woc interna peritonitis

56
Referat Peritonitis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut (peritonieum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterisemia atau sepsis. Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, ataudari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis. Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari

Upload: anisha-puspa-melati

Post on 27-Oct-2015

100 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

woc interna peritonitis

TRANSCRIPT

Referat Peritonitis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ

perut (peritonieum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus

organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau

difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau

aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan  yang biasanya disertai

dengan bakterisemia atau sepsis.

Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi

akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis,

salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post

operasi, iritasi kimiawi, ataudari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal,

peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-kecilan);

kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan

adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang

memudahkan terjadinya peritonitis.

Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena

setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan

morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung

dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang.

1.2  Rumusan Masalah

        Bagaimana menegakkan diagnosis peritonitis?

        Bagaimana penatalaksanaan peritonitis?

1.3  Tujuan

        Mengetahui cara menegakkan diagnosis peritonitis

        Mengetahui penatalaksanaan peritonitis

1.4  Manfaat

        Menambah pengetahuan mengenai cara penegakan diagnosis dan

penatalaksanaan peritonitis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput

organ perut (peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang

membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa

terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh

infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan  yang biasanya

disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis sering menular dan sering

dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan

sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary peritonitis.

(Fauci et al, 2008)

2.2 Anatomi dan Fisiologi

      Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel mesothel

yang dipisah dari jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membrane basalis. Ia

membentuk kantong tertutup dimana visera dapat bergerak bebas didalamnya.

Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai peritoneum parietalis dan melekuk ke

organ sebagai peritoneum viseralis (Marshall, 2003).

      Luas permukaannya mendekati luas permukaan tubuh yang pada orang

dewasa mencapai 1,7m2. Ia berfungsi sebagai membrane semipermeabel untuk

difusi 2 arah untuk cairan dan partikel. Luas permukaan untuk difusi seluas ± 1m2

(Heemken, 1997).

      Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat ± 100cc cairan peritoneal

yang mengandung protein 3 g/dl. Sebagian besar berupa albumin. Jumlah sel

normal adalah 33/mm3 yang terdiri dari 45% makrofag, 45% sel T, 8% sisanya terdiri

dari NK, sel B, eosinofil, dan sel mast serta sekretnya terutama prostasiklin dan

PGE2. Bila terjadi peradangan jumlah PMN dapat meningkat sampai > 3000/mm3

(Marshall, 2003).

      Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui

limfe diafragma sedang sisanya melalui peritoneum parietalis (Evans, 2001).

      Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan

partikel termasuk bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel difragma

yang berhubungan dengan lacuna limfe untuk bergerak le limfe substernal. Kontraksi

diafragma menutup stomata dan mendorong limfe ke mediastinum (Hau, 2003).

      Oleh karena itu, sangat penting menjamin berlangsungnya pernapasan

spontan yang baik agar clearance bakteri peritoneum dapat berlangsung (Evans,

2001).

      Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis dan

mencegah terjadinya perlekatan. Peritoneum menangani infeksi dengan 3 cara:

1. Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragma

Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri kearah

stomata. Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah, bakteri

yang turut dalam aliran dapat bersarang di bagian atas dan dapat menimbulkan

sindroma Fitz-Hugh-Curtis, yaitu nyeri perut atas yang disebabkan perihepatitis yang

menyertai infeksi tuba falopii (Evans, 2001).

Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan intersisiel

ke rongga peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu, asam lambung,

dan enzim pancreas memperbesar pergeseran cairan ini (Heemken, 1997).

2. Penghancuran bakteri oleh sel imun

Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil, makrofag,

sel mast, dan limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi (Iwagaki, 1997).

Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi zat

vasoaktif yang mengandung histamine dan prostaglandin. Histamine dan

prostaglandin yang dilepas sel mast dan makrofag menyebabkan vasodilatasi dan

peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum sehingga menimbulkan eksudasi

cairan kaya komplemen, immunoglobulin, faktor pembekuan, dan fibrin (Marshall,

2003).

Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan respon

mediator pro-inflamasi di daerah sakit sampai terjadi kesembuhan dimana mulai

timbul mediator anti-inflamasi yang menghentikan proses pro-inflamasi. Keadaan ini

menunjukkan adanya keseimbangan fungsi antara respon pro- dan anti-inflamasi.

Tetapi pada keadaan tertentu dapat terjadi ketidakseimbangan dimana salah satu

yaitu: pro-inflamasi atau anti-inflamasi atau bahkan keduanya sekaligus meningkat

hebat diluar kebutuhan penderita. Dalam keadaan ini kedua mediator yang

bertentangan dapat menimbulkan kerusakan organ hebat sehingga terjadi

kegagalan organ (Marshall, 2003).

3. Lokalisasi infeksi sebagai abses

Pada peningkatan permeabilitas venula terjadi eksudasi cairan kaya protein

yang mengandung fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan tromboplastin yang

mengubah protrombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin akan

menangkap bakteri dan memprosesnya hingga terbentuk abses. Hal ini dimaksud

untuk menghentikan penyebaran bakteri dalam peritoneum dan mencegah

masuknya ke sistemik. Dalam keadaan normal fibrin dapat dihancurkan

antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme ini tak berfungsi (Evans, 2001).

2.3 Etiologi

Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:

        Peritonitis primer (Spontaneus)

Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari rongga

peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous

bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien

dengan sirosis hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis

bakterial.

        Peritonitis sekunder

Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi

gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid)

akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus (Brian,2011).

Tabel 1. Penyebab Peritonitis Sekunder

Regio Asal Penyebab

Esophagus

Boerhaave syndromeMalignancyTrauma (mostly penetrating)Iatrogenic*

Stomach

Peptic ulcer perforationMalignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal stromal tumor)Trauma (mostly penetrating)Iatrogenic*

DuodenumPeptic ulcer perforationTrauma (blunt and penetrating)Iatrogenic*

Biliary tract

CholecystitisStone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or common ductMalignancyCholedochal cyst (rare)Trauma (mostly penetrating)Iatrogenic*

PancreasPancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)Trauma (blunt and penetrating)Iatrogenic*

Small bowel

Ischemic bowelIncarcerated hernia (internal and external)Closed loop obstructionCrohn diseaseMalignancy (rare)Meckel diverticulumTrauma (mostly penetrating)

Large bowel and appendix

Ischemic bowelDiverticulitisMalignancyUlcerative colitis and Crohn disease

AppendicitisColonic volvulusTrauma (mostly penetrating)Iatrogenic

Uterus, salpinx, and ovaries

Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubo-ovarian abscess, ovarian cyst)Malignancy (rare)Trauma (uncommon)

        Peritonitis tertier

Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat

tindakan operasi sebelumnya

Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized

(peritonitis) dan localized (abses intra abdomen).

2.4 Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya

eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan

fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga

membatasi infeksi.Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,

tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan

obstuksi usus (Fauci et al, 2008).

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran

mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,

maka dapatmenimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti

misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa

ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba

untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk

buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung,

tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia (Fauci et al, 2008).

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen

mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler

organ-organ tersebutmeninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum

dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem

dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.

Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,

serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut

meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi

sulit dan menimbulkan penurunan perfusi (Fauci et al, 2008).

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau

bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan

peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus

kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen

usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan

dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat

mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus (Fauci et

al, 2008).

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus

karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik

usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus

sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah

dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai

terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan

nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran

bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis (Fauci et al, 2008).

Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan

kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang

tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk

keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang

mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal

dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam

selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang

disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defansmuskuler, dan keadaan umum yang

merosot karena toksemia (Fauci et al, 2008).

Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang

mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata.

Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut.

Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di

perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena

rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas.

Kemudian menyebar keseluruh perutmenimbulkan nyeri seluruh perut pada awal

perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis

kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsanganperitoneum berupa

mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan

untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bacteria (Fauci et al, 2008).

Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen

apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis

dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa

mengalamibendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas

dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan

tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem,

diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem

bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks

yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga

menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun

general (Fauci et al, 2008).

Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul

abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai

organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai

dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia

sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat

dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah

lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi

gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula

tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang

biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan

peritoneum (Fauci et al, 2008).2.5 Manifestasi Klinis

            Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di

dalam rongga abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor

yaitu: lamanya penyakit, perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan

kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta tingkat kesehatan penderita secara

umum (Cole et al,1970).

            Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari

awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi

nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara

bebas pada cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda

iritasi dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik

meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi,

oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok (Doherty, 2006).

2.5.1 Gejala

        Nyeri abdomen

Nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu ada pada peritonitis.

Nyeri biasanya dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita

dengan perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen (Doherty,

2006).

Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak

ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri

biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum.

Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi

dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan

perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis (Schwartz et al,

1989).

        Anoreksia, mual, muntah dan demam

Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti

dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti

demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu

tubuh biasanya sekitar 38OC sampai 40 OC (Schwartz et al, 1989).

        Facies Hipocrates

Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini

termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua

telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat (Cole et al,1970).

Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya

berada pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring

dengan lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap

gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen (Schwartz et al, 1989).

Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat

kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan

perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang (Cole et

al,1970).

        Syok

Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor.

Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke

lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata (Cole

et al,1970).

Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman

gram negative diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok.

Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui

bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau

gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang terlihat pada manusia (Cole et

al,1970).

2.5.2 Tanda

        Tanda Vital

Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi

yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat dilihat dari

frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme

kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya

volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya

syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang

lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus

untuk mencegah keadaan yang lebih buruk (Schwartz et al, 1989).

        Inspeksi

Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi

dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak

menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal dari

perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi

abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan

distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik (Cole et al,1970).

        Auskultasi

Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus

dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai

hamper tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus.

Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik

daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada

abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang

mengalami strangulasi (Cole et al,1970).

        Perkusi

Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa.

Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini

menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari

intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari

peritonitis (Cole et al,1970).

Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara

akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan

ditemukan pekak hepar yang menghilang (Schwartz et al, 1989).

        Palpasi

Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada

kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang

kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat

nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung

pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok

orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah sering

melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya

kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting

adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut

nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen

secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup

gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan

perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu

proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi

local, atau dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan

lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik

peradangan yang maksimal (Cole et al,1970).

Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan

spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek

spasme otot menjadi sangat berat seperti papan (Schwartz et al, 1989).

2.6 Pemeriksaan Penunjang

2.6.1 Laboratorium

Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat

penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah

termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah

putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua atau

seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan

mekanisme pertahanannya (Cole et al,1970).

Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi

oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah

leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata (Schwartz et al, 1989).

Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi

hepar dan ginjal dapat dilakukan (Doherty, 2006).

2.6.2 Radiologi

Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup

foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat

memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses

intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak difragma dapat terlihat

terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara bebas dalam cavum

peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen (Cole et al,1970).

Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan

usus besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi.

Foto polos abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi

berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau keduanya. Foto harus dilihat ada

tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi dengan memperhatikan pola, lokasi dan

jumlah udara di usus besar dan usus halus (Cole et al,1970).

2.7 Tata Laksana

Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan

elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik

(Doherty, 2006).

2.7.1 Penanganan Preoperatif

Resusitasi Cairan

                        Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan

perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial

(Schwartz et al, 1989).

                        Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular

sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik

tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan

transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan

koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang (Doherty, 2006).

Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan

intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah,

mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan

dikeluarkan lewat ginjal (Schwartz et al, 1989).

Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan

ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi (Doherty, 2006).

Antibiotik

Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri

aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan

bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium,

Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis, pemberian

antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang

menginfeksi peritoneum (Schwartz et al, 1989).

Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil

kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih

terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan

penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik

harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji

sensitivitas (Cole et al,1970).

Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti:

(1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau

nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi

lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi

(Schwartz et al, 1989).

Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus

segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam

dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga

memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari

peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan

regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin,

tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada

chloramphenicol pada stadium awal infeksi (Cole et al,1970).

Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan

aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua

(Schwartz et al, 1989).

Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram

negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob (Doherty, 2006).

Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada

pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang

kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida

harus diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu

gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat

mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai

penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang normal

(Doherty, 2006).

Oksigen dan Ventilator

Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis

cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh

akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat

diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga

ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau

lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg,

(3) adanya nafas yang cepat dan dangkal (Schwartz et al, 1989).

Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik

Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen,

mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada

usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan

pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate)

dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum

elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis (Schwartz et

al, 1989).

2.7.2       Penanganan Operatif

Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya

dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini

berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau

dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang

didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum

peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan

membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen (Schwartz

et al, 1989).

Kontrol Sepsis

Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan

semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis

dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi

midline merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang

terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang.

Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ

dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan

mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung empedu),

perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur

cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan

setelah memasuki kavum peritoneum (Doherty, 2006).

Peritoneal Lavage

Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat

menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri.

Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan

berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine).

Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada

cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage.

Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan

depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja

dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum

peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal

dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit

menghancurkan bakteri (Doherty, 2006).

Peritoneal Drainage

Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal

dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak

efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan

penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase

profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan

dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal

residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan

massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi (Doherty, 2006).

2.7.3       Pengananan Postoperatif

Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil.

Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-

organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan.

Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis.

Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang normal, penurunan

demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat

kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis.

Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan

resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006).

2.8     Komplikasi

Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi

komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis

intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama

postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan

distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya infeksi

abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-Scan

abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang

multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun (Doherty,

2006).

2.9     Prognosis

               Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-

faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit

primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan,

serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada

pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien

dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih awal

(Doherty, 2006). 

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

            Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput

organ perut (peritonieum). Penyebab paling sering dari peritonitis primer

adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis.

Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi

gaster dan penyakit ulkus duodenale, serta perforasi kolon. Tanda-tanda peritonitis

yaitu demam tinggi dan mengigil, bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi

hingga menjadi hipotensi. Nyeri  abdomen yang hebat, dinding perut akan teras

tegang karena iritasi peritoneum.

         Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit,

kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik. Komplikasi

postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan

sistemik. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain

tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum

pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien.

3.2 Saran

            Setiap peritonitis harus ditangani secermat mungkin bila tidak ingin penyakit

berjalan terus. Source control harus dilaksanakan sebaik mungkin. Pemeriksaan

kultur dan resistensi harus diulang terutama pada mereka yang menunjukkan

perjalanan penyakit yang panjang dan berat. Awasi terjadinya perubahan organisme

penyebab infeksi dan gunakan obat yang sesuai resistensi dan tidak lagi

menggantungkan pada antibiotik spektrum luas.

MAKALAH PERITONITIS

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan kami nikmat sehat jasmani dan rohani sehingga kami dapat menyelesaikan tugas

ini .

Rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada bapak Ns. Supadi, M.Kep, SP.MB dosen

mata kuliah keperawatan dewasa yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk

menambah wawasan kami.

Dalam Makalah ini berisikan tentang “PERITONITIS”, kami mengharapkan kritik

dan saran agar kami dapat lebih baik. Semoga makalah ini dapat berguna bagi  pembaca dan

khususnya bagi penulis.

Cirebon, 30 Oktober 2010

Tim penyusun

 

DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................. i   Daftar

Isi             ii

BAB I Pendahuluan    

1.1.Latar Belakang................................................................................ .... 1

1.2.Tujuan Penulisan............................................................................. .... 2

BAB II Pembahasan

2.1 Peritonitis........................................................................................ .... 3

2.2 Etiologi........................................................................................... .... 3

2.3 Patofisiologi.................................................................................... .... 5

2.4 Klasifikasi....................................................................................... .... 8

2.5 Tanda dan Gejala............................................................................ .. 10

2.6 Komplikasi...................................................................................... .. 11

2.7 Pemeriksaan Penunjang.................................................................. .. 11

2.8 Diagnosa Keperawatan yang Muncul............................................. .. 11

2.9 Intervensi........................................................................................ .. 11 

2.10 Penatalaksanaan Medis................................................................. .. 13

2.11 Dampak KDM.............................................................................. .. 13

2.12 Pengobatan................................................................................... .. 14

2.13 Prognosis...................................................................................... .. 15

BAB III Penutup

3.1. Kesimpulan....................................................................................... 16

3.2. Saran................................................................................................. 17 

Daftar Pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut

yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini

memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada

perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat

menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna

sehingga terjadilah peritonitis.

Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat

penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi

ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau

dari luka tembus abdomen.

Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi

kecil-kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang

menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang

memudahkan terjadinya peritonitis.

Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil

karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat

meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya

tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.

Dalam penulisan referat ini akan dibahas mengenai penanganan peritonitis. Peritonitis

selain disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen yang berupa inflamasi dan penyulitnya,

juga oleh ileus obstruktif, iskemia dan perdarahan. Sebagian kelainan disebabkan oleh cidera

langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan perforasi saluran cerna atau perdarahan.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah mahasiswa dapat memahami penyakit yang terjadi

pada organ abdomen terutama pada peritoneum, dan penulis berharap mahasiswa tidak hanya

memahami penyakit tersebut tapi mahasiswa juga dapat mengetahui penyebab gejala

pengobatan dan pencegahan dari penyakit yang di alami khususnya penyakit peritonitis.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Peritonitis

Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga abdomen

dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut

maupun kronis / kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada

palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi.

Peritonitis merupakan sebuah proses peradangan pada membrane serosa yang

melingkupi kavitas abdomen dan organ yang terletak didalamnyah. Peritonitis sering

disebabkan oleh infeksi peradangan lingkungan sekitarnyah melalui perforasi usus seperti

rupture appendiks atau divertikulum karena awalnya peritonitis merupakan lingkungan yang

steril. Selain itu juga dapat diakibatkan oleh materi kimia yang irritan seperti asam lambung

dari perforasi ulkus atau empedu dari perforasi kantung empeduatau laserasi hepar. Pada

wanita sangat dimungkinkan peritonitis terlokalisasi pada rongga pelvis dari infeksi tuba

falopi atau rupturnya kista ovari. Kasus peritonitis akut yang tidak tertangani dapat berakibat

fatal.

2.2 Etiologi

Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous Bacterial

Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena ninfeksi

intra abdomen,tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga

kerongga peritoneal sehinggan menjadi translokasi bakteri munuju dinding perut atau

pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia

dan akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin

tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah

antar molekul komponen asites pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi adalah

bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas,

Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae

15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat

anaerob dan infeksi campur bakteri. Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi

disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan

inokulasi bakteri rongga peritoneal terutama disebabkan bakteri gram positif yang berasal

dari saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang

setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan berasal dari

kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier biasanya timbul abses atau flagmon dengan

atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi

karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain

atau prses inflamasi transmural dari organ-organ dalam (Misalnya penyakit Crohn).

 

2.3 Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat

fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang

menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.

Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-

pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami

kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat

menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat

memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari

kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi

cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya

meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami

oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut

meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta

oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan

retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan

suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan

lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan

penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila

infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,

aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan

meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,

gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus

yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan

obstruksi usus.

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena

adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai

usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus

yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus

stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan

berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena

penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.

Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S.

Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian

kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai

jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus

biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai

nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler,

dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.

Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di

epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi

lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang

mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul

mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam

lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut

menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang

fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan

peritoneum berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi

keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.

Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks

oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.

Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami

bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks

mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan

menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa,

dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi

infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks

sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun

general.

Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen

dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga

intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga

tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses.

Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi

dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah

trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon,

mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk

berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan

peritoneum.

2.4 Klasifikasi

Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

A. Peritonitis Bakterial Primer

1.      Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum

peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.

Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus.

Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:

Spesifik : misalnya Tuberculosis

 

2.      Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.

Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan

intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.

Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus

eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.

B. Peritonitis Bakterial Akut Sekunder (Supurativa)

Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau

tractus urinarius. Pada umumnya organism tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang

fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii

anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam

menimbulkan infeksi.

Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis.

Kuman dapat berasal dari:

         Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal.

         Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahan kimia,

perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.

         Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendisitis.

C. Peritonitis tersier, misalnya:

        

Peritonitis yang disebabkan oleh jamur

         Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.

Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah

lambung, getah pankreas, dan urine.

D. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:

  Aseptik/steril peritonitis

  Granulomatous peritonitis

  Hiperlipidemik peritonitis

  Talkum peritonitis

2.5 Tanda dan Gejala

Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau

pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi.

Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai

sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita

secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi

peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri

akibat pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu

pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,

pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma

cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dnegan

paraplegia dan penderita geriatric.

 

2.6 Komplikasi

      Eviserasi Luka

10 

      Pembentukan abses

2.7 Pemeriksaan Penunjang

1. Test laboratorium

      Leukositosis

      Hematokrit meningkat

      Asidosis metabolik

2. X. Ray

Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :

      Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.

      Usus halus dan usus besar dilatasi.

      Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.

2.8 Diagnosa Keperawatan yang Muncul

1. Nyeri bd proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan.

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh bd muntah dan penghisapan usus.

2.9 Intervensi

Diagnosa Keperawatan I :

11 

Nyeri bd proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan

Tujuan :

Persepsi klien tentang nyeri menurun, ditandai penurunan skala nyeri, dan tidak meringis.

Intervensi :

Kaji dan catat karakter dan beratnya nyeri setiap 1-2 jam

Setelah diagnosis, berikan narkotik, analgetik dan sedatif sesuai program untuk

meningkatkan kenyamanan dan istirahat.

Pertahankan tirah baring ; istirahat, lingkungan yang tenang.

Pertahankan posisi nyaman ; semifowler.

Diagnosa Keperawatan II :

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh bd muntah dan penghisapan usus.

Tujuan :

Nutrisi pasien adekuat, ditandai BB stabil, albumin serum 3,5 s/d 5,5 g/dl.

Intervensi :

Pertahankan pasien puasa sesuai program selama fase akut.

Bila mengalami ileus, selang NG akan dipasang untuk dekompresi abdomen.

12 

Berikan cairan secara bertahap bila motilitas telah kembali, dibuktikan bising usus,

penurunan distensi dan pasase flatus.

Bila diprogramkan dukung pasien dengan nutrisi parenteral.

Berikan pengganti cairan, elektrolit dan vitamin sesuai program.

2.10 Penatalaksanaan Medis

1. Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok dan

kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan vena untuk

mengganti elektrolit dan kehilangan protein. Biasanya selang usus dimasukkan

melalui hidung ke dalam usus untuk mengurangi tekanan dalam usus.

2. Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan perbaikan

dapat diupayakan.

3. Pembedahan mungkin dilakukan untuk mencegah peritonitis, seperti apendiktomi.

Bila perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor adalah insisi dan drainase

terhadap abses.

2.11 Dampak KDM

Ruptur perineu → Luka → Terputusnya kontinuitas jaringan → memudahkan

mikroorganisme masuk kedalam tubuh → Pengeluaran zat-zat mediator kimia → kuman

berkembang biak → Bradikinin, histamine, serotonin → menyebabkan infeksi →

Rangsangan ujung saraf(nociseptor) → Saraf afferent Thalamus Cortex cerebri → Saraf

afferent Nyeri → dipersepsikan Nyeri

 

2.12 Pengobatan

Prinsip umum terapi pada peritonitis adalah :

a)      Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena.

b)      Terapi antibiotika memegang peranan yang sangat penting dalam pengobatan infeksi nifas.

Karena pemeriksaan-pemeriksaan ini memerlukan waktu, maka pengobatan perlu

dimulai tanpa menunggu hasilnya. Dalam hal ini dapat diberikan penicillin dalam dosis tinggi

atau antibiotika dengan spectrum luas, seperti ampicillin dan lain-lain.

c)       Terapi analgesik diberikan untuk mengatasi nyeri.

Antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah. Intubasi usus dan

pengisapan membantu dalam menghilangkan distensi abdomen dan meningkatkan fungsi

13 

usus. Cairan dalam rongga abdomen dapat menyebabkan tekanan yang membatasi ekspansi

paru dan menyebabkan distress pernapasan.

     Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker akan meningkatkan oksigenasi

secara adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jalan napas dan bantuan ventilasi diperlukan.

d)     

14 

Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki penyebab.

            Tindakan pembedahan diarahkan kepada eksisi terutama bila terdapat apendisitis,

reseksi dengan atau tanpa anastomosis (usus), memperbaiki pada ulkus peptikum yang

mengalami perforasi atau divertikulitis dan drainase pada abses. Pada peradangan pankreas

(pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya

tidak dilakukan. Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik

diberikan bersamaan.

Disamping pengobatan dengan antibiotika, tindakan-tindakan untuk mempertinggi

daya tahan badan tetap perlu dilakukan. Perawatan baik sangat penting, makanan yang

mengandung zat-zat yang diperlukan hendaknya diberikan dengan cara yang cocok dengan

keadaan penderita, dan bila perlu transfusi darah dilakukan.

Pada sellulitis pelvika dan pelvioperitonitis perlu diamat-amati dengan seksama

apakah terjadi abses atau tidak. Jika terjadi abses, abses harus dibuka dengan menjaga supaya

nanah tidak masuk kedalam rongga peritoneum dan pembuluh darah yang agak besar tidak

sampai dilukai.

2.13 Prognosis

Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis

umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.

 

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera

dalam rongga perut. Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ

perut dan dinding perut sebelah dalam. Peritonitis yang terlokalisir hanya dalam rongga

pelvis disebut pelvioperitonitis.

Penyebab peritonitis antara lain : penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi,

penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan seksual, infeksi

dari rahim dan saluran telur, kelainan hati atau gagal jantung, peritonitis dapat terjadi setelah

suatu pembedahan, dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal), iritasi tanpa infeksi.

15

 

Patofisologi peritonitis adalah reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah

keluarnya eksudat fibrinosa. Terbentuk kantong-kantong nanah (abses) diantara perlekatan

fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi

infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap

sebagai pita-pita fibrinosa, yang kelak dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus.

Prinsip umum terapi pada peritonitis adalah :

a)     

16 

Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena.

b)      Terapi antibiotika memegang peranan yang sangat penting dalam pengobatan infeksi nifas.

c)      Terapi analgesik diberikan untuk mengatasi nyeri.

d)     Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki penyebab.

3.2 Saran

Kita sebagai seorang perawat dalam mengatasi masalah peritonitis di masyarakat

dapat memberikan berbagai cara untuk mencegah peritonitis dan diharapkan mahasiswa/i

dapat memberikan asuhan keperawatan khususnya pada klien yang mengalami peritonitis

yang sesuai dengan apa yang dipelajari.

 

Daftar Pustaka

Silvia A. Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, ECG ; Jakarta

Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006 Prima Medika : Jakarta

Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta

 Peritonitis,http://www.medikastore.com/med/peritonitis_pyk.php?dktg=7&UID 200705.

Bahan kuliah System Gastroenterohepatologi, Makassar: 2005

Subanada, Supadmi, Aryasa, dan Sudaryat. 2007. Beberapa Kelainan Gastrointestinal yang

Memerlukan Tindakan Bedah. Dalam: Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta: CV

Sagung Seto

17 

DAFTAR PUSTAKA

Brian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal Sepsis. Diakses pada 6 Juni 2012.

http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#aw2aab6b2b4aa

Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. Appelton-Century Corp,

Hal 784-795

Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment 12ed.

USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized Disease) is not An

Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients with Intra Abdominal Infection.

Surgical Infection (Larchmt); 2(4) : 255-63

Fauci et al, 2008, Harrison’s Principal Of Internal Medicine Volume 1, McGraw Hill, Peritonitis

halaman 808-810, 1916-1917

Hau, T. 2003. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci; 33: 131-4

Heemken, R. 1997. Peritonitis: Pathophydiology and Local Defense Mechanisms.

Hepatogastroenterology; Jul-Aug; 44(16): 927-36

Iwagaki, H. 1997. Clinical Value of Cytokine Antagonists in Infectious Complications. Res

CommunMol Pathol Pharmacol; Apr: 96(1): 25-34

Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection. Critical Care

Medicine; 31(8) : 2228-37

Schwartz et al. 1989. Priciple of Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill, Hal 1459-1467