repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/26215/1/hamim... · dalam...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam tertua 1 yang
berusaha menanamkan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama
Islam (tafaqquh fî al-dîn) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam
sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.2 Penyelenggaraan lembaga
pendidikan di pesantren berbentuk asrama, yang merupakan komunitas tersendiri
di bawah pimpinan kyai dan dibantu beberapa orang ustadz yang hidup bersama
di tengah-tengah para santri dengan masjid sebagai pusat kegiatan peribadatan
keagamaan. Gedung-gedung sekolah atau ruang-ruang belajar adalah pusat
kegiatan belajar mengajar sementara asrama adalah tempat tinggal para santri.3
Arus modernisasi telah menyebabkan tantangan yang dihadapi pesantren
menjadi semakin besar, kompleks, dan mendesak.4 Pergeseran-pergeseran nilai
di pesantren, baik nilai-nilai yang mempunyai titik singgung pada pola
1 Hal ini bisa diketahui ketika terdapat pola pendidikan yang dilakukan oleh MaulanaMalik Ibrahim pada awal abad XVII di daerah Gresik Jawa Timur (tahun 1619). Sahal Makhfud,KH. MA, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta, LKiS, 2003) h. 265
2 Dinamika Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Direktorat Kelembagaan Depag RI,2003, hal. 8-9.
3 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta, INIS; 1994), h. 64 Dalam menanggapi modernisasi umat Islam secara umum terbagi atas tiga bagian;
bagian pertama merespons secara berbalikan, yaitu sikap anti modernisme dan bahkan “antiBarat”. Sedangkan yang kedua terpengaruh oleh pola modernisasi dan beranggapan bahwadalam konteks beragama perlu adanya pemisahan antara agama dan masalah-masalah politikataupun permasalahan keduniawian lainnya. Dan yang ketiga lebih bersikap kritis, namun tidaksecara otomatis anti modernisasi atau anti Barat. Dalam kaitannya dengan pondok pesantren, adayang menyikapinya dengan sikap pertama yang “anti Barat” ini biasanya didominasi olehpesantren-pesantren salafiyah yang masih tetap ingin mempertahankan kesalafiyahannya.Sedangkan yang lain bersikap seperti kelompok ketiga yang berusaha mengambil apa yang baikdari modernisasi meskipun tidak seluruhnya. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, ReinterpretasiAjaran Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2003), h. 28
2
pembelajaran maupun manajemen pendidikan terjadi dalam skala luas. Perlu
adanya kesiapan dari semua elemen pesantren untuk bisa membenahi diri
menjadikan pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan modern yang sesuai
dengan keadaan zamannya serta mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pergeseran nilai tersebut menurut Azyumardi Azra juga diakibatkan
adanya ekspansi sistem pendidikan umum ataupun mengalami transformasi
menjadi lembaga pendidikan umum, atau setidaknya menyesuaikan diri dan
sedikit banyak mengadaptasi isi dan metodologi pendidikan umum. 5
Hal ini wajar saja karena dinamika pesantren masa depan tak dapat
dipisahkan dari proses globalisasi. Sebaliknya justru eksistensi pesantren masa
depan sangat ditentukan oleh kemampuannya berintegrasi secara kultural dengan
sistem internasional, yang ditandai dengan tata hubungan yang semakin rasional,
dinamis, dan kompetitif. Salah satu syarat untuk bisa berintegrasi dengan sistem
tersebut adalah menguasai iptek, maka dibutuhkan sains yang islami. Bagaimana
merumuskannya? Tampaknya ada beberapa hal yang perlu diperbaharui sebelum
mengetahui lebih lanjut peluang-peluang ataupun kemungkinan-kemingkinan
pesantren menjadi pusat pengembangan sains dan teknologi yang islami itu.6
Pertama, visi pesantren yang cenderung berorientasi kepada
pengembangan moral/ etika harus diperbaharui dengan visi yang lebih mengacu
kepada persoalan bagaimana menguasai sains dan teknologi dengan tidak
mengesampingkan karakteristik utama pesantren yang berupaya menanamkan
ajaran-ajaran Islam kepada para santri/ siswanya. Dengan kata lain, pesantren
harus bisa melahirkan pandangan bahwa al-Qur’an dan Hadits adalah paradigma
bagi pengembangan iptek untuk pegangan dan pedoman kehidupan masyarakat
mutakhir, yaitu masyarakat sains dan teknologi yang bermoral.
5Ahmad Susilo, MSi, Strategi Adaptasi Pondok Pesantren (Jakarta, Kucica, 2003), h. 26Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu,
1999) , h. 277-280
3
Kedua, adanya dikotomi antara ilmu agama dan umum,7 untuk konteks
sekarang tidak relevan lagi. Sebaliknya pesantren harus memperkenalkan bahasa
sains dan teknologi kepada para santri dengan lebih memfokuskan kurikulumnya
kepada mata pelajaran : kimia, matematika, dan fisika, tentu saja dengan porsi
yang seimbang dengan pelajaran agama.
Ketiga, pesantren harus tetap konsisten pada pandangan bahwa pintu
ijtihad tidak pernah tertutup. Melalui ijtihad inilah apresiasi terhadap agama
dilakukan penafsiran di balik ungkapan linguistiknya tidak hanya terpaku pada
pemaknaan apa yang tersurat. Pesantren diharapkan mampu membangun
bahkan menjadi pelopor terciptanya tradisi ilmiah umat Islam. Dalam upaya
mengembangkan tradisi ilmiah inilah, pesantren memiliki agenda yang sangat
krusial: pembentukan konsorsium ilmu-ilmu keislaman dan pencarian
metodologi pemahaman Islam. Ilmu-ilmu keislaman klasik seperti Ilmu Kalam,
Syariah, dan Tasawuf yang sedemikian bakunya sehingga tidak ada penambahan
dan pengayaan materi. Pesantren tidak lagi didominasi oleh pendekatan normatif
yang kurang berwawasan empiris-historis dan kritis-historis dalam memahami
berbagai aspek ajaran Islam. Pandangan dunia pesantren cenderung
7 Terkait dengan ketertinggalan pendidikan Islam ini, menurut Muhaimin Ag.dikarenakan oleh terjadinya penyempitan terhadap pemahaman pendidikan Islam yang hanyaberkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspekkehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Jika melihat pendapat Muhaimin ini,maka akan tampak adanya pembedaan dan pemisahan antara yang dianggap agama dan bukanagama, yanga sakral dengan yang profan antara dunia dan akhirat. Cara pandang yangmemisahkan antara yang satu dengan yang lain ini disebut sebagai cara pandang dikotomik.Adanya simtom dikotomik inilah yang menurut Abdurrahman Mas’ud sebagai penyebabketertinggalan pendidikan Islam. Hingga kini pendidikan Islam masih memisahkan antar akaldan wahyu, serta fakir dan zikir. Hal ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan paradigmatik,yaitu kurang berkembnagnya konsep humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam, karenapendidikan Islam lebih berorientasi pada konsep ‘abdullah (manusia sebagai hamba), ketimbangsebagai konsep khalifatullah (manusia sebagai khalifah Allah). Susanto, MA. ModernisasiPendidikan Islam, Artikel disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema MenggagasReformasi Pendidikan Islam, Jakarta, 3 April 2008
4
mengajarkan doktrin yang bersifat fiqh-sufistik dan mistikal 8 yang membawa
para santrinya berperilaku sakral dalam kehidupan sehari-hari harus diubah
dengan pandangan dunia yang lebih rasional, progresif, dan menekankan
transformasi sosial. Jika demikian, maka akan lahir sikap kritis baik terhadap
penafsiran keagamaan maupun prilaku sosial-politik dan negara.
Keempat, pesantren disuplai oleh beberapa kalangan, baik ulama,
ilmuwan, maupun cendekiawan. Visi pesantren masa depan sangat ditentukan
oleh ulur tangan mereka. Keterlibatan mereka menjadi indikator bahwa
pesantren mampu menjelma menjadi suatu institusi yang modern dan
profesional.
Sudah menjadi kesadaran umum di kalangan ulama’ pembaharu9 bahwa
kata kunci untuk memajukan umat Islam adalah melalui jalur pendidikan, hanya
saja sistem pendidikan yang selama ini berlangsung dirasa kurang signifikan
8 Hal ini dapat ditemukan pada tradisi yang melekat pada dunia pesantren, adanyakegiatan-kegiatan ritual yang mengindikasikan pengaruh-pengaruh mistis, menurut JalaluddinRahmat hal ini disebabkan karena umumnya Kyai pada sebuah pesantren juga mengajarkanilmu tarîqat yang ternyata silsilah guru tarîqat tersebut pada urutan di bawah Rasulullah adalahAli bin Abi Talib dan tujuh imam-imam Syi’ah. Maka menurutnya terdapat ritual-ritualmasyarakat Islam Indonesia yang sama dengan apa yang sering dilakukan orang-orang Syi’ah.Seperti bacaan-bacaan shalawat khas Syi’ah, tradisi membaca al-barzanji, wirid-wirid tertentuyang menyebut lima ahlu bait, tradisi ziarah kubur, bahkan pada sebagian masyarakat muslimJawa terdapat kebiasaan mengsakralkan bulan ‘asyura (muharram) karena pada bulan tersebutpernah terjadi peristiwa berdarah di bukit Karbala yaitu meninggalnya Hasan bin Ali bin AbiTalib.lihat Jalaluddin Rakhmat, Suara Ukhuwah Kang Jalal: “Dikotomi Sunni-Syi’ah tidakRelevan Lagi” dalam Dedy Djamaluddin Malik (ed) Zaman Baru Islam Indonesia, Pemikirandan Aksi Politik, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), cet ke-1, h.294
9 Para ulama’ pada umumnya menyadari akan kemunduran Islam karena lemahnyasemangat menuntut ilmu di kalangan umat Islam tidak seperti pada masa kebangkitan Islam,pandangan tersebut merupakan suatu keharusan seperti yang diungkapkan oleh Ahmad Soorkati,Jamaluddin al-Afghani, dan Muhammad Rasyid Ridha. Nikkie R. Keddie, “Sayyid JamaluddinAl-Afghani”, dalam Ali Rahnema (ed) Para perintis Jalan Baru Islam,Ilyas Hassan (terj)(Bandung: Mizan, 1995), h. 19-20 Terlebih lagi ketika gerakan pembaharuan atau modernisasidi Timur Tengah memberikan nilai tersendiri bagi perkembangan umat Islam di Tanah Air.Katalisator terkenal gerakan pembaharuan ini adalah Jamaluddin Al-Afghani yang mengajarkansolidaritas Pan-Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islamdalam suasana secara ilmiah dimodernisasikan. Gerakan ini memberikan pengaruh yang sangatbesar terhadap kebangkitan Islam di Indonesia. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1997), h. 257-258
5
bagi terwujudnya kemajuan umat Islam, karena sistemnya tidak mendukung,
baik dari segi kelembagaan, metode dan sistem pengajaran, maupun dari segi
tujuan dan kurikulumnya. Pada umumnya aspek-aspek tersebut mengikuti tradisi
yang sudah ada, yaitu diselenggarakan secara tradisional kurang ada inisiatif
untuk mengupayakan bagaimana agar lebih maju dan berkembang. Dengan
demikian, maka yang menjadi poin pertama bagi ulama pembaharu adalah
melakukan pembaharuan sistem pendidikan.
Mengenai pembaharuan pendidikan (atau lebih tepatnya modernisasi
pendidikan) menurut Azyumardi Azra bahwa gagasan modernisme Islam yang
menemukan momentumnya sejak awal abad ke-20 pada lapangan pendidikan
direalisasikan dengan pembentukan lembaga-lembaga pendidikan modern. 10
Titik tolak modernisme pendidikan Islam adalah dikelolanya sistem
kelembagaan pendidikan modern, bukannya sistem dan lembaga pendidikan
tradisional. Menurut pendapatnya bahwa eksperimentasi bertitik tolak dari sistem
dan kelembagaan pendidikan Islam itu sendiri. Sistem pendidikan pesantren dan
surau yang merupakan lembaga pendidikan Islam indigenous (tradisional)
dimodernisasikan misalnya dengan mengadopsi aspek-aspek tertentu dari sistem
pendidikan modern, khususnya dalam kandungan kurikulum, teknik, metode
pengajaran dan sebagainya.11
Reaksi pesantren untuk melakukan perubahan dan pembaharuan
sepanjang sejarahnya menunjukkan realitas yang beragam sejalan dengan
kebijakan bidang pendidikan yang dilakukan oleh para penguasa negeri ini.
Namun yang pasti, pesantren menunjukkan vitalitasnya yang tinggi untuk tetap
bertahan dan melanjutkan kiprahnya bagi kemaslahatan umat dan bangsa
Indonesia. Pembaharuan politik nasional di masa orde baru telah memberikan
10Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta : LogosWacana Ilmu, 1998), h.90
11 Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, h. 91
6
pengaruh terhadap perubahan-perubahan corak pendidikan pesantren. Adanya
sistem persekolahan yang populer di masyarakat nyaris menyudutkan pesantren.
Namun pola pendidikannya yang diperbaharui di lembaga-lembaga pesantren,
menunjukkan bahwa realisasinya terhadap kelemahan sistem persekolahan
memberikan implikasi semakin kokohnya keberadaan pesantren.12
Upaya pembaharuan tersebut boleh jadi berawal dari upaya membangun
paradigma baru pendidikan Islam yang merupakan landasan bagi
kelangsungannya. Paradigma baru dimaksud adalah upaya untuk mengevaluasi
dan menata ulang dengan menganut azas al-muhâfazah ‘ala al-qadîm al-sâlih
wa al-akhdzu bi al-jadîd al-aslah (melestarikan tradisi lama yang masih relevan
dan memilih pola baru yang lebih baik).13
Berkaitan dengan pembaharuan pondok pesantren tersebut, maka Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an yang terletak di desa Mulyojati Kecamatan Metro
Barat merupakan contoh dari pondok pesantren yang sedang menjalankan proses
modernisasi. Ada beberapa faktor yang meyebabkannya antara lain: secara
12 Ivan A Hadar, Pengaruh Politik Pendidikan Pesantren, Makalah Seminar, Pesantrendalam Perspektif Pengembangan Ilmu dan Masyarakat.(Jakarta : 1985), h.8
13 Pembangunan paradigma baru sebagai landasan bangunan pendidikan Islamsetidaknya mencakup empat landasan penting: pertama) landasan profetik; landasan ini mengacupada upaya memperlakukan Nabi Muhammad SAW. sebagai Rasulullah yang diutus oleh AllahSWT. dengan menjadi suri tauladan yang paling ideal. Karena di samping beliau menyampaikanwahyu, beliau pulalah yang menjadi pusat telaah interpretasi, kedua) Landasan Keilmuan;landasan ini memberi pengertian bagi upaya penelaahan suatu kajian ilmu denganmempergunakan disiplin ilmu yang sesuai dengan obyek kajian, sehingga umat Islam tidak lagimembedakan antara ilmu dunia dengan ilmu akhirat, tetapi bagaimana umat Islam mampumenguasai keduanya tanpa harus menganggap ilmu yang satu lebih utama dari yang lainnya,ketiga) Landasan Moral; landasan ini mempunyai titik singgung dengan social justice, yaitupendidikan yang mempertimbangkan perilaku pribadi dengan lingkungan sosial yangmelingkupinya, keempat) Rekonstruksi Paradigma Keilmuan; merupakan upaya merekonstruksiparadigm keilmuan yang lebih komprehensif, mencakup yang mendorong berkembangnyascientific curiosity sampai memuarakan pada jiwa mutmainnah, paradigma keilmuantechnological high weighted dan paradigm spiritual high weighted yang kesemuanyadiberdayakan untuk mencapai kebahagiaan material dan spiritual dunia dan akhirat. Baca, NoengMuhajir, Filsafat Penddikan Multikultural Pendekatan Postmodern (Yogyakarta: Rake Sarasin,2004), h. 15-18
7
geografis Desa Mulyojati merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan
Metro Barat Kota Metro dan merupakan sebuah desa yang menjadi wilayah
penyangga Kota Metro.
Sebelum didirikannya lembaga pendidikan Roudlotul Qur’an ini
sebenarnya di desa tersebut telah ada lembaga pendidikan yang lain yakni
Pondok Pesantren Darul A’mal. Bahkan Pendiri Pondok Pesantren Roudlotul
Qur’an dahulunya merupakan tenaga pengajar/ ustadz di pondok Darul A’mal.
Akan tetapi corak pendidikan yang dilakukan bersifat semiformal pondok ini
mengadakan pendidikan tradisional dan juga formal yang menginduk ke
Departemen Agama, yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah
(MA), meskipun pada tahun ajaran 2007-2008 membuka program pendidikan
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).14
Berbeda dengan Pondok Pesantren Darul A’mal pada awal pendiriannya
Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an yang memilih berkonsentrasi terhadap al-
Qur’an dan segala keilmuan yang mempunyai keterkaitan dengannya. Dalam hal
ini Pondok Pesantren lebih mengedepankan pendidikan seni baca al-Qur’an
(Tilâwat al-Qur’an), hafalan al-Qur’an (Tahfîz al Qur’an). Pendirinya (Drs.
KH. Ali Qomaruddin) merupakan alumni Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an
(PTIQ) Jakarta dan semasa beliau menjadi Mahasiswa pernah menjadi duta
Negara Indonesia pada perlombaan Tilâwat al-Qur’an Tingkat Internasional di
Mesir dan menjadi juara kedua.15
Pada perkembangan selanjutnya, ide untuk lebih mengembangkan
program pendidikan di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an muncul, karena
santri yang mondok tidak kesemuanya menginginkan memperoleh keilmuan
14Untuk tahap awal SMK membuka jurusan Komputer Terpadu dan mendapat statusterdaftar dari Kantor Pendidikan Nasional Kota Metro, Muhammad Amin HS, S.PdI (KepalaTata Usaha SMK Darul A’mal), Wawancara tanggal 22 Maret 2008
15KH. Ali Komaruddin, al-Hafiz, Wawancara tanggal 21 Juni 2007
8
yang diajarkan selama ini. Di samping itu inovasi pendidikan pondok pesantren
menuntut adanya pengayaan materi kurikulum, apabila ingin tetap eksis dalam
mengelola pendidikan agama Islam. Sehingga jajaran pengurus yayasan dan
pemimpin pondok pesantren berupaya mencari model yang cocok untuk
diterapkan di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dengan mempertimbangkan
animo masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam saat itu.16
Kota Metro sebagai sebuah Kota, yang berumur sekitar enam tahun
(sebelumnya Metro merupakan Ibukota Kabupaten Lampung Tengah) dan baru
terjadi satu kali pergantian Wali Kota, tengah berupaya menjadi Kota Pelajar di
Propinsi Lampung. Pada saat ini Kota Metro telah mempunyai delapan
Perguruan Tinggi Negeri mupun swasta17 sedangkan untuk tingkat Madrasah
Aliyah. 18 Untuk Madrasah Tsanawiyah di Kota Metro 19 Sedangkan Pondok
16Fakta tersebut meruntuhkan sebagian pandangan bahwa pesantren hanya berorientasikepada taqdîs al-afkâr al-dîn. Menariknya berkah dari adanya ruang kebebasan berfikir yangdibangun pesantren melahirkan pelopor pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. SepertiNurcholis Madjid (cak nur), Abdurrahman Wahid (gus dur), dan lain-lain. Fakta ini agaknyadapat dicatat sebagai babak baru dalam lembaran sejarah pemikiran Islam Indonesia. Padahaltegas Greg Barton, sepanjang 25 tahun terakhir, kebangkitan Islam Indonesia bukan sebagaigerakan pemikiran yang main-main, namun tampak terlihat kebangkitan pemikiran Islam yangsignifikan, penuh vitalitas, bermutu, dan tidak bisa disejajarkan dengan negara berpendudukmayoritas muslim lain di belahan dunia. Greg Barton, Gagasan Islam Liberal, Jakarta:Paramadina, 1999, hal. 1. Fachry Ali dan Bahtiar Effendy dalam Merambah Jalan Baru Islam:Rekonstruksi Islam Indonesia Masa Orde Baru (1986), M. Syafi’i Anwar dalam Pemikiran danAksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (1995),Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim dalam Zaman Baru Islam Indonesia:Pemikiran dan Aksi Politik (1998)
17 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Jurai Siwo, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah(STIT) Agus Salim, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ma’arif, Universitas MuhammadiyahMetro (UMM), Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Metro, SekolahTinggi Olahraga (STO) Metro, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik (STISIPOL) Darma Wacana,Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM) Budi Luhur di samping itu Institut Agama IslamNegeri Bandar Lampung membuka program Pascasarjana di Kota Metro. (DokumentasiPemerintah Kota Metro tahun 2008)
18Madrasah aliyah Negeri (MAN) II, Madrasah Aliyah Khusnul Khotimah, MadrasahAliyah Darul A’mal, Madrasah Aliyah Muhammadiyah, Madrasah Aliyah Tuma’ninah Yasin,Madrasah Aliyah Al-Muhsin (Dokumentasi MAPENDA Kantor Departemen Agama Kota Metrotahun 2007)
9
Pesantren yang ada di Kota Metro selain Roudlotul Qur’an juga terdapat pondok-
pondok pesantren lain. Pondok Pesantren Darul A’mal, Pondok Pesantren Al-
Muhsin, Pondok Pesantren Mamba’ul ’Ulum, Pondok Pesantren Luhur
Muhammadiyah, Pondok Pesantren Wahdatul Ummah, Pondok Pesantren
Tuma’ninah Yasin, dan Pondok Pesantren Roudlotuththolibin. 20
Akan tetapi dari kesemua lembaga pendidikan pesantren tersebut belum
ada yang menerapkan kurikulum yang secara terintegrasi dengan kegiatan
asrama. Pada umumnya siswa belajar di sekolah siang hari dan mengikuti
kegiatan diniyah di malam atau sore harinya,21 materi yang disajikan pun kendati
ada kesamaan antara sekolah pagi yang formal dengan kegiatan asrama yang non
formal namun tidak ada hubungan yang sinergis, sehingga dapat dipastikan hal
ini akan berdampak pada kekurangmampuan siswa/ santri menangkap materi
keilmuan karena dirasakan sangat banyak yang perlu dipelajari,22 meskipun pada
19 Madrasah Tsanawiyah Negeri, Madrasah Tsanawiyah Darul A’mal, MadrasahTsanawiyah Muhammadiyah, Madrasah Tsanawiyah Mamba ul ’Ulum, Madrasah TsanawiyahTuma’ninah Yasin (Dokumentasi MAPENDA Kantor Departemen Agama Kota Metro tahun2007)
20Kota Metro yang hanya terdiri atas lima kecamatan yang berupaya untuk mewujudkandirinya sebagai Kota Pendidikan merupakan salah satu strategi untuk menggiatkan aktivitassosial ekonomi masyarakat dengan kebijakan mendukung berdirinya lembaga-lembagapendidikan baik umum maupun agama disertai dengan dibangunnya asrama pelajar olehPemerintah Kota Metro di Kecamatan Metro Timur. Menariknya asrama pelajar ini memangdipersiapkan untuk para pelajar yang berasal dari luar Kota Metro. Dengan kebijakan initentunya akan dapat menambah pendapatan masyarakat pada sektor jasa. Saifurrizal SPd (KepalaAsrama Pelajar Kota Metro), Wawancara, tanggal 23 April 2008)
21Seperti di Pesantren Darul A’mal dan Roudlotuttolibin yang keduanya merupakanpesantren yang memiliki lembaga pendidikan Madrasah Aliyah (belajar siang hari) dan jugamemiliki lembaga pendidikan Madrasah Diniyah (belajar malam hari) akan tetapi antara lembagatersebut berdiri sendiri, sehingga pelajaran yang diajarkan siang hari (Madrasah Formal) akanterulangi pada materi pelajaran di malam hari (Madrsah Diniyah) missal pada pelajaran Nahwu,Sharaf, fiqih, dan tauhid. Muhammad Syarif (Santri Pondok Pesantren Darul A’mal),Wawancara, tanggal 30 April 2008
22 Banyaknya jenis materi yang disampaikan ini dapat dilihat dari untuk materipelajaran di sekolah formal saja sudah mencapai 25 materi pelajaran kurikuler maupunnonkurikuler dan ditambah lagi dengan materi pelajaran diniyah yang berjumlah 9 matapelajaran. Ahmad Taslim (Santri Pondok Pesantren Darul A’mal), Wawancara, tanggal 1 Mei2008
10
hakikatnya terdapat beberapa mata pelajaran yang terjadi pengulangan
penyampaian. 23
Berawal dari kenyataan tersebut, maka pihak Yayasan Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an berupaya mencari model pendidikan yang tepat
yang sekiranya dapat mempercepat para santri untuk lebih menguasai berbagai
cabang keilmuan tanpa harus menggunakan waktu yang lebih banyak. Hal ini
dimaksudkan agar nantinya out put pesantren ini telah siap terjun ke masyarakat
menjadi motor penggerak kemajuan umat Islam. Dengan kesepakatan berbagai
pihak dipilihlah sistem Tarbiyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyyah (TMI) untuk
diterapkan di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. Mengenai Lembaga
Pendidikan sistem TMI yang dijadikan sebagai kiblat adalah Pondok Pesantren
Al-Amien Prenduan Madura Jawa Timur. 24 Keseriusan dalam mengadopsi
sistem ini tercermin pula dari sowan yang dilakukan pihak Yayasan Roudlotul
Qur’an ke Pimpinan Pondok Pesantren Al-Amien KH. Muhammad Idris Jauhari
pada bulan Oktober 2003. atas izin beliau maka pada tahun ajaran 2004/ 2005
secara resmi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an membuka program Tarbiyat
al-Mu’allimîn al-Islâmiyyah . 25
23 Pengulangan penyampaian ini terjadi ketika sebuah pesantren memiliki dua lembagapendidikan yang tidak terintegrasi secara kurikulum, misal jika sebuah pesantren memilikilembaga pendidikan Madrasah Tsanawiyah maupun Aliyah yang di dalamnya terdapat materiBahasa Arab. Sementara pesantren juga mempunyai lembaga pendidikan Madrasah Diniyah yangtentu saja dalam kurikulumnya terdapat mata pelajaran Nahwu. Hal ini setidaknya yang terjadi diPondok Pesantren Darul A’mal yang lokasinya berdekatan dengan Pondok Pesantren RoudlotulQur’an. Dokumentasi Lembaga Pendidikan Darul A’mal 2007
24 Sistem TMI yang diterapkan di sini merupakan penggabungan secara berkelanjutanantara Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas(SLTA) sehingga masa pendidikan berlangsung selama 6 tahun. Meskipun pada 6 tahunpertama dari 46 orang siswa yang mendaftar pada saat pertama kali dibuka, hanya 11 orang santrisaja yang bisa bertahan menjadi wisudawan TMI, pada September 1978. Akan tetapi setelah 29tahun berjalan, TMI Al-Amin telah menjadi lembaga yang mapan dan diperhitungkan. Berkisarantara 1.900 alumni TMI. menyebar dan berjuang di tengah-tengah masyarakat Islam.Departemen Agama RI. Direktori Pesantren, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Diniyah danPondok Pesantren, 2007), h. 374-375.
25Al-ustadz Saiful Hadi, LC. Wawancara, tanggal 23 Mei 2006
11
Ada hal-hal yang menarik dari sistem mu’alimin ini. Pertama, semua
materi pelajaran disajikan dalam sebuah kelas formal yang berjenjang sesuai
tingkatan kelas, dan sistem pengajarannya lebih modern dalam arti bukan sistem
tradisional yang terkesan pasif karena hanya guru yang aktif murid cenderung
hanya menerima tanpa ada kesempatan untuk mengkritisi. Kedua, perhatian
yang lebih kepada fondasi keilmuan, materi pelajaran yang disajikan meskipun
terkesan mendasar seperti kitab-kitab maraji’ (referensi) yang rendah seperti
Nahwu Wadlîh 26 dan yang lainnya, tapi justru itulah yang harus diperkuat.
Karena semakin kuat pondasi semakin kokoh bangunan di atasnya. Ditopang
dengan sistem pengajaran yang aktif-aplikatif, bahasa Arab dan Inggris menjadi
bahasa keseharian. Diibaratkan belajar dengan sistem ini para pengajar berusaha
memberikan kunci dan kewajiban para anak didik selanjutnya adalah membuka
khazanah-khazanah pengetahuan yang ada dengan kunci yang telah ia peroleh
tersebut. Lemari apapun kalau sudah dipegang kuncinya dapat dibuka. Ketiga,
al-’Ulǔm al-Tanzîliyyah (ilmu-ilmu berbasis agama) disajikan secara
komprehensif (menyeluruh), berbeda dengan Madrasah Tsanawiyah maupun
Aliyah yang ada. Keempat, sebenarnya kalau dilihat dari arti secara bahasanya,
TMI berarti Pendidikan Guru Islam seakan tidak jauh berbeda dengan
Pendidikan Guru Agama (PGA) tempo dulu. Hal ini dimaksudkan bahwa sistem
26 Ali Jarim dan Mustofa Amin, Nahwu Wadlîh (Jakarta: Alaydrus, t.th) Dr. MahmudIsmail al-‘Arabiyyah li an-Nâsyi in (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) merupakan kitab-kitab yang lazimdisampaikan dalam mata pelajaran Nahwu, hal ini berbeda dengan kitab-kitab yang disampaikandi pesantren-pesantren salafiyah yang biasanya mengajarkan kitab Nahwu seperti Jurumiyyah,al-‘Umrity, Al-Fiyah karangan ibn Malik. Perbedaan ini didasarkan bahwa untuk kitab nahwuyang diajarkan di pesantren modern titik tekannya pada kemampuan berbahasa Arab secara aktifdalam percakapan sehari-hari, sedangkan di pesantren-pesantren salaf pengajaran bahasa Arablebih ditekankan untuk memahami struktur gramatika Arab yang dipergunakan untuk memahamikitab-kitab klasik (kitab kuning).
12
ini berupaya mencetak kader-kader yang memiliki jiwa pendidik meskipun tidak
harus berprofesi sebagai guru agama di sekolah. 27
Di lain pihak pemilihan Tarbiyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyyah (TMI)
dan bukannya Kulliyatul Mu’allimîn al-Islâmiyyah (KMI), menurut Ustadz
Saiful Hadi, LC, adalah terinspirasi dengan sistem mu’allimîn yang ada di
Pondok Pesantren Al-Amin, Prenduan Madura Jawa Timur yang mempunyai
sedikit perbedaan dengan Pondok Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo Jawa
Timur, yaitu perangkat pendidikan TMI disesuaikan dengan kondisi sosial
keagamaan masyarakat yang masih kental dengan tradisionalitasnya sehingga
lebih membumi. Jadi tradisi-tradisi seperti tahlilan, pembacaan al-Berzanji, dan
pengajian kitab kuning dengan sistem sorogan 28 semuanya ada di Pondok
Pesantren tersebut. Di samping Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan juga
mempunyai program Tahfîz al-Qur’an yang merupakan cikal bakal dari Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an.
Hal lain yang menarik adalah sistem mu’allimin di Pondok Pesantren
Roudlotul Qur’an dikombinasikan dengan kurikulum Sekolah Menengah
Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Maka praktis kurikulum
27 KH. Ali Komaruddin, SQ. Al-Hafiz (Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an),Wawancara, Tanggal 27 Mei 2006
28 Tradisi semacam ini merupakan hal yang lazim dilakukan di pesantren-pesantrensalafiyah, bahkan dalam tradisi yang berkembang di masyarakat Islam Lampung acara tahlilanpada malam Jum at, malam pertama hingga ketujuh sesudah seseorang meninggal, dan padamalam-malam ke 40, 100, 1000 dari meninggalnya seseorang merupakan tradisi yang sangatkuat. Di lain pihak pembacaan Al-Barzanji di malam walimatul ‘urs, walimatul khitan, syukurankelahiran merupakan tradisi yang masih berlangsung. Sehingga dalam satu dusun (yang rata-rataterdiri atas 40 Kepala Keluarga) terdapat kelompok tahlilan, Berzanji baik yang dilakukan olehibu-ibu maupun bapak-bapak. Pada kenyataan inilah biasanya kyai pesantren juga bertindaksebagai pemimpin jamaah tahlilan di lingkungan pesantren. Kyai Rosyadi (Pemimpin JamaahYasin/ Tahlil dusun II Mulyojati Metro Barat), Wawancara, tanggal 22 Maret 2008
13
yang ada adalah kombinasi antara kurikulum Departeman Pendidikan Nasional
dan kurikulum Mu’allimîn.29 Sehingga bukan mu’allimin an sich.
Pada perkembangan selanjutnya Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
berhasil mendapat hati di kalangan umat Islam, hal ini dapat dilihat dari animo
masyarakat yang begitu tinggi untuk memondokkan anaknya di Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an. Terbukti dengan semakin menaiknya grafik jumlah
santri, terutama setelah sistem mu’allimîn diberlakukan.30 Secara umum santri
yang belajar di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dapat diklasifikasikan
menjadi empat jenis; pertama, santri yang menghafalkan Al-Qur’an saja dan
tidak terikat dengan institusi pendidikan manapun. Kedua, santri yang
menghafalkan Al-Qur’an sambil melanjutkan pendidikan pada institusi
pendidikan di luar Pondok Pesantren.31 Ketiga, santri yang belajar pada SMP
atau SMA Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah, mereka ini tidak menghafalkan
al-Qur’an. Ketiga jenis santri tersebut tinggal di asrama Pondok Pesantren.
Keempat, santri-santri Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) yang tidak
bermukim di asrama pesantren.
Akan tetapi dari keempat jenis tersebut, yang paling mengalami kenaikan
yang cukup signifikan adalah santri yang mengikuti program pendidikan
Tabiyatul Mu’allimin. Pada tahun perdana pembukaan SMP TMI (2004-2005)
29 Ketika Departemen Pendidikan Nasional memberlakukan kurikulum berbasiskompetensi (KBK), maka kurikulum ini juga diberlakukan di SMP TMI Roudlotul Qur’an danjuga pada saat kurikulum berubah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).Ahmad Komaruddin (Waka Kurikulum SMP TMI Roudlotul Qur’an), Wawancara¸ tanggal 9Mei 2008
30 Rata-rata kenaikan jumlah santri adalah 75 % untuk tahun ajaran pertama dibukakelas SMP TMI, dan pada tahapan selanjutnya berkisar antara 35 - 50% pada tahun ajaranselanjutnya sampai pada tahun ajaran 2007-2008. (Dokumentasi Tata Usaha SMP TMI RoudlotulQur’an tahun 2004 s.d 2008)
31 Santri tipe ini mayoritas adalah santri yang telah lulus dari SLTA di luar PesantrenRoudlotul Qur’an hanya saja mereka ingin melanjutkan ke perguruan tinggi di wilayah Metrodan Roudlotul Qur’an dipilih sebagai tempat untuk menimba ilmu di luar jam-jam kuliah. AhmadAnsori (santri tahfizul Qur’an yang juga kuliah di Fakultas Teknik Sipil Jurusan Pertanian diUniversitas Darma Wacana Metro. Ahmad Ansori, Wawancara, tanggal 29 Januari 2008
14
terjaring satu kelas dan mencapai angka 20 siswa/ siswi. Maka pada tahun kedua
(2005-2006) terjaring dua kelas, berjumlah 57 siswa/siswi baru, dilanjutkan pada
tahun ketiga (2006-2007) mencapai 61 siswa/ siswi. Dan pada tahun
selanjutnya (2007-2008) mencapai 64 siswa baru. 32 Dengan demikian dapat
disimpulkan sementara bahwa sistem ini mendapat respon positif dari umat
Islam. Hal ini dimungkinkan karena adanya upaya modernisasi pendidikan di
Pondok pesantren Roudlotul Qur’an.
Secara garis besar perkembangan jumlah santri dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 1
Jumlah Santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur'an
(tahun 2001-2008)
TahunSantri
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Putra 8 9 11 21 56 106 176 233
Putri 7 10 16 27 54 140 187 239
Jumlah 15 19 27 48 110 246 363 472
Sumber : Sekretaris Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
Ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati dari Pesantren
Roudlotul Qur’an ini. Pertama, adanya perpaduan antara teori-teori pendidikan
yang lazim dilakukan di pondok-pondok pesantren tradisional/ salafiyah dengan
teori-teori pendidikan yang umumnya dilakukan di Pondok Pesantren Modern.33
32 Dokumentasi Sekretaris TMI Roudlotul Qur’an tahun 2004-200733 Untuk konteks Lampung hal ini adalah fenomena baru, mengingat pada umumnya
masing-pesantren ingin mempertahankan identitasnya masing-masing baik yang mengakupesantren modern maupun salaf. Dan yang dilakukan oleh Roudlotul Qur’an merupakan upayauntuk tidak terlalu mempertentangkan identitas, kendati dalam pelaksanaannya juga mengandungberbagai konsekuensi yang tidak mudah. Muhammad Saiful Hadi, Lc, (Direktur TMI RoudlotulQur’an), Wawancara, tanggal 17 Maret 2008
15
Suatu contoh setiap malam Jum’at sehabis Sholat Maghrib Pengasuh dan para
santri melakukan kegiatan istighotsah,34 tahlîlan selain itu pada malam-malam
tertentu diadakan pembacaan al-Barzanji, pembacaan kitab kuning. Di pihak
lain pesantren mewajibkan para santri untuk menggunakan Bahasa Arab dan
Inggris secara aktif di luar maupun di dalam Pesantren yang dalam hal ini kita
temukan di pondok-pondok pesantren modern. Kedua, perpaduan antara
kurikulum Departemen Pendidikan Nasional (SMP/ SMA) dengan kurikulum
Tarbiyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyyah ternyata lebih memacu kreatifitas dan
prestasi siswa dalam berbagai ajang kompetisi baik di tingkat sekolah maupun di
luar sekolah. Dalam hal ini para santri telah mampu berkiprah dan menjuarai
berbagai even perlombaan, seperti : Juara pertama pada kegiatan Perkemahan
yang diadakan Kwartir Cabang Metro untuk tingkat SLTP tahun 2006, Juara
pertama Khitobah Bahasa Arab dan Inggris bagi pelajar Tingkat Kota Metro
tahun 2006. Juara pertama MTQ tingkat Propinsi Lampung tahun 2005 kategori
Tahfidz 5 juz, 30 juz, juara Tilawah anak-anak. Dengan demikian ternyata di
usianya yang relatif muda ternyata mampu menunjukkan kemampuannya,
sehingga dimungkinkan keberadaannya akan terus maju dan berkembang pesat.
Ketiga, adanya integrasi kegiatan pendidikan di sekolah dengan kegiatan
pesantren menjadikan pemahaman materi bagi para santri lebih mendalam.35 Hal
ini dikarenakan pelajaran yang telah diperolehnya di sekolah pada siang harinya
34 Istilah istighatsah cukup dikenal di kalangan muslim tradisionalis yang umumnyaberafiliasi dengan NU, maka sering dijumpai acara semacam istighatsah kubra yang merupakantradisi dalam pesantren-pesantren salaf yang kyai pengasuhnya telah menjadi guru mursyid atautelah dibai’at dengan tariqah tertentu. KH. Aziz Mashuri (ed) Permasalahan Thariqah, HasilKesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarohNahdlatul ‘Ulama (1957-2005M), (Surabaya: Khalista, 2006), h. 68-69
35 Hal ini setidaknya dapat dibuktikan dengan tingkat kelulusan pada Ujian Nasionalyang sudah berlangsung selama dua periode berhasil mencapai 100% dari keseluruhan siswakelas IX (III SMP). Ahmad Komaruddin (Waka Kurikulum SMP TMI Roudlotul Qur’an),Wawancara¸ tanggal 22 Juni 2008
16
akan dijadikan bahan kajian dan diskusi pada malam harinya, tentunya kegiatan
ini selalu dimonitor oleh para ustadz dan pengurus pesantren.
Sementara pembaharuan yang diadakan sudah barang tentu mendobrak
tradisi lama yang belum tentu kurang baik, sebagai gambaran terdapat beberapa
jenis santri yang mondok apakah perbedaan ini menimbulkan ekses yang
kurang baik.36 Seperti dipahami bahwa santri yang menghafalkan al-Qur’an pada
umumnya lebih menutup diri terhadap pola-pola kemodernan dan memilih
kesakralan dalam upaya menghafalkan al-Qur’an. Berdasarkan alasan-alasan di
atas, maka permasalahan ini layak diajukan sebagai bahan penelitian.
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka
permasalahan-permasalahan yang ada dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
pertama, Langkah-langkah Modernisasi yang perlu dilakukan oleh pesantren
dalam upayanya memenuhi tuntutan zaman globalisasi dan bergerak sangat
dinamis. Kedua, dampak yang terjadi setelah diberlakukan modernisasi. Ketiga,
sambutan berbagai elemen pesantren setelah diberlakukannya modernisasi.
2. Pembatasan Masalah
Penelitian yang penulis lakukan merupakan penelitian yang berusaha
menemukan keterkaitan yang positif antara modernisasi pendidikan Islam di
satu sisi dan pondok pesantren di sisi yang lain. Keterkaitan tersebut apakah
menjadi sangat erat pada tiap aspek yang ada di Pondok Pesantren Roudlotul
36 Perbedaan yang muncul ke permukaan sebenarnya hanya berkisar pada aturan-aturannonformal pesantren, misal dalam tradisi pesantren tahfizul Qur’an pakaian ala santri salaf sangatkental, seidaknya dapat dilihat dari penggunaan sarung dan kopiah bagi santri putra dan rokpanjang serta jilbab yang panjang bagi santri putri, sementara di sisi lain dalam pondok modernsantri putra tidak diharuskan memakai kopiah dan sarung dan bagi santri putri menggunakancelana panjang untuk kesempatan tertentu tidak menjadi masalah. Ira Shofiyatuzzulfa (santritahfiz ul Qur’an), Wawancara tanggal 3 April 2008
17
Qur’an, atau hanya pada level-level tertentu modernisasi tersebut terkait, atau
bahkan pada level yang lain malah bersikap resistan terhadap modernisasi itu
sendiri. Sikap yang berbeda dalam menanggapi suatu proses tersebut pada
gilirannya juga akan berpengaruh pada interpretasi masing-masing terhadap
proses yang ada dan terjadi saat itu. Kendati semangat modernisasi timbul dari
dalam pesantren, akan tetapi pola-pola yang ada diakui atau tidak tentu berasal
dari luar, yang tentu saja bisa dari pola-pola pendidikan Islam atau pola-pola
pendidikan yang dianggap sekuler.37
Oleh sebab itu dalam penelitian ini, penulis memilih aspek-aspek yang
terkait dengan modernisasi, yaitu langkah-langkah modernisasi yang dilakukan
oleh pesantren dalam upayanya memenuhi tuntutan zaman. Mengingat
modernisasi pendidikan adalah suatu proses dari belum modern kemudian
diupayakan menjadi modern, dan modernisasi yang sedang terjadi merupakan
masa transisi, tentunya ini menimbulkan ekses-ekses tertentu. Responsitas yang
berbeda dalam menanggapi makna modern juga berakibat pada perbedaan dalam
menentukan kebijakan pendidikan.
Dari perbedaan tersebut dapat juga melahirkan kelompok-kelompok
baru yang terbentuk dari hasil sebuah proses modernisasi. Karena pada proses
modernisasi tersebut Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an perlu melibatkan
banyak pihak dan tentunya masing-masing mempunyai kepentingan masing-
masing.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah dan ruang lingkup di atas, maka
permasalahan utama yang diteliti dalam tesis ini dirumuskan sebagai berikut:
(1) usaha-usaha modernisasi pendidikan yang dilakukan pondok pesantren
37 Noeng Muhajir, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2003). h. 23
18
(2) pengaruh modernisasi terhadap para pengelola pendidikan yang ada di
pondok pesantren (3) respon dari komponen-komponen pondok pesantren
terhadap modernisasi. Ketiga rumusan masalah tersebut yang hendak
didiskusikan dalam penelitian ini dengan menggunakan Pondok Pesantren
Roudlotul Qur’an sebagai obyek kasus.
D. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai pondok pesantren memang telah sejak lama
dilakukan, 38 hal ini menyangkut dengan keterkaitan masuknya Islam di
Nusantara maupun keterkaitannya dengan proses islamisasi yang terjadi
sehingga Islam menjadi agama mayoritas. Penelitian yang terdahulu tentang
pondok pesantren misalnya Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi
Tentang Pandangan Hidup Kiai 39 yang diterbitkan oleh LP3ES Jakarta,
merupakan karya tulis tentang pesantren yang bisa dikatakan sebagai karya
klasik tentang pesantren dan cukup representatif sehingga menjadi rujukan yang
penting bagi penelitian tentang pondok pesantren di Indonesia. Dalam tulisannya
Zamakhsyari banyak mengupas bangunan dasar pesantren yang termasuk di
dalamnya kurikulum, model pendidikan, kitab-kitab yang diajarkan, jaringan
yang dikembangkan pesantren serta tradisi keilmuan yang dikembangkan.
Pemaparan mengenai sejarah sebuah pesantren biasanya lahir dari sebuah
38 Penelitian yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje pada masa penjajahan Belandamenjadi bukti bahwa kajian tentang pondok pesantren telah dilakukan sejak lama. Dalamcatatannya dia mengkonfirmasi adanya sejumlah pesantren yang tersebar di berbagai wilayahIndonesia. Snouck Hurgronje antara lain mengunjungi Garut, Cianjur, Bandung, Bogor, Cirebon,dan beberapa daerah lain di Indonesia. Catatan perjalanan ini juga merekam pesantren diberbagai wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam temuannya tersebut padakenyataannya bahwa sebagian pimpinan pesantren pernah mengenyam pendidikan agama Islamdi berbagai wilayah di Timur Tengah terutama di Mekkah. C. Snouck Hurgronje, Travel Notesin West and Central Java 1889-1991 (Leiden: University Library, t.th). Arief Subhan, LembagaPendidikan Islam Abad ke-20, Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: UINSyarif Hidayatullah, 2007, disertasi tidak diterbitkan), h. 75
39 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai(Jakarta: LP3ES, 1982)
19
pengajian di musholla/ masjid yang cukup sederhana hingga tumbuh dan
berkembang menjadi institusi yang maju dan bahkan menjadi modern juga
menjadi perhatian dalam tulisan tersebut. Di satu sisi Zamakhsyari
mengemukakan tentang kehidupan para kyai pemangku pesantren-pesantren
salaf/ tradisional dengan berbagai aktifitasnya dalam lingkup pesantren dan
masyarakat, status sosial yang ada sampai pada ritual-ritual 40 yang biasanya
dikembangkan para kyai.
Tulisan lain yang juga penting disebutkan dalam kesempatan ini adalah
karya Karel A Steenbrink berjudul Pesantren, Madrasah, Sekolah-Sekolah
Pendidikan Islam dalam Kurun Modern,41 yang juga terbitan LP3ES Jakarta
yang diterbitkan empat tahun berselang setelah karya Zamahsyari Dhofier, yaitu
pada tahun 1986. Dalam tulisannya Steenbrink memaparkan bahwa kesejarahan
awal sejarah pesantren khususnya di Jawa dan umumnya di wilayah nusantara
kabur, hal ini seperti yang diungkapkan Steenbrink ketika mempertanyakan
tentang pesantren mana yang dianggap pertama kali ada karena dalam karya
sastra Jawa Kuno “Serat Centini”42 tidak pernah disingguh-singgung istilah
pesantren, dan belum ditemukan sebuah literatur yang secara tegas
menyebutkan kapan mulai ada istilah pesantren. Kendati Steenbrink juga setuju
kalau pesantren merupakan pendidikan yang berakar dari kebudayaan Indonesia
(indigenous) dan bukan berasal dari kebudayaan tempat agama Islam lahir.
Dalam pandangannya modernisasi dalam pendidikan pesantren merupakan hasil
40 Dalam tradisi kyai-kyai yang diteliti Zamakhsyari kebanyakan merupakan “KyaiNU” sehingga tradisi yang dimaksud sangat kental sekali dengan paham ahlussunnah waljama’ah, yang pada ritual tertentu dianggap bid’ah oleh kelompok lain. Tawassul, ziarah kubur,tahlilan merupakan tradisi yang dianggap oleh sebagian umat Islam bukan tradisi yangdikembangkan oleh Nabi Muhammad sehingga dianggap sebagai amalan bid’ah. H. MunawarAbdul Fattah, Tradisi Orang-orang NU, (Yogyakarta: Pelangi Aksara, 2007), h. 29
41Karel A Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah-Sekolah Pendidikan Islam dalamKurun Modern , (Jakarta: LP3ES, 1986)
20
dari berbagai persinggungan yang terjadi di kalangan ulama dengan berbagai
kebudayaan sehingga melahirkan berbagai tipologi pesantren. 43
Buku karangan Marwan Saridjo yang berjudul Sejarah Pondok
Pesantren di Indonesia, dalam bukunya tersebut Marwan berusaha
mendeskripsikan pesantren-pesantren yang termasuk besar dan menjadi suatu
institusi yang cukup memberi corak bagi pendidikan agama Islam di Indonesia
dengan berbagai model kurikulum yang diajarkannya. Dalam bukunya tersebut
dipaparkan pula pesantren-pesantren mana yang dianggap modern ataupun salaf.
Modern dalam istilah Marwan Saridjo pada umumnya dijadikan referensi bagi
pemaknaan modernitas sebuah pondok pesantren. Menurutnya pesantren lahir
umumnya sangat bergantung pada otoritas pendiri pesantren dalam menentukan
identitas pesantrennya, oleh karena itu pesantren modern akan lahir dari
seseorang yang pernah/ mempunyai semangat modern. 44
Selain itu adalah sebuah buku hasil karya Abdullah Syukri Zarkasyi
yang diberi judul Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren45 terbitan Raja
Grafindo Persada Jakarta yang berusaha mengungkapkan sejarah dari awal
berdirinya pesantren Gontor dalam melaksanakan program pendidikan yang
diteruskan dengan pendapatnya mengenai peran pesantren Gontor bagi
pembaharuan pesantren di Indonesia, menurutnya ini dapat dilihat dari para
alumni Gontor yang tersebar di seluruh Indonesia banyak yang mendirikan
pesantren ala Gontor
Dalam penelitian yang penulis lakukan adalah tentang modernisasi yang
sedang terjadi di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, yang dalam hal ini obyek
yang penulis teliti berada dalam masa transisi dari pesantren salaf ke pesantren
43 Karel A Steenbrink, Pesantren, Madrasah,... h. 7-944 Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bhakti,
1983)45Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005)
21
modern. Modernisasi yang terjadi penulis analisis dengan pendekatan model-
model modern yang berasumsi bahwa modern pada tataran praktis mempunyai
tiga model, yaitu:
Pertama, teori historis, yang menurut teori ini kemodernan adalah apa
yang berasal dari Barat karena dari sanalah isu tentang modern itu berasal.
Tinjauan teori ini didasarkan pada kenyataan sejarah dari sejak munculnya istilah
modern. Menurut teori historis mengenai modernisasi, maka acuan yang dipakai
ialah masyarakat maju atau dalam hal ini adalah masyarakat Barat. Oleh sebab
itu dalam teori ini modernisasi juga berarti westernisasi (west = Barat) Menurut
Samuel Eisenstadt pengertian ini memang telah muncul sejak abad 17-19 di
Eropa pada masa aûfklarung atau enlightenment (pencerahan) dengan
rasionalismenya. Konsep ini merambat dari Eropa dan Amerika Utara ke
Asia pada sekitar abad ke-20 M. Modernisasi merupakan suatu transformasi
total dari masyarakat pra-modern ke masyarakat modern, yaitu suatu masyarakat
yang sudah berkembang teknologinya serta organisasi sosial yang
mendukungnya. Inilah yang dijadikan kriteria dari negara ekonomi maju
dengan politik yang sudah mapan. Rumusan ini mempunyai suatu kekeliruan
etnosentrisme, karena seakan-akan negara maju hanya di Eropa dan Amerika
Utara-lah yang mempunyai hak dijadikan acuan suatu masyarakat maju.46
Kedua, Teori relativisme, teori ini tidak menjadikan Eropa dan Amerika
Utara sebagai pusat masyarakat modern. Sesuai dengan namanya teori ini
menghendaki bahwa modern tidak selamanya dimiliki oleh satu golongan saja,
bisa jadi satu golongan yang pada awalnya dianggap paling modern, akan tetapi
pada giliran selanjutnya golongan lain mampu menjadi pelopor kemodernan.
46 H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformatifuntuk Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 16
22
Titik tekan teori ini adalah kemajuan suatu bangsa dalam menciptakan
kebudayaan yang maju dalam berbagai bidang.
Ketiga, teori analitik, yang melihat tingkat modernisasi suatu masyarakat
dari berbagai aspek, yaitu: ekonomi, politik, pendidikan, keluarga, stratifikasi
dan mobilisasi sosial, dan agama. Suatu masyarakat yang modern di bidang
ekonomi akan menerapkan teknologi berdasarkan ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan ini dijadikan dasar pengembangan kehidupan ekonomi dengan
perkembangan teknologinya.47
Bahwa Kajian ini menjadi penting, mengingat dalam konteks
perkembangan pesantren-pesantren yang ada di Lampung khususnya,
modernisasi yang dilakukan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an merupakan
proses penerusan (continuing) dari modernisasi yang mungkin saja pernah ada
dan juga proses adaptasi terhadap modernitas itu sendiri dan juga adaptasi
terhadap tuntutan kebutuhan umat Islam di masa mendatang. Di samping itu
mengingat pesantren tersebut sedang berada dalam masa transisi dari
tradisionalisme menuju ke arah modernisme; tarik menarik berbagai kelompok
terhadap berbagai kepentingan, ideologi masih sangat kuat. 48
E. Tujuan Penelitian.
Bagi penulis penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan suatu
kesimpulan empirik dan gambaran yang jelas mengenai modernisasi pendidikan
yang telah/ sedang dilakukan oleh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
posisinya dalam kebangunan pesantren-pesantren modern di Lampung pada
47 H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, h. 1848 Tarik-menarik antar kelompok dimaksud merupakan wujud dari adanya diferensiasi
kelompok-kelompok Islam dalam menanggapi modernisme. Mereka yang berasal dari alumnipesantren salafiyah umumnya yang menolak modernisme di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an.Meskipun dalam hal-hal tertentu, misal penggunaan sarana dan prasarana menyetujuipenggunaan alat-alat modern. Abdurrahman (Ustadz Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an alumniPesantren Salafiyah), Wawancara, tanggal 3 Desember 2007
23
khususnya dan Indonesia pada umumnya. Mengingat dalam asumsi awal penulis
pesantren Roudlotul Qur’an merupakan pesantren yang memulai prinsip-prinsip
modernitas yang diserap dari Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo Jawa
Timur dan Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan Madura.
Dengan tercapainya tujuan tersebut di atas, hasil penelitian ini diharapkan
mampu memberikan gambaran yang komprehensif mengenai pola-pola
pendidikan pesantren modern yang pada saat ini makin banyak didirikan.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif 49 dengan menggunakan
paradigma fenomenologi. Yaitu yang berasumsi bahwa manusia dalam berilmu
pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari pandangan moralnya, baik pada taraf
mengamati, menghimpun data, menganalisis, ataupun dalam membuat
kesimpulan.50 Sedangkan menurut Edmund Hussrell Fenomenologi merupakan
realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan
realitas dari kita, realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut
kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan
sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. Intensionalitas
merupakan unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh
intensionalitas, fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang
menampakkan diri. Konstitusional merupakan proses tampaknya fenomen-
fenomen kepada kesadaran. Fenomen mengkonstitusi diri dalam kesadaran.
Karena terdapat korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan
konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas.
49 Penelitian kualitatif merupakan sebuah model penelitian yang prosedur danmetodologinya sangat spesifik, didasari teori korespondensi sebagai teori kebenaran ilmiahnya,serta sangat menghargai keragaman data lapangan tanpa tendensi untuk melakukan generalisasi .Robert C. Bogdan and Knopp Biklen, Qualitative Research for Education, an Introduction toTheories and Methods, (Boston: Allen Publishing, 2003), h.314
50Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000).h. 116
24
Tidak ada kebenaran pada dirinya lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya
mungkin ada dalam korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut realitas
itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus
dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses
penampakan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran
intensional.51 Sebagai contoh dari konstitusi: misal ketika melihat suatu gelas,
tetapi sebenarnya yang terlihat merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut,
begitupun jika melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas dan
seterusnya. Tetapi bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu.
Dalam prespektif objek telah dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu
mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan dalam realitas. Suatu
fenomen tidak pernah merupakan suatu yang statis, arti suatu fenomen
tergantung pada sejarahnya. Ini berlaku bagi sejarah pribadi umat manusia,
maupun bagi keseluruhan sejarah umat manusia. Sejarah kita selalu hadir dalam
cara kita menghadapi realitas..52 Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan
secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka
teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi
data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya.
Maka dalam paradigma fenomenologi peneliti berusaha menjawab
pertanyaan, apa struktur pengalaman dari sebuah fenomena yang dilakukan oleh
orang-orang dalam suatu komunitas tertentu, dan apa esensi dari pengalaman-
pengalaman tersebut dalam pandangan mereka.53 Sehingga pada penelitian ini
peneliti berusaha memahami arti peristiwa, gejala/ fenomena dan kaitan-
51Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Kanisius. 1980), h. 152 konstitusi dalam filsafat Husserl selalu diartikan sebagai konstitusi genetisal. Proses
yang mengakibatkan suatu fenomena menjadi real dalam kesadaran adalah merupakan suatuaspek historis. Bertens. Filsafat barat Abad XX, Inggris-Jerman, (Jakarta : Gramedia. 1983)
53 John W. Best and James V. Kahn, Research in Education, (Boston: Allyn andBacon,1993), h. 69
25
kaitannya terhadap orang-orang secara umum dalam situasi-situasi tertentu.54
dalam fenomenologi ini mempunyai titik tekan pada verstehen (understanding)
yaitu pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia. Fenomenologi tidak
berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang
diteliti oleh mereka.
Dalam fenomenologi ini peneliti dapat juga berada dalam lingkungan
obyek yang diteliti secara aktif, artinya bila obyek yang diteliti sebuah
organisasi, maka peneliti bisa saja termasuk salah satu anggota dari organisasi
tersebut. Fenomenologi diartikan sebagai; 1) pengalaman subyektif atau
pengalaman fenomenologikal; 2) suatu studi tentang kesadaran dari perspektif
pokok dari seseorang. Istilah fenomenologi sering digunakan sebagai angapan
umum untuk menunjuk pada pengalaman subyektif dan berbagai jenis dan tipe
subyek yang ditemui. Dalam arti yang lebih khusus, istilah ini mengacu pada
penelitian terdisiplin tentang kesadaran dari perspektif pertama seseorang.
Sebagai suatu disiplin ilmu hal ini kemukakan oleh filosuf Jerman, Edmund
Husserl.55
1. Sumber Data
Penulis melakukan studi eksplorasi 56 sebelum melakukan eksplanasi
yaitu menjaring berbagai informasi tentang Pesantren Roudlotul Qur’an sebagai
bahan untuk menemukan permasalahan penelitian. Penulis melakukan teknik in
deep interview (wawancara mendalam) tentang perubahan yang terjadi di
Pondok Pesantren Roudlotul terutama yang berkaitan dengan kelembagaan dan
organisasi, kurikulum dan manajemen pendidikannya setelah diadakan
54Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya,2000), h. 9
55 M. Suryana, Metodologis Penelitian Kontemporer, Bandung: Cendekia Press, 2004,h. 135.
56 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode, dan Teknik,(Bandung; Tarsito, 1982) h. 106
26
pembaharuan (modernisasi) dengan para informan yang paling banyak
mengetahui masalah yang diteliti dan terlibat langsung sebagai pendiri dan
pembina pesantren, seperti pimpinan dan pengurus Pesantren Roudlotul Qur’an,
para pengajar, masyarakat luas, dan juga informasi dari pesantren-pesantren lain
sebagai data pendukung yang berjumlah 21 orang. Selain itu informasi juga
diperoleh melalui studi bahan bahan tertulis yang berhubungan dengan Pesantren
Roudlotul Qur’an.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penulis mengumpulkan data yang diperoleh dari penelitian ini ada 2
macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dijaring melalui
penelitian lapangan dan dokumen yang berhubungan dengan masalah penelitian
yang akan diteliti, yaitu yang berkaitan dengan manajemen, kurikulum,
organisasi dan kelembagaan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. Sedangkan
data sekunder diperoleh melalui kepustakaan mengenai sumber data yang
berkaitan dengan obyek yang diteliti. Dalam penelitian ini digunakan tiga
metode pengumpulan data yaitu :
a. Metode Observasi
Metode ini merupakan metode yang selalu ada dalam penelitian yang
menggunakan pendekatan fenomenologi, karena dengan observasi peneliti yang
dalam hal ini sebagai observer akan dapat melihat secara langsung fenomena-
fenomena (gejala-gejala) baik itu yang terjadi pada individu-individu yang
diobservasi maupun struktur kerja yang terjadi di lapangan untuk kemudian
menjadi acuan data yang siap dijadikan bahan penelitian selanjutnya. Observasi
yang penulis lakukan pada umumnya adalah observasi partisipan, dalam arti
peneliti melakukan observasi langsung kepada obyek yang diobservasi,
sementara observer termasuk ke dalam kelompok yang diobservasi. Hal ini
27
bertujuan untuk dapat menangkap fenomena alamiah, bukan rekayasa karena
diobservasi.
Sementara tempat yang penulis jadikan sebagai media observasi adalah
Pondok Pesantren Roudlotul Qur'an, Pondok Pesantren Darul A'mal, Pondok
Pesantren Tri Bhakti Attaqwa, Pondok Pesantren Roudlotuttholibin, Pondok
Pesantren Pondok Pesantren Wali Songo, Pondok Pesantren Nurul Qodiri,
Pondok Pesantren Al-Muhsin, dan Pondok Pesantren Miftahul Falah.
b. Metode interviu (wawancara)
Metode interviu atau wawancara yaitu penulis mengumpulkan data
melalui wawancara dengan pihak-pihak yang bersangkutan seperti pimpinan
pondok pesantren, sekolah, para guru, murid, alumni dan sebagainya yang
berjumlah 21 orang tentang fenomena-fenomena yang terjadi di dalam Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an dengan mempertimbangkan adanya proses
modernisasi dan sebagai pembanding untuk menambah informasi penulis
mewawancarai pengasuh-pengasuh pondok pesantren lain yang ada di Provinsi
Lampung.
c. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan pengambilan data melalui apa yang telah
ada dalam dokumen, baik dokumen yayasan, sekolah, maupun dokumen pondok
pesantren Roudlotul Qur’an. Metode dokumentasi menurut Koentjaraningrat
adalah “Data variabel seperti yang terdapat dalam surat, catatan harian, kenang-
kenangan, laporan, dan sebagainya.”57
4. Analisis Data Penelitian
Untuk menguji validitas data, penulis melakukan upaya validasi dengan
proses triangulasi yaitu memperbandingkan antara data-data yang diperoleh dari
57Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1997),h. 129
28
sumber dan menganalisa dengan teknik/ metode penelitian. Pandangan
demikian diakui oleh Noeng Muhadjir, menurutnya suatu penelitian dipandang
obyektif, bila seseorang dengan prosedur kerja yang sama menghasilkan
kesimpulan penelitian yang sama.58 Data-data yang dihimpun di Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an dan beberapa pesantren lainnya akan dianalisa
dengan teori-teori yang sesuai dengan metode penelitian. Selain itu dalam
menganalisis data penulis menggunakan paradigma induktif, yaitu penarikan
kesimpulan setelah berbagai data terkumpul secukupnya kemudian dianalisis. 59
G. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini ditulis secara sistematis dalam lima bab, penyusunan
secara sistematis dilakukan agar pembahasan di tiap-tiap bab tidak hanya
mendalam namun juga dapat dibaca sebagai suatu kesatuan yang utuh.
Pada Bab I berisi pendahuluan yang mengemukakan latar belakang
masalah tentang perlunya pesantren-pesantren melakukan perubahan ke arah
lebih maju apabila ingin eksistensinya tetap hidup di masyarakat dan menjadi
mesin pendorong bagi dinamika pendidikan Islam. Identifikasi masalah-
masalah yang ada dan selanjutnya dibahas pada bab-bab selanjutnya. Batasan
masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka,
metode penelitian, dan sistematika penulisan juga tercakup pada bab pertama ini.
Bab II berisi kajian tentang pondok-pondok pesantren yang ada di
wilayah Lampung, baik para tokoh pendiri, pengasuh, maupun orang-orang yang
dianggap memberi warna dalam dinamika pendidikan Islam di pondok
pesantren. Diteruskan dengan gambaran sepintas tentang keadaan pesantren-
pesantren yang merupakan cikal-bakal pendidikan Pondok Pesantren di Provinsi
58Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta; Rake Sarasin, 1996).h. 36
59 Pembahasan lebih lengkap terkait dengan paradigma induktif, lihat Dagobert D.Runes, Dictionary of Philosophy, (New Jersey: Little Fieed, Adam & Co, 1995), h. 146
29
Lampung. Pada bab ini dipaparkan lembaga-lembaga pendidikan Islam (pondok
pesantren) berbagai tipe pondok pesantren di Lampung dengan berbagai
variannya. Diteruskan dengan menimbang tingkat responsitas sebuah pesantren
terhadap modernisasi.
Bab III berisi tentang akar-akar tradisionalisme pondok pesantren.
Kesejarahan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dari awal pembentukan hingga
proses modernisasi. gambaran mengenai proses modernisasi pondok pesantren di
Provinsi Lampung
Bab IV membahas aspek modernisasi/ pembaharuan pendidikan yang ada
di Pesantren Roudlotul Qur’an meliputi Modernisasi Aspek Kelembagaan dan
Organisasi, Modernisasi Aspek Kurikulum dan Pembelajaran.
Bab V adalah penutup dari kajian tesis ini yang berisi kesimpulan kajian
serta beberapa hal yang menjadi saran-saran penulis setelah mengadakan
penelitian.
30
BAB II
KONTEKS MODERNISASI
PONDOK PESANTREN DI LAMPUNG
Modern secara bahasa diartikan baru, kekinian, akhir, up to date, atau
semacamnya, bahkan juga diartikan pembangunan. Sehingga modernisasi dapat
diartikan sebagai kemodernan, pembaharuan.1 Istilah modern ini juga dapat
dikontraskan dengan istilah lama, kolot, atau sejenisnya.2 Istilah modern ini juga
dapat dikaitkan dengan karakteristik. Oleh karena itu istilah modern dapat
diterapkan untuk manusia dan juga yang lainnya, misalnya konsep bangsa, sistem
politik, ekonomi, negara, kota, pendidikan sampai merambah pada sifat, perilaku,
dan hampir apa saja. Misalnya saja predikat modern dapat disandarkan kepada
pemikiran seseorang, dapat juga menyebut pakaian modern, rumah modern akan
tetapi perlu diperhatikan setelah mmenjadi istilah yang merupakan predikat umum,
istilah tersebut akan mempunyai pengertian/ definisi tersendiri. 3
Istilah modernisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai suatu proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat
untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masa kini.4 Oleh sebab itu jika
modernisasi merupakan suatu proses menjadikan sesuatu modern, maka setiap
yang diupayakan untuk sesuai dengan pola hidup kekinian misal pendidikan dapat
disebut nodernisasi pendidikan (educational Modernization).5 Sedangkan
modernisme sebuah terminologi yang berlaku di masyarakat Barat yang
1 John M. Echols dan Hassan Sadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: GramediaPustaka Utama, 2003), h. 384
2 Murtadha Mutahhari, Gerakan Islam Abad XX, (terj) Fahry Ali, (Jakarta, Boenabi Cipta,1986), h. 15
3 Qadri Azizy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM danTerciptanya Masyarakat Madani, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003), h. 5
4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1989), h. 589
5 Akbar S. Ahmed, Postmodernisme and Islam:Predicament and Promise, (London,Routledge, tth).
31
mengandung arti pikiran, adat-istiadat, institusi-institusi lama untuk disesuaikan
dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi
modern.6
Diskursus mengenai modernisasi menjadi menimbulkan tanggapan yang
berbeda-beda. Sebagian kalangan tertentu merasa bahwa modernisasi merupakan
ancaman bagi eksistensi kebudayaan lokal tertentu, mengingat modernisasi
meniscayakan proses globalisasi yang menganggap bahwa dunia sebagai one
world-one globe sehingga menghancurkan sekat-sekat pembeda yang ada di dunia
ini. Hal inilah yang menurut Nurcholis Madjid perlu diwaspadai dalam rangka
melestarikan (mempertahankan) keberagaman manusia.7 Kendati menurut Cak
Nur modernisasi sendiri dipahami sebagai suatu proses perubahan sosial, yaitu
perubahan susunan kemasyarakatan dari suatu sistem sosial praindustrial (misal
agraris) ke sistem sosial industrial. Kadang-kadang juga disejajarkan dengan
perubahan dari masyarakat pramodern ke masyarakat modern. Perubahan sosial
inilah nampaknya yang menarik perhatian Cak Nur. Sehingga dalam konteks
keagamaan menurutnya kehidupan industrial (yang menjadi ciri modern) dapat
menimbulkan efek negatif, dan sekaligus menyimpan kandungan makna yang
positif. Ia menyatakan "...bentuk hubungan dinamis antara religiusitas dan
industrialisasi/ modernisasi merupakan suatu persoalan rumit yang banyak
menimbulkan kontroversi."8
Pada sisi yang positif, industrialisasi menurut Cak Nur akan membawa
kemakmuran (dan inilah yang menjadi cita-cita semua orang) dari kemakmuran
inilah pada gilirannya akan melahirkan peningkatan manusia. Meskipun
industrialisasi sendiri bukan tanpa harga atau pengorbanan, ia membutuhkan
6 Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:Bulan Bintang, 1994), h. 11
7 Nurcholis Madjid, "Masyarakat Religius dan Dinamika Industrialisasi" dalam Islam,Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1987), h. 141
8 Nurcholis Madjid, "Masyarakat Religius…h. 142
32
tumbal untuk membangunnya. Oleh karena itu manusia –dalam masyarakat
modern- sering rentan terhadap depersonalisasi dan dehumanisasi. Akibatnya
menurut Cak Nur "...ia tak lagi mengenali dirinya sendiri dan makna hidupnya
atau alienasi."9 Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai penopang
kukuh masyarakat industri modern, produknya lebih bersifat profan. Di sisi lain
agama merupakan sesuatu yang sakral. Dengan demikian, posisi keduanya dalam
pandangan Cak Nur terjadi antagonistik. Antagonisme inilah yang membuat
sebagian orang berreaksi negatif terhadap modernisasi. Ini juga disebabkan karena
mereka hanya melihat modernisasi dari sudut ekses negatif. Keadaan ini justru
terjadi pada umat Islam, yang merasa kemodernan dapat mengakibatkan
menjauhnya umat Islam dari keberagamaannya. Sehingga penolakan itu dianggap
menjadi perisai untuk menghadapi ekses-ekses yang ditimbulkan oleh kemodernan
tersebut.
Sementara, Abdurrahman Wahid ketika menyinggung keterkaitan antara
agama dan modernitas menyatakan: "...antara modernisasi dan agama adalah
menyatu."10 Menurutnya andaikata modernisasi dilepaskan dari agama maka
modernisasi akan tumbuh secara bebas nilai (free of value). Kalau ini terjadi, maka
akan meruntuhkan nilai-nilai lama yang sudah ditetapkan agama. Di sini,
ditandaskan Gus Dur, akan terjadi proses yang sifatnya saling menggusur antara
proses modernisasi dengan agama.11 Jika demikian halnya, maka pertentangan
antara agama dan modern malah justru dapat meruntuhkan bangunan nilai-nilai
kemajemukan di antara masyarakat muslim yang mendukung modernitas dengan
yang ingin mempertahankan tradisi lama yang tak jarang bertolak belakang dengan
modernitas.
9 Nurcholis Madjid, "Peranan Agama dalam Kehidupan Modern", dalam Islam,Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1987), h. 124
10 Baca Abdurrahman Wahid, "Agama dan Modernisasi adalah satu", dalam MajalahKomunikasi Ekaprasetia Pancakarsa, No.40/tahun VI/ 1985, h. 47
11 Abdurrahman Wahid, "Agama dan Modernisasi adalah satu", h. 47
33
Dalam beberapa penelitian keagamaan yang diadakan sosiolog, tercermin
bahwa agama memodofikasi sikap modernis terhadap umatnya. Modern bukan
diartikan sebagai komponen Barat tetapi lebih dimaknai sebagai setting
keilmuan dan kemajuan sain yang berakar dari nilai-nilai agama. Misalnya
Weber, Robert N. Bellah dan Clifford Geertz, melihat agama sebagai
inspirator dari sebuah gerakan humanisasi, sain, budaya dan seterusnya
(semuanya terangkum dalam kolaborasi makna modernisasi). Sehingga agama
hadir dalam konteks apa pun. Dan itu dijadikan sebagai inspirator oleh manusia
sebagai makhluk Tuhan yang berakal untuk mencerahkan peradaban.12
Ada pula yang mengaitkan modernisasi dengan pembangunan,13
sementara di sisi lain pembangunan akan terkait dengan kemerdekaan. Sehingga
ketiga istilah ini merupakan satu rangkaian yang tak dapat dipisahkan
(kemerdekaan-pembangunan-modernisasi), keterkaitan ini dapat dipahami dengan
suatu negeri tidak akan dapat melakukan pembangunan manakala ia masih
terkungkung oleh belenggu penjajahan, maka otomatis kemerdekaan di sini
menjadi sarat pertama untuk melakukan modernisasi. Dengan kemerdekaan
pembangunan dapat berjalan dengan sempurna tanpa ada hambatan dari bangsa
lain. Dengan pembangunan itulah maka modernisasi dapat digerakkan. Oleh sebab
itu ada pula yang memahami modernisasi dengan seberapa jauh suatu bangsa
mempunyai berbagai fasilitas-fasilitas yang memudahkan manusia sebagai ukuran
taraf kehidupannya. Ada pula yang memahami dengan seberapa jauh suatu bangsa
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.14 Dalam kaitan ini nampaknya agama
tidaklah menjadi penghalang derap langkah modernisasi. Karena parameter
12 Lihat Hebert W. Richardson, Toward an Amerikan Theology (New York; Harp & Row,1967), h. 64
13 Baca Prem Kirpal, "Modernization of Education in South Asia" "http://science.jrank.org /pages/9065/Education-in-Asia-Traditional-Modern-Modernization.html" tanggal 8 September2008
14 C. Arnold Anderson, "The Modernization of Education", dalam Modernization-TheDynamics of Growth, Myron Weiner (ed) (New York: Basic Books, inc, 1966), h. 68
34
kemodernan diukur dengan tiga indikator tersebut. Sehingga antara modernisasi
dan agama tidak akan menjadi dua istilah yang saling bertentangan.
Proses modernisasi pendidikan, dalam rangka merubah diperoleh
melalui dua cara; Pertama, melalui injection mativation, dan kedua melalui
revolusi think tank. Pada kasus modernisasi pertama, lebih dimotivasi oleh
kemajuan dunia luar. Di Minangkabau misalnya, modernisasi dalam institusi
pendidikan sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan luar terutama Mekah dan
Mesir.15 Sistem ini dibawa oleh ulama-ulama Minangkabau, dan diterapkan
dalam sistem pendidikan Islam lokal Minangkabau. Akhirnya terjadi pembaruan
dalam isntitusi pendidikan surau menjadi madrasah, yang klasikal dan tidak
lagi berhalaqah, serta terjadi perombakan-perombakan dalam kurikulum
pendidikan. Aktor pembaharuan ini, diantarannya syekh Ahmad Khatib, syekh
Taher Djalaluddin, syekh Muhammad Djamil Djambek, Haji Rasul, dan
Abdullah Ahmad.16
Kedua, mengilhami modernisasi itu adalah revolusi think tank, yakni
gagasan pembaruan yang datang dari tokoh-tokoh pemikir yang tidak siap
menerima ketertinggalan kelompoknya dalam meratas percaturan dunia.
Menurut kelompok ini, ketertinggalan itu bisa diatasi melalui
pengotimalan pemahaman ajaran Islam. Dalam pandangan kalangan modernis
Islam, ketertinggalan umat Islam merupakan kesalahan umat Islam itu sendiri,
karena memahami agama secara picik dan kepicikan berfikir.17
15 Q. Edward Wang, Traditional Education in Asia and Modern– Modernization.http://science.jrank.org/pages/9065/Education-in-Asia-Traditional Modernization.html. dikutiptanggal 9 September 2008
16 Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942.17 Lihat Yudi Latif, Masa Lalu Yang Membunuh Masa Depan. (Bandung,Mizan: 1999), h.
48.
35
Mengenai pendidikan Islam di Lampung,18 atau lebih tepatnya pesantren,
terkait dengan program transmigrasi yang dilaksanakan di Propinsi Lampung dari
daerah Jawa. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari sebagian besar pondok
pesantren yang berdiri sejak lama di wilayah Lampung kyai/ pendirinya adalah
berasal dari pulau Jawa.19 Hal ini bukan berarti mengecilkan peran masyarakat
Islam pribumi Lampung, karena di daerah-daerah perkotaan terdapat yayasan-
yayasan pendidikan Islam yang dibangun oleh penduduk asli Lampung. Akan
tetapi pondok pesantren yang bersifat tradisional/ salafiyah hampir dipastikan
kesemua pendirinya adalah transmigran/ putera transmigran asal Jawa, sehingga
kultur yang ada dalam pesantren tersebut mengadopsi dari pesantren-pesantren
tempat kyai tersebut menimba ilmu di Jawa.20 Hal ini bisa dipahami pula
mengingat pulau Jawa merupakan pusat penyebaran agama Islam di seluruh
Nusantara sejak zaman Wali Songo. 21
18 Luas Provinsi Lampung adalah 2.969,313 km² yang saat ini terbagi menjadi sembilanKabupaten dan dua Kota yaitu Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Lampung Utara,Kabupaten Tulang bawang, Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Lampung Barat, KabupatenTanggamus, Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaranserta Kota Bandar Lampung dan Kota Metro, www. Indonesia Tourism, peta lampung, Tanggal 23Mei 2008
19 Dari tujuh pesantren yang ada pada Direktori Pesantren terbitan Departemen AgamaPusat menunjukkan bahwa kesemua pendiri/ kyainya adalah berasal dari Jawa, namun data yangdimuat dalam buku tersebut ternyata merupakan data yang pernah diterbitkan pada buku denganjudul yang sama pada penerbitan-penerbitan sebelumnya dan tidak diup date datanya sehinggatidak dapat mengcover dari keseluruhan pesantren yang ada di Provinsi Lampung. Baca DirektoriPesantren, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, (Jakarta: DEPAG RI, 2007) h.135-154
20Dari 14 pondok pesantren yang penulis kunjungi, hanya Pondok Pesantren DarussalamTegineneng Kabupaten Pesawaran yang pendirinya bukan transmigran asal Jawa. Sehingga pantaskalau pondok pesantren ini bercorak modern. Untuk pondok-pondok selain itu dapat dilihat dariteori transliterasi kitab kuningnya yang menggunakan bahasa Jawa, munculnya istilah utawi dalammengartikan dan merumuskan kode untuk mubtada’, iku untuk khabar, sopo/ opo untukfa’il(pelaku pekerjaan), ing untuk maf’ul bihi (obyek) dan lain-lain merupakan bentuk tradisi yangada di pesantren-pesantren salafiyah, Muhammad Ma’sum, SHI, Kamus Santri, PedomanPembacaan Kitab Kuning, ( Raman Utara, Pon-Pes Tri Bhakti Attaqwa,2003), h. 5
21Kendati wilayah Lampung berada di pulau Sumatera yang juga terdapat pintu awalmasuknya Islam di Nusantara (misal di daerah Peurlak, Pasai/ Aceh) akan tetapi secara historistidak ada yang menyimpulkan bahwa proses islamisasi di Lampung berasal dari Aceh. Hal inidimungkinkan karena jalur transportasi antara Lampung yang merupakan wilayah paling ujung
36
Sebut saja misalnya Pondok Pesantren Darussalamah yang berada di desa
Braja Dewa Kecamatan Way Jepara yang merupakan salah satu pondok pesantren
tua dan para alumninya sudah banyak yang mendirikan lembaga pendidikan
pondok pesantren, pendirinya adalah KH. Ahmad Shodiq yang berasal dari Kediri
Jawa Timur.22 Selain itu di daerah Ambarawa Kecamatan Pring Sewu Kabupaten
Tanggamus juga terdapat pondok pesantren yang berkonsentrasi pada ‘Ulum al-
Qur’an dengan prioritas tahfîz al-Qur’an pendirinya (KH. Rois Abdillah al-
Hafiz, MA, ) juga berasal dari Jawa Timur tepatnya daerah Jember.
Kemunculan modernisasi di Lampung juga tak dapat dilepaskan dari
kemunculan-kemunculan pesantren-pesantren yang berorientasi modern di wilayah
Jawa. Selain Pondok Pesantren Gontor Ponorogo, Pondok Pesantren Wali Songo
Ngabar Ponorogo juga menjadi salah satu pesantren yang menyemai bibit-bibit
pesantren modern di Lampung. Sebagai sebuah contoh adalah Pondok Pesantren
Roudlotul Qur’an, istri dari KH. Ali Komaruddin (pendiri Pesantren Roudlotul
Qur’an) adalah alumni pesantren Wali Songo tersebut. Perannya kendati hanya
sebagai istri namun juga menentukan karena di sisi lain dia juga termasuk dalam
komposisi kepengurusan yayasan yang bertindak sebagai Bendahara II. Ketika
mendirikan sistem TMI yang mula-mula direkrut untuk mengelola adalah Dra. Siti
Nurjanah, M.Pd, dan Laila Rismadiati S.PdI yang keduanya merupakan alumni
Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo.23
Munculnya modernisasi di berbagai pesanten turut serta mempengaruhi
pesantren-pesantren di wilayah Lampung. Pengaruh yang cukup signifikan terjadi
pada pola pembelajaran sedang dalam materi pelajaran yang disampaikan
Timur pulau Sumatera lebih dekat dengan Jawa daripada Aceh yang berada di ujung BaratSumatera. Drs. Marwan Saridjo, dkk, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: DharmaBhakti, 1983), h. 20
22 Team Redaksi Memori 2007, Risalah Kenangan Alumni Santri Darussalamah, (WayJepara: kelas III Madin Darussalamah, 2007), h. 38
23 Laila Rismadiati, SPdI (alumni Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo/ DewanPembina Asrama Pondok pesantren Roudlotul Qur’an), Wawancara tanggal 20 Juni 2008
37
cenderung masih meneruskan tradisi klasik. Kultur yang ada juga masih belum
begitu berbeda dengan kultur yang ada dalam pesantren salafiyah.24 Munculnya
berbagai varian pondok pesantren di wilayah Lampung merupakan fenomena awal
kebangunan pesantren-pesantren modern di wilayah tersebut.
Pendidikan Islam yang bercorak modern diyakini pertama muncul pada
permulaan abad ke-20, seiring dengan modernisasi dan perubahan sosial yang
terjadi di masyarakat Muslim Indonesia. Istilah Pondok Pesantren Modern
umumnya dikontraskan dengan Pondok Pesantren Tradisional yang dianggap
identik dengan kejumudan berpikir, taqlid,25 dan sistem pendidikan yang kurang
efektif.26 Diantara para tokoh pendidikan Islam Indonesia yang dianggap
mempunyai peran dalam merumuskan konsep Pondok Pesantren Modern adalah
KH. Imam Zarkasyi, Pendiri Pondok Modern Gontor Jawa Timur. Dalam
pandangannya pesantren harus menerapkan kebebasan berpikir, manajemen yang
efektif dan efisien dan tak kalah pentingnya santri harus dikenalkan dengan
modernitas dalam berbagai aspek. 27
Pola pembelajaran santri yang mengagungkan salah satu mazhab dapat
menyebabkan santri menjadi kurang mempunyai kebebasan berpikir. Sejak awal
Gontor berupaya untuk tidak terlalu mementingkan mazhab tertentu dalam
24 Karakteristik dari kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agamatersebut merupakan suatu keunikan. Keunikan tersebut yang dalam pandangan Clifford Geertzsebagai subkultur masyarakat Indonesia yang hanya berkutat pada soal “kuburan dan “ganjaran”.Geetz, “The Javanese Kyai: The Changing Role on a Cultur Broker” dalam Comparative Studies inSociety and History, 1989, h. 245. baca juga Siti Zahrah, Rekonstruksi Pesantren, MenujuKompetisi Global, Yogyakarta: Citra Press, 2006, h. 34.
25Taqlid merupakan bentuk peniruan/ melakukan suatu amal ibadah syar’i dengan menirukepada para ulama’ yang meletakkan dasar-dasar hukumnya dari Al-Qur’an maupun hadits NabiMuhammad saw. Praktek semacam ini dikarenakan ketidakmampuannya untuk berijtihad, makahukum bertaqlid dalam tradisi NU tidak dipermasalahkan. H. Munawir Abdul Fattah, TradisiOrang-Orang NU, (Yogyakarta: Tradisi Pesantren, 2007), h. 20
26Jajang Jahroni,”Merumuskan Modernitas: Kecenderungan dan PerekembanganPesantren di Jawa Tengah” dalam Jajat Burhanuddin, Mencetak Muslim Modern, Peta PendidikanIslam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006). h. 113
27Panitia Penyusunan Riwayat Hidup dan Perjuangan K.H. Imam Zarkasyi, Biografi K.H.Imam Zarkasyi: Dari Gontor Merintis Pondok Modern, (Ponorogo: Gontor Press, 1996), h. 33-35
38
pengamalan ibadah keagamaan. Meskipun fiqih yang diajarkan kepada para santri
adalah figih Mazhab Syafi'i, namun santri ditekankan untuk tidak terjebak dalam
khilafiyah. Untuk menghindari hal ini, sudah sejak lama Gontor mengajarkan fiqih
perbandingan kepada para santrinya. Kitab yang menjadi rujukan untuk pelajaran ini
adalah Bidâyatul Mujtahid karangan Abu al-Walid Muhammad ibn Rusyd, atau
yang terkenal dengan sebutan Ibn Rusyd.28
Sementara itu, manajemen yang efektif dan efisien diterjemahkan bahwa
pesantren harus memiliki sistem administrasi dan keuangan yang baik, transparan,
dan dapat dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut sistem manajemen pesantren
modern diwujudkan dengan mengembangkan sistem kepemimpinan pesantren.
Untuk masalah ini, Gontor sejak awal menggagas apa yang disebut 'badan wakaf,'
lembaga tertinggi dalam pesantren di mana setiap persoalan dibicarakan dan
diputuskan. Di bawah badan wakaf terdapat badan pelaksana yang terlibat dalam
urusan hari per hari pesantren. Meski pada umumnya orang yang terlibat dalam
lembaga ini berasal dari keluarga tertentu di Gontor misalnya didominasi oleh
Bani Zarkasyi29 sistem ini bekerja dengan efektif. Salah satu sebabnya adalah, dalam
setiap kepengurusan badan wakaf, sejumlah orang luar, biasanya alumni,
dilibatkan sehingga birokrasi menjadi lebih impersonal.30
Pengenalan santri terhadap modernitas diwujudkan dengan cara membekali
santri dengan kecakapan bahasa Inggris dan Arab, kepramukaan, keterampilan,
28Kitab Bidâyatul Mujtahid merupakan kitab yang berisi hukum-hukum fiqh denganmetode komparasi dari berbagai Imam Mazhab. Kendati yang dijadikan rujukannya tidak mestilangsung kepada Imam Mujtahid Mutlaq (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan ImamHanbaly) sehingga terkadang Ibn Rusyd juga menukil dari golongan mazhab tersebut. SepertiHanabilah untuk menyebut golongan penganut Mazhab Hanbaly dan Syafi’iyyah untuk MazhabSyafi’i, Hanafiyah untuk Mazhab Hanafy, dan Malikiyah untuk Mazhab Maliky. Baca, Ibn Rusyd,Bidâyatul Mujtahid, (Mesir: Dâr al-Fikr, t.th).
29 Panitia Penyusunan Riwayat Hidup dan Perjuangan K.H. Imam Zarkasyi, Biografi K.H.Imam Zarkasyi:, h. 37
30 Keterlibatan alumni dalam jajaran kepengurusan badan ini berkisar antara 35 – 45% .Panitia Penyusunan Riwayat Hidup dan Perjuangan K.H. Imam Zarkasyi, Biografi K.H. ImamZarkasyi:, h. 39
39
musik, dan olah raga-satu hal yang pada waktu itu tidak dilakukan di pesantren.
Pengakuan akan pentingnya nilai-nilai modern disimbolkan dengan membiasakan
para santri mengenakan jas dan dasi. Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan
pengetahuan agama dan umum, Gontor menciptakan kurikulum yang di dalamnya terdiri
atas ilmu agama dan ilmu umum untuk diajarkan kepada santri. Para pendiri
Gontor membuat sendiri buku-buku pelajaran yang dibutuhkan, baik pelajaran agama
maupun pelajaran umum. Di sini sebenarnya visi integrasi ilmu umum dan ilmu
agama mulai dibangun.31
Konsep yang digagas oleh KH. Imam Zarkasyi ini ternyata menjadi
blueprint bagi perkembangan pesantren modern selanjutnya. Santri yang tersebar
di seluruh pelosok Nusantara mendirikan pesantren-pesantren ala Gontor. Ini
dimulai sejak tahun 1970-an. Dan Lampung yang merupakan provinsi terdekat
dengan pulau Jawa juga menunjukkan hal itu. Untuk kasus di Lampung secara
umum pengaruh modernisasi pesantren ala Gontor pada awalnya dimotori oleh
Pondok Pesantren Darussalam Tegineneng Lampung Selatan.32 Pesantren ini
secara tegas menyatakan bahwa pesantren Gontor menjadi panutannya dalam
semua aspek kependidikan yang sebagian besar tenaga pendidiknya merupakan
alumni pesantren Gontor. Pesantren Darussalam ini bisa dikatakan sebagai
Pondok Pesantren Modern yang pertama di Lampung dan mempunyai jumlah
santri yang cukup banyak. Kuantitas santrinya mampu menyamai pesantren-
pesantren lain yang telah lebih dulu eksis di wilayah Lampung.
31Abdullah Syukri Zarkasyi.M.A. Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2005) h. 25
32 Pertama kali didirikan oleh KH. Ali Raja Marga bin Hi. Abdul Karim yang secara resmidibuka pada tahun 1974. Pendiri pondok pesantren ini adalah seorang Muslim yang taat dan berasaldari keturunan pribumi asli Lampung, pertautan dengan Islam yang ada di Jawa adalah semasamudanya ia pernah belajar di Pondok Pesantren Gontor Ponorogo Jawa Timur. Dan pada umumnyatokoh pendidikan yang berasal dari pribumi Lampung mendirikan pesantren modern. Fenomena inijuga terjadi di Pondok Pesantren Modern Al-Madinah yang berada di Bandar Negeri LabuhanMaringgai Lampung Timur yang didirikan oleh KH. Maisani Liswan. Pondok Modern Makkah diOgan Lima, Kabupaten Way Kanan yang dipimpin oleh Muhammad Harisun. Muhammad SayyidWijaya (alumni Pondok Pesantren Darussalam Tegineneng), Wawancara, tanggal 22 Juni 2008
40
A. Tokoh Pendidikan Islam Lampung
1. KH. Muhammad Adnan RRJ.
Pada saat Provinsi Lampung masih banyak daerahnya yang terisolir karena
letak geografis dan jalur transportasi darat yang masih kurang memadai peran KH
Muhammad Adnan, RRJ cukup signifikan bagi perkembangan agama Islam dan
pendidikan pondok pesantren khususnya daerah Lampung. Dia berasal dari Kediri
Jawa Timur dan sempat menimba ilmu di berbagai pondok pesantren salafiyah di
Jawa Timur kemudian di sekitar tahun 1950-an beliau hijrah ke Lampung dan
merintis pendidikan pondok pesantren. Di daerah Raman Utara yang pada saat
sebagiannya merupakan daerah transmigrasi menjadi pilihan beliau untuk mulai
mengembangkan pendidikan pondok pesantren.
Berbekal semangat perjuangan yang kuat dan bantuan ayah kandung dia
KH. Raden Rahmat Joyo Ulomo dan adik kandungnya Ky. Muhammad Masyhuri,
RRJ, pada tahun 1961 berdirilah pondok pesantren yang diberi nama Tri Bhakti
Attaqwa.33 Penamaan ini merupakan manifestasi dari cita-cita pengamalan taat
kepada Allah SWT, taat pada Rasulullah, dan pada ulil amri/ pemerintah. Pada
awal berdiri hingga dekade berikutnya corak salafiyah menjadi pilihan utama,
mengingat keadaan sosio-kultural masyarakat pada saat itu masih mempunyai
respon yang baik.
Dari ketiga tokoh inilah, yakni KH. Raden Rahmat Joyo Ulomo, KH.
Muhammad Adnan RRJ, dan Ky. Muhammad Masyhuri RRJ, pondok pesantren
makin lama makin berkembang. Pembagian wilayah kerja masing-masing pun
juga tertata dengan baik. Khusus wilayah kepesantrenan dengan segala seluk-
beluknya dikuasakan kepada KH. Muhammad Adnan, RRJ. Sedangkan untuk
pengajian-pengajian kaum muslim secara umum di wilayah sekitar pesantren di
percayakan kepada adik kandung beliau Ky. Muhammad Masyhuri, RRJ. Di sisi
33 Pengurus Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa, Dokumentasi Pondok Pesantren TriBhakti Attaqwa Masa Awal¸ (Raman Utara, PP Tri Bhakti Attaqwa, 2006 ), h. 2
41
lain KH. Raden Rahmat Joyo Ulomo mengembangkan tareqat ke berbagai daerah
Lampung. 34
Dalam upaya hidmat al-dîn KH Muhammad Adnan, RRJ. tidak hanya
mengelola pondok pesantren saja, beliau juga aktif dalam berbagai organisasi
keagamaan. Sebut saja organisasi tareqat yang merupakan organisasi keagamaan
yang membidangi tentang dzikrullah. Beliau juga menjadi Guru Mursyid Tariqat
Qodiriyyah wa Naqsyabandiyah dan menjabat Rois Syuriah Jam’iyyah Tareqat Al-
Mu’tabaroh An-Nahdliyyah Wilayah Lampung.35 Di lain pihak beliau juga pernah
menjabat Ketua Tanfidyah Nahdlatul Ulama Cabang Lampung Tengah. Pada saat
itulah perannya tidak bisa dianggap kecil, mengingat pada saat itu jangkauan
pengaruh maupun kaum muslimin yang menimba ilmu dari ceramah-ceramah
agama dari beliau cukup jauh, tidak hanya di wilayah Provinsi Lampung, namun
beliau juga seringkali diundang untuk ceramah agama di Provinsi Sumatera
Selatan, Jambi maupun Riau.36
Dalam kancah politik figur KH Muhammad Adnan, RRJ merupakan figur
yang berupaya memegang erat panji-panji keislaman, sehingga hanya partai yang
menggunakan asas Islam yang dipilihnya sebagai sarana untuk menyalurkan
aspirasi, tercatat pada masa Orde Baru beliau menjadi salah satu Juru Kampanye
34 Ajaran tareqat yang dikembangkan oleh KH. Raden Rahmat Joyo Ulomo dan keduaputeranya merupakan tareqat yang ijazahnya diperoleh dari KH. Romli dari Banyuwangi yangmerupakan ayah kandung dari KH. Musta’in Romli, salah satu pengembang tareqat Qodiriyah WaNaqsyabandiyah di daerah Jawa Timur. Tareqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah ini termasuk alirantareqat yang diakui oleh kalangan Nahdlatul Ulama’ sehingga ia disebut sebagai tareqat yangmu’tabaroh. Gus Muhammad Muballighin Adnan, S.H.I, Wawancara, tanggal 17 Juni 2008
35 Figur kyai selain memimpin pondok pesantren juga memimpin ajaran tareqat tertentunampaknya merupakan fenomena yang cukup lazim. Sehingga peranan kyai sebagai ‘guru tariqat’ini menjadikan kyai dan pesantrennya memiliki jaringan yang sama luas dan saling menopang. Halini bisa dipahami dari para orang tua yang menjadi murid tareqat pimpinan kyai tersebut akanmemilih pesantren tersebut untuk pendidikan anak-anaknya, sehingga besarnya jumlah santrisebuah pesantren akan bergantung pada otoritas dan kharisma kyai pemimpin pesantren. Zulkifli,Sufism in Java: The Role of Pesantren in the Maintenance of Sufism in Java, (Leiden-Jakarta:INIS, 2002), h. 73. baca juga Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang PandanganHidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 135-140.
36Fuad Kamali, S.PdI (Pengurus Tareqat Lampung Tengah), Wawancara, 23 Februari2008
42
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tingkat wilayah Lampung. Dan pada era
reformasi beliau sebagai Ketua Wilayah Partai Nahdlatul Ummat (PNU) dan
sempat menduduki jabatan sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Rakyat Daerah
Lampung, bahkan beliau memimpin Komisi C yang membidangi sosial
kemasyarakatan dan Pendidikan. 37
Pada masa beliau bertugas menjadi wakil rakyat, kendati harus sering
meninggalkan pondok pesantren, namun pondok pesantren tidak mengalami
kendala yang berarti dalam pengelolaan. Dalam hal ini karena di dalam pesantren
juga masih banyak para ustadz dan kyai yang menjadi figur panutan. Saat itu pula
banyak dari para petinggi pemerintahan provinsi Lampung yang mengajak beliau
untuk mengembangkan pondok pesantren di beberapa wilayah.38 Atau ada juga
yang menawarkan tanahnya untuk digarap menjadi pondok pesantren baru.39 Akan
tetapi dari berbagai tawaran tersebut beliau tidak langsung mengiyakan, mengingat
untuk mendirikan sebuah pondok pesantren yang baru harus dipertimbangkan dari
berbagai aspek.
Dengan jangkauan beliau yang cukup luas ini pula, akhirnya pondok
pesantren Tri Bhakti Attaqwa dapat berkembang dengan pesat dengan santri yang
berasal dari berbagai daerah. Kyai yang menjadi figur sentral dalam kultur
pesantren salafiyah masih kental pada saat itu, sehingga seorang kyai dituntut
37 Team Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat I Lampung, Personalia Wakil RakyatProvinsi Lampung (Bandar Lampung: Sekretariat DPRD I Lampung, 2000), h. 37
38 Pada saat itu Ketua Wilayah Partai Persatuan Pembangunan (PPP)Dra. Sadeki Yaqubpernah menawarkan pola kemitraan dengan para ustadz pesantren ataupun santri untuk memeliharakambing dengan pembagian hasil yang lebih banyak diperuntukkan bagi santri atau ustadz. Akantetapi belum sempat terrealisir KH. Muhammad Adnan RRJ meninggal dunia. Dan bentuk kerjasama kemitraan tersebut tidak dilanjutkan sampai kepemimpinan pondok pesantren digantikan olehputranya, yaitu KH. Kholiq Amrullah Adnan. Ustadz Drs. Agus Nasrullah (asisten pribadi KH.Muhammad Adnan, RRJ sewaktu menjadi anggota DPRD Lampung), Wawancara, tanggal 19 Juni2008
39 Tawaran tersebut merupakan bentuk kepercayaan publik terhadap KH. MuhammadAdnan, RRJ. tanah tersebut berlokasi di desa Kayu Labu, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten OganKomering Ilir (OKI) Lampung Selatan. Ustadz Drs. Agus Nasrullah Wawancara, tanggal 19 Juni2008
43
untuk bisa melayani masalah-masalah keagamaan, namun juga hal-hal lain yang
bersifat sosial kemasyarakatan. Peran inilah yang nampaknya cukup berhasil
dilakukan oleh KH Muhammad Adnan, RRJ. Kedalaman ilmu agamanya yang
tidak diragukan lagi dan beliau juga dianggap mempunyai kelebihan yang tidak
banyak dimiliki oleh orang lain40. Kemampuan KH Muhammad Adnan, RRJ
dalam berorasi juga cukup menonjol, sehingga ceramah agamanya cukup disukai
oleh berbagai kalangan.
Untuk kalangan sekitar, dalam hal ini Kecamatan Raman Utara, KH
Muhammad Adnan,RRJ merupakan figur yang berjasa dalam pengembangan
agama Islam. Jumlah kelurahan di Kecamatan Raman Utara adalah sembilan, dan
dua diantaranya merupakan basis penduduk yang beragama Hindu-Bali.41
Persentuhan antara kebudayaan Hindu yang cukup kuat ini bila tidak diimbangi
dengan upaya pembentengan yang kuat terhadap masyarakat Islam pada gilirannya
akan mengaburkan nilai-nilai islami yang ada pada masyarakat Islam. Oleh sebab
itu berbagai upaya telah dilakukannya untuk memperkuat pertahanan akidah Islam
dan menjaga kultur keislaman, upaya-upaya tersebut antara lain: pembinaan majlis
ta’lim, khutbah keliling, dan pelestarian seni Islam semisal hadroh.42
Usaha lain yang tak kalah penting dikemukakan di sini adalah keberhasilan
beliau membuka daerah baru (ihya’ al-mawat) di daerah-daerah yang masih
berupa hutan belantara untuk dibuka menjadi daerah baru dan dirintis lembaga
pendidikan pesantren. Daerah tersebut antara lain: Umbul Raman dan Keramat,
Spontan yang berada di wilayah Kecamatan Bandar Mataram Kabupaten Lampung
Tengah. Gedong Aji Baru yang berada di Kecamatan Penawar Tama Kabupaten
40 Hal ini misalnya dapat ditemukan pada banyaknya tamu yang bersilaturahmi untukmemohon keberkahan doa atas terkabulnya suatu hajat maupun kepentingan-kepentingan lain. Takjarang di antara kaum muslimin banyak yang meminta air putih untuk obat dari berbagai penyakityang diderita. Ustadz Drs. Agus Nasrullah Wawancara, tanggal 19 Juni 2008
41 Dokumentasi Kecamatan Raman Utara tahun 200742 Khalimi (Ta’mir Masjid Darul Muttaqin, desa Rejokaton Kecamatan Raman Utara),
Wawancara, tanggal 15 Juni 2008
44
Tulang Bawang Lampung, daerah Sungai Somor dan Air Putih yang berada di
Kecamatan Sungai Selapan Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera
Selatan.43 Di daerah-daerah baru tersebut di samping mendirikan lembaga
pendidikan pesantren, juga diupayakan pendidikan masyarakat Islam di daerah-
daerah sekitarnya dengan media majlis ta’lim.
Dari daerah yang dibuka inilah akan menjadi daerah-daerah koloni
pesantren yang menjadi cabang pesantren Tri Bhakti Attaqwa. Untuk tenaga
pengajarnya biasanya diambilkan dari para alumni pesantren induk. Di samping
juga memanfaatkan sumber daya manusia lingkungan sekitar. Pembukaan
pesantren baru tersebut selalu mengedepankan upaya kemandirian pesantren
dengan penguatan di sektor ekonomi, di desa Umbul Raman dan Keramat,
Spontan yang berada di wilayah Kecamatan Bandar Mataram Kabupaten Lampung
Tengah sebelum dirintis lembaga pendidikan pesantren diupayakan penanaman
Karet agar nantinya dapat menopang perekonomian pesantren. Di Gedong Aji
Baru yang berada di Kecamatan Penawar Tama Kabupaten Tulang Bawang
Lampung merupakan daerah perkebunan kelapa sawit, dengan harapan hasil panen
kelapa sawit dapat menunjang ekonomi Pesantren. Dan di daerah Sungai Somor
dan Air Putih yang berada di Kecamatan Sungai Selapan Kabupaten Ogan
43 Yang menarik di daerah ini adalah keberhasilan KH. Muhammad Adnan RRJ merubahdaerah pinggiran pantai utara pulau Sumatera yang terbengkalai akibat ulah para penebang hutanliar menjadi daerah pertambakan udang windu dan ikan bandeng yang bernilai ekonomi cukuptinggi. Pada saat panen raya dalam satu kavling tambak (2 hektar) biasanya mampu menghasilkanminimal 3 kwintal udang windu. Jika harga udang windu perkilo mencapai Rp 150.000,00 makapenghasilan bruto yang didapat berkisar Rp 45.000.000,00. belum lagi kalau dikalikan denganjumlah tambak pribadi KH. Muhammad Adnan RRJ yang mencapai 10 kavling. Keberhasilan inijuga telah membukakan mata penduduk sekitar yang pada awalnya enggan mengolah daerahpesisir pantai dan mengandalkan hasil dari menebang hutan dan sebagian lagi melaut mencariikan. Sehingga pada perkembangan selanjutnya keberadaan santri-santri yang ditempatkan didaerah pertambakan tersebut tidak hanya berkecimpung di pengajian-pengajian saja, akan tetapijuga di bidang perekonomian yang mampu menunjang perekonomian pesantren Tri BhaktiAttaqwa. Ahmad Sukemi (Ketua Kelompok Santri Tambak) Wawancara, tanggal 25 Februari 2007
45
Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan merupakan lahan tambak yang
menghasilkan udang windu dan ikan bandeng. 44
Ide kemandirian bagi pesantren merupakan langkah pembaharuan yang
dilakukan KH. Muhammad Adnan, RRJ. keteguhannya untuk menghindarkan diri
dari meminta bantuan orang lain merupakan langkah kongkrit bagi perjuangannya
dalam menyebarkan ilmu agama. Sehingga langkah dan kebijakan apapun yang
ditempuh merupakan ide murni yang lahir dari sebuah keikhlasan dalam berjuang.
Bila sebelumnya seorang kyai terkesan apa adanya dalam mencukupi kebutuhan
ekonominya, maka berbeda dengan pandangan KH. Muhammad Adnan, RRJ.
dengan kemampuannya dalam mengupayakan perbaikan ekonomi inilah yang pada
gilirannya berdampak pada baiknya citra kyai dalam masyarakat karena tidak saja
mumpuni di bidang ilmu agama namun juga mapan di bidang ekonomi.
Di sisi lain kegiatannya di bidang politik dengan terjun langsung menjadi
juru kampanye dan anggota legislatif telah membuka peluang bagi masuknya ide-
ide pembaharuan bagi pola pikir santri.45 Dalam hal ini dia telah menanamkan
semangat berdemokrasi lewat jalur politik. Penanaman sikap-sikap berpolitik ini
pada kelanjutannya diharapkan santri mempunyai pola pikir bahwa setelah ia
keluar dari pesantren tanggung jawab di masyarakat tidak sekedar mengajarkan
44Muhammad Muhibbin (Pengasuh Pesantren Tri Bhakti Al-Mubarok, desa Umbul RamanKeramat, Spontan yang berada di wilayah Kecamatan Bandar Mataram Kabupaten LampungTengah), Wawancara, tanggal 12 Mei 2008
45 Karena kebijakan politik Kyai yang terjun ke dunia politik ini melahirkan politikus-politikus yang berasal dari kalangan santri Tri Bhakti Attaqwa. Terdapat sejumlah nama yangmenjadi actor di berbagai partai politik yang pada awalnya nyantri di Pondok Pesantren Tri Bhakti,nama-nama tersebut antara lain: 1) KH. Ihwanul Faruq yang menjabat Ketua Syuriah PartaiKebangkitan Bangsa (PKB) Kabupaten Lampung Tengah, 2) KH. Mahmud Rifa’i yang menjadiDPRD Lampung Timur dari Partai Nahdlatul Ummah, 3) Drs. Kamali Azhari sebagai SekretarisDewan Tanfidyah Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) tingkat Wilayah Lampung, 4) SitiSholehah sebagai Ketua Cabang Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP) Kabupaten Tulang Bawang,5) Fuad Kamali, BA sebagai Ketua Cabang Tanfidyah Partai Nahdlatul Ummah KabupatenLampung Tengah, KH. Kholiq Amrullah Adnan menjabat DPRD Lampung Timur dari PartaiKebangkitan Bangsa (PKB). Dan masih banyak lagi alumni Tri Bhakti yang berkiprah di panggungpolitik praktis di tingkat kecamatan. KH. Ihwanul Faruq (Ketua Ikatan Alumni Santri Tri BhaktiAttaqwa), Wawancara, tanggal 7 Juni 2008
46
ilmu agama saja, akan tetapi bagaimana umat Islam bisa menguasai ekonomi dan
politik.
2. KH. Ahmad Shodiq
Sebelum hijrah ke Lampung, KH. Ahmad Shodiq menuntut ilmu di Pondok
Pesantren Darussalamah yang berada di desa Sumber Sari, Pare, Kediri Jawa
Timur yang dirintis oleh KH. Imam Faqih Asy’ari, yang merupakan murid dari
KH. Hasyim Asy’ari pendiri organisasi Nahdlatul Ulama.46 Di samping itu KH.
Ahmad Shodiq juga menuntut ilmu Al-Qur’an dengan Ky. Munawir Krapyak
Yogyakarta. Sebelum berangkat ke Lampung, KH. Ahmad Shodiq juga pernah
membantu mengajar di Pondok Pesantren Darussalam yang diasuh oleh guru
beliau KH. Imam Faqih Asy’ari.
Ketika menginjakkan kaki di Lampung, pada pertengahan Mei 1964,
setelah sekitar setahun berada di Lampung beliau kembali lagi ke Jawa untuk
nyantri guna menambah wawasan keilmuan. Barulah pada tanggal 15 November
1965 beliau mengajak serta orang tuanya untuk tinggal di Lampung. Pada masa
awal mukimnya di Lampung beliau tidak langsung mendirikan pesantren.
Langkah pertama yang dilakukannya adalah berusaha menyelami keberadaan
masyarakat pada lapis bawah. Kerusakan moral yang terjadi di wilayah Brajadewa
Way Jepara Lampung Timur pada saat itu menjadi pilihan utama untuk dibenahi
oleh KH. Ahmad Shodiq. Metode adaptasi yang baik merupakan metode pilihan
yang digunakan, sehingga tak jarang KH. Ahmad Shodiq terjun langsung ke
tempat perjudian untuk berusaha mengajak ke jalan yang benar.47
46 Pesantren Tebu Ireng didirikan pada tahun 1317 H/ 1901 M. terletak di Jombang JawaTimur Lahir pada masa penjajahan rupanya mendapat tantangan yang kuat dari Belanda.Sehingga dalam pelaksanaan pendidikannya selalu mendapat tekanan, baik teror fisik maupunmental, bahkan pada suatu ketika terjadi pertumpahan darah antara pasukan Belanda dan para santriTebu Ireng. Dari pesantren inilah lahir pesantren-pesantren turunannya yang cukup mewarnaikhazanah kepesantrenan di Indonesia. Abdul Rosyad Shiddiq, KH. Hasyim Asy’ari, (Jakarta: CitaPutra Bangsa, 2007), h. 12
47 Team Redaksi Memori 2007, Risalah Kenangan, h. 40
47
Situasi geo-politik Indonesia yang pada masa itu sedang bergolak akibat
manuver-manuver yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia dengan segala
ormas-ormas yang ada di bawahnya menuntut KH. Ahmad Shodiq untuk berperan
aktif dalam menangkal serangan-serangan yang dilakukan PKI kala itu.48 Pada
saat itu beliau sempat didaulat menjadi anggota Pertahanan Sipil/ Hansip yang
bertugas menjaga pertahanan dan keamanan di lapis paling bawah. 49 Barulah
pada pertengahan Januari 1966 KH. Ahmad Shodiq menanggalkan baju hansipnya
untuk berkonsentrasi pada pembinaan agama melalui jalur pendidikan.
Sebagaimana lazimnya pondok pesantren salafiyah yang lahir dari
masyarakat tradisional, langkah pertama yang dilakukan oleh KH. Ahmad Shodiq
adalah membangun sebuah mushola untuk kegiatan sholat wajib berjamaah.
Musholla ini beliau dirikan pada tanggal 18 Juni 1966 yang pada saat itu jumlah
santri beliau baru berjumlah 7 orang. Sebagaimana halnya dengan KH.
Muhammad Adnan RRJ, pengaruh kuat yang menjadikan Pondok Pesantren
Darussalamah menjadi berkembang cepat adalah karena KH. Ahmad Shodiq juga
menjadi guru mursyid tareqat yang cukup berpengaruh.
Kombinasi antara guru mursyid di satu sisi dan guru fiqh di lain pihak
menjadikan KH. Ahmad Shodiq sebagai tokoh yang menjadi panutan. Sehingga
untuk pengembangan pondok pesantren beliau tidak harus mengadakan promosi-
misal membuat brosur, atau yang lainnya- akan tetapi cukup dengan pengaruhnya
yang kuat dan mengakar pada anggota jamaah tareqat. Tradisi rutin yang cukup
berpotensi mengembangkan dan melestarikan pengaruhnya antara lain adanya
48 Informasi tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya khusus diwilayah Lampung sulit ditemukan, mengingat pada saat itu bias dipastikan di wilayah Lampungbelum ada surat kabar lokal yang mampu merekam kejadian pada saat itu. Oleh sebab itu dalam halini cerita dari mulut ke mulut (oral history) menjadi bahan rujukan penulis. Ustadz Darori Ahmad(Putra KH. Ahmad Shodiq), Wawancara, tanggal 23 Juni 2008
49 Team Redaksi Memori 2007, Risalah Kenangan, h. 39
48
peringatan haul Syaikh Abdul Qodir al-Jailani Sang Guru Mursyid50 yang begitu
diagungkan. Pelaksanaannya biasanya dilakukan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awal di
setiap tahun. Sukses dan tidaknya acara ini, bila dilihat dari sisi jumlah jamaah
yang datang juga dipengaruhi oleh siapa muballigh yang memberikan tausiah pada
acara tersebut. Seperti yang dilaksanakan pada tahun 2008 ini, bertepatan dengan
tanggal 19 April sementara muballigh yang diundang adalah KH. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) Mantan Ketua Tanfidyah Pusat Nahdlatul Ulama. Sepanjang
pengetahuan penulis ketika berkunjung ke Pondok Pesantren Darussalamah
pelaksanaan haul ini seolah-olah merupakan acara yang begitu penting. Tidak
hanya untuk santri, namun juga untuk jamaah tareqat, sebagai ajang silaturahmi
antara jamaah yang dalam hal ini sebagai murid tareqat dan kyai sebagai guru
mursyid tareqat.51
Dalam acara haul ini pula diadakan ritual-ritual tareqat, misal istighosah,
tahlil, dan sebagai acara puncak adalah pengajian akbar. Melalui haul ini jalinan
silaturahmi antara kyai-jamaah, kyai-alumni pesantren berlangsung. Terlebih lagi
apabila alumni juga menjadi jamaah tareqat pimpinan kyainya, maka hubungan
antara kyai-santri akan tetap terjaga. Pada acara haul ini biasanya akan diadakan
pula berbagai acara yang bertujuan untuk menampilkan kreatifitas santri di
samping itu juga untuk ajang show up bagi para pengunjung yang datang ke
50 Nama lengkapnya adalah Abu Shalih Sayyidi ‘Abdul Qadir ibn Musa ibn ‘Abdullah ibnYahya az-Zahid ibn Muhammad ibn Dawud ibn Musa ibn al-Jun ibn ‘Abdullah al-Mahdhi ibn al-Hasan al-Mutsanna ibn al-Hasan ibn Ali bin Abi Thalib. Terkenal dengan nama Jailani sebenarnyaadalah ‘Abdul Qâdir al-Jîlanî yang lahir pada tahun 470 H, dan wafat pada tahun 561 H dandimakamkan di Baghdad Irak. Jîlan adalah sebuah nama daerah di Baghdad, dan menjadi suatukelaziman menyantumkan nama daerah asal di belakang nama. Banyak orang yang secara khususmengarang kitab tentang perjalanan hidupnya (biografi/ manaqib). Dan manaqib inilah yangumumnya dibaca pada perayaan haul dan acara-acara tertentu. Al-Ghuniyyah li tâlibi tariq al-Haq,‘Abdul Qâdir al-Jîlanî, Nunu Burhanuddin (pen) (Jakarta: Sahara Publiser, 2004), h. 5
51 Perayaan haul ini seolah menjadi hal yang penting bagi jamaah tariqah, karena itusudah menjadi agenda tahunan menghadiri haul tersebut setahun sekali. Ki. Dahlan Rasyid(anggota jamaah tariqah), Wawancara, tanggal 17 Juni 2008
49
pesantren mengingat rangkaian acaranya biasanya lebih dari dua hari.52 Sesuatu
yang menarik lagi biasanya pada acara tersebut terdapat pasar malam di area
pondok pesantren yang makin menambah ramai suasana.53
B. Pondok Pesantren di Lampung
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang diakui
masih tetap eksis dalam memperjuangkan pendidikan Islam. Dari berbagai
tipologi pesantren yang ada ternyata jumlah pesantren yang bercorak tradisional
masih mendominasi. Untuk kasus Lampung berkembangnya pesantren-pesantren
menuju arah kemajuan tidak dapat dilepaskan dari bentuk asalnya yang tradisional.
Perubahan biasanya dilakukan oleh pihak pondok pesantren menurut animo
masyarakat muslim yang ada. Maka lahirnya tipologi pondok pesantren yang
bercorak tradisional dan modern secara bersamaan dalam satu lembaga
pendidikan pesantren menjadi sebuah wacana baru pondok pesantren.54
52 Acara di hari pertama biasanya berkaitan dengan amalan-amalan dan dzikir tariqah.Misalnya istighâtsah, pembacaan manâqib, pada acara-acara ini umumnya hanya dihadiri olehorang yang telah masuk menjadi anggota tariqah. Dan pada hari kedua pengajian akbar yangdihadiri oleh masyarakat Islam yang tidak mesti menjadi jamaah tariqah. Sukron Makmun (SeksiHumas Pengajian Akbar Haul Syaikh Abdul Qadir al-Jailani Pondok Pesantren Darussalamah),Wawancara, tanggal, 29 Maret 2008
53 Terdapat sekitar 50 kios yang disediakan pihak panitia untuk dijadikan kios-kios pasarmalam. Berbagai barang dagangan ditawarkan di setiap kios. Pakaian ala santri/ muslim danpernik-pernik asesoris Islam biasanya yang paling banyak dijual. Selebihnya menjual kitab-kitab,makanan, dan souvenir bahkan pada pasar malam tahun ini ada yang menjual obat-obatan herbal.Secara global perputaran uang yang ada pada pasar malam tersebut mencapai 15 juta rupiah. AliImron (Penjual Teh Hitam/ Black Tea), Wawancara, tanggal 2 Juni 2008
54 Dari jumlah pesantren yang mencapai 14.656 pondok pesantren sampai saat ini, secaragaris besar memiliki tiga macam corak tipologi. Pertama, pondok pesantren yang memiliki coraktardisional/ salafiyah mencapai 9.105 pesantren. Kedua, pondok pesantren yang memiliki corakmodern mencapai 1.172 pondok pesantren. Ketiga, pondok pesantren yang merupakan perpaduanantara corak tradisional dan modern mencapai 4.379 pondok pesantren. Baca, Direktori Pesantren,(Jakarta: Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Departemen Agama RI, 2007), h. iii.Dari data ini jelas menunjukkan bahwa pondok pesantren yang telah lama eksis dan masih menjadipilihan masyarakat adalah yang bercorak tradisional. Modernitas di kalangan pesantren yangdilakukan oleh berbagai kalangan tidak serta-merta mendapat tanggapan yang antusias darikalangan muslimin. Bahkan dalam kasus tertentu terdapat resistensi terhadap modernisasipesantren. Di wilayah Lampung dari beberapa pesantren yang penulis kunjungi, Pondok Pesantren
50
Fenomena ini biasanya terjadi manakala tampuk pimpinan pondok
pesantren telah beralih dari generasi awal (dalam hal ini para pendiri pertama)
kepada generasi selanjutnya (misal anak keturunan kyai) yang telah menimba ilmu
pengetahuan di pesantren lain dan menganggap bahwa modernisasi perlu
dilakukan dengan tidak meninggalkan warisan tradisi para kyai pendahulunya.
Sebut saja pondok pesantren Darul A’mal yang berada di Kota Metro, setelah
kepemimpinan pondok pesantren berpindah ke generasi kedua, pesantren ini telah
membuka Madrasah Tsanawiyah Formal, Madrasah Aliyah Formal dan Sekolah
Menengah Kejuruan. Dan diyakini bahwa fenomena ini terjadi karena gagasan
yang timbul dari pengelola pesantren yang baru. Karena pada generasi awal
pesantren kultur salafiyah masih an figur kyai manjadi dominan. Mengingat KH.
Khusnan Mustofa Ghufron (almarhum) merupakan salah satu kyai salaf yang ada
di Lampung.55
1. Pondok Pesantren Tri Bhakti At-Taqwa
Berdiri pada tahun 1961, Tri Bhakti Attaqwa merupakan pondok pesantren
yang berhasil mempertahankan eksistensinya. Kekuatan terbesar yang mampu
membuat pesantren tetap eksis adalah figur KH. Muhammad Adnan, RRJ yang
mengasuh pondok tersebut. Dengan dinamika pesantren yang pada saat awal juga
masih sederhana, maka kultur salafiyah dalam Pondok Pesantren Tri Bhakti
Darussalamah yang berada di Brajadewa Way Jepara Lampung Timur merupakan salah satupesantren besar yang resistance terhadap modernisasi, berbagai alasan dikemukakan misalnyauntuk kalangan lapis bawah masyarakat muslim Lampung masih memilih pondok pesantrensalafiyah, karena alumni yang banyak berkiprah di masyarakat adalah alumni pesantren salaf,muatan kurikulum pondok pesantren modern biasanya kurang mengerucut pada bidang keagamaanmurni-dalam hal ini kajian fiqh yang menjadi muatan utama pondok pesantren salaf. MuhammadTohir, Wawancara Pribadi, 25 Februari 2008.
55 Ky. Umar Ansori (Pengasuh generasi kedua pondok Pesantren Darul A’mal Metro),Wawancara, tanggal 27 Februari 2008
51
Attaqwa masih kental sampai pada pertengahan tahun 1980-an.56 Cara berpikir
dan bertindak KH. Muhammad Adnan, RRJ menjadi inspirasi para santri.
KH. Muhammad Adnan, RRJ yang tekun dan rajin bekerja membuat para
santri terinspirasi untuk lebih berbuat banyak ketika tinggal di asrama pesantren.
Misalnya banyak dari para santri yang memulai belajar ketrampilan untuk
menghasilkan uang dari sejak di pesantren. Sawah garapan milik pesantren yang
cukup luas juga menjadi lahan pembelajaran tersendiri para santri di samping
belajar di madrasah. Ilmu yang luas dan lahan ekonomi yang baik membuat nama
besar KH. Muhammad Adnan, RRJ cukup baik. Hal ini pula yang memungkinkan
pesantren enggan menerima bantuan dana dari pemerintah. Di samping pada saat
itu resistensi terhadap berbagai kebijakan pemerintah cukup kuat, terutama para
kyai yang tidak mau bergabung dengan salah satu partai politik, terlebih
GOLKAR. 57
Resistensi yang kuat juga diberikan oleh pesantren-pesantren lain di
wilayah Lampung. Ada keengganan madrasah-madrasah di pesantren untuk
memasukkan pelajaran-pelajaran umum atau mengubahnya menjadi formal.58
Menambahkan pelajaran umum dalam pandangan kyai saat itu hanya akan
56 Muhammad Muballighin Adnan, S.HI, (Kepala Lembaga Pendidikan Tri BhaktiAttaqwa), Wawancara, tanggal 18 Juni 2008
57 Pada masa orde baru penolakan terhadap GOLKAR berujung pada keengganan untukspontan menerima uluran tangan dari pemerintah. Sehingga pada saat itu, kyai/ seorang ulamayang tidak mau bergabung/ tidak mau menerima pemberian fasilitas yang diberikan GOLKARakan dianggap lebih mempunyai wira’i dan pamornya akan tetap baik. Ada beberapa contoh figuryang dianggap tetap mempertahankan pendiriannya dan tidak mau bergabung ke GOLKAR antaralain: Ky. Abrori (alm) (salah satu Mantan Ketua Maarif Lampung), hal ini berbeda dengan apayang dilakukan oleh KH. Imam Subawaih (alm) yang dengan terbuka masuk ke dalam kancahpolitik menjadi salah satu Anggota Legislatif dari GOLKAR. Ky. Muhammad Masyhuri RRJ (adikkandung KH. Muhammad Adnan RRJ), Wawancara, tanggal 13 Mei 2008
58 Fenomena ini terjadi di beberapa pesantren yang kyainya enggan bergabung denganGOLKAR. Pondok Pesantren Darussalamah Lampung Timur, Pondok Pesantren Miftahul FalahRaman Utara Lampung Timur, Pondok Pesantren Darussa’adah, Pondok Pesantren BaitulMustaqim Punggur Lampung Tengah, Pondok Pesantren Al-Furqon Totokaton Lampung Tengahmerupakan pesantren-pesantren yang enggan memasukkan kurikulum umum dalam pendidikannyapada saat itu. Pondok Pesantren Miftahul Jannah Sekampung Lampung Timur. KH. Ainun Suha(Pengasuh Pesantren Miftahul Jannah), Wawancara, tanggal 25 Mei 2008
52
menambah beban belajar santri hingga berdampak pada kurangnya alokasi waktu
untuk mempelajari ilmu-ilmu agama utamanya nahwu dan fiqh- yang menjadi
kajian utama pesantren salaf. Pendirian tersebut diperparah lagi dengan parameter
berhasil dan tidaknya sebuah pesantren dapat diukur dengan frekuensinya dalam
melaksanakan hataman kitab-kitab nahwu, mulai dari kitab Jurumiyah, al-‘Imriti,
dan Alfiyah Ibn Malik yang dihafalkan.59 Oleh sebab itu apabila alokasi waktu
untuk menghafalkan berkurang, maka hal ini menjadi kendala tersendiri untuk
lebih mempelajari ilmu-ilmu agama. Dan tak jarang jenjang pendidikan di
pesantren salaf mengacu pada kitab-kitab nahwu, sehingga istilah kelas
Jurumiyah, kelas ‘Imriti menjadi istilah yang umum di pesantren salaf.
Begitu juga apa yang dilakukan oleh KH. Muhammad Adnan, RRJ
keengganan beliau untuk bergabung dengan GOLKAR dilampiaskan dengan
secara pro-aktif mendukung dan menjadi simpatisan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang merupakan partai hasil fusi dari berbagai partai Islam
sebelumnya.60 Namun karena kegiatan partai yang biasanya hanya lima tahun
sekali, hanya pada saat hendak Pemilu, maka peran KH. Muhammad Adnan, RRJ
di dalam kancah politik praktis tidak begitu menonjol dan dikalahkan dengan
keaktifan beliau di organisasi tareqat dan Nahdlatul Ulama’. Hal yang sama juga
dilakukan oleh KH. Muhammad Adnan, RRJ terhadap kebijakan pemerintah Orde
Baru saat itu, yaitu beliau menolak untuk memasukkan pelajaran-pelajaran umum
59 Bentuk dari upaya pelestarian metode hafalan ini berlanjut hingga diadakannya even-even perlombaan hafalan kitab nahwu di tingkat intra pesantren atau bahkan dengan beberapapesantren yang diadakan setahun sekali secara bergiliran di beberapa pesantren. Dan pada saatlomba ini tidak semua pesantren mengikuti mengingat di pesantren-pesantren yang sudahmemasukkan pendidikan formal metode hafalan ini sudah mulai ditinggalkan. Muhammad Muslih(Panitia Lomba Hafalan Nahwu Pondok Pesantren Darul A’mal Metro Barat tahun 2007),Wawancara, tanggal 7 Maret 2008
60 Kebijakan Orde Baru mengenai perpolitikan di Indonesia diatur dengan memperkeciljumlah partai politik dengan menggabungkan berbagai partai. Untuk partai-partai Islam sepertiPERTI, NU, PERSIS, PSII dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Partai-partai nasionalisdan kristen bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Donald Wilhelm, IndonesiaBangkit, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1981), h. 185
53
ke dalam madrasah di pesantren yang diasuhnya. Bahkan untuk melestarikan
kultur salafiyah, KH. Muhammad Adnan, RRJ mengarang berbagai kitab nazam
berbahasa Jawa dan telah dipakai sebagai kitab pelajaran wajib di berbagai
pesantren di sekitarnya. Dalam ilmu Nahwu beliau mengarang Jurumiyah Jawan,
dan bidang Tauhid beliau mengarang Tauhid Jawan.61
Sistem salafiyah murni ini berlangsung hingga dua dasawarsa dari sejak
pesantren didirikan dan pada pertengahan dasawarsa selanjutnya, yakni di tahun
ajaran 1985-198662 Pondok Pesantren mengambil kebijakan untuk mengikutkan
santrinya mengikuti Ujian Akhir dengan menggabungkan diri ke sekolah-sekolah
formal di luar pesantren. Hal ini dilakukan agar tamatan pesantren nantinya
memiliki ijazah resmi yang bisa dipergunakan untuk melanjutkan ke jenjang
selanjutnya. Keadaan ini berlangsung hingga pada saat selanjutnya Pondok
Pesantren Tri Bhakti Attaqwa secara resmi membuka sekolah formal dari tingkat
Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah.63
Perubahan tersebut di atas terjadi bukan karena terjadi dengan tanpa alasan.
Perubahan tersebut banyak dilandasi semangat kemajuan dari beberapa komponan
yang ada dalam tubuh Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa. Rutinitas KH.
Muhammad Adnan RRJ. di luar pesantren yang cukup padat sehingga program
pembelajaran di pesantren lebih banyak dilakukan oleh para kyai dan ustadz
61 Dalam penelitian penulis ke berbagai pondok pesantren selain Tri Bhakti Attaqwa,setidaknya terdapat sekitar 15 pondok pesantren yang menggunakan kitab Nahwu Jawan karanganKH. Muhammad Adnan, RRJ. Dan ini tidak hanya pondok pesantren yang kyai/ pendirinya alumnipesantren Tri Bhakti Attaqwa. Seperti Pesantren Nurul Qodiri yang berada di Bandar Sakti WayPengubuan Lampung Tengah kendati bukan alumni Tri Bhakti Attaqwa namun menggunakankitab tersebut, ternyata ketika Sang Kyai pengasuh nyantri di Pesantren Darussaa’dah kitabtersebut diajarkan di sana. Sehingga diteruskan hingga beliau mendirikan pondok pesantren. KH.Imam Suhadi (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Qodiri), Wawancara, tanggal 3 Maret 2008
62 Pada saat itu santri mengikuti Ujian Nasional dengan bergabung ke sekolah umumyang statusnya sudah diakui, sehingga pada saat itu santri untuk sementara tinggal di rumah/ kos-kosan yang dekat dengan sekolah tersebut. Muhammad Zamroni Aly (santri Tri Bhakti Attaqwatahun 1987-1997 yang saat ini menjabat sebagai Kepala Madrasah Ibtidaiyah Tri Bhakti Attaqwa),Wawancara, tanggal 18 Juni 2008
63 Muhammad Muballighin Adnan, S.HI, (Kepala Lembaga Pendidikan Tri BhaktiAttaqwa) Wawancara, tanggal 5 Maret 2008
54
lainnya. Sehingga peran KH. Muhammad Adnan RRJ di pesantren berkisar pada
Pimpinan Yayasan sedangkan tenaga operasional di bawah didominasi oleh para
ustadz.
Dengan masuknya kurikulum Departemen Agama ke Pondok Pesantren Tri
Bhakti Attaqwa menjadikan pesantren ini berada dalam posisi antara salafiyah dan
semi modern. Pada masa-masa awal kondisi ini masih meninggalkan pro-kontra
dari yang setuju kurikulum formal masuk ke pesantren dengan yang ingin
mempertahankan salafiyah murni. Berbagai alasan dikemukakan oleh yang pro
maupun yang kontra. Akan tetapi seiring berjalannya waktu pada akhirnya
pesantren tetap memberlakukan pendidikan formal. Kemudian untuk
mempertahankan corak salafiyahnya pesantren membentuk lembaga Madrasah
Diniyah yang bertanggung jawab mengelola pendidikan berjenjang ala diniyah
yang diawali dengan kelas Ula, Wustho, dan Aliyah. 64
Madarasah Diniyah yang dibentuk ini juga diupayakan secara profesional.
Ada penjenjangan kelas secara klassikal dan ditinjau dari segi usia (tidak
berdasarkan kitab Nahwu yang diajarkan), absensi siwa yang tertib, administrasi
yang baik, adanya raport dan ijazah, serta sistem pendidikan yang sudah mengacu
pada pola-pola modern akan tetapi esensi dari kurikulum tetap 100% materi agama
Islam.65 Dengan demikian Pesantren Tri Bhakti Attaqwa telah berupaya untuk
melakukan berbagai inovasi untuk memperbaiki sistem pendidikan dengan tetap
menjaga tradisi kesalafiahannya. Buah dari sitem pendidikan ini telah mampu
64 Untuk tingkat Ula dan Wustho merupakan tanggung jawab Madrasah Diniyah,sedangkan tingkat Aliyah yang di dalamnya terdapat materi-materi tingkat tinggi dan menjaditanggung jawab Ma’had Aly yang kepengurusannya langsung di bawah komando PengasuhPesantren Tri Bhakti Attaqwa. Drs. Agus Nasrulloh (Kepala Madrasah Diniyyah Tri BhaktiAttaqwa An-Nahdliyyah), Wawancara, tanggal 5 Maret 2008
65 Untuk madrasah diniyah kelas Ula materi pelajaran yang disampaikan adalah: khat/imla’, Tajwid, Tauhid, Fiqih, Nahwu, Saraf, Khulasah, Qawa’id al-I’lal, Ahlaq, sedangkan untukmadrasah diniyah Wustho materi yang disampaikan meliputi: khat/ imla’, Tajwid, Tauhid, Fiqih,Nahwu, Saraf, Khulasah, Qawa’id al-I’rab, Ahlaq, Duras al-Falakiyyah, Faraidl/ ilmu warits.Muhammad Nurul Baqy (Kepala Madrasah Diniyah Tri Bhakti Attaqwa An-Nahdliyyah),Wawancara, tanggal 17 Juni 2008
55
melahirkan pesantren-pesantren baru yang dibangun oleh para alumni Pondok
Pesantren Tri Bhakti Attaqwa. Pesantren-pesantren tersebut antara lain: 1) Pondok
Pesantren Tri Bhakti Assalam, Bumi Nabung Ilir, Rumbia, Lampung Tengah. 2)
Pondok Pesantren Tri Bhakti Al-Ikhlas, Bumi Mas, Adi Jaya Bandar Jaya
Lampung Tengah. 3) Pondok Pesantren Tri Bhakti Darun Najah, Taman Sari
Purbolinggo Lampung Timur. 4) Pondok Pesantren Al-Husna, Bumi Jawa
Sukaraja Nuban Lampung Timur. 5) Pondok Pesantren Darul Hidayah, Uman
Agung Seputih Mataram Lampung Tengah. 6) Pondok Pesantren Al-Muhajirin,
Ketibung Lampung selatan. 7) Pondok Pesantren Tri Bhakti Al-Bahari, Keramat,
Bandar Surabaya Lampung Tengah. 8) Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa II,
Lempuing Lubuk Siberuk Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan. 9) Pondok
Pesantren Hidayatul Muttaqien, Indra Giri Hilir Riau. 10) Nahdlotuttolibin,
Pekalongan Lampung Timur. 11) Hidayatul Muttaqien, Bumi Mas Batanghari
Lampung Timur. 12) Pondok Pesantren Miftahul Falah, Rukti Sedio Raman Utara
Lampung Timur.66 Dan masih banyak lagi yang jumlah santrinya di bawah seratus
orang santri. 67
2. Pondok Pesantren Darussalamah
Pondok Pesantren yang secara resmi didirikan pada tahun 1966 ini merupakan
pesantren yang secara tegas memilih metode salafiyah dalam mengembangkan
pendidikan Islam di pesantren. Nuansa salafiyah ini dapat dijumpai di semua aspek
66 Jalinan silaturahmi di antar pesantren-pesantren ini pada awal pembentukan IkatanAlumni Santri Tri Bhakti Attaqwa (IKASTA) cukup solid. Hal ini dibuktikan dengan adanyapertemuan reuni di setiap satu tahun sekali yang dilaksanakan pada minggu terakhir di BulanSyawal dengan tempat yang digilir di masing-masing pesantren tersebut. Akan tetapi seiringdengan perjalanan waktu berbagai perbedaan muncul ketika masing-masing anggota berafiliasi keberbagai partai politik pascareformasi. Berbagai kepentingan politik yang berbeda menjadikanIKASTA jalan di tempat dan tidak mampu menampung semua aspirasi warganya dan padagilirannya komponen pengurus IKASTA kurang mampu menjalankan berbagai program yangdahulu pernah berjalan dengan baik. Drs. Agus Nasrullah (Sekretaris Umum IKASTA),Wawancara, tanggal 27 Mei 2008
67 Muhammad Muballighin Adnan, S.H.I, (Kepala Lembaga Pendidikan Tri BhaktiAttaqwa) Wawancara, tanggal 5 Maret 2008
56
yang ada dalam Pondok Pesantren Darussalamah. Baik yang berkaitan dengan
kurikulum yang dipergunakan, muatan materi yang disampaikan hingga masalah-
masalah yang terkait dengan kultur santri di pondok pesantren. KH. Ahmad Shodiq
yang merupakan lulusan Pondok Pesantren Darussalamah, Kepung Pare Kediri Jawa
Timur berasumsi bahwa pola salafiyah yang diadopsi dari pesantren tersebut masih
merupakan pilihan terbaik. Sehingga tidak hanya metode, maupun kurikulum bahkan
nama pesantren pun dinamakan dengan nama yang sama yakni Darussalamah. 68
Lingkungan pedesaan Brajadewa yang cukup asri menjadikan pesantren ini
cocok untuk tetap melestarikan tradisi salafiahnya. Dukungan masyarakat sekitar yang
cukup tinggi menjadi nilai tambah tersendiri bagi Pondok Pesantren Darussalamah.69
Sebagaimana layaknya juga pesantren-pesantren salafiyah di Jawa yang pada
umumnya lahir dan berkembang di wilayah pedesaan. Metode salafiyah murni yang
dijalankan di pesantren ini diakui cukup memberi kontribusi bagi dinamika pesantren
di berbagai daerah khususnya Lampung. Di tengah kuatnya deru pembaharuan/
modernisasi di berbagai lembaga pendidikan yang pondok pesantren termasuk juga
mendapat pengaruhnya, pesantren Darussalamah tetap bersikukuh mempertahankan
kesalafiahannya.
Apa yang dilakukan seluruh komponan pesantren untuk tetap eksis di jalur
salafiyah ini ternyata menjadikan pesantren lebih mempunyai nilai tersendiri
dibandingkan dengan pesantren-pesantren lain yang awalnya salafiyah tetapi
mengubah menjadi pesantren modern. Dengan kekurangan dan kelebihannya
pesantren salafiyah bagi sebagian umat Islam tertentu merupakan pesantren yang
masih tetap ideal. Ditambah dengan kenyataan bahwa para ulama yang berkiprah di
68 Syukron Makmun (Anggota Pengurus Pondok Pesantren Darussalamah), Wawancara,tanggal 7 Maret 2008.
69 Dukungan tersebut dapat dilihat dari loyalitas penduduk sekitar terhadap pesantren.Gotong-royong yang dilakukan warga sekitar dalam membangun sarana dan prasarana pesantrenmenjadi hal yang lazim. Bentuk dukungan lainnya adalah di desa-desa sekitar Brajadewa terdapatpara tokoh agama yang bersedia dengan ikhlas meluangkan waktu untuk membantu mengajar diPesantren Darussalamah dengan tanpa upah sepeserpun. Ky. Wahib Ma’sum (salah seorang kyaidari luar pesantren yang ikut membantu mengajar di pesantren), Wawancara, tanggal 9 Mei 2008
57
pesantren-pesantren Lampung umumnya lahir dari pesantren salafiyah. Hal ini pulalah
yang meneguhkan KH. Ahmad Shodiq untuk tetap menerapkan tradisi salafiyah.
Usaha-usaha untuk tetap mempertahankan tradisi ini juga dilakukan, misalnya
mengirim putra-putrinya nyantri ke pondok pesantren salafiyah di Jawa,70 dengan
harapan pengalaman yang telah diperoleh selama di pondok pesantren di sana bisa
dikembangkan di pesantren Darussalamah.
Sebagaimana layaknya pesantren salafiyah yang lain, maka di pesantren
Darussalamah ini dapat dijumpai metode-metode pengajaran seperti bandongan,
wetonan, musyawirin, dan lalaran. Khusus mengenai lalaran ini setiap santri
dalam suatu kelas diwajibkan menghafalkan seluruh isi kitab berbahasa Arab yang
biasanya disusun secara puitisasi71 untuk mempermudah penghafalan. Tahun
pelajaranpun tidak sama waktunya dengan kalender pendidikan formal. Jika
kalender pendidikan formal biasanya dimulai pada sekitar bulan Juli, akan tetapi
tahun pelajaran di Pondok Pesantren Darussalamah dimulai pada pertengahan
bulan Syawal dan diakhiri pada bulan Sya’ban. Sedangkan untuk bulan Ramadhan
akan diisi dengan pengajian kitab kuning secara umum.
Pengajian kitab kuning yang diadakan pada bulan Ramadhan ini biasanya
diikuti oleh bukan hanya santri Pondok Pesantren Darussalamah akan tetapi juga
khalayak umum sekitar pesantren yang sengaja mengikuti pengajain di bulan Suci
tersebut.72 Selain itu pengajian tariqah yang diadakan tiap hari Selasa yang
70 Dari ketiga putera KH. Ahmad Shodiq yaitu Ky. Dardiri Ahmad, Ky. Imam Mudzakir,dan Imam Sibawaihi dipondokkan di Pondok Pesantren Darussalam Pare Kediri Jawa Timur.Imam Sibawaihi, Wawancara, tanggal 13 Juni 2008
71 Puitisasi/ nazam dalam kitab-kitab kuning biasanya bermacam-macam coraknya, yangbiasa disebut dengan bahr. Maka akan ditemui misalnya bahr basît, bahr rajaz, bahr sarî’, bahrraml, bahr khafîf, bahr madîd, bahr mutadrak, bahr tâwil, bahr mutaqârib, bahr wâfir, bahr hazj,dan bahr kamil. Prof. Dr.Khotibul Umam, Al-Muyassar fî ‘ilm al-‘Arûdl¸ (Jakarta: Hikmah SyahidIndah, 1992), h. 18
72 Pengajian rutin Bulan Ramadhan ini berlangsung ketika pembelajaran di MadrasahDiniyah sedang berada dalam masa libur panjang. Karena kalender akademik dimulai pada bulanSyawal tahun sebelumnya. Keadaan ini sudah menjadi suatu keumuman, sehingga peserta yangmengikuti program ini tidak mesti santri dari Pondok Pesantren Darussalamah. Ada juga santriDarussalamah yang mempergunakan kesempatan liburan ini untuk pulang ke rumah orang tua. Di
58
diikuti para jamaah ahli tariqah juga merupakan program yang dilaksanakan
Pondok Pesantren Darussalamah kendati hal tersebut diikuti sebagian besar dari
luar pesantren. Baik pengajian kitab kuning maupun pengajian tariqah ini
kesemuanya merupakan upaya berkesinambungan dalam rangka melestarikan
tradisi pesantren salaf.
Dipandang dari segi sarana dan prasarana pendidikan maupun asrama di
Pondok Pesantren Darussalamah masih juga menunjukkan karakteristik salafiyah.
Kendati lembaga pendidikan sudah berbentuk madrasah dan bersifat klasikal-yang
menjadi ciri lembaga pendidikan modern- namun kurikulum sistem pembelajaran,
dan pembagian tugas para guru masih bersifat tradisional. Misal saja untuk guru
kelas biasanya disebut dengan istilah mustahiq,73 mustahiq dalam hal ini dianggap
mampu mengajarkan berbagai macam mata pelajaran atau bahkan mengajar
semua materi pelajaran. Ini tentu saja berbeda dengan pola pendidikan modern
yang berupaya untuk memberikan tugas mengajar kepada orang yang memang
mempunyai keahlian di bidang tersebut. 74
sisi lain santri yang mondok di luar Lampung dan kebetulan sedang libur dan rumahnya dekatdengan Pesantren Darussalamah mengikuti pengajian ini. Untuk kegiatan ini pengurus biasanyamelakukan tertib administrasi dengan mempersyaratkan pendaftaran dengan biaya tertentu bagisiapa saja yang mengikuti pengajian ini. Dana dari uang pendaftaran ini nantinya dialokasikanuntuk seluruh biaya kegiatan pengajian tersebut. Dari buku pendaftaran pengajian Ramadhan tahun1429 H. yang lalu terdapat 576 santri putra dan putri yang mendaftarkan diri dengan perbandingan13% merupakan santri dari luar Pesantren Darussalamah dan selebihnya santri dari dalampesantren. Ustadz Tohiruddin (Sekretaris Panitia Pengajian Ramadhan 1429 H), Wawancara,tanggal 13 Juni 2008
73 Istilah mustahîq ini hanya lazim ada di pesantren-pesantren salafiyah, peran mustahîqini cukup vital karena pertanggungjawabannya tidak hanya di dalam kelas akan tetapi juga diasrama tempat para santri tinggal. Jika dalam jenjang pendidikan tersebut terdiri dari kelas 1sampai dengan 3 selama tiga tahun, maka selama 3 tahun itu pulalah mustahîq mendampingisantri-santri didiknya. Oleh sebab itu kedekatan batin antar keduanya cukup kuat, bahkan adaseorang mustahîq ketika hendak mendirikan pondok pesantren yang baru, anak didiknya dalam satukelas tersebut yang diajak untuk membantu. Pengalaman tersebut terjadi pada KH. Imam Suhadiketika mendirikan Pondok Pesantren Nurul Qodiri di Kali Palis, Bandar Agung, Way PengubuanKabupaten Lampung tengah. KH. Imam Suhadi (Pendiri/ Pengasuh Pondok Pesantren NurulQodiri, Wawancara, tanggal 3 Maret 2008
74 tingkat keberhasilan belajar tergantung beberapa komponan yang salah satu di antaranyaadalah ustadz/ guru. Tugas guru diantaranya membimbing dan mengarahkan cara belajar wargabelajar agar mencapai hasil optimal. Besar kecilnya peranan guru akan tergantung pada tingkat
59
Di samping pengenalan Mazhab Syafi’i merupakan materi dalam kajian
fiqh, pengenalan teologi ahlussunnah wal-jamaah diajarkan lewat kitab-kitab
tauhid.75 Kitab-kitab yang berbeda dengan pemahaman teologi ahlussunnah
biasanya tidak akan diajarkan.76 Sehingga santri diarahkan kepada satu mazhab
yang sudah baku. Sisi kekurangan dari metode ini antara lain pada level tertentu
santri cenderung akan hanya membenarkan teologi yang selama ini dipelajarinya
dan menolak teologi di luar yang dipelajarinya. Namun kendati demikian santri
juga diajarkan untuk bersifat tasammuh terhadap perbedaan yang ada.
Pada tahapan selanjutnya Pondok Pesantren Darussalamah telah
melahirkan pesantren-pesantren baru yang didirikan oleh para alumninya.
Pesantren-pesantren tersebut antara lain: 1) Pondok Pesantren Darussa’adah, Mojo
Agung Gunung Sugih, Lampung Tengah. 2) Pondok Pesantren Darussalam
Terbanggi Besar Lampung Tengah. 3) Pondok Pesantren Darul Furqan, Pujo Dadi
13 Polos, Trimurjo Lampung Tengah. 4) Pondok Pesantren Darul A’mal, Metro
Barat Kota Metro.
C. RESPON TERHADAP MODERNISASI PESANTREN DI LAMPUNG
Pendidikan di Indonesia secara umum –yang di dalamnya termasuk juga
pesantren -mengalami pembaharuan bermula dari diperluasnya kesempatan belajar
bagi penduduk pribumi yang terjadi pada akhir abad ke-19 M pada masa
penjajahan Hindia-Belanda.77 Meskipun pola pendidikan yang diterapkan bersifat
penguasaan materi, metodologi, dan pendekatannya. Direktorat Pendidikan Keagamaan danPondok Pesantren, Pedoman Kegiatan Belajar Mengajar Madrasah Diniyah, (Jakarta: DepartemenAgama RI, 2003), h. 4
75 Yang umum diajarkan dalam materi teologi adalah kitab ‘Aqidah Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah karya Syaikh al- ‘Alim al-‘Allamah ‘Aly Ma’sum, (Pekalongan: Maktabah ibn Mashudi,t th). Sementara untuk materi fiqh kitab-kitab Syafi’iyyah cukup mendominasi seperti Kitab FathulMu’in, Fathul Qârib. Muhammad Maksum S.HI (mantan Kepala Pondok Pesantren Tri BhaktiAttaqwa), Wawancara, tanggal 22 Juni 2008
76 Kitab-kitab yang seperti Ar-radd ‘ala al-mantiqiyyîn karya Ibn Taimiyyah, dan risalahal-tauhîd karya Muhammad ‘Abduh sangat jarang dijumpai diajarkan di pesantren-pesantrensalafiyah. Muhammad Maksum S.HI, Wawancara, tanggal 22 Juni 2008
77 Moh Tauchid, Masalah Pendidikan Rakyat, (Bogor: Dewan Partai-Partai SosialisIndonesia Bagian Pendidikan dan Penerangan, 1954), h. 7
60
diskriminatif yaitu didasarkan pada ras dan agama, dikotomis, sekularistik, dan
menciptakan mental budak karena didesain untuk menjadi pegawai pada
pemerintahan penjajah dengan upah yang murah. Klasifikasi sekolah-sekolah yang
didirikan penjajah Hindia-Belanda pada waktu itu adalah : 1) Europeeesce Legere
School, diperuntukkan bagi orang Eropa, 2) Hollandsch Chinese School,
diperuntukkan bagi orang-orang Cina dan Asia Timur, 3) Hollandsch Inlandsche
School, diperuntukkan bagi orang-orang Bumi Putera dari kalangan ningrat, 4)
Inlandsche School, khusus sekolah orang pribumi pada umumnya. 78
Di lain pihak, Pemerintah Hindia-Belanda memberikan pendidikan dengan
sistem perjenjangan. Pertama, dikenal dengan istilah Volkschoolen, artinya
Sekolah Rakyat (Sekolah Desa), dengan masa belajar 3 tahun. Jenjang ini
setingkat dengan Sekolah Dasar yang kemudian masa belajarnya ditambah 2
tahun. Sekolah tersebut dikenal dengan istilah Vervolgschool (Sekolah Lanjutan
yang diselenggarakan di Kota Distrik atau Kabupaten). Kedua, Sekolah
Menengah Pertama atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Ketiga,
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau Algemene Middelbare Schoolen (AMS).79
Selain model perjenjangan tersebut Belanda juga mengenalkan sistem sekolah
yang dalam konteks sekarang diistilahkan berbasis kompetensi, yang setara/
sederajat dengan sekolah perjenjangan menengah pertama dan atas. Seperti untuk
pegawai negeri (STOVIA), untuk pembantu dokter pribumi (NIAS), untuk
kejuruan (OSVIA) dan untuk teknik (Middle Technische School; MTS).80
Kebijakan Pemerintah Hindia – Belanda ini mendapat respon beragam dari
kalangan umat Islam Indonesia pada saat itu. Di Jawa terdapat resistensi yang
kuat, sebagai imbas dari rencana pemerintah kolonial Belanda yang berusaha
78 Moh Tauchid, Masalah Pendidikan Rakyat, h. 8-979 Moh Tauchid, Masalah Pendidikan Rakyat, h. 1180 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru,
h.87-95
61
melakukan Westernisasi atau mem-Belanda-kan peserta didik pribumi.81 Bahkan
kalangan Ulama tradisional ada yang menganggap bid’ah mengikuti apa-apa yang
dilakukan oleh penjajah yang nyata-nyata musuh umat Islam. Ini juga terlihat dari
cara para Ulama Jawa yang ketika mendirikan suatu Lembaga Pendidikan (baca:
pesantren) lebih suka memilih daerah yang masih sepi, jarang penduduknya
dengan tujuan menarik diri sejauh-jauhnya dengan pola-pola yang diterapkan
Belanda. Maka, tidaklah mengherankan apabila pada saat itu seorang Ulama
enggan memakai pakaian ala Belanda (misal celana panjang/ pantalon), makan
diusahakan tidak dengan sendok karena hal itu merupakan bentuk ekstrinsik
persetujuan terhadap penjajah. Dan dari kalangan penyelenggara pendidikan
agama di pesantren juga timbul pertanyaan mengapa Belanda tidak mempunyai
keberpihakan terhadap Islam (tidak mengakui pendidikan pesantren). Untuk itu
Belanda berdalih untuk menjaga netralitas pendidikan dari pengaruh agama
manapun. Akan tetapi pada saat yang sama pemerintah Belanda malah mendirikan
Sekolah Tinggi Kristen.82 Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran dari kalangan
ulama’ terhadap misi yang dilakukan oleh Belanda. Padahal seharusnya
pembaharuan dilakukan sebagai proses perubahan untuk memperbaiki keadaan
yang ada sebelumnya ke cara atau situasi dan kondisi yang lebih baik dan lebih
maju untuk mencapai suatu tujuan yang lebih baik pula.83
Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden
(Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan
pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun
1905 (Staatsblaad No.550) yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang
81Abdullah Syukri Zarkasyi.M.A. Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005) h. 7
82 Sumarsono Moestoko, Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke Zaman, (Jakarta: BalaiPustaka, 1986), h. 123
83Abdul Rahman Saleh, Konsepsi dan Pengantar dasar Pembaharuan Pendidikan Islam,(Jakarta: DPP GUPPI, 1993), h. 8
62
akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat.84 Peraturan
yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa saja yang
boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan
dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang
tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh
pemerintah.85
Di lain pihak ternyata kebijakan tersebut mendapat respon yang relatif
baik-untuk tidak mengatakan antusias- terhadap didirikannya sekolah-sekolah
tersebut, menurut Azyumardi Azra, justru muncul di kalangan Muslim Melayu,
khususnya Minangkabau.86 Transmisi atau corak kelembagaan pendidikan
Belanda waktu itu lebih sering diadakan di surau-surau dan meunaseh (Aceh),
kemudian ditransformasikan menjadi sekolah-sekolah negeri atau diistilahkan
sebagai madrasah yang secara yuridis-formal-negara statusnya diakui oleh
pemerintah Belanda.87
Dengan demikian terhadap kebijakan pendidikan yang dilakukan penjajah
Belanda, di kalangan umat Islam timbul tiga kelompok :
Pertama, kelompok yang mengisolasi diri dan menentang kebijakan
tersebut, sambil terus mengobarkan semangat anti penjajah dan mengusirnya lewat
84 Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999), h. 115
85 Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, h. 11686 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru,
h.9287Istilah madrasah adalah lembaga pendidikan (dalam arti luas) yang lebih dikenal di
Melayu, khususnya Aceh dan Minangkabau, seiring dengan pengaruh pemikiran modern diIndonesia pada abad ke-20. Kata madrasah di sini sama sekali berbeda penggunaannya denganistilah dalam bahasa Indonesia yang merujuk pada pendidikan dasar dan menengah. Pada masa pra-modern, madrasah (Arab)-menurut Azyumardi Azra- menunjuk pada jenis dan jenjangpendidikan tinggi yang secara luas mulai dikenal masyarakat sejak abad ke-5/ 11 M. Lihat,Departemen Agama RI, Sejarah Perkembangan Madrasah dan Azyumardi Azra, Esai-EsaiIntelektual Muslim dan Pendidikan Islam. h. 67
63
konsep Perang Suci dengan menjadikan Pondok Pesantren sebagai basisnya serta
pengajaran agama Islam sebagai dasarnya.88
Kedua, sikap yang mengimbangi kemajuan yang dicapai pemerintah
Belanda dengan cara memodernisasikan lembaga pendidikan tradisional
(pesantren khususnya) menjadi madrasah.89
Ketiga, sikap yang mengadopsi model pendidikan Belanda namun di
dalamnya masih terdapat pelajaran agama.90
Bagaimanapun penjajah Belanda telah membuka mata sebagian umat Islam
untuk memajukan lembaga pendidikannya dalam rangka mengejar
keterbelakangannya dalam segala bidang melalui pembaharuan lembaga
88 Pondok Pesantren Tebu Ireng yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari merupakanpesantren yang menolak segala bentuk yang datangnya dari Belanda. Zuharini, dkk, SejarahPendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 202
89 Di sebagian besar ulama tradisional pesantren pada masa 70-an dan 80-an cenderungmenaruh kecurigaan terhadap apa yang mereka definisikan sebagai Barat dan mereka lebihmengambil sikap apologetik. Di dunia Islam pada umumnya, paling tidak ada tiga sikap kaummuslimin ketika mereka berhadapan dengan Barat, yaitu apologetik, identifikatif, dan affirmatif.Pertama, sikap apologetik (pembelaan diri) biasanya dilakukan kaum muslimin denganmengemukakan kelebihan-kelebihan Islam, di samping untuk menjawab hegemoni politik Baratjuga tantangan intelektual Barat yang mempertanyakan beberapa aspek dari “ajaran” Islam sepertijihad, poligami, kedudukan perempuan, dan sebagainya. Respon tersebut biasanya mempunyaikecenderungan normative dan idealistic, sehingga cenderung mengabaikan realitas sosial disamping juga mencerminkan sikap ancaman, tantangan dan anti kritik dari luar. Kedua, sikapidentifikatif diambil untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi untuk merumuskanrespond an sekaligus identitas Islam di masa modern. Respon tersebut sejatinya lebih membukapeluang munculnya pemikiran-pemikiran kreatif dan pro aktif untuk memecahkan masalah yangdihadapi. Ketiga, pendekatan afirmatif dilakukan untuk menegaskan kembali kepercayaan kepadaIslam dan sekaligus menguatkan eksistensi masyarakat muslim sendiri. Lihat AzyumardiAzra,Perspektif Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Postmodernisme,(Jakarta: Paramadina, 1996), h. iii-vi
90 Sumatera Tawalib merupakan lembaga pendidikan yang berusaha melakukanpembaharuan di bidang pendidikan tanpa mempersoalkan kedudukan Belanda yang sedangmenjajah Indonesia. Zuharini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, h. 174. Di lain pihak AbdullahAhmad mendirikan lembaga pendidikan modern dengan menggunakan sistem yang dilaksanakanpenjajah Belanda. Kebijakan ini berbuntut pada kecaman dan tantangan dari para ulama’tradisionalis. Namun Abdullah tetap pada pendiriannya dan mendirikan lembaga pendidikanHollands Maleische School (HMS) atau Hollands Inlandsche School (HIS). Perbedaan HIS yangdibangun oleh Abdullah Ahmad dengan HIS yang dibangun Belanda adalah pelajaran agama danAl-Qur’an merupakan pelajaran wajib selain pengetahuan umum. Dr. H. Abudin Nata, MA,Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 160-162
64
pendidikannya. Terlebih lagi ketika gerakan pembaharuan atau modernisasi di
Timur Tengah memberikan nilai tersendiri bagi perkembangan umat Islam di
Tanah Air. Katalisator terkenal gerakan pembaharuan ini adalah Jamaluddin Al-
Afghani (1987) yang mengajarkan solidaritas Pan-Islam dan pertahanan terhadap
imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana secara ilmiah
dimodernisasikan. Gerakan ini memberikan pengaruh yang besar terhadap
kebangkitan Islam di Indonesia.91 Bermula dari pembaharuan pemikiran dan
pendidikan Islam di Minangkabau yang disusul oleh pembaharuan pendidikan
yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia.
Prakarsa awal terhadap pembaharuan ini ditandai dengan kemunculan
organisasi-organisasi Islam yang mengarah kepada pembaharuan seperti Jami’at
Khair yang didirikan pada tahun 1905, Persyarikatan Ulama (1911),
Muhammadiyah (1912), Syarikat Islam atau yang biasa disingkat SI (1912), Al-
Irsyad (1913), Persis (1923), dan Nahdlatul Ulama yang didirikan di Surabaya
oleh para ulama yang dimotori oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1926, dimana
organisasi-organisasi tersebut mendirikan lembaga pendidikan dengan corak
masing-masing.92
Beberapa corak pembaharuan pendidikan Islam juga marak berdiri di
Sumatera sebagai reaksi atas pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh
pemerintah Belanda. Di Padang Panjang, Abdullah Ahmad mendirikan Madrasah
Adabiyah (1909). Dua bersaudara, Zaenuddin Labay el-Yunusi dan Rahmah
Labay el-Yunusi, mendirikan Diniyyah Putera (1915) dan Diniyyah Puteri (1923).
Abdul Karim Amrullah di Minangkabau juga mendirikan Sumatera Thawalib
(1916). Pada tahun 1931, Mahmud Yunus mendirikan Normal Islam (Islamic
Training College) atau yang dikenal Kulliyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyah (KMI).
91Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 257-258
92 Abdullah Syukri Zarkasyi.M.A. Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren, h.8
65
Diterapkannya sistem hidup berdisiplin di asrama, dan sistem pengajaran
bahasanya metode langsung yang mewajibkan para santri-santrinya untuk
menggunakan bahasa Arab dan Inggris sebagai percakapan sehari-hari.93
Melalui pendidikan, pembaharuan atau tajdid dilakukan dengan cara
memperbaharui atau menyegarkan kembali faham-faham dan komitmen terhadap
ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman.94 Dalam masa pengaruh Islam
berkembang pola pendidikan langgar (mushola/ surau) dan pesantren dengan
tujuan memberikan pengetahuan agama dengan orientasi agar murid dapat
membaca dan menamatkan bacaan al-Qur’annya. Di sini, metode yang digunakan
masih bersifat tradisional dengan lingkungan belajar seadanya, waktu belajar tidak
dibatasi, biaya belajarpun serelanya saja, dan apabila murid telah khatam, maka
diadakan selamatan/ khataman. Setelah memasuki abad XX, di Indonesia muncul
upaya-upaya penegakan dan pembaharuan Islam secara benar. Upaya ini diiringi
dengan pembaharuan di segala aspek kehidupan termasuk pendidikan.95
Untuk kasus di Lampung, dari dua pesantren besar di atas (Tri Bhakti
Attaqwa dan Darussalamah), secara sepintas dapat dianalisa bagaimana modernisasi
direspon. Respon yang beragam tersebut adalah hal yang wajar-wajar saja mengingat
Pondok Pesantren Salafiyah pada umumnya dimiliki oleh Kyai sebagai pendiri
pesantren dan dibantu oleh para sanak keluarga dalam pengelolaannya dan ciri
utamanya adalah figur tunggal kyai menjadi dominan. Dominasi kuat dari kyai inilah
yang menentukan apakah pesantrennya akan diarahkan kepada modernisasi atau
tetap mempertahankan tradisi salafnya. Dalam hal ini masing-masing mempunyai
konsekwensi sendiri.
93 Zarkasyi.M.A. Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren, h.994 Abdul Gani dan Syamsuddin, Tajdid Dalam Pendidikan Dan Masyarakat, (Kuala
Lumpur: Persatuan Ulama Malaysia, 1989), h. 1195 Mustafa kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan
Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 87
66
Dari berbagai pesantren yang ada di Lampung dalam menyikapi modernisasi
yang sedang bergulir setidaknya terdapat tiga bagian:
1) Pondok Pesantren yang secara tegas menolak modernisasi. Ini dimotori
oleh Pondok Pesantren Darussalamah dan pesantren-pesantren yang dibangun oleh
para alumninya. Kendati jumlah santrinya belum begitu banyak, akan tetapi bila
dipandang dari lembaga pendidikan/ pesantren jumlahnya cukup signifikan. 96
Ditambah lagi dengan pesantren-pesantren kecil yang tidak secara legal-formal
berdiri namun belum diberi nama secara resmi dan ini jumlahnya lebih banyak
daripada yang sudah resmi membuat sebuah nama pondok pesantren. Dengan
demikian sulit untuk diidentifikasi apakah mereka yang mempertahankan
kesalafiyahannya tersebut memang ingin mendirikan pesantren salafiyah, atau
karena memang untuk dimodernkan mereka masih terkendala dengan berbagai
komponen, misal SDM tenaga pengajar, sarana dan prasarana, managemen, dan
lain-lain.
Alasan lain yang menimbulkan resistensi terhadap modernitas pondok
pesantren adalah karena modernitas yang ada dalam pesantren bukan berasal dari
pesantren yang dahulu pernah dijadikan sang kyai menimba ilmu. Sehingga
dianggap berasal dari orang lain dan bukan dari golongannya. Hal ini muncul
biasanya berasal dari para kyai yang cukup konservatif. 97 Bahkan dalam hal-hal
tertentu kebijakan kyai sebuah pesantren masih melibatkan kyainya ketika masih
96 Dari 14 pondok pesantren yang penulis teliti 8 pondok pesantren yang memilih salafmurni dalam pembelajarannya. Dan didominasi oleh alumni-alumni Pondok PesantrenDarussalamah Way Jepara Lampung Timur.
97 Bentuk ketaatan (sam’an wa ta’atan) yang menjadi karakteristik khusus dalampesantren salafiyah dapat pula dilihat dari metode pembelajaran di pesantren yang disamakandengan pesantren dahulu semasa kyainya belajar. Seperti pesantren-pesantren di daerah SerangBanten, terdapat pengajian yang diadakan ketika membahas suatu kitab kuning ditafsirkan denganmenggunakan bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan sebagai bentuk ketaatan dan ta’zim pada kyainyayang memang orang Jawa dan semasa mengaji dahulu penafsiran suatu kitab kuning menggunakanbahasa Jawa. Zaenal Arifin (tokoh agama/ Pengasuh Pesantren Al-Ma’rifah, Cibitung BaratKabupaten Bekasi yang pernah nyantri di daerah Serang Banten), Wawancara, tanggal 3 Desember2007.
67
di pesantren dulu. Oleh karena itu, jika pesantrennya dahulu bercorak salafiyah,
maka pesantren turunannya akan bercorak salafiyah pula.
2) Pesantren yang menerima modernisasi tetapi tidak utuh, artinya dalam
beberapa hal setuju dimodernkan akan tetapi dalam hal-hal tertentu menolak. Pada
kasus di Lampung, Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa termasuk ke dalam
bagian ini. Tingkat antusiasme dalam menerima modernisasi lebih didominasi
oleh para pengurus pesantren di level bawah sedangkan pada level atas, dalam hal
ini para pengelola yayasan dan pengasuh penerimaannya terhadap modernisasi
lebih rendah.98 Keadaan ini secara umum karena disebabkan oleh belum
tersentuhnya modernisasi ketika para pengasuh mondok dahulu, sedangkan di
tingkat bawah (para ustadz) yang juga berasal dari luar pesantren Tri Bhakti
Attaqwa, sehingga nilai-nilai modernisasi masuk.
Pertemuan antara dua kutub salafiyah dan modern inilah menghasilkan
wacana baru dengan pola salafiyah-modern. Sehingga dalam beberapa hal dapat
dijumpai sistem pendidikan modern dan pada saat yang lain dapat ditemukan
pola-pola pesantren salafiyah. Pesantren tipe ini jumlahnya lebih banyak daripada
pesantren yang murni salafiyah. Dan umumnnya perkembangannya cukup pesat
karena animo masyarakat yang menginginkan anaknya belajar di pesantren
salafiyah terpenuhi, dan di saat yang sama mendapatkan ijazah, baik dari Sekolah
98 Ciri modernisasi dalam sebuah pesantren diantaranya adalah terbukanya kesempatanmasing-masing komponen untuk menyalurkan pendapat/ ide secara bebas dengan prosedur yangberlaku. Demokratisasi dibangun atas dasar permufakatan bersama, tidak didasarkan pada otoritassepihak. Dalam hal ini keputusan-keputusan bersama yang yang dibangun atas dasar demokrasipada tataran pengurus pesantren akan menjadi tidak berlaku ketika pihak yayasan tidakmenyetujuinya. Peristiwa yang menunjukkan hal tersebut adalah ketika personalia kepengurusanpesantren mengalami regenerasi untuk periode 2005-2006, yayasan memberlakukan sentralisasikeuangan. Segala iuran yang dibebankan kepada santri masuk ke dalam satu pintu BendaharaYayasan Pendidikan Tri Bhakti Attaqwa. Bendahara Pengurus Pesantren Putra/ Putri tidak diberikewenangan untuk mengelola anggaran sendiri-sendiri. Bendahara pesantren hanya bertindaksebagai perancang anggaran untuk diajukan kepada Bendahara Yayasan. Permasalahannya tidaksetiap anggaran yang diajukan langsung diterima atau besarnya nilai uang yang diajukanditurunkan sehingga dalam pelaksanaan di lapangan perlu merubah dari rencana awal karenaberbedanya anggaran. Muhammad Samsul Hadi (Wakil Bendahara Pesantren Putra Tri BhaktiAttaqwa), Wawancara, tanggal 23 Januari 2008
68
Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas maupun dari Madrasah Tsanawiyah,
ataupun Madrasah Aliyah.
Satu hal yang menarik adalah, bahwa pesantren-pesantren yang pada
awalnya mendirikan pesantren salafiyah dan kurang berkembang dan setelah
memasukkan sistem pendidikan modern kendati tidak secara total pesantren
menjadi berkembang pesat. Keadaan ini karena tuntutan masyarakat sekarang
yang memang sudah berbeda dengan keadaan sebelumnya, oleh sebab itu
pesantren yang menginginkan perkembangannya lebih pesat akan memilih cara
ini.99
3) Pesantren yang secara utuh menerima modernisasi.100 Pesantren
dalam tipe ini pada umumnya didirikan oleh alumni pesantren modern yang telah
kembali ke daerah asalnya, baik Gontor Ponorogo, Al-Amin Madura, maupun
pondok pesantren modern lainnya. Di samping itu terdapat pula pesantren-
pesantren modern yang pendirinya merupakan alumni dari Universitas Al-Azhar
Kairo Mesir.101 Namun ada pula pesantren modern yang merupakan hasil
perubahan dari pesantren salafiyah, dan perubahan tersebut berubah secara total
99Contoh nyata dari fenomena ini adalah terjadi di Pondok Pesantren Darul Hidayah,setelah mendirikan pesantren dan bercorak salafiyah sekitar sepuluh tahun, grafikperkembangannya cukup lamban, akan tetapi setelah membuka pendidikan formal berupaMadrasah Tsanawiyah perkembangan pesantren menjadi pesat. Dari jumlah santri yang rata-rata250 santri (waktu masih salafiyah) menjadi rata-rata 375 santri setelah mempunyai pendidikanformal. KH. Ihwanul Faruq (Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hidayah, Uman Agung SeputihMataram Lampung Tengah), Wawancara, tanggal 23 Desember 2007
100Istilah modernisasi yang dimaksud dalam hal ini adalah modernisasi yang diadakan diPesantren Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur. Karena dalam beberapa kasus pesantrenyang menyebut dirinya pesantren modern adalah pesantren yang mengadopsi sistem pembelajarandi Gontor. Dalam hal ini muncul istilah pesantren modern pure Gontor yang mengadopsi seluruhtradisi dan pakem Gontor apa adanya. Di sisi lain muncul pula istilah non-pure Gontor yangmengadopsi sebagian tradisi dan pakem Gontor namun juga menggunakan kurikulum mandiri.Jajang Jahroni, “Merumuskan Modernitas: Mencetak Muslim Modern, Peta Pendidikan IslamIndonesia, h. 125
101 Untuk wilayah Metro yang hanya mempunyai 5 Kecamatan Pondok Pesantren yangdidirikan oleh alumni Al-Azhar Mesir adalah Pondok Pesantren Darussalam, 15 A Kampus, MetroTimur dan Pondok Pesantren Wahdatul Ummah yang terletak di 21 C Yosorejo, Metro Timur.Ustadz Ramadhan, LC, (Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Metro Timur, Lampung),Wawancara, tanggal 27 Juni 2008
69
mengadopsi pesantren Gontor tidak secara parsial. Fenomena yang terjadi di
Pondok Pesantren Wali Songo yang beralamat di Jl. Ridho No.03 Bandar
Keagungan Raya Abung Selatan Kotabumi Lampung Utara 34581adalah sebuah
contoh dari perubahan pesantren yang secara keseluruhan pada tahun 2001
meleburkan diri dari pesantren salafiyah ke pesantren ala Gontor. Pada awalnya
pesantren didirikan dengan sistem pendidikan salafiyah,102 namun setelah
berkisar sembilan belas tahun pesantren membuka pendidikan hanya memiliki
jumlah santri di bawah 13 orang saja. Baru setelah dimodernkan ala Gontor dalam
jangka tiga tahun jumlah santri pesantren telah mencapai 300 orang santri.103
Modernisasi lainnya yang tak kalah penting adalah managemen yang
berkaitan dengan kesejahteraan para ustadz. Kendati usia pesantren tergolong
muda, akan tetapi penyediaan sarana dan prasarana sudah cukup memadai, pihak
pesantren juga telah mampu memberikan honorarium yang tergolong tinggi
kepada para ustadz dan karyawan di sekolah bila dibandingkan dengan sekolah/
madrasah lainnya, fasilitas perumahan para ustadz juga menjadi perhatian serius
dari pengsuh pesantren, bahkan dalam setiap musim haji Pesantren Wali Songo
mampu memfasilitasi seorang ustadz untuk beribadah haji yang diatur secara
bergantian.
Karena Pondok ini pada mulanya bernuansa salafiyah (100% ilmu agama)
dan para santrinya pun sebagain besar berasal dari lapisan sosial ekonomi lemah
102Pesantren Wali Songo sebenarnya didirikan oleh alumni Pondok Pesantren PaculGowang, Kediri Jawa Timur, (KH. Drs. M. Noer Qomaruddin AS., MH. dan Ustadz Sholihin) danmerupakan figur yang kental dengan pesantren salafiyah, akan tetapi dengan pertimbangan dariberbagai hal akhirnya pesantren dimodernkan dengan mengadopsi pesantren Gontor. UstadzHi.Sholihin (Pengasuh Pesantren Modern Wali Songo), Wawancara, tanggal 27 Nopember 2007.
103Pada tahun 1982 dengan modal yang minim dibangunlah 3 lokal ruang belajar beratapseng tanpa jendela dan pintu. Bangunan ini di atas tanah seluas 3.100. m2, pemberian wakaf dariDrs. H. Ridho Dinata (seorang tokoh agama Lampura). Siswanya pun hanya 13 orang pada waktuitu yaitu 4 putri dan sisanya putra. Kelangsungan hidup Ponpes tetap berjalan meski harus tertatih-tatih. Berbarengan dengan rentetan kegagalan dalam memberdayakan ekonomi pesantren responmasyarakat terhadap ponpes ini semakin memudar sehingga pada tahun 1993 santrinya tinggal 8orang. Namun setelah modernisasi diberlakukan respon masyarakat makin lama makin membaikhingga sekarang ini. Dikutip dari pp.walisongo kotabumi.html
70
maka dari awal sampai tahun 2001, (ketika Madrasah Tsanawiyah didirikan sekitar
60-an) santri tidak dipungut biaya sepeserpun. Hal ini memang menjadi komitmen
kuat para pengasuh demi tegak dan terciptakan genersi muda yang memiliki imtaq
berkualitas. Diawali dari adanya pendidikan formal Madrasah Tsanawiyah, dan
berlanjut pada tahun 2004 didirikan lagi tingkat Madrasah Aliyah, yang kini
berjumlah 300 santri, maka secara meyakinkan perkembangan Ponpes ini
menunjukan peningkatan yang signifikan. Bahkan pada tahun 2007 dengan bekal
SK Menkes RI Nomor : Hk. 03.2. 4. 1. 03203 dan SK Mendiknas RI Nomor :
131/D/O/2007 maka didirikanlah Akademi Kebidanan An Nur Husada Walisongo
yang kini sudah beroprasi dengan 48 Mahasiswa.104
Pada perkembangan berikutnya Ponpes Walisongo adalah sebuah Lembaga
Pendidikan yang mengarah kepada menejemen modern. Dengan sarana dan
fasilitas yang dapat dibilang memadai dan representative saat ini. Itulah sebabnya
Ponpes senantiasa bermitra kepada semua pihak khususnya dalam menggali
sumber utama keuangan. Misalnya yang sudah berlangsung dengan : Peternakan
Sapi Umas Jaya (GGP Lampung Tengah), Bidang Kesehatan bermitra dengan RS
Yukum Medical Centre (YMC Bandar Jaya) dan RS. Urip Sumoharjo (Bandar
Lampung). Disamping itu PT. Djarum Super Lampung Utara, dan POLDA
Lampung merupakan bagian dari mitra kerja Ponpes Walisongo. 105
Terhadap masyarakat luas dan lingkungan sekitar, pondok pesantren yang
diasuh Ustadz dan Dosen 57 Orang ini, memiliki program pengabdian masyarakat,
antara lain yang sudah berjalan sampai angkatan ke 5 tahun ini adalah Kelompok
Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Hajar Aswad, telah membimbing 650 jamaah haji.
Kemudian Panti Sosial Walisongo berdiri tahun 2003, yang melayani 164 orang
terdiri dari santri dan ustadz.
104 pp.walisongo kotabumi.html, tanggal 7 Juni 2008105 Bentuk kerja sama antara tersebut antara lain berupa penyaluran para alumni AKBID
untuk bekerja di rumah-rumah sakit tersebut. pp.walisongo kotabumi.html
71
Dengan demikian, pesantren-pesantren di daerah Lampung dalam
menyikapi modernisasi mempunyai tingkat respon positif yang berbeda.
Perbedaan tersebut pada umumnya bergantung pada figur kyai yang menjadi
tokoh sentral dalam sebuah pondok pesantren.
72
BAB III
MODERNISASI PONDOK PESANTREN ROUDLOTUL QUR’AN
(DARI TRADISIONALISME KE MODERNISME)
A. Akar-Akar Tradisionalisme
Penelusuran mengenai akar tradisionalisme pesantren merupakan bahasan
yang harus disentuh jika ingin membahas lintasan sejarah yang pernah dilaluinya.
Pasalnya, kendati mayoritas para peneliti, seperti Zamakhsyari Dhofier, Karel
Steenbrink, Cliffort Geerts, dan yang lainnya sepakat bahwa pesantren merupakan
lembaga pendidikan tradisional asli Indonesia,1 namun mereka mempunyai
pandangan yang berbeda dalam melihat proses lahirnya pesantren tersebut.2
Perbedaan pandangan ini setidaknya dapat dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu:
Pertama, kelompok ini berpendapat bahwa pesantren merupakan hasil
kreasi sejarah anak bangsa setelah mengalami persentuhan budaya dengan budaya
pra-Islam. Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam yang memiliki kesamaan
1Dalam konteks sekarang tradisionalitas seringkali dituding sebagai salah satu kelemahan_pesantren. Persoalan ini tentunya harus dikembalikan pada proporsinya yang pas. Sebab, wataktradisional yang inherent di tubuh pesantren seringkali masih disalahpahami, dan ditempatkan bukanpada proporsinya yang tepat. Tradisionalisme yang melekat dan terbangun lama di kalanganpesantren, sejak awal minimal ditampilkan oleh dua wajah yang berbeda. Oleh karena itu, penyebutantradisional tentu harus ditujukan pada aspek yang spesifik. Tradisionalisme pesantren di satu sisimelekat pada aras keagamaan (baca: Islam). Bentuk tradisionalisme ini merupakan satu sistem ajaranyang berakar dari perkawinan konspiratif antara teologi skolastisisme As'ariyah dan Maturidiyahdengan ajaran-ajaran tasawuf (mistisisme Islam) yang telah lama mewarnai corak ke-Islam-an diIndonesia. Selaras dengan pemahaman ini, terminologi yang akarnya ditemukan dari kata 'adat(bahasa Arab) ini, merupakan praktek keagamaan lokal yang diwariskan umat Islam Indonesiagenerasi pertama. Di sini Islam berbaur dengan sistem adat dan kebiasaan lokal, sehingga melahirkanwatak ke-Islaman yang khas Indonesia. Martin van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat1997, 140).
2Pada umumnya, hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh para sarjana, baik dari dalammaupun luar negeri terpublikasikan dalam bentuk buku, diantaranya: Tradisi Pesantren: StudiTentang Pandangan Hidup Kyai (Zamakhsyari Dhofier), Pesantren, Madrasah dan Sekolah, (KarelA. Steenbrink), Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat (Martin Van Bruinessen), dan lain sebagainya..
73
dengan sistem pendidikan Hindu-Budha3. Pesantren biasanya disamakan dengan
mandala/ asrama dalam khazanah lembaga pendidikan pra-Islam. Pesantren
merupakan komunitas independen yang pada awalnya mengisolasi diri di sebuah
tempat yang jauh dari pusat perkotaan (pegunungan). Termasuk dalam kelompok ini
adalah Martin Van Bruinessen dalam Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat; dan
Nurkholis Majdid dalam Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan.4
Cak Nur pernah mengomentari bahwa pesantren adalah artefak peradaban
Indonesia yang dibangun sebagai institusi pendidikan keagamaan bercorak
tradisional, unik dan indigenous.5 Sebagai sebuah artefak peradaban, keberadaan
pesantren dipastikan memiliki keterkaitan yang kuat dengan sejarah dan budaya yang
berkembang pada awal berdirinya. Jikapun ini benar maka pesantren selaras dengan
dimulainya misi dakwah Islam di Nusantara, berarti hal itu menunjukkan keberadaan
pesantren dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang sebelumnya, tiada lain
kebudayaan Hindu-Budha, sehingga tinggal meneruskannya melalui proses
Islamisasi dengan segala bentuk penyesuaian dan perubahannya.
3Sistem pendidikan Hindu kuno, yakni siswa dan guru tinggal dalam satu ashram atau asramadalam mengikuti proses belajar-mengajar, membuahkan hasil cukup gemilang dibanding guru dansiswa tinggal di rumah masing-masing. Siswa yang tinggal dalam satu ashram bersama gurunya selainmengikuti proses belajar-mengajar juga meniru keteladanan dari kehidupan para guru, Dengandemikian para guru atau pendidik akan mengetahui kepribadian para siswanya secara mendalam,karena mereka memperhatikan gerak-gerik siswa sehari-hari.Dalam sistem pendidikan Hindu kunoditekankan ajaran etika dan agama (moralitas) disamping diberikan pengetahuan yang tinggi tentangfilsafat dan hal-hal praktis, Pada sistem pendidikan itu wanita dibenarkan mengikuti pendidikan yangmempunyai hak yang sama dengan pria. Seorang wanita dengan pendidikan yang baik dapat menjadisarjana dan guru berdasarkan pengetahuan yang dimiliki.Kondisi masyarakat terpelajar penuh dengandharma (kebaikan). Prof Dr I Made Titib (Dekan Fakultas Brahma Widya Institut Hindu DharmaNegeri (IHDN) Denpasar, Makalah Seminar Internasional bertajuk Sumber Daya Manusia DiKalangan Wanita Hindu Menghadapi Persaingan GlobalDekan Fakultas Brahma Widya Institut HinduDharma Negeri (IHDN) Denpasar Prof Dr I Made Titib di Denpasar, yang dimuat dalam Harian PelitaEdisi Senin 26 Mei 2008
4Amin Haedari & Abdullah Hanif (ed) Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitasdan Tantangan Kompleksitas Global,(Jakarta: IRD Press, 2005),h. 2
5Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan,(Jakarta:Paramadina,1997) h.10
74
Agaknya pemahaman di atas didasarkan pada anggapan adanya pola
kesinambungan antara pesantren dengan lembaga-lembaga keagamaan di Jawa pra-
Islam disebabkan adanya kesamaan antara keduanya. Misalnya, letak dan posisi
keduanya yang cenderung mengisolasi diri dari pusat keramaian, serta adanya ikatan
kebapakan antara guru dan murid sebagaimana ditunjukkan antara Kyai dan santri, di
samping kebiasaan ber-‘uzlah (menyepi) dan melakukan rihlah 6(bepergian) guna
melakukan pencarian ruhani dari suatu tempat ke tempat lainnya. Di samping itu
komunitas pesantren biasanya akan mempunyai karakteristik hidup yang cenderung
menjauhi keduniawian yang profan dan menggantinya dengan kesederhanaan hidup,
hal ini cukup terlihat dari pola pakaian mereka seperti, memakai peci hitam, sarung,
baju panjang (piyama), serta alas kaki seadanya.7 Beberapa indikator inilah yang
selanjutnya menjadi landasan pijakan untuk berkesimpulan bahwa pesantren
merupakan suatu bentuk indegeneous culture8 yang muncul bersamaan waktunya
dengan penyebaran misi dakwah Islam di kepulauan Melayu-Nusantara.
Kedua, kelompok yang berpendapat, pesantren diadopsi dari lembaga
pendidikan Islam Timur-Tengah. Kelompok ini meragukan kebenaran pendapat yang
menyatakan bahwa lembaga mandala dan asrama yang sudah ada semenjak zaman
Hindu-Budha merupakan tempat berlangsungnya praktek pengajaran tekstual
sebagaimana di pesantren. Termasuk dalam kelompok ini adalah Martin Van
Bruinessen, salah seorang sarjana Barat yang mempunyai concern terhadap sejarah
6Konsep rihlah dalam tradisi pendidikan Islam telah berlangsung sudah lama, bahkan tidak
hanya rihlah fî talab al-'ilm (travel in searching knowledge) akan tetapi dalam kajian ilmu haditsditemukan pula istilah rihlah fî talab al-hadîst. Ibn Zubair 540- 614 H /1145-1217 M. merupakanmuslim yang pernah melakukan hal ini, tradisi ini tetap berkembang sampai pada zaman Ibnu Batutahyang mengadakan pengembaraan dan mencatat berbagai peristiwa sejarah yang terjadi saat itu.Encyclopaedia of Islam (Leiden, Koninklijke Brill NV 1999), h. 337
7 Sahal Mahfudh, Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), h. 448 indigenous culture merupakan istilah yang dapat digunakan untuk menjelaskan kebangunan
sebuah kebudayaan dalam suatu kawasan tertentu di bumi ini yang merupakan kebudayaan asli danlahir dari daerah tersebut. Pengertian ini merujuk pada suatu fenomena yang tidak/ belum pernahterjadi di daerah lain. Bartholomew Dean and Jerome Levi (eds.) At the Risk of Being Heard:Indigenous Rights, Identity and Postcolonial States University of Michigan Press (2003), h. 1
75
perkembangan dan tradisi pesantren di Indonesia.9 Menurutnya pesantren yang ada
di Indonesia cenderung lebih dekat dengan salah satu model sistem pendidikan di
Al-Azhar dengan sistem pendidikan riwaq yang didirikan pada akhir abad ke-18 M.
Senada dengan Martin Van Bruinessen, Zamakhsyari Dhofier, dalam Tradisi
Pesantren; Studi Tentang Pandangan Kyai menjelaskan pesantren-pesantren,
khususnya di Jawa, merupakan kombinasi antara madrasah dengan pusat kegiatan
tarekat, dan bukannya antara Islam dengan Hindu-Budha.10 Abdurrahman Mas’ud
pernah menegaskan, sebagai lembaga pendidikan yang unik dan khas, awal
keberadaan pesantren di Indonesia, khususnya di Jawa tidak bisa dilepaskan dari
keberadaan Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419), atau dikenal sebagai spiritual
father Wali Songo.11 Keterangan-keterangan sejarah yang berkembang dari mulut
ke mulut (oral history) memberikan indikasi yang kuat bahwa pondok pesantren
tertua, baik di Jawa maupun luar Jawa, tak kan dapat dilepaskan dari inspirasi yang
diperoleh melalui ajaran yang dibawa Wali Songo.
Lebih jauh lagi, Martin juga menyangkal pendapat yang menyatakan,
pesantren ada seiring dengan keberadaan Islam di Nusantara sebagai pendapat yang
ekstrapolasi. Menurutnya, pesantren muncul bukan sejak masa awal Islamisasi, tetapi
baru sekitar abad ke-18 M dan berkembang pada abad ke-19 M. Meski menurutnya
pada abad ke-16 dan ke-17 sudah ada guru yang mengajarkan agama Islam di mesjid
dan istana yang memungkinkan pesantren berkembang dari tempat-tempat tersebut.
Hal ini menurutnya dibuktikan dengan tidak disebutkannya istilah pesantren pada
9Lihat Martin van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan,1992), h. 35
10 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta:LP3ES, 1982), h. 34
11Lihat Abdurrahman Mas’ud dalam, Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Ismail SM. Et.al.(ed) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 3-10
76
karya-karya sastra klasik Nusantara, seperti Serat Centhini,12 dan Sejarah Banten,
naskah lama yang ditulis pada abad ke-17.13
Sejarah pesantren, sudah dapat dipastikan berkaitan erat dengan sejarah
masuknya Islam di Indonesia. Mengenai hal ini, para peneliti tidak mengetahuinya
secara pasti, mengingat kurang adanya data-data dan peninggalan yang cukup kuat
untuk dijadikan bukti mengenai awal mula penyebaran Islam di Jawa. Problem
selanjutnya adalah bagaimana keterkaitannya dengan penyebaran Islam di Asia
tenggara. Naquib al-‘Attas,14 mencatat mengenai kemungkinan sudah bermukimnya
orang-orang Muslim di Kepulauan Indonesia bersumber dari laporan Cina tentang
pemukiman Arab di Sumatera Utara yang dikepalai oleh seorang Arab pada tahun
672 M. sedangkan Hazzard menyatakan bahwa orang Islam yang pertama
mengunjungi Indonesia boleh jadi adalah saudagar Arab pada abad ke-7 M. yang
singgah di Sumatera ketika mengadakan perjalanan menuju Cina.15
Berbeda dengan sejarawan di atas, Marco Polo (1254-1323) berkebangsaan
Inggris yang mengunjungi Indonesia pada tahun 1292-1297 M. menceritakan bahwa
penduduk negeri (Perlak, Basma, Samudera, dan Pasai) sebagian besar memeluk
agama Islam dan banyak juga di antara mereka yang berusaha mengembangkan
agama Islam ke daerah pegunungan di sekitar tempat tinggal mereka dengan
12Serat Centhini merupakan karya sastra Jawa kuno yang ditulis oleh sejumlah pujangga diilingkungan Keraton Surakarta yang diketuai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati AnomAmengkunagara III, putra mahkota Sunan Pakubuwana IV. Karya yang terkenal dengan sebutan SeratCenthini atau Suluk Tambangraras-Amongraga ini ditulis pada tahun 1742 dalam penanggalan Jawa,atau 1814 dalam tahun Masehi. Karya ini boleh dikatakan sebagai semacam ensiklopedi mengenaidunia dalam masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memangdengan ambisi sebagai perangkum baboning pangawikan Jawi, atau katakanlah semacam databasepengetahuan Jawa. Jumlah keseluruhan serat ini adalah 12 jilid. Aspek-aspek ngelmu yang dicakupdalam serat ini meliputi persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, kerawitan dan tari, tatacara membangun rumah, pertanian, primbon atau horoskop, soal makanan dan minuman, adat istiadat,cerita-cerita kuna mengenai tanah Jawa dan lain-lainnya. Dikutip darihttp://wisatasolo.com/sastra_jawa_centini.html, tanggal 12 Juli 2008
13 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, h. 22314 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), h. 515Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam: h. 5
77
membangun suatu tempat ibadah sekaligus mengajarkan agama yang diistilahkan
meunaseh. Sedangkan Ibnu Batutah pada tahun 1304-1377 M. dalam kunjungannya
ke Samudera dan Pasai menceritakan bahwa Raja pada saat itu adalah seorang yang
alim dan bijaksana, di dalam kota banyak terdapat tempat pengajian dan pelajar dari
seluruh Indonesia berkumpul mempelajari hukum dan pengetahuan Islam. Dalam
catatan Ibnu Batutah pula dikatakan bahwa kebanyakan mereka berasal dari Arab
yaitu kawasan Teluk Persia, dan menganut Mazhab Syafi’i.16
Pada perkembangan selanjutnya, ketika para penyebar Islam sampai ke Pulau
Jawa mereka mendapat respon yang cukup baik. Sehingga pada dekade ini
kemajuan agama Islam cukup signifikan. Keberhasilan ini tidak lepas dari
perjuangan para Wali Songo yang mampu merumuskan metode yang tepat dalam
berdakwah, mengingat pada saat itu sosio-kultural masyarakat Jawa dipengaruhi oleh
kepercayaan-kepercayaan animisme-dinamisme, hinduisme, budiisme. 17 Tokoh
yang dianggap mampu memadukan antara ajaran Islam dan tradisi Jawa adalah
Sunan Kalijaga,18 mitos-mitos yang menggambarkan konversi Sunan Kalijaga dan
pencapaian pengetahuan mistiknya mengungkapkan bahwa santri yang ideal adalah
orang yang melakukan kesalihan paripurna yang berpusat pada syari’at Islam
dengan praktek mistik. Hal ini dapat dilihat pada fenomena kepemimpinan di
pesantren (kiai dan ulama) yang dibangun atas dasar relasi sosial antara santri dan
kiai, berlandaskan kepercayaan dan mengharapkan barakah yang didasarkan pada
doktrin emanasi kaum sufi.19
16Mark R. Woodward, Islam Jawa (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 8417Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS,1994), h. 318Selain memadukan Sunan Kalijaga dianggap sebagai pencipta kesenian Jawa yang
mengandung unsur-unsur syiar agama Islam, antara lain: menciptakan baju taqwa, tembang dandanggula, seni ukir motif floral, menciptakan bedhuk, mencanangkan upacara grebek maulud, menciptakanwayang kulit sebagai media dakwah, lihat, Abu Khalid MA, Kisah Wali Songo Para PenyebarAgama Islam di Tanah Jawa, (Surabaya: Karya Ilmu, t.th), h. 84-86
19Abdurrahman Wahid, Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan, dalam ManfredOepen, dan Wolfgang K. (ed), Dinamika Pesantren, (Jakarta: P3M, 1988) h. 1
78
Maka, akar historis-kultural pesantren berbanding lurus dengan masuk dan
berkembangnya Islam di Indonesia khususnya Jawa yang bercorak mistis dan
sufistik. Dalam pergumulannya, pesantren banyak menyerap budaya masyarakat
Jawa pedesaan yang pada saat itu cenderung statis dan sinkretis. Oleh karena itulah,
di samping karena basis pesantren adalah masyarakat pinggiran yang berada di desa-
desa, pesantren sering disebut sebagai masyarakat atau Islam tradisional.20 Oleh
sebab itu pulalah pesantren merupakan lembaga pendidikan yang dianggap produk
budaya Indonesia yang indigenous. Tradisi Jawa ini berkelindang dengan corak
tasawuf yang kental dengan proses awal Islamisasi yang merupakan cikal bakal
tradisi pesantren. Dengan demikian menjadi suatu kewajaran apabila muncul
anggapan bahwa secara historis pesantren adalah hasil rekayasa umat Islam yang
mengembangkan dari sistem agama Jawa (religion of Java).21
Di pesantren-pesantren tempo dulu (salafiyah), kegiatan belajar-mengajar
berlangsung tanpa penjenjangan kelas atau kurikulum yang ketat, dan biasanya
hanya ada pemisahan tempat duduk antara santri laki-laki dengan santri perempuan.
Tidak hanya itu terdapat pula pesantren yang memisahkan santri putra dengan santri
putri pada seluruh kegiatan pembelajaran. Bahkan di pesantren-pesantren yang
benar-benar salafi, kerap ditemukan adanya sistem pemisahan waktu belajar antara
20M. Affan Hasyim, Menggagas Pesantren Masa Depan, (Yogyakarta: Qirtas, 2003), cet. I,h. 77
21Menurut Manfred Ziemek, pesantren merupakan hasil perkembangan secara pararel darilembaga pendidikan pra-Islam yang telah melembaga berabad-abad lamanya. Bahkan menurutNurcholish Madjid, pesantren mempunyai hubungan historis dengan lembaga-lembaga pra Islam.Lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu-Budhasehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada masa itu.Senada dengan Cak Nur, Denys Lombard menyatakan bahwa pesantren mempunyai hubungan denganlembaga keagamaan pra-Islam karena terdapat kesamaan di antara keduanya. Argumentasi Lombardbegini: Pertama, tempat pesantren jauh dari keramaian, seperti halnya pertapaan bagi ‘resi untukmenyepi’, santri pesantren juga memerlukan ketenangan dan keheningan untuk menyepi danbersemedi dengan tenteram. Pesantren seringkali dirintis oleh kiai yang menjauhi daerah-daerahhunian untuk menemukan tanah kosong yang masih bebas dan cocok untuk digarap. Seperti halnyarohaniawan abad ke-14 M, seorang kiai membuka hutan di perbatasan dunia yang sudah dihuni,mengislamkan para kafir daerah sekeliling, dan mengelola tempat yang baru dibabad. ManfredZiemek, Pesantren dalam Perubahan sosial, (terj) M. Butche B. Sunjono, (Jakarta: P3M, 1986), h. 2
79
santri laki-laki dengan santri perempuan, misalnya santri laki-laki masuk pagi dan
santri perempuan masuk siang ataupun sebaliknya.22
Pondok pesantren diperkirakan mengalami pertumbuhan pesat sebagai
lembaga pendidikan Islam pada abad ke-19. perkiraan ini didukung oleh dua
informasi berikut ini: Pertama, inspeksi pendidikan untuk pribumi yang dilakukan
oleh pemerintahan Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1937 menyebutkan jumlah
pesantren yang begitu besar, yaitu berkisar pada angka sampai dua puluh lima ribu
buah pondok pesantren dengan jumlah santri berkisar antara tiga ratus ribu orang
santri.23 Melihat besarnya jumlah pondok pesantren tersebut nampaknya pendataan
yang dilakukan mencakup semua tempat pembelajaran agama Islam baik itu pondok
pesantren, musholla, madrasah dan lain sebagainya. Akan tetapi terlepas dari akurasi
angka tersebut, kiranya dapat disimpulkan bahwa pada waktu itu pesantren telah
terkonsolidasi sebagai lembaga pendidikan Islam. Kedua, catatan perjalanan Snouck
Hurgronje pada abad ke-19 di beberapa wilayah Indonesia. Catatan itu
mengkonfirmasi adanya sejumlah pesantren yang tersebar di berbagai wilayah
Indonesia. Snouck Hurgronje antara lain mengunjungi Garut di Jawa Barat dan
mencatat Pondok Pesantren Caringin yang diasuh oleh KH. Muhammad Rafi’i,
Pondok Pesantren Sukaregang dipimpin Kyai Adrangi, dan Pondok Pesantren Kiara
Koneng dibawah pimpinan KH. Mu’allim. Daerah lain di Jawa Barat adalah Cianjur,
Bandung, Bogor, Cirebon, dan beberapa daerah lain di Indonesia. Catatan perjalanan
ini juga merekam pesantren di berbagai wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dalam temuannya tersebut pada kenyataannya bahwa sebagian pimpinan pesantren
22 Amin Haedari dan M. Ishom El-Saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren danMadrasah Diniyyah, (Jakarta: Diva Pustaka, 2004), h. 4
23 Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, ( Jakarta:Bulan Bintang, 1984), h. 161
80
pernah mengenyam pendidikan agama Islam di berbagai wilayah di Timur Tengah
terutama di Mekkah. 24
Mekkah dan Madinah penting dipertimbangkan dalam melihat pertumbuhan
pesantren di Indonesia. Keduanya –disamping Mesir- sebagai pusat pembelajaran
Islam merupakan jaringan Internasional Islam Indonesia (Nusantara) yang sudah
terbentuk sejak abad ke-17.25 Melalui jaringan tersebut tradisi intelektual Islam yang
berkembang di pesantren terintegrasi dengan pusat-pusat keilmuan Islam. Dalam
konteks itu, haji dan tradisi talab al-‘ilm (belajar) ke Timur Tengah merupakan dua
buah faktor yang ikut memperkuat terbentuknya jaringan intelektual tersebut.
Bertambahnya jumlah jamaah haji akibat perbaikan sistem transportasi laut dan
pembukaan terusan Suez pada 1869 menjadikan Mekah sebagai jantung dinamika
Islam di Melayu-Nusantara abad ke-19.26
Seperti disebutkan pada bagian terdahulu, para pelajar Melayu Indonesia di
kota suci itu, yang disebut sebagai komunitas Jawi, telah terlibat dan berinteraksi
dalam diskusi mengenai topik-topik yang berkenaan dengan perkembangan Islam di
Melayu-Nusantara, termasuk lembaga pendidikan. Komunitas Jawi inilah yang
kemudian menjadi aktor terkemuka dan menenentukan dalam perkembangan Islam
Melayu-Indonesia. Dalam konteks perkembangan pesantren tokoh tokoh seperti
Syekh Nawawi Al-Bantani (wafat 1897), Syekh Mahfud al-Tirmisy (wafat 1919),
Kyai Kholil Bangkalan Madura (wafat 1924), Kyai Asnawi Kudus (wafat 1959),
dan KH. Hasyim As’ari (wafat 1947)27 merupakan para arsitek pesantren Indonesia.
24 C. Snouck Hurgronje, Travel Notes in West and Central Java 1889-1991 (Leiden:University Library, t.th). Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Abad ke-20, Pergumulan antaraModernisasi dan Identitas, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007, disertasi tidak diterbitkan), h. 75
25 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVIIdan XVIII, (Bandung: Mizan, 1997), h. 37
26 Azra, Jaringan Ulama, h. 3927 Sejak dari pada zaman mereka inilah inklusifitas dalam beragama dibangun, sehingga
menjadi suatu kewaajaran jika para penerus beliau/ kalangan ulama’ Nahdliyyin lebih bersikapinklusif dari pada tokoh-tokoh di luar NU. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari tokoh-tokoh NUseperti Abdurrahman Wahid, Masdar Farid Mas’udi, Said Aqil Siradj, dan lain sebagainya. Meskipun
81
Melalui komunitas Jawi tersebut tradisi pembelajaran Islam di pesantren, dan Islam
di Melayu Indonesia secara umum, semakin terintegrasi ke dalam arus utama
perkembangtan Islam yang berbasis di Timur Tengah. Salah satu indikator
pentingnya adalah semakin besarnya jumlah dan beragamnya kitab-kitab yang
dipergunakan di pesantren di Indonesia, yang juga dipakai di berbagai lembaga
pendidikan Islam di dunia muslim, khususnya mereka yang berafiliasi dengan
mazhab Syafi’i.28
Di antara elemen-elemen sebuah pondok pesantren, asrama (funduq), masjid,
pengajaran kitab-kitab klasikal, santri, dan kyai, sebagaimana yang dipaparkan
Zamakhsyari Dhofier29 kyai merupakan elemen terpenting. Kyai bukan hanya
pendiri pesantren, tetapi juga perumus materi-materi pembelajaran di dalamnya.
Keahlian kyai dalam berbagai bidang keilmuan Islam tertentu, seperti hadits, bahasa
Arab, dan tafsir pada umumnya menjadi ciri khas dari sebuah pondok pesantren.
Lebih dari itu otoritas kyai tidak hanya dirasakan di dalam pesantren, tetapi juga di
luar pesantren dan lingkungan masyarakat luas. Kyai tidak hanya pemimpin
pesantren, tetapi juga guru dalam ilmu-ilmu keislaman dan tidak jarang juga
merupakan guru tarekat. Peranan kyai sebagai guru tarekat ini menjadikan kyai dan
pesantrennya memiliki jaringan yang sama luasnya dengan jaringan penyebaran
tarekat tertentu. Besarnya jumlah santri biasanya juga bergantung kepada otoritas
dan kebesaran nama serta kharisma kyai sebagai pimpinan pondok pesantren
tersebut.
Melihat peran-peran kyai pesantren, jelas bahwa pesantren merupakan
fenomena pendidikan yang berbasis kepada kebudayaan pedesaan. Budaya pedesaan
ini yang memberikan ciri khas hubungan antara kyai-santri. Kyai masih dipandang
dalam kenyataannya mereka mengusung Islam tradisionalis. Floriberta Aning. S. 100 Tokoh YangMengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam SejarahIndonesia di Abad 20, (Yogyakarta: Narasi, 2007), h. 81
28 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, h. 15429 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi pesantren, h. 44
82
sebagai figur yang penuh kharisma, hubungan guru-murid didasarkan atas ketaatan,
dan kyai senantiasa dijadikan referensi tunggal dalam melihat dan memecahkan
masalah. Apabila dilihat secara demografis, kebanyakan pesantren di Indonesia
memang berlokasi di wilayah pedesaan. 30
Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis agama (religion-based
educational institution), pada mulanya pesantren merupakan pusat penggemblengan
santri untuk mendalami ajaran dan penyiaran agama Islam. Namun dalam
perkembangannya, lembaga pendidikan ini semakin memperlebar wilayah
garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan
pemberian materi disiplin keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran
sosial).31 Karena keduanya merupakan potensi yang dapat dikembangkan oleh
pesantren. Pesantren yang dapat mengembangkan kedua potensi tersebut, yaitu
potensi pendidikan dan potensi kemasyarakatan, bisa diharapkan melahirkan ulama
yang tidak saja luas wawasan pengetahuan dan cakrawala pemikirannya, dalam ilmu
pengetahuan keagamaan, tetapi juga mampu memenuhi tuntutan zamannya dalam
rangka pemecahan persoalan umat.32 Maka tidaklah mengherankan apabila pada
suatu pondok pesantren tertentu figur kyai menjadi cukup vital, tidak hanya sebagai
tempat mencari pencerahan rohani berupa ilmu-ilmu agama, namun juga berbagai
persoalan kemasyarakatan figurnya menjadi acuan. Ini dibuktikan dengan
banyaknya figur kyai yang menjadi anggota legislatif baik di tingkat daerah (DPRD
30 Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Abad ke-20, Pergumulan antara Modernisasidan Identitas, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007, disertasi tidak diterbitkan), h. 127
31 Dalam konteks keberagamaan, Islam tentunya tidak hanya mengajarkan bagaimanaberibadah menyembah Allah akan tetapi perlunya menjaga harmoni dengan sesamanya merupakanajaran Islam yang meniscayakan pengamalan. Dalam level ibadah inilah, terbagi kepada ibadah yangmahdlah (terdapat aturan-aturan dari al-Qur’an maupun Hadits, seperti sholat, zakat haji, puasa dsb)dan ghairu mahdlah (yang berkaitan dengan mu’amalat sesama manusia), Ulil Absar Abdalla, “IslamSosial” artikel, (http.Islam Liberal), tanggal 13 Mei 2008
32 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKiS , 2003), h. 351
83
tingkat I dan II) maupun pusat. Hal ini menjadi indikasi bahwa keberadaan figur kyai
mampu berkiprah tidak hanya dalam bidang pendidikan.
Oleh sebab itu pesantren, kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang
berbasis keagamaan (religion-based curriculum) dan cenderung idealistis, fiqih
oriented, tetapi sudah mulai menerapkan kurikulum yang menyentuh persoalan
kekinian masyarakat (society-based curriculum). Di samping itu, munculnya
diversifikasi literatur di pesantren semakin memperluas wawasan santri-santri yang
ada di pesantren. Hal ini menandai era baru pesantren yang mulai terbuka. Dengan
demikian pesantren tidak bisa lagi dituding semata-mata sebagai lembaga
keagamaan murni yang menutup mata terhadap realitas sosial, bahkan lebih dari itu
ia telah memposisikan diri sebagai lembaga sosial yang hidup dan terus-menerus
merespons segala persoalan masyarakat di sekelilingnya.33
Pergeseran orientasi semacam ini tidak harus disikapi dengan anggapan
akan memudarkan aura ataupun identitas pesantren dengan segala keunikannya,
melainkan justru semakin mempertegas bahwa pesantren sejak berdirinya merupakan
lembaga pendidikan yang lahir dan tumbuh besar di dalam dan dari masyarakat yang
berorientasi pada masyarakat dan dikembangkan atas dasar swadaya masyarakat.
Dalam perkembangannya pesantren memang sudah seharusnya melakukan
reintegrasi kehidupan dalam pesantren dengan realitas di luarnya yang dalam masa-
masa sebelumnya dua ranah ini cukup mempunyai jarak, untuk tidak mengatakan
berseberangan.
33Ada satu hal yang menarik dari kehidupan santri, kemampuannya dalam mewarnai suatukebudayaan di masyarakat umumnya setelah para santri ini keluar pesantren. Keberadaanya dipesantren terkadang malah kurang merefleksikan keberadaannya setelah keluar pesantren. Dalamkasus seperti ini kerap terjadi santri yang semasa belajar di pesantren tidak menonjol keilmuannya/kurang terlihat pandai, akan tetapi setelah pulang dan membaur di masyarakat ternyata mampuberkiprah menyebarluaskan agamanya. Hal inilah yang dipercayai sebagai barakah dari guru/ kyai /irsyâdu ustadz turut menentukan, sebagaimana tertuang dalam kitab ta’lîm al-muta’allim. SyaikhBurhânuddîn az-Zarnŭdjî, ta’lîm al-muta’allim, (Semarang: Toha Putera, t.th), h. 5
84
Sementara tradisionalisme dalam dunia pesantren merupakan fenomena
awal dari eksistensi pesantren itu sendiri, mengingat pesantren pada tahap-tahap awal
merupakan proses tahapan dari pendidikan Islam tradisional.34 Sebagai sebuah
contoh kasus adalah pendirian Pondok Pesantren Nahdlotut Tholibin di Desa
Gondang Rejo, Pekalongan Lampung Timur. Pada awalnya pesantren ini merupakan
pengajian di kediaman Ustadz Purnomo Sidik yang terdiri dari seorang guru ngaji
dan tujuh orang murid dengan pola pembelajaran yang sederhana. Seiring dengan
perkembangan waktu jumlah santri makin banyak dan akhirnya masyarakat sekitar
mendukung untuk didirikan sebuah institusi pondok pesantren. Faktor yang
menunjang lahirnya pesantren tersebut juga tak lepas dari dakwah yang dilakukan
oleh Kyai Purnomo melalui kegiatan-kegiatan tariqah bersama jamaah muslimin di
lingkungan pesantren.35
Gambaran di atas nampaknya terjadi hampir di setiap pesantren yang berciri
salafiyah/ tradisional. Untuk kasus yang sama terjadi juga di Pesantren Tri Bhakti
Attaqwa, Raman Utara Lampung Timur, Pondok Pesantren Darul Hidayah, Uman
Agung Seputih Mataram Lampung Tengah. Pondok Pesantren Tahfidhul Qur’an
Matla’ul Huda, Ambarawa Pring Sewu, Kabupaten Tanggamus. Dan pesantren-
pesantren lainnya di wilayah Lampung.
Selain fenomena tradisional di atas muncul pula suatu institusi pesantren
yang lahir dari keinginan seorang kyai pengasuh pesantren yang cukup kharismatik
untuk melebarkan sayapnya membangun pesantren baru. Pesantren baru ini akan
34 Unsur-unsur tradisionalitas ini dapat dilihat dari sarana/ prasarana yang dipergunakandalam mendidik santri di pesantren tersebut. Pada masa awal misalnya ketika Syeikh Maulana MalikIbrahim mendirikan pesantren, maka hanya tersedia bangunan masjid untuk mengajarkan berbagaiilmu agama, demikian juga ketika Sunan Ampel (Raden Rahmat) mendirikan pesantren, jumlahsantrinya hanya tiga orang saja yaitu: Wiryo Suroyo, Abu Hurairah, dan Kyai Bangkuning.Kesederhanaan ini berlangsung hingga masa sekarang, yaitu kelahiran pesantren pada umumnyadiawali dari sebuah pengajian kecil di sebuah desa yang kemudian berkembang menjadi sebuahinstitusi pesantren. Drs. Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: DharmaBhakti, 1983), h. 25
35 Kyai Purnomo Sidik, Wawancara, tanggal 10 Juni 2008
85
mengadopsi secara total pesantren awal yang menjadi induknya dan akan terjadi
jalinan silaturahmi yang baik antara pesantren induk dengan pesantren yang baru.
Sehingga pada gilirannya pesantren baru tersebut akan cepat tumbuh besar dan
terkenal karena kharisma dari kyai pertama yang cukup kuat sehingga pesantren
tersebut bisa tetap eksis.36 Metode semacam ini biasanya dilakukan dengan cara
mengikutsertakan para santri yang sudah mempunyai keilmuan agama Islam yang
cukup dan pengalaman bermasyarakat yang baik untuk disiapkan menjadi para
ustadz di pesantren baru tersebut. 37
Untuk tipe pesantren di atas dapat dilihat di Pondok Pesantren Hidayatut
Tullab di Way Jepara Lampung Timur, pesantren ini merupakan pesantren yang
dibangun dari lahan yang awalnya tanah kosong dan berada di kawasan yang rawan
perampokan. Berkat kharisma dari KH. Muhtar Sya’roni yang mengasuh Pondok
Pesantren Miftahul Falah, Sumber Sari, Teluk Dalem Mataram Baru Lampung
Timur pesantren yang dibangun di lahan tersebut perlahan-lahan menjadi besar.
Dalam hal ini kuatnya pengaruh KH. Sya’roni menjadi salah satu faktor penting yang
membuat Pondok Pesantren Hidayatut Tullab diterima di masyarakat sekitar
pesantren baru tersebut. 38
36 Contoh nyata dari hal tersebut adalah pendirian Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa Al-Bahari yang terletak di desa Keramat Kelurahan Sidang Kecamatan Bandar Surabaya KabupatenLampung Tengah. Pada awalnya di desa ini terdapat hutan “kayu gelam” yang berada di sekitar muarasungai Way Seputih yang berdekatan langsung dengan pantai Timur pulau Sumatera, kemudiandiubah menjadi areal pertanian dan yang lebih dekat ke sungai dijadikan areal pertambakan ikan airtawar. Pertimbangan lahan yang mempunyai potensi ekonomi menjanjikan, beberapa alumni PondokPesantren Tri Bhakti Attaqwa Raman Utara Lampung Timur akhirnya ikut pula membuka lahan danada yang menetap di sana dan ada pula yang hanya menjadikannya umbulan (tinggal sementara disekitar lahan ketika musim tanam saja). Akhirnya di kawasan tersebut didirikan Pondok Pesantren TriBhakti Attaqwa Al-Bahari pada tanggal 17 Januari 1995. Ky. Sholihin, Wawancara, tanggal 17Februari 2008
37 Muhammad Fahimul Huda (Ketua Dewan Asatidz Pondok Pesantren Hidayatut Tullab,Lampung Timur), Wawancara, tanggal 7 April 2008
38 Sebenarnya pesantren tersebut merupakan upaya kerjasama dengan KH. Muntaha yangberasal dari Banyuwangi Jawa Timur. Karena beliau juga masih mempunyai ikatan persaudaraan yangdekat dengan KH. Muhtar Sya’roni, maka pesantren ini seolah-olah menjadi pesantren yang dikeloladengan kolektif, akan tetapi struktur kepengurusan dan pembagian job kerja masing-masing sudah
86
Hal yang sama terjadi pula di Pondok Pesantren Nurul Qodiri yang berada di
desa Simpang Bandar Sakti, Kali Palis Lempuyang Bandar Kecamatan Way
Pengubuan Kabupaten Lampung Tengah. Pesantren ini didirikan dengan bekal
memboyong santri kelas III Aliyah dari Pondok Pesantren Darus Sa’adah Gunung
Sugih Kabupaten Lampung Tengah untuk bersama-sama mendirikan pondok
pesantren baru di lahan yang pada awalnya kawasan untuk menanam singkong.
Meski umur pesantren tersebut baru tiga tahun, namun perkembangannya cukup baik
sehingga pada peringatan ulang tahun pesantren yang ketiga jumlah santri sudah
mencapai 200 orang santri mukim dan sekitar seratus santri kalong (hanya mengaji
di pondok, namun tidurnya di rumah masing-masing).39 Angka ini tentu saja cukup
fantastis mengingat lokasi pesantren yang berada di pedesaan yang tidak terlalu
padat penduduknya dan berdekatan dengan kawasan perkebunan nanas milik PT.
Great Giant Pineapple Company.40
Di sisi lain Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an merupakan prototype dari
pesantren yang berasal dari figur KH. Ali Qomaruddin, SQ, al-Hafiz yang pada
awalnya membentuk pengajian Al-Qur’an di rumah beliau. Dengan berkembangnya
waktu jumlah santri yang tertarik untuk mengikuti pengajian semakin banyak,
sehingga pada perkembangan selanjutnya didirikanlah secara resmi Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an hingga berkembang sampai saat ini.
jelas. Upaya ini nampaknya mirip dengan awal mula kebangunan pesantren-pesantren modern yangbiasanya dibangun secara kolektif dan masih mempunyai ikatan saudara. Ustadz Fahimul Huda(Ketua Pondok Pesantren Hidayatut Tullab), Wawancara, tanggal 12 Nopember 2007
39 Seksi Dokumentasi Panitia Ulang Tahun ketiga Pondok Pesantren Nurul Qodiri, (WayPengubuan: PPNQ, 2008). h. 3
40 Di kawasan tersebut terdapat beberapa perusahaan perkebunan swasta misal PT. UmasJaya Farm (nanas, kelapa sawit, bambu, dan mengkudu), PT. Gunung Madu (tebu), PT. Gula PutihMataram (tebu), Sweet Indo Lampung (tebu), dan Indo Lampung Perkasa (tebu). Sehingga di kawasanperusahaan-perusahaan tersebut banyak terdapat housing/ bedeng tempat bermukimnya parakaryawan tetap maupun harian/ temporal bersama sanak keluarganya. Dari sinilah akhirnya beberapadari karyawan tersebut memilih Pondok Pesantren Nurul Qodiri untuk memondookan anak-anaknya.Ustadz Saiful Anwar (Ketua Madrasah Diniyah Pondok Pesantren Nurul Qodiri, Wawancara tanggal13 Mei 2008
87
B. Sejarah Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
Pondok pesantren Roudlotul Qur’an merupakan lembaga pendidikan Islam
yang pada awal mulanya didirikan oleh Drs. KH. Ali Komaruddin, SQ. al-Hafidh
yang secara resmi dibuka pada tanggal 27 Juli 2001.41 Motivasi utama didirikannya
pondok pesantren ini adalah sebagai respon atas kian langkanya ulama yang
menguasai disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulǔm al-Qur’an) baik yang berkaitan
langsung dengan tahfîz al-Qur’an maupun keilmuan al-Qur’an yang lain.42
Mengingat penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, maka seharusnya ada
sebagian muslim yang menjaga dan men-tadabburi Al-Qur’an sebagai pedoman
hidup umat Islam di dunia ini. Karena sesungguhnya al-Qur’an itu sebagai
petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.43
Momentum awal yang mengagumkan adalah di tahun pertama pendiriannya
pondok pesantren telah berhasil mewisuda empat orang hâfiz disusul dengan
diwisudanya tujuh orang hâfiz pada acara wisuda kedua.44
Sebelum didirikan Lembaga Pendidikan Roudlotul Qur’an ini sebenarnya di
desa tersebut telah ada lembaga pendidikan yang lain yakni Pondok Pesantren Darul
A’mal. Bahkan Pendiri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dahulunya merupakan
41 Dokumentasi Yayasan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, h. 342 Dari pendataan yang dilakukan pihak Kolonial Belanda dalam laporan statistik tahun 1885
tersebut dapat ditemukan bahwa bentuk dan tingkatan dalam sistem pendidikan Islam tradisional diJawa, ternyata 4/5 dari jumlah lembaga tersebut adalah lembaga pengajian yang mengajarkanpembacaan al-Qur'an, dasar-dasar bahasa Arab, kitab-kitab pengetahuan agama tingkat dasar sampaitinggi yang tergolong sebagai pesantren hal tersebut merupakan kesimpulan yang diberikan olehLWC van Den Berg. Hanun Asrahah, Pesantren di Jawa: Asal-usul, Perkembangan, danPelembagaan (Jakarta: Departemen Agama RI-INCIS, 2002), h. 7
43 QS. Al-Baqarah: 244
Pada awal pendiriannya, pondok pesantren hanya mengelola pendidikan yang masihsederhana baik perangkat kasarnya (hardware) maupun perangkat lunaknya (software). Programtahfîz al-Qur’an merupakan program inti yang wajib diikuti oleh seluruh santri, diantaranya dimulaidengan khatam al-Qur’an dengan lancar, fasih, dan sesuai dengan hukum tajwîd bi nazar (membacaal-Qur’an)44 kegiatan pembelajaran semuanya belum menggunakan sistem klasikal, semua linipendidikan hanya menggunakan sistem sorogan dan kyai merupakan figur sentral terhadap apapunyang berkenaan dengan pembelajaran dan keadaan lingkungan asrama/ pondok. KH. AliKomaruddin, Wawancara tanggal 23 Agustus 2006
88
tenaga pengajar/ ustadz di Pondok Darul A’mal. Sedangkan Pondok Pesantren Darul
A’mal sendiri corak pendidikan yang dilakukan bersifat semi formal artinya
mengadakan pendidikan tradisional dan juga formal yang menginduk ke Departemen
Agama, yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA).45
Berbeda dengan awal pendirian Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an yang
memilih konsentrasi terhadap al-Qur’an dan segala keilmuan yang mempunyai
keterkaitan dengannya. Dalam hal ini Pondok Pesantren lebih mengedepankan
pendidikan seni baca al-Qur’an (Tilâwah al-Qur’an), hafalan al-Qur’an (tahfîz al
Qur’an). Ini dilandasi karena pendirinya (Drs. KH. Ali Qomaruddin) merupakan
alumni Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta dan semasa beliau menjadi
Mahasiswa pernah menjadi duta Negara Indonesia pada perlombaan Tilâwah al-
Qur’an Tingkat Internasional di Mesir.
Pada perkembangan selanjutnya, santri yang menginginkan spesialisasi
mempelajari ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulǔm al-Qur’an) semakin bertambah, meskipun
perkembangan jumlah santrinya relatif lamban,46 hal ini disebabkan umumnya yang
mondok hanya yang ingin menghafalkan al-Qur’an dan mempelajari seni baca al-
Qur’an. Dan dipersempit lagi umumnya mereka yang aktif pada perlombaan
Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ)47 belum mengacu secara umum ke halayak
45 Dokumentasi Lembaga Pendidikan di Kecamatan Metro Barat, Arsip Kecamatan MetroBarat.
46 Dari tahun pertama pendirian (2001) sampai hingga tahun 2004 jumlah santri hanyaberkisar 17 orang santri mukim. Karena program belajar yang masih sederhana, maka tak jarang darijumlah tersebut santri tidak selalu aktif berada di asrama. Ahmad Sonhaji, (Santri Tahfîzul Qur an),Wawancara. tanggal 12 Maret 2008
47Musabaqoh Tilawatil Qur'an (MTQ) merupakan agenda kegiatan yang dilaksanakan olehLembaga Pengembangan Tilawatil Qur'an (LPTQ) yang berada di bawah naungan DepartemenAgama RI. Kegiatan ini bertujuan mengembangkan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup umat Islam. Disamping itu juga sebagai ajang untuk menyeleksi para qâri'/ qâri'ah, hâfiz/ah untukj dikirim padaeven-even internasional. Seperti pada pada 23 Oktober 2007 Provinsi Jawa Timur akan mengirimkanpesertanya untuk mengikuti Musabaqoh Tilawatil Qur'an (MTQ) Tingkat Internasional yangberlangsung di Saudi Arabia. Surabaya (ANTARA News, tanggal 11 Agustus 2007) LembagaPengembangan Tilawatil Qur'an ini secara resmi dibentuk pada tahun 1977 dan selama ini kiprahnyadalam memajukan umat Islam di bidang tulis-baca Al-Qur'an sudah cukup signifikan.bahkan dewasa
89
ramai. Keadaan demikian berdampak pada kurang adanya optimalisasi peran
pesantren bagi umat Islam, mengingat kajian yang dibutuhkan umat Islam saat ini
tidak hanya berkutat pada hal-hal tersebut. Peran optimal pesantren yang mempunyai
spesialisasi dengan Al-Qur’an manakala Al-Qur’an yang turun dari langit tersebut
mampu diaplikasikan dalam kehidupan. Tidak hanya terlepas pada upaya
menjadikan Al-Qur’an sebagai barang yang sakral, namun kering dari makna yang
mampu mengilfitrasi jiwa umat Islam.48 Al-Qur’an yang turun dari langit harus
diupayakan menjadi spirit dalam peri hidup umat manusia, untuk itu perlu usaha
nyata agar dapat diterjemahkan tidak hanya dalam tataran linguistik akan tetapi
haruslah diejawantahkan dalam setiap sisi kehidupan, meminjam istilah Quraisy
Shihab49 untuk dapat mengamalkan al-Qur’an maka harus dibumikan.
Jika demikian halnya, maka langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh
pihak pesantren Roudlotul Qur’an adalah membuat suatu sistem pembelajaran yang
diharapkan bisa menjadi jembatan antara Al-Qur’an di satu sisi dan pengamalan
kaum muslimin di lain sisi. Rumusan tersebut haruslah dapat pula memuat ilmu-ilmu
penunjang lain yang berasal dari Hadits Nabi Muhammad SAW. maupun yang
bersifat umum demi terciptanya keilmuan santri yang paripurna. Hal ini
dimaksudkan agar tidak terjadi dikotomi yang tajam antara ilmu agama dan ilmu
umum. Mengingat pada umumnya pesantren-pesantren kurang memperhatikan ilmu
umum karena dipandang sebagai ilmu dunia yang bersifat sementara. Padahal
ini mulai berkembang LPTQ di tingkat Perguruan Tinggi Agama Islam (WWW. Waspada.on-line,Jum'at 9 Mei 2008)
48 Kenyataan bahwa Al-Qur’an menjadi sesuatu yang hanya dibaca ataupun dihafalkan sajadengan tidak ada upaya untuk lebih memahami makna kandungannya hingga dapat diaplikasikandalam kehidupan merupakan salah satu tujuan dari Al-Qur’an itu sendiri yang dalam Surat al-Baqarahdisebutkan sebagai hudan lil-muttaqîn. Konteks ini rasanya akan sulit terwujud manakala Al-Qur’anhanya dianggap sebagai sesuatu yang sakral, tanpa ada upaya untuk membongkar untuk dapatmenggali isi kandungannya yang maha luas. Membaca Al-Qur’an memang bernilai ibadah yang besar.Namun besarnya nilai pahala tersebut hendaknya tidak serta-merta menghentikan dari upayapengakajian lebih lanjut. Manna’ al-Qattân, Mabâhits fî ‘ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th),h. 21
49 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2000), h. iii
90
pandangan tersebut untuk konteks zaman sekarang yang telah mengglobal ini perlu
dikaji lagi.50
Pada perkembangan selanjutnya Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berhasil
mendapat hati di kalangan umat Islam, hal ini dapat dilihat dari animo masyarakat
yang begitu tinggi untuk memondokkan anaknya di Pondok Pesantren Roudlotul
Qur’an. Terbukti dengan semakin menaiknya grafik jumlah santri, terutama setelah
sistem mu’allimîn diberlakukan. Secara umum santri yang belajar di Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis; pertama,
santri yang menghafalkan Al-Qur’an saja dan tidak terikat dengan institusi
pendidikan manapun.51 Kedua, santri yang menghafalkan Al-Qur’an sambil
melanjutkan pendidikan pada institusi pendidikan di luar Pondok Pesantren. Ketiga,
santri yang belajar pada SMP atau SMA Tarbiyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyah,
mereka ini tidak menghafalkan al-Qur’an. Ketiga jenis santri tersebut tinggal di
asrama Pondok Pesantren. Keempat, santri-santri Taman Pendidikan Al-Qur’an
(TPA) yang tidak bermukim di asrama pesantren.
Akan tetapi dari keempat jenis tersebut, yang paling mengalami kenaikan
yang cukup signifikan adalah santri yang mengikuti program pendidikan Tabiyatul
Mu’allimin. Pada tahun perdana pembukaan SMP TMI (2004) terjaring satu kelas,
kurang lebih 20 siswa/siswi. Maka pada tahun kedua terjaring dua kelas, kurang
lebih 60 siswa/ siswi. Jadi kenaikannya berkisar antara 300%. Dengan demikian
dapat disimpulkan sementara bahwa sistem ini mendapat respon positif dari umat
50 A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, (Jakarta: Diva, 2001), h. 1351 Santri tahfîz ini merupakan cikal-bakal dari santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
yang ada, akan tetapi dengan seiringnya waktu jumlahnya paling sedikit diantara santri lain. Bukankarena mengalami pengurangan jumlah santri, akan tetapi lebih dikarenakan lebih banyak santri yangmemilih masuk sekolah formal daripada mengikuti program tahfîz ini. Dan pada umumnya yangmengikuti adalah mereka yang sudah tamat jenjang SLTA (Madrasah Aliyah maupun SekolahMenengah Umum) ataupun dalam pendidikan diniyah sudah tamat tingkat Wustho, KH. Drs AliQomaruddin, al-Hâfiz, Wawancara, tanggal 7 Januari 2008
91
Islam. Hal ini dimungkinkan karena adanya upaya modernisasi pendidikan di
Pondok pesantren Roudlotul Qur’an.
Mengenai proses perkembangan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, yang
selama ini melakukan pembaharuan menuju modernisasi pendidikan, baik dari segi
organisasi kelembagaan, metode pembelajaran dan kurikulumnya. Tentu saja hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan
agama dan mengembangkan ajaran Islam yang lebih universal dan akomodatif.52
C. Visi dan Misi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
1. Visi
Visi merupakan mimpi besar yang ingin dicapai pada suatu program atau
kegiatan. Dalam hal ini Visi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an adalah :
a. Menjaga kelestarian al-Qur’an yang sarat dengan berbagai disiplin ilmu
pengetahuan (science).53 Hal ini dimaksudkan agar al-Qur’an tetap terpelihara
keasliannya di samping berusaha menggali kandungannya untuk mendapatkan
rujukan yang qath’i dari apa yang dipesankan al-Qur’an. Pemeliharaan al-
Qur’an ini dimaksudkan sebagai pengamalan surat al-Hijr ayat 9.54
b. Menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dan pandangan hidup dalam kehidupan
sehari-hari.55 Mengupayakan pengamalan isi kandungan al-Qur’an dapat diserap
dalam semua sisi kehidupan, sehingga al-Qur’an tidak hanya menjadi suatu
bacaan sakral yang nisbi dari proses al-Qur’an yang membumi. Al-Qur’an sudah
52 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1945, (Jakarta : LP3ES, 1980), h.322
53Akta Notaris Yayasan Roudlotul Qur’an. h. 2-3
54 óäæõÙöÝÇ?Íóá?åóáÇ?äöÅ?æ ?Ñúß?ÐáÇ Ç?äúá?Ò?ä?ä?Í?äÇ?äöÅ
Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benarmemeliharanya_. (Q.S.al-Hijr : 9)
55 Akta Notaris Yayasan Roudlotul Qur’an. h. 2-3
92
selayaknya dipandang sebagai sumber ilmiah yang menjadi motivator bagi kita
untuk membedah isi kandungannya dan diaplikasikan dalam kehidupan. Visi ini
merupakan pengejawantahan dari Surat Al-Isra’ ayat 9.
2. Misi
Misi merupakan kelanjutan daripada misi, artinya dalam mengupayakan
tercapainya visi tersebut di atas, maka ditentukanlah misinya, yang adalah :
a. Mencetak dan melahirkan kader-kader generasi penerus yang hafal al-Qur’an
yang mempunyai kulitas tinggi.
b. Membina qâri’/ qâri’ah, tahfîz/ tahfîzah yang mempunyai kualifikasi dan
memiliki wawasan qur’ani yang luas.
c. Mencetak lulusan santri dan tenaga pendidik yang handal, berwawasan dan
cerdas.56
Visi yang digagas oleh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an nampaknya
masih berada dalam posisi yang idealistis, sehingga pada tataran aksi yang
diaplikasikan pada misi pesantren, kiranya menjadi suatu angan-angan yang tidak
mudah diwujudkan. Misal, pada visi pertama berupaya melestarikan Al-Qur’an_
ini menjadi suatu istilah yang terlalu luas untuk dijangkau, apakah pelestarian itu
dimaksudkan untuk memproduksi hafiz yang dengan hafalan tersebut Al-Qur’an
dimaksudkan akan tetap lestari, atau ada upaya-upaya lain, seperti berupaya
memahaminya dengan mengajarkan kitab-kitab tafsir? Sementara apabila santri-
santri yang berkonsentrasi pada penghafalan Al-Qur’an hanya mendapatkan
pengajian Al-Qur’an dengan metode sima’i (santri menghafalkan Al-Qur’an dan
memperdengarkan bacaannya kepada guru) dan metode talaqqy (santri berhadapan
langsung dengan guru). Bagi santri putra waktunya sehabis sholat subuh dan
56Akta Notaris Yayasan Roudlotul Qur’an, h. 3
93
sehabis sholat maghrib, sementara untuk santri putri waktunya sehabis subuh dan
sehabis sholat ‘isya.57
Untuk mencapai tingkat ideal yang dicita-citakan tersebut, kiranya
Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an mempunyai pekerjaan rumah yang berat.
Sebut saja misi pada poin pertama (a), kendati pada dekade awal pesantren telah
berhasil melaksanakan beberapa kali upacara wisuda, akan tetapi bila dilihat dari
jumlah keseluruhan santri yang ada pada tahun ajaran 2006/ 2007, dari 294 santri,
hanya 34 santri yang mengambil spesialisasi tahfîz al-Qur’an, atau hanya sekitar
11,5 % santri dari jumlah keseluruhan. Dengan demikian pada gilirannya alumni
yang hafal al-Qur’an berada pada level minoritas. Dengan demikian Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an yang pada awal pendiriannya merupakan pesantren
tahfîz al-Qur’an58 akan kehilangan identitasnya, dan dikhawatirkan hal ini akan
memudarkan spirit yang termaktub pada visi di atas.
Tabel 2
Jumlah Santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berdasarkan Jenjang
Pendidikan TA. 2006/ 2007
No Jenjang Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah1 TPA 21 29 502 SMP TMI 76 82 1583 SMA TMI 9 35 444 Tahfidhul Qur’an 15 19 345 Lain-lain* 3 5 8
JUMLAH 124 170 294
Sumber: Dokumentasi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an 2007
57 Ahmad Ansori (Pengurus Santri Putra), Wawancara , 23 Juni 200658 Perlu dicatat di sini, bahwa dalam sosialisasi awal kebangunan Pondok Pesantren
Roudlotul Qur’an dalam nama resminya selalu menyertakan tahfîz al-Qur’an, baik dalam kop surat,papan nama, dan penulisan-penulisan resmi lainnya, kendati dalam akta notaris pendirian yayasanhanya mencantumkan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an tahfîz al-Qur’an. (Dokumentasi PondokPesantren Roudlotul Qur’an).
94
Di sisi lain, visi dan misi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an apabila
dihadapkan dengan modernisasi, pada level tertentu berada pada posisi yang selaras,
ini setidaknya terlihat dari semangat yang terkandung dalam visi maupun misi yang
cukup terbuka dan adaptatif, namun dalam level yang lain, nampaknya terdapat
ambivalensi terutama pada ketiga poin misi pondok pesantren yang seakan hanya
mempunyai tiga tujuan pokok, yaitu mempunyai lulusan hafîz/ hafîzah , kemudian
yang kedua qari’/ qari’ah dan yang ketiga guru. Dari sini tentu saja apabila
modernisasi bergerak sejajar dengan globalisasi, tentu saja akan menjadi
penghambat modernisasi, dimana modernisasi menuntut adanya profesionalitas
dalam berbagai bidang,59 dan ini tidak akan cukup hanya mengandalkan ketiga
varian lulusan tersebut.
D. Keadaan Santri, Pengurus, dan Tenaga Pengajar
1. Santri
Secara umum santri yang belajar di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian. Pembagian tersebut mengacu pada
pola pendidikan yang diikuti santri dimaksud dan tersedia di dalam Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an maupun lembaga / institusi pendidikan lainnya yang
ada di lingkungan sekitar dan Kota Metro pada umumnya. Berdasar pada kondisi
faktual tersebut, maka dapatlah dikategorisasikan menjadi:
1. Santri yang belajar dan tinggal di pondok mengikuti program pendidikan yang
diadakan oleh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, mereka umumnya yang
mengikuti jenjang pendidikan pada tingkat SLTP. dan SLTA. Ini merupakan
santri yang mendominasi dari keseluruhan santri. Dan pada umumnya mereka
yang tertarik mengikuti pendidikan di tarbiyat al-mu’allimîn wa al-mu’allimât
59 H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformatifuntuk Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 16
95
al-islâmiyyah. Dan juga santri yang secara intens mengkhususkan diri bergelut
dalam program tahfîz al-Qur’an, dalam kuantitasnya santri ini menduduki porsi
berkisar 70 – 72% (lihat tabel 2) dari total keseluruhan santri yang ada.60
2. Santri yang tinggal di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, akan tetapi juga
mengikuti pendidikan di luar pondok, dalam kelompok ini terdiri atas santri
yang menginginkan jalur pendidikan lain yang tidak/ belum ada di Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an, umumnya santri yang yang berada pada jenjang
pendidikan Perguruan Tinggi dan Sekolah Dasar (SD), ini hanya sebagian kecil
dari keseluruhan santri, karena biasanya santri yang sudah mengambil program
pendidikan di perguruan tinggi hanya mereka yang sudah mengajar (ustaz).
3. Santri yang tidak tinggal di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an akan tetapi
mereka mengikuti program pendidikan yang diselenggarakan oleh pondok,
umumnya adalah mereka yang berada di lingkungan desa Mulyojati dan
pendidikan yang diikuti adalah Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). 61 Untuk
santri yang bukan TPA hampir bisa dikatakan tidak ada, karena kendatipun ada
biasanya mereka hanya pada waktu-waktu tertentu dan tidak secara reguler,
misalnya karena akan diadakan even Musabaqoh Tilawatil Qur’an, sehingga
ada beberapa orang/ santri yang belajar tilawah/ hafiz karean akan mengikuti
even MTQ tersebut.
Mengacu pada ketiga kelompok santri tersebut, secara lebih detail dapat
dilihat dalam tabel berikut :
60 Dokumentasi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an 2008)61Dokumentasi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an TA. 2006-2007
96
Tabel 3
Jumlah Santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berdasarkan pendidikan
yang diikuti TA. 2006/ 2007
No Santri Laki-laki Perempuan Jumlah1 Tinggal di asrama dan
mengikuti pendidikan diPondok PesantrenRoudlotul Qur'an
100 136 246
2 Tinggal asrama tetapimengikuti pendidikan diluar Pondok PesantrenRoudlotul Qur'an
3 5 8
3 Santri yang tidak tinggaldi Pondok tetapimengikuti pendidikan dipesantren RoudlotulQur'an
21 29 50
JUMLAH 124 170 294
Sumber: Dokumentasi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an 2007
Tabel 4
Jumlah Santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur'an
(tahun 2001-2008)
TahunSantri
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Putra 8 9 11 21 56 106 176 233
Putri 7 10 16 27 54 140 187 239
Jumlah 15 19 27 48 110 246 363 472
Sumber : Sekretaris Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
Dari tabel tersebut dapat dipahami bahwa Yayasan Pendidikan Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an mempunyai santri dengan jumlah seluruhnya 294 orang.
97
Hal ini menunjukkan kenaikan jumlah yang cukup dinamis bila dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya.
Dan setelah diteliti dengan mendalam dari berbagai sumber ternyata latar
belakang keluarga (orang tua) santri yang mempunyai animo tinggi terhadap
Pendidikan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berasal dari latar belakang yang
cukup heterogen, kendati latar belakang ekonomi menengah ke bawah mendominasi,
dan pekerjaan orang tua sebagai petani menduduki tempat yang paling tinggi.
Ditambah lagi secara umum mereka adalah yang secara kultural62 adalah kaum
nahdliyyin yang kental dengan Islam yang tradisionalis. Hal ini apabila penulis
kaitkan dengan pola-pola kemodernan, maka akan timbul suatu pertanyaan apakah
mereka yang mengirimkan anaknya ke Pendidikan Pondok Pesantren Roudlotul
Qur’an untuk belajar adalah karena semata-mata aspek-aspek kemodernan menjadi
alasan utama? Atau karena figur sentral kyai sebagai top leader begitu dominan bagi
ketertarikan orang tua santri terhadap pesantren ini? Untuk itu perlu kiranya penulis
memaparkan latar belakang sosial ekonomi wali santri untuk mendapatkan gambaran
apakah wali santri mempunyai kecenderungan kepada pendidikan Islam yang
modern, mengingat dalam lapisan masyarakat tertentu modern masih dianggap
sebagai suatu ancaman bagi keberlangsungan budayanya. Sehingga mereka pada
umumnya sedapat mungkin berusaha menghindarkan diri atau melakukan filterisasi
yang cukup ketat. Hal ini setidaknya dapat dilihat dalam tabel berikut:
62Untuk kasus di Lampung pada umumnya, mereka yang secara faktual adalah kalanganpendatang/ transmigran dan tidak secara tegas menolak tradisi-tradisi keagamaan yang dilegalkan danmentradisi di kalangan NU maka secara kultural ‘dianggap’ sebagai orang NU, meski secaraorganisasi tidak jelas kapan ia resmi menjadi anggota atau apakah ia benar-benar memahami apa ituNU. Hal ini seperti dikatakan KH. Drs. Khoiruddin Tahmid (Mantan Ketua Tanfidiyah NU WilayahLampung) yang dalam satu kesempatan di suatu Seminar yang diadakan di Sekolah Tinggi AgamaIslam Negeri (STAIN) JURAI SIWO Metro mengklaim keanggotaan warga NU dapat dilihat dariketidakpunyaannya Kartu Tanda Anggota Muhammadiyah, Salafi, atau Hizbut Tahrir. Hal ini kendatitidak dapat dijadikan argumen yang kuat, namun dapat dijadikan suatu gambaran bahwa kebanyakanwarga NU yang ada merupakan mereka yang secara kultur sama dengan kultur NU. KH. KhoiruddinTahmid, Nahdlatul Ulama’ dan Dakwah Kultural, Makalah Seminar tanggal 13 Juli 2007
98
Tabel 5
Latar Belakang Ekonomi Wali Santri
Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
No Latar Belakang Ekonomi Kuantitas
1 PNS 10%2 Pedagang/ pengusaha 9 %3 Wira usaha 12%4 Petani 61 %5 Karyawan swasta 8 %Sumber: Data base Ahmad Komaruddin (Wakil Kepala Sekolah Bidang
Kurikulum).Dari masyarakat yang sebagian besar adalah petani dan tinggal di pedesaan,
tentu saja mereka adalah golongan yang masih bisa dikatakan marginal dengan
tingkat ekonomi yang berada pada level bawah dan tingkat penyerapan teknologi dan
informasi yang masih rendah. Dari kenyataan di lapangan sebenarnya sebagian besar
para wali santri ketika memilih Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an adalah karena
semangat modernisasinya, yang dengan pola kemodernan ini diharapkan anaknya
akan mendapat keilmuan yang lebih daripada yang lain. Akan tetapi di sisi lain
mereka juga mempunyai kekhawatiran terhadap berkurangnya substansi materi
keagamaan yang disampaikan, mengingat dari sejumlah materi pelajaran yang
disampaikan porsi pelajaran agama menjadi menyempit waktunya karena banyaknya
kegiatan ekstrakurikuler.63 Banyaknya waktu yang tersedia untuk memberikan materi
agama sebelum dilakukan modernisasi dianggap lebih berpotensi bagi santri untuk
mendalami ilmu agama Islam dibandingkan dengan ketika materi keagamaan
disampaikan bersamaan dengan materi umum, sehingga beban pelajaran yang harus
dipelajari santri menjadi banyak. Keadaan ini pada gilirannya akan menyulitkan
santri yang tingkat kecerdasannya rendah dan boleh jadi akan mengaburkan hasil
63 Subandi, (Wali Santri Roudlotul Qur’an), Wawancara, tanggal 3 Mei 2008
99
akhir santri, sehingga kekhawatiran yang paling ditakuti adalah ilmu agama kurang
menguasai dan ilmu umum juga kurang berhasil diperoleh.64
Kekhawatiran tersebut cukup beralasan, mengingat pesantren yang selama ini
ada dalam pikiran mereka adalah pesantren salaf yang memberikan porsi lebih besar
atau keseluruhan materi-materi pelajaran agama. Dan di saat yang bersamaan mereka
dihadapkan pada keinginan generasi penerusnya untuk bisa menguasai ilmu
pengetahuan umum dan tidak juga buta terhadap ilmu-ilmu agama.
Hal yang berbeda dapat ditemukan pada orang tua yang berlatar belakang
Pegawai Negeri Sipil yang secara umum mendukung modernisasi pendidikan yang
dilakukan dengan segala konsekuensinya. Ini lebih disebabkan karena mereka pada
awalnya lebih memilih pendidikan umum (SMP/ SMA) untuk membekali anak-
anaknya dan menginginkan tambahan pelajaran agama meski dalam porsi lebih
sedikit. Dan kesempatan bagi anaknya untuk memperoleh pendidikan umum yang
nantinya dapat dipergunakan untuk mencari kerja/ menjadi PNS lebih berpeluang.
Oleh sebab itu SMP/ SMA Tarbiyat al-Mu’allimîn wa al-Mu’allimât Al-Islâmiyyah
(TMI) dianggap sebagai pilihan yang tepat.
Kemudian bila ditelusuri latar belakang orang tua dari sisi kesenderungannya
pada golongan-golongan keagamaan, maka dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 6Kecenderungan Wali Santri pada Organisasi Keagamaan
No Kecenderungan Pada Golongan Kuantitas
1 Nahdlatul Ulama’ 85 %2 Muhammadiyah 12 %3 Lain-lain65 13 %
64 Memang diakui kendati sistem TMI yang dijalankan di Pondok Pesantren RoudlotulQur’an mengadopsi sistem TMI ala Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan Madura, akan tetapi untukhal-hal tertentu mempunyai perbedaan. Diantaranya semua materi umum yang diajarkan di SMPjuga diajarkan semua di SMP TMI.. Roudlotul Qur’an. Saiful Hadi, LC, (Direktur TMI RoudlotulQur’an)
100
Dengan mempertimbangkan latar belakang ini, setidaknya akan dapat
dilihat keberpihakannya pada modernisasi. Seperti diketahui bahwa modernisasi
pendidikan Islam lebih mendapat respon yang baik di kalangan Muhammadiyah,
dan berbanding silang dengan Nahdlatul Ulama yang ingin mempertahankan
identitas kesalafiyahannya .66 Dengan demikian, ini menjadi suatu hal yang patut
dicermati, dari latar belakang yang kebanyakan NU,67 namun menginginkan
pendidikan yang mulai menerapkan prinsip-prinsip modernitas.
Dari kenyataan tersebut, boleh jadi orientasi orang tua yang menyekolahkan
anaknya di pesantren mengalami perubahan. Pesantren yang hanya memberikan
pelajaran agama dan cenderung fiqh oriented yang didominasi pesantren-pesantren
salaf, lulusannya dianggap kurang mampu bersaing di dunia kerja dan ini menjadi
persyaratan di zaman globalisasi ini. Sehingga mereka mengharapkan anaknya yang
lulus dari pesantren juga mengantongi ijazah umum yang bisa dipergunakan untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya dan tidak mesti memilih spesialisasi
ilmu-ilmu agama. Atau boleh jadi alasan lainnya karena elemen yang ada di Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an bukanlah dari kalangan Muhammadiyah ataupun yang
lainnya, karena Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an adalah salah satu
pengurus Tanfidyah Nahdlatul Ulama tingkat Cabang di Kota Metro.68
65 Komaruddin, Wawancara, tanggal 23 Januari 2008. Data tersebut memang belum bisadianggap valid mengingat proses pengambilan sumbernya tidak bisa langsung kepada para wali santrisebagai obyek observasi.
66 Baca Fuad Jabali Membangun Pesantren di Ranah Sunda: Belajar dari Darul Arqam_dalam Jajat Burhanudin dan Dina Afrianty (penyunting) Mencetak Muslim Modern, Peta PendidikanIslam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 272-274.
67 Kendati pada lapis bawah masyarakat nahdliyyin sering diidentikkan dengan yang kurangmerespon modernisme, akan tetapi sebenarnya di lapis atas di kalangan intelektual NU lahir tokoh-tokoh yang merefleksikan semangat modernisasi dengan pemikiran dan gagasan yang demokratis,liberal, inklusif, serta moderat yang menjadi ciri dari modernisme. Majalah Taswirul Afkâr, edisi No.6tahun 1999, h. 97
68 Dokumentasi Susunan Dewan Pimpinan Cabang NU Kota Metro tahun 2006
101
Berbeda dengan kasus yang terjadi di Pondok Pesantren Al-Muhsin69 yang juga
berada di Kota Metro dan mempunyai afiliasi dengan gerakan Islam salafi, pesantren
ini meskipun berusaha melakukan modernisasi pada aspek-aspek pendidikan
Islamnya, namun respon masyarakat cenderung dingin (untuk tidak mengatakan
menolak) sehingga pesantren ini terkesan eksklusif.
2. Pengurus
Kepengurusan yang ada di sebuah pesantren merupakan unsur yang cukup
vital. Dalam hierarki struktur organisasi pengurus merupakan pembantu pengasuh/
kyai pesantren dalam menjalankan roda kepemimpinan pesantrennya. Oleh sebab itu
kepengurusan ini direkrut berasal dari para santri yang sudah lama mondok dengan
harapan selain mereka memiliki kemampuan lebih bila dibanding dengan santri
yuniornya, mereka juga dianggap lebih memiliki loyalitas yang tinggi.
Kinerja kepengurusan juga menentukan bagi keberhasilan proses pendidikan
di suatu pesantren. Hal ini lebih disebabkan karena pengurus lah yang mengawal
santri selama mereka berada di asrama atau bahkan di sekolah. Untuk itu dituntut
kepedulian, semangat mengasuh, membimbing yang tinggi. Dilihat dari sisi ini
Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an telah melakukan upaya-upaya pening-
katan kualitas SDM pengurus yang antara lain memilih orang-orang yang memang
69 Pondok Pesantren Al-Muhsin disinyalir merupakan cabang dari Pesantren Al-Mukminyang ada di Ngruki Solo yang dipimpin Ustaz Abu Bakar Ba’asyir yang cukup mengundangkontroversi. Beliau yang disebut-sebut sebagai Amir Jamaah Islamiyah yang merupakan sayap Al-Qaida di Asia Tenggara dianggap bertanggung jawab atas serangkaian aksi teror di Indonesia. Polapengajaran yang disampaikan di pesantrennya dalam beberapa hal memiliki watak yang spesifik. Halini dapat dilihat dari ideologi pengajaran yang disampaikan memperlihatkan tingkat kedekatan yangtinggi terhadap gerakan salafi. Juga pandangan mereka yang memandang Islam sebagai agama yangharus diamalkan secara kaffah, yang dalam konteks ini penolakan terhadap negara yang merekaanggap tidak menggunakan aturan Islam –kendati dalam pemaknaan mereka- dapat dibenarkan.Untuk selanjutnya golongan ini biasanya digeneralisasikan ke dalam Islam radikal/ garis keras. BacaAzyumardi Azra dan Jamhari Pendidikan Islam Indonesia dan Tantangan Globalisasi: PerspektifSosio-Historis_ dalam dalam Jajat Burhanudin dan Dina Afrianty (penyunting) Mencetak MuslimModern, Peta Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 17-19
102
mempunyai kualifikasi dan dedikasi yang tinggi dan mempunyai semangat modernis.
Hal ini setidaknya dapat dilihat dari komposisi pengurus yang sebagian besar berasal
dari alumni Pesantren Darussalam Gontor dan Pesantren Modern Al-Amin Madura
yang keduanya dianggap sebagai pioner lembaga pendidikan modern di Indonesia.
Seperti pada komposisi yang ada pada personalia kepengurusan Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an pada seksi pendidikan merupakan alumni pondok
modern.70 Sehingga dari tataran ideal roda kepengurusan akan dapat berjalan
beriringan dengan modernisasi yang digulirkan. Akan tetapi sejauhmana
keberhasilan itu dapat dicapai agaknya perlu dilihat aspek-aspek lain, mengingat
dalam proses pendidikan santri terkait pula dengan struktur kepengurusan sekolah
SMP/ SMA yang pada kenyataannya pemegang kendali kebijakan di sekolah tidak
semuanya berasal dari dalam pesantren dan tidak terlibat langsung dalam jajaran
kepengurusan pondok pesantren.
Oleh sebab itu kerja sama yang baik antara kedua elemen ini perlu dilakukan.
Sehingga pada gilirannya nanti tidak akan ada jarak (gap) yang memisahkan antara
kabijakan yang satu dengan yang lain. Seperti pada kasus liburan tengah semester
tahun ajaran 2007-2008, ketika pihak sekolah meliburkan santri, ternyata ini
mendapat perlawanan dari pihak pengasuh dan pengelola asrama karena
menghendaki santri tidak diliburkan. Hal ini tentu tidak akan terjadi andai saja
terdapat koordinasi yang baik antar masing-masing elemen pesantren.71
70 Kebijakan Pondok Pesantren Gontor Ponorogo yang memberlakukan sistem pengabdianke lembaga-lembaga pendidikan baik di Gontor maupun luar Gontor menjadikan Pondok PesantrenRoudlotul Qur’an menjadi salah satu lembaga pendidikan yang dipilih oleh para santri Gontor untukmengabdi di sana selama satu tahun. Dari awalnya pengabdian ini ada juga yang meneruskanmengajar di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, karena di samping mengajar ia juga dapatmelanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi di Kota Metro meskipun berada di luar pesantren.Ustazah Dayu Fitria (Dewan Guru TMI. Roudlotul Qur’an alumni Pondok Modern DarussalamGontor), Wawancara, tanggal 23 Juni 2008
71Muhammad Alfan Huda, (Santri/ siswa SMP Tarbiyat Al-Mu’allimîn Wa Al-Mu’allimâtAl-Islâmiyyah) Wawancara, 20 Desember 2007
103
Anggota kepengurusan yang ada pada hakikatnya adalah mereka yang juga
mengajar di sekolah. Hal ini menunjukkan hal yang positif karena dari segi interaksi
hubungan guru-murid juga tetap tercipta pola korelasi santri dengan pengurus
pesantren tidak hanya ketika santri berada di asrama. Kenyataan ini memungkinkan
tersedianya waktu yang cukup bagi kalangan pengurus untuk selalu mengawasi dan
membimbing santri demi terbantunya proses pembelajaran mereka. Ini juga yang
mendukung santri untuk belajar lebih intensif, karena permasalahan-permasalahan
kurikuler bisa saja dipecahkan di asrama jika guru tersebut juga pengurus di
pesantren. Berbeda dengan guru yang berasal dari luar pesantren yang semua
persoalan hanya bisa ditangani di sekolah.
Secara hierarki pengurus yang dimaksudkan di atas merupakan lapisan
pengurus yang berada pada ujung tombak. Pada level ini pengasuh pesantren (kyai)
masih menjadi figur sentral bagi kebijakan pesantren secara umum.72 Meskipun
anggota mempunyai hak berpendapat secara demokratis, akan tetapi karena figur
kyai yang dominan, sehingga terkadang kebijakan yang dilakukan masih
mengindikasikan kesan otoriter. Hal ini tentu saja kurang sejalan dengan semangat
modernisasi yang meletakkan dasar-dasar demokratis dan penentuan kebijakan
dalam suatu kerja kolektif menuntut adanya permufakatan yang terbuka dengan
pertimbangan suaru terbanyak (quorum).
Sedangkan jenjang kepengurusan pada tingkat tinggi adalah pengurus
yayasan yang secara resmi dibentuk pada awal pendirian yayasan dan diperbaharui
dengan komposisi bertambah banyak yang dimaksudkan untuk lebih
mengoptimalkan kerja yayasan sebagai unsur tertinggi dalam roda kegiatan baik
72 Pola semacam ini umumnya terjadi pada pondok pesantren salafiyah/ tradisional dimananama besar kyai/ pengasuh pesantren menjadi alasan utama santri mondok di pesantren tersebut.Dalam konteks Roudlotul Qur’an tentunya hal in tidak relevan lagi, terlebih karena pesantrenberusaha untuk melakukan modernisasi. Jika hal ini tetap berkelanjutan dikhawatirkan modernisasiyang sedang dilaksanakan akan berjalan timpang. Ustadz Musnad Ngaliman. S.H.I, (Ketua PondokPesantren Roudlotul Qur’an Periode 2004-2005) Wawancara,13 Maret 2007
104
yang di pondok maupun di sekolah. Pertimbangan lain dilakukannya pembentukan
struktur yang baru adalah karena yayasan makin dituntut oleh situasi dan
perkembangan kegiatan pembelajaran yang kian meningkat. Bentukan ini secara
resmi dilaksanakan pada tanggal 26 Juli 2006 dengan mempertimbangkan dari
berbagai unsur terkait yang dalam hal ini adalah anggota pengurus yayasan
terdahulu, pendiri yayasan, dan pendapat dari para tokoh agama dan masyarakat.
Kemudian struktur personalia kepengurusan yang baru ini disahkan berdasarkan
Surat Keputusan nomor: 007/MUS.YPRQ/KPTS/VII/2006.
Tabel 7
Struktur Personalia Pengurus Yayasan Roudlotul Qur’an
No Nama Jabatan
1 KH. Syamsuddin Thohir Dewan Eksekutif2 KH. Zakaria Ahmad Dewan Eksekutif3 Moch. Yanis Dewan Eksekutif4 DR. Sowiyah, M.Pd Dewan Eksekutif5 H. Benny Mustofa, SH Ketua6 H. Miswadi Wakil Ketua7 Miftah Arifien Sekretaris8 Nurul Huda Wakil Sekretaris9 H. Ansori Bustami, SE Bendahara10 Hj. Siti Rumzanah Wakil Bendahara11 Hamim Huda, S.PdI Bidang Litbang12 Drs. Supardi Bidang Pendidikan13 Susetyo, SE Bidang Pendidikan14 H. Djumiran Bidang Dakwah & Wakaf15 H. Warsito Bidang Dakwah & Wakaf16 H. Suparman Bidang Usaha & Ekonomi17 H. Subandi Bidang Usaha & Ekonomi18 H. Zakaria Bidang Usaha & Ekonomi19 Arjuna Wiwaha Bidang Kesra20 Djoko Purwanto Bidang Kesra21 Drs. H. Rasiman Bidang Kesra22 Hebriansyah (alex) Bidang Humas & Publikasi
105
23 M. Djaelani Bidang Humas & Publikasi24 Redy, SE Bidang Humas & Publikasi25 Drs. Muhtarom Bidang Humas & Publikasi26 drg. Ismudijanto27 Dr. Agung
Balai Kesehatan Santri &Masyarakat
Sumber : Surat Keputusan Yayasan Roudlotul Qur’an nomor: 007/MUS.YPRQ
/KPTS/VII/2006.
Dari struktur anggota pengurus yayasan yang baru tersebut diambil dari
berbagai elemen masyarakat yang ada, bahkan tidak mempertimbangkan dari
golongan mana mereka berafiliasi. Sehingga dari anggota-anggota tersebut cukup
heterogen.73
Dari keragaman ini tentu saja akan berpengaruh dengan pola modernisasi,
tanggapannya terhadap modernisasi juga berbeda. Dari kalangan sesepuh dan
berafiliasi kepada NU sebenarnya menginginkan modernisasi tidak harus
mengurangi substansi materi keagamaan yang diajarkan. Dalam arti lain aspek
kesalafiahan yang menjadikan pengajaran Al-Qur’an sebagai materi inti tetap
menjadi prioritas mengingat dari awal Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an merupakan
pesantren tahfîz al-Qur’an dengan menggabungkannya dengan pola pendidikan
modern.
Di sisi lain, bagi anggota pengurus yang berasal dari kalangan muda
modernisasi yang dibangun mesti secara total dengan mengadopsi pondok pesantren
modern ala Gontor atau Al-Amin, dan jika terdapat santri yang menghafalkan Al-
Qur’an, hal ini merupakan lembaga varian lain yang ada di pesantren.
73 Dari 27 anggota pengurus tersebut 20 orang diantaranya berasal dari kalangan nahdliyyin,sedangkan 2 orang dari kalangan Muhammadiyah dan selebihnya cenderung tidak mempunyaiafiliasi pada organisasi keagamaan, baik pada Muhammadiyah maupun NU. Bahkan sekretarisyayasan adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan pernah menjadi AnggotaLegislatif dari Partai tersebut. Miftah Arifien (Sekretaris Yayasan Roudlotul Qur’an), Wawancara,tanggal 27 Juni 2008
106
3. Tenaga Pengajar
Untuk menunjang kegiatan pembelajaran yang efektif Pondok Pesantren
Roudlotul Qur’an berupaya memanfaatkan tenaga pendidik baik yang ada di
lingkungan pondok maupun dari luar, akan tetapi yang menjadi prioritas adalah
kapabilitasnya. Maka tenaga pendidik yang ada tidak mesti alumni pondok
pesantren, mengingat muatan pelajaran yang disampaikan juga banyak materi-materi
pendidikan umum. Pada awal masuknya tenaga pengajar yang bukan dari pesantren
memang sedikit menjadi kendala dimana mereka belum mengetahui kultur pesantren
secara komprehensif, akan tetapi dengan seiringnya waktu kendala tersebut sudah
dapat diatasi.
Tabel 8Keadaan Tenaga Pengajar Pondok Pesantren Raudlatul Qur’an
SMP TMI
No Nama Bidang Studi Pendidikan Terakhir
1 Komaruddin, SpdI Bahasa Arab STAI/ pesantren2 Laila Rismadiyati, SpdI Nahwu STAI / pesantren3 M. Iqbal Ushul Fiqh Pesantren4 Harnawati Imla’ Pesantren5 Ariyantini Mahfudzot Pesantren6 Belli Saputri Hadist Pesantren7 A. Shonhaji, SpdI Tilawah STAI/ pesantren8 Husni Mubarok Imla' STAI/ pesantren9 Milatun Yuniati, Sag PPKN STAI/ non pesantren10 A. Fauzi Yana Mutola'ah/Mahfudhot STAI/ pesantren11 Samadi, SPd Pengetahuan Alam Universitas Muhammadiyah12 Yos Maria, Amd Bahasa Inggris Universitas Lampung13 Ela Novita, SPd B. Indonesia Universitas Muhammadiyah14 Eva Maryana, SS.I Matematika Universitas Muhammadiyah15 Dra. Anita Perly Bahasa Lampung Universitas Muhammadiyah16 M. Arif Mustofa Komputer Universitas Muhammadiyah17 Hanan Wijaya Sosiologi Universitas Muhammadiyah18 Evit Setiawan Kesenian Universitas Muhammadiyah
107
19 Heni Lidiyanti, SPd Pengetahuan Alam STAI/ non pesantren20 Sriati, Amd Bahasa Inggris STAI/ non pesantren21 Winda, SPd Pengetahuan Sosial Universitas Muhammadiyah22 Dra. Astina Biologi Universitas Muhammadiyah23 Sri Hartini, S.TP Fisika/ Kimia Universitas Muhammadiyah24 Farida Tri Sati, SPd Matematika Universitas Lampung
Sumber : Kepala Tata Usaha SMP TMI Roudlatul Qur’an
SMA TMI
No Nama Bidang Studi Pendidikan Terakhir
1 Musnad Ngaliman, SH.I Penjas/ SKI STAI/ pesantren
2 Saiful Hadi, S.S.I. Tauhid/ Ushul Fiqh UIN/ pesantren
3 Drs. Haikal Sejarah/ PPKN STAI/ non pesantren
4 Komaruddin, S.Pd.I Bahasa Arab STAI/ pesantren
5 Muhammad Iqbal Mahfudzot STAI/ non pesantren
6 Ariyantini. R Hadist Pesantren
7 Belli Saputri Imla' Pesantren
8 A.Sonhaji. S.Pd.I Tilawah STAI/ pesantren
9 Husni Mubarok Hadist/ Tarbiyah STAI/ pesantren
10 Titin Rohmatin Mutola'ah/Mahfudhot STAI/ pesantren
11 Mas Ruhan, A.Md Komputer AMIK/ non pesantren
12 Abdul Rohman Fiqih/ Shorof Pesantren
13 Winda Pratiwi, S.Pd. IPS Universitas Muhammadiyah
14 Dra. Astina B. Indonesia Universitas Muhammadiyah
15 Uswatun Khasanah Sejarah Islam Pesantren
16 Ujang Kartono, SE Ekonomi Universitas Muhammadiyah
17 Dra. Nurhayati Sosiologi Universitas Muhammadiyah
18 Maya Shofia, S.Pd B. Inggris Universitas Muhammadiyah
19 M. Sholihul Amin Fikih/ Tafsir STAI/ pesantren
20 Khoerudin,S.Pd.I Tauhid/ Tauhid STAI/ pesantren
21 Dra. Mushilah Matematika Universitas Muhammadiyah
108
22 Sari Kartini, S.Pd Biologi Universitas Muhammadiyah
23 Heni Lidiyanti, S.Pd Fisika/ Kimia Universitas Muhammadiyah
24 Sumainah Sorof/ mahfudhot Pesantren
Sumber : Kepala Tata Usaha SMA TMI Roudlatul Qur’an
Dengan memperhatikan latar belakang pendidikan tinggi para pengajar dapat
dianalisa bagaimana keberpihakannya terhadap modernisasi yang ada pada lembaga
pendidikan dimana mereka mengajar. Dewan guru yang berasal dari non pesantren
baik yang kuliah di Universitas Muhammadiyah maupun yang bukan mempunyai
antusiasme terhadap modernisasi, akan tetapi keterbatasan mereka dalam memahami
kultur pesantren biasanya kurang mampu beradaptasi.74 Sisi positif dari pandangan
ini, membuat mereka lebih leluasa bagi siswa untuk melakukan komunikasi maupun
konsultasi karena tidak terlalu segan terhadap guru tersebut. Dan ini berbeda halnya
ketika santri berhadapan dengan ustadz pesantren. Akan tetapi kekurangannya adalah
dewan guru yang berasal dari luar pesantren rata-rata kurang dapat berkomunikasi
aktif dengan bahasa Inggris terlebih bahasa. Sehingga jika dilihat secara obyektif
keberpihakan terhadap modernitas dari segi kebahasaan dewan guru yang berasal
dari luar pesantren kurang mendukung. Akan tetapi demi menghindari adanya
mismatch75 dalam mengajarkan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah guru dari
luar pesantren masih diperlukan.
74Sebagai contoh dalam dunia pesantren modern penggunaan Bahasa Arab merupakan alat
komunikasi yang dianggap lebih sopan bagi santri terhadap ustaznya, sementara itu guru-guru yangmengasuh pelajaran umum tidak menguasai bahasa Arab dengan baik. Dra. Mushilah (Guru BidangStudi Matematika TMI), Wawancara, tanggal 3 Juni 2008
75 Fenomena guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang yang dipelajarinya ketikamenempuh pendidikan di jenjang sarjana (S1) juga masih terjadi di TMI Roudlotul Qur’an. Hal inibisa disebabkan karena minimnya tenaga pengajar untuk bidang studi tertentu. Sebagai contoh bidangstudi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dan Bahasa Daerah yang jangankanmencari sarjana PPKn atau sarjana bahasa daerah, perguruan tinggi yang membuka jurusan tersebutjuga masih sulit ditemui. Untuk memperbaiki keadaan tersebut sebenarnya pihak Departemen Agamapernah menjalankan program pendidikan bagi guru-guru yang mismatch ini melalui proyekPeningkatan Perguruan Agama Islam Tingkat Menengah Lampung, Development of Madrasah
109
E. Kegiatan Akademik
Kegiatan akademik dimaksudkan adalah segala aktifitas santri selama di
kelas maupun di asrama mengingat kegiatan kependidikan yang ada di Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an terintegrasi antara kegiatan pondok dan sekolah.
Kegiatan di sekolah adalah kegiatan induk yang mempunyai penekanan pada kajian
teoritis dan mengacu pada ranah kognitif sedangkan kegiatan di asrama diupayakan
sebagai pendidikan pendukung yang mempunyai titik singgung pada kajian praktis
dan diarahkan untuk pencapaian ranah afektif dan psikomotor santri/ siswa.
Pola integrasi ini sebenarnya sudah terjadi di kalangan pendidikan pesantren-
pesantren tradisional, sebagaimana diketahui bahwa kata santri menurut Nurcholish
Madjid berasal dari kata cantrik yaitu orang yang mengikuti seorang yang pandai
baik dalam agama maupun kesaktian, sang cantrik ini akan selalu diawasi tingkah
lakunya oleh orang pandai tersebut. Begitu pula santri yang selalu sam’an wa to’atan
(patuh dan taat) pada Kyai, begitupun selama ia nyantri selalu dalam pengawasan
kyai. Jalinan hubungan santri-kyai ini akan terus bersambung sehingga santri telah
keluar dari pesantren untuk mengembangkan ilmu agama. Bahkan terkesan kurang
baik apabila santri yang sudah keluar dari pesantren tidak pernah sowan
(silaturrahmi) kepada kyainya.76
Tradisi pesantren semacam inilah yang masih terus dibudayakan oleh
Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an untuk membimbing para santri, sedangkan pola
ini tidak terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan umum yang tidak mempunyai
asrama bagi para siswanya. Atau terkadang ada pondok pesantren yang mempunyai
pendidikan formal, namun pola pendidikan yang dijalankan sendiri-sendiri, dalam
Aliyahs Project (DMAP). Dokumentasi Kanwil Depag Propinsi Lampung tanggal 15 September 2001.Jika proyek tersebut dijalankan lagi, kemungkinan terjadinya mismatch bisa dihindari.
76 Pola hubungan (relasi) guru-murid pada pondok pesantren digambarkan ibarat seoranganak dan orang tua (ibu maupun bapak), sehingga seorang guru/ kyai secara sababi merupakanbapak. Dalam kitab Ta’lîmul Muta’allim digambarkan jika orang tua yang bertanggung jawab dibidang materi, maka gurulah yang bertanggung jawab di bidang mental spiritualnya. Burhanuddin az-Zarnuji, Ta’lîmul Muta’allim, (Semarang: Toha Putra, t.th). h. 7
110
arti antar pendidikan formal dan pendidikan diniyahnya tidak terintegrasi, sehingga
hal ini berdampak pada kurang mampunya santri mendalami pelajaran karena dirasa
begitu banyaknya mata pelajaran yang harus dipelajari. Pada kasus seperti ini hal
terburuk yang bisa terjadi adalah bukannya mampu menguasai keduanya (materi-
materi pendidikan formal dan diniyyah) akan tetapi malah mengaburkan keduanya.
Untuk menghindari hal itu, maka pola integrasi yang dibangun adalah
mengupayakan pengawasan terhadap santri baik dari pengasuh pesantren maupun
para pengajar untuk mengaplikasikan ajaran-ajaran agama, untuk itu diupayakan
tenaga pengajar yang mengajarkan agama kebanyakan tinggal di asrama ataupun
bertempat tinggal di lingkungan pesantren, sehingga diharapkan dapat berperan aktif
mengawasi santri di luar jam-jam sekolah. Secara rinci dapat digambarkan kegiatan
pembelajaran dan alokasi waktunya sebagai berikut.
Tabel 9
Kegiatan Rutin Santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
No Waktu Kegiatan Keterangan1 03.30 - 04.00 Qiyâm al-lail Seluruh santri2 04.00 – 04.30 Belajar mandiri Santri TMI3 04.00 – 04.30 Menghafal al-Qur’an Santri tahfîz4 04.30 – 05.00 Sholat Shubuh berjamaah Seluruh santri5 05.00 – 06.00 Muhâdatsah yaumiyyah/ daily
conversationSantri TMI
6 05.00 – 06.00 Menghafal al-Qur’an metode tasmi’(memperdengarkan pada guru
Santri tahfîz
7 06.00 – 07.00 Mandi, mencuci, sarapan, dll Seluruh santri8 07.00 – 12.00 Masuk sekolah SMP/ SMA Santri TMI9 12.00 – 13.30 Sholat dhuhur, makan siang Seluruh santri10 13.30 – 15.00 Masuk sekolah SMP/ SMA Santri TMI11 15.00 – 16.00 Sholat ‘asar, istirahat Seluruh santri12 16.00 – 17. 00 Kegiatan ekstra kurikuler (drum band, olah
raga, kaligrafi, dll)Santri TMI
13 17.00 – 18.00 Mandi, mencuci, makan sore Seluruh santri14 18.00 – 18.30 Sholat maghrib berjamaah Seluruh santri15 18.30 – 19.30 Mengaji al-Qur’an Seluruh santri16 19.30 – 20.00 Sholat isya’ berjamaah Seluruh santri
111
17 20.00 – 22.00 Diskusi/ Mengevalusi pelajaran sekolah dibawah bimbingan pengurus dan ustadz
Santri TMI
18 20.00 – 22.00 Menghafal al-qur’an metode tasmi’ Santri tahfidh19 22.00 – 03.30 Istirahat malam Seluruh santri77
Dari seluruh kegiatan yang telah ditetapkan melalui permusyawaratan
pengurus yayasan dan segenap elemen pesantren tersebut dapat dilihat bahwa aspek
modernitas sudah berjalan, setidaknya ini dapat dilihat pada pembelajaran Bahasa
Arab maupun Inggris yang sudah efektif yaitu langsung dipraktekkan dalam
kehidupan di pesantren maupun di sekolah. Kegiatan Muhâdatsah yaumiyyah/ daily
conversation78 merupakan kegiatan yang berusaha memotivasi santri untuk dapat
berkomunikasi aktif dalam kedua bahasa asing tersebut di luar jam kegiatan
tersebut. Hanya saja kendala yang muncul di luar kegiatan ini adalah masih terdapat
dewan guru di sekolah yang tidak menguasai bahasa Inggris maupun bahasa Arab
secara aktif-komunikatif sehingga ketercapaian hasilnya kurang bisa memenuhi
target yang diharapkan.
Sementara adanya perbedaan kegiatan bagi santri Tarbiyat al-Mu’allimîn al-
Mu’allimîn al-Islâmiyah (TMI) dengan santri Tahfîz al-Qur’an menjadikan kegiatan
berjalan sesuai dengan program yang memang dipilih oleh santri. Hal ini juga
mempermudah bagi pengurus pesantren untuk menentukan langkah-langkah
kebijakan dalam mengelola santri. Sehingga program kegiatan yang dijalankan
dapat berjalan efektif dan efisien.
Dan andaikata dilihat lebih jauh mengenai ketercapaian hasil program
dengan keadaan riil di lapangan, nampaknya program Tarbiyat al-Mu’allimîn al-
77 Ahmad Ansori, S.TP, (Lurah Pondok Putera) Wawancara, tanggal 22 September 200678 Kewajiban menggunakan bahasa Arab/ Inggris di asrama mulai diwajibkan setelah santri
tinggal di asrama selama 3 bulan. 3 bulan yang pertama merupakan masa pembelajaran santri barudalam berkomunikasi aktif dengan dua bahasa tersebut. Untuk mendisiplikan program tersebut, makadiberlakukan sangsi bagi santri yang menggunakan bahasa lainnya. Ahmad Ansori, Wawancara,tanggal 22 September 2006
112
Mu’allimîn al-Islâmiyah (TMI) yang termasuk di dalamnya SMP dan SMA untuk
empat tahun awal ini nampaknya belum dapat sesuai dengan apa yang dicita-citakan.
Anggapan ini dapat ditinjau dari segi pemaknaan bahwa TMI adalah pendidikan
untuk guru agama Islam. Sementara ketika SMP telah meluluskan satu kelas yang
kemudian dari satu kelas tersebut menjadi terkotak-kotak ada yang keluar, ada pula
yang tetap melanjutkan SMA di TMI Roudlotul Qur’an mereka belum mampu untuk
menjadi seorang mu’allim seperti yang dituangkan dalam misi sekolah.
Tabel 10Kegiatan Mingguan Santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
No Waktu Kegiatan Keterangan1 18.30 – 19.30 Mujâhadah/ istighotsah Seluruh santri tiap
malam jum’at2 18.30 – 19.30 Tahlîlan, yasinan Khusus santri dewasa
dengan masyarakatsekitar pondok
3 20.00 – 22.00 Muhadarah, khitobah, pembacaanal-berzanji, dibaiyyah, senisholawat/ hadroh
Seluruh santri tiapmalam jum’at
4 20.00 – 22.00 Zikrul Ghofilin Setiap Malam Jum atKliwon
Sumber : wawancara pribadi Lurah Pondok Putera tanggal 22 September 2006
Dengan kegiatan-kegiatan tersebut yang disusun dengan berbagai
pertimbangan, diharapkan proses pembelajaran yang dilaksanakan mampu diserap
santri dengan sempurna dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-
hari sebagai bekal kelak ketika mereka telah terjun di masyarakat. Dalam posisi ini
pesantren Roudlotul Qur’an sebenarnya masih berusaha untuk menerapkan kegiatan
pesantren ala pesantren salafiyah yang dianggap masih relevan untuk diajarkan
kepada santri.
Kegiatan yang ada merupakan representasi dari kebudayaan keagamaan
Islam yang ada di tengah masyarakat. Misalnya diadakannya kegiatan mujahadah/
istighotsah setiap malam Jum at yang merupakan tradisi yang sudah ada dan
113
berkembang dalam masyarakat Islam (khususnya daerah Lampung).79 Terlepas dari
adanya pro dan kontra tentang hukum kegiatan istighotsah. Begitu juga keikutsertaan
santri dewasa mengikuti acara yasinan/ tahlilan, karena dalam perspektif masyarakat
muslim awam terkadang tolok ukur untuk menentukan keberhasilan seorang santri
juga terletak pada kemampuan melakukan/ memimpin acara-acara keagamaan
semisal tahlilan.80 Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka santri yang sudah dewasa
yang umumnya telah tamat pendidikan sarjana strata satu diharapkan nanti setelah
mereka mengembangkan ilmunya akan langsung disambut baik. Di bidang kesenian
seperti sholawat, hadroh pesantren berupaya untuk melakukan modernisasi, hal ini
bisa dilihat dari penggunaan alat-alat musik instrumental yang modern.
79 Dari 15 pondok pesantren yang penulis kunjungi, hanya pondok pesantren DarussalamTegineneng, Kabupaten Pesawaran yang tidak melakukan tradisi semacam tahlîlan, istighâtsah,sedangkan yang lainnya melakukan, bahkan di pesantren-pesantren tertentu (Pondok Pesantren NurulQodiri, Kali Palis Way Pengubuan Lampung Tengah, Pondok Pesantren Wali Songo, Kota BumiLampung Utara) kegiatan tersebut merupakan kegiatan rutin yang melibatkan masyarakat luas di luarpesantren. Di Pondok Pesantren Nurul Qodiri kegiatan ini dinamakan Manaqîb Terang Bulan, karenadiadakan selalu di malam bulan purnama (tanggal 14 ke 15 penanggalan Hijriyah). KH. Imam Suhadi,Wawancara, tanggal 12 Mei 2008.
80 Kondisi semacam ini merupakan fenomena yang terjadi pada masyarakat Islam tradisionalyang masih melembagakan tradisi-tradisi tahlîlan dan sejenisnya menjadi sesuatu yang penting.Sehingga acara-acara dimaksud untuk saat ini tidak saja dilakukan pada malam Jum at atau ketika adakeluarga yang meninggal, akan tetapi pada acara-acara hitanan, pesta pernikahan, membangun rumah,acara aqiqah, syukuran karena mendapatkan rejeki, hendak berangkat haji (walimatussafar), salahseorang anggota keluarga yang sedang sakit parah juga dilakukan. Dan acara-acara tersebutumumnya mendatangkan seorang figur ustadz yang cakap dalam ilmu agama dan terbiasa mengikutiacara-acara tersebut. Ustadz Heri Suwarto, S.PdI (Ketua Persatuan Guru Diniyah Indonesia) KotaMetro, Wawancara, tanggal 1 Mei 2008
114
BAB IV
PONDOK PESANTREN ROUDLOTUL QUR’AN
DALAM WACANA MODERN
A. Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an Masa Awal
Sebelum kebijakan modernisasi dijalankan pesantren dalam hal-hal tertentu
sebenarnya sudah mempunyai identitas tersendiri yakni sebagai pondok pesantren
yang mempunyai spesialisasi pada penghafalan Al-Qur’an (tahfîz al-Qur’an) dan
mempunyai santri yang secara khusus memang ingin memperdalam Al-Qur’an.
Dengan spesialisasi ini memungkinkan untuk pesantren dapat membina santri
secara baik sesuai dengan keinginan santri belajar di Pesantren Roudlotul Qur’an.
Maka pada saat itu para santri tidak hanya berasal dari kalangan anak muda saja,
akan tetapi yang sudah berkeluarga pun juga menyempatkan diri untuk mengaji.1
Manajemen yayasan kendati belum terprogram secara baik, namun sudah
mampu memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi keberlangsungan Pondok
Pesantren secara umum. 2 Meskipun pada saat itu figur sentral kyai pengasuh
pesantren masih sangat dominan. Akan tetapi dominasi kyai tersebut pada saat itu
cenderung dapat diterima oleh berbagai kalangan. Hal ini dikarenakan kharisma
kyai yang masih cukup menonjol. 3 Maka eksistensi pesantren saat itu lebih
1 Kenyataan seperti ini memang hal yang lazim terjadi di pesantren-pesantren tahfîz al-Qur’an, motif dari para santri yang sudah berkeluarga ini umumnya mereka yang pernah mondokdi tempat lain baik yang memang sudah hatam maupun yang belum. Bagi yang sudah hatampengajian ini dipergunakan sebagai media untuk mengulang kembali hafalan-hafalannya agar tidaklupa. Dan bagi santri yang belum hatam, hal ini merupakan usaha untuh mentashîh hafalan-hafalannya. Muhammad Qodam Siddiq (alumni santri Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an)Wawancara, tanggal 29 Maret 2008
2 Struktur yang ada pada yayasan baru terdapat lima komponen personalia yang terdiriatas : Pembina Yayasan, Ketua Yayasan, Sekretaris Yayasan, Bendahara Yayasan, dan ditambahsatu Pengawas Yayasan, sebagaimana yang tertera dalam Akte Notaris Pendirian Yayasan.Dokumentasi Akte Notaris Yayasan.
3 Peran kyai pengasuh bisa diterima mengingat saat itu santri cukup homogen, yaitu hanyamereka yang memang ingin mendalami tahfîz al-Qur’an, sehingga pengelolaannya belum
115
dikarenakan kharisma bukan karena manajemen pembelajaran yang sudah tertib.
Hal ini berkelanjutan hingga tiga tahun awal pendirian pesantren.
Besarnya sumbangan dari para donatur yang mempercayakan dananya
untuk dikelola kyai dan para pembantunya membuat roda pembangunan Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an tetap berjalan,4 kendati para donatur tidak dikelola
dengan tertib dengan membentuk semacam badan donatur atau badan wakaf
seperti yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Darussalam Gontor. 5
Motivasi para donatur untuk memberikan dana ini juga disebabkan oleh
keinginan mereka untuk mewujudkan sebuah model pesantren yang dapat
mengembangkan Al-Qur’an yang pada saat itu jumlah pesantren tipe itu masih
sangat jarang. Meskipun ada di pesantren-pesantren, akan tetapi pembelajaran
pada sebuah pondok pesantren, biasanya hanya bersifat komplementer. Hal ini
juga terjadi di Pondok Pesantren Tri Bhakti Attaqwa, Raman Utara Lampung
Timur, Pondok Pesantren Miftahul Falah Mataram Baru Lampung Timur, Pondok
Pesantren Nurul Ulum Kota Gajah Lampung Tengah, Pondok Pesantren
Khozinatul Ulum, Seputih Banyak Lampung Tengah, dan pesantren-pesantren
lain.6
membutuhkan personal yang banyak. KH. Ali Qomaruddin SQ, Al-Hâfiz, Wawancara, tanggal 9Desember 2007
4 Donatur yang menyumbang pesantren pada umumnya karena tingkat kepercayaannyaterhadap pengelolaan dana di pesantren cukup tinggi, sehingga mereka dengan penuh keikhlasanuntuk menyumbangkan dananya. Hal ini dapat saja berubah kondisi manakala tingkat kepercayaanpara donatur berkurang, sehingga mungkin saja bisa menghentikan sumbangannya. Hi. Ma’ruf(Donatur Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an), Wawancara, tanggal 17 November 2007
5 Pembentukan Badan Wakaf yang ada di Pondok Pesantren Darussalam Gontormerupakan lembaga tertinggi dalam pesantren dimana setiap persoalan dibicarakan dan diputuskan.Di bawah badan wakaf inilah terdapat pelaksana harian yang mengurusi seluruh kegiatanpesantren. Jajang Jahroni, Merumuskan Modernitas: Kecenderungan dan Perkembangan Pesantrendi Jawa Tengah. dalam Mencetak Muslim Modern, Peta Pendidikan Islam Indonesia, DinaAfrianty (peny) (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 114
6 Dari awal pendirian umumnya pesantren-pesantren tersebut tidak membuka programtahfîz al-Qur’an, namun pada generasi selanjutnya ketika salah satu keluarga/ anak dari kyaipendiri pesantren ada yang telah hafal Al-Qur’an, maka
116
Dengan spesialisasi tahfîz al-Qur’an ini diharapkan sistem pembelajaran
dan juga metode yang digunakan lebih efisien karena tidak tercampur dengan
materi pembelajaran yang lain. Sehingga misi yang diembanpun menjadi jelas
bahwa out put dari Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an adalah para hâfiz dan
hâfizah.7
Modernisasi yang dilakukan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
merupakan salah satu upaya untuk memenuhi harapan masyarakat tentang
lembaga pondok pesantren yang sesuai dengan tuntutan masa depan. Modernisasi
dimaksudkan sebagai proses perubahan yang dilakukan sebagai upaya
memaksimalkan kinerja unit-unit yang ada di pesantren, upaya ini berkelanjutan
mulai dari merevisi susunan keanggotaan hingga pembentukan organisasi baru. Di
samping itu modernisasi merupakan langkah antisipatif terhadap derap laju era
globalisasi yang sudah tak dapat dihindari lagi. 8
Di sisi lain, upaya untuk lebih memajukan pesantren, Pondok Pesantren
Roudlotul Qur’an berupaya melebarkan sayapnya hingga menjangkau ke luar
7 Keadaan ini sama dengan apa yang terjadi di Pondok Pesantren Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (LEMKA), Gunung Puyuh Sukabumi Jawa Barat yang didirikan oleh KH. Drs. DidinSirojuddin AR. M.Ag.Di pesantren tersebut karena spesialisasinya adalah kaligrafi al-Qur’an (khat)maka tidak diajarkan disiplin ilmu yang tidak terkait dengan kaligrafi. Dengan demikian bagi siapasaja yang ingin mendalami kaligrafi bisa secara efektif dan efisien memilih di tempat tersebut.Didin Sirajuddin, AR, Mag, Serba-Serbi Pesantren Kaligrafi Al-Qur’an Lemka, (Jakarta: LemkaPress, 2003), h. 7
8 Sebagai konsekwensi dari upaya untuk menghadapi era globalisasi tersebut menurutQodri Azizy dewasa ini tipologi pondok pesantren menjadi semakin bertambah bila dibandingkandengan keberadaannya pada masa sebelumnya. Kelima tipolohi tersebut menurutnya adalah: 1)pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional baikyang hanya memiliki sekolah-sekolah agama (MI, MTs, MA) maupun yang memiliki sekolah-sekolah umum (SMP, SMA) dan Perguruan Tinggi, seperti Pesantren Tebu Ireng, Jombang,Pesantren Futuhiyyah Mranggen, dll. 2) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaandalam bentuk madrasah dan meng jarkan ilmu-ilmu umum, akan tetapi tidak menerapkankurikulum nasional , seperti pesantren Gontor Ponorogo, Darurrohman Jakarta, Pesantren MaslakulHuda, Kajen Pati Jawa Timur. 3) pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalammadrasah diniyah seperti pesantren salafiyah Langitan, Pesantren Lirboyo Kediri dan PesantrenTegal Rejo Magelang. 4) pesantren yang hanya merupakan tempat pengajian (tidak ada santri yangtidur di asrama) atau dalam istilah lain hanya sebagai majlis ta’lim. 5) pesantren yang kini mulaiberkembang dengan nama pesantren asrama pelajar sekolah umum dan mahasiswa. Ismail SM, dkk,Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Semarang: Pustaka Pelajar, 2002), h. viii
117
pesantren. Masyarakat sekitar juga menjadi agenda garapannya, khususnya dalam
bidang sosial dengan pendirian koperasi yang melibatkan warga sekitar. Pada
giliran selanjutnya pesantren menjadi suatu institusi pendidikan yang cukup
diterima di kalangan umat Islam.9
B. Bentuk Modernisasi
Modernisasi yang berkembang pada dasarnya merupakan suatu dinamika
dalam kehidupan manusia, sebagaimana dikenal bahwa selama peradaban manusia
ada telah berganti pula zaman dari sejak pra modern hingga modern dan akan
mengalami penerusan hingga postmodern. Semantara modernisasi dalam
pesantren merupakan sesuatu yang lahir dari proses dinamika kesejarahan
pesantren itu sendiri. Dalam pada itu pesantren mengalami modernisasi timbul
dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Terdapat beberapa pendapat yang
timbul mengenai hal ini. antara lain:
Pertama) tumbuh dan berkembang dari lembaga yang pernah ada
misalkan surau (Minangkabau), meunaseh, rangkang (Aceh)10 surau menurut Sidi
Gazalba merupakan bangunan peninggalan masyarakat setempat sebelum
datangnya agama Islam di Nusantara. Surau dalam sistem adat Minangkabau
adalah kaum, suku atau indu.11 Ia didirikan oleh suatu kaum tertentu sebagai
9 Lembaga tersebut adalah “Koperasi Roudlotul Qur’an” yang legalitasnya telah diakuidan berbadan hukum berdasarkan Surat Keputusan Dinas Perindustrian Perdagangan dan KoperasiKota Metro dengan nomor Badan Hukum : 518/003/BH/D.7.04/111/2007. Kendati pada tahap awalKoperasi Roudlotul Qur’an kegiatan pokoknya baru berupa Warung Serba Ada (WASERDA), akantetapi untuk rancangan jangka panjang ke depan akan diupayakan usaha-usaha lainnya. Usaha kedepan diupayakan bagaimana melibatkan masyarakat muslim sekitar Pondok Pesantren RoudlotulQur’an untuk berupaya bersama-sama meningkatkan taraf hidup dengan bekerja sama di bidangekonomi. Hi. Zakaria (Anggota Pengurus Yayasan Bidang Usaha dan Ekonomi), Wawancara,tanggal 27 Juni 2008
10 Munawir Sadzali, Pendidikan Agama dan Pembangunan Pemikiran Keagamaan,(Kumpulan Pidato Menteri Agama), (Jakarta: Depag RI, 1983/1984), h. 103
11 Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Antara,1983), h. 314-316
118
bangunan pelengkap dari rumah gadang, di sini beberapa keluarga yang saparuik
(berasal dari satu perut/ keturunan) berada di bawah pengasuhan seorang Datuk
(penghulu/ kepala suku) berdiam.12
Kedua) Muncul karena dilatarbelakangi semangat pembaruan Islam.
Semangat pembaruan tersebut boleh jadi lahir dari kesadaran umat Islam untuk
bangkit dengan berbagai motivasi antara lain: a) keinginan yang kuat untuk
kembali kepada al-Qur’an dan Hadis dalam merujukkan hukum-hukum syari’at,
karena diyakini bahwa kebesaran Islam hanya akan dapat tercapai apabila umat
Islam kembali ke zaman Rasulullah dan para sahabat dimana al-Qur’an dan Hadits
menjadi rujukan pertama. b) tumbuhnya semangat nasionalisme di kalangan umat
Islam terhadap penjajahan yang dilakukan oleh Barat yang kafir. c) ingin
memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, dan pendidikan. d) faktor pembaruan
pendidikan Islam di Indonesia13
Ketiga) respon terhadap kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintahan
penjajah kolonial Belanda dalam melaksanakan program pendidikan khusus untuk
para keturunan Belanda (MULO) 14 yang dinilai sudah lebih modern daripada
lembaga pendidikan yang dikelola para pribumi. Akan tetapi dalam menyikapi
kebijakan Belanda tersebut para pelopor pendidikan Islam mempunyai perbedaan.
Dalam hal ini mereka terbagi dalam tiga kelompok : a) kelompok yang bersikap
non kooperatif terhadap pola-pola yang dibangun dalam pendidikan Belanda.
Alasan utama mereka yang bersikap semacam ini adalah pendidikan Belanda
12 Azyumardi Azra, Surau Penddikan Islam Tradisional dalam transisi dan modernisasi,(Jakarta: Logos, 2003), h. 8
13 Berbagai motivasi tersebut merupakan hasil dari akumulasi perkembangan dinamikapesantren yang terus beerkembang sesuai dengan perkembangan zaman yang ada. Hal ini jugamengindikasikan bahwa pesantren selalu berupaya untuk melakukan improvisasi. Meskipun dalamkasus tertentu ada yang ingin mempertahankan eksklusivitas pesantrennya dengan tidak maumenerima yang berasal dari luar pesantren. Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah:Penddikan Islam dalam kurun modern, (Jakarta: LP3ES , 1994), h.26-29
14 Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau Sekolah Menengah Pertama padamasa penjajahan Belanda Moh Tauchid, Masalah Pendidikan Rakyat, (Bogor: Dewan Partai-PartaiSosialis Indonesia Bagian Pendidikan dan Penerangan, 1954), h. 8-9
119
mengindikasikan nilai-nilai kristenisasi. Proses kristenisasi ini merupakan paket-
paket yang diterapkan dalam kebijakan kolonisasi. Implikasi dari hal tersebut
memunculkan respon yang bervariasi bergantung pada sisi mana mereka berupaya
untuk menjawab. Pada level bawah berupa penolakan terhadap segala bentuk yang
datangnya dari penjajah Belanda yang kafir. Menirukan yang kafir berarti bersikap
tasyabbuh yang dapat berakibat menjadi murtad. Ungkapan man tasyabbaha bi
qaum fahuwa minhum menjadi senjata ampuh untuk meligitimasi penolakan
terhadap Belanda. 15 Pada tingkat yang lebih tinggi memunculkan bebagai
pertempuran yang berkobar atas nama agama (Islam) secara logis, kehadiran
pemerintahan kolonial Belanda menjadi ancaman signifikan bagi Islam.16
Sejarah perkembangan pondok pesantren di Indonesia terkait erat dengan
faktor-faktor kompleks. Pesantren itu sendiri, gerakan pembaruan Islam (Islamic
reform movement), dan sistem pendidikan ala Belanda (Barat) merupakan tiga
faktor penting yang secara bersama-sama menyediakan sebuah environment bagi
kemunculan pondok pesantren modern di Indonesia. Sementara pondok pesantren
merupakan lembaga pendidikan tradisional yang merupakan basis penyebaran
sistem pendidikan agama (madrasah) di Indonesia. Gerakan pembaruan Islam
(Islamic reform movement) merupakan jembatan perantara yang menjadi media
transmisi gagasan-gagasan modern dalam pengelolaan pendidikan Islam dari
Timur Tengah ke Indonesia. Sedangkan sekolah-sekolah gaya Eropa yang
diprakarsai pemerintah Kolonial Belanda yang menjadi inspirator sekaligus
15 Konteks perdebatan semacam ini muncul pada awal abad ke-20, mengenakan dasi, jas,pantalon dianggap kebiasaan orang Belanda yang kafir. Sementara itu kalangan pribumimengenakan sarung, peci, blangkon, dan sejenisnya. Natalie Mobini Kesheh, The HadramiAwakening, Community and Identity in the Netherlands East Indies, 1900-1942, (Ithaca: CornellUniversity Press, 1999), h. 27
16 Ansari, “Kolonialisme dan Kristenisasi di Indonesia: Dua Sisi Mata Uang yang takTerpisahkan (Suatu Tinjauan Sejarah)", Jurnal Agama & Budaya MIMBAR, Vol. 23 No.3. tahun2006
120
kompetitor kaum Muslim Indonesia dalam mengembangkan sistem pendidikan
Islam modern di Indonesia. 17
Pondok pesantren di Indonesia merupakan lembaga pendidikan yang
sangat dinamis. Interaksi antara pondok pesantren dengan modernisasi yang
berlangsung secara berkelanjutan mendorong munculnya model-model lembaga
pendidikan pesantren khas Indonesia. Di samping itu muncul pula pesantren-
pesantren di Indonesia yang mengusung konsep baru yang umumnya dibangun
oleh para muslim reformis.18
Pada umumnya pondok pesantren bernaung di bawah sebuah yayasan
pendidikan. Yayasan ini dapat saja merupakan milik pribadi/ perorangan maupun
milik bersama/ kolektif. Perbedaan ini biasanya juga akan berimplikasi pada corak
managerial yang berlangsung di yayasan tersebut, bahkan ke pesantren yang
bernaung di bawahnya. Perbedaan ini juga akan menjadi sangat berarti apabila
dikaitkan dengan perspektif pembinaan dan pengembangan pesantren dalam
struktur relevansinya dengan pengembangan Sistem Pendidikan Nasional di masa
mendatang, yang tentu saja masing-masing mempunyai kekurangan dan kelebihan.
Kelebihan pesantren dengan yayasan yang dimiliki perorangan adalah,
antara lain: mereka mempunyai kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya
sendiri dan bebas merencanakan pola pengembangannya. Tokoh sentral (dalam
hal ini kiai) menjadi sangat dominan sehingga dalam gerak langkah organisasi
17 Abudin Nata, Pendidikan Islam di Era Global (Pendidikan Multikultural, PendidikanMulti Iman, Pendidikan Agama, Moral dan Etika), (Jakarta: UIN Press, 2005),h. 202-205
18 Muslim reformis pada umumnya disandarkan pada mereka yang menerapkan polapendidikan pondok pesantren modern secara langsung, maksudnya pesantren yang dibangun tidakmesti berasal dari sebuah pengajian yang ada di suatu masjid kemudian menjadi besar layaknyapesantren-pesantren tradisional terdahulu (seperti hasil penelitian Zamakhsyari Dhofier, TradisiPesantren), tetapi langsung membuka pendaftaran untuk masuk ke pesantren. Tradisi ala NU dalamperibadatan pondok pesantren jenis ini juga tidak nampak, bahkan dalam hal-hal tertentu merekamenolak tradisi yang ada di kalangan NU. Pendirinya umumnya berasal dari mereka yangmendapatkan pendidikan ala Timur Tengah, baik yang langsung belajar di sana maupun yangbelajar di Indonesia. Ustadz Romadhon, Lc, (Pengasuh Pesantren Darussalam Metro), Wawancara,tanggal 13 Mei 2008
121
pesantren semacam ini akan lebih banyak ditentukan oleh figur kiai yang biasanya
menjadi figur yang disegani. 19 Akan tetapi mereka juga memiliki kelemahan-
kelemahan antara lain: ia akan selalu tergantung oleh kemauan dan kemampuan
perorangan yang belum tentu konsisten dalam melaksanakan kebijakan.
Manajemennya biasanya tertutup dan kurang bisa mengakomodir masukan-
masukan dari luar yang mungkin saja tepat untuk diterapkan. Pola semacam ini
tak pelak lagi melahirkan implikasi manajemen otoritarianistik. Oleh karena itu
pembaharuan menjadi suatu hal yang acap sulit diwujudkan terlebih lagi apabila
figur pemilik yayasan tersebut kurang aspiratif dengan perkembangan zaman. Di
samping itu pola seperti ini akan berdampak kurang prospektif bagi
kesinambungan pesantren di masa depan. Maka banyak pesantren yang
sebelumnya populer, tiba-tiba jatuh kehilangan pamor, ketika sang kiai
meninggal.20
Sebaliknya kelebihan pesantren yang berada di bawah sebuah institusi/
lembaga yang dikelola secara kolektif antara lain tidak selalu bergantung pada
perorangan, tetapi tergantung pada institusi yang lengkap dengan mekanisme-
sistem kerjanya, sehingga dapat dikontrol dan dievaluasi kemajuan dan
kemundurannya dengan menggunakan tolok ukur yang obyektif dan proporsional.
Sedangkan kelemahannya antara ialah: adanya kemungkinan terbelenggu dengan
aturan-aturan birokrasi sehinga kurang lincah dalam mengambil keputusan yang
dapat menjadi penghambat kemajuan. Di sisi lain mengingat kebijakan pesantren
19 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai(Jakarta: LP3ES, 1982), h. 90-92
20 Oleh karena itu pondok pesantren yang masih tetap melestarikan manajemen semacamini biasanya meskipun terkadang membentuk yayasan yang anggotanya juga kolektif, namun padatataran aksi lebih cenderung monoleader. Pola ini dapat ditemukan pada pondok-pondokpesantren tradisional/ salafiyah. Lihat A.Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta:Fajar Dunia , 1999), h. 115
122
tidak ditentukan oleh satu orang, sehingga membuka peluang adanya benturan-
benturan berbagai ide dan kepentingan.21
Akan tetapi secara keseluruhan, baik pesantren dengan status milik pribadi
maupun milik institusi/ kolektif, figur kiai tetap merupakan tokoh kunci dan
keturunannya memiliki peluang terbesar untuk menggantikan posisinya. Tradisi
semacam ini mengingat proses pembudayaan yang terjadi di pesantren sejak awal
adalah demikian halnya. Sebagai suatu lembaga pendidikan agama Islam pesantren
menyebarkan ajaran agama Islam melalui proses pembudayaan kehidupan
masyarakat Islam, terutama mengenai pemahaman dan pengamalan ajaran Islam
dalam kehidupan bermasyarakat. 22 Demikian halnya pada Pondok Pesantren
Roudlotul Qur’an.
Keadaan awal Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dipandang dari
kuantitatif anggota pengurus masih sangat minim untuk ukuran kelayakan sebuah
yayasan pendidikan, dan lembaga pendidikan yang dikelola baru merupakan
pondok pesantren yang mengandalkan pola-pola pendidikan klasik, 23 belum
21 Secara umum pondok pesantren yang dikelola secara kolektif merupakan wujud dariadanya upaya pembaharuan dari berbagai elemen pondok pesantren tersebut. Pembaharuan inimerupakan respon dari pondok pesantren tradisional yang dalam pandangannya terdapat sisi-sisikelemahan, pada akhirnya pembaharuan dijadikan alat untuk mengantisipasi sisi kelemahantersebut. Sehingga dapat ditemukan orientasi yang baru pada visi, misi dan tujuan pondokpesantren. baca Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h.73
22 Pondok pesantren bisa dikatakan sebagai “bapak” pendidikan Islam di Indonesia, iadidirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zamannya hal ini bisa dilihat dari perjalananhistorisnya, bahwa sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah islamiyah,yakni mengembangkan dan menyebarkan ajaran Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama’.Sebagai suatu lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren dari sudut historal kultural dapatdikatakan sebagai “training centre” yang secara otomatis menjadi “cultural central” Islam yangdisahkan atau dilembagakan oleh masyarakat, setidaknya oleh masyarakat Islam sendiri, olehkarena itu gelar ataupun status yang diperoleh semata-mata berasal dari masyarakat. Hasbullah,Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 40
23 Pemikiran Islam ala pesantren salafiyah yang menggarisbawahi perlunya melestarikantradisi keilmuan Islam yang telah dibangun secara kokoh sejak berabad-abad yang lalu. Tradisikeilmuan Islam lebih khusus tradisi keilmuan pesantren, dianggap sebagai kekayaan dan kekuatanspiritual yang perlu dipertahankan, tanpa harus ditawar apalagi dipertanyakan bagaimana asal-usultradisi tersebut. Mempertanyakan tradisi berarti meragukannya, dan bahkan dapat dianggapmengingkari wujud tradisi yang selama ini dipegangi dengan kokoh. Dalam pandangan kebanyakanmuslim Indonesia, mempertanyakan tradisi setidaknya akan membingungkan umat. Tradisi
123
menggunakan sistem klasikal. Hal ini dapat dilihat dari pola/ sistem sorogan yang
merupakan metode pembelajaran klasik. Hanya perbedaannya kitab yang
dijadikan bahan sorogan bukan kitab kuning yang merupakan karangan ulama’-
ulama’ terdahulu, akan tetapi kitab yang dikaji untuk bahan sorogan adalah kitab
suci Al-Qur’an, mengingat pada saat itu kegiatan pesantren terfokus pada upaya
menghafalkan Al-Qur’an ditambah dengan kegiatan diniyyah ala pesantren klasik.
Hingga pada perkembangan selanjutnya pesantren ini berupaya mengembangkan
sayapnya untuk menjawab tantangan yang dihadapi umat Islam yang sehingganya
alumni pesantren ini diharapkan mampu berkiprah di masyarakat di tengah
pergumulan masyarakat sosial yang kompleks.24
Pada saat itu pengurus/ pendiri yayasan hanya terdiri dari 5 orang
sebagaimana tertuang dalam akta notaris Arief Hamidi Budi Santoso, SH
tertanggal 3 Agustus 2004. Kelimanya tersebut adalah :
1. Pembina yayasan : Drs. H. Ali Qomaruddin al-hafiz2. Ketua yayasan : Lamijiono, SPd. MM3. Sekretaris yayasan : Muslim, SPd.I4. Bendahara yayasan : Siti Rumzannah5. Pengawas yayasan : Hi. Miswadi, Bms25
Pola kelembagaan pesantren masih didominasi oleh kiai sebagai figur
sentral mengingat corak pesantren pada awal pendirian masih mempertahankan
(pesantren) merupakan sumber kekuatan yang ampuh untuk menahan badai perubahan di eragelombang perubahan sosial budaya yang kurang bersahabat dengan masyarakat muslim. Bentukpiramida pemikiran Islam yang meliputi Kalam, Fiqh, Tasawuf adalah bentuk bangunan yang“paten”, yang ghairu qabilin li al-taghyir, ghairu qabilin li al-niqas. Generasi sekarang tinggalmewarisi begitu saja warisan kekayaan intelektual-spiritual generasi terdahulu tanpa disertai sikapkritis. Tidak ada kreativitas yang bersifat inovatif untuk mengembangkan tradisi sesuai denganperkembangan wilayah pengalaman manusia. Karya-karya manusia (ulama) klasik diposisikansebagai panduan dan tak ada ruang berpikir untuk mempertanyakannya. Fazlur Rahman, Islam andModernity: Transformation of Intellectual Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, h.32. Martin Van Bruinessen, “Pesantren dan Kitab Kuning: Pemeliharaan dan KesinambunganTradisi Pesantren”, Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 4, th. 1992, h. 73-85.
24 KH. Ali Qomaruddin al-Hafiz, (Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an),Wawancara, tanggal 7 Desember 2007.
25 salinan akta notaris Yayasan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
124
tradisi-tradisi lama/ klasik. Dan pada saat awal jumlah santri masih terhitung
sedikit sehingga masih dapat dikontrol oleh kiai.
Proses pembaharuan selanjutnya dilakukan pada bulan September 2006
dengan melengkapi anggota lain dengan harapan akan lebih mengoptimalkan
gerak langkah yayasan dalam mengelola pendidikan.26 Pembaharuan yang paling
signifikan diarahkan pada komposisi personal anggota pengurus yayasan. Nama
yayasan yang sebelumnya Yayasan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an diubah
menjadi Yayasan Roudlotul Qur’an. Hal ini dimaksudkan untuk memperluas
ruang gerak yayasan, karena diharapkan pada perkembangan selanjutnya yayasan
tidak hanya berada dalam ruang lingkup pesantren akan tetapi juga dapat keluar
pesantren yaitu ke masyarakat luas.
Penambahan anggota pengurus tidak dapat dielakkan mengingat
kebutuhan personal dalam menjalankan organisasi yang mengalami perubahan
mutlak dibutuhkan. Hal ini karena gerak-langkah yayasan yang baru telah berubah
dari yayasan terdahulu, dimana kalau yayasan yang dulu hanya mengacu pada
bidang pendidikan saja. Akan tetapi untuk yayasan yang baru diagendakan pula
program-program lain yang tidak saja berkaitan erat dengan pendidikan an sich,
26 Kenyataan tersebut di atas menggambarkan bahwa pola pendidikan Islam yang padagiliran selanjutnya menjadi wahana pembaharuan pendidikan Islam. Karena pendidikan dipandangsebagai pintu gerbang pembuka bagi masuknya unsur-unsur pembaharuan. Pembaharuanpendidikan Islam pada esensinya adalah pembaharuan pemikiran dan perspektif intelektual,khususnya melalui penerjemahan sejumlah literatur Eropa yang dipandang esensial ke dalampembaharuannya. Pembaharuan tersebut banyak menggunakan wahana pendidikan baik dengancara mendirikan sebuah lembaga sebagai proyek percobaan pembaharuannya, maupun dengan caramengembangkan pemikirannya mengenai bentuk pendidikan alternatif kepada umat Islam.Bertolak dari uraian ini, maka yang dimaksud dengan pembaharuan pendidikan Islam adalah upayaumat Islam baik oleh tokoh maupun lembaga untuk melakukan perubahan dalam pendidikan Islamke arah yang lebih berkualitas dengan cara menyumbangkan pemikirannya sesuai dengan tuntutanzaman dengan tetap berpedoman kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Azyumardi Azra, PendidikanTinggi Islam dan Kemajuan Sains, sebuah pengantar dalam Charles Michael Stanton, PendidikanTinggi dalam Islam, (terj), (Jakarta: Logos,1994) h. xiii
125
sehingga dapat dilihat dalam struktur yang ada di atas terdapat anggota-anggota
yang bukan dari kalangan praktisi pendidikan.27
Pada periode 2006-2007 terdapat pembaharuan dari aspek kelembagaan
yakni berupa peningkatan jumlah pengurus yayasan yang pembentukannya
diharapkan akan lebih mengoptimalkan kinerja yayasan. Dalam upaya pemilihan
anggota tersebut dipilih berdasarkan atas pertimbangan dedikasi dan kompetensi
yang mereka miliki. Pembenahan ini diharapkan menimbulkan adanya
peningkatan baik secara kuantitatif maupun kualitatif pengurus lembaga
pendidikan ini. Dari satu periode ke periode berikutnya. Namun demikian yang
penting dalam penetapan jumlah pengurus yang semakin bertambah adalah aspek
efisiensi dan efektifitas kerja mereka, meskipun ada sebagian pengurus yang juga
merangkap sebagai tenaga pengajar. 28
Berdasar komposisi pengurus tersebut, masing-masing anggota yayasan
berupaya untuk mengembangkan pesantren ini. Maka bila dikaji lebih lanjut, para
pengurus di atas tidak meski orang-orang yang mempunyai latar belakang
pendidikan pesantren ataupun sekolah agama. Namun berasal dari berbagai
kalangan yang diharapkan mempunyai kapabilitas di bidang yang dibebankan
kepadanya. Penekanan yang paling utama adalah bagaimana mereka mampu dan
mau melaksanakan tanggung jawab bersama demi kebesaran yayasan. Kondisi
obyektif di lapangan selama penulis melakukan observasi langsung menunjukkan
bahwa aktivitas para pengurus cukup berperan dalam mengembangkan Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an, meskipun dalam beberapa kasus masih terdapat
kekurangan.
27 Rekrutmen yang dilakukan mengacu pada pembagian tugas dan tanggung jawab yangdibebankan kepada masing-masing anggota pengurus yayasan, contohnya untuk bidang HubunganMasyarakat (HUMAS) dan Publikasi yayasan, maka ditunjuk seorang Wartawan dari stasiun TVLampung (LTV). Dokumentasi Surat Keputusan Yayasan Roudlotul Qur’an nomor:007/MUS.YPRQ /KPTS/VII/2006.
28 Hi. Beni Mustofa (Ketua Yayasan Roudlotul Qur’an), Wawancara, tanggal 23 Mei2007
126
Di sisi lain akibat dari pembentukan pengurus yayasan yang baru ini
mengakibatkan terbaginya komponen yayasan ke dalam beberapa bagian, kendati
perpecahan ini tidak secara kasat mata, akan tetapi nampak dari keberpihakannya
beberapa komponen ke dalam bagian-bagian tertentu. Bagian pertama merupakan
para donatur awal yang tidak menginginkan modernisasi pesantren dengan
mengubah identitas pesantren dari yang murni Al-Qur’an menjadi pesantren
modern yang membuka program-program pendidikan lainnya. 29 Sementara di
bagian lain para pengurus yang lebih banyak berkecimpung pada tarap praktis
menginginkan modernisasi dengan membuka program pendidikan baru.
Kelanjutan dari munculnya perbedaan pandangan dalam membangun dan
mengembangkan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an ini adalah keengganan para
donatur terdahulu untuk menyumbangkan dananya ke pesantren. 30 Dengan
demikian pesantren perlu mengupayakan donatur baru untuk membangun
pesantren lebih lanjut. Sementara pembukaan program baru yang merupakan
pendidikan formal mendapat bantuan dari Pemerintah berupa BOS. (Bantuan
Operasional Sekolah), DAK (Dana Alokasi Khusus) dan bantuan-bantuan lain.
Sehingga dalam pemikiran donatur terdahulu pesantren sudah memiliki sumber
dana baru yang dapat dipergunakan untuk pengelolaan pesantren.31
Di bidang kelembagaan pendidikan pada tahun ajaran 2004/2005 pesantren
membuka program pendidikan Tarbiyatul Mu’allimin Wal Mu’allimat al-
29 Kelompok ini umumnya para generasi tua yang pada awal pendirian sangat antusiasmendukung pesantren dengan spesialisasi Al-Qur’an. Latar belakang mereka yang umumnyasemasa muda menuntut ilmu di pondok pesantren salafiah menjadikan mereka tetap pada pendirianuntuk menjaga pola pendidikan ala pesantren klasik. Modernisasi bagi mereka seharusnya tidakharus membuka program baru yang berimplikasi pada hilangnya identitas tahfîz al-Qur’an. Hi.Muhammad Ma’ruf (Donatur Yayasan Roudlotul Qur’an), Wawancara, tanggal 12 Oktober 2007
30 Ustadz Ahmad Ansori (Lurah Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an), Wawancara,tanggal 17 Juni 2007
31 Selain dana-dana tersebut pihak pondok pesantren juga mendapatkan dana dari bedahAPBD. yang biasanya dikucurkan oleh Pemerintah Kota Metro melalui Bagian KesejahteraanRakyat (Kesra) yang turun setahun sekali. Untuk tahun anggaran 2008 ini Pondok PesantrenRoudlotul Qur’an mendapat bantuan dana sebesar Rp 25.000.000,00.
127
Islamiyyah (TMI) yang berupaya memadukan pendidikan formal Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang menginduk
ke Dinas Pendidikan Nasional dengan pola pendidikan Tarbiyatul Mu’allimin Wal
Mu’allimat al-Islamiyyah (TMI) yang ada di Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan
Madura Jawa Timur. Sehingga sekolah dengan pola seperti ini berada di bawah
naungan Departemen Pendidikan Nasional dan tidak di bawah naungan
Departemen Agama. Dan untuk SMP telah dikeluarkan Surat Keputusan dari
Dinas Pendidikan Kota Metro tentang perizinan penyelenggaraan pendidikan
dengan nomor: 420/670/01/d.3/2005. dengan Nomor Statistik Sekolah :
202126103024 dan Nomor Induk Sekolah : 200240.32 Sedang untuk SMA telah
dibuka pada tahun ajaran 2005/ 2006 dengan tujuan bahwa tamatan SMP harus
meneruskan ke SMA mengingat pola pendidikan TMI memang berjenjang sampai
enam tahun.33 Inilah yang membedakan dengan SMP/ SMA lain khususnya di
wilayah Kota Metro dan sekitarnya.
Ada perbedaan nama tentang Pondok Persantren yang menggunakan sistem
Mu’allimin di Indonesia. Ada yang menggunakan istilah Kulliyat al-Mu’allimîn
al-Islâmiyyah34 yang biasa disingkat KMI seperti Pondok Modern Darussalam
Gontor, dan beberapa cabangnya serta pondok-pondok yang didirikan para
alumninya, ada pula yang menggunakan istilah Tarbiyat al-Mu’allimîn al-
32 Muhammad Qomaruddin (Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum), Wawancara,tanggal 16 Mei 2007
33Laila Rismadiati (Dewan Guru SMP TMI Roudlotul Qur’an), Wawancara, tanggal 3Mei 2007
34Kulliyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyyah (KMI) adalah salah satu lembaga yang menanganipendidikan tingkat menengah di Pondok Modern Darussalam Gontor. Lembaga ini didirikantanggal 19 Desember 1936. (KMI) merupakan lembaga Pendidikan Guru Islam yangmengutamakan pembentukan kepribadian dan sikap mental, dan penanaman ilmu pengetahuanIslam.Dalam sejarah perjalanannya, KMI telah lima kali mengalami pergantian direktur, secaraberurutan sebagai berikut: K.H. Imam Zarkasyi (1936-1985), K.H. Imam Badri (1985-1999), K.H.Atim Husnan (1999-2002), dan K.H. Syamsul Hadi Abdan (2002-2006). K.H. Ali Sarkowi, Lc(2007). http://gontor.ac.id
128
Islâmiyyah (TMI) seperti Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan, Madura, 35
Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Jawa Timur dan lain-lain. Akan tetapi pada
intinya kedua istilah ini secara umum memiliki karakteristik yang sama, yakni
sistem mu’alimin yang dimungkinkan cikal-bakalnya sudah lama diterapkan di
Padang Panjang Sumatera Barat. 36
Ada hal-hal yang menarik dari sistem mu’alimin ini. Pertama, semua
materi pelajaran disajikan dalam sebuah kelas formal, dan sistem pengajarannya
lebih modern dalam arti bukan sistem tradisional yang terkesan pasif karena hanya
guru yang aktif. Kedua, perhatian yang lebih kepada fondasi keilmuan ,materi
pelajaran yang disajikan, meskipun terkesan mendasar seperti kitab-kitab maraji’
(referensi) yang rendah seperti Nahwu Wadlîh37 dan yang lainnya, tapi justru itulah
35 Pondok Pesantren Al-Amin yang secara kurikulum juga mengacu pada kurikulum yangada di Pondok Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo. Pesantren yang secara resmi didirikanpada Jum at, 10 Syawal 1371 H. bertepatan dengan 3 Desember 1971 M. merupakan wujud dariobsesi KH. Djauhari yang ingin mendirikan pondok pesantren ala Gontor di daerah Madura. Akantetapi satu hal yang membedakannya dengan Pondok pesantren Gontor adalah di sampingmengembangkan kurikulum ala TMI. Pondok Pesantren Al-Amin mempunyai spesifikasi padapengembangan Tahfîz al-Qur’an . Departemen Agama RI. Direktori Pesantren, h. 373-376.Lembaga TMI di satu sisi dan Tahfîz al-Qur’an di sisi lain inilah yang menjadikan dasar bagiPondok Pesantren Roudlotul Qur’an untuk mengadopsi kurikulum yang ada di Pondok PesantrenAl-Amin.
36 Sumatera Thawalib mulai didirikan pada sekitar tahun 1910an dari pangajian yangdiadakan di surau-surau, di antara surau-surau tersebut adalah surau Jambatan Basi Padang Panjangmilik Syekh H. Abdullah Ahmad & Syekh Abdul Karim Amarullah atau Haji Rasul, Surau Parabekmilik Syekh Ibrahim Musa, Surau Padang Japang Payakumbuah milik Syekh Abbas, Maninjau &Batusangkar manjadikan sistem surau (halaqah) menjadi sistem sekolah yang dinamakan SumateraThawalib. Perguruan tersebut melaksanakan program yang sama meskipun tidak dalam semuaaspek. Thawalib Parabek setelah mangalami pasang surut di tahun 1990an kini mulai bangkitdengan memperbaiki kurikulum, kualitas tenaga pengajar, kesejahteraan guru, fasilitas pendidikandan asrama, jumlah murid pada saat itu mancapai 650. dari jumlah tersebut sebagian santri adayang berasal dari Aceh, Riau Jambi dll. Keadaan ini berjalan hingga tahun 1960 & 1970an. Padasaat terjadi gempa bumi Gampo bangunan yang hancur sebanyak 9 lokal dan selanjutnya dibangun kembali menjadi bangunan bertingkat tiga. Pada suatu ketika pernah mengalami kesulitanmencari guru bahasa Arab, sampai-sampai dipasang iklan di koran Sumbar namun pelamar yangmasuk tidak ada yang memenuhi standar, akhirnya didatangkanlah guru bahasa Arab dari Jawa.Disarikan dari makalah berbahasa Minangkabau. WWW. RantauNet, tanggal 6 Mei 2008
37 Ali Jarim dan Mustofa Amin, Nahwu Wadlîh (Jakarta: Alaydrus, t.th) Dr. MahmudIsmail al-‘Arabiyyah li an-Nâsyi in (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) merupakan kitab-kitab yang lazimdisampaikan dalam mata pelajaran Nahwu, hal ini berbeda dengan kitab-kitab yang disampaikan dipesantren-pesantren salafiyah yang biasanya mengajarkan kitab Nahwu seperti Jurumiyyah, al-
129
yang harus diperkuat. Karena semakin kuat pondasi semakin kokoh bangunan di
atasnya. Ditopang dengan sistem pengajaran yang aktif-aplikatif. Diibaratkan
belajar dengan sistem ini para pengajar berusaha memberikan kunci dan kewajiban
para anak didik selanjutnya adalah membuka khazanah-khazanah pengetahuan
yang ada dengan kunci yang telah ia peroleh tersebut. Lemari apapun kalau sudah
dipegang kuncinya dapat dibuka. Ketiga, al-’Ulǔm al-Tanzîliyyah (ilmu-ilmu
berbasis agama) disajikan secara komprehensif (menyeluruh), berbeda dengan
Madrasah Tsanawiyah maupun Aliyah yang ada. Keempat, sebenarnya kalau
dilihat dari arti secara bahasanya, TMI berarti Pendidikan Guru Islam seakan tidak
jauh berbeda dengan Pendidikan Guru Agama (PGA) tempo dulu. Hal ini
dimaksudkan bahwa sistem ini berupaya mencetak kader-kader yang memiliki
jiwa pendidik meskipun tidak harus berprofesi sebagai guru agama di sekolah. 38
Di lain pihak pemilihan Tarbiyat al-Mu’allimîn al-Islâmiyyah (TMI) dan
bukannya Kulliyatul Mu’allimîn al-Islâmiyyah (KMI), menurut Ustadz Saiful
Hadi, LC, adalah terinspirasi dengan sistem mu’allimîn yang ada di Pondok
Pesantren Al-Amin, Prenduan Madura Jawa Timur yang mempunyai sedikit
perbedaan dengan Pondok Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur,
yaitu perangkat pendidikan TMI disesuaikan dengan kondisi sosial keagamaan
masyarakat yang masih kental dengan tradisionalitasnya sehingga lebih membumi.
Jadi tradisi-tradisi seperti tahlilan, pembacaan al-Berzanji, dan pengajian kitab
kuning dengan sistem sorogan39 semuanya ada di Pondok Pesantren tersebut. Di
‘Umrity, Al-Fiyah karangan ibn Malik. Perbedaan ini didasarkan bahwa untuk kitab nahwu yangdiajarkan di pesantren modern titik tekannya pada kemampuan berbahasa Arab secara aktif dalampercakapan sehari-hari, sedangkan di pesantren-pesantren salaf pengajaran bahasa Arab lebihditekankan untuk memahami struktur gramatika Arab yang dipergunakan untuk memahami kitab-kitab klasik (kitab kuning).
38 KH. Ali Komaruddin, SQ. Al-Hafiz (Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an),Wawancara, Tanggal 27 Mei 2006
39 Tradisi semacam ini merupakan hal yang lazim dilakukan di pesantren-pesantrensalafiyah, bahkan dalam tradisi yang berkembang di masyarakat Islam Lampung acara tahlilanpada malam Jum at, malam pertama hingga ketujuh sesudah seseorang meninggal, dan padamalam-malam ke 40, 100, 1000 dari meninggalnya seseorang merupakan tradisi yang sangat kuat.
130
samping Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan juga mempunyai program Tahfîz
al-Qur’an yang merupakan cikal bakal dari Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an.
Hal lain yang menarik adalah sistem mu’allimin di Pondok Pesantren
Roudlotul Qur’an dikombinasikan dengan kurikulum Sekolah Menengah Pertama
(SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Maka praktis kurikulum yang ada
adalah kombinasi antara kurikulum Departeman Pendidikan Nasional dan
kurikulum Mu’allimîn.40 Sehingga bukan mu’allimin an sich.
Bila dianalisa tingkat responsitas yayasan terhadap modernitasnya, maka
pada level yayasan ini sebenarnya bila dilihat masing-masing personal cukup baik.
Hal ini dapat dilihat dari komposisi personal dan bidang-bidang yang menjadi
tanggung jawabnya cukup tepat. Akan tetapi bila dilihat pada kenyataannya
masih terdapat beberapa aspek yang belum berjalan sesuai dengan harapan. Pada
umumnya anggota yayasan merupakan orang-orang yang mempunyai tingkat
kesibukan yang tinggi pada karier masing-masing, hal ini berdampak pada
tanggung jawab yang dibebankan dari Yayasan Roudlotul Qur’an merupakan
pekerjaan sampingan yang hanya sebagai lahan perjuangan. Dengan demikian
kinerja anggota yayasan banyak berkisar pada tataran idealis, andaikan saja ada
yang berada di tataran praksis biasanya hanya melibatkan beberapa personal saja.41
Bentuk dari minimnya dalam merespon modernitas adalah ketika
menentukan/ mengangkat Kepala Sekolah baik untuk SMP maupun SMA tidak
Di lain pihak pembacaan Al-Barzanji di malam walimatul ‘urs, walimatul khitan, syukurankelahiran merupakan tradisi yang masih berlangsung. Sehingga dalam satu dusun (yang rata-rataterdiri atas 40 Kepala Keluarga) terdapat kelompok tahlilan, Berzanji baik yang dilakukan olehibu-ibu maupun bapak-bapak. Pada kenyataan inilah biasanya kyai pesantren juga bertindaksebagai pemimpin jamaah tahlilan di lingkungan pesantren. Kyai Rosyadi (Pemimpin JamaahYasin/ Tahlil dusun II Mulyojati Metro Barat), Wawancara, tanggal 22 Maret 2008
40 Ketika Departemen Pendidikan Nasional memberlakukan kurikulum berbasiskompetensi (KBK), maka kurikulum ini juga diberlakukan di SMP TMI Roudlotul Qur’an danjuga pada saat kurikulum berubah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). AhmadKomaruddin (Waka Kurikulum SMP TMI Roudlotul Qur’an), Wawancara¸ tanggal 9 Mei 2008
41 Dalam hal ini gerak langkah yayasan baru berada pada level Dewan Harian, yakniKetua, Sekretaris, dan Bendahara. Hi. Miswadi (Wakil Yayasan Roudlotul Qur’an), Wawancara,tanggal 12 Agustus 2007
131
berkoordinasi dengan para dewan guru. Padahal manajemen di sekolah adalah
antara Kepala Sekolah dan guru. 42 Dewan guru pada hakikatnya hanya
diibaratkan sebagai pekerja/ buruh pendidikan yang hak-haknya terbatas, yang
menjadi mitra pihak Yayasan Roudlotul Qur’an adalah Kepala Sekolah.43
Keadaan di atas pada akhirnya mengakibatkan kurang harmonisnya antara
guru dengan Kepala Sekolah. Keadaan ini diperparah dengan kenyataan bahwa
Kepala Sekolah (untuk SMP) bukan personal yang pernah berkecimpung di dunia
pesantren, hal ini tentu saja dapat berakibat kurang baik, mengingat kesemua
murid baik SMP maupun SMA adalah murid yang tinggal di asrama pesantren.
Pada dasarnya maksud awal dari pihak yayasan ketika menentukan figur Kepala
Sekolah karena didasarkan pertimbangan bahwa Kepala Sekolah hendaknya
berasal dari figur PNS yang diperbantukan di sekolah swasta (DPK) agar ketika
menjalankan tugas-tugasnya dapat berjalan dengan baik tanpa harus mengandalkan
honorarium dari pihak yayasan. Pandangan tersebut mungkin bisa dibenarkan
ketika mempertimbangkan masalah efisiensi anggaran yayasan, namun di sisi lain
apakah tujuan efisiensi ini harus mengorbankan suara dewan guru untuk
menentukan sikap dalam memilih figur siapa yang akan memimpinnya dalam
menjalankan roda pendidikan di sekolah.44
Imbas dari kebijakan yayasan tersebut ternyata tidak cukup di situ saja,
karena Kepala Sekolah bukan orang pesantren maka kebijakannya tak jarang harus
42 Muhammad Qomaruddin, Wawancara, tanggal 16 Maret 200843 Hi. Miswadi, Wawancara, tanggal 12 Agustus 200744 Dalam rapat penentuan Kepala Sekolah SMP TMI yang diadakan oleh yayasan
Roudlotul Qur’an pada tanggal 7 Juni 2006, pihak yayasan tidak melibatkan wakil Dewan Guruyang ada. Dari para peserta rapat yang diundang semuanya hanya anggota yayasan yang tidaksecara langsung terjun di kelas. Penunjukan ini hanya semata-mata pertimbangan dari pihakyayasan. Begitu pula pengangkatan Kepala Sekolah untuk SMA TMI, yayasan hanyamemperhatikan pertimbangan segelintir orang untuk menentukan jabatan kepala sekolah. Padaperkembangan selanjutnya roda organisasi di sekolah terasa kurang harmonis. Pada kasus sepertiinilah disadari memang semangat modernisasi yang menjunjung nilai-nilai demokrasi belumditerapkan secara proporsional. Laila Rismadiati (Guru DPK SMP TMI.), Wawancara, tanggal 16Juni 2008
132
beradu kepentingan dengan para ustadz yang membina para santri di asrama yang
merupakan orang-orang pesantren. Sehingga terjadi gap antara guru yang berasal
dari luar pesantren dengan guru-guru dari dalam pesantren. Hal ini diperparah
dengan kebijakan Kepala Sekolah yang mengubah jadwal pelajaran agama pada
malam hari di luar jam sekolah. Sehingga timbul anggapan bahwa pelajaran-
pelajaran agama hanya pelajaran nomor dua/ skunder.45
Untuk memperkecil pihak-pihak yang berasal dari luar pesantren
sebenarnya pihak pengasuh pondok telah mengusahakan upaya-upaya yang
strategis diantaranya memasukkan dewan guru alumni dari Pondok Pesantren
Modern Darussalam Gontor Ponorogo agar kemampuan yang telah diperolehnya
dapat diberikan kepada para santri, tujuan tersebut memang baik, akan tetapi pada
kenyataannya di samping mengajar & tinggal di asrama bersama para santri
umumnya mereka juga masih melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi yang
berada di luar pesantren. Hal ini tentu berdampak pada santri bimbingan mereka di
asrama. 46
Dalam bidang keorganisasian di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
sudah menunjukkan kemajuan yang menggembirakan. Di bidang kepemudaan
45 Keterlibatan berbagai elemen dalam Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an memangberimplikasi pada perbedaan pemahaman dan kepentingan. Sehingga tak pelak melahirkanbeberapa “kelompok” dalam memaknai dan mengupayakan modernisasi. Kelompok pertamamereka yang berasal dari kalangan alumni pesantren modern baik dari Pesantren DarussalamGontor Ponorogo, Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo, Pesantren Al-Amin Prenduan Madura,maupun dari Pondok Pesantren Modern Al-Madinah, Labuhan Maringgai Lampung Timur.Kelompok kedua merupakan kalangan yang berasal dari para alumni pesantren salafiyah,dan yangketiga adalah mereka yang bukan berasal dari kalangan pondok pesantren baik modern maupunsalafiyah. Dari kelompok-kelompok ini, kelompok ketiga merupakan bagian terbanyak yangberkecimpung di sekolah baik SMP maupun SMA. Dikutip dari Data Guru SMP dan SMA TMIRoudlotul Qur’an tahun ajaran 2007-2008.
46 Hal tersebut sejatinya tidak terjadi pada alumni Pesantren Darussalam Gontor yanghanya melaksanakan program pengabdian dalam rangka melengkapi persyaratan untukmemperoleh ijazah, karena selama masa setahun pengabdian ia hanya terfokus pada kegiatanpembelajaran di asrama dan sekolah. Akan tetapi bagi ustadz yang juga kuliah di luar, kegiatan diasrama dan sekolah seolah menjadi kegiatan kedua setelah kuliahnya. Dari sembilan orangustadz/ah alumni pesantren modern tujuh diantaranya mengambil kuliah di luar PesantrenRoudlotul Qur’an. Husni Mubarok, (Ustadz alumni Pesantren Modern Madinah/ mahasiswaSekolah Tinggi Agama Islam Negeri Metro), wawancara, tanggal 23 April 2008
133
santri diberi kesempatan untuk membenahi dirinya dan melatih berinteraksi
dengan lingkungan sosial lewat organisasi santri yang disatukan dalam wadah
Organisasi Pelajar Pesantren Roudlotul Qur’an (OPPRQ), pramuka, dan kegiatan
drum band. Organisasi kepramukaan dan drum band telah berhasil menorehkan
tinta prestasi antara lain: juara umum Jambore Cabang Kota Metro tahun 2006
dan Juara Umum III lomba drum band se-Provinsi Lampung tahun 2007. Anggota
dan pengurus organisasi santri melaksanakan program kerja yang mendukung
kegiatan akademik, baik bidang intrakurikuler maupun ekstrakurikuler, dan
pembinaan karakter dan jiwa kepemimpinan. Pembinaan tersebut misalnya
pengembangan potensi penguasaan bahasa asing yakni Bahasa Arab dan Inggris.
Upaya keras ini ternyata telah membuahkan hasil dengan sejumlah prestasi di
berbagai perlombaan antara lain: Juara I Pidato Bahasa Arab tingkat pelajar se-
Kota Metro tahun 2006, Juara I Pidato Bahasa Inggris tingkat pelajar se-Kota
Metro tahun 2006, Juara I Pelajar Berprestasi se-Kota Metro 2006, dan Juara III
MTQ Pelajar se-Provinsi Lampung. 47
Organisasi santri ada yang berada di bawah koordinasi sekolah (SMP/
SMA) dan ada yang di bawah koordinasi pesantren langsung. Pramuka dan drum
band merupakan satuan organisasi yang ada di bawah naungan sekolah, sementara
OPPRQ berada di bawah langsung pesantren, sehingga dalam kegiatannya OPPRQ
tidak hanya di sekolah akan tetapi menembusi ruang hingga di asrama/ pondok.
Maka tidaklah mengherankan apabila para pengurusnya diback up langsung oleh
para ustadz baik yang di sekolah maupun asrama. Sementara kegiatan drum band
kendati biasanya mengambil waktu di luar jam-jam sekolah namun keberadaannya
tetap dalam kontrol pihak sekolah.48
47 Ustadz Khoiruddin Efendi Tohir (KA. Tata Usaha SMA TMI Raoudlotul Qur’an),Wawancara, tanggal 12 Mei 2007
48 Ustadz Iqbal (Pembina OPPRQ), Wawancara, tanggal 30 Mei 2008
134
Dengan memahami perkembangan di atas diketahui bahwa pembaharuan
pada aspek organisasi di pesantren ini berjalan secara dinamis. Dari hasil
pengamatan penulis tentang organisasi dapat diketahui bahwa kiai dan para ustadz
di pesantren dapat melaksanakan tugas organisasinya dengan baik. Santri juga
diberi kesempatan untuk membentuk organisasi intra maupun ekstra kurikuler.49
Menurut mereka, dengan adanya organisasi kesantrian maka santri dapat
mengembangkan ketrampilannya dengan baik di bidang kesenian, olahraga,
keterampilan berbahasa, keterampilan kepemimpinan, keterampilan menjahit/
bordir, dan lain-lain.
Proses pendidikan yang berlangsung dalam suatu lembaga pendidikan
biasanya akan bertumpu pada berbagai program yang meliputi tujuan, metode, dan
langkah-langkah pendidikan dalam membina suatu generasi untuk disiapkan
menjadi generasi yang lebih baik dari sebelumnya. Seluruh program pendidikan
yang di dalamnya terdapat metode pembelajaran, tujuan, tingkatan pengajaran,
materi pelajaran, serta aktivitas yang dilakukan dalam proses pembelajaran
terdefinisikan sebagai kurikulum pendidikan. 50
Sehingga kurikulum merupakan suatu rencana tingkat pengajaran dan
lingkungan sekolah tertentu. Kurikulum juga ditujukan untuk mengantarkan anak
didik pada tingkatan pendidikan, perilaku, dan intelektual yang diharapkan
membawa mereka pada sosok anggota masyarakat yang berguna bagi bangsa dan
49 Untuk acara-acara seremonial baik yang melibatkan pihak-pihak di luar pesantrenmaupun di dalam OPPRQ sudah berusaha untuk bisa diandalkan. Sebagai contoh kongkrit,pelaksanaan peringatan Isra’ Mi’raj yang dilaksanakan pada tanggal 30 Juli 2008 bertepatandengan tanggal 27 Rajab 1429 H. menjadi tanggung jawab OPPRQ dan berjalan dengan baik.Muhammad Mukhlis (Ketua OPPRQ), Wawancara, tanggal 31 Juli 2008
50 Abdurrahman An-Nahlawi, Usul al-Tarbiyah al-Islâmiyyah wa Asâlibahâ fî al-baiti waal-madrasah wa al-mujtama’, terjemahan Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) hal.193. Dalam pengertian yang umum kurikulum dipandang sebagai “suatu program pendidikan yangtelah direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu”.Dalam pembahasan tersebut, maka pendidikan merupakan suatu usaha atau kegiatan yangbertujuan, dan di dalam kegiatan pendidikan tersebut terdapat suatu rencana yang disusun ataudiatur dan dilaksanakan di sekolah melalui cara-cara yang telah ditetapkan. Baca. Zakiah Daradjat,Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 122
135
masyarakatnya, serta mau berkarya bagi pembangunan bangsa dan perwujudan
idealismenya. Secara umum biasanya dideskripsikan sebagai kumpulan mata
pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan di sekolah.51
Kurikulum yang ada di pondok pesantren biasanya bergantung pada model
pesantren tersebut. Pada pondok pesantren klasik/ salaf biasanya tidak
mengajarkan pelajaran umum, pelajaran agama diambil dari kitab-kitab karangan
ulama’–ulama’ terdahulu, kurikulum pada jenis pendidikan pesantren ini
didasarkan pada tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang
dibahas dalam kitab, jadi ada tingkat awal (ula), tingkat menengah (Wusto), dan
tingkat tinggi (‘Ulya/ ma’had ‘aly). Dengan demikian evaluasi belajar pada
pesantren salaf akan sangat berbeda dengan evaluasi pada madrasah atau sekolah
umum.
Pada pesantren-pesantren klasik terdahulu menurut Steenbrink, sampai
pada awal abad 20 M, bentuk pendidikan pesantren tidak begitu dianggap penting
bagi inspeksi pendidikan, sehingga pada zaman penjajahan Belanda statistik
pesantren tidak lengkap. Malah sesudah tahun 1927 M, bentuk pendidikan
semacam ini (pesantren) sama sekali tidak dimasukkan ke dalam laporan resmi
pemerintah.52 Itulah sebabnya kurikulum di pesantren tidak dirumuskan secara
resmi, tetapi ditentukan oleh kiai yang memiliki pondok pesantren tersebut.
Meskipun secara normatif tidak diharapkan terjadinya dikotomi antar ilmu
agama (‘ulǔm al-akhirah) dengan ilmu duniawi (‘ulǔm al-dunyâ), namun dalam
perkembangan Islam, sebagaimana yang dipraktekkan umat Islam, terutama
sesudah masa Islam klasik, dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia merupakan
suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri. Azyumardi Azra menyatakan
“Meskipun Islam pada dasarnya tidak membedakan ilmu-ilmu agama dan ilmu-
51 Noeng Muhajir, Filsafat Pendidikan Multikultural Pendekatan Postmodern,(Yogyakarta:Rake Sarasin,2004), h. 121
52 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah-Sekolah Pendidikan Islam(Modern), (Jakarta: LP3ES, 1986) h. 9
136
ilmu non agama tetapi dalam prakteknya supremasi lebih diberikan kepada ilmu
agama. Hal ini disebabkan karena sikap keberagamaan dan kesalehan yang
memandang ilmu-ilmu agama sebagai “jalan tol” menuju Tuhan”.53
Pesantren Roudlotul Qur’an pada awalnya kurikulum menjadi hak
prerogatif kiai sebagai pendiri dan pimpinan pesantren. Sehingga pada saat itu kiai
memprioritaskan pelajaran-pelajaran agama saja seperti: Tahfiz al-Qur’an,
Tilawah al-Qur’an, Nahwu, Saraf, Tafsir, Tauhid, Fikih, Tajwid, dan lain-lain.54
Tabel 11Daftar Mata Pelajaran Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
(2001-2004)No Materi Kitab Pengarang
1 Nahwu Durǔs al-Lughah KH. Imam Zarkasyi, Imam Subani
Arabiyyah Nâsyi in Dr. Mahmud Ismail Shini, Nasif MustofaAbd al-Aziz, Muhtar Al-Tohir Husain
2 Saraf Amtsilahtasrifiyyah
KH. Ma’sum bin Aly
3 Fikih Mabâdi’ al-Fiqh Muhammad ‘Abd al-JabbarFathul Qarîb Ibn Qâsim al-GhâzySulam al-Taufiq ‘Abdullah bin Husain Ba’alawyBidâyah al-Mujtahid
Ibn Rusyd
Fathul Mu’in Zainuddin bin ‘Abd al-‘Aziz al-MalibaryRisâlah al-Mahîd Masruhan Ihsan
4 Tauhid Kifâyah al-ahyâr Taqiyuddin al-Husny5 Akhlak Ahlâq al-Banîn ‘Umar bin Ahmad Barja
Ta’lîm al-Muta’allim
Burhanuddin al-Zarnuji
6 Hadits Arba’in Nawâwi Muhyiddin Abi Zakaria Yahya bin Syaraf
53Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi dan Kemajuan Sains (sebuah pengantar) dalamCharles Stanton : Pendidikan Tinggi dalam Islam, Terj. Afandi (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1994), hal.vii. Lebih jauh lagi menurut Fazlurrahman pemikiran Islam pada masa-masa pramodernmengalami kemacetan disebabkan karena kegagalan lembaga-lembaga syari’ah untukmengembangkan diri guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang berubah. Kemacetanitu didukung pula oleh berkembangnya buku-buku pegangan, komentar-komentar (syarh) dansuper komentar, hampir tidak ditemukan karya-karya yang benar-benar orisinil. Fazlurrahman,Islam & Modernity,Transformation of an Intellectual Tradition, terj. Ahsin Muhammad (Bandung:Pustaka, 2000), h. 51-52
54 Ali Qomaruddin (Pengasuh Pesantren), Wawancara, Tanggal , 16 Mei 2007
137
al-Nawâwi7 Tafsir Tafsîr Yâsîn Syeikh Hamami Zadah
Jalâlain Jalâluddin ‘Abdurrahmân bin Abi Bakar al-Suyǔti, Jalâluddin Muhammad bin Ahmadal-Mahally
8 Tajwîd Fathul Majîd ‘Abdurrahmân9 Tasawuf Bidâyah al-Hidâyah Imâm al-Ghazâli
Syarh al-Hikam Ahmad bin Muhammad bin Ujaibah al-Hasany
55
Kitab-kitab tersebut kesemuanya berbahasa Arab (kitab kuning) yang
menjadi acuan kurikulum kiai dibantu beberapa ustadz yang biasanya tempat
tinggalnya berada di lingkungan pondok, sehingga merek tidak membutuhkan
biaya transportasi untuk mengajar/ membaca kitab tersebut, karena memang pada
waktu itu keikhlasan dari kiai dan para ustadz yang menjadi faktor utama
berjalannya kegiatan belajar mengajar. Metode yang diterapkannya juga masih
menerapkan pola-pola klasik seperti model halaqah, sorogan dan bandongan.
Bila terdapat lebih dari satu kelas penjenjangannya biasanya didasarkan pada
santri lama atau baru tidak berdasarkan pada tingkatan umum atau sekolah yang
pernah dilalui santri tersebut.
Seiring dengan perkembangan zaman, pondok pesantren diharapkan
mampu menghadapi tantangan yang makin kompleks, sehingga Pondok Pesantren
Roudlotul Qur’an menginginkan anak didiknya mempunyai kecakapan yang baik
dalam aspek spiritual, moral, intelektual, dan profesional, oleh karena itu pada
masa perkembangannya pihak pondok pesantren dengan segenap jajarannya
berupaya menyusun dan melaksanakan kurikulum terpadu seperti dikemukakan
sebelumnya dengan memadukan kurikulum Departemen Pendidikan Nasional
55 Kurikulum tersebut dipandang dari esensi materinya sudah termasuk kelas tinggi (‘ulya) apabiladibandingkan dengan pesantren-pesantren salafiyah lainnya. Kenyataan ini memang didasarkanpada kesemua santri yang ada adalah mereka yang sudah tamat SLTA. Ahmad Sonhaji, SPd.I,(Ketua Pengurus periode 2003-2004) Wawancara, tanggal 23 Mei 2007
138
dengan pola Tarbiyah al-Mu’allimîn Wa al-Mu’allimât al-Islâmiyyah (TMI), serta
ditambah dengan materi-materi pendukung yang disesuaikan dengan kondisi dan
arah tujuan pondok pesantren. Pelaksanaan kurikulum tersebut sangat mungkin
dapat berjalan efektif mengingat pondok pesantren telah ditunjang dengan sarana-
sarana pendukung yang memadai dan ditunjang pula oleh sistem asrama yang
memungkinkan santri dapat belajar dengan baik.56
Setidaknya terdapat dua hal yang menarik dari perpaduan sistem ini, yakni
proporsi mata pelajaran yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional
dalam hal ini kurikulum Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah
Menengah Atas (SMA) masih utuh tanpa adanya perubahan/ pengurangan materi
pelajaran, sementara materi kurikulum Tarbiyatul Mu’allimin wal-Mu’allimat al-
Islamiyah masih tetap terselenggara. Dengan demikian ini menjadi pembeda
dengan pola Tarbiyah al-Mu’allimîn Wa al-Mu’allimât al-Islâmiyyah yang
diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan Madura yang notabene
menjadi kiblat bagi kurikulum Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an Metro
Lampung. Ataupun sistem kurikulum Kulliyat al-Mu’allimîn Wa al-Mu’allimât Al-
Islâmiyyah yang dikembangkan oleh Pondok Modern Darussalam Gontor
Ponorogo dan cabang-cabangnya. Bahkan menurut Ustadz Saiful Hadi LC
(Direktur Tarbiyah al-Mu’allimîn Wa al-Mu’allimât al-Islâmiyyah)
dimungkinkan pola ini merupakan yang pertama dan satu-satunya yang ada di
Indonesia.57
56 Sistem asrama yang diterapkan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an bukan berartimenjadi pemasung santri dalam hubungannya dengan masyarakat luar. Untuk santri yang telahdewasa biasanya akan membaur dengan masyarakat umum pada acara-acara ritual keagamaantertentu. Jaringan sosial yang baik inilah yang menjadikan lembaga pendidikan Pondok Pesantrendapat mempertahankan kelangsungan hidup dan kehidupannya yang islami walaupun menghadapiperubahan zaman yang condong merusak tatanan kehidupan masyarakat yang positif kepada yangnegatif. Lihat H. Ahmad Susilo, Strategi Adaptasi Pondok Pesantren, (Jakarta: Kucica, 2003), h.186
57 Ustadz Saiful Hadi, LC, Wawancara, tanggal 30 Juli 2007
139
Di sisi lain, apabila pada umumnya sistem Tarbiyatul Mu’allimin Wal-
Mu’allimat Al-Islamiyyah menggunakan jenjang kelas dari kelas 1 sampai ke
kelas 6, yang disejajarkan dengan kelas SMP dan SMA, namun sistem yang
dikembangkan di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, berbeda manakala siswa
yang masuk dan memulai mengikuti pendidikan adalah lulusan SMP/ MTs, maka
santri tersebut hanya menempuh pendidikan di TMI selama 3 tahun yang
disejajarkan dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). 58 Hal ini memberikan
kesempatan bagi santri tersebut untuk dapat langsung meneruskan ke jenjang
perguruan tinggi setelah menamatkan pendidikan pada sistem Tarbiyatul
Mu’allimin Wal Mu’allimat Al-Islamiyyah. Kelebihan dan kekurangan dari
kebijakan semacam ini tentu saja akan muncul, mengingat hal ini berkaitan dengan
hasil dari proses pembelajaran yang terjadi.
Kelebihannya adalah suasana kelas lebih kondusif untuk dilakukan
tindakan kelas, mengingat umur dari keseluruhan siswa cenderung sama, sehingga
dimungkinkan rata-rata kemampuan intelektual dan pendewasaan mentalnya tidak
jauh berbeda. Kekurangannya adalah kemampuan siswa dalam mata pelajaran
tertentu akan berbeda antara santri yang lebih dahulu mengenyam pendidikan dari
SMP Roudlotul Qur’an yang menerapkan sistem Tarbiyatul Mu’allimin Wal
Mu’allimat.
Namun untuk mengatasi hal tersebut di atas, maka pihak Sekolah
Menengah Atas sedang melakukan pengayaan terhadap kurikulum dan sistem
pembelajaran dengan memberlakukan sistem klasifikasi terhadap dua jenis siswa
tersebut dengan memisahkannya pada mata pelajaran-mata pelajaran tertentu,
misalnya pelajaran Nahwu, Saraf, Balaghah, dan Mantîq. Melalui pola ini
diharapkan siswa yang telah berjalan sejak di Sekolah Menengah Pertama
mendapatkan tambahan pelajaran dari apa yang telah dipelajarinya. Sedangkan
58 Khoirul Muslimin, LC (Kepala SMA Tarbiyatul Mu’allimin Wal Mu’allimat Al-Islamiyyah Roudlotul Qur’an) wawancara, Tanggal 7 Agustus 2007
140
siswa yang baru saja mendapatkan pengajaran bidang studi tertentu dapat dimulai
dari hal-hal yang bersifat mendasar. 59 Metode ini akan diberlakukan sampai siswa
menempuh semester pertama, kamudian pada semester selanjutnya baru dilakukan
penggabungan.60
Sementara di pesantren-pesantren yang ada di Kota Metro pada umumnya
membuka madrasah formal demi menarik minat masyarakat untuk menyekolahkan
putra-putrinya di pesantren, karena diyakini untuk masa sekarang pesantren yang
tidak mempunyai pendidikan formal biasanya kurang diminati masyarakat dan laju
perkembangannya juga lamban. Sehingga pada perkembangan selanjutnya
pesantren berupaya untuk memenuhi tuntutan permintaan masyarakat tersebut
dengan membuka pendidikan-pendidikan formal yang sudah barang tentu
kurikulumnya ditentukan oleh Departemen Pendidikan Nasional maupun
Departemen Agama.
Animo masyarakat yang memilih pesantren yang mempunyai pendidikan
formal memang cukup beralasan, di era yang sudah sedemikian canggih para
orang tua tidak ingin anaknya ketinggalan zaman, sehingga pesantren yang mau
membuka diri dengan perkembangan zaman dan mampu membuat inofasi-inofasi
pendidikan yang menjadi pilihan dibanding pesantren yang hanya mengajarkan
ilmu agama. Di sisi lain pesantren memang tidak hanya dituntut untuk
menciptakan manusia yang berhasil menguasai ilmu agama tanpa memperhatikan
keilmuan-keilmuan duniawi. Dengan demikian apabila pesantren-pesantren
mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan di luarnya, sudah barang
tentu ini merupakan hal yang baik demi perkembangan pesantren selanjutnya.
59 Kenyataan semacam itu sebenarnya juga terjadi di Pesantren Modern Wali SongoNgabar Ponorogo, langkah yang dilakukan pihak pesantren adalah memberlakukan masapercobaan selama setahun awal pendidikan, jika sekiranya mampu maka santri tersebut langsungnaik ke kelas dua, akan tetapi jika dianggap kurang mampu, maka ia akan tinggal di kelas satu lagidengan santri-santri baru. Laila Rismadiati (Waka Kesiswaan SMP TMI./ alumni PondokPesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo), Wawancara, tanggal 23 Juni 2008.
60 Muslimin, wawancara, Tanggal 7 Agustus 2007
141
Selanjutnya bahan ajar yang dimasukkan dalam kurikulum juga harus
memiliki kesesuaian dan keterkaitan (link and match) dengan kebutuhan lapangan
kerja baik dalam bidang jasa, ekonomi maupun keahlian lainnya. Mengingat
berbagai keahlian (skill) dan pekerjaan di era globalisasi ini begitu cepat dan
dinamis, sehingga kurikulum sebagai acuan materi yang akan diajarkan harus
mampu mengahantarkan anak didik untuk bisa memberi kemampuan dasar untuk
diteruskan belajarnya ke jenjang yang lebih tinggi atau bahkan bisa langsung
mengembangkan keilmuannya di masyarakat. Perkembangan kurikulum dari tahun
ke tahun dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 12Perkembangan Kurikulum Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dari periode
ke periode selanjutnya
Periode Sumber Kurikulum Keterangan
2001-2004 Kiai dan pengurus pondok pesantren kurikulum ilmu agama
2004-sekarang
Kiai, pengurus pondok, Departemen
Pendidikan Nasional
Ditambah muatan lokal
dan ekstrakurikuler
Pembaharuan kurikulum dari periode ke periode selanjutnya merupakan
konsekuensi logis dari modernisasi dari kurikulum yang sepenuhnya ditentukan
oleh Kiai dan pengurus pesantren menjadi kurikulum yang ditentukan oleh
pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional). Untuk daftar pelajaran yang
mengalami perubahan dapat dilihat dalam jadwal berikut:
Tabel 13Daftar Mata Pelajaran Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
(2004-sekarang)
Tingkat Kurikulum
Pesantren
Muatan Lokal Kurikulum Depdiknas
142
SMP Bahasa Arab Tilâwah Matematika
Hadîts Mahfǔdhat Bahasa Inggris
Tajwîd Mutala’ah Bahasa Indonesia
Imla’ Muhadlarah Pengetahuan Sosial
Tafsîr Conversation Pengetahuan Alam (sains)
Sejarah Islam Biologi
Fiqih Fisika
Tauhid Kimia
Khot Komputer
Insya’ Kewarganegaraan
Nahwu Grammar
Sarf Komputer
Tarbiyah Bahasa Lampung
Ushul Fiqh Pendidikan Jasmani
Kesenian
SMA Nahwu Tilâwah Pendidikan Kewarganegaraan
Saraf Mahfǔdhat Bahasa Indonesia
Fikih Mutala’ah Bahasa Inggris
Mahfǔdhat Muhadlarah Matematika
Tauhîd Conversation Fisika biologi
Tajwîd Kimia
Imla, Geogerafi
Khot Sejarah
Insya’ Ekonomi
Tarbiyah Sosiologi
Ushul fiqh Seni budaya
143
Tafsîr Penjaskes
Hadîts Komputer
Bahasa Arab Antropologi
Sejarah Islam Sastra Indonesia
Grammar
(sumber : Dokumen Kepala Sekolah SMA TMI Roudlotul Qur’an)
Di samping pelajaran-pelajaran yang diajarkan di kelas tersebut para santri
juga dibekali dengan pelajaran-pelajaran tambahan yang diharapkan menjadi
sarana untuk melatih pengembangan diri santri. Sejumlah pelajaran tambahan
tersebut antara lain: 1) Olahraga, meliputi: Sepak Bola, Bola Volli, Beladiri, dan
Tenis Meja. 2) Keterampilan, meliputi: Pertanian, perikanan, menjahit, seni
bordir.61 3) Pramuka, 4) Drum Band, 5) Seni Peran (drama), 6) Seni Musik,
meliputi: olah vokal dan instrumentalia.
Khusus mengenai pembelajaran bahasa asing, merupakan pembelajaran
yang dilakukan secara intensif dan berkesinambungan, artinya proses yang terjadi
merupakan upaya penciptaan budaya bahasa asing dalam keseharian. Keseharian
dimaksud adalah upaya penggunaan bahasa Arab/ Inggris di luar maupun di
dalam asrama. Perlu diingat bahwa sekolah yang dikelola oleh Pondok Pesantren
Roudlotul Qur’an mewajibkan seluruh siswa/ santrinya untuk tinggal di asrama,
dengan tujuan agar proses pembelajaran tidak hanya terjadi di ruang kelas/ sekolah
yang terbatas. Akan tetapi diharapkan mampu langsung dipraktekkan dalam
keseharian di asrama.
61Khusus seni bordir dan menjahit Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an bekerja samadengan Kantor Dinas Sosial Kota Metro. Bentuk kerja sama tersebut merupakan hasil kerjayayasan Roudlotul Qur’an. Dalam kegiatan ini yayasan juga melibatkan masyarakat sekitarpesantren untuk ikut serta dalam pendidikan ini. Muhammad Miftah (Sekretaris YayasanRoudlotul Qur an ), Wawancara, tanggal 7 Mei 2008
144
Pendidikan integral yang terjadi di sekolah dan asrama memang sangat
menunjang bagi tercapainya keberhasilan anak didik menyerap ilmu yang
diberikan. Proses belajar mengajar yang terjadi dapat dikontrol penerapannya
ketika anak didik berada di asrama. Ini sangat berbeda dengan sekolah yang
siswanya tidak tinggal di asrama. Sehingga pendidikan dapat efektif dan efisien.
Hal senada dikatakan oleh Amin Haedari (Direktur Pendidikan Diniyyah dan
Pondok Pesantren Departemen Agama) bahwa lembaga pendidikan yang
menggunakan model boarding school (siswa tinggal di asrama) yaitu pondok
pesantren atau Islamic Boarding School mempunyai manfaat yang banyak bagi
peserta didik, ayang diajarkan di sekolah dapat langsung diamalkan di asrama
dengan pengawasan dan bimbingan para guru/ pengasuh.62
C. Aspek Pembelajaran
Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an pada awal pendiriannya menggunakan
sistem pengajaran tradisional/ salaf. Sebagai konsekuensinya dari sistem
pendidikan tersebut, maka metode pengajarannya masih mempertahankan tradisi
lama dan terbatas pada metode ceramah, bandongan, tuntunan, dan hafalan63 tetapi
dalam proses perkembangan selanjutnya diterapkan sistem klasikal, meskipun
sarana dan prasarana yang tersedia masih cukup sederhana. Upaya pengembangan
sistem pembelajaran ini selalu diupayakan untuk mencari pola-pola baru yang
dianggap cocok dan berdaya ampuh untuk melahirkan santri intelektualis.
Sehubungan dengan itu pihak pengasuh dan seluruh komponan Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an berupaya melakukan inovasi. Pola pendidikan yang
awalnya tertumpu pada aktivitas guru/ kiai (teacher centered) harus diimbangi
62 Amin Haedari, ”Boarding School Pendidikan 24 jam Sehari”, Gontor (Jakarta), Edisi01, V. (Mei, 2007), h. 8
63 Dari beberapa sistem pembelajaran tersebut, metode hafalan menjadi metode pokokdalam menghafalkan Al-Qur’an. KH. Ali Qomaruddin, (Pengasuh Pesantren RoudlotulQur’an),Wawancara, tanggal 11 Januari 2008
145
dengan pola student centered, sehingga santri diberi peluang untuk dapat
mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Filosofi dan paradigma
mengajar tidak lagi didasarkan prinsip mengisi air ke dalam gelas, akan tetapi
lebih mnegedepankan prinsip menyalakan lampu, menggali potensi, dan
membantu terciptanya anak didik mempunyai kompetensi. Untuk selanjutnya
guru diharapkan laksana bidan yang membantu dan membimbing anak
melahirkan gagasan dan produktivitasnya. Proses pembelajaran harus diarahkan
kepada upaya membangun daya imajinasi dan daya kreatifitas anak didik, yaitu
proses belajar mengajar yang mencerahkan dan membangun (inspiring teaching)
anak didik.64
Menurut Qomari Anwar, metode penyampaian dalam bidang apapun amat
penting untuk diperhatikan, karena metode dapat mempengaruhi sampainya suatu
informasi secara memuaskan atau tidak. 65 Itulah sebabnya sehingga pemilihan
metode pendidikan dilakuakan secara cermat dan disesuaikan dengan berbagai
faktor yang terkait dari si terdidik, berupa kemampuan fisik, tingkat intelektual,
dan faktor-faktor lainnya. Dalam hubungan ini menurutnya implementasi
pendidikan Islam telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dalam melakukan
pendidikan, Rasulullah sangat memperhatikan kemampuan akal manusia,66 sifat-
sifat manusia, kebutuhan manusia dan kesiapan manusia dalam menerima
pendidikan dan pengajaran. Faktor jenis kelamin maupun tingkat usia seseorang
64 Abudin Nata, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Sejarah dan FilsafatPendidikan, Pendidikan Islam di Indonesia: Tantangan dan Peluang, (Jakarta: UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 20 Maret 2004), h. 7
65 Qomari Anwar, “Manajemen Pendidikan Islam” dalam Adi Sasono (ed)Solusi Islamatas Problematika Umat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1988), h. 91
66 Hal senada diungkapkan Al-Saibany bahwa memperhatikan tingkat intelektualitas anakdidik menjadi sangat urgen untuk diperhatikan dalam mendidik, beliau mengutip sebuah hadits:
ã?æÞÚÑÏÞìáÚãå ãáßäæ ã?ÒÇäã ÓÇäáÇ á?ääà ÇäÑãà ÁÇíÈä? Ç ÑÔÇÚã ä?.
“Kami para nabi diperintahkan menempatkan manusia menurut kedudukannya dan berbicarakepada mereka sesuai dengan akalnya.” Lihat Omar Muhammad al-Toumy al-Saibany, Falsafatal-Tarbiyah al-Islamiyyah, terjemahan Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 601
146
menjadi pertimbangan cermat bagi Rasulullah dalam memberikan pendidikan.67
Oleh sebab itu, seorang guru harus menggunakan metode yang efektif dan efisien,
sehingga tidak melelahkan dan membosankan anak didik, serta beragam dalam
penggunaannya.68
Betapa banyak guru yang mempunyai penguasaan materi, namun mereka
kesulitan dalam menyampaikannya. Oleh sebab itu pula penulis menambahkan,
sebagai seorang guru harus pandai memilih dan menguasai metode yang
digunakannya dan mampu mendorong muridnya berfikir dan bukannya semata-
mata menghafalkan. Dalam menerapkan metode pada suatu mata pelajaran,
Mahmud Yunus sangat memperhatikan segi psikologis murid dengan tujuan agar
pelajaran dapat dipahami dan diingat secara kritis oleh murid. Selain itu juga
selalu menekankan pentingnya penanaman moral dam proses pembelajaran, sebab
moralitas merupakan bagian yang sangat penting dari sistem ajaran Islam.69
Sejalan dengan pentingnya proses pembelajaran yang inovatif dan kreatif
tersebut di atas, maka berbagai metode pengajaran yang lebih melibatkan peserta
didik seperti interactive learning, partisipative learning, cooperative
learning, 70 quantum teaching, quantum learning, 71 dan lain sebagainya perlu
diterapkan. Dengan kata lain, cara belajar yang melibatkan cara belajar siswa agar
mampu aktif tidak hanya menekankan pada penguasaan materi sebanyak-
banyaknya, melainkan juga terhadap proses dan metodologi.
67Omar Muhammad al-Toumy al-Saibany, Falsafat al-Tarbiyah al-Islamiyyah, terjemahanHasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h.92
68 Mahmud Yunus,Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: PT. HidakaryaAgung, 1990), cet ke-3, h. 85
69 Mahmud Yunus dan Kasim Bakri, al-Tarbiyah wa al-Ta’lim (Ponorogo: PondokModern Gontor Ponorogo, 1986), h. 12
70 HD. Sujana S, Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif, (Bandung: FalahProduction, 2001), h. 1-6
71Dalam Quantum Teaching pengajaran dapat diibaratkan sebagai sebuah orkestra, dimanaguru bertindak sebagai konduktor atau dirigen, sedangkan murid ikut terlibat dalam permainanmusik orkestra tersebut. Lihat Bobbi De Porter, et al, Quantum Teaching, (Bandung: Mizan,2001),h. 1-6
147
Konsep-konsep tersebut dimaksudkan agar proses pembelajaran dapat
berjalan efektif demi mencapai keberhasilan yang mencakup tiga ranah baik
kognitif, afektif dan psikomotor. Ranah kognitif karena dalam kegiatan
pembelajaran lebih menekankan pada pendalaman materi untuk membawa murid
berfikir secara kritis, sehingga murid dapat mengoptimalkan kerja rasionya. Ranah
afektif, dikarenakan dalam kegiatan pembelajaran juga lebih menekankan
bagaimana seorang guru mampu menanamkan moral kepada murid. Sudah barang
tentu hal ini harus dimulai dari kepribadian guru sebagai suri tauladan. Ranah
psikomotorik, karena dalam kegiatan pembelajaran yang dicanangkan mengacu
pada pengembangan semaksimal mungkin kecakapan murid, sehingga selain
murid itu murid cerdas, murid juga dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan
tersebut di masyarakat.Sejalan dengan itu metode pembelajaran yang dilaksanakan
di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an setelah mengalami perubahan menjadi:
1. Sistem Halaqah72
Sama halnya dengan pesantren-pesantren lainnya, pengajaran dengan
sistem Halaqah yaitu seorang guru atau kiai duduk di depan para santri
membacakan kitab yang dipelajari. Santri duduk bersila di depan kiai secara bersaf
berbenjar ke belakang atau membentuk setengah lingkaran. Kiai memberikan
pelajaran dengan menggunakan metode tuntunan dan metode ceramah. Tuntunan
di sini dimaksudkan seorang kiai/ guru membacakan kitab sedang santri menyimak
dan memberi makna ataupun harakat kitab yang masih “gundul” (tanpa harakat)
yang lazim disebut kitab kuning. Biasanya ketika membaca makna menggunakan
72 Dipandang dari segi bahasa halaqah berarti lingkaran, orang-orang dudukberkeliling.lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: 1990),hal.107. sistem ini telahdikenal dalam Islam sejak zaman awal penyebaran Islam, baik pada masa Rasulullah, Sahabat,Tabi’in bahkan para filosof kenamaan seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Miskawaih, al-Mawardi,Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Khaldun, dan lain-lain. BacaHasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam,(Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003), h. 311
148
bahasa jawa, akan tetapi ketika menerangkan menggunakan Bahasa Indonesia
ataupun Arab.73
Untuk sistem ini menjadi sistem yang pokok bagi santri Tahfidhul Qur’an,
mengingat sistem yang digunakan adalah sistem sorogan yaitu santri membaca
hafalan al-Qur’an yang telah dipelajari santri dan kiai menyimak hafalan tersebut
dengan teliti dan memperhatikan kefashihan, waqaf (tempat berhenti), tajwid dan
sebagainya. Di samping itu, sistem sorogan ini juga diberlakukan untuk
pengajaran kitab kuning seperti pesantren-pesantren lain. Selain itu pada materi
Tafsir seorang ustadz membaca kitab disertai dengan makna lengkap kaidah-
kaidah nahwunya dan di kelilingi para santri dan berusaha menggali pemahaman
al-Qur’an .
2. Sistem Klasikal/ Persekolahan
Sistem klasikal ini diberlakukan pada pendidikan formal yang telah dibuka
oleh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, yaitu Sekolah Menengah Pertama dan
Sekolah Menengah Atas. Kelompok kelas belajar ialah sekelompok pelajar atau
santri mengikuti pendidikan yang proses belajar mengajarnya berlangsung dalam
suatu ruangan dalam jangka waktu tertentu, mengikuti pelajaran yang sama dan
para santri mempunyai umur yang kurang lebih sama atau sebaya. Kemudian
diadakan ujian kenaikan kelas, bagi yang lulus dapat melanjutkan pendidikannya
ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Sistem persekolahan mempunyai keuntungan dan kelebihan bila
dibandingkan dengan sistem halaqah. Diantaranya memudahkan para guru untuk
mengetahui tingkat penguasaan santri terhadap pelajaran yang diberikan, karena
jumlah santri terbatas pada setiap kelas. Guru dapat mengevaluasi tingkat
kemampuan siswanya terhadap mata pelajaran yang diberikan. Dalam sistem
klasikal ini para guru di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an mengajar dengan
menggunakan metode ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi, resitasi, dan
73
149
penugasan dengan menyesuaikannya dengan mata pelajaran yang cocok dengan
metode tersebut.
Metode tanya jawab secara umum lazim digunakan oleh para guru di
pesantren ini. Mereka menanyakan kepada santri mengenai mata pelajaran yang
telah dan akan diberikan kepadanya, kemudian santri menjawab pertanyaan
tersebut. Dalam metode ini, santri dapat bertanya atau meminta penjelasan kepada
guru mengenai mata pelajaran yang belum dipahaminya. Para santri juga
dirangsang untuk aktif mengeluarkan pendapat dan menyusun pikiran-pikirannya.
Dengan demikian, guru dan santri sama-sama aktif dalam proses pembelajaran.
Guru mengharapkan dari peserta didik jawaban yang tepat dan berdasarkan fakta.
Dalam tanya jawab, pertanyaannya kadang kala dari pihak peserta didik atau
kadang kala dari guru. 74
Metode demonstrasi dikenal dengan metode yang bertujuan untuk
menggambarkan yang pada umumnya berupa penjelasan verbal dengan suatu kerja
fisik atau pengoperasian peralatan barang atau benda. Dalam pengajaran agama
metode ini biasanya digunakan untuk mendemonstrasikan praktek-praktek
pengamalan ibadah seperti sholat, pengurusan atau penyelenggaraan jenazah,
seperti memandikan, mengafani, menyolati, dan menguburkan. Demikian juga
praktek pelaksanaan ibadah haji.
Dari beberapa metode yang dilaksanakan biasanya metode resitasi sangat
dominan, dominasi ini misalnya dapat dilihat ketika di luar jam sekolah para santri
dikumpulkan dalam suatu ruangan berdasarkan jenjang sekolah kemudian
74 Metode ini sudah lama dipakai bahkan sejak zaman Yunani Kuno. Metode ini dianggapdiperkenalkan oleh Sokrates (469-399 SM) ahli filsafat yang cukup terkenal waktu itu. Iamenggunakan metode ini untuik mengajar murid-muridnya supaya sampai ke taraf kebenaransesudah mengadakan tanya jawab dan bertukar fikiran, Dalam agama Islam metode ini jugadiajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam mengajarkan agama kepada umatnya. BacaRamayulis,Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), h. 239
150
ditekankan untuk mempelajari pelajaran yang telah diajarkan di sekolah, dalam
kesempatan ini biasanya dipergunakan untuk mengerjakan PR.
D. Fungsi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
Dimensi fungsional pondok pesantren memang tidak dapat dilepaskan dari
hakekat dasarnya bahwa pondok pesantren tumbuh berawal dari masyarakat
sebagai lembaga informal desa dalam bentuk yang sangat sederhana. Oleh karena
itu perkembangan masyarakat sekitarnya tentang pemahaman keagamaan (Islam)
lebih jauh mengarah kepada nilai-nilai normatif, edukatif, dan progresif. Oleh
sebab itu pada umumnya masyarakat yang berada di lingkungan dimana pondok
pesantren didirikan, akan terdapat suatu lingkungan yang lebih mempunyai
kepedulian pada agamanya bila dibandingkan dengan ketika belum didirikan
pesantren, bahkan di lingkungan pedesaan biasanya pengaruh pesantren ini dapat
menjangkau masyarakat lebih luas lagi.
Nilai-nilai normatif pada dasarnya meliputi kemampuan masyarakat dalam
mengerti dan mendalami ajaran-ajaran Islam dalam artian ibadah mahdah dan juga
yang ghairu mahdah, sehingga masyarakat menyadari akan pelaksanaan ajaran
agama yang selama ini dipupuknya. Kebanyakan masyarakat cenderung baru
memiliki agama (having religion) akan tetapi belum memahami dan menghayati
agamanya (being religion).75 Artinya apabila dipandang dari segi kuantitas jumlah
umat Islam sangat banyak akan tetapi bila dipandang dari segi kualitas sumber
daya manusianya masih terbatas.
Nilai-nilai edukatif ini meliputi tingkat pengetahuan dan pemahaman
masyarakat muslim secara menyeluruh dapat dikatagorikan terbatas, baik dalam
masalah agama maupun ilmu pengetahuan pada umumnya. Sedangkan nilai-nilai
progresif yang dimaksud adalah adanya kemampuan masyarakat dalam memahami
perubahan masyarakat seiring dengan adanya tingkat perkembangan ilmu dan
75 Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: Prasasti, 2003), h. 35
151
teknologi. Dalam hal ini masyarakat sangat terbatas dalam mengenal perubahan itu
sehubungan dengan arus perkembangan desa ke kota.
Adanya fenomena sosial yang nampak ini menjadikan pondok pesantren
sebagai lembaga milik desa yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat desa
itu, cenderung tanggap terhadap lingkungannya, dalam arti kata perubahan
lingkungan desa tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pondok pesantren.
Oleh karena itu adanya perubahan dalam pesantren sejalan dengan derap
pertumbuhan masyarakatnya, sesuai dengan hakikat pondok pesantren yang
cenderung menyatu dengan masyarakat desa. Masalah menyatunya pondok
pesantren dengan desa ditandai dengan kehidupan pondok pesantren yang tidak
ada pemisahan antara batas desa dengan struktur bangunan fisik pesantren yang
tidak memiliki batas yang tegas. Tidak jelasnya batas lokasi ini memungkinkan
untuk saling berhubungan antara kyai dan santri serta anggota masyarakat.76
Pesantren Roudlotul Qur’an selama perjalanannya telah mampu
menjalankan fungsi sebagai suatu lembaga yang mempunyai concern tidak hanya
terhadap pendidikan akan tetapi juga telah mampu melakukan peran dan fungsi
sebagai lembaga yang menghasilkan para qari’ dan qari’ah, hafidh dan hafidhah
yang handal.
1. Sebagai Lembaga Pendidikan
Berawal dari bentuk pengajian yang sangat sederhana, pada akhirnya
pesantren berkembang menjadi lembaga pendidikan secara reguler dan diikuti oleh
masyarakat, dalam pengertian memberi pelajaran secara material untuk immaterial,
76 Menurut Kuntowijoyo ketika pesantren masih kecil dengan santri yang jumlahnyarelatif sedikit, pesantren sepenuhnya adalah lembaga pendidikan yang dimiliki oleh desa tempatanak-anak belajar agama Islam dan waktunya berada di luar jam sekolah formal (sore atau malamhari). Ketika pesantren manjadi besar dengan santri yang tidak hanya berasal dari desa tersebutketerikatan dengan desa biasanya mulai merenggang dan akan melepaskan diri menjadi lembagayang berdiri sendiri, menurutnya perjalanan pesantren akan melampaui tiga fase, yaitu ketikapesantren masih terpadu dengan desa, kemudian jadi terpisah dari desa dan akhirnya dapat menjadilembaga yang sama sekali terasing dari desanya. Baca Kuntowijoyo, Paradigma Islam;Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan,1991), h. 253
152
yakni mengajarkan bacaan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama’-ulama’ abad
pertengahan dalam wujud kitab kuning. Titik tekan pola pendidikan secara
material itu adalah diharapkan setiap santri mampu menghatamkan kitab-kitab
kuning sesuai dengan target yang diharapkan yakni membaca seluruh isi kitab
yang diajarkan, segi materialnya terletak pada materi bacaannya tanpa diharapkan
pemahaman yang lebih jauh tentang isi yang terkandung di dalamnya. Jadi
sasarannya adalah kemampuan bacaan yang tertera wujud tulisannya.77
Ketika Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an hanya mengajarkan materi-
materi pendidikan agama Islam dan tahfizul Qur’an, maka gambaran tersebut
masih sangatlah nyata. Di saat ketika santri hanya ditekankan pada bagaimana
menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an tanpa berusaha mendalaminya lebih jauh lagi
dengan berbagai disiplin ilmu-ilmu yang terkait dengan Al-Qur’an. Hal ini terkait
pula pendidikan dalam pengertian yang bercorak immaterial yang cenderung
berbentuk suatu upaya perubahan sikap santri, agar santri menjadi seorang yang
berkepribadian tangguh dalam kehidupan sehari-hari. Atau dengan kata lain
mengantarkan anak didik menjadi dewasa secara psikologik. Dewasa dalam
bentuk psikis mempunyai pengetian manusia itu dapat dikembangkan dirinya ke
arah kematangan pribadi sehingga memiliki kemampuan yang komprehensif
dalam mengembangkan dirinya.78
Dalam perkembangannya, misi pendidikan Pondok Pesantren Roudlotul
Qur’an terus mengalami perubahan sesuai dengan arus kemajuan zaman yang
ditandai dengan munculnya Ilmu pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Sejalan
77 Pola semacam ini berlangsung ketika pondok pesantren dimaksud menjalankanprogram yang disebut kilatan, yang dilangsungkan umumnya dimulai dari bulan Sya’ban hinggaakhir Ramadhan. Sistem pembelajaran yang dilakukan adalah seorang kyai/ ustadz membacadengan cepat suatu kitab dan menerjemahkannya dalam bahasa Jawa/ lainnya. Dan santri memberimakna/ tanda dalam kitabnya. Karena cepatnya dalam membaca ini, umumnya santri hanya mampumemberikan tanda/ rumus dalam kitabnya tanpa menulis terjemahnya. Abdurrahman (guru bidangstudi fiqih, sharaf TMI Roudlotul Qur’an), Wawancara, tanggal 7 Juni 2008
78 Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan,1991), h. 36
153
dengan terjadinya perubahan sistem pendidikannya, maka Pondok Pesantren
Roudlotul Qur’an makin memperjelas fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang
mampu mengembangkan semangat keilmuan, meskipun pada pelaksanaannya di
samping pola pendidikan secara tradisional diterapkan juga pola pendidikan
modern. Hal ini nampak dari kurikulum yang diajarkan, yang merupakan integrasi
pola lama dan baru. Begitu pula pondok-pondok pesantren yang termasuk
katagori modern yang berkembang akhir-akhir ini cenderung menerima dan
menerapkan modernisasi ke dalam masyarakat. Di bidang pendidikan umpamanya
adanya pendidikan persekolahan mendapat sambutan hangat dari pesantren,
sehingga pesantren juga mengembangkan sistem pendidikan klasikal di samping
bandongan, sorogan dan wetonan. Juga pendidikan ketrampilan kursus-kursus
yang semuanya sebagai bekal santri yang bersifat material.
Pola pelaksanaan pendidikan yang berlangsung di Pondok Pesantren
Roudlotul Qur’an, tidak lagi terlalu tergantung pada seorang kyai yang
mempunyai otoritas sebagai figur sakral. Tetapi lebih jauh daripada itu kyai
berfungsi sebagai koordinator sementar itu pelaksanaan atau operasionalisasi
pendidikan dilaksanakan oleh para guru (ustadz) dengan menggunakan
serangkaian metode mengajar yang sesuai, sehingga dapat diterima dan dapat
dipahami oleh para santri pondok pesantren yang mengembangkan sistem
tersebut. Dalam kondisi itu berarti pesantren telah berkembang dari bentuk salaf ke
khalaf yang menunjukkan perubahan dari tradisional ke modern.79
Pemahaman fungsi pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan terletak
pada kesiapan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an (yang dalam hal ini seluruh
jajaran pengelola yayasan maupun pengurus pesantren) dalam menyiapkan diri
untuk ikut serta dalam pembangunan di bidang pendidikan. dengan jalan adanya
perubahan sistem pendidikan sesuai dengan arus perkembangan zaman.
79Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan,1991), h. 252
154
Menurut Mastuhu, sebagai lembaga pendidikan, pesantren
menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah, sekolah umum, dan perguruan
tinggi) dan pendidikan nonformal yang secara khusus mengajarkan agama yang
sangat kuat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran ulama fiqh, hadits, tafsir, tauhid dan
tasawuf.80
Fungsi tersebut telah dijalankan dengan baik oleh Pesantren Roudlotul
Qur’an, sehingga pesantren ini menjadi salah satu lembaga pendidikan Islam yang
cukup diperhitungkan di kalangan masyarakat Kota Metro maupun Provinsi
Lampung pada umumnya. Sebagai lembaga pendidikan Islam, ia menjadi tempat
berlangsungnya proses pembelajaran yang juga mempunyai andil besar dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana lembaga pendidikan lain
pada umumnya.
1. Sebagai Lembaga Sosial
Fungsi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an sebagai lembaga sosial dapat
dilihat dari keterlibatan pesantren dalam menangani masalah-masalah sosial yang
dihadapi oleh masyarakat. Atau dapat juga dikatakan bahwa pesantren bukan saja
sebagai lembaga pendidikan dan dakwah tetapi lebih jauh daripada itu ada kiprah
yang sangat besar dari pondok pesantren yang telah disajikan oleh pesantren untuk
masyarakatnya.
Pengertian masalah-masalah sosial yang dimaksud oleh Pondok Pesantren
Roudlotul Qur’an pada dasarnya bukan saja terbatas pada aspek kehidupan
duniawi saja melainkan tercakup di dalamnya masalah-masalah kehidupan
ukhrawi, berupa bimbingan rohani. Keluasan doktrin Islam telah menyebabkan
semakin menyebarnya pondok pesantren sebagai lembaga sosial terutama di
kalangan kelompok pondok modern (khalaf) karena menerima perubahan sesuai
dengan tuntunan zaman. Dan kemajuan tingkat berfikir masyarakat mempengaruhi
80Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur danNilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h. 60
155
adanya pengembangan pesantren sebagai lembaga sosial yang cenderung
mengangkat harkat dan martabat manusia.
Wujud nyata sebagai upaya penggarapan bidang sosial ekonomi, adalah
mengarah kepada suatu upaya peningkatan dan pengembangan ekonomi
masyarakat dari tingkat sangat lemah menjadi tingkat ekonomi sedang
(menengah), bahkan berkembang menjadi tingkat ekonomi yang lebih mapan.
Termasuk juga di dalamnya pengembangan tingkat ekonomi pesantren. Hal ini
secara tidak langsung mendidik para santri untuk mandiri, dalam arti kata
membiayai diri dan kebutuhannya. Begitu pula masyarakat diharapkan mampu
mengatur dirinya dengan tingkat kemampuan ekonominya masing-masing.
Sebagai lembaga sosial Pesantren Roudlotul Qur’an dapat menampung
santrinya dari berbagai lapisan masyarakat muslim, dengan tidak membedakan
latar belakang dan tingkat sosial ekonomi orang tuanya. Di samping itu pesantren
juga membantu para santri yang tidak mampu dengan memberikan jatah konsumsi
gratis, sebagai imbalannya santri tersebut bekerja pada kiai baik di dapur umum,
bangunan, ataupun tempat lain yang menjadi tanggung jawab kiai. Dalam istilah
pesantren di Jawa biasanya disebut santri batih.81 Dengan demikian pesantren
telah mampu menjalankan perannya sebagai lembaga sosial, karena membantu
81 Batih merupakan bahasa Jawa yang artinya anggota keluarga, santri batih di sinidimaksudkan santri yang mondok dan belajar di pesantren namun seolah menjadi anggota keluargakiai, sehingga keberadaannya menjadi tanggung jawab kiai, baik yang berkaitan dengan kebutuhanmateri misal makan, pakaian, biaya pendidikan dan lain-lain dan juga yang bukan materi. Imbalbaliknya biasanya santri batih bekerja secara ikhlas membantu semua kerepotan kiai, baik bekerjadi sawah/ ladang maupun pekerjaan-pekerjaan lainnya. Kepatuhan santri batih kepada kyai menjadisangat dominan, karena diyakini dengan kepatuhan tersebut santri tidak hanya akan mendapatkanilmu dari kyai, namun juga mengharap barokah dari kyai tersebut. Dalam istilah lain santri batih inidiidentikkan dengan cantrik yang menurut cantrik yang berarti orang yang selalu mengikutiseorang guru ke mana pergi. Cantrik selalu mengikuti ke mana saja gurunya menetap, dengantujuan dapat belajar dari sang guru terhadap suatu keahlian tertentu. Kebiasaan cantrik dalambudaya Jawa sebenarnya masih berlangsung hingga sekarang, meskipun tidak seperti pada masalampau Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina,1997), h.19,20
156
masyarakat yang kurang mampu dengan tidak terlalu mempertimbangkan masalah
materi.
Sejalan dengan itu, sebagai komunitas belajar keagamaan pesantren
mempunyai hubungan yang erat dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya.
Dalam masyarakat pedesaan tradisional, kehidupan keagamaan merupakan bagian
yang menyatu dengan kenyataan hidup masyarakat sehari-hari. Pesantren
Roudlotul Qur’an sebagai lembaga syi’ar agama Islam mempunyai integritas yang
tinggi dengan masyarakat sekitarnya dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan
masyarakat umum.
2. Sebagai Pengkader Ulama Al-Qur’an
Pengasuh pesantren Roudlotul Qur’an yang notabene pakar tilawatul
qur’an/ Qari’ menjadikan pesantren ini menjadi rujukan bagi siapa yang ingin
lebih mendalami ilmu tilawatil qur’an. Di samping itu beliau juga seorang hâfiz
al-Qur’an (hafal al-Qur’an 30 juz) sudah barang tentu pesantren kian menjadi
tempat bagi para kaum muslimin yang menginginkan mempelajari al-Qur’an
secara mendalam dan menghafalkan al-Qur’an. Tahfîz al-Qur’an memang menjadi
menu utama pesantren di awal pendiriannya. Bahkan sebelum pesantren secara
resmi didirikan sudah banyak santri yang belajar pada KH. Ali Qomaruddin al-
Hafidh. Santri hafidh ini ada yang sudah tamat SLTA ada pula yang di samping
menghafalkan al-Qur’an ia sedang mengikuti pendidikan di Madrasah Aliyah
Darul A’mal yang lokasinya berdekatan dengan pondok Pesantren Roudlotul
Qur’an ataupun yang mengikuti pendidikan di SMP/SMA Tarbiyatul Mu’allimin
Wal-Mu’allimat al-Islamiyyah Roudlotul Qur’an.
Berbicara tentang santri yang belajar tilawatil Qur’an dan hafidhul Qur’an
umumnya mereka telah berhasil menorehkan tinta prestasi baik pada even-even
daerah maupun nasional. Umumnya kemampuan mereka diuji lewat arena
Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) yang diadakan setiap tahun. Terhitung sejak
tahun 2002 sudah berhasil mendulang piala pada Musabaqoh Tilawatil Qur’an di
157
tingkat Provinsi Lampung. Sehingga keberadaan pesantren ini menjadi andalan
bagi Kota Metro dalam pelaksanaan MTQ di tingkat Provinsi. Para alumni
pesantren inipun pada umumnya telah mampu berkiprah di masyarakat dengan
membuka pendidikan al-Qur’an kendati belum membentuk suatu lembaga
pendidikan.
3. Sebagai Lembaga Ekonomi
Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berupaya selalu mengembangkan
inovasi-inovasi pembelajaran yang mau tidak mau harus membutuhkan
pendanaan yang tidak sedikit. Untuk mengantisipasi hal tersebut para pengurus
yayasan berupaya membentuk sebuah lembaga ekonomi yang diharapkan dapat
menopang berbagai kebutuhan pesantren tersebut. Lembaga tersebut adalah
“Koperasi Roudlotul Qur’an” yang legalitasnya telah diakui dan berbadan hukum
berdasarkan Surat Keputusan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota
Metro dengan nomor Badan Hukum : 518/003/BH/D.7.04/111/2007.
Kendati pada tahap awal Koperasi Roudlotul Qur’an kegiatan pokoknya
baru berupa Warung Serba Ada (WASERDA), akan tetapi untuk rancangan jangka
panjang ke depan akan diupayakan usaha-usaha lainnya. Usaha ke depan
diupayakan bagaimana melibatkan masyarakat muslim sekitar Pondok Pesantren
Roudlotul Qur’an untuk berupaya bersama-sama meningkatkan taraf hidup
dengan bekerja sama di bidang ekonomi.
Selain fungsi-fungsi tersebut di atas, pada dekade terakhir ini pemerintah
dan masyarakat Kota Metro khususnya menaruh harapan kepada pesantren ini
untuk menjadi salah satu agen perubahan (agen of change) dan pembangunan
masyarakat. Pembaharuan pesantren dari segi fungsinya pada masa kini, mengarah
pada substansi pendidikan pesantren agar lebih responsif terhadap kebutuhan
tantangan zaman. Meskipun sampai saat ini belum ada data yang menunjukkan
bahwa pesantren ini mampu menelorkan alumni yang mempunyai nama yang
cemerlang, akan tetapi dari berbagai even MTQ dapat dilihat bahwa alumni
158
Pesantren Roudlotul Qur’an selalu menjadi utusan kafilah MTQ dari daerahnya
masing-masing.
Menurut Azyumardi Azra, pembaharuan pesantren juga diarahkan kepada
fungsionalisasi (atau tepatnya refungsionalisasi) pesantren sebagai salah satu pusat
penting bagi pembangunan masyarakat secara makro. Dengan posisi dan
kedudukannya yang khas, pesantren menjadi alternatif pembangunan yang
berpusat pada masyarakat itu sendiri dan sekaligus sebagai pusat pengembangan
pembangunan yang berorientasi pada nilai. 82
Pesantren ini selain berfungsi seperti dikemukakan di atas, juga berfungsi
sebagai pusat informasi dan pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat di
lingkungan sekitarnya. Ekonomi masyarakat sekitarnya menjadi tumbuh
berkembang karena masyarakat menyediakan bahan-bahan kebutuhan pokok para
santri dan kebutuhan pesantren pada umumnya. Hal ini berarti bahwa pesantren
telah mengarah pada pembaharuan fungsi-fungsi pesantren.
Tentu saja keberadaan pesantren ini sebagai sebuah lembaga pendidikan
Islam yang banyak menampung peserta didik merupakan momentum yang
kondusif untuk membawa para santrinya menjadi ahli, di samping berpengetahuan
teoritis, juga berpengetahuan praksis dalam berbagai aspek pengetahuan. Para
santri tidak saja diberikan pelajaran agama, tetapi juga diberikan pelatihan-
pelatihan yang berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia. Contoh
dari bentuk pelatihan tersebut adalah mereka yang berminat diberi pengetahuan
pertukangan yang biasanya langsung dapat mempraktekkannya dalam
pembangunan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an. Di samping itu juga di bidang
peternakan, pertanian, menjahit, seni bordir dan lain-lain.Hal ini membuktikan
bahwa pesantren telah melangkah lebih maju dari sebelumnya, yang hanya
terbatas sebagai lembaga pendidikan dan pengkajian agama Islam.
82Azyumardi Azra, “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan” dalam Nurkholis Madjid,Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997). h. xxi
159
Dari uraian mengenai fungsi Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an di atas
penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam konteks fungsi kelembagaan, pesantren
ini mempunyai tiga fungsi pokok, yaitu: pertama, sebagai sumber ilmu
pengetahuan Islam; kedua, berfungsi memelihara tradisi Islam; ketiga, pengkader
ulama’ Al-Qur’an; dan keempat, sebagai lembaga ekonomi. Sedangkan pada
fungsi sosial pesantren ini berfungsi: pertama, menampung peserta didik; kedua,
memberikan fatwa keagamaan kepada masyarakat; ketiga, pusat pertumbuhan
ekonomi masyarakat, dan; keempat, sebagai sumber agama Islam.
Fungsi kelembagaan pesantren ini selaras dengan pendapat Azyumardi
Azra yang mengatakan bahwa terdapat setidaknya tiga fungsi pokok pesantren:
pertama, transmisi ilmu pengetahuan Islam (transmission of Islamic knowledge);
kedua, pemeliharaan tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition); ketiga,
pembinaan calon-calon ulama’ (reproduction of ulama). 83 Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa dari aspek kelembagaan, pesantren mempunyai fungsi
sebagai pewaris, pemelihara dan penghasil yaitu pewaris ilmu-ilmu keislaman dan
memelihara ilmu tersebut serta mencetak ulama sebagai pengemban ilmu-ilmu
keislaman.
E. Dampak Modernisasi Pendidikan
Sebagai lembaga pendidikan, Pesantren Roudlotul Qur’an semenjak
lahirnya telah membawa perubahan-perubahan di kalangan masyarakat setempat,
yaitu:
1. Pesantren tersebut berkembang semakin maju karena dapat mengikuti
irama perkembangan masyarakat. Meskipun dalam hal ini parameter yang
digunakan sebatas pada kuantitas santri yang semakin lama semakin
83 Azyumardi Azra, “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan” ,h. xxi
160
meningkat, selain itu pengelolaan pesantren dari berbagai aspek makin
ditingkatkan, mulai dari pengaturan asrama, kegiatan kurikuler dan
nonkurikuler, dan struktur kelembagaan Pondok Pesantren Roudlotul
Qur’an.
2. Peran Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dalam pengembangan agama
Islam bagi masyarakat sekitar semakin menunjukkan hal yang positif.
Kenyataan ini tampak dengan semakin banyaknya para ustadz yang
memberikan ceramah-ceramah agama dan pengajian-pengajian yang
berlangsung di mushola-mushola atau masjid-masjid sekitar Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an. Selain itu dalam kegiatan-kegiatan ritual
keagamaan lainnya Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an cukup mempunyai
andil yang besar. Kegiatan tersebut berlangsung karena semata-mata
diadakan oleh pihak Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an maupun yang
diadakan masyarakat luar dengan bantuan Pondok Pesantren Roudlotul
Qur’an.
3. Proses pembelajaran semakin tertib, karena telah tersusun manajemen
organisasi dengan baik. Tertib di sini bukan dimaksudkan dengan kakunya
peraturan yang ditetapkan di Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, akan
tetapi hal ini lebih diakibatkan dari keteraturan pengelolaan santri baik di
dalam maupun di luar asrama apabila dibandingkan dengan keadaan
sebelumnya. Ini dapat dibuktikan dengan pengakuan santri lama yang
pernah mengalami belajar pada saat belum terjadi pembaharuan/
modernisasi, bahwa untuk saat sekarang santri sudah diajar dengan
kurikulum yang baik, sehingga proses pembelajaran akan lebih efektif.84
4. Dampak lain dari pembaharuan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an adalah
para alumninya, selain ada yang menjadi guru agama, hafidh/ hafidhah dan
84 Ahmad Sonhaji, SPd.I(Pengurus Pendidikan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an),Wawancara, tanggal 3 Mei 2007
161
qari’/ qari’ah terdapat pula para alumni yang mengabdikan dirinya pada
pendidikan baik formal maupun nonformal. Sehingga masyarakat dapat
mengambil manfaat dari adanya pembaharuan ini.
162
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebelum lahirnya Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas,
sistem pendidikan di Pesantren Roudlotul Qur’an hanya mengajarkan pengajian al-
Qur’an dengan program tahfidhul Qur’an sebagai program intinya. Di samping itu
diberi pelajaran tambahan dengan mengkaji kitab kuning. Sistem halaqah menjadi
karakter yang melekat di pesantren ini pada awal pendiriannya.
Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an berlokasi di jalan Pratama Praja
Kelurahan Mulyojati bedeng 16 B, Kecamatan Metro Barat Kota Metro Provinsi
Lampung. Lembaga ini dibangun karena didorong oleh beberapa faktor; pertama,
adanya ulama’/ kyai yang ingin mengabdikan diri demi majunya pendidikan Islam;
kedua, karena motivasi yang kuat untuk menanamkan keilmuan Al-Qur’an terutama
tahfidhul Qur’an dan tilawatul Qur’an; ketiga, keinginan yang kuat antara para
tokoh pendirinya untuk memajukan praktek pendidikan agama Islam dengan
menawarkan alternatif pendidikan bagi kaum muslim masyarakat Kota Metro
khususnya dan Provinsi Lampung pada umumnya, keempat, adanya dukungan yang
kuat dari masyarakat dan pemerintah setempat terhadap pesantren ini untuk
membina kehidupan beragama masyarakat, khususnya generasi muda.
Sedangkan usaha-usaha pembaharuan yang dilakukan oleh Pondok Pesantren
Roudlotul Qur’an antara lain:
Pertama, pembaharuan pada aspek kelembagaan dan organisasi, yaitu dari
kepemimpinan individu (kiai) kepada sistem kepemimpinan kolektif (yayasan)
dengan pembagian kerja yang jelas.
Kedua, pembaharuan pada aspek kurikulum. Pada awal berdiri penentuan
kurikulum Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an adalah semata-mata otoritas kiai,
sehingga kurikulum yang ada identik dengan kiai pesantren tersebut yang pada
umumnya hanya mengajarkan pelajaran-pelajaran agama Islam saja, akan tetapi
163
setelah mengalami modernisasi kurikulum tidak lagi menjadi otoritas kiai, kurikulum
ditentukan berdasarkan pada kurikulum yang dibuat oleh Departeman Pendidikan
Nasional, di samping itu menggunakan kurikulum Tarbiyatul Mu’allimin wal-
Mu’allimat al-Islamiyyah yang diadopsi dari Pondok Pesantren Al-Mukmin
Prenduan, Madura Jawa Timur. Sehingga terjadi perpaduan dan keseimbangan antara
mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum.
Ketiga, pembaharuan pada aspek pengajaran, yaitu dari sistem halaqah
dengan metode menghapal kitab Al-Qur’an serta mengkaji kitab-kitab klasik ke
sistem klasikal / persekolahan dengan metode pengajaran yang berlaku pada
lembaga pendidikan modern, seperti metode ceramah, Tanya jawab, diskusi,
demonstrasi, drama, resitasi, dan kerja kelompok.
Keempat, pembaharuan pada aspek fungsi Pondok Pesantren Roudlotul
Qur’an meliputi: sebagai sumber ilmu pengetahuan Islam, pemelihara tradisi Islam,
sebagai pengkader ulama’ dan sebagai lembaga ekonomi, sebagai lembaga social
berfungsi: menampung peserta didik, memberikan fatwa keagamaan kepada
masyarakat, sebagai pusat pertumbuhan ekonomi umat dan sebagai mediator
penyiaran agama Islam.
Dampak pembaharuan yang dilakukan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an
kepada lingkungan sekitar adalah: pesantren ini dapat bertahan serta semakin maju
dan aktifitas kehidupan keberagamaan masyarakat semakin meningkat.
B. Implikasi
Unsur-unsur pendidikan berupa institusi, kurikulum, dan metodologi
pembelajaran dapat berimplikasi kepada penyelenggaraan pendidikan maupun tujuan
pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan agama Islam.
Pada pendidikan agama Islam, unsur-unsur tersebut di atas memegang
peranan yang cukup penting dalam penyelenggaraan proses pembelajaran. Sejauh
manakah pendidikan agama Islam sebagai suatu subsistem dari pendidikan nasional
164
dapat mengemban cita-cita agama islam yang menjadi harapan mayoritas penduduk
Indonesia.
Semua upaya pengembangan pesantren dan madrasah di Indonesia dapat
dipandang sebagai proses transformasi pendidikan Islam dalam upaya memenuhi
tuntutan dan perkembangan zaman. Sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang
berakar pada sejarah panjang dan tumbuh dari bawah (grassroot), pesantren dan
madrasah memiliki arti yang sangat penting di kalangan kaum muslimin di
Indonesia, sehingga eksistensinya terus diperjuangkan melalui berbagai jalur.
Namun demikian, sebagaimana layaknya lembaga dalam suatu komunitas
yang dinamis, lembaga pendidikan inipun tidak bias lepas dari perkembangan dan
perubahan masyarakat di berbagai bidang kehidupan, baik bidang politik, ekonomi,
maupun sosial budaya.
Sementara itu madrasah di satu pihak berupaya menjaga karakteristik
keislaman dan di lain pihak dituntut untuk mampu mengembangkan relevansi dan
vitalitas kependidikan madrasah merupakan dua hal yang menjadi focus dari proses
transformasi pendidikan di Indonesia.
Sejak lahirnya, praktek pendidikan Islam menitikberatkan pada aspek
keagamaan (sikap), sementara aspek intelektual kurang mendapat perhatian yang
serius dari para penanggungjawabnya. Keadaan seperti itu tentu saja menuntut
keterbukaan pendidikan pesantren untuk dapat mengakomodasikan metodologi
pengajaran yang dapat membawa para santri untuk selalu mengembangkan
wawasan dan pemikirannya secara bebas tanpa harus merasa terikat dari pandangan
kiainya. Dengan demikian, kurikulum pesantren harus dikaji dari relevansi
kemasyarakatan dengan segala perubahannya. Kurikulum tradisional dengan mata
pelajaran kitab kuningnya perlu mengalami proses perubahan, sesuai kecenderungan
masyarakat akan pendidikan.
Usaha pendidikan seperti di atas, memastiakn keharusan untuk melakukan
pembaharuan dan perubahan-perubahan terhadap beberapa aspek tertentu dari
lembaga pendidikan pesantren maupun madrasah, dengan tetap menjamin karakter
165
pesantren yang esensial, seperti reproduksi ulama maupun memelihara tradisi dan
nilai-nilai budaya Islam.
Pembaharuan terhadap beberapa aspek pendidikan sangat penting dilakukan
di pesantren, karena dengan melakukan pembaharuan pendidikan, pesantren akan
tetap bertahan hidup dalam masyarakat yang serba maju.
Upaya pembaharuan pendidikan pesantren sebagaimana telah diutarakan di
atas, Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an telah mengadakan modernisasi pendidikan
pada aspek kelembagaan, organisasi, kurikulum dan aspek metodologi pengajaran.
Pada aspek kelembagaan pesantren telah mengubah pola kelembagaan yang
dahulunya pesantren cenderung kepemimpinannya dipegang seorang kiai, dalam hal
ini KH. Ali Komaruddin, karena beliaulah pendiri sekaligus pengasuhnya. Kemudian
pada giliran selanjutnya kepemimpinan tunggal diubah menjadi kepemimpinan
kolektif dalam suatu kepengurusan yayasan, sementara kiai lebih berkonsentrasi pada
pembinaan santri dan yang bertanggung jawab di dalam pesantren.
Dengan demikian, dalam proses perjalanannya, pesantren ini telah melakukan
pembaharuan pada aspek organisasi kelembagaan. Implikasi dari modernisasi ini
menjadikan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an dapat terus eksis hingga sekarang
dalam perubahan yang sangat cepat.
Dalam kaitannya dengan kontinuitas sebuah pesantren, Azyumardi Azra
mengemukakan bahwa terdapat kecenderungan kuat pesantren untuk melakukan
konsolidasi organisasi kelembagaan, karena dalam perkembangannya dalam
pesantren terjadi diversifikasi pendidikan yang diselenggarakannya, yaitu mencakup
madrasah dan sekolah umum, hingga kepemimpinan tunggal tidak lagi memadai
lagi.
Selain pembaharuan pada aspek kelembagaan dan organisasi, Pondok
Pesantren Roudlotul Qur’an melakukan pula pembaharuan pada aspek kurikulum
dengan mengadakan perubahan jumlah jam dan mata pelajaran. Pada awal
perkembangannya semua mata pelajaran bersumber dari kitab kuning (berbahasa
Arab) yang 100% mata pelajaran agama Islam. Akan tetapi pada perkembangan
166
selanjutnya Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an memasukkan mata pelajaran umum
ke dalam kurikulum dan membuka pendidikan umum yaitu SMP dan SMA.
Pembaharuan pada aspek kurikulum ini berimplikasi pada pola kehidupan santri
yang pada awalnya mengutamakan aspek sikap (prilaku) saja, kemudian menjadi
seimbang antara aspek sikap dan aspek intelektual serta pengembangan wawasan.
Pembaharuan aspek metodologi pengajaran juga dilakukan, yaitu dari
pengajaran sistem halaqah saja kepada pengajaran sistem klasikal/ persekolahan.
Dalam pengajaran sistem halaqah perhatian kiai sebagai pengasuh biasanya kurang
mempunyai titik singgung dengan aspek psikologis santri. Pada sistem ini tahapan
pertumbuhan jasmani dan perkembangan jiwa santri kurang mendapatkan perhatian,
baik secara fisik, mental, intelektual, maupun sosial.
Berbeda dengan pelaksanaan pembelajaran dengan sistem persekolahan. Pada
sistem ini aspek filosofis, psikologis, maupun aspek sosiologis tampak diperhatikan.
Pelajaran yang diberikan dan metode mengajar yang digunakan disesuaikan dengan
tingkat perkembangan intelektual anak di setiap jenjang pendidikan. Hal ini
menunjukkan bahwa perubahan tingkah laku dan perkembangan intelektual santri
menuju kedewasaan yang komprehensif akan tercapai melalui pembaharuan
kurikulum dan metode mengajar yang digunakan. Penggunaan metode diskusi atau
resitasi misalnya, di dalam proses belajar mengajar di pesantren ini berimplikasi pada
pengembangan wawasan para santri karena mereka dapat melatih diri untuk
mengorganisir pikiran-pikirannya dalam mengeluarkan pendapat dan dapat menjaga
kestabilan emosinya dalam berdiskusi.
Dari pembaharuan beberapa aspek pendidikan tersebut di atas, menjadikan
factor utama pesantren ini dapat bertahan dan berkembang. Implikasi pembaharuan
tersebut menjadikan Pesantren Roudlotul Qur’an semakin mempunyai keterkaitan
erat yang tidak terpisahkan dengan masyarakat sekitarnya. Masyarakat dan
Pemerintah Kota Metro sangat mendukung keberlangsungan pesantren ini.
Umumnya mereka memberikan bantuan dana dengan menjadi donatur tetap/ donatur
167
rutin untuk pembangunan pesantren, atau banyak juga yang memberikan bantuan
tenaga maupun pikiran demi kemajuan pesantren.
Sebaliknya, pesantren ini memberi jasa kepada masyarakat, tidak hanya
memberikan pelayanan pendidikan dan keagamaan, tetapi juga bimbingan sosial
(fatwa-fatwa), dan kehidupan ekonomi bagi masyarakat dan lingkungannya. Bagi
Kota Metro mendapat keuntungan, terutama untuk pengiri,am kafilah Musabaqoh
Tilawatil Qur’an (MTQ) maupun even-even perlombaan keagamaan lainnya.
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah disebutkan pada pembahasan
sebelumnya, maka untuk menjamin kontinuitas pesantren ini perlu direkomendasikan
gagasan penulis sebagai berikut:
Kendati kerja sama antara pihak pesantren Roudlotul Qur’an dengan
masyarakat dan pemerintah sudah berjalan baik selama ini, akan tetapi kerja sama
tersebut sebaiknya terus dijaga dan ditingkatkan, bukan saja dalam komitmen moral
akan tetapi lebih diarahkan kepada partisipasi nyata masing-masing pihak; yaitu
masyarakat lebih mengarahkan anak-anaknya untuk masuk ke pesantren dan ikut
serta dalam pembangunan pesantren dengan kemampuan masing-masing. Pemerintah
sebaiknya membantu pesantren dengan menganggarkan secara rutin ke dalam
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kota Metro, dan pihak
pesantren lebih proaktif lagi dalam melakukan pembinaan kehidupan masyarakat
baik melalui lambaga maupun dakwah dan fatwa. Selain itu hendaknya pesantren
memberi dukungan yang kuat terhadap program-program yang dicanangkan
pemerintah terutama mewujudkan Kota Metro sebagai Kota Pendidikan.
Supaya pembaharuan pendidikan tetap berjalan di Pondok Pesantren
Roudlotul Qur’an, maka sumber daya manusia (SDM) tenaga pendidik perlu
ditingkatkan kualitas dan kualifikasinya serta jumlahnya sampai kepada tingkat
memadai melalui penataran-penataran kependidikan atau melanjutkan pendidikan
formalnmya ke jenjang yang lebih tinggi (S1-S2). Selain itu, pesantren ini perlu
168
mengupayakan para alumninya yang berprestasi tinggi untuk dapat melanjutkan
pendidikan formalnya ke Negara-negara Timur Tengah dan Perguruan Tinggi dalam
negeri supaya kelak bisa direkrut menjadi tenaga pendidik di pesantren ini.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdullah, Taufik (ed), Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: Majelis UlamaIndonesia (MUI), 1991
Ahmed, Akbar, Postmodernism and Islam: Predicament and Promise, terbitanRoutledge, London
Anderson, C. Arnold, “The Modernization of Education”, dalam Modernization-TheDynamics of Growth, Myron Weiner (ed) New York: Basic Books, inc., 1966
Al-Abrâsyî, Muhammad Atiyah, Al-Tarbiyah al-Islâmiyyah wa Falsafatuhâ, Mesir:Isa al-Bâby, 1975
Al-Attas, Muhammad Naquib, The Concept of Islamic Education, Kuala Lumpur:ISTAC,1994
Ali, Muhammad”Reorientasi Makna Pendidikan : Urgensi Pendidikan Terpadu”,dalam Marzuki Wahid, dkk (ed), Pesantren Masa Depan, Bandung: PustakaHidayah, 1999
Ali, Mukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali Press, 1987
Anwar, Qomari, “Manajemen Pendidikan Islam” dalam Adi Sasono (ed) SolusiIslam atas Problematika Umat, Jakarta: Gema Insani Press, 1988
Arifin, M, Ilmu Pendidikan Islam : Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis BerdasarkanPendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Arifin, Imran, Kepemimpinan Kiai, Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng, (Jombang:Kalimasada Press, 1991
Arikunto, Suharsimi, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, Jakarta: RinekaCipta, 1990
-----------, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta; Rineka Cipta,1998
Asari, Hasan, Modernisasi Islam, Tokoh, Gagasan dan gerakan, Bandung : CiptaPustaka Media, 2002
Azizy, A. Qodri, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDMdan Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2003
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi, dan Modernisasi menuju MilleniumBaru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
-----------, Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan, dalam Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: paramadina, 1997
-----------, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta : LogosWacana Ilmu, 1998
Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
-----------, Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 1979
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, 1989
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai,Jakarta: LP3ES, 1982
Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, Grand DesignPendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren 2004-2009, Jakarta, DEPAGRI, 2005
Fadjar, A.Malik, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia , 1999
Fazlurrahman, ISLAM & MODERNITY,Transformation of an Intellectual Tradition,terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 2000 Anis Ibrahim, al-Mu’jam al-Wasith, juz 1, Kairo: t.p., 1972
Gani, Abdul dan H. Syamsuddin, Tajdid Dalam Pendidikan Dan Masyarakat, KualaLumpur: Persatuan Ulama Malaysia, 1989
Gazalba, Sidi, Islam dan Perubahan Sosiobudaya, Kajian Islam tentang PerubahanMasyarakat. Jakarta: Pustaka Al Husna, 1983
Ghazali, Bahri, Pesantren Berwawasan Lingkungan, Jakarta: Prasasti, 2003
Hadar, Ivan A, Pengaruh Politik Pendidikan Pesantren, Makalah Seminar, Pesantrendalam Perspektif Pengembangan Ilmu dan Masyarakat, Jakarta : 1985
Haedari, Amin dan M. Ishom El-Saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren danMadrasah Diniyyah, (Jakarta: Diva Pustaka, 2004
Haedari, Amin & Abdullah Hanif (ed) Masa Depan Pesantren dalam TantanganModernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, Jakarta: IRD Press, 2005
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam: Lintasan Sejarah Pertumbuhan danPerkembangan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999
Hassan, Muhammad Hassan dan Nâdiyah Jamâl al-Din, Madâris al-Tarbiyah fi al-Hadârah al-Islâmiyah, Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1984
Hasyim, M. Affan, Menggagas Pesantren Masa Depan, Yogyakarta: Qirtas, 2003
Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Universitas Indonesia Press &Tintamas, 1986
Hielmy, Irfan KH., Modernisasi Pesantren, Meningkatkan Kualitas Umat MenjagaUkhuwah, Bandung: Nuansa, 2003
Imran, Arifin, Kepemimpinan Kiai, Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng, (Jombang:Kalimasada Press, 1991)
John, W. Best and James V. Kahn, Research in Education, Boston: Allyn andBacon,1993
Khadim, al-Haramain asy-Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah: t.th
Khalid, Abu MA, Kisah Wali Songo Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa,(Surabaya: Karya Ilmu, t.th)
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1997
Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan,1991
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru,2003
Madjid, Nurcholish, “Masyarakat Religius dan Dinamika Industrialisasi” , Islam,Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987
-----------, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalalanan, (Jakarta: Paramadina,1997)
Al-Mahallî, Jalaluddin dan Jalluddin Abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuty, Tafsîral-Qur’an al-‘Azîm lil Imâmain al-Jalâlain, Semarang: Makatabah TohaPutera, t.th
Mahfudh, Sahal, KH. MA. Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKiS , 2003
-----------, Pesantren Mencari Makna, Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999
Al-Maududî, Abu al-A’la, Langkah-Langkah Pembaharuan Islam, terj. DadangRahmad dan Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1984
Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999
Malik, Dedy Djamaluddin (ed), ZAMAN BARU ISLAM INDONESIA, Pemikiran danAksi Politik, Jakarta: Zaman Wacana Mulia, 1998
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren : Suatu Kajian Tentang Unsur danNilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994
Mas’ud, Abdurrahman dalam, Dinamika Pesantren dan Madrasah, Ismail SM. Et.al.(ed) Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya,2000
Moestoko, Sumarsono, Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke Zaman, Jakarta:Balai Pustaka, 1986
Muhajir, Noeng, Filsafat Pendidikan Multikultural Pendekatan Postmodern,Yogyakarta: Rake Sarasin, 2004
-----------, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000
Mutahhari, Murtadha, Gerakan Islam Abad XX, (terj) Fachry Ali, Jakarta: PT.Boenabi Cipta, 1986
Muzadi, Hasyim, Nahdlatul Ulama’ di tengah Agenda Persoalan Bangsa, Jakarta:Logos Wacana Ilmu,2002
An-Nahlawî, Abdurrahman, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Asalibaha fi al-baiti wa al-madrasah wa al-mujtama’, terjemahan Shihabuddin, Jakarta:Gema Insani Press, 1996
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan,Jakarta: Bulan Bintang, 1994
Nata, Abuddin, Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Raja GrafindoPersada,2003
-----------, Modernisasi Pendidikan di Indonesia, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006
-----------, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Sejarah dan FilsafatPendidikan, Pendidikan Islam di Indonesia: Tantangan dan Peluang, Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 20 Maret 2004
-----------, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam diIndonesia, Jakarta: Prenada Media, 2003
Noer, Deliar, gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1945, Jakarta : LP3ES, 1980
Pasha, H. Mustafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah SebagaiGerakan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Pedersen, J, The Arabic Book, (terj), Bandung: Mizan, t.th
Poerbakawatja, Soegarda, Ensiklopedi pendidikan,Jakarta: Gunung Agung, 1976
Porter, Bobbi De, et al, Quantum Teaching, Bandung: Mizan,2001
Al-Qardlawî, Yusuf, al-Rasul wa al-Ilm, (ter) Kamaluddin A. Marzuki, Bandung:Remaja Rosdakarya, 1991
Al-Qusyairî, Abî ‘Abdullâh Muhammad ibn Yâzid, Al-Sunan Ibnu Mâjah, t.tp: Isaal-Bâbi wa Syirkah
Al-Qusyairî, Muslim Ibn al-Hajjâj ibn Muslim, Sahîh Muslim, Kairo: Dar al-Hadis,juz III
Al-Syaibanî, Omar Muhammad Al-Toumy, Falsafah al-Tarbiyah al-Islâmiyyah,(terj) Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Rahardjo, M. Dawam (ed), Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun dari Bawah,Jakarta: P3M, 1985
Rahim, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,2001
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2005
Robert, C. Bogdan and Knopp Biklen, Qualitative Research for Education, anIntroduction to Theories and Methods, Boston, 2003
Rosyada, Dede, Bahan Ajar Penelitian Kualitatif Program Pascasarjana UIN SyarifHidayatullah Jakarta.
Saleh, Abdul Rahman, Konsepsi dan Pengantar dasar Pembaharuan PendidikanIslam, (Jakarta: DPP GUPPI, 1993)
Saridjo, Marwan, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti,1983
Saurah, Abû Îsâ Muhammad ibn Îsâ, Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan,1992
Stanton, Charles Michael, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (terj), Jakarta: Logos,1994
Steenbrink, A Karel., Pesantren, Madrasah, Sekolah-Sekolah Pendidikan Islam(Modern), Jakarta: LP3ES, 1986
Sujana, HD. S, Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif, Bandung: FalahProduction, 2001
Suparta, Mundzier (ed), Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2003
Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode, dan Teknik,Bandung; Tarsito, 1982
Susilo, Ahmad, MSi, Strategi Adaptasi Pondok Pesantren, Jakarta, Kucica, 2003
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak, Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma danKerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar, 2004
Tauchid, Moh, Masalah Pendidikan Rakyat, Bogor: Dewan Partai-Partai SosialisIndonesia Bagian Pendidikan dan Penerangan, 1954
TILAAR, H.A.R., Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar PedagogikTransformatif untuk Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2002
Van, Bruinessen Martin, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan,1992
Wahid, Abdurrahman, “Agama dan Modernisasi adalah satu”, dalam MajalahKomunikasi Ekaprasetia Pancakarsa, No. 40/ Thn. VI/ 1985
-----------, Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan, dalam Manfred Oepen,dan Wolfgang K. (ed), Dinamika Pesantren, (Jakarta: P3M, 1988)
Wijaya, Cece, dkk., Upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran,(Bandung: CV.Remaja Karya, 1988), cet. ke-1,
Woodward, Mark R., Islam Jawa, Yogyakarta: LkiS, 1999
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997
Yunus, Mahmud, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, Jakarta: PT. HidakaryaAgung, 1990, cet ke-3.
-----------, al-Tarbiyah wa al-Ta’lim Ponorogo: Pondok Modern Gontor Ponorogo,1986
Yûsuf, Al-Hasan Muhammad, Pendidikan Anak dalam Islam, (terj) MuhammadYusuf Harun, Jakarta: Darul Haq, 1998
Zarkasyi, Abdullah Syukri, Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005
-----------, Pondok Pesantren Sebagai Alternatif Kelembagaan Pendidikan UntukProgram Pengembangan Studi Islam Asia tenggara, Surakarta: UniversitasMuhammadiyah, 1990
Az-Zarnuji, Burhanudin, Ta’lîm al-Muta’alîm, Semarang : Toha Putera, t.th.
Ziemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Butche B. Soendjono (terj),Jakarta: LP3M, 1985
az-Zuhaili, Wahbah, Al-Qur’an al-Kariim : Bunyatuhu al-Tasyri’iyyah waKhasaa’isuhu al-Hadhaariyyah¸ (terj) Syarif Hade Masyah, Jakarta:Mustaqim, 2002
Zuharini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004
Kamus
Anis, Ibrahim, al-Mu’jam al-Wasith, juz 1, Kairo: t.p., 1972
Cowen, J. Milten (ed) Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, NewYork:t.p., 1971
John, M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: GramediaPustaka Utama, 2003
Manzur, Ibn, Lisaan al-Arab, T.tp: Darul Ma’arif, t.th
Munawwir, A.W, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984
Webster, Noah, Webster’s New Twentieth Century Dictionary of English Language,The United States of America: William Collin Publisher, INC, 1980
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: 1990
Majalah
Majalah Gontor (Jakarta), Edisi 01, V. Mei, 2007
Majalah Komunikasi Ekaprasetia Pancakarsa, No. 40/ Thn. VI/ 1985
Majalah Taswirul Afkâr, edisi No.6 tahun 1999, h. 97
Wawancara
Muhammad Amin HS, S.PdI (Kepala Tata Usaha SMK Darul A’mal)
KH. Ali Komaruddin, al-Hafiz, (Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an)
Saifurrizal SPd (Kepala Asrama Pelajar Kota MetroLampung )
Muhammad Syarif (Santri Pondok Pesantren Darul A’mal)
Rosyadi (Pemimpin Jamaah Yasin/ Tahlil dusun II Mulyojati Metro Barat)
Ahmad Komaruddin (Waka Kurikulum SMP TMI Roudlotul Qur’an),
Muhammad Saiful Hadi, Lc, (Direktur TMI Roudlotul Qur’an),
Husni Mubarok (Ketua Seksi Pendidikan Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an),
Ira Shofiyatuzzulfa (santri tahfiz Roudlotul Qur’an)
Abdurrahman (Ustadz Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an alumni PesantrenSalafiyah),
Laila Rismadiati, SPdI (alumni Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo/ DewanPembina Asrama Pondok pesantren Roudlotul Qur’an),
Muhammad Sayyid Wijaya (alumni Pondok Pesantren Darussalam Tegineneng)
Khalimi (Ta’mir Masjid Darul Muttaqin, desa Rejokaton Kecamatan Raman Utara)Ahmad Sukemi (Ketua Kelompok Santri Tambak Pondok Pesantren TriBhakti Attaqwa)
Muhammad Muhibbin (Pengasuh Pesantren Tri Bhakti Al-Mubarok, desa UmbulRaman Keramat, Spontan yang berada di wilayah Kecamatan BandarMataram Kabupaten Lampung Tengah)
KH. Ihwanul Faruq (Ketua Ikatan Alumni Santri Tri Bhakti Attaqwa),
Ky. Umar Ansori (Pengasuh generasi kedua pondok Pesantren Darul A’mal Metro)
Muhammad Muballighin Adnan, S.HI, (Kepala Lembaga Pendidikan Tri BhaktiAttaqwa)
KH. Imam Suhadi (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Qodiri),
Muhammad Nurul Baqy (Kepala Madrasah Diniyah Tri Bhakti Attaqwa An-Nahdliyyah),
Musnad Ngaliman. S.H.I, (Ketua Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an Periode 2004-2005)
Heri Suwarto, S.PdI (Ketua Persatuan Guru Diniyah Indonesia Cabang MetroLampung)