yasin40 wh v02

21
Abstrak Sampai saat ini, di Indonesia terdapat 3 metode yang populer digunakan untuk penentuan awal bulan pada sistem kalender Hijriah, yaitu Rukyatul Hilal, Wujudul Hilal, dan Imkanur Rukyat. Masing- masing memiliki dalil sendiri baik dari Al-Quran, Hadis, maupun Sains. Ketika setiap kriteria memiliki dalil sendiri yang dianggap benar, walaupun menghasilkan awal bulan yang berbeda (satu tanggal berbeda hari), akan dianggap benar. Padahal satu tanggal, tidak mungkin merepresentasikan dua bahkan tiga hari yang berbeda. Pada skala global, perbedaan kriteria ini mengakibatkan umat Islam tidak memiliki satu sistem waktu, yang digunakan sebagai acuan bagi seluruh kegiatan muamalah dan ibadah. Oleh karena itu, diperlukan validasi atas pemahaman sistem waktu, dalam hal ini penentuan awal bulan, dengan melakukan validasi atas dalil yang digunakan. Pada tulisan ini, dibahas mengenai tafsir Yasin 39-40, yang menjadi dalil bagi kriteria Wujudul Hilal. Kalau Yasin 39-40 ini memang merupakan dasar bagi penentuan awal bulan, sudah 1 AKURASI TAFSIR YASIN 39-40 SEBAGAI DALIL WUJUDUL HILAL Dr. Pranoto Hidaya Rusmin, Arief Syaichu Rahman Ph.D, Dr. Agung Harsoyo, dan Agus Supriatna M.Ag. Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung Tlp/Fax: (022) 2500960

Upload: esa-rizki

Post on 13-Jul-2016

15 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

yasin

TRANSCRIPT

Page 1: Yasin40 WH v02

Abstrak — Sampai saat ini, di Indonesia terdapat 3 metode yang populer digunakan untuk penentuan awal bulan pada sistem kalender Hijriah, yaitu Rukyatul Hilal, Wujudul Hilal, dan Imkanur Rukyat. Masing-masing memiliki dalil sendiri baik dari Al-Quran, Hadis, maupun Sains. Ketika setiap kriteria memiliki dalil sendiri yang dianggap benar, walaupun menghasilkan awal bulan yang berbeda (satu tanggal berbeda hari), akan dianggap benar. Padahal satu tanggal, tidak mungkin merepresentasikan dua bahkan tiga hari yang berbeda. Pada skala global, perbedaan kriteria ini mengakibatkan umat Islam tidak memiliki satu sistem waktu, yang digunakan sebagai acuan bagi seluruh kegiatan muamalah dan ibadah. Oleh karena itu, diperlukan validasi atas pemahaman sistem waktu, dalam hal ini penentuan awal bulan, dengan melakukan validasi atas dalil yang digunakan. Pada tulisan ini, dibahas mengenai tafsir Yasin 39-40, yang menjadi dalil bagi kriteria Wujudul Hilal. Kalau Yasin 39-40 ini memang merupakan dasar bagi penentuan awal bulan, sudah menjadi keharusan bagi umat Islam untuk memperhatikan ayat-ayat Al-Quran ini dan menjadikannya sebagai dalil untuk penentuan awal bulan. Sebaliknya, jika Yasin 39-40 ini bukan merupakan dalil bagi penentuan awal bulan, maka dasar bagi pembuatan sistem waktu, termasuk penentuan awal bulan, perlu dicari di ayat lain. Dengan melakukan validasi atas pemahaman ayat ini, dimungkinkan dapat memberikan koreksi terhadap

1

AKURASI TAFSIR YASIN 39-40 SEBAGAI DALIL WUJUDUL HILAL

Dr. Pranoto Hidaya Rusmin, Arief Syaichu Rahman Ph.D, Dr. Agung Harsoyo, dan Agus Supriatna M.Ag.

Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi BandungTlp/Fax: (022) 2500960

E-mail: [email protected] , [email protected] , [email protected], [email protected]

Page 2: Yasin40 WH v02

kriteria Wujudul Hilal. Dengan terus menerus melakukan koreksi dan penyempurnaan, diharapkan pada akhirnya akan memperoleh kriteria yang tepat.

Kata kunci: Rukyatul Hilal, Wujudul Hilal, Imkanur Rukyat, Yasin 39-40

I. PENDAHULUAN

Persoalan kalender umat Islam telah terjadi lebih dari 1400 tahun. Telah banyak dilakukan usaha oleh para ulama dan ahli astronomi untuk menyatukan kriteria, baik dalam lingkup nasional maupun global. Tulisan ini merupakan bagian dari usaha tersebut, sebagai salah satu cara untuk memperoleh solusi atas problem kalender umat Islam. Cara yang ditempuh dapat diperhatikan dalam Gambar 1 di bawah ini, yaitu dengan memahami kembali dalil yang ada pada acuan utama, yaitu Al Quran. Semua metode berasal dari pendapat Ulama, yang berasal dari pemahaman atas Hadis dan tafsir Al Quran.

Metode Penetapan Awal

Bulan

Pendapat Para Ulama

Hadits Rukyatul Hilal dan Umat yang Ummi

2:185, 2:189, 31:29, 6:96, 36:37-40, 55:5, 10:5, 17:12

Gambar 1. Pemahaman Kembali Dalil Sistem Waktu dari Al Quran & Hadis

Ayat-ayat Al Quran yang seringkali dijadikan acuan adalah Al Baqarah/2:185, Al Baqarah/2:189, Luqman/31:29, Al An’am/6:96, Yasin/36:37-40, Ar Rahman/55:5, Yunus/10:5, dan Al Isra/17:12. Sedangkan, Hadis yang menjadi dalil penentuan awal bulan adalah Hadits Rukyatul Hilal dan Hadits Umat yang Ummi. Pemahaman atas ayat dan hadis tersebut perlu diungkap

2

Page 3: Yasin40 WH v02

kembali dan dilakukan validasi untuk memperoleh keselarasan secara keseluruhan.

Persoalan muncul ketika dalil yang sama, tetapi dipahami berbeda. Salah satu contoh terjadi pada hadis umat yang ummi.

Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami Al Aswad bin Qais telah menceritakan kepada kami Sa'id bin 'Amru bahwa dia mendengar Ibnu'Umar radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).

Ketika hadis ini dipahami sebagai keputusan Nabi untuk tidak melakukan hisab terkait jumlah hari sebulan 29 atau 30 hari, pemahaman ini akan menguatkan penentuan awal bulan dengan Rukyatul Hilal. Dengan begitu, dipahami penentuan awal bulan harus dilakukan dengan Rukyatul hilal, baik pada waktu itu, saat ini, maupun di masa yang akan datang.

Namun demikian, pemahaman tersebut menjadi tidak tepat dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut.

Pertama, ketika penentuan awal bulan dilakukan dengan Rukyatul Hilal, umat Islam tidak mungkin memiliki kalender dengan minimum berisi 12 bulan di dalamnya. Penentuan awal bulan dengan Rukyatul Hilal hanya mampu menentukan jumlah hari sebulan untuk bulan yang lalu. Bulan yang sedang berjalan belum dapat ditentukan jumlah harinya, menunggu rukyatul hilal berikutnya. Dengan metode ini, kebutuhan umat Islam terhadap kalender tidak dapat terpenuhi.

Kedua, pertimbangan ini jauh lebih mendasar dari pertimbangan pertama. Justru Al-Quran mengungkapkan pembuatan

3

Page 4: Yasin40 WH v02

sistem waktu dengan hisab secara jelas dalam Al Isra/17:12 dan Yunus/10:5. Secara khusus Al Isra/17:12 terkait dengan Yunus/10:5 oleh kalimat ”lita’lamuu ’adada as siniina wal hisaba”. Begitu juga Yunus/10:5 terkait dengan Yasin/36:39 oleh kata ”manazil”. Al An’am/6:96, Ar Rahman/55:5, Al Isra/17:12, dan Yunus/10:5 terhubung dengan akar kata yang sama terkait kata hisab, yang berhubungan dengan matahari, bulan, malam, dan siang.

Secara ringkas, ayat-ayat tersebut mengajak manusia untuk mengenal dan menggunakan Sains dengan melakukan observasi terhadap malam, siang, matahari, dan bulan untuk memodelkan pergerakannya, dan menggunakan data prediksi untuk pembuatan sistem waktu. Sistem waktu dibuat berdasarkan hisab (durasi) siang-malam dan perubahan malam ke siang (Al Isra/17:12) dan hisab manazil matahari dan bulan (Yunus/10:5).

Selain itu, Al Baqarah/2:185 yang mengungkap frase “faman syahida minkumu asy syahra fal yasumhu”, tidak dapat dijadikan dasar dari Rukyatul Hilal. Karena asy syahra pada frase tersebut berarti bulan dalam kalender, bukan bulan yang di langit atau hilal. Bulan dalam kalender tersebut adalah bulan Ramadhan, yang disebutkan di awal ayat, “syahru ramadhana”. Frase ini tidak dapat dipahami sebagai “barangsiapa di antara mu melihat hilal, maka berpuasalah pada bulan itu”. Kata Syahida, tidak harus selalu dimaknai sebagai menyaksikan dengan mata ketika berhadapan dengan objek yang tidak dimaksudkan untuk dilihat dengan mata. Pada ayat ini, asy syahra merupakan entitas waktu, berupa bulan dalam sistem kalender. Menyaksikan bulan ramadhan berarti seseorang yang berada pada bulan ramadhan atau masih hidup pada bulan ramadhan. Sehingga, lebih tepat dipahami sebagai “barangsiapa di antara mu berada pada bulan (ramadhan) itu, maka berpuasalah pada bulan (ramadhan) itu”. Untuk perbandingan dapat dicermati pemahaman makna kata syahida pada ayat-ayat lain yaitu Ali Imran/3:18, Fushshilat/41:20, Az Zukhruf/43:86, dan Al Ahqaf/46:10. Kata syahida tidak dapat dipahami hanya sebagai menyaksikan dengan mata. Makna yang tepat ditentukan oleh konteks dalam ayat tersebut.

Satu-satunya ayat yang terkait dengan metode Rukyatul Hilal adalah Al Baqarah/2:189, dengan kata “al ahillah” yang dipahami sebagai hilal-hilal awal bulan. Dari berbagai aspek, baik

4

Page 5: Yasin40 WH v02

berdasarkan makna kata-kata dalam ayat, maupun berdasarkan ayat-ayat tematik sistem waktu, al ahillah pada al Baqarah/2:189 lebih tepat dimaknai sebagai fase-fase bulan [2, 3]. Pemahaman ini menjadi selaras dengan pemahaman ayat-ayat tematik sistem waktu, yang mengarahkan manusia untuk mengamati malam, siang, matahari, dan bulan beserta dinamikanya (Luqman/31:29), memodelkannya (Yasin/36:37-40), dan menjadikannya sebagai dasar pembuatan sistem waktu (Al Isra/17:12 dan Yunus/10:5).

Dengan demikian, Al-Quran sendiri tidak mengungkap hilal awal bulan sebagai bentuk yang khusus, yang menjadi acuan baik untuk penentuan awal bulan dengan metode Rukyatul Hilal maupun hisab hilal (imkanur rukyat). Al Isra/17:12 dan Yunus/10:5 sebagai petunjuk untuk pembuatan sistem waktu, sudah diwahyukan ketika Nabi masih di Mekah. Sedangkan, hadis rukyatul hilal diperkirakan muncul di Madinah. Sehingga, jika hadis rukyatul hilal dikaitkan dengan Al Isra/17:12 dan Yunus/10:5, maka dapat dipahami bahwa metode rukyatul hilal merupakan metode yang digunakan umat Islam ketika belum mampu melaksanakan kedua ayat tersebut. Ketidakmampuan ini diungkap Nabi dalam Hadis umat yang ummi, yang dipahami bahwa ketika belum ada ahli hisab, metode rukyatul hilal digunakan untuk penentuan durasi sebulan, 29 atau 30 hari.

Selanjutnya, untuk pemahaman komprehensif sistem waktu, ketepatan pemahaman Yasin/36:39-40 menjadi sangat penting karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam memahami keseluruhan ayat, yang akan membentuk satu kesatuan petunjuk sistem waktu. Dalam hal ini, ketepatan pemahaman atas Yasin/36:39-40 memiliki alternatif sebagai dasar dari Wujudul Hilal atau menjadi bagian dari ayat-ayat sistem waktu, di mana petunjuk pembuatan waktu akan terungkap pada Al Isra/17:12 dan Yunus/10:5.

II. KONSEP WUJUDUL HILAL

Dalam Pedoman Hisab Muhammadiyah [1] dijelaskan bahwa dalam hisab hakiki Wujudul Hilal, bulan baru kamariah dimulai apabila telah terpenuhi tiga kriteria berikut:

1) telah terjadi ijtimak (konjungsi),2) ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam,

dan

5

Page 6: Yasin40 WH v02

3) pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).

Kriteria ini difahami dari isyarat dalam firman Allah swt pada Surah Yasin/36:39-40.

ى منازل قدرنـه لقمرٱو عاد حت ٱ لعرجونٱك ٣٩﴿ لقديم ﴾مسٱ ال يلٱ وال لقمرٱ تدرك أن لها بغىين لش هارٱ سابق ل لن

٤٠﴿ يسبحون فلك فى وكل ﴾Dan telah Kami tetapkan bagi Bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan Bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.

Selain terkait erat dengan Yasin/36:39-40, ketiga kriteria tersebut juga berhubungan dengan hadis, konsep fikih lainnya, dan ilmu astronomi. Berikut ini pemahaman dalil dari setiap kriteria tersebut.

1) Dalil Ijtimak

Yasin 39 dipahami sebagai penjelasan mengenai siklus bulan mengelilingi bumi. Manazil dipahami sebagai posisi-posisi Bulan dalam siklus tersebut. Sedangkan, Urjuunil qadim dipahami ”pada posisi akhir saat Bulan dapat dilihat dari bumi terakhir kali, Bulan kelihatan seperti tandan tua dan ini menggambarkan sabit dari Bulan tua yang terlihat di pagi hari sebelum menghilang dari penglihatan”. Setelah posisi ini, secara astronomis terjadi konjungsi.

Lebih lanjut dijelaskan “dalam perjalanan keliling itu Bulan dapat mengejar matahari sebanyak 12 kali dalam satu tahun, yaitu saat terjadinya ijtimak, yaitu saat Bulan berada antara matahari dan bumi. Saat terjadinya ijtimak menandai Bulan telah cukup umur satu bulan karena ia telah mencapai titik finis dalam perjalanan kelilingnya”. Saat terjadi ijtimak, yang diungkap oleh frase “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan Bulan”, dipahami sebagai titik akhir dari satu perjalanan Bulan mengelilingi Bumi.

6

Page 7: Yasin40 WH v02

Jadi, petunjuk ijtimak dipahami dari Yasin/36:39 dan awal Yasin/36:40.

2) Dalil ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam.

Dijelaskan “pada bagian tengah ayat 40 itu ditegaskan bahwa malam tidak mungkin mendahului siang, yang berarti bahwa sebaliknya tentu siang yang mendahului malam dan malam menyusul siang. Ini artinya terjadinya pergantian hari adalah pada saat terbenamnya matahari. Saat pergantian siang ke malam atau saat terbenamnya matahari itu dalam fikih, menurut pandangan jumhur fukaha, dijadikan sebagai batas hari yang satu dengan hari berikutnya”. Di sini dipahami bahwa gurub (terbenamnya matahari) merupakan tanda akhir hari. Jika hari itu merupakan hari terakhir dalam suatu bulan, maka terbenamnya matahari sekaligus menandai berakhirnya bulan lama dan mulainya bulan baru. Oleh karena itu, konjungsi sebagai tanda dimulainya Bulan baru perlu terjadi sebelum terbenamnya Matahari.

Frase kedua dalam Yasin/36:40 digunakan sebagai dalil ijtimak perlu terjadi sebelum matahari terbenam.

3) pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud)

Diungkap bahwa ”Berbicara tentang terbenamnya Matahari, yang menandai berakhirnya hari lama dan mulainya hari baru, tidak dapat lepas dari ufuk karena terbenamnya Matahari itu adalah karena ia telah berada di bawah ufuk”. Adanya ufuk diperoleh “dalam ayat 40 surat Yasin itu sesungguhnya tersirat isyarat tentang arti penting ufuk karena kaitannya dengan pergantian siang dan malam dan pergantian hari”. Lebih rinci disebutkan “ufuk dijadikan garis batas untuk menentukan apakah Bulan sudah mendahului Matahari atau belum dalam perjalanan keduanya dari arah barat ke timur (perjalanan semu bagi Matahari)”.

Jadi, keberadaan ufuk dipahami secara implisit dari Yasin/36:40.

7

Page 8: Yasin40 WH v02

III. TAFSIR YASIN/36:39-40

1) Tafsir Implisit/Isyarat

Perlu disadari bahwa Al-Quran merupakan petunjuk dari Allah berupa teks, yang berbeda dengan alam sebagai ciptaan Allah. Tafsir Al-Quran merupakan usaha manusia dalam rangka memahami petunjuk dari Allah, yang terungkap pada teks ayat-ayat Al-Quran. Sedangkan, Sains merupakan usaha manusia untuk memahami alam sebagai ciptaan Allah. Tafsir Al-Quran menjadi terkait dengan Sains, ketika terdapat ayat-ayat Al-Quran yang membahas tentang alam dan dinamikanya dan Sains berperan dalam mengungkap realitas, yang disebut oleh Al-Quran tersebut.

Al-Quran diwahyukan kepada Nabi dan direpresentasikan dalam bahasa arab, yang dipilih Allah untuk mengungkapkan petunjukNya kepada manusia. Sehingga, segala upaya untuk memahami maksud Allah, tentu perlu dilakukan dengan menggali petunjuk tersebut dalam ayat-ayat Al-Quran, yang berbahasa arab. Untuk itulah diperlukan ilmu-ilmu kebahasaan agar dapat mengetahui kata-kata, fungsi, dan maknanya secara tepat. Ketika ayat-ayat tersebut mengungkap mengenai alam, Sains dapat ikut berperan dalam mengungkap realitas alam tersebut. Akan tetapi, ketika usaha menafsirkan ayat dan mengungkap realitas dengan Sains menjadi satu proses, terdapat kemungkinan tercampurnya petunjuk Allah dengan pengetahuan dari Sains. Bahkan, seringkali usaha menafsirkan Al-Quran dalam rangka mencari petunjuk Allah, berubah menjadi usaha untuk mencari teori-teori Sains dalam ayat-ayat tersebut. Usaha mencari teori Sains dari ayat-ayat ini, seringkali diungkap dengan tafsir implisit atau isyarat, karena ingin mencari sesuatu yang implisit (misal teori Sains) dari ayat. Usaha mencari teori Sains dari Al Quran memang tidak dapat lantas dikatakan keliru. Tetapi, memiliki resiko kalau tidak dilakukan dengan langkah yang benar. Apalagi, disadari bahwa Al-Quran bukanlah sebuah buku Sains.

Terdapat resiko ketika usaha penafsiran implisit/isyarat menjadi motivasi utama dalam memahami ayat AlQuran. Salah satu resiko tersebut adalah kehilangan fokus dalam mencari petunjuk Allah, yang jauh lebih penting daripada teori Sains. Karena petunjuk Allah nantinya akan menjadi

8

Page 9: Yasin40 WH v02

arah dari kajian-kajian yang dilakukan terkait dengan fenomena alam yang diungkap oleh ayat.

Lebih jauh lagi, ketika berusaha menafsirkan ayat Al-Quran secara implisit, subjektivitas dari penafsir akan lebih mudah masuk dalam penafsiran dan tercampur dengan petunjuk Allah. Ketika subjektivitas sudah tercampur dengan petunjuk, memunculkan resiko adanya perubahan maksud ayat. Akibat yang perlu dihindari adalah kehilangan petunjuk Allah yang diungkap ayat, justru tergantikan dengan ide dari penafsir tanpa disadari oleh penafsir itu sendiri. Sehingga, justru tafsir yang dihasilkan adalah ide dari penafsir, yang diyakini sebagai tafsir ayat.

Oleh karena itu, usaha penafsiran perlu didasarkan pada teks ayat secara eksplisit, yang menghasilkan tafsir sesuai dengan teks eksplisit ayat. Penafsiran ini dilakukan dengan ilmu-ilmu kebahasaaan dan Sains. Sains dalam hal ini berperan mengungkap realitas yang disebut ayat. Hasil-hasil dari Sains akan memperjelas makna kata-kata dan maksud ayat, bukan menggantikan tafsir ayat dengan Sains. Ketika terdapat pemahaman-pemahaman sebagai kelanjutan dari ayat, lebih baik diungkap sebagai implikasi, bukan isyarat. Kata implikasi di sini menjadi penting, karena mengungkapkan kaitan logis antara tafsir ayat dengan pemahaman lain, yang memang sangat terkait. Begitu juga, ketika yang diungkap adalah pengetahuan dari Sains, perlu secara tegas dibedakan dengan tafsir ayat Al-Quran. Dengan demikian, tafsir ayat dapat dibedakan dengan pemahaman hadis, maupun Sains. Implikasinya, pemahaman-pemahaman yang ada saat ini terkait sistem waktu (jam dan kalender), dapat diungkap korelasinya dengan Al-Quran, Hadis, dan Sains. Korelasi inilah yang menunjukkan sebuah pemahaman memang memiliki dasar dari Al-Quran, Hadis, dan Sains, atau pemahaman itu hanyalah sebuah ide dari seseorang, yang tidak terkait dengan Al-Quran, Hadis, dan Sains.

2) Tafsir ayat

A. Tafsir Yasin/36:39

Terdapat perbedaan bacaan pada awal ayat Yasin/36:39 ini, yaitu dibaca ”wal qamara” atau ”wal qamaru”, yang diungkap pada tafsir Jalalain [4], Ath Thabary [5], dan Al

9

Page 10: Yasin40 WH v02

Qurthubi [6]. Ini berdampak pada kedudukan ”qamar” pada ayat ini, sebagai objek yang didahulukan ataukah sebagai topik pembicaraan ayat. Kalau diperhatikan bahwa ayat ini merupakan kelompok ayat-ayat yang dimulai dengan frase ”wa aayatul lahum” pada Yasin/36: 33, 37, dan 41, dapat diketahui bahwa Yasin/36: 37-40 merupakan suatu kelompok ayat yang memiliki tujuan khusus. Dengan ”al lailu” pada Yasin/36: 37 dan ”asy syamsu” pada Yasin/36: 39 diakhiri dengan dhomah, yang mengungkap ”malam” dan ”matahari” pada ayat tersebut sebagai topik pembicaraan ayat. Ketika pada Yasin/36: 39 dibaca ”wal qamaru” dengan akhir dhomah juga, berarti Qamar pada ayat ini berkedudukan sebagai topik pembicaraan. Sehingga, dipahami sebagai ”Dan Bulan”. Yang dalam tafsir Al Mishbah [10] telah dipahami seperti ini, walau dibaca sebagai ”wal qamara”.

Pada frase ”qaddarnaahu manazil” terdapat perbedaan pemahaman atas dhomir ”hu” dan ”manazil”. Manazil merupakan kata jamak dari manzil, yang dalam kamus Lane [7] dipahami sebagai suatu tempat singgah. Dalam kamus Hans Wehr [8] dipahami sebagai tempat berhenti atau fase bulan. Sedangkan, pada kamus Arabic-English Dictionary of Qur’anic Usage [9] dipahami sebagai tahapan, stasiun, atau fase. Tentu kalau manazil dikaitkan dengan Bulan, dhomir “hu” tidak dapat dipahami sebagai Bulan. Karena Bulan bukanlah Manazil. Dhomir “hu” tersebut dipahami sebagai perjalanan Bulan atau siklus sinodik Bulan. Dengan demikian, frase awal ini dipahami sebagai “Dan Bulan, Kami telah menakdirkan pada perjalanannya terdapat manazil/fase-fase/tempat-tempat/posisi-posisi”. Kata “qaddarna” dipahami sebagai Kami telah menakdirkan/menetapkan. Kata “qaddar” digunakan untuk merepresentasikan suatu variabel yang memiliki kadar/ukuran, yaitu perjalanan/siklus sinodik Bulan, yang memiliki posisi-posisi tersebut.

Frase yang mengungkap adanya satu perjalanan/siklus Bulan adalah “hattaa ‘aada ka al urjuuni al qadim”. Dengan “ka al urjuuni al qadim” dipahami sebagai “seperti tandan yang akhir/tua”. “Hatta” dipahami sebagai “sampai” dan “’aada” dipahami sebagai “kembali menjadi/berulang/siklus”, yang menyatakan sesuatu yang berulang/siklus, yaitu Bulan kembali menjadi/berbentuk seperti tandan yang tua.

10

Page 11: Yasin40 WH v02

Jadi, ayat ini dipahami secara keseluruhan sebagai “Dan Bulan, Kami telah menakdirkan pada perjalanannya terdapat posisi-posisi, sehingga ia kembali berbentuk seperti tandan yang tua”. Pada posisi akhir inilah, Bulan berbentuk seperti tandan yang tua.

B. Tafsir Yasin/36:40

Pada ayat ini terdapat dua wau athof pada ”wa laa al lailu” dan ”wa kullun” [13], sehingga ayat ini dapat dipahami dalam 3 frase berikut:

1. Frase ”laa asy syamsu yan baghi laha an tudrika al qamara”.

2. Frase ”wa laa al lailu saa biqun an nahari”.3. Frase ”wa kullun fii falakin yasbahuun”.

Pada frase ”laa asy syamsu yan baghi laha an tudrika al qamara”, kata ”yan baghi” merupakan bentuk fi’il mudhori’ atau kata kerja dalam bentuk sekarang dan akan datang, yang dipahami sebagai ”selalu dapat/mampu/diperkenankan” [10]. Sehingga, ”laa asy syamsu yan baghi laha” dipahami sebagai ”tidaklah matahari selalu dapat/mungkin/diperkenankan bagi dia” atau lebih mudah dipahami sebagai ” Matahari selalu tidak mungkin/diperkenankan baginya”.

”An tudrika al Qamara” berkedudukan sebagai objek dari ”yan baghi”. Di mana kata kerja ”tudriku” yang kemasukan ”an” menjadi sebuah masdar, ”an tudrika”. Dipahami sebagai ”Hal mencapai Bulan” atau lebih mudah dipahami ”berkumpul dengan Bulan”.

Pemahaman atas kata ”tudriku” ini dapat diperhatikan di ayat lain, yaitu di Al An’am/6:103. Frase ”laa tudrikuhu al absharu” dipahami sebagai ”Tidak mungkin mencapaiNya penglihatan” atau lebih mudah dipahami sebagai ”Tidak mungkin penglihatan dapat mencapaiNya”. Sehingga, frase pertama Yasin/36:40 ini dipahami sebagai ”Matahari selalu tidak mungkin/diperkenankan baginya berkumpul dengan

11

Page 12: Yasin40 WH v02

Bulan”, yang kalau dilihat oleh pengamat di Bumi (keberadaan para pengamat diungkap dari frase ”wa aayatun lahum” di Yasin/36:37) merupakan posisi Matahari berkumpul dengan Bulan atau secara astronomis disebut sebagai ijtimak/konjungsi.

Pada frase ”wa laa al lailu saa biqun an nahari”, kata ”saa biqun” bukan merupakan kata kerja/fi’il melainkan isim fail, yang dipahami sebagai ”yang mendahului” atau ”yang di depan”. Sehingga, frase ini dipahami sebagai ”Dan tidak Malam yang mendahului/di depan Siang” atau lebih mudah dipahami sebagai ”Dan Malam tidak yang mendahului/di depan Siang”. Frase ini mengungkap urutan dua objek: Malam dan Siang, dengan susunan Siang dahulu baru kemudian Malam.

Pemahaman urutan Siang dan Malam ini dapat dibandingkan dengan penggunaan kata yang sama pada Faathir/35:32. Frase ”wa minhum saa biqun bil khoiraati bi idznillah” dipahami sebagai ”dan di antara mereka ada yang lebih dahulu mengerjakan kebaikan dengan dizin Allah”.

Frase ”wa kullun fii falakin yasbahuun” mengungkapkan bahwa ”dan masing-masing bergerak pada lintasan/tempat bergeraknya”. Kata kerja ”yasbahuun” mengungkap yang bergerak lebih dari 2 objek, yaitu Matahari, Bulan, Malam, dan Siang. Matahari memiliki gerak/siklus semu mengitari Bumi. Bulan memiliki siklus sinodik mengitari Bumi. Malam dan Siang dengan urutan Siang lebih dahulu diikuti oleh Malam, juga selalu bergerak pada lintasannya dengan titik pusat adalah inti Bumi.

3) Korelasi Tafsir Yasin/36:39-40 dengan konsep Wujudul Hilal

Yasin/36:39 memang mengungkap mengenai posisi-posisi Bulan dalam satu siklus sinodiknya, yang diungkap dengan kata ”manazil”. Posisi terakhir memiliki bentuk seperti tandan yang tua, ”al urjuunil qadim”. Sedangkan, awal Yasin/36:40

12

Page 13: Yasin40 WH v02

mengungkapkan posisi konjungsi. Al Quran tidak menyatakan posisi konjungsi sebagai posisi akhir dan posisi awal dari siklus sinodik Bulan. Sainslah yang menetapkan posisi konjungsi ini sebagai posisi akhir dan awal siklus sinodik Bulan [14]. Posisi ini merupakan posisi terunik, di mana Matahari dan Bulan berada pada satu garis bujur pada sistem koordinat ekliptika dengan pusat Bumi. Sehingga, terdapat koherensi tafsir ayat Yasin/36:39 dan awal Yasin/36:40 dengan Sains, yang memang menunjukkan adanya posisi-posisi pada siklus sinodik Bulan, bentuk muka Bulan seperti tandan yang tua, dan posisi konjungsi. Konjungsi ini menjadi posisi akhir dan awal dari siklus sinodik Bulan.

Sebagai catatan, memang dari posisi ”al urjuunil qadim” ke posisi konjungsi, ketika dilihat dari bumi, Bulan seolah mengejar Matahari. Ketika posisi konjungsi, Bulan menyatu dengan Matahari. Kemudian, beberapa saat setelah konjungsi, Bulan berhasil mengejar Matahari. Namun demikian, pemahaman ini perlu dikaji kembali ketepatannya karena beberapa alasan berikut.

1. Keakuratan makna kata ”an tudrika”, yang lebih tepat dipahami sebagai berkumpul. Yang secara astronomis, ini merupakan posisi ijtimak/konjungsi. Sehingga, frase ini lebih kuat mengungkapkan posisi konjungsi, bukan posisi setelah konjungsi.

2. Posisi konjungsi, yang oleh Sains ditetapkan sebagai posisi akhir dan awal siklus sinodik Bulan, cukup menjadi dasar bahwa pada posisi konjungsi ini Bulan memang telah mencapai finis dalam perjalanan satu siklusnya. Beberapa saat setelah posisi konjungsi, Bulan sudah berada pada siklus barunya.

3. Frase ini mengungkap ketidakmungkinan Matahari berkumpul dengan Bulan, yang seringkali dikaitkan dengan frase akhir, karena Matahari dan Bulan memiliki tempat edarnya sendiri. Sehingga, frase awal ini tidak mungkin memunculkan pemahaman Bulan dapat mengejar Matahari.

Dengan beberapa alasan di atas, frase awal Yasin/36:40 ini lebih tepat dipahami dalam rangka mengungkap posisi konjungsi. Secara saintifik, posisi konjungsi ini yang menandai berakhirnya satu siklus sinodik Bulan. Sehingga,

13

Page 14: Yasin40 WH v02

memang benar kalau dipahami beberapa saat setelah posisi konjungsi, Bulan telah berada pada siklus yang baru. Namun demikian, kalau posisi konjungsi ini dimanfaatkan secara langsung sebagai kriteria dimulainya Bulan baru dalam kalender, terdapat pemahaman yang melompat. Ayat ini sama sekali tidak membahas mengenai awal Bulan baru dalam kalender. Memang Sains menetapkan konjungsi sebagai posisi akhir dan awal siklus sinodik Bulan. Tetapi, itu merupakan posisi akhir dan awal siklus Bulan yang di langit, bukan Bulan dalam kalender. Perlu dibedakan antara siklus Bulan yang di langit dengan penentuan Bulan dalam kalender. Baik Yasin/36:40 maupun Sains, keduanya sama sekali tidak menyatakan konjungsi sebagai awal Bulan baru dalam kalender. Menjadikan Yasin/36:40 sebagai dalil penentuan awal Bulan dalam kalender, tidak memiliki bukti dari makna kata-kata dalam ayat ini sendiri. Korelasi antara siklus sinodik Bulan dengan penentuan awal Bulan dalam kalender tidak diungkap oleh ayat ini. Sains juga tidak menyatakan bahwa konjungsi sebagai awal Bulan dalam kalender.

Penjelasan rinci akan diungkap dalam tulisan lain, yaitu mengenai keterkaitan Yasin/36:39 dengan Yunus/10:5, yang di dalam kedua ayat tersebut terdapat kata yang sama, yaitu manazil dan qaddar. Ketepatan memahami makna manazil akan mempengaruhi pemahaman Yasin/36:39 dan Yunus/10:5. Selanjutnya, Yunus/10:5 akan terkait dengan Al Isra/17:12 sebagai petunjuk pembuatan jam dan kalender, yang selaras dengan hadis dan Sains. Sehingga, dapat ditunjukkan bahwa ayat-ayat tersebut, Hadis, dan Sains, semuanya koheren mengungkapkan problem pada Bulan dalam kalender merupakan masalah perhitungan jumlah hari dalam sebulan kalender, bukan problem penentuan awal bulan.Kriteria ke-2 dari konsep Wujudul Hilal terkait dengan frase kedua dari Yasin/36:40, yang semestinya dipahami sebagai urutan 2 objek, yaitu Siang dan Malam. Malam tidak yang mendahului/di depan Siang. Karena ketidaktepatan pemahaman kata ”saa biqun”, yang merupakan kata benda, tetapi dipahami sebagai kata kerja, mengakibatkan kriteria ke-2 Wujudul Hilal ini mengambil dasar dari tafsir yang tidak tepat atas frase ini. Sehingga, dapat dikatakan frase ke-2 dari Yasin/36:40 ini tidak dapat dijadikan dalil bagi kriteria ke-2 konsep Wujudul Hilal.

14

Page 15: Yasin40 WH v02

Untuk kriteria ke-3, karena mendasarkan pada tafsir isyarat atas tafsir frase ke-2 Yasin/36:40, yang dipahami tidak tepat, ayat ini juga tidak dapat dijadikan dalil bagi kriteria ke-3.

IV. KESIMPULAN

Yasin/36:39 dan awal Yasin/36:40 memang mengungkap adanya posisi-posisi pada siklus sinodik Bulan, posisi terakhir Bulan sebelum menghilang ”al urjuuni al qadim”, dan posisi konjungsi. Sains menetapkan konjungsi sebagai posisi akhir dan awal siklus sinodik Bulan. Sehingga, memang kedua ayat ini dapat dijadikan dalil bagi kondisi ijtimak/konjungsi pada kriteria pertama konsep Wujudul Hilal.

Akan tetapi, karena ketidaktepatan pemahaman kata ”saa biqun” pada frase kedua Yasin/36:40, mengakibatkan pemahaman yang tidak akurat terhadap ayat ini. Frase ini mengungkap urutan Siang dan Malam, tetapi dipahami sebagai aktivitas malam yang tidak mungkin mendahului siang. Ketidakakuratan ini berlanjut menjadi sebuah tafsir implisit yang semakin jauh dari teks eksplisit ayat. Sehingga, Yasin/36:40 tidak dapat menjadi dalil bagi kriteria ke-2 dan ke-3 dari konsep Wujudul Hilal.

Lebih mendasar lagi, Yasin/36:39-40 tidak mengungkap mengenai penetapan awal Bulan kalender. Kedua ayat ini menjelaskan fenomena dinamika Bulan yang di langit, yaitu siklus sinodik Bulan, bentuk sabit tua, dan konjungsinya. Tetapi, sama sekali tidak mengungkap mengenai asy syahr atau Bulan dalam kalender. Begitu juga Sains, tidak menetapkan konjungsi sebagai posisi akhir dan awal Bulan dalam kalender. Dinamika Bulan di langit memang menjadi acuan bagi kegiatan manusia, yang diungkap pada Al Baqarah/2:189. Namun demikian, Yasin/36:39-40 tidak dapat menjadi dalil bagi penentuan awal Bulan dalam kalender, karena memang kedua ayat ini tidak mengungkap persoalan tersebut. Jadi, petunjuk untuk pembuaan kalender perlu dicari pada ayat-ayat lain. Yasin/36:39-40 bukan merupakan petunjuk penentuan awal Bulan dalam kalender, melainkan petunjuk agar umat Islam mencermati siklus sinodik Bulan dan posisi-posisinya, baik sabit tua maupun konjungsi, yang akan mengarahkan pada pembuatan kalender, yang nantinya secara eksplisit diungkap oleh Al Isra/17:12 dan Yunus/10:5 dengan bukti berupa kalimat ”lita’lamuu adada as siniina wal hisaba”.

15

Page 16: Yasin40 WH v02

Wallàhu a‘lam biê-êawàb

Daftar Pustaka

[1] Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2009, “Pedoman Hisab Muhammadiyah”.

[2] Rusmin , Pranoto H., Supriatna, A., dan Rohman, Arief S., 2012, “Pemahaman Kata Ahillah Dalam QS 2:189 Dari Kamus, Asbabun Nuzul, dan Tafsir”. Semarang: Lokakarya Internasional Upaya Penyatuan Kalender Hijriyah, IAIN Walisongo Semarang, 13 Desember 2012.

[3] Rusmin , Pranoto H., Harsoyo, A., Supriatna, A., dan Rohman, Arief S., 2013, “Validasi Atas Dua Pemahaman Kata Ahillah Dalam Surah Al Baqarah/2:189”. Serang: Musyawarah Kerja Nasional Ulama Al-Qur’an 2013, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran, Badan Litbang dan Diklat – Kemenag, 21-24 Mei 2013.

[4] Jalāl al-Dīn al-Mahallī dan Jalāl al-Dīn al-Suyūtī, 2007, “Tafsīr al-Jalālayn”, Royal Aal

al-Bayt Institute for Islamic Thought, Amman, Jordan.

[5] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, 2007,”Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayi Al

Quran” terjemahan bahasa Indonesia, Pustka Azzam, Jakarta.

[6] Syaikh Imam Al Qurthubi, 2010,” Al Jami’ Li Ahkaam Al Quran” terjemahan bahasa

Indonesia, Pustka Azzam, Jakarta.

[7] Edward William Lane, 1968, “An Arabic-English Lexicon”, Beirut-Lebanon.

[8] Hans Wehr, 1976, ”A Dictionary of Modern Written Arabic”, Ithaca-New York.

[9] Elsaid M. Badawi dan Muhammad Abdel Haleem, 2008,”Arabic-English Dictionary of

Qur’anic Usage”, Koninklijke Brill NV, Leiden, The Netherlands.

[10] M. Quraish Shihab, 2009, “Tafsir Al Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Quran”,

Lentera Hati, Jakarta.

[11] Ahmad Mustafa Al-Maragi, 1992,”Tafsir Al-Maragi”, PT. Karya Toha Putra Semarang.

[12] Wahbah Zuhaili, dkk, 2007, “Ensiklopedia Al-Quran”. Gema Insani, Jakarta.

[13] Al Quran Corpus http://corpus.quran.com /wordbyword.jsp , Language Research Group

University of Leeds. Copyright © Kais Dukes, 2009-2011.

[14] Kenneth Seidelmann, 1992, “Explanatory Supplement to the Astronomical Almanac”,

U.S. Naval Observatory, Washington D.C., Univercity Science Books.

16