1 bidang unggulan :sosial,ekonomi dan bahasa kode/bidang
TRANSCRIPT
1
Bidang Unggulan :Sosial,Ekonomi Dan Bahasa
Kode/Bidang Ilmu : 596 / Ilmu Hukum
LAPORAN AKHIR HIBAH DOSEN MUDA
PENGENTASAN FAKIR MISKIN DAN ANAK-ANAK TERLANTAR MELALUI PENGANGKATAN ANAK DALAM PERSFEKTIF HUKUM ISLAM
Ketua/Anggota Tim I NYOMAN MUDANA SH.,MH (Anggota) NIP. 19561231198601001
DR. MARWANTO .SH., M.Hum (Ketua) NIP. 19600101198602001
Dibiayai oleh DIPA PNPB Universitas Udayana TA-2017
Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Pendidikan Nomor:673-78/UN14.4.A/LT/2017,12 Juli 2017
2
--" s RAT CATATA
'CIPTAAN ,
, Dalam rangka pelindungan ciptaan dl bld.!mg. lImu pengetahuan, seni ,dan ssstra berdasarkan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hm.c C~de, all:-in+-fMnerangkan: ' . ' ~ :~ .. ' - ~. - -:: ." _. . - " .
••: ~ - -. ,I
NomoI' an tanggal permQhQtlart /~:..~~ ::,:.--. : Ecd ~1820920,-1Z'Jun20t ~:"~ '. Penclpta ,':., .. i, . .~:~_-=~_..__ ~. ::,. :~ ~;,,~ ".
~ ~. ~
Nama
Afamat
- ......
-r---o-_-_.,
_ • .~ .. ...:. t _~ , .... ,
. .' J1 Patlh Nambi XXVI/6 Denpasar._._I_:-__ .....:._-.:i..::. . ._~
3
RINGKASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mencari solusi yang tepat apa yang dapat dilakukan
dalam rangka program pengentasan fakir miskin dan anak-anak yang terlantar, dalam
perspektif hukum islam. Metodenya adalah metode penelitian hukum normatif/doktriner.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip pengangkatan anak dalam perspektif
hukum islam tidak menyebabkan putusnya hubungan kekerabatan antara anak yang
diangkat dengan orang tua kandungnya. Hubungan antara anak angkat dengan orang tua
angkatnya hanyalah sebatas hubungan dalam rangka pemeliharaan untuk hidupnya
sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua
kandung kepada orang tua angkatnya berdasarkan Putusan Pengadilan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan, bahwa Hukum Islam
memandang pengangkatan anak sebagai upaya pengentasan kemiskinan dari keluarga
yang tidak mampu dan atau anak-anak yang terlantar agar kehidupan di masa mendatang
mejadi lebih baik. Prinsip-prinsip pengangkatan anak dalam hukum islam dapat
membantu Pemerintah berkaitan dengan tanggungjawab konstitusionalnya dalam
memelihara dan mengentaskan fakir miskin serta anak-anak yang terlantar.
4
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan
karunia-Nya, karena Laporan Penelitian yang berjudul “Pengentasan Fakir Miskin dan Anak
Terlatar Melalui Pengangkatan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam”, akhirnya dapat
diseleaikan tepat pada waktunya sesuai dengan skedul pelaksanaan penelitian. Penelitian ini
dapat terselenggara, karena LPPM Universitas Udayana telah menyetujui proposal yang
diajukan oleh Tim peneliti, dengan demikian dibiayai oleh DIPA PNPB Universitas Udayana
TA-2017, sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Pendidikan Nomor: 673-
78/UN14.4.A/LT/2017, 12 Juli Tahun 2017.
Dalam kesempatan ini tidak berlebihan jika tim peneliti mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Rektor Universitas Udayana, sebagai Pimpinan Lembaga yang telah memberi kesempatan
kepada para dosen untuk melakukan penelitian.
2. Ketua LPPM Universitas Udayana, sebagai penyelenggara dan pengelola dana anggaran
penelitian;
3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah memberi kesempatan kepada para
dosen untuk berpartisipasi dalam salah satu Tridarma Perguruan Tinggi;
4. Ketua LPPM Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telaah mengelola dan
mengkoordinir para peneliti di Fakultas Hukum Unud;
5. Seluruh sivitas akademika Fakultas Hukum Universitas Udayana, dan berbagai pihak yang
tidak dapat disebutkan satu-persatu.
5
Tiada Gading yang tak retak, maka kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari para
pembaca akan diterima dengan senang hati.
Denpasar, 19 Nopember 2017
Tim Peneliti
6
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN PENGESAHAN
RINGKASAN .......................................................................................................................... i
PRAKATA............................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................................4
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN .............................................................9
BAB IV. METODE PENELITIAN ........................................................................................ 11
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 13
BAB VI. RENCANA TAHAPAN BERIKIUTNYA ............................................................ 33
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Instrumen
Personalia Tenaga peneliti
HKI dan Publikasi
7
BAB I
PENDAHULUAN
Fakir miskin dan anak yang terlantar di Indonesia dapat dengan mudah dijumpai,
terutama di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Di kota-kota besar tersebut sangat mudah
dijumpai para pengemis dengan bermacam-macam istilah. Ada yang menyebut gelandangan,
pengemis, pengamen dan anak jalanan. Keberadaan mereka merupakan cerimnan dari kehidupan
fakir miskin dan anak-anak yang terlantar. Jumlah mereka cenderung semakin meningkat dan
terus bertambah banyak, terutama pada bulan-bulan puasa dan hal itu akan meningkat drastis
pada hari-hari mendekati lebaran. Mereka akan memadati tempat-tempat strategis di kota-kota
besar seperti di perempatan jalan terutama pada lampu Traficlight, serta tempat-tempat
keramaian, misalnya tempat perbelanjaan/ mall, dan sebagainya.
Keberadaan para pengemis, gelandangan dan pengamen yang berdatangan ke kota-kota
tersebut belum mendapat perhatian yang khusus dari pemerintah, selain hanya melakukan
penangkapan dan pembinaan di Depsos. Namun akhirnya mereka kembali lagi beroperasi seperti
semula. Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 menentukan: Fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara Negara. Bertolak dari ketentuan tersebut jumlah fakir miskin dan anak terlantar yang
terus bertambah dapat merupakan indiksasi bahwa Negara belum dapat memberikan
penghidupan yang layak bagi mereka.
Fenomena fakir miskin dan anak yang terlantar tersebut saat ini keadaannya sangat
memprihatinkan. Keprihatinan ini antara lain disebabkan karena Negara belum mampu hadir
sepenuhnya dalam penanganan masalah-masalah sosial, juga disebabkan oleh adanya
penyimpangan-penyimpangan dari peran panti-panti asuhan yang disalahgunakan dengan
menghimpun dana untuk kepentingan pribadi, akibatnya fakir miskin dan anak terlantar semakin
8
terlantar. Hal tersebut dapat diketahui baik dari media-media cetak maupun media elektronik
yang hampir setiap hari ada pemberitaan tentang kondisi anak-anak yang ada di panti asuhan.
Dalam perspektif pembaharuan hukum islam, konsep untuk mengentaskan fakir miskin
dan anak yang terlantar pada hakikatnya telah mendapat pengaturan dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI), yaitu dalam bentuk pengangkatan anak. Konsep tersebut tersirat dalam Pasal 171
huruf (h) yang menentukan: anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk
hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang
tua anak kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Ketentuan tersebut jika
dikaji lebih mendalam mengandung makna bahwa pengangkatan anak dalam perspektif hukum
islam dapat dilakukan hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan yang dimaksudkan untuk
pemeliharaan hidupnya sehari-hari serta mengenai biaya pendidikan yang ditanggung oleh orang
tua angkatnya. Jadi dalam hal ini pengangkatan anak tidak dimaksudkan untuk menjadikan anak
angkat sama dengan anak kandung, sehingga tidak memutuskan hubungan kekerabatan dengan
orang tua kandungnya. Larangan terssebut sangat erat hubungannya dengan masalah waris-
mewaris.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan antara orang tua angkat dengan anak angkatnya
sudah seperti anak kandung sendiri, bahkan tidak jarang terjadi bahwa cinta kasih orang tua
angkat bahkan melebihi dari cinta kasih terhadap anak kandungnya sendiri. Kesejahteraan anak
angkat menjadi harapan juga bagi orang tua angkatnya. Oleh karena itu tidak jarang orang tua
angkatnya juga ingin membekali biaya kehidupan anak angkatnya, jika anak angkatnya mulai
berkeluarga. Satu hal yang pasti apabila orang tua angkatnya meninggal dunia, maka anak
angkat bukanlah sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya. Oleh karena itu, jika orang tua
angkat ada keinginan untuk memberikan sebagaian dari harta kekayaannya kepada anak
9
angkatnya agar dapat dinikmati dan tidak dihadapkan pada masalah hukum di kemudian hari,
perlu dicarikan solusi yang dapat menjamin kepastian hukumnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, sangat penting untuk dilakukan penelitian
terhadap pengentasan kemiskinan dan anak terlantar dalam perspektif hukum islam. Adapun
judul selengkapnya adalah: Pengentasan Fakir Miskin dan Anak-anak yang Terlantar Melalui
Peangkatan Anak DalamPerspektif Hukum Islam.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 ditentukan: fakir miskin dan anak-anak yang
terlantar dipelihara oleh Negara. Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui, bahwa pada
dasarnya masalah pengetasan kemiskinan merupakan taggungjawab Negara. Walaupun
keterlibatan masyarakat sangat diharapkan, sehingga program pengentasan kemiskinan
lebih cepat dapat terrealisir.
Dalam rangka pelaksanakan program pengentasan kemiskinan, Pemerintah Indonesia
menggunakan pendekatan holistik yang mencakup bantuan sosial , pemberdayaan
masyarakat, dan meningkatkan mata pencaharian. Beranjak dari hal tersebut
pengangkatan anak menurut hukum islam tidak dibolehkan dengan tujuan menyamakan
kedudukan anak angkat dengan anak kandung.
Hukum kewarisan, menurut Amir Syarifudin, adalah hukum yang mengatur harta
dari seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan
harta ini disebut dengan berbagai nama, antara lain Faro’id, Fikih Mawaris dan Hukum
Waris.1
Menurut hukum kewarisan islam, yang diatur dalam Kompilasi hukum islam, dalam
Pasal 174 ayat (1) ahli waris dibedakan:
a. Menurut hubungan darah:
- Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, paman dan kakek
- Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan
nenek.
1Amir Syarifudin, 2005, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, hal. 5
11
b.Menurut hubungan perkawinan terdiri dari :
- duda atau
- janda
Berdasarkan ketentuan tersebut anak angkat bukanlah sebagai ahli waris. “Anak
angkat dalam hal ini adalah anak kandung orang lain yang “diambil ( dijadikan ) anak”
oleh seseorang. Perkataan “diambil (dijadikan) anak” di sini bermakna dipelihara,
dididik dan dibiayai kehidupannya.2 Seorang anak angkat merupakan anak kandung
orang lain yang diperlakukan seperti anak kandungnya sendiri oleh seseorang. Seseorang
di sisni lizimnya sepasang suami isteri yang tidak mempunyai anak kendung sendiri.
Profesor Hilman Hadikusuma menegaskan, bahwa anak angkat adalah anak orang lain
yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat
setempat, dikarenakan bertujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan
atas harta kekayaan dan atau pemeliharaan atas harta keayaan rumah tangga.3
Sementara itu Suroyo Wignjodipuro, memberikan arti anak angkat sebagai suatu
perbuatan mengambil anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa,
sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul hubungan
kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya
sendiri.4
Tindakan atau perbuatan mengambil anak kandung orang lain untuk dijadikan anak
sendiri oleh seseorang itu lazim disebut pengangkatan anak. Istilah pengangkatan anak ini
sering dipadankan dengan istilah “Adopsi”. Kata “Adopsi” itu sendiri berasal dari kata
Bahasa Belanda, “Adoption” dalam bahasa Inggris. Dalam Bahasa Arab pengangkatan
2 Rachmad Budiono, 2010, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam, Pen. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.114.
3 Hilman Hadikusuma, 20011, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, hal.188.
4 Surojo Wigjodipuro, 2011, Pengantar dan Sas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung , Jakarta, hal. 188
12
anak sepadan maknanya dengan istilah “tabanni” , adanya beberapa ahli hukum yang
membedakan makna “Pengangkatan anak” dan “Adopsi”, sesungguhnya dilatarbelakangi
oleh adanya perbedaan akibat hukum pengambilan anak kandung orang lain untuk
dijadikan anak sendiri antara hukum yang satu dengan hukum yang lain, atau karena
adanya perbedaan akibat hukum pengambilan anak kandung orang lain untuk dijadikan
anak sendiri antara tempat yang satu dengan tempat yang lain, misalnya akibat hukum
pengangkatan anak menurut hukum adat berlainan (berbeda) dengan akibat hukum
dengan akibat hukum adopsi, menurut Staatblad Tahun 1917 Nomor 129. Pada
hematnya, tanpa bermaksud menyamakan sesuatu yang berbeda, istilah pengangkatan
anak dapat dipadankan dengan istilah adopsi.
Dalam hukum adat, meskipun hukum adat di daerah yang satu dengan di daerah yang
lain berbeda, tetapi dapat dikatakan bahwa seluruh hukum adat di berbagai daerah di
Indonesia mengenal pengangkatan anak. Sangat mungkin berlainan adalah akibat-akibat
hukum pengangkatan anak di satu daerah dengan daerah lainnya. Hukum adat
Minangkabau menegaskan bahwa walaupun pengangkatan anak merupakan perbuatan
yang diperbolehkan, tetapi perbuatan itu tidak menimbulkan hubungan kewarisan antara
orang tua angkat dengan anak angkat. Sementara di daerah-daerah yang dianut
kekerabatan bilateral (parental, keibu-bapakan), misalnya di Jawa, Sulawesi dan sebagian
Kalimantan, pengangkatan anak menimbulkan hubungan kewarisan. Hukum adat Jawa
mengenal “ngangsu sumur loro” untuk kewarisan anak angkat. Perkataan ngangsu
berarti mencari atau memperoleh , “sumur” berarti tempat mengambil air atau perigi, loro
berarti dua. Jadi lengkapnya asas itu bermakna bahwa seorang anak angkat memperoleh
warisan dari dua sumber, yaitu dari (a) orang tua kandung, dan (b) orang tua angkat.
13
Dalam Al-qur‟an, surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5 menegaskan hal ini, yang
terjemahannya adalah sebagai berikut :
“…Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri).
Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulut saja. Dan Allah mengatakan
yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan yang benar.
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak
mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka) sebagai saudara-saudara
seagama, dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya,
tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.
Dalam kaitan ini Profesor Masjfuk mengatakan bahwa (a) Adopsi seperti praktek
dan tradisi di zaman Jahilliyah, yang memberi status kepada anak angkat sama dengan
status anak kandung tidak dibenarkan (dilarang) dan tidak diakui oleh Islam, (b)
hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkat dan keluarganya tetap seperti
sebelum diadopsi, yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan.5
Menyantuni orang miskin, memelihara anak yatim-piatu dan anak-anak terlantar,
merupakan beberapa bidang ajaran utama dalam agama islam, akan tetapi garis tegas
dalam hukum kekeluargaan (kekerabatan) tidak dapat diabaikan oleh perbuatan manusia.
Mengangkat anak disesuaikan dengan tujuan-tujuan ajaran agama islam, tentu saja
diperkenankan. Kebolehan ini tidak sampai pada derajat yang bersinggungan, apalagi
bertentangan dengan ajaran-ajaran agama islam, khususnya di bidang hukum
kekeluargaan dan hukum kewarisan. Memberikan hubungan hukum kepada anak angkat
5Masjfuk Zuhdi, 2010, Masail Fiqhiyah, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, hal. 29
14
sama dengan anak kandung merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum
islam. Contohnya seorang anak laki-laki yang mengangkat anak perempuan, tetap tidak
dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan anak angkatnya itu. Demikian juga dalam
bidang kewarisan. Tidak ada hubungan kewarisan antara orang tua angkat dengan anak
angkat. Apabila orang tua angkat meninggal dunia, maka anak angkatnya tidak tampil
sebagai ahli waris, demikian pula sebaliknya.
Menurut Muderis Zaini, ia mengatakan bahwa menurut hukum islam pengangkatan
anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketetuan-ketetuan sebagai berikut.
1. Tidak memutus hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua
biologisnya
2. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya,
melainkan tetap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang
tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya
3. Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung,
kecuali sekedar sebagai tanda pengenal/alamat
4. Orang tua angkat tidak bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak
angkatnya.6
6 Muderis Zaini, 2010, Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem HUkum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 54
15
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.Tujuan Penelitian
3.1. Tujuan Umum
a. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi,
memahami, dan menganalisis tentang fakir miskin dan anak-anak yang
terlantar.
b. Mencari solusi yang tepat apa yang dapat dilakukan dalam rangka program
pengentasan fakir miskin dan anak-anak yang terlantar, dalam perspektif
hukum islam.
3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk memperoleh solusi dan dasar hukum
pemberian harta kekayaan orang tua angkat kepada anak angkat tanpa menimbulkan
masalah dikemudian hari.
4.Manfaat Penelitian
4.1. Manfaat Teoritis
a. Secara teoritis hasil penelitian ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dalam
pembaharuan hukum islam .
b. Menambah bahan pustaka tentang pola pengentasan fakir miskin dan anak-
anak yang terlantar dalam perspektif hukum islam.
16
c. Membantu pemerintah dalam pola pelaksanaan program pengentasan
kemiskinan dan anak-anak yang terlantar.
4.2. Manfaaat Praktis
a. Menjamin kepastian hukum terhadap anak terlantar dan fakir miskin yang
diangkat oleh orang tua angkatnya.
b. Meningkatkan taraf hidup fakir miskin dan anak yang terlantar.
c. Sebagai refrensi bagi mereka yang ingin melakukan pengangkatan anak.
17
BAB IV
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang jenisnya adalah penelitian Yuridis
Normatif menggunakan data sekunder, yang bersumber dari penelitian kepustakaan ( Library
Research). Data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan sekunder, dan bahan hukum
tertier. Bahan hukum- bahan hukum tersebut diperoleh di Perpustakaan. Sementara itu, karena
penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji dan menganalisis bahan hukum tentang Pengentasan
Fakir miskin dan anak terlantar melalui pengangkatan anak dalam perspektif hukum, maka bahan
hukum primer yang paling utama adalah Kompilasi Hukum Islam, UUD 1945, Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak, dan di samping itu, juga bahan hukum
sekunder yaitu berupa buku-buku dan karya ilmiah para ahli yang terkait dengan materi yang
diteliti. Bahan hukum tertsie , meliputi ensiklopedi dan Kamus Hukum. Penelitian Yuridis
Normatif yaitu, penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mengkaji bahan-bahan hukum
yang berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan hukum yang berasal
dari berbagai literatur.7
Cara pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan metode studi dokumen, yaitu merujuk
pada bahan-bahan yang didokumentasikan, sedangkan alat pengumpul data yang digunakan
adalah kartu catatan, yaitu studi dengan cara mempelajari/mengkaji dokumen-dokumen baik
berupa dokumen pembahasan rancangan Kompilasi Hukum Islam, buku, laporan hasil penelitian,
makalah dalam seminar, tulisan para ahli dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan materi
penelitian, dan mencatat dalam kartu-kartu yang sudah dipersiapkan. Bahan hukum-bahan
7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
Rajawali Press., Jakarta. hlm. 13
18
hukum yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan content analysis (analisis isi) dan
comparative analysis (analisis perbandingan).
19
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pengaturan Fakir Miskin dan Anak Anak-anak Terlantar
Dasar hukum pengaturan fakir miskin dan anak-anak yang terlantar tersurat dalam Pasal
34 UUD 1945, menentukan:
(1) fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara.
(2) Negara mengembangkan system jaminan socsal bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum yang layak
(4) Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Dari ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar
adalah menjadi tanggungjawab Negara. Artinya kebutuhan-bebutuhan mereka itu harus dipenuhi
oleh Negara, sehingga mereka minimal dapat memperoleh penghidupan dan pendidikan yang
layak bagi kemanusiaan. Di samping itu, Pembukaan UUD 1945 telah menegaskan, bahwa
tujuan nasional yang ingin diwujudkan oleh bangsa Indonesia yaitu, melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan berbangsa, serta ikut melaksnakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
“Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini sebenarnya telah
memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan, karena pada dasarnya
pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”.8
“Masalah kemiskinan sampai saat ini terus menerus menjadi masalah yang berkepanjangan, dan
merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi, karena dalam
8 Ali Khomsan, dkk, 2015: Indikator Kemiskinan, dan Misklasifikasi Orang Miskin, Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, Jakarta, hal.1
20
menanggulanginya masalah yang dihadapi bukan saja terbatas pada hal-hal yang menyangkut
hubungan sebab akibat timbulnya kemiskinan, tetapi melibatkan juga prefensi nilai dan politik”9.
Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian
dan atau mempunyai sumber mata pencaharian, tetapi tidak mempunyai kemampuan memenihi
kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan atau keluarganya. (Pasal 1 anga 1 UU
No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir miskin). Penanganan fakir miskin berasaskan:
kemanusiaan, keadilan sosial, non-diskriminasi, kesejahteraan, kesetiakawanan, dan
pemberdayaaan. Anak terlantar adalah anak karena suatu sebab orang tuanya melalaikan
kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak terpenhuhi dengan wajar baik secara rohani,
jasmani dan soasial. Pada hakikatnya yang dimaksud anak terlantar adalah anak yang tinggal
dalam keluarga miskin usia sampai dengan 18 tahun.10
Ciri-ciri anak terlantarr adalah:
a. Laki-laki atau perempuan berusia 5 s/d 18 tahun
b. Anak yatim piatu
c. Tidak terpenuhi kebutuhan dasar
d. Anak yang terlahir dari pemerkosaan, tidak ada yang mengurus dan tidak mendapatkan
pendidikan.11
Faktor-faktor yang menyebabkan mengapa si anak menjadi terlantar antara lain adalah:
1. Faktor keluarga
9Sholeh, 2010: Kemiskinan: Telaah dan Beberapa Strategi Penanggulangannya”, dalam Ali Khohsan dkk.
10Peksos Room: Definisi anak Terlantar: Kurniawan-ramsen .blogspot.com. diakses hari sabtu, tgl 21
Oktober 2017, jam 13.29 wita. 11
ibid
21
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami isteri dan
anaknya, atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya (UU No. 10 tahun 1992)
dimana keluarga ini merupakan faktor yang paling penting yang sangat berperan
dalam pola dasar anak, kelalaian orang tua terhadap anak sehingga anak merasa
ditelantarkan. Anak-anak sebetulnya tidak hanya membutuhkan perlindungan, tetapi
juga perlindungan orang tuanya untuk tumbuh berkembang secara wajar.
2. Faktor pendidikan
Di lingkungan masyarakat miskin, pendidikan cenderung ditelantarkan karena krisis
kepercayaan pendidikan dan ketiadaan biaya untuk memperoleh pendidikan.
3. Faktor ekonomi
Akibat situasi krisis ekonomi yang tidak kunjung usaipemerintah mau tidak mau
memang harus menyisihkan anggaran untuk membayar utang dan memperbaiki
kinerja perekonomian jauh lebih banyak daripada anggaran yang disediakan untuk
fasilitas kesehatan, pendidikan, dan perlindungan soasial anak.
4. Kelahiran di luar nikah
Seorang anak yang kelahirannya tidak dikehendaki pada umumnya sangat rawan
untuk ditelantarkan dan bahkan diperlakukan salah. Pada tingkat yang ekstrim
perilaku penelantaran anak bisa berupa tindakan pembuangan anak untuk menutupi
aib atau karena ketidaksanggupan orang tua untuk melahirkan dan memelihara
anaknya secara wajar. 12
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah
mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang
tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara memberikan perlindungan
12
ibid
22
terhadap anak. Meskipun demikian dipandang masih sangat diperlukan suatu
uandang-undang yang khusus mengatur mengenai perlindungan anak sebagai
landasan yuridis bagi pelaksanaan dan tanggung jawab tersebut. Pada hematnya
pembentukan undang-undang perlindungan anak harus didasarkan pada pertimbangan
bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan
pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Orang tua, keluarga, dan masyarakat untuk menjaga dan memelihara hak
asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. demikian juga
dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, Negara dan pemerintah
bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam
menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, telah
menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan Negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara
terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus
berkelanjutan, dan terarah guna menjamin pertumbuhan, dan perkembangan anak,
baik fisik, mental, spiritual, maupun 22ocial. Tindakan ini dimaksudkan untuk
mewujudkankehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa
yang potensial, tangguh memiliki jiwa nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia
dan nilai Pancasila serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.
Upaya perlindungan terhadap anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni
sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas ) tahun.
Hal ini bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan
23
komprehensif. Undang-undang perlindungan anak juga harus meletakkan kewajiban
memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas non-diskriminasi,
kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangasungan hidup, dan
perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam melakukan pembinaan, pengembangan, dan perlindungan anak, diperlukan
peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan,
lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi 23ocial, dunia
usaha atau lembaga pendidikan.
Pengangkatan anak dan anak angkat termasuk bagian substansi dari hukum
perlindungan anak yang telah menjadi bagian dari hukum yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat sesuai adat istiadat dan motivasi yang berbeda serta perasaan hukum yang hidup
dan berkembang di masing-masing daerah, walaupun di Indonesia masalah pengangkatan
anak tersebut belum diatur secara khusus dalam undang-undang tersendiri.
5.2. Tanggung jawab Pengentasan Fakir Miskin dan Anak-Anak yang Terlantar
Bedasarkan Pasal 34, dan Pembukaan UUD 1945 sebagaimana yang telah dibahas di atas,
pada hakikatnya Negara harus bertanggung jawab terhadap keadaan kemiskinan dan kondisi
anak-anak yang terlantar. Jadi pada hakikatnya yang harus bertanggungjawab adalah
Negara, tetapi mengingat keterbatasan kemampuan Negara, maka sudah barang tentu Negara
belum dapat sepenuhnya melaksanakan kewajibannya tersebut. Terkait dengan program
pemerintah tentang pengentasan kemiskinan dan anak yang terlantar ini, kepala Bapenas
Bambang Brodjonegoro mengatakan: maslah pengentasan kemiskinan di Indonesia adalah
24
menjadi tanggung jawab bersama.13
Selanjutnya dikatakan, bahwa Pemerintah terus
berkomiten mengatasi kemiskinan di masyarakat, dan untuk itu diperlukan peran aktif dari
berbagai pihak seperti: swasta, LSM, dan Akademisi, karena masalah kemiskinan dan
ketimpangan serta pemeliharaan anak yang terlantar adalah masalah bersama.14
Pemerintah
saat ini berfokus memperbaiki taraf hidup 40 % penduduk terbawah dalam struktur ekonomi.
Indonesia sudah baik polanya dalam mengurangi kemiskinan, tetapi belum cukup agresif,
sehingga masih banyak area yang harus diperbaiki.15
Dalam 24ocial24logy hukum islam telah dikatakan dalam Hadist Nabi bahwa:
“setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai tangyung jawab terhadap yang
dipimpinnya, seorang imam adalam pemimpin dan akan ditanya tentang rakyat yang
dipimpinnya…”.16
Hadits tersebut mengandung makna bahwa Negara tidak hanya
bertanggung jawab terhadap masalah keamanan saja, akan tetapi juga bertanggung jawab
atas pemeliharaan terhadap orang-orang lemah, dan orang-orang yang membutuhkan serta
menjamin kehidupan yang layak untuk mereka. Berdasarkan Hadist tersebut memang pada
hakikatnya Negara harus bertanggung jawab, tetapi dalam konteks pengentasan kemiskinan
dan anak-anak yang terlantar “pemimpin” tidak harus diinterpretasikan sebagai pemimpin
Negara, melainkan dapat diinterpretasikan setiap fungsionaris komunitas, sehingga dapat
memperoleh justifikasi bahwa pengentasan fakir miskin dan anak yang terlantar menjadi
tanggung jawab bersama. Hasil penelitian ini dapat dijadikan “policy paper” sebagai bentuk
tanggung jawab akademisi dalam program pengentasan kemiskinan dan anak-anak yang
terlantar, yang dapat menunjang program pemerintah.
13
Antaranews.com ”,Pengentasan Kemiskinan Menjanjadi Tanggung jawab Bersama”, Jum‟at. 11 Agustus
2017, diakses, sabtu 11 Nopember 2017 jam 11.15. wita 14
Ibid 15
Ibid 16
Hadits Riwayat Muttafaqun „Alaih.
25
5.3. Konsep Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat dan Hukum Islam
5.3.1. Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat
“…bahwa dengan jalan suatu perbuatan hukum, dapatlah orang memengaruhi
pergaulan-pergaulan yang berlaku sebagai ikatan biologis, dan tertentu dalam
kedudukan sosialnya ; sebagai cotoh dapat disebutkan: kawin ambil anak, atau
“inlijfhuwelijk”. Kedukan yang dimaksud membawa dua kemungkinan, yaitu: a.
sebagai anak, sebagai anggota keluarga melanjutkannketurunan, sebagain ahli
waris. b. sebagai anggota masyarakat (sosial) dan menurut tata cara adat,
perbuatan pengangkatan anak itu pasti dilakukan dengan terang dan tunai.17
Berdasarkan pendapat Ter Haar tersebut di atas, dapat diketahui bahwa seorang anak
yang telah diangkat sebagai anak angkat, melahirkaan hak-hak yuridis dan 25ocial, baik
dalam aspek hukum kewarisan, kewajiban nafkah dan perlindungan anak, perkawinan dan
25ocial kemasyarakatan. Dalam hukum waris adat anak angkat menerima hak-hak dan
kewajiban sebagai ahli waris layaknya anak kandung baik materiil, maupun immatreriil.
Benda-benda meteriil mslnya, rumah, sawah, kebon, sapi, atau ternak lainnya, dsn benda-
benda lainnya, sedangkan yang termasuk benda-benda immaterial, misalnya: gelar adat,
kedudukan adat, dan martabat keturunan. Dalam bidang sosial kemasyarakatan, anak
angkat adat mempunyai hak-hakk sosial , seperti menghadiri upacara adat, cara berpakian
tertentu pada upacara-upacara tertentu, menempati tempat-tempat adat tertentu seperti, di
kursi paling depan, dan lain-lain.
Prinsip hukum adat dalam suatu perbuatan hukum adat adalah terang dan tunai.18
Terang ialah suatu prinsip legalitas, yang berarti bahwa perbuatan hukum itu dilakukaan di
17
“Ter Haar”, dalam Bushar Muhammad, 1981, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta Pradnya Paramita ,
hlm. 29 18
Bushar Muhammad, 1981, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 29
26
hadapan dan diumumkan di depan orang banyak, dengan resmi secara formal, dan telah
dianggap semua orang mengetahuinya. Tunai, artinya perbuatan itu akan selesai seketika
pada saat itu juga, tidak mungkin ditarik kembali.19
Ter Haar menyatakan:
Pertama-tama harus dikemukakan mengambil anak dari luar lingkungan keluarga
ke dalam lingkungn suatu klan atau kerabat tertentu, anak ini dilepaskan dari
lingkungan yang lama dengan serentak diberi imbalannya, penggantinya berupa
benda magis. Setelah penggantian dan penukaran itu berlangsung, anak yang
dipungut itu masuk ke dalam lingkungan kerabat yang mengambilnya sebagai
anak, inilah mengambil anak sebagai suatu perbuatan tunai.20
Surojo Wignjodipuro, menyebutkan bahwa adopsi dalam hal ini harus terang,
artimya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala adat.
Kedudukan hukum anak yang diangkat demikian ini adalah sama denga anak kandung
dari suami isteri yang mengangkatnya, sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang
tua sendiri secara adat menjadi putus, seperti yang terdapat di daerah Gayo, Lampung,
Pulau Nias, dan Kalimantan.21
Dilihat dari aspek hukum, pengangkatan anak menurut hukum adat tersebut,
memiliki segi persamaan dengan hukum adopsi yang dikenal dalam hukum barat, yaitu
masuknya anak angkat ke dalam keluarga orangtua yang mengangkaatnya, dan
terputusnya hubungan keluarga dengan keluarga atau orang tua kandung anak angkat.
Perbedaanya dalam hukum adat dipersyaratkannya suatuimbalan sebagai pengganti
kepadaa orang tua kandung anak angkat, biasanya berupa benda-benda yang
dikeramaatkan atau dupandang memiliki keuatan magis.
Di lihat dari segi motivasi pengangkatan anak, berbeda dengan motivasi
pengangkatan anak yang terdapat dalam undang-undang perlindungan anak yang
19
Ibid hlm. 30 20
Ibid 21
Ibid
27
menekankan bahwa perbuatan hukum pengangkatan anak harus didorong oleh motivasi
semata-mata untuk kepentingan yang terbaik untuk anak yang akan diangkat. Dalam
hukum adat lebih ditekankan pada kekhawatiran (calon orangb tua angkat) akan
kepunahan, maka calon orang tua angkat (keluarga yang tidak punya anak)
mengambil/mupon anak dari lungkungan kekuasaan kekerabatannya yang dilakukan
secara kekerabatan, maka anak yang diangkatb itu kemudian mendudukiseluruh
kedudukan anak kandung ibu dan bapak yang mengangkatnya, dan ia terlepas dari
golongan sanak saudaranya semula. Pengangkatan anak tersebut dilakukan dengan
upacara-upacara dengan bantuan pemuka-pemuka rakyat atau penghulu-penghulu yang
dilakukan secara terang karena dihadiri dan disaksikan oleh hadirin undangan dan
khalayak ramai.22
Bushar Muhammad membagi pengangkatan anak dalam dua macam, yaitu: adopsi
langsung (mengangkat anak), adopsi tidak langsung (melalui perkawinan).23
Nyentana
yang merupakan bentuk adopsi langsung (mengangkat anak) di Bali, yaitu pengangkatan
anak yang dilakukan dengan cara mengambil anak dari lingkungn klan besar , dari kaum
keluarga, bahkan akhir-akhir ini tidak jarang terjadi dari luar lingkungan keluarga.
Apabila isteritua tidak mempunyai anak, dan bini selir mempunyai anak, maka anak-anak
tersebut dijadikan sebagai anak angkat isteri tua. Apabila tidak ada anak laki-laki yang
dapat diambil anak, dapat juga anak perempuan yang dipungut menjadi Santana, yang
diangkat dengan fungsi rangkap, yaitu yang pertama dipisahkan dari kerabatnya sendiri,
dan dilepas dari ibu kandungnya sendiri dengan jalan pembayaran adat berupa “seribu
kepeng” serta “seperangkat pakaian perempuan” kemudian ia baru dihubungkan dengan
22
Ibid hlm. 30 23
Ibid
28
kerabat yang mengangkat (diperas).24
Suami yang mengambil anak bertindak dengan
persetujuan kerabatnya, lalu diumumkan dalam desa “siar” dan dari pihak raja sebagai
kepala adat dikeluarkan izin yang disusun dalam suatu penetapan raja, berupa akta yang
disebut Surat Peras.alasan dari pengangkatan semacam ini, ialah suatu kehawatiran akan
kepunahan, malahan sesudah meninggalnya suami iteripun dapat mengangkat anak
dengan mengangkat keris atas nama suami sebagai wakilnya.25
Adopsi tidak langsung,
yaitu apabila seseorang kawin atau mengawinkan dan sesudah itu ia mengangkat seorang
anak tirinya atau anak mantunyasebagai anak sendiri yang akan melanjutkan keturunan,
kadang-kadang sebagai ahli waris sepenuhnya.26
Dalam hukum adat tidak ada ketentuan yang tegas tentang siapa saja yang boleh
melakukan adopsi dan batas usianya, kepatutan batas usia anak yang patut untuk
diangkat, antara daerah yang satu dengan daerah lainnya berbeda. Di Banjarmasin
perbedaan usia antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat dipandang patut jika
ada selisih usia 15 Tahun.27
Mengenai hakiki suatu pengangkatan anak secara adat dipandang telah terjadi,
yurisprudensi Mahkamah Agung menyatakan bahwa “menurut hukum adat di daerah
Jawa Barat. Seseorang dianggap sebagai anak angkat bila telah diurus, dikhitan,
disekolahkan, dikawinkan, oleh orang tua angkatnya.28
Di daerah Kecamatan Singaraja Kabupaten Darut seorang perempuan yang belum
pernah kawin tidak boleh melakukan adopsi, tetapi janda/duda diperbolehkan. Di
24
Ibid hal. 30 25
Ibid hal 30 26
Ibid hal 33 27
Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin oleh Mudernis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem
Hukum , 1999, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.42 28
Yurisprudensi Mahkamah Agung No.1074K/Pdt/1995 tanggal 18 Maret 1996
29
kecamatan Leuwidamar (Bandung) baik belum atau sudah kawin boleh saja, begitu pula
di Kecamatan Banjarharjo, Brebes (Semarang). Kemudian di Daerah Parindu Kalimantan
Barat (SukuDayak), juga dibolehkan, tapi dalam hubungan keponakan saja. Begitu juga
di Kecamatan Sambas Kalimantan Barat, kecuali di Kecamatan Mmanyuke, mempawah,
maka seorang yang belum kawin hanya boleh memelihara seorang anak yang disebut
“Nganahain”, bukan dalam pengertian mengangkat anak.29
Di daerah Kendari Sulawesi Tenggara lain lagi, di sana tidak ditemukan orang
yang belum kawin mengangkat anak, begitu pula di daerah Kolaka, kecuali janda/duada.
Di daerah Lombok Tengah belum diketahui atau belum pernah seorang bujangan
mengangkat anak. Kalau di daerah Klungkung umumnya yang mengangkat anak adalah
suami-isteri, tapi ada juga wanita belum kawin mengangkat anak, demikian pula di
daerah Gianyar. Di daerah Palembang tidak terdapat orang yang belum kawin
mengangkat anak , hanya kebiasaan suami-isteri yang tidak punya anak, kecuali suku
Meapur, Kecamatan Belinyu (Bangka) juga tergadap orang yang belum kawin/tidak
kawin yang mengangkat anak adalah yang sudah tua.30
Umumnya di Indonesia tidak membeda-bedakaan anak laki-laki atau perempuan
yang dapat diangkat sebagai anak angkat. Di daerah-aerah tertentu tidak membolehkan
pengangkatan anak perempuan, sebab memang daerah tersebut menganut sistem
kekeluargaan Patrilenial, misalnya: di Kabupaten Kupang, Alor, Lampung Peminggiran
Kecamatan Kedondong.31
Mengenai batas usia anak yang dapat dijadikan anak angkat,
29
Mudernis Zaini,Op. Cit. hlm.43 30
Mudernis Zaini Loc. Cit 31
Mudernis Zaini Loc. Cit
30
berbeda-beda di tiap daerah, tetapi pada umumnya dapat dikatakan bahwa usia anak
adalah 1 sampai dengan 17 tahun dan belum pernah menikah.
Perlu dipahami, bahwa pengangkatan anak yang dilakukan secara adat sesuai
dengan adat masing-masing daerah di Indonesia, belum memiliki kekuatan hukum
sepanjang belum disahkan oleh Pengadilan. itulah sebabnya beberapa kasus perdata yang
sifatnya sengketa (contentiosa) gugatan waris, biasanya ada petitum permohonan
pengesahan pengangkatan anak yang telah berlangsung lama dan dilakukan berdasarkan
hukum adat, guna untuk mendapatkan bagian warisan dari harta peninggalan orang tua
angkatanya.32
Kedudukan anak angkat berbeda-beda di tiap-tiap daerah, di daerah yang sistem
sosial kekeluargaanya menganut Patrilenial atau garis keturunan laki-laki, misalnya di
Bali dari pertalian keluarganya dengan orang tuanya sendiri dengan memasukkan anak
angkat tersebut ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga anak angkat itu berkedudukan
sebagai anak kandung, untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya.33
Sataus anak
angkat di Bali seperti disebutkan di atas, ada kemiripan dengan pengertian anak angkat
dalam hukum barat yang juga memutuskan, dan memasukkan anak angkat ke dalam
keluarga orang tua angkatnya sebagai anak kandung yang diberi hak-hak yang sama
dengan status anak sah atau anak kandung.34
Berbeda dengan di Jawa, pengangkatan anak
tidak memutuskan hubungan pertalian darah dengan orang tua kandung anak angkat itu,
hanya anak angkat didudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan keturunan bapak
angkatnya, dan sama sekali tidak memutuskan hak-haknya dengan orang tua kandungnya,
32
Lihat Putusan Mahkamah Agung No.05/Pdt./1971, tanggal 25 Februari 1971. 33
Soepomo, 2010, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pustaka Gramedia, Jakarta, hlm. 118 34
Ahmad Kamil dan H.M. Fauzan, 2010, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan anak di Indonesia,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 44
31
sehingga hukum adat jawa memberikan pepatah bagi anak angkat dalam hal hak waris
dikemudian hari dengan istilah “anak angkat memperoleh warisan dari dua sumber air
sumur”. Maksudnya anak angkat tetap memperoleh Harta warisan dari orang tua
kandung, juga dari orang tua angkatnya.35
Muderis Zaini, meyakini bahwa sebetulnya banyak daerah di Indonesia yang
hukum adatnya menyatakan bahwa anak angkat bukanlah sebagai ahli waris, di sini dapat
disebutkan antara lain misalnya: di daerah Lahat (Palembang), Pasemah, Kabupaten
Batanghari, Kecamatan Bontomarumu, kabupaten Goa daerah kepulauan Tidore
(Ambon)., daerah Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Kecamatan Cikajang Kabupaten
Garut, Kecamatan Sambas Kalimantan Barat dan beberapa daerah lainnya.36
Secara adat kebiasaan masyarakat yang mengakui adanya hukum adat anak
angkat, bagi mereka aadalah suatu hal yang termasuk tidak etis, dan akan mendapat
celaan dari masyarakat apabila anak angkat yang telah diketahui oleh masyarakat tersebut
kemudian dibatalkan oleh anak atau keluarga orang tua angkat. Kecuali anak angkat
tersebut nyata-nyata telah melakukan pengkhianatan, pembunuhan, percobaan
pembunuhan terhadap orang tua angkatnya. Beberapa daerah tersebut secara umum
menyatakan bahwa, anak angkat bukanlah ahli waris dari orang tua angkatnya, anak
angkat merupakan ahli waris dari orang tuanya sendiri. Anak angkat memperoleh harta
warisan dari peninggalan orang tua angkatnya melalui hibah atau melalui pemberian
wasiat (sebelum orang tua angkatnya meninggal dunia).
35
Ibid. hlm. 45 36
Mudernis Zaini, Op.Cit. hlm.50
32
5.3.3. Pengangkatan Anak Dalam Hukum Islam
Istilah”Pengangkatan Anak” berkembang di Indonesia sebagai terjemahan dari
bahasa Inggris “adoption”.37
Mengangkat seorang anak, berarti mengangkat seorang
anak orang lain dijadikan anak sendiri, dan mempunyai hak yang sama dengan anak
kandung.38
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah pengangkatan anak disebut
dengan istilah “Adopsi” yang berarti pengambilan (pengangkatan) anak orang lain
secara sah menjadi anak sendiri.39
Anak yang diadopsi disebut anak angkat, peristiwa
hukumnya disebut pengangkatan anak.
Secara historis pengangkatan anak sudah dikenal Bangsa Arab sejak zaman
Jahilliah (zaman sebelum Islam) dan sudah ditradisikan secara turun-temurun.40
Pengangkatan anak tidak mempengaruhi kemahraman antara anak angkat dengan
orang tua angkatnya. Anak angkat tidak termasuk dalam salah satu unsur
kemahraman, sehingga antara kedua belah pihak tidak ada larangan untuk saling
mengawini, dan tetap tidak boleh saling mewarisi.41
Menurut ulama fikih,
mengangkat anak atas dasar ingin mendidik dan membantu orang tua kandungnya
agar anak tersebut dapat mandiri di masa datang.42
Secara hukum tidak dikenal
perpindahan nasab dari ayah kandungnya ke ayah angkatnya. Maksudnya, ia tetap
37
Jonathan Crowther, (ed.), 1996, Oxford Adnenced Leaner Dictionery, Oxford hlm. 16 38
Simorangkir, JCT, 1996, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, hlm.4 39
Kemendikbud, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balaim Pustaka, Jakarta, hlm.7 40
Mudernis Zaini, Op.Cit. hlm.53 41
Ahmad Kamil dan H.M. Fauzan, Op. Cit. hlm.100 42
Ahmd Kamil dan HM. Fauzan , loc. cit.
33
menjadi salah seorang mahram dari keluarga ayah kandungnya, dalam arti berlaku
larangan kawin dan tetap saling mewarisi dengan ayah kandungnya. Jika ia
melangsungkan perkawinan setelah dewasa, maka walinya tetap ayah kandungnya.
Berdasarkan paparan di atas, jelas bahwa dalam lembaga pengangkatan anak yang
bertentangan dengan ajaran islam adalah pengangkatan anak yang dengan sengaja
menjadikan anak angkat sebagai anaknya sendiri dengan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang disamakan dengan anak kandung, diberikan hak waris sama dengan
hak waris anak kandung, dan orang tua angkatnya menjadi orang tua kandung anak
yang diangkatnya. Pengangkatan anak dalam hukum islam pengertiannya terbatas
dengan menekankan aspek kecintaan , perlindungan, dan pertolongan terhadap hak
pendidikan anak, nafkah sehari-hari, kesehatan, dan lain-lain. Alloh telah berfirman:
bertolong-tolonglah kamu dalam hal kebajikan dan takwa, tetapi jangan bertolong-
tolongan dalam hal kemaksiatan dan permusuhan.43
Anak angkat harus tetap dipanggil dengan nasab ayah kandungnya. Alloh telah
berfirman:
Alloh tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia
tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu dzihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak
menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu, yang demikian itu hanya
perkataan di mulutmu saja, dan Alloh mengatakan yang sebenarnya, dan Dia
menunjukkan jalan yang lurus. Paggilah mereka (anak-anak angkt itu) dengan
memakai nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil disisi Alloh, dan jika
kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka) ebagai
saudara-saudaramu seagama, dan tidak ada dosa atasmu terhadap aoa yang kamu
khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu, dan adalah
Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.44
Berdasrkan Firman Alloh tersebut dapat diketahui bahwa pengangkatan anak
dalam hukum islam tidak dimaksudkan untuk memutuskan hubungan kemahraman
43
Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 2 44
Al-Qur’an Surat Al-Azab ayat 4 dan 5
34
dengan orang tua kandungnya, melainkan hanya sebatas membiayai kehidupan anak
tersebut agar kehidupannya dimasa mendatang menjadi lebih baik.
Mengangkat anak sama dengan memberi harapan hidup bagi masa depan anak.
Hal ini sesuai dengan Firman Alloh: .. Dan barang siapa yang memelihara kehidupn
seorang manusia, maka ia seolah-olah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.45
Mengangkat anak bagian dari bertolong-tolongan dalam hal kebajikan. Firmal Alloh:
…Dan bertolong-tolonglah kami dalam hal kebajikan dan ketakwaan, dan janganlah
kamu bertolong-tolongan dalam kemaksiatan dan permusuhan.”46
Anjuran
memberikan makan kepada anak terlantar dan anak yatim. Firman Alloh:… Dan
mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan
orang-orang yang ditawan.47
Dalam hal warisan kerabat dekat tidak boleh diabaikan
karena ada anak angkat. Firman Alloh:…Orang yang mempunyai hubungan kerabat
dekat itu, sebagiannya lebih berhak terhadap sesamnya daripada yang bukan
kerabatnya di dalam Kitab Alloh sesungguhnya Alloh mengetahui segala sesuatu.48
Islam melarang menasabkan anak angkat dengan ayah angkatnya. Dari Abu Dzar r.a.
Bahwasannya ia mendengar Rasulullah saw. bersabda “Tidak seorangpun yang
mengaku (membanggakan diri) kepada orang yang bukan bapak yang sebenarnya,
sedangkan ia mengetahui benar bahwa orang itu bukan ayahnya, melainkan ia telah
kufur, dan barang siapa yang telah melakukan hal-hal itu maka bukan dari golongan
45
Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 32 46
Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 2 47
Al-Qur’an Surat Al-Insan ayat 8 48
Al- Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 5
35
kami (kalangan kaum muslimin) dan hendaklah ia menyiapkan diri tempatnya dalam
api neraka. (HR. Riwayat Bukhori dan Muslim).49
Berdasarkan paparan tersebut di atas, diketahui bahwa hukum islam tidak
mengakui lembaga pengangkatan anak yang bertujuan untuk melepaskan seorang
anak angkat dari kerabat orang tua kandungnya dan memasukkan ia ke dalam hukum
kekerabatan orang tua angkatnya. Hukum islam hanya mengakui bahkan
menganjurkan pengangkatan anak dan pemeliharaan anak , dalam arti status
kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan keluarga orang tua angkatnya, dan
dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum apa-apa. Ia tetap anak dan kerabat
orang tua kandungnya, berikut dengan segala akibat hukumnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa memungut, memelihara, mengsuh,
dan mendidik anak-anak yang terlantar demi kepentingan dan kemaslahatan anak
dengan tidak memutuskan nasab orangtua kandungnya adalah perbuatan yang terpuji
dan dianjurkan oleh ajaran islam, bahkan dalamm kondisi tertentu dimana tidak ada
orang lain yang memeliharanya, maka bagi si-mampu yang menemukan anak
terlantar tersebut hukumnya wajib untuk mengambil dan memeliharanya tanpa harus
memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandungnya.
Berdasarkan UU. No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama yang mulai berlaku mulai tanggal 21 Maret 2006,
Pengadilan Agama memiliki kewenangan absolut untuk menerima, memerikasa, dan
mengadili perkara permohonan pengangkatan anak berdasarkan hukum islam,
sebagaimana produk hukum yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri tentang
pengangkatan anak yang berbentuk “Penetapan”, maka produk Pengadilan Agama
49
Lihat dalam Sahih Bukhori hadis nomor 3246.
36
tetang pengangkatan anak yang dilakukan berdasarkan hukum islam juga berbentuk
“Penetapan”. Penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum islam oleh
Pengadilan Agama tidak memutuskan hubungan hukum atau nasab dengan orang tua
kandungnya. Anak angkat secara hukum tetap diakui sebagai anak kandung orang tua
kandungnya. Adanya justifikasi terhadap anak angkat dalam hukum islam tidak
menjadikan anak angkat itu sebagai anak kandung atau anak yang dipersamakan hak-
hak dan kewajibannya seperti anak kandung dari orang tua angkatnya, hubungan anak
angkat dengan orang tua angkatnya seperti hubungan antara anak asuh dengan orang
tua asuh yang diperluas.
5.4.Pengangkatan Anak Dalam Hukum Islam Sebagai Program Pengentasan
Kemiskinan dan Anak-Anak yang Terlantar
Kata “mengentaskan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: mengangkat
(dari suatu tempat ke tempat lain), mengentaskan untuk orang lain, menyadarkan,
memperbaiki, (menjadikan, mengangkat) nasib atau keadaan yang kurang baik
kepada yang (lebih) baik).50
Berdasarkan makna tersebut, dapat diketahui bahwa yang
dientaskan adalah nasib, objek yang dilanda keadaan kurang baik untuk dijadikan
lebih baik. Sementara dalam konteks mengentaskan kemiskinan bertujuan untuk
merubaah keadaan yang kurang baik menjadi keadaan yang lebih baik.
Peganngkatan anak dalam perspektif pengentasan kemiskinan, diartikan sebagai
mengangkat anak dari keadaan yang kurang baik untuk menjadi lebih baik, sehingga
keadaan anak tersebut di masa mendatang menjadi baik sebaagaimana keadaan anak-
anak yang berada di lingkungan keluarga yang baik (dibaca mampu).
50
Balai Pustaka, 2010, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pustaka Ilmu, Jakarta, hlm. 130
37
Islam telah lama mengenal istilah adopsi yang dikenal dengan istilah : “Tabbani”
yang di era modern sekarang ini disebut Adopsi atau pengangkatan anak. Rasulullah
SAW , bahkan mempraktekkan langsung, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritsah
sebagai anaknya. Tabbani secara harafiah diartikan seseorang yang mengambil anak
orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini dilakukan untuk
memberi kasih sayang, nafkah, pendidikan dan keperluan lainnya, karena secara
hukum anak itu bukan anaknya.
Pengangkatan anak dinilai pantas sebagai perbuatan yang pantas dilalkukan oleh
pasangan suami isteri yang luas rejekinya, namun belum dikaruniai anak, oleh karena
itu sangat baik apabila mengambil anak orang lain yang kurang mampu agar,
mandapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim-piatu) atau untuk mendidik dan
memberikan kesempatan belajar kepadanya.
Di Indonesia peraturan terkait dengan pengangkatan anak terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Demikian pula
Kompilasi Hukum Islam juga memperhatikan tentang aspek ini. Pasal 171 KHI
menentukan bahwa,” anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk
hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggungjawabnya
dari orang tua asal ke orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengharapkan supaya pengangkatan anak
dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial, untuk memelihara, mengasuh dan
mendidik anak dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri, dan ini merupakan
perbuatan yang terpuji, dan termasuk amal saleh. Demikian tidak diragukan lagi
bahwa usaha melakukan pengangkatan anak (adopsi) itu merupakan perbuatan yang
38
terpuji dan dianjurkan oleh agama dan diberi pahala. Seorang ayah angkat
diperbolehkan mewasiatkan sebagian dari harta peninggalannya untuk anak
angkatnya, sebagai persiapan masa depannya, agar ia dapat merasakan ketenangan
hidup. Para ulama di Indonesia telah memfatwakan bahwa pengangkatan anak warga
Negara Indonesia oleh orang asing, selain bertentangan dengan Pasal 34, UUD 1945
juga merendahkan martabat bangsa Indonesia. Pengangkatan anak oleh warga Negara
Indonesia, terhadap anak-anak kurang mampu dan anak-anak yang terlantar dari
aspek agama islam merupakan suatu kewajibann bagi yang memenuhi syarat.
Bertolak dari paparan di atas diketahui, ada 3 ( tiga) dasar prinsip pengangkatan
anak, yaitu:
6. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak
dan dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
7. Pengangkatan anak yang dilakukan tidak memutuskan hubungan darah antara
anak angkat dengan orang tua kandung;
8. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon
anak angkat, apabila calon orang tua angkat berbeda agama antara suami dan
isteri , maka calon orang tua angkat tersebut tidak bisa melakukan pengangkatan
anak.
Berdasarkan pembahasan tentang konsep pengangkatan anak dalam hukum
islam sebagaimana dipaparkan di atas, akhirnya dapat dimengerti bahwa
pengangkatan anak terhadap fakir miskin dan anak-anak terlantar pada
hakikatnya dapat dijadikan upaya pemerintah dalam program pengentasan fakir
miskin dan anak terlantar, demi kepentingan masa depan anak-anak tersebut.
39
BAB VI
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Penelitian ini pertama kali mencarikan dasar-dasar atau landasan hukum yang
kuat pengentasan kemiskinan melalui pengengkatan anak, tanpa menimbulkan
masalah social, hukum dan agama.
Selanjutnya untuk tahap penelitian berikutnya mengupayakan akan mencari
makna pengangkatan anak menurut hukum islam berkaitan dengan upaya
pengentasan kemiskinan di Indonesia. Untuk tahun ke tiga dapat dilakukan rencana
aksi berkaitan dengan mediasi antara yang memenuhi syarat untuk pengangkatan
anak dengan pihak fakir miskin dan anak terlantar.
40
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana yang telah diuraikan dalam-Bab-bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Hukum Islam memandang pengangkatan anak sebagai upaya pengentasan
kemiskinan dari keluarga yang tidak mampu dan atau anak-anak yang
terlantar agar keadaan anak tersebut menjadi lebih baik sebagaimana
keadaan anak-anak dari lingkungan keluarga yang mampu. Hal tersebut
didasarkan pada prinsip-prinsip: pemberian kasih sayang, nafkah,
pendidikan dan keperluan-keperluan lainnya.
2. Prinsip-prinsip pengangkatan anak dalam hukum islam dapat membantu
Pemerintah berkaitan dengan tanggungjawab konstitusionalnya dalam
memelihara dan mengentaskan fakir miskin serta anak-anak yang terlantar
di Indonesia.
6.2. Saran-Saran
1. Dalam rangka mempercepat tercapainya tujuan Negara Republik Indonesia
untuk mensejahterakan masyarakat, hendaknya Pemerintah
mengintensifkan sosialisasi pengangkatan anak sebagai solusi kepada
masyarakat yang mampu yang belum punya keturunan menggunakan
pengangkatan anak sebagai perbuatan yang dapat menambah amal soleh.
41
2. Demi kepastian hukum terhadap pelaksanaan pengentasan fakir miskin dan
ana-anak yang terlatar melalui pengangkatan anak, dan meminimalisir
penyalahgunaan lembaga pengangkatan anak, perlu adanya kebijakan
regulasi mengenai baik pengawasan prosedur maupun
pemeliharaanya/pengasuhannya di masyarakat.
42
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Kamil dan H.M. Fauzan, 2010, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan anak di
Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta
Ali Khomsan, dkk, 2015: Indikator Kemiskinan, dan Misklasifikasi Orang Miskin, Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
Antaranews.com ”Pengentasan Kemiskinan Menjanjadi Tanggung jawab Bersama”
Amir Syarifudin, 2005, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta
Budiono, Rahmad, 2010, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam, Pen. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Bushar Muhammad, 20010, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta Pradnya Paramita,
Jakarta
Balai Pustaka, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT Gramedia, Jakarta
Hilman Hadikusuma, 20011, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung,
Jakarta.
Masjfuk Zuhdi, 2010, Masail Fiqhiyah, CV. Haji Mas Agung, Jakarta.
Muderis Zaini, 2010, Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem HUkum, Sinar Grafika, Jakarta
Peksos Room: Definisi anak Terlantar: Kurniawan-ramsen .blogspot.com.
Sholeh, 2010: Kemiskinan: “Telaah dan Beberapa Strategi Penanggulangannya”, dalam Ali
Khohsan dkk.
Simorangkir, JCT, 1996, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta
Soepomo, 2010, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pustaka Gramedia, Jakarta
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Rajawali Press., Jakarta.
Surojo Wigjodipuro, 2011, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta.