wonderfully lost in banyuwangi

20
0 | Page by Nuno Rahman

Upload: nuno-rahman

Post on 02-Apr-2016

232 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Semuanya tiba-tiba tanpa perencanaan sebelumnya. Obrolan-obrolan biasa dan ‘ngalor-ngidul’ terlontar di saat kami berkumpul seperti biasa di hari senin dan rabu di Bjong Cafe berubah menjadi sedikit serius ketika membicarakan Jawa Timur tepatnya wilayah Banyuwangi. Ajakan Karin untuk berpetualang mengungkap keindahan Banyuwangi kami tanggapi dengan membahas impian-impian destinasi dan itenerari yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Rupanya semua menanggapi dengan positif, dan kebetulan grup Road Tripper ini belum merasakan keindahan wilayah destinasi yang ada di Banyuwangi. Tanpa pertimbangan apapun kami semua mengiyakannya, kemudian menyepakati tanggal keberangkatan yang sekiranya semua tim bisa bergabung. Padahal saat itu awalnya kami membicarakan untuk bisa menempuh perjalanan bareng ke Sulawesi dan mendadak semuanya di batalkan dan beralih untuk mengunjungi Banyuwangi.

TRANSCRIPT

Page 1: Wonderfully Lost in Banyuwangi

0 | P a g e

by Nuno Rahman

Page 2: Wonderfully Lost in Banyuwangi

1 | P a g e

Wonderfully Lost in Banyuwangi

emuanya tiba-tiba tanpa perencanaan sebelumnya. Obrolan-obrolan biasa dan ‘ngalor-ngidul’ terlontar di saat kami

berkumpul seperti biasa di hari senin dan rabu di Bjong Cafe berubah menjadi sedikit serius ketika membicarakan Jawa Timur tepatnya wilayah

Banyuwangi. Ajakan Karin untuk berpetualang mengungkap keindahan Banyuwangi kami tanggapi dengan membahas impian-impian destinasi dan itenerari yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Rupanya semua menanggapi dengan positif, dan kebetulan grup Road Tripper ini belum merasakan keindahan wilayah destinasi yang ada di Banyuwangi. Tanpa pertimbangan apapun kami semua mengiyakannya, kemudian menyepakati tanggal keberangkatan yang sekiranya semua tim bisa bergabung. Padahal saat itu awalnya kami membicarakan untuk bisa menempuh perjalanan bareng ke Sulawesi dan mendadak semuanya di batalkan dan beralih untuk mengunjungi Banyuwangi. Ketika itu memang saya ingin beranjak untuk menelusuri alam yang biasanya kulakukan dengan Road Trippers di akhir pekan dan ingin terlepas dari segala yang membebani pikiran dan hati. Berujung pada sebuah perjalanan yang memakan waktu berhari-hari dan akhirnya aku menemukan sebuah oase pembicaraan perjalanan panjang itu. Bersama lima teman dengan tujuan pikiran kebetulan sama kami lakukanlah perjalan itu. Namun pada intinya kami ingin kebersamaan melakukan perjalanan yang jauh dari biasanya.

Sebenarnya, persiapan yang ku lakukan cukup minim. Saya hanya mempunyai beberapa hari utnuk mempersiapkan segalanya karena harus tetap fokus sehari-hari bekerja di kantor yang selalu susah membelokkan pikiranku ini untuk memikirkan diluar dari kebiasaan. Dan memang bekerja kudu tetap fokus karena pekerjaan itulah yang menghidupiku segalanya termasuk bertraveling ini. Membawa beberapa potong pakaian, tanpa persiapan lainnya seperti penginapan, tetapi kami memang mempersiapkannya untuk berkemah sebagai tempat kami menginap dan beraktifitas seperti memasak, meletakkan barang bawaan dan lain sebagainya. Meskipun hampir setiap hari kami sering bertemu dan berkumpul bersama, namun ada sesuatu berbeda yang ingin kami buat agar tak selalu seperti rutinitas yang itu-itu saja meskipun juga disetiap pertemuan selalu saja ada hal-hal baru. Dari sebuah celetukan, akhirnya terbentuklah rencana dadakan ini. Aku ambil cuti kantor selama 4 hari untuk bisa mewujudkan mimpiku selama ini. Kamipun googling tempat-tempat yang ingin kami kungjungi yang sekiranya indah dan menakjubkan buat kami terlihat di g

ambar yang merupakan rekomendasi-rekomendasi di internet seperti apa. Membayangkan Saat kawan-kawan bercerita tentang bagaimana indahnya gemuruh ombak. Saat teman-temanmu bercerita tentang sejuknya udara pegnungan. Atau tentang indahnya warna-warni dunia yang di ciptakan Tuhan untuk hambanya.

S

Page 3: Wonderfully Lost in Banyuwangi

2 | P a g e

Kabupaten Banyuwangi menyimpan keindahan alam yang sangat luar biasa, tidak salah apabila banyak wisatawan yang menjadikan Kabupaten Banyuwangi sebagai pilihan wisata ketika liburan atau jalan-jalan. Hal ini karena banyak sekali tempat wisata khususnya panorama alam yang siap dijelajahi. Alam Banyuwangi jika di jelajahi tak akan ada habisnya, pasalnya begitu banyak lokasi yang bisa di ekplorasi dan di kunjungi. Banyuwangi, selain dikenal memiliki keragaman budaya, kesenian, dan tradisi juga menyimpan kekayaan tempat wisata yang luar biasa, mulai dari dataran tinggi , pantai dan kawasan hutan dengan kekayaan flora fauna yang tak ternilai. Terhampar di wilayah seluas 5.800 km persegi, Banyuwangi memiliki topografi yang lumayan komplit; mulai dari dataran rendah hingga pegunungan, untuk ditanami berbagai tanaman industri. Tidak hanya tanahnya yang subur, Kabupaten Banyuwangi juga memiliki potensi yang sangat besar dalam sektor pariwisata. Dengan segala potensinya dan sumber daya yang dimilikinya tak heran para traveler dan wisatawan berbondong-bondong menyambanginya. Kami berjalan dengan ketidakpastian, karena satu pun dari kami tidak mengetahui dengan pasti rute perjalanan kami. Sungguh tidak masuk akal memang, namun ketidakjelasan dan ketidakpastian selalu membuat suatu rencana bisa terlaksana. Kami memulai perjalanan ini dari stasiun kereta api Lempuyangan, Yogyakarta dan sebagai titik kumpul kami. Pagi yang dingin mencekam harus ku lalui. Jalan panjang ku tempuh dengan ular naga besi. Tampak banyak orang keluar-masuk dari stasiun. Pagi ini aku hanya diam membisu tanpa satupun kata, menanti pemberangkatanku pukul 7:30 WIB menggunakan kereta Sritanjung. Matahari di sebelah timur memancarkan sinarnya dari balik-balik awan putih yang menutupi sebagian tubuhnya. Ku duduk merenung memikirkan bagaimana kiranya perjalanan jauh ini sambil menunggu gemuruh kedatangan naga besi tua itu. Di dalam tiket tertera jadwal keberangkatan dan kedatangan di Banyuwangi yang tertempuh

membutuhkan waktu kira-kira dalam empat belas jam, sebuah hitungan waktu yang sangat lama. Wow, ini merupakan perjalanan di kereta yang paling lama yang pernah kutempuh. Kereta Ekonomi Sritanjung menjadi satu-satunya kereta yang tersedia dan siap mengantar kemana kita akan berakhir berenti di jalurnya dengan harga 50 ribu. Kereta ini cukup nyaman karena sudah dilengkapi dengan pendingin udara dan sudah tak ada lagi penumpang yang bergelantungan juga lalu lalang pedagang asongan di setiap stasiun pemberhentian. Perombakan dan revolusi yang di lakukan oleh Kereta Api Indonesia (KAI) sudah cukup bagus, mungkin kedepannya bisa di bangun jalur rel baru yang bisa menjangkau di seluruh kota di Indonesia. Berharap!

Waktupun berjalan. Lokomotif kereta sudah datang bergemuruh, terdengar suara dari alarm stasiun dan suara petugas stasiun di pengeras suara, bahwa kereta siap ‘take off’menuju Banyuwangi, kamipun bersiap memasuki gerbong dan menata backpack kami yang gede-gede ini di kabin kereta. Waktu yang ditunggu, kereta berjalan meninggalkan kota khusus ini, Yogyakarta. Bunyi putaran roda kereta, sedikit riuh penumpang, selingan canda tawa kami akan menjadi teman sepanjang perjalanan dan masih belum cukup kiranya tidur ini, sinar mentari seolah tak sabar menyapa pagi. Tidak bisa dibohongi lagi, ngantuk masih jadi teman pagi ini. Seolah tak mau kalah, mentari pagi masuk menerobos kaca jendela kereta. Tidak akan kusia-siakan sejuk udara pagi yang di lalui kereta

Page 4: Wonderfully Lost in Banyuwangi

3 | P a g e

dari kota ke kota. Hijau daun, embun pagi didaun padi, sejuk udara begitu terasa. Rangkaian perjalanan empat belas jam menuju tujuan akhir di stasiun Banyuwangi Baru itu tak terasa membosankan. Kawan-kawan sudah membaur menjadi satu, mulai dari cerita pengalaman perjalanan masing-masing, sampai ke topik sebagian besar pejalan itu adalah canda. Menemukan gelak tawa dan bisa sharing pengalaman hidup saat melakukan perjalanan merupakan bonus bagi para traveler, kata salah satu teman saya. Hiruk pikuk petugas penjaja jualan menjajakan dagangannya, canda tawa, saling berbagi, dan peduli menyertai perjalanan kami saat itu dan membuat kami semakin akrab. Rio, selalu membuka obrolan perjalanan ini dengan penuh warna untuk memecahkan kebosanan. Saling ‘mem-Bully’ diantara kami menjadikan menu utama obrolan kocak. Kawah Ijen

Sesampai di stasiun Banyuwangi Baru menunjukkan pukul 9:30 malam waktu Indonesia Bagian Barat, kami bersiap menuju warung dengan gendongan backpack besar dan tentengan tenda menuju warung terdekat karena suara gendangan perut kami yang kosong. Kami menuju warung terdekat dari stasiun, nyantai sejenak dan menikmati soto ayam juga nasi rawon sebagai pengganjal perut sembari menunggu Jeep penjemput datang menuju ke kawah ijen. Kota Banyuwangi menjadi pintu masuk bagi kami ke semua daftar list

tujuan lokasi yang akan dikunjungi, rutenya yang akan kami jelajahi adalah Kawah Ijen, Taman Nasional Merubetiri (Rajegwesi dan Teluk Hijau), Watu Dodol, Kampe, Pulau Tabuhan. Dari ke semua tujuan itu kami menggunakan tenda doom dan hammock sebagai tempat beristirahat untuk merebahkan punggung yang seharian berkelana touring menggunakan motor, mendaki gunung, juga tracking. Setelah beberes, dan makan malam kelar, kami lanjutkan perjalanan menuju kawah Ijen. Sekitar pukul sebelas malam, Jeep kami datang menjemput menghampiri. Semua barang bawaan, ransel dimasukan kedalam bagasi dan kamipun siap ‘offroad’ menuju kawah ijen. Jarak kami tempuh sekitar 1 jam menuju pintu masuk Kawah Ijen. Jalan yang kami lalui sangat gelap dan licin karena sambutan rintik hujan mengguyur aspal menambah dingin udara sekitar. Berbagai tanjakan pun sempat membuat kami ketakutan karena Jeep yang kami tumpangi sedikit rewel, tetapi Pak Michael sebagai sopir Jeep membuat kami lega memastikan jika mobilnya tetap dalam kondisi prima dan sedikit obrolan canda memecah suasana kebekuan. Dari kota Banyuwangi, menuju ke Bondowoso dilanjutkan menuju Wonosari, lalu ke Sempol dan akhirnya ke Patulding yang merupakan pos terakhir menuju Kawah Ijen. Lalu untuk menuju Kawah Ijen, Anda harus berjalan menyusuri tebing kalderanya. Sesampainya di tempat parkir kendaraan di pintu masuk Kawah Ijen, kami semua menurunkan barangbawaan dan bersantai sejenak karena jam menunjukkan waktu masih lama untuk melakukan pendakian. Akhirnya kami putuskan untuk minum kopi sejenak di sebuah warung yang sudah rame pengunjungnya dari berbagai daerah di Indonesia maupun mancanegara. Di saat kami ngopi dan berbincang untuk membunuh waktu yang hanya beberapa jam untuk pendakian kami di hampiri bule dari Austria yang ingin bergabung dalam kelompok kami karena kami sempat berbincang dalam bahasa inggris dengan surfer ku yang dari Korea. Kamipun mempersilahkan mereka gabung dalam pendakian ke Kawah Ijen.

Page 5: Wonderfully Lost in Banyuwangi

4 | P a g e

Mungkin bule lebih memilih bergabung dengan kami tersebut takut karena selalu di buru para guide lokal yang menawarkan jasanya untuk mengantarkan menuju kawah dengan tarif yang fantastis mahal. Tiket masuk ke Kawah ijen untuk lokal sebesar lima ribu rupiah saja, tetapi tiket bagi warga mancanegara sangatlah mahal sekitar seratus ribu rupiah. Setidaknya kita harus tracking sejauh sekitar 10 km dengan berbagai model tanjakan menaiki gunung menuju lokasi kawah. Mungkin jika dihitung menggunakan waktu sekitar 2 jam jalan kaki hingga lokasi. Persis jam satu dini hari, kami sudah menyiapkan diri masing-masing, double jaket, sarung tangan, penutup kepala dan hidung, apapun yang bisa membuat kita merasa hangat di udara yang dingin menusuk. Selain kami, ternyata masih banyak juga tim-tim yang akan berangakat ke puncak kawah Ijen untuk melihat kemunculan si api biru, layaknya api kompor gas yang ada di dapur tuh. Jalan menanjak dan berkelok-kelok, udara dingin hingga menimpa tulang dan embun-embun pagi berubah menjadi percikan air serasa merayap di wajah saya menambah dinginnya saat itu.

Jalur pendakian dimulai dari jalur paving kemudian berganti dengan jalur tanah. Di sepanjang perjalanan sudah banyak terlihat orang-orang yang juga menuju kawah Ijen. Ada yang beristirahat karena lelah, ada juga yang menunggu temannya yang ketinggalan. Jalur pendakian sebenarnya sangat mudah, jalur yang dilewati didominasi oleh tanah dengan kemiringan 15-30 derajat. Mungkin karena

Kawah Ijen sudah menjadi objek wisata yang mendunia sehingga jalurnya menjadi sangat mudah seperti ini. Di tengah perjalanan tracking, Yanti merasa pening kepala mungkin diakibatkan kurangnya tidur dan udara yang ekstrim membuat perjalanan lebih nyantai. Hipoksia sepertinya dia. Karena kami merasa seperti rasa persobatan yang tinggi dan di tuntut untuk

kebersamaan akhirnya kami tidak ‘ngoyo’ lagi menuju puncak dan lebih mengutamakan kesehatan Yanti agar tetap bisa kami pantai selama perjalanan tracking menuju puncak. Kamipun rela untuk tidak memuncak jikalau memang kondisi Yanti sudah tidak memungkinkan lagi untuk menanjak hingga kepuncak melihat si api biru dari kawah Ijen. Pertemanan dan kebersamaan bagi kami adalah segalanya, perjalanan dan mendapatkan lokasi indah adalah bonusnya. Dengan istirahat sebentar dan bantuan dari teman-teman lain, akhirnya ia mampu melanjutkan perjalanan sampai di Kawah Ijen.

Tetapi, akhirnya semuanya bisa terpenuhi hasratnya menuju ke puncak dan menikmati api biru di kawah ijen. Dan api biru yang tersohor itupun mulai menampakkan eksistensinya. Saya dibuat terkesima dengan pemandangan yang terhampar elok di hadapanku. Pegunungan Ijen dengan bongkahan kawahnya masih aktif mengeluarkan asap dan api biru disaat matahari belum menodainya membuat alam ini sungguh tak ternilai. Yang menjulang tinggi memamerkan keindahannya, pepohonan hijau yang berdiri tegak, daun-daun yang melambai, awan-awan

Page 6: Wonderfully Lost in Banyuwangi

5 | P a g e

putih yang berdampingan dengan paduan warna berbeda menyelimuti gunung-gunung yang berada di sekitarnya. Hijau, Biru dan kejinggaan. Semua tampak begitu eksotik. Kemunculan si gagah mentari pagi, juga banyak dinanti para pengunjung yang sedikit demi sedikit merubah hiruk pikuk gunung yang awalnya sepi menjadi layaknya pasar. Warna kebiruan api pun banyak penggemarnya, membludak pengunjung berdesakan dimana-mana sambil menghangatkan tubuh ini di sela-sela batu yang terhembus angin begitu kencang, mereka mencari posisi yang strategis untuk mendapatkan momen dan gambar agar bisa di abadikan. Kawah Ijen (Gunung Ijen) dengan ketinggian 2386 mdpl terletak di Kabupaten Banyuwangi, dan Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur (8°3.465'S, 114°14.252'E). Kawasan Ijen termasuk dalam gugusan Pegunungan Ijen, dan termasuk dalam kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Dengan suhu hanya sekitar 10 derajat celcius dan asap belerang, perjalanan panjang

yang menantang nan indah untuk tiba disana. Keindahan panorama yang natural dengan kekayaan alam dapat di temui, tidak hanya untuk dinikmati tetapi sangat baik untuk melakukan penelitian dan pendidikan. Keunikan yang utama dari wisata Kawah Ijen selain dari pada panoramanya yang sangat indah adalah melihat penambangan belerang tradisional yang diangkut dengan cara dipikul tenaga manusia. Penambangan tradisional ini konon hanya terdapat di Indonesia saja (Welirang dan Ijen). Beban yang diangkut masing-masing per orangnya sampai seberat 80kg. Terdapat banyak juga kerajinan-kerajinan tangan penambang belerang yang di cetak oleh pengrajin dengan bahan utama belerang. Meski menguras stamina untuk menuju ke sana, pemandangan cantiknya tidak akan bisa terlupakan selamanya. Sungguh sempurna! Taman Nasional Meru Betiri

Setelah semua puas dengan bau belerang dan matahari terbit dengan background panorama

Page 7: Wonderfully Lost in Banyuwangi

6 | P a g e

pegunungan yang terselimuti awan awan putih bergerak mengelilingi kayangan, kami segera menuruni gunung kembali keperaduan tempat sandar Jeep yang sudah menunggu di pelataran parkiran pukul 7 pagi tepat. Jeep mengantarkan kami menuju lokasi rental motor Tripoli di Jalan Basuki Rahmat Kota Banyuwangi , nama pemiliknya Ibu Rima dan bisa di hubungi melalui hp 08179698751. Kami sewa tiga motor skuter matic seharga 65 ribu per hari dengan desain ‘off road’ siap membawa kami menerjang jalan bebatuan dan rintangan mengarungi Taman Nasional merubetiri. Sebelum kami melanjutkan ke tujuan selanjutnya kami dipersilahkan oleh Ibu Rima untuk mandi dan bersih-bersih diri di tempat rental motornya. Selepas makan siang kami lanjutkan perjalanan ini. Kondisi jalanan yang terik dan rasa kantuk yang tak tertankan mengiringi perjalanan kami. Kami tetap semangat walaupun sudah 2 hari kiranya belum terlelap untuk merebahkan badan yang sudah di gelayuti kecapean. Perjalanan kami tempuh selama tiga jam perjalanan melewati desa-desa yang tertata rapi, hutan yang menjadi peneduh jalanan membuat semakin mengasikkan petualangan ini ke Taman Nasional Merubetiri. Ditunjuk sebagai taman nasional sejak tahun 1982 dengan luas

wilayahnya sekitar 58.000 ha. Secara administratif pemerintahan termasuk Kabupaten Jember dan Banyuwangi, Propinsi Dati I Jawa Timur. Kawasan Taman Nasional Meru Betiri secara administrasi pemerintahan terletak di Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sebagian besar taman nasional ini dipenuhi oleh perkebunan karet

dengan topografi berbukit-bukit berikut tebing yang curam. Kawasan Taman Nasional Meru Betiri bagian utara dan tengah merupakan hutan hujan tropika yang selalu hijau, sedangkan di bagian lainnya termasuk hutan dengan musim kering. Meru Betiri merupakan hutan tropis dengan sungai spektakuler dan keanekaragaman satwa liar. Berslogankan “Home of Biodiversity”, Taman Nasional Meru Betiri merupakan salah satu taman nasional yang paling mengesankan di Pulau Jawa dengan ekosistem mangrove, hutan rawa, dan hutan hujan dataran rendah. [indonesia travel]

Kami berenam menggunakan tiga motor matic untuk menaklukkan Meru Betiri, siap menerjang segala medan yang jalanan yang menyuguhkan

Page 8: Wonderfully Lost in Banyuwangi

7 | P a g e

keindahan ekosistem dan menikmati nya melalui deru mesin motor beroda dua. Akses menuju Taman Nasional memang tidak selalu mudah, begitu juga akses menuju Taman Nasional Meru Betiri. Beberapa informasi yang saya dapatkan tidak ada kendaraan umum menuju lokasi taman nasional, hanya kebanyakan penduduk lokal atau agen-agen travel menawarkan jelajah taman nasional dengan menyewa Jeep 4WD. Saya memilih untuk mengunjungi taman nasional Meru Betiri menggunakan motor dengan pertimbangan waktu tempuh yang lebih cepat dan akses yang lebih mudah. Kami tempuh sekitar 3 jam lamanya hingga mencapai Taman Nasional dari kota banyuwangi. Melalui kawasan rumah-rumah penduduk, melalui perumahan dinas perkebunan, hingga kembali lagi pada perkebunan milik pemerintah yang sedianya di tata rapi sepanjang jalan berjajar bunga-bunga merah memanjakan mata yang tak akan pernah merasakan kebosanan selama berada di jalan raya.

Dalam perjalanan perkebunan karet dan kakao menjadi menu sepanjang jalan, jalanan aspal halus dapat dirasakan hingga kurang lebih 2 jam perjalanan, sisanya jalanan rusak berat tanpa aspal dan bebatuan di tengah perkebunan kakao dan karet. Sukses menempuh jalan terjal dengan kontur bebatuan, pada beberapa tempat saya kembali harus menjumpai keadaan serupa. Hingga akhirnya kami mencapai gerbang pintu masuk taman nasional Meru Betiri, di depan kami sudah di sambut petugas jagawana untuk membayar tiket masuk sebesar 5 ribu rupiah setiap orangnya, belum lagi nanti untuk bayar

parkir tiap motornya sekitar 2-5 ribu rupiah untuk lokal, beda lagi biaya untuk para wisatawan manca. Taman Nasional Meru Betiri menawarkan pemandangan dan pengalaman yang luar biasa. Menuju hutan ini membutuhkan stamina yang baik. Namun keletihan Anda akan terbayar lunas dengan pemandangan yang spektakuler dan udara hutan yang khas menyejukan kulit dan hati Anda. Pengalaman ini akan sulit Anda rasakan dan temukan di tempat lain di planet ini.

Pantai Rajegwesi Begitu pemandangan sekitar berubah menjadi rumput ilalang, terhamparlah sebuah pantai yang Eksotis mempesona, Inilah pantai Rajegwesi. Perjalanan ke Pantai Rajegwesi penuh dengan goncangan yang tidak kalah dengan goyangan Inul Daratista. Letaknya persis dipinggir jalan yang kami lewati. Dengan pemandangan tebing-tebing tinggi menghijau, dan ombak yang begitu besar menyapu pasir-pasir putih yang cantik luar biasa. Pantai Rajegwesi searah dengan pantai Teluk Ijo dan merupakan bagian dari Taman Nasional Meru Betiri. Pantai Rajegwesi terletak terletak di Desa Sarongan, Kecamatan Pesanggrahan, Banyuwangi. Pantai Rejegwesi terbentuk dari endapan lumpur yang di bawa oleh sungai, hal ini juga menyebabkan pasir pantai berwarna cokelat. Panorama pantai ini sangat indah, pantai ini dikelilingi hutan tropis hijau yang masih asri. Pantai Rajegwesi masih alami dengan pemandangan bukit dan karang yang bersebelahan dengan kampung nelayan. Konon, dahulu di di pantai ini terdapat perkampungan

Page 9: Wonderfully Lost in Banyuwangi

8 | P a g e

besar, tsunami tahun 1994 memporakporandakannya. Sekarang yang terlihat hanya kampung nelayan kecil dengan beberapa rumah dan warung.

Rajegwesi sendiri adalah sebuah desa yang ada di Taman Nasional Meru Betiri. Desa ini juga menjadi gerbang jika ingin memasuki Taman Nasional Meru Betiri. Sampai di Pos Rajegwesi hari sudah mulai sore. Sehingga kami tidak diperbolehkan untuk melanjutkan camping di Teluk Hiujau yang menjadi tujuan utama kami sebenarnya. Petugas jagawana memberi kami penjelasan dan aturan main saat memasuki kawasan taman nasional, tidak di perbolehkan kemah di lingkungan taman nasional, merusak flora fauna, membakar kayu maupun beraktifitas di malam hari, hanya di perbolehkan menikmati, berfoto, menjaga alamnya dan tidak membuang sampah di kawasan taman nasional. Tidak banyak aktifitas yang kami lakukan di lokasi ini karena tujuan utama perjalanan ini ke Teluk Hijau, akhirnya kami putuskan untuk mendirikan tenda di sekitar pantai Rajegwesi yang berada di sekitar pemukiman penduduk dan pos jagawana tetapi posisinya tidak terlalu dekat agar tetap masih bisa dipantau. Walau aktivitas tak banyak karena sudah kesorean kami masih tetap bisa menikmati matahari tenggelam dari ufuk, menikmati debur ombak yang tak terlalu tinggi dengan hamparan pasir pantai yang lebar dan kampung nelayan dengan segala aktivitasnya. Oh iya, lokasi camping kami termasuk spot yang terbaik, kami benar-benar beruntung karena di

saat mencari tempat untuk mendirikan tenda, ada seorang warga dengan anak perempuannya yang masih balita membantu kami ditunjukan sebuah lokasi yang sangat menakjubkan dan eksotis bisa mendapatkan segalanya, hamparan persawahan yang masih di kelola warga secara tradisional, pinggir pantai dengan taman pohon seperti nanas terhampar di sepanjang garis pantai sebagai penahan angin untuk tenda kami dan bisa menikmati sebuah muara sungai yang mengalir menuju pantai dan yang paling kami takjub adalah disaat yang tepat kami berada pada pancaran matahari jingga kemerahan menuruni bukit dan pantai di temani sekitarnya persawahan dan pegunungan, memang sungguh indah! Kami sangat berterimakasih pada Aura (nama anak kecil itu) dan Bapaknya yang berbaik hati menunjukkan lokasi kemah kami. Aura termasuk anak yang lincah dan suka di foto dan tidak merasa asing bermain dengan kami. Malah, Auran sangat menikmati bermain dengan kami, berlarilarian dengan riang dan selalu mengajak kami ngobrol. Beruntungnya kami.

Di kegelapan malam kami secara tim berbagi tugas masing-masing untuk mendirikan tenda, ada yang memasak dan mengkaitkan hammock pada pohon ke pohon. Sungguh suatu kebersamaan yang tak pernah kulupakan, kedekatan kami secara seperti pertemanan yang sudah melebur menjadi sebuah keluarga. Sebetulnya inilah momen yang senantiasa mewarnai perjalanan kami, saling peduli, saling menjaga dan saling berbagi dan semuanya murni

Page 10: Wonderfully Lost in Banyuwangi

9 | P a g e

pertemanan. Indah!! Hutan tropis dengan luas persawahan hijau yang relative alami menjadikan daya tarik tersendiri para pencinta wisata baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Aktivitas masyarakat selain menjadi nelayan dan petani mereka juga ‘deres’ air kelapa yang banyak tumbuh disekitar garis pantai sebagai bahan utama pembuatan gula jawa.

Seperti Mbak Sabar, yang saat itu saya temui pagi-pagi sekali sedang melakukan ‘mbajak’ sawah menggunakan kerbau peliharaannya sendiri. Sabar saat itu sedang menanamkacang tanah yang lahannya hanya hak guna pakai sekitar satu hektar dari taman nasional Meru Betiri dan semuanya proses tanam secara tradisional di kerjakan dengan istrinya. “Ini bukan lahan saya mas, ini pinjaman dari taman nasional”, tambahnya. Saat panen nanti mungkin menghasilkan sekitar 4 kwintal kacang tanah di jual kepada tengkulak seharga 1 jutaan untuk menghidupi keluarganya. “cukup ga cukup ya dicukipin mas, karena memang kami hanya bisa bertahan dengan bertani”, selorohnya. Sabar memilih bertani ketimbang menjadi sebagai nelayan mungkin dikarenakan fasilitas dan alat untuk menjaring ikan seperti kail, jaring dan perahu tidak dipunyai. Aktivitas nelayan melaut maupun selesai melaut, mereka menarik perahunya dan menurunkan hasil tangkapan di bantu warga sekitar juga anak-anak dengan imbalan ikan hasil tangkapannya. Aktivitas

tersebut dilakukan antara pukul 10.00-11.00 WIB di saat anak-anak sehabis pulang dari sekolah. Anak-anakpun sering bermain air di pinggiran pantai dan bersepeda mengelilingi bebatuan yang berada banyak di pesisir dengan riang dan memang sungguh mengasikkan melihat anak-anak itu bermain. Saya pun dikerumunin anak-anak tersebut untuk meminta di foto dan berkenalan juga sekedar ngobrol-ngobrol mengakrabkan diriku dengan mereka. Anak-anak itu sangat ramah dan selalu tersenyum tersipu saat kuambil gambarnya tetapi mereka senang. Meskipun tidak seramai pantai-pantai yang lainnya yang termasuk di dalam kawasan taman nasional, pantai Rajegwesi merupakan pantai yang seharusnya dikunjungi bagi para pelancong khususnya backpaker karena camping hanya boleh di dirikan di kawasan ini, apabila ingin menuju ke teluk hijau. Pantai ini satu jalur dengan teluk hijau yang sama-sama terdapat di desa Sarongan, kecamatan Pesanggaran Banyuwangi. Tidak sulit menemukan lokasi pantai ini, karena pantai ini tepat berada di pinggir jalan yang sering dilewati oleh kendaraan. Dari jalan sudah terlihat pantainya dan terdengar jelas deburan ombak yang tercipta di pantai Rajegwesi ini. Pemandangan landscape yang ada di pantai Rajegwesi sungguh eksotis, dengan hamparan pasir yang bersih dan juga di sisi kanan terdapat tebing bebatuan menemani para kapal bersandar di sisi tepi pantai. Serta deburan ombak ketika menghantam bebatuan

Foto:Aura

9 | P a g e

Page 11: Wonderfully Lost in Banyuwangi

10 | P a g e

sangatlah menawan dan tepat di pesisir terdapat batu sebagai tempat petilasan. Pasirnya yang agak putih kecoklatan, semakin membuat indah suasana pantai.

Teluk Hijau Keesokan paginya sehabis masak sarapan pagi saya dan kawan-kawan mempacking semua tenda, hammock, peralatan masak dan tak lupa memasukkan semua sampah yang semalam sisa bungkus makanan. Kami berkemas dan

melanjutkan perjalanan kembali menuju Teluk Hijau, teluk yang berada di balik bukit yang sedianya oleh para penjaga wana barusan di bukanya untuk pengunjung umum. Yang katanya flora dan faunanya masih terjaga dan dilindungi hingga semua pengunjung tidak boleh melakukan sesuatu yang mengakibatkan kerusakan alam maupun satwa yang ada di dalam. Menaiki motor menuju pos penjagaan, menyapa para jagawana yang kami temui sehari

sebelumnya dan meminta ijin untuk menitipkan barang bawaan beserta ransel kami di pos. Bapak-bapak penjaga cukup ramah dan sangat membantu memberikan informasi yang kami butuhkan semua dengan senyuman dan gelak tawa membuat kami serasa bukan pendatang. Memang ada banyak keuntungannya ketika kami ke suatu wilayah dan bermalam juga berusaha mengenal wilayah itu beserta penduduknya selalu disambut dengan tangan yang terbuka oleh penduduk sekitar, mereka baik sekali, ramah dan selalu ingin membantu kami di saat memang kami membutuhkannya. Semua ranselnya sudah menyandar rapi di sebuah ruangan yang sekiranya aman, maka kami siap melanjutkan menengok Teluk Hijau. Breemmm breeemm breemm, deru motor kami siap melaju melibah bebatuan jalan menuju ke bukit merambah hutan di sepanjang jalan yang kami lalui menuju Teluk Hijau itu. Petualangan ini tidak sebatas jalan jelek, bebatuan dan turunan tetapi banyak jalan tanjakan menghadang

perjalanan kami. Sepanjang melintasi jalan terjal ini kami disuguhi penduduk yang ramah dengan tatanan rumah yang asri, hutan, tebing dan melintasi jalan berkelok-kelok di pinggir persawahan dan ladang warga enjadi pengalaman hidup mengesankan yang membekas dalam ingatan saya sampai saat ini.

Page 12: Wonderfully Lost in Banyuwangi

11 | P a g e

Perjalanan akhirnya berakhir pada pelataran parkir yang di kelola warga sekita menjadi pemberhentian akhir menuju Teluk Hijau, kami semua menata motor rapi berjajar di parkiran dan memberikan uang parkir sebesar 2 ribu rupiah kepada juru parkir. Kami lanjutkan dengan hiking dan tracking menuju balik bukit yang tersembunyi di dalamnya ada pantai batu, tanaman-tanaman asli tropis yang di lindungi dan semuanya di beri nama agar kita bisa tau dan paham, habitat hewan pun masih liar terdapat di hutan ini. Perjalanan tracking kami tempuh sekitar 1 jam perjalanan melalui lembah, pinggir pantai, belantara, rawa dan bebatuan. Untuk mencapai Teluk Hijau memang membutuhkan perjuangan yang menantang adrenalin, melalui jalan setapak yang curam dan bebatuan, kami juga harus menuruni bukit dan menembus hutan dengan pepohonan yang besar-besar. Kami sejenak berenti dan melihat Teluk Hijau yang

eksotis dari kejauhan di atas bukit, namun surga Teluk hijau yang sebenarnya berada di pantainya. Di tengah perjalanan, kami disuguhi deburan ombak pantai dipenuhi hamparan bebatuan bulat yang terdiri dari berbagaiukuran besar kecil yang tersusun rapi sepanjang garis pantai.

Hampir tak nampak pasir layaknya pantai pada umumnya, inilah Pantai batu. Konon dulunya pantai ini berpasir, tetapi sejak terkena tsunami tahun 1994, mendadak di penuhi banyak batu yang di perkirakan berasal dari dasar laut. Dari pantai Batu, lokasi teluk Hijau sudah mulai dekat, letaknya hanya bersebelahan agak tersembunyi di balik bukit karang-karang di sisi barat. Kami lanjutkan langkah melipir pada jalan setapak bebatuan pinggir aliran air seperti sungai atau rawa kecil dengan pepohonan yang rimbun, sampai kemudian menemukan dua batu karang yang berhadapan dan memasuki surga tersembunyi yaitu Teluk Penyu. Oh iya, hingga terlupa, para jaga wana selalu rajin menuliskan dan memasang pesan di papan pengumuman di hampir lintasan rute ke arah Teluk Hijau, diingat ya kawan-kawan bunyinya dan di resapi. Yang berbunyi, ‘Do Not Leave Anything but Footprint and Do Not Take Anything but Picture’. Ini penting bagi pengunjung untuk selalu menjaga bersama-sama

Page 13: Wonderfully Lost in Banyuwangi

12 | P a g e

secara swadaya agar tetap lestari alam kita. Dan surga itu telah kita ketemukan, pasir putih dengan air hijau bergemuruh seoalah menyambut kedatangan kami di Teluk Hijau indah ini. Pasirnya begitu halus, sehingga mudah melekat di kulit, perpaduan antara air laut yang berwarna kehijauan dengan pasir putih dan suasana asri membuat kami yang melihatnya berdecak kagum. Sesuai dengan namanya, Teluk ini jika di lihat dari jauh nampak berwarna kehijauan, ini berbeda dengan kebanyakan pantai yang biasanya berwarna biru. Warna hijau tersebut di dasar perairan dangkalnya terdapat alga yang memantulkan warha hijau ke permukaan perairannya. Di Teluk Hijau ini juga kami sempat di hampiri kera liar yang lapar, mungkin akan mengambil makanan kami dengan mengendap-endap. Tetapi kami sigap dan segera mengusirnya, kami tak akan memberi makan karena pesan dari penjaga wana tidak boleh memberikan makan kepada binatang liar yang ada di kawasan taman nasional.

Pukul 2 siang setelah kami memuaskan hasrat untuk jepret jepret megabadikan keeksotisannya, menikmati keindahannya dan mengagumi ciptaan Sang Pencipta, kami beranjak pulang melanjutkan kembali perjalanan menuju Pulau Merah. Pulau Merah Pulau merah, begitu orang menyebutnya. Ini menjadi tujuan lokasi yang kami kunjungi di hari ketiga dalam rentetan panjang selama ngetrip enam hari lamanya di sepanjang pesisir Banyuwangi. Pulau kecil ini berada di Desa

Sumber Agung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi. Kata orang-orang pulau ini pantainya bagus memikat banyak wisatawan melalui selancarnya, melalui bentuknya yang menyerupai pegunungan yang berada di tengah pantai. Mengapa dinamakan Pulau Merah, karena pulau tersebut bertanah dan mempunyai bebatuan yang kemerah-merahan dari bawah hingga atas bukit pulau tersebut. Pantai ini dikenal karena sebuah bukit hijau kecil bertanah merah yang terletak di dekat bibir pantai. Bukit ini dapat dikunjungi dengan berjalan kaki saat air laut surut. Di sana juga terdapat Pura dimana warga yang beragama Hindu disana melaksanakan upacara Mekiyis.

Nama Pulau Merah merujuk pada sebuah bukit kecil di tepi pantai yang memiliki tinggi sekitar 200 meter. Bukit tersebut memiliki tanah berwarna merah dan ditutupi oleh vegetasi hijau sehingga tidak terlalu tampak warna aslinya. Bukit ini bisa diakses pada saat air sedang surut. Pantai Pulo Merah berpasir putih terbentang sepanjang tiga kilometer. Ombak di kawasan Pulo Merah cukup menantang dan menjadi salah satu tempat ideal untuk penggemar olahraga selancar. Ombak di pantai ini tergolong cukup tinggi berkisar 3-5 meter dan cocok untuk pecinta olahraga selancar (surfing). Menurut penuturan warga setempat, turis-turis asal Prancis, Jerman, dan Australia sering berkunjung ke tempat ini. [wiki]

Page 14: Wonderfully Lost in Banyuwangi

13 | P a g e

Tetapi menurut saya, dari seluruh cerita masyarakat maupun internet, Pulau Merah dengan menawarkan keindahan ombak pantai dan luasnya pasir yang terbentang sepanjang tiga kilometer itu biasa saja, tidak terlalu istemewa. Terlalu ramai dan ‘turistic’ banget, sehingga kami kurang nyaman. Memang sih pantainya bagus menampilkan pulau-pulau kecil di tengah laut dan menyuguhkan matahari tenggelam, tetapi buat kami yang ingin kenyaman sepi dan ingin bersantai menjadi terganggu karena terlalu banyak pengunjung dan satu hal lagi kurang nyaman untuk mendirikan tenda pesisir pantai ini walau pengelola pantai sudah memberikan kami lokasi, tetapi pemberian lokasi tersebut tidaklah gratis alias bayar 10 ribu per orang per malamnya. Untuk itu, kami tak akan berharap lagi bisa bermalam di pulau ini. Kami hanya menikmati sore nan jingga menyaksikan turunnya sang mentari yang sudah saatnya pulang kekandangnya.

Beruntung kami bertemu warga lokal disana yang berprofesi sebagai life guard di pantai Pulau Merah, Pak Suyetno tersebut menawari kami untuk bermalam di Bukit Goa Macan. Katanya disana bisa memandangi keseluruhan pemandangan Pulau Merah dan mengintip matahari terbit dari timur dari atas bukit. Goa Macan Sehabis santab malam di salah satu warung berjajar pinggiran pantai Pulau Merah, kami menemui Pak Suyetno agar bisa mengantarkan ke Goa Macan. Saat itu kami membayar sebagai jasa guide nya sebesar 70 ribu rupiah dan kami anggap cukup adil dengan pesona yang menggiurkan dari pada mendirikan kemah di pinggir pantai yang sama-sama bayar juga. Pukul 9 malam kami diantarkan ke bukit tersebut dan motor kami titipkan di salah satu teman Suyetno yang tingga di dekat dengan bukit Goa Macan.

Bukit Goa Macan tak jauh lokasinya dari gerbang masuk ke Pantai Pulau Merah, mungkin hanya 2-3 kilometer dari jalan raya. Setelah kami titipkan motor kami, mulailah hiking kami lakukan di malam hari. Pertamanya kami lewati persawahan penduduk yang banyak di tanami jagung, tanaman cabe kemudian mulailah tanjakan demi tanjakan kami rasakan dengan menggendong ransel yang lumayan berat. Kontur jalan untuk tracking berupa tanah persawahan dan batuan dengan kemiringan 30 hingga 70 derajat, jarak tempuh hingga sampai diatas bukit mungkin diperkirakan sekitar 30 sampai 45 menitan.

Page 15: Wonderfully Lost in Banyuwangi

14 | P a g e

Bukit Goa Macan hampir sama persis dengan gunung Nglanggeran di Jogja, bongkahan-bongkahan batu besar menjulang tinggi membentuk sebuah menara saling menumpuk tumpang tindih. Bukit ini dipenuhi hutan jati, tetapi karena kekurang perhatiaannya pemerintah terhadap ekosistem hutan di bukit ini mengakibatkan warga sering menajarah dengan brutal pohon jati tersebut, sehingga bekas-bekas tumbangnya pohon itu masih tersisa. Warga kurang merawatnya sehingga nampang gersang sekali bukit ini walau pemandangan di bawahnya sangatlah bagus tetap kami sayangkan, kepedulian warga pada ekosistem flora dan faunanya sangatlah minim. Sekarang lahan-lahan kosong tersbut habis jarahan di tanami jagung dan cabe oleh warga.

Dahulu Goa Macan menurut legenda adalah tempat persembunyian Macan putih yang menunggui Goa disana sebagai tempat untuk ngadem, goanya itu terbentuk akibat dari bongkahan-bongkahan batu yang saling menutupi sehingga membentuk seperti goa. Panjang goa hanya sekitar beberapa puluh meter saja dan tembus. Nah, pemandangan dan panorama Pulau Merah dapat di saksikan di atas Goa batu ini. Bukit ini juga dahulunya terdapat banyak binatang landak tetapi sekarang sudah punah karena banyaknya warga yang memburunya. Jadi susah di temuinya saat ini. Kampe Pagi menjelang, puas memandangi matahari terbit, pulau-pulau nan indah menjulang di

tengah laut yang berada di Pulau Merah seolah sudah menyapaku dari atas bukit hingga 360 derajat tanpa batas pandangan cakrawala semua tertera hinggap di mataku. Mengabadikannya dan merekamnya kedalam lensa merupakan agenda wajib yang selalu kulakukan agar cerita itu tetap ada dan tetap membekas dalam sanubari. Tetapi beberapa kawan masih dalam keadaan kurang sadarkan diri dalam tidurnya beratapkan ‘flyshit’ karena mereka kelelahan seharian touring dan mendaki bukit serta sibuk bongkar pasang tenda. Setelah kami puas dengan suguhan alam nan aduhai, kami bersiap berkemas mempacking seluruh bawaan dan tenda kembali. Kami harus turun dan melanjutkan touring kami menuju dermaga terdekat untuk melaju ke pulau Tabuhan.

Hari inilah kami harus mengembalikan sewaan motor maticnya dengan desain off road itu ke pemiliknya di kota Banyuwangi dengan batas waktu hingga siang ini. Sehingga kami harus bergegas untuk menuruni bukit agar tidak telat balikin motornya. Pada saat itu juga, Pak Suyetno

Page 16: Wonderfully Lost in Banyuwangi

15 | P a g e

menawari kami untuk dapat beristirahat sejenak dan dipersilahkan mandi, waaah baiknya bapak ini. Suyetno juga banyak cerita tentang desanya, cerita tentang pengalamannya dan banyak lagi. Desanya yang dibangun sedikit demi sedikit hingga sekarang menjadi desa wisata sebagai tujuan utama para penalncong hingga sampai saat ini. Perjuangannya dalam membangun desa dan membangun sumber daya manusianya perlu diacungi dua jempol tangan plus dua jompol kaki dah, saluut saya. Sesampai dirumah Suyetno, kami langsung mandi dan saling mengantri. Semua keringat, capek menuruni bukit dan segala hal pegel-pegel terobati sudah dengan guyuran air. Kami disana diperlakukan layaknya sodara oleh Suyetno, semua makanan disuguhkan buat kami, tak lupa kopi panas selalu menemani di letakkan di meja ruang tamu memanjakan lidahku yang lagi kelu.

Meninggalkan rumah Pak Suyetno pukul 10 pagi, serasa berat rasanya pergi menjauhi keluarganya yang sudah mulai akrab dengan kami. Tapi, perpisahan ini bukanlah akhir bagi kami, malah membuat banyak teman dan jaringan yang terbangun dan akan sangat bisa saling berkontak melalui telepon genggam jika suatu saat kami akan datang penyapa menyambangi Pulau Merah lagi. Pukul 1 siang tepat kami sampai di Tripoli kembali, tempat rentalan motor tersebut. Ibu Rima sudah menanti kehadiran kami sebelumnya. Kamipun segera mengurus berkas

identitas kami dan berkas-berkas lainnya yang sempat digunakan sebagai jaminan sewa. Semuanya telah di cek, dan kondisi motor juga sudah di cek kembali seperti semua akhirnya kami makan siang, menikmati soto Banyuwangi kembali. Dengan modal bertanya-tanya dengan warga lokal untuk menuju ke Pulau Tabuhan, kami mengantongi beberapa rute dan arah untuk menuju pulau kecil itu. Kamipun mencegat angkot di pinggir jalan menuju ke pelabuhan Ketapang dengan membayar lima ribu rupiah. Sesampai di Ketapang, kami melepas perpisahannya surfer Cheryl dari Korea itu untuk menuju ke Denpasar. Tangispun pecah saat itu, kedekatan kami semua tereratkan oleh seluruh rangkaian perjalanan yang menawan yang tak pernah terlapan begitu saja dalam benak hati. Perjalanan penuh halang rintang dan penuh dengan kenangan decak bercak menaiki kereta, pindah dari tenda ke tenda, hammock ke hammock merupakan perjalanan terlama dan tersukses yang pernah kujalani dan semuanya di iringi dengan gelak tawa dan canda yang mengasyikkan. Setelah melepas Cheryl menaiki bus menuju Denpasar, kami di hampiri Bapak sopir angkot menawarkan perjalanan menuju langsung ke Desa Kampe yang menghinggap terlebih dahulu di Watu Dodol. Kami membayar 10 ribu per orang menaiki angkot tersebut hingga masuk dalam dermaga pantai Kampe, jarak dari jalan raya menuju ke pantai Kampe kira-kira 2-3 km. Karena jarak yang lumayan jauh itu Bapak sopir angkot memintai kami tambahan uang sebesar 5

Page 17: Wonderfully Lost in Banyuwangi

16 | P a g e

ribu per orang. Takut kesorean, kami langsung mencari perahu yang menuju ke Pulau Tabuhan. Sayang sungguh sayang, rencana kita yang ingin membangun tenda di pulau kecil itu dan bermalam disana sirna semua dikarenakan tarif yang ditawarkan sangat mahal, kami memutuskan untuk tinggal semalam di pantai Kampe dan keesokan harinya baru menuju ke Pulau Tabuhan dengan tarif yang masih sesuai kantong kami setelah berlama-lama negosiasi antara Rio dan Karin dengan para broker pemberangkatan menuju Pulau Tabuhan. Pantai Kampe merupakan pantai yang terletak di desa Bangsring Kecamatan Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi. Pantai ini memiliki keindahan yang menakjubkan meskipun beberapa, tempat ini tidak begitu terawat. Jika Anda berkunjung ke Banyuwangi, khususnya Banyuwangi Utara, tidak ada salahnya jika meluangkan waktu sejenak untuk mengunjungi pantai Kampe yang memiliki sejuta pesona khas dari Pantai Banyuwangi. Dengan debut ombak tenang serta suasana romantika nyiur melampai-lampai dan hangatnya udara pantai di tengah-tengah areal perkebunan. Suasana pantai yang unik dengan rindangnya pepohonan kelapa dan suara ombak menggulung damai ditambah pemandangan selat Bali dan Pulau Tabuhan yang dapat di lihat dari pantai ini karena letaknya yang tidak begitu jauh menambah kami semakin yakin untuk tetap bermalam di pantai Kampe dengan memasang hammock di sela-sela pepohonan kelapa. Kami semua memasang hammock untuk melepas lelah kami walau warga sudah banyak

yang menawari kami untuk tinggal di rumahnya secara gratis tetapi kami lebih memilih tinggal di alam terbuka bisa menikmati percikan nyala bintang dan sinar pancaran purnama seapruh bulan di langit.

Pantai Kampe merupakan sebuah obyek wisata agrobahari yang memadukan perkebunan dan pantai di areal Kebun Pasewaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Pantai Kampe terletak di kecamatan Wongsorejo kabupaten Banyuwangi. Penduduk setempat selain nelayan, mereka juga menjual ikan hias yang menjadi hasil andalan perekonomian mereka. Pengambilan ikan hias masih dilakukan secara tradisional dengan menyelam sambil menjaring, mereka menggunakan kompresor sebagai alat pernapasan buatannya selama menyelam di kedalaman laut. Sepatu katakpun mereka membuatnya sendiri dari kayu yang telah di modifikasi sedemikian rupa dipadukan sepatu renangnya untuk mengayuh menambah kekuatan berenang saat dalam penyelaman. Canggih! Selain sebagai tempat wisata, pantai ini juga digunakan sebagai dockyard (dermaga). Pengembangan pariwisata di daerah ini dibarengi dengan diversifikasi usaha di bidang tanaman keras seperti kopi, karet, kakao, teh dan kayu-kayuan sebagai salah satu upaya mengoptimalkan lahan. Kampe yang memiliki jenis tanah Regosol dapat dioptimalkan untuk budidaya hortikultura dengan luas lahan 130,64 hektare. Pantai Kampe Memiliki potensi untuk dioptimalkan sebagai obyek wisata, dengan menjaring wisatawan mancanegara dan domestik. Dari obyek wisata agrobahari Kampe, wisatawan dapat menaiki perahu menuju Pulau

Page 18: Wonderfully Lost in Banyuwangi

17 | P a g e

Tabuhan (perjalanan ke pulau tanpa penghuni dan berpasir putih) dengan durasi waktu 30 menitan. Pulau Tabuhan Pagi begitu menyingsing, warga terheran-heran

akan penampakan kempong-kepompong kami yang sudah menempel di pohon-pohon kelapa berjumlah lima. Mereka tak menyangka didalamnya terdapat kami sedang pulas tertidur dengan pancaran mentari pagi. Warga disana semuanya ramah kepada kami, tak pernah lelah kami selalu berbincang dan bercanda gurau dengan mereka saat pagi menjelang dengan di temani secangkir kopi setelah kami mengemasi hammock dan peralatan tempur kami. Selepas

sarapan pagi dan ngobrol dengan warga, kami bersiap untuk menuju destinasi selanjutnya, destinasi terkahir dalam list mengarungi selatan pesisir Banyuwangi, yaitu Pulau Tabuhan. Untuk bisa hinggap di Pulau Tabuhan, kami harus menyewa kapal nelayan, tarifnya waktu itu kami

mendapatkan harga cukup mahal yang menjadi ketidakberuntungan kami saat itu, yakni 450 ribu rupiah kami bagi dengan orang berlima. Disana mudah untuk mencari sewa perahu karena memang pemerintah setempat sudah membuka jalur menuju ke pulau Tabuhan tersebut dengan membuat perkumpulan warga untuk mengurusi wisatawan yang akan menuju kepulau tak berpenghuni tersebut. Ombak selat Bali mengombang ambingkan perahu motor yang kami tumpangi. Kengerian

selama perjalanan di laut terbayarkan dengan keindahan pulau dan biota lautnya. Pulau Tabuhan sendiri merupakan sebuah pulau kecil tidak berpenghuni yang berada di wilayah utara Banyuwangi. Untuk mencapai lokasi tersebut harus menyeberang kurang lebih 30 menit dari Pantai Kampe dengan menggunakan perahu nelayan. Di sepanjang perjalanan menuju pulau dengan pantai berpasir putih bersih ini wisatawan bisa menikmati pemandangan menawan gradasi warna laut mulai hijau, biru muda sampai biru tua. Kejernihan air juga bakal memanjakan wisatawan yang gemar berolahraga air seperti snorkling. Pulau Tabuhan terletak 20 km dari kota Banyuwangi, tepatnya berada di Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo. Untuk menuju Pulau Tabuhan terlebih dahulu berhenti di Pantai Kampe yang tak jauh dari wisata Watu Dodol. Dari Watu Dodol ke Pantai Kampe dapat ditempuh hanya sekitar 10 menit saja. Luas Pulau Tabuhan kira-kira 5 hektar.

Page 19: Wonderfully Lost in Banyuwangi

18 | P a g e

Kebun laut yang eksotis, terumbu karang yang memukau dan dihuni oleh ribuan spesies ikan, bunga karang, udang karang dan berbagai tumbuhan laut adalah menu utama yang di sajikan oleh keindahan Pulau Tabuhan. Ditambah lagi, dengan kejernihan airnya yang berwarna-warnai gradasi. Selain para satwa laut dan biota laut, berbagai jenis satwa darat pun bisa hidup dengan nyaman di pulau ini. Seperti contoh, burung Maleo yang terkenal dari Pulau Sulawesi selalu bermigrasi di habitat Pulau Tabuhan. Pemandangan alam bawah lautnya sangat mempesona. Pulau tabuhan sangat cocok untuk scuba diving / snorkling, Tak ada salahnya untuk melakukan kegiatan di laut yaitu berenang bersama hewan-hewan laut karena airnya sangat jernih. Kearifan Lokal dan Keramahan Warga

Budaya lokal dan tradisi masih mereka pegang teguh di dalam caranya untuk mengais hidup dengan penuh perjuangan, menggarap tanah

dengan membajak menggunakan kerbau sebagai salah satunya masih hingga saat ini mereka lakukan. Memburu ikan hias saat menyelam menggunakan kompresor dan kaki katak yang yang mereka buat sendiri dari triplek kayu yang sudah di modifikasi merupakan hal yang wajar mereka gunakan. Saya yang gemar berkomunikasi dengan orang-orang lokal setiap beradventure dimana saya berpijak menemukan fakta bahwa sebagian besar orang-orang Indonesia sebagai sosok yang baik dan ramah. Kebudayaan dan tradisi Indonesia yang unik pun

menjadi daya tarik mereka. Contohnya kebiasaan gotong royong dan kerja bakti yang menjadikan ciri masyarakat di pedesaan, walau tak di pungkiri terdapat pula di maysrakat perkotaan tetapi lebih kental rasa persaudaraan di desa antara penduduknya. Tak akan lepas dari keterlibatan mereka (warga) perjalanan ini menjadikan semakin bergairah dan mengasikkan. Mereka dengan ramah dan berbaik hati selalu menawarkan bantuan serta senyum kepada kami selama kami di perjalanan. Seru pokoknyalah. Sebenarnya kearifan lokal memiliki keunggulan setempat namun memiliki nilai-nilai universal. Nilai-nilai kearifan lokal membentuk individu dan masyarakat memiliki kemampuan berfikir global, bertindak lokal, memberi kontribusi terhadap pembentukan identitas budaya bangsa, dan integritas berbangsa dan bernegara. Beragam bentuk kearifan lokal dalam masyarakat, diantaranya berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, dan adat istiadat. Proses difusi inovasi dan unsur budaya asing tidak lagi

Page 20: Wonderfully Lost in Banyuwangi

19 | P a g e

terkendala ruang dan waktu, melainkan terseleksi oleh nilai-nilai kearifan lokal. Globalisasi yang intensif dapat mempengaruhi terhadap keberadaan nilai-nilai kearifan lokal. Tetapi di setiap kami singgah dalam perjalanan, warga tak terpolarisasi global adanya pariwisata di desanya yang sudah terkenal hingga manca. Hitchike Sebenarnya kata yang lebih tepat digunakan adalah HitchHiking. Kata mudahnya adalah menumpang. Yap, ketika kita sedang berada di suatu tempat kita mencari tumpangan menuju tujuan kita. Ini iseng kami akan lakukan, karena kami sempat menggerutu karena pengeluaran dalam rangkaian perjalanan kami membengkak, terbesitlah untuk menumpang kendaraan yang lewat di jalan raya sembari menunggu bus yang mengarah dari Kampe menuju ke pelabuhan Ketapang. Idenya adalah ketika kita akan menuju tempat lain kita menumpang dengan orang lain untuk mencapai tujuan kita. Kita menumpang bisa karena menghemat pengeluaran ataupun memang disana tidak ada kendaraan lain. Tumpangan ini bukan dalam arti angkutan umum atau angkot atau bus. Namun tumpangan yang gratis lah. Dengan muka tebal, kita cukup berdiri di pinggir jalan dan mengacungkan jempol ke kendaraan-kendaraan yang lewat. Seems so simple? Bisa jadi. Tapi bisa juga menguras kesabaran dan

emosi jika tidak kunjung dapat tumpangan. Tetapi ide iseng ini, tetap kami

lakukan agar menghemat biaya perjalanan. Sekitar 10 menitan kami mengacungi jempol ke semua kenadaraan bak terbuka maupun mobil pribadi, akhirnya ada sebuah mobil Tronton pengangkut kendaraan bermotor baru yang akan melaju menuju Bali itu berhenti, kemudian kami hampiri mobil tersebut menanyakannya apakah mau kami tumpangi hingga ke pelabuhan ketapang. Ternyata sopir tersebut mengiyakan dan menyuruh kami berlima untuk duduk bersama di ruang kemudi dan meletakkan semua ransel dan bawaan kami di belakang bersama motor-motor roda dua yang masih baru tersebut. Beruntungnya kami, ini merupakan pengalaman pertama kami melakukan hal seperti ini di kota lain bukan kota kami sendiri. Senang bukan kepalang, kami bisa melakukan hitchike, kami bener-bener girang. Kami berbincang panjang lebar dengan sopir tronton itu, namanya Pak Maman. Ternyata sopir tersebut berasal dari Semanu, Gunungkidul, Yogyakarta. Wah kebetulan sekali. Pak Maman juga menawarkan kami boleh menumpang hingga ke Bali, tetapi karena masa liburan cuman hingga hari minggu di hari itu, kami menolak tawarannya. Tetapi dia juga menawarkan kami jika ingin menumpang ke Lombok atau ke bali lain waktu bisa bareng dengan dia suatu saat, karena Pak Maman akan berangkatnya melalui Yogyakarta, kamipun diberi nomor kontaknya dia, agar bisa suatu saat mengubunginya untuk bareng dengan truk Trontonnya menuju Bali/Lombok dengan gratis. Akhir kata, Kawan, Saya merindukan perjalanan dan

kebersamaan dengan kalian. Semoga selalu ada kenangan indah di tiap langkah bersama kita dan terimakasih untuk momen-momen indah yang selalu tercipta bersama kalian.