bidang unggulan : sosial, ekonomi dan bahasa kode/ bidang ... · kode/ bidang ilmu : 596 / ilmu...
TRANSCRIPT
Bidang Unggulan : Sosial, Ekonomi Dan Bahasa
Kode/ Bidang Ilmu : 596 / Ilmu Hukum
LAPORAN PENELITIAN HIBAH DOSEN MUDA
PERLINDUNGAN KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
ATAS TERBITNYA SERTIFIKAT HAK GUNA BANGUNAN PADA TANAH
ADAT
(STUDY DI DAERAH ALIRAN SUNGAI YEH POH DESA ADAT CANGGU
KABUPATEN BADUNG)
TIM PENELITI
I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari, SH MKn
I Nyoman Wita SH MH
DIBIAYAI DARI DANA DIPA UNIVERSITAS UDAYANA
DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN
NOMOR : SK 916A/UN14.1.11/KU/2015, TANGGAL 04 MEI 2015
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2015
D A F T A R I S I
JUDUL ........................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... ii
RINGKASAN ................................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................
1.1. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah .............................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 6
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN................................ 16
BAB IV METODE PENELITIAN .......................................................... 17
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 19
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 30
6.1. Kesimpulan ................................................................................. 30
6.2. Saran ............................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RINGKASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan kesatuan
masyatakat hukum adat atas hak ulayatnya yang dihadapkan dengan hak menguasai tanah
oleh negara dengan terbitnya sertifikat Hak Guna Bangunan di kawasan Daerah Aliran
Sungai Yeh Poh Banjar Tegal Gundul Desa Adat Canggu. Dalam hal ini kasusnya terjadi
pada hak ulayat yaitu tanah adat Desa Adat Canggu yang mana di bagian wilayah tersebut
telah terbit sertifikat Hak Guna Bangunan yang mana investor adalah selaku pemegang hak
mempergunakannya untuk kepentingan penanaman modal di bidang penyediaan fasilitas
pariwisata. Realitas tersebut menarik untuk diteliti yaitu untuk mengetahui bagaimana
perlindungan hak ulayat masyarakat adat dan dasar hukum terbitnya sertifikat Hak Guna
Bangunan bagi investor PT Bali Unicorn Corporation.
Metode yuridis empiris dipergunakan untuk mencapai tujuan dalam penelitian ini.
Dilakukan melalui pendekatan fakta melalui pengamatan langsung pada lokasi penelitian
yaitu di Desa Adat Canggu. Menggunakan data primer langsung sesuai kasus dan data
sekunder melalui study kepustakaan dan juga kesesuaian dengan peraturan perundang-
undangan yang ada.
Hasil penelitian dapat menjawab bagaimana perlindungan hukum terhadap kesatuan
masyarakat hukum adat dimana pada saat bersamaan pula dapat juga mewujudkan
kepentingan negara atas penanaman modal dengan terbitnya HGB oleh BPN sebagai
implementasi hak menguasai oleh negara. Sehingga dapat ditemukan jawaban apabila ada
kasus serupa tanpa harus mengesampingkan perlindungan hak ulayat masyarakat adat. Dalam
hal ini semua komponen berbangsa dan bernegara tetap dapat terlindungi, masyarakat hukum
adat, investor dalam menanamkan modalnya sekaligus memberi kontribusi bagi penataan
kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam aspek pertanahan.
Kata Kunci : Perlindungan, Hak Ulayat, Hak Guna Bangunan
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, karena
berkat Anugrahnya sehingga pelaksanaan kegiatan penelitian ini dapat terlaksana dengan
lancar dan semestinya sesuai dengan rencana dan jadwal yang telah ditetapkan.
Hasil kegiatan pengabdian masyrakat ini, dituangkan dalam bentuk laporan yang
berjudul “
Keberhasilan pelaksanaan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan dari para pihak
diantaranya :
1. Fakultas Hukum Universitas Udayana yang mendukung sepenuhnya baik dari
pendanaan melalui dana DIPA sehingga dapat mewujudkan penelitian ini dari
awal hingga selesai
2. Rekan-rekan dosen Fakuktas Hukum Universitas Udayana yang memberi
masukan untuk menambah dan menyempurnakan penelitian ini
3. Informan dan responden terkait penelitian yaitu prajuru dan masyarakat sekitar
Loloan Yeh Poh Banjar Tegal Gundul Desa Adat Canggu yang sangat terbuka
dalam memberikan informasi yang relevan sehingga penelitian ini berhasil dengan
baik.
4. Semua pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu dalam penelitian ini yang
juga tidak kalah penting perannya dalam memberi dukungan terhadap proses dan
hasil penelitian ini.
Kami menyadari bahwa kegiatan dan laporan penelitian ini jauh dari sempurna .
Semoga hasil kegiatan dan laporan penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Oktober, 2015
Tim Peneliti
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan amanat tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum
diupayakan seluas-luasnya melalui pembangunan di segala bidang. Setiap komponen bangsa
dalam kehidupan bernegara harus mendapat prioritas yang sama dalam merasakan hasil
pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur.Gerak pembangunan diarahkan kesemua
sektor dan bergerak cepat seiring perubahan di era globalisasi dan industrialisasi. Untuk dapat
merealisasikan tujuan negara atas kesejahteraan, dibutuhkan kecukupan lahan dan
permodalan untuk mendanai pembangunan.
Kehadiran investor dari aspek permodalan sangat diperlukan dalam menunjang
pembangunan.Terkait itulah biasanya akan disertai pemenuhan atas lahan yang terbuka luas
untuk investor dapat menjalankan usahanya. Semisal untuk pabrik-pabrik berskala besar,
perkebunan, pembukaan hutan dan masih banyak lagi yang sering kita ketahui melalui
pemberitaan berbagai media. Sedangkan di kawasan pariwisata biasanya kebutuhan lahan
diperuntukkan bagi penyediaan fasilitas-fasilitas penunjang kepariwisataan. Apapun jenis
usahanya, pemerintah membutuhkan penanam modal dan telah memperhitungkan
keterlibatannya secara cermat untuk mendorong laju pembangunan lebih cepat. Pemerintah
telah pula menetapkan garis kewenangan dan pola koordinaasi dari tingkat pusat hingga
daerah.
Kewenangan terkait penanaman modal yang cukup strategis adalah kewenangan
urusan pemerintahan di bidang pertanahan. Pengaturan kewenangan pemerintahan di bidang
pertanahan diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) dalam pasal 33 ayat 3
dimana disebutkan : “ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Dari kata
“dikuasai oleh negara “ terlihat bahwa kewenangan di bidang pertanahan dilaksanakan oleh
negara yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah pusat.Berdasarkan kewenangan yang
bersumber dari konstitusi tersebut maka kemudian diterbitkan UU No. 5 Tahun 1960 yaitu
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mengatur masalah keagrariaan atau
pertanahan sebagai bagian dari bumi. Realisasi selanjutnya dalam aspek pertanahan juga
diatur dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah .1
Akan halnya kewenangan pertanahan yang juga dapat dilaksanakan pemerintah
daerah,untuk pola koordinasi dalam penanaman modal tampaknya tidak begitu berbeda.
Berdasar penjelasan umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal pelaksanaan penanaman modal diarahkan ke berbagai sektor
dengan meningkatkan koordinasi antar instansi, termasuk peran pemerintah daerah yang
harus sejalan dengan otonomi daerah. Pemerintah daerah bersama-sama instansi atau
lembaga, baik swasta maupun pemerintah , harus diberdayakan lagi, baik dalam
pengembangan peluang potensi daerah maupun koordinasi promosi dan pelayanan
penanaman modal. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan penyelenggaraan penanaman modal berdasarkan asas otonomi
daerah dan tugas pembantuan dan dekonsentrasi. Oleh karena itu peningkatan koordinasi
kelembagaan ini harus dapat diukur dari kecepatan pemberian perijinan dan fasilitas
penanaman modal dengan biaya yang berdaya saing.
Proses perijinan dalam memperlancar iklim berinvestasi dibuka sedemikian rupa
sejalan dengan masuknya kegiatan penanaman modal yang beraneka ragam sesuai potensi
daerah. Di Bali tentu yang sangat terasa adalah penanaman modal dalam kegiatan
kepariwisataan . Sebagaimana kita kenal Bali adalah pulau dewata yang menjadi destinasi
pariwisata. Sehingga sangat potensial akan datangnya investor yang ingin menanamkan
modalnya hingga ke berbagai wilayah dari mulai kota hingga desa, pegunungan, pantai tak
satupun tempat luput dari lirikan investor.
Data kepariwisataan Bali sebagaimana dilansir dalam situs resmi www.pemprov.go.id
yang diakses pada 11 Mei 2015, hingga di akhir 2011, catatan untuk jumlah penyediaan
Bidang Usaha Jasa Akomodasi ( Hotel Berbintang dan Hotel Melati ) di Provinsi Bali
sebanyak 2.190 unit dengan jumlah kamar yaitu 45.557 kamar dan tingkat huniannya rata-
rata 60-70%. Dari jumlah kamar tersebut (45.557 kamar) , 85% terkonsentrasi di 3 (tiga)
Wilayah Kota Denpasar, Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar, sisa lainnya tersebar di
kabupaten lainnya. Data tersebut menunjukkan bahwa Bali memang pilihan yang sangat tepat
untuk pilihan berwisata bagi wisatawan, dan tentu menanam modal bagi para investor. .
1 Suriansyah Murhaini, 2009, Kewenangan Pemerintah Daerah Mengurus Bidang Pertanahan,
Laksbang Justitia, Surabaya, hlm.15
Jika di Kabupaten Badung masuk urutan 3 besar dalam pertumbuhan fasilitas
pariwisata yang cukup pesat, hal itu memang tampak secara nyata. Nama-nama destinasi
wisata terkenal hingga ke manca negara misalnya Pantai Kuta memang tak pernah sepi dari
wisatawan. Tak heran di musim liburan pasti kemacetan meningkat sehingga Kuta terasa
makin sesak dan padat. Maka setelah Pantai Kuta , wilayah Kabupaten Badung yang mulai
dilirik adalah keindahan wilayah Pantai Berawa di Desa Adat Canggu. Sangatlah wajar
perusahaan besar yang telah go publik dan sahamnya dimiliki konglomerat besar negeri ini
ingin juga menanamkan modalnya di sana.
Potensi Pantai Berawa yang ada di wiayah wewidangan Desa Adat Canggu, ini
benar-benar diminati investor yakni PT Bali Unicorn Coorporation dengan perencanaan
pendirian Discovery Canggu yaitu sebuah fasilitas pariwisata megah dan lengkap yang
ternyata bersinggungan dengan eksistensi Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang di Bali
dikenal dengan sebutan desa pakraman atau di wilayah Kabupaten Badung tetap lebih
memasyarakat dengan nama desa adat. Pada Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana
keberadaannya masih ada dalam wadah negara kesatuan RI memliki hak tradisional yang
melekat berupa hak ulayat yang secara faktanya disebut tanah druwe desa atau tanah adat.
Kasus tanah adat ( hak ulayat) terjadi di daerah aliran Sungai Yeh Poh atau disebut
Loloan Yeh Poh di Banjar Tegal Gundul Desa Adat Canggu yang menujukkan adanya
permasalahan hukum berkaitan dengan perlindungan kesatuan masyarakat hukum adat
sebagai entitas yang diakui ada dalam tatanan bernegara. Dalam kasus ini, kesatuan
masyarakat hukum adat, yakni Desa Adat Canggu sesuai perlindungan konsitusi dilindungi
hak-hak tradisionalnya dan juga hak ulayatnya, karena itu loloan yang berada di wilayah
mereka dipertahankan sedemikian rupa. Namun kondisinya menjadi kontradiktif manakala
adanya hak menguasai tanah oleh negara memunculkan hak-hak lain di atas tanah hak ulayat
desa adat setempat.
Adanya kepentingan akan masuknya penanaman modal menyebabkan dalam
realitasnya lahir pemberian ijin utuk kegiatan investasi yang diwujudkan dengan
dipegangnya sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah di wilayah kedudukan hak
ulayat ( tanak adat Desa Canggu ). Terjadi konflik kepentingan yang bila dicermati berdasar
aspek hukumnya yaitu, antara investor sebagai pemegang sertifikat HGB menurut hukum
negara (UUPA) dan masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak ulayat menurut hukum
adat.
Loloan Yeh Poh berada pada hilir Sungai Yeh Poh yang menjadi muara peetemuan
beberapa sunga kecil. Kawasan seluas 3, 7 hektar tersebut terletak di pantai berawa
kecamatan Kuta Utara Desa Adat Canggu dan bentukannya terpisah dari daratan pulau bali
yang mesti dijaga kelestariannya dan tidak diperkenankan untuk pengembangan penanaman
modal jenis apapun mengingat oleh Keputusan Bupati Badung Nomor 637 tahun 2003 juga
telah diakui sebagai daerah limitasi yang dijaga kesuciannya sebagai daerah aliran sungai.
Atas adanya penanaman modal dengan terbitnya HGB atas kawasan tersebut, maka tentu
menjadi permasalahan kontradiktif atas pengakuan hak ulayat berdasar hukum adat dan
terbitnya HGB oleh BPN sesuai hukum negara didasarkan atas UUPA.
Fakta yang ada jelas adalah problematika hukum sangat menarik untuk dikaji.
Dimana jika dilakukan penelusuran secara mendalam akan dapat dilihat keberlakuan hukum
adat dan hukum nasional dalam aspek pertanahan menyangkut hak ulayat dan
perlindungannya bagi kesatuan masyarakat hukum adat, tentu juga akan menarik ditelusuri
bagaimana hukum tanah nasional mengatur terbitnya HGB atas tanah yang diklaim dalam
penguasaan negara melalui hak menguasai tanah oleh negara. Penelitian melalui adanya
kasus Loloan Yeh Poh ini diharapkan dapat memberi gambaran keberlakuan hukum
pertanahan dengan pluralismenya agar ada solusi ketika dihadapkan dengan kasus serupa.
Dalam hal ini semua komponen berbangsa dan bernegara tetap dapat terlindungi, masyarakat
hukum adat, investor dalam menanamkan modalnya sekaligus memberi kontribusi bagi
penataan kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam aspek pertanahan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah digambarkan di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kedudukan kesatuan masyarakat Hukum Adat atas tanah adatnya
berdasarkan sistem hukum pertanahan yang berlaku dalam peraturan perundang-
undangan?
2. Apakah yang menjadi dasar hukum penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan Atas
Loloan Yeh Poh di Desa Adat Canggu sehingga dapat dilaksanakan penanaman
modal ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayat
Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah “masyarakat tradisional” atau the
indigenouspeople ( Inggris), dalam kehidupan sehari-hari lebih sering dan lebih populer
dsebut dengan istilah masyarakat adat. Beberapa pakar hukum membedakan istilah
masyarakat hukum adat dengan masyarakat adat. Perbedaan itu ada yang melihatnya bahwa
masyarakat hukum adat merupakan terjemahan dari istilah adatrechtsgemeenschap,
sedangkan masyarakat hukum terjemahan dari kata indigeneous people ( bahasa inggris).2
Secara termonologi Kusumadi Pujosewojo menguraikan istilah masyarakat hukum
adat sebagai masyarakat yang menetap, terikat, dan tunduk pada tatanan hukumnya sendiri.
Masyarakat hukum adat timbul spontan di wilayah tertentu, berdirinya tidak ditetapkan atau
diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, degan rasa solidaritas
sangat besar di antara anggota, memandang bukan anggota masyarakat sebagai orang dan
menggunakan wiayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan oleh
sepenuhnya anggotanya.3
Pengertian masyarakat hukum adat adalah kesatuan manusia sebagai satu kesatuan,
menetap di daerah tertentu, mempunyai kekayaan yang berwujud atau tidak berwujud dimana
para anggota kesatuan masing-masing mwngalami kehidupan dalam masyarakat, merupakan
suatu kodrat yang tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau
kecenderungan untuk berkeinginan membubarkan ikatan itu atau meninggalkan dalam arti
melepaskan diri dari ikatan itu selama-lamanya. Sehingga dari uraian tersebut terdapat ciri-
ciri masyarakat hukum adat sebagai berikut 4:
1. Merupakan kesatuan manusia yang teratur
2 Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia Eksistensi Dalam Dinamika Perkembangan Hukum
di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, hlm. 69
3 ibid
4 Bushar Muhammad, 1986, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya Paramitha, Jakarta hlm
60
2. Menetap diatas daerah tertentu
3. Mempunyai penguasa
4. Mempunyai kekayaan berwujud maupun tidak berwujud
Apabila dilihat dari sejarahnya jauh sebelum masuknya penjajah di Indonesia, kepulauan
Indonesia telah dihuni oleh berbagai persekutuan hukum (rechgemeenschap) yang
mempunyai warga yang teratur,mempunyai pemerintahan sendiri ( kepala persekutuan dan
pembantu-pembantunya) yang mempunyai harta materiil dan immaterial. 5
Sebagaimana unumnya pemerintahan yang mempunyai pemerintahan pimpinan,
masyarakat hukum juga dipimpin oleh seorang ketua adat dan dibantu oleh para
pembantunya. Masyarakat hukum juga mempunyai kedaulatan yang penuh ( sovereign) atas
wilayah kekuasaannya ( tanah ulayat) dan melalui ketua ada juga mempunyai kewenangan
(authority) penuh untuk mengatur dan menata hubungan-hubungan diantara sesama warga
serta hubungan warga dengan alam sekitar. Pengaturan dan penataan hubungan –hubungan
tersebut untuk mencari keseimbangan hubungan sehingga terciptanya ketentraman dan
kedamaian dalam masyarakat.6
Kedaulatan untuk mengatur masyarakat hukum tersebut berdasarkan atas hak ulayat
yang dipunyai masyarakat hukum itu. Hak tersebut masih eksis apabila :
1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tayanan hukum adat
sebagai warga bersama suatru persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan
menerapkan ketentuan ketentuanpersekutuan tetsebut dalam kehidupan sehari-hari.
2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-
hari.
5 Soerjono Soekanto 1981,Menuju Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, PT Raja
Grafindo,Jakarta, hlm 67
6 Mohamad Bakrie, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Paradigma Baru Reformasi Agraria,
Citra Media, Yogyakarta, hlm 82
3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan
tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warfga persekutuan hukum tersebut. 7
Dalam hukum adat, menurut Boedi Harsono hak ulayat adalah hak penguasaan tanah
yang tertinggi yang mengandung 2 unsur/ aspek yaitu hukum keperdataan dan hukum publik,
artinya mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah bersama para anggota atau warga
masyarakatnya. Mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin
penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah bersama.Sehingga dapat
disebut hak ulayat sebagai serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum
adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak di dalam lingkungan wilayahnya, yang
merupakan pendukung utama yang bersangkutan sepanjang masa.8
Jika dikaitkan dengan penguasaan hak ulayat ini, maka hak ulayat meliputi wilayah
masyarakat hukum adat tertentu, dan dilihat pula atas realitas tanah dan kebangsaan
Indonesia, maka dapat disusun hak-hak penguasaan tanah dalam tata urutan ( hierarki)
sebagai berikut :
1. Hak Bangsa Indonesia
2. Hak Menguasai Negara atas Tanah
3. Hak ulayat Masyarakat Hukum Adat
4. Hak-hak perorangan :
a. Hak-hak atas tanah
b. Wakaf
c. Hak jaminan atas tanah
2.2 Pengaturan Hak Penguasaan Tanah Dalam Peraturan Perundang-Undangan
1. Kebijakan Negara Dalam Pertanahan
7 Ibid, hlm 103
8 Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, hlm.185
Hukum pertanahan nasional mewujudkan penjelmaan dari asas kerohanian, negara
dan cita cita bangsa, yaitu ke Tuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan,
Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan
pelaksanaan dari ketentuan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 45. Hal pokok
berkenaan dengan kebijakan pertanahan dalam Undang-Undang Pokok Agraria
dituangkan sebagai berikut :
1. Dasar kenasionalan menyangkut mengenai hubungan bangsa Indonesia dengan
bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya
2. Negara tidak bertindak sebagai pemilik tanah melainkan bertindak selaku badan
penguasa sebagai organisasi kekuasaaan dari bangsa Indonesia pada tingkatan
tertinggi untuk mengatur dan menyelenggarakan peeuntukan, penggunaan,
persediaan,dan pemeliharaannya menentukan dan mengatur hak-hak yang
dipunyai atas bagian dari bumi, air dan ruiang angkasa itu, menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan –
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Semuanya itu
dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam
rangka masyarakat yang adil dan makmur.
3. Pengakuan hak ulayat sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya masih ada.
4. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial
5. Sesuai asas kebangsaan hanya warga negara Indonesia saja yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah
6. Tiap-tiap warga negara Indonesia baik laki dan perempuan mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperioleh suatu hak atas tanah
7. Tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahan secara aktif oleh pemiliknya
sendiri
8. Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara dalam bidang
agraria, perlu adanya suatu rencana mengenai peruntukan, penggunaan dan
persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk pebagai kepentingan negara dan
rakyat.
Pengaturan kebijakan pertanahan bila dilihat realitasnya disesuaikan dengan kebijakan
pengaturan sumber daya aIam di Indonesia secara menyeluruh. Dalam pengaturan tersebut
terlihat keterkaitan dengan bagaimana keberadaan masyarakat hukum adat dengan hak
ulayatnya yang harus tetap mendapat perhatian sebagai diakui menurut konstitusi.
I Nyoman Nurjaya menyatakan batasan peraturan perundang-undangan mengenai
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup harus mengandung ciri-ciri berikut :
1. Orientasi pengelolaan ditujukan pada konservasi sumber daya alam ( resources
oriented) untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam
bagi kepentingan intern dan antar generasi
2. Pendekatan yang digunakan bercorak komprehensif dan terintegrasi ( komprehensif-
integral), karena sumber daya alam merupakan satu kesatuan ekologi(ecosystem)
3. Mengatur mekanisme koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan
sumber daya alam
4. Menganut ideologi pengelolaan sumber daya alam yang berbasis masyarakat (
community based resource management)
5. Menyediakan ruang bagi partispasi publik yang sejati ( genuine public partisiption)
dan transparansi pembuatan kebijakan sebagai wujud demoktatisasi pengelolaan
sumber daya alam
6. Memberi ruang bagi pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, terutama
hak-hak masyarakat adat/ lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
7. Menyerahkan wewenang pengelolaan sumber data alam kepada daerah berdasarkan
prinsip desentarlusasi ( decentralization principle) sesuai pengelolaan sumber daya
alam dapat dilakukan sesuai karakteriktik wilayah
8. Mengatur mekanisme pengawasan san sluntabulitas pengelola sumber daya alam
keada publik ( public accountability)
9. Mengakui dan mengakomodasi secara utuh kemajemukan hukum ( legal pluralism)
pengelolaan sumber daya alam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.9
Prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya alam oleh Maria SW Sumardjono seyogyanya
memenuhi ciri-ciri sebagai berikut :
1. Sumberdaya alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan dengan demikian
mempunyai nila magis-religius, disamping mempunyai fungsi ekonomis dan sosial
2. Pengelolaan sumber daya alam harus memperhatikan fungsi ekosistem
3. Pengelolaan sumber daya alam tidak hanya berisi wewenang untuk pemanfaatannya (
hak) , tetapi juga untuk pelestarian simber daya alam ( kewajinan) yang berfungsi
sebagai sumber hidup masyarakat setempat
4. Pengelolaan sumber daya alam yang bertanggungjawab dapat memberikan
keseimbangan antara memberikan ruang gerak investasi tanpa merugikan kepentingan
rakayat ( dimensi kerakyatan)
5. Pengeloloaan sumber daya alam harus dapat mewujudkan persamaan hak dan
keadilan daam akses dan pemanfataannya
6. Pemanfatan sumber daya alam harus mengakomodasikan peran serta masyarakat.10
Negara dalam menuangkan kebijakan pertanahan tak dapat lepas dari kebijakan pengelolaan
sumber daya alam. Kaitannya adalah dengan salah satunya menuangkan hak-hak atas tanah
sebagai satu titik awal pengelolaan sumber daya alam yang tak lepas dari tanah. Hak-hak
atas tanah dalam hukum tanah nasional meliputi sebagai berikut :
1. Hak-hak atas tanah yang primer yaitu yang langsung bersumber pada hak bangsa
Indonesia atas tanah, antara lain :
a. Hak milik
b. Hak guna usaha
9 Fifik Wiryani, 2009, Reformasi Hak Ulayat Pengaturan Hak-hak Masyarakat Adat dalam
Pengelolaan Sumberdaya Alam, Setara Press Malang, hlm.17
10 Ibid, hlm 19
c. Hak guna bangunan
d. Hak pakai
2. Hak-hak atas tanah yang sekunder yaitu hak yang diberikan oleh pemilik tanah dan
bersumber secara tidak langsung pada hak bangsa Indonesia atas tanah. Ini juga
disebut pula hak baru yang diberikan di atas tanah hak milik yang selalu
diperjanjikan.
Pengurusan bidang pertanahan yang oleh UUPA sepenuhnya menjadi otoritas pemerintah
pusat didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut11 :
1. Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia
yang bersatu sebagai bangsa Indonesia ( Pasal 1 ayat (1) UUPA). Ketentuan ini
merupakan dasar kenasionalan dalam pengelolaan urusan pertanahan. Sebagaimana
telah disebutkan dalam penjelasan umum angka II UUPA bahwa konsep kenasionalan
menghendaki Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh seluruh bangsa
Indonesia selayaknya menjadi hak dari bangsa Indonesia yang kemerdekaannya
diperjuangkan oleh seluruh bangsa indonesia selayaknya menjadi hak dari bangsa
Indonesia pula. Demikian pula tanah di daerah daerah dan pulau pulau, tidak semata –
mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja,
melainkan disana juga meletakkan hak bangsa secara keseluruhan.
2. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaaan alam yang terkandung di
dalamnya adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional Pasal 1 ayat 2 UUPA. Ketentuan tersebut mengandung makna
bahwa sumber daya agraria atau pertanahan merupakan kekayaan nasional, yang
pengelolaannya harus memperhatikan Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Dari
tidak boleh menimbulkan kesenjangan dalam pembangunan maupun dalam
perlakukan terhadap warga negara Indonesia. Sumber daya aam harus dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
3. Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa bersifat abadi
( Pasal 1 ayat (3) UUPA. Dari ketentuan tersebut dapat dibaca yang terkandung di
dalamnya merupakan dasar dalam rangka pembinaan integrasi negara kesatuan
11
Suriansyah Murhaini, op. cit, hlm .35
republik indonesia. Disadari bahwa bangsa Indonesia mempunyai ikatan yang sangat
kuat dengan tanahnya, Hal ini disebabkan karena tanah merupakan komponen yang
sangat penting bagi penyelenggaraan hidup dan kehidupannya.
Menurut Adrian Sutedi beberapa landasan hak milik atas tanah adalah berdasarkan UUD
1945 dimana sebagai negara hukum ( konstitusional) yang memberikan jaminan dan
memberikan perlindungan atas hak-hak warga negara, antara lain hak warga negara untuk
mendapatkan, mempunyai , dan menikmati hak milik. Hak milik atas tanah sebagai salah satu
jenis hak milik, sangat penting bagi negara, bangsa dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat
agraria yang sedang membangun ke arah perkembangan industri dan lain-lain. Akan tetapi,
tanah yang merupakan kehidupan pokok bagi manusia akan berhadapan dengan berbagai hal,
antara lain :
1. Keterbatasan tanah, baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding dengan kebutuhan yang
harus dipenuhi;
2.Pergeseran pola hubungan antara pemilik tanah dan tanah sebagai akibat perubahan-
perubahan yang ditimbulkan oleh proses pembangunan dan perubahan-perubahan sosial pada
umumnya;
3.Tanah di satu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting, pada lain
pihak telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi;
4.Tanah di satu pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat lahir batin, adil dan merata, sementara dipihak lain harus dijaga
kelestariannya12
Dalam banyak peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini
pengakuan terhadap hukum adat telah mendapatkan tempat yang sepatutnya dan dalam
banyak kasus dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian
hukum dan keadilan. Kebijakan pertanahan yang dilandasi oleh UUPA yang dalam
mukadimahnya menyatakan bahwa berhubungan dengan apa yang tersebut dalam
pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya hukum agraria nasonal, yang berdasar atas
hukum adat tentang tanah yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh
rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
12
Adrian Sutedi,2014, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.1
Dengan demikian UUPA bersifat nasional yang tentudibuat untuk pro terhadap kepentingan
nasional.13
13 Ibid,hlm.55
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan kesatuan masyarakat Hukum
Adat atas tanah adatnya berdasarkan sistem hukum pertanahan yang berlaku
dalam peraturan perundang-undangan.
2. Untuk mengetahui dan menganalisa dasar hukum penerbitan Sertifikat Hak Guna
Bangunan Atas Loloan Yeh Poh di Desa Adat Canggu sehingga dapat
dilaksanakan penanaman modal.
3.2 Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
- Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada
umumnya yaitu menyangkut bagaimana melihat aneka permasalahan hukum umum yang
terjadi berkaitan dengan kedudukan kesatuan masyarakat Hukum Adat atas tanah adatnya
berdasarkan sistem hukum pertanahan yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan.
b. Manfaat praktis
- Bagi pemerintah, tentunya penelitian ini sangat penting untuk masukan dalam
pembuatan kebijakan dalam bidang pertanahan untuk tetap memperhatikan
kedudukan kesatuan masyarakat hukum adat dan perlindunganya
- Bagi masyarakat, bermanfaat untuk mengetahui kepastian dan perlindungan
hukum bagi masyarakat khususnya kesatuan masyarakat hukum adat tersebut
BAB IV
METODE PENELITIAN
3.1 Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat empiris, yaitu fakta-fakta
hukum atau gejala-gejala dalam kenyataannya ada kehidupan masyarakat. Yuridis Empiris
melihat aspek-aspek hukum dalam interaksi sosial di masyarakat yang berfungsi untuk
menunjang, mengkarifikasi dan mengidentifikasi temuan fakta hukum yang terjadi bagi
keperluan penelitian.14 Dalam penelitian ini akan dilihat kasus yang ada di Desa Adat
Canggu yaitu di Daerah Aliran Sungai Yeh Poh dan ini adalah sebagai satu kenyataan
berkenaan dengan perlindungan bagi hak ulayat yakni tanah adat masyarakat setempat.
3.2 Jenis dan Sumber Data.
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data skunder. Data primer yakni
data yang diperoleh dari sumbernya melalui wawancara, obeservasi maupun laporan dalam
bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti. Sedangkan data sekunder
yaitu data yang diperoleh dari dokumen dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan
dengan objek penelitian, hasil penelitian dan peraturan perundang-undangan.15
Data primer sebagai data utama akan dikumpulkan dari desa adat Canggu yang
faktanya telah terbit sertifikat Hak Guna Bangunan di atas tanah adat yang seharusnya sesuai
pengakuan konstitusi ada dalam penguasaan desa adat. dan pihak-pihak yang terlibat
langsung dalam kasus tersebut. Data skunder lebih banyak dikumpulkan dari bahan-bahan
tertulis dan juga peraturan perundang-undangan yang memuat informasi terkait dengan objek
penelitian.
3.4. Teknik Pengumpulan Data.
Pengumpulan data primer akan dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara
yang berstruktur yaitu dengan berdasar pada satu pedoman wawancara (interview guide),
sedangkan data skunder dikumpulkan dengan teknik dokumen yaitu dengan memeriksa
bahan-bahan tertulis yang ada.
14 Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika,Jakarta, hlm.103
15 Ibid, hlm. 106
3.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data.
Data yang telah dikumpulkan dari sumber-sumber data di atas akan diolah dan
dianalisis secara kualitatif dengan memperhatikan inti (isi) informasi yang diperoleh (content
analysis) dan juga dengan memperhatikan situasi yang ada (situational analysisi). Hasil
analisis akan disajikan dalam bentuk deskriptif. Dilakukan dengan menggunakan metode
yang bersifat kualitatif dilengkapi dengan analisis situasional. Metode ini akan dapat
menunjukkan keberadaan dari perlindungan kesatuan masyarakat hukum adat dengan
terbitnya HGB di Loloan Yeh Poh.
BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Kedudukan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat atas Tanah Adatnya Berdasarkan
Sistem Hukum Pertanahan yang Berlaku Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Dalam melihat kedudukan masyarakat hukum adat atas tanah adatnya, terlebih
dahulu menurut pendapat Dewi Wulansari 16ada dua hal yang menyebabkan tanah memiliki
kedudukan yang sangat penting yaitu karena sifat dan karena faktor dari tanah itu sendiri.
Sehubungan dengan itu dalam hukum adat yang terkait tanah timbul hak-hak yang dapat
dibagi dua yaitu : hak persekutuan atas tanah yang dimaksudkan yaitu hak masyarakat hukum
adat dalam hal melakukan penguasaan, pemanfaatan, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan
yang hidup di atasnya dan hak perseorangan atas tanah.
Terhadap hak masyarakat hukum adat sepanjang sejarah Indonesia selalu
menunjukkan perlakuan yang mengecewakan. Keadaan tersebut berupa pelecehan,
penghargaan semu, dan salah pengertyan terhadap ajaran dan prinsip hukum adat. Keadaan
semacam itu menurut Moh. Koenoe terjadi sejak zaman kerajaan dan diteruskan oleh
kekuasaan pemerintah kolonial masa silam. Keadaan yang dialami masysarajat hukum adat
sampai sekarang masih terjadi , sekalipun dalam kenyataannya wujud satu sama lain
berlainan, tetapi pada dasrnya pelecehan hak ulayat masyarakat hukum adat adalah sejenis,
yakni menggap enteng dan tidak menghormati hak ulayat masyarakat hukum adat demi untuk
kepentingan yang lebih besar, yang katanya bersifat menyeluruh.17
Perkembangan pengaturan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak ulayat
masyarakat hukum adat terkait erat dengan instrumen hukum pertanahan di Indonesia.
Adanya kebhinekaan dalam kebijakan pertanahan di Indonesia berakhir manakala
dipergunakannya UUPA sebagau unifikasi hukum pertanahan di Indonesia yang sekaligus
menunjukkan bahwa hukum adat mendapat porsi dalam pengaturan tersebut karena
16
Dewi Wulansari, 2012, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama, Jakarta, hlm.80
17 Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum
di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, hlm.126
pembentukan UUPA yang didasarkan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak
ulayatnya.18
Sampai saat ini pengaturan hak ulayat masih tersebar secara sporadis dalam berbagai
perundang-undangan masih terbatas pengakuan berupa pengakuan dan penghormatan hak
ulayat dari masyarakat tersebut ( pengakuan dan pembatasan) yang semuanya dilakukan
dengan tujuan untuk membeeikan perlindungan terhadap hak ulayat. Pengakuan yang secara
formal diakui dalam peraturan perundang-undangan tidak pernah diimplementasikan,
sehingga tetap saja tidak ada perlindungan hukum, karena kalau terjadi suatu konflik baik
antara pemerintah dan masyarakat hukum adat atau antara pengusaha dengan masyarakat,
ujung-ujungnya adalah kenyataan pahit yang dirasakan masyarakat adat, tidak ada
keberpihakan dan sering meniadakan haknya.19
5.2. Dasar hukum penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan Atas Loloan Yeh Poh di
Desa Adat Canggu
Pengaturan kebijakan pertanahan terkait dengan terbitnya Hak Guna Bangunan Atas Loloan
Yeh Poh di Desa Adat Canggu maka dapat dirinci berdasarkan aturan sebagai berikut :
a. UUPA
Pasal 4 ayat (2)
Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang
yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan
peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Berdasarkan pengertian pada pasal 4 ayat (2) tersebut, hak atas tanah adalah hak atas
permukaan bumi, tepatnya hanya meliputi sebagian tertentu permukaan bumi yang
terbatas, yang disebut bidang tanah. Hak atas tanah tidak meliputi tubuh bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
18
Ibid, hlm 128
19 ibid
Asas yang hanya mengakui hak atas tanah adalah terbatas pada hak atas permukaan bumi
saja disebut dengan asas pemisahan horisontal. Asas pemisahan horisontal adalah asas
dimana pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berada di atas tanah itu
adalah terpisah. Asas pemisahan horisontal memisahkan tanah dan benda lain yang melekat
pada tanah itu. Asas pemisahan horisontal adalah asas yang didasarkan pada hukum adat, dan
merupakan asas yang dianut oleh UUPA.
Pasal 20 UUPA
Dalam pasal ini disebutkan sifat-sifat daripada hak milik yang membedakannya dengan hak-
hak lainnya. Hak milik adalah hk yang “terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas
tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti, bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tak
terbatas dan tidak dapat diganggu-gugat” sebagai hak eigendom menurut pengertiannya yang
asli dulu. Sifat yang demikian akan terang bertentangan dengan sifat hukum-adat dan fungsi
sosial dari tiap-tiap hak. Kata-kata “terkuat dan terpenuh” itu bermaksud untuk
membedakannya dengan hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai dan lain-lainnya,
yaitu untuk menunjukkan, bahwa diantara hak- hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak
miliklah yang “ter” (artinya : paling)-kuat dan terpenuh.
Pasal 39 UUPA
Yang dapat mempunyai HGB :
1. Warga Negara Indonesia.
2. Badan Hukum yang didirkan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia
Pasal 40 UUPA
Hapusnya HGB :
1. Jangka waktunya berakhir.
2. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak
Milik sebelum jangka waktu berakhir, karena;
• Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atau dilanggarnya
ketentuan-ketentuan dalam HGB.
• Tidak terpenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam
perjanjian pemberian hak antara pemegang HGB dengan pemegang Hak Pengelolaan
atau pemegang Hak Milik.
• Putusan pengadilan yang berkekuatan tetap.
3. Dilepaskan secara suka rela oleh pemegang haknya.
4. Dicabut untuk kepentingan umum.
5. Ditelantarkan.
6. Tanahnya musnah.
7. Pemegang HGB tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang HGB.
b. Peraturan menteri agraria/ kepala BPN No. 3 tahun 1999
Berdasarkan Peraturan menteri agraria/ kepala BPN No. 3 tahun 1999 yang mengatur
pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan hak atas tanah negara.
Kewenangan pertanahan yang diselenggarakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi
adalah mengenai :
1. Pemberian hak milik ataas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha
2. Pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 5000 m2,
kecuali yang kewenangan pemberiannya dilimpahkan kepada kepala kantor
pertanahan kabupaten/kota
3. Pemberian hak guna usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari lebih dari 200 ha
4. Pemberian hak guna bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 150,000 m2,
kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada kepala kantor
pertanahan kabupaten/kota
5. Pemberian hak pakai atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha
6. Pemberian hak pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 150.000
m2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada kepala kantor
pertanahan kabupaten/kota
7. Pemberian hak atas tanah yang sudah dilimpahkan kewenangan pemberiannya kepada
kepala kantor pertanahan kabupaten/kota apabila atas laporan yang diperlukan
berdasarkan keadaan di lapangan
8. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang telah dikeluarkan oleh kepala
kantor pertanahan kabupaten/kota yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya
9. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang kewenangan pemberiannya
dilimpahkan kepada kepala kantor pertanahan kabupaten/kota dan kepala kantor BPN
propinsi untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
5.2.1 Kasus Posisi
Desa Adat Canggu dengan pantai-pantai diseputar wilayahnya cukup banyak dan kini
mulai diminati wisatawan asing khususnya untuk rekreasi selancar air. Salah satunya
kunjungan yang mulai meningkat adalah di daerah aliran Lolan Yeh Poh. Masyarakat di
sekitarnya yaitu Tibubeneng dan Canggu agar loloan tersebut tetap dilestarikan. Hal tersebut
karena Loloan sebagai daerah aliran sungai (DAS) harus dijaga kelestarian dan kesuciannya.
Masyarakat yang anggota desa adat pun keberatan ketika investor melakukan tindakan
pengurugan.
Menurut Klian Dinas Banjar Tegal Gundul Wayan Suryanta, wawancara tanggal 15
September 2015, masyarakat merasa keberatan jikalau daerah aliran sungai yang selama ini
dilestarikan dan disucikan diurug untuk investor dan pengmbangan fasilitas pariwisata.
Sebagai wilayah yang dianggap menyatu dan menjadi bagian fdari tanah adatnya,
masyarakat setempat menggunakan loloan itu untuk kepentingan ritual, jadi sangat
disucikan. Terlebih lagi dari keunikannya dan aspek lingkungan hidup, di Loloan itulah
tempat bertemunya air sungai dan laut dan ini sangat dijaga kelestariannya di wewidangan (
wilayah) Desa Adat Canggu. Sehingga bagaimanapun juga dalam pandangan prajuru dan
krama desa adat Canggu, akan memperjuangkan agar kelestarian tempat itu yang masuk
sebagai penguasaan tanah adat akan dipertahankan sedemikian rupa.
Sejak awal adanya pengembangan pariwisata, kasus loloan (muara) Tukad Yeh Poh,
Tibubeneng, Kuta Utara memang telah mendapat perhatian dari berbagai pihak, hingga
Bupati Badung dan Kapolda. Hal ini mengingat kasusnya melibatkan desa adat yang mana
warganya merasa keberatan atas rencana PT Bali Unicom membangun sarana pariwisata di
wilayah tersebut. PT Bali Unicon telah mengantongi ijin Hak Guna Bangunan ( HGB) di
daerah aliran sunai yang selama ini oleh masyarakat adat dijadikan kawasan yang dilestarikan
dan disucikan. Hal yang menjadi pegangan bagi warga setempat adalah SK Bupati No. 637
tahun 2003 tentang RDTR dimana kawasan yang selama ini menjadi wilayah Banjar Tegal
Gundul tersebut tetap dibiarkan sebagai kawasan bebas.
Komitmen untuk mempertahankan kawasan Loloan Yeh Poh sebagai kawasan suci
juga disepakati dan didukung oleh masyatakat adat Kuta Utara utamanya Bendesa adat se
kuta utara yang diwakili Bendesa Desa Adat Canggu, Ketut Mudra. Pernyataan sikap tersebut
didasarkan pada pelestarian wilayah desa adat dan khususnya banjar adat Tegal Gundul. Pada
kenyataannya sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang menjadi organisasi
sosial kemasyarakat dengan kewenangannya yang asli memegang tanggung jawab bersama
krama dan prajuru setempat sehingga tidak dapat dibiarkan adanya tindakan untuk
mendirikan bangunan dan fasilitas pariwisata di daerah Loloan Yeh Poh.
Saat penanganan kasus ini sempat juga dikemukakan di media dimana sejak awal
memang masyarakat setempat juga berkemauan untuk menolak investasi di seputar loloan
tersebut yang oleh Bendesa Adat Canggu yaitu Ketut Mudra agar wewidangan banjar tegal
gundul lokasi yang direncakan sebagai tempat fasilitas wisata mewah tetap lestasi dan klaim
tanah tersebut sebagai hak mereka dapat diselamatkan. Walaupun HGB ada tetapi dimilai
tidak dapat dipertanggungjawabkan mengingat mengandung konflik dengan masyarakat yang
dipicu ketidaksesuaian dengan SK Bupati N0. 637 tahun 2003.
5.2.2 Analisa Kasus
Kebijakan hukum pertanahan mencakup aspek yang mendasar yaitu prinsip
pemenuhan hak-hak konstitusional rakyat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari dan menghargai prinsip kesederajatan manusia. Salah satu tujuan pembentukan negara
Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar tahun 1945
adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umum.Tugas pokok pemerintah adalah menciptakan
sistem manajemen pemeerintahan yang dapat mengelola dengan baik sumber daya nasional
demi tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat
indonesia. Pemerintah harus mampu mewujudkan reformasi hukum pertanahan khususnya
pelayanan publik dibidang pertanahan. 20
Politik pertanahan yang menjadi dasar untuk pencapaian tujuan pasal 33 ayat 3 UUD
45 tersebut secara umum ditujukan untuk tercapainya keadilan sosial bagi seluruh lapisan
masyarakat. Secara umum politik pertanahan ditujukan untuk menjamin keadilan bagi semua
orang untuk memperileh sesustu hak atas tanah dan mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh bagian manfaat dari tanah bagi diri sendiri dan keluarganya. Secara khusus
penjabaran politik pertanahan meliputi hal-hal sebagai berikut 21:
1. Mencegah perbuatan yang bersifat memperkaya diri secara tidak adil bagi
sebagian kecil masyarakat
2. Mengupayakan penggunaan tanah secara optimal dan mencegah penelantaran
tanah
3. Menjaga kelayakan harga tanah sehingga terjangkau semua pihak
4. Menjaga ketersediaan bahan pangan
5. Melestarikan sumber daya alam berupa tanah dan lingkungannya
6. Melindungi hak perseorangan dan masyarakat hukum adat serta memberikan
jaminan terhadap kepastian haknya
7. Memberikan kemungkinan untuk menyediakan tanah bagi kepentungan umum
dengan memberikan penghormatan bagi perorangan yang terkena dampak berupa
ganti kerugian yang adil yang meliputi hsal-hal yang bersifat fisik/materiil dan
non fisik/immateriil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Hak individu adalah hak paling hakiki untuk mendapat perlindungan sehingga tidak
dibenarkan adanya ekspoitasi manusia atas manusia, perlindungan terhadap penindasan, dan
perlindungan terhadap penghisapan dengan obyek hak milik tanah individu. Tujuan manusia
dalam hidupnya untuk menemukan jalan mempergunakan alat-alat perlengkapan hidupnya (
20
Widhi Handoko, 2014, Kebijakan Hukum Pertanahan Sebuah Refleksi Keadilan Hukum Progresif,
Thafa Media , Yogyakarta, hlm 2
21 Maria SW Sumardjono, 2008, Tanah dalam perspektif hak ekonomi, sosial dan budaya,Penerbit
Kompas, Jakarta, hlm. 21
tanah merupakan pemenuhan atas raga, rasa, rasio dan rukun). Sehingga perlu penegasan
konsep kemanusiaan dalam hukum pertanahan dimana yang perlu ditegaskan adanya asas
hak kodrati manusia atas tanah dalam UUPA sebagai alat untuk mempertahankan hak-hak
kodrati manusia (masyarakat/rakyat) terhadap penggunaan , penguasaan, pemilikan dan
pemanfaatan maupun pmberian hak atas tanah, yang disebut sebagai prinsip pemerintahan
hak-hak konstitusional rakyat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan
menghargai prinsip kesederajatan kemanusiaan. Ketiga yaitu pilar kemanusiaan ( demokratik,
kerakyatan, dan keadilan sosial) dimana tujuan hidup manusia Indonesia adalah pencapaian
hidup bahagia, tidak mungkin bisa tercapai jika dilihat dari konsep individu, akan tetapi
konsep yang diperlukan adalah konsep kebangsaan. 22
Konsep komunalistik religius dalam hukum adat merupakan konsep hukum yang
utamanya merupakan cermin nilai dan aturan yang tumbuh langsung dari masyarakatnya itu
sendiri yang disepakati dapat dipergunakan untuk mengabdi bagi kehidupan mereka. Dalam
kehidupan bersama masyarakat hukum bali berlandaskan pada Tri Hita Karana yang
falsafahnya dijiwai pula oleh keyakinan pada ketuhanan ( religiositas) dan perlakuan yang
seimbang bagi lingkungan dan kemanusiaan ( palemahan dan pawongan). Untuk palemahan
menyangkut apa yang ada di wilayahnya, tanah adat merupakan cermin kebersamaan dari
kesatuan mereka. Sehingga dalam pandangan kesatuan mereka tanah adat sebagai tanah
bersama yang merupakan bagian dari kebersamaan mereka yang terlindungi oleh suatu
kekuatan gaib sebagai anugerah yang mereka miliki untuk dijaga sebaik-baiknya. Penguasaan
terhadap tanah tersebut dapat dilakukan perorangan anggita kesatuan tetapi semua hak
perorangan bersumber dari tanah bersama tersebut.
Tanah adat Bali yang dikenal dengan sebutan druwe desa sebagaimana tercantum
daam Perda Nomor 3 Tahun 2001, diantaranya tanah-tanah adat Pekarangan Desa (PKD),
Ayahan Desa (AYDS) yang dikuasai secara individu berlandaskan Tri Hita Karana, yaitu
berupa Parahyangan yang berupa tempat pemujaan leluhur, Palemahan yang berwujud
wilayah perumahan dan sekitarnya dan Pawongan yang berwujud kekeluargaan dan
kebersamaan dengan anggota masyarakat lainnya sebagai krama banjar dan krama desa adat.
Berdasarkan pengaturan di desa pakraman yang selama ini dituangkan dalam awig-
awig aturan yang ditetapkan dan dilaksanakan sebagai pedoman hukum masyarakat adat
Bali) penguasaan tanah adat selama ini ini tidak hanya diperuntukkan dan dimanfaatkan
22 Ibid, hlm. 120
untuk secara pribadi pemegangnya, tapi juga diabdikan untuk kepentingan bersama
kesatuannya. Pelaksanaannya berupa kewajiban ayahan yang mengikat secara sosial dan
religius sebagaimana konsep komunal religius masyarakat adat. Ini tampak nyata pada status
tanah adat yang dikuasai oleh individu anggota/krama desa adat. Demikian halnya dengan
yang secara komunal merupakan penguasaan bersama merupakan tanah-tanah adat sebagai
tanah ulayat di Bali. Tanah komunal yang ini penguasaannya diserahkan (di-derivatif)
kepada krama desa adat secara individual yang seperti Pekarangan Desa/ PKD, Ayahan Desa
/ AYDS sebagai hak milik tidak penuh. Dua kondisi individual dan komunal tersebut
menunjukkan bahwa dalam kepemilikan hak tanah adat itu terdapat hubungan interaksi
dimana tidak adanya kekuasaan untuk memindatangankan karena diakui tanah dan terdapat
akibat atau berlaku ke dalam maupun berlaku ke luar.
Tanah adat Bali yang dilandasi oleh prinsip hak ulayat ini akan sangat relevan jika
dikaitkan antara hubungan hak komunal dengan hak individual juga nampak saling
mendesak, menebal dan menipis. Bahkan lebih didominasi oleh hak individual, terutama
dalam pemanfaatan tanah pekarangan desa sebagai tempat tinggal krama desa pakraman.
Dalam kaitannya dengan hak komunal maka sebagainya teori balon mulur mungkeret terjadi
proses menebal dan menipisnya hubungan hak komunal dengan hak individu. Di Desa
Pakraman itu tampak bergantung pada kesadaran krama desa terhadap tanah-tanah adat
yang dikuasainya. Terdapat konsekuensi atas penguasaan terhadap tanah adat yaitu mengurus
dalam arti memelihara,dan juga memanfaatkan untuk kepentingan umum, seperti untuk setra.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.Kesimpulan
1. Kedudukan kesatuan masyarakat Hukum Adat atas tanah adatnya berdasarkan sistem
hukum pertanahan yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan khususnya
sebagaimana yang terjadi di daerah aliran Sungai Yeh Poh Desa Adat
Canggu.mencakup aspek yang mendasar yaitu prinsip pemenuhan hak-hak
konstitusional Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.
2. Dasar hukum penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan atas Loloan Yeh Poh di Desa
Adat Canggu sehingga dapat dilaksanakan penanaman modal oleh investor adalah
sesuai pengaturan dalam UUPA yang didasarkan pula oleh politik pertanahan yang
menjadi dasar untuk pencapaian tujuan pasal 33 ayat 3 UUD 45 tersebut secara umum
ditujukan untuk tercapainya keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat. Secara
umum politik pertanahan ditujukan untuk menjamin keadilan bagi semua orang untuk
memperoleh sesuatu hak atas tanah dan mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh bagian manfaat dari tanah tentunya juga terbuka kesempatan yang sama
bagi kegiatan penanaman modal
6.2 Saran
1. Perkembangan dalam pengaturan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak ulayat
masyarakat hukum adat terkait erat dengan instrumen hukum pertanahan di Indonesia
diarahkan oleh pemegang kebijakan untuk memberi porsi perlindungan bagi kesatuan
masyarakat hukum adat. Unifikasi hukum pertanahan di Indonesia yang sekaligus
menunjukkan bahwa hukum adat mendapat porsi dalam pengaturan tersebut karena
pembentukan UUPA yang didasarkan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat
dan hak ulayatnya.
2. Dalam penerbitan Hak Guna Bangunan, instansi terkait secara cermat memperhatikan
peraturan terkait juga pada perlindungan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat.
Sehingga dalam mengatur hak-hak yang dipunyai atas bagian dari bumi, air dan
ruiang angkasa itu, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa. Semuanya itu dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur khususnya dalam penanaman
modal di wilayah-wilayah yang berkait dengan hak ulayat masyarakat adat.
DAFTAR PUSTAKA
A.Buku
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta
Bushar Muhammad, 1986, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya
Paramitha
Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia Eksistensi Dalam Dinamika Perkembangan
Hukum di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung
Dewi Wulansari, 2012, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama, Jakarta
Fifik Wiryani, 2009, Reformasi Hak Ulayat Pengaturan Hak-hak Masyarakat Adat dalam
Pengelolaan Sumberdaya Alam, Setara Press Malang
Maria SW Sumardjono, 2008, Tanah dalam perspektif hak ekonomi, sosial
danbudaya,Penerbit Kompas,
Soerjono Soekanto 1981,Menuju Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, PT Raja
Grafindo,Jakarta
Suriansyah Murhaini, 2009, Kewenangan Pemerintah Daerah Mengurus BidangPertanahan,
Laksbang Justitia, Surabaya
Widhi Handoko, 2014, Kebijakan Hukum Pertanahan Sebuah Refleksi Keadilan Hukum
Progresif, Thafa Media
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta
B.Peraturan Perundang-Undangan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
C.Website
www.pemprov.go.id Data jumlah penyediaan bid