17 bab ii kajian teori untuk menggambarkan kondisi

30
17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi permasalahan terkait tindakan atau kebijakan penataan usaha toko modern berjejaring berbentuk minimarket yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta diperlukan beberapa pemahaman konsep tentang kebijakan publik, otonomi daerah, peraturan daerah serta pemahaman tentang waralaba minimarket. Untuk itulah pada bab ini akan dibahas beberapa konsep tersebut guna memperoleh gambaran yang jelas mengenai permasalahan penelitian. A. Konsep Kebijakan Publik 1. Pengertian Kebijakan Publik Istilah kebijakan publik sering kita dengar dalam kehidupan sehari- hari dan dalam kegiatan-kegiatan akademis, seperti dalam mata kuliah ilmu politik. Budi Winarno dan Solichin Abdul Wahab sebagaimana yang dikutip Suharno (2010:11) sepakat bahwa istilah kebijakan ini penggunaannya sering dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals) program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, standar, proposal dan grand design. Edi Suharto sebagaimana dikutip Suharno (2010:12), mengemukakan bahwa kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Ealau dan Keneth Prewitt

Upload: votu

Post on 26-Jan-2017

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

17  

BAB II

KAJIAN TEORI

Untuk menggambarkan kondisi permasalahan terkait tindakan atau

kebijakan penataan usaha toko modern berjejaring berbentuk minimarket yang

dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta diperlukan beberapa pemahaman

konsep tentang kebijakan publik, otonomi daerah, peraturan daerah serta

pemahaman tentang waralaba minimarket. Untuk itulah pada bab ini akan dibahas

beberapa konsep tersebut guna memperoleh gambaran yang jelas mengenai

permasalahan penelitian.

A. Konsep Kebijakan Publik

1. Pengertian Kebijakan Publik

Istilah kebijakan publik sering kita dengar dalam kehidupan sehari-

hari dan dalam kegiatan-kegiatan akademis, seperti dalam mata kuliah ilmu

politik. Budi Winarno dan Solichin Abdul Wahab sebagaimana yang dikutip

Suharno (2010:11) sepakat bahwa istilah kebijakan ini penggunaannya

sering dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals)

program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, standar, proposal

dan grand design.

Edi Suharto sebagaimana dikutip Suharno (2010:12), mengemukakan

bahwa kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk

mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Ealau dan Keneth Prewitt

Page 2: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

18  

yang dikutip Charles O. Jones dalam Suharno (2010:12), kebijakan adalah

sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten

dan berulang baik dari yang membuatnya maupun menaatinya yang terkena

kebijakan itu” (a standing decision characterized by behavioral consistency

and repetitiveness on the part of both those who make it and those who

make it and those who abide it).

Knoepfel dan kawan-kawan sebagaimana dikutip Wahab (2012:10)

mengartikan kebijakan sebagai:

“a series of decisions or activities resulting from structured and recurrent interactions between different actors, both public and private, who are involved in various different ways in the emergence, identification and resolution of a problem defined politically as a public one” (serangkaian keputusan atau tindakan-tindakan sebagai akibat dari interaksi terstruktur dan berulang di antara berbagai aktor baik publik/pemerintah maupun privat/swasta yang terlibat berbagai cara dalam merespon, mengidentifikasikan dan memecahkan suatu masalah yang secara politis didefinisikan sebagai masalah publik).

Seorang pakar ilmu politik, Richard Rose sebagaimana dikutip

Winarno (2007:17) menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami

sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta

konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada

sebagai suatu keputusan tersendiri”. Definisi tersebut bersifat ambigu,

namun berguna karena kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan

dan bukan sekedar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu.

Menurut Carl Friedrich sebagaimana yang dikutip Suharno (2012:13),

kebijakan dipandang sebagai:

“ suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, ataupun pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang

Page 3: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

19  

memberikan pelbagai hambatan dan kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan, lantas menggunakan kebijakan tersebut untuk mengatasi segala bentuk persoalan demi mencapai tujuan yang dimaksud”.

Definisi ini menyangkut dimensi yang luas karena kebijakan tidak hanya

dipahami sebagai tindakan yang dilakukan pemerintah, tetapi juga oleh

kelompok maupun individu.

Berkenaan dengan definisi kebijakan tersebut, Winarno (2007:18)

mengingatkan bahwa dalam mendefinisikan kebijakan tetap harus

mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan daripada

apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan tertentu. Hal

ini dilakukan karena kebijakan merupakan suatu proses yang mencakup pula

tahap implementasi dan evaluasi sehingga definisi kebijakan yang hanya

menekankan pada apa yang diusulkan menjadi kurang memadai.

Oleh karena itu, definisi mengenai kebijakan publik akan lebih tepat

bila definisi tersebut mencakup pula arah tindakan atau apa yang dilakukan

dan tidak semata-mata menyangkut usulan tindakan. Berdasarkan pada

pertimbangan ini, maka definisi kebijakan publik yang ditawarkan James

Anderson menurut Winarno lebih tepat dibandingkan dengan definisi-

definisi kebijakan publik yang lain.

Menurut Anderson kebijakan merupakan arah tindakan yang

mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor

dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep kebijakan ini

menurut Winarno (2007:18) dianggap tepat karena memusatkan pada apa

yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau di

Page 4: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

20  

maksudkan. Selain itu, konsep ini juga membedakan kebijakan dari

keputusan yang merupakan pilihan di antara berbagai alternatif yang ada.

Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut maka dapat disimpulkan

bahwa kebijakan pada hakikatnya adalah tindakan-tindakan yang

didalamnya terdapat unsur keputusan yang mengandung upaya pemilihan

diantara berbagai alternatif yang ada guna mencapai maksud dan tujuan

tertentu.

Robert Eyestone mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik

dapat didefinisikan sebagai “hubungan suatu unit dengan lingkungannya”.

Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung pengertian yang sangat

luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik

dapat mencakup banyak hal. Batasan lain tentang kebijakan publik diberikan

oleh Thomas R. Dye yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah

“apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan”.

Batasan Dye tersebut tidak cukup memberi perbedaan yang jelas antara apa

yang diputuskan oleh pemerintah (Winarno, 2007: 17).

Pakar Inggris, W.I. Jenkins sebagaimana dikutip Wahab (2012:15)

merumuskan kebijakan publik sebagai:

“A set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where these decisions should, in principle, be within the power of these actors to achieve” (serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang actor politik atau seelompok aktor, berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi. Keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut).

Page 5: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

21  

Dari beberapa pendapat tentang kebijakan publik diatas, definisi

James E. Anderson, yang diartikan sebagai kebijakan yang dikembangkan

ataupun dirumuskan instansi-instansi serta pejabat-pejabat pemerintah, oleh

Sholichin Abdul Wahab dan Budi Winarno dianggap lebih tepat dibanding

definisi lainnya. Dalam kaitan ini, aktor-aktor bukan pemerintah (swasta)

tentu saja dapat mempengaruhi perkembangan atau perumusan kebijakan

publik.

Suharno (2010: 21) mengemukakan, dengan mengikuti pandangan

Anderson, kebijakan publik diartikan sebagai kebijakan yang dikembangkan

atau dirumuskan oleh instansi-instansi serta pejabat-pejabat pemerintah.

Dalam kaitan dengan hal ini, aktor-aktor bukan pemerintah atau swasta

tentunya dapat memengaruhi perkembangan atau perumusan kebijakan

publik.

Berdasarkan berbagai pendapat ahli dapat disimpulkan bahwa

kebijakan publik adalah serangkaian “tindakan” (nyata atau bukan suatu

kehendak) yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang

berorientasi pada tujuan tertentu guna memecahkan masalah-masalah publik

atau demi kepentingan publik. Kebijakan untuk melakukan sesuatu biasanya

tertuang dalam ketentuan-ketentuan atau peraturan perundang-undangan

yang dibuat pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat dan

memaksa.

2. Proses Kebijakan Publik

Page 6: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

22  

Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas

intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis.

Aktifitas politik tersebut tampak dalam serangkaian kegiatan, adopsi

kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan. Sedangkan

aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan

monitoring dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat

intelektual (Suharno, 2010: 32).

Michael Howlet dan M. Ramesh, sebagaimana dikutip Subarsono

dalam Suharno (2010, 37) menyatakan, proses kebijakan publik terdiri dari

lima tahapan sebagai berikut:

a. Penyusunan agenda (agenda setting), yaitu proses agar suatu masalah

bisa mendapat perhatian dari pemerintah.

b. Formulasi kebijakan (policy formulation), yaitu proses perumusan

pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah.

c. Pembuatan kebijakan (decicion making), yaitu proses ketika pemerintah

memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu

tindakan.

d. Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu proses untuk

melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil.

e. Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yaitu proses untuk memonitor

dan menilai hasil atau kinerja kebijakan.

William N. Dunn mengemukakan proses kebijakan publik seperti

tabel berikut:

Page 7: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

23  

Tabel 1. Proses Kebijakan Publik

Fase Karakteristik Ilustrasi

Penyusunan Agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat mendapatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.

Legislator negara dan co-sponsornya menyiapkan rencana undang-undang mengirimkan ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui. Atau rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih.

Formulasi Kebijakan

Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan dan tindakan legislatif.

Peradilan negara bagian memperingatkan pelarangan penggunaan tes kemampuan standar seperti SAT dengan alasan bahwa tes tersebut cenderung bias terhadap perempuan dan minoritas.

Adopsi Kebijakan

Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus diantara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

Dalam keputusan Mahkamah Agung pada kasus Roe. V. Wade tercapai keputusan mayoritas bahwa wanita mempunyai hak untuk mengakhiri kehamilan melalui aborsi.

Implementasi Kebijakan

Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.

Bagian keuangan kota mengangkat pegawai untuk mendukung peraturan baru tentang penarikan pajak kepada rumah sakit yang tidak lagi memiliki status pengecualian pajak.

Penilaian Kebijakan

Unit-unit pemeriksaan dan akuntansi dalam pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif, legislatif dan peradilan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.

Kantor akuntansi publik memantau program-program kesejahteraan sosial seperti bantuan untuk keluarga dengan tanggungan (AFDC) untuk menentukan luasnya penyimpangan/korupsi.

Sumber: Suharno (2010: 33)

Page 8: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

24  

Tebel tersebut menunjukkan tahap-tahap proses kebijakan publik dan

dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Tahap penyusunan agenda

Masalah yang ada ditempatkan pada agenda publik oleh para pejabat yang

dipilih. Beberapa masalah tersebut kemudian masuk ke agenda kebiajakan

pada perumus kebijakan. Suatu masalah munkuin tidak disentuh sama

sekali dan beberapa yang lain pembahsan untuk maslaah tersebut ditunda

untuk waktu yang lama.

2. Tahap formulasi kebijakan

Pada tahap ini, masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian

dibahas oleh pembuat kebijaakan dan dicari pemecahan masalah yag

terbaik yang berasl dari berbagai alternatif yang ada.

3. Tahap adopsi kebijakan

Dari berbagai alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus

kebijakan, salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan

dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau

keputusan peradilan.

4. Tahap implementasi kebijakan

Suatu program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan

masalah harus diimplementasikan, yaitu dilaksanakan oleh badan-badan

administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan

yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang

memobilisasikan sumberdaya financial dan manusia. Pada tahap

Page 9: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

25  

implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa

implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun

beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.

5. Tahap penilaian kebijakan

Kebijakan yang telah dijalankan kemudian akan dinilai atau dievaluasi

untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu

memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk

meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memperbaiki masalah

yang dihadapi msyarakat, kemudian ditentukan ukuran-ukuran atau

kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik

telah meraih dampak yang diinginkan.

Dalam pandangan Ripley (dalam Subarsono) sebagaimana dikutip

Suharno (2007: 34), Tahapan proses kebijakan publik dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1. Tahapan Penyusunan Agenda Kebijakan

a. Membangun persepsi di kalangan stakeholders bahwa sebuah fenomena

benar-benar dianggap sebagai masalah.

b. Membuat batasan masalah.

c. Memobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam

agenda pemerintah. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara

mengorganisasi kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat dan

kekuatan-kekuatan politik, publikasi melalui media massa, dan

sebagainya.

Page 10: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

26  

2. Tahap Formulasi dan Legitimasi Kebijakan

Pada tahap ini perlu mengumpulkan dan menganalisis informasi yang

berhubungan dengan masalah yang bersangkutan, kemudian berusaha

mengembangkan alternatif-alternatif kebijakan, membangun dukungan dan

melakukan negosiasi, sehingga sampai pada sebuah kebijakan yang dipilih.

3. Tahap Implementasi Kebijakan

Pada tahap ini perlu memperoleh dukungan sumber daya, dan

penyusunan organisasi pelaksana kebijakan. Dalam proses implementasi

sering ada mekanisme insentif dan sanksi agar implementasi kebijakan

tersebut berjalan dengan baik.

4. Tahap Evaluasi Terhadap Implementasi, Kinerja dan Dampak Kebijakan

Implementasi kebijakan akan menghasilkan kinerja dan dampak

kebijakan, yang memerlukan proses berikutnya yakni evaluasi. Hasil

evaluasi tersebut berguna bagi penentuan kebijakan baru di masa yang akan

datang, agar kebijakan yang akan datang lebih baik dan berhasil.

Pakar kebijakan publik, James Anderson (Suharno,2010:36)

menetapkan proses kebijakan sebagai berikut:

a. Formulasi masalah (problem formulation)

Apa masalahnya? Apa yang membuat hal tersebut menjadi masalah

kebijakan? Bagaimana masalah tersebut dapat masuk dalam agenda

pemerintah?

b. Formulasi kebijakan (formulation)

Page 11: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

27  

Bagaimana mengembangkan pilihan-pilihan atau alteratif-alternatif

untuk memecahkan masalah tersebut? Siapa saja yang berpartisipasi

dalam formulasi kebijakan?

c. Penentuan kebijakan (adaption)

Bagaimana alternatif ditetapkan? Persyaratan atau kriteria seperti apa

yang harus dipenuhi? Siapa yang akan melaksanakan kebijakan?

Bagaimana proses atau strategi untuk melaksanakan kebijakan? Apa isi

dari kebijakan yang telah ditetapkan?

d. Implementasi (implementation)

Siapa yang terlibat dalam dalam implementasi kebijakan? Apa yang

mereka kerjakan? Apa dampak dari isi kebijakan?

e. Evaluasi (evaluation)

Bagaimana tingkat atau dampak kebijakan diukur? Siapa yang

mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi dari evaluasi kebijakan?

Adakah tuntutan untuk melakukan perubahan atau pembatalan?.

3. Wujud Kebijakan di Suatu Negara

Wujud kebijakan di suatu negara dapat berupa peraturan negara, yang

dimaksud dengan peraturan negara (staatsregelings) adalah peraturan-

peraturan tertulis yang diterbitkan oleh instansi resmi, baik dalam

pengertian lembaga maupun dalam pengertian pejabat tertentu. Peraturan

yang dimaksud meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan

Page 12: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

28  

Menteri, Peraturan Daerah, Instruksi, Surat Edaran, Pengumuman, Surat

Keputusan, dan lain-lain.

Peraturan negara (staatsregelings) atau disebut dengan keputusan

dalam arti luas (besluiten). Keputusan dalam arti luas (besluiten) dapat

dibagi dalam 3 (tiga) kelompok yakni:

(1) Wettelijk regeling (peraturan perundang-undangan), seperti UUD,

undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang,

peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri lain-lain;

(2) Beleidsregels (peraturan kebijakan), seperti instruksi, surat edaran,

pengumuman dan lain-lain;

(3) Beschikking (penetapan), seperti surat keputusan dan lain-lain

B. Konsep Otonomi Daerah

1. Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur

dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. Sedangkan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum

yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan

aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintah daerah dengan otonomi adalah proses peralihan dari sistem

dekonsentrasi ke sistem desentralisasi.

Page 13: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

29  

Otonomi merupakan penyerahan urusan pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi

pemerintahan. Tujuan dari otonomi yaitu mencapai efisiensi dan efektivitas

dalam pelayanan kepada masyarakat. Tujuan penyerahan urusan tersebut

antara lain; menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang,

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menumbuhkan kemandirian

daerah, serta meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbuhan

(Widjaja, 2007: 76).

Otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemandirian tetapi bukan

kemerdekaan. Kebebasan terbatas atau kemandirian itu adalah wujud

pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Secara implisit,

definisi otonomi tersebut mengandung dua unsur, yaitu: adanya pemberian

tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta

kewenangan untuk melaksanakannya, dan adanya pemberian kepercayaan

berupa kewenangan untuk memikirkan dan menetapkan sendiri berbagai

penyelesaian tugas itu. Dari batasan pengertian otonomi daerah tersebut,

dapat dipahami bahwa sesungguhnya otonomi merupakan realisasi dari

pengakuan pemerintah bahwa kepentingan dan kehendak rakyatlah yang

menjadi satu-satunya sumber untuk menentukan pemerintahan negara

Kebijakan otonomi daerah merupakan kebijakan negara yang

mendasari penyelenggaraan organisasi dan manajemen pemerintahan

daerah. Artinya, seluruh kebijakan dan kegiatan pemerintahan serta

kebijakan dan kegiatan pembangunan di daerah dilaksanakan menurut arah

Page 14: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

30  

kebijakan yang ditetapkan dalam kebijakan negara tersebut. Pelaksanaan

otonomi daerah itu tentu saja bukan sekedar membincangkan mekanisme

bagaimana menterjemahkan tujuan-tujuan policy kepada prosedur rutin dan

teknik, melainkan lebih jauh daripada itu, melibatkan berbagai faktor mulai

dari faktor sumber daya, hubungan antar unit organisasi, tingkat-tingkat

birokrasi sampai kepada golongan politik tertentu yang mungkin tidak

menyetujui policy yang sudah ditetapkan. Dalam konteks ini, Grindle

(Koswara, 1999 : 106) mengatakan :

“Attempts to explain this divergence have led to the realization that implementation, even when successful, involves far more than a mechanical translation of goals into routine procedures; it involves fundamental questions about conflict, decision making, and who gets what in a society”.

Dengan demikian, keberhasilan atau kegagalan implementasi

kebijakan dapat dievaluasi dari sudut kemampuannya secara nyata dalam

meneruskan atau mengoperasionalkan program-program yang telah

dirancang sebelumnya. Sebaliknya keseluruhan proses implementasi

kebijakan dapat dievaluasi dengan cara mengukur atau membandingkan

antara hasil akhir dari program-program tersebut dengan tujuan-tujuan

kebijakan.

Undang-undang No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah

telah mengubah paradigma sentralisasi pemerintahan ke arah desentralisasi

dengan pemberian otonomi daerah yang nyata, luas, dan bertanggung jawab

kepada daerah perubahan paradigma tersebut juga merupakan kesempatan

yang penting bagi Pemerintah Daerah untuk membuktikan kesanggupannya

Page 15: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

31  

dalam melaksanakan urusan-urusan pemerintahan lokal sesuai dengan

keinginan dan kebutuhan masyarakat lokal. Hal ini perlu diantisipasi, agar

kinerja Pernerintah Daerah dapat meningkat secara signifikan dalam

mengurus rumah tangga daerah dan pelayanan kepada masyarakat melalui

peningkatan kapasitas Perangkat Daerah dan DPRD (Widjaja, 2007: 76-78).

Daerah yang menerima penyerahan wewenang dari pusat dengan cara

desentralisasi menjadi daerah otonom. Daerah tersebut disebut daerah

otonom karena penduduknya berhak mengatur dan mengurus

kepentingannya berdasarkan prakarsanya sendiri. Maksudnya, daerah

tersebut memiliki kebebasan untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan

rumah tangganya yang diperbolehkan oleh Undang-undang tanpa mendapat

campur tangan langsung dan pernerintah pusat. Dalam hal ini, posisi

pemerintah pusat hanya mengarahkan, mengawasi, dan mengendalikan agar

penyelenggaraan otonominya tetap dalam koridor peraturan perundang-

undangan yang ditetapkan. (http://www.anneahira.com/kebijakan-

publik.htm)

2. Asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan

Dengan berkembangnya kepentingan dari pemerintah pusat, maka

demi kebaikan dan kelancaran serta efektifitas dari pemerintah diadakan

pelimpahan kewenangan-kewenangan pada instansi di daerah-daerah yang

berada jauh dari Pemerintahan Pusat, yang dapat berupa asas dekonsentrasi,

asas desentralisasi dan asas medebewind atau tugas bantauan. Ini merupakan

Page 16: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

32  

pelaksanaan tugas pemerintah berdasar sendi wilayah yang berarti membagi

wilayah negara dalam beberapa daerah kemudian menerapkan sendi-sendi

seperti sendi desentralisasi dan dekonsentrasi sebagai wujud pembagian

tugas pemerintah pusat dan daerah, selain sendi-sendi tersebut pemerintah

pusat juga menggunakan asas medebewind atau tugas pembantuan dalam

mempelancar tugas pemerintahan di daerah-daerah.

Adapun penjelasan dari masing- masing asas-asas tersebut di atas

adalah sebagai berikut :

1. Asas Dekonsentrasi.

Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah

pusat kepada pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal

tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat didaerah. Ciri-ciri dari asas ini

adalah sebgai berikut:

a. Bentuk pemencaran adalah pelimpahan

b. Pemencaran terjadi kepada pejabat sendiri (perseorangan)

d. Yang dipencar (bukan urusan pemerintah) tetapi wewenang untuk

melaksanakan sesuatu.

d. Yang dilimpahkan tidak menjadi urusan rumah tangga sendiri.

Oleh karena itu tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan

kepada kepala daerah otonom menurut asas desentralisasi ini merupakan

salah satu yang membedakan antara asas desentralisasi dengan asas

dekonsentrasi. Menurut asas dekonsentrasi maka segala urusan yang

Page 17: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

33  

dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada pejabatnya didaerah tetap

menjadi tanggung jawab daeri pemerintah pusat yang meliputi :

a. Kebijaksanaan

b. Perencanaan

c. Pelaksanaan

d. Pembiyaan

e. Perangkat pelaksanaan.

Berbeda dengan asas desentralisasi yaitu pelaksanaan pemerintahan

dilaksanakan oleh rumah tangga daerah otonom sepenuhnya, sehingga

penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan pusat dilaksanakan oleh

daerah sepenuhnya sebagai bentuk urusan rumah tangga daerah tersebut.

Adapun unsur pelaksanaannya adalah segala instansi vertikal yang ada di

daerah yang dikoordinir oleh kepala wilayah sebagai alat/ aparat

dekonsentrasi. Dalam hal koordinasi ini, kepala wilayah tidak boleh

membuat kebijakan (policy) sendiri, karena kebijaksanaan terhadap

pelaksanaan urusan dekonsentrasi tersebut sepenuhnya ditentukan oleh

pemerintah pusat. Pelaksanaan asas dekonsentrasi ini melahirkan

pemerintahan lokal administratif.

Daerah administratif meliputi tingkat provinsi, kabupaten, dan

kecamatan. Pemerintahan administratif diberi tugas atau wewenang

menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan pusat yang ada di

daerah. Ditinjau dari wilayah pembagian negara, asas dekonsentrasi

adalah asas yang akan membagi wilayah negara menjadi daerah-daerah

Page 18: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

34  

pemerintahan lokal administratif. Jadi asas dekonsentrasi dapat

dilaksanakan jika terdapat organ bawahan yang secara organisator dan

hierarki berkedudukan sebagai bawahan secara langsung dapat

dikomando dari atas. Oleh karena itu dalam sistem ini tidak diperlukan

adanya badan perwakilan rakyat daerah, yang menampung suatu rakyat

daerah yang bersangkutan, sebab segala kebutuhanya, diurus oleh

pemerintah pusat atau atasannya.

(http://dholmind.blogspot.com/2011/11/asas-desentralisasidekonsentrasi-

dan.html)

2. Asas Desentralisasi

Asas desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari

pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah yang menjadi

urusan rumah tangganya. Ditinjau dari segi pemberian wewenangnya

asas desentralisasi adalah asas yang akan memberikan wewenang kepada

pemerintah daerah untuk mengatur dan menangani urusan- urusan

tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri.

Sentralisasi dan desentralisasi mempunyai kelebihan dan kelebihan

masing-masing. Ini berarti bahwa kekurangan sentralisasi adalah

kelebihan dari desentralisasi. Kelebihan dari sentralisasi dan

desentralisasi adalah sebagai berikut :

a. Kelebihan Sentralisasi

Page 19: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

35  

1) kekuasaan dan prestige memperlengkap kekuasaan eksekutif

kepala;

2) keseragaman kebijaksanaan, praktek dan keputusan terpelihara;

3) penggunaan secara penuh ahli-ahli pada kantor pusat

ditingkatkan, sebagian besar karena mereka dekat kepada tahap

manajemen teratas;

4) ahli-ahli berkualiatas tinggi dapat dipergunakan, karena ruang

lingkup dan banyaknya pekerjaan mereka adalah cukup untuk

membantu manager;

5) fungsi rangkap dapat ditekan sampai minimum;

6) bahaya yang timbul dari tingkah laku dapat dikurangi;

7) prosedur dan tingkat kontrol yang teliti dan besar biaya tidak

diperlukan.

8) dapat dikembangkan kelompok manajemen yang terkooordinasi

tepat.

b. Kelebihan Desentralisasi

1) Struktur organisasi yang didesentralisasi berbobot pendelegasian

wewenang yang memperingan beban managemen teratas;

2) Lebih berkembang generalis daripada spesialis dan dengan

demikian membuka kedudukan untuk manager umum;

3) Hubungan dan kaitan yang akrab dapat ditingkatkan yang

mengakibatkan gairah kerja dan koordinasi yang baik;

Page 20: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

36  

4) Kebiasaan dengan aspek kerja yang khusus dan penting siap

untuk dipergunakan;

5) Efisiensi dapat ditingkatkan sepanjang struktur dapat diandang

sebagai suatu kebulatan sedemikian rupa sehingga kesuliatan

dapat dilokalisasi dan dapat dipecahkan dengan mudah;

6) Bagi perusahaan yang besar dan tersebar diberbagai tempat,

dapat diperoleh manfaat sebesar-besarnya dari keadaan tempat

masing-masing;

7) Rencana dapat dicoba dalam tahap eksperimen pada suatu

perusahaan, dapat diubah dan dibuktikan sebelum diterapkan

pada bagian lain yang sejenis dari bagian usahanya yang sama;

8) Resiko yang mencakup kerugian, kepegawaiaan, fasilitas dan

perusahaan dapat terbagi.

Asas desentralisasi dibagi menjadi dua macam yaitu sebagai

berikut :

1) Desentralisasi Jabatan yaitu berupa pemencaran kekuasaan dari atas

kepada bawahan sehubungan dengan kepegawaian atau jabatan

dengan maksud untuk meningkatkan kelancaran kerja.

2) Desentralisasi Kenegaraan yaitu berupa penyerahan kekuasaan

yang mengatur daerah dalam lingkunganya sebagai usaha untuk

mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara.

Di dalam desentralisasi pemencaran berarti pelimpahan,

penyerahan atau kerja lain yang mengandung gerak jauh dari tempat asal

Page 21: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

37  

(pusat). Kemudian yang membedakan antra desentralisasi dengan

dekonsentrasi adalah bahwa desentralisasi terdapat :

1) Bentuk pemencaran adalah pelimpahan;

2) Pemencaran terjadi kepada daerah ( bukan perorangan)

3) Yang dipemencarkan adalah urusan pemerintah;

4) Urusan pemerintah yang dipencarkan menjadi urusan rumah tangga

daerah sendiri.

Sehingganya dalam hal ini inisiatif pemerintahan diserahkan

kepada daerah otonom, yang meliputi :

1. Kebijaksanaan;

2. Perencanaan;

3. Pelaksanaan;

4. Pembiayaan;

5. Perangkat pelaksanaan. (http://dholmind.blogspot.com/2011/11/asas-

desentralisasidekonsentrasi-dan.html)

3. Asas Medebewind (Tugas Pembantuan)

Asas tugas pembantuan adalah tugas untuk turut serta dalam

melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah

daerah oleh pemerintah atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan

kewajiban mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan. Istilah

medebewind berasal dari kata mede berarti turut serta dan bewind berarti

Page 22: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

38  

berkuasa, memerintah. Medebewind ini disebut juga serta tantra atau

tugas pembantuan.

Atas dasar dekonsentrasi mengingat terbatasnya kemampuan

perangkat pemerintah pusat yang berada di daerah dan juga ditinjau dari

daya guna dan hasil guna, adalah kurang dapat dipertanggungjawabkan,

apabila semua urusan pemerintah pusat di daerah harus dilaksanakan

sendiri oleh perangkatnya yang berada di daerah, karena itu akan

membutuhkan tenaga kerja yang cukup besar jumlahnya. Melihat

sifatnya, berbagai urusan sulit untuk dilaksanakan dengan baik, tanpa

ikut sertanya pemerintah daerah yang bersangkutan.

Daerah otonom dapat diserahi untuk menjalankan tugas-tugas

pembantuan atau asas medebewind, tugas pembantuan dalam hal ini

tugas pembantuan dalam pemerintahan, ialah tugas untuk ikut

melaksanakan peraturan-peraturan perundangan, bukan saja yang

ditetapkan oleh pemerintah pusat, tetapi juga yang ditetapkan oleh

pemerintah daerah atau pemerintah lokal yang mengurus rumah

tangganya sendiri dari tingkat atasnya.

Asas medebewind termasuk dalam asas desentralisasi dan

desentralisasi itu mempunyai dua wajah yaitu : otonomi dan medebewind

atau disebut Zelfbestur. Dengan pengertian otonomi adalah bebas

bertindak, dan bukan diperintah dari atas, melainkan semata-mata atas

kehendak dan inisiatif sendiri, guna kepentingan daerah itu sendiri.

Sedangkan pengertian medebewind atau tugas pembantuan adalah disebut

Page 23: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

39  

sebagai wajah kedua dari desentralisasi adalah bahwa penyelenggaraan

kepentingan atau urusan tersebut sebenarnya oleh pemerintah pusat tetapi

daerah otonom diikutsertakan.

Tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat

kepada daerah dan atau desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang

disertai pembiayaan, prasarana dan sarana serta sumber daya manusia

dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan

memepertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. Tugas

pembantuan tersebut dibiayai beban Anggaran Pendapatan Belanja

Negara (Widjaja, 2007: 167-168).

C. Konsep tentang Pasar Tradisional dan Pasar Modern

1. Pengertian Pasar Tradisional

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 112 tahun 2007 tentang

Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern pasal

1, disebutkan bahwa pengertian pasar adalah area tempat jual beli barang

dengan jumlah penjual lebih dari satu, baik yang disebut sebagai pusat

perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plaza, pusat perdagangan

maupun sebutan lainnya.

Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh

Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, BUMN, BUMD termasuk

kerjasama antara swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los, dan

tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya

Page 24: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

40  

masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan

dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar.

Kebanyakan menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti bahan-

bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kue, kain,

pakaian, barang elektronik, jasa, dan lain-lain.

2. Pengertian Pasar Modern

Pasar Modern adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli,

namun penjual dan pembeli tidak melakukan transaksi secara langsung

melainkan pembeli melihat label harga yang tercantum dalam barang

(barcode), berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara

mandiri (swalayan) atau oleh pramuniaga. Barang yang dijual hampir

sama dengan pasar tradisional, namun dibungkus dalam kemasan yang

menarik dan bersih serta sebagian besar berupa barang tahan lama.

(http://e-journal.uajy.ac.id/2937/2/1HK09378.pdf)

D. Konsep tentang Waralaba Minimarket

Dalam bahasa Inggris, waralaba sama artinya dengan franchise.

Sedangkan kata franchise berasal dari bahasa Perancis yang berarti kejujuran,

kebebasan atau bebas dari perhambaan atau perbudakan (free from servitude).

Bila dikaitkan dengan usaha, franchise berarti kebebasan yang diperoleh

seseorang untuk menjalankan usaha sendiri yaitu suatu usaha tertentu di

wilayah tertentu yang diperoleh dari franchisor (Hakim, 2008: 14).

Page 25: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

41  

Dalam konteks Indonesia, bisnis franchise dikenal dengan waralaba.

Padanan kata ini pertama kali diperkenalkan oleh Lembaga Pendidikan dan

Pembinaan Manajemen (LPPM). Waralaba adalah gabungan dari dua kata,

yaitu”wara” berarti lebih atau istimewa dan “laba” berarti untung. Maka

waralaba dimaknai sebagai usaha memberikan keuntungan yang lebih atau

istimewa, yang sistemnya berbeda dengan sistem bisnis konvensional yang

sudah ada (Hakim, 2008: 16).

Kata franchise pertama kali digunakan pada tahun 1851 oleh Isaac

Singer, seorang seniman dan pengusaha dari Amerika Serikat. Ia mendirikan

perusahaan Mesin Jahit Singer, dimana perusahaan tersebut bukan perusahaan

besar, sehingga ketika Singer ingin meningkatkan distribusi penjualan mesin

jahitnya, ia mengguanakan pola distribusi dan pemasaran yang terbilang baru

pada masa itu. Pola tersebut deperkenalkan Singer dengan istilah franchise

(waralaba). Sedangkan perkembangan waralaba di Indonesia dimulai pada

tahin 1950-an dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui

pembelian lisensi. Kemudian pada tahun 1970-an waralaba di Indonesia

berkembang pesat, dengan dimulainya sistem pembelian lisensi plus, yaitu

ketika franchisee tidak sekedar menjadi penyalur, tetapi juga memiliki hak

untuk memproduksi produknya.

Waralaba melibatkan suatu kewajiaban untuk menggunakan suatu sistem

dan metode yang ditetapkan oleh pemberi waralaba termasuk didalamnya hak

untuk mempergunakan merek dagang. Pengertian waralaba (secara umum) ini

dibedakan dari waralaba nama dagang yang memang mengkhususkan diri pada

Page 26: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

42  

perizinan penggunaan nama dagang dalam rangka pemberian izin untuk

melakukan penjualan produk pemberi waralaba dalam suatu batas wilayah

tertentu, dalam suatu pasar yang bersifat non-kompetitif (Widjaja, 2003: 11).

Waralaba adalah ritel yang dimiliki dan dioperasikan oleh individu tetapi

memperoleh lisensi dari organisasi pendukung yang lebih besar. Waralaba

menggabungkan keuntungan-keuntungan dari organisasi rantai toko.

Franchising adalah hubungan yang terus menerus di mana pemilik waralaba

memberikan kepada penyewa waralaba hasil dan hak bisnis untuk

mengoperasikan atau menjual produk. Pemilik waralaba (franchiser) tersebut

menciptakan merek dagang, produk, maupun metode operasi. Sedangkan

penyewa waralaba (franchise) sebaliknya membayar pada pemilik waralaba

(franchisor) atas haknya untuk menggunakan nama, produk atau metode

bisnisnya. Perjanjian waralaba antara kedua belah pihak biasanya berlaku 10

hingga 20 tahun, di mana si penyewa waralaba kemudian dapat memperbaharui

perjanjian dengan pemilik waralaba jika kedua belah pihak tersebut

menyetujui.

Secara harfiah waralaba dapat diartikan sebagai hak untuk menjalankan

usaha/bisnis di daerah yang telah ditentukan. Sedangkan secara historis,

waralaba didefinisikan sebagai penjualan khusus suatu produk di daerah

tertentu dengan cara produsen memberikan pelatihan kepada perwakilan

penjualan serta menyediakan produk informasi dan iklan, dan ia juga

mengontrol perwakilan yang menjual produk diderah yang telah ditentukan.

Page 27: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

43  

Pengertian waralaba berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 16 Tahun

1997 tanggal 18 Juni 1997 tentang Waralaba Pasal 1 ayat 1, adalah perikatan

dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau

menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas

usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan

dan atau penjualan barang dan atau jasa.

Pengertian waralaba dalam Black’s Law Dictionary sebagaimana yang

dikutip Widjaja (2003:8), waralaba menekankan pada pemberian hak untuk

menjual produk berupa barang atau jasa dengan memanfaatkan merek dagang

pemberi waralaba (franchisor) di mana pihak penerima waralaba (franchisee)

berkewajiban untuk mengikuti metode dan tata cara atau prosedur yang telah

ditetapkan oleh pemberi waralaba. Dalam kaitannya dengan pemberian izin dan

kewajiban pemenuhan standar dari pemberi waralaba, pemberi waralaba akan

memberikan bantuan pemasaran, promosi maupun bantuan teknis lainnya agar

penerima waralaba dapat menjalankan usahanya dengan baik.

Henry Campbell Black dalam bukunya Black’s Law Dict mendefiniskan

bahwa franchise atau waralaba merupakan sebuah lisensi merek dari pemilik

yang mengizinkan orang lain untuk menjual produk atau jasa atas nama merek

tersebut. Winarto menjelaskan bahwa waralaba adalah sebuah hubungan

kemitraan pengusaha yang usahanya kuat dan sukses dengan pengusaha yang

relatif baru dan belum memeiliki posisi yang kuat dengan tujuan saling

menguntungkan satu sama lain, khususnya dalam bidang usaha penyediaan

produk dan jasa langsung kepada konsumen.

Page 28: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

44  

Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) sebagai lembaga yang berkecimpung

dalam waralaba di Indonesia, mendefinisikan bahwa waralaba adalah suatu

sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir. Pemilik merek

(franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk

melakukan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur, dan cara-cara yang

telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu

(Dari, 2011: 16-17).

Dua elemen penting dalam waralaba, yaitu:

1. Pewaralaba/ pemberi waralaba (franchisor), yaitu pemilik waralaba

atau produsen barang atau jasa yang telah memiliki merek tertentu

serta memberikan atau melisensikan hak eksklusif kepada pihak lain

sebagai bagian dari strategi pemasaran barang dan jasa yang

diproduksi.

2. Terwaralaba/ penerima waralaba (franchisee), yaitu pihak yang

menerima hak eksklusif dari franchisor untuk mengembangkan

merek usahanya di beberapa wilayah.

Terdapat dua bentuk dasar dari waralaba:

1. Waralaba merek dagang (trade name franchising)

Adalah pemberian hak izin dan pengelolaan dari franchisor kepada

penerima waralaba (franchise) untuk menjual produk dengan

menggunakan merek dagang dalam bentuk keagenan, distributor atau

lisensi penjualan. Franchisor membantu franchise untuk memilih lokasi

yang aman dan showroom serta menyediakan jasa orang untuk membantu

Page 29: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

45  

mengambil keputusan “do or do not”. Dalam waralaba merek dagang,

seorang pengusaha setuju untuk menjual produk-produk tertentu yang

disediakan oleh seorang pabrikan atau grosir. Pendekatan ini telah

digunakan sangat luas dalam berbagai industri, seperti industri obat-

obatan, minuman ringan dan lain-lain.

2. Waralaba format bisnis

Adalah sistem waralaba yang tidak hanya menawarkan merek

dagang dan logo tetapi juga menawarkan sistem yang komprehensif

tentang tata cara menjalankan bisnis. Waralaba format bisnis sering

menggunakan nama ritel. Penamaan ini mengacu pada Keputusan

Presiden No. 118 tahun 2000 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan

Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan tertentu bagi

penanaman Modal.

Dalam keputusan tersebut mengatur sektor perdagangan yang bisa

mengeluarkan bisnis perdagangan eceran skala besar (mall, supermarket,

department store, pusat pertokoan/perbelanjaan) dan perdagangan besar

(distributor/wholesaler, perdagangan ekspor dan impor) dari negative list bagi

penanaman modal asing (PMA). Dilihat dari skala usaha, pelaku bisnis ritel di

Indonesia saat ini dikelompokkan menjadi empat, yatiu: (1) kelompok grosir

dan hypermarket, (2) kelompok supermarket, (3) kelompok minimarket

modern, dan (4) kelompok pengecer kecil tradisional. Kategori waralaba

format bisnis maupun ritel membawa konsekuensi semua produk dan service

Page 30: 17 BAB II KAJIAN TEORI Untuk menggambarkan kondisi

 

46  

bisa dikemas dalam ranah bisnis ini.

(http:www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/WARALABA-W.htm)

Dalam waralaba format bisnis terdapat suatu hubungan bisnis yang terus

menerus antara pemilik waralaba dan penyewa waralaba, khususnya pemilik

waralaba menjual hak untuk menggunakan format atau pendekatan dalam

melakukan bisnis. Contohnya adalah Alfamart dan Indomaret.

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan

dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, maka

minimarket termasuk dalam pengertian toko modern (pasal 1 angka 5), dan

yang dimaksud dengan toko modern adalah toko dengan sistem pelayanan

mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk

minimarket, supermarket, department Store, hypermarket ataupun grosir yang

berbentuk perkulakan. Berdasarkan Peraturan Walikota Yogyakarta No.79

tahun 2010 tentang Pembatasan Usaha Waralaba Minimarket, maka

minimarket adalah toko modern dengan batasan luas lantai penjualan kurang

dari 400m2. Sedangkan pengelola jaringan minimarket (ayat 6) adalah pelaku

usaha yang melakukan kegiatan usaha di bidang minimarket melalui satu

kesatuan manajemen dan sistem pendistribusian barang ke outlet yang

merupakan jaringannya.

Bentuk waralaba yang akan diteliti secara mendalam oleh peneliti dalam

penelitian ini adalah waralaba format bisnis berbentuk minimarket yang

menjadi tujuan langsung dari kebijakan penataan dan pembatasan waralaba

yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Yogyaka