pneumonia; Am J
Respir Crit Care Med Vol 171. pp 388–416).
2. Niederman MS, Craven DE, Bonten MJ, et al. 2005. Guidelines for the
management of adults with hospital-acquired, ventilator-associated,
and healthcare-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care
Med;171:388–416.
3. Niederman MS. 2010. Hospital-Acquired Pneumonia, Health Care–
Associated Pneumonia, Ventilator-Associated Pneumonia, and
Ventilator-Associated Tracheobronchitis: Definitions and Challenges in
Trial Design. Clinical Infectious Diseases; 51(S1):S12–S17.
4. Rotstein C., Evans G., Abraham Born A., Grossman R., Light R. B.,
Magder S., McTaggart B., Karl Weiss K. and Zhanel G. G. 2008. Clinical
practice guidelines for hospital-acquired pneumonia and ventilator-
associated pneumonia in adults. Can J Infect Dis Med
Microbiol;19(1):19-53.
5. Fortaleza CMCB., Abati PAM., Batista MR and Dias A. 2009. Risk Factors
for Hospital-Acquired Pneumonia in Nonventilated Adults. The
Brazillian journal of Infectious Diseases; 13(4):284-288.
6. TAKANO Y., SAKAMOTO O., SUGA M., MURANAKA H. M. AND ANDO
M. 2002. Prognostic factors of nosocomial pneumonia in generalwards:
TEKS
96
a prospectivemultivariate analysis in Japan. Respiratory Medicine
(96):18-23.
7. Jones RN. 2010. Microbial Etiologies of Hospital-Acquired Bacterial
Pneumonia and Ventilator-Associated Bacterial Pneumonia. Clinical
Infectious Diseases 2010; 51(S1):S81–S87.
8. Guler E., Kahveci F., Akalin H., Sinirtas M., Bayram S., and Ozcan B.
2012. Evaluation of a clinical pulmonary infection score in the diagnosis
of ventilator-associated pneumonia. Signa Vitae; 7(1): 32-37.
9. Harde Y., Manimala Rao S., Sahoo J., Bharuka A., Swetha B and Saritha
P. 2013. Detection of ventilator associated pneumonia, using clinical
pulmonary infection score (CPIS) in critically ill neurological patients;
Journal of anesthesiology & clinical science: 1-4.
http://www.hoajonline.com/journals/pdf/2049-9752-2-20.pdf
10. Pugin J, Auckenthaler R, Milli N, Janssens JP, Lew PD, Suter PM.
Diagnosis of ventilator-associated pneumonia by bacteriologic analysis
of bronchoscopic and nonbronchoscopic “blind” bronchoalveolar
lavage fluid. Am Rev Respir Dis 1991;143:1121-9.(abstrak)
11. Zilberberg MD and Shorr AF. 2010. Ventilator-associated pneum onia:
the clinical pulmonary infection score as a surrogate for diagnostics
and outcome.CID; 51(S1):S131-S135.
12. da Silva PS., de Aguair VE and Fosenca MC. 2014. How the modified
clinical pulmonary infection score can identify treatment failure and
avoid overusing antibiotics in ventilator-associated pneumonia. Acta
paeddiatr; 103(9):e388-92.
13. Amanullah S and Mosenifar Z. 2015. Ventilator-Associated
Pneumonia Overview of Nosocomial Pneumonias. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/304836-overview#a14
Teks
97
Ventilator associated pneumonia (VAP)
Putu Andrika
Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pendahuluan
Ventilator-associated pneumonia (VAP) didefinisikan sebagai pneumonia
yang terjadi 48-72 jam setelah intubasi endotrakeal, ditandai dengan adanya
infiltrat baru atau progresif, tanda infeksi sistemik (demam, perubahan
hitung leukosit), perubahan karakteristik sputum, dan terdeteksinya agen
penyebab. Diperkirakan kejadian VAP berkisar 9-27 % dari semua pasien
memakai ventilator, dengan risiko tertinggi terjadi pada saat awal
perawatan rumah sakit. VAP menjadi keprihatinan dan fokus perhatian
dalam perawatan ICU sehubungan tingginya insiden dan mortalitasnya
meskipun managemen intubasi pasien mengalami kemajuan yang signifikan.
Mortalitas sehubungan VAP berkisar 20-70 %.
Faktor risiko
Faktor risiko berkembangnya VAP meliputi usia lebih 60 tahun, penyakit
berat (APACHE II score > 16), penyakit paru akut maupun kronik, sedasi yang
berlebihan, nutrisi enteral, luka bakar berat, posisi tubuh supine, Glasgow
coma scale <9, pemakaian pelumpuh otot, perokok.
Patogenesis
Beberapa faktor saling mempengaruhi secara komplek antara tube
endotrakeal, adanya faktor risiko, virulensi bakteri dan imunitas tubuh
menentukan berkembangnya kearah VAP. Adanya tube endotrakeal sejauh
ini dianggap sebagai faktor risiko terpenting, menyebabkan mekanisme
pertahanan alami tak berfungsi (reflek batuk dari glottis dan laring) dalam
menghilangkan mikroaspirasi sekitar cuff dari tube endotrakeal. Bakteri
TEKS
98
infeksius dapat mencapai saluran nafas bawah melalui (1) mikroaspirasi ,
dapat terjadi saat intubasi: (2) terbentuknya biofilm penuh bakteri
(khususnya bakteri gram negative dan spesies jamur ) dalam tube
endotrakeal ; (3) terkumpulnya dan menetesnya cairan secret seputar cuff;
(4) menurunnya mucociliary clearance. Materi patogenik dapat juga
terkumpul disekitar seperti lambung, sinus, nasofaring dan orofaring, dan
sering dengan flora dengan strain lebih virulen. Materi tersebut secara
konstan akan lebih terdorong akibat pemberian tekanan positif ventilator.
Faktor host seperti keparahan penyakit yang mendasari, pembedahan
sebelumnya, terpajannya dengan antibiotika semuanya berimplikasi sebagai
faktor risiko berkembangnya VAP. Namun juga diketahui bahwa pasien
kritis mengalami penurunan kemampuan fagositosis dan mengalami
immunosupresi secara fungsional.
Teks
99
Gambar 1. VAP pathogenesis: risk factor for colonization, entry into the
lower airway, and interactions between the invaders and host defenses that
will decide between colonization of VAP
DIAGNOSIS
Diagnosis VAP yang akurat masih problematik. Kecurigaan klinis akan
terjadinya VAP ketika terdapatnya gambaran infiltrat baru pada chest x-ray,
dan setidaknya satu dari demam, lekositosis, atau sekresi tracheo-bronchial
yang purulen. Berdasarkan kultur mikrobiologi dan respon pasien terhadap
pengobatan, pemberian antibiotika segera yang appropriate dengan dosis
adekuat, dan de-escalation menghindarkan pemakaian antibiotika secara
berlebihan, lama terapi yang pendek efektif.
Gambaran klinis standar seperti panas, takikardi, leukositosis, sputum
purulen dan konsolidasi pada rongent dada merupakan sesuatu yang sulit
dipastikan pada pasien dengan MV critically ill pasien. Pasien dengan respon
inflamasi akibat insult seperti trauma, burns, pancreatitis, dsb dapat
memberi gambaran seperti itu. Sputum purulen mungkin akibat
tracheobronchitis dan tidak selalu menggambarkan keterlibatan parenkim
paru . Infiltrat pada rongent dada dapat disebabkan sejumlah kondisi
noninfeksi meliputi edema paru, haemorrhage, dan kontusio paru. Pada
suatu studi prospectif dari 50 pasien dengan panas dan infiltral paru, hanya
42% yang definitif VAP.
Suatu algoritma diagnostik menggunakan klinis dan mikrobiologi, the
National Nosocomial Infection Surveillance System (NNIS) untuk
memfasilitasi aplikasi konsisten dalam pelaporan nosokomial pneumonia.
The clinical pulmonary infection score (CPIS) [yang memakai data
microbiologic ] atau modified CPIS (tanpa data microbiologic) juga diajukan
untuk meningkatkan konsistensi diagnostik. CPIS > 6 sering dipakai batasan
konsisten dengan diagnosis pneumonia.
TEKS
100
Tabel NNIS Clinical criteria for the diagnosis for pneumonia
Tabel CPIS Clinical Criteria for the Diagnosis of Pneumonia
Onset munculnya pneumonia merupakan variabel epidemiologi penting
sehubungan risk faktor patogen spesifik dan outcomes VAP. Early-onset
Teks
101
VAP, yaitu pneumonia yang terjadi dalam 4 hari pertama perawatan,
biasanya prognosisnya baik, dan lebih disebabkan kuman sensitif antibiotika.
Late-onset VAP (5 hari atau lebih) adalah lebih disebabkan multidrug-
resistant (MDR) pathogens, dan dihubungkan dengan peningkatan
mortalitas dan morbiditas.
Bakteri yang sering ditemukan pada Early onset VAP diantaranya
Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenzae,
Proteus species, Serratia marcescens, Klebsiella pneumoniae, Escherichia
coli. Pada yang Late onset VAP sering ditemukan kuman MDR seperti
Pseudamonas aeruginosa, Methicillin-resistant Staphylococcus aureus,
Acinetobacter species, Enterobacter species.
MANAGEMENT
Banyak faktor yang berkontribusi dalam terjadinya VAP. Diantara strategi
yang dapat dilakukan dalam mencegah VAP seperti, modifikasi ETT
(subglottic secretion drainage systems, antimicrobial coating, alternative
cuff shapes and materials), mempertahankan tekanan inflasi cuff yang tepat,
sekresi ETT dibersihkan, memposisikan pasien miring lateral, kinetic therapy.
Menghindarkan tercabutnya ETT secara tak terencana, perbaikan
perencanaan ektubasi dengan weaning protocols yang dirancang untuk
meningkatkan kesuksesan ektubasi, dan pemakaian non-invasive ventilation
(NIV). Penurunan dosis sedasi berhubungan dengan lebih pendeknya lama
tinggal ICU dan memendeknya hari pemakaian intubasi.
The Institute for Healthcare Improvement (IHI) mempromosikan the
ventilator bundle sebagai suatu set interfensi dimaksudkan untuk
menghindarkan efek yang tidak diinginkan pada pasien yang memakai
ventilator. The ventilator bundle terdiri dari elevation of the head of bed,
daily ‘sedation vacation’ dan assessment kesiapan ektubasi, pencegahan
ulkus lambung dan deep venous thrombosis (DVT) prophylaxis.
TEKS
102
Early tracheostomy dianjurkan sebagai suatu upaya preventif VAP. Sering
menjadi perdebatan waktu yang tepat melakukan tracheotomy dalam
pencegahan VAP. Rumbak dkk, menunjukkan penurunnan signifikan
kejadian VAP dengan early tracheotomy (dalam 48 jam awal MV) dibanding
delayed tracheotomy (setelah 14sampai 16 hari), namun penelitian lebih
akhir dan multisenter menunjuknya perbedaan yang tidak bermakna.
Management optimal pasien dengan kecurigaan VAP memerlukan terapi
antibiotika appropriate awal yang tepat dan perawatan suportif secara
umum. Sebaiknya sampel mikrobiologi telah dikerjakan sebelum pemberian
antibiotika, namun jangan menunda pemberian antibiotika. Beberapa studi
menunjukkan bahwa penundaan pemberian terapi antibiotika yang efektif
akan meningkatkan angka mortalitas.
Gejala dan tanda VAP yang muncul secara jelas akan memudahkan
pemberian antibiotika namun tidak jarang gejala dan tanda VAP muncul
secara bertahap/ gradual sehingga kapan memulai pemberian antibiotika
menjadi sulit. Suatu penelitian pemberian antibiotika yang appropriate pada
pasien yang gejala dan tanda klinis VAP yang muncul secara bertahap
ternyata memberikan angka perbaikan klinis lebih awal.
Tabel . Terapi antibiotic empiris VAP
Teks
103
Tabel. Terapi antibiotika empiris untuk VAP late onset
TEKS
104
Tabel. Dosis antibiotika intravena untuk dewasa
Suatu penelitian multisenter random kontrol studi mendapatkan bahwa
pasien VAP yang mendapatkan appropriate, initial empiric therapy selama 8
hari mempunyai outcome sama dengan pasien yang mendapatkan terapi 14
hari.
Ringkasan
VAP masih sering terjadi terutama pada pasien kritis dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Hambatan utama dalam diagnosis
VAP karena tidak adanya goal standar dan akan tetap menjadi permasalahan
yang menonjol. VAP dapat dicegah dan kejadiannya dapat ditekan dengan
mengaplikasikan suatu bundle VAP. Tujuan utama managemen VAP adalah
segera memberikan antibiotika appropriate dalam dosis adekuat diikuti de-
eskalasi berdasarkan hasil kultur mikrobiologi dan respon klinis pasien.
Teks
105
Daftar pustaka
Morris AC, Hay AW, Swann DG, et al.: Reducing ventilator-associated
pneumonia in intensive care: Impact of implementing a care bundle. Crit
Care Med 2011, 39:2218–2224.
Coppadoro A, Bittner E, Berra L. Novel preventive strategies for ventilator
associated pneumonia. Critical Care 2012, 16:210
Berwick DM, Calkins DR, McCannon CJ et al. The 100,000 lives campaign:
setting a goal and a deadline for improving health care quality. JAMA
2006;295:324–7.
Million Lives C. Getting Started Kit: Prevent Ventilator-Associated
Pneumonia How-to Guide Cambridge, MA: Institute for Healthcare
Improvement, 2008.
Luyt C-E, Chastre J, Fagon J-Y. Value of the clinical pulmonary infection score
for the identification and management of ventilator-associated pneumonia.
Intensive Care Med 2004;30:844–852
American Thoracic Society, Infectious Diseases Society of America.
Guidelines for the management of adults with hospital-acquired, ventilator-
associated, and healthcare-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care
Med 2005; 171: 388–416
Gil-Perotin S, Ramirez P, Marti V, Sahuquillo JM, Gonzalez E, Calleja I,
Menendez R, Bonastre J. Implications of endotracheal tube biofilm in
ventilator-associated pneumonia response: a state of concept. Critical Care
2012, 16:R93
Kalanuria AA, ZaiEmail W, Mirski M. Ventilator-associated pneumonia in the
ICU. Critical Care 2014;18:208
Email PR, Lopez-Ferraz C, Gordon M, Gimeno A, Villarreal E, Ruiz J,
Menendez R, Torres A. From starting mechanical ventilation to ventilator-
TEKS
106
associated pneumonia, choosing the right moment to start antibiotic
treatment. Critical Care 2016;20:169
Teks
107
PNEUMONIA ASPIRASI
Ida Ayu Jasminarti D.K.
Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
PENDAHULUAN
Aspirasi adalah proses inhalasi dari isi orofaring maupun lambung
ke dalam saluran napas bawah. Hal ini dapat menyebabkan suatu sindrom
yang ditentukan berdasarkan jumjlah, asal bahan yang teraspirasi, frekuensi
aspirasi, dan faktor inang yang dapat meningkatkan risiko kejadian aspirasi.
Ada empat tipe sindrom aspirasi. Aspirasi isi lambung menyebabkan
pneumonitis karena bahan kimia disebut sindrom Mendelson. Aspirasi
bakteri rongga mulut dan faring menyebabkan pneumonia aspirasi. Aspirasi
minyak menyebabkan pneumonia lipoid eksogen. Aspirasi benda asing
menyebabkan kegawatan respirasi dan pada beberapa kasus meningkatkan
risiko terjadinya pneumonia bakterial.1,2
Pneumonia aspirasi disebabkan oleh bakteri flora normal di rongga
mulut dan faring. Mikroorganisme yang dapat menyebabkan pneumonia ini,
antara lain Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza,
Staphylococcus aureus, dan bakteri Gram-negatif. Bakteri tersebut bersifat
virulen, sehingga hanya sedikit inokulum saja sudah dapat menyebabkan
pneumonia.2
TEKS
108
FAKTOR RISIKO ASPIRASI
Kondisi yang merupakan faktor predisposisi terjadinya pneumonia aspirasi
antara lain:
Penurunan kesadaran yang menyebabkan gangguan refleks batuk
dan penutupan glotis.
Disfagia akibat defisit neurologis.
Gangguan saluran gastrointestinal atas termasuk penyakit pada
esofagus, pembedahan yang melibatkan saluran napas atas atau
esofagus, dan refluks gaster.
Gangguan mekanik penutupan glotis atay sphincter cardia karena
trakeostomi, intubasi endotrakea, bronkoskopi, endoskopi saluran
cerna atas, dan nutrisi melalui nasogastrik.
Anastesi faringeal, dan kondisi lain seperti muntah berkepanjangan,
selang nutrisi bervolume besar, nutrisi melalui gastrostomi, posisi
telentang.
Terdapat keterkaitan antara penggunaan obat-obatan yang menekan asam
lambung dan kejadian pneumonia komunitas, pneumonia terkait
penggunaan ventilator, dan pneumonia nosokomial. Hilangnya barier asam
lambung menyebabkan peningkatan jumlah bakteri pada paru saat terjadi
aspirasi isi lambung.2,3
Teks
109
GAMBARAN KLINIS
Gejala klinis pneumonia aspirasi karena infeksi bakteri tergantung
dari onset, bakteri yang terlibat, dan status pasien atau inang. Banyak kasus
pneumonia aspirasi disebabkan oleh bakteri anaerob dan aerob atau
stretococci microaerophilic yang merupakan flora normal di gusi. Bila
dibandingkan dengan pneumonia komunitas, gejala yang muncul pada
pneumonia aspirasi muncul perlahan dan menggigil merupakan gejala yang
jarang. Terdapat hubungan dengan penyakit periodontal, dan komplikasi ini
jarang dialami pada pasien yang hygiene giginya baik dan pasien yang tidak
punya gigi.2,3,4
Gejala pasien dengan pneumonia aspirasi antara lain batuk,
demam, dahak, purulen dan sesak, namun proses munculnya gejala tersebut
bukan dalam hitungan jam, melainkan memerlukan waktu beberapa hari
atau minggu.2
Walaupun gejala pneumonia aspirasi bersifat indolen, beberapa
pasien mengalami onset mendadak yang menunjukkan suatu pneumonia
pyogenik karena bakteri patogen, termasuk Streptococcus pneumoniae.
Beberapa pasien tidak menunjukkan gejala infeksi akut, namun muncul
beberapa waktu kemudian dengan komplikasi berupa supurasi dan nekrosis.
Abses paru, pneumonia yang menyebabkan nekrosis, atau empiema akibat
fistel bronkopleura muncul pada tahap lanjut pada pneumonia aspirasi yang
tidak diobati.2,3,4
TEKS
110
Gambatan klinis yang merupakan karakteristik pneumonia aspirasi
karena bakteri anaerob, antara lain:
Gejala indolen
Faktor predisposisi terjadinya aspirasi, antara lain gangguan
kesadaran karena obat terlarang, alkohol, atau anestesi, serta
disfagia.
Tidak ditemukan kuman patogen dari kultur dahak.
Dahak yang berbau busuk
Terbukti memiliki penyakit periodontal
Pencitraan radiologi menunjukkan nekrosis paru dengan asbses
paru dan atau empiema.
Aspirasi banyak terdapat pada lobus bawah paru jika posisi pasien
berdiri, atau segmen superior lobus bawah atau segmen posterior lobus atas
jika aspirasi terjadi saat posisi pasien telentang.4
MIKROBIOLOGI
Bakteri yang banyak diisolasi pada pasien pneumonia aspirasi
antara lain Peptostreptococcus, Fusobacterium nucleatum, Prevotella, dan
Bacteroides spp. Pada pasien yang menjalani perawatan jangka panjang
yang masuk di ruang terapi intensif dengan faktor risiko aspirasi didapatkan
bakteri basil gram negatif, diikuti bakteri anaerob dan S.aureus. Pasien
Teks
111
dengan pneumonia aspirasi didapat dari komunitas ditemukan bakteri
campuran yaitu anaerob dan aerob, serta microaerophilic streptococci.2,3,4
TERAPI PNEUMONIA ASPIRASI
Antibiotika merupakan komponen penting pada tatalaksana
pneumonia aspirasi. Pada pasien yang tidak toksisk, pilihan antibiotika harus
mencakup bakteri tipikal pada pneumonia komunitas, antara lain ceftriakson
plus azitromycin, levofloxacin. Bila bakteri anaerob dicurigai merupakan
patogen penyebab pneumonia aspirasi, Clindamycin (600 mg intravena
setiap 8 jam diiukuti 300 mg oral 4 kali sehari atau 450 mg oral 3 kali sehari)
sebagai terapi lini pertama. Antibiotika alternatif berdasarkan uji klinis
antara lain amoxicillin-clavulanate (875 mg oral 2 kali sehari), atau
kombinasi metronidazole (500 mg oral atau intravena 3 kali sehari) plus
amoxicillin (500 mg oral 3 kali sehari) atau penicillin G (1-2 juta unit
intravena setiap 4 – 6 jam). Obat yang mungkin efektif adalah moxifloxacin,
macrolides, dan sefalosporin.2,3,4,5
Pada pneumonia nosokomial, basil gram negatif dan S.aureus
merupakan bakteri penyabab yang paling mungkin, sehingga antibiotika
yang dipilih harus sekaligus dapat mencakup bakteri gram negatif dan
bakteri anaerob. Golongan karbapenem atau piperacillin tazobactam
merupakan obat pilihan.2,3,4,5
Durasi terapi antibiotika untuk kasus tanpa komplikasi kavitas atau
empiema adalah 7 hingga 10 hari. Pasien dengan abses paru membutuhkan
TEKS
112
terapi yang lebih lama, biasanya hingga pada gambaran radiologis
menghilang atau dengan lesi residual minimal dan stabil.
DAFTAR PUSTAKA
1. Reza Shariatzadeh M, Huang JQ, Marrie TJ. Differences in the
features of aspiration pneumonia according to site of acquisition:
community or continuing care facility. J Am Geriatr Soc 2006;
54:296.
2. Marik PE. Aspiration pneumonitis and aspiration pneumonia. N engl
J Med 2001; 344(9) : 665-671.
3. Marik PE. Aspiration pneumonia and dysphagia in the elderly.
CHEST 2003; 124 (1): 328-336.
4. Swaminathan A. Aspiration pneumonitis and pneumonia.
Medscape 2016.
5. Bartlett JG. How important are anaerobic bacteria in aspiration
pneumonia: when should they be treated and what is optimal
therapy. Infect Dis Clin Noert Am 2013; 27 (1): 149-155.
Teks
113
PNEUMONIA VIRUS
I Ketut Agus Somia
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar
LATAR BELAKANG
Virus merupakan salah satu penyebab pneumonia yang sering
dijumpai pada anak-anak, frekuensinya menurun pada usia dewasa muda
sampai pertengahan, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. Insiden
pneumonia karena virus pada orang dewasa akhir-akhir ini cendrung
meningkat, oleh karena meningkatnya jumlah orang dengan berbagai
penyakit-penyakit kronis dan comorbiditas yang lain, serta semakin
berkembangnya tehnik diagnostic identifikasi virus. Pada penelitian
metaanalisis, dijumpai virus sebagai penyebab pneumonia komunitas
dewasa sebesar 24.5% (95% CI 21.5–27.5%; I2=92.9%).1 Sedangkan
pneumonia viral di rumah sakit sekitar 51.8% terjadi pada pasien
immunocompromise. 29,6 % pneumonia viral di rumah sakit dijumpai
merupakan co-infeksi saluran nafas, yang paling banyak adalah co-infeksi
dengan bacterial (57.6%), Viral co-infeksi antara HSV, CMV, atau keduanya
(33.3%). fungal (16.7%) dan co-infeksi lainnya (7.1%)2
Secara klinis sulit
membedakan antara pneumonia bakterial dan virus, namun petunjuk-
TEKS
114
petunjuk epidemiologis dan klinis tertentu dapat membantu kewaspadaan
klinisi terhadap diagnosis pneumonia karena virus.
ETIOLOGI
Sekitar 8.6% sampai 56.2% pneumonia yang di dapat di komunitas
disebabkan oleh virus.1 Virus RNA maupun DNA dapat menyebabkan
pneumonia. Beberapa family virus yang dapat menyebabkan pneumonia
adalah sebagai berikut:3
Adenoviridae: adenoviruses
Coronaviridae (coronaviruses) : SARS, MERS
Bunyaviridae (arboviruses): Hantavirus
Orthomyxoviridae (orthomyxoviruses): Influenza virus
Paramyxoviridae (paramyxoviruses): Parainfluenza virus (PIV),
respiratory syncytial virus (RSV), human metapneumovirus (hMPV),
measles virus
Picornaviridae (picornaviruses): Enteroviruses, coxsackievirus,
echovirus, enterovirus 71, rhinovirus
Reoviridae: rotavirus
Beberapa anggota family herpesviridae, merupakan patogen penyebab
pneumonia pada individu dengan defek imunitas seluler yaitu:
Teks
115
Herpes simplex virus 1 (HSV-1) and herpes simplex virus 2 (HSV-2
Herpesvirus 6, herpesvirus 7, and herpesvirus 8
Varicella-zoster virus (VZV)
Cytomegalovirus (CMV)
Epstein-Barr virus (EBV)
Pada penelitian metaanalis penyebab pneumonia virus komunitas yang
paling sering berturut turut adalah: influenza, rhinovirus, respiratory
syncytial virus dan coronavirus.1 Dua jenis virus influenza yang dapat
menyebabkan pneumonia yang serius adalah influenza strain H5N1 (flu
burung) dan novel H1N1 2009. Sedangkan virus corona yang dapat
menyebabkan pneumonia yang berat adalah severe acute respiratory
syndrome (SARS) tahun 2003 dan Mers CoV.
TRANSMISI
Rute transmisi virus bervariasi tergantung dari jenis virus.
Penyebaran large-droplet dapat terjadi pada jarak yang sangat dekat (< 1
m), kontak tangan dengan kulit dan bahan/alat yang terkontaminsasi, serta
inokulasi kedalam mukosa nasal atau conjunctiva ( rhinovirus, RSV).
Penyebaran dapat juga terjadi melalui partikel aerosol yang sangat kecil
(influenza, adenovirus).
TEKS
116
Rute transmisi pada beberapa virus:
Faktor lingkungan (adenovirus, enterovirus, rhinovirus)
Kontak langsung dengan objek yang terkontaminasi (VZV)
Transplantasi dengan organ terkontaminasi (cytomegalovirus
[CMV]) atau produk darah (CMV)
Aspirasi virus yang ada dalam saliva (CMV, herpes simplex virus
[HSV])
Reaktivasi dari infeksi laten (HSV, CMV)
Penyebaran hematogen (CMV)
Penyebaran dari petugas kesehatan / nosokomial (Influenza, SARS,
Mers CoV, measles, adenovirus, parainfluenza virus, RSV).
Penyebaran dari unggas ( Virus influenza H5N1), babi Hvirus
influenza H1N1), rodent (virus Hanta)
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dan patogenesis pneumonia viral belum sepenuhnya
dipahami. Secara umum, setelah kontaminasi, virus-virus saluran nafas
cendrung bermultiplikasi dalam epitel saluran nafas bagian atas, kemudian
menginfeksi paru melalui sekresi saluran nafas atau secara hematogen.
Mekanisme kerusakan jaringan ikat paru tergantung dari jenis virus.
Beberapa virus bersifat sitopatik, secara langsung merusak pneumosit atau
sel sel bronkial. Sedangkan virus yang lain menimbulkan kerusakan melalui
Teks
117
respon inflamasi yang sangat besar sebagai akibat respon imun dalam
proses patogeniknya.5
Respon imun dapat dikelompokkan berdasarkan pola
produksi sitokin. Sitokin type 1 mempromosikan imunitas yang diperantarai
oleh sel. Sedangkan sitokin type 2 memediasi respon alergi. Respon
humoral, imunitas yang diperantarai oleh sel tampaknya berperan penting
dalam penyembuhan infeksi virus. Virus menyebabkan kerusakan saluran
nafas dan merangsang berbagai faktor-faktor humoral seperti histamine,
leukotriene C4, dan virus-specific immunoglobulin E pada infeksi RSV dan
bradykinin, interleukin 1, interleukin 6, dan interleukin 8 pada infeksi
rhinovirus. Infeksi RSV dapat juga mengganggu pola kolonisasi bacterial,
meningkatkan bacterial adherence pada epitel saluran nafas, menurunkan
bersihan mucociliary dan mengganggu pagositosis sel host terhadap bakteri.
5
MANIFESTASI KLINIS
Secara umum semua virus respirasi dapat menyebabkan infeksi
saluran nafas atas, otitis media, bronciolitis, pneumonia dan obstruksi
saluran nafas. Akan tetapi pneumonia lebih sering dijumpai akibat infeksi
virus influenza, RSV, hMPV, coronavirus, rhinovirus, dan PIV. Berikut dibahas
manifestasi klinis beberapa pneumonia viral yang penting.
TEKS
118
Influenza.
Gambaran klinis influenza non komplikata sangat sulit dibedakan
dari infeksi virus saluran nafas lainnya. Secara klasik infeksi influenza
ditandai dengan nyeri kepala tiba-tiba, demam tinggi, menggigil, batuk
kering, iritasi tenggorokkan, mialgia, malaise, dan anorexia. Demam rata-
rata berlangsung sekitar 3 hari (antara 2 - 8 hari). Pada awalnya batuk tidak
produktif dan tidak purulen, bisa berlangsung selama beberapa minggu.
Hipereaktivitas bronchial dan disfungsi saluran nafas kecil sering terjadi
pada infeksi virus influenza. Wheezing dapat terdengar ada kondisi dimana
terdapat astma atau penyakit struktural paru. Muntah muntah dan diare
jarang ditemukan pada influenza musiman, akan tetapi sering terjadi pada
influenza A pandemic 2009.
Pneumonia dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) sering
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada influenza A H5N1
dan H1N1 pandemic 2009. Pneumonia dapat terjadi akibat kelanjutan dari
sindroma influenza akut ( pneumonia primer), atau akibat infeksi campuran
viral dan bacterial yang terjadi setelah beberapa hari kemudian (secondary
pneumonia sekunder). 6
Teks
119
Respiratory syncytial virus
Manifestasi klinis pneumonia karena RSV sangat sulit dibedakan
dengan pneumonia viral lainnya. Sesak dan batuk sering dijumpai (60%–
80%) tetapi tidak khas. RSV secara khas dimulai dengan nasal kongesti,
secara graduil memberat menjadi wheezing dan sulit bernafas.
Dibandingkan influenza RSV lebih sering disertai dengan rhinorrhea,
produksi sputum dan wheezing sedangkan demam dan keluhan
gastrointestinal lebih sering dijumpai pada influenza.4
Parainfluenza viruses (PIVs).
PIV merupakan paramyxoviruses yang bisa menyebabkan croup,
bronchitis dan pneumonia pada anak-anak. Sekitar 1- 15% Infeksi saluran
nafas akut, dengan pneumonia dilaporkan pada dewasa muda. pada
dewasa. Sindroma klinis ditandai dengan demam, rhinorrhea, batuk dan
nyeri menelan.4
Corona virus
Gambaran klinis yang khas dari Mers CoV diawali dengan demam,
batuk, menggigil, nyeri tenggorokan, artralgia, diare dan diikuti dengan
dispnea dan pneumonia yang cepat memburuk dalam minggu pertama,
sering memerlukan dukungan ventilator dan organ lainnya. Faktor risiko
terjadinya penyakit yang berat adalah pasien immunocompromise,
TEKS
120
comorbiditas seperti obesitas, diabetes mellitus, penyakit jantung dan
penyakit paru.7
Metapneumonia
Manifestasi klinis infeksi hMPV sangat sulit dibedakan dengan
infeksi RSV pada anak-anak. Infeksi hMPV umumnya menyebabkan
bronchioli-tis, bronchitis dan pneumonia. Gambaran klinisnya meliputi
demam, batuk, hypoxia, infeksi saluran nafas atas, infeksi saluran nafas
bawah dan wheezing. Akan tetapi yang sering menyebabkan rawat inap
adalah bronchiolitis dan pneumonia. Durasi demam pada infeksi hMPV kira-
kira 10 hari. hMPv dapat mencetuskan eksaserbasi asthma bronkiale dan
memperburuk COPD. 8
LABOTARORIUM
Seperti infeksi virus pada umumnya, pada pemeriksaan darah
lengkap biasanya ditemukan leukopenia, limfopenia dan kadang-kadang
trombositopenia ringan. Pada beberapa kasus yang komplikata dapat
dijumpai koagulopati konsumtif, peningkatan kadar kreatinin serum, LDH
dan transaminase.
Pemeriksaan laboratorium untuk deteksi virus diambil dari usapan
saluran nafas atas ( nasal dan nasopharyngeal) dan usapan saluran nafas
bawah [aspirate tracheal dan bronchoalveolar lavage fluid (BAL)] Pada
Teks
121
kasus – kasus yang sangat infeksius seperti infeksi influenza A H5N1 dan
MersCoV, pengambilan specimen dilakukan di ruangan isolasi. Baku emas
diagnosis pneumonia virus adalah biakan virus. Kelemahan pemeriksaan
biakan virus adalah hasil pemeriksaan yang cukup lama yaitu beberapa hari
sampai minggu. Dibandingkan pemeriksaan pada table 1, PCR merupakan
pemeriksaan yang akurat untuk mendeteksi keberadaan virus respirasi.9
Table 1. Karakteristik pemeriksaan untuk diagnostik virus respirasi. 9
Virus Jenis Pemeriksaan
Kultur Rapid EIA DFA/IFA PCR Tes
serologi
Influenza ++ + + +++ ++
RSV + +/- +/- +++ +++
hMPV +/- +/- +/- +++ +++
PIV + 0 +/- +++ +++
Coronavirus 0 0 0 +++ +++
Adenovirus + 0 +/- +++ +
Rhinovirus + 0 0 +++ 0
DFA: direct fluorescent antibody, EIA: enzyme immunoassay; IFA:
immunofluorescent antibody, PCR: polymerase chain reaction
TEKS
122
RADIOLOGIS
Gambaran foto dada pneumonia karena influenza sulit dibedakan
dari edema pulmoner, yang menunjukkan gambaran kongesti perihilar,
opasifikasi yang kabur, paling sering pada lobus bawah. Sering juga dijumpai
efusi pleura. Pada Computed tomography scans dada dapat dibedakan
antara pneumonia viral primer dengan bronchiolitis dan pneumonia
interstitial
Pada Mers CoV gambaran foto polos dan CT Scan dada konsisten
seperti pneumonia viral dan ARDS dengan gambaran infiltrate hilar bilateral
unilateral atau bilateral bercak-bercak padat, atau inflitrat, opasitas
segmental atau lobaris, ground-glass opacities, dan efusi pleural minimal.
Umumnya pada lobus bawah.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarakan gambaran klinis, laboratorium
dan radiologis, serta juga mempertimbangkan faktor epidemiologis riwayat
berpergian atau berasal dari daerah endemis yang sedang mengalami
wabah, dan riwayat kontak dengan sumber infeksi hewan ataupun manusia.
Teks
123
TATALAKSANA
Pra rumah sakit dan UGD
Tatalaksana Pra rumah sakit meliputi:
Pemberian Oxygen
Pemasangan akses intravenous
Pemantauan saturasi oxygen dan pemantaun jantung
Pada kasus yang dicurigai influenza A H5N1, segera diberikan
oseltamivir 150 mg per oral.
Unit Gawat darurat:
Pemberian oxygen
Pemantauan saturasi oksigen dan jantung
Pengambilan specimen sputum dan darah
Terapi antiviral empiric influenza A H5N1 (oseltamivir 150 mg per
oral)
Konsultasi
Pulmonologist
Spesialis penyakit dalam konsultan penyakit tropic dan infeksi
Spesialis penyakit dalam konsultan intensive care
TEKS
124
Terapi antivirus spesifik
Tabel.2 Terapi antivirus dan Pencegahan
Virus Terapi Pencegahan
Virus influenza
Oseltamivir Vaksin influenza Peramivir Chemoprofilaksis
Oseltamivir
Zanamivir
RSV Ribavirin Immunoglobulin RSV Palivizumab
Parainfluenza virus Ribavirin Adenovirus Ribavirin
Herpes simplex Acyclovir Varicella zoster Acyclovir Vaksin Varicella-zoster
Valacyclovir Varicella-zoster immunoglobulin
Cytomegalovirus Ganciclovir Immunoglobulin IV Valaganciclovir
Foscarnet
Kepustakaan
1. Burk M, El-Kersh K, Saad M, Wiemken T, Ramirez J. Cavallazzi R. 2016. Viral infection in community-acquired pneumonia: a systematic review and meta-analysis. Eur Respir Rev; 25: 178–188
2. Crotty MP, Meyers S, Hampton N, Bledsoe S, Ritchie DJ, Buller RS, Storch GA, Micek ST, Kollef MH. 2015. Epidemiology, Co-Infections, and Outcomes of Viral Pneumonia in Adults: An Observational Cohort Study. Medicine (Baltimore). 2015 Dec;94(50):e2332.
Teks
125
3. Cesario TC. 2012.Viruses Associated With Pneumonia in Adults. CID:55: 107-113
4. Falsey AR, Walsh EE. Viral Pneumonia in Older Adults.2006. CID :42: 518-24
5. Mosenifar Z, Byrd RP. 2015. Viral Pneumonia. Available: http://emedicine.medscape.com/article/300455-overview
6. Rello J, Pop-Vicas A. 2009. Clinical review: Primary influenza viral pneumonia. Critical Care, 13:235
7. Zumla A, Hui DS, Perlman S. 2015. Middle East Respiratory Syndrome. Lancet.:386(9997): 995–1007.
8. Panda S, Mohakud NK, Pena L, Kumar S. 2014. Human metapneumovirus: review of an important respiratory pathogen International Journal of Infectious Diseases; 25: 45–52
9. Talbot HK, Falsey AR. 2010. The Diagnosis of Viral Respiratory Disease in Older Adults. Clinical Infectious Diseases ; 50:747–751
10. Nichols WG, Campbell AJP, Boeckh M. 2008. Respiratory Viruses Other than Influenza Virus: Impact and Therapeutic Advances. CLINICAL MICROBIOLOGY REVIEWS,;21:274–290
TEKS
126
Diagnosis dan Penatalaksanaan Mikosis Paru Ida Bagus Suta
Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pendahuluan
Penyakit paru yang disebabkan oleh infeksi jamur semakin banyak
ditemukan seiring dengan meningkatnya perhatian klinisi terhadap jamur
paru dan teknik pemeriksaan yang semakin baik. Mikosis paru adalah
gangguan paru (termasuk saluran napas) yang disebabkan oleh infeksi/
kolonisasi jamur atau reaksi hipersensitif terhadap jamur.1,2
Insiden, diagnosis, dan keparahan klinis infeksi jamur pada paru
meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir. Banyaknya
pasien dengan keganasan dan imunkompromis, penyakit hematologi, dan
HIV, serta mereka yang menerima rejimen obat immunosupresif untuk
penatalaksanaan transplantasi organ atau kondisi inflamasi autoimun, telah
memberikan kontribusi yang signifikan terjadinya peningkatan kejadian
infeksi ini.2,3
Secara umum jamur yang menginfeksi paru dibagi menjadi dua
kelompok yaitu jamur pathogen/mikosis endemik (histoplasmosis,
blastomikosis, koksidioidomikosis, parakoksidioidomikosis, spoorotrikosis
dan kriptokokosis) dan infeksi jamur khusus yakni infeksi jamur oportunistik
(aspergilosis, mukormikosis, kandidiasis dan kriptokokosis). Berdasarkan
Teks
127
kondisi pasien, mikosis paru terjadi pada 2 keadaan : menyertai kelainan
paru kronik yang sudah ada dan keadaaan imunokompromis.1,2,3,5
Distribusi jamur endemik di Amerika Serikat yang lazim di Sungai
Mississippi Valley dan Lembah Sungai Ohio (misalnya H capsulatum, B
dermatitidis), Amerika Serikat barat daya, dan barat laut Mexico (misalnya C
immitis). Jamur telah menyebabkan beberapa wabah pneumonia di
Argentina dan daerah lain Amerika Tengah dan Selatan.2,3
Organisme oportunistik biasanya ditemukan di seluruh dunia, dan
cenderung menyebabkan penyakit pada host dengan penurunan kekebalan.
Mikosis jamur endemik pada host sehat akibat C immitis adalah yang paling
ganas , tetapi 90 % pasien sembuh tanpa pengobatan. Namun, kelainan
paru kronis atau komplikasi yang mungkin ditemukan dapat menjadi
kavitas, efusi pleura dan fistula bronkopleural. Pada pasien dengan AIDS,
angka kematian setinggi 70 %. Aspergillosis pada pasien neutropeni (baik
dari kemoterapi leukemia atau transplantasi sumsum tulang) memiliki
tingkat kematian 50-85 %. Lebih sering, infeksi aspergillosis dan infeksi
kandida atau meningoencephalitis karena kriptokokosis.3
Mikosis paru yang
paling sering dilaporkan dan memerlukan pengobatan adalah aspergilosis,
PCP, kandidiasis dan histoplasmosis. Diagnosis mikosis paru masih sulit
sehingga penatalaksanaan sering terlambat. Walaupun kasusnya relatif
masih jarang bila dibandingkan infeksi bakteri atau virus, infeksi jamur
penting karena dapat diobati dan keterlambatan terapi dapat berakibat
fatal.
TEKS
128
Patogenesis
Jamur terdapat di mana-mana dan pajanan terhadap saluran napas
sulit dihindarkan sehingga paru merupakan salah satu target infeksi oleh
jamur. Mikosis primer terjadi bila spora terhirup melalui saluran nafas.
Infeksi jamur terjadi setelah menghirup spora, setelah menghirup konidia,
atau oleh reaktivasi dari infeksi laten. Penyebaran hematogen sering terjadi
terutama pada host imunokompromis. Jika infeksi terjadi pada parenkim
paru disebut pneumonia jamur yang merupakan proses infeksi di paru yang
disebabkan oleh 1 atau lebih jamur endemik atau oportunistik. Timbulnya
kelainan pada paru dipengaruhi oleh faktor virulensi jamur berupa
dimorfisme termal, produksi toksin, kapsul dan faktor adhesi, adanya enzim
hidrolitik, serta stimulasi oleh inflamasi. Pertahanan lokal antijamur pada
tubuh host meliputi integritas mukosa dan silia pernapasan, sedangkan
pertahanan sistemik yang penting adalah imunitas sel, fagositosis, dan reaksi
peradangan. Umumnya spora terinhalasi dan masuk ke saluran napas bawah
kecuali kandidiasis dan sporotirokosis. Selanjutnya jamur dapat masuk
dalam peredaran darah lalu menyebar secara limfogen ke dalam hilus dan
mediastinum kemudian secara hematogen ke organ lain sehingga terjadi
kelainan pada organ tersebut.2,3,5
Jamur patogen endemik (misalnya Histoplasma capsulatum,
Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitidis, Paracoccidioides
brasiliensis) menyebabkan infeksi pada host sehat dan pada orang
imunokompromis yang terdapat di Amerika dan seluruh dunia. Organisme
jamur oportunistik (misalnya Candida spesies, spesies Aspergillus, Mucor
Teks
129
spesies, Cryptococcus neoformans) cenderung menyebabkan pneumonia
pada pasien dengan cacat bawaan atau host imunokompromis. Kelompok
jamur oportunistik hanya menginfeksi pejamu dengan gangguan pada
sistem imun atau bila terdapat faktor predisposisi. Pada keadaan normal
spora jamur oportunistik sulit menginvasi mukosa saluran napas. Pada
penderita dengan komorbid atau imunokompromis, spora yang terinhalasi
dan berkolonisasi akan menginvasi jaringan paru dan berkembang sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan paru dan menimbulkan gejala klinis.
Makrofag paru berfungsi membunuh jamur pada keadaan status imun yang
baik, namun bila pertahanan makrofag gagal maka hifa yang berisi
konidiofora dapat melepaskan spora. Hifa sebagai antigen akan
mengaktivasi komplemen dalam serum, meningkatkan faktor kemotaktik,
fagosit dan meningkatkan degranulasi neutrofil serta merangsang kerja sel T
untuk membunuh jamur yang masuk. Imunitas nonspesifik dilakukan oleh
natural killer cell sedang imunitas spesifik diperankan oleh sel T sitotoksik
dalam menghancurkan jamur. Sistem pertahanan tubuh baik spesifik
maupun nonspesifik tidak dapat berfungsi dengan baik pada individu yang
mempunyai status imun buruk, seperti pemakaian kortikosteroid lama,
diabetes mellitus dan usia lanjut.2,3,4
Komplikasi mikosis paru meliputi 1) penyebaran penyakit ke organ
lain ( misalnya otak, meningens, kulit, hati, limpa, ginjal, adrenal, hati, mata)
dan sindrom sepsis dan 2) invasi pembuluh darah, yang dapat menyebabkan
hemoptisis, infark miokard, emboli serebral , infark serebral, atau kebutaan.
TEKS
130
Prognosis dihubungkan dengan tingkat keparahan penyakit yang mendasari
dan mungkin dipengaruhi status kekebalan pasien.4,5
Faktor Risiko
Faktor resiko mikosis paru adalah berbagai keadaan yang
mempermudah pasien mengalami mikosis paru. Faktor resiko yang sering
dilaporkan antara lain: kolonisasi jamur, penggunaan jangka panjang
antimikroba berspektrum luas, kortikosteroid sistemik, obat sitostatika,
serta alat-alat kesehatan invasif. Faktor resiko lainnya, pekerja atau petani
dengan paparan berat terhadap burung, kelelawar, atau kotoran hewan
pengerat atau kotoran hewan lainnya di daerah endemik cenderung menjadi
salah satu penyebab pneumonia jamur endemik. C immitis, karena
virulensinya, juga merupakan penyebab mikosis di kalangan pegawai
laboratorium. Kondisi yang mempengaruhi pasien terinfeksi jamur patogen
oportunistik adalah sebagai berikut: Leukemia akut atau limfoma selama
kemoterapi myeloablative sumsum tulang atau transplantasi sel
induk, transplantasi organ padat, pengobatan imunosupresif, terapi
kortikosteroid berkepanjangan, Acquired immunodeficiency
syndrome, Neutropenia berkepanjangan dari berbagai penyebab, sindrom
defisiensi imun, postsplenectomy, dan predisposisi genetik.
Beberapa penyakit meningkatkan resiko mikosis paru dan berperan
penting dalam kriteria diagnosis mikosis paru. Dalam Pedoman Diagnosis
Teks
131
dan Penatalaksanaan Mikosis Paru di Indonesia, penyakit atau kondisi yang
sering berkaitan dengan risiko mikosis paru sebagai berikut:
- Resiko infeksi Aspergilosis, pasien dengan keganasan darah, pasien yang
menjalani transplantasi sumsum tulang dan organ solid terutama
transplantasi paru, pasien yang menjalani perawatan ICU dengan resiko
sedang (terapi kortikosteroid jangka panjang lebih dari 4 minggu, PPOK
penerima kortikosteroid sistemik, sirosis hati dengan masa rawat lama,
infeksi HIV/AIDS tahap lanjut, pengobatan sitostatika) dan resiko rendah
(luka bakar luas, malnutrisi, transplantasi organ solid selain paru, masa
rawat di ICU lebih dari 21 hari, penerima kortikosteroid sistemik lebih dari
7 hari, pasca bedah jantung), pasien gagal ginjal, diabetes mellitus dan
near drowning (hampir tenggelam). Resiko PCP, kriptokokosis, pasien
terinfeksi HIV dengan nilai hitung CD4+ kurang dari 200 sel/mm3.
- Resiko mukormikosis, pasien transplantasi ginjal.
- Resiko kondidosis, pasien transplantasi jantung, perawaatan ICU,
menggunakan kateter vena central, menerima nutrisi parenteral,
neutropenia, menggunakan alat prostetik implan, menerima terapi
imunosupresif termasuk kortikosteroid, kemoterapi dan
imunomodulator.1,2, 4,5
Gejala Klinik
Gambaran klinis infeksi jamur paru bisa simtomatik atau
asimpomastik. Pada yang simtomatik gejala dapat berupa batuk, batuk
kronik dengan dahak mukoid atau purulen, batuk darah, kadang-kadang
TEKS
132
disertai sesak napas, nyeri dada dan demam akut. Keluhan pasien umumnya
sama dengan keluhan penyakit paru pada umumnya. Gejala yang muncul
dapat demam, batuk biasanya produktif, nyeri dada atau nyeri pleiritik.
Dispnea menyebabkan kegagalan pernafasan. Gejala obstruktif dari
adenopati mediastinum dapat ditemukan. Hemoptisis terjadi akibat
aspergillosis invasif atau mucormycosis. Riwayat perjalanan ke daerah
endemik mikosis atau paparan juga penting dalam anamnesis pasien. Pada
pasien neutropenia atau immunocompromised, demam persisten bahkan
sebelum ada temuan paru mungkin merupakan tanda awal infeksi, terutama
jika demam tidak responsif terhadap antibiotik spektrum luas.
Hipersensitivitas atau reaksi alergi termasuk asma bronkial alergi, mikosis
bronkopulmonalis alergi (spesies Aspergillus, Candida).1,2,3,5,
Temuan pemeriksaan fisik pada pasien dengan mikosis paru yang
mungkin adalah: peningkatan suhu, takikardia, gangguan pernapasan, rales,
tanda-tanda konsolidasi paru, nyeri pleura yang sulit dibedakan dengan
penyakit paru lainnya. Kemungkinan temuan diluar paru yang penting
meliputi: Meningitis (kekakuan leher, sakit kepala, perubahan status
mental), Lesi kulit (pustula, papula, plak, nodul, borok, abses, lesi
hemoragik).2,3,4,5
Jumlah sel darah putih mungkin meningkat pada host normal
dengan mikosis endemik. Eosinofilia dapat ditemukan, terutama pada orang
dengan coccidioidomycosis. Pada pasien dengan neutropenia atau
leukopenia, kemungkinan untuk terjadinya infeksi oportunistik Candida atau
Teks
133
Aspergillus meningkat. Gambaran rontgen toraks pada sebagian besar
mikosis paru tidak menunjukkan ciri khas, dapat ditemukan infiltrat
interstisial, terlokalisir atau difus, konsolidasi, nodul multipel, kavitas, efusi
pleura dan adenopati hilus. Gambaran khas yang dapat terlihat pada
aspergiloma yaitu massa fungus ball dalam kavitas. Hasil laboratorium rutin
yang mungkin berkaitan dengan mikosis paru adalah peningkatan jumlah sel
eosinofil.1,2,5,6
Diagnosis
Diagnosis mikosis paru umumnya didapatkan secara kebetulan atau
terdapat kecurigaan yang tinggi terhadap jamur. Specimen bahan
pemeriksaan didapatkan dari sputum, cairan serebrospinal, bilasan bronkus,
cairan BAL, biopsi paru transbronkial, biopsi transtorakal atau biopsi paru
terbuka. Histoplasmosis primer sering tidak terdiagnosis. Pemeriksaan
sputum langsung tidak terdapat gambaran yang pasti, berbeda bila
pemeriksaan ini dilakukan pada blastinomikosis dan koksidiomikosis.
Pemeriksaan sputum pada aspergilosis, kandidiasis dan kriptokokosis kurang
memberikan manfaat. Uji serologi yang sering digunakan untuk pemeriksaan
jamur paru adalah uji imunodifusi dan uji fiksasi komplemen.2, 6,7
Sebagian besar mikosis paru tidak ada ciri khas pada gambaran foto
toraks, bisa ditemukan infiltrat interstisial, konsolidasi, nodul multipel,
kavitas, dan efusi pleura. Gambaran foto toraks yang khas adalah fungus
ball dalam kavitas pada aspergiloma. Hasil yang lebih baik didapatkan pada
pemeriksaan CT-scan toraks. Hasil laboratorium rutin yang mungkin
TEKS
134
berhubungan dengan mikosis paru adalah jumlah sel eosinofil yang
meningkat. Pemeriksaan mikologi merupakan prosedur diagnosis mikosis
paru yang sangat penting. Kualitas pemeriksaan ini ditentukan oleh
pemilihan, pengumpulan dan pengiriman spesimen. Penanganan spesimen
yang tidak memadai dapat mengakibatkan ketidaktepatan diagnosis.
Spesimen bisa didapatkan dari sputum, bilasan bronkus, kurasan
bronkoalveolar (broncho-alveolar lavage/BAL), jaringan biopsi, darah, pus
dan lain-lain.5,6,7
Jaringan hasil biopsi mempunyai arti klinik paling tinggi karena
penemuan jamur dalam jaringan dapat memastikan diagnosis mikosis.
Spesimen biopsi sebaiknya diambil dari tengah dan tepi lesi, selanjutnya
diletakkan di antara kasa steril yang sedikit dibasahi dengan larutan garam
fisiologis untuk mencegah kekeringan. Jangan diberi bahan pengawet karena
akan emematikan jamur dalam jaringan sehingga tidak dapat dilakukan
proses pembiakan serta uji kepekaan jamur terhadap obat anti jamur.
Spesimen darah untuk pemeriksaan serologi sebanyak 2,5 - 5 ml diambil
dengan semprit steril tanpa bahan pengawet lalu dikirim secepatnya ke
laboratorium. Untuk biakan darah saja, diperlukan 5-10 ml darah dan
sebaiknya diberi antikoagulan.8,9,12
Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis mikosis paru dilakukan
dengan tiga metode yaitu mikroskopik, biakan dan serologi1,8
. Prosedur
diagnostik berdasarkan deteksi deoxyribonucleic acid (DNA) jamur saat ini
Teks
135
sedang dikembangkan, namun biakan spesimen dan hasil biopsi jaringan
masih menjadi baku emas diagnosis mikosis paru.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam diagnosis
mikosis paru adalah sebagai berikut.:
1. Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan sputum dan pengecatan Kalium Hidroksida sangat
penting dalam idantifikasi jamur. Pemeriksaan ini dapat menemukan hifa
jamur atau ragi. Namun harus berkorelasi dengan kondisi klinis, karena
infeksi saprophytic pada saluran orofaringeal atau beberapa pasien dan
mungkin tidak selalu menunjukkan infeksi invasif. Hati-hati transportasi,
proses, dan kultur spesimen yang mungkin terkontaminasi oleh bakteri, ragi
mungkin saprophytic endogen ke rongga mulut, dan mungkin konidia jamur
saprofit diudara.
Pemeriksaan spesimen secara langsung maupun dengan
pewarnaan harus selalu dilaksanakan karena dapat mendiagnosis
kemungkinan infeksi jamur secara cepat, mudah dan murah, meskipun nilai
diagnostiknya sangat bervariasi (10-90%) bergantung kepada spesies jamur
yang ditemukan. Pemeriksaan mikroskopik langsung dilakukan dengan
menambahkan larutan garam fisiologis, KOH 10% atau tinta India.
Pemeriksaan langsung sputum, bilasan bronkus, BAL, atau spesimen lain
dapat mendeteksi elemen jamur secara umumberupa spora maupun
hifa. Teknik pewarnaan dapat dilakukan dengan Giemsa, gomori
methenaminsilver (GMS), calcofluor, maupun deteksi antobodi monoklonal
TEKS
136
dengan pewarnaan imunoflueresens yang lebih sensitif dibandingkan
dengan pewarnaan biasa. Pemeriksaan langsung cairan serebrospinal,
bilasan bronkus atau BAL dengan tinta India sangat bermanfaat dalam
mendiagnosis kriptokokosis. Pemeriksaan sputum pasien terinfeksi HIV
dengan pewarnaan Giemsa atau GMS menunjukkan sensitivitas 35-60%,
sedangkan BAL menunjukkan sensitivitas 85-95% dalam mendiagnosis
PCP.8,9,12
2. Biakan
Pemeriksaan biakan mempunyai nilai diagnostik tinggi bahkan
menjadi baku emas diagnosis infeksi jamur tertentu. Biakan darah
merupakan baku emas diagnosis infeksi Candida dalam darah (kandidemia),
namun sebaliknya untuk diagnosis PCP karena P.jiroveci sampai saat ini
belum dapat dibiakkan. Sensitivitas biakan pada histoplasmosis akut hanya
15%, sedang pada histoplasmosis diseminata sensitivitasnya bisa >85%.
Meskipun pemeriksaan biakan jamur membutuhkan waktu beberapa hari
sampai minggu, namun perlu dilakukan untuk identifikasi spesies dan uji
kepekaan jamur terhadap obat anti jamur. Kultur darah dan urine
diperlukan untuk mengidentifikasi spesies Candida atau B-dermatitidis jika
terjadi penyebaran hematogen. Kultur jamur urine pada pria untuk
mengidentifikasi spesies Cryptococcus.6, 7, 8.
3. Serologi
Uji serologi digunakan untuk mendeteksi reaksi antibodi pejamu
terhadap elemen-elemen jamur. Nilai diagnostiknya sangat terbatas
Teks
137
sehingga perlu hati-hati dalam interpretasi hasil. Dewasa ini telah
dikembangkan deteksi antigen yang memiliki nilai diagnostik lebih tinggi. Uji
ini didasarkan atas deteksi komponen dinding jamur yang dilepaskan ke
dalam aliran darah atau cairan tubuh lain pada saat jamur berproliferasi. Uji
antigen cryptococcus spp dari serum atau cairan serebrospinal sangat
bermanfaat dalam diagnosis kriptokokosis karena nilai sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi. Uji antigen Histoplasma spp dalam urin memiliki
sensitivitas >90% dan spesifisitas >95% dalam mendiagnosis histoplasmosis.
Uji antigen galaktomanan Aspergyllus spp menunjukkan sensitivitas 61-71%
dan spesifisitas 89-93% dalam mendeteksi aspergilosis invasif. Perlu
diperhatikan hasil positif palsu pada pasien yang medapatkan terapi
antibiotik golongan beta-laktam dan pasien pasien dengan infeksi
Pencillium karena tyerdapat reaktivitas silang. Metode nonkulture untuk
mendeteksi infeksi jamur memberikan tes yang lebih cepat dan sensitif bila
dibandingkan dengan kultur. Berbagai tes deteksi antigen , seperti
galactomannan enzim immunoassay untuk mendeteksi infeksi invasif
Aspergillus. Untuk Aspergillus, galactomannan ELISA mungkin positif dalam
darah sebelum ditemukan klinis infeksi jamur invasif dan dapat digunakan
dalam pemantauan dan profilaksis pada populasi berisiko tinggi.3,5
4. Polimerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR dan real-time PCR sedang dikembangkan, namun
masih digunakan secara terbatas karena belum ada standarisasi dan validasi.
Polymerase chain reaction (PCR) juga dapat mendeteksi berbagai jamur
patogen, termasuk Aspergillus, Histoplasma, dan spesies Candida.
TEKS
138
Perbandingan menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay [ELISA]
atau aglutinasi lateks dan deteksi molekuler dengan PCR menunjukkan
spesifisitas yang sama ≥ 97% dalam mendeteksi spesies Candida. PCR yang
paling sensitif dibandingkan dengan ELISA dan aglutinasi lateks (masing-
masing 95%, 75%, dan 25%). PCR Aspergillus adalah yang paling sensitif (
100 % ) jika dilakukan pada cairan lavage bronkial pasien dengan
aspergillosis paru invasif , tetapi hanya 40-66 % yang sensitif ketika
dilakukan PCR pada darah.5, 6, 12
ELISA atau lateks aglutinasi adalah 70-80 %
sensitif untuk mengidentifikasi H capsulatum dan C immitis. PCR untuk H
capsulatum dari cairan bronchoalveolar lavage dapat dideteksi dalam
waktu 24 jam pada pasien dengan AIDS , dan dapat dikonfirmasi 10 hari
kemudian isolasi kultur jaringan.
Diagnosis definitif infeksi jamur paru juga telah meningkat seiring
kemajuan dalam metode dan teknik diagnostik, termasuk penggunaan
computed tomography (CT) dan tomografi emisi positron (PET) scan,
bronkoskopi, mediastinoscopy, dan video-dibantu biopsi thorascopic.
Pemeriksaan mikologi merupakan prosedur diagnosis yang sangat penting,
spesimen dapat diambil dari sputum, bilasan bronkus, kurasan
bronkoalveolar (BAL), jaringan biopsi, darah, cairan pleura, pus. Baku emas
diagnosis mikosis paru berasal dar biakan spesimen maupun hasil biopsi
jaringan.8,9,12
Hal penting dalam diagnosis mikosis paru adalah faktor
pejamu (risiko), gambaran klinis yang muncul dan pemeriksaan mikologi.
Dalam penegakan diagnosis mikosis paru telah dikenal kriteria yang
menentukan derajat diagnosis adalah proven, probable dan possible.
Teks
139
Kriteria diagnosis proven adalah bila ditemukan faktor pejamu dan
gambaran klinis dan hasil pemeriksaan mikologi positif sebagai berikut:
pemeriksaan histologi atau sitokimia menunjukkan elemen jamur positif dari
hasil biopsi atau aspirasi disertai bukti kerusakan jaringan (secara
mikroskopik atau radiologi); atau biakan positif dari spesimen yang berasal
dari tempat steril serta secara klinis dan radiologi menunjukkan kelainan/lesi
yang sesuai dengan infeksi; atau pemeriksaan mikroskopik/ antigen
Cryptococcus dari likuor serebrospinal. Kriteria diagnosis probable jika
paling sedikit terdapat satu kriteria klinis mayor atau dua kriteria klinis
minor pada lokasi lesi abnormal yang sesuai dengan kondisi infeksi secara
klinis atau radiologi, dan satu kriteria mikologi. Kriteria diagnosis possible
jika paling sedikit terdapat satu kriteria faktor pejamu, dan satu kriteria
klinis mayor atau dua kriteria klinis minor dari lokasi lesi abnormal yang
sesuai dengan kondisi infeksi secara klinis atau radiologi, tanpa kriteria
mikologi atau hasil pemeriksaan mikologi negatif.
Krieria faktor pejamu, gambaran klinis dan hasil pemeriksaan mikologi untuk
menentukan diagnosis mikosis sistemik/invasif adalah :
Faktor pejamu
Neutropenia (netrofil <500/mm3 selama > 10 hari)
Penerima transplantasi sumsum tulang alogenik
Penerima terapi kortikosteroid jangka panjang dengan rerata
dosis minimal setara prednison 0,3 mg/kg/hari selama > 3
minggu
Penerima terapi imunosupresan
Pasien imunodefisiensi primer berat
TEKS
140
Kriteria gambaran klinis
Kriteria mayor, bila terdapat salah satu dari tiga kondisi berikut
pada CT-scan : lesi padat dengan atau tanpa halo sign, air-
cresent sign atau kavitas;
Kriteria minor bila didapatkan gejala infeksi saluran napas
bawah (misalnya batuk, nyeri dada, sesak napas, hemoptisis,
dan lain-lain), pemeriksaan fisik ditemukan pleural rub,
gambaran infiltrat baru yang tidak sesuai dengan kriteria
mayor.
Hasil Miologi
Pemeriksaan langsung :
o Ditemukan elemen jamur kapang dari spesimen
sputum, BAL, bilasan bronkus, aspirat sius.
o Pertumbuhan jamur kapang dalam medium biakan
Pemeriksaan tidak langsung :
o Aspergilosis: antigen galaktomanan terdeteeksi dalam
plasma, serum, BAL, liquor serebro spinal.
o Penyakit jamur invasif selain kriptokokus dan
zigomikosis: B-d-glukan terdeteksi dalam serum
Histoplasmosis
Disebabkan oleh Histoplasma capsulatum. Terjadi pada tanah yang
terkontaminasi dengan kelelawar atau burung kotoran. Umumnya
ditemukan di daerah beriklim sedang, subtropis, dan tropis. 50% - 90% dari
penduduk di daerah-daerah tes positif untuk eksposur. Orang-orang yang
tinggal dan bekerja di sekitar kelelawar atau burung kotoran berisiko
terinfeksi. Transmisi adalah melalui inhalasi konidia yang cukup kecil untuk
Teks
141
mencapai bronkiolus dan alveoli. Amfoterisin B adalah pengobatan pilihan
jika diperlukan dengan amfoterisin B intravena atau itrakonazol.
Setelah terhirup Microconidia mengkonversi ke bentuk ragi, terjadi
fagositosis dan tuberkel terbentuk. Kasus yang parah dapat menyebabkan
menggigil, malaise, nyeri dada, dan infiltrasi paru yang luas. Histoplasma
capsulatum merupakan patogen sejati yang paling umum; penyebab
histoplasmosis biasanya dimorfik. Didistribusikan di seluruh dunia, yang
paling umum di daerah timur dan tengah AS. Tumbuh di tanah yang lembab
tinggi kandungan nitrogen. Inhalasi konidia menghasilkan infeksi paru
primer yang dapat berkembang menjadi keterlibatan sistemik dari berbagai
organ dan penyakit paru kronis.
Kriptokokosis
Kriptokokosis adalah infeksi oportunistik yang sering terjadi pada
pasien acquired immunodeficiency syndrome ( AIDS ), tetapi dapat terjadi
pada pasien imunosupresi lainnya dan kadang-kadang pada pasien tanpa
immunokompromis . Sebagian besar kasus disebabkan Cryptococcus
neoformans, sedangkan Cryptococcus gattii hanya terjadi pada sebagian
kecil kasus, sering pada pasien imunokompeten. Meningoencephalitis parah
merupakan gejala yang paling sering namun bila terjadi kriptokokosis paru
pada pasien seropositif HIV, tanpa pengobatan yang tepat akan menyebar
luas lebih parah. Sedangkan pada pasien imunokompeten infeksi terjadi
bersifat lokal dan self-limiting. Gambaran klinik dan radiologi bervariasi dan
tidak spesifik, dipengaruhi oleh status kekebalan pasien. Diagnosa
TEKS
142
didasarkan pada isolasi Cryptococcus atau deteksi antigen kriptokokus pada
spesimen paru, ditambah dengan klinis dan radiologi serta patologi anatomi.
Pengobatan antijamur dengan amfoterisin B + / - flusitosin dianjurkan untuk
penyakit yang parah, sedangkan flukonazol merupakan pilihan terapi untuk
infeksi ringan dan lokal .
Aspergilosis
Disebabkan oleh jamur Aspergillus fumigatus, terdistribusi secara
luas dan ditemukan di seluruh dunia. Penyebaran melalui inhalasi konidia.
Aspergilus fumigatus paling sering menjadi penyebab infeksi oportunistik
serius pada AIDS, leukemia, dan pasien transplantasi. Infeksi biasanya terjadi
di paru berupa spora berkembang diparu dan membentuk bola jamur, dapat
menjajah sinus, kanal telinga, kelopak mata, dan konjungtiva. Aspergilosis
invasif dapat menyebabkan pneumonia nekrotik dan infeksi otak, jantung,
dan organ lainnya, terutama infeksi nosokomial yang terkait dengan sistem
pendingin udara. Kolonisasi dengan Aspergillus menyebabkan invasi
jaringan. Invasi pada jaringan paru menyebabkan penetrasi pembuluh darah
yang menyebabkan hemoptisis dan /atau akut pneumonia. Pneumonia
disertai dengan infiltrat paru multifokal dan demam tinggi. Kematian untuk
aspergillosis invasif adalah 100%. Amfoterisin B dan itraconazole dapat
digunakan tetapi biasanya tidak efektif.
Diagnosis diferensial mikosis paru meliputi: Sindrom gangguan
pernapasan akut, Pneumocystis carinii pneumonia, pneumonia aspirasi,
pneumonia bakteri, edema paru kardiogenik, edema paru neurogenik,
Teks
143
Idiopathic pulmonary fibrosis, Fibrosis paru interstisial (nonidiopathic),
infeksi tuberkulosis.
Gambaran radiologi paru dapat ditemukan nodul, konsolidasi ,
kavitasi , atau efusi pleura. Limfadenopati dapat unilateral atau bilateral.
Infiltrasi miliaria terjadi pada infeksi yang luas. CT scan resolusi tinggi dapat
memperlihatkan tanda halo pada pasien dengan aspergillosis. Lesi nodular
ini biasanya dikelilingi oleh gambaran halo. Studi menunjukkan 61% dari 235
pasien dengan aspergillosis invasif ditemukan tanda halo.15
Kandidiasis
Kandidiasis pada paru juga bisa terjadi. Hifa terlalu besar untuk
respon fagositosis tetapi rusak oleh PMN dan dengan mekanisme
ekstraseluler (myeloperoxidase dan b-glukuronidase). Sitokin limfosit
diaktifkan dapat menghambat pertumbuhan C. albicans. Resistensi terhadap
infeksi invasif oleh Candida dimediasi oleh fagosit, komplemen dan antibodi,
meskipun imunitas seluler memainkan peran utama. Pasien dengan
kerusakan fungsi fagositosis dan defisiensi myeloperoxidase beresiko untuk
Candidiasis. Faktor risiko untuk kandidiasis adalah keadaan pasca-operasi,
kemoterapi kanker sitotoksik, terapi antibiotik, luka bakar, penyalahgunaan
obat.15,16
Pneumocystis Carinii Pneumonia
Merupakan pneumonia yang mematikan dan umumnya pada
pasien terinfeksi HIV-AIDS. Disebabkan oleh jamur Pneumocystis (carinii)
TEKS
144
jiroveci yang merupakan jamur uniseluler yang menyebabkan pneumonia
(PCP), infeksi oportunistik yang paling menonjol pada pasien AIDS.
Pneumonia ini membentuk sekresi di paru yang menghalangi pernapasan
dan dapat fatal jika tidak dikontrol dengan obat-obatan. Jamur ini tidak
pernah tumbuh dalam media kultur. Diagnosis berdasarkan dari temuan
klinis dari pasien. 15,16
Penatalaksanaan
Pengobatan utama untuk mikosis paru mencakup agen antijamur.
Tidak ada perbedaan penggunaan obat anti jamur pada pasien keganasan
dengan pasien tanpa keganasan. Prinsip pengobatan antijamur dapat
diberikan sebagai terapi profilaksis, terapi empirik, terapi pre-emptive dan
terapi definitif. 1)Terapi profilaksis, pemberian anti jamur kepada pasien
dengan faktor risiko, tanpa tanda infeksi dengan tujuan mencegah
timbulnya infeksi jamur. Terapi profilaksis biasanya diberikan pada awal
periode risiko tinggi terkena infeksi. 2) Terapi empirik, pemberian antijamur
kepada pasien dengan faktor risiko disertai tanda infeksi (misalnya demam
persisten engan neutropenia biasanya selama 4-7 hari) yang etiologinya
belum diketahui dan tidak membaik setelah terapi antibiotika adekuat
selama 3-7 hari. Terapi empirik diberikan kepada pasien dengan diagnosis
possible. 3) Terapi pre-emptive (targeted prophylaxis), pemberian
antijamur dengan faktor risiko, disertai gejala klinis dan hasil pemeriksaan
radiologi dan atau laboratorium yang mencurigakan infeksi jamur. Terapi
pre-emptive diberikan kepada pasien dengan diagnosis probable. 4) Terapi
Teks
145
definitif, pemberian anti jamur kepada pasien yang terbukti proven
mengalami infeksi jamur sistemik.1)
Jenis obat antijamur yang digunakan harus disesuaikan berdasarkan
pada patogen tertentu yang telah diisolasi atau yang secara klinis dicurigai.
Saat ini modalitas pengobatan bertambah banyak dan memperluas pilihan
obat untuk infeksi jamur. Sebagian besar terbatas pada penggunaan
amfoterisin B, flusitosin, dan azol, pilihan pengobatan farmakologis saat ini
meliputi senyawa azol dengan aktivitas antijamur diperpanjang cukup
ampuh, bentuk lipid novel amfoterisin B, dan kelas baru antijamur obat yang
dikenal sebagai echinocandins.1,2,3
Pada infeksi jamur sistemik yang berat dan mengancam jiwa,
pemberian amfoterisin-B dianjurkan sebagai obat utama dan dilanjutkan
dengan flukonazol atau itrakonazol. Obat lain yang juga diandalkan sebagai
pilihan obat anti jamur sistemik adalah flusitosin dan golongan azole seperti
flukonazol, itrakonazol dan ketokonazol. Obat tersebut menjadi pilihan
karena pemberiannya secara oral dan toksisitas relatif kurang. Flukonazol
bisa juga diberikan secara intravena. Penderita histoplasmosis bisa diberikan
itrakonazol dengan dosis 200-400 mg/hari selama 2 – 6 minggu. Ketokonazol
400 mg/hari juga efektif untuk penderita tersebut disamping harganya yang
relative lebih murah. Penderita yang tidak respons dengan terapi azol oral
dapat diterapi dengan amfoterisin-B dengan dosis 2,5 mg/kgBB selama 12-
16 minggu. Blastinomikosis dan koksidiomikosis bisa diberikan ketokonazol
oral dengan dosis 400 mg/hari sebelum makan. Bila penderita
TEKS
146
koksidiomikosis disertai meningitis ringan bisa dberikan flukonazol 400
mg/hari.
Anti jamur Amfoterisin B adalah digunakan sebagai terapi awal
kasus mikosis akut. Pada pasien dengan aspergillosis invasif, termasuk
aspergillosis paru , varikonazol adalah standar baru perawatan, berdasarkan
keunggulannya atas amfoterisin B sebagai terapi utama.16,17
Variasi dosis
dan durasi pengobatan tergantung pada patogen penyebab pneumonia.
Beberapa dokter menawarkan terapi empiris dengan amfoterisin B untuk
infeksi jamur pada pasien dengan demam neutropenia ( misalnya kanker,
transplantasi sumsum tulang, transplantasi organ padat) dan pasien dengan
demam berkepanjangan setelah terapi antibiotik spektrum luas selama
beberapa hari. Obat lain yang dapat digunakan adalah itrakonazol dan
echinocandin, yaitu caspofungin. Terapi dilanjutkan sampai neutropenia
membaik dan pasien tidak ditemukan infeksi jamur atau radiografi
membaik. Terapi profilaksis dengan amfoterisin B digunakan terhadap
kekambuhan atau relaps coccidioidomycosis, kriptokokosis, atau
histoplasmosis pada individu yang terinfeksi dengan human
immunodeficiency virus ( HIV ) yang telah menerima perawatan yang
memadai untuk infeksi.10
Selain amfoterisin B, Posaconazole dapat digunakan dalam
profilaksis invasif Aspergillus dan infeksi Candida pada pasien
immunocompromised yang menerima transplantasi sel induk hematopoietik
dan pada pasien dengan keganasan hematologi dengan neutropenia yang
Teks
147
diinduksi kemoterapi. Agen anti jamur lain yang digunakan dalam
pengobatan pneumonia jamur flukonazol, itrakonazol, flusitosin, dan
ketokonazol. Agen antijamur yang lebih baru, seperti triazoles generasi
ketiga atau echinocandins, lebih ditoleransi daripada amfoterisin B dan
mungkin lebih efektif dalam pengobatan lini pertama atau kedua.11
Caspofungin diberikan untuk pengobatan infeksi Aspergillus invasif
pada pasien yang tidak responsif atau tidak dapat diberikan amfoterisin B.
Kombinasi triazole dengan sebuah echinocandin dengan atau tanpa
amfoterisin B telah dilaporkan efektif dalam beberapa kasus infeksi jamur
resisten, seperti Mucor atau spesies Zygomycetes. Echinocandins seperti
caspofungin, micafungin dan anidulafungin efektif terhadap spesies
Candida, termasuk strain resisten terhadap flukonazol. Golongan ini juga
menunjukkan efektivitas terhadap infeksi Aspergillus bila digunakan sebagai
obat tunggal sendiri atau kombinasi dengan azol. Terapi kombinasi biasanya
tidak diindikasikan dalam pengobatan lini pertama, umumnya digunakan
sebagai pengobatan lini kedua atau kedaruratan.12, 13,14, 15
Indikasi untuk operasi pada aspergillosis invasif adalah sebagai berikut
: Pembedahan diindikasikan pada pasien dengan aspergillosis invasif yang
telah diobati dengan agen antijamur tetapi memiliki lesi residual paru.
Operasi dilakukan untuk mencegah kekambuhan penyakit apabila
diperlukan imunosupresi tambahan. Pembedahan juga diindikasikan untuk
mencegah atau mengobati pendarahan masif , terutama ketika lesi paru
berdekatan dengan pembuluh darah besar. Pada pasien neutropenia
TEKS
148
dengan gagal nafas progresif, pasien memerlukan bantuan ventilasi. Pada
pasien neutropenia berat, perlu dipertimbangkan terjadinya mikosis paru
dan penyebaran infeksi jamur (misalnya, aspergillosis), terapi awal
diberikan antijamur secara empiris.14
Berikut ini disampaikan pedoman pemberian antijamur sesuai
dengan jamur patogen penyebabnya berdasarkan pedoman dari American
Thoracic Society untuk penanganan infeksi jamur pada pasien dewasa:
Tabel 1. Rekomendasi pengobatan untuk infeksi histoplasmosis.2
Tabel 2. Pengobatan pasien imunokompeten dengan infeksi kriptokokosis.2
Teks
149
Tabel 3. Pengobatan pasien imunokompromis dengan infeksi kriptokokosis.2
TEKS
150
Tabel 4. Rekomendasi pengobatan untuk infeksi aspergilosis paru (2)
Teks
151
Tabel 5. Rekomendasi pengobatan untuk candidemia.2
Tabel 6. Pengobatan untuk infeksi pneumocytis jirovecii pneumonia.2
TEKS
152
Tabel 7. Pilihan obat untuk profilaksis PCP.2
Tabel 8. Rekomendasi pengobatan infeksi jamur lain yang jarang.2
Pencegahan mikosis paru
Pencegahan dapat menggunakan masker dan pakaian pelindung
untuk mengurangi kontak dengan spora. Menghindari perjalanan ke dan
paparan di daerah endemis. Imunisasi biasanya tidak efektif. Pasien yang
menjalani transplantasi sumsum tulang atau periode neutropenia
berkepanjangan disarankan untuk menghindari kegiatan (misalnya,
berkebun, membersihkan, mengagitasi puing-puing) atau benda (misalnya,
tanaman pot, bunga, buah-buahan segar, sayuran) yang mungkin dapat
menyebabkan paparan spora Aspergillus atau jamur lain. Untuk pasien yang
Teks
153
menjalani transplantasi sumsum tulang, transplantasi organ padat, atau
kemoterapi antileukemic, gunakan sistem filtrasi udara di unit perawatan
untuk meminimalkan risiko pasien terkena spora Aspergillus. Penggunaan
terapi antijamur profilaksis pada pasien yang berisiko tinggi untuk infeksi
jamur oportunistik, termasuk pasien dengan riwayat infeksi jamur. Dalam
sebuah penelitian, posaconazole terbukti lebih unggul dalam mengurangi
kejadian flukonazol aspergillosis invasif ( 1 % vs 5,9 % ) pada penerima
transplantasi alogenik hematopoietik stem sel.16,17
Ringkasan
Mikosis paru adalah gangguan paru (termasuk saluran napas) yang
disebabkan oleh infeksi/ kolonisasi jamur atau reaksi hipersensitif terhadap
jamur. Faktor resiko mikosis paru adalah berbagai keadaan yang
mempermudah pasien mengalami mikosis paru. Faktor resiko yang sering
dilaporkan antara lain: kolonisasi jamur, penggunaan jangka panjang
antimikroba berspektrum luas, kortikosteroid sistemik, obat sitostatika,
serta alat-alat kesehatan invasif..
Pemeriksaan mikologi merupakan prosedur diagnosis yang sangat
penting, spesimen dapat diambil dari sputum, bilasan bronkus, kurasan
bronkoalveolar (BAL), jaringan biopsi, darah, cairan pleura, pus. Baku emas
diagnosis mikosis paru berasal dari biakan spesimen maupun hasil biopsi
jaringan.
TEKS
154
Pengobatan utama untuk mikosis paru mencakup agen antijamur.
Jenis obat antijamur yang digunakan harus disesuaikan berdasarkan pada
patogen tertentu yang telah diisolasi atau yang secara klinis dicurigai. Pada
infeksi jamur sistemik yang berat dan mengancam jiwa, pemberian
amfoterisin-B dianjurkan sebagai obat utama dan dilanjutkan dengan
flukonazol atau itrakonazol. Obat lain yang juga diandalkan sebagai pilihan
obat anti jamur sistemik adalah flusitosin dan golongan azole seperti
flukonazol, itrakonazol dan ketokonazol.
Pencegahan dapat menggunakan masker dan pakaian pelindung
untuk mengurangi kontak dengan spora. Menghindari perjalanan ke dan
paparan di daerah endemis.
Daftar Pustaka
1. Anna R, Anwar J, Ahmad H, Arifin N, Elisna Syahrudin, Erlina Burhan,
Heidy Agustin, Priyanti Z Supandi. Mikosis Paru. Pedoman diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
PDPI; Jakarta 2011.
2. Limper AH, Knox KS, Sarosi GA, Ampel NM, Bennet JE, Catanzaro A, et
al. An official American Thoracic Society statement: Treatment of fungal
infections in adult pulmonary and critical care patients. Am J Respir Crit
Care Med 2011; 183:96-128.
3. Bochud PY, Chien JW, Marr KA, Leisenring WM, Upton A, Janer M, et al.
Toll-like receptor 4 polymorphisms and aspergillosis in stem-cell
transplantation. N Engl J Med. Oct 23 2008;359(17):1766-77.
Teks
155
4. Segal BH, Walsh TJ. Current approaches to diagnosis and treatment of invasive aspergillosis. Am J Respir Crit Care Med. Apr 1 2006;173(7):707-17.
5. Mennink-Kersten MA, Donnelly JP, Verweij PE. Detection of circulating galactomannan for the diagnosis and management of invasive aspergillosis. Lancet Infect Dis. Jun 2004;4(6):349-57.
6. Maertens JA, Klont R, Masson C, Theunissen K, Meersseman W, Lagrou K, et al. Optimization of the cutoff value for the Aspergillus double-sandwich enzyme immunoassay. Clin Infect Dis. May 15 2007;44(10):1329-36.
7. Penack O, Rempf P, Graf B, Blau IW, Thiel E. Aspergillus galactomannan testing in patients with long-term neutropenia: implications for clinical management. Ann Oncol. May 2008;19(5):984-9.
8. Del Bono V, Mikulska M, Viscoli C. Invasive aspergillosis: diagnosis, prophylaxis and treatment. Curr Opin Hematol. Nov 2008;15(6):586-93.
9. Greene RE, Schlamm HT, Oestmann JW, Stark P, Durand C, Lortholary O, et al. Imaging findings in acute invasive pulmonary aspergillosis: clinical significance of the halo sign. Clin Infect Dis. Feb 1 2007;44(3):373-9.
10. Bergeron A, Porcher R, Sulahian A, de Bazelaire C, Chagnon K, Raffoux E. The strategy for the diagnosis of invasive pulmonary aspergillosis should depend on both the underlying condition and the leukocyte count of patients with hematologic malignancies. Blood. Feb 23 2012;119(8):1831-7; quiz 1956.
11. Gerber B, Guggenberger R, Fasler D, Nair G, Manz MG, Stussi G. Reversible skeletal disease and high fluoride serum levels in hematologic patients receiving voriconazole. Blood. Sep 20 2012;120(12):2390-4.
TEKS
156
12. Avery RK. Aspergillosis in hematopoietic stem cell transplant recipients: risk factors, prophylaxis, and treatment. Curr Infect Dis Rep. May 2009;11(3):223-8.
13. Benjamin DK Jr, Driscoll T, Seibel NL, Gonzalez CE, Roden MM, Kilaru R, et al. Safety and pharmacokinetics of intravenous anidulafungin in children with neutropenia at high risk for invasive fungal infections. Antimicrob Agents Chemother. Feb 2006;50(2):632-8.
14. Walsh TJ, Anaissie EJ, Denning DW, Herbrecht R, Kontoyiannis DP, Marr KA, et al. Treatment of aspergillosis: clinical practice guidelines of the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. Feb 1 2008;46(3):327-60.
15. Kaffarnik M, Utzolino S, Blaich A, Hopt UT. Successful multimodal
therapy of invasive pulmonary and central nervous system aspergillosis
in a neutropenic surgical patient: case report and review of the
literature. Mycoses. Jan 2008;51(1):74-8.
16. Hamza NS, Ghannoum MA, Lazarus HM. Choices aplenty: antifungal
prophylaxis in hematopoietic stem cell transplant recipients. Bone
Marrow Transplant. Sep 2004;34(5):377-89.
17. Cornely OA, Maertens J, Winston DJ, Perfect J, Ullmann AJ, Walsh TJ, et
al. Posaconazole vs. fluconazole or itraconazole prophylaxis in patients
with neutropenia. N Engl J Med. Jan 25 2007;356(4):348-59.
Teks
157
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Pneumonia
IGN Bagus Artana
Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pendahuluan
Perubahan penting pada infeksi paru akibat S. aureus terjadi pada
dua dekade terakhir. Banyak pusat pelayanan kesehatan utama di Amerika
melaporkan peningkatan dramatis infeksi staphylococcal akibat methicillin-
resistant S. aureus (MRSA). Pada waktu yang sama, terjadi pula peningkatan
kejadian dan pemanjangan waktu menggunakan bantuan ventilasi mekanik
pada populasi lanjut usia dan pasien dengan penyakit kronis. Kedua hal
tersebut yang memicu pula peningkatan kejadian pneumonia akibat MRSA.
Belakangan, MRSA diidentifikasi menyebabkan 20%-40% pneumonia
nosocomial (hospital-acquired pneumonia/HAP dan ventilator-associated
pneumonia/VAP).1
Beberapa dekade yang lalu, Staphylococcus aureus tidak dianggap
sebagai penyebab umum pneumonia komuniti (community-acquired
pneumonia / CAP), dengan ditemukannya hanya pada 1% - 5% dari seluruh
kasus CAP, terutama pada kasus pasien dengan influenza. Staphylococcus
aureus juga dikenal sebagai patogen penyebab pneumonia nosokomial yang
penting tetapi jarang ditemukan.1,2
Hingga sebelum tahun 2000, sebagian besar MRSA dikenal sebagai
penyebab pneumonia nosocomial, sehingga dilabel sebagai HA-MRSA.
TEKS
158
Belakangan ditemukan strain MRSA baru yang menginfeksi paru pada
komunitas (CA-MRSA). Gillet, dkk. di Perancis menemukan 16 kasus CAP
akibat infeksi CA-MRSA dengan mutase gen Panton-Valentine leukocidin
(PVL), yang berupa toksin dengan kemampuan menghancurkan leukosit
polymorphonuclear. Kasus-kasus yang dilaporkan ini sangat mematikan,
dengan angka survival 48 jam hanya 63%. Sebuah survey di Amerika pada
tahun 2002-2004 melibatkan lebih dari 4000 pasien pneumonia dengan
kultur positif dari 60 rumah sakit. Survei tersebut mendapatkan MRSA
sebagai pathogen penyebab pada 8,9% kasus CAP, 26,5% kasus HCAP, 22,9%
kasus HAP, dan 14,6% kasus VAP. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa S.
aureus merupakan satu-satunya patogen yang berhubungan dengan
mortalitas pasien pneumonia.2,3
Berbagai perhimpunan di dunia yang bergerak di bidang infeksi
dan respirasi telah mengeluarkan konsensus dan pedoman penatalaksanaan
infeksi oleh MRSA. Konsensus-konsensus ini disusun untuk memandu klinisi
untuk mengenal risiko infeksi oleh MRSA dan memberikan penatalaksanaan
yang tepat pada kasus yang ditemukan. Berikut ini akan disampaikan
mengenai pneumonia yang disebabkan oleh MRSA.
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
Stafilokokus merukapan bakteri gram positif yang sering terlihat
seperti sekelompok buah anggur secara mikroskopik. Staphylococcus aureus
umumnya berkoloni secara normal di rongga hidung atau beberapa tempat
Teks
159
lain di kulit. Angka karier persisten dan intermiten pada dewasa bervariasi
antara 20%-50%.3,4
S. aureus telah terbukti menyebabkan berbagai infeksi berat pada
komunitas dan lingkungan pelayanan kesehatan. Berbagai fokus infeksi
dapat disebabkan oleh S. aureus, yaitu pada jaringan ikat, tulang dan sendi,
endokarditis, dan pneumonia. S. aureus dalam patogenesisnya memiliki
faktor virulensi yang sangat luas, termasuk produk struktural dan
toksin/sekretnya. (Gambar 1)5
Gambar 1. Beberapa determinan virulensi S. aureus5
Beberapa hal sangat berperan dalam menunjang virulensi S.
aureus. Faktor pertama adalah protein permukaan, misalnya protein A yang
membantu perlekatan kuman ke jaringan host, sehingga dapat berlanjut
pada kolonisasi. Faktor kedua adalah protein invasi yang membantu
penyebaran bakteri di jaringan host (leukocidin, kinases dan hyaluronidase).
TEKS
160
Faktor ketiga adalah toksin yang dihasilkan oleh S. aureus, yang befungsi
merusak dan melisiskan membran sel host (haemolysins, leukotoxin and
leukocidin). Faktor keempat adalah adanya eksotoksin yang merusak
jaringan host atau merangsang timbulnya gejala penyakit (SAE-G, TSST-1,
exfoliatin toxin, dan Panton–Valentine leukocidin / PVL). Faktor kelima
adalah resistensi natural terhadap banyak antimicrobial.1,5
Stafilokokus berkembang menjadi resisten terhadap methicillin
melalui berbagai mekanisme. Karakteristik utama dalam mekanisme
resistensi ini adalah dengan didapatkannya gen mecA. Didapatnya gen mecA
ini kemungkinan melalui sebuah mobile genetic element, yang dikenal
sebagai staphylococcal cassette chromosome mec (SCCmec), dari coagulase-
negative staphylococci. Hingga saat ini diperkirakan terdapat setidaknya
lima tipe SCCmec (SCCmec I–V). Kode gen mecA untuk varian penicillin
binding protein, memiliki afinitas yang lemah dengan antibiotika β-lactam,
sehingga mengurangi aktivitas obat-obat golongan tersebut.5,6
Awalnya, MRSA dikaitkan secara eksklusif hanya dengan infeksi
yang didapat dari rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya. Belakangan
didapatkan MRSA pada kasus di komunitas yang dicurigai masih
berhubungan dengan fasilitas kesehatan. Hal ini yang mendorong
diperkenalkannya terminologi baru, yaitu community-acquired (CA)-MRSA
dan healthcare-associated (HA)-MRSA. Perbedaan karakteristik kedua jenis
MRSA ini dapat dilihat pada tabel 1.5
Teks
161
Dalam satu hingga dua dekade terakhir, epidemiologi MRSA telah
banyak mengalami perubahan. Hal ini menuntut klinisi untuk mengubah
persepsi dalam melihat infeksi oleh MRSA. Kemunculan dan penyebaran
MRSA telah banyak mengubah pendekatan klinisi dalam hal terapi
antibiotika empiris untuk kasus infeksi komunitas yang serius. Saat ini, pada
setiap infeksi serius yang potensial diakibatkan oleh kuman stafilokokus
telah dicurigai diakibatkan oleh MRSA, hingga kultur membuktikannya.6
Efek S. aureus pada saluran nafas terbentang dari infeksi
asimtomatis hingga pneumonia berat. Kolonisasi MRSA pada saluran nafas
bawah dapat terjadi pada berbagai setting kondisi paru dan daya tahan
tubuh host. Kolonisasi dapat terjadi pada pasien daya tahan tubuh lemah,
dengan riwayat penyakit paru kronis, misalnya pada PPOK atau penyakit
paru supuratif. Kolonisasi juga dapat terjadi akibat perusakan pertahanan
tubuh alami pasien, seperti pada intubasi endotracheal.1,6
Tabel 1. Perbedaan antara HA-MRSA dan CA-MRSA5
Karakteristik HA-MRSA CA-MRSA
Pasien tipikal Lansia, mengidap sakit kronis/kritis
Usia muda yang sebelumnya sehat, siswa, atlet professional, tentara
Lokasi infeksi Sering menimbulkan bakterimia tanpa sumber yang jelas
Luka paska pembedahan, ulkus terbuka, line infus,
Predileksi di kulit dan jaringan ikat, menyebabkan selulitis dan abses
Necrotizing community-acquired pneumonia,
TEKS
162
kateter urine
Ventilator-associated pneumonia
syok septik, infeksi tulang dan sendi
Transmisi Pada setting fasilitas kesehatan, penyebaran melalui kontak rumah jarang
Setting komunitas, dapat menyebar pada keluarga atau tim olahraga
Setting klinis Pasien rawat inap. Kasus dari pelayanan primer biasanya pada infeksi jaringan ikat dan urine
Pasien rawat jalan atau komunitas
Riwayat medis Riwayat kolonisasi MRSA, infeksi atau pembedahan, rawat inap sebelumnya atau nursing home, penggunaan antibiotika, dialysis, kateter permanen
Tanpa riwayat medis yang signifikan atau kontak dengan fasilitas kesehatan
Virulensi Gen PVL jarang ditemukan Gen PVL sering didapatkan
Suseptibilitas Sering resisten multiple-drug, sehingga pilihan antibiotika terbatas
Masis suseptibel pada banyak antibiotika
Pneumonia akibat MRSA
HCAP, HAP, dan VAP
Pasien yang menderita pneumonia stafilokokal saat tinggal pada
nursing home (HCAP) atau saat dirawat di rumah sakit (VAP atau HAP),
biasanya terinfeksi oleh HA-MRSA. Pasien-pasien ini biasanya pasien lansia
Teks
163
tau pasien yang memiliki riwayat penyakit kronis atau komorbid. Bakterimia
pada kasus-kasus tersebut bianya terjadi lambat (rerata onset 9 hari setelah
onset pneumonia). Pneumonia akibat HA-MRSA ini memiliki angka kematian
yang tinggi (lebih dari 50%) walaupun sudah mendapatkan terapi yang tepat
dan awal.7
Ketepatan diagnosis etiologi pneumonia nosocomial masih sangat
rendah bila dihubungkan dengan MRSA sebagai etiologi. Foto polos dada
hanya memiliki akurasi 68%. Kultur darah yang positif hanya didapatkan
pada 5%-15% kasus HAP dan 24%-36% pada kasus VAP. Sampling
mikrobiologis endotracheal hanya memiliki nilai 40% dibandingkan biopsi
paru, terlebih lagi hanya 15% sampel yang memenuhi kriteria kultur saluran
nafas bawah (≥25 WBC per field dan ≤10 epithelial cells per field).5,7,8
Prosedur diagnostik lain yang lebih invasive juga memiliki masalah
tersendiri. Kriteria diagnostic untuk konsentrasi bakterial semikuantitatif
dari secret daluran nafas bawah (≥103 cfu/mL untuk specimen protected
brush dan >104/mL untuk specimen bronchoalveolar lavage/BAL). Selain itu,
pengelolaan specimen ini tidak dapat segera dilakukan, sehingga
memperpanjang waktu tunggu hasil.5
Di masa yang akan datang, beberapa pemeriksaan yang lebih
mutakhir dan praktis diperlukan untuk membantu meningkatkan
keberhasilan diagnosis etiologi VAP atau HAP. Suatu tes dengan teknik
microarray-based untuk mendeteksi PVL bakteri, entero-toksin stafilokokal,
dan superantigen telah terbukti berguna untuk mendeteksi keberadaan
TEKS
164
MRSA pada specimen. Hal ini perlu pembuktian lebih lanjut dengan jumlah
pasien yang lebih banyak. Molecular-technique–based rapid tests untuk
mendeteksi PVL, mecA, dan SCCmec type IV sedang dalam penelitian dan
diharapkan dapat menjadi terobosan untuk mendapatkan teknik rapid-
diagnostic yang baik, sehingga penanganan lebih terarah dan dapat
menurunkan angka mortalitas akibat MRSA.7,8
CAP
Pneumonia pada pasien usia muda yang sebelumnya dalam kondisi
sehat dengan diawali gejala influenza-like illness dan ditandai dengan gejala
respirasi berat, hemoptysis, demam tinggi, leukopenia, kadar C-reactive
protein yang sangat tinggi (1400 g/L), hipotensi, dan ronsen dada
menunjukkan infiltrat alveolar berbentuk kavitas multilobular (Gambar 2),
dapat menuntun kita mencurigai infeksi oleh CA-MRSA. Usia muda telah
disepakati sebagai salah satu karakteristik patognomonis pneumonia oleh
infeksi CA-MRSA. Riwayat influenza atau influenza-like illness yang
mendahului didapatkan pada 75% kasus.1,3,5
Teks
165
Gambar 2. Foto ronsen dada dan CT scan dada pasien usia muda dengan
community-associated methicillin-resistant Staphylococcus aureus
pneumonia
Tingkat keparahan pneumonia akibat CA-MRSA cukup tinggi. Lebih
dari 80% pasien yang dirawat inap memerlukan perawatan di ruang intensif,
62% memerlukan intubasi, 46% mendapat pemasangan chest-tube, dan 29%
dari seluruh kasus yang dirawat inap meninggal. Pada penelitian
mikrobiologis yang dilakukan di Amerika Serikat bagian selatan dalam bulan
Desember 2006 hingga Januari 2007, didapatkan 10 kasus CA-MRSA
pneumonia. Enam dari 10 pasien tersebut meninggal dalam 3,5 hari
perawatan. Seluruh specimen dengan PVL positif dan membawa gen
SCCmec type IVa. Seluruh isolat resisten terhadap β-lactams dan
erytromicin.9
Angka insidens MRSA CAP adalah 0,51-0,64 kasus per 100.000. Dari
penelusuran 74 artikel, dilaporkan 114 kasus MRSA CAP. Influenza like
TEKS
166
symptoms didapatkan pada lebih dari 40% kasus. Angka kematiannya
mencapai 44,5%. Lama rawat inap berkisar antara 8 hari hingga 38 hari,
dengan lama rawat di ruang intensif 7 hari hingga 19 hari.3
Diagnosis klinis CAP akibat infeksi oleh CA-MRSA sering sulit.
Beberapa kondisi patognomonis yang dihubungkan dengan infeksi oleh CA-
MRSA adalah masa prodromal influenza-like, hemoptysis, keluhan respirasi
berat, demam tinggi, leukopenia, hipotensi, dan foto ronsen dada
menunjukkan infiltral multilobular, yang dapat juga memberi gambaran
kavitas. Kecurigaan akan infeksi oleh CA-MRSA juga dapat dilihat dari
kelompok populasi berisiko (anak umur <2 tahun, atlit olah raga yang
mengandalkan kontak fisik, pengguna narkoba suntik, pria homoseksual,
personil militer, tinggal pada tempat penampungan atau tempat rehabilitasi,
dokter bedah hewan, peternak babi atau mereka yang kontak dengan ternak
yang terkolonisasi.5
Terapi Pneumonia MRSA
Hal pertama dan terpenting dalam aspek terapi adalah memberikan
terapi tepat dalam waktu sedini mungkin. Hal ini telah dibuktikan secara luas
untuk kasus infeksi oleh HA-MRSA oleh banyak peneliti. Kollef dan Ward
mendapatkan penurunan angka kematian dari 60,8% menjadi 33,3% apabila
antibiotika yang tepat diberikan segera pada kasus VAP. Kumar, dkk. juga
menemukan bahwa pada pasien dengan syok septik, penundaan pemberian
antibiotika berhubungan dengan peningkatan mortalitas 6,3%. Kim, dkk.
Teks
167
juga mendapatkan hal serupa. Pada penelitiannya, Kim, dkk. menunjukkan
bahwa penundaan pemberian terapi pada pasien bakterimia oleh MRSA
serta tidak ter-eradikasinya fokal infeksi berhubungan dengan peningkatan
risiko kematian pasien.11
Selama bertahun-tahun, vancomycin menjadi satu-satunya
antibiotika pilihan untuk kasus pneumonia oleh MRSA. Angka keberhasilan
terapi ini memang masih sangat mengecewakan. Pneumonia MRSA
(sebagian besar kasus HA-MRSA) dan methicillin-suceptible S. aureus (MSSA)
yang diobati dengan vancomycin masih memiliki angka kematian yang cukup
tinggi (50% dan 47%), sementara kasus pneumonia oleh MSSA yang diobati
dengan β-lactam hanya memiliki angka kematian 5%.1
Beberapa hal yang menyebabkan kegagalan terapi dengan
vancomycin adalah ukuran molekul yang relatif besar dan kemampuannya
yang rendah dalam menembus alveolar lining fluid (ALF) dan menuju
makrofag alveolar. Hal ini menyebabkan konsentrasi obat di ALF hanya
seperenam konsentrasi plasma. Usaha meningkatkan penetrasi vancomycin
dengan meningkatkan konsentrasi pada serum (15-20 mg/mL) juga pernah
diuji coba. Hasilnya masih tetap sama dengan sampel yang mendapatkan
vancomycin pada dosis standar (5-15 mg/mL). Keterbatasan efikasi
vancomycin juga berhubungan dengan menurunnya aktivitas bakterisidal
obat tersebut terhadap kuman yang mimiliki MIC vancomycin yang lebih
tinggi (≥1,0 mg/mL). Sementara upaya meningkatkan dosis pemberian akan
TEKS
168
berhubungan dengan gangguan ginjal, terutama apabila diberikan bersama
obat dengan sifat nefrotoksik.6
Obat lain yang telah disetujui oleh FDA untuk penatalaksanaan
pneumonia oleh MRSA adalah linezolid. Linezolid memiliki farmakokinetik
paru yang lebih baik dibandingkan vancomycin (AUC/MIC pada ALF hingga
mencapai 120, Cmax/MIC di ALF adalah 16,1, dan konsentrasi di ALF
melewati MIC linezolid untuk MRSA).7
Dua penelitian randomized clinical trials (RCT) yang dilakukan oleh
Rubinstein, dkk. dan Wunderink, dkk. dengan menggunakan protokol yang
identik berusaha membandingkan vancomycin dengan linezolid untuk terapi
VAP dan HAP stafilokokal. Pada penelitian pertama, pasien dirandomisasi
untuk mendapatkan linezolid (600 mg iv setiap 12 jam) plus aztreonam (1-2
g iv setiap 8 jam) atau vancomycin (1 g iv setiap 12 jam) plus aztreonam (1-2
g setiap 8 jam). Angka keberhasilan terapi 66% pada kelompok linezolid
berbanding 68% pada kelompok vancomycin. Sementara pada penelitian
kedua didapatkan hasil yang berbalik. Angka kesembuhan pada kelompok
linezolid sebesar 68% dibandingkan 65% pada kelompok vancomycin.
Sementara untuk outcome klinis, kedua RCT ini memberikan hasil yang
sebanding. Outcome klinis pada kelompok linezolid lebih baik secara
signifikan dibandingkan pada kelompok vancomycin. Hasil kedua RCT ini juga
masih menjadi perdebatan oleh para ahli, dalam hal metodologinya.3,10
Setelah kita melihat hasil-hasil penelitian di atas, keputusan untuk
memilih terapi harus segera dibuat. Berdasarkan uraian di atas, linezolid
Teks
169
tidak lebih inferior dibandingkan vancomycin dalam dosis standar yang
sudah lebih dulu dikenal sebagai terapi MRSA. Beberapa jurnal ada yang
memilih memberikan vabcomycin dengan dosis yang lebih besar dari dosis
acuan (dosis loading 15 mg/kg dan selanjutnya 15-20 mg/mL), dengan
pertimbangan pada pasien usia muda dengan kondisi ginjal yang masih baik,
pada kasus pneumonia MRSA dengan MIC vancomycin ≤0,5 mg/mL.
Sementara untuk pasien pneumonia MRSA dengan MIC vancomycin ≥1,0
mg/mL, dengan riwayat gangguan ginjal, atau yang mendapatkan obat lain
dengan efek nefrotoksik, linezolid 600 mg setiap 12 jam lebih dipilih sebagai
terapi.7
Perkembangan pengobatan untuk infeksi MRSA secara umum
memang masih berjalan lambat. Hingga tahun 2015, hanya telavancin yang
cukup menjanjikan dalam terapi infeksi MRSA pada kasus pneumonia
nosokomial. Telavancin merupakan antibiotika golongan lipoglycopeptide
dengan aktivitas melawan kuman-kuman pathogen gram positif yang poten.
Dalam 2 penelitian uji klinis fase 3, telavancin tidak lebih inferior
dibandingkan vancomycin untuk kasus HAP akibat pathogen gram positif.
Pada kasus infeksi oleh kuman S. aureus dengn MIC vancomycin >1,0
mg/mL, telavancinmemberikan angka kesembuhan yang lebih tinggi
dibandingkan vancomycin. Klirens obat ini pada darah cukup tinggi, sehingga
berhubungan dengan peningkatan serum kreatinin dan angka mortalitas
pada kasus dengan riwayat gangguan ginjal sebelumnya. Pertimbangan
mengenai keuntungan dan risiko harus dibuat dengan seksama sebelum
TEKS
170
menggunakan telavancin pada kasus pneumonia akibat strain MRSA dengan
MIC vancomycin tinggi.12
Pada kasus CAP berat (memerlukan perawatan di ruang intensif,
infiltrate necrotizing atau kavitas, atau empyema), terapi empiris dengan
antibiotika untuk MRSA direkomendasikan oleh IDSA tahun 2011, tanpa
harus menunggu hasil kultur. Pemberian vancomycin 15-20mg/kg/dosis i.v
setiap 8-12 jam, atau linezolid 600mg setiap 12 jam, atau clindamycin 600
mg setiap 8 jam, direkomendasikan selama 7-21 hari. Pada kasus bakterimia
persisten, identifikasi dan menghilangkan fokus infeksi menjadi target
utama bersama pemberian antibiotika alternatif (daptomycin kombinasi
dengan beberapa antibiotika lain, quinupristin-dalfopristin, TMP-SMX,
linezolid, dan telavancin).7
Ringkasan
Terjadi peningkatan kejadian pneumonia akibat infeksi CA-MRSA
dan HA-MRSA. Infeksi HA-MRSA biasanya terjadi pada pasien tua dengan
penyakit kronis/kritis dan terjadi pada setting rumah sakit. Bentuk lain dari
MRSA adalah jenis pathogen yang memiliki virulensi lebih tinggi, sering
memproduksi toksin (termasuk toksin PVL), serta timbul pada komunitas.
MRSA komunitas ini sering mengenai pasien usia muda dengan angka
mortalitas tinggi. Beberapa karakteristik klinis dapat dipakai petunjuk dalam
mencurigai MRSA sebagai penyebab pneumonia pada setting komunitas
maupun tempat pelayanan kesehatan. Keberhasilan vancomycin dalam
Teks
171
menghadapi MRSA masih mengecewakan. Alternatif lain yang dapat
dijadikan pilihan adalah linezolid. Sementara kombinasi dengan clindamycin
juga dapat dipertimbangkan.
Daftar Pustaka
1. Rubinstein E, Kollef MH, Nathwani D. Pneumonia Caused by
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. CID 2008;46: S378-385
2. Vardakas KZ, Matthaiou DK, Falagas ME. Incidence, characteristics
and outcomes of patients with severe community acquired-MRSA
pneumonia. Eur Respir J 2009; 34: 1148–1158
3. Tadros M, Williams V, Coleman BL, McGreer AJ, Haider S, et al.
Epidemiology and Outcome of Pneumonia Caused by Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) in Canadian Hospitals.
PLoS ONE 2013; 8(9): e75171
4. Pantosti A, Venditti M. What is MRSA? Eur Respir J 2009; 34: 1190–
1196
5. Defres, S, Marwick C, Nathwani D. MRSA as a cause of lung
infection including airway infection, community acquired
pneumonia and hospital-acquired pneumonia. Eur Respir J 2009;
34: 1470-1476
6. Nakou A, Woodhead M, Torres A. MRSA as a cause of community-
acquired pneumonia. Eur Respir J 2009; 34: 1013–1014
TEKS
172
7. Liu C, Bayer A, Cosgrove SE, Daum RS, Fridkin SK, et al. Clinical
Practice Guidelines by the Infectious Diseases Society of America
for the Treatment of Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus
Infections in Adults and Children. CID 2011; 52: 1-38
8. American Thoracic Society Documents. Guidelines for the
Management of Adults with Hospital-acquired, Ventilator-
associated, and Healthcare-associated Pneumonia. Am J Respir Crit
Care Med 2005;171:388-416
9. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell GD, et
al. Infectious Diseases Society of America/American Thoracic
Society Consensus Guidelines on the Management of Community-
Acquired Pneumonia in Adults. CID 2007;44:S27-72
10. Wunderink RG, Cammarata SK, Oliphant TH, Kollef MH.
Continuation of a randomized, double-blind, multicenter study of
linezolid versus vancomycin in the treatment of patients with
nosocomial pneumonia. Clin Ther 2003; 25:980–92.
11. Peyrani P, Ramirez J. What Is the Best Therapeutic Approach to
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus Pneumonia? Curr Opin
Infect Dis. 2015;28(2):164-170
12. Sandrock CE, Shorr AF. The Role of Telavancin in Hospital-Acquired
Pneumonia and Ventilator-Associated Pneumonia. CID 2015;
61(S2): S79–86
Teks
173
ACINETOBACTER PNEUMONIA
Ni Wayan Candrawati
Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pendahuluan
Acinetobacter merupakan bakteri yang banyak ditemukan di alam dan di
lingkungan rumah sakit. Secara umum bakteri ini tidak bersifat patogen
terhadap manusia, tetapi dapat menyebabkan infeksi pada penderita
dengan penurunan fungsi imun. Spesies Acinetobacter yang paling sering
terisolasi dari manusia adalah Acinetobacter baumannii dan Acinetobacter
lwoffii. Infeksi saluran nafas yang disebabkan oleh Acinetobacter spp
merupakan hal yang relatif umum terjadi pada penderita yang dirawat di
ICU.1 Acinetobacter spp bertanggung jawab pada 6% kasus ventilator
associated pneumonia (VAP) antara tahun 1992-1997 di Amerika Serikat.
Acinetobacter spp menyebabkan 7% kasus pneumonia nosokomial di
intensive care unit (ICU) pada tahun 2003 dibandingkan tahun 1986 yaitu
4%. Pneumonia komunitas akibat Acinetobacter spp juga dapat terjadi pada
populasi berisiko.2 Berdasarkan data pola bakteri dan kepekaan bakteri
terhadap antibiotika di RSUP Sanglah periode Juli-Desember 2014
didapatkan bahwa Acinetobacter baumannii merupakan bakteri yang paling
banyak ditemukan pada spesimen biakan sputum (18%) dan di ruangan
ICU,RTI, burn unit, NICU. (3) Antibiotika pilihan untuk Acinetobacter spp
masih terbatas karena resistensi alami terhadap berbagai jenis antibiotika.
TEKS
174
Antibiotika yang paling efektif adalah karbapenem, komponen sulbaktam
dari ampicillin sulbactam dan polimiksin.4
Epidemiologi
Acinetobacter spp dapat tumbuh dengan mudah di alam dan diisolasi dari
berbagai bahan di seluruh dunia. Acinetobacter spp paling sering ditemukan
di tanah dan air juga pada binatang. Kuman ini juga diisolasi dari makanan
(termasuk makanan rumah sakit), peralatan ventilator, peralatan suction,
pompa infus, wastafel, troli stainless, bantal, matras, air keran, rel tempat
tidur, humidifier, dispenser sabun, dan sumber lainnya. Pada manusia,
Acinetobacter spp telah diisolasi pada berbagai media kultur. Kolonisasi
Acinetobacter spp pada kulit orang dewasa sehat terjadi sekitar 40%, dengan
angka kejadian yang lebih tinggi pada petugas rumah sakit dan pasien.1
Traktus respiratorius merupakan lokasi kolonisasi yang paling penting
dan paling sering. Kolonisasi didapatkan dari hidung, nasofaring dan
trakeostomi. Kejadian kolonisasi meningkat selama dirawat di ICU.2
Berdasarkan data pola bakteri dan kepekaan bakteri terhadap antibiotika di
RSUP Sanglah periode Juli-Desember 2014 didapatkan bahwa Acinetobacter
baumannii merupakan bakteri yang paling banyak ditemukan pada
spesimen biakan sputum (18%) dan di ruangan ICU,RTI, burn unit, NICU.3
Spesies Acinetobacter yang paling sering menyebabkan bakteremia adalah
A. Baumannii, dan dapat ditemukan sebagai patogen tunggal maupun
sebagai bagian dari bakteremia polimikroba.1
Teks
175
Prevalensi infeksi Acinetobacter semakin meningkat. Faktor risiko
Acinetobacter hospital-acquired pneumonia (AHAP) dan Acinetobacter
ventilator-associated pneumonia (AVAP) yang dikumpulkan dari berbagai
penelitian yaitu penggunaan antibiotika sebelumnya (ceftazidime,
imipenem, flurokuinolon), operasi saraf, trauma kepala, imunosupresi,
sepsis sebelumnya, penyakit paru kronik, usia tua, penggunaan alat invasif
(selang endotrakea dan gaster), lamanya dirawat di RS, dan lamanya
menggunakan ventilasi mekanik.1,2
Pneumonia komunitas akibat
Acinetobacter jarang terjadi, namun pasien yang kemungkinan terinfeksi
yaitu perokok, diabetes, atau penyakit paru obstruktif kronis.2
Patogenesis
Acinetobacter masih merupakan patogen oportunistik yang menyebabkan
infeksi serius pada host imunokompromis. Organisme ini merupakan
patogen lemah namun memiliki beberapa karakteristik yang dapat
meningkatkan virulensi strain yang terlibat dalam infeksi yaitu (i) adanya
kapsul polisakarida yang terbentuk dari L-rhamnose, D-glucose, D-glucuronic
acid, dan D-mannose, yang menyebabkan permukaan strain lebih hidrofilik
walaupun hidrofobisitas strain Acinetobacter lebih tinggi pada isolat dari
kateter atau selang trakea; (ii) properti adesi sel epitel manusia pada
fimbriae dan/atau kapsul polisakarida; (iii) produksi enzim yang dapat
merusak jaringan lemak; dan (iv) peran toksik komponen lipopolisakarida
dinding sel dan adanya lipid A.1
TEKS
176
Mekanisme Resistensi Antibiotika
Acinetobacter merupakan genus yang memiliki kemampuan untuk
mengalami resistensi terhadap antibiotika dengan cepat, kemungkinan
akibat pajanan jangka panjang organisme penghasil antibiotika di lingkungan
tanah. Kemampuan ini ditambah penggunaan antibiotika secara luas di
lingkungan rumah sakit menyebabkan Acinetobacter berkembang menjadi
patogen nosokomial.1 Acinetobacter memiliki berbagai mekanisme resistensi
dan jarang beberapa mekanisme ada dalam isolat yang sama, seperti yang
tampak pada tabel 1.2
Tabel 1. Mekanisme resistensi antibiotika pada spesies Acinetobacter2
Mekanisme Antibiotika
Betalaktamase (AmpC
sefalosporinase)
Ceftazidim dan sefalosporin
spektrum luas
Mutasi DNA topoisomerase Kuinolon
Enzim pemodifikasi aminoglikosida Aminoglikosida
Pompa efluks Aminoglikosida, kuinolon, tetrasiklin,
trimetoprim
Elemen genetik mobil Mengandung gen yang resisten
terhadap banyak klas
Perubahan protein membran luar Imipenem
Teks
177
Diagnosis
Pasien AHAP atau AVAP memiliki tampilan klinis yang hampir sama dengan
pasien HAP atau VAP akibat patogen nosokomial yang lainnya. Diagnosis
VAP umumnya rumit sebab sulitnya membedakan infeksi dengan kolonisasi.
Diagnosis AHAP dan AVAP harus berdasarkan klinis yang ditunjang radiologis
dan mikrobiologis.2
Acinetobacter tumbuh pada media biakan rutin dan akan tampak
koloni dengan permukaan yang halus berbatas tegas, mukoid dan tidak
berpigmen (kuning sampai abu-abu). Acinetobacter pada pewarnaan gram
menunjukkan kokobasil gram negatif, bersifat aerob namun dapat tumbuh
pada kondisi anaerob seperti pada media biakan darah. 5
Terapi
Antibiotika pilihan untuk Acinetobacter spp masih terbatas karena resistensi
alami terhadap berbagai jenis antibiotika. Antibiotika yang paling efektif
adalah karbapenem, komponen sulbaktam dari ampicillin sulbactam dan
polimiksin. Nefrotoksisitas yang signifikan dari polimiksin (colistin)
membatasi penggunaannya secara intravena, sehingga diperlukan
pemberian dosis yang tepat dan monitoring ketat fungsi ginjal.2,4
Penggunaan colistin secara inhalasi dapat diberikan pada Acinetobacter
multiresisten, namun farmakokinetik, farmakodinamik dan dosis yang
optimal dari regimen colistin aerosol ini masih belum jelas.2
TEKS
178
Terapi infeksi serius oleh Acinetobacter sebaiknya diberikan dalam
bentuk terapi kombinasi berdasarkan hasil uji sensitivitas antibiotik.
Pendekatan terapi terbaik untuk mengatasi infeksi Acinetobacter
multiresisten adalah kombinasi antibiotik yang memberikan hasil sinergis
yaitu kombinasi antara carbapenem, colistin, rifampin, atau
ampicillin/sulbactam.5 Terapi empiris sebelum data mikrobiologi tersedia
harus diberikan berdasarkan patogen yang paling mungkin dan antibiogram
lokal. Kombinasi dua terapi empiris (dua obat parenteral atau satu
parenteral dan satu inhalasi) dapat dipertimbangkan pada pasien sakit kritis
yang kemungkinan terinfeksi patogen multiresisten.2
Pencegahan
Kemampuan Acinetobacter untuk bertahan jangka panjang pada lingkungan
rumah sakit memungkinkan untuk terjadinya outbreak sehingga diperlukan
tindakan untuk mencegah hal ini terjadi. Tabel 2 menampilkan pencegahan
transmisi Acinetobacter di lingkungan rumah sakit.6
Tabel 2. Pencegahan transmisi Acinetobacter di lingkungan rumah sakit6
Periode Penentuan Risiko
Menentukan prevalensi Acinetobacter pada fasilitas atau unit spesifik
Mengidentifikasi populasi berisiko tinggi
Menjamin adanya pengukuran preventif yang tepat
Surveilens Mikroba
Teks
179
Mendeteksi angka insidens
Mengikuti perubahan pola resistensi antibiotika, mengidentifikasi
terjadinya strain multi-resisten dan pan-resisten
Antibiotic Stewardship
Menjamin penggunaan antibiotika empiris yang tepat dan singkat
Optimalisasi pemilihan dan dosis antibiotika untuk pengobatan strain
multiresisten obat
Kebersihan Tangan
Meminimalkan transmisi horizontal Acinetobacter
Penggunaan hand rub berbahan dasar alkohol lebih dipilih
dibandingkan sabun dan air
Indikasi termasuk penggunaannya sebelum dan sesudah kontak
dengan pasien, sesudah kontak dengan lingkungan sekitar pasien dan
setelah mengganti sarung tangan
Pencegahan Standar dan Kontak
Meminimalkan kontaminasi tangan dan pakaian petugas kesehatan
dengan menggunakan sarung tangan dan gaun pelindung
Optimalisasi penempatan pasien, baik dengan memisahkan pasien
yang rentan atau mengelompokkan pasien dengan strain yang sama
Desinfeksi Permukaan di Lingkungan Sekitar Perawatan Pasien
TEKS
180
Desinfeksi harian permukaan yang sering disentuh dan desinfeksi
menyeluruh semua permukaan yang secara klinis penting setelah
pasien pulang untuk mengurangi transmisi
Penggunaan desinfektan yang disetujui dengan konsentrasi dan waktu
kontak yang tepat
Monitoring rutin dengan umpan balik untuk memperbaiki performa
Desinfeksi Peralatan Medis Mobile
Desinfeksi semua peralatan jika berganti pasien
Tentukan dengan jelas siapa yang bertanggung jawab untuk desinfeksi
sesuai tipe alat, desinfeksi yang adekuat untuk peralatan tertentu
memerlukan pelatihan khusus
Penggunaan desinfektan yang disetujui dengan konsentrasi dan waktu
kontak yang tepat
Monitoring rutin dengan umpan balik untuk memperbaiki performa
Ringkasan
Acinetobacter merupakan bakteri yang banyak ditemukan di alam dan di
lingkungan rumah sakit. Secara umum bakteri ini tidak bersifat patogen
terhadap manusia, tetapi dapat menyebabkan infeksi pada penderita
dengan penurunan fungsi imun. Acinetobacter merupakan genus yang
memiliki kemampuan untuk mengalami resistensi terhadap antibiotika
dengan cepat, kemungkinan akibat pajanan jangka panjang organisme
Teks
181
penghasil antibiotika di lingkungan tanah. Kemampuan ini ditambah
penggunaan antibiotika secara luas di lingkungan rumah sakit menyebabkan
Acinetobacter berkembang menjadi patogen nosokomial. Antibiotika yang
paling efektif adalah karbapenem, komponen sulbaktam dari ampicillin
sulbactam dan polimiksin. Terapi infeksi serius oleh Acinetobacter sebaiknya
diberikan dalam bentuk terapi kombinasi berdasarkan hasil uji sensitivitas
antibiotik. Kemampuan Acinetobacter untuk bertahan jangka panjang pada
lingkungan rumah sakit memungkinkan untuk terjadinya outbreak sehingga
diperlukan tindakan untuk mencegah hal ini terjadi.
Daftar Pustaka
1. Bergogne-Bèrèzin E, Towner K. Acinetobacter spp. as nosocomial
pathogens: microbiological, clinical, and epidemiological features. Clinical
Microbiology Review. 1996; 9(2): p. 148-65.
2. Hartzell J, Kim A, Kortepeter M, Moran K. Acinetobacter pneumonia: a
review. MedGenMed. 2007; 9(3).
3. Budayanti N, Tarini N, Fatmawati N, Yuliandari P, Mayura P. Pola bakteri
dan sensitivitas bakteri periode Juli-Desember 2014 Denpasar; 2016.
4. ATS. Guidelines for the management of adults with hospital-acquired,
ventilator-associated, and healthcare-associated pneumonia. Am J Respir
Crit Care Med. 2005; 171: p. 388-416.
5. Doughari H, Ndakidemi P, Human I, Benade S. The ecology, biology and
pathogenesis of Acinetobacter spp. : an overview. Microbes Environ.
TEKS
182
2011; 26(2): p. 101-12.
6. Bennet J, Dolin R, Blaser M. Mandell, Douglass, and Bennett's principles
and practice of infectious diseases. 8th ed. Canada: Elsevier, Saunders;
2015.
Teks
183
PNEUMONIA ATIPIKAL
Ni Wayan Candrawati
Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pendahuluan
Bakteri atipikal sering menjadi penyebab pneumonia disamping bakteri
tipikal. Pneumonia atipikal yang sering disebabkan oleh Mycoplasma
pneumonia, Chlamydia pneumonia, Legionella spp.1 Gambaran klinis
pneumonia atipikal yaitu gejala demam, batuk non produktif dan gejala
sistemik (nyeri kepala, mialgia); pemeriksaan fisik ronki basah tersebar;
gambaran radiologis infiltrat interstisial jarang terjadi konsolidasi;
laboratorium leukositosis ringan, sediaan apus gram, biakan sputum atau
darah tidak ditemukan.2 Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan
bakteri atipik yaitu deteksi antigen enzyme immunoassays (EIA), polymerase
chain reaction (PCR), uji serologi (cold agglutinin, uji fiksasi komplemen
untuk M.pneumoniae, micro immunofluorescence untuk C.pneumoniae,
antigen dari urin untuk Legionella).1 Antibiotik pilihan untuk Mycoplasma
pneumonia, Chlamydia pneumonia, Legionella spp. adalah golongan
makrolid baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin) dan fluorokuinolon
respirasi (levofloksasin, moksifloksasin).3
TEKS
184
Prevalensi
Pasien dengan gejala CAP, sekitar 50%, sulit ditentukan patogen penyebab
secara mikrobiologis dan peran patogen atipikal tergantung pada alat
diagnostik yang digunakan. Sebagian pasien CAP mengalami infeksi
kombinasi patogen respirasi tipikal (Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis) dan atipikal yang tidak
dapat didiagnosis inisial dengan spesimen klinis yang tersedia. Survey
menunjukkan patogen respirasi atipikal semakin meningkat frekuensinya
dalam menyebabkan penyakit, berkisar antara 6-20% pada pasien rawat
jalan sampai ≥40% diantara pasien CAP rawat inap. Peran patogen atipikal
pada CAP di Eropa sekitar 25% dan 22% di Amerika Serikat. 4
Gambaran Klinis
Kuman atipik sering menjadi penyebab CAP bersamaan dengan kuman
tipikal. Untuk membedakan pneumonia atipikal dengan tipikal dapat dilihat
pada tabel 1.2
Tabel 1. Perbedaan gambaran klinis pneumonia atipikal dan tipikal 2
Tanda dan gejala Pneumonia atipikal Pneumonia tipikal
Onset Gradual Akut
Suhu Kurang tinggi Tinggi, menggigil
Batuk Non produktif Produktif
Teks
185
Sputum Mukoid Purulen
Gejala lain Nyeri kepala, mialgia,
sakit tenggorokan,
suara parau, nyeri
telinga
Jarang
Gejala di luar paru Sering Lebih jarang
Apusan gram Flora normal atau
spesifik
Kokus gram (+) atau (-)
Radiologis Patchy atau normal Konsolidasi lobar
Laboratorium Leukosit normal kadang
rendah
Lebih tinggi
Gangguan fungsi hati Sering Jarang
Pada Legionella, dapat terjadi hemoptisis ringan (bercak darah pada
sputum), nyeri dada, gejala gastro intestinal (diare, mual, muntah, nyeri
perut), demam (>39oC), hiponatremia (Na serum <130meq/L), hematuria,
proteinuria, abnormalitas radiologis terjadi pada hari ketiga sakit, sering
terjadi efusi pleura.5
Perlukah Mengobati Bakteri Atipikal pada CAP?
Perlunya antibiotik untuk mengcover patogen atipikal masih kontroversial.
Walaupun tidak banyak penelitian yang menunjukkan pentingnya terapi
antibiotik untuk patogen atipikal, namun pentingnya mengobati infeksi
Legionella telah lama ditetapkan. Penelitian placebo-kontrol dan random
TEKS
186
membandingkan azitromisin, tetrasiklin dan penisilin menunjukkan
L.pneumophila memiliki angka survival lebih baik setelah diberikan terapi
antibiotika. Database Medicare menunjukkan survival yang berbeda secara
siginifikan antara pasien CAP yang diberikan flurokuinolon atau β-laktam
plus makrolid dibandingkan dengan β-laktam saja.1
Legionella
Spesies Legionella bersifat aerob, basil gram-negatif yang tidak tumbuh pada
media biakan bakteriologis rutin. Media khusus yang diperlukan yaitu
buffered charcoal yeast extract media, dan membutuhkan waktu 3-5 hari
untuk tumbuh.5
Legionella teridentifikasi sebagai penyebab CAP berat, namun
perannya pada penyakit ringan-sedang masih kontroversial.4 Mortalitas
akibat Legionnaires' disease komunitas berkisar antara 16-30% jika tidak
diobati atau diobati dengan antibiotik inaktif, mortalitas akibat Legionnaires'
disease nosokomial mencapai 50% pada pasien dengan penyakit penyerta.
Perbaikan metode diagnostik sehingga diagnosis dapat ditegakkan lebih
awal dan adanya terapi yang lebih awal menyebabkan mortalitas dapat
diturunkan menjadi kurang dari 10% pada pasien Legionellosis komunitas.6
Legionellosis merujuk pada 2 sindrom klinis yang disebabkan oleh
bakteri Legionella yaitu Legionnaires’ disease (sindrom pneumonia yang
lebih sering akibat spesies Legionella) dan pontiac fever (penyakit febris akut
Teks
187
yang dapat sembuh sendiri yang dikaitkan dengan spesies Legionella).
Periode inkubasi untuk Legionnaires' disease berkisar antara 2-10 hari.7
Transmisi Legionella pada manusia melalui beberapa cara yaitu
inhalasi aerosol, inhalasi atau menelan tanah di pot, aspirasi air yang
terkontaminasi Legionella, kemungkinan kolonisasi orofaring oleh
L.pneumophila, instilasi langsung ke paru saat manipulasi traktur
respiratorius, infeksi Legionella dikaitkan dengan air hujan. Transmisi dari
orang ke orang belum ditemukan.7
Faktor risiko terjadinya pneumonia Legionella antara lain merokok,
penyakit paru kronis, usia tua, transplantasi dan imunosupresi lain
(penggunaan glukokortikoid, inhibitor TNFα). Mekanisme pertahanan host
utama terhadap legionella adalah cell-mediated immunity yang mirip
dengan patogen intraseluler lain. imunitas humoral memainkan peran
pertahanan host kedua terhadap infeksi Legionella. Antibodi spesifik IgM
dan IgG terdeteksi beberapa minggu setelah terinfeksi.5
Faktor virulensi Legionella yaitu: 8
Memiliki gen dot (defective organelle trafficking) dan icm (intracellular
multiplication) yang bertanggung jawab untuk menghindari fusi
fagosom-lisosom
L.pneumophila membentuk pori pada membran lipid sejumlah sel yang
memungkinkan substansi dengan berat molekul kecil mampu masuk ke
dalam sel, selanjutnya replikasi intraseluler Legionella difasilitasi oleh
lokus multiplikasi intrasel (Lgn-1) dan Mip
TEKS
188
Legionella juga mampu menjadi resisten terhadap antibiotika melalui
produksi beta laktamase
Legionella memproduksi sejumlah eksotoksin termasuk hemolisin,
sitotoksin, deoksiribonuklease, ribonuklease dan berbagai protease
Legionellaceae juga memproduksi endotoksin lipopolisakarida lemah;
bagian karbohidrat dari lipopolisakarida ini dapat mengaktivasi jalur
komplemen klasik
Faktor virulensi lain yaitu flagela dan antigen permukaan yang dikenali
oleh monoklonal antibodi 2
Legionellaceae sangat mudah beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan.
Patogen seperti ini dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama di
lingkungan sehingga cenderung menjadi virulen. 8
Manifestasi klinis infeksi Legionella khas namun tidak ada yang
merupakan patognomonic atau spesifik. Sehingga tes laboratorium khusus
untuk Legionella harus dilakukan pada semua pasien yang MRS karena CAP.
Kultur Legionella spp merupakan tes laboratorium yang paling penting. Tes
antigen urin merupakan tes cepat, sensitif, spesifik dan murah, namun
hanya berguna untuk diagnosis infeksi L.pneumophila tipe 1 (penyebab 90%
infeksi Legionella komunitas di Amerika Serikat). Pada pasien terduga infeksi
Legionella, direkomendasikan pemeriksaan kultur dari spesimen respirasi
yang tepat dan tes antigen urin.5
Penatalaksanaan
Teks
189
Makrolid generasi baru, seperti klaritromisin dan azitromisin menunjukkan
aktivitas in vitro yang baik terhadap patogen atipikal dan ditoleransi lebih
baik dibandingkan eritromisin. Sehingga agen ini sering digunakan tunggal
atau kombinasi dengan β-laktam sebagai terapi empiris pada CAP.
Doksisiklin dapat digunakan sebagai alternatif makrolid jika data untuk
pengobatan Legionella masih terbatas. 3
Alternatif lain adalah menggunakan satu fluorokuinolon generasi
terbaru (levofloksasin 750mg, gemifloksasin, moksifloksasin) yang lebih
efektif dibandingkan fluorokuinolon generasi lama (ciprofloksasin dan
ofloksasin) terhadap patogen atipikal. Fluorokuinolon generasi terbaru juga
memiliki aktivitas yang bagus terhadap S.pneumoniae bahkan terhadap
strain yang resisten terhadap penisilin. Obat ini memiliki spektrum yang luas
terhadap patogen respirasi tipikal dan atipikal sehingga dapat digunakan
sebagai obat ideal untuk mengatasi CAP terutama pada daerah dengan
resistensi makrolid tinggi.3,9
Ringkasan
Pneumonia atipikal sering disebabkan oleh Mycoplasma pneumonia,
Chlamydia pneumonia, Legionella spp. Gambaran klinis pneumonia atipikal
yaitu gejala demam, batuk non produktif dan gejala sistemik (nyeri kepala,
mialgia); pemeriksaan fisik ronki basah tersebar; gambaran radiologis
infiltrat interstisial jarang terjadi konsolidasi; laboratorium leukositosis
ringan, sediaan apus gram, biakan sputum atau darah tidak ditemukan.
TEKS
190
Legionella teridentifikasi sebagai penyebab CAP berat, periode
inkubasi 2-10 hari, transmisi dari lingkungan ke manusia. Faktor risiko
terjadinya pneumonia Legionella antara lain merokok, penyakit paru kronis,
usia tua, transplantasi dan imunosupresi lain. Mekanisme pertahanan host
utama terhadap legionella adalah cell-mediated immunity. Memiliki
beberapa mekanisme yang menyebabkan menjadi virulen.
Direkomendasikan pemeriksaan kultur dari spesimen respirasi yang tepat
dan tes antigen urin.
Antibiotik pilihan untuk pneumonia atipikal adalah golongan makrolid
baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin) dan fluorokuinolon respirasi
(levofloksasin, moksifloksasin). Doksisiklin dapat digunakan sebagai
alternatif makrolid.
Daftar Pustaka
1. Bartlett J. Is activity against “atypical” pathogens necessary in the
treatment protocols for community-acquired pneumonia? issues with
combination therapy. Clin Infect Dis. 2008; 47: p. 232-6.
2. PDPI. Pneumonia komunitas: pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia. 2nd ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2014.
3. Mandell L, Wunderink R, Anzueto A, Bartlett J, Campbell G, Dean N, et al.
Infectious disease society of America/American thoracic society
consensus guidelines on the management of community-acquired
pneumonia in adults. Clin Infect Dis. 2007; 44: p. 27-72.
Teks
191
4. Blasi F. Atypical pathogens and respiratory tract infections. Eur Respir J.
2004; 24: p. 171-81.
5. Yu V. Legionella pneumophila (Legionnaires' Disease). In Mandell G,
Bennett J, Dolin R. Mandell, Douglas, and Bennett's Principles and
Practice of Infectious Diseases 5th edition. Philadelphia: Churchill
Livingstone; 2000. p. 2424.
6. Benin A, Benson R, Besser R. Trends in legionnaires disease, 1980-1998:
declining mortality and new patterns of diagnosis. Clin Infect Dis. 2002;
35: p. 10-39.
7. Castor M, Wagstrom E, Danila R. An outbreak of Pontiac fever with
respiratory distress among workers performing high-pressure cleaning at
a sugar-beet processing plant. J Infect Dis. 2005; 191: p. 1530.
8. Roy C. Trafficking of the Legionella pneumophila phagosome. ASM News.
1999; 65: p. 416.
9. Plouffe J. Importance of atypical pathogens of community-acquired
pneumonia. Clin Infect Dis. 2000; 31: p. 35-9.
TEKS
192
PNEUMONIA PADA IMMUNOCOMPROMISE
I Ketut Agus Somia
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar
PENDAHULUAN
Immunokompromise merupakan keadaan abnormalitas dari sistim
imunitas yang di dapat atau congenital. Pasien mmunokompromise berisiko
tinggi mengalami infeksi yang berat dan mengancam jiwa. Pada beberapa
dekade terakhir terjadi peningkatan populasi immunokompromise akibat
peningkatan pemakaian obat-obat imunosupresif pada keganasan, penyakit
autoimun, penyakit kronis dan juga akibat peningkatan kasus HIV/AIDS.
Paru-paru merupakan salah satu organ yang sering mengalami infeksi pada
pasien dengan imunokompromise baik karena infeksi virus, bakteri, jamur
dan parasit. Manifestasi klinis pneumonia pada pasien immunokompromise
sangat bervariasi, cendrung berat dan fatal. Oleh karena itu diagnosis dini
yang akurat, penatalaksanaan yang cepat dan tepat sangat penting dalam
menekan morbiditas dan mortalitas pneumonia yang sangat tinggi pada
pasien immunokompromise.
Teks
193
ETIOLOGI
Penyebab pneumonia yan paling sering pada pasien
immunokompromise berkaitan dengan penyakit imunokompromise yang
mendasari. 1,2
Gambar 1. Etiologi Pneumonia pada immunocompromised
PATOGENESIS
Kondisi imunokompromise terjadi oleh karena tiga faktor yaitu:
defek fagosit, defek immunoglobulin dan defek imunitas seluler.1,2
Immunocompr
Defek Fagosit Defek Defek Sel-T
Anemia aplastik
Neutropenia post
chemotherapy
Agammaglobulinemi
a Multiple
myeloma
AIDS
Solid organ
transpant
S. Aureus
P. aeruiginosa
Aspergillus
S. pneumoniae
H. influenza
P. carinii
M.
Tuberculosis
C. Neoformans
TEKS
194
Defek fagosit
Sel sel mononuclear terdiri dari monosit, makrofag dan neutrofil
merupakan fagosit yang berperan melindungi tubuh dari bakteri dan jamur.
Sel-sel ini akan bermigrasi ke tempat infeksi, membunuh mikroorganisme,
dan mengeleminasi debris selular. Disamping itu fagosit mononuclear
memproduksi regulator-regulator dan menyajikan antigen pada limfosit dan
membantu menginisiasi dan mengkoordinasi respon imun. Defek kuantitas
fagosit yang paling sering dijumpai adalah neutropenia, yang sering dijumpai
pada leukemia akut, kegagalan sumsum tulang, atau pada pasien yang
mendapat kemoterapi keganasan. Defek kualitatif fagosit menyebabkan
masalah yang sama seperti neutropenia yaitu infeksi bakteri yang berulang,
berat dan fatal. 1,2
Defek antibodi
Terdapat 3 cara antibodi melindungi tubuh dari mikroorganisme yaitu: 1,2
1. Neutralisasi: dimana ikatan antara antibody dengan virus sebelum
masuk dan bereplikasi dalam sel. Neutralisasi juga dapat terjadi
pada bakteri yang bereproduksi dalam sel.
2. Opsonisasi: antibody meliputi permukaan bakteri menstimulasi sel-
sel fagosit untuk mencerna dan membunuh bakteri. Opsonisasi
Teks
195
merupakan cara yang efektif terhadap bakteri extraseluler- dan
bakteri yang bermultiplikasi diluar sel sel host.
3. Aktivasi komplemen: meningkatkan opsonisasi dan dapat secara
langsung membunuh bakteri.
Pada pasien dengan antibodi yang terganggu berisiko menderita
pneumonia yang disebabkan oleh bakteri berkapsul, yang diselubungi oleh
kapsul polisakarida yang menghambat fagositosis oleh makrofag dan
neutrofil. Opsonisasi bakteri tersebut dengan antibodi atau komplemen
sangat diperlukan sebelum fagosit secara efisien mencerna dan membunuh
bakteri tersebut.
Defek pada imunitas yang diperantai oleh sel (sel-T)
Sel T dapat dibagi menjadi 3 klas fungsional: 1,2
- Sel TC (CD8) yang membunuh sel yang terinfeksi oleh pathogen
(terutama virus) yang bereplikasi dalam sitoplasma sel host.
- Sel TH1 (CD4) yang mengaktivasi makrofag dan kemudian
menghancurkan pathogen seperti M tuberculosis dan P carinii,
yang berada dalam vesikel makrofag
- Sel TH2 (CD4) yang mengaktifkan sel-sel B untuk memproduksi
antibodies.
TEKS
196
Dengan demikian sel limfosit T berperan penting dalam imunitas
yang diperantari seluler dan humoral. Meskipun pasien dengan cell-
mediated immunodeficiency sangat rentan terhadap infeksi yang
disebabkan oleh bacteria, fungi, viruses, dan protozoa, namun yang
predominan adalah pathogen pathogen intracellular (cytoplasmic atau
vesicular) seperti mycobacteria, Nocardia asteroides, Legionella species, C
neoformans, H capsulatum, C immitis, varicella zoster virus, herpes simplex
virus, cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, P carinii, dan T gondii.
Imunodefisiensi Cell-mediated dapat terjadi primer - inherited—
atau acquired— sebagai akibat dari gangguan lain atau efek samping terapi .
Acquired cell-mediated immunodeficiency (AIDS) karena Infeksi human
immunodeficiency virus (HIV) merupakan jenis imunodefisiensi yang paling
sering ditemukan. Sel CD4 merupakan target infeksi HIV, deplesi sel-sel
jumlah CD4 berkaitan dengan derajat immunosupresi dan berhubungan
langsung dengan jenis infeksi paru yang terjadi.
Berikut akan dibahas secara ringkas manifestasi klinis, diagnosis
dan terapi pneumonia pada pasien imunokompromise, khususnya pada
pasien dengan HIV/AIDS.
PNEUMOCYSTIS JIROVECII (FORMERLY PNEUMOCYSTIS CARINII)
Teks
197
Pada infeksi HIV gambaran manifestasi PCP meliputi dispneu
progresif subakut, demam, batuk non produktif dan nyeri dada yang
memburuk dalam beberapa hari sampai minggu. Pada PCP ringan,
pemeriksaan paru dalam keadaan istirahat biasanya normal. Dengan
exercise, akan terjadi tachypnea, tachycardia, dan terdengar ronki kering
yang difus. Demam merupakan tanda yang sering dijumpai. PCP sering
disertai dengan koinfeksi candidiasis oral.4
Pada pemeriksaan laboratorium sering dijumpai hypoxemia dari
ringan ( tekanan oksigen arterial *pO2+ ≥70 mm Hg atau alveolar-arterial O2
difference, [A-a] DO2 <35 mm Hg), hipoksemia sedang ([A-a+ DO2 ≥35 adan
<45 mm Hg) dan hipoksemia berat ([A-a+ DO2 ≥45 mm Hg). Peningkatan
kadar lactate dehydrogenase >500 mg/dL tetapi tidak spesifik. 4
Pada foto polos dada tampak infiltrate interstitial yang simetris,
diffuse, bilateral yang memancar dari hilar membentuk gambaran kupu-
kupu. Walaupun demikian gambaran foto polos dada dapat normal pada
awal penyakit. Gambaran yang atipikal dapat berupa nodules, blebs dan
cysts, asymmetric, yang berlokasi di lobus atas, dan pneumothorak.
Pneumothorax spontan pada pasien HIV harus dicurigai karena PCP. Cavitas,
adenopaty intrathoracic dan efusi pleural jarang dijumpai, akan tetapi jika
tidak ditemukan pathogen lain dan keganasan, maka diagnosis alternative
PCP perlu dipkirkan. Hampir sekitar 13% sampai 18% PCP juga disertai
dengan tuberculosis (TB), sarcoma Kaposi atau pneumonia bacterial.12,4
TEKS
198
Diagnosis pasti ditegakkan dengan deteksi PCP dari specimen cairan
BAL atau sputum yang diinduksi. PCP dapat terdeteksi dengan pengecatan
giemsa, diff-quik, dan wright (dapat mendeteksi bentuk cystic dan trophic,
tapi tidak mengecat dinding cyst), pengecatan gomori methenamine silver,
gram-weigert, cresyl violet, dan toluidine blue ( dapat mengecat dinding
cyst). Polymerase chain reaction (PCR) specimen BAL memiliki senstifitas
yang tinggi dalam mendiagnosis PCP, namun kemampuan membedakan
dengan kolonisasi PCP masih belum jelas.4
Profilaksis primer, terapi dan profilaksis sekunder PCP4
Profilaksis Primer
Indikasi: pasien HIV remaja, dewasa termasuk hamil dan yang mendapat
ARV dengan kadar CD4 <200 cells/mm3, Pasien HIV dengan riwayat
kandidiasis oropharyngeal, Kadar CD4 cell <14% atau Riwayat dengan AIDS-
defining illness
Pilihan :
Trimethoprim-sulfamethoxazole
(TMP-SMX) 960 mg PO single
dose setiap hari
Alternatif:
TMP-SMX 1 DS PO 3 kali seminggu atau Dapsone 100 mg PO perhari atau 50 mg PO BID atau
Dapsone 50 mg PO per hari + (pyrimethamine 50 mg + leucovorin 25 mg) PO perminggu atau
(Dapsone 200 mg + pyrimethamine 75 mg + leucovorin 25 mg) PO per minggu atau
Teks
199
Aerosolized pentamidine 300 mg via Respigard II™ nebulizer setiap bulan atau
Atovaquone 1500 mg PO per hari dengan makanan atau
(Atovaquone 1500 mg + pyrimethamine 25 mg + leucovorin 10 mg) PO per minggu dengan makanan.
Profilaksis primer dihentikan bila terjadi peningkatan CD4 dari <200
cells/mm3 menjadi ≥200 cells/mm3 selama 3 bulan
PCP sedang atau berat ( lama terapi 21 hari)
Pilihan:
TMP-SMX (TMP 15–20 mg and
SMX 75–100 mg)/kg/day IV
setiap 6 jam atau 8 jam, diganti
PO setelah perbaikan klinis
Alternative :
Pentamidine 4 mg/kg IV sekali sehari perinfus paling sedikit 60 menit,dosis kemudian diturunkan menjadi 3 mg/kg IV sekali sehari atau
Primaquine 30 mg (base) PO sekali sehari + (Clindamycin [IV 600 q6h atau 900 mg setiap 8 jam] atau
[PO 450 mg setiap 6 jam atau 600 mg setiap 8 jam])
Pada PCP sedang atau berat diberikan kortikosteroid sesegera mungkin
setelah 72 jam mendapat terapi spesifik PCP
Dosis prednison
TEKS
200
Hari 1–5 : 40 mg PO BID
Hari 6–10 : 40 mg PO daily
Hari 11–21 : 20 mg PO daily
PCP Ringan sampai sedang ( lama terapi 21 hari
Terapi pilhan
TMP-SMX: (TMP 15–20 mg/kg/hari dan SMX 75–100 mg/kg/hari), diberikan PO dalam 3 dosis terbagi atau
TMP-SMX DS - 2 tablets TID
Terapi Alternatif:
Dapsone 100 mg PO perhari + TMP 15 mg/kg/perhari PO (3 dosis terbagi ) atau
Primaquine 30 mg (base) PO per hari + Clindamycin PO (450 mg setiap 6 jam atau 600 mg setiap 8 jam) atau
Atovaquone 750 mg PO BID dengan makanan
Profilaksis sekunder
Indikasi: pernah terinfeksi PCP
Pilihan:
TMP-SMX, 1 DS PO perhari atau
TMP-SMX, 1 SS PO perhari
Terapi alternative
TMP-SMX 1 DS PO 3 kali seminggu, atau
Dapsonec 100 mg PO per hari atau 50 mg PO BID atau
Dapsoneb 50 mg PO perhari + (pyrimethamine 50 mg + leucovorin 25 mg) PO perminggu atau
(Dapsoneb 200 mg + pyrimethamine 75 mg + leucovorin 25 mg) PO perminggu atau
Aerosolized pentamidine 300 mg via
Teks
201
Respigard II™ nebulizer per bulan atau
Atovaquone 1500 mg PO perhari dengan makanan atau
(Atovaquone 1500 mg + pyrimethamine 25 mg + leucovorin 10 mg) PO per hari dengan makanan
Indikasi menghentikan profilaksis sekunder:
CD4 meningkat dari <200 cells/mm3 menjadi 200 cells/mm
3 selama >3
bulan sebagai akibat pemberian ART atau
Jika PCP didiagnosis pada saat CD4 ≥ 200 cells/mm3, profilaksis
diteruskan seumur hidup tidak tergantung dari peningkatan CD4 akibat pemberian ART
Indikasi memulai lagi profilaksis sekunder:
CD4 turun kembali <200 cells/mm3 atau
Jika PCP rekuren pada CD4 ≥ 200 cells/mm3,maka profilaksis diberikan seumur hidup
TUBERKULOSIS
HIV merupakan factor risiko terbesar terjadinya TB. Pada pasien
HIV, TB lebih mudah menjadi aktif dan risiko mortalitas yang lebih besar.
HIV juga merupakan faktor risiko progresi TB laten menjadi aktif.
Manifestasi klinis TB pada HIV tergantung dari derajat berat
immunodefisiensi. Semakin berat imunodefisiensi, gambaran TB yang tipikal
dan adanya lesi kavitas akan semakin jarang dijumpai. Pada kondisi tersebut
TB lebih sering dijumpai pada lobus bawah. Inisiasi ARV pada pasien HIV juga
berisiko terjadi rekonstitusi imun unmasking (subclinical) TB dan TB IRIS
TEKS
202
paradoksikal pada pasien HIV- TB yang sudah menunjukkan perbaikan
dengan OAT.1,2,4
Pada pasien TB-HIV, perlu dicurigai terjadinya resistensi OAT bila:
pernah terpapar dengan obat TB yang resisten, tinggal di daerah prevalensi
TB resisten yang tinggi atau kejadian kasus baru resisten yang tinggi, BTA
sputum atau kultur sputum tetap positif setelah 4 bulan terapi, dan riwayat
sebelumnya putus OAT atau memakai OAT tidak dipantau secara langsung.4
PNEUMONIA BAKTERIAL
Pathogen bacterial yang menyebabkan pneumonia pada orang
dengan dan tanpa HIV adalah sama. Penyebab pneumonia komunitas yang
paling sering adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, dan
Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus. Sedangkan penyebab
pneumonia nosocomial adalah Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter
species, Klebsiella species, Escherichia coli dan Acinetobacter species. Pada
pasien HIV yang terinfeksi S pneumoniae, memiliki risiko mengalami
pneumonia 10-100 kali lebih tinggi dibandingkan tanpa HIV. Manifestasi
klinis dan radiologis pneumonia bacterial pada HIV adalah sama pada
dengan dan tanpa HIV. Pedoman diagnosis dan terapi pneumonia bacterial
pada individu tanpa HIV bisa diaplikasikan pada pasien HIV.4
Teks
203
PNEUMONIA HISTOPLASMA CAPSULATUM
Hampir semua kasus histoplasmosis primer terjadi melalui inhalasi
microconidia yang terbentuk pada fase miselium. Sering terjadi diseminasi
infeksi asimtomatik di luar paru-paru, dan imunitas seluler sangat penting
dalam mengendalikan infeksi. Ketika imunitas seluler terganggu, maka bisa
terjadi reaktivasi fokus laten infeksi yang sudah didapat beberapa tahun
sebelumnya.
Manifestasi klinis progressive disseminated histoplasmosis pada
pasien HIV meliputi demam, fatigue, penurunan berat badan dan
hepatomegali. Sekitar 50% pasien menunjukkan keluhan batuk, nyeri dada
dan sesak nafas. Pada pasien dengan kadar CD4 > 300 cells/mm3,
histoplasmosis sering terbatas pada saluran nafas yang umumnya ditandai
dengan batuk, nyeri dada dan demam.
Diagnosis ditegakkan dengan deteksi antigen Histoplasma dalam
darah atau urine dengan metode rapid yang sensitif untuk diagnosis
disseminated histoplasmosis dan acute pulmonary histoplasmosis, namun
kurang sensitive pada infeksi kronis paru-paru. Spesimen kultur H.
capsulatum dapat berasal dari darah, sumsum tulang, sekresi respirasi atau
dari tempat-tempat yang terinfeksi. 4
TEKS
204
Profilaksis primer, terapi dan profilaksis sekunder pada pneumonia Histoplasma capsulatum
4
Profilaksis primer diindikasikan pada pasien dengan CD4 < 150 sel/uL yang
berisiko tinggi karena paparan pekerjaan atau yang tinggal di daerah
hiperendemik (>10 kasus/100 pasien- tahun)
Pada kasus Acute pulmonary histoplasmosis pada pasien HIV dengan CD4
>300 cells/mm3 ditatalaksana seperti pasien non HIV
Pada kasus sedang sampai berat
Terapi Induksi
selama paling sedikit 2 minggu atau sampai terjadi perbaikan klinis
Terapi pilihan: Liposomal
amphotericin B at 3 mg/kg IV perhari
Terapi alternatif: Amphotericin B
lipid complex atau amphotericin B
cholesteryl sulfate complex 3 mg/kg
IV per hari
Terapi pemeliharan paling sedikit selama 12 bulan
Itraconazole 200 mg PO TID selama 3 hari, kemudian BID
Pada kasus Penyakit disseminasi yang kurang berat
Terapi induksi dan pemeliharaan
Teks
205
Terapi pilihan: Itraconazole 200 mg
PO TID selama 3 hari, dilanjutkan
200 mg PO BID selama 12 bulan
Alternatif : Posaconazole 400 mg PO
BID atau Voriconazole 400 mg PO
BID selama 1 hari, kemudian 200 mg
PO BID atau Fluconazole 800 mg PO
sehari
Terapi supresi jangka panjang ( profilaksis sekunder)
Indikasi :pasien severe disseminated atau infeksi CNS setelah terapi lengkap
12 bulan, relaps dengan terapi yang sesuai.
Terapi pilihan : Itraconazole 200 mg
PO setiap hari
Terapi alternatif: Fluconazole 400
mg PO setiap hari
Kriteria menghentikan terapi supresi jangka panjang: mendapat terapi azole
>1 tahun, dan kultur darah negative dan antigen Histoplasma serum <2
ng/mL, dan hitung CD4 >150 cells/mm3 selama 6 bulan pada respon dengan
ART
Indikasi memberikan lagi profilaksis sekunder: CD4 count <150 cells/mm3
PNEUMONIA CRYPTOCOCCUS NEOFORMANS
Sebagian besar infeksi cryptococcal pada pasien HIV disebabkan
karena Cryptococcus neoformans, tetapi kadang-kadang juga oleh
Cryptococcus gattii. Pneumonia cryptococcus sering menyebabkan infeksi
yang luas, berat dan disseminate, yang kebanyakan terjadi akibat reaktivasi
infeksi laten.
Infeksi Cryptococcus isolated pada paru ditandai dengan batuk dan
dispneu. Pneumonia Cryptococcus dapat juga tampak seperti acute
TEKS
206
respiratory distress syndrome dan menyerupai PCP. Diagnosis ditegakkan
dengan mikroskopis, deteksi antigen (CrAg) dan kultur. Terapi meliputi 3
fase yaitu induksi, konsolidasi dan pemeliharaan. 4
Terapi Pneumonia cryptococcus
Terapi Pneumonia cryptococcus
Terapi induksi (paling sedikit 2 minggu, dilanjutkan dengan terapi konsolidasi
Terapi pilihan Terapi alternatif
Liposomal amphotericin B 3–4 mg/kg IV per hari plus flucytosine 25 mg/kg PO QID atau
Amphotericin B deoxycholate 0.7–1.0 mg/kg IV per hari plus flucytosine 25 mg/kg PO QID
Amphotericin B lipid complex 5 mg/kg IV per hari plus flucytosine 25 mg/kg PO QID atau
Liposomal amphotericin B 3–4 mg/kg IV per hari plus fluconazole 800 mg PO/IV atau
Amphotericin B (deoxycholate 0.7-1.0 mg/kg IV per hari) plus fluconazole 800 mg PO/IV per hari, atau
Liposomal amphotericin B 3–4 mg/kg IV per hari atau
Amphotericin B deoxycholate 0.7–1.0 mg/kg IV per hari atau
Fluconazole 400 mg PO / IV per hari plus flucytosine 25 mg/kg PO QID atau
Fluconazole 800 mg PO /IV per hari plus flucytosine 25 mg/kg PO QID atau
Fluconazole 1200 mg PO / IV per hari
Terapi konsolidasi minimal 8 minggu
Pilihan: Alternative
Teks
207
Fluconazole 400 mg PO or IV
sekali sehari
Itraconazole 200 mg PO BID
Terapi pemeliharaan
Fluconazole 200 mg PO selama
paling sedikit 1 tahun
Terapi induksi berhasil bila terjadi perbaikan klinis dan kultur negative.
Terapi pemeliharaan dihentikan bila minimal 1 tahun dan infeksi
cryptokokkus asimtomatik dan kadar CD4 ≥100 cells/μL selama ≥3 bulan
dan HIV RNA tersupresi dengan ART.
Terapi pemeliharaan dimulai lagi bila CD4 ≤100 cells/μL
Terapi cryptococcis non CNS, Focal Pulmonary Disease dan Isolated
Cryptococcal Antigenemia:
Fluconazole 400 mg PO setiap hari selama 12 bulan
PNEUMONIA CYTOMEGALOVIRUS
Cytomegalovirus (CMV) merupakan virus DNA double-stranded
yang termasuk family virus herpes yang dapat menyebabkan penyakit pada
end-organ yang terlokalisir atau disseminata pada pasien HIV dengan
immunosupresi lanjut. Sebagian besar manifestasi klinis terjadi pada
individu yang sebelumnya terinfeksi dengan CMV (seropositive) kemudian
mengalami re-activasi dari infeksi laten atau re-infeksi dengan strain
terbaru. Individu yang terinfeksi terutama dengan jumlah CD4 <50
TEKS
208
cells/mm3, yang tidak mendapat atau gagal berespon dengan ART, kadar
CMV viremia yang tinggi dan kadar HIV RNA plasma yang tinggi (>100,000
copies/mL).4 CMV merupakan pathogen yang paling sering (> 50 %)
berhubungan dengan pneumonia viral pada pasien dengan
immunokompromise. Gambaran radiologis yang sering dijumpai adalah
infiltrate interstitial unilateral atau bilateral, konsolidasi alveolar, ground-
glass opacities dan nodular opacities. Beberapa tanda sering tumpang tindih
dengan PCP, walaupun efusi pleural lebih sering dijumpai pada pneumonia
CMV.1
Terapi pneumonia CMV dianjurkan memakai ganciclovir dan
foscarnet, namun lama terapi optimal belum jelas. Dianjurkan mengikuti
dosis seperti pada terapi retinitis CMV yaitu Ganciclovir 5 mg/kg IV setiap
12 jam selama 14–21 hari kemudian 5 mg/kg IV setiap hari atau Foscarnet
60 mg/kg IV setiap 8 jam atau 90 mg/kg IV setiap 12 jam selama 14–21 hari,
kemudian 90–120 mg/kg IV setiap 24 jam.4
PNEUMONIA VARICELLA
Penyebaran visceral virus varicella zoster biasanya terjadi pada
pasien HIV dengan jumlah CD4 < 200 sel/mm3 serta dapat menyebabkan
pneumonitis VZV. Gejala respirasi mungkin mendahului, bersamaan dengan
atau terjadi setelah timbulnya rash. Periode dari onset rash dan timbulnya
gejala respirasi adalah antara 0 – 6 hari. Terdapat korelasi antara gejala
Teks
209
respirasi yang baru muncul dengan pneumonia. Demam yang menetap dan
mulai timbulnya batuk pada saat erupsi lesi masih berlangsung, merupakan
indikator varicella pneumonia. Gambaran radiologis yang khas adalah
tampak infiltrate nodular yang diffuse yang cendrung diskret pada daerah
perifer dan bergabung di hilar dan basal paru-paru. Diagnosis pneumonia
varicella- zoster umumnya ditegakkan secara klinis. 3,4
Terapi Pneumonia varicella-zoster 4
Varicella berat dan komplikata
Acyclovir 10–15 mg/kg IV setiap 8 jam selama 7–10 hari
switch ke terapi oral famciclovir, valacyclovir,atau acyclovir setelah
defervescence jika tidak ada bukti keterlibatan visceral
Zoster dengan lesi kulit yang luas atau keterlibatan visceral
Acyclovir 10–15 mg/kg IV setiap 8 jam sampai terjadi perbaikan klinis
Switch ke terapi oral (valacyclovir 1 g TID, famciclovir 500 mg TID, atau
acyclovir 800 mg PO 5 kali sehari )— selama 10–14 hari bila pembentukan
lesi baru berkurang dan gejala serta tanda infeksi visceral VZV sudah
membaik
Kepustakaan
1. Zeng X, Zhang G. 2014. Imaging pulmonary infectious disease in immunocompromised patients. Radiology of Infectious Disease;1:37-41
2. Oh YW, Effmann EL, Godwin JD. 2000. Pulmonary Infections in Immunocompromised Hosts: The Importance of Correlating the
TEKS
210
Conventional Radiologic Appearance with the Clinical Setting. Radiology; 217:647–656.
3. Abba AA. 2005. Varicella Pneumonia in Adult. JK Practitioner;12:2:73-77.
4. NIH. 2015. Guidelines for Prevention and Treatment of Opportunistic Infections in HIV-Infected Adults and Adolescents. Available at http://aidsinfo.nih.gov/guidelines
Teks
211
PNEMONIA PADA USIA LANJUT
IGP Suka Aryana
Divisi Geriatri, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam, FK UNUD/RSUP Sanglah
PENDAHULUAN
Insiden pneumonia pada usia lanjut sangat tinggi dan kejadiannya akan
terus meningkat seiring peningkatan populasi usia lanjut. Angka morbiditas
dan mortalitas akibat pneumonia tinggi juga tinggi. Banyak pasien usia lanjut
dating ke ruang Gawat Darurat atau di rawat dirumah sakit akibat menderita
pneumonia. Tingginya kejadian ini dihubungkan dengan beberapa faktor
yang terjadi pada usia lanjut seperti: penurunan funggsi organ akibat proses
penuaan, factor ko-morbiditas yang sering ada, nutrisi, factor social,
psikologis dan lingkungan yang saling berinteraksi. Penurunan fungsi organ
akibat proses penuaan yang terjadi terutama pada organ respirasi seperti
penurunan refleks batuk, penurunan kemampuan silia saluran nafas untuk
membersihkan kotoran, kelemahan otot dinding dada serta penurunan
system kekebalan tubuh baik yang alami maupun didapat. Disfagia, serta
malnutrisi juga merupakan problem lain yang sering terjadi menjadi risiko
terjadinya pneumonia. Pada usia lanjut sering terjadi akumulasi penyakit
khronis degenerative seperti diabetes, PPOK, gagal jantung, kanker,
gangguan ginjal, stroke mengakibatkan risiko dan prognosis pneumonia
menjadi semakin buruk.
TEKS
212
Pnemonia pada usia dalam penatalaksanaannya menjadi lebih kompleks
tidak hanya permasalahan pada keterlambatan dalam diagnosis dan terapi,
cederung membutuhkan pemeriksaan penunjang lebih lengkap dan banyak,
risiko kejadian efek samping pengobatan, lama rawat yang semakin panjang.
Penanganan pnemonia membutuhkan tim interdisiplin dari berbagai
dimensi ilmu secara bersama-sama. Penatalaksanaan yang baik dengan
kerjasama tim secara interdisiplin diharapkan dapat memperbaiki outcome,
memperpendek lama rawat, menurunkan biaya, dan mencegah
kekambuhan pneumonia pada usia lanjut.
KLASIFIKASI
Usia lanjut ditentukan berdasarkan umur lebih atau sama dengan 60 tahun.
Hal ini didasarkan pada penurunan fungsi pada aspek sosiologi, tetapi yang
yang lebih berarti didasarkan pada konsep kerapuhan (frailty). Konsep ini
lebih mudah dipahami karena pada kondisi kerapuhan ini lebih mudah
terjadi komplikasi yang berat akibat adanya faktor pencetus seperti
pneumonia. Proses penuaan berdampak pada penurunan cadangan
fisiologis organ, adanya akumulasi penyakit jangka panjang sehingga
menurunkan kemampuan berespon atau peradaptasi terhadap adanya
stress. Kondisi frailty sangat penting untuk diidentifikasi sejak awal pada
pasien pneumonia sebagai predictor.sehingga klasifikasi pneumonia dibagi
menjadi 2 yaitu:
1. Pnemonia tanpa klinis frailty: pasien mandiri dengan tidak adanya
Teks
213
masalah social, mental atau komorbitas lain yang bermakna. Pada kondisi ini
penatalaksanaannya sama dengan usia dewasa.
2. Pnemonia dengan klinis frailty: pasien pneumonia pneumonia dengan
penurunan status fungsional dengan tingkat ketergantungan bermakna atau
terjadi penurunan status kognitif baik kronis maupun akut. Risiko outcome
yang dihasilkan sangat tergantung dari derajat akumulasi gangguan,
komorbiditas, polifarmasi, penurunan sensoris, serta nutrisi. Gangguan
fungsional seperti mobilitas, riwayat jatuh, aktifitas sehari-hari,
inkotenensia, gangguan neuropsikiatri seperti penurunan kognitif, mood,
serta sarana social yang mendukung juga sangat berperan menentukan
prognosis pasien. Kita dapat menbagi menjadi 2 fenotif besar sesuai dengan
derajat dari frailty.
a) Frailty ringan: pasien ini melakukan aktivitas dasar kehidupan sehari-hari
secara mandiri atau “hampir” mandiri namun terkait pneumonia dapat
disertai ganguan fungsional dan/atau kognitif akut dan meningkatkan
derajat komorbiditas dan ketergantungan pada instrumen kehidupan sehari-
hari dan biasanya tidak diidentifikasi sebagai pasien yang lemah. Pasien
biasanya datang dengan keluhan berupa langkah yang melambat atau
gangguan fungsi fisik dan/atau kognitif. Terkait penanganannya, identifikasi
dini wajib dilakukan oleh karena dibutuhkan intervensi spesifik dalam
mempertahankan fungsi dan kualitas hidup.
TEKS
214
b) Pasien tua dengan kriteria klinis Frailty sedang hingga berat atau yang
termasuk kelompok pasien geriatri dimana pasien ini membutuhkan
bantuan atau ketergantungan untuk aktivitas sehari-hari dan probabilitas
yang lebih besar terkait bertanya komorbiditas, polifarmasi, demensia,
malnutrisi dan situasi risiko sosial. Sehubungan dengan pengambilan
keputusan, aspek tertentu dianggap penting seperti halnya derajat
ketergantungan karena hal ini berkaitan dengan etiologi, diagnostik invasif
dan prosedur terapeutik dan penempatan akhir pasien.
Kategorisasi pasien tua dengan pneumonia ini bertujuan untuk mengubah
model perawatan klasik yang secara umum bekerja satu dimensi dan
berpusat pda episode akut, tanpa melihat efek akibat penuaan dan
mengabaikan kondisi fungsional, kognitif, dan sosial sebagaimana yang
terjadi pada sindrom geriatri. Evaluasi terhadap aspek-aspek tersebut
membantu identifikasi derajat kelemahan pada pasien lansia dengan
pneumonia dan mengelompokkan dengan lebih baik risiko dan rencana
perawatan yang lebih spesifik terkait kebutuhan setiap pasien.
PRESENTASI KLINIS
Konsep umum
Usia dewasa muda dengan pneumonia biasanya mengalami gejala berupa
demam, leukositosis, dan infiltrat pada rontgen dada. Pada pasien lansia
akan sering hanya ditemukan infiltrat, yang tidak selalu disertai dengan
Teks
215
demam atau leukositosis. Terkait alasan ini, diagnosis pneumonia pada usia
tua, sangat bergantung pada interpretasi rontgen dada. Banyak telah
tertulis tentang gambaran radiologi pneumonia, mulai dari karsinoma
bronkogenik, reaksi obat, hingga gagal jantung. Sementara penyakit sistemik
dengan manifestasi paru selalu mendapat diagnosis banding kecurigaan
pneumonia, kondisi sistemik yang sering menyebabkan keraguan pada
pasien dengan kemungkinan pnemonia. Kebanyakan pasien ditransfer ke
rumah sakit dari rumah perawatan, dengan infiltrat paru, dengan atau tanpa
leukositosis, memiliki gagal jantung. Gagal jantung (CHF) mungkin
merupakan eksaserbasi gagal jantung yang ada sebelumnya atau mewakili
infark miokard dan berhubungan dengan CHF. Penyakit paru interstisial,
penyakit yang diinduksi obat, penyakit vaskuler kolagen, dan lain-lain,
semua perlu diperhitungkan selain CHF, sebagai diagnosis banding
pneumonia pada lansia.
Mayoritas pasien lansia dengan pneumonia mengalami batuk berdahak.
Namun, pasien lansia yang dehidrasi atau mengalami gangguan kemampuan
batuk mungkin memproduksi sedikit sputum atau tidak ada sama sekali.
Sedikit sputum mengarah pada pneumonia akibat virus atau atipikal jika
semua faktor seimbang. Sputum yang produktif tidak dapat membedakan
bronkitis kronik dengan eksaserbasi akut akibat pneumonia; sputum
mengandung darah dapat terjadi pada berbagai penyakit non-infeksius,
seperti emboli paru/ infark, stenosis mitral, dan keganasan, namun juga
terjadi pada pneumonia akibat penumokokus atau Klebsiella. Sputum pada
TEKS
216
penyakit legionnela dapat bersifat purulen atau mukoid [2,5].
Riwayat penyakit terdahulu
Riwayat, pada pasien dengan pneumonia, memberikan informasi yang
mengarah pada diagnosis pneumonia atau alternatif diagnosis lain terkait
keluhan pasien.
Bertanya pada pasien mengenai riwayat kontak dengan individu lain dengan
gejala serupa cukup berguna dalam wabah influenza atau NHAP akibat C.
pneumoniae. Jika pasien baru saja keluar dari perawatan di rumah sakit,
kemudian dirawat kembali dengan pneumonia dapat dipikirkan apakah itu
merupakan resolusi tidak komplit dari proses awal atau pasien mendapat
pneumonia selama perawatan sebelumnya yang sekarang bermanifestasi
sebagai pneumonia nosokomial. Riwayat kontak dengan individu yang lebih
muda dengan gejala pernapasan dapat dicurigai sebagai pneumonia
mycoplasma pada lansia. Seringkali, pneumoniae mycoplasma tidak
dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, semata karena usia pasien.
Pasien lansia sering dikunjungi dan mengunjungi orang yang lebih muda.
Para pelajar yang pulang dari sekolah, atau mungkin kontak dengan
tetangga atau teman dengan anak kecil, dan jika hal ini tidak dieksplor pada
pasien lansia dengan gejala mirip pneumonia akibat mycoplasma atau C.
pneumonia tidak cukup dipertimbangkan sebagai diagnosis banding. Sama
halnya, kontak dengan burung psittacine dapat dicurigai sebagai psittacosis.
Teks
217
Pasien lansia sering memiliki hewan peliharaan, dimana kebanyakan hewan
pelilharaan, mampu menularkan penyakit infeksius, biasanya tidak
menyebarkan patogen yang berkatian dengan pneumonia. Riwayat stroke
dapat menjadi pemicu episode pneumonia aspirasi berulang. Gangguan
refleks gag dan variasi penyakit esofagus yang luas juga berpengaruh pada
pasien terkait episode pneumonia aspirasi berulang, baik yang didapat di
komunitas, rumah perawatan, atau rumah sakit. Pasien dengan penyakit
paru yang sudah diderita sebelumnya, khususnya penderita bronkitis kronis,
rentan mengalami eksaserbasi bronkitis kronis serta pneumonia. Pasien
dengan riwayat perokok berat sebelumnya membuat mereka lebih mudah
terkena pneumonia, gagal jantung, dan karsinoma bronkogenik. Riwayat
pneumonia berulang mungkin secara kebetulan ditemukan, atau jika ada
alasan fisio-anatomi untuk aspirasi berulang, misalnya penyakit sistem saraf
pusat atau esofagus, kemudian berlanjut pada pneumonia mungkin saja
terjadi. Pasien dengan lupus eritematus sistemik (SLE), myeloma, dan
mereka dengan chronic lymphatic leukemia (CLL), HIV awal dan alkoholik,
semua merupakan pemicu pneumonia yang disebabkan organisme
enkapsulasi seperti Streptococcus pneumoniae and H. influenzae.
Kabanyakan pasien lansia memiliki masalah penurunan imunitas yang
membuat mereka rentan mengidap pneumonia. Pasien dengan kistik
fibrosis jarang bertahan hingga usia tua. Sebaliknya, mereka yang
mengalami bronkiektasis sering mencapai usia yang lebih panjang. Pasien
dengan pneumonia berulang dari lokasi anatomi yang sama dapat
TEKS
218
mengalami obstruksi endobronkial berulang. Pneumonia berulang dengan
lokasi anatomi yang sama harus dicurigai adanya karsinoma bronkogenik
dengan episode pneumonia post-obstruktif berulang yang tidak jelas.
Merupakan hal yang penting untuk memperoleh riwayat penyakit jantung
dan paru yang tepat yang menyerupai pneumonia untuk memastikan faktor
pemicu pneumonia pada lansia. Sangat penting pada lansia yaitu riwayat
penyakit paru interstisiil, apapun etiologinya. Membandingkan hasil rontgen
sebelumnya dengan yang terbaru biasanya akan mengklarifikasi penyebab
infiltrat pada paru. Riwayat penyakit kolagen vaskular, seperti remathoid
arthritis atau SLE, dapat menjelaskan infiltrate dan/atau efusi pleura yang
nampak pada rontgen dada. Riwayat radiasi pada mediastinum sebelumnya
mengarah pada kecurigaan pnemonitis akibat radiasi sebagai penyebab
rontgen dada yang abnormal. Riwayat pengobatan yang detail juga berguna,
dimana dapat diketahui obat yang mungkin menyebabkan fibrosis paru,
efusi pelura, infiltrat paru, penyakit paru interstisiil, dan edema non kardio-
pulmo. Riwayat adanya penyakit jantung sama pentingnya dengan riwayat
penyakit paru, Karena frekuensi CHF pada pasien lansia sangat tinggi. Pasien
mungkin mengalami eksaserbasi dari penyakit jantung yang telah diderita
sebelumnya, atau dapat mengalami gagal jantung akibat kejadian koroner
akut. Perburukan dari CHF yang pernah diderita sebelumnya dapat terjadi
dengan penyakit jantung koroner atau valvular. Sebagai tambahan pada
riwayat, rontgen dada menunjukkan kardiomegali, dengan atau tanpa efusi
pleura, dan terdapat tanda CHF pada pemeriksaan fisik. CHF merupakan
Teks
219
diagnosis yang paling menyerupai pneumonia pada pasien lansia. Dari
riwayatanya harus ditelusuri faktor pemicu emboli paru atau infark, yang
juga menyerupai pneumonia pada pasien lansia. Dari riwayat yang digali
secara teliti dapat diketahui adanya riwayat stasis sekunder yang
berkepanjangan hingga atau persalinan atau perjalanan yang terlalu lama.
Keganasan diasosiasikan dengan keadaan hiperkoagulasi yang juga memicu
pasien mengalami emboli paru. Penyakit sistemik lainnya juga dapat
berpengaruh pada paru baik secara langsung maupun tidak. Skleroderma
dapat menurunkan motilitas esofagus yang memicu terjadinya pneumonia
aspirasi, dan menyebabkan penyakit paru interstisiil yang menyerupai
pneumonia. Dalam menggali riwayat, harus diajukan pertanyaan yang
relevan terhadap gangguan yang memicu pneumonia.
Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik dada ditemukan adanya suara tambahan pada area
pneumonia. Suara napas yang keras dan tubular menandakan adanya
sekresi pada bronkus utama, dan bukan merupakan penanda diagnostik
pneumonia, namun dapat terjadi pada pneumonia. Suara redup pada basal
dapat menjadi penanda adanya karsinoma, CHF, efusi pleura akibat
keganasan atau proses intraabdomen, atau pneumonia bacterial. Efusi
pleura bilateral jarang terjadi, namun jika ada, etiologi adalah infeksi. Efusi
pleura bilateral dapat mengarah pada CHF sebagai diagnosis yang paling
memungkinkan. Penyakit legionnaires’ juga dapat disertai dengan efusi
TEKS
220
pleura unilateral. Pada pneumonia akibat H. influenza dapat ditemukan efusi
pleura rinan hingga sedang. Pneumonia pneumokokus dan pneumonia
klebsiella lebih sering menunjukkan empyema dibandingkan efusi pleura,
namun gejala klinis dalam hal auskultasi dada, akan sama. Redup juga
menandakan konsolidasi pada area lobus paru yang terkena.
Sedikit temuan fisik yang berhubungan dengan influenza. Karena influenza
merupakan proses intertisial, auskultasi dada senyap pada pneumonia
influenza primer. Jika terdengar rales, khususnya jika terlokalisir pada satu
segmen atau lobus pada seorang pasien dengan pneumonia viral, dan
disertai pula dengan pneumonia bakterial. Pada pneumonia mycoplasma,
terdapat perbedaan temuan klinis, misalnya temuan auskultasi, gambaran
rontgen dada, yang dapat menjadi petunjuk diagnosis. Pneumonia C.
pneumoniae tidak memiliki temua khas dari pemeriksaan fisik, dan hampir
menyerupai pneumonia mycoplasma dalam presentasi klinis, kecuali untuk
adanya laringitis. Laringitis dapat disebabkan oleh satu dari banyak virus
respiratori, namun virus- virus ini biasanya tidak menyebakan pneumonia
viral pada lansia. Hubungan antara pneumonia dan laringitis mengarah pada
pneumonia C. pneumniae sampai tidak terbukti, karena suara serak
merupakan kekhasan dari pneumonia C. pneumniae namun tidak untuk
penumonia M. pneumoniae.
Teks
221
Pemeriksaan penunjang
Seperti yang disebutkan sebelumnya, rontgen dada penting untuk
mengesampingkan kondisi yang menyerupai pneumonia dan
mengonfirmasi adanya pneumonia. Temuan lain pada rontgen dada dapat
meiliki signifikansi diagnostik yang penting seperti distribusi lesi secara
anatomis, penampakan lesi, apakah proses terjadi di alveolus atau
intertisial, apakah proses terbatas pada perihilar atatukah perifer, atau
apakah infiltrat terbatas pada segmen atau lobus atau mengabaikan segmen
anatomis paru. Pada semua pasien lansia dengan pneumonia harus
dilakukan kultur darah dan pemeriksaan darah lengkap selain rontgen dada.
Pemeriksaan lain yang harus dilakukan tergantung pada riwayat pasien,
pemeriksaan fisik atau rontgen dada.
Jika dicurigai pneumonia atipikal, maka harus dilakukan pemeriksaan serum
glutamic- oxaloacetic transaminase, serum glutamate pyruvate
transaminase, alkaline phosphatase dan serum phosphorus. Pada pssien
dengan batuk berdahak harus dilakukan pengecatan Gram dan kultur dahak
yang dikeluarkan. PAsien dengan bronkitis kronis tidak membutuhkan kultur
atau perwarnaan Gram untuk sputum, karena hasilnya dapat ditemukan
flora normal atau flora campuran, yang tidak berguna dalam menentukan
etiologi diagnosis spesifik. Untuk patogen spesifik, harus dilakukan
perhitungan titer pada fase akut dan konvalesen, bergantung pda pola
distribusi organ dan ada tidaknya bradikardi relatif. Pemeriksaan serologi
TEKS
222
spesifik dapat dilakukan untuk pemeriksaan Legionella, Mycoplasma
pneumoniae, atau C. pneumoniae. Pemisahan titer IgM dan IgG harus
dilakukan. Jika dicurigai Mycoplasma, makan titer agglutinin dingin dapat
dilakukan, dan paling sering meningkat pada awal dimulainya penyakit. Titer
agglutinin dingin sebanyak �64 paling mungkin disebabkan mycoplasma
daripada virus atau penyakit sistemik lainnya. Harus dilakukan perhitungan
titer spesifik IgM dan IgG C. pneumonia. Jika titer chlamydia dilakukan,
laboratorium dapat merespon dengan kombinasi hasil IgM/IgG, yang tidak
berguna, atau dengan titer C. trachomatis.S
Jika terdapat kontak dengan burung psittacine, maka dapat diambil titer
akut dan konvalesen untuk C. psittaci. Titer konvalesen sebaiknya diambil 6-
8 minggu setelah titer akut.Klinisi harus mengingat bahwa tidak semua
pasien menunjukkan peningkatan respon antibodi, dan terapi antimikrobial
dapat memudarkan atau menunda titer konvalesen. Peningkatan serum
transaminase mungkin menandakan penyakit legionnaires’ atau sebagai
alternatif CHF akibat kongesti pasif pada hati, atau infiltrate penyakit hati,
yang juga mempengaruhi paru. Hematuri mikroskopis pada pasien lansia
pria dapat mengarah pada benign prostatic hypertrophy (BPH), namun jika
tidak terjadi pada pasien pneumonia, dapat mengarah pada penyakit
legionnaires’. Diagnosis penyakit legionnaires’ dapat ditegakan dengan
pewarnaan direct fluorescent antibody (DFA) pada sputum, dengan hasil
yang rendah namun memberikan konfirmasi langsung pada diagnosis jika
hasilnya positif. DFA positif untuk Legionella pada sputum menurun dengan
Teks
223
cepat setelah dimulainya pemberian terapi antimikrobial. Oleh karena itu,
DFA harus diambil dari pasien yang dicurigai memiliki penyakit legionella
dengan sputum yang purulen, segera setelah dirawat inap, dan sebiaknya
sebelum dimulai terapi anti-mikrobial. Pada pasien yang dicurigai Legionella,
uji antigen legionella urin dapat dilakukan. Legionella antigenuria memakan
waktu satu hingga dua minggu untuk menjadi positif, namun menetap selam
berbulan-bulan setelah penyembuhan pneumonia legionella. Legionella
antigenuria merupakan uji konfirmasi retrospektif yang paling membantu,
namun terbatas manfaatnya pada awal dimulainya penyakit. Keterbatan
lainnya dari uji antigen legionella adalah hsilnya positif khasnya untuk
pneumophila serogrup 1 dan tidak positif untuk serogrup L. pneumophila
atau banyak spesies non-L. pneumophila yang menyebabkan penyakit
legionella. Klinisi harus melakukan tes lain yang akan membantu
menyingkirkan penyakiti non-infkesi yang menyerupai pneumonia
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Rontgen dada serial juga penting dalam mengevaluasi efikasi dari terapi
pasien atau kurangnya respon, yang mungkin mengindikasikan terapi
antimicrobial yang tidak sesuai atau adanya penyakit non-infeksius
menyerupai pneumonia. Setelah rontgen dada awal, pengulangan rontgen
dada 3-5 hari setelah inisiasi terapi antimicrobial yang sesuai sangat
bermanfaat. Jika pasien mulai membaik, rontgen ulangan biasanya tidak
diperlukan kecuali jika pasien gagal untuk sembuh secara komplit, atau jika
pneumonia memburuk atau kumat. Abnormalitas pada rontgen dada
TEKS
224
mungkin tetap tampak, khususnya pada pneumococcal pneumonia, selama
berbulan-bulan setelah perbaikan klinis. Rontgen dada berulang tidak
diperlukan selama pasien membaik secara klinis dan rontgen kedua telah
menujukkan perkembangan yang berarti.
Jika dicurigai adanya influenza, dapat dilakukan kultur virus dari sekresi
hidung atau orofaring, atau didiagnosis dari pemeriksaan serologi.
Wabahpneumonia akibat C. pneumonia di rumah perawatan paling baik
didiagnosis secara serologi menggunakan titer IgM dan IgG spesifik C.
pneumoniae titers yang dilakukan pada fase akut dan selama masa
konvalesen.
TERAPI ANTIMIKROBIAL
Pemilihan terapi antimrobial empiris untuk pneumonia yang didapat di
komunitas, rumah perawatan atau rumah sakit bergantung pada
perlindungan yang cukup terhadap patogen yang dicurigai. Namun, sebelum
dipilih terapi antimikrobial, pertimbangan lain harus dipikirkan. Pasien harus
ditanya terkait adanya alergi obat, khususnya reaksi terhadap penicillin dan
sulfonamides. Pasien dengan riwayat alergi penicillin harus ditanyakan
reaksi alerginya, untuk menetukan apakah itu merupakan reaski anafilaktoid
atau non-anafilaktoid. Pasien dengan riwayat alergi penicillin yang tidak
cukup jelas, atau yang reaksi alerginya berupa dema, lesi makulopapula
kemerahan, dapat diberikan antibiotik B-lactam. Pasien dengan riwayat
Teks
225
rekasi anafilaktoid tidak boleh diberikan antibiotik b-lactam namun
diberikan terapi dengan doxycycline, fluoroquinolone, monobactam, atau
carbapenem. Kecuali untuk trimethoprim–sulfamethoxazole, tidak ada
satupun antibiotik yang umum dipakai untuk pneumonia yang mengandung
gugus sulphonamide.
Pasien lansia dengan berbagai derajat hati dan fungsi hati, yang penting
dalam pemilihan antibiotik dan dosis. Pasien dengan penyakit hati berat
membutuhkan antibiotik yang sedikit dieliminasi dan diinaktivasi di hati
dalam dosis hariannya. Sebagia alternatif, pneumonia dapat diterapi dengan
antibiotik yang dieliminasi atau diinaktifasi terutama di ginjal. Karena tidak
terdapat tes yang bagus untuk mengecek fungsi hati, sebagiamana untuk
fungsi ginjal, klinisi harus melakukan penilaian klinis dalam mengurangi dosis
antimikrobial yang dieliminasi di hati. Insufisiensi hati ringan hingga sedang
dapat diterapi dengan aman menggunakan obat-obatan yang secara primer
dieliminasi atau diaktivasi di hati.
Jika antibiotik pilihan untuk mengobati pasien lansia dengan pneumonia
dielilminasi terutama melalu jalur ginjal, makan dosis hariannya harus
dikurangi seiring dengan menurunnya fungsi ginjal. Karena creatinine pada
pasein lansis tidak mewakili fungsi ginjal, penyesuaian dosis elminasi
antibiotik melalui ginjal harsu didasarkan pada perhitungan atau estimasi
creatinine clearance. Jika creatinine clearance pasien setengah dari individu
normal, makan dosis harian harus diturunkan setengahnya. Penyesuaian
TEKS
226
dosis dapat tercapai baik dengan mengurani dosis atau mempertahankan
interval dosis, atau mempertahankan dosis dan meningkatkan interval dosis,
atau dengan mengurangi dosis dan meningkatkan interval dosis dimana
dosis harian dikurangi sesuai dengan nilai creatinine clearance Pada pasein
dengan anuria akibat insufisiensi ginjal berat, penyesuaian dosis dapat
dialkukan berdasarkan creatinine clearance, atau sebagia alternatif, dapat
digunakan antibiotik dengan spektrum yang sesuai yang dieliminasi serta
diinaktivasi di hati. Dalam mengobati pasien dialysis, penting utnuk
mencatat apakah pasien menggunakan chronic ambulatory peritoneal
dialysis atau hemodialysis, karena antibiotik tidak dikeluarkan secara
seimbang pada setiap proses dialysis, dimana eliminasinya membutuhkan
perhitungan yang lebih kompleks. Klinisi harus mangacu pada standar
referensi dalam menentukan dosis antimicrobial dalam dialisis, atau
memiliki penyakit infeksius dan konsultasi ginjal sebagai paduan untuk obat-
obatan dosis spesifik pada pasien dengan dialysis peritoneal atau
hemodialisis.
Pasien lansia sering memiliki akses vena yang buruk, mengakibatkakn terapi
intravena, khususnya di rumah perawatan pasien menjadi sulit. Pasien yang
dirawat di rumah sakit dengan CAP atau mendapat pneumonia di rumah
sakit, dapat diterapi secara intravena, karena akses vena biasanya diperoleh
dari vena sentral atau vena seksi, jika diperlukan. Dahulu, rute pemberian
obat intramuscular diandalkan, khususnya pada fasilitas perawatan kronis,
yang memiliki kekurangan dalam tim intravena dan Kesulitan dalam
Teks
227
pemasangan jalur intravena pad a lansia. Kecuali untuk aminoglycosides dan
ceftriaxone, kebanyakan antibiotik yang digunakan untuk pneumonia tidak
diberikan secara intramuscular. Karena pasien lansia sering mengalami
penurunan masa otot, sulit dan tidak nyaman bagi pasien utnuk
mendapatkan terapi antimicrobial melalui jalur ini.
Karena kesulitan pemberian antimikroba secara intravena dan
intramuskular, telah terjadi peningkatan kecenderungan terapi
menggunakan antibiotik oral baik secara total maupun parsial. Pasien
dengan pneumonia nosokomial kebanyakan diterapi dengan antibiotik
intravena. Sebaliknya, pasien CAP yang dirawat inap biasanya dimulai
dengan terapi empiris antimikroba menggunakan antibiotik intravena, dan
pasien yang membaik setelah 48 jam diubah menjadi terapi antibiotik per
oral.
Terjadi peningkatan yang besar terkait program pergantian intravena
menjadi per oral pada rumah sakit yang merawat pneumonia serta penyakit
infeksi lainnya. Program perubahan terapi intravena menjadi per oral
memberikan manfaat farmakoekonomik yang penting pada sistem
pelayanan kesehatan., dan bermanfaat bagi pasien di rumah sakit. Terapi
antimikrobial oral menghapus kebutuhan akses vena dan pasien lebih cepat
dipulangkan dari rumah sakit. Melalui pengurangan atau penghapusan
antibiotik intravena, frekuensi phlebitis terkait terapi intravena berkurang.
Keuntungan farmakokinetik pada pasien sembuh dari pneumonia yang
TEKS
228
dipulangkan lebih awal dengan terapi antimikrobial oral tidak boleh
disepelekan. Terapi anti microbial oral tidak hanya penting dalam perawatan
pasien rawat inap dengan CAP namun secara khusus utnuk pasein dengan
pneumonia pda fasilitas perawatan kronis. Pasien NHAP merupakan
kelompok yang paling merasakan manfaat dari terapi anti mikrobial oral.
Tenaga kerja di rumah perawatan tidak siap sedia seperti di rumah sakit.
Populasi utama pasien adalah lansia dan memiliki masa otot yang terbatas
dan akses vena yang buruk. Pengobatan NHAP diselesaikan melalui rute oral
memberikan beberapa manfaat bagi pasien. Pengobatan NHAP awal dengan
antibiotik oral memberikan kesempatan pada pasien untuk tetap berada di
rumah perawatan dan menyelesaikan rangkaian terapi di sana. Pengobatan
awal NHAP dapat mencegah pasien ditransfer ke fasilitas perawatan tingkat
tiga untuk tujuan rawat inap, yang mungkin tidak diperlukan jika terapi
antimicrobial oral dimulai pada fasilitas perawatn kronis (Tabel 1).
Teks
229
Pemilihan terapi antibiotik empiris
Terapi empiris antimikroba harus didasarkan sesuai pathogen yang dicurigai,
yang berbeda menurut lokasi pneumonia diperoleh. Dokter harus mengenal
patogen yang paling mungkin diperoleh pasien dengan CAP, NHAP, atau NP,
untuk menentukan antimikroba sesuai dengan spektrumnya. Terapi
antimicrobial yang optimal yaitu yang tidak melewatkan patogen yang
penting dan juga tidak memberikan perlindungan berlebih terhadap
patogen yang diketahui maupun yang ternyata tidak ada.
Patogen yang bertanggung jawab untuk CAP yaitu Streptococcus
pneumoniae, H. influenzae, and Moraxella catarrhalis. K. pneumonia
TEKS
230
merupakan pertimbangan tambahan pada pasien dengan sirosis alkoholik..
Enterobacter, Serratia, Acinetobacter and Pseudomonas aeruginosa dapat
tidak diikutkan dalam perlindungan empiris pada pasien lansia dengan CAP.
Pneumonia aspirasi yang didapat dari komunitas diakibatkan oleh flora
anaerobik yang teraspirasi. Bakteri anaerobik dari atas pinggang, termasuk
flora orofaringeal, tidak membutuhkan perlindungan anti-Bacillus fragilis,
dan biasanya sensitif terhadap hamper semua antibiotik pilihan untuk
mengobati pneumonia.
Karena pneunonia aspirasi merupakan entitas klinis yang penting, dengan
mortalitas dan morbiditas yang menyertainya, sehingga bukan menjadi
pertibangan terapeutik yang penting. Sekitar 85% dari CAP diakibatkan oleh
bakteri patogen yang disebutkan di atas, menurut wilayah geografisnya, dan
15% sisanya disebabkan oleh patogen atipikal, seperti Legionella,
Mycoplasma, atau C. pneumoniae. Legionella dan C. pneumonia merupakan
penyebab pneumonia tipikal pada lansis yang paling sering, dan
Mycoplasma pneumonia relative sedikit pada kelompok usia ini [6].
Kebanyakan klinisi lebih suka memberikan terapi yang mencakup baik
patogen tipikal maupun atipikal dengan antibiotik empiris. Karena umunya
pasien lansia mengonsumsi banyak obat-obatan, polifarmasi menjadi
potensi masalah dalam interaksi antar obat.
Karena kombinasi terapi tidaklah lebih baik daripada monoterapi,
monoterapi lebih disukai atas dasar harganya yang murah dan
Teks
231
kemudahannya Kombinasi terapi yang telah digunakan dalam terapi CAP
meliputi cephalosporin generasi ketiga, biasanya ceftriaxone, plus
doxycycline atau macrolide. Pada rejimen parenteral, erythromycin atau
azithromycin telah banyak digunakan dan paling sering dikombinasikan
dengan ceftriaxone. Ceftriaxone, doxycycline atau quinolone untuk penyakit
respirasi merupakan rejimen monoterapi yang cukup popular. Ceftriaxone
saja (monoterapi) efektif melawan semua tipe patogen, namun tidak untuk
patogen atipikal. Ceftriaxone tidak memiliki batasan ekuivalen per oral
untuk pengaplikasiannya dalam program mengganti rejimen dari intravena
menjadi per oral. Makrolid sebiaknya tidak dipergunakan sebagai
monoterapi dalam mengobati CAP, karena sekitar 20% dari strain
Streptococcus pneumoniae resisten terhadap semua makrolid. Doxycycline
tersedia dalam bentuk intravena dan per oral, dan efektif melawan baik
patogen tipikal maupun atipikal. Keduanya ceftriaxone and doxycycline
efektif melawan hamper semua strains Streptococcus pneumoniae yang
resisten terhadap penicillin. Quinolones respiratoryyang sangsat aktif
melawan baik patogen tipikal maupuan atipikal yang menyebabkan CAP.
Karena ciprofloxacin relative inaktif melawan Streptococcus pneumoniae,
bahkan jika ia aktif melawan patogen atipikal, tidak disebut sebagai
‘quinolone respiratori’. Levofloxacin merupakan quinolone respiratori
pertama dan satu-satunya yang telah digunakan hamper secara luas. Saat
ini, quinolone respiratori lainnya, seperti gatifloxacin, ekuivalen dengan
levofloxacin dalam aktivitasnya melawan baik patogen tipikal maupun
TEKS
232
atipikal sebagaimana hampir semua strains pneumokokus yang resisten
terhadap penicillin. Quinolone respiratori ideal dalam program pergantian
dari intravena menjadi per oral. Karean bioavailabilitasnya yang sangat
tinggi, sebesar 99–100% untuk levofloxacin, antibiotik ini ideal tidak hanya
untuk program pergantian dari intravena menjadi per oral, namun juga
dalam pengobatan CAP dan NHAP ketika digunakan per oral saja.
Karena distribusi patogen NHAP hamper bersamaan dengan CAP, NHAP
harus diterapi dengan cara yang sama dengan CAP. Perlindungan empiris
pada NHAP haus ditujukan melawan Streptococcus pneumoniae, H.
influenzae, atau Moraxella catarrhalis. Seperti halnya CAP, pneumonia
aspirasi, penyebab NHAP yang umum, dapat diterapi dengan monoterapi
atau kombinasi terapi seperti yang disebutkan di atas. Karena monoterapi
oral bermanfaat pada HP, doxycucline atau quinolone respiratori merupakan
agen ideal untuk pengobatan NHAP. Ketidakmampuan untuk memasang
akses intravena, atau tertundanya pemasangan, sering terjadi saat transfer
pasien NHAP ke rumah sakit untuk pengobtan pneumonianya. Pemberian
anibiotik oral yang sesuai sedini mungkin pada pasien NHAP memberikan
manfaat pengobatan, dan menghilangkan kebutuhan transfer pasien ke
fasilitas perawatan tersier.
Pneumonia nosocomial disebabkan oleh bakteri basil aerob Gram-negatif
yang ditemukan di lingkungan rumah sakit. Perlindungan biasanya idlakukan
melawan P. aeruginosa karena merupakan organisme paling invasif yang
Teks
233
menyebabkan pneumonia di rumah sakit.
Pneumonia nekrosis akibat P. aeruginosa tidak umum diasosiasikan dengan
mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Antibiotik efektif melawan P.
aeruginosa biasanya efektif melawan bakteri basil aerob Gram-negatif yang
lain yang mungkin menyebabkan HP seperti Escherichia coli, K. pneumoniae,
atau Serratia marcescens. Terapi empiris yang sesuai dilakukan dengan
beberapa cara, tergantung pada ada tidaknya P. aeruginosa sebagai patogen
yang dicurigai. Jika pasien dating dengan pneumonia nekrosis yang
dikarakteristikan dengan kavitasi yang cepat pada gambaran rontgen dada
dan gejala klinis yang berat, maka kebanyakan klinisi lebih suka memberikan
perlindungan antipseudomonal ganda. Rejimen lain meliputi obat ganda
antipseudomonal empiris untuk rangkaian terapi selama 14 hari, apapun
etiologi dari NP. Sebagai alternatif, beberapa pusat perawatan lebih suka
memulai terapi dengan obat antipseudomonal ganda dan menghentikan
salah satu antibiotik setelah 72 jam, jika Pseudomonas tidak tampak secara
klinis atau terisolasi dari darah. Pendekatan lain untuk memulai terapi
dengan antibiotik tunggal antipseudomonal, dan tambahan
antipseudomonal kedua jika Pseudomonas tampak secara klinis atau
tumbuh dari aliran darah setelah 72 jam. Empat belas hari merupakan durasi
terapi biasa, tanpa melihat pilihan rejimen.
Pneumonia aspirasi nosokomial akibat sekresi orofaring yang teraspirasi
dan yang telah terkolonisasi oleh bakteri basil aerob Gram-negatif selama
TEKS
234
minggu pertama rawat inap. Bahan orofaring yang teraspirasi ini
mengandung organisme anaerob, seperti pada kasus pneumonia aspirasi
yang didapat dari komunitas, namun selain itu, juga mengandung bakteri
basil aerob Gram-negatif dari lingkungan rumah sakit. Karena organisme
anaerobik bukan merupakan pertimbangan penting pada pneumonia
aspirasi, terapi pneumonia nososkomial, baik aspirasi maupun tidak, harus
langsung ditujukan melawan bakteri basil Gram-negative bacilli dan bukan
organisme anaerob, sepertin halnya pada pneumonia aspirasi CAP atau
NHAP.
PENCEGAHAN MELALUI VAKSINASI
Streptococcus pneumoniae bertanggungjawab terhadap sejumlah kasus
pneumonia, dan vaksin telah dikembangkan sebagai usaha untuk mencegah
penyakit dan kematian. Vaksin penumokokus merupakan pilihan yang
menarik seiring dengan meningkatnya resistensi antibiotik terhadap strain
pneumokokus. Empat belas serotipe pertama vaksin polisakarida
pneumokokus telah ada sejak tahun 1981, dan sejak 1983, 23 serotipe
vaksin telah digunakan, mengandung secara kasar 90% serotype
Streptococcus pneumoniae. Namun, efektivitas vaksni pneumokokus masih
kontroversial dan telah menjadi subyek dari beberapa uji coba acak
terkontrol dan meta-analisis.
Cornu et al20 melakukan 14 uji coba pada tahuan 2001 dengan total 48.837
Teks
235
pasien (bukti tingkat I). Mereka menemukan bahwa vaksin pneumokokus
memiliki efikasi yang tinggi dalam mencegah pneumonia pnumokokus
(bacteremia) sebesar 71%, dugaan pneumonia pneumokokus sebesar 40%,
dan mortalitas akibat pneumonia sebesar 32%, namun tidak semua
menyebabkan pneumonia atau kematian, yang sama dengan meta-analisis
sebelumnya. Analisis ini tidak mampu menunjukkan efikasi preventif
melawan semua penyebab pneumonia dan diperkirakan karena adanya
heterogenitas antar penelitian dan menurunnya kekuatan statistic. Analisis
subkelompok pasien lansia juga tidak menunjukkan adanya hasil positif
untuk beberapa poin akhir, terutama akibat rendahnya kekuatan statistik.
Studi lain melihat efektivitas vaksin pneumokokus pada pasien usia lebih
dari 65 tahun (bukti tingkat III). Studi ini merupakan kohort retrospektif dari
47.365 subyek dan menunjukkan bahwa vaksin efektif dalam menurunkan
bakteremia, namun tidak mengubah risiko pasien rawat jalan atau bebrapa
kasus community-acquired pneumonia atau pneumonia nonbacteremic
pneumococcal baik yang membutuhkan rawat inap atau tidak. Hal ini
disepakati dengan meta analisis oleh Cornu.
Pada pasien lansia yang tirah baringm vaksinasi penumokokus
memperpendek total keseluruhan hari demam dan mengurangi tingkat
rawat inap namun, tidak mengubah mortalitas pneumonia atau penyakit
invasif penumokokus (bukti tingkat IV). Dalam suatu studi kasus kontrol,
diperkirakan efikasi vaksin menurun setelah usia 75 tahun (bukti tingkat
TEKS
236
IV).24
Vaksin diberikan setiap 5 tahun, meskipun efikasinya lebih rendah,
vaksin ini menjadi pilihan yang menarik seiring meningkatnya risiko
pneumonia pada populaasi lansia.
Ulasan penelitian oleh The Cochrane Collaboration dari tahun 1966 hingga
Juni 2007 diketahui bahwa kombinasi hasil studi-studi ini sekali lagi gagal
untuk menunjukkan efektivitas vaksin pneumokokus polisakarida dalam
mencegah baik pneumonia (odds ratio 0.71, confidence interval 0.52– 0.97)
atau kematian (odds ratio 0.87, confidence interval 0.69 –1.10) (bukti
tingkat I).25 Meskipun uji coba sebelumnya mempunyai hasil postif yang
lebih banyak, namun kumpulan uji coba setelah tahun 1977 menunjukkan
tidak adana efek. Hal ini dapat disebabkan oleh perkembangan metodologi
penelitian atau perbedaan pengaturan studi terhadap penurunan efikasi
seiring waktu. Juga diketahui bahwa penelitian terdahulu sering dilakukan
pada populasi sehat yang berisiko tinggi dimana manfaat vaksin yang
diharapkan menjadi lebih besar. Serta, kesulitan dalam diagnosis mungkin
menjadi alasan mengapa hasil kumpulan uji terkontrol acak terhadap vaksin
pneumokokus tidak menunjukkan manfaat yang signifikan.26
Beberapa studi
dialkukan denagn kultur darah yang diisolasi, smeentara yang lainnya
menggunakan kultur sputum dan serologi.
Selain itu, studi kasus kontrol (bukti tigkat IV) menunjukkan keberhasilan
dalam mencegah penyakit pneumokokus invasif (OR 0.48, confidence
interval 0.37- 0.61) yang sesuai dengan efikasi sebesar 53%. Dengan
Teks
237
demikian, bukti dari studi tidak acak menunjukkan bahwa vaksin efektif
dalam mengurangi penyakit pneumokokus invasif pada orang dewasa. Para
penulis memperkirakan insiden infeksi pneumokokus menjadi 0,01%. Efikasi
sebesar 50% sesuai dengan jumlah yang diperlukan untuk mengobati oleh
20.000 vaksinasi per infeksi yang dihindari, dan mungkin 50.000 per
kematian yang dihindari. Secara keseluruhan, tampaknya vaksin merupakan
pilihan yang efektif dari segi harga dan dapat mencegah penyakit
pneumokokus invasif dengan sedikit efek samping. Vaksinasi dianjurkan
untuk semua pasien yang imunokompeten >65 tahun, dan semua orang
yang lebih muda dengan penyakit kronis seperti penyakit jantung, penyakit
paru kronis, diabetes mellitus, alkoholisme, penyakit hati kronis, kebocoran
cairan serebrospinalis, dan asplenia fungsional atau anatomis.
Sedikit kontroversi yang muncul terkait vaksin influenza karena merupakan
pilihan preventif yang menarik dan efektif dari segi harga. Vaksin yang kini
digunakan bersifat trivalent dan mengandung dua virus tipe A dan satu virus
tipe B. Suatu meta-analisis dari 20 studi yang dilakukan terhadap psien usia
lebih dari 65 tahun penderita community-acquired pneumonia menunjukkan
bahwa vaksin mengurangi kejadian pneumonia hingga 53%, rawat inap
sebesar 50%, dan tingkat mortalitas sebesar 68% (bukti tingkat I). Meskipun
infeksi paru bukan merupakan gejala utama dari influenza, namun
berasosiasi kuat dengan mortalitas, baik karena pneumonia akibat virus atau
superinfkesi bakteri. Terdapat konsensus pada pustaka bahwa vaksin
influenza harus diberikan setiap tahun bagi semua pasien usia tua dan
TEKS
238
merupakan faktor penting perawatan pasien-pasien ini di rumah. Termasuk
para individu lain yang berisiko tinggi atau berisiko tertular influenza,
seperti tenaga kesehatan, juga harus divaksinasi. Menariknya, ulasan
terbaru oleh Simonsen et al mempertanyakan efikasi setelah usia 70 tahun
dan pada lansia yang lemah. Penulis menilhat kurangnya bukti pada populasi
ini dan kohort studi yang memiliki bias dengan memvaksin lansia yang
“sehat”. Diperkirakan bahwan efektivitas vaksin menurun setelah usia 70
tahun dan karena kurangnya uji coba acak terkontrol pada populasi ini.
Meskipun demikian, penulis menyimpulkan bahwa vaksin harus masih
diberikan pada pasien lansia hingga terdapat lebih banyak bukti yang
ternyata bertentangan.
Selain vaksin, cara lain untuk mencegah pneumonia tidak boleh diabaikan.
Hal ini meliputi cuci tangan yang benar (khususnya di rumah sakit untuk
mencegah penyebaran bakteri dan mikrobiologi lain), memastikan
kebersihan mulut (Khusunya pada pasien yang tidak dapat merawat diri
mereka sendiri) dan menghindari aspirasi pneumonia dengan memastikan
kepala tempat tidur dinaikkan dan pasien dalam keadaan sadar saat sedang
makan.
Teks
239
DAFTAR RUJUKAN
1. Falsey AR and Walsh EE, Viral Pneumonia In Older Adults, Clinical
Infectious Diseases 2006;42:518–24
2. Castillo JG, Sánchez FJM, Llinares P, Menéndez R, Mujal A, Navas E,
Et Al, Guidelines For The Management Of Community- Acquired
Pneumonia In The Elderly Patient, Rev Esp Quimioter 2014;27(1):
69-86
3. Tipping B, Villiers LD, Pneumonia In The Elderly—Diagnosis And
Treatment In General Practice, SA Fam Pract 2006;48(5): 24-28)
4. Chong CP and Street PR Pneumonia In The Elderly: A Review Of
Severity Assessment, Prognosis, Mortality, Prevention, And
Treatment Southern Medical Journal 2008:101(11): 1134-40
5. Singh YD. Pathophysiology Of Community Acquired Pneumonia JAPI
2012;60: 7-9
6. O’Connor S, Aspiration Pneumonia And Pneumonitis, Aust Prescr
2003;26:14–7
7. Riquelme R, Torres A, El-Ebiary M, Mensa J, Estruch R, Ruiz M,et al,
Community-Acquired Pneumonia In The Elderly, Am J Respir Crit
Care Med 1997;156:1908–1914.
TEKS
240
PNEUMONIA PADA PENGGUNA NAPZA
Ida Ayu Jasminarti D.K.
Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
PENDAHULUAN
NAPZA merupakan akronim dari Narkoba Psikotropika dan Zat
Adiktif lainnya yang merupakan jenis obat-obatan yang dapat
mempengaruhi gangguan kesehatan. NAPZA dimasukkan ke dalam tubuh
melalui oral (diminum, dihisap, dihirup dan disedot) maupun
disuntik.Narkotika merupakan zat yang dapat menyebabkan penurunan dan
perubahan kesadaran, mengurangi dan menghilangkan nyeri serta dapat
menimbulkan ketergantungan secara fisik dan psikologi, antara lain heroin,
kokain, ganja, morfin, petidin, codein. Psikotropika merupakan bahan yang
berkhasiat psikoaktif mempunyai pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku antara lain MDMA, ekstasi, amfetamin. Sedangkan zat adiktif bahan
lain yang dapat menimbulkan ketergantungan antara lain nikotin dan
etanol1,2,3
.
PENGGUNAAN NAPZA SEBAGAI FAKTOR RISIKO PNEUMONIA
Pada pengguna obat terlarang, pneumonia komunitas termasuk
tuberkulosis lebih sering terjadi dibandingkan bukan pengguna karena latar
belakang sosial ekonomi yang rendah dan gangguan imunitas lokal maupun
Teks
241
sistemik yang diinduksi oleh obat. Makrofag alveolar pada pemeriksaan
bilasan bronkus pengguna kokain memproduksi sitokin inflamasi (IL-6, IL-8,
TNF-) dalam jumlah yang lebih sedikit dan ditemukan faktor
imunosupresan seperti TGF-β bila dibandingkan dengan yang bukan
pengguna. Pada pasien pengguna obat terlarang intravena (IVDU), insidens
pneumonia komunitas lebih tinggi pada pasien dengan HIV positif. Pada
study kohort besar 3675 pasien pneumonia komunitas yang menjalani rawat
inap, penggunaan obat terlarang merupakan faktor prediktif perawatan
intensif di ICU, menunjukkan derajat keparahan yang lebih berat, dengan
angka penggunaan ventilator mekanik yang tinggi. IVDU juga merupakan
faktor risiko independen timbulnya komplikasi efusi parapneumonia dan
empiema pada pasien pneumonia komunitas. Pada pasien HIV positif, IVDU
merupakan faktor prediktif infeksi Staphylococcus aureus, bahkan termasuk
jenis yang resisten terhadap methicillin (MRSA)4.
Pengguna obat terlarang intravena berisiko 10 kali lipat menderita
pneumonia komunitas dibandingkan dengan populasi umum. Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
Pengguna juga merokok atau menggunakan obat terlarang lain yang
dapat mengganggu pertahanan lokal di paru, aktivitas makrofag, dan
bersihan mukosilier.
Gangguan kesadaran yang diinduksi obat injeksi sehingga
meningkatkan risiko terjadinya pneumonia aspirasi atau abses paru.
TEKS
242
Bakteremia setelah injeksi yang secara hematogen dapat menyebar ke
paru5.
Organisme penyebab pneumonia komunitas pada IVDU antara lain
Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Haemophilus
influenzae, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa6.
DIAGNOSIS
Diagnosis pneumonia pada pengguna NAPZA tidak berbeda dengan
pneumonia komunitas. Anamnesis tentang kecurigaan terhadap
penggunaan obat-obatan termasuk cara penggunaannya penting untuk
dilakukan. Gambaran radiologi dapat bervariasi dengan corak utama infiltrat
tersebar atau konsolidasi multilobuler seringkali bilateral dan lebih sering di
daerah perifer. Pemeriksaan penunjang lain yang dibutuhkan antara lain
EKG dan ekokardiografi bila ada kecurigaan endokarditis bakterial7.
TATALAKSANA
Pneumonia pada pengguna NAPZA umumnya memberikan
gambaran sebagai pneumonia kelas IV atau V (berdasarkan skala PORT).
Beratnya pneumonia karena daya tahan tubuh turun, lemahnya refleks
batuk, kebiasaan merokok serta cara masuk kuman melalui intravena,
campuran bahan non steril secara inhalasi, juga karena tingginya
endokarditis bakterial. Tatalaksana kegawatdaruratan dan terapi suportif
Teks
243
penting saat pasien datang. Pemilihan antibiotika empiris harus mencakup
kuman gram negatif, antibiotika tersebut antara lain:
Patogen potensial Rekomendasi antibiotika
Streptococcus pneumoniae
Haemophilus influenzae
Klebsiella pneumoniae
Staphylococcus aureus sensitif
metisilin
Pseudomonas aeruginosa
Kecurigaan MRSA
Betalaktam + betalaktamase
atau
Sefalosporin generasi III non
pseudomonas
atau
Quinolon respirasi
Kombinasi antipseudomonas
Linezolid atau vancomycin
RINGKASAN
Pada pengguna NAPZA risiko pneumonia meningkat 10 kali lipat
dibandingkan dengan bukan pengguna. Pneumonia pada pengguna NAPZA
memberikan gambaran pneumonia berat. Beratnya pneumonia karena daya
tahan tubuh turun, lemahnya refleks batuk, kebiasaan merokok serta cara
masuk kuman melalui intravena, campuran bahan non steril secara inhalasi,
juga karena tingginya endokarditis bakterial. Pilihan antibiotika empiris
harus dapat mengatasi kuman gram negatif.
TEKS
244
DAFTAR PUSTAKA
1. Hawari, D. Penyalahgunaan narkotika dan zat aditif. 2000
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 tentang
narkotika.
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang
psikotropika
4. Megarbane B, Chevillard L. The large spectrum of pulmonary
complications following illicit drug use: feature and mechanism.
Chemico-Biological Interaction,2013; 1-8
5. Hind CR. Pulmonary complications of intravenous drug misuse. 1.
Epidemiology and non-infective complications. Thorax 1990;
45:891.
6. Caiaffa WT, Vlahov D, Graham NM, et al. Drug smoking,
Pneumocystis carinii pneumonia, and immunosuppression increase
risk of bacterial pneumonia in human immunodeficiency virus-
seropositive injection drug users. Am J Respir Crit Care Med 1994;
150:1493
7. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell DG,
Dean NC, Dowell SF, File TM, Musher DM, Niederman MS, Torres
A, Whitney CG. Management of community-acquired pneumonia
in adults. Clinical Infectious Diseases 2007; 44: S27–72.
Teks
245
Pneumonia Dalam Kehamilan
I Made Bagiada
Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pendahuluan
Perhatian terhadap influenza H1N1 belakangan ini telah
meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap seriusnya komplikasi
respirasi pada pasien hamil. Pneumonia selama kehamilan telah dikaitkan
dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas ibu hamil. Serupa dengan
peningkatan kejadian ibu hamil dengan penyakit kronis, termasuk diabetes,
HIV, penyakit jantung dan obesitas, pneumonia dapat mempengaruhi
kondisi kehamilan. Data menunjukkan bayi yang lahir dari ibu yang
pneumonia, cenderung lahir preterm dengan berat badan lahir yang rendah.
Mengingat pneumonia dalam kehamilan dapat menampilkan
gambaran yang atipikal, kondisi klinis yang lebih buruk, lebih sulit ditangani
dibandingkan pneumonia pada mereka yang tidak hamil. Sangat penting
untuk memahami perubahan fisiologis dan imunologis pada ibu hamil.
Perubahan selama kehamilan
Perubahan dalam imunitas selular pada ibu hamil telah banyak
dilaporkan. Perubahan ini meliputi penurunan respon proliferatif limfosit,
khususnya pada trimester kedua dan ketiga, menurunnya aktivitas sel
natural killer, perubahan populasi sel T dengan penurunan sel T helper yang
TEKS
246
bersirkulasi, menurunnya aktivitas sitotoksik limfosit, menurunnya
produktifits limfosit oleh trophoblas (1).
Sebagai tambahan, perubahan hormon selama kehamilan termasuk
progesteron, human chorionic gonadotropin, alfa fetoprotein dan kortisol,
semuanya ini dapat menghambat fungsi cell mediated immune system.
Seluruh perubahan ini secara teori meningkatkan rsiko infeksi khusunya oleh
virus dan jamur patogen (1).
Insiden
Sariatzadeh pada 2006 menemukan 28 kasus pneumonia dalam
kehamilan atau insiden sebesar 1,1 per 1000 kelahiran, dimana didapatkan
333 wanita usia 20-40 tahun yang tidak hamil yang menderita pneumonia
atau insiden sebesar 1,3 per 1000 orang (2).
Angka insiden yang lebih tinggi pernah dilaporkan sebelum tahun
1965, terentang antara 6,3-8,5 per 1000 kelahiran. Angka ini menurun pada
1970-1980an menjadi 0,44-0,78 per 1000 kelahiran, diduga karena
ditemukannya antibiotik dan perawatan obstetri yang lebih baik. Data
terakhir menunjukkan angka 1,2-2,7 per 1000 kelahiran, peningkatan ini
diduga karena meningkatnya proporsi wanita yang menderita penyakit
kronis penyerta (1).
Pneumonia telah diketahui sebagai indirect obstetric death terbesar
ketiga di Amerika Utara. Mortalitas dari pneumonia pada kehamilan serupa
dengan pasien tanpa kehamilan. Terdapat bukti bahwa fetal outcome sangat
Teks
247
dipengaruhi oleh pneumonia pada ibunya. Ibu dengan pneumonia secara
signifikan lebih mungkin melahirkan sebelum usia kehamilan 34 minggu,
dengan kelahiran preterm lebih dari 43% kasus. Terbentuknya prostaglandin
sebagai respon inflamasi terhadap infeksi diduga sebagai penyebabnya.
Sebagai tambahan bayi yang lahir dari ibu dengan pneumonia umumnya
memiliki berat badan lahir yang lebih rendah daripada yang tidak
pneumonia. Satu studi menemukan perbedaan rata-rata 15 gram lebih
rendah pada bayi yang lahir dari ibu pneumonia dibandingkan kontrol (16%
berbanding 8%). Didapatkan pula frekuensi kejadian BBLR (berat badan lahir
rendah) yang lebih tinggi pada ibu hamil dengan pneumonia dibandingkan
kontrol (1,2).
Faktor risiko
Risiko pneumonia selama kehamilan terendah dialami selama
trimester pertama kehamilan, dengan hanya 0-16% kasus. Rata-rata usia
kehamilan saat harus masuk rumah sakit akibat pneumonia terentang
antara 24-32 minggu. Benedetti menemukan 19 dari 37 wanita hamil
dengan pneumonia (47%) memiliki haemoglobin 10 g/dL atau kurang, hal ini
menunjukkan kemungkinan anemia sebagai faktor risiko pneumonia.
Namun temuan ini tidak didukung oleh Richey dkk, yang mendapatkan
hanya 8 dari 71 pasien (11%) dengan anemia saat masuk rumah sakit. Di sisi
lain, seperempat dari pasien-pasien ini (17 kasus) tercatat memiliki riwayat
asma. Data dari sebuah studi kasus kontrol yang melibatkan 59 wanita kasus
TEKS
248
dengan 118 kontrol, dengan anemia, yang ditentukan berdasarkan kadar
hematokrit 30% atau kurang saat masuk rumah sakit dan adanya riwayat
asma. Keduanya ditemukan terkait dengan peningkatan lima kali lipat risiko
pneumonia selama kehamilan (3,4).
Penelitian yang sama juga menemukan wanita dengan pneumonia
lebih banyak ditemukan pada mereka yang mendapatkan betamethason
untuk memicu pematangan paru janin. Antepartum kortikosteroid yang
diberikan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas bayi prematur
mungkin merupakan faktor risiko pneumonia pada ibu hamil. Studi lain yang
melibatkan 37 kasus dengan 74 kontrol menemukan pemberian
kortikosteroid antepartum dikaitkan dengan kejadian penyakit infeksi yang
lebih tinggi (64,8% kasus melawan 17,5% kontrol) dengan infeksi bakterial
serius pada 9 kasus (24,3%) termasuk 4 pneumonia pada pasien yang
sebelumnya sehat (3,4).
Pemberian agen tokolitik untuk memicu peralinan juga dikaitkan
dengan berkembangnya pneumonia. Pemberian tokolitik juga menyebabkan
insufisiensi respirasi melalui peningkatan terjadinya edema paru. Karena hal
inilah, direkomendasikan untuk tidak memberikan agen tokolitik pada
pasien hamil dengan pneumonia (1).
Pneumonia Bakterial
Diagnosis
Gejala tipikal antara lain batuk, dispnea, produksi sputum, nyeri
pleuritik. Gejala saluran nafas atas ringan dan malaise biasanya mendahului
Teks
249
gejala tipikal ini dan leukositosis ringan juga dapat ditemukan. Thorak foto
sangat penting untuk mendiagnosa namun tidak dapat memprediksi etiologi
penyebab pneumonia. Patogen penyebab umumnya hanya dapat
ditentukan pada kurang dari separuh kasus pneumonia. Menurut Infectius
Disease Society of America (IDSA) dan American Thoracic Society (ATS),
pemeriksaan untuk mengidentifikasi agen spesifik bukanlah suatu
keharusan. Karenanya kultur sputum, tes serologi, cold agglutinin
identification dan tes untuk antigen bakterial tidaklah direkomendasikan (3).
Gambar 1. Thorak foto yang menunjukkan infiltrat pada paru kiri tengah(6)
Penatalaksanaan
TEKS
250
Wanita hamil dengan gambaran thorak foto mengarah ke
pneumonia, seharusnya diopname. Pada pasien dengan kondisi yang baik,
terapi rawat jalan, atau observasi 23 jam dengan pengawasan yang optimal,
masih diizinkan. Beberapa kriteria yang mengharuskan pasien untuk
diopname dapat dilihat dalam tabel 1.
Tabel 1. Kriteria untuk Severe Community Acquired Pneumonia
Respirasi rate ≥ 30/menit
PaO2/FiO2 ratio ≤ 250
Infiltrat multilobular
Disorientasi/confusion
Uremia
Leukopenia, WBC <4000/μL
Trombositopenia, trombosit <100.000/μL
Hipotermia, core temperature < 36oC
Hipotensi yang membutuhkan resusitasi cairan agresif
Pada pasien dengan kondisi yang berat, perawatan di ICU atau unit
perawatan intermediate, sangat disarankan. Pneumonia berat merupakan
Teks
251
penyebab sering kejadian ARDS (acute respiratory distress syndrome) dalam
kehamilan, dan ventilator mekanik mungkin menjadi sangat diperlukan (3).
Karena kebanyakan pneumonia ada orang dewasa disebabkan oleh
pneumococci, mikoplasma atau chlamydophila, monoterapi awal adalah
golongan makrolid seperti azithromycin, clarithromycin atau erythromycin.
Yost dkk melaporkan monoterapi erythromycin, diberikan intravena
dilanjutkan secara oral, memberikan hasil yang efektif pada semua kasus,
kecuali satu kasus, dari 99 wanita hamil dengan uncomplicated pneumonia
(3,5).
Untuk wanita dengan pneumonia berat sesuai kriteria pada tabel 1,
Mandell dkk merangkum IDSA/ATS guidelines. Terapi yang dapat dipilih
adalah (1) fluoroquinolone respirasi seperti levofloxacin, moxifloxacin atau
gemifloxacin atau (2) makrolide ditambah β lactam seperti amoxicillin dosis
tinggi atau amoxicillin-clavulanate. Alternatif pengganti β lactam meliputi
ceftriaxone, cefpodoxime atau cefuroxime. Efek teratogenik dari
fluoroquinolone adalah rendah, dan obat ini harus diberikan jika ada
indikasi. Jika community-acquired methicillin resisten S aureus (CA-MRSA)
dicurigai sebagai agen penyebab, maka vancomycin atau linezolid harus
ditambahkan (7).
Perbaikan klinis seharusnya terjadi dalam 48 sampai 72 jam,
dengan turunnya panas dalam 2 sampai 4 hari. Gambaran thorak foto yang
abnormal baru akan hilang dalam 6 minggu. Kondisi yang memburuk
mengarah pada prognosis yang jelek, thorak foto ulang direkomendasikan
TEKS
252
pada mereka dengan demam yang menetap. Dengan berbagai
perkembangan dibidang kedokteran, sekitar 20% pasien akan mengalami
efusi pleura. Pengobatan pneumonia direkomendasikan untuk diberikan
setidaknya selama 5 hari. Kagagalan terapi dapat terjadi pada lebih dari 15%
kasus, pilihan antimikroba yang lebih kuat dan pemeriksaan penunjang yang
lebih lengkap dapat dipertimbangkan pada kasus ini (3,7).
Pencegahan
Vaksin pneumococcal memberikan perlindungan sebesar 60-70%
melawan seluruh 23 serotypes pneumococcus. Vaksin ini dapat menurunkan
kejadian drug-resistant pneumococci (Kyaw, 2006). Vaksin ini tidak
direkomendasikan pada wanita hamil yang sehat, namun direkomendasikan
pada mereka dengan kondisi immunocompromised, termasuk mereka
dengan infeksi HIV, riwayat merokok, diabetes, penyakit jantung, paru atau
ginjal dan asplenia seperti penderita sickle cell disease (8).
Pneumonia viral
Gambaran klinis
Influenza A dan B adalah virus RNA yang dapat menyebabkan
infeksi saluran nafas, termasuk pneumonitis. Pneumonia influenza bisa
menjadi serius, dan epideminya muncul dimusim dingin. Virus disebarkan
secara droplet aerosol dan dengan cepat menginfeksi ciliated columnar
epithelium, sel alveolar, mucus gland cells, dan makrofag. Onset penyakitnya
Teks
253
pada 1 sampai 4 hari dari paparan agen penyebab. Pada kebanyakan orang
dewasa yang sebelumnya sehat, penyakit ini bersifat self limited (9).
Pneumonia merupakan komplikasi paling sering dari influenza, dan
hal ini sulit dibedakan dari pneumonia bakterial. Menurut Centers for
Disease Control and Prevention (CDC), wanita hamil yang terinfeksi virus,
harus diopname bahkan dirawat di ICU. Pandemi influenza pada 2009
dengan strain H1N1 bisa dianggap berat. Dalam Maternal Fetal Medicine
Units Network study, 10% wanita hamil atau postpartum yang diopname
karena terinfeksi influenza H1N1 harus dirawat di ICU, dimana 11% dari
pasien ICU ini meninggal dunia (Varner, 2011). Faktor risikonya meliputi late
pregnancy, merokok dan hipertensi kronis. Di California, 22% wanita
terinfeksi H1N1 membutuhkan perawatan intensif, dengan kematian pada
sepertiga kasus (10).
Pneumonitis influenza primer adalah yang paling berat, ditandai
dengan produksi sputum yang banyak dan gambaran thorak foto infiltrat
interstitial. Pada umumnya, pneumonia sekunder, terjadi akibat superinfeksi
bakterial oleh streptococci atau staphylococci yang bisa terjadi dalam 2 atau
3 hari setelah perbaikan klinis pneumonia virus awalnya. CDC telah
melaporkan beberapa kasus CA-MRSA yang disebabkan influenza associated
pneumonitis dengan case fatality rate mencapai 25% (9).
Penatalaksanaan
Terapi suportif dengan antipiretik dan tirah baring
direkomendasikan untuk uncomplicated influenza. Pengobatan awal dengan
TEKS
254
antiviral menunjukkan hasil yang efektif (Jamieson, 2011). Munculnya
resistensi influenza A (H3N2) terhadap amantadine atau rimantadine pada
2005 mendorong CDC mengeluarkan rekomendasi penggunaan yang tepat
pada kedua obat tersebut daripada penggunaan neurominidase inhibitor
dalam 2 hari setelah munculnya gejala untuk kemoprofilaksis atau
pengobatan influenza A dan B. Oseltamivir diberikan secara oral, 75 mg dua
kali sehari atau zanamivir diberikan secara inhalasi 10 mg dua kali sehari.
Direkomendasikan pengobatan selama 5 hari, obat ini akan mengurangi
durasi penyakit sebanyak 1 atau 2 hari dan mengurangi risiko pneumonitis
(Jamieson). Perhatian lain untuk resistensi virus diberikan kepada strain
avian H5N1 dan H7N9 yang ditemukan di asia tenggara. Ini merupakan virus
yang berpeluang untuk menjadi pandemi berikutnya, dengan angka
mortalitas melebihi 50% (11).
Pencegahan
Direkomendasikan untuk pemberian vaksin influenza A. Pemberian
vaksin sebelum melahirkan juga akan memberikan perlindungan pada
sepertiga bayi baru lahir, perlindungan ini akan tetap efektif selama
setidaknya 6 bulan. Selama musim flu 2012-2013 CDC melaporkan, hanya
separuh wanita hamil yang memperoleh vaksin (11).
Teks
255
Pneumonia Fungal dan Parasit
Pneumocystis pneumonia
Infeksi paru oleh jamur dan parasit umumnya terjadi pada mereka
dengan kondisi immunocompromised khususnya wanita dengan Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Pada mereka, infeksi paru oleh
Pneumocystis jiroveci sebelumnya disebut pneumocystis carinii, merupakan
komplikasi yang sering terjadi.infeksi oportunistik ini menyebabkan
pneumonia interstitial yang ditandai oleh batuk kering, tachypnea, dyspnea
dan gambaran radiografi infultrat yang difus. Kecurigaan seorang wanita
hamil menderita AIDS dan PCP jika ditemukan gejala penurunan berat
badan, fatigue, takipnea, dispnea dan batuk nonproduktif. Walaupun
organisme ini dapat diidentifikasi dengan kultur sputum, bronkoskopi
dengan lavage atau biopsi kadang diperlukan (12).
Pengobatan untuk PCP menggunakan trimethoprim-
sulfamethoxazole (TMP-SMX) atau pentamidine lainnya merupakan obat
pilihan utama untuk kasus PCP, meskipun TMP-SMX sesungguhnya termasuk
dalam kategori C. Pengalaman penggunaan dapsone atau atovaquone masih
terbatas. Pada beberapa kasus intubasi trakea dan ventilasi mekanik
mungkin diperlukan. Untuk profilaksis, beberapa center menyarankan
double strength trimethropim-sulfamethoxazole tablet untuk wanita hamil
dengan HIV. Khususnya pada mereka dengan CD4+ T-lymphocyte kurang dari
200/μL, mereka dengan CD4+ T-lymphocyte kurang dari 14 persen, atau
TEKS
256
mereka dengan AIDS defining illness lain seperti kandidiasis orofaringeal
(3,12).
Gambar2. Gambaran thorak foto yang menunjukkan infiltrat difus bilateral
pada seorang penderita PCP (15)
Fungal pneumonia
Berbgai jenis jamur dapat menyebabkan pneumonia. Infeksi jamur
umumnya ringan dan self limited. Pneumonia jamur ditandai oleh batuk,
Teks
257
demam dan jarang diseminata. Histoplasmosis dan blastomikosis tampaknya
tidak lebih sering atau lebih berat jika dialami oleh wanita hamil.
Kebanyakan kasus cryptococcosis dalam kehamilan muncul sebagai
meningitis. Ely dkk (1998) melaporkan kasus cryptococcosis pneumonia,
dimana diagnosa menjadi sulit karena gejala klinis yang serupa dengan
community acquired pneumonia lain (14).
The 2007 IDSA/ATS guidelines merekomendasikan itraconazole
sebagai terapi pilihan untuk infeksi jamur diseminata (Mandell, 2007).
Wanita hamil juga harus mendapat amphotericin B atau ketoconazole
intravena jika jika mengalami infeksi jamur. Amphotericin B telah digunakan
secara luas pada wanita hamil, tanpa efek pada janin. Karena terdapat bukti
bahwa fluconazole, itraconazole, dan ketoconazole mungkin bersifat
embriotoksik pada awal kehamilan, Briggs dkk merekomendasikan
menghindari penggunaan obat-obat ini pada trimester pertama kehamilan
(7,13).
Daftar Pustaka
1. Lim WS, Macfarlane JT, Colthorpe CL. Pneumonia and pregnancy.
Thorax 2001; 56: 398-405.
2. Shariatzadeh MR, et al. Pneumonia during pregnancy. AM J Med
2006; 119 (10): 872-876.
3. Pulmonary disorder. In: Cuningham FG. Ed. William’s Obstetrics,
edisi 24. New York: Mc Graw Hill; 2014. p. 1011-1027.
TEKS
258
4. Richey SD, Robert SW, Ramin KD, et al. Pneumonia complicating
pregnancy. Obstet Gynecol 1994; 84: 525-528.
5. Yost NP, Bloom SL, Richey SD, et al. An appraisalof treatment
guidelines for antepartum community acquired pneumonia. Am J
Obstet Gynecol 2000; 183: 131-135.
6. Bishara H, Lidji M, Vinitsky O, Ravell D. Indolent pneumonia in a
pregnant recent immigrant from Ethiopia: think TB. Prim Care
Respir J 2014; 23: 102-105.
7. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, et al. Infectious Diseases
Society of America/American Thoracic Society consensus guidelines
on the management of community-acquired pneumonia in adults.
Clin Infect Dis 2007; 44: S27.
8. Kyaw MH, Lynfield R, Schaffner W, et al. Effect of introduction of
the pneumococcal conjugate vaccine on drug-resistant
Streptococcus pneumoniae. N Engl J Med 2006; 354: 1455
9. Ely JW, Yankowitz J, Bowdler NC. Evaluation of pregnant women
exposed to respiratory viruses. Am Fam Physician 2000; 61(10):
3065-3072.
10. Varner MW, et al. Influenza-like illness in hospitalized pregnant and
postpartum women during the 2009-2010 H1N1 pandemic. Obstet
Gynecol 2011; 118 (3): 593-600.
Teks
259
11. Jamieson DJ, Rasmussen SA, Uyeki TM. Pandemic influenza and
pregnancy revisited: lesson learned from 2009 pandemic influenza
A (H1N1). Am J Obstet Gynecol 2011; 204.
12. Janice E, Whitty JE, Mitchell F, Dombrwski MF. Respiratory disease
in pregnancy. In: Creasy K, Resnik R. Ed. Creasy & Resnik’s
Maternal-Fetal Medicine Principles and Practice, edisi 7.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2014. p. 965-987.
13. Larson L, et al. Pulmonary disease in pregnancy. In: Powrie RO. Ed.
de Swiet’s Medical Disorder in Obstetric Practice , edisi 5.
Singapore: Wiley Blackwell; 2010. p. 1-47.
14. Ely EW, Peacock JE, Haponik EF, et al: Cryptococcal pneumonia
complicating pregnancy. Medicine 1998; 77: 153.
15. Bennett NJ, Gilroy SA. Pneumocystis jiroveci pneumonia overview
of pneumocystis jiroveci pneumonia. Medscape. available at:
http://emedicine.medscape.com/ article/225976 [accesed april 25,
2016].
TEKS
260
INFEKSI SALURAN NAPAS DAN PNEUMONIA
TERKAIT PERJALANAN WISATA
I Gede Ketut Sajinadiyasa
Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pendahuluan
Setiap tahunnya sekitar 1 miliar penumpang pesawat udara yang
melakukan perjalanan wisata dan lebih dari 50 juta orang dari negara-
negara industri melakukan perjalananan wisata ke negara-negara yang
sedang berkembang.1
Menurut laporan UNWTO (World Tourism
organization) di tahun 2010 jumlah wisatawan internasional adalah 940 juta
2. Bali salah satu tujuan wisata mendapat kunjungan wisatawan setiap
tahunnya lebih dari satu juta wisatawan asing. Pada tahun 2014, 2015
berturut-turut: 1.555.747 orang, dan 1.862.242 orang.3
Dalam perjalanan wisata, wisatawan dapat terpapar oleh berbagai
patogen dan risiko. Dilaporkan sekitar 20% - 70% orang yang melakukan
perjalanan wisata mengalami masalah kesehatan. Secara keseluruhan pada
perjalanan wisata internasional didapatkan 1%-5% wisatawan
membutuhkan perhatian medis, 0.01%-0.1% membutuhkan evakuasi medis
darurat dan 1 diantara 100.000 wisatawan meninggal dunia. Walaupun
bukan penyebab utama, penyakit infeksi ikut memberi andil terjadinya
kematian pada seseoang yang melakukan perjalanan wisata. Didapatkan 1%
Teks
261
- 5% kematian oleh karena penyakit infeksi. Penyakit kardiovaskuler
merupakan penyebab kematian tersering dan trauma sekitar 21%-26%
sebagai penyebab kematian 1. Penyakit infeksi yang cukup sering dialami
oleh wisatawan diantaranya adalah infeksi pada saluran nafas.1,2
Statistik
menunjukkan bahwa perjalanan wisata berisiko tinggi terpapar oleh patogen
penyebab infeksi saluran nafas. Dilaporkan sekitar 11-20% wisatawan yang
kembali dari perjalanan wisata menderita infeksi saluran nafas akut. Infeksi
saluran napas atas lebih sering dijumpai daripada saluran napas bawah.4,5
Memperhatikan tingginya mobilitas masyarakat dalam melakukan
perjalanan dan adanya risiko mendapat infeksi saluran napas maka seorang
klinisi perlu memahami risiko, etiologi dan penanganan penyakit infeksi
saluran napas terkait perjalanan wisata. Pada tulisan ini disampaikan
bahasan tentang infeksi saluran napas termasuk pneumonia terkait
perjalanan wisata dan penangannya.
Kuman Penyebab Infeksi
Virus merupakan penyebab utama infeksi aluran napas terkait
perjalanan wisata. Virus yang sering sebagai penyebab diantaranya adalah
rhinovirus, respiratory syncytial virus, influenza virus, parainfluenza virus,
human metapneumovirus, measles, mumps, adenovirus, dan coronavirus.
Seorang klinisi juga perlu mempertimbangkan seperti Middle East
Respiratory Syndrome (MERS) Coronavirus, avian influenza H5N1 dan H7N9.
Infeksi saluran napas akibat virus dapat mempermudah terjadinya sinusitis
TEKS
262
bakterial, bronkitis akut dan pneumonia. Bakteri patogen sebagi penyebab
tidak terlalu sering dibanding virus namun penyebab bakterial yang sering
adalah Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus
influenzae, and Chlamydophila pneumoniae. Coxiella burnetii dan Legionella
pneumophila kadang dapat menyebabkan wabah dan juga sporadis.4,5
Risiko pada Wisatawan
Wabah merupakan kejadian yang dapat terjadi akibat adanya
paparan infeksi di hotel-hotel, kapal pesiar dan diantara kelompok
wisatawan. Beberapa jenis kuman patogen yang terkait wabah pada
wisatawan diantaranya influenza virus, L. pneumophila, and Histoplasma
capsulatum. Puncak musim influenza di belahan bumi utara adalah sekitar
bulan Desember sampai Februari sedang di belahan bumi selatan adalah
sekitar bulan Juni sampai Agustus. Dan wisatawan yang melakuan
perjalanan ke daerah tropik berisiko sepanjang tahun.5
Perubahan tekanan udara pada saat pendaratan, lepas landas dapat
menimbulkan terjadinya sinusitis dan otitis media. Tranmisi infeksi di dalam
pesawat terbang tidak sering oleh karena adanya sirkulasi yang berulang
dan filtrasi udara walaupun demikian influenza, tuberkulosis, measles, dan
penyakit lainnya dapat terjadi akibat tranmisi di dalam pesawat. Tranmisi
dapat terjadi antar penumpang yang duduk saling berdekatan, biasanya
melalui kontak langsung dan droplet. Adanya jumlah orang yang banyak
Teks
263
seperti di bandara, kapal pesiar dan hotel dapat sebagai tempat tranmisi
dari patogen respirasi.
Kualitas udara yang tidak baik di tempat tujuan, dan adanya paparan sulfur
dioksida, nitrogen dioksida, karbon monoksida, ozone dan artikel lainnya
berhubungan dengan risiko kesehatan termasuk peradangan saluran napas,
eksaserbasi asma, PPOK, gangguan fungsi paru, bronkitis dan pneumonia.
Wisatawan yang memiliki risiko tinggi terjangkit infeksi saluran napas dan
paru adalah anak-anak, lansia dan orang dengan penyakit kronis seperti
PPOK dan asma.2,4,5
Diagnosis
Identifikasi kuman penyebab umumnya tidak terlalu banyak
dilakukan, biasanya diutamakan pada penyakit berat. Bila ada indikasi
metode diagnosis yang dapat dilakukan adalah:5,6
Metode molekuler untuk mendeteksi sejumlah virus termasuk virus
influenza, parainfluenza, adenovirus, human metapneumovirus,
dan patogen yang bukan virus
Rapid test untuk mendeteksi kuman patogen seperti respiratory
syncytial virus, influenza virus, L. pneumophila, and group
A Streptococcus.
Kultur mikrobiologi sputum dan darah
Pemeriksaan khusus utama untuk pasien yang dicurigai MERS,
H5N1 atau H7N9.
TEKS
264
Manifestasi Klinis
Sebagian besar infeksi saluran napas terutama yang mengenai
saluran napas atas adalah degnan klinis ringan tidak berbahaya. Infeksi
saluran napas sering dengan gejala rinorea dan faringitis. Infeksi saluran
napas bawah terutama pneumonia dapat menunjukkan gejala klinis yang
lebih berat. Infeksi saluran napas bawah sering menyebabkan demam, sesak
napas, dan nyeri dada dibanding dengan saluran napas atas. Batuk sering
ditemukan baik pada infeksi saluran napas atas maupun bawah. Pasien
dengan influenza umumnya ditandai dengan kejadian deman yang
mendadak, mialgia, sakit kepala dan batuk. Adanya MERS sebaiknya
dipertimbangkan bila ada wisatawan yang demam dengan gejala pneumnia
dalam 14 hari setelah datang dari perjalanan dari negara atau dekat dengan
negara semenanjung Arab atau ada riwayat kontak erat dengan wisatawan
lainnya. Klinisi sebaiknya waspada terhadap daerah-daerah yang
berhubungan dengan MERS, dan juga dipertimbangakan adanya infeksi
H5N1 dan H7N5 bila ada pasien yang menderita penyakit respirasi akut yang
berat yang membutuhkan rawat inap dan tidakk ada etiologi lain sebagai
penyebab dan pasien dalam sepuluh hari terakhir ada riwayat mendatangi
negara atau tempat yang terkonfirmasi kasus H5N1 atau H7N9 baik pada
manusia ataupun binatang atau pernah kontak erat dengan orang yang sakit
pada daerah tersebut dalam 10 hari terakhir. Emboli paru juga hendaknya
dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada seorang wisatawan
dengan sesak napas, batuk, nyeri pneuritik dan demam, terutama pada
Teks
265
pasien yang mempunyai riwayat perjalanan dengan kendaraan dalam waktu
lama atau pesawat udara yang cukup lama.4,5,6
Terapi
Tatalaksana penyakit yang terjadi pada wisatawan dan bukan
wisatawan pada perinsipnya sama, walaupun dengan penyakit yang
progresif dan berat. Yang sebaiknya dievaluasi adalah penyakit yang spesifik
pada daerah tujuan wisata dan ada tidaknya paparan. Sebagian besar infeksi
respirasi oleh karena virus biasanya ringan dan tidak membutuhkan terapi
khusus atau antibiotika. Terapi mandiri dengan antibiotika selama
perjalanan wisata dapat dipertimbangkan pada pasien dengan risiko tinggi
dengan gejala infeksi saluran napas bawah.5,6
Flurokuinolon respirasi seperti
levofloxacin atau macrolid seperi azitromisin dapat diberikan sebagai
persiapan sebelum perjalanan wisata.
Kondisi tertentu yang memerlukan intervensi medis yang optimal
diantaranya:5
Faringitis tanpa rinorea, batuk atau gejala lain yang
mengindikasikan adanya infeksi streptokokus group A
Adanya kejadian yang mendadak seperti batuk, demam dan nyeri
dada mengindikasikan adanya pneumonia atau emboli paru, bila
terjadi situasi ini sebaiknya seorang wisatawan mendapatkan
perawatan medis
TEKS
266
Wisatawan dengan kondisi penyakit sebelumnya seperti asma,
penyakit paru lainnya dan penyakit jantung sebaiknya mencari
pertolongan medis lebih awal dibandng wisatawan dengan kondisi
kesehatan yang baik.
Pencegahan
Vaksinasi mampu mencegah beberapa penyakit pada organ
respirasi, termasuk influenza, S. Pneumonia, H, influenza tipe B, pertusis,
dipteria, varicella, dan measles. Bila tidak ada kontraindikasi, wisatawan
sebaiknya divaksinasi influenza dan selanjutnya diberikan sebagai imunisasi
rutin.2,5,6
Menghindari penyakit respirasi saat perjalanan wisata sangat sulit
tapi pencegahan yang mungkin dapat dilakukan adalah sebagai berikut.5
Mengurangi kontak erat dengan seseorang yang menderita batuk
dan bersin
Sering-sering mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau
cairan dengan konsentrasi alkohol > 60% bila sabun dan air tidak
tersedia
Gunakan nasal vasokontriktor spray sebelum perjalanan dengan
pesawat udara bila memiliki ganguan pada tuba eustasius, untuk
mengurangi kemungkinan terkena otitis atupun barotrauma.
Teks
267
Ringkasan
Infeksi saluran napas termasuk pneumonia merupakan penyakit
yang cukup sering diderita oleh wisatawan setelah kembali dari perjalanan
wisata. Sekitar 20 % dari wisatawan ditemukan menderita infeksi saluran
napas. Sebelum melakukan perjalanan perlu di ketahui risiko dan faktor
risiko yang mungkin terjadi saat perjalanan seperti mengetahui
kemungkinan adanya penyakit didaerah wisata atau suadh adanya penyakit
tertentu pada diri seorang wisatawan.
Penanganan penyakit respirasi saat perjalan wisata ataupun setelah
kembali dari perjalanan wisata pada perinsipnya sama dengan orang tanpa
melakukan perjalanan wisata, namun perlu diperhatikan penyebab tertentu
sesuai riwayat dan pengetahuan akan kumam penyebab.
Walaupun paparan terhadap infeksi saluran napas sulit
dihindarkan, pencegahan dengan pemberian vaksin dapat memberika
kekebalan terhadap beberapa penyakit infeksi saluran napas dan jangan
lupa mengindari orang yang terinfeksi atau daerah yang rawan tranmisi
infeksi serta jangan lupa kebersihan diri sendiri seperti mencuci tangan
dengan baik.
Daftar Pustaka
1. Ryan ET, Kain KC. Health Advice and Immunizations For Traveler.
N Engl J Med 2000; 342: 1716-25
TEKS
268
2. World Health Organization, International Travel & Health:
Infectious diseases of potential risk for travelers; WHO, 2012.
3. Dinas Pariwisata Pemerintah Proinsi Bali. Disparda.baliprov.go.id
diakses tanggal 3/7/2016
4. Fenge HFG. Travel-associated pneumonias. Pneumologie 2014;
68 (10): 685-695
5. Ryan ET, LaRocque RC. Respiratory Infection the pre-Travel
Consultation Centers for Disease Control and Prevention
wwwnc.cdc.gov post travel evaluation.2016 diakses tanggal
3/7/2016
6. Jones TC, Syndromes in the retuened traveler, Cough and
Respiratory Tract Infections. In. Cohen J, Powderly WG, Berkley
SF, Calandra T, Clumeck N, Finch RG, Hammer Sc, et al. Editors.
Infectious Diseases, 2nd ed. Mosby, Edinburgh: 2004: p.1491-
1496