whatsapp: the dispute between social media using …

17
ARTIKEL WHATSAPP: THE DISPUTE BETWEEN SOCIAL MEDIA USING AND HOAX SPREADING Keynote: Media Literacy, Disinformation Messages, Whatsapp Group. 1 Isma Adila, Email: [email protected] © Isma Adila, 2020 Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 4, No. 1, 2020. Hal.60-76. Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA): Adila, Isma.2020.” Whatsapp: The Dispute Between Social Media Using and Hoax Spreading” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 4(1): 60-76. DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2020.004.1.05 Isma Adila 1 2 Widya Pujarama, Email: [email protected] Widya Pujarama 2 Arif Budi Prasetya 3 Ika Rizki Yustisia 4 Realizing good governance in communication activities through the media in Indonesia is not easy. Social media besides providing convenience also bring negative impacts for its users. Disinformation or hoax messages are disseminated via Whatsapp cause panic and anxiety. The older adult or the so-called silver surfer group is claimed to be a vulnerable group that consumes and/or disseminates hoax messages because their consumption patterns of media products are often carried out in the form of reinforcing their personal opinions, not cross-check information received. This study uses qualitative research methods with the aim to provide an overview of phenomenon about the spread of hoax messages by the older adult in their Whatsapp group and the social consequences. The lack of understanding media literacy impacts the difficulty of differentiating factual information and hoaxes. This research provides education to the public about the importance of media literacy, especially in the dissemination of disinformation, as well as giving an overview about the importance of media literacy, especially in the scope of the smallest organization, families. This also can be an academic consideration for the risk mitigation activities of the spread of hoax messages that were practiced by the Ministry of Information and Communication (Kominfo RI). 3 Arif Budi Prasetya, Email: [email protected] 4 Ika Rizki Yustisia, Email: [email protected]

Upload: others

Post on 21-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ARTIKEL

WHATSAPP: THE DISPUTE BETWEEN SOCIAL

MEDIA USING AND HOAX SPREADING

Keynote: Media Literacy, Disinformation Messages, Whatsapp Group.

1 Isma Adila, Email: [email protected]

© Isma Adila, 2020

Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 4, No. 1, 2020. Hal.60-76.

Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA): Adila,

Isma.2020.” Whatsapp: The Dispute Between Social Media Using and Hoax Spreading” Jurnal

Kajian Ruang Sosial-Budaya 4(1): 60-76.

DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2020.004.1.05

Isma Adila 1

2 Widya Pujarama, Email: [email protected]

Widya Pujarama 2 Arif Budi Prasetya 3 Ika Rizki Yustisia 4

Realizing good governance in communication activities through the media in Indonesia is

not easy. Social media besides providing convenience also bring negative impacts for its

users. Disinformation or hoax messages are disseminated via Whatsapp cause panic and

anxiety. The older adult or the so-called silver surfer group is claimed to be a vulnerable

group that consumes and/or disseminates hoax messages because their consumption patterns

of media products are often carried out in the form of reinforcing their personal opinions,

not cross-check information received. This study uses qualitative research methods with the

aim to provide an overview of phenomenon about the spread of hoax messages by the older

adult in their Whatsapp group and the social consequences. The lack of understanding media

literacy impacts the difficulty of differentiating factual information and hoaxes. This research

provides education to the public about the importance of media literacy, especially in the

dissemination of disinformation, as well as giving an overview about the importance of media

literacy, especially in the scope of the smallest organization, families. This also can be an

academic consideration for the risk mitigation activities of the spread of hoax messages that

were practiced by the Ministry of Information and Communication (Kominfo RI).

3 Arif Budi Prasetya, Email: [email protected] Ika Rizki Yustisia, Email: [email protected]

Whatsapp: The Dispute Between Social Media Using And Hoax Spreading 61

PENDAHULUAN

Keterpercayaan pesan merupakan kualitas utama dari informasi, yang semakin menantang

untuk dipastikan kebenarannya di era komunikasi digital saat ini, baik di dunia maupun di

Indonesia. Survei nasional yang diadakan oleh Mastel di tahun 2017 (BKKBN, 2017)

mengklaim bahwa aplikasi chatting seperti Whatsapp, Line, dan Telegram telah menjadi

saluran penyebaran HOAX menurut 62.80% responden, yang 62.10% pesan hoax berbentuk

tulisan dan 37% pesan HOAX berbentuk gambar diterima oleh responden penelitian tersebut.

Lebih lanjut, dalam survei Mastel tahun 2017 juga diklaim bahwa 44.30% user internet

menerima pesan HOAX setiap hari.

Ilahi (2018) dalam penelitian kuantitatifnya menggunakan Elaborated Likely Hood Model

menyimpulkan bahwa kelompok gender perempuan yang menjadi partisipan penelitian,

memiliki kerentanan untuk mempercayai dan cenderung ikut menyebar luaskan pesan HOAX

terutama mengenai penculikan anak karena memproses informasi yang diterima oleh mereka

melalui rute pheriperal.

Meski dinyatakan memiliki pengaruh langsung pada opini publik, sikap dan reaksi dari

sebagian besar penerima, tetapi pengirim maupun pesan HOAX belum menjadi isu kriminal

yang berujung pada tindakan hukum (Mastel, dalam BKKBN, 2017). Kementerian

Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo RI, 2019) menyatakan bahwa

kelompok individu dengan intelektual tinggi tetapi tidak lahir di era milenial memiliki

kerentanan yang tinggi untuk mengonsumsi dan menyebar luaskan pesan bohong atau

HOAX, karena informasi yang dibaca tidak lagi berfungsi sebagai pengetahuan baru, tetapi

konfirmasi atas opini atau pendapat yang sejalan dengan pesan HOAX yang disebar luaskan.

62 Adila

Mitigasi risiko penyebaran pesan HOAX kemudian dipilih menjadi strategi untuk

mengurangi penyebar luasan pesan HOAX yang dilakukan oleh Kominfo RI, yang mulai

2016 hingga 2018, dengan aktivitas governance atas pesan HOAX bekerja sama dengan

pemilik aplikasi Whatsapp dan sosial media lainnya, tetap menerima aduan yang meningkat

per tahunnya, seperti Gambar 1.1. Total Aduan Konten Negatif di Aplikasi Whatsapp 2016-

2018 berikut ini:

Gambar 1 Total Aduan Konten Negatif di Aplikasi Whatsapp 2016-2018. Diakses dari

https://www.kominfo.go.id/content/detail/16023/kominfo-beberkan-sederet-kasus-hoax-di-

Whatsapp/0/sorotan_media

Sayangnya, mitigasi risiko yang dilakukan oleh Kominfo masih berupa kebijakan makro,

yaitu menerima aduan dan berkoordinasi dengan pihak terkait untuk membatasi fitur

komunikasi terpola yang dimanfaatkan oleh penyebar konten HOAX. Belum ada kajian

ilmiah yang mendiskusikan kelompok usia tertentu yang rawan menyebarkan hoax seperti

individu yang tergolong dalam kelompok dewasa akhir, atau yang disebut oleh Blaschke dkk

(dalam Christina & Goldingay, 2012) disebut dengan Silver Surfer. Kelompok usia dewasa

akhir yang di tahun 2019 merupakan kelompok Baby Boomers sudah masuk dalam kategori

usia dewasa ketika internet hadir di Indonesia, sehingga pemanfaatan internet untuk aktivitas

komunikasi sosial dan ritual, terutama dalam grup-grup baik di media sosial maupun aplikasi

pesan merupakan hal yang baru dan asing sebelumnya.

Whatsapp: The Dispute Between Social Media Using And Hoax Spreading 63

Dari standpoint Ilmu Komunikasi, good governance memiliki potensi untuk diciptakan dalam

budaya interaksi individu melalui aplikasi pesan, terutama Whatsapp group melalui inisiasi

adaptasi ritual positif yang memperkuat media literacy bagi kelompok usia dewasa akhir atau

silver surfer dengan pemetaan aspek-aspek kerentanan dikonsumsinya dan disebar

luaskannya pesan disinformatif seperti pesan HOAX. Oleh sebab itu, penelitian ini memiliki

tujuan untuk memberikan gambaran komprehensif fenomena kerentanan kelompok sosial

dewasa akhir dalam aktivitas komunikasi bermedia serta memberikan masukan akademis

yang didapatkan melalui metode ilmiah untuk Kementrian Informasi dan Komunikasi

(Kominfo RI) untuk mitigasi risiko penyebar luasan informasi HOAX di Indonesia.

LITERASI MEDIA DALAM ERA DIGITAL

James W Potter (2008) mendefinisikan literasi media sebagai satu perangkat perspektif

dimana kita secara aktif memberdayakan diri kita sendiri dalam menafsirkan pesan-pesan

yang kita terima dan bagaimana cara mengantisipasinya. Pentingnya literasi media bagi

masyarakat, agar mereka aktif, cerdas, peka dan kritis dalam mengamati fenomena

pemberitaan media saat ini. Literasi media adalah pendidikan yang mengajari khalayak media

agar memiliki kemampuan menganalisis pesan media, memahami bahwa media memiliki

tujuan komersial/bisnis dan politik sehingga mereka mampu bertanggungjawab dan

memberikan respons yang benar ketika berhadapan dengan media (Rochimah, 2013, p. 28).

Sejak kemudahan berinteraksi disediakan oleh teknologi informasi komunikasi, kedudukan

manusia terhadap pesan yang dibawa media berubah, tidak hanya sebagai konsumen, tetapi

juga sebagai produsen dan distributor. Kedudukan sebagai produsen dan distributor sekaligus

idealnya dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan laju informasi. Dengan masifnya

informasi menerpa seseorang, seharusnya manusia sebagai individu mampu mengontrol

pesan atau informasi yang menerpa. Yang menjadi pengontrol pesan adalah khalayak (Abrar,

2003). Lebih lanjut Abrar menegaskan bahwa pemakaian teknologi komunikasi selalu

melahirkan perubahan sosial dalam masyarakat; pemakaian komputer untuk komunikasi telah

menyebabkan orang lebih percaya pada informasi yang ada di komputer daripada kenyataan

yang sebenarnya. Ketika mencari informasi di internet, mereka menciptakan alasan untuk

mencari informasi yang baru lagi dan lagi.

64 Adila

Mereka menyerahkan sebagian, kalau tidak seluruh, otoritas diri mereka pada internet.

Seorang individu pengguna teknologi komunikasi harus tahu persis apakah kelak perilakunya

baik dan responsnya proporsional. Dengan melek terhadap informasi yang dibawa teknologi

komunikasi, manusia akan memiliki otoritas dirinya, dan tidak akan terombang-ambing oleh

ketidakpastian informasi yang saat ini banyak beredar. Seorang pengguna yang melek media

akan berupaya memberi reaksi dan menilai suatu pesan media dengan penuh kesadaran dan

tanggung jawab (Zamroni & Sukiratnasari, 2011, p. 84).

Menurut Paul Gilster dalam bukunya yang berjudul Digital Literacy (1997), literasi digital

diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai

bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas yang diakses melalui piranti komputer. Bawden

(2001) menawarkan pemahaman baru mengenai literasi digital yang berakar pada literasi

komputer dan literasi informasi. Dengan demikian, mengacu pada pendapat Bawden, literasi

digital lebih banyak dikaitkan dengan keterampilan teknis mengakses, merangkai,

memahami, dan menyebarluaskan informasi. Sementara itu, Douglas A.J. Belshaw dalam

tesisnya What is ‘Digital Literacy ‘? (2011) mengatakan bahwa ada delapan elemen esensial

untuk mengembangkan literasi digital, yaitu (1) Kultural; (2) Kognitif; (3) Konstruktif; (4)

Komunikatif; (5) Kepercayaan diri yang bertanggung jawab; (6) Kreatif; (7) Kritis dalam

menyikapi konten; dan (8) Bertanggung jawab secara sosial. Dari beberapa pendapat di atas

dapat disimpulkan bahwa literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk

menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan,

mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak,

cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi

dalam kehidupan sehari-hari.

Whatsapp: The Dispute Between Social Media Using And Hoax Spreading 65

Prinsip pengembangan literasi digital menurut Mayes dan Fowler (2006) bersifat berjenjang.

Terdapat tiga tingkatan pada literasi digital. Pertama, kompetensi digital yang meliputi

keterampilan, konsep, pendekatan, dan perilaku. Kedua, penggunaan digital yang merujuk

pada pengaplikasian kompetensi digital yang berhubungan dengan konteks tertentu. Ketiga,

transformasi digital yang membutuhkan kreativitas dan inovasi pada dunia digital.

INFORMASI DAN KREDIBILITAS DALAM MEDIA SOSIAL

Informasi dalam media online atau internet memiliki dasar persepsi interaktivitas dan kaitannya

dengan media massa serta jaringan komputer. Informasi yang ada di media tradisional dianggap

kurang menarik karena kurangnya interaktivitas antara khalayak atau pengguna dengan produsen

informasinya. Sementara dalam media online, terdapat fitur feedback (Newhagen, 1997). Fitur

feedback berfungsi sebagai sistem regulasi diri bagi media-media ini. Sehingga media dengan

fitur feedback semacam kolom komentar, penyediaan akun formspring, penyediaan media Twitter

atau email redaksi akan memiliki kredibilitas yang lebih baik dibandingkan dengan media online

yang tidak memilikinya karena mampu menerima tanggapan secara cepat dari pengguna media.

Berangkat dari pemahaman akan informasi yang memiliki berbagai makna dan sisi serta keadaan

internet yang membawa era konvergensi dan membuat pola penyampaian dan penerimaan pesan

berubah, keberadaan informasi yang disajikan melalui internet dapat menjadi sebuah hal yang

bisa menimbulkan keraguan akan kredibilitas dari informasi yang hadir dalam internet. Teknologi

komunikasi baru telah mematahkan kesakralan dari jurnalisme. Sekarang setiap orang yang

memiliki telepon genggam berkamera dan blog personal di internet dapat menjadi seorang

reporter (Moretzsohn, 2006).

Informasi yang datang dari internet dikatakan menjadi sebuah informasi yang dipercaya oleh

banyak kalangan dan dianggap juga cukup kredibel dalam memberikan informasi dibanding

dengan media tradisional yang cenderung propagandis dan memiliki tujuan-tujuan. Namun arus

informasi yang benar-benar bebas juga menambahkan potensi adanya eksploitasi dan kesalahan

informasi. Sementara kredibilitasnya justru bukan karena informasi melainkan karena adanya

interaksi antara pengguna media dengan produsen informasi (Fogg, Marshall, Osipovich, Varma,

& Fang, 2001).

66 Adila

Informasi yang bertumpuk juga membuat pengguna media tidak lagi bisa menyeleksi secara

selektif hal-hal yang sifatnya teknis karena kecepatan yang dibutuhkan. Sehingga kredibilitas

suatu informasi harus dimulai sejak awal sebelum sebuah informasi sampai kepada khalayak

(Schweiger, 2000).

Salah satu contoh yang paling bisa diaplikasikan dalam bidang komunikasi adalah keberadaan

“Gerakan Wiki”, yang merupakan contoh terbaik dari tren media baru dan demokrasi pengguna

media (Moretzsohn, 2006). Kontributor lepas dapat bergabung secara kolaboratif untuk menulis,

memproduksi dan menyebarluaskan informasi dalam banyak bahasa yang disediakan. Rasa

terimakasih juga disampaikan kepada kecepatan internet yang semakin baik dan hypertext yang

dapat diedit oleh setiap kontributor. Sehingga hasilnya, sebelum artikel-artikel wikipedia ini

terposting ke internet tidak akan ada review atau pemeriksaan terlebih dahulu (Moretzsohn, 2006).

Memang peran wikipedia dalam membuat fraud, hoax atau manipulasi ini lebih kecil dan

meskipun terjadi akan memberikan efek yang jauh lebih kecil dan tidak fatal. Kredibilitas sebuah

informasi dari media baru dan kemungkinan manipulasi justru datang dari jurnalisme partisipatif

atau yang biasa dikenal dengan online journalism. Akan ada dilema karena kemungkinan jurnalis

partisipatif bisa menyertakan agenda tersembunyi mereka masing-masing. Namun pengakuan

bahwa jurnalis merupakan pilar keempat dan perannya sebagai mediator masih memiliki kekuatan

sendiri (Moretzsohn, 2006). Kredibilitas juga bisa dilihat melalui presume (berdasarkan pada

asumsi), reputasi (berdasarkan kepada laporan-laporan pihak ketiga), permukaan (berdasarkan

kepada inspeksi primitif) dan pengalaman (berdasarkan kepada pengalaman orang pertama).

Sehingga kredibilitas bisa diukur berdasarkan keahlian para penggunanya, pemahaman para

penggunanya, kebutuhan informasi dari para penggunanya dan tingkat evaluasi kesalahan atas

informasi yang ada (Tseng; Fogg, 1999).

Whatsapp: The Dispute Between Social Media Using And Hoax Spreading 67

Sementara reliabilitas dan kredibilitas juga punya kriteria-kriteria lain seperti tingkat

konsistensinya dalam fungsinya sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

tentangnya, stabilitas yang diberikan dalam jangka waktu panjang, konsistensi performa dalam

skala-skala tertentu dan keberadaan dua bentuk paralel untuk bisa mengukur konsep yang sama

(Wimmer; Dominick, 1997). Sehingga sebuah validitas, reliabilitas dan kredibilitas bisa menjadi

sesuatu yang memiliki parameter namun harus tetap dibuktikan berdasarkan observasi lebih lanjut

yang harus dilakukan oleh pengguna media (Penrod, 2005).

HOAX

Istilah hoax telah menjadi istilah yang popular untuk menggambarkan suatu peristiwa palsu, bohong, atau

berita bohong khususnya yang beredar pada teks-teks di media sosial (Triartanto, 2015). Hoax juga dapat

dipahami sebagai informasi atau berita yang belum pasti kebenarannya atau hal-hal yang tidak sesuai dengan

fakta yang terjadi (Juditha, 2018). Hoax tidak hanya berupa informasi berupa teks, berita atau opini palsu,

namun juga mencakup data, foto, dan gambar. Dalam konteks media cyber hoax dapat dipahami sebagai

informasi bohong yang disebar luaskan atau upaya untuk menipu pembaca atau audiens melalui cyber media

agar pembaca mempercayai informasi yang disebarkan (Triartanto, 2015, hal. 33). Fenomena informasi

bohong atau hoax termasuk ke dalam persoalan baru di masyarakat yang siapa pun dapat menjadi sasarannya.

Hal ini dapat berdampak pada hadirnya persepsi negative pada objek informasi maupun terjadinya kondisi

yang tidak kondusif di masyarakat.

Hoax tidak hanya bertujuan untuk memberikan informasi bohong kepada rang lain. Hoax juga dapat membuat

orang lain terlibat ke dalam suatu permasalahan atau konflik, bahkan hoax juga dapat digunakan untuk

memperoleh keuntungan bagi orang yang menyebarkan atau menciptakannya Menurut Salomon (2009) dan

Milhorn (2007), Hoax dapat digunakan sebagai suatu lelucon atau untuk mengelabuhi seseorang untuk

mempercayai sesuatu yang tidak benar atau palsu. Milhorn (2007) juga menyebutkan bahwa informasi bohong

yang disebarkan tidak selalu bertujuan untuk memperoleh keuntungan atau profit. Hoax terkadang hanya

digunakan untuk memberikan lelucon bagi orang lain, atau memberikan kesan superioritas (Ilahi, 2018).

Penciptaan informasi palsu untuk lelucon kerap disebut sebagai prank karena tidak memiliki konsekuensi yang

besar dan serius.

Dunn et. al. (2005) (dalam Ilahi, 2018) menyebutkan bahwa informasi bohong yang beredar di internet dapat

dikategorikan sebagai pesan berantai, virus komputer atau disebarkan oleh software hoax, hoax kesehatan,

rumor, lelucon, hingga berupa mitos.

68 Adila

PERSEBARAN HOAX DALAM APLIKASI CHATTING WHATSAPP

Triartanto (2015, p. 33) mendefinisikan pesan hoax sebagai teks atau konten yang sengaja digunakan sebagai

berita bohong atau usaha penipuan melalui media cyber bagi para pembaca yang cenderung mempercayai

segala informasi melalui media. Pesan hoax memiliki banyak bentuk, mulai dari tulisan dalam bentuk opini

maupun berita, data, foto, hingga produk audio visual seperti video. Kata-kata ini populer sejak internet

menjadi bagian dari produk budaya populer yang dikonsumsi secara global.

Salah satu media penyebar luasan pesan hoax yang terdokumentasikan adalah Whatsapp. Meski memiliki

potensi untuk menjadi perpanjangan ruang dan waktu bagi aktivitas komunikasi organisasi di institusi-institusi,

terutama institusi pendidikan (Pujarama & Prasetya, 2019), Whatsapp sebagai aplikasi instant messaging di

smartphone yang memungkinkan penggunanya untuk mengirimkan pesan yang kaya berupa real-time

location, kata-kata, gambar, video, dan audio tanpa biaya ke individu personal maupun grup (Church & De

Oliveira, 2013), juga dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk menyebar luaskan pesan

hoax secara berantai dan juga instant. Fitur-fitur yang terus dikembangkan oleh Whatsapp membuat aplikasi

pesan ini menjadi preferensi utama dan menyita perhatian pengguna dari platform media sosial besar seperti

Facebook dan Twitter, pengiriman pesan tradisional, maupun email (Saner, 2016).

Keunggulan Whatsapp menurut Church dan de Oliviera (2013) bisa dilihat dari delapan faktor penarik

perhatian penggunanya. Pertama, Whatsapp dianggap murah karena menggunakan paket data. Kedua,

Whatsapp memiliki pengaruh sosial, karena digunakan oleh saudara dekat, dan teman-teman. Ketiga,

Whatsapp tidak memiliki batasan karakter, tidak seperti beberapa platform lain. Keempat, Whatsapp

memfasilitasi group chat dan menimbulkan sense of connectedness karena digunakan oleh kelompok dengan

hubungan sosial yang erat. Kelima, Whatsapp memiliki immediacy, privacy concern dan expectation, dengan

fitur penanda apakah pesan telah diterima, dibuka, dan kemudian dibalas. Keenam, ada fitur status dari contact

yang dimiliki oleh pengguna, serta status dari pesan yang telah dikirimkan. Keenam, Whatsapp dinyatakan

reliable, karena pesan selalu terkirim kepada pengguna lain yang dituju.

Kedelapan, Whatsapp memberi kesempatan penggunanya untuk mengontrol notifikasi yang diterimanya.

Dengan kata lain, Whatsapp memfasilitasi pengguna untuk mengirimkan pesan dengan tingkat keterpercayaan

yang tinggi dan kontrol atas pesan yang terukur. Kuasa atas pengguna Whatsapp untuk pengiriman pesan tidak

dengan serta merta menggambarkan proses komunikasi yang sehat dalam aplikasi pesan tersebut. Whatsapp,

layaknya media sosial lain seperti Facebook, Twitter, dan Instagram juga difungsikan sebagai media

pemberitaan. Sebagai konsekuensinya, berita bohong, kesalahpahaman, dan chaos dalam kelompok

masyarakat tertentu muncul karena kaidah jurnalistik tidak lagi menjadi prioritas ketika pengirim pesan adalah

seseorang yang dekat atau dipercaya oleh pengguna Whatsapp.

Whatsapp: The Dispute Between Social Media Using And Hoax Spreading 69

Pesan yang disebar luaskan oleh seseorang yang kita kenal, dan bisa jadi berfungsi sebagai peringatan bagi

orang lain yang dipercaya oleh pengguna, dengan mudah akan diteruskan atau di-forward, sehingga pesan

hoax menjadi populer atau viral.

APLIKASI WHATSAPP

Whatsapp merupakan aplikasi pengiriman pesan melalui smartphone yang memungkinkan penggunanya untuk

melakukan pengiriman pesan dan menerima pesan teks, lokasi, gambar, video, audio baik secara langsung dari

individu ke individu maupun secara berkelompok secara gratis (Chruch & Oliveira, 2013). Whatsapp dapat

digunakan dengan memanfaatkan koneksi mobile internet dan pengguna perlu mengunduh perangkat lunak

Whatsapp di ponsel yang mereka miliki agar dapat menggunakan aplikasi Whatsapp. Whatsapp memiliki fitur

untuk mengetahui pengguna lain yang sedang online, atau pengguna lain sedang menulis pesan, serta dapat

mengetahui waktu kapan terakhir pengguna lain mengaktifkan aplikasi Whatsapp. Selain itu, Whatsapp juga

memiliki fitur untuk melihat status pengiriman pesan kita, namun fitur-fitur tersebut dapat diaktifkan atau

dinonaktivkan sesuai dengan pengaturan masing-masing pengguna. Bahkan menurut Saner (2016) (dalam

Ilahi, 2018), Whatsapp merupakan awal dari tantangan besar bagi social media platform yang sudah ada

sebelumnya seperti Facebook dan witter serta pengiriman pesan tradisional seperti email.

Chruch dan Oliveira (2013) menemukan delapan faktor yang memotivasi pengguna untuk memilih aplikasi

Whatsapp daripada menggunakan aplikasi pengiriman pesan yang lain. Faktor-faktor tersebut diantaranya

adalah aplikasi Whatsapp tidak berbayar karena berbasis internet. Motivasi kedua adalah pengaruh sosial,

pengguna aplikasi Whatsapp memilih aplikasi ini disebabkan adanya saran atau kerabat dekat yang juga

menggunakan aplikasi ini. Faktor selanjutnya disebabkan aplikasi Whatsapp tidak memiliki batasan karakter

dalam pengiriman pesan, tidak seperti beberapa aplikasi pengiriman teks lain. Faktor selanjutnya adalah

Whatsapp yang mampu memberikan fasilitas obrolan grup dan memberikan rasa saling terhubung antar

penggunanya. Whatsapp dianggap sebagai aplikasi yang memiliki kedekatan secara personal dan pada

praktiknya Whatsapp kerap digunakan oleh pengguna atau komunitas yang memiliki hubungan dekat. Kelima,

Whatsapp dianggap sebagai aplikasi yang memberikan kedekatan, menjaga privasi pengguna. Pengguna

Whatsapp beranggapan bahwa setiap pesan yang dikirimkan melalui aplikasi ini akan selalu diterima, dibaca,

dan dibalas lebih cepat. Hal tersebut dikarenakan pada aplikasi ini terdapat fitur yang memungkinkan

pengguna untuk mengetahui status atau informasi kesediaan pengguna lain dalam menggunakan aplikasi ini.

Whatsapp juga memberikan fitur untuk memblokir pengguna lain. Faktor yang ke enam adalah anggapan

bahwa Whatsapp dapat diandalkan sebagai aplikasi yang akan selalu mengirimkan pesan dengan baik. Faktor

ketujuh adalah Whatsapp dianggap sebagai suatu bentuk teknologi baru dalam berkomunikasi. Faktor terakhir

adalah pemberitahuan dari aplikasi Whatsapp akan selalu terihat dan diatur sesuai dengan kebutuhan

pengguna.

70 Adila

Whatspp dipilih sebagai aplikasi pengiriman pesan dalam penelitian ini selaras dengan penelitian

Fajriningtyas (2016 dalam Ilahi, 2018) tentang pekerja wanita di Indonesia yang menganggap bahwa

Whatsapp merupakan aplikasi yang wajib ada pada smartphone yang mereka miliki. Penelitian ini berfokus

pada bagaimana sikap para ibu dalam menyikapi hoax tentang penculikan yang beredar sebagai pesan berantai

di Whatsapp.

SILVER SURFER DAN KERENTANAN TEKNOLOGI

Sanchez-Moya dan Cruz-Moya (2015) mengklaim bahwa Whatsapp telah menjadi “a core form of

communication in many social communities” dan bertransformasi sebagai sebuah media sosial terutama

dengan penyediaan sarana multimodal dalam bentuk Whatsapp status. Hal ini membuat Whatsapp menjadi

preferensi media pengiriman dan penerimaan pesan yang utama bagi berbagai kalangan usia, termasuk

kelompok usia dewasa akhir. Pengelompokan usia secara akademis bisa dilihat dari bahasan-bahasan

mengenai digital divide, yang berargumen bahwa terdapat ketimpangan atas kompetensi pengguna, maupun

preferensi yang menyebabkan munculnya kelompok sosial yang berdaya saat menggunakan media komunikasi

dan yang rentan terpapar risiko negatif dari media komunikasi yang ada.

Kelompok usia muda diklaim lebih mudah untuk menerima dan menggunakan media komunikasi karena

terlahir bersamaan atau setelah keberadaan internet, dimana kelompok usia yang lebih tua menjadi kelompok

berisiko karena budaya komunikasi yang berbeda sebelum internet muncul. Fietkiewicz (2017) menyebutkan

bahwa kelompok usia lanjut atau silver surfer menggunakan internet tidak lagi hanya untuk mengirim dan

menerima email, tetapi juga untuk aktivitas sosial melalui media sosial, meski menjadi anggota pasif dari

media sosial yang ada untuk sekedar terhubung dengan orang lain yang telah dikenal sebelumnya.

Penelitian tentang kelompok silver surfer sebelumnya telah dilakukan oleh Doyle dan Goldingay (2012).

Penelitian tersebut berfokus pada bagaimana kebutuhan psikologi dari kelompok usia dewasa akhir atas

keterhubungan sosial dan inklusi terpenuhi melalui online social networking. Kesulitan dan kemudahan yang

dialami oleh silver surfer saat menggunakan jejaring sosial online merefleksikan kesulitan dan kemudahan

yang terjadi ketika kelompok usia yang diteliti berinteraksi dalam dunia nyata. Dengan demikian, bisa

dinyatakan bahwa adopsi silver surfer dan migrasi aktivitas komunikasi dari dunia nyata ke dunia maya lebih

menantang dan rentan akan risiko negatif, salah satunya dalam bentuk kecenderungan kelompok usia dewasa

akhir untuk mengonsumsi dan ikut menyebar luaskan pesan hoax.

Whatsapp: The Dispute Between Social Media Using And Hoax Spreading 71

METODE

Riset ini menggunakan data primer diperoleh dari hasil transkrip wawancara dengan empat orang informan

serta informasi yang didapat dari grup Whatsapp para informan. Sedangkan untuk data sekunder dalam riset

ini adalah literatur, jurnal, majalah dan buku-buku yang menjadi sumber utama penelitian ini. Data

dikumpulkan dengan teknik purposive sampling karakteristik peer review dengan cara mengirimkan asisten

peneliti untuk bertanya pada peer atau teman sebaya sesama mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UB

tentang pengalaman penyebar luasan pesan hoax dalam grup Whatsapp keluarga mereka. Data yang diperoleh

kemudian dianalisis menggunakan teknik analisis dalam penelitian fenomenologi Cresswell (2007) dengan

mengikuti langkah-langkah Moustakas yang meliputi perumusan masalah, menentukan fenomena, melakukan

horisonalisasi, membuat cluster of meaning, dan memformulasikan composite.

KARAKTERISTIK PESAN HOAX

Berdasarkan hasil penelitian, keempat informan mengakui bahwa grup Whatsapp keluarga sering kali menjadi

media penyebaran pesan hoax. Konten pesan hoax yang disebarluaskan cukup beragam, mulai dari informasi

terkait kesehatan, isu pemblokiran Whatsapp, agama, bencana alam, dan juga politik (karena berbarengan

dengan gelaran Pilpres 2019). Pesan-pesan ini memiliki ciri spesifik yang hampir sama, yaitu: (1) terkesan

faktual karena memuat informasi-informasi penting yang sifatnya keseharian; (2) tidak mencantumkan sumber

yang jelas dan kredibel; (3) berisi himbauan atau anjuran untuk memviralkan atau menyebarkan pesan tersebut;

(4) cara penyampaian pesan cukup hiperbolis sehingga menyiratkan kesan bahwa informasi tersebut benar

adanya; dan (5) berisi pesan-pesan bernada propaganda (biasanya terkait pesan politik yang berkaitan dengan

Pilpres 2019 dan agama).

Pesan-pesan hoax yang tersebar dalam grup Whatsapp keluarga tersebut dikemas dalam bentuk berita sehingga

memiliki kesan bahwa informasi yang terkandung di dalamnya adalah sebuah fakta penting, meski tidak

didukung dengan data yang valid dan kredibel. Keempat informan menyatakan bahwa pesan-pesan hoax

banyak disebar oleh anggota keluarga yang sudah senior atau lebih tua usianya. Seringkali penyebaran pesan

hoax ini dilakukan secara spontan karena para penyebar pesan merasa bahwa informasi yang terkandung dalam

pesan memiliki tingkat urgensi yang tinggi.

Keempat informan juga menyatakan bahwa para tetua dalam keluarga seringkali tidak melakukan konfirmasi

dan verifikasi terlebih dahulu atas kredibilitas sumber dan kebenaran pesan tersebut sebelum kemudian

menyebarkannya pada anggota keluarga yang lain, terlebih lagi jika mereka mendapati pesan tersebut

mencantumkan sumber dari portal berita yang secara personal mereka anggap kredibel.

72 Adila

Menurut beberapa informan, mereka dapat mengetahui dan mengidentifikasi pesan-pesan mana yang

tergolong sebagai berita dan mana yang tergolong sebagai hoax. Bahwa pesan hoax sering kali dikemas secara

menarik dengan dilengkapi gambar-gambar atau pun video sehingga terkesan lebih meyakinkan dan dapat

dipercaya. Selain itu, pesan hoax sering kali mencantumkan pendapat dari sumber yang seolah-olah memiliki

kapasitas dan kredibilitas tertentu seperti dokter misalnya. Menariknya, sering kali informan/sumber berita

yang ditulis tersebut hanyalah rekayasa atau karangan si pembuat pesan saja (fiktif).

Meskipun perbedaan antara berita faktual dan berita hoax sangat tipis, namun keempat informan menyatakan

bahwa terdapat kata kunci yang membuat mereka mudah mengenali pesan hoax, yaitu : “sebarkan” dan

“viralkan”. Bahkan beberapa pesan hoax menuliskan anjuran untuk menyebarkan pesan dengan lebih konkret,

misalnya : “sebarkan pesan ini, jika tidak maka Whatsapp Anda akan terblokir” atau “sebarkan pesan ini ke

10 orang atau jika tidak maka…”. Menurut keempat informan, kalimat template ini merupakan salah satu ciri

khas pesan hoax. Karena alasan itulah, biasanya para tetua dalam keluarga tergerak untuk langsung

menyebarkan pesan hoax ke grup-grup Whatsapp keluarga.

FENOMENA FORWARDED MESSAGE

Pesan hoax yang disebar melalui grup Whatsapp keluarga dari keempat informan dalam penelitian ini sebagian

besar merupakan pesan yang diteruskan (forwarded message) dari grup-grup lain. Umumnya, pesan hoax yang

disebarkan berasal dari grup alumni semasa sekolah ataupun grup-grup keagamaan. Intensi atau motif

penyebaran pesan adalah untuk sharing atau berbagi informasi, meskipun anggota keluarga yang menyebarkan

pesan tersebut tidak tahu kebenaran dari informasi yang disampaikannya tersebut.

Meskipun lebih banyak pesan berasal dari grup lain (forwarded message), namun terdapat juga pesan hoax

yang ditulis sendiri oleh salah satu anggota keluarga informan. Bahkan, ada juga yang melakukan modifikasi

konten dengan menambahkan opini personal dengan menggunakan kalimat bernada provokatif. Beberapa

informan berpendapat bahwa ada faktor lain yang menyebabkan rentannya penyebaran pesan hoax di

antaranya kemudahan melakukan copy-paste pesan sehingga lebih mudah untuk langsung menyebarkannya.

Selain itu, ada anggota keluarga yang memaknai bahwa niat berbagi informasi adalah yang terpenting bagi

mereka. Budaya untuk saling berbagi informasi inilah yang kemudian melatarbelakangi para tetua dalam

keluarga untuk menyebarkan pesan hoax. Hal ini dialami oleh informan UY ketika mencoba menghimbau

ayahnya untuk tidak menyebarkan berita hoax namun ayahnya justru mengungkapkan bahwa tidak ada yang

salah dengan hal itu: ‘gapapa sih disebar doang, nggak merugikan kok’.

Whatsapp: The Dispute Between Social Media Using And Hoax Spreading 73

LITERASI MEDIA DIGITAL SEBAGAI MODAL UTAMA DALAM MENGGUNAKAN SOSIAL

MEDIA.

Berdasarkan hasil temuan data yang didapatkan, penelitian ini memperlihatkan pentingnya konsep literasi

media khususnya dalam aspek media digital. Hal ini dikarenakan sesuai dengan hasil wawancara bahwa

kurangnya literasi media menyebabkan tersebarnya pesan hoax. Tidak hanya itu, literasi media digital juga

merupakan salah satu modal paling utama dalam menggunakan media sosial. Konsep literasi media ini juga

tidak merujuk pada tataran usia tertentu, sebab pengguna media sosial tidak memandang struktur usia

penggunanya.

Fenomena kurangnya literasi dan maraknya hoax ini, disebabkan banyaknya Informasi di media sosial yang

tidak disaring. Dalam situasi seperti ini ternyata banyak pengguna media sosial yang tidak mampu memilah

mana informasi yang benar dan mana yang palsu. Kemampuan menemukan informasi yang benar di saat banjir

informasi saat ini memang tidak gampang. Kondisi ini diperburuk dengan banyaknya orang yang tergantung

pada media sosial. Mayoritas mereka tidak memahami bagaimana menggunakan media sosial yang bijak.

Sebagai dampak dari ketergantungan pada media sosial adalah terjadinya the decline of literacy.

Konsep literasi media digital sebagai aspek utama dalam perannya sebagai bagian dari perkembangan

teknologi komunikasi perlu untuk diperhatikan secara intensif. Pengguna media sosial harus mengedepankan

pemahamannya terutama dalam menyebarkan sebuah pesan, terkait dengan beberapa platform media sosial

yang digunakan. Penekanan pada tersampaikannya informasi, dalam beberapa kasus, menjadi penyebab

tersebarnya pesan dengan kualitas yang dipertanyakan. Salah satu faktor munculnya hoax adalah kurangnya

literasi media tersebut. Suatu hal yang ironis adalah ketika pengguna media sosial dengan usia dewasa akhir

justru menjadi penyebar hoax dalam struktur keluarga. Penekanan mengenai pentingnya literasi media menjadi

salah satu focus yang mendasari munculnya regulasi dalam media sosial. Mengurangi jumlah pelanggaran

menjadi salah satu tujuan utama dari dibentuknya regulasi tersebut.

Poin selanjutnya dalam literasi media juga merujuk pada para pengguna dalam lingkup organisasi terkecil

yaitu keluarga. Ketika anggota keluarga disatukan oleh media sosial, kemudian terjadi pertukaran pesan dalam

media tersebut, saat itulah potensi munculnya informasi yang bersifat hoax terjadi. Mengapa demikian? Sebab

literasi media masih belum menjadi prioritas utama dalam masyarakat saat ini. Merujuk pada apa yang

disampaikan oleh informan penelitian ini, bahwa kecenderungan anggota keluarga menyampaikan pesan yang

bersifat hoax merupakan bukti bahwa literasi media sangat dibutuhkan. Akibat yang ditimbulkan oleh

penyebaran pesan tersebut tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab bisa jadi akan menimbulkan kesalahan

persepsi hingga berujung pada pelanggaran hukum yang berlaku.

74 Adila

Seolah menjadi hal yang lumrah ketika anggota keluarga mengirimkan pesan yang notabene bersifat hoax,

dengan argument bahwa “pesan dari grup sebelah” seolah mengaburkan asas tanggung jawab. Hal ini

membuktikan bahwa praktik cover both side dan “saring sebelum sharing” jarang dilakukan dalam

menggunakan media sosial, khususnya Whatsapp dalam lingkup grup keluarga. Ketidakpahaman terhadap

konsep media sosial menjadi salah satu faktor penyebab tersebarnya pesan hoax tersebut. Untuk itu literasi

media, khususnya dalam media digital, perlu untuk digalakkan sampai lingkup organisasi terkecil yaitu

keluarga.

Terpaan pesan yang kuat di media dapat menanamkan kepasifan pada diri khalayak. Agar terlepas dari kondisi

ini, maka pengguna media sosial harus berdaya dan melek media. Gerakan melek media muncul sebagai

bentuk kekhawatiran akan pengaruh media yang lebih berdampak buruk bagi masyarakat. Di samping itu

dengan kemampuan melek media masyarakat maka kekuatan pemilik dan pelaku media bisa lebih di kontrol.

INFORMASI DAN KREDIBILITAS BERITA

Faktor yang menjadi salah satu penyebab kurangnya literasi media bagi pengguna media sosial adalah

ketidakmampuan membedakan antara informasi dan berita. Tanpa bisa membedakan informasi atau berita, hal

tersebut akan langsung disebarkan dalam pesan Whatsapp tersebut. Pentingnya pemahaman mengenai dunia

jurnalistik juga perlu menjadi modal dalam bermedia sosial. Kemampuan untuk membedakan mana yang

bersifat informasi saja dengan mana yang merupakan suatu berita, penting dalam menggunakan media sosial.

Pemahaman mengenai literasi media penting untuk diterapkan, terutama dalam lingkup keluarga.

Membedakan antara pesan yang bersifat informasi saja dengan yang bersifat berita merupakan salah satu aspek

penting ketika person tersebut berperan sebagai komunikator. Hal tersebut tentunya berisiko ketika suatu pesan

yang bersifat informasi kemudian dipahami sebagai sebuah berita yang disebarkan secara luas. Dampak

terdekat adalah menimbulkan konflik, dalam konteks kajian ini adalah lingkup keluarga. Kemampuan melihat

dan membedakan serta mengetahui kredibilitas suatu informasi merupakan bagian dari pentingnya konsep

literasi media.

Informasi yang kredibel memang layak untuk dinikmati oleh seluruh masyarakat. Dalam lingkup keluarga,

informasi dan berita yang kredibel dapat memberikan dampak signifikan dalam melindungi dari konflik yang

terjadi.

Whatsapp: The Dispute Between Social Media Using And Hoax Spreading 75

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kelompok sosial dewasa

akhir memiliki kerentanan dalam menyebarkan Hoax di grup whatsapp keluarga melalui berbagai bentuk. Hal

ini disebabkan oleh rendahnya literasi media yang dimiliki oleh kelompok tersebut. Poin yang tidak kalah

penting adalah kemampuan untuk mengetahui informasi atau berita yang kredibel. Dengan mengetahui

kredibilitas suatu berita atau informasi, potensi tersebarnya Hoax dapat diminimalisir.

Dengan melihat poin-poin tersebut, kita bisa melihat bahwa permasalahan yang terjadi dalam lingkup

organisasi terkecil yaitu keluarga memberikan dampak yang signifikan dalam perkembangan teknologi media

sosial, khususnya aspek konten. Melihat hal tersebut maka perlu kita tekankan pentingnya konsep literasi

media. Dengan memahami literasi media, kredibilitas seorang pengguna media dapat dibuktikan. Selain itu,

konsep literasi media juga dapat mengurangi konflik yang disebabkan oleh penyebaran hoax. Aspek khusus

dalam konteks riset ini adalah menghindari konflik di lingkup keluarga.

76 Adila

DAFTAR PUSTAKA

BKKBN RI. (2017). Hasil survei Mastel tentang wabah HOAX nasional.

https://www.bkkbn.go.id/po-

content/uploads/Infografis_Hasil_Survey_MASTEL_tentang_Wabah_Hoax_Nasional.pdf

Creswell, J. W. (2007). Qualitative inquiry & research design: Choosing among five approaches.

Thousand Oaks: Sage Publications.

Doyle, C., & Goldingay, S. (2012). “The rise of the ‘silver surfer’: Online social networking and social

inclusion for older adults.” Journal of social inclusion. 3(2). Pp. 40-54. Diakses dari

http://dro.deakin.edu.au/eserv/DU:30050135/goldingay-riseofthesilver-2012.pdf pada tanggal

18 Maret 2019.

Fetkiewicz, K. (2017). “Jumping the digital divide: How do ‘silver surfers’ and ‘digital immigrants’

use social media.” Networkig Knowledge 10 (1).

Ilahi, H. N. (2018). “Women and HOAX news processing on Whatsapp.” Jurnal Ilmu Sosial Politik.

22(2). Doi 10.22146/jsp.31865

Kominfo RI. 2019. Kominfo beberkan sederet kasus HOAX di Whatsapp. Diakses dari

https://www.kominfo.go.id/content/detail/16023/kominfo-beberkan-sederet-kasus-hoax-di-

Whatsapp/0/sorotan_media pada tanggal 18 Maret 2019.

Kominfo RI. n.d. Melawan Hoax. Diakses dari https://kominfo.go.id/content/detail/8790/melawan-

hoax/0/sorotan_media pada tanggal 18 Maret 2019.

Sanchez-Moya, A., & Cruz-Moya, O. (2015). “’Hey there! I am using Whatsapp’: A

preliminary study of discursive realisation in a corpus of Whatsapp status.” Procedia –

Social and Behavioral Sciences 212. Pp. 52-60. Doi: 10.1016/j.sbspro.2015.11.298