repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/penida...repository.uinjkt.ac.idauthor:...

109
ANALISIS AYAT-AYAT TAWAKAL DALAM AL-QUR’AN (STUDI KOMPARATIF TAFSIR AL-AZHÂR DAN TASIR FÎ ZILÂL AL-QUR’ÂN) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) OLEH: PENIDA NUR APRIANI NIM: 11140340000014 JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/ 2018 M

Upload: vuthu

Post on 26-Apr-2019

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

ANALISIS AYAT-AYAT TAWAKAL DALAM AL-QUR’AN

(STUDI KOMPARATIF TAFSIR AL-AZHÂR DAN TASIR FÎ

ZILÂL AL-QUR’ÂN)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

OLEH:

PENIDA NUR APRIANI

NIM: 11140340000014

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440 H/ 2018 M

Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018
Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018
Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018
Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

v

ABSTRAK

Penida Nur Apriani

“ANALISIS AYAT-AYAT TAWAKAL DALAM AL-QUR’AN (Studi Komparatif

Tafsir Al-Azhâr Dan Tasir Fî Zilâl Al-Qur’ân )”

Adapun yang melatar belakangi penelitian ini adalah diketahui ungkapan

bahasa Al-Qur’an penuh keunikan, semakin digali semakin nampak

kemukjizatannya. Gaya bahasanya yang tinggi dan penempatannya bukanlah

ditempatkan oleh Allah Swt begitu saja. Salah satu keunikannya adalah

penggunaan kata tawakal dari akar kata wakala yang di dalam Al-Qur’an diulang

sebanyak 59 kali pada 25 surah.

Al-Qur’an memerintahkan untuk bersikap dengan sifat tawakal ini dalam

berbagai uslub (gaya bahasa) dan bentuknya yang beragam. Begitu juga dengan

hadis hadis Rasulullah Saw. Sesungguhnya Rasulullah adalah contoh yang paling

baik bagi seorang mukmin yang bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar

tawakal. Sifat dan akhlak rabbani ini adalah salah satu dari sifat yang di dalamnya

terdapat pemahaman yang membingungkan, kekeliruan persepsi, kesalah

pahaman hingga terjadi kerancuan makna antara at-tawakul (tawakal) dengan at-

tawaakul (bergantung) dan sikap menyerahkan segala penyebab terjadinya

sesuatu. Kata tersebut dari segi bahasa berarti lemah. Adapun shighah at-tawakul

berarti menyerahkan atau mewakilkan.

Banyak orang salah dalam memahami tawakal kepada Allah Swt. Mereka

beranggap bahwa tawakal itu semata-mata menyerah kepada Allah tanpa usaha

yang benar. Inilah yang membuat penulis merasa terpanggil untuk menelitinya

lebih mendalam, apakah kata tawakal itu bisa membawa perbedaan dalam maksud

ataupun tujuannya dengan mengambil penafsiran dari Tafsir Al-Azhâr dan Tafsir

Fî Zilâl Al-Qur’ân yaitu dengan menggunakan metode tahlili atau analisis dan

muqarin atau komparatif.

Karena penelitian ini termasuk dalam penelitian perpustakaan (Library

Reseach), maka penulis merujuk kepada Al-Qur’an Al-Karim, hadis-hadis

Rasulullah Saw, Tafsir Al-Azhâr dan Tafsir Fî Zilâl Al-Qur’ân sebagai data

primer. Kemudian didukung oleh data dari literatur yang ada kaitannya dengan

penelitian ini. Data-data tersebut dikumpulkan, seterusnya dianalisis untuk

menemukan tema-tema yang berbeda dan mencari titik persamaan atau perbedaan

kemudian digambarkan data-data tersebut setepat mungkin.

Setelah dilakukan penelitian melalui bab per bab, maka sebagai hasil dari

kajian ini adalah sebagian orang mengira bahwa tawakal itu ialah menyerahkan

segala keputusan kepada Allah tanpa berusaha. Menurut Hamka, tawakal itu

adalah menyerahkan segala keputusan dari usaha dan ikhtiar itu kepada Allah.

Beliau juga menambah bahwa tawakal itu mesti disertai dengan syukur dan sabar,

syukur jika hasilnya baik dan sabar jika hasilnya kurang memuaskan. Quṭb pula

menyebut tawakal itu adalah suatu usaha yang dibarengi berserah kepada Allah

akan keputusannya. Kemudian menambah bahwa tawakal itu menunjukkan

kelemahan manusia di hadapan Allah.

Kata kunci: Tawakal, Tafsir Al-Azhâr dan Tasir Fî Zilâl Al-Qur’ân.

Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

vi

KATA PENGANTAR

من ونفسنا ور أمن شرهللا با ذ نعوه، ونستغفرونستعینه ه ونحمد ،لحمدإن ا

أن شهد وأ ،لهدي اهفال من یضلله، وهللا فال مضل لهه من یهد، عمالنات أسیئا

سولهه ورعبدا سیدنا محمدأن شهد ، وأال شریك لهه حدوال هللا إله إال

Alhamdulillah, puji dan syukur bagi Allah SWT karena dengan rahmat

dan pertolongan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang merupakan syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Agama Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini dengan sebagaimana

mestinya. Salawat dan salam kepada baginda Rasulullah SAW yang berjuang

membawa umat manusia ke jalan yang diridhai Allah SWT.

Sebagaimana yang diketahui bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini,

penulis banyak menghadapi cobaan dan rintangan, namun ini semua tidak

mematahkan semangat penulis untuk terus menyelesaikannya. Penulis juga

menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan yang

tentunya tidak disengaja. Namun berkat bimbingan dari berbagai pihak, maka

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini, pada tempatnyalah penulis mengucapkan

berbanyak terima kasih yang tidak terhingga kepada mereka yang telah banyak

membantu penulis, baik secara langsung maupun tidak secara langsung. Secara

khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kepada Yth. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

Prof. Dr. Dede Rosyada selaku Rektor, Prof. Dr. Masri Mansoer M.A.

selaku dekan Fakutas Ushuluddin dan filsafat UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Kepada Yth. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M. A. Selaku ketua jurusan

program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir dan Dra. Banun Binaningrum,

M. Pd. Selaku sekertaris program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Juga

kepada Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

vii

Tafsir yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan ilmu dan

motivasi selama di bangku kuliah serta dukungannya kepada penulis.

3. Kepada Yth. Drs. H. Ahmad Rifqi Muchtar, MA. selaku pembimbing yang

telah bersedia meluangkan waktu dan pemikiran untuk berdialog dengan

penulis, serta memeberikan motivasi yang sangat luar biasa dan berharga.

Semoga Allah SWT. Senantiasa menjaga kesehatan beliau, memberikan

keberkahan hidup serta kebahagiaan dunia dan akhirat atas perjuangan

beliau membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

4. Kepada yang disayangi dan dikasihi Ibunda Siti Paridah tercinta dan

Ayahanda Ruslan Ependi. Terima kasih karena telah banyak memberi

penulis nasihat, dorongan suport moril dan materil, membantu penulis

dalam menyelesaikan perkuliahan ini serta mendoakan penulis dengan

setulus hati. Serta adik-adikku sayang Siti Nur Faridah dan Muhammad

Firdaus yang selalu menjadi pelipur lara dan pembangkit semangat

penulis. Serta seluruh keluarga lain yang tak dapat penulis sebutkan satu

persatu. Merekalah yang senantiasa mendoakan dan memotivasi penulis

untuk terus berkreasi dan menuntut ilmu. Kalianlah salah satu alasanku

menggapai cita-cita.

5. Kepada program beasiswa BLU yang telah menghantarkan penulis untuk

dapat Ṭolab al-‘Ilm di kampus tercinta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Terima kasih kepada Bagus Eriyanto atas segala kekuatan, semangat, dan

motivasi serta selalu sabar mengingatkan penulis agar tidak patah

semangat dalam setiap keadaan.

7. Kepada sahabat tercinta Riska Puspita sari dan Fayyadah Al-Mazaya S.Ag

yang selalu menemani dikala suka maupun duka, dan terus memberi

semangat yang luar biasa kepada penulis. Terima kasih juga untuk sahabat

lintas jurusan Syifa Putri Permata Sari, atas nasehat dan Semangat nya.

Juga untuk kawan seperatapan dan sepenanggungan Syifa Dzihni

Hafidzah, terimakasih atas support nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan sebagai mana mestinya. Kepada sahabat-

sahabat, Rifqoh Qudsiah S.Ag., Nur Syafa Rida, yang senantiasa selalu

memotivasi penulis.

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

viii

8. Kepada kawan-kawan seperjuangan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir A, Iva

Rustiana, Muharrar, Dea Fauziah, Millatie Mustaqiemah, Khanifatur

Rahma, dan seluruhnya yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu,

terimakasih, untuk senantiasa menasehati dan saling memotivasi.

9. Kepada teman-teman KKN Gandum, Syafa, Istiqomah, S.H., Melfie,

Islamiyah, Aina, Afiffah, Neni, Maunah, Bayu, Muharrar, Faisal, Zaid,

Said, Rizki, terimakasih untuk selalu menyemangati.

Semoga kita semua mendapat manfaat dari segala hasil upaya yang baik dan

kehidupan kita senantiasa diberkati dunia dan akhirat. Amin yaa Rabbal ‘Alamin.

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................. iv

ABSTRAK ........................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ........................................................................................................ x

TRANSLITERASI ............................................................................................. xii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ...................................................... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 6

D. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 7

E. Metodologi Penelitian .......................................................................... 8

F. Sistematika Penulisan .......................................................................... 10

BAB II KONSEP TAWAKAL DALAM AL-QUR’AN ................................... 11

A. Pengertian Tawakal ............................................................................ 11

B. Klasifikasi Bentuk Tawakal dalam al-Qur’an ...................................... 15

C. Korelasi Tawakal dengan Usaha .......................................................... 16

D. Urgensi Tawakal ................................................................................. 19

E. Pengaruh Tawakal dengan Keimanan .................................................. 23

BAB III BIOGRAFI BUYA HAMKA DAN SAYYID QUṬB ........................ 27

A. Biografi Buya Hamka .......................................................................... 27

1. Kelahiran Buya Hamka .................................................................. 27

2. Dinamika Keilmuan dan Karirnya ................................................... 27

3. Karya-Karya Buya Hamka .............................................................. 30

4. Pendapat Ulama Tentang Buya Hamka .......................................... 31

5. Sekilas Tafsir Al-Azhâr .................................................................. 34

B. Biografi Sayyid Quṭb ........................................................................... 37

1. Kelahiran Sayyid Quṭb ..................................................................... 37

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

x

2. Dinamika Keilmuan dan Karirnya ................................................... 37

3. Karya-Karya Sayyid Quṭb ............................................................... 39

4. Pendapat Ulama Tentang Sayyid Quṭb ............................................ 40

5. Sekilas Tafsir Fî Zilâl Al-Qur’ân ..................................................... 41

C. Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Al-Azhâr dan Fî Zilâl Al-Qur’ân. 44

BAB IV ANALISIS KOMPARASI TAFSIR AL-AZHÂR DAN FÎ ZILÂL

AL-QUR’ÂN TENTANG AYAT AYAT TAWAKAL ................................... 47

A. Penafsiran Tawakal dalam Tafsir Al-Azhâr dan Fî Zilâl Al-Qur’ân .. 47

1. Surah al-Zumar ayat 38 .................................................................... 47

2. Surah al Taghâbun ayat 13 ............................................................... 50

3. Surah al-Ṯalaq ayat 3 ....................................................................... 51

4. Surah al-Anfâl ayat 49 ..................................................................... 53

5. Surah al-Ahzâb ayat 3 ...................................................................... 56

B. Kisah Hamka dan Quṭb Dalam Mengaplikasikan Tawakal.................. 57

C. Aktualisasi Nilai-Nilai Tasawuf Konsep Tawakal dalam Spiritualitas

Kehidupan ............................................................................................. 60

D. Bentuk-Bentuk Tawakal Para Nabi dan Sahabat .................................. 62

BAB V PENUTUP ............................................................................................... 69

A. Kesimpulan ........................................................................................... 69

B. Saran ..................................................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 71

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

xii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin dalam skripsi ini menggunakan pedoman

transliterasi yang sesuai dengan Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017 tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah

(Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara

latin:

Huruf

Arab

Huruf

Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

B Be ب

T Te ث

Ts te dan es ث

J Je ج

Ë h dengan titik bawah ح

Kh ka dan ha ر

D De د

Dz de dan zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

sy es dan ye ش

Ê es dengan titik di bawah ص

Ý de dengan titik di bawah ض

Ţ te dengan titik di bawah ط

ẓ zet dengan titik di bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع

gh ge dan ha غ

F Ef ف

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

xiii

Q Ki ق

K Ka ك

L El ل

M Em م

N En ى

W We و

H Ha ه

Apostrof ˈ ء

Y Ye ي

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri

dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk

vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagian berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fatëah

I Kasrah

U Ýammah

Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah

sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي Ai a dan i

و Au a dan u

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa

Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin Katerangan

 a dengan topi di atas ى ا

Î i dengan topi di atas ى ي

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

xiiii

Ù u dengan topi di atas ى ى

4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan

dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf

syamsiyah maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-

dìwân bukan ad- dìwân.

5. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab

dilambangkan dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini

dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang

diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang

menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh

huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulisah ad-darùrah

melainkan al-ýarùrah, demikian seterusnya.

6. Ta Marbùţah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbùtah terdapat

pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan

menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal ini sama juga berlaku jika

ta marbutah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun,

jika huruf ta marbutah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf

tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

Ţarîqah طريقت 1

al-Jâmî’ah al-Islâmiyyah الجاهعت اإلسالهيت 2

waëdat al-Wujùd وددة الىجىد 3

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,

dalam alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan

mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI),

antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat,

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

xiiiii

nama bulan, nama diri, dan lain-lain. jika nama diri didahului oleh kata

sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama

diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abù Hâmid

al-Ghazâlî bukan Abù Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat

diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak

miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu

ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya,

demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang

berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan

meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis

Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin

al-Raniri, tidak Nùr al-Dîn al-Rânîrî.

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf

(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara

atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada

ketentuan-ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

ت اذ dzahaba al-ustâdzu ذ ه ة األس

ر tsabata al-ajru ث ب ج األج

يت ر م ت الع ص al-ëarakah al-‘aêriyyah الذر

د أى ال إ ل ه إ أل هللا ه asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أش

ال خ ل ل الص ال ن ا ه ى Maulânâ Malik al-Ëâlië ه

م ن هللا ث ر yu’atstsirukum Allâh ي ؤ

al-maẓâhir al-‘aqliyyah الوظ اه ر الع قل يت

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri

mereka. Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak

perlu dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nùr Khâlis

Majîd; Mohamad Roem, bukan Muhammad Rùm; Fazlur Rahman, bukan

Fadl al-Rahmân.

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dinamika kehidupan ini terkadang membuat manusia terbuai sehingga

mereka lupa akan bagian dirinya yang tidak tampak, yaitu jiwa, bahwa bagian ini

pun mempunyai andil dalam kehidupan ini, bahwa sebenarnya warna kehidupan

ini berpancar dari hal tersebut. Mereka yang salah kaprah dalam hidupnya adalah

mereka yang tidak tahu atau tidak mau tahu tentang syari’at yang telah ditetapkan

Allah.1

Sering kita dapati orang-orang yang menggantungkan hidup dan

kehidupannya pada usaha. Ada pula yang merasa cukup dengan duduk-duduk dan

bersantai ria, salah dalam mengartikan tawakal. Padahal sangat erat hubungannya

antara tawakal dan usaha.

Jika kita memperhatikan tingkah laku hati yang merupakan dasar

keimanan dan tempat berpancarnya iman, kita akan dapatkan bahwa satu-satunya

landasan universal untuk mengenal hati beserta tingkah lakunya adalah tawakal

kepada Allah, yang merupakan derajat yang mulia dari tingkah laku dan

kedudukan hati, suatu perbuatan hati yang amat dibutuhkan manusia selamanya.2

Dewasa ini sikap manusia terhadap perkara tawakal beraneka ragam, di

antara mereka ada kelompok yang telah takluk dengan kehidupan materi yang

melampaui batas hingga menimbulkan kesengsaraan seperti yang telah terjadi

pada sekarang ini, hal yang amat membawa mereka menggantungkan hidupnya

dengan harta dimana untuk mendapatkannya harus dengan permusuhan dan

tumpah darah. Demi harta manusia rela mengunci akal dan hati yang ada dalam

dirinya. Sikap seperti ini amat jelas pengaruhnya terhadap hati. Membuat hati

seseorang menjadi asing untuk melakukan tawakal kepada Allah. Dan

keterasingan ini mengendalikan manusai untuk tidak mau mensucikan jiwanya

dengan mengingat Allah, mereka hanya mengandalkan akalnya dan merasa

1Muh. Mu’inuddinillah Basri. Indahnya Tawakal: Sebuah Tuntunan Holistik Untuk

Meluruskan Pemaknaan Tawakal. (Jakarta: Indiva Media Kreasi, 2007) h.35.

2Abdullah bin Umar Ad-Dumaji, Rahasia Tawakal Sebab dan Akibat Terj. Drs.

Kamaluddin Sa’diatulharamaini dan Farizal Tarmizi, (Jakarta: Pustaka Imam Azzam, 1999), h. 74.

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

2

bangga dengan apa yang mereka miliki yang berupa pengetahuan. Mereka hanya

melihat kehidupan dunia yang dengannya mereka mendapatkan ketenangan hidup

dan melupakan Allah Saw.3

Sebaliknya di antara manusia ada yang merasa puas dengan duduk

berdiam diri, senang menunda-nunda pekerjaan, kemalasan dan kebodohan

menyelimuti diri mereka. Walau demikian mereka tetap mencari-cari alasan atau

dalih bahwa mereka bertawakal kepada Allah. Mereka menganggap bahwa

tawakal adalah meninggalkan sarana dan usaha untuk mendatangkan keuntungan

materi atau harta. Singkatnya mereka sudah merasa puas dengan rizki yang

didapat dari orang lain dan dari sedekah-sedekah yang mereka terima. Dan salah

arti dalam mengartikan tawakal.

Dari Annas bin Malik ra. berkata: datanglah seorang sahabat kepada Nabi

Saw dengan untanya, seraya berkata: wahai Rasulullah saya tinggalkan unta

karena saya telah bertawakal? Rasulullah Saw bersabda: “Ikatlah dulu untamu

kemudian bertawakallah.” (HR. At-Tirmidzi)

Diantara contoh yang ditunjukan oleh Nabi Saw dan para sahabatnya

dalam masalah tawakal adalah dilaksanakannya sebab-sebab ketawakallan terlebih

dahulu, padahal mereka itu adalah makhluk yang paling sempurna

ketawakalannya. Dalam menghadapi musuh-musuhnya mereka terlebih dahulu

membentengi dirinya dengan berbagai macam senjata. Rasulullah Saw ketika

menaklukan kota Makah memakai topi baja, padahal Allah telah menurunkan ayat

kepadanya: “Allah memelihara kamu dari gangguan manusia”.4 Di lain

kesempatan apabila Rasulullah dan sahabatnya mengadakan peperangan,

menunaikan ibadah hati, atau melaksanakan umrah, beliau membawa perbekalan

dan ransel, padahal mereka itu adalah orang-orang yang benar-benar bertawakal

dan yang paling sempurna ketawakalannya. Dan begitulah seharusnya

memanifestasikan tawakal dalam kehidupan.5

Tawakal yang merupakan salah satu ajaran pokok dalam Islam, seperti

yang disebutkan dalam QS. al-Anfal [8] : 2

3 Muh. Mu’inuddinillah Basri, “Indahnya Tawakal: Sebuah Tuntunan Holistik Untuk

Meluruskan Pemaknaan Tawakal” (Jakarta: Indiva Media Kreasi, 2005), h.37. 4 Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, QS. Al-Maidah : 67

5 Yusuf Qardhawi, “Ikhlas dan Tawakal, Ilmu Suluk Menurut Al-Qur’an dan Sunnah”

(Jakarta: ISTANBUL, 2012), h. 90.

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

3

هم آاته شادتهم وجيت قيىبهم وإذا تيت عي إماوا إوما اىمؤمىىن اىره إذا ذمس للا

تىميىن وعيى زبهم

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila

disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya

bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka

bertawakal.6

Tawakal dalam ayat ini, diposisikan sebagai salah satu kriteria pokok bagi

seorang mukmin yang sebenar-benarnya, artinya sebagai salah satu ciri pokok

iman yang benar dan sempurna kepada Allah adalah sikap pasrah, menyerahkan

segala urusan kepada Allah. Hal ini diperkuat dengan sebab turunnya ayat

tersebut, yaitu: Telah terjadi pertikaian antara sahabat Nabi mengenai pembagian

harta rampasan pada perang Badar, lalu mereka mengadukannya kepada

Rasulullah, maka Rasul Saw menjawab, bahwa pembagiannya telah ditentukan

Allah yang harus ditaati dan tidak boleh diperselisihkan.7

Akhirnya para sahabat harus pasrah pada ketentuan Allah, dan inilah sifat

orang yang beriman. Kepasrahan kepada Allah dalam setiap perkara tentunya

setelah seseorang sepenuhnya berusaha dengan segenap kemampuannya,

demikian Mahmud Hijazi menjelaskan. Allah memerintahkan Rasul Saw untuk

tidak gentar dalam menghadapi rintangan dari orang-orang munafik terhadap

dakwahnya, ini disebutkan dalam QS. al-Nisa [4] : 81

نتب وقىىىن طاعة فئذا بسشو س اىري تقىه وللا ا مه عىدك بت طائفة مىهم غ

ومل ومفى بالل ما بتىن فأعسض عىهم وتىمو عيى للا

Artinya : Dan mereka (orang-orang munafik) mengatakan: "(Kewajiban kami

hanyalah) taat". tetapi apabila mereka Telah pergi dari sisimu, sebahagian dari

mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang

Telah mereka katakan tadi. Allah menulis siasat yang mereka atur di malam hari

itu, Maka berpalinglah kamu dari mereka dan tawakallah kepada Allah. cukuplah

Allah menjadi Pelindung.8

6 Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya (Madinah: Majma’ Khadim al-

Haramain, 1412 H), h. 260. 7 Muhammad Mahmud al-Hijazi, al-Tafsir al-Wadhih (Beirut: Dar al-Jail, 1969), h.506.

8 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 132.

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

4

Perintah tawakal tidak terbatas pada masalah dakwah saja, dalam bidang

politik, ekonomi, strategi perang Rasul Saw juga diperintahkan untuk bertawakal

kepada Allah. Hal ini dapat dilihat dalam QS. Ali Imran [3] : 159

ىىت ىهم وىى مىت فظا غيظ اىقيب لوفضىا مه حىىل فاعف فبما زحمة مه للا

حب عىهم واستغفس ىهم إن للا وشاوزهم ف المس فئذا عصمت فتىمو عيى للا

يه اىمتىم

Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut

terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah

mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka,

mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam

urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka

bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang

bertawakal kepadaNya.

Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa musyawarah yang dilakukan Nabi

Saw. dengan para sahabatnya mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti

masalah strategi perang, masalah politik, ekonomi, pemerintahan dan

kemasyarakatan.9

Dengan demikian perintah tawakal tidak terbatas pada masalah dakwah saja.

Kata tawakal dalam arti menyerahkan urusan kepada Allah, disebutkan dalam al-

Qur’an dalam berbagai bentuk sebanyak 59 kali, dalam 47 ayat dari 25 surat.10

Penyebutan kata ini dalam Alquran memiliki konteks beragam yang mencakup

berbagai aspek kehidupan.

Misalnya dalam masalah dakwah QS. al-Taubah (9) : 12, Ibrahim (14) :120,

menjalankan hukum Allah QS. Yusuf (12): 67, menghadapi bahaya QS, al-

Mujadalah (58) : 10, sebagai sifat orang yang beriman QS. alAnfâl (8) : 2, dalam

urusan yang bersifat umum QS. al-Furqan (25): 58, masalah rezeki dan usaha

mencapai suatu tujuan QS. ath-Thalaq (65): 3.

9 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munîr (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), Juz III., h. 140

10 Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras lî Alfâd al-Qur’ân (Beirut:

Dar al-Fikr, 1994), h. 929-930

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

5

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pada pembahasan kali ini dalam melakukan penelitian, penulis mengambil

penafsiran Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhâr dan Sayyid Quṭb dalam Tafsir Fî

Zilâl al-Qur’ân . Penulis mengambil Buya Hamka sebagai pemikir umat Muslim

yang memiliki pemikiran berbeda dengan penafsir lainnya dengan titik berat pada

bidang sosial dan humaniora, sedangkan Sayyid Quṭb sebagai mufasir dengan

corak harâki yang memiliki konsep makrifat yang tinggi dalam pemaknaan

tawakal itu sendiri. maka penulis membatasi kajian ini kepada 5 ayat yaitu:

No. Surah Ayat Kata

1 Az-Zumar 38 نلمتوكلوا / یتوكل

2 At-Taghabun 13 فلیتوكل

3 At-Thalaq 3 یتوكل

4 Al-Anfal 49 یتوكل

5 Al-Ahzab 3 كیالو/ توكلو

Ketika kita melihat isi penafsiran Buya Hamka dan Sayyid Quṭb, akan kita

temukan pemaknaan yang sifatnya obyektif dan tidak memihak kepada siapa pun.

Analisis dua tokoh tafsir ini cukup dalam mendeskripsikan makna tawakal.

Perbandingan terhadap dua tokoh ini bertujuan agar menemukan titik temu

seorang pemikir muslim yang humanis dengan pemikir muslim yang hirarkis. Al-

Qur’an.

1. Apa makna dari tawakal dalam al-Qur’an?

2. Sekilas biografi Buya Hamka dan Quṭb

3. Bagaimana pendapat Buya Hamka dan Sayyid Quṭb terhadap makna tawakal?

4. Bagaimana kriteria tawakal dalam al-Qur’an?

5. Apa saja sebab akibat pelaksanaan tawakal?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini

adalah:

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

6

1. Untuk mengetahui makna tawakal dalam al-Qur’an.

2. Untuk mengetahui biografi Hamka dan Quṭb

3. Untuk mengetahui makna tawakal dengan pendapat ahli tafsir dengan corak

yang berbeda.

4. Untuk mengetahui kriteria tawakal dalam al-Qur’an.

5. Untuk mengetahui sebab akibat pelaksanaan tawakal.

Adapun manfaat signifikansi penelitian ini terlihat dari segi teoritis dan

praktisnya:

1. Dalam Aspek Teoritis

a. Memberikan wawasan tambahan mengenai tokoh Islam yang

penafsirannya beraliran sufi sosialis dan sufi hirarkis.

b. Memberikan wawasan mengenai konsep tawakal di dalam al-Qur’an

c. Membantu masyarakat awam untuk lebih memahami makna tawakal

agar tidak terjadi salah implementasi dalam praktik kehidupan sehari-

hari.

2. Dalam Aspek Praktis

a. Karya ilmiah ini akan berguna bagi mahasiswa yang hendak menambah

keilmuannya dan menjadi referensi dalam memberikan proses belajar-

mengajar di fakultas masing-masing. Penelitian ini dapat memberikan

sedikit pemahaman mengenai konsep tawakal melalui pandangan dua

orang yang berbeda.

b. Sebagai karya ilmiah, tulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan

pengetahuan di bidang pendidikan al-Qur’an dan Tafsir khususnya yang

berkaitan dengan konsep tawakal di dalam al-Qur’an sehingga

mahasiswa-mahasiswa IQTAF dapat menjawab tantangan

permasalahan secara global.

D. Tinjauan Kepustakaan

Kajian tentang tawakal telah banyak terutama dalam bentuk buku-buku.

Akan tetapi, konsep tawakal dalam al-Qur’an belum banyak yang mengkaji. Di

antara buku-buku yang membahas kaitannya dengan tema adalah buku berjudul

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

7

Rahasia Tawakal Sebab Dan Akibat11

karya Dr Abdullah bin Umar ad-Dumaji.

Buku ini adalah buku terjemah yang berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan

hakikat tawakal dengan terlebih dahulu mengenal Tuhan beserta sifat-sifatnya,

kedudukan tawakal dalam aqidah dengan menjabarkan kedudukan perilaku hati

dalam iman. Urgensi tawakal dan seterusnya baik diulas menurut al-Qur’an

maupun as-Sunnah. Selain itu, buku ini juga mengulas tentang apa saja macam-

macam tawakal itu, buah dari pengamalan tawakal dan gejala-gejala melemahnya

tawakal.

Selain literatur buku, adapula karya berupa skripsi berjudul Konsep

Tawakal Dalam Al-Qur’an (Kajian Komparatif Antara Tafsir As-Sya’rawi dan

Tafsir Al-Azhâr)12

karya Mohd Fathi Yakan bin Zakaria. Skripsi ini

menggunakan metode komparatif (Muqarran) untuk menemukan relasi tawakal

dengan uslub-uslub yang berbeda dalam al-Qur’an yang dijelaskan mulai dari

ayat-ayat yang menjelaskan tentang tawakal, kemudian bagaimana hubungan

antara tawakal dan ihktiar, sampai pada urgensi tawakal menurut dua tokoh

mufasir di atas.

Literatur selanjutnya skripsi berjudul “Konsep Tawakal menurut Al-

Gazali”13

karya MR Salahudin D, yang merupakan Thesis prodi TaSawuf dan

Pisikoterapi UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Karya ini berfokus pada konsep

tawakal yang telah diulas secara umum terlebih dahulu, jalan mencapai tawakal

dan buah dari tawakal, di bab selanjutnya barulah dijelaskan konsep tawakal

menurut al-Gazali. Sedangkan penulis lebih cenderung mengupas konsep tawakal

menurut pandangan para mufasir.

Kemudian, selain buku dan skripsi, adapula karya berupa jurnal berjudul

“Menghadirkan Nilai-Nilai Spiritual TaSawuf Dalam Proses Mendidik” 14

karya

Sodiman. Isi jurnal ini lebih menekankan hakikat pendidikan karakter melaui

11

Abdullah Bin Umar Ad-Dumaji, Rahasia Tawakal Sebab dan Akibat Terj. Kamaluddin

Sa’diatulharamaini dan Farizal Tarmizi (Jakarta: Pustaka Imam Azzam, 2000).

12

Mohd Fathi Yakan Bin Zakaria, “Konsep Tawakkal Dalam Al-Qur’an (Kajian

Komparatif Antara Tafsir As-Sya’rawi Dan Tafsir Al-Azhar)”. Skripsi Fakultas Ushuluddin. Prodi

Tafsir Hadis, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2013. 13

MR Salahudin D, “Konsep Tawakkal menurut Al-Gazali”. Thesis Fakultas Ushuluddin.

Prodi Tafsir Hadis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2009.

14

Sodiman, “Menghadirkan Nilai-Nilai Spiritual Tasawuf Dalam Proses Mendidik”.

Jurnal Al-Ta’dlib Volume 7 No. 2, edisi Juli\]]]]]]]]]o-Desember 2014.

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

8

penyadaran nilai-nilai kesialaman yakni nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu

taSawuf. Salah satu point penting dalam penanaman nilai tersebut adalah dengan

konsep Tawakul. Meskipun penulis lebih cenderung fokus terhadap konsep

tawakal dalam al-Qur’an.

Karya selanjutnya dengan judul “Hubungan Tawakal dan Resiliensi pada

Santri Remaja Penghafal Al-Qur’an di Yogyakarta15

”, karya Ardina Shulhah

Qurotul Uyun. Karyanya menjelaskan tentang penelitiannya bahwa terdapat

hubungan positif antara tawakal dengan resiliensi pada santri remaja penghafal al-

Qur’an. Dengan menerapkan konsep-konsep ketawakalan dalam diri santri

tersebut. Jurnal ini lebih membahas tawakal dari sudut penerapannya dalam

praktek kehidupan sehari-hari.

E. Metodologi Penelitian

Agar penelitian ini mendapatkan hasil yang dapat dipertanggung jawabkan

secara ilmiah, maka diperlukan metode yang sesuai dengan objek yang dikaji.

Metode berfungsi sebagai cara mengajarkan sesuatu untuk mendapatkan hasil

yang memuaskan sesuai dengan tujuan tersebut. Di samping itu, metode

merupakan cara bertindak supaya penelitian berjalan terarah, efektif dan bisa

mencapai hasil yang memuaskan. Adapun metode yang dipakai dalam penelitian

ini adalah:

1. Jenis Penelitian

Penelitian skripsi ini termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan

(library research) yaitu penelitian yang menitik beratkan pada literature

dengan penelitian baik dari sumber data primer maupun sekunder.

2. Sumber Data

Data primer diperoleh dari kitab suci al-Qur’an dan kitab-kitab tafsir

seputar ayat-ayat tentang berkah, dan data sekunder diperoleh dari kitab,

buku dan rujukan lain yang masih terkait dengan materi yang sedang

dibahas.

3. Metode Pengumpulan Data

15

Ardina Shulhah Qurotul Uyun, “Hubungan Tawakal dan Resiliensi pada Santri Remaja

Penghafal Al-Quran di Yogyakarta”. Jurnal psikologi islam Volume 4, No. 1, 2017.

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

9

Pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan menggunakan

metode dokumentasi yaitu pengumpulan data dengan cara mencari data

mengenai hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan tema.

4. Metode Analisis Data

Untuk menggunakan metode yang tepat pada judul “Analisis Ayat-

Ayat Tawakal dalam al-Qur’an” ialah dengan menggunakan metod analisis

(Tahlili) yaitu suatu metode penafsiran yang berusaha menafsirkan ayat-

ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di

dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna

yang tercakup di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam al

Qur’an Mushaf Utsmani dengan keahlian dan kecenderungan mufassir

yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.16

Adapun langkah-langkah dalam metode tafsir tahlili17

adalah:

1. Menerangkan munasabah, atau hubungan ayat yang ditafsirkan dengan

ayat sebelum atau sesudahnya, maupun antara satu surah dengan surah

lainnya.

2. Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat (asbâbun-nuzul),

3. Menganalisis kosakata (mufradât) dari sudut pandang bahasa Arab, yang

terdapat pada setiap ayat yang akan ditafsirkan sebagaimana urutan dalam

al-Qur’an, mulai dari surah al-Fâtihah hingga surah an-Nâs,

4. Menjelaskan makna yang terkandung pada setiap potongan ayat dengan

menggunakan keterangan yang ada pada ayat lain, atau dengan

menggunakan hadith Rasulullah Saw atau dengan menggunakan

penalaran rasional atau berbagai disiplin ilmu sebagai sebuah pendekatan.

5. Menarik kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan hukum

mengenai suatu masalah, atau lainnya sesuai dengan kandungan ayat

tersebut.18

16

Ahmad Syurbasi, Qissat al-Tafsir, terj. Zufran Rahma, Study Tentang Sejarah

Perkembangan Tafsir al-Qur’an a-lKarim (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 232.

17 Abdul Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah Fi At-Tafsir Al-Maudhu’i: Dirasah Manhajiyyah

Maudhu’iyyah, (Mesir: Maktabah Jumhuriyyah, tk), terj. Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu’I

dan Cara Penerapannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 51-52 18

Abuddin Nata, Studi Islam Komperhesif, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.169.

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

10

Kemudian penulis juga menggunakan metode komparatif. Penulis ingin

menguraikan Penulis ingin menguraikan apa adanya diskusi mengenai konsep

tawakal di dalam tafsir Al-Azhâr dan Fî Zilâl al-Qur’ân dengan mengupayakan

penilaian obyektif dan profesional perihal konstruk pemikirannya dan

penulisannya di dalam karya mereka masing-masing. Untuk itu penulis

mengambil seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang tawakal.

Meskipun metode tafsir tahlili yang menjadi dasar pendekatan dalam studi

ini, namun dalam menganalisis masalah, pendekatan lainpun turut berperan,

seperti yang telah disebut di atas. Semua ilmu bantu yang dapat memperjelas

pembahasan sepanjang pendekatan itu masih relevan dengan masalah yang

dibahas.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika pembahasan merupakan rangkaian pembahasan yang termuat

dalam isi skripsi. Agar pembahasan ini terarah dan tidak mengakar kemana-mana,

maka penulis perlu membatasi sistematika pembahasan dari tema di atas sebagai

berikut:

Bab pertama, berupa pendahuluan, dalam bab ini berisi latar belakang

masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,

tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua, berupa tawakal dalam al-Qur’an, dalam bab ini berisi deskripsi

makna tawakal,dan bentuk-bentuk tawakal dalam al-Qur’an.

Bab ketiga, berupa penelusuran biografi tokoh yakni Hamka dan Sayyid

Quṭb untuk mengetahui kecenderungan penafsirannya.

Bab keempat, berupa konsep temuan dari tawakal itu sendiri, dalam bab ini

berisi sajian tafsir dari kedua tokoh terhadap analisi makna tawakal dalam

beberapa ayat, kisah Hamka dan Quṭb dalam mengaplikasikan tawakkal,

aktualisasi nilai-nilai tasawuf konsep tawakkal dalam spiritualitas kehidupan, dan

bentuk-bentuk tawakal para nabi dan sahabat.

Bab kelima, bab terakhir berupa penutup, dalam bab ini berisi kesimpulan

dan saran.

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

11

BAB II

DESKRIPSI TAWAKAL

Kata tawakal tentunya sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Sering

juga kita dapati praktik orang yang mengamalkan sikap tawakal ini. Sebagian

orang ada yang mengartikan tawakal dengan menggantungkan hidup dan

kehidupannya pada usaha. Ada pula sebagian orang yang merasa cukup dengan

duduk-duduk dan bersantai ria, hanya bergantung pada takdir Allah Swt dalam

mengartikan tawakal.

Jika kita memperhatikan tingkah laku hati yang merupakan dasar keimanan

dan tempat berpancarnya Iman, kita akan dapatkan bahwa satu-satunya landasan

universal untuk mengenal hati beserta tingkah lakunya adalah tawakal kepada

Allah, yang merupakan derajat yang mulia dari tingkah laku dan kedudukan hati,

suatu perbuatan hati yang amat dibutuhkan manusia selamanya.1

A. Pengertian Kata Tawakal

1. Pengertian Secara Bahasa

Kata tawakal dalam bahasa Indonesia berarti berpasrah, namun jika kita

mengartikan tawakal dengan arti demikian tentunya kurang tepat karena arti

berpasrah juga merupakan pengertian dari Islam. Sementara arti sebenarnya dari

tawakal tentunya tidak sama dengan Islam. Dan memahami kata pasrah dengan

tawakal akan berpotensi mengindikasikan hal yang keliru dalam pemaknaannya.

Untuk itu agar tak terjadi kekeliruan penulis memulai pembahasan tawakal dari

akar katanya.

Penegertian kata “Tawakal” secara umum diambil dari bahasa arab. Menurut

kamus Lisanul „Arab bermula dari kata “Wakala” yang berarti menyerahkan2,

“Tawakal tu „ala Allah” berarti aku menyerahkan kepada Allah. Kemudian

dalam kitab Al-Qâmūs al-Muḥîṭ “wakala” berarti meyerahkan lalu meninggalkan3

1 Abdullah bin Umar Ad-Dumaji, Rahasia Tawakal Sebab dan Akibat Terj. Kamaluddin

Sa‟diatulharamaini dan Farizal Tarmizi. ( Jakarta: Pustaka Imam Azzam, 2000), h. 74. 2 Ibn Manzhur, Lisan al 'Arab, (Beirut: Dar al-Shadir, 2000), juz:11., h. 734

3 Fauruz Abadi, Majduddin Muhammad bin Ya‟qub, Al-Qâmûs al-Muḥîṭ, (Dar Al Hadith:

Mesir, 1999), juz: 17., h.105.

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

12

seperti, “wakala ilaihi al-amr” berarti “menyerahkan lalu meninggalkan kepada-

Nya suatu perkara”.

Pendapat lain mengatakan tawakal berasal dari kata “al-wakîl” yang

merupakan objek dari kata kerjanya yang berarti “yang menjadi sandaran atau

yang diserahkan”. Dalam kitab Tadzhîb Al-Lugah dinamakan al wakîl karena ia

diserahkan oleh yang menyerahkan atau diserahkan kepadanya untuk

dipekerjakan perkaranya, maka al-wakîl adalah dia yang diserahkan kepada

perkara itu.4

Kemudian dalam kamus Al-Mufradât fî gharîb al-Qur'ân kata Al-Wakil itu

lebih luas maknanya. Al-tawakkulu memiliki dua arti yaitu mewakilkan atau

menyerahkan dan memberi hak kuasa kepada yang mewakili terhadap suatu

perkara.5 Taukil artinya engkau bersandar kepada selain engkau dan engkau

menjadikan dia sebagai pengganti dari kamu dan tawakkul artinya menampakkan

kelemahan dan bersandarkan diri daripada selain dirinya.

Tawakal dalam bahasa Arab merupakan turunan dari kata wakil. Wakil

adalah dzat atau orang yang dijadikan pengganti untuk mengurusi atau

menyelesaikan urusan yang mewakilkan. Sehingga tawakal bermakna

menjadikan seseorang sebagai wakilnya, atau menyerahkan urusan kepada

wakilnya. Tawakal kepada Allah adalah menjadikan Allah sebagai wakil dalam

mengurusi segala urusan, dan mengandalkan Allah dalam menyelesaikan segala

urusan.

Demikianlah beberapa arti yang terkandung dalam kata tawakal dan masih

banyak lagi arti-arti lainnya namun menurut penulis selain arti di atas tidak

memiliki hubungan dengan pembahasan pada penelitian ini.

2. Menurut Istilah

Mengenai pengertian tawakal, para ulama terdahulu telah menjelaskan secara

rinci

4 Muhammad ibn Ahmad Al Azhari, Tadzhîb Al-Lugah, Beirut: Dar Ihya Al-Turast Al-

Arabi. 2001, juz 10 h.371. 5 Abu al-Qasim al-Râghib al-Aṣfahânî, Mufradât fî gharîb al-Qur'ân, (Dar Al-Ma`rifah,

Beirut, 2005), h.531.

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

13

a. Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H)

Tawakal menurut Imam Ahmad bin Hambal merupakan aktivias hati,

artinya tawakal itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh hati, bukan

sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh

anggota tubuh. Dan tawakal juga bukan merupakan sebuah keilmuan dan

pengetahuan. 6

b. Ibnu Qoyim al-Jauzi (691-751 H)

Tawakal adalah amalan dan ubudiyah hati dengan menyandarkan segala

sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya

dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah

akan memberikannya segala „kecukupan‟ bagi dirinya, dengan tetap

melaksanakan „sebab-sebab‟ serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.7

c. Imam Ghazali (450-505 H)

Tawakal adalah menyerahkan dan menyandarkan diri kepada Allah setelah

melakukan usaha atau ikhtiar serta mengharap pertolongan. Tawakal dalam Islam

bukan suatu pelarian bagi orang–orang yang gagal usahannya, tetapi tawakal itu

ialah tempat kembalinya segala usaha. Tawakal bukan menanti nasib sambil

berpangku tangan, tetapi berusaha sekuat tenaga dan setelah itu baru berserah diri

kepada Allah. Allah lah yang nanti akan menentukan hasilnya.8

d. Abu Zakaria Anshari (122-215 H)

Tawakal adalah "keteguhan hati dalam menyerahkan urusan kepada

orang lain". Sifat yang demikian itu terjadi sesudah timbul rasa percaya kepada

orang yang diserahkan urusan tadi. Artinya, ia benar-benar memiliki sifat amanah

6 Ibnu Qayyim Al-Jauziy, Madarijis Salikin, terj. Kathur Suhardi, (Pustaka Al Kautsar:

Jakarta, 1998). h.239. 7 Ibnu Qayyim Al-Jauziy , Arruh Fî Kalam „Ala Arwahil Amwât wa al- Ahyâ‟ Bidalail

Minal Kitab was Sunnah, 1975 h.254 8 Mastur, Fadli, Tanya Jawab Lengkap Mutiara Ibadah, (Jakarta: Ladang Pustaka &

Intemedia, 2001), h. 33.

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

14

(tepercaya) terhadap apa yang di manfaatkan dan ia dapat memberikan rasa aman

terhadap orang yang memberikan amanat tersebut.9

Manusia dituntut untuk senantiasa bergerak, berbuat dan beramal karena

usaha merupakan bagian dari eksistensi jiwa, dan tawakal merupakan wujud dari

usaha manusia. Pada satu sisi memang sudah menjadi kewajiban manusia berbuat,

berusaha dan berupaya namun untuk hasil tentunya bukan manusia yang

menentukan melainkan Allah sajalah yang berhak berbicara perkara hasil karena

Dia yang paling mengerti kebutuhan seorang hamba. Tawakal sebagai bentuk

ibadah, karena merupakan buah dari keimanan.

Tawakal kepada Allah adalah menyerahkan segala sesuatu kepadaNya,

bergantung dalam semua keadaan kepada-Nya, dan yakin bahwa segala kekuatan

dan kekuasaan hanyalah milik-Nya. Tawakal merupakan sikap hati, sebagaimana

tampak dalam definisi-definisi di atas. Oleh karena itu, tidak ada pertentangan

antara tawakal kepada Allah dan antara bekerja serta berusaha. Tempat tawakal

adalah hati, sedangkan tempat berusaha dan bekerja adalah badan.10

Tawakal adalah amalan hati, berupa meninggalkan kemauan dan dorongan

hawa nafsu disertai dengan penyerahan daya dan kekuatan hanya kepada Allah

dengan cara memutuskan ketergantungan hati dengan selain Allah. Tawakal

adalah usaha maksimal sambil percaya kepada Allah. Bukan kepasrahan dan

bukan malas berpangku tangan.

Tawakal haruslah ditujukan kepada Dzat yang Maha sempurna, Allah Swt.,

tapi dalam realitanya ada yang meletakkan tawakal kepada selain Allah, seperti

tawakal seseorang kepada kekuatannya, ilmunya atau hartanya, atau kepada

manusia. Tawakal kepada Allah dalam arti menjadikan Allah sebagai wakil,

ditegaskan dalam berbagai ayat. Di antaranya dalam firman Allah:

ل ك ز اخ بت ف إلا ن شة ل إ غ ان ق ش ش سة ان

9 Supriyanto, Tawakal Bukan Pasrah, (Jakarta: Qultum Media, 2010), h. 23.

10 Khalid Syadzi, Yakin Agar Hati Selalu Yakin Dengan Allah, (Jakarta: Amzah, 2012), h.

115.

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

15

“(Dialah) Pemilik masyrik dan maghrib, tiada Ilah (yang berhak disembah)

melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung.” (QS. al-Muzammil: 9)

ى اد ض ى ف ش بخ ى ف ك عا ن ذ ج بط ل ا انا بط إ ى انا بل ن ل ز ا ان

م ك ى ان ع ب للاا ج س ا ح بن ل ب ب إ

“(yaitu) Orang-orang yang mengatakan kepada mereka, „Sesungguhnya manusia

telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian. Karena itu takutlah

kepada mereka.‟ Maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka

menjawab, „Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik

Pelindung.‟” (QS. Ali-Imran: 173)

Hakikat tawakal adalah penyerahan penyelesaian dan keberhasilan suatu

urusan kepada wakil. Kalau tawakal kepada Allah, berarti menyerahkan urusan

kepada Allah setelah melengkapi syarat-syaratnya. Zubaidi berkata di Taajul

„Aruus, tawakal adalah percaya total dengan apa yang di sisi Allah, dan memutus

harapan apa yang di tangan manusia. Tawakal adalah menyandarkan diri kepada

Allah dan melakukan ikhtiar, dengan meyakini bahwa Allah adalah Dzat yang

Maha Memberi rezeki, Pencipta, Yang Menghidupkan, Yang Mematikan, tidak

ada ilah selain-Nya.11

B. Klasifikasi Tawakal Dalam Al-Qur’an

Allah memerintahkan hambahamba-Nya agar selalu bertawakal dalam segala

kondisi. Sebab tawakal menunjukkan bahwa tidak ada hal yang bisa dilakukan

oleh para hamba kecuali hanya dengan izin dan taufik Allah Swt. Seorang hamba

diperintahkan untuk bertawakal baik dalam perkara yang remeh maupun yang

besar.

Dalam al-Qur„an terdapat macam-macam derefasi dari kata tawakal. Maka

perintah bertawakal dalam al-Qur„an, di dalam kitab Mu‟jam al-Mufahras Li al-

Fadz al-Qur‟an al-Karim, kata „tawakal ‟ dari akar kata dengan bentuk fiil madi

terhitung di dalam al-Qur„an sebanyak 9 ayat, kemudian dalam bentuk fiil

11

Dr. H. Muh. Mu‟inuddinillah Basri, LC., M.A, Indahnya Tawakal cet: 1, (Indiva

Pustaka, Surakarta: 2008), h 15.

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

16

mudhori terdapat 18 ayat, kemudian menggunakan sigah fiil amr‟ terdapat 11

ayat, dalam sigat isim fa‟il terdapat 4 ayat.12

C. Korelasi Tawakal dengan Usaha

Hubungan antara tawakal dengan usaha adalah bahwa sebelum bertawakal,

maka harus didahului oleh usaha dan ikhtiar. Mengenai hasil yang diperoleh,

maka hal itu sepenuhnya bukan kuasa kita yang menentukan. Manusia hanya bisa

berencana dan berusaha, namun akhirnya Tuhan pulalah yang menentukan hasil

akhirnya.

Bertawakal tidaklah berarti meninggalkan upaya, bertawakal

mengharuskan seseorang meyakini bahwa Allah yang mewujudkan segala

sesuatu, sebagaimana ia harus menjadikan kehendak dan tindakannya sejalan

dengan kehendak dan ketentuan Allah Swt. Seorang muslim dituntut untuk

berusaha tapi di saat yang sama ia dituntut pula berserah diri kepada Allah Swt,

ia dituntut melaksanakan kewajibannya, kemudian menanti hasilnya

sebagaimana kehendak dan ketentuan Allah.13

Perintah tawakal dalam firman Allah yang lain seperti QS. Ali Imran

:122

هى للاا ع ب ن للاا ل ش ف ت ى أ ك ي ب ت ف بئ ت ط ا ر إ

ي ؤ م ان كا ت ه ف

“Ketika dua golongan daripadamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah

adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah karena Allah

saja orang-orang mu‟min bertawakal .” (Q.S. Ali Imran 3: 122)

Dalam tafsir Al- Misbah dijelskan bahwa, ayat ini masih lanjutan uraian

tentang apa yang diperintahkan oleh ayat sebelumnya untuk direnungkan. Uraian

ayat ini masih berkisar pada peristiwa yang terjadi sebelum berkecamuknya

perang Uhud. Hanya saja, dalam ayat ini mitra bicara ditujukan kepada seluruh

kaum muslimin, berbeda dengan ayat yang lalu yang hanya ditujukan kepada

Nabi Muhammad saw.

12

Muhammad Fu‟ad Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfad al-Qur‟an (Beirut:

Dar al-Fikr, 1994), h. 929-930 13

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 488.

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

17

Ini karena penekanan pada ayat ini lebih banyak menunjukkan aktivitas

dan niat yang menyertai sebagian pasukan kaum muslim yang akan terlibat

dalam peperangan tersebut. Ketika itu, ada dua golongan dari (pasukan) kamu,

yaitu Bani Salamah yang merupakan segolongan dari suku Khazraj dan Bani

Haritsah dari suku Aus, yang terbesik dalam pikirannya untuk menggagalkan

niatnya berperang karena takut mati setelah mengetahui bahwa sepertiga

pasukan yang dipimpin oleh petinggi orang munafik, Abdullah bin Ubay, telah

meninggalkan medan perang, padahal Allah adalah penolong bagi dua golongan

itu, karena keduanya terdiri dari orang-orang yang beriman dan apa yang

terbetik dalam pikiran mereka itu sangat manusiawi sehingga Allah

mentoleransinya. Allah akan menolong siapa saja yang beriman, karena itu

hendaklah kepada Allah Swt. saja orang-orang mukmin bertwakal, tidak kepada

selain-Nya, tidak juga kepada perlengkapan dan personil, apalagi kalau personil

itu terdiridari orang-orang munafik.

Penggalan terakhir ayat ini menurut Al Biqâ‟i, lebih baik dipahami

mengandung pesan bahwa Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu,

karena mereka beriman dan berserah diri kepada-Nya, dan bukannya kehendak

mundur itu bersumber dari tekad mereka. Mereka bahkan menjadikan Allah

sebagai penolong dan berserah diri kepada-Nya, guna mengukuhkan kamu dan

menghindarkan kelemahan atasmu, karena itulah hendaklah semua kaum

mukminin percaya dan berserah diri kepada-Nya agar mereka semua pun

memperoleh pertolongan-Nya.

Ada juga ulama yang memahami firman-Nya: padahal Allah adalah

penolong bagi kedua golongan itu, merupakan kecaman bagi kedua golongan

itu. Mereka dikecam karena bermaksud meninggalkan medan perang, padahal

seharusnya mereka tahu persis bahwa Allah akan membantu orang-orang

mukmin dan tentu saja membantu mereka juga kalau mereka benar-benar

mukmin.14

Kemudian, Allah Swt berfirman dalam Al-Qur‟an, Surah al-Maidah, 5:23.

14

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur‟an Vol.2

(Penerbit Lentera Hati, 2000), h. 190-191

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

18

ى ه ا ع ه خ ب اد ه ع ى للاا ع أ بف خ ز ا ان ي ل ج بل س ل

ى ت ك ا إ ه كا ت ف هى للاا ع ج بن ى غ اك ئ ف ت ه خ ا د ر ئ بة ف ج ان

ي ؤ ي

Artinya: “Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota), maka bila kamu

memasukinya, niscaya kamu akan menang, dan hanya kepada Allah hendaknya

kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman”.

Ayat ini menjelaskan tentang tentang janji Allah untuk memberikan

kemenangan bagi orang-orang yang bertawakal kepada-Nya dengan keimanan

yang mantap yang telah merasuk kedalam jiwanya.15

Firman Allah Swt. lagi dalam Al-Qur‟an, Surah Ali „Imran, 3:159.

ه ك ت حت ان ا للاا إ هى للاا م ع كا ت ت ف ي ض را ع ئ ف

Artinya: “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal

lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal

kepada-Nya”.

Faidah orang-orang yang bertawakal kepada Allah Swt. tidak akan merasa

kehilangan akal jika ada sesuatu yang mengecewakan dan tidak akan bersombong

diri dari apa yang direncanakan sesuai dengan taufik Allah. Dengan sabar dan

tawakal maka selalu terbawa untuk memperbaiki diri mana yang kurang dan

menyempurnakan mana yang belum sempurna.16

Dari ayat-ayat di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa cara

bertawakal menurut al-Qur‟an adalah melakukan suatu usaha terlebih dahulu

dengan semampu mungkin, baru kemudian bertawakal atau menyerahkan segala

urusan pada Allah. Jika memang hasil yang didapatkan baik, maka berarti sesuai

dengan usaha serta jerih payah yang telah ditempuh, atau dengan kata lain, sesuai

dengan sunnatullah. Namun jika hasil yang diperoleh bersifat sebaliknya, maka

dalam hal ini terdapat dua kemungkinan:

15

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 66. 16

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XII, h. 163.

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

19

1. Pertama, hasil yang diperoleh tidak memuaskan karena usaha yang dilakukan

kurang maksimal.

2. Kedua, usaha telah dilakukan semaksimal mungkin, akan tetapi ketentuan

Allah telah menetapkan demikian. Namun disebalik semua itu, sebenarnya

terkandung hikmah besar yang bisa saja dilihat dengan kasat mata ataupun

sebaliknya.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa sikap tawakal itu

merupakan penyerahan diri kepada Allah setelah sebelumnya di dahului oleh

usaha serta ikhtiar yang keras. Dengan kata lain, tawakal yang tidak disertai

dengan usaha dan ikhtiar bukanlah merupakan sikap tawakal yang sebenarnya.

Tawakal kepada Allah pada sisi lain akan membuka pintu rezeki

sebagaimana Allah mengilhamkan burung yang terbang di pagi hari dengan perut

kosong dan dapat kembali pada waktu petang dengan perut kenyang. Jadi Allah

menginginkan kepada makhluknya agar berusaha semampunya serta berserah diri

kepada-Nya, dan Allah tidak menyukai makhluknya yang bermalas-malasan

dengan kehidupan ini.

Perumpamaan burung yang telah disampaikan Nabi di dalam hadisnya

dijelaskan bahwa burung pergi pada waktu pagi dengan usahanya untuk mencari

makan dengan tawakal akan mendapat rezeki atau dengan kata lain berpegang

dengan ketentuan Allah dan yakin akan mendapat rezeki darinya.17

D. Urgensi Tawakal

Tawakal adalah satu dari sendi iman kepada Allah, fondasi ibadah kepada

Allah, maka tidak heran jika memiliki banyak keutamaan. Di antara

keutamaannya adalah: Pertama, tawakal yang sempurna mengantarkan

seseorang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab, sebagaimana disebutkan

dalam hadits Husain bin „Imran.18

Rasulullah mengabarkan bahwa di antara umat

beliau ada yang masuk surga tanpa hisab, tanpa azab, dan mereka adalah yang

tidak bertathayyur (mengaitkan nasib buruk dengan keberadaan burung atau yang

17

Supriyanto, Tawakal Bukan Pasrah, (Jakarat: Qultum Media, 2010), h. 45 18

Lihat di HR. Bukhari No. 5420

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

20

lainnya), tidak mengobati dirinya dengan setrika (api)19

dan hanya kepada Allah

mereka bertawakal 20

Kedua, tawakal menyebabkan orang terbebas dari bahaya, sebagaimana

yang Allah ceritakan ketika Abu Sufyan di tengah perjalanan pulang ke Makkah

dari Perang Uhud, berpikir untuk menghabisi Rasulullah saw., maka dia ingin

kembali lagi ke Uhud. Seketika itu Jibril memberi tahu Nabi akan tekad Abu

Sufyan, maka Nabi memerintahkan para shahabat yang ikut perang, untuk

bangkit lagi mengejar Abu Sufyan, padahal mereka dalam kondisi luka-luka.

Walaupun kondisi mereka terluka, tapi semua menyambut perintah Nabi,

dan berangkat mengejar Abu Sufyan. Mendengar Nabi mengejarnya Abu Sufyan

ganti ketakutan, maka dia membayar orang untuk menakuti-nakuti Nabi dan para

shahabatnya. Orang tersebut mengatakan, “Sesungguhnya manusia telah

menyiapkan „hasbunallah wa ni‟mal wakil‟, cukuplah Allah bagi kami, dan Dia

sebaik-baik pelindung.” Akhirnya Abu Sufyan mempercepat langkahnya ke

Makkah dan tidak berpikir untuk kembali, karena dia meyakini tidaklah

Muhammad mengejarnya kecuali karena ada bala bantuan yang besar yang

membantu Nabi. Padahal sebenarnya tidak ada bantuan, melainkan strategi Nabi

yang jitu dalam melakukan manuver militer, dan inilah faidah tawakal .

Ketiga, tawakal menjadi sebab seseorang mendapatkan rezeki dari Allah

Swt. dengan rezeki yang baik. Dalam kisah di atas, Allah berfirman:

للاا ا ض عا س اج ات ى سء س س ى ضم ن ف للاا خ ي ع ا ث ج ه م ب ف

ى ظ ضم ع ف ر للاا

“Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah,

mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah,

dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Ali-Imran: 174)

19

فحسمه الثانية ـ بيده بمشقص، ثم ورمت أكحله فحسمه رسول هللا رمي سعد بن معاذ في “Sa‟ad bin Mu‟adz pernah kena bidikan panah di urat tangannya, kemudian Rasulullah Saw.

membedahnya dengan tombak yang dipanasi dengan api, setelah itu luka-luka itu membengkak,

kemudian dibedahnya lagi.” HR Muslim, no : 4088. 20

Muh. Mu‟inuddinillah Basri, Indahnya Tawakal cet: 1, (Indiva Pustaka, Surakarta:

2008), h 22.

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

21

Dengan tawakal Nabi dan para shahabat mereka selamat dari gangguan

Abu Sufyan, bahkan mereka bisa berdagang di tengah perjalanan dan

mendapatkan keuntungan. Dalam hadits dikatakan:

انخطابة سض ش ث ع أاكى ع سهاى لبل : ن صهاى هللا عه اناج ع هللا ع

ح بصب ، تش خ ش ، تغذ ب شصق انطا نشصلكى ك ه ك عهى هللا حكا ت ه كا تت

ثطبب

“Kalau kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal ,

pastilah Dia memberi rezeki kepada kalian, seperti memberi rezeki kepada

burung. Berangkat pagi dalam kondisi kosong (temboloknya) dan pulang sore

dalam kondisi penuh.” (HR. Hakim No. 2008, Ahmad No. 205, Turmudzi No.

2344)21

Imam Ahmad berkata sebagaimana dinukil oleh Hafizh Baihaqi:

“Tidak ada dalam hadits ini alasan untuk berhenti dari usaha, bahkan di dalam

hadits ada dalil mencari rezeki. Karena burung jika berangkat pagi, tiada lain

berangkat untuk mencari rezeki, tiada lain yang dimaksud-wallahu a‟lam-

kalaulah mereka tawakal kepada Allah dalam pergi, kedatangan, dan tingkah

laku mereka, dan mereka yakin bahwa kebaikan ada di tangan-Nya dan dari-

Nya, tidaklah mereka pulang kecuali dalam kondisi selamat, mendapatkan

keuntungan. Seperti burung pergi dalam kondisi lapar, pulang dalam kondisi

kenyang, akan tetapi mereka mengandalkan atas kekuatan dan kegesitan mereka,

mereka menipu dan curang serta tidak tulus, dan ini berlawanan dengan tawakal

.”

Keempat, tawakal menjadi penyebab mendapatkan cinta-Nya. Allah

sangat menyukai orang-orang yang beriman dengan-Nya, dengan kekuasaan-Nya,

dengan keluasan ilmu-Nya, dan yakin akan kebaikan segala qadha dan qadarNya.

Allah berfirman:

ه ك ت حت ان ا للاا إ هى للاا م ع كا ت ف

21

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (I/30, 52); dan oleh at-

Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2344)

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

22

“Maka bertawakal lah kepada Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang-

orang yang bertawakal .” (QS. Ali-Imran: 159)

Kelima, tawakal menyebabkan tercukupinya apa yang diinginkan, karena

Allah sendiri yang menjadi penjaminnya. Allah berfirman:

ا ش س ش ي أ ي م ن ع ج اك للاا ت ي

“Siapa yang bertawakal kepada Allah Dialah yang mencukupinya.” (QS. at-

Thalaq: 4)

Keenam, Allah melindungi orang yang bertawakal kepada-Nya dari apa

yang ditakuti, sebagaimana mencukupi apa yang dinginkan. Orang-orang kafir

selalu menakut-nakuti Nabi dengan tuhan mereka. Maka Allah bertanya dengan

pertanyaan yang argumentatif,

“Tidakkah Allah mencukupi hamba-Nya dan mereka menakut-nakuti dengan

selain-Nya.” (QS. az- Zumar: 38)

Artinya orang yang bertawakal kepada-Nya tidak perlu takut kepada

gangguan orang yang mengganggunya. Karena kalau Allah melindungi-Nya,

tidak ada yang berbahaya baginya, dan kalau Allah menakdirkan ujian baginya,

maka pahala yang besar, dan surga serta derajat syahid telah menantinya. Orang

yang bertawakal kepada Allah, setan tidak bisa mengganggunya. Dalam hadits

dikatakan:

جم خشج إرا انشا ث ي ثسى فمبل ت كاهت للاا عهى ت ل ل للاا ل ح ح ا إلا ل لبل ثبللا

كفت ذت حئز مبل لت ى حا ن فتت ن فمل انشابط طب ف آخش ش ك

ذي لذ ثشجم نك كف ل

Dari Anas bin Malik, sesungguhnya Nabi saw. bersabda, “Jika seorang laki-laki

keluar dari rumahnya membaca, „Bismillah tawakal tu „alallah laa haula wala

quwwata illaa billaah‟, dikatakan ketika itu, „Engkau diberi petunjuk, engkau

dicukupi, engkau dijaga,‟ dan setan minggir darinya. Dan berkata kepadanya

setan yang lainnya, „Bagaimana engkau (bisa menggoda) seorang yang telah

diberi petunjuk, dicukupi dan dijaga?‟” (HR. Abu Dawud No. 4431, Turmudzi

No. 3348 dan berkata hadits hasan shahih)

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

23

E. Pengaruh Tawakal dalam Keimanan

Tawakal merupakan bentuk inti dari keimanan seorang hamba. Iman yang

kokoh kepada Allah Swt. tentunya lahir dari buah tawakal yang kuat. Dalam ayat

al-Qur„an disebutkan pula bahwa Allah Swt. telah menjadikan tawakal sebagai

salah satu syarat untuk terlaksananya keimanan

Tawakal mempunyai hubungan erat dengan iman bahkan sebagai syarat iman

Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman :

ي ؤ ى ي ت ك ا إ ه كا ت ف هى للاا ع

“…Dan hanya kepada Allâh hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-

benar orang yang beriman.”(Q.S al-Maidah 5:23)

Dalam ayat ini Allah menjadikan tawakal kepada Allah sebagai syarat

keimanan. Maka indikasi lenyapnya keimanan adalah hilangnya tawakal.

Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman :

ى ت ك ا إ ه كا ت ه ع ف بللا ى ث ت ى آي ت ك و إ ب ل ى س بل ي ل

ه س ي

Berkata Musa,”Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allâh, maka bertawakal

lah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri”. (Q.S.

Yunus/10:84)

Dalam ayat ini Allah menegaskan benarnya Islam seorang hamba dengan

sebab adanya tawakal . Maka semakin kuat tawakal seorang hamba, semakin

kuat pula imannya. Demikian juga sebaliknya apabila lemah imannya, lemah pula

tawakal nya. Apabila tawakal nya lemah, sudah pasti keimanannya lemah.22

Allah berfirman :

ى ه ت ع ه ا ت ر إ ى ث ه ت ل ه ج ش للاا ك ا ر ر إ ز ا ان ي ؤ ب ان ا إ

ه كا ت ى ث هى س ع ب ب ى إ ت اد ص بت آ

22

Muh. Mu‟inuddinillah Basri, “Indahnya Tawakal: Sebuah Tuntunan Holistik Untuk

Meluruskan Pemaknaan Tawakal”( Jakarta: Indiva Media Kreasi, 2008) h.69

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

24

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila

disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada

mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada

Rabblah mereka bertawakal ”. (Q.S. al-Anfal/8:2)

Tawakal merupakan satu dari sendi keimanan dan ketauhidan kepada

Allah Swt, karena tawakal berlandaskan keyakinan bahwa Allah adalah Ilah yang

menguasai segala sesuatu, mengatur segala perkara. Dialah yang menentukan

keberuntungan atau kerugian seseorang, keberhasilan dan kegagalan seseorang.

Manusia adalah makhluk yang harus menyadari bahwa mereka dalam genggaman

Allah, mereka membutuhkan bimbingan dan pertolongan Allah Swt.

Manusia berusaha dan hanya Allah yang menentukan hasil akhirnya.

Keimanan dan ketauhidan dilandasi keyakinan bahwa Allah adalah Pencipta yang

berkuasa, sedang manusia adalah makhluk yang tak berdaya di hadapan-Nya.

Tawakal adalah simbol keimanan bahwa Allah adalah Rabb yang Maha Berkuasa

yang menyayangi hamba-Nya. Manusia adalah makhluk yang sangat

membutuhkan Rabb dan kasih sayang-Nya, manusia berusaha karena

diperintahkan oleh Allah sebagai Rabbnya dan mengembalikan seluruh hasil

usaha hanya kepada Rabb. Mereka juga wajib berhusnuzhan kepadaNya bahwa

Dia menentukan apa yang terbaik untuk makhluk-Nya.

Akidah Islam mengajari bahwa segala sesuatu Allah yang menentukan,

apa yang Allah tentukan terjadi pasti terjadi dan apa yang Allah tentukan tidak

terjadi pasti tidak akan terjadi. Tawakal kepada Allah adalah tanda keimanan

kepada kekuasaan Allah, dan menyerahkan diri kepada ketentuan-Nya, serta

husnuzhan terhadap Allah Swt. Allah telah mengaitkan tawakal dengan iman:

ي ؤ ى ي ت ك ا إ ه كا ت ف هى للاا ع

“Dan kepada Allah lah hendaklah kalian bertawakal jika kalian beriman.” (QS.

al-Maidah: 23)

Sebagaimana juga Dia mengaitkan tawakal dengan Islam:

ى ت ك ا إ ه كا ت ه ع ف بللا ى ث ت ى آي ت ك و إ ب ل ى س بل ي ل

ه س ي

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

25

“Berkata Musa, „Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka

bertawakal lah kepadaNya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah

diri.” (QS. Yunus: 84)

Ayat di atas menjelaskan, jika kalian yakin dengan kekuasaan Allah dan janji-

Nya yang akan memenangkan kalian, dan kalian benar-benar pasrah diri kepada-

Nya maka bertawakal lah kepada Allah Swt. Tawakal adalah separuh dari din,

karena din terdiri dari ibadah dan isti‟anah (minta pertolongan), dan tawakal

adalah bagian yang tak terpisahkan dari isti‟anah. Sebagaimana tergambar dalam

firman-Nya, “iyyaka na‟budu wa iyyaka nasta‟in”. Hanya kepada-Mu kami

beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.

Tawakal adalah sifat orang-orang yang beriman sejati, sebagaimana Allah

mengatakan,

ى ه ت ع ه ا ت ر إ ى ث ه ت ل ه ج ش للاا ك ا ر ر إ ز ا ان ي ؤ ب ان ا إ

ب ا ي ح ل انصا م ز ا ان ه كا ت ى ث هى س ع ب ب ى إ ت اد ص بت آ

م ف ى ب ل ص س

“...dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakal . Yaitu orang-orang yang

menegakkan shalat, dan dari apa yang Kami rezekikan mereka berinfak,

merekalah orang-orang yang beriman sejati, bagi mereka derajat-derajat di sisi

Rabb mereka, ampunan dan rezeki yang mulia” (QS. al-Anfal: 2-3).

Tawakal merupakan sifat Nabi Ibrahim dan orang-orang pilihan. Allah

mengatakan, “Sungguh pada diri Ibrahim dan orang yang bersamanya terdapat

contoh yang baik.” Di antara sifat mereka adalah tawakal mutlak kepada Allah.

Mereka berdoa:

م ف ى ب ل ص ب س ا ي ح ل انصا م ز ا ان

“Hanya kepada-Mu kami bertawakal , hanya kepada-Mu kami kembali, dan

hanya kepada-Mu tempat kembali.” (QS. Mumtahanah: 5)

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

27

BAB III

BIOGRAFI BUYA HAMKA DAN SAYYID QUṬB

Untuk memahami lebih dalam pemikiran dan tafsir karya kedua tokoh yang

penulis angkat, maka penulis menghadirkan biografi tokoh untuk lebih lanjut

menganalisa pemikiran Hamka dan Quṭb dari berbagai sudut pandang

kehidupannya masing-masing.

A. Biografi Buya Hamka

Buya Hamka adalah sosok multitalenta yang terpatri dalam ingatan bangsa.

Semasa hidupnya Hamka dikenal sebagai ulama, pejuang, sastrawan dan

pujangga. Buku-buku karyanya diminati khalayak pembaca dari berbagai

kalangan sampai kini. Hamka adalah ulama dan pemimpin di hati masyarakat.

1. Kelahiran Buya Hamka

Buya Hamka yang bernama asli Abdul Malik yang kemudian menjadi Haji

Abdul Malik Karim Amrullah di singkat menjadi HAMKA setelah ia menunaikan

ibadah haji pada 1927, terlahir pada 14 Muharram 1326 H bertepatan dengan

tanggal 17 Februari 1908 di Ranah Minang tepatnya di desa Tabah Sirah, Negari

Sungai Batang, di tepi Sungai Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten

Agam, Sumatra Barat.1

Sosok Hamka adalah putra dari seorang ulama minangkabau yakni DR.

Syaikh Abdul Karim Amrullah seorang tokoh pelopor dari gerakan Islam “kaum

muda” di Minangkabau yang memulai gerakannya pada 1906. Sekaligus pendiri

pondok pesantren “Sumatera Thawalib” di Padang Panjang.2

2. Dinamika Keilmuan dan Karir

Hamka kecil tumbuh di lingkungan yang agamis. Ayahnya Karim Amrullah

atau dikenal sebagai Haji Rasul adalah seorang pelopor gerakan pembaharuan di

1 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Cv. Sejahtera Kita: Ciledug, 2013). h.170.

2 Rusydi hamka, Pribadi Dan Martanbat Buya Hamka, (PT Mizan Publika: Bandung,

2016). h. 2.

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

28

Minangkabau. Selain ayahnya yang merupakan seorang ulama, ibu nya yang

bernama Siti Shofiyyah binti Gelanggar juga seorang yang terkenal dan diberi

gelar Bagindo nan Batuah, yang di kala mudanya Bagindo terkenal sebagai guru

tari, nyanyian dan pencak silat. 3

Hamka sempat bersekolah di sekolah dasar di daerah Maninjau hingga kelas

dua pada tahun 1916 M. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1918 M

Hamka mempelajari ilmu Agama dan bahasa Arab di Sumatera Thawalib atau

Thawalib School yang didirikan oleh ayahnya di Padang Panjang. Dengan

harapan kelak anaknya menjadi ulama, seperti dia. 4

Selain dengan gemblengan dari ayahnya, Hamka kecil juga gemar mengikuti

pengajaran dan kajian agama baik di masjid maupun di surau-surau. Saat itulah

Hamka mulai mengenal dan belajar dari ulama-ulama seperti Syaikh Ibrahim

Musa dan Syaikh Ahmad Rasyid, meskipun terkadang ia tidak merasa semangat

menimba ilmu di pondok pesantren ayahnya, dikarenakan sistem pelajaran di

pesantren tersebut masih menggunakan corak lama. Namun demikian ia tetap naik

kelas hingga menduduki kelas empat.5

Hamka selain rajin membaca, beliau juga sering bertukar pikiran tentang

permasalahan yang sering dialami kaumnya pada masanya, termasuk tema-tema

seputar keislamaan dan kebangsaan. Hamka yang otodidak senantiasa tidak

pernah puas menggali ilmu diberbagai bidang, seperti filsafat, sastra, sosoilogi

hingga politik.

Kehausan Hamka dalam mencari ilmu memang terlihat sangat besar sekali,

ketidak puasannya dengan metode pendidikan ayahnya membuatnya berusaha

meninggalkan kota Sumatera hingga kemudian pada tahun 1924 dalam usia 16

tahun, Hamka pergi belajar ke Pulau Pawa tepatnya bermula dari kota

Yogyakarta dan banyak mendapat pelajaran tentang organisasi keislaman

Muhammadiyah. dan lewat Ja‟far Amrullah yang merupakan pamannya Hamka

3 Badrut Tamam Ghafsas, Jalan Istiqamah Sang Legenda, (Islamic Book Publisher:

Jakarta, 2003). h. 5. 4 Badrut Tamam Ghafsas, Jalan Istiqamah Sang Legenda, h. 6.

5 Nasir Tamara, Hamka Di Mata Umat, Cet iii, (Sinar Harapan: Jakarta, 1996), h. 58.

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

29

berkesempatan mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan oleh

Muhammmadiyah dan Syarikat Islam.6

Setahun kemudian ia pulang kembali ke Minangkabau dengan kemampuan

menyusun kata-kata baik dalam berpidato maupun menulis. Sehingga ia sering

diminta untuk bertabligh di tengah-tengah masyarakat Minangkabau. Beliau pun

membuka kursus pidato bagi teman-temannya di Surau Jembatan Besi, yang

kemudian kumpulan pidatonya diterbitkan oleh sebuah majalah yang diberi nama

Khatibul Ummah.

Kiprah Hamka dalam bidang keilmuan memperoleh pengakuan dari beberapa

universitas terkemuka di dunia. Pada tahun 1985 ia dianugrahkan gelar doktor

honoris causa oleh Universitas Al-Azhâr, Mesir, setelah menyampaikan orasi

ilmiah yang berjudul “Pengaruh Muhammad Abduh Di Indonesia”. Gelar doktor

honoris causa juga diperoleh Hamka dari Universitas Kebangsaan Malaysia pada

tahun 1974.7

Hamka menikah dengan Siti Rahma binti Endah Sutan pada 29 April 1929

dalam usia 22 tahun. Kiprah Hamka dalam Organisasi Muhammadiyah:

Pada tahun 1930 mengaktifkan diri sebagai pengurus cabang

Muhammadiyah Padang Panjang

Pada tahun 1931 turut menghadiri Muktamar di Yogya yang setahun

kemudian diutus ke Makasar sebagai Muballigh atas kepercayan pimpinan

pusat Muhammadiyah.

Pada 1934 diangkat menjadi anggota tetap Majelis Konsul

Muhammadiyah Sumatera Tengah

Pada tahun 1936 pindah ke Medan dan menerbitkan majalah Pedoman

Masyarakat.

Jepang mendarat di Medan tahun 1942, dengan tujuan mengharuskan

masyrarakat turut serta memenangkan Perang Asia Timur Raya dengan

memberangus segala bentuk persyarikatan. Sebagai tokoh Muhammadiyah

6 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Cv. Sejahtera Kita: Ciledug, 2013). h.172.

7 Yunus Amir Hamzah, Hamka Sebagai Pengarang Roman, (Jakarta: Puspa Sari Indah,

1993), h. 6-7.

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

30

Hamka diminta pertimbangannya oleh Jepang dalam mengatasi masalah

dari umat Islam.

1945 kembali ke Padang panjang. Setahun kemudian di percaya mengetuai

Kongres Muhammadiyah di Padang Panjang.

Hamka juga beberapa kali melakukan kunjungan ke luar negeri untuk

menghadiri undangan. Seperti menjadi Anggota Misi Kebudayaan ke Munghthai

(1953). Mewakili Depag menghadiri perigatan mengkatnya Budha ke-2500 di

Burma (1954). Menghadiri Konferensi Islam di Lahore sekaligus memperoleh

Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhâr Mesir setelah memberi pidato

“Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia” bersama Abdullah Ahmad dari

Padang, Hamka menjadi orang Indonesia pertama yang memperoleh Doktor

Honoris Causa dari Universitas Al-Azhâr Mesir.

Hamka juga menjabat sebagai Ketua Umum MUI pertama sejak 1975 dan

kemudian mengundurkan diri, dikarenakan masalah “Perayaan Natal” bersama

antara umat Kristen dan agama lain termasuk Islam. MUI yang diketuai oleh

Hamka megeluarkan fatwa keharaman seorang muslim mengikuti perayaan natal.

Dua bulan setelah pengunduran diri sebagai ketua umum MUI Hamka terkena

serangan jantung yang menyebabkan beliau dirawat di RS. Pertamina Pusat

Jakarta hingga akhirnya beliau di panggil oleh Allah swt. pada hari Jum‟at tanggal

24 Juli 1981/ 22 Ramadhan 1401 H dalam usianya 73 tahun.8

3. Karya-Karya Hamka

Hamka adalah seorang ulama dan sastrawan yang produktif. Tulisan-

tulisannya meliputi banyak bidang kajian: politik (Pidato Pembelaan Peristiwa

Tiga Maret, Urat Tunggang Pancasila), sejarah (Sejarah Ummat Islam, Sejarah

Islam di Sumatera), budaya (Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi), akhlak

(Kesepaduan Iman & Amal Salih), dan ilmu-ilmu keislaman (Tashawwuf

Modern).

8 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Cv. Sejahtera Kita: Ciledug, 2013). h.177.

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

31

Kitab Tafsir Al-Azhâr merupakan karya gemilang Buya Hamka. Tafsir al-

Quran 30 juz itu salah satu dari 118 lebih karya yang dihasilkan Buya Hamka

semasa hidupnya. Tafsir tersebut dimulainya tahun 1960.

Daftar karya Hamka diantaranya:

1. Kenang-Kenangan Hidup, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

2. Ayahku (Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan

Perjuangannya), Jakarta: Pustaka Wijaya, 1958.

3. Khatib al-Ummah, 3 Jilid, Padang Panjang, 1925.

4. Islam dan Adat, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.

5. Kepentingan Melakukan Tabligh, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.

6. Agama dan Perempuan, Medan: Cerdas, 1939.

7. Pedoman Mubaligh Islam, cet. 1, Medan: Bukhandel Islamiah, 1941.

8. Hikmat Isra‟ Mi‟raj, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui).

9. Negara Islam, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),

10. Islam dan Demokrasi, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),

Dalam bidang sastra Hamka juga menghasilkan beberapa karya seperti

Merantau Ke Deli, Di Bawah Lindungan Ka‟bah, Di Dalam Lembah Kehidupan,

Tenggelamnya Kapal Van Der Wick, Margaretta Gautheir. dll.9

4. Pendapat Ulama tentang Buya Hamka

Hamka seorang ulama besar yang memiliki kemampuan di atas rata-rata

di bidang sastra dan sebagai pengarang buku agama. Kebanyakan pengarang tidak

punya keahlian berpidato, atau sebaliknya kebanyakan ahli pidato tidak mahir

menulis. Berbeda dengan Hamka. Ia bukan hanya seorang pengarang yang tidak

pernah kering penanya, tapi juga seorang mubaligh yang handal. Mendengar

ceramahnya sama menarik dengan membaca karangannya. Lebih dari itu,

menyatunya antara kata dan perbuatan adalah watak kepribadian Hamka sebagai

ulama panutan umat.

9 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Cv. Sejahtera Kita: Ciledug, 2013). h.178.

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

32

Ahmad Syafii Maarif dalam Kata Pengantar buku Adicerita Hamka karya

terjemahan dari buku James R. Rush mengatakan, “Saya tidak tahu sudah berapa

jumlah tesis dan disertasi yang ditulis para akademisi dalam membedah

pemikiran Hamka. Ada sebuah paradoks di sini. Seorang autodidak tanpa

sertifikat formal yang dimilikinya telah melahirkan begitu banyak peminat untuk

mendalami pemikiran Hamka di ranah agama, filsafat, sastra, tafsir Al-Quran,

tasawuf, dan sejarah. Namanya diabadikan dalam sebuah universitas, yakni

Universitas Prof. Dr. Hamka di Jakarta dan di Padang, dan Pesantren Hamka

sebagai bentuk penghargaan kepada si piawai ini.”10

Dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka (1981) karya H.

Rusjdi Hamka, menarik disimak penuturan pengarang biografi yang sekaligus

putra Hamka itu sebagai berikut “Penduduk asli Betawi kurang biasa dengan

masjid yang modern dan imamnya yang orang Padang dan Muhammadiyah.

Sedangkan orang-orang gedongan masih merasa agak segan. Satu dua dari

kalangan gedongan-gedongan yang datang, menghendaki agar masjid ini lebih

modern lagi. Sebuah usul dari seorang Nyonya, minta agar shaf wanita tidak lagi

di belakang. Islam menghormati wanita, kenapa kalau shalat wanita harus di

belakang? Ada lagi usul agar azan itu benar-benar bisa menarik orang ke masjid,

muazinnya agar gantian antara pria dan wanita.” “Soal-soal semacam yang ibu

fikirkan itu, sebaiknya kita turuti saja sunnah Nabi.” jawab Hamka . Semakin hari

jamaah Masjid Agung Al-Azhâr tambah ramai. Dan orang-orang Betawi yang

tadinya curiga melihat orang gedongan dari seberang yang tidak bermazhab dan

sebagainya, mulai biasa bergaul di masjid itu mendengarkan pengajian-pengajian

Hamka. Suasana kekeluargaan antara para jamaah benar-benar terjalin dengan

mesra.”11

Tidak hanya itu, tulis Rusjdi Hamka, “mereka yang kebanyakan bekas-

bekas kuli atau pekerja kasar ketika masjid dibangun, dan menetap di masjid itu

menunggu pekerjaan lain, mendapat perhatian Buya Hamka. „Tolonglah carikan

10

James R. Rush, Adicerita Hamka : Visi Islam Sang Penulis Besar Untuk Indonesia

Modern Penulis, (Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2014). h. 167. 11

Rusydi Hamka, Pribadi Dan Martanbat Buya Hamka, (PT Mizan Publika: Bandung,

2016). h. 63.

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

33

pekerjaan.‟ ujar Buya pada jamaah-jamaah kalangan gedongan. Pak Anib, Haji

Tohar, Pak Jumanta, Abing, dan banyak lagi, berhasil bekerja di rumah-rumah

jamaah yang lain. Beberapa orang di antara mereka disampaikan niatnya untuk

menunaikan ibadah haji dengan bantuan jamaah dan anjuran Hamka . Tapi masjid

yang besar itu, masih serba kurang. „Masjid kita perlu tikar, biayanya sekian. Saya

sumbangkan sekian.‟, kata Hamka seraya mengeluarkan uang dari sakunya.

Kalau kebetulan di antara jamaah itu ada orang-orang kaya, Hamka memandang

kepadanya. „Ha, itu ada Hasyim Ning, berapa?‟ „Saya borong semua, uang Buya

gunakan saja untuk yang lain.‟ ujar hartawan yang menjadi salah seorang dari

jamaah pertama Masjid Agung Al-Azhâr itu. „Selesai satu pekerjaan, ada lagi

pekerjaan lain yang menunggu. Bagaimana kalau kita beli mimbar yang bagus?‟

„Setuju.‟ jawab jamaah.”

Sisi humanis dari pribadi Hamka yang melekat dalam kenangan banyak

orang, ialah integritas moralnya, sosok sebagai ulama modernis nan karismatik,

kesederhanaan dan jauh dari kecintaan terhadap harta benda. Rumahnya terbuka

bagi siapa saja, tidak membeda-bedakan siapapun tamu yang datang. Hamka

bagaikan “Dokter Rohani” di tengah hiruk pikuk kota metropolitan Jakarta dengan

segala macam problemanya.12

Hamka seorang ulama yang berjiwa besar, kokoh pendirian, namun

menghargai orang lain yang berbeda keyakinan. Dakwahnya memancarkan

kearifan dan membangunkan jiwa umat. Peranan Hamka diakui sebagai figur

sentral yang berhasil ikut mendorong terjadinya mobilitas vertikal Islam di

Indonesia, meminjam istilah Cak Nur (Nurcholish Madjid), dari suatu agama yang

“berharga” hanya untuk kaum sarungan dan pemakai bakiyak di zaman kolonial

menjadi agama yang semakin diterima dan dipeluk dengan sungguh-sungguh oleh

“Kaum Atasan” Indonesia merdeka. Hamka berhasil merubah postur kumal

seorang kiyai atau ulama Islam menjadi postur yang patut menimbulkan rasa

hormat dan respek.

12

Rusydi Hamka, Pribadi Dan Martanbat Buya Hamka, (PT Mizan Publika: Bandung,

2016). h. 78.

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

34

5. Sekilas Tafsir Al-Azhâr

1) Nao / Jenis

Dalam sumber penafsiran atau yang disebut juga dengan naw‟u (jenis),

ada dua sumber yaitu bi al-ma‟tsur dan bi al-ra‟yi. Meskipun dalam kitab

tafsirnya menggunakan riwayat-riwayat (bi al-ma‟tsur) untuk menjelaskan

suatu ayat, seperti menafsirkan dengan ayat yang lain, dengan hadis, dan qaul

sahabat, akan tetapi sumber penafsiran yang lebih dominan digunakan oleh

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhâr sendiri ialah dengan menggunakan

sumber bi al-ra‟yi karena dalam hal menafsirkan, beliau mengemukakan

pendapat-pendapat beliau tentang tafsir ayat-ayat tersebut.

2) Laun / corak

`Adapun dilihat dari corak penafsiran, tafsir Al-Azhâr mempunyai corak

Adab al-Ijtima‟iy. yaitu corak sastra budaya kemasyarakatan. Sebab, corak

inilah yang paling menonjol dibandingkan dengan corak yang lainnya, seperti

kebahasaan, fiqh, filsafat, ilmi, dan lainnya. Meskipun demikian, corak yang

disebutkan itu tetap ada dalam tafsir Al-Azhâr.

Corak ini menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Qur‟an dengan

ungkapan-ungkapan yang teliti, menjelaskan makna-makna yang dimaksud

al-Qur‟an dengan bahasa yang indah dan menarik, tafsir ini berusaha

menghubungkan nash-nash al-Qur‟an yang tengah dikaji dengan kenyataan

sosial dan sistem budaya yang ada. Hamka menggunakan contoh-contoh

yang ada di tengah masyarakat, baik masyarakat kelas atas seperti raja, rakyat

biasa, semua tergambar didalam karyanya. Uraian Hamka yang demikian

menyentuh perasaan manusiawi yang dalam.

Bahkan Hamka sendiri mengakui bahwa Tafsirnya itu sangat dipengaruhi

oleh Tafsir Al-Manâr karya Rasyid Ridha yang juga bercorak al-adabi al-

ijtima‟i. Ketertarikan Hamka terhadap Tafsir Al-Manâr ini sebagaimana

ditulisnya, sebagai berikut:

“Tafsir yang amat menarik hati penafsir buat dijadikan contoh ialah Tafsir

Al-Manar karangan Sayyid Rashid Ridha, berdasar kepada ajaran tafsir

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

35

gurunya Syaikh Muhammad Abduh. Tafsir beliau ini, selain dari

menguraikan ilmu berkenaan dengan agama, mengenai hadis, fiqh, dan

sejarah dan lain-lain, juga menyesuaikan ayat-ayat itu dengan

perkembangan politik dan kemasyarakatan, yang sesuai dengan zaman di

waktu tafsir itu dikarang”. 13

Dari kutipan di atas, semakin jelas bahwa corak tafsir Al-Azhâr karya

Hamka ini bercorak tafsir al-adabi al-ijtima‟i, yaitu corak tafsir sastra

budaya kemasyarakatan.

3) Thoriqotut Tafsir / Metode

Dalam kitab tafsirnya, Hamka membahas berbagai macam aspek sesuai

dengan kecenderungannya. Meskipun Hamka dalam tasfirnya telah

memberikan judul untuk uraiannya, namun tafsir nya ini belum dapat

dimasukkan dalam kelompok tafsir maudhu‟i. Sebab, ciri-ciri yang ada dalam

tafsir maudhu‟i belum nampak dalam tafsir Al-Azhâr. Demikian juga dengan

metode muqaran, sekalipun dalam bagian-bagian tertentu Hamka membuat

perbandingan, tetapi perbandingan itu bukanlah metode yang dominan

digunakan Hamka . Dan jika kita lihat dari pengurutan suratnya, tafsir Al-

Azhâr ini menggunakan tartib mushafi, yaitu ayat-ayat yang ditafsirkan

sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf, yakni dari Surat Al-

Fatihah sampai Surat An-Nas. Dengan demikian, dapat disimpulkankan

bahwa metode tafsir yang digunakan Hamka dalam tafsirnya adalah metode

tahlili.

4) Manhaj Penulisan

Jika dilihat dari teknik penyajianya, kitab tafsir Al-Azhâr ini termasuk

kitab tafsir yang menggunakan Manhaj Muqotho‟ah, yakni manhaj dengan

penyajian mengelompokkan beberapa ayat, disamping ayat-ayat tersebut

terdapat terjemahannya dan tafsirannya berada dibawahnya.

5) Latar Belakang Penulisan dan Penamaan Kitab

Motivasi penulisan Al-Azhâr menurut Hamka, didorong oleh dua hal.

Pertama, bangkitnya minat angkatan muda Islam di tanah air Indonesia dan

13

Hamka, Tafsir al Azhâr, Juz I

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

36

daerah-daerah yang berbahasa Melayu yang hendak mengetahui isi al-Qur‟an

di zaman sekarang, padahal mereka tidak mempunyai kemampuan

mempelajari bahasa Arab. Kedua, medan dakwah para muballigh yang

memerlukan keterangan agama dengan sumber yang kuat dari al-Qur‟an,

sehingga diharapkan tafsir ini bisa menjadi penolong bagi para muballigh

dalam menghadapi bangsa yang mulai cerdas. 14

Penerbitan pertama tafsir Al-Azhâr diterbitkan oleh penerbit Pembimbing

Masa, pimpinan H. Mahmud. cetakan pertama oleh Pembimbing Masa,

merampungkan penerbitan dari juz pertama sampai juz keempat. Kemudian

diterbitkan pula Juz 30 dan Juz 15 sampai dengan Juz 29 oleh Pustaka Islam

Surabaya. Dan akhirnya Juz 5 sampai dengan Juz 14 diterbitkan oleh Yayasan

Nurul Islam Jakarta.

Hal pertama yang kita ketahui dan menarik perhatian kita dari sebuah

karya tafsir adalah namanya. Mengenai asal-usul nama dari tafsir Al-Azhâr

ada dua alasan15

yang saling berkaitan mengenai pemakaian nama Al-Azhâr

untuk tafsirnya. Pertama, Nama Al-Azhâr diambil dari nama masjid tempat

kuliah-kuliah tafsir yang disampaikan oleh Hamka sendiri, yakni masjid Al-

Azhâr, Kebayoran Baru. Nama masjid Al-Azhâr sendiri adalah pemberian

dari Syaikh Mahmoud Syaltout, syaikh (rektor) Universitas Al-Azhâr, yang

pada bulan Desember 1960 datang ke Indonesia sebagai tamu agung dan

mengadakan lawatan ke masjid tersebut yang waktu itu namanya masih

Masjid Agung Kebayoran Baru.

Kedua, Pengajian tafsir setelah shalat shubuh di masjid Al-Azhâr telah

terdengar di mana-mana, terutama sejak terbitnya majalah Gema Islam.

Majalah ini selalu memuat kuliah tafsir ba‟da shubuh tersebut. Hamka

langsung memberi nama bagi kajian tafsir yang dimuat di majalah itu dengan

Tafsir Al-Azhâr, sebab tafsir itu sebelum dimuat di majalah digelar di dalam

masjid agung Al-Azhâr.

14

Muhammad Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Pustaka Panjimas

Jakarta:1990), h. 54 15

Muhammad Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, hal.57

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

37

B. Biografi Sayyid Sayyid Quṭb

Sayyid Quṭb merupakan seorang ilmuwan, sastrawan, ahli tafsir sekaligus

pemikir dari Mesir. Quṭb merupakan salah satu ulama besar yang dikenal

masyarakat Mesir. Dia adalah tokoh yang memperjuangkan Mesir untuk bebas

dari pengaruh barat. Selain itu, dia juga seorang pemikir yang melahirkan banyak

karya buku, baik tentang Islam, pendidikan maupun puisi. Karyanya yang paling

terkenal adalah Fi Zilal al-Qur'an atau di bawah naungan Quran. Nama Sayydid

Quṭb begitu akrab dengan gerakan Islam. Memang tokoh ini amat populer amat

populer dalam gerakan Islam di mesir bernama Ikhwanul Muslimin.

1. Kelahiran Quṭb

`Sayyid Quṭb yang bernama lengkap Sayyid Quṭb Ibrahim Husain Syadzilli,

lahir di Mausyah, salah satu provinsi Asyuth, di dataran tinggi Mesir. Ia lahir pada

9 oktober 1906. Ayahnya bernama al haj al Quṭb bin ibrahim seorang petani

terhormat yang relatif berada, dan menjadi anggota komisaris partai nasionalis di

desanya. Karena ayahnya seorang tokoh berpengaruh ia menjadikan rumahnya

sebagai markas bagi kegiatan politik partainya. Maka Quṭb dan saudara

saudaranya sudah tidak asing melihat berbagai kegiatan rapat politik, diskusi para

aktivis partai sedari kecil.16

2. Dinamika keilmuan dan karirnya

Pengetahuannya yang mendalam dan luas tentang al-Qur‟an dalam konteks

pendidikan agama memberi dampak yang kuat pada hidupnya. Pada umur enam

tahun, dia masuk ke sekolah Awwaliyah (Pra Sekolah Dasar) di desanya selama

empat tahun. Di Madrasah tersebut, dia menghafal al-Qur‟an Al-Karim. Pada

tahun 1921 M, dia pindah ke Kairo untuk meneruskan belajarnya. Kemudian dia

melanjutkan ke sekolah persiapan Darul Ulum, 1925. pada tahun 1929 Sayyid

Quṭb melanjutkan pendidikannya ke Universitas Darul Ulum dan lulus dengan

gelar Lisance (Lc) dibidang sastra pada tahun 1933.

16

Nuim Hidayat, Sayyid Quṭb: Biografi Dan Kejernihan Pikirannya, (Gema Insani,

Jakarta, 2010) h. 15-17.

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

38

Setelah Sayyid Quṭb lulus dari Universitas Darul Ulum, dia bekerja di

Departemen Pendidikan dengan tugas sebagai tenaga pengajar di sekolah-sekolah

milik Departemen Pendidikan selama enam tahun. Setahun di Suwaif, setahun lagi

di Dimyat, dua tahun di Kairo, dan dua tahun di Madrasah Ibtida‟iyah Halwan. Di

daerah pinggiran kota Halwan, yang kemudian menjadi tempat tinggal Quṭb

bersama saudara-saudaranya.17

Setelah menjadi tenaga pengajar, Sayyid Quṭb kemudian berpindah kerja

sebagai pegawai kantor Departemen Pendidikan, sebagai penilik untuk beberapa

waktu lamanya. Kemudian dia pindah tugas lagi ke Lembaga Pengawasan

Pendidikan Umum yang terus berlangsung selama delapan tahun sampai akhirnya

kementerian mengirimnya ke Amerika.

Tahun 1948, ia diutus Departemen Pendidikan ke Amerika untuk mengkaji

kurikulum dan sistem pendidikan Amerika. Di Amerika selama dua tahun, lalu ia

pulang ke Mesir tanggal 20 Agustus 1950 M. Setelah itu ia diangkat sebagai

Asisten Pengawas Riset Kesenian di kantor Mentri Pendidikan. Tanggal 18

Oktober 1952, ia mengajukan permohonan pengunduran diri. Dalam masa

tugasnya di Amerika, ia membagi waktu studinya antara Wilson‟s Theacher‟s

College di Washington, Greeley College do Colorado, dan Stanford University di

California. Hasil studinya dan pengalamannya itu meluaskan pemikirannya

mengenai problema-problema sosial kemasyarakatan yang ditimbulkan oleh

paham materialisme yang gersang akan pahan ketuhanan.

Ketika berada di Departemen pendidikan, Sayyid Quṭb adalah seorang

pegawai yang tekun, pemikir yang berani, serta seorang yang mulia. Sifat-sifat ini

akhirnya banyak menyebabkan Sayyid Quṭb mendapat berbagai kesulitan dan

sesudah itu akhirnya Sayyid Quṭb pun melepaskan pekerjaannya. Sayyid Quṭb

mengajukan surat pengunduran diri dari pekerjaannya sekembalinya dari

17

Didin Saefuddin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam: Biografi Intelektual 17

Tokoh, (PT Grasindo: Jakarta, 2003). h.101.

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

39

Amerika, karena pada tahap ini beliau lebih memfokuskan pikiran beliau untuk

dakwah dan pergerakan serta untuk studi dan mengarang.18

3. Karya-Karya Sayyid Quṭb

Karya-karya Sayyid Quṭb selain beredar di Negara-negara Islam, juga beredar

di kawasan Eropa, Afrika, Asia dan Amerika. Di mana terdapat pengikut-pengikut

Ikhwanul Muslimin, hampir dipastikan di sana terdapat buku-buku Quṭb, karena ia

adalah tokoh ikhwan terkemuka.

Buku-buku hasil torehan tangan Sayyid Quṭb adalah sebagai berikut:19

1. As-Syathi‟ Al-Majhul, kumpulan sajak Quṭb satu-satunya, terbit febuari 1935.

2. Naqd kitab “Mustaqbal Ats-Tsaqafah Di Mishr” li Ad-Duktur Thaha Husain,

terbit tahun 1939.

3. At-Tashwir Al-Fanni Fil-Quran, buku islam Quṭb yang pertama, terbit april

1945.

4. Thifl Min Al-Qaryah, berisi tentang gambaran desanya serta catatan masa

kecilnya di desa, terbit tahun 1946.

5. Al-Madinah Al-Manshurah, sebuah kisah khayalan semisal kisah seribu satu

malam, terbit tahun 1946.

6. Kutub Wa Syakhshiyat, sebuah studi Quṭb terhadap karya-karya pengarang

lain, terbit tahun 1946.

7. Masyahid Al-Qiyamah Fil-Quran, bagian kedua dan serial pustaka baru al-

quran, terbit pada bulan april 1947.

8. Fi zilâl al-Qur‟ân, cetakan pertama juz pertama terbit oktober1952.

9. Dirasat Islamiyah, kumpulan berbagai macam artikel yang dihimpun oleh

Muhibbudin Al-Khatib, terbit 1953.

Sedangkan studinya yang bersifat keislaman harakah yang matang, yang

menyebabkan ia dieksekusi (dihukum penjara) adalah sebagai berikut: Ma‟alim

Fith-Thariq, Fi Zhilalil As-Sirah, Muqawwimat At-Tashawwur Al-Islami, Fi

18

Shalah Abdul Fatah al-Khalidi,“Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân”, Terj:

Salafuddin Abu Sayyid, (Surakarta: Era Intermedia, 2001), h.28-29 19

Nuim Hidayat, Sayyid Quṭb: Biografi Dan Kejernihan Pikirannya, (Gema Insani,

Jakarta, 2010) h. 21

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

40

Maukib Al-Iman, Nahwu Mujtama‟ Islami, Hadza Al-Qur‟an, Awwaliyat Li Hadza

Ad-Din, Tashwibat Fi Al-Fikri Al-Islami Al-Mu‟ashir .

4. Pendapat Ulama Tentang Sayyid Quṭb

Sebagai pemikir Islam, tentunya telah banyak ulama yang mengomentari

pemikiran Sayyid Quṭb. Diantaranya ialah kesaksian Syaikh Manna‟ Khalil al

Qaththan. Ulama terkenal, pakar Tafsir dan Hadits. Mantan Ketua Mahkamah

Tinggi di Riyadh dan dosen paska sarjana di Universitas Muhammad bin Su‟ud,

Saudi Arabia. Ia berkata, “Gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Asy

Syahid Hasan al Banna dipandang sebagai gerakan keislaman terbesar masa kini

tanpa diragukan. Tidak seorang pun dari lawan-lawannya dapat mengingkari

jasa gerakan ini dalam membangkitkan kesadaran di seluruh dunia Islam. Maka

dengan gerakan ini ditumpahkan segala potensi pemuda Islam untuk berkhidmat

kepada Islam, menjunjung syariatnya, meninggikan kalimahnya, membangun

kejayaannya, dan mengembalikan kekuasaannya. Apa pun yang dikatakan

mengenai peristiwa¬peristiwa yang terjadi atas jamaah ini namun pengaruh

intelektualitasnya tidak dapat diingkari oleh siapa pun juga.”20

Dan kesaksian mantan Mufti Mesir, Syaikh Hasanain Makhluf. Ia berkata,

“Syaikh Hasan al Banna Bahkan ia merupakan pelopor jihad di jalan Allah

dengan jihad yang sesungguhnya. Beliau berdakwah dengan menempuh manhaj

yang benar, meniti jalan yang terang yang diterjemahkannya dari Al Qur‟an,

Sunnah Nabi, dan ruh tasyri‟ Islam. Beliau melaksanakan semua itu dengan

penuh hikmah, hati-hati, dan sabar, dan „azzam yang kuat sehingga dakwah Islam

menyebar ke seluruh penjuru Mesir dan negeri-negeri Islam serta banyak orang

bergabung di bawah bendera dakwahnya.”21

Sebenarnya masih banyak pujian ulama dunia untuknya. Hal itu, merupakan

kebiasaan para ulama sejak dahulu; seorang ulama memberikan pujian sekaligus

kritik terhadap ulama lainnya.

20

Manna‟ Khalil al Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Al Qur‟an, (Jakarta:Litera Antar Nusa,

2013) h. 506. 21

Badr Abdurrazzaq al- Mash, Manhaj Da‟wah Hasan al Banna, (Jakarta:Gema Insani

Press, 2005) h. 91.

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

41

5. Sekilas Tafsir Fî Zilalil Qur’an

a. Nao / Jenis

Dalam menafsirkan ayat Quṭb menggunakan dari dua tahapan yakni:

mengambil sumber penafsiran bil ma‟tsur, kemudian baru menafsirkan dengan

pemikiran, pendapat ataupun kutipan pendapat sebagai penjelas dari

argumentasinya.22

Meskipun secara garis besar tafsir beliau termasuk

bersumber pada bil ra‟yi karna muatan pemikiran sosial masyarakat dan sastra

yang cenderung lebih banyak. Selain kedua sumber tersebut, beliau juga

mengambil referensi dari berbagai dsiplin ilmu, yakni sejarah, biografi, fiqh,

bahkan social, ekonomi, psikologi, dan filsafat.

b. Laun / Corak

Penafsiran Sayyid Quṭb memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki tafsir-

tafsir lain, menggunakan gaya prosa lirik dalam penyampaian, karena itu tafsir

ini menjadi enak dibaca dan mudah dipahami. Kitab tafsir ini mengandung

unsur corak adaby ijtima‟i yakni sastra dan sosial kemasyarakatan.

Sifat lain dari tafsir ini adalah pemaparan yang bersemangat sehingga

mudah dicurigai sebagai tafsir provokatif, bahkan tidak jarang orang menamai

tafsirnya dengan corak tafsir haraki, tafsir ini masuk dalam kategori penafsiran

dengan corak baru yang khas dan unik serta langkah baru yang jauh dalam

tafsir serta memuat banyak sekali tema penting dengan menambahkan hal-hal

mendasar yang esensial. Karenanya Tafsir ini dapat dikategorikan sebagai

aliran (faham) khusus dalam Tafsir yang disebut “aliran tafsir pergerakan”. Ini

disebabkan metode pergerakan tidak ada pada kitab tafsir lain selain pada tafsir

Fi Zilâl al-Qur‟ân ini.23

c. Thoriqotut Tafsir / Metode

22

Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân, Penj:

Salafuddin Abu Sayyid, (Surakarta: era Intermedia, 2001), h. 116. 23

Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân, h.

346.

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

42

Sayyid Quṭb mengambil metode penafsiran dengan tahîlî atau tartib

mushafy. Dapat dicermati dari aspek-aspek metodologisnya, ditemukan bahwa

karya ini menggunakan metode tahlili, yakni metode tafsir yang bermaksud

menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari seluruh aspeknya secara

runtut, sebagaimana yang tersusun dalam mushaf. Dalam tafsirnya, diuraikan

korelasi ayat, serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama

lain. Begitu pula, diuraikan latar belakang turunnya ayat (sabab nuzul), dan

dalil-dalil yang berasal dari al-Quran, Rasul, atau sahabat, dan para tabiin, yang

disertai dengan pemikiran rasional (ra‟yu).

d. Manhaj Penulisan

Dalam sistematika penulisan Tafsirnya, Sayyid Quṭb terlebih dahulu

mengabstraksikan sekumpulan ayat yang akan ditafsirkan. Lalu kemudian

menerangkan ayat-ayat tersebut dan memberinya sub-sub judul.

Pengelompokan ayat-ayat dalam suatu penafsiran ini dikarenakan masih

terdapat munasabah antara ayat sebelum atau sesudahnya. Dalam bahasa Fahd

bin Abdurrahman ar-Rumi Sayyid Quṭb memberikan suatu prolog yang

menjelaskan tema surat dan jawaban persoalan-persoalajnnya juga tujuannya.

Lalu menjabarkan kata perkata dan menomorduakan israiliyat.24

e. Latar Belakang Penulisan Dan Penamaan Kitab

Pada kata pengantarnya, Sayyid Quṭb mengemukakan kesan-kesanya

hidup di bawah naungan Al-Qur‟an adalah nikmat. Nikmat yang tidak

diketahui kecuali oleh yang telah merasakanya. Ia merasa dekat dan mendengar

serta berbicara dengan Allah melalui Al-Qur‟an. Hidup di bawah naungan Al-

Qur‟an, Sayyid Quṭb merasakan keselarasan yang indah antara gerak manusia

sebagaimana kehendak Allah dengan gerak-gerik alam ciptaan-Nya.25

Ia

melihat kebinasaan yang akan menimpa kemanusiaan akibat

pemyimpangannya dari undang-undang alam ini. Ia menyaksikan benturan

24

Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Qur‟an, penj: amirul Hasan an M. Halabi,

(Yogyajarta: Titian Olahi Pres, 1996), h. 215-216. 25

Muhammad Chirzin, Jihad Menurut Saayid Quthb Dalam Tafsir Zilal, (Solo, Era

Intermedia, 2001), h. 136.

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

43

yang keras antara ajaran-ajaran rusak yang didekatkan padanya dengan

fitrahnya, yang telah ditetapkan Allah SWT.

Kondisi Mesir tatkala itu sedang porak poranda ketika Sayyid Quṭb telah

kembali dari perhelatannya menempuh ilmu di negeri Barat. Saat itu, Mesir

sedang mengalami krisis politik yang mengakibatkan terjadinya kudeta militer

pada bulan juli 1952. Pada saat itulah, Sayyid Quṭb memulai mengembangkan

pemikirannya yang lebih mengedepankan terhadap kritik sosial dan politik.26

Oleh karenanya, kita melihat upaya-upaya yang dilakukan Sayyid Quṭb dalam

tafsirnya lebih cenderung mengangkat terma sosial-kemasyarakatan.

Dalam tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân ini lebih cenderung membahas tentang

logika konsep negara Islam sebagai mana yang didengungkan oleh pengikut

Ikhwan al-Muslimin lainnya seperti halnya Hasan Al Banna, Abu A‟la al

Maududi. Secara singkatnya, sebenarnya Sayyid Quṭb memulai menulis

tafsirnya atas permintaan rekannya yang bernama Dr. Said Ramadhan yang

merupakan redaksi majalah al-Muslimun yang ia terbitkan di Kairo dan

Damaskus. Dia meminta Sayyid Quṭb untuk mengisi rubrik khusus mengenai

penafsiran Al-Qur‟an yang akan diterbitkan satu kali dalam sebulan.

Sayyid Quṭb menyambut baik permintaan rekannya tersebut dan mengisi

rubrik tersebut yang kemudian diberi nama Fî Zilâl al-Qur‟ân. Adapun

mengenai tulisan yang pertama yang dimuat adalah penafsiran surat al-Fâtihah

lantas dilanjutkan dengan surat al-Baqarah. Namun, hanya beberapa edisi saja

tulisan itu berlangsung yang kemudian Sayyid Quṭb berinisiatif menghentikan

kepenulisan itu dengan maksud hendak menyusun satu kitab tafsir sendiri yang

diberi nama Fî Zilâl al-Qur‟ânsama halnya dengan rubrik yang beliau asuh.

Karya beliau tersebut diterbitkan oleh penerbit al-Bâbi al-Halabi. Akan

tetapi kepenulisan tafsir tersebut tidak langsung serta merta dalam bentuk 30

juz. Setiap juz kitab tersebut terbit dalam dua bulan sekali dan ada yang kurang

dalam dua bulan dan sisa-sisa juz itu beliau selesaikan ketika berada dalam

tahanan.27

26

Sayyid Quthb, Tafsir Fî Zilalil Qur‟an, terj. As‟ad Yasin dkk., jild 1, h.407. 27

Bahnasawi, K. Salim, Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb. (Jakarta: Gema Insani

Press. 2003). h. 121.

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

44

C. Kelebihan dan Kekuragan Al-Azhâr dan Fi Zilâl al-Qur’ân

Meskipun kitab Tafsir AL-Azhâr dan Fi Zilâl al-Qur‟ân merupakan karya yang

sangat populer dan banyak dikaji dan di jadikan rujukan, tentunya kedua kitab ini

memiliki kelebihan dan kekurangan nya masing-masing. Dari analisa penafsiran

ayat-ayat tawakkal dalam Tafsir Al-Azhâr dan Tafsir Fi Zilâl al-Qur‟ân, dapatlah

penulis temukan corak penafsiran kedua tafsir tersebut bercorak al-adab al-

ijtima‟i yaitu salah satu corak penafsiran yang cenderung kepada persoalan sosial

masyarakat melalui gaya bahasa. Ini dapat dilihat ketika mereka menafsirkan ayat-

ayat al-Qur‟an, mereka seringkali memasukkan persoalan dan kisah-kisah yang

berlaku dalam lingkungan kehidupan masyarakat sehari-hari supaya para pembaca

memahami ayat-ayat al-Qur‟an dengan mudah sehingga masuk ke dalam hati dan

akal.

Adapun kelebihan dan kekurangan Tafsir Al-Azhâr dan Tafsir Fi Zilâl al-

Qur‟ân dari perhatian penulis adalah seperti berikut:

1) Tafsir Al-Azhâr

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Howard M. Federspiel, tafsir

yang ditulis oleh Hamka mempunyai kelebihan yaitu diantaranya, tafsir ini

menyajikan pengungkapan kembali teks dan maknanya serta penjelasan

dalam istilah-istilah agama mengenai maksud bagian-bagian tertentu dari

teks. Disamping itu semua, tafsir ini delengkapi materi pendukung lainnya

seperti ringkasan surat, yang membantu pembaca dalam memahami materi

apa yang dibicarakan dalam surat-surat tertentu dari al-Qur‟an.

Dalam tafsir ini juga Hamka berusaha mendemonstrasikan keluasan

pengetahuannya pada hampir semua disiplin bidang-bidang ilmu agama

Islam, ditambah juga dengan pengetahuan-pengetahuan non-keagamaannya

yang begitu kaya dengan informatif. Karakteristik seperti tersebut di atas

sebagaiman diungkapkan oleh Karel Steenbrink bahwa secara umum, Hamka

dalam melakukukan tekhnik penafsirannya “mencontoh” Tafsir al-Manar

karya Rasyid Ridho dan tafsir al-Jawâhir karya Tantawi Jauhari. Dan yang

terakhir Hamka lebih banyak menekankan pada pemahaman ayat secara

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

45

menyeluruh. Oleh karena itu dalam tafsirnya Hamka lebih banyak mengutip

pendapat para ulama terdahulu. Sikap tersebut diambil oleh Hamka karena

menurutnya menafsirkan al-Qur‟an tanpa melihat terlebih dahulu pada

pendapat para mufassir dikatakan tahajjum atau ceroboh dan bekerja dengan

serampangan.28

Adapun di antara kekurangan dari tafsir Al-Azhâr adalah pada usaha

penterjemahan ayat. Nampaknya Hamka dalam melakukan penterjemahan

menggunakan penterjemahan harfiah. Terjemah seperti itu terkadang

membuat kurang jelas dan sulit ditangkap maksudnya secara langsung.

Misalnya ketika Hamka menterjemahkan QS: Al Syura: 42.

Artinya: “Ada jalan hanyalah terhadap orang-orang yang menganiaya

manusia dan berlaku sewenang-wenang di bumi dengan tidak menurut

hak. Bagi mereka itu adzab yang pedih.”

Kemudian kekurangan yang penulis perhatikan adalah kurang ketatnya

penyeleksian terhadap hadis-hadis ketika menafsirkan ayat ayat al-Qur‟an.

Dalam menyebutkan hadis pula terkadang Hamka tidak menyebutkan

sumbernya. Sebagai contoh adalah sebagai berikut:

“Oleh karena al-Fatihah satu Surat yang menjadi Rukun (tiang) sembahyang,

baik sembahyang fardhu yang lima waktu, ataupun sekalian sembahyang

yang sunnat dan nawafil, maka dalam hal ini tidaklah cukup kalau kita hanya

sekedar menafsirkan arti al-Fatihah, melainkan kita perlengkap lagi dengan

hukum atau ketentuan Syariat berkenaan dengan al-Fatihah. Segala

sembahyang tidak sah , kalau tidak membaca al-Fatihah. tersebut dalam

hadits-hadits: Dan hendaklah dibaca pada tiap- tiap rakaat , karena Hadits :

Daripada Ubadah bin as-Shamit, bahwasannya Nabi Saw. berkata: "Tidaklah

ada sembahyang (tidak sah sembahyang) bagi siapa yang tidak membaca

Fatihatil Kitab. " (Dirawikan oleh al-Jamaah)

28 Howard M. Federspel, Kajian Al-Qur‟an di Indonesia, Terj. Tajul Arifin, (Mizan:

Jakarta, 1996 ) h.76

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

46

1) Tafsir Fi Zilâl al-Qur‟ân

Tafsir Fi Zilâl al-Qur‟ân merupakan tafsir kontemporer yang

memberikan terapi berbagai persoalan dan menjawab berbagai tuntutan abad

modern ini berdasarkan petunjuk al-Qur‟an. Di antara persoalan dan tuntutan

abad modern yang paling menonjol adalah persoalan seputar pemikiran,

ideologi, konsepsi, pembinaan, hukum, budaya, peradabaan, politik,

psikologi, spritualisme, dakwah dan pergerakan dalam suatu rumusan

kontemporer sesuai dengan tuntutan zaman. Berbagai persoalan ini, di

samping persoalan-persoalan lainnya, menadapatkan perhatian yang memadai

di dalam tafsir ini.

Karena itu tafsir Fi zilâl al-Qur‟ân dapat dikatagorikan sebagai tafsir

corak baru yang khas dan unik. Zhilal juga dapat dikatagorikan sebagai aliran

khusus dalam tafsir, yang dapat disebut sebagai “aliran tafsir pergerakan”.

Sebab metode pergerakan (al-manhaj al-haraki) tidak ada didapati selain

pada Zhilal. Ini adalah bagian dari beberapa keistimewaan Zhilal.

Sedangkan beberapa kelemahan Fi Zilâl al-Qur‟ân adalah terbatasnya

referensi Sayyid Quthub dalam menyusun karyanya ini. Faktor ini kemudian

berakibat banyaknya pendapat-pendapat pribadi yang sangat kental dengan

nuansa pada saat itu. Kemudian munculnya dikotomi hitam-putih, jahiliah

Islam, dalam kehidupan modern. Hal ini dapat dijelaskan bahwa siksaan

dalam penjara, fisik maupun kejiwaan, serta perasaan dikangkangi oleh

kekuasaan lain, membuat pikiran sejumlah penulis lebih radikal. Buku itu

dianggap sebagai titik balik Qutb dari pemikir moderat menjadi pemikir garis

keras. Penjelasannya yang terkadang berbau radikal sehingga dicurigai

sebagai kitab tafsir provokatif.29

29

Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilalil Qur‟an, Pengantar Memahami

Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân (Terj.Salafuddin Abu Sayyid, Laweyan: Era Intermedia, 2001), Cet.I,

hal. 243.

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

47

BAB IV

ANALISIS KOMPARASI TAFSIR AL-AZHÂR DAN FÎ ZILÂL AL-

QUR’ÂN TENTANG AYAT-AYAT TAWAKAL

Sebelum menjelaskan penafsiran Hamka dan Sayyid Quṭb tentang

tawakal. Terlebih dahulu penulis akan menyampaikan ayat-ayat yang berbicara

tentang tawakal di dalam al-Qur‟an. al-Qur‟an

Dalam kitab Mu‟jam Al Mufahras, kata tawakal dalam arti menyerahkan

urusan kepada Allah, disebutkan Alquran dalam berbagai bentuk sebanyak 59

kali, dalam 47 ayat dari 25 surat.1 Penyebutan kata ini dalam al-Qur‟an memiliki

konteks beragam yang mencakup berbagai aspek kehidupan. Mengingat

banyaknya ungkapan kata yang seakar dengan kata tawakal, maka penulis

membatasi kajian ini kepada 5 ayat. Ayat-ayat tersebut adalah seperti berikut:

1. Surah az-Zumâr Ayat 38

2. Surah at-Taghâbun Ayat 13

3. Surah at-Thalaq Ayat 3

4. Surah al-Anfâl, ayat 49

5. Surah al-Ahzâb, ayat 3

Ayat-ayat tersebut dipilih karena kondisi yang berbeda isim dan fi‟il dan

terdapat penafsiran tentang tawakal pada setiap ayat yang dikaji di dalam Tafsir

Al-Azhâr dan Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân agar penulis dapat mencari titik perbedaan

atau persamaan di antara kedua tafsir tersebut.

A. Penafsiran Tawakal dalam Tafsir Al-Azhâr dan Fî Zilâl al-Qur’ân

1. Surat az-Zumar Ayat 38: Hanya Kepada Allah Orang Mukmin

Bertawakal

م ق ه للا ن ق ي ض ن ز ال ات ب م ق انس ه ه خ م م ت ن أ ه س ئ ن

ه م س ثض وي للا اد ز ن أ إ ن للا ه د عن م د ب ت م م ت ي أ س ف أ

1 Muhammad Fu‟ad Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras lî Alfâd al-Qur‟an (Beirut: Dar

al-Fikr, 1994), h. 929-930.

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

48

ت م بت ز ح ك س م ه م م ة م ح س وي ث اد ز أ ي أ س بت ض ف بش ك

ن ه ك ت م م ان ك ت ي ي ه ع جي للا س م ح ق

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang

menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah".

Katakanlah: "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain

Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah

berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah

hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-

Nya?. Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku". Kepada-Nya-lah bertawakal

orang-orang yang berserah diri.

Pada permulaan ayat ini Hamka menjelaskan tentang kondisi hati manusia

itu sesungguhnya meyakini bahwa penguasa alam semesta ialah Allah yang Esa

tiada yang lain selain-Nya. Hamka menerangkan bahwa sekalipun ditanyakan

kepada orang-orang arab dahulu, siapakah pencipta langit dan bumi, mereka tidak

akan menjawab berhala al-Laata, atau „Uzza, atau Manaata yang besar, atau

berhala-berhala lain. Pasti mereka akan menjawab bahwa pencipta semua langit

dan bumi tidak ada lain dari Allah.2

Ketauhidan yang tertanam dari hati manusialah yang melahirkan keimanan

tinggi kepada Allah SWT. Inilah yang Hamka coba jelaskan dalam tafsirnya

bahwa konsep ketuhanan yang diyakini manusia akan dengan mudah

menghantarkannya kepada kesempurnaan iman yakni bertawakal kepada Allah.

Dalam ayat ini, meskipun orang-orang kafir menolak kebenaran bahwa

Allah sajalah yang dapat mendatangkan mudharat kepada seseorang, dan

begitupula mendatangkan rahmat kepada seseorang.3 Sehingga seringkali mereka

menggunakan perantara seperti memuja batu, kuburan, gunung, pohon, jin, dan

beragam hal lainnya yang mereka anggap dapat mengusir kesialan dan

mendatangkan kebaikan, namun bagi orang-orang yang bertawakal maka ia akan

menjawab "Cukuplah Allah bagiku", tak akan ada rasa takut dan kekhawatiran

yang menyelimuti hati orang-orang yang bertawakal. Karena ia percaya jika Allah

yang memberi rahmat maka tak akan ada kebhatilan yang dapat menghalanginya

2 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Pustaka Panji, Mas cet.II, 2000) Juz.XXIV, h. 51

3 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz.XXIV, h. 52

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

49

dan mencelakainya sebesar apapun, begitupun sebaliknya. Karena kesempurnaan

iman dan tauhid ialah bertawakal, yaitu berserah diri sebulat dan sepenuhnya

hanya kepada Allah saja.

Dalam penjelasan tafsir ayat ini, ia bercerita bahwa pada suatu hari Hamka

melewati suatu kampung yang warganya banyak terserang penyakit muntaber, dan

masyarakatnya diminta oleh dukun kampung menggantungkan daun jiluang atau

daun pandan musang di tiap-tiap atap rumah warga yang berfungsi sebagai

penangkal penyakit agar tidak dapat masuk kerumah. Dan kerap kali Hamka

melihat jika seorang perempuan muda yang sedang mengandung anak pertamanya

di tangga masuk kerumah harus di pakukan terompah besi kuda, yang bertujuan

sebagai penangkal dari gangguan hantu.4 Semuanya ini adalah bekas kepercayaan

zaman jahiliyah, yang apabila Iman, Tauhid dan Tawakal telah memenuhi jiwa

seseorang tidaklah ia akan berbuat demikian. Ia akan berupaya dengan cara yang

rasional menurut ilmu kesehatan, seperti berikhtiar menjaga kebersihan rumah

agar penyakit itu tak menular ke rumahnya.

Begitupun Quṭb, menjelaskan bahwa tidak ada yang dapat memungkiri

penciptaan Allah terhadap langit dan bumi, bahkan akal pun tak dapat membantah

nya, karena manusia telah diciptakan dengan fitrah yang baik. Dan lebih lanjut

Quṭb menjelaskan bahwa jika hati sudah yakin dan mantap dengan kuasa Allah,

bahwa tidak ada yang dapat melenyapkan kemudharatan dan mendatangkan

rahmat kecuali dengan kekuasaan Allah semata, maka selesailah persoalan,

berakhirlah perdebatan, dan sirnalah segala ketakutan, putuslah semua harapan

kecuali harapan kepada Allah SWT. Karena dialah yang mencukupi hambanya.

Dan hanya kepada-Nyalah kita berserah diri.5

Dan hanya dengan keyakinan inilah akan lahir, kepercayaan dan

ketentraman yang tidak mengenal ketakutan, kepercayaan yang tidak mengenal

kegundahan dan keyakinan yang tak mengenal goncangan. Kita akan berjalan

4 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz.XXIV, h. 53

5 Sayyid Qutbh, Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz XXIV h.84

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

50

menjalani lorong kehidupan dengan penuh rasa tenang sampai akhir perjalanan

yaitu akhirat kelak.

Dalam menafsirkan ayat ini Hamka dan Quṭb memiliki kesimpulan yang

sama ialah meyakini bahwa dalam konteks ayat ini, tak akan ada rasa takut dan

kekhawatiran yang menyelimuti hati orang-orang yang bertawakal. Karena ia

percaya jika Allah yang memberi rahmat maka tak akan ada kebhatilan yang dapat

menghalanginya dan mencelakainya sebesar apapun, begitupun sebaliknya.

2. Surah at-Taghaabun Ayat 13: Iman Melahirkan Sifat Tawakal

ن ى م ؤ م م ان ك ت ي ه ف هى للا ع إل ن ل إ للا

“(Dialah) Allah tidak ada Tuhan selain Dia. Dan hendaklah orang-

orang mukmin bertawakal kepada Allah saja.”

Pada permulaan ayat ini Hamka menjelaskan bahwa tauhid kepada Allah

merupakan pokok dari keimanan seseorang. Apabila keyakinan ini telah teguh

maka manusia beriman menjadi tahan menderita, kuat menhadapi segala

kesulitan. maka jika kita selalu meneguhkan kepercayaan atas ke-esaan Allah,

segala cita-cita dan segala tujuan, apapun musibah yang akan menimpa diri, asal

sudah ada tawakal, berpasrah dengan bulat, dengan sendirinya pula jiwa menjadi

kuat.6

Dengan tawakal bukan berarti pula manusia berhenti berusaha. Manusia

harus pula mengerahkan segala daya dan upaya sebagai insan, menggunakan

kecerdasan akal dengan sebaik-baiknya, dan diakhir baru menyadari bahwa

kepandaian, ikhtiar dan usahanya sangatlah terbatas. Sebab itu selebihnya hal-hal

yang diluar jangkauan manusia di serahkan kepada Allah. Dengan demikian, jika

maksud belum tercapai atau sesuatu rencana gagal ia tidak akan menyesal dan

mengeluh. Seab ia akan sangat percaya bahwa Allah yang lebih tau dari dia.

Quṭb menjelaskan bahwa hakikat dari tauhid merupakan asas dari segala

pandangan iman. Kepercayaan kepada Allah yang tiada tuhan selain Dia membuat

hati orang beriman akan selalu terpaut dan sadar akan kehendak Allah lebih besar

6 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz.XXVIII, h. 245

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

51

dari pada kehendak manusia, Dan hal itu menentukan bahwa segala bentuk

tawakal harus ditujukan kepada diri-Nya semata. Inilah salah satu bentuk

pandangan iman yang ada di dalam hati.7

Pada ayat ini, hasil dari sikap tawakal menurut Hamka adalah jiwa yang

kuat dalam menghadapi ujian hidup, serta sikap tidak mudah mengeluh dengan

apapun hasil yang Allah berikan. Sementara Quṭb lebih kepada kesadaran diri

bahwa kehendak Allah lebih besar dari pada kehendak manusia.

3. Surah at-Thalaq Ayat 3: Tawakal Dalam Mencari Rezeki Dan Usaha

Mencapai Suatu Tujuan

ف هى للا م ع ك ت ه ي م ت س ت ح ث ل ي ي ه ح م ق ش س ي

ا ز د ء ق ي م ش ك ن عم للا د ج ي ق س م غ أ بن ث إن للا ج س ح

“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan

barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan

mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan

urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan

ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”

Hamka menerangkan bahwa takwa dapat mendatangkan ketenangan hati,

thuma‟ninah dalam hati akan tumbuh sehingga kita akan bersabar ketika ujian

datang dan akan bersyukur ketika nikmat tiba. Maka ia bertawakal kepada Allah,

menyerahkan dengan sebulat hati dan yakin bahwa Allah tidak akan

mengecewakannya. Ini lah yang menyebabkan manusia tidak akan terputus dari

rahmat Allah. Perbedaan orang yang bertawakal ialah tidak akan pernah dijadikan

kering, ketika dekat akan kering, akan datang saja bantuan baru yang tidak di

sangka-sangka.8

Tidak ada satupun yang dapat menghambat dan menghalangi kehendak

Allah. Apa yang dikehendaki Allah itulah yang pasti berlaku. Demikian juga

halnya dalam rumah tangga ada seribu satu banyaknya ujian didalam ibadah ini.

7 Sayyid Qutbh, Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz XXVIII, h.300.

8 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz.XXVIII, h. 269

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

52

Kesukaran bisa datang di awal bisa juga datang di akhir. Dan kita harus ingat

bahwa semuanya itu tuhanlah yang menentukan, bukan mausia. Manusia hanya

berhenti pada tahap berupaya dengan baik. Adapun hasil tetap Allah sajalah yang

menentukan. Rumah tangga panjang atau pendek, dihadirkan keturunan atau

tidak, siapa yang mati di awal dan mati di akhir. Bahkan penentuan jodoh

sekalipun pada hakikatnya Tuhan jualah yang menentukan. Oleh sebab itu takwa

dan tawakal adalah sebab mutlak bagi kebahagiaan rumah tangga.

Pada ayat ini Quṭb menjelaskan bahwa permulaan ayat ini masih berkaitan

dengan pangkal ayat ke dua, yang merupakan kelanjutan jawaban dari ayat ke dua

yakni syarat untuk mandapat pertolongan dan rizki dari Allah adalah dengan

ketakwaan. Namun takwa disini bukan berarti takwa yang dilakukan dengan

pamrih, Allah mengisyaratkan sifat takwa yang merupakan ibadah hati ini

dilakukan dengan hanya mengharap ridha dari Allah saja. Maka jika ketakwaan

itu telah tumbuh dengan sendirinya Allah memberi nya jalan keluar dari setiap

kesempitan dan kesulitan di dunia dan di akhirat. Juga diberikan kepadanya rizki

yang tidak pernah dibayangkan dan dinantikannya.9

Lebih khusus ayat ini menjelaskan tentang perkara talak bukanlah perkara

yang sepele dan main-main, tidak ada yang dapat menhentikan seseorang dari

perbuatan yang dibenci Allah ini selain ketakwaan kepada Allah dan perasaan

paling dalam dari hati nurani. Karena konspirasi dan tipu daya setan sangatlah

banyak dan berat dalam hubungan perkawinan.10

Agar terhindar dari tipudaya syaitan maka ayat ini mengisyaratkan untuk

bertawakal kepada Allah, karena Ia pasti menjamin segala kecukupan bagi orang-

orang yang bertawakal kepadanya-Nya dan menuntaskan serta menyempurnakan

segala urusannya.

Setiap sesuatu telah ditentukan sesuai dengan ukurannya, waktunya,

tempatnya, kandungan-kanduganya, hasil-hasilnya, dan sebab-sebabnya. Tidak

9 Sayyid Qutbh, Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz XXVIII, h. 317.

10 Qutbh, Fî Zilâl al-Qur‟ân, h. 318.

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

53

ada sesuatupun yang terjadi secara kebetulan, tidak ada sesuatupun yang sia-sia

dalam seluruh alam semesta ini begitupun dalam jiwa manusia dan kehidupannya.

Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Furqân ayat 2

ا يس د ق ت ي ز د ق ء ف ي م ش ق ك ه خ

“Dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan

ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”

Dan suarah al-Qamar ayat 49

دز ق ث بي ى ق ه ء خ ي م ش ب ك و إ

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”

Pada penjelasan ayat ini Hamka dengan tegas menelaskan Perbedaan orang

yang bertawakal ialah tidak akan pernah dijadikan kering, ketika dekat akan

kering, akan datang saja bantuan baru yang tidak di sangka-sangka, menyebabkan

manusia tidak akan terputus dari rahmat Allah.

Begitupun dengan Quṭb menekankan jika ridha atas keputusan Allah maka

Allah memberi nya jalan keluar dari setiap kesempitan dan kesulitan di dunia dan

di akhirat. Juga diberikan kepadanya rizki yang tidak pernah dibayangkan dan

dinantikannya

4. Surah al-Anfal Ayat 49: Tawakal dalam Menghadapi Musuh

ء ل ؤ س سض غ م م ث ه يه في ق ر ان ن ق بف ى م ل ان ق ذ ي إ

يم ك يص ح ص ع ن للا ئ ف هى للا م ع ك ت ه ي م م يى د

Artinya: (Ingatlah), ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada

penyakit di dalam hatinya berkata: "Mereka itu (orang-orang mukmin) ditipu

oleh agamanya". (Allah berfirman): "Barangsiapa yang bertawakal kepada

Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".

Hamka menjelaskan, setelah diteliti dari riwayat dan sirah Rasul, terutama

dalam peperangan Badar, beberapa orang dalam kelompok Quraisy itu hendak

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

54

memerangi Nabi Muhammad, tetapi hati mereka tidak begitu bulat dan teguh.

Bersama mereka itu pula ada pula orang-orang yang hatinya sakit dan dendam.

Mereka dari dua golongan ini setelah melihat kaum Muslimin yang sedikit yaitu

300 orang telah menyepele kaum Muslimin dengan sombong mereka berkata:

“Telah menipu kepada mereka agama mereka”.

Padahal ini bukanlah karena tertipu oleh agama, melainkan karena

tebalnya iman yang diterangkan Allah pada akhir ayat: “Barangsiapa bertawakal

kepada Allah, ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana”. Soal ini

bukanlah soal tertipu oleh agama. Melainkan soal dari sekelompok ummat yang

telah menyerahkan diri sepenuh-penuhnya dan sebulat-bulatnya kepada Allah.11

Sebab tawakal itu adalah puncak tertinggi atau pucuk terakhir dari iman.

Kalau iman sudah matang, tawakal pasti timbul dengan sendirinya. Belum berarti

pengakuan iman kalau belum tiba di puncak tawakal. Maka apabila seseorang

Mukmin telah bertawakal yakni berserah diri kepada Allah, terlimpah ke dalam

dirinya sifat „Aziz yang ada pada Allah, maka merekapun menjadi gagah dan

semangat pula. Mereka tidak takut lagi menghadang maut. Dan terlimpah kepada

mereka pengetahuan Allah, maka merekapun mendapat ilham dari Allah untuk

mencapai kemenangan.

Maka baik munafiqin Quraisy dan orang-orang yang sakit hati di zaman

Rasul di perang Badar itu, mereka katakan bahwa kaum Muslimin telah ditipu

oleh agama mereka. Padahal ini bukan urusan kena tipu oleh agama, melainkan

urusan iman yang telah sampai di puncak, yaitu tawakal. Kalau tawakal sudah

datang, betapa besarpun musuh, mereka tidak peduli lagi. Orang yang sudah

bertawakal kepada Allah, hidup syukur, matinya syahid. Daripada hidup

bercermin bangkai, baiklah mati berkalang tanah. Kalau sudah sampai di suasana

yang demikian, diripun menjadi gagah, karena telah dipercik oleh sifat „Aziz

Allah dan disinari sifat Hakim Allah.12

Quṭb pula menceritakan tentang kondisi kaum munafik di Makkah saat

perang Badar kala itu yang mengatakan bahwa mereka adalah sekelompok orang

11

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 4, hlm. 2780. 12

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 4, hlm. 2781.

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

55

yang cenderung kepada agama Islam sewaktu di Makkah. Namun aqidahnya

belum benar dan hatinya belum mantap. Mereka keluar dengan rombongan kaum

Musyrikin dengan hati yang tidak mantap kepada Islam. 13

Melihat pasukan Musyrikin dengan bangga menjerumuskan diri mereka

sendiri karena melihat jumlah pasukan orang-orang Muslimin yang sedikit

sementara jumlah kaum Musyrikin lebih banyak. Oleh karena itu pula mereka

menganggap orang-orang Islam tertipu oleh agamanya sendiri. Sesungguhnya

mereka orang-orang munafik yang ada penyakit di dalam hatinya tidak benar-

benar mengetahui hakikat sebab-sebab kemenangan dan kekalahan, mereka

melihat segala sesuatu dari segi lahiriyah (yang tampak) saja. Juga tanpa

merasakan kekuatan tersembunyi dalam akidah kepercayaan kepada Allah SWT.

Quṭb menjelaskan pandangan orang munafik yang yang kososng dari iman

membuat mereka hanya melihat lahiriyyah saja. Sementara inilah yang diketahui

hati orang beriman yang menjadikannya tenang dan mantap tidak gentar melihat

pasukan musuh yang lebih besar jumlahnya. Di dalam hati mereka mentertawakan

kaum Muslimin yang dianggapnya berani menerjang bahaya dan menganggap

remeh mereka. Merekapun merasa heran mengapa kaum Muslimin begitu berani

menyengsarakan diri mereka yang jelas-jelas akan merugikan mereka dengan

kebinasaan. Karena kaum musrikin mengaggap kehidupan ini secara keseluruhan

termasuk agama dan akidah, termasuk komoditas di pasar dagang. Jika tampak

menguntungkan mereka maju, dan jika tampak membahayakan mereka meilih

keselamatan diri mereka yang utama.

Mereka tidak melihat urusan dengan pandangan batin orang beriman,

mereka tidak menimbang keberhasilan dengan timbangan iman Sementara

persiapan kaum Muslimin yang pokok adalah akidah agama ini, yaitu akidah yang

memotivasi dan memancarkan semangat tanpa rasa takut. Itulah pancaran tawakal

dari hari orang-orang yang beriman.

Hamka menjelaskan bahwa buah dari tawakal kepada Allah dalam ayat ini

ialah keberanian dan sikap tak gentar menghadapi musuh sebesar apapun.

13

Qutbh, Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz.X, h.212.

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

56

Begitupun Quṭb bahwa orang yang bertawakal melihat dengan pandagan

keimanan yang terpancar dari akidah yang kuat dan melahirkan semangat tanpa

rasa takut.

5. Surah al-Ahzab, ayat 3: Tawakal Sebagai Sifat Orang Yang Beriman

يل ك بلل فى ث ك هى للا م ع ك ت

“Dan bertawakallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai

Pemelihara”.

Hamka menafsirkan pada pangkal ayat ini, Allah telah memerintahkan

Rasulullah SAW supaya menyerahkan dirinya sebulat bulatnya kepada Allah

dengan penuh kepercayaan dan jangan bimbang. Harus yakin bahwasanya jalan

yang ditunjukkan Allah itulah jalan yang benar, tidak ada jalan lain. Dan cukuplah

kepada Allah saja bertawakal.

Ayat ketiga dari surah al-Ahzab ini adalah pegangan hidup bagi Rasul dan

bagi tiap orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.14

Pendirian

yang tegas dan pegangan yang teguh, berani menghadapi segala kemungkinan di

dalam mempertahankan pendirian. Itu sebabnya maka pada ayat yang pertama

dari surah al-Ahzab ini diperingatkan kepada Rasul sendiri agar beliau sekali-kali

jangan mengacuhkan dan mengikuti kehendak dan permintaan orang yang telah

nyata kafir, apatah lagi munafik. “Bertawakallah kepada Allah”, artinya ialah

bahwa tempat bertanggung jawab hanya semata-mata Allah.

Begitupula Quṭb menafsirkan bahwa Rasulullah diperintahkan untuk tidak

memikirkan orang-orang kafir dan munafik yang menentangnya. Sebaliknya

Allah memerintahkan Rasul untuk bertawakal dengan sepenuh hati karena Allah

lah yang akan mengatur dan memberikan jalan keluar dari kegundahan.15

Jadi mengembalikan urusan kepada Allah dan bertawakal kepadanya pada

akhirnya adalah kaidah kokoh yang menenangkan, di mana hati akan selalu

merasa tenang. Pada titik itulah hati akan menyadari betapa terbatasnya

kemampuan manusia. Maka setelah berupaya dengan sungguh-sungguh, langkah

14

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 8, hlm. 5629. 15

Qutbh, Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz.XXI, h.217.

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

57

selanjutnya hanyalah memasrahkan diri dengan kehendak-Nya, bukan berarti

berserah tanpa berupaya terlebih dahulu.

Kesimpulan dari ayat ini ialah Hamka dan Quṭb sama-sama menjelaskan

bahwa Allah memerintahkan Rasul untuk bertawakal dengan sepenuh hati karena

Allah lah yang akan mengatur dan memberikan jalan keluar dari kegundahan.

B. Kisah Hamka dan Quṭb Dalam Mengaplikasikan Tawakal

Semasa hidupnya Hamka juga mengalami kepahitan-kepahitan dalam

menjalankan dakwahnya. Tepatnya pada hari Senin, 12 Ramadhan 1383,

bertepatan dengan 27 Januari 1964, Hamka mengadakan pengajian mingguan di

Masjid Agung Al-Azhâr terhadap kira kira 100 orang kaum ibu, membahas QS

Al-Baqarah 255, atau ayat al-Kursi. Pukul 11 siang selesailah pengajian dan

Hamka kembali ke rumah melepas lelah sejenak menunggu datangnya waktu

Dzuhur.

Pada saat istirahat itulah empat orang menjemput Hamka untuk ditahan,

setelah sebelumnya menyerahkan surat tugas penahanan. Setelah empat hari

dalam tahanan, barulah Hamka diperiksa dengan tuduhan: merencanakan

membunuh Menteri Agama H. Saifuddin Zuhri, hendak mengadakan coup d‟etat,

menghasut mahasiswa agar meneruskan pemberontakan Kartosuwiryo, Daud

Beureuh, M. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara.16

Lain yang difikirkan Hamka, lain pula rencana Allah. Allah rupanya

menghendaki agar masa terpisah dari anak istri, dan masyarakat dua tahun, dapat

digunakan Hamka menyelesaikan pekerjaan berat, yaitu menafsirkan al Qur‟an.

Dengan petunjuk dan hidayah Allah, beberapa hari sebelum dia dipindahkan ke

dalam tahanan rumah, penafsiran al-Qur‟an 30 Juz telah selesai. Semasa dalam

tahanan rumah dua bulan lebih, Hamka mempergunakan pula buat menyisip mana

yang masih kekurangan.17

Hamka merasa bersyukur, meskipun harus melewati hari-harinya di balik tirai

besi. Betapa tidak, karena fitnah dan hasad manusia Hamka hidup terpencil.

16

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 1, hlm. 66-67. 17

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 1, hlm. 70.

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

58

Padahal dalam masa terpencil itulah beliau dapat berkhalwat dan beribadah lebih

khusyu‟. Saat-saat senggang yang begitu luas, malamnya dapat digunakan buat

ibadah, munajat dan tahajjud. Siang yang panjang dapat digunakannya buat

mengarang, tafakkur dan muthala‟ah.18

Demikianlah, penjara itu membawa

hikmah yang besar buat Hamka, pekerjaan menulis Tafsir Al-Azhâr telah selesai.

Hamka mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum MUI (Majlis Ulama

Indonesia), pada Mei 1981. Lewat MUI, beliau berfatwa: Umat Islam diharamkan

menghadiri perayaan Natal. Namun pemerintah agaknya berkeberatan terhadap

fatwa itu, dan memerintahkan agar MUI mencabut fatwa tersebut. Bagi Hamka,

walau langit runtuh, kebenaran harus tetap disampaikan. Haram bagi seorang

muslim berbuat munafik hanya semata mata karena sebuah jabatan. Fatwa

memang ditarik oleh MUI dengan embel embel tanpa tekanan. Sambil

mengucapkan selamat tinggal, Hamka berujar: “Fatwa boleh dicabut, tetapi

kebenaran tak bisa diingkari”.

Begitupun dengan Quṭb, pada Juli 1952, Quṭb mendukung Gerakan Perwira

Bebas yang dipimpin Gamal Abdel Nasser untuk menjatuhkan raja dan

menggantinya dengan sistem presidensial. Selama kudeta berlangsung, Quṭb dan

Nasser sangat dekat bagai seorang sahabat. Dalam beberapa kesempatan, Nasser

kerap mengunjungi rumah Quṭb dan berdiskusi soal revolusi. Hubungan ini

membuat Ikhwanul Muslimin berharap agar Nasser melahirkan pemerintahan

yang Islami. Namun, hal itu ternyata tidak terjadi, sebab Nasser memilih ideologi

nasionalis sekular yang sangat bertentangan dengan Ikhwanul Muslimin.

Rupanya, Nasser mempersiapkan agenda rahasia di dalamnya sebelum

menduduki jabatan sebagai presiden. Hal itu disadari Quṭb dan memutuskan

mundur, namun Nasser bersikeras agar Quṭb tetap berada dalam satu barisan

dengan menawarinya sebuah jabatan. "Kami akan memberikan posisi apapun

yang kamu inginkan di pemerintahan, apakah itu Menteri Pendidikan, Menteri

Kesenian, atau lainnya," ujar Nasser saat itu. Namun, tawaran-tawaran itu

ditolaknya. Quṭb kesal karena Nasser telah mengecewakannya. Hingga suatu

18

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 1, hlm. 72.

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

59

ketika, Mesir dikejutkan dengan berita rencana pembunuhan Nasser oleh

kelompok Ikhwanul Muslimin.

Terungkapnya rencana tersebut membuat Nasser menuduh seluruh anggota

Ikhwanul Muslimin terlibat. Kemudian, Quṭb diburu militer dan dijebloskan ke

penjara. Tiga tahun pertama dalam penahanan, kondisinya sangat buruk serta

menjalani pelbagai penyiksaan. Dan dibebaskan pada 1964.

Pengalaman Quṭb hari-hari pertama dia ditahan: “Jangan gentar menghadapi

kesukaran, karena dalam kesukaran itu pasti ada kemudahan, asal kita

mempergunakan otak buat memecahkannya. Sungguh, Allah tidak akan

mengecewakan orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”

Setelah delapan bulan menghirup udara bebas, atas perintah Perdana Menteri

Irak, Abdul Salam Arif, Quṭb lagi-lagi dipenjara atas tuduhan yang sama. Selama

sidang berlangsung, dia diberikan berbagai macam tuduhan hingga pengadilan

memvonis hukuman mati. Dia akhirnya tewas di tiang gantungan pada 29

Agustus. Salah satu kata-katanya yang paling terkenal adalah, "Semua akan

kembali pada Allah ketika mati, tapi yang berbahagia adalah orang yang dekat

dengan Allah semasa hidupnya."

Setelah penulis teliti dari berbagai penafsiran kata tawakal menurut Hamka

dan Quṭb, penafsiran kata tawakal itu hampir sama. Menurut Quṭb tawakal adalah

berserah dengan hati dengan melakukan usaha atau ikhtiar dengan anggota tubuh.

Tawakal juga menampakkan kelemahan seseorang dalam suatu perkara, maka ia

pergi kepada orang yang lebih kuat dan bergantung kepadanya. Maka tawakal itu

adalah gabungan antara usaha dan berserah diri kepada yang lebih kuasa yaitu

Allah SWT.

Hamka pula menyebut bahwa tawakal itu adalah menyerahkan keputusan dari

segala usaha dan ikhtiar kepada Allah SWT, berserah kepada Allah sebulat-

bulatnya ketika menunggu hasil dari segala usaha dan ikhtiar tersebut. Tawakal

mesti disertai dengan syukur dan sabar. Tawakal itu mesti diiringi dengan syukur

dan sabar. Syukur, jika apa yang dikehendaki tercapai, sabar jika hasil yang

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

60

didapat masih mengecewakan dan ikhlas menyerahkan diri kepada Allah,

sehingga hidayah-Nya selalu turun dan kita tidak kehilangan akal.

Secara keseluruhannya, orang yang bertawakal kepada Allah tidak akan

berkeluh kesah dan gelisah. Ia akan selalu berada dalam ketenangan dan

ketentraman dan kegembiraan. Jika ia memperoleh nikmat dan karunia adari Allah

SWT, ia akan bersyukur dan jika tidak ia akan bersabar. Ia menyerahkan semua

keputusan, bahkan dirinya sendiri kepada-Nya. Penyerahan itu dilakukan dengan

sungguh-sungguh dan semata-mata karena Allah SWT. Namun tidak berarti orang

yang bertawakal harus meninggalkan semua usaha dan ikhtiar. Usaha dan ikhtiar

itu harus tetap dilakukan, sedangkan keputusan terakhir di serahkan kepada Allah

SWT.

C. Aktualisasi Nilai-Nilai Tasawuf Konsep Tawakal dalam Spiritualitas

Kehidupan

Manusia di era global, dan sebagai konsekuensi modernisasi, melepaskan diri

dari keterikatannya dengan Tuhan (theomorphisme), untuk selanjutnya

membangun tatanan manusia yang semata-mata berpusat pada manusia

(anthropomorphisme). Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri, yang

mengakibatkan terputusnya mereka dari nilai-nilai spiritual.19

Setiap orang didorong berjuang keras menjadi pekerja sukses dan kaya demi

penegasan akan keberhasilannya itu. Kemakmuran melambangkan nilai jualnya

yang tinggi dan dihargai di pasar. Kemiskinan dimaknai sebagai sebaliknya.

Kebaikan, kejujuran, kesetiaan pada kebenaran dan keadilan dipandang tidak

bernilai jika tidak memberikan manfaat bagi kesuksesan dan kemakmuran. Sejauh

kondisi ekonominya tidak makmur, dia dinilai belum sukses.

Manusia modren tidak lagi berpijak pada kualitas kemanusiaan, melainkan

oleh keberhasilannya dalam mencapai kekayaan materil. Keadaan ini

memalingkan kesadaran manusia sebagai makhluk termulia. Keutamaan dan

kemuliaannya menyatu dengan kekuatan kepribadiannya, bukan bergantung pada

19

Muhkhibat, Spiritualisasi dan Konfigurasi Pendidikan Karakter Berparadigma

Kebangsaan dalam Kurikulum 2013, (Al-Ulum: Jurnal Studi Islam, vol 14, no 1. Juni 2014), hal

24

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

61

sesuatu di luar dirinya. Karena itu, masyarakat modern mengalami kehampaan,

dan mengalami hidup yang tidak bermakna. Kehadirannya bergantung pada

pemilikan dan penguasaan pada simbol kekayaan. Hasrat mendapatkan harta yang

berlimpah melampaui komitmennya terhadap solidaritas sosial, hal ini didorong

pandangan bahwa orang banyak harta merupakan manusia unggul.

Tujuan akhir terpenting dari tasawuf adalah lahirnya akhlak yang baik dan

menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Tasawuf menjadi obat yang

mengatasi krisis kerohanian manusia yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga

ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan

atas makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Tasawuf sebagai

khazanah moralitas luhur, dimaksudkan bukan hanya untuk mencapai ketenangan

dan kebahagiaan diri sendiri saja tetapi juga dimaksudkan memiliki dampak-

dampak sosial yang membangun. 20

Di sinilah perlunya transformasi tasawuf dalam konteks dinamika sosial.

Praktek tasawuf tidak dilakukan dengan menyembunyikan diri dari fenomena

sosial untuk memburu kenikmatan spirirtual individual (hedonisme spiritual)

tetapi praktek tasawuf dituntut untuk menjadi rahmat bagi masyarakat melalui

spiritualitas diri. Artinya, tasawuf dapat diperankan sebagai basis moral dalam

sikap mental dan pola pikir, sehingga kehidupan keseharian yang berkualitas.21

Dalam prakteknya, tawakal sangat dapat diterapkan dalam nilai-nilai

spiritualitas kehidupan. Karena dengan mengaplikasikan tawakal berarti manusia

menyerahkan diri kepada kehendak Allah. Ia tidak memikirkan hari esok, baginya

cukup apa yang ada untuk hari ini. Tawakal adalah suatu kondisi yang

menggabungkan antara ilmu dan iman. Tidak mungkin seorang hamba tidak

membutuhkan tawakal, baik tawakal kepada Allah yang di Tangan-Nya

kekuasaan atas segala sesuatu, atau tawakal kepada sesama makhluk yang lemah

seperti dirinya. Tidak memiliki kuasa memberikan manfaat atau bahaya. 22

20

Syafiq A Mughni, Nilai-nilai Islam: Perumusn Ajaran dan Upaya Aktualisasi,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 182 21

Asep Usmar Ismail, dkk, Tasawuf , (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Jakarta, 2005),

hal. 111 22

Amir An-Najar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf , (Jakarta: Pustaka Azam, 2004), hal 238

Page 75: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

62

Manfaat tawakal adalah dapat 1) Ketenangan jiwa dan rehat hati. 2)

Kecukupan dari Allah segala kebutuhan orang yang bertawakal. 3) Mewariskan

kesabaran, ketahanan, kemenangan dan kekokohan. 4) Mewariskan rezeki, rasa

ridha. Sementara contoh perilaku tawakal antara lain:

Selalu bersyukur apabila mendapatkan nikmat (keberhasilan/kesuksesan

dll) dari Allah swt, dan bersabar apabila mendapatkan musibah.

Tidak berkeluh kesah dan gelisah ketika berusaha dan beriktiar

Selalu berusaha dan berikhtiar dengan maksimal, selanjutnya bertawakal

kepada Allah swt

Tidak mudah berputus asa dalam berusaha

Menerima segala ketentuan Allah swt dengan rasa ikhlas dan ridha.

Berusaha memperoleh sesuatu yang dapat memberikan manfaat kepada

orang lain.

D. Bentuk-Bentuk Tawakal Para Nabi dan Sahabat

Tawakal adalah akhlak agung yang sangat dibutuhkan seorang hamba

dalam menjalankan setiap urusannya, baik urusan agama atau urusan duniawi.

Meskipun ia telah dianugerahi kekuatan, kemampuan dan tenaga, akan tetapi

sesungguhnya tidak ada daya dan kekuatan bila ia tidak memperoleh taufik dan

pertolongan Allah Swt. Allah memerintahkan bertawakal dalam firman-Nya:

كها إن كىتم مؤمىيه فت عهى للا

Dan bertawakallah kamu kepada Allah, jika kamu orang-orang beriman (Q.S al-

Mâidah: 23)

1. Tawakalnya Rasulullah Saw.

Kisah Rasulullah Saw. di perang Hunain, perang yang terjadi pasca Fathu

Makkah (penaklukan kota Mekah), Rasulullah Saw. tetap gigih di medan laga,

saat kebanyakan orang yang bersama beliau kocar-kacir oleh sergapan panah

musuh.

Dalam Shahîhain, Barâ bin „Azib r.a menyebutkan bahwa ada seorang lelaki

bertanya kepadanya,” Wahai Abu „Amarah, apakah kalian melarikan diri di

perang Hunain? Jawabnya: (Ya), akan tetapi Rasulullâh tidak. Suku Hawâzin

Page 76: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

63

kaum ahli panah. Ketika menghadapi mereka, kami berhasil memukul mundur

mereka. Orang-orang pun berpaling menuju harta rampasan perang. Ternyata,

mereka (suku Hawâzin), dengan tiba-tiba menghujani kami dengan anak panah

sehingga orang-orang (Sahabat) kalah. Aku menyaksikan Rasulullâh dengan Abu

Sufyân bin Hârits yang memegang tali kendali keledai putih beliau.23

Beliau

meneriakkan:

أوب انىجي ل كرة أوب اثه عجد انمطهت

Aku seorang nabi tidak dusta. Aku putra `Abdul Muththalib [HR al-Bukhâri,

Muslim, dan at-Tirmidzi]

Setelah membawakan hadits ini, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah

mengatakan dalam tafsirnya: “Ini adalah puncak Tawakal dan keberanian yang

sempurna. Dalam keadaan perang yang sengit, pasukan beliau yang telah terpukul

mundur, hanya dengan menunggangi keledai, hewan yang tidak bisa lari kencang,

tidak mampu dipakai bergerak maju mundur untuk menyerang atau melarikan

diri, beliau menerobos ke tengah mereka sambil meneriakkan nama beliau. Hal

itu, agar orang yang tidak mau mengenal beliau sampai hari Kiamat sudah tahu

tentang beliau. Ini semua tiada lain karena kepercayaan dan tawakal beliau kepada

Allah Swt. dan serta karena beliau yakin bahwa Allah akan menolongnya,

menyempurnakan risalahnya dan memenangkan agamanya di atas seluruh

agama”24

2. Tawakalnya Nabi Ibrahim

Sikap ini tercermin dalam kisah beliau „alaihissallam saat berdakwah

mengajak manusia untuk bertauhid dan mengesakan Allah Swt. namun

kebanyakan menolaknya dengan penuh kenistaan. Ketabahan Nabi Ibrahim ini

menjadi teladan bagi setiap dai dalam mengajak manusia menuju jalan yang

diridhai Allah. Kisah ketabahan Nabi Ibrahim diabadikan dalam al-Qur‟an melalui

firman-firman-Nya. Meskipun kaumnya dengan kuatnya untuk membakar dirinya,

namun Nabi Ibrahim tetap tabah dan menyerahkan segala perkara kepada Allah

Subhanahu wa Ta‟ala. Sebagaimana firman Allah:

23

Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430H/2009, h.34 24

Tafsîr Ibnu Katsîr Jilid II, h.357

Page 77: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

64

مب تعمهن. قبنا اثىا ن ثىيبوب فأنقي في انجحيقبل أ خهقكم للا م. تعجدن مب تىحتن.

م السفهيه كيدا فجعهىب فأزادا ث

Ibrahim berkata: “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat

itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.

Mereka berkata: “Dirikanlah suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim;lalu

lemparkanlah dia ke dalam api yang menyala-nyala itu”. Mereka hendak

melakukan tipu muslihat kepadanya, maka Kami jadikan mereka orang-orang

yang hina. (QS. Ash-Shaffat: 95-98).

As-Suddi rahimahullah berkata: “Mereka menahannya dalam sebuah

rumah. Mereka mengumpulkan kayu bakar, bahkan hingga seorang wanita yang

sedang sakit bernadzar dengan mengatakan „sungguh jika Allah Swt. telah

memberikan bagiku kesembuhan, maka aku akan mengumpulkan kayu bakar

untuk membakar Ibrahim‟. Setelah kayu bakar terkumpul menjulang tinggi,

mereka mulai membakar setiap ujung tepian dari tumpukkan itu, sehingga apabila

ada seekor burung yang terbang di atasnya niscaya ia akan hangus terbakar.

Mereka mendatangi Nabi Ibrahim kemudian mengusungnya sampai di puncak

tumpukan tinggi kayu bakar tersebut”. Riwayat lain menyebutkan, ia diletakkan

dalam ujung manjaniq.25

Nabi Ibrahim mengangkat kepalanya menghadap langit, maka langit,

bumi, gunung-gunung dan para malaikat berkata: “Wahai, Rabb! Sesungguhnya

Ibrahim akan dibakar karena (memperjuangkan hak-Mu)”26

Pada saat Nabi Ibrahim diletakkan di ujung manjaniq, ia dalam keadaan

terbelenggu dengan tangan di belakang. Kemudian kaumnya melemparkan Nabi

Ibrahim ke dalam api, dan ia pun berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, dan Dia

sebaik-baik Penolong”. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari

Sahabat Ibnu Abbas, ia berkata:

كيم حسجىب هللا وعم ان

Cukuplah Allah bagi kami dan Dia sebaik-baik penolong.27

25

Tafsir ath-Thabari, Juz 9, hal: 43 26

Fathul-Bari, Juz 6, hal: 483 27

Shahih Bukhari dan Fathul-Bari, Juz 8, hal: 288, no. 4563

Page 78: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

65

Demikianlah, Nabi Ibrahim sangat yakin dengan kebesaran, pertolongan

dan perlindungan Allah, karena beliau sedang memperjuangkan hak Allah yang

terbesar, yakni tauhid dalam beribadah kepada-Nya.

3. Tawakalnya Siti Hajar

Ketika Ismail baru saja dilahirkan dan dalam penyusuan ibunya (Hajar), Nabi

Ibrahim membawa keduanya menuju Baitullah pada dauhah (sebuah pohon

rindang) di atas zam-zam. Saat itu, tidak ada seorangpun di Makkah, dan juga

tidak ada sumber air.

Nabi Ibrahim meninggalkan jirab, yaitu kantung yang biasa dipakai untuk

menyimpan makanan. Kantung itu berisi kurma untuk keduanya. Juga

meninggalkan siqa` (wadah air) yang berisi air minum. Kemudian Nabi Ibrahim

berpaling dan pergi. Diantara munajat Nabi Ibrahim sebelum meninggalkan anak

dan istrinya adalah:

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya Aku telah menempatkan keturunanku di lembah

yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang

dihormati" (QS. Ibrahim: 37).

Hajar mengikutinya sembari berkata:

“Wahai, Ibrahim! Kemana engkau akan pergi meninggalkan kami di lembah yang

sunyi dan tak berpenghuni ini?” Hajar mengulangi pertanyaan itu berkali-kali,

namun Ibrahim tidak menoleh, tak pula menghiraukannya. Kemudian Hajar pun

bertanya: “Apakah Allah Subhanahu wa Ta‟ala yang telah memerintahkan

engkau dengan ini?”

"Iya!" jawab Nabi Ibrahim.

"Kalau begitu, pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan kita!" sambut Hajar dengan

mantap dan yakin.28

Ungkapan terakhir seorang Hajar inilah yang hendak kita jadikan inspirasi

dalam sikap tawakal. Ini adalah kalimat yang agung yang penuh makna dan

bertenaga. Menariknya lagi, kalimat ini terucap dari lisan seorang wanita dalam

28

http://adnan-kisahkasihibu.blogspot.com/2012/07/pelajaran-tawakkal-siti-hajar-ibunda.html

Page 79: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

66

segala keterbatasan kondisinya. Intinya hanyalah satu, jika suatu perkara memang

telah menjadi perintah Allah yang harus ia ta'ati, maka pasti akan berujung pada

kebaikan dan keberkahan yang melimpah, pasti akan berujung pada keajaiban-

keajaiban hidup yang luar biasa. Sekalipun secara logika tidak masuk. Sekalipun

secara hitung-hitungan manusia terkesan mustahil.

Saat Ibrahim tak lagi kelihatan, Siti Hajar memandang semua wilayah di

lembah, kosong, gersang dan sangat panas. Wanita berhati mulia ini pun berlari

dari bukit Shafaa ke bukit Marwa sebanyak tujuh kali untuk mencari perbekalan

dan berharap bertemu sufi yang akan membantunya. Sayang, ia tidak menemukan

apapun.

Di tengah kebingungan juga kegelisahan yang menyelimuti hati juga

pikirannya, Allah memberikan mukjizat-Nya. Dari bawah kaki Ismail kecil yang

sedang menangis kehausan, muncul sumber mata air yang kini dikenal sebagai

mata air Zam-Zam. Air itulah yang membantunya bertahan. Tak hanya muncul

air, beberapa waktu kemudian juga lewat beberapa sufi yang akhirnya

membantunya mengatasi segala kesulitan di lembah gersang.

Siti Hajar adalah sosok yang begitu tegar, tabah juga senantiasa

bertawakal hanya kepada Allah semata. Ia juga menjadi cerminan sebagai seorang

istri yang kuat dan tak mudah putus asa meski kesulitan bertubi-tubi menimpanya.

4. Tawakalnya Ibnu Mas’ud

Abdullah bin Mas‟ud radhiyallahu „anhu. Beliau adalah salah satu ulama dari

para sahabat, salah satu orang-orang yang pertama kali masuk Islam, beliau ikut

serta dalam kedua hijrah ke Habasyah, ikut serta dalam perang Badar, uhud dan

peperangan lainnya bersama Rasulullah, beliau termasuk salah satu sahabat

terdekat dengan Nabi, beliau dikirim oleh Umar bin Khatthab ke Kufah untuk

mengajari agama Islam kepada mereka. Di dalam Shahihain beliau meriwayatkan

848 hadits.

Kisah keberanian beliau ketika membaca Al-Qur‟an terang-terangan.

Muhammad bin Ishaq mengisahkan; Yahya bin „Urwah bin Zubair menceritakan

Page 80: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

67

dari ayahnya berkata, “Orang pertama yang membaca Al-Qur‟an terang-

terangan setelah Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam adalah Abdullah bin

Mas‟ud.” Beliau mengisahkan:

Suatu hari sekelompok sahabat berkumpul, salah seorang mereka berkata,

“Kaum Quraisy belum pernah mendengar Al-Qur‟an ini dibaca terang-terangan,

adakah orang diantara kalian yang bisa meperdengarkan Al-Qur‟an kepada

mereka?” Abdullah bin Mas‟ud berkata, “Aku” mereka berkata, “Kami takut

mereka menyakitimu, yang kami mau adalah orang yang memiliki banyak kerabat

yang bisa membelanya jika mereka mencelakainya.” Ibnu Mas‟ud berkata, “Biar

aku melakukannya, karena Allah yang akan membelaku.”

Esok harinya Ibnu Mas‟ud keluar di waktu dhuha ketempat perkumpulan

Quraisy, ketika ia sampai, ia membaca:

حمه ) حيم. انس حمه انس انس 2( عهم انقسآن )1ثسم للا

Beliau terus membacanya sehingga mereka merasa tidak senang dan

berkata, “Apa yang dikatakan Ibnu Ummi „Abd (kuniyah/gelar beliau)? Sebagian

mereka yang lain menjawab, “Ia membaca sebagian ayat yang dibawa oleh

Muhammad.” Kemudian mereka berdiri dan menujunya serta memukuli wajahnya

sedang beliau terus membaca sampai kepada batas tertentu yang Allah kehendaki.

Setelah itu beliau kembali kepada perkumpulan para sahabat sedang orang-orang

Quraisy telah menyisakan bekas pukulan mereka di wajahnya. Maka para sahabat

berkata, “Ini yang kami takutkan terjadi padamu.” Ibnu Mas‟ud menjawab,

“Mereka sekarang lebih ringan bagiku dari sebelumnya, dan jika kalian mau esok

hari aku akan mendatangi mereka lagi.” Mereka berkata, “Sudah, cukup bagimu

karena engkau telah memperdengarkan kepada mereka yg mereka tidak suka (Al-

Qur‟an).”29

Demikianlah keberanian Abdullah bin Mas‟ud, beliau adalah prang

pertama yang membacakan Al-Qur‟an secara terang-terangan di hadapan Kaum

Quraisy setelah Rasulullah Saw. Padahal beliau tidak memiliki banyak kerabat

yang dapat membela beliau jika kaum kafir Quraisy ingin mencelakainya. Bahkan

29 Majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429/2008M h.54

Page 81: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

68

ketika para sahabat melarangnya untuk berangkat, beliau menjawab, “Allah lah

yang akan menolongku.” Ini menunjukkan betapa tingginya tawakal beliau

kepada Allah sehingga beliau tidak merasa takut karena imannya yang kuat bahwa

Allah yang akan menolongnya. Bahkan meliau masih menawarkan untuk

mendatangi mereka yang kedua kalinya dan membacakan Al-Qur‟an lagi kepada

mereka. Dari kisah diatas kita akan mendapatkan bahwa bertawakal kepada Allah

adalah sesuatu yang lazim dalam segala hal terutama dalam amar ma‟ruf nahi

munkar. Kemudian tawakal dapat melahirkan keberanian dan menghilangkan rasa

takut.

Page 82: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

47

BAB IV

ANALISIS KOMPARASI TAFSIR AL-AZHÂR DAN FÎ ZILÂL AL-

QUR’ÂN TENTANG AYAT-AYAT TAWAKAL

Sebelum menjelaskan penafsiran Hamka dan Sayyid Quṭb tentang

tawakal. Terlebih dahulu penulis akan menyampaikan ayat-ayat yang berbicara

tentang tawakal di dalam al-Qur‟an. al-Qur‟an

Dalam kitab Mu‟jam Al Mufahras, kata tawakal dalam arti menyerahkan

urusan kepada Allah, disebutkan Alquran dalam berbagai bentuk sebanyak 59

kali, dalam 47 ayat dari 25 surat.1 Penyebutan kata ini dalam al-Qur‟an memiliki

konteks beragam yang mencakup berbagai aspek kehidupan. Mengingat

banyaknya ungkapan kata yang seakar dengan kata tawakal, maka penulis

membatasi kajian ini kepada 5 ayat. Ayat-ayat tersebut adalah seperti berikut:

1. Surah az-Zumâr Ayat 38

2. Surah at-Taghâbun Ayat 13

3. Surah at-Thalaq Ayat 3

4. Surah al-Anfâl, ayat 49

5. Surah al-Ahzâb, ayat 3

Ayat-ayat tersebut dipilih karena kondisi yang berbeda isim dan fi‟il dan

terdapat penafsiran tentang tawakal pada setiap ayat yang dikaji di dalam Tafsir

Al-Azhâr dan Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân agar penulis dapat mencari titik perbedaan

atau persamaan di antara kedua tafsir tersebut.

A. Penafsiran Tawakal dalam Tafsir Al-Azhâr dan Fî Zilâl al-Qur’ân

1. Surat az-Zumar Ayat 38: Hanya Kepada Allah Orang Mukmin

Bertawakal

م ق ه للا ن ق ي ض ن ز ال ات ب م ق انس ه ه خ م م ت ن أ ه س ئ ن

ه م س ثض وي للا اد ز ن أ إ ن للا ه د عن م د ب ت م م ت ي أ س ف أ

1 Muhammad Fu‟ad Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras lî Alfâd al-Qur‟an (Beirut: Dar

al-Fikr, 1994), h. 929-930.

Page 83: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

48

ت م ح بت ز ك س م ه م م ة م ح س وي ث اد ز أ ي أ س بت ض ف بش ك

ن ه ك ت م م ان ك ت ي ي ه ع جي للا س م ح ق

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang

menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah".

Katakanlah: "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain

Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah

berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah

hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-

Nya?. Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku". Kepada-Nya-lah bertawakal

orang-orang yang berserah diri.

Pada permulaan ayat ini Hamka menjelaskan tentang kondisi hati manusia

itu sesungguhnya meyakini bahwa penguasa alam semesta ialah Allah yang Esa

tiada yang lain selain-Nya. Hamka menerangkan bahwa sekalipun ditanyakan

kepada orang-orang arab dahulu, siapakah pencipta langit dan bumi, mereka tidak

akan menjawab berhala al-Laata, atau „Uzza, atau Manaata yang besar, atau

berhala-berhala lain. Pasti mereka akan menjawab bahwa pencipta semua langit

dan bumi tidak ada lain dari Allah.2

Ketauhidan yang tertanam dari hati manusialah yang melahirkan keimanan

tinggi kepada Allah SWT. Inilah yang Hamka coba jelaskan dalam tafsirnya

bahwa konsep ketuhanan yang diyakini manusia akan dengan mudah

menghantarkannya kepada kesempurnaan iman yakni bertawakal kepada Allah.

Dalam ayat ini, meskipun orang-orang kafir menolak kebenaran bahwa

Allah sajalah yang dapat mendatangkan mudharat kepada seseorang, dan

begitupula mendatangkan rahmat kepada seseorang.3 Sehingga seringkali mereka

menggunakan perantara seperti memuja batu, kuburan, gunung, pohon, jin, dan

beragam hal lainnya yang mereka anggap dapat mengusir kesialan dan

mendatangkan kebaikan, namun bagi orang-orang yang bertawakal maka ia akan

menjawab "Cukuplah Allah bagiku", tak akan ada rasa takut dan kekhawatiran

yang menyelimuti hati orang-orang yang bertawakal. Karena ia percaya jika Allah

yang memberi rahmat maka tak akan ada kebhatilan yang dapat menghalanginya

2 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Pustaka Panji, Mas cet.II, 2000) Juz.XXIV, h. 51

3 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz.XXIV, h. 52

Page 84: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

49

dan mencelakainya sebesar apapun, begitupun sebaliknya. Karena kesempurnaan

iman dan tauhid ialah bertawakal, yaitu berserah diri sebulat dan sepenuhnya

hanya kepada Allah saja.

Dalam penjelasan tafsir ayat ini, ia bercerita bahwa pada suatu hari Hamka

melewati suatu kampung yang warganya banyak terserang penyakit muntaber, dan

masyarakatnya diminta oleh dukun kampung menggantungkan daun jiluang atau

daun pandan musang di tiap-tiap atap rumah warga yang berfungsi sebagai

penangkal penyakit agar tidak dapat masuk kerumah. Dan kerap kali Hamka

melihat jika seorang perempuan muda yang sedang mengandung anak pertamanya

di tangga masuk kerumah harus di pakukan terompah besi kuda, yang bertujuan

sebagai penangkal dari gangguan hantu.4 Semuanya ini adalah bekas kepercayaan

zaman jahiliyah, yang apabila Iman, Tauhid dan Tawakal telah memenuhi jiwa

seseorang tidaklah ia akan berbuat demikian. Ia akan berupaya dengan cara yang

rasional menurut ilmu kesehatan, seperti berikhtiar menjaga kebersihan rumah

agar penyakit itu tak menular ke rumahnya.

Begitupun Quṭb, menjelaskan bahwa tidak ada yang dapat memungkiri

penciptaan Allah terhadap langit dan bumi, bahkan akal pun tak dapat membantah

nya, karena manusia telah diciptakan dengan fitrah yang baik. Dan lebih lanjut

Quṭb menjelaskan bahwa jika hati sudah yakin dan mantap dengan kuasa Allah,

bahwa tidak ada yang dapat melenyapkan kemudharatan dan mendatangkan

rahmat kecuali dengan kekuasaan Allah semata, maka selesailah persoalan,

berakhirlah perdebatan, dan sirnalah segala ketakutan, putuslah semua harapan

kecuali harapan kepada Allah SWT. Karena dialah yang mencukupi hambanya.

Dan hanya kepada-Nyalah kita berserah diri.5

Dan hanya dengan keyakinan inilah akan lahir, kepercayaan dan

ketentraman yang tidak mengenal ketakutan, kepercayaan yang tidak mengenal

kegundahan dan keyakinan yang tak mengenal goncangan. Kita akan berjalan

4 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz.XXIV, h. 53

5 Sayyid Qutbh, Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz XXIV h.84

Page 85: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

50

menjalani lorong kehidupan dengan penuh rasa tenang sampai akhir perjalanan

yaitu akhirat kelak.

Dalam menafsirkan ayat ini Hamka dan Quṭb memiliki kesimpulan yang

sama ialah meyakini bahwa dalam konteks ayat ini, tak akan ada rasa takut dan

kekhawatiran yang menyelimuti hati orang-orang yang bertawakal. Karena ia

percaya jika Allah yang memberi rahmat maka tak akan ada kebhatilan yang dapat

menghalanginya dan mencelakainya sebesar apapun, begitupun sebaliknya.

2. Surah at-Taghaabun Ayat 13: Iman Melahirkan Sifat Tawakal

ن ى م ؤ م م ان ك ت ي ه ف هى للا ع إل ن ل إ للا

“(Dialah) Allah tidak ada Tuhan selain Dia. Dan hendaklah orang-

orang mukmin bertawakal kepada Allah saja.”

Pada permulaan ayat ini Hamka menjelaskan bahwa tauhid kepada Allah

merupakan pokok dari keimanan seseorang. Apabila keyakinan ini telah teguh

maka manusia beriman menjadi tahan menderita, kuat menhadapi segala

kesulitan. maka jika kita selalu meneguhkan kepercayaan atas ke-esaan Allah,

segala cita-cita dan segala tujuan, apapun musibah yang akan menimpa diri, asal

sudah ada tawakal, berpasrah dengan bulat, dengan sendirinya pula jiwa menjadi

kuat.6

Dengan tawakal bukan berarti pula manusia berhenti berusaha. Manusia

harus pula mengerahkan segala daya dan upaya sebagai insan, menggunakan

kecerdasan akal dengan sebaik-baiknya, dan diakhir baru menyadari bahwa

kepandaian, ikhtiar dan usahanya sangatlah terbatas. Sebab itu selebihnya hal-hal

yang diluar jangkauan manusia di serahkan kepada Allah. Dengan demikian, jika

maksud belum tercapai atau sesuatu rencana gagal ia tidak akan menyesal dan

mengeluh. Seab ia akan sangat percaya bahwa Allah yang lebih tau dari dia.

Quṭb menjelaskan bahwa hakikat dari tauhid merupakan asas dari segala

pandangan iman. Kepercayaan kepada Allah yang tiada tuhan selain Dia membuat

hati orang beriman akan selalu terpaut dan sadar akan kehendak Allah lebih besar

6 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz.XXVIII, h. 245

Page 86: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

51

dari pada kehendak manusia, Dan hal itu menentukan bahwa segala bentuk

tawakal harus ditujukan kepada diri-Nya semata. Inilah salah satu bentuk

pandangan iman yang ada di dalam hati.7

Pada ayat ini, hasil dari sikap tawakal menurut Hamka adalah jiwa yang

kuat dalam menghadapi ujian hidup, serta sikap tidak mudah mengeluh dengan

apapun hasil yang Allah berikan. Sementara Quṭb lebih kepada kesadaran diri

bahwa kehendak Allah lebih besar dari pada kehendak manusia.

3. Surah at-Thalaq Ayat 3: Tawakal Dalam Mencari Rezeki Dan Usaha

Mencapai Suatu Tujuan

ف هى للا م ع ك ت ه ي م ت س ت ح ث ل ي ي ه ح م ق ش س ي

ا ز د ء ق ي م ش ك ن عم للا د ج ي ق س م غ أ بن ث إن للا ج س ح

“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan

barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan

mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan

urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan

ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”

Hamka menerangkan bahwa takwa dapat mendatangkan ketenangan hati,

thuma‟ninah dalam hati akan tumbuh sehingga kita akan bersabar ketika ujian

datang dan akan bersyukur ketika nikmat tiba. Maka ia bertawakal kepada Allah,

menyerahkan dengan sebulat hati dan yakin bahwa Allah tidak akan

mengecewakannya. Ini lah yang menyebabkan manusia tidak akan terputus dari

rahmat Allah. Perbedaan orang yang bertawakal ialah tidak akan pernah dijadikan

kering, ketika dekat akan kering, akan datang saja bantuan baru yang tidak di

sangka-sangka.8

Tidak ada satupun yang dapat menghambat dan menghalangi kehendak

Allah. Apa yang dikehendaki Allah itulah yang pasti berlaku. Demikian juga

halnya dalam rumah tangga ada seribu satu banyaknya ujian didalam ibadah ini.

7 Sayyid Qutbh, Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz XXVIII, h.300.

8 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz.XXVIII, h. 269

Page 87: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

52

Kesukaran bisa datang di awal bisa juga datang di akhir. Dan kita harus ingat

bahwa semuanya itu tuhanlah yang menentukan, bukan mausia. Manusia hanya

berhenti pada tahap berupaya dengan baik. Adapun hasil tetap Allah sajalah yang

menentukan. Rumah tangga panjang atau pendek, dihadirkan keturunan atau

tidak, siapa yang mati di awal dan mati di akhir. Bahkan penentuan jodoh

sekalipun pada hakikatnya Tuhan jualah yang menentukan. Oleh sebab itu takwa

dan tawakal adalah sebab mutlak bagi kebahagiaan rumah tangga.

Pada ayat ini Quṭb menjelaskan bahwa permulaan ayat ini masih berkaitan

dengan pangkal ayat ke dua, yang merupakan kelanjutan jawaban dari ayat ke dua

yakni syarat untuk mandapat pertolongan dan rizki dari Allah adalah dengan

ketakwaan. Namun takwa disini bukan berarti takwa yang dilakukan dengan

pamrih, Allah mengisyaratkan sifat takwa yang merupakan ibadah hati ini

dilakukan dengan hanya mengharap ridha dari Allah saja. Maka jika ketakwaan

itu telah tumbuh dengan sendirinya Allah memberi nya jalan keluar dari setiap

kesempitan dan kesulitan di dunia dan di akhirat. Juga diberikan kepadanya rizki

yang tidak pernah dibayangkan dan dinantikannya.9

Lebih khusus ayat ini menjelaskan tentang perkara talak bukanlah perkara

yang sepele dan main-main, tidak ada yang dapat menhentikan seseorang dari

perbuatan yang dibenci Allah ini selain ketakwaan kepada Allah dan perasaan

paling dalam dari hati nurani. Karena konspirasi dan tipu daya setan sangatlah

banyak dan berat dalam hubungan perkawinan.10

Agar terhindar dari tipudaya syaitan maka ayat ini mengisyaratkan untuk

bertawakal kepada Allah, karena Ia pasti menjamin segala kecukupan bagi orang-

orang yang bertawakal kepadanya-Nya dan menuntaskan serta menyempurnakan

segala urusannya.

Setiap sesuatu telah ditentukan sesuai dengan ukurannya, waktunya,

tempatnya, kandungan-kanduganya, hasil-hasilnya, dan sebab-sebabnya. Tidak

9 Sayyid Qutbh, Tafsir Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz XXVIII, h. 317.

10 Qutbh, Fî Zilâl al-Qur‟ân, h. 318.

Page 88: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

53

ada sesuatupun yang terjadi secara kebetulan, tidak ada sesuatupun yang sia-sia

dalam seluruh alam semesta ini begitupun dalam jiwa manusia dan kehidupannya.

Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Furqân ayat 2

ا يس د ق ت ي ز د ق ء ف ي م ش ق ك ه خ

“Dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan

ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”

Dan suarah al-Qamar ayat 49

دز ق ث بي ى ق ه ء خ ي م ش ب ك و إ

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”

Pada penjelasan ayat ini Hamka dengan tegas menelaskan Perbedaan orang

yang bertawakal ialah tidak akan pernah dijadikan kering, ketika dekat akan

kering, akan datang saja bantuan baru yang tidak di sangka-sangka, menyebabkan

manusia tidak akan terputus dari rahmat Allah.

Begitupun dengan Quṭb menekankan jika ridha atas keputusan Allah maka

Allah memberi nya jalan keluar dari setiap kesempitan dan kesulitan di dunia dan

di akhirat. Juga diberikan kepadanya rizki yang tidak pernah dibayangkan dan

dinantikannya

4. Surah al-Anfal Ayat 49: Tawakal dalam Menghadapi Musuh

ء ل ؤ س سض غ م م ث ه يه في ق ر ان ن ق بف ى م ل ان ق ذ ي إ

يم ك يص ح ص ع ن للا ئ ف هى للا م ع ك ت ه ي م م يى د

Artinya: (Ingatlah), ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada

penyakit di dalam hatinya berkata: "Mereka itu (orang-orang mukmin) ditipu

oleh agamanya". (Allah berfirman): "Barangsiapa yang bertawakal kepada

Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".

Hamka menjelaskan, setelah diteliti dari riwayat dan sirah Rasul, terutama

dalam peperangan Badar, beberapa orang dalam kelompok Quraisy itu hendak

Page 89: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

54

memerangi Nabi Muhammad, tetapi hati mereka tidak begitu bulat dan teguh.

Bersama mereka itu pula ada pula orang-orang yang hatinya sakit dan dendam.

Mereka dari dua golongan ini setelah melihat kaum Muslimin yang sedikit yaitu

300 orang telah menyepele kaum Muslimin dengan sombong mereka berkata:

“Telah menipu kepada mereka agama mereka”.

Padahal ini bukanlah karena tertipu oleh agama, melainkan karena

tebalnya iman yang diterangkan Allah pada akhir ayat: “Barangsiapa bertawakal

kepada Allah, ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana”. Soal ini

bukanlah soal tertipu oleh agama. Melainkan soal dari sekelompok ummat yang

telah menyerahkan diri sepenuh-penuhnya dan sebulat-bulatnya kepada Allah.11

Sebab tawakal itu adalah puncak tertinggi atau pucuk terakhir dari iman.

Kalau iman sudah matang, tawakal pasti timbul dengan sendirinya. Belum berarti

pengakuan iman kalau belum tiba di puncak tawakal. Maka apabila seseorang

Mukmin telah bertawakal yakni berserah diri kepada Allah, terlimpah ke dalam

dirinya sifat „Aziz yang ada pada Allah, maka merekapun menjadi gagah dan

semangat pula. Mereka tidak takut lagi menghadang maut. Dan terlimpah kepada

mereka pengetahuan Allah, maka merekapun mendapat ilham dari Allah untuk

mencapai kemenangan.

Maka baik munafiqin Quraisy dan orang-orang yang sakit hati di zaman

Rasul di perang Badar itu, mereka katakan bahwa kaum Muslimin telah ditipu

oleh agama mereka. Padahal ini bukan urusan kena tipu oleh agama, melainkan

urusan iman yang telah sampai di puncak, yaitu tawakal. Kalau tawakal sudah

datang, betapa besarpun musuh, mereka tidak peduli lagi. Orang yang sudah

bertawakal kepada Allah, hidup syukur, matinya syahid. Daripada hidup

bercermin bangkai, baiklah mati berkalang tanah. Kalau sudah sampai di suasana

yang demikian, diripun menjadi gagah, karena telah dipercik oleh sifat „Aziz

Allah dan disinari sifat Hakim Allah.12

Quṭb pula menceritakan tentang kondisi kaum munafik di Makkah saat

perang Badar kala itu yang mengatakan bahwa mereka adalah sekelompok orang

11

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 4, hlm. 2780. 12

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 4, hlm. 2781.

Page 90: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

55

yang cenderung kepada agama Islam sewaktu di Makkah. Namun aqidahnya

belum benar dan hatinya belum mantap. Mereka keluar dengan rombongan kaum

Musyrikin dengan hati yang tidak mantap kepada Islam. 13

Melihat pasukan Musyrikin dengan bangga menjerumuskan diri mereka

sendiri karena melihat jumlah pasukan orang-orang Muslimin yang sedikit

sementara jumlah kaum Musyrikin lebih banyak. Oleh karena itu pula mereka

menganggap orang-orang Islam tertipu oleh agamanya sendiri. Sesungguhnya

mereka orang-orang munafik yang ada penyakit di dalam hatinya tidak benar-

benar mengetahui hakikat sebab-sebab kemenangan dan kekalahan, mereka

melihat segala sesuatu dari segi lahiriyah (yang tampak) saja. Juga tanpa

merasakan kekuatan tersembunyi dalam akidah kepercayaan kepada Allah SWT.

Quṭb menjelaskan pandangan orang munafik yang yang kososng dari iman

membuat mereka hanya melihat lahiriyyah saja. Sementara inilah yang diketahui

hati orang beriman yang menjadikannya tenang dan mantap tidak gentar melihat

pasukan musuh yang lebih besar jumlahnya. Di dalam hati mereka mentertawakan

kaum Muslimin yang dianggapnya berani menerjang bahaya dan menganggap

remeh mereka. Merekapun merasa heran mengapa kaum Muslimin begitu berani

menyengsarakan diri mereka yang jelas-jelas akan merugikan mereka dengan

kebinasaan. Karena kaum musrikin mengaggap kehidupan ini secara keseluruhan

termasuk agama dan akidah, termasuk komoditas di pasar dagang. Jika tampak

menguntungkan mereka maju, dan jika tampak membahayakan mereka meilih

keselamatan diri mereka yang utama.

Mereka tidak melihat urusan dengan pandangan batin orang beriman,

mereka tidak menimbang keberhasilan dengan timbangan iman Sementara

persiapan kaum Muslimin yang pokok adalah akidah agama ini, yaitu akidah yang

memotivasi dan memancarkan semangat tanpa rasa takut. Itulah pancaran tawakal

dari hari orang-orang yang beriman.

Hamka menjelaskan bahwa buah dari tawakal kepada Allah dalam ayat ini

ialah keberanian dan sikap tak gentar menghadapi musuh sebesar apapun.

13

Qutbh, Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz.X, h.212.

Page 91: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

56

Begitupun Quṭb bahwa orang yang bertawakal melihat dengan pandagan

keimanan yang terpancar dari akidah yang kuat dan melahirkan semangat tanpa

rasa takut.

5. Surah al-Ahzab, ayat 3: Tawakal Sebagai Sifat Orang Yang Beriman

يل ك بلل فى ث ك هى للا م ع ك ت

“Dan bertawakallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai

Pemelihara”.

Hamka menafsirkan pada pangkal ayat ini, Allah telah memerintahkan

Rasulullah SAW supaya menyerahkan dirinya sebulat bulatnya kepada Allah

dengan penuh kepercayaan dan jangan bimbang. Harus yakin bahwasanya jalan

yang ditunjukkan Allah itulah jalan yang benar, tidak ada jalan lain. Dan cukuplah

kepada Allah saja bertawakal.

Ayat ketiga dari surah al-Ahzab ini adalah pegangan hidup bagi Rasul dan

bagi tiap orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.14

Pendirian

yang tegas dan pegangan yang teguh, berani menghadapi segala kemungkinan di

dalam mempertahankan pendirian. Itu sebabnya maka pada ayat yang pertama

dari surah al-Ahzab ini diperingatkan kepada Rasul sendiri agar beliau sekali-kali

jangan mengacuhkan dan mengikuti kehendak dan permintaan orang yang telah

nyata kafir, apatah lagi munafik. “Bertawakallah kepada Allah”, artinya ialah

bahwa tempat bertanggung jawab hanya semata-mata Allah.

Begitupula Quṭb menafsirkan bahwa Rasulullah diperintahkan untuk tidak

memikirkan orang-orang kafir dan munafik yang menentangnya. Sebaliknya

Allah memerintahkan Rasul untuk bertawakal dengan sepenuh hati karena Allah

lah yang akan mengatur dan memberikan jalan keluar dari kegundahan.15

Jadi mengembalikan urusan kepada Allah dan bertawakal kepadanya pada

akhirnya adalah kaidah kokoh yang menenangkan, di mana hati akan selalu

merasa tenang. Pada titik itulah hati akan menyadari betapa terbatasnya

kemampuan manusia. Maka setelah berupaya dengan sungguh-sungguh, langkah

14

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 8, hlm. 5629. 15

Qutbh, Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz.XXI, h.217.

Page 92: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

57

selanjutnya hanyalah memasrahkan diri dengan kehendak-Nya, bukan berarti

berserah tanpa berupaya terlebih dahulu.

Kesimpulan dari ayat ini ialah Hamka dan Quṭb sama-sama menjelaskan

bahwa Allah memerintahkan Rasul untuk bertawakal dengan sepenuh hati karena

Allah lah yang akan mengatur dan memberikan jalan keluar dari kegundahan.

B. Kisah Hamka dan Quṭb Dalam Mengaplikasikan Tawakal

Semasa hidupnya Hamka juga mengalami kepahitan-kepahitan dalam

menjalankan dakwahnya. Tepatnya pada hari Senin, 12 Ramadhan 1383,

bertepatan dengan 27 Januari 1964, Hamka mengadakan pengajian mingguan di

Masjid Agung Al-Azhâr terhadap kira kira 100 orang kaum ibu, membahas QS

Al-Baqarah 255, atau ayat al-Kursi. Pukul 11 siang selesailah pengajian dan

Hamka kembali ke rumah melepas lelah sejenak menunggu datangnya waktu

Dzuhur.

Pada saat istirahat itulah empat orang menjemput Hamka untuk ditahan,

setelah sebelumnya menyerahkan surat tugas penahanan. Setelah empat hari

dalam tahanan, barulah Hamka diperiksa dengan tuduhan: merencanakan

membunuh Menteri Agama H. Saifuddin Zuhri, hendak mengadakan coup d‟etat,

menghasut mahasiswa agar meneruskan pemberontakan Kartosuwiryo, Daud

Beureuh, M. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara.16

Lain yang difikirkan Hamka, lain pula rencana Allah. Allah rupanya

menghendaki agar masa terpisah dari anak istri, dan masyarakat dua tahun, dapat

digunakan Hamka menyelesaikan pekerjaan berat, yaitu menafsirkan al Qur‟an.

Dengan petunjuk dan hidayah Allah, beberapa hari sebelum dia dipindahkan ke

dalam tahanan rumah, penafsiran al-Qur‟an 30 Juz telah selesai. Semasa dalam

tahanan rumah dua bulan lebih, Hamka mempergunakan pula buat menyisip mana

yang masih kekurangan.17

Hamka merasa bersyukur, meskipun harus melewati hari-harinya di balik tirai

besi. Betapa tidak, karena fitnah dan hasad manusia Hamka hidup terpencil.

16

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 1, hlm. 66-67. 17

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 1, hlm. 70.

Page 93: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

58

Padahal dalam masa terpencil itulah beliau dapat berkhalwat dan beribadah lebih

khusyu‟. Saat-saat senggang yang begitu luas, malamnya dapat digunakan buat

ibadah, munajat dan tahajjud. Siang yang panjang dapat digunakannya buat

mengarang, tafakkur dan muthala‟ah.18

Demikianlah, penjara itu membawa

hikmah yang besar buat Hamka, pekerjaan menulis Tafsir Al-Azhâr telah selesai.

Hamka mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum MUI (Majlis Ulama

Indonesia), pada Mei 1981. Lewat MUI, beliau berfatwa: Umat Islam diharamkan

menghadiri perayaan Natal. Namun pemerintah agaknya berkeberatan terhadap

fatwa itu, dan memerintahkan agar MUI mencabut fatwa tersebut. Bagi Hamka,

walau langit runtuh, kebenaran harus tetap disampaikan. Haram bagi seorang

muslim berbuat munafik hanya semata mata karena sebuah jabatan. Fatwa

memang ditarik oleh MUI dengan embel embel tanpa tekanan. Sambil

mengucapkan selamat tinggal, Hamka berujar: “Fatwa boleh dicabut, tetapi

kebenaran tak bisa diingkari”.

Begitupun dengan Quṭb, pada Juli 1952, Quṭb mendukung Gerakan Perwira

Bebas yang dipimpin Gamal Abdel Nasser untuk menjatuhkan raja dan

menggantinya dengan sistem presidensial. Selama kudeta berlangsung, Quṭb dan

Nasser sangat dekat bagai seorang sahabat. Dalam beberapa kesempatan, Nasser

kerap mengunjungi rumah Quṭb dan berdiskusi soal revolusi. Hubungan ini

membuat Ikhwanul Muslimin berharap agar Nasser melahirkan pemerintahan

yang Islami. Namun, hal itu ternyata tidak terjadi, sebab Nasser memilih ideologi

nasionalis sekular yang sangat bertentangan dengan Ikhwanul Muslimin.

Rupanya, Nasser mempersiapkan agenda rahasia di dalamnya sebelum

menduduki jabatan sebagai presiden. Hal itu disadari Quṭb dan memutuskan

mundur, namun Nasser bersikeras agar Quṭb tetap berada dalam satu barisan

dengan menawarinya sebuah jabatan. "Kami akan memberikan posisi apapun

yang kamu inginkan di pemerintahan, apakah itu Menteri Pendidikan, Menteri

Kesenian, atau lainnya," ujar Nasser saat itu. Namun, tawaran-tawaran itu

ditolaknya. Quṭb kesal karena Nasser telah mengecewakannya. Hingga suatu

18

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 1, hlm. 72.

Page 94: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

59

ketika, Mesir dikejutkan dengan berita rencana pembunuhan Nasser oleh

kelompok Ikhwanul Muslimin.

Terungkapnya rencana tersebut membuat Nasser menuduh seluruh anggota

Ikhwanul Muslimin terlibat. Kemudian, Quṭb diburu militer dan dijebloskan ke

penjara. Tiga tahun pertama dalam penahanan, kondisinya sangat buruk serta

menjalani pelbagai penyiksaan. Dan dibebaskan pada 1964.

Pengalaman Quṭb hari-hari pertama dia ditahan: “Jangan gentar menghadapi

kesukaran, karena dalam kesukaran itu pasti ada kemudahan, asal kita

mempergunakan otak buat memecahkannya. Sungguh, Allah tidak akan

mengecewakan orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”

Setelah delapan bulan menghirup udara bebas, atas perintah Perdana Menteri

Irak, Abdul Salam Arif, Quṭb lagi-lagi dipenjara atas tuduhan yang sama. Selama

sidang berlangsung, dia diberikan berbagai macam tuduhan hingga pengadilan

memvonis hukuman mati. Dia akhirnya tewas di tiang gantungan pada 29

Agustus. Salah satu kata-katanya yang paling terkenal adalah, "Semua akan

kembali pada Allah ketika mati, tapi yang berbahagia adalah orang yang dekat

dengan Allah semasa hidupnya."

Setelah penulis teliti dari berbagai penafsiran kata tawakal menurut Hamka

dan Quṭb, penafsiran kata tawakal itu hampir sama. Menurut Quṭb tawakal adalah

berserah dengan hati dengan melakukan usaha atau ikhtiar dengan anggota tubuh.

Tawakal juga menampakkan kelemahan seseorang dalam suatu perkara, maka ia

pergi kepada orang yang lebih kuat dan bergantung kepadanya. Maka tawakal itu

adalah gabungan antara usaha dan berserah diri kepada yang lebih kuasa yaitu

Allah SWT.

Hamka pula menyebut bahwa tawakal itu adalah menyerahkan keputusan dari

segala usaha dan ikhtiar kepada Allah SWT, berserah kepada Allah sebulat-

bulatnya ketika menunggu hasil dari segala usaha dan ikhtiar tersebut. Tawakal

mesti disertai dengan syukur dan sabar. Tawakal itu mesti diiringi dengan syukur

dan sabar. Syukur, jika apa yang dikehendaki tercapai, sabar jika hasil yang

Page 95: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

60

didapat masih mengecewakan dan ikhlas menyerahkan diri kepada Allah,

sehingga hidayah-Nya selalu turun dan kita tidak kehilangan akal.

Secara keseluruhannya, orang yang bertawakal kepada Allah tidak akan

berkeluh kesah dan gelisah. Ia akan selalu berada dalam ketenangan dan

ketentraman dan kegembiraan. Jika ia memperoleh nikmat dan karunia adari Allah

SWT, ia akan bersyukur dan jika tidak ia akan bersabar. Ia menyerahkan semua

keputusan, bahkan dirinya sendiri kepada-Nya. Penyerahan itu dilakukan dengan

sungguh-sungguh dan semata-mata karena Allah SWT. Namun tidak berarti orang

yang bertawakal harus meninggalkan semua usaha dan ikhtiar. Usaha dan ikhtiar

itu harus tetap dilakukan, sedangkan keputusan terakhir di serahkan kepada Allah

SWT.

C. Aktualisasi Nilai-Nilai Tasawuf Konsep Tawakal dalam Spiritualitas

Kehidupan

Manusia di era global, dan sebagai konsekuensi modernisasi, melepaskan diri

dari keterikatannya dengan Tuhan (theomorphisme), untuk selanjutnya

membangun tatanan manusia yang semata-mata berpusat pada manusia

(anthropomorphisme). Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri, yang

mengakibatkan terputusnya mereka dari nilai-nilai spiritual.19

Setiap orang didorong berjuang keras menjadi pekerja sukses dan kaya demi

penegasan akan keberhasilannya itu. Kemakmuran melambangkan nilai jualnya

yang tinggi dan dihargai di pasar. Kemiskinan dimaknai sebagai sebaliknya.

Kebaikan, kejujuran, kesetiaan pada kebenaran dan keadilan dipandang tidak

bernilai jika tidak memberikan manfaat bagi kesuksesan dan kemakmuran. Sejauh

kondisi ekonominya tidak makmur, dia dinilai belum sukses.

Manusia modren tidak lagi berpijak pada kualitas kemanusiaan, melainkan

oleh keberhasilannya dalam mencapai kekayaan materil. Keadaan ini

memalingkan kesadaran manusia sebagai makhluk termulia. Keutamaan dan

kemuliaannya menyatu dengan kekuatan kepribadiannya, bukan bergantung pada

19

Muhkhibat, Spiritualisasi dan Konfigurasi Pendidikan Karakter Berparadigma

Kebangsaan dalam Kurikulum 2013, (Al-Ulum: Jurnal Studi Islam, vol 14, no 1. Juni 2014), hal

24

Page 96: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

61

sesuatu di luar dirinya. Karena itu, masyarakat modern mengalami kehampaan,

dan mengalami hidup yang tidak bermakna. Kehadirannya bergantung pada

pemilikan dan penguasaan pada simbol kekayaan. Hasrat mendapatkan harta yang

berlimpah melampaui komitmennya terhadap solidaritas sosial, hal ini didorong

pandangan bahwa orang banyak harta merupakan manusia unggul.

Tujuan akhir terpenting dari tasawuf adalah lahirnya akhlak yang baik dan

menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Tasawuf menjadi obat yang

mengatasi krisis kerohanian manusia yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga

ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan

atas makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Tasawuf sebagai

khazanah moralitas luhur, dimaksudkan bukan hanya untuk mencapai ketenangan

dan kebahagiaan diri sendiri saja tetapi juga dimaksudkan memiliki dampak-

dampak sosial yang membangun. 20

Di sinilah perlunya transformasi tasawuf dalam konteks dinamika sosial.

Praktek tasawuf tidak dilakukan dengan menyembunyikan diri dari fenomena

sosial untuk memburu kenikmatan spirirtual individual (hedonisme spiritual)

tetapi praktek tasawuf dituntut untuk menjadi rahmat bagi masyarakat melalui

spiritualitas diri. Artinya, tasawuf dapat diperankan sebagai basis moral dalam

sikap mental dan pola pikir, sehingga kehidupan keseharian yang berkualitas.21

Dalam prakteknya, tawakal sangat dapat diterapkan dalam nilai-nilai

spiritualitas kehidupan. Karena dengan mengaplikasikan tawakal berarti manusia

menyerahkan diri kepada kehendak Allah. Ia tidak memikirkan hari esok, baginya

cukup apa yang ada untuk hari ini. Tawakal adalah suatu kondisi yang

menggabungkan antara ilmu dan iman. Tidak mungkin seorang hamba tidak

membutuhkan tawakal, baik tawakal kepada Allah yang di Tangan-Nya

kekuasaan atas segala sesuatu, atau tawakal kepada sesama makhluk yang lemah

seperti dirinya. Tidak memiliki kuasa memberikan manfaat atau bahaya. 22

20

Syafiq A Mughni, Nilai-nilai Islam: Perumusn Ajaran dan Upaya Aktualisasi,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 182 21

Asep Usmar Ismail, dkk, Tasawuf , (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Jakarta, 2005),

hal. 111 22

Amir An-Najar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf , (Jakarta: Pustaka Azam, 2004), hal 238

Page 97: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

62

Manfaat tawakal adalah dapat 1) Ketenangan jiwa dan rehat hati. 2)

Kecukupan dari Allah segala kebutuhan orang yang bertawakal. 3) Mewariskan

kesabaran, ketahanan, kemenangan dan kekokohan. 4) Mewariskan rezeki, rasa

ridha. Sementara contoh perilaku tawakal antara lain:

Selalu bersyukur apabila mendapatkan nikmat (keberhasilan/kesuksesan

dll) dari Allah swt, dan bersabar apabila mendapatkan musibah.

Tidak berkeluh kesah dan gelisah ketika berusaha dan beriktiar

Selalu berusaha dan berikhtiar dengan maksimal, selanjutnya bertawakal

kepada Allah swt

Tidak mudah berputus asa dalam berusaha

Menerima segala ketentuan Allah swt dengan rasa ikhlas dan ridha.

Berusaha memperoleh sesuatu yang dapat memberikan manfaat kepada

orang lain.

D. Bentuk-Bentuk Tawakal Para Nabi dan Sahabat

Tawakal adalah akhlak agung yang sangat dibutuhkan seorang hamba

dalam menjalankan setiap urusannya, baik urusan agama atau urusan duniawi.

Meskipun ia telah dianugerahi kekuatan, kemampuan dan tenaga, akan tetapi

sesungguhnya tidak ada daya dan kekuatan bila ia tidak memperoleh taufik dan

pertolongan Allah Swt. Allah memerintahkan bertawakal dalam firman-Nya:

كها إن كىتم مؤمىيه فت عهى للا

Dan bertawakallah kamu kepada Allah, jika kamu orang-orang beriman (Q.S al-

Mâidah: 23)

1. Tawakalnya Rasulullah Saw.

Kisah Rasulullah Saw. di perang Hunain, perang yang terjadi pasca Fathu

Makkah (penaklukan kota Mekah), Rasulullah Saw. tetap gigih di medan laga,

saat kebanyakan orang yang bersama beliau kocar-kacir oleh sergapan panah

musuh.

Dalam Shahîhain, Barâ bin „Azib r.a menyebutkan bahwa ada seorang lelaki

bertanya kepadanya,” Wahai Abu „Amarah, apakah kalian melarikan diri di

perang Hunain? Jawabnya: (Ya), akan tetapi Rasulullâh tidak. Suku Hawâzin

Page 98: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

63

kaum ahli panah. Ketika menghadapi mereka, kami berhasil memukul mundur

mereka. Orang-orang pun berpaling menuju harta rampasan perang. Ternyata,

mereka (suku Hawâzin), dengan tiba-tiba menghujani kami dengan anak panah

sehingga orang-orang (Sahabat) kalah. Aku menyaksikan Rasulullâh dengan Abu

Sufyân bin Hârits yang memegang tali kendali keledai putih beliau.23

Beliau

meneriakkan:

أوب انىجي ل كرة أوب اثه عجد انمطهت

Aku seorang nabi tidak dusta. Aku putra `Abdul Muththalib [HR al-Bukhâri,

Muslim, dan at-Tirmidzi]

Setelah membawakan hadits ini, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah

mengatakan dalam tafsirnya: “Ini adalah puncak Tawakal dan keberanian yang

sempurna. Dalam keadaan perang yang sengit, pasukan beliau yang telah terpukul

mundur, hanya dengan menunggangi keledai, hewan yang tidak bisa lari kencang,

tidak mampu dipakai bergerak maju mundur untuk menyerang atau melarikan

diri, beliau menerobos ke tengah mereka sambil meneriakkan nama beliau. Hal

itu, agar orang yang tidak mau mengenal beliau sampai hari Kiamat sudah tahu

tentang beliau. Ini semua tiada lain karena kepercayaan dan tawakal beliau kepada

Allah Swt. dan serta karena beliau yakin bahwa Allah akan menolongnya,

menyempurnakan risalahnya dan memenangkan agamanya di atas seluruh

agama”24

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan

Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl9 Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton

Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

2. Tawakalnya Nabi Ibrahim

Sikap ini tercermin dalam kisah beliau „alaihissallam saat berdakwah

mengajak manusia untuk bertauhid dan mengesakan Allah Swt. namun

kebanyakan menolaknya dengan penuh kenistaan. Ketabahan Nabi Ibrahim ini

menjadi teladan bagi setiap dai dalam mengajak manusia menuju jalan yang

23

Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430H/2009, h.34 24

Tafsîr Ibnu Katsîr 2 h.357

Page 99: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

64

diridhai Allah. Kisah ketabahan Nabi Ibrahim diabadikan dalam al-Qur‟an melalui

firman-firman-Nya. Meskipun kaumnya dengan kuatnya untuk membakar dirinya,

namun Nabi Ibrahim tetap tabah dan menyerahkan segala perkara kepada Allah

Subhanahu wa Ta‟ala. Sebagaimana firman Allah:

مب تعمهن. قبنا اثىا ن ثىيبوب فأنقي في انجحيقبل أ خهقكم للا م. تعجدن مب تىحتن.

م السفهيه كيدا فجعهىب فأزادا ث

Ibrahim berkata: “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat

itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.

Mereka berkata: “Dirikanlah suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim;lalu

lemparkanlah dia ke dalam api yang menyala-nyala itu”. Mereka hendak

melakukan tipu muslihat kepadanya, maka Kami jadikan mereka orang-orang

yang hina. (QS. Ash-Shaffat: 95-98).

As-Suddi rahimahullah berkata: “Mereka menahannya dalam sebuah

rumah. Mereka mengumpulkan kayu bakar, bahkan hingga seorang wanita yang

sedang sakit bernadzar dengan mengatakan „sungguh jika Allah Swt. telah

memberikan bagiku kesembuhan, maka aku akan mengumpulkan kayu bakar

untuk membakar Ibrahim‟. Setelah kayu bakar terkumpul menjulang tinggi,

mereka mulai membakar setiap ujung tepian dari tumpukkan itu, sehingga apabila

ada seekor burung yang terbang di atasnya niscaya ia akan hangus terbakar.

Mereka mendatangi Nabi Ibrahim kemudian mengusungnya sampai di puncak

tumpukan tinggi kayu bakar tersebut”. Riwayat lain menyebutkan, ia diletakkan

dalam ujung manjaniq.25

Nabi Ibrahim mengangkat kepalanya menghadap langit, maka langit,

bumi, gunung-gunung dan para malaikat berkata: “Wahai, Rabb! Sesungguhnya

Ibrahim akan dibakar karena (memperjuangkan hak-Mu)”26

Pada saat Nabi Ibrahim diletakkan di ujung manjaniq, ia dalam keadaan

terbelenggu dengan tangan di belakang. Kemudian kaumnya melemparkan Nabi

Ibrahim ke dalam api, dan ia pun berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, dan Dia

sebaik-baik Penolong”. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari

Sahabat Ibnu Abbas, ia berkata:

25

Tafsir ath-Thabari, Juz 9, hal: 43 26

(Fathul-Bari, Juz 6, hal: 483)

Page 100: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

65

كيم حسجىب هللا وعم ان

Cukuplah Allah bagi kami dan Dia sebaik-baik penolong.27

Demikianlah, Nabi Ibrahim sangat yakin dengan kebesaran, pertolongan

dan perlindungan Allah, karena beliau sedang memperjuangkan hak Allah yang

terbesar, yakni tauhid dalam beribadah kepada-Nya.

3. Tawakalnya Siti Hajar

Ketika Ismail baru saja dilahirkan dan dalam penyusuan ibunya (Hajar), Nabi

Ibrahim membawa keduanya menuju Baitullah pada dauhah (sebuah pohon

rindang) di atas zam-zam. Saat itu, tidak ada seorangpun di Makkah, dan juga

tidak ada sumber air.

Nabi Ibrahim meninggalkan jirab, yaitu kantung yang biasa dipakai untuk

menyimpan makanan. Kantung itu berisi kurma untuk keduanya. Juga

meninggalkan siqa` (wadah air) yang berisi air minum. Kemudian Nabi Ibrahim

berpaling dan pergi. Diantara munajat Nabi Ibrahim sebelum meninggalkan anak

dan istrinya adalah:

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya Aku telah menempatkan keturunanku di lembah

yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang

dihormati" (QS. Ibrahim: 37).

Hajar mengikutinya sembari berkata:

“Wahai, Ibrahim! Kemana engkau akan pergi meninggalkan kami di lembah yang

sunyi dan tak berpenghuni ini?” Hajar mengulangi pertanyaan itu berkali-kali,

namun Ibrahim tidak menoleh, tak pula menghiraukannya. Kemudian Hajar pun

bertanya: “Apakah Allah Subhanahu wa Ta‟ala yang telah memerintahkan

engkau dengan ini?”

"Iya!" jawab Nabi Ibrahim.

"Kalau begitu, pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan kita!" sambut Hajar dengan

mantap dan yakin.28

27

Shahih Bukhari dan Fathul-Bari, Juz 8, hal: 288, no. 4563

Page 101: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

66

Ungkapan terakhir seorang Hajar inilah yang hendak kita jadikan inspirasi

dalam sikap tawakal. Ini adalah kalimat yang agung yang penuh makna dan

bertenaga. Menariknya lagi, kalimat ini terucap dari lisan seorang wanita dalam

segala keterbatasan kondisinya. Intinya hanyalah satu, jika suatu perkara memang

telah menjadi perintah Allah yang harus ia ta'ati, maka pasti akan berujung pada

kebaikan dan keberkahan yang melimpah, pasti akan berujung pada keajaiban-

keajaiban hidup yang luar biasa. Sekalipun secara logika tidak masuk. Sekalipun

secara hitung-hitungan manusia terkesan mustahil.

Saat Ibrahim tak lagi kelihatan, Siti Hajar memandang semua wilayah di

lembah, kosong, gersang dan sangat panas. Wanita berhati mulia ini pun berlari

dari bukit Shafaa ke bukit Marwa sebanyak tujuh kali untuk mencari perbekalan

dan berharap bertemu sufi yang akan membantunya. Sayang, ia tidak menemukan

apapun.

Di tengah kebingungan juga kegelisahan yang menyelimuti hati juga

pikirannya, Allah memberikan mukjizat-Nya. Dari bawah kaki Ismail kecil yang

sedang menangis kehausan, muncul sumber mata air yang kini dikenal sebagai

mata air Zam-Zam. Air itulah yang membantunya bertahan. Tak hanya muncul

air, beberapa waktu kemudian juga lewat beberapa sufi yang akhirnya

membantunya mengatasi segala kesulitan di lembah gersang.

Siti Hajar adalah sosok yang begitu tegar, tabah juga senantiasa

bertawakal hanya kepada Allah semata. Ia juga menjadi cerminan sebagai seorang

istri yang kuat dan tak mudah putus asa meski kesulitan bertubi-tubi menimpanya.

4. Tawakalnya Ibnu Mas’ud

Abdullah bin Mas‟ud radhiyallahu „anhu. Beliau adalah salah satu ulama dari

para sahabat, salah satu orang-orang yang pertama kali masuk Islam, beliau ikut

serta dalam kedua hijrah ke Habasyah, ikut serta dalam perang Badar, uhud dan

peperangan lainnya bersama Rasulullah, beliau termasuk salah satu sahabat

terdekat dengan Nabi, beliau dikirim oleh Umar bin Khatthab ke Kufah untuk

28

http://adnan-kisahkasihibu.blogspot.com/2012/07/pelajaran-tawakkal-siti-hajar-ibunda.html

Page 102: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

67

mengajari agama Islam kepada mereka. Di dalam Shahihain beliau meriwayatkan

848 hadits.

Kisah keberanian beliau ketika membaca Al-Qur‟an terang-terangan.

Muhammad bin Ishaq mengisahkan; Yahya bin „Urwah bin Zubair menceritakan

dari ayahnya berkata, “Orang pertama yang membaca Al-Qur‟an terang-

terangan setelah Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam adalah Abdullah bin

Mas‟ud.” Beliau mengisahkan:

Suatu hari sekelompok sahabat berkumpul, salah seorang mereka berkata,

“Kaum Quraisy belum pernah mendengar Al-Qur‟an ini dibaca terang-terangan,

adakah orang diantara kalian yang bisa meperdengarkan Al-Qur‟an kepada

mereka?” Abdullah bin Mas‟ud berkata, “Aku” mereka berkata, “Kami takut

mereka menyakitimu, yang kami mau adalah orang yang memiliki banyak kerabat

yang bisa membelanya jika mereka mencelakainya.” Ibnu Mas‟ud berkata, “Biar

aku melakukannya, karena Allah yang akan membelaku.”

Esok harinya Ibnu Mas‟ud keluar di waktu dhuha ketempat perkumpulan

Quraisy, ketika ia sampai, ia membaca:

ح حمه انس انس حمه )ثسم للا 2( عهم انقسآن )1يم. انس

Beliau terus membacanya sehingga mereka merasa tidak senang dan

berkata, “Apa yang dikatakan Ibnu Ummi „Abd (kuniyah/gelar beliau)? Sebagian

mereka yang lain menjawab, “Ia membaca sebagian ayat yang dibawa oleh

Muhammad.” Kemudian mereka berdiri dan menujunya serta memukuli wajahnya

sedang beliau terus membaca sampai kepada batas tertentu yang Allah kehendaki.

Setelah itu beliau kembali kepada perkumpulan para sahabat sedang orang-orang

Quraisy telah menyisakan bekas pukulan mereka di wajahnya. Maka para sahabat

berkata, “Ini yang kami takutkan terjadi padamu.” Ibnu Mas‟ud menjawab,

“Mereka sekarang lebih ringan bagiku dari sebelumnya, dan jika kalian mau esok

hari aku akan mendatangi mereka lagi.” Mereka berkata, “Sudah, cukup bagimu

Page 103: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

68

karena engkau telah memperdengarkan kepada mereka yg mereka tidak suka (Al-

Qur‟an).”29

Demikianlah keberanian Abdullah bin Mas‟ud, beliau adalah prang

pertama yang membacakan Al-Qur‟an secara terang-terangan di hadapan Kaum

Quraisy setelah Rasulullah Saw. Padahal beliau tidak memiliki banyak kerabat

yang dapat membela beliau jika kaum kafir Quraisy ingin mencelakainya. Bahkan

ketika para sahabat melarangnya untuk berangkat, beliau menjawab, “Allah lah

yang akan menolongku.” Ini menunjukkan betapa tingginya tawakal beliau

kepada Allah sehingga beliau tidak merasa takut karena imannya yang kuat bahwa

Allah yang akan menolongnya. Bahkan meliau masih menawarkan untuk

mendatangi mereka yang kedua kalinya dan membacakan Al-Qur‟an lagi kepada

mereka. Dari kisah diatas kita akan mendapatkan bahwa bertawakal kepada Allah

adalah sesuatu yang lazim dalam segala hal terutama dalam amar ma‟ruf nahi

munkar. Kemudian tawakal dapat melahirkan keberanian dan menghilangkan rasa

takut.

29

Majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429/2008M h.54

Page 104: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

69

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan seluruh pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Dari berbagai penafsiran yang ditampilkan oleh Quṭb dan Hamka, Hamka

menafsirkan kata tawakal secara umum sebagaimana pendapat-pendapat

ulama’ sebelumnya terutama ulama’ tasawuf. Beliau menambah bahwa

tawakal itu harus disertai dengan syukur dan sabar. Syukur, jika

keputusannya baik dan sabar jika keputusannya kurang memuaskan.

Sementara Quṭb menjelaskan kata tawakal dengan pendekatan emosi di dalam

hati orang beriman dan menyimpulkan berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an yang

berkait dengan tawakal. Beliau juga menambah bahwa tawakal itu

menunjukkan kelemahan seorang hamba sehingga perlu bergantung kepada

yang lebih kuasa yaitu Allah Swt.

2. Menurut Hamka, tawakal adalah menyerahkan keputusan segala perkara,

ikhtiar dan usaha kepada Tuhan Semesta Alam. Percaya bahwa Dia Yang

Maha Kuat dan Kuasa, manusia lemah tak berdaya. Tawakal adalah puncak

dari iman sepertimana yang ditempuh oleh Rasulullah Saw. kelihatanlah

tawakal itu tumbuh dengan sendirinya sejalan dengan ikhtiar. Berlindung dan

bersandar hanya kepada Allah. Ridha terhadap keputusan Allah serta yakin

bahwa hanya Allah yang memberi kecukupan ketika melakukan ikhtiar dan

ketika menerima hasilnya. Tawakal mesti disertai dengan sabar dan syukur.

Jika baik hasil itu maka bersyukur, jika sebaliknya maka bersabar. Maka akan

terlihat tawakal itu dengan sempurna.

3. Menurut penafsiran Quṭb, tawakal itu menunjukkan ketidakupayaan seorang

insan kepada Allah Swt. di atas sebab-sebab tertentu. Secara prakteknya

tawakal itu adalah dengan hati dan melaksanakannya dengan amal. Berusaha

dengan bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu urusan sama ada

urusan dunia maupun urusan akhirat. Kemudian bertawakal kepada Allah.

Page 105: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

70

Dengan kata lain, tawakal adalah gabungan antara usaha dengan

menyerahkan segala urusan dan keputusan kepada yang dapat menguruskan

manusia dengan yang benar pula, yaitu Allah Yang Maha Berkuasa dan Maha

Bijaksana. Percaya bahwa hanya Allah yang mampu melindungi orang-orang

beriman dari kejahatan orang terhadap diri mereka, yakin bahwa hanya Allah

yang memberi rezeki kepada mereka dan bergantung kepada Allah dalam

setiap urusan dan keputusan karena hanya Allah, tidak ada yang lain, yang

mampu mentadbir dengan sempurna.

4. Dari analisa tersebut, dapatlah penulis membuat kesimpulan bahwa tawakal

itu adalah ibadah hati dengan menyerahkan kepada Allah Swt. segala

keputusan setelah berusaha dan ikhtiar dengan sungguh sungguh, bergantung

dan percaya hanya kepada Allah karena Dia yang mampu menguruskan

segala urusan hamba-hamba-Nya. Kemudian apabila keputusan itu

menyenangkan sesuai dengan harapan orang yang bertawakal, ia mesti

bersyukur dan jika keputusan itu gagal atau kurang memuaskan, tidak seperti

yang diharapkan, maka ia mesti bersabar dan bersangka baik pada Allah

bahwa Allah tidak akan menzalimi hamba-Nya yang taat kepada-Nya serta

yakin dengan keputusan yang diberikan Allah Swt. itu adalah yang terbaik

buat diri hamba tersebut. Sesuai dengan sunnatullah, dalam kehidupan

sebagai seorang hamba bergantung harap kepada yang menciptakan ia yakni

Allah Swt. Maka pada suatu waktu, ia akan merasai keajaiban tawakal itu

dengan Allah memudahkan urusannya, menolongnya dalam segala hal dan

memberi rezeki kepadanya dari jalan yang dia sangka maupun dari jalan yang

tidak dia sangka. Maka dari itu lahirlah insan taqwa dengan puncak keimanan

yang paling tinggi yaitu tawakal kepada Allah Swt.

B. Saran

Segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan rahmat-Nyama kepada

kita semua, khususnya kepada penulis, sehingga bisa menyelesaikan penelitian

ini. Penulis sadari bahwa karya yang berjudul “KONSEP TAWAKAL DALAM

AL-QUR’AN” (Studi Komparatif dengan Analisis Tafsir Al-Azhâr Dan Tasir Fî

Page 106: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

70

Zilâl al-Qur’ân ) ini masih jauh dari kesempurnaan, dari itu penulis mohon

kepada pembaca agar memberi masukan dan saran.

Dari saat penulis mengerjakan tulisan ini, ada beberapa hal yang terdetik

dalam benak penulis, dan ini merupakan saran untuk penulis khususnya dan siapa

saja yang membaca tulisan ini, yaitu:

1. Terasa sekali bagi penulis, bahwa untuk membuat sebuah tulisan atau karya kita

butuh ilmu pengetahuan yang luas, dari itu janganlah puas dengan apa yang kita

dapatkan sekarang, tapi marilah kita tetap mencari dan menggali ilmu.

2. Siapapun yang telah membaca tulisan ini, semoga dapat menerapkan pelajaran

yang terkait dengan tulisan ini dalam kehidupan sehari-hari. Karena tawakal yang

benar kepada Allah SWT sesuai dengan tujuan dan kondisi dapat meningkatkan

taqwa dan iman kepada Allah Swt.

3. Kepada generasi tafsir hadis, mari kita lanjutkan perjuangan ulama’ terdahulu

dengan tetap eksis mengkaji dan mempelajari serta mengembangkan kitab

warisannya. Semoga kita juga dapat membuat karya-karya yang bermanfaat

seperti ulama’ terdahulu.

Terakhir, semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan para

pembaca pada umumnya, tidak sekadar membaca tapi mampu untuk

mengaplikasikan tawakal dalam kehidupan kita, sehingga kita mampu menjadi

hamba-hamba yang bertaqwa dan mulia disisi-Nya.

Page 107: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

71

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, Fauruz, Majduddin Muhammad bin Ya’qub, Al-Qâmûs al-Muḥîṭ, Dar Al

Hadith: Mesir,1999.

Ad-Dumaji, Abdullah Bin Umar, Rahasia Tawakal Sebab dan Akibat Terj. Drs.

Kamaluddin Sa’diatulharamaini dan Farizal Tarmizi, Jakarta: Pustaka Imam

Azzam, 2000.

Al Azhari, Muhammad ibn Ahmad, Tadzhîb Al-Lugah, Beirut: Dar Ihya Al-Turast

Al-Arabi, 2001.

Al- Mash, Badr Abdurrazzaq, Manhaj Da‟wah Hasan al Banna, Jakarta:Gema

Insani Press, 2005.

Al-Aṣfahânî, Abu al-Qasim al-Râghib, Mufradât fî gharîb al-Qur'ân, Dar Al-

Ma`rifah, Beirut, 2002.

Al-Baqi, Muhammad Fu’ad Abd, al-Mu‟jam al-Mufahras lî Alfâd al-Qur‟an ,

Beirut: Dar al-Fikr, 1994.

Al-Farmawi, Abdul Hayy, Al-Bidayah Fi At-Tafsir Al-Maudhu‟i: Dirasah

Manhajiyyah Maudhu‟iyyah, (Mesir: Maktabah Jumhuriyyah, tk), terj.

Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu‟I dan Cara Penerapannya,

Bandung: Pustaka Setia, 2002.

Al-Hijazi, Muhammad Mahmud, al-Tafsir al-Wadhih , Beirut: Dar al-Jail, 1969.

Al-Jauziy, Ibnu Qayyim, Arruh Fî Kalam „Ala Arwahil Amwat wa al- Ahya‟

Bidalail Minal Kitab was Sunnah, 1975.

Al-Jauziy, Ibnu Qayyim, Madarijis Salikin, terj. Kathur Suhardi, Pustaka Al

Kautsar: Jakarta, 1998.

Al-Khalidi, Shalah Abdul Fatah,“Pengantar Memahami Tafsir Fî Zilâl al-

Qur‟ân”, Terj: Salafuddin Abu Sayyid, Surakarta: Era Intermedia, 2001.

Al-Qaththan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al Qur‟an, Jakarta:Litera Antar

Nusa, 2013.

Al-Zuhaili, Wahbah, al-Tafsir al-Munir, Beirut: Dar al-Fikr, 1994

Amin, Mafri, Literatur Tafsir Indonesia, Cv. Sejahtera Kita: Ciledug, 2013.

An-Najar, Amir, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf , Jakarta: Pustaka Azam, 2004.

Page 108: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman, Ulumul Qur‟an, penj: amirul Hasan an M.

Halabi, Yogyajarta: Titian Olahi Pres, 1996.

Basri, Muh. Mu’inuddinillah, Indahnya Tawakal: Sebuah Tuntunan Holistik

Untuk Meluruskan Pemaknaan Tawakal. Jakarta: Indiva Media Kreasi,

2007.

Chirzin, Muhammad, Jihad Menurut Saayid Quthb Dalam Tafsir Zilal, Solo, Era

Intermedia, 2001.

Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, Madinah: Majma’ Khadim

al-Haramain, 1412 H.

Federspel, Howard M., Kajian Al-Qur‟an di Indonesia, Terj. Tajul Arifin, Mizan:

Jakarta 1996 .

Ghafsas, Badrut Tamam, Jalan Istiqamah Sang Legenda, Islamic Book Publisher:

2003.

Hamka, Rusydi, Pribadi Dan Martanbat Buya Hamka, PT Mizan Publika:

Bandung, 2016.

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas cet.II, 2000.

Hamzah, Yunus Amir, Hamka Sebagai Pengarang Roman, Jakarta: Puspa Sari

Indah,

Hidayat, Nuim, Sayyid Quṭb: Biografi Dan Kejernihan Pikirannya, Gema Insani,

Jakarta, 2008.

Ismail, Asep Usmar, dkk, Tasawuf , Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Jakarta,

2005.

Manzhur, Ibnu, Lisan al 'Arab, Beirut: Dar al-Shadir, 2000.

Mastur, Fadli, Tanya Jawab Lengkap Mutiara Ibadah, Jakarta: Ladang Pustaka &

Intemedia, 2001.

Mughni, Syafiq A, Nilai-nilai Islam: Perumusn Ajaran dan Upaya Aktualisasi,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Muhkhibat, Spiritualisasi dan Konfigurasi Pendidikan Karakter Berparadigma

Kebangsaan dalam Kurikulum 2013, Al-Ulum: Jurnal Studi Islam, vol 14,

no 1. Juni 2014.

Qhardhawi, Yusuf, “Ikhlas dan Tawakal, Ilmu Suluk Menurut Al-Qur‟an dan

Sunnah”, Jakarta: ISTANBUL, 2012.

Page 109: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43965/2/PENIDA...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Penida Nur AprianiPublish Year: 2018

Quthb, Sayyid, Tafsir Fî Zilalil Qur‟an, terj. As’ad Yasin dkk.,

Rush, James R., Adicerita Hamka : Visi Islam Sang Penulis Besar Untuk

Indonesia Modern Penulis, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2014.

Saefuddin, Didin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam: Biografi Intelektual

17 Tokoh, PT Grasindo: Jakarta, 2003.

Salahudin D, “Konsep Tawakkal menurut Al-Gazali”. Thesis Fakultas

Ushuluddin. Prodi Tafsir Hadis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2009.

Salim, Bahnasawi, K., Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb. Jakarta: Gema Insani

Press, 2003.

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur‟an

Vol.2 Penerbit Lentera Hati, 2000.

Sodiman, “Menghadirkan Nilai-Nilai Spiritual Tasawuf Dalam Proses

Mendidik”. Jurnal Al-Ta’dlib Volume 7 No. 2, edisi Juli-Desember 2014.

Supriyanto, Tawakal Bukan Pasrah, Jakarat: Qultum Media, 2010.

Syadzi, Khalid, Yakin Agar Hati Selalu Yakin Dengan Allah, Jakarta: Amzah,

2012.

Tamara, Nasir, Hamka Di Mata Umat, Cet iii, Sinar Harapan: Jakarta, 1996.

Uyun, Ardina Shulhah Qurotul, “Hubungan Tawakal dan Resiliensi pada Santri

Remaja Penghafal Al-Quran di Yogyakarta”. Jurnal psikologi islam

Volume 4, No. 1, 2017.

Yakan, Mohd Fathi Bin Zakaria, “Konsep Tawakkal Dalam Al-Qur‟an (Kajian

Komparatif Antara Tafsir As-Sya‟rawi Dan Tafsir Al-Azhar)”. Skripsi

Fakultas Ushuluddin. Prodi Tafsir Hadis, UIN Sultan Syarif Kasim Riau,

2013.

Yusuf, Muhammad Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Pustaka

Panjimas Jakarta:, 1990.