2003 dalam kerangka penegakan hukum

19

Upload: others

Post on 25-Nov-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2003 DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM
Page 2: 2003 DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM
Page 3: 2003 DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM

URGENSI RATIFIKASI UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION 2003 DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM

DAN KEBIJAKAN REGULASI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

I GUSTI KETUT ARIAWAN Fakultas Hukum Universitas Udayona

.. s ~

ABSTRACT

The Ratification of UNCAC in 2003 has politically placed Indonesia as one of the countries in Asia that have a commitment to eradicate corruption through international cooperation. UNCAC adopts that principle of "dual criminality" is no longer a binding principle, in addition to the general principle of extradition that can be made by the Slate that still adopts the principle of nationality. UNCAC policy has distinguished "bribery" in the public sector with bribery and bribery in the private sector. Enrich themselves, which is a stand~alone offense, which, if accepted, the consequence is the burden of proof issue, through the efforts of civil and not only depend on the path of the criminal justice process. Proving through forferiture civit is an alternative, because it is more effective in an effort to return the assets, Similarly, the element of" State Injury" no longer be an important element. UNCAC regulatory policy in 2003 represents an important breakthrough, which has implications for policy enforcement and criminalization of the act as a criminal act of corruption in Indonesia in the future.

Key words: Ratification, UNCAC, Corruption

ABSTRAK

Ratifikasi UNCAC 2003 secara politis menempatkan Indonesia sebagai salah satu Negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama lntemasional. UNCAC 2003 mengadopsi bahwa prinsip " dual criminality " tidak lagi merupakan prinsip yang mengikat, disamping pula terobosan prinsip umum ekstradisi dapat dilakukan terhadap Negara yang masih mengadopsi prinsip nasionalitas. Kebijakan kriminalitas UNCAC 2003 membedakan "penyuapan" eli seklor public dengan penyuapan dan penyuapan di seclor prival. Memperkaya diri sendiri, yang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri,yang apabila diterima, konsekuensinya adalah dalam masalah beban pembuktian,melalui upaya keperdataan dan tidak hanya lergantung pada jalur proses peradilan pidana. Pembuktian melalui jalur civil Jorferiture, merupakan altematif, karena lebih efektif dalam upaya pengembalian asset. Demikian pula, unsur " kerugian Negara " tidak lagi menjadi unsur penting. Kebijakan regulasi UNCAC 2003 merupakan lerobosan penting, yang berimplikasi pada penegakan hukum dan kebijakan kriminalisasi perbuatan sebagai tindak pidana korupsi eli Indonesia ke depan

Kala kunci: ratifikasi, kebijakan, korupsi

• AI ...

10 • Jurnal Hukum Program Studi Doktor llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana

Page 4: 2003 DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM

Urgensi Ratifikasi United Nations Convention Against Corruption 2003 __ I Gusti Ketut Ariawan

1. PENDAHULUAN

K orupSi sebagai suatu kejahatanmemilikidimensiyangsangatluas,baik dilihatdari perspektif viktimologis maupun karakteristik sifat dan pelaku. Dari perspektif

viktimologi, korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik, sebagai suatu perbuatan yang sangat merugikan serta dapat merusak sendi-sendi kehidupan perekonomian suatu negara, efek korupsi terhadap kepentingan publik, sangat luas, sehingga korupsi dimasukkan sebagai salah satu kejahatan terhadap kepentingan publik (Crime Againts Public Interest). Aspek kualitas kejahatan korupsi dengan modus operandi yang sangat kompleks maupun dengan menggunakan kelemahan-kelemahan otoritas hukum.

Korupsi sebagai suatu kejahatan memiliki dimensi yang sangat luas, baik dilihat dari perspektif viktimologis maupun karakteristik sifat dan pelaku. Dari perspektif viktimologi, korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik, sebagai suatu perbuatan yang sangat merugikan serta dapat merusak sendi-sendi kehidupan perekonomian suatu negara, sehingga efek korupsi terhadap kepentingan publik, sangat luas, sehingga korupsi dimasukkan sebagai salah satu kejahatan terhadap kepentingan publik (Crime Againts Public Interest). Aspek kualitas kejahatan korupsi dengan modus operandi yang sangat kompleks maupun dengan menggunakan kelemahan-kelemahan otoritas hukum.

Dari perspektif pelaku korupsi, pelakunya biasanya adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan politik, ekonomi serta akses terhadap teknologi atau pengetahuan tertentu, dan terkadang berhimpitan dengan kekuatan politik yang biasanya dilakukan oleh pejabat-pejabat publik (crime commited by public officer). Pelaku memiliki otoritas besar thd akses pOlitik, serta kondisi obyektif yg memberi kemungkinan kesempatan. Secara kuantitas korupsi di Indonesia telah merambah berbagai sektor, korupsi tidak saja terjadi di lembaga eksekutif tetapi telah merambah pula lembaga legislatif dan yudikatif. Korupsi sebagai kejahatan, tidak saja merugikan keuangan dan perekonomian negara melainkan juga merugikan individual maupun kelompok masyarakat lainnya.

Dalam perspektif mikro, implikasi yang dapat dimunculkan oleh korupsi adalah: di bidang politik, korupsi telah mengkikis demokrasi dan good governance; korupsi dalam pemilihan anggota legislatif berdampak pada akuntabilitas dan representasi penyusunan suatu kebijakan; korupsi di pengadilan berakibat terhambatnya kepastian hukum; korupsi di bidang pemerintahan berakibat adanya diskriminasi pelayanan terhadap publik.'

Setiap tahunnya Transparency International (TI) meluncurkan Corruption Perception Index (CPI). Sejak diluncurkan pada tahun 1995, CPI digunakan oleh banyak negara sebagai referensi tentang situasi korupsi. Di tahun 2014, secara global terdapat lima (5) negara yang memiliki skor tertinggi. Negara-negara tersebut adalah Denmark (92), Selandia Baru (91), Finlandia (89), Swedia (87), dan Swiss (86). Sedangkan lima (5) negara yang memiliki skor terendah adalah Somalia (8), Korea Utara (8), Sudan (11), Afghanistan (12), dan Sudan Selatan (15). Skor yang turun tajam dalam CPI 2014 ini dialami oleh China (dengan skor 36), Turki (45) dan Angola (19). Dimana ketiga negara ini mengalami skor turun yang sangat tajam, sekitar 4-5 poin (dalam skala 100). Meskipun diketahui bahwa China dan Turki mengalami pertumbuhan ekonomi lebih dari 4% dalam kurun waktu empat tahun terakhir.

Philip Dinino & John Kpundeh Sahr 1999. A Handbook of Fighting Corruption. Washington DC : Center for Democracy and Governance, hal. 5

Jureal Hukum Program Studi Doktor llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana • 11

1

Page 5: 2003 DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM

Ke:~TH" GO'='" . Volume 1, Nomor 1, Februari 2016

TABEL 1 Skor CPI 2014

No. PERINGKAT NEGARA SKOR2013

SKOR2014

1 7 Singapura 86 84

2 15 Jepang 74 76

3 17 Hongkong 75 74

4 43 Korea Selatan 55 55

5 50 Malaysia 50 52

6 85 Filipina 36 38

7 100 Cina 40 36

8 107 Indonesia 32 34

9 119 Vietnam 31 31

10 133 Timor Leste 30 28

Pada tahun 2014 ini, skor CPI Indonesia sebesar 34 dan menempati urutan 107 dari 175 negara yang diukur. Skor CPI Indonesia 2014 naik 2 poin, sementara peringkat naik 7 peringkat dari tahun sebelumnya.

Korupsi terjadi hampir di semua negara-negara sedang berkembang (NSB) termasuk Indonesia, selain Nigeria, Peru, Filipina. Kini berkembang suatu isu bahwa korupsi mempunyai kaitan pula dengan kejahatan-kejahatan lain yang terorganisasi, khususnya dalam upaya koruptor menyembunyikan hasH korupsinya melalui pencucian uang (money laundering) dengan pemanfaatan transaksi derivatif yakni melalui transfer-transfer intemasional yang efektif. Sebagai suatu kejahatan yang melintasi batas teritorial suatu negara (trans-nasional) dan sebagai kejahatan terorganisasi (organized crime), bahkan korupsi seringkali melibatkan korporasi sebagai pelaku. Gambaran ini mengingatkan kepada kita bahwa penanganan korupsi menjadi semakin rumit. Persoalan ini akan menjadi semakin rumit, dengan semakin banyaknya aset publik yang dikorup kemudian disimpan pada sentra-sentra finansial di negara-negara maju terlindungi oleh sistem hukum yang berlaku di negara tersebut. Isu global tersebut telah mampu menggeser konsep-konsep yang bergumul dengan persoalan: bagaimana menyusun suatu kebijakan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi kepada persoalan bagaimana mengembalikan aset negara yang dikorup, yang diinvestasikan pada sentra-sentra finansial di negara-negara maju.

Pada perkembangan awal, modus penyembunyian hasH tindak pidana korupsi, lebih banyak memanfaatkan sektor perbankan. Sektor perbankan memiliki posisi strategis sebagai lembaga intermediasi dan penunjang sistem pembayaran merupakan faktor yang sangat menentukan, karena industri perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam perekonornian nasional derni menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonorni nasional. Stabilitas industri perbankan, sangat mempengaruhi sektor perekonornian secara keseluruhan.

Perkembangan ekonomi nasional dewasa ini menunjukkan arah yang semakin menyatu dengan ekonomi regional dan intemasional yang dapat menunjang dan sekaligus dapat berdampak kurang menguntungkan. Sementara itu perkembangan perekonomian nasional senantiasa bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks, oleh

12 • Jurnal Hukum Program 5tudi Doktor Ihnu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana

Page 6: 2003 DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM

Urgensi Ratifikasi United Nations Convention Against Corruption 2003 I Gust; Ketut AriQwall

karena itu diperlukan berbagai penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi termasuk sektor perbankan sehingga diharapkan akan dapat memperbaiki dan memperkokoh perekonomian nasional.

Terintegerasinya sistem keuangan termasuk sistem perbankan yang menawarkan mekanmisme lalu lintas dana antamegara, di samping mempunyai dampak positif, juga membawa ekses negatif bagi kehidupan masyarakat, yaitu dengan semakin meningkatnya tindak pidana yang berskala nasional maupun intemasional, dengan memanfaatkan sistem keuangan termasuk sistem perbankan untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal­usul hasil tindak pidana.

Berdasarkan data yang dirilis PPATK, menunjukkan fakta bahwa terjadi kecenderungan peningkatan laporan terjadinya transaksi keuangan yang mencurigakan lima tahun terakhir mengindikasikan adanya peningkatan kegiatan atas transaksi yang terdeteksi sebagai kegiatan transaksi non tunai yang mencurigakan. Kondisi ini sangat berpotensi merugikan keuangan negara maupun indikasi adanya peningkatan aktivitas ML (Money Laundering). Pada sisi lain seiring dengan meningkatnya LKTM (Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan), terjadi pula peningkatan aktivitas transaksi tunai pada periode yang sama. Hal ini patut diduga sebagai indikasi yang menunjukkan bahwa aktivitas transaksi mencurigakan yang selama ini beriangsung secara non tunai kini beralih kepada transaksi yang bersifat tunai. Hal ini dapat kemungkinan disebabkan oleh kondisi dimana transaksi tunai relatif sulit dilacak dan ditelusuri sumber dan alokasi penggunaannya. Jika modus peralihan transaksi yang mencurigakan beriangsung dari non tunai ke transaksi tunai, maka dipandang periu adanya sistem atau regulasi yang mampu mencegah terjadinya praktek pencucian uang melalui transaksi tunai tanpa berdampak menimbulkan hambatan atau kerugian yang signifikan terhadap kondisi moneter dan aktivitas pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

II. PENYEDIA JASA KEUANGAN DAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSIKEUANGAN

Pencucian uang (money laundering) di Indonesia disinyalir banyak berasal dari hasH tindak pidana korupsi, di samping tindak pidana lain.Anatomi korupsi menunjukkan bahwa, uang hasH korupsi merupakan derivative yang sangat penting bagi kelanjutan korupsi dan kejahatan lainsebagai transnasional crime. Korupsi masakini bukanhanya untuk memenuhi hidup sehari-hari (petty-corruption) akan tetapi juga lebih sering menampilkan keserakahan yang luar biasa (grand-corruption) dari suatu rezim yang sedang berkuasa sebagaimana kita saksikan kejatuhan suatu rezim pemerintahan selalu dilatarbelakangi oleh korupsi. Atas dasar pengamatan ini maka pengumpulan harta kekayaan merupakan tujuan akhir dari korupsi sehingga perbuatan korupsi itu sendiri hanyalah merupakan "a means to an end" bukanlah merupakan " an end in itself"

Di dalam dekade terakhir, sejalan dengan pergeseran kebiasaan transaksi perbankan dan non bank oleh sebagian masyarakat, transaksi pemindahan dana yang umumnya dapat dilakukan secara non tunai yakni transfer dana (baik transfer dana antar bank atau antar

2 Yunus Husein 2011. "Tinjauan pernbatasan transaksi keuangan tunai dan penerapan sistem pembuktian terbalik untuk memperkuat upaya' pencegahan dan pemberantasan korupsi dan tindak pidana pencudan uang", ~ dalam .seminar Pembatasan Transaksi Tunai di Indonesia, Ballroom Hotel Aryaduta, Palembang, Senin 12 September 2011, hal. 2

Juma! Hukum Program Studi Doktor nmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana • 13

Page 7: 2003 DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM

Ke:nTHf'I <iO'5f'1 • Volume I, Nomor 1, Februari 2016

penyelenggara transfer dana maupun pemindah bukuan antar rekening di suatu bank mulai bergeser menuju transaksi tunai). Transaksi tunai tersebut antara lain sektor tunai dan tarik tunai untuk keperluan tertentu. Semakin meningkatnya trend transaksi tunai diduga antara lain dengan maksud untuk memutus pentrasiran atau pelacakan asal-usul sumber dana dan memutus pelacakan aliran dana kepada pihak penerima dana (beneficiary) yang pada akhimya akan mengamputasi tugas PPATK dalam melakukan analisis transaksi keuangan mencurigakan.

Modus transaski tunai antara lain: 1) Kasus penyuapan jaksa Urip Tri Gunawan dalam kasus BLBI; 2) kasus dugaan gratifikasi pembangunan Sport Center Hambalang 3; dan 3) Dugaan tindak pidana korupsi lainnya yang menggunakan modus transaksi tunai, adalah kasus korupsi simulator SIM (surat izin mengemudi) •

Contoh tersebut di atas hanya merupakan 3 (tiga) kasus dugaan tindak pidana korupsi di Indonesia dengan menggunakan modus tindak pidana pencudan uang melalui transaksi tunai. Nampaknya, dengan gencarnya upaya pencegahan dibidang tindakpidanapencudan uang, tidak menyurutkan niat pelaku tindak pidana untuk berupaya menyembunyikan ! atau menyamarkan hasil tindak pidana melalui pembelian atau pembayaran aset atau I properti dengan menggunakan uang tunai. Hal tersebut dapat diperlihatkan pada kasus I korupsi atas nama Anas Urbaningrum, dimana yang bersangkutan menerima gratifikasi ~

berupa sebuah mobil mewah yang dibeli dengan menggunakan transaksi tunai sebesar (

Rp. 520 juta. Upaya menyembunyikan atau menyamarkan hasil tindak pidana, yang cl sangat nampak adalah tersangka tindak pidana korupsi atas nama Djoko Susilo, dimana s yang bersangkutan membeli sejumlah properti dengan menggunakan uang tunai yang 8 dibungkus dengan koran berkas atau kardus. Temyata para pelaku kejahatan saat ini sudah D

mulai mencari 'trik' barn dalam upaya menyembunyikan dan menyamarkan hasil tindak Oil

pidana pencudan uang. Nampaknya para pelaku mulai mengetahui apa yang dimaksud P dengan rezim anti pencudan uang dimana di dalam rezim tersebut para sektor keuangan T dan sektor penegak hukum bahu membahu dalam mencegah dan memberantas tindak ... pidana pencudan uang. d

Di samping modus tersebut di atas, modus Transaksi tunai yang diduga untuk ~ memutus pelacakan transaksi keuangan antara lain : ... 1. Setoran tunai dalam jumlah besar dari bukan nasabah suatu bank (walk in customer)

untuk pihak ketiga yang merupakan nasabah di suatu bank berbeda; ,DI

2. Setoran tunai dalam jumlah besar dari pihak penyetor untuk pihak ketiga dimana Lbaik pihak penyetor maupun penerima setoran merupakan nasabah di bank yang sarna; ..

3. Transaksi tarik tunai dalam jumlahbesar untuk tujuan tertentu yang sebenamya dapat .. dilakukan secara pemindahbukuan atau transfer dana, misalnya untuk pembayaran pembelian properti, kendaraan bermotor;

4. Transaksi Tunai dilakukan oleh penerima suap dengan menggunakan kartu ATM milik penyuap"

3 KPK Kembangkan Kasus Grabfikasi Toyota Harrier Anas.Metrolv news,S Maret 2013, http://www. metrolvnews.com/metronews/read/2013/03/0S/I/136022jKPK-Kembangkan-Kasus-Grablikasi-Toyota­Harrier-Anas.

4 Djoko Susilo Beli Rumah dengan Duit Dibalut Koran, Tempo, 11 Maret 2013, http://www.tcmpo.co!read, news/2013/03/11/063466301/Djoko-Susilo-Beli-Rumah-dengan-Duit-Dibalut-Koran

5 Ibid

14 • lumal Hukum Program Studi Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana

Page 8: 2003 DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM

r------· .. -- --~ -----------------------

Urgensi Ratifikasi United Nations Convel1tion Against Corruption 2003 , I Gusti Ketut Ariawon

Korupsi sudah menjadi satu permasalahan serius sebagaimana dilansir oleh media bahwa kasus korupsi eli Indonesia berada pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Statemen tersebut didukung oleh pernyataan Abraham Samad, bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang tahun 2012, telah menerima aduan dari masyarakat atas atas indikasi-indikasi korupsi eli berbagai daerah sebanyak 6.111 kasus. Namun yang memenuhi kriteria untuk ditelaah hanya sebanyak 6.057 kasus saja. Dari laporan yang ditelaah itu, KPK hanya memasukkan 938 kasus yang diteruskan ke internal KPK, termasuk kasus-kasus yang ditangani dengan koordinasi kepolisian dan kejaksaan" Angka-angka tersebut belum lag; e1itambah dengan kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh kepolisian maupun kejaksaan di seluruh Indonesia. Awal tahun 2015, rakyat Indonesia kembali dikejutkan dengan adanya penetapan tersangka Komjen BG oleh KPK sebagai tersangka setelah Presiden Joko Widodo mengusulkan Komjen BG sebagai calon tunggal Kapolri.

Terungkapnya kasus-kasus korupsi di Indonesiam, tidak lepaas dari peran PPATK sebagai FIU atau Finaciallnteligen Unit. Sesuai ketentuan Pasal 17 UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diatur kewajiban pelaporan PJK kepada PPATK berupa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan atau Suspicious Transaction Report (STR) dan Laporan Tranksaksi Keuangan Tunai (LTKT) atau Cash Transaction Report (CTR) kepada PPATK. Di dalam internal PPATK, laporan-laporan ini diterima oleh Direktorat Kepatuhan, untuk selanjutnya diteruskan ke Direktorat Analisis setelah melalui pengecekan kelengkapan laporan dimaksud. Sesuai Pasall angka 7 UU No. 8 Tahun 2010. Pasall angka 5, selanjutnya menegaskan LTKM adalah transaksi keuangan mencurigakan adalah : a) transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan; b) Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undangini; c) Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau d) Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Apabila PJK mengetahui salah satu dari 4 (empat) unsur transaksi keuangan mencurigakan, sudah cukup bag; PJK untuk menyampaikannya kepada PPATK sebagai LTKM. LTKM ini sifatnya lebih pada informasi transaksi keuangan dan belum memiliki kualitas sebagai indikasi terjadainya tindak pidana. PJK tidak memiliki kapasitas untuk menilai suatu transaksi memiliki indikasi pidana. Oleh karena itu PPATK berkewajiban untuk melakukan analisis LTKM ini untuk meng;dentifikasi ada tidaknya indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Untuk melakukan analisis ini, salah satu data pendukungnya adalah LTKT dari PJK. Dalamkaitanini, maka didalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang peran PJK sangat membantu baik di dalam memberikan keterangan mengenai nasabah maupun simpanannya, dan membantu PPATK dan instansi penegak hukum untuk mentrasir aliran dana dari pihak yang dimintakan oleh PPATK dan instansi penegak hukum.

Langkah-langkah yang dilakukan PJK untuk mendukung upaya pencegahan danl atau pengungkapan keg;atan pencucian uang berdasarkan ketentuan Undang-Undang, Bank Indonesia dapat mengeluarkan Surat Keputusan Direksi BI maupun Peraturan Bank

Jumal Hukum Program Studi Doktor Ilmu Hukum Program Paseasarjana Universitas Udayana • 15

Page 9: 2003 DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM

K~JnH'" GO'5'" . Volume I, Nomor I. Februari 2016 U

Indonesia juga telah berupaya memerangi kegiatan pencucian uang melalui peraturan yang lebih teknis dalam Surat Keputusan Oireksi BI dan Peraturan Bank Indonesia. Misalnya

d Surat Keputusan Direksi BI: SK Oir BI Nomor 30/271A/KEP/DIR tentang Perubahan SK Oir BI Nomor.30/191A/KEP/DIR tentang Pengeluaran atau Pemasukan Mata Uang Rupiah L Dalam Wilayah Republik Indonesia maka: 1) Setiap orang yang membawa mata uang PI Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia dengan jurnlah lebih rdari Rp.5.000.000,00 wajib mengisi formulir deklarasi; 2) Setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah Republik Indonesai dengan jumlah lebih dari Rp.l0.000.000,00 selain wajib mengisi formulir juga hams memperoleh terlebih ~ dahulu izin dari Bank Indonesia. I

Selain itu ada SK Oir BI Nomor. 32/50/KEP/DIR tentang Persyaratan dan Tata Cara ~ Pembelian Saham Bank Umum, Pasal 6 huruf b mengataan bahwa sumber dana yang Hdigunakan untuk pembelian saham bank dalam rangka kepemilikan dilarang dari dan ~

:muntuk tujuan pencucian uang. Juga ada PBI Nomor l/6/PBI/I999 tentang Penugasan ......

~IOirektur Kepatuhan (Compliance Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi "­

-'m-il

Audit Intem Bank Umum. Ditambah dengan keluamya PBI Nomor.l/9/PBI tahun 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank beserta peraturan pelaksanaannya SE Nomor.l/9/DSM tanggal 28 Desember 1999

,tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank, dimana bank wajib melaporkan '­

'~ data atau keterangan tentang: a. laporan transaksi yaitu laporan mengenai transaksi yang i­I.mempengaruhi posisi aset dan kewajiban finansial luar negeri bank pelapor; b. laporan rv posisi yaitu laporan mengenai posisi asset dan kewajiban financialluar negeri bank pelapor yang mencakup seluruh tagihan dan kewajiban kepada bukan penduduk baik yang -'n• L berada di dalam negeri maupun di luar negeri dan; c. Lembaga Keuangan Non Bank wajib melaporkan perpindahan devisa dalam rangka transaksi juga penempatan, pembayaran, serta penerimaan antara Lembaga Keuangan Nomom Bank dengan buka penduduk baik dalam rupiah maupun valas; d. posisi asset dan kewajiban finansialluar negeri Lembaga Keuangan Non Bank.

Oitambah lagi dengan PBI Nomor 2/27/PBI/2000 tanggal15 Desember tentang Bank Umum, dalam Pasal 6 ayat 91) huruf j mengatur bahwa dalam rangka permohonan ijin pendirian Bank Umum, calon pemegang saham bank wajib melampirkan surat pemyataan bahwa setoran modal bank tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang. Hingga munculPeraturanBankIndonesiaNomor3/10/PBI/2001TentangPenerapanPrinsipMengenal Nasabah (Know Your Customer) Dalam Pasal 1 ayat 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/2001 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah disebutkan, "Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan Bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan." Adapun tujuan dati Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Priciples) ini adalah : 1) Menjaga reputasi dan integritas bank dalam sistem perbankan dengan mengurangi kemungkinan untuk dijadikan sarana/sasaran tindak pidana pencucian uang; 2) Bank dapat mengenali profil nasabah maupun karakteristik setiap transaksi nasabah; 3) Bank dapat mengidentifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan dan selanjutnya melaporkan kepada PPATK «Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan); dan 4) Mengidentifikasi, membatasi, dan mengendalikan eksposur risiko bank, terkait dengan masalah pencucian uang (risiko operasional, hukum konsentrasi dan reputasi).

16 • JumaI Hukum Program Studi Doktor nmu Hukum Program PascasaIjana Universitas Udayana

Page 10: 2003 DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM

Urgensi Ratifikasi United Natiorls ConPnlnon Against Corruption 2003 I Gusti Ketut Ariawan

Laporan transaksi keuangan di sektor PJK (Penyedia Jasa Keuangan) , mencurigakan dalam 3 (tiga) tahun terakhir yang dilaporkan, seperti terlihat dalam tabel berikut :

TABEL 2. Jumlah kumulatif PJK Pelapor dan LKTM terkait yang disampaikan PJK kepada PPATK menurut jenis PK sarnpai Juni Tahun 2012

Jenis PJK

2010 2011 2012

PJKPelapor LKTM PJK

Pelapor LKTM

PJK Pelapor

LKTM

BANK 151

36.309 160 45.996 160 53.028

Bank Milik Negara 4 11.096 5 15.158 5 18.237

Banks Swasta 69 12.332 14 16.678 14 20.019

BPD 26 8614 26 9.477 26 9.753

Bank Asing II 2615 II 2.969 II 3.220

Bank Campuran 17 1365 17 1.272 17 1.328

BPR 24 287 27 442 27 471

NONBANK 183 27.615 199 38.150 204 43.703

Perusahaan Efek 58 1059 60 1.386 61 1.485

Manajer Investasi 4 29 4 66 4 79

Valuta Asing 59 22.172 65 27.784 67 29.591

Dana Pensiun I I I 1 I I

LembagaPembiayaan 23 1436 26 5.692 26 8.613

Asuransi 34 2939 37 3.148 38 3.795

Pengiriman Uang 4 30 6 73 7 139

TOTAL 334 63.924 359 84.346 364 96.731

Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LKlM) tahun terakhir, sampai bulan Juni 2012 yang disampaikan PJK Bank kepada PPATK sebanyak 53.028 laporan dengan jurnlah pelapor sebanyak 160 PJK. Sedangkan laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan PJK non-bank kepada PPATK sebanyak 43.703 dengan jumlah pelapor sebanyak 204 PJK. Atau sebanyak 54,8 persen laporan transaksi keuangan mencurigakan disampaikan oleh PJK bank sedangkan 45,2 persen disampaikan oleh PJK non-bank. Jumlah laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan kepada PPATK pada 2012 sebanyak 12.585 LTKM dengan rata-rata penerimaan sebanyak 2.097,5 laporan/bulan.

Sedangkan dalam 5 (lima) tahun terakhir, terhitung sejak tahun 2008 sampai dengan bulan Juni 2012, Jumlah kumulatif laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan PJK kepada PPATK sampai denganJuli 2012 sebanyak 98.529 dengan jumlah PJK pelapor sebanyak 370 PJK pelapor.

Hingga akhir Desember 2014, jumlah penyampaian laporan ke PPATK terus bertarnbah. Penerimaan pelaporan terbanyak terutama terkait LTKT dan LTKM yang seIama bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2014 bertambah masing-masing sebanyak 1,7 juta LTKT, dan 39,1 ribu LTKM. Dengan adanya penambahan laporan ini,

Jumal Hukum Program Studi Doktor llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana • 17

Page 11: 2003 DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM

KmlI" OO'5fl • Volume I, Nomor 1, Februari 2016

jmnIah keseluruhan laporan yang telah diterima PPATK sejak Januari 2003 telah mencapai 16.210.792laporan atau meningkat sebanyak 12,0 persen dibandingkan jurnlah laporan per akhir Oesember 2013. Bila diamati perkembangan bulanannya (month-to-month, disingkat m­to-m), penerimaan keseluruhan laporan di Oesember 2014 bila dibandingkan penerirnaan pada bulan sebelumnya mengalarni penurunan, terutama jurnlah LPUT dan LTKT yang turun masing-masing sebanyak 100,0 persen, dan 77,4 persen. Terkait fungsi analisis, selama Januari 2014 sampai dengan Desember 2014, PPATK telah menyampaikan Hasil Analisis (HA) kepada penyidik sebanyak 435 HA, dengan 364 HA diantaranya merupakan HA inquiry (permintaan dari penyidik), dan selebihnya sebanyak 71 HA merupakan HA proaktif (inisiatif dari PPATK). Berdasarkan jurnlah HA selama periode tersebut, dugaan tindak pidana Korupsi masih menjadi tindak pidana yang paling dominan, yaitu sebanyak 215 HA (49,4 persen).·

Tentang Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Indonesia telah mengalami 2 (dua) kali perubahan. Undang-undang terakhir adalah UU No.8 Tahun 2010. Jika dikomparasi dengan negara-negara maju lain, seperti Amerika Serikat yang telah memiliki berbagai macam peraturan perundang-undangan seperti The Bank Secrecy Act (1970), Money Laundering Central Act. (1986), The Amunzio Wylie Act. dan Money Laundering Suppression Act. (1994). Oalam Bank Secrecy Act, terdapat kewajiban lembaga keuangan untuk melaporkan setiap transaksi alat pembayaran yang melebihi US. $10,000 kepada Internal Revenue Service yang dikenal dengan nama Currency Transaction Report (CTR). Termasuk juga di dalamnya Foreign Transactions Reporting Act yang memperbesar jumlah informasi keuangan yang harus disampaikan kepada instansi-instansi pemerintah yang bersangkutan dengan tindak pidana, perpajakan dan penuntutan.

Setelahnya dalam Money Laundering Central Act (MLCA) diatur adanya unsur yang hams dipenuhi untuk mengkategorikan tindak pidana pencucian uang. Negara lain seperti Swis merni1iki The Money Laundering Act (1998), Thailand merniliki The Money Laundering Prevention and Suppresion Act (1999), Spanyol memiliki The Money Laundering Law (1993), sementara untuk negara ltalia, Inggris, Jerman dan Perancis memiliki Penal Code yang mengatur ketentuan anti money laundering.

III. RATIFIKASI UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION

Sebelum UNCAC 2003 ada dua konvensi yang dikeluarkan oleh negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Organization ofCouncil ofEurope) yaitu Criminal Law Convention ;' on Corruption yang telah berlaku sejak tanggal 1 Juli 2002, dan Civil Law Convention on / I Corruption yang berlaku efektif sejak tanggall November 2003, dan telah diratifikasi oleh 21 negara Uni Eropa. Selain itu, dapat dicatat bahwa negara-negara yang tergabung dalam Uni Afrika telah pula menghasilkan Africa Union Convention on Preventing and Combating I Corruption, yang ditetapkan di Adis Ababa 18 - 19 September 2002. \;

UNCAC 2003 telah ditandatangani 116 negara, dan diratifikasi oleh 15 negara. Yang menarik dari UNCAC 2003 ini adalah adanya perubahan paradigrna dalam melihat multi aspek serta fenomena korupsi. Oi dalam bagian pembukaan secara jelas dikemukakan bahwa "corruption is no longer a local matter but a trans/rational phenomenon that affects all

6 Website Resmi PPATK, http://www.ppatk.go.id/pages/detaiI/105/11568diunduhpada 19 Januari 2015

18 • Jumal Hukum Program Studi Doktor llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana

Page 12: 2003 DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM

Urgensi Ratifikasi UllI'led Nations Convention Against Corruption 2003 I Gusti Ketut Ariowan

societies and economies, making international cooperation to prevent and control it essential". Untuk itu, pemberantasan korupsi tidaklah dapat diberantas oleh suatu negara tanpa kerjasama dengan negara-negara lain yang punya komitmen sarna dalam pemberantasan korupsi. Dijelaskan pula bahwa pemberantasan korupsi sebenamya bukanlah hanya dalam lingkup penegakan hukum pidana lewat penuntutan (conviction) melalui proses peradilan pidana (criminal proceedings) semata-mata, melainkan juga dapat dilaksanakan lewat upaya keperdataan (civil proceeding). Strategi pencegahan korupsi harus dilihat sebagai upaya strategis di samping upaya pemberantasan (represif). Dan yang lebih penting lagi adalah strategi pengembalian asset (asset recovery) hasil korupsi. Di samping itu, perlu pula dikemukakan bahwa di dalam UN Convention Against Corruption 2003 terjadi perubahan cara pandang terhadap fenomena korupsi, antara lain : a. masalah korupsi memiliki multi aspek, aspek hukum, HAM, pembangunan

berkelanjutan, kemiskinan, keamanan; b. bahwa sistem pembuktian konvensional tidak selalu ampuh dalam pemberantasan

korupsi, sehingga beban pembuktian terbalik merupakan altematif solusi yang potensial.

Ratifikasi UNCAC 2003 dengan UU No.7 Tahun 2006 oleh pemerintah Indonesia, secara politis telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komilmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama Intemasional. Draft UNCAC te dibahas dalam pertemuan Ad Hoc Committee for the Negotiation of the Convention agai1L~t

Corruption sejak 21 Januari 2002 sId 1 Oktober 2003, diadopsi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi No. 581 4 tanggal 31 Oktober 2003. UNCAC mulai berlaku sejak 14 Desember 2005 dan merupakan perjanjian pertama yang bersifat mengikat dalam hal tindak pidana korupsi. UNCAC muncul pasca berlakunya UNCATOC (United Nations Convention Against Transnational Organized Crime) berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 55/61 of 4 December 2000. Adapun yang menjadi tujuan UNCAC, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasail adalah : (a) To promote and strengthen measures to prevent and combat corruption more efficiently and effectively; (b) To promote, facilitate and support international cooperation and technical assistance in the prevention of and fight against corruption, including in asset recovery; dan (c) To promote integrity, accountability and proper management ofpublic affairs and public property.

Ratifikasi UNCAC 2003 dengan UU No.7 Tahun 2006 oleh pemerintah Indonesia dalam konsideran menimbang huruf b. disebutkan bahwa tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, akan tetapi merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian sehingga penting adanya kerja sama intemasional untuk pencegahan dan pemberantasannya tennasuk pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil tindak pidana korupsi. Namun demikian, ratifikasi UNCAC 2003 dengan reservation (persyaratan), sesuai dengan Pasail ayat (1) UU No.7 Tahun 2006 yang menentukan bahwa : "Mengesahkan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan Reservation (pensyaratan) terhadap Pasal66 ayat (2). Pasal66 ayat (2) UNCAC 2003 menentukan :

"Any dispute between two or I1lOre States Parties concerning the interpretation or application of this Convention that cannot be settled through negotiation within a rea.~onable time 511«11, at the request ofone <if those States Parties, be submitted to arbitration. If, six months after the

Jumal Hukum Program Studi Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana • 19

Page 13: 2003 DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM

Ke:~TH'" 00'5'" . Volume I, Nomor 1, Februari 2016

date of the request for arbitration, those States Parties are unable to agree on the organization of the arbitration, anyone of those States Parties may refer the dispute to the International Court ofJustice by request in accordance with the Statute of the Court".

(Sengketa antara dua atau lebih negara pihak mengenai penafsiran atau penerapan konvensi ini yang tidak dapat diselesaikan melalui perundingan dalam waktu yang wajar wajib, atas permintaan salah satu negara pihak, diajukan ke arbitrase. Jika dalam waktu enam bulan setelah permintaan pengajuan ke arbitrase, negara-negara pihak tidak sepakat mengenai struktur arbitrase, maka salah satu negara pihak dapat mengajukan sengketa itu ke Mahkamah Internasional dengan mengajukan permintaan sesuai dengan Statuta Mahkamah Internasional).

Sistematika UNCAC 2003 terdiri dari 8 (delapan) Bab. dan 71 (tujuh puluh satu) pasa\. Di dalam garis besarnya UNCAC 2003 mengatur 5 (lima) hal pokok yaitu : 1) tindakan pencegahan; 2) tindak pidana dan penegakan hukum; 3) kerjasama internasional; 4) asset recovery; dan 5) bantuan teknis dan pertukaran informasi.

UNCAC 2003 telah mengatur berbagai ketentuan yang sifatnya khusus mengenai kerjasama internasional yang selama ini selalu menjadi hambatan. Perjanjian regional dan bilateral yang sudah ditandatangani hams segera diratifikasi, termasuk Asean Mutual Legal Assistancde Treaty (AMLAT's) tahun 2004 dengan 5 negara ASEAN di samping Indonesia. UNCAC 2003 merupakan perjanjian internasional (treaty based crime) yang mengutamakan prinsip kesamaan kedaulatan, persamaan hak dan dan integritas teritorial serta prinsip non intervensi. Di dalam ketetentuan Pasal4 UNCAC 2003 secara jelas ditentukan : "convention in a manner consistant with the principles of souverign equality and territorial integrity of state and that ofnon-intervention in the domestic affairs ofother states" Ketentuan ni mencerminkan bahwa implementasi konvensi oleh setiap negara peserta tidak boleh melanggar prinsip­prinsip kesamaan kedaulatan, persamaan hak dan dan integritas teritorial serta prinsip non intervensi. Ketentuan Pasal4 ini berhubungan dengan Bab IV yang mengatur tentang kerjasama internasional (PasaI43) serta ketentuan Bab V tentang pengembalian asset (Asset Recovery) dan juga ketentuan Pasal 31 tentang pernbekuan, perampasan dan penyitaan (freezing, seizure and confiscation).

Tindakan pencegahan yang diatur dalam Bab 11 Pasal 5 sampai Pasal 14 UNCAC antara lain : Pasal 5 tentang Kebijakan dan Praktek Pencegahan Korupsi (Preventive anti­corruption policies and practices); Pasal 6 tentang Badan atau badan-badan pencegahan Korupsi (Preventive anti-corruption body or bodies); Pasal 7 tentang Sektor Publik (Public sector>; Pasal 8 Kode Etik bagi Pejabat Publik (Codes of conduct for public officials); Pasal 9 Pengadaan Umum dan manajemen/Pengelolaan Keuangan Publik (Public procurement and management ofpublic finances); Pasall0 Pelaporan Publik (Public reporting); Pasalll tentang Tindakan yang Berhubungan dengan Layanan Peradilan dan Penuntutan (Measures relating to the judiciary and prosecution services); Pasal 12 tentang Sektor swasta Private sector; Pasal 13 tentang Partisipasi masyarakat (Participation of society); dan Pasal 14 tentang Tindakan untuk mencegah pencucian Uang (Measures to prevent money laundering).

I I

I

• I

I

I

II

1 1 3 .. 5 (i 1 II 9.

11

20 • Jumal Hukum Program Studi Doktor llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana

9

Page 14: 2003 DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM

Urgensi Ratifikasi United Nations Convention Against Corruphon 2003 I Gusti Ketut Ariawan

IV. PRINSIP-PRINSIP DASAR DALAM UNCAC 2003

Di dalam bagian pembukaan secara jelas disebutkan bahwa "corruption is no longer n local mntter but a trllllsnatio1Ul1 phenomenon that affects all societies and economies, making international cooperation to prevent and control it essential". Untuk itu, pemberantasan korupsi tidaklah dapat diberantas oleh suatu negara tanpa kerjasama dengan negara-negara lain yang punya komitmen sarna dalam pemberantasan korupsi. Dijelaskan pula bahwa pemberantasan korupsi sebenamya bukanlah hanya dalam lingkup penegakan hukum pidana lewat penuntutan (conviction) melalui proses peradilan pidana (criminal proceedings) semata-mata, melainkan juga dapat dilaksanakan lewatupaya keperdataan (civil proceeding). Strategi pencegahan korupsi harus dilihat sebagai upaya strategis di samping upaya pemberantasan (represif). Dan yang lebih penting lagi adalah strategi pengembalian asset (asset recovery) hasil korupsi.

Pengembalian aset (asset recovery) merupakan prinsip dasar dalam UNCAC seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal51, yang secara jelas menyebutkan: "the return ofassets pursuant to this chapter is afundamental principle of this Convention, and States Parties shall afford one another the widest measure of cooperation and assistance in this regard" (Pengembalian aset menurut bab. ini merupakan prinsip dasar Konvensi ini, dan Negara Pihak wajib saling memberikan kerjasama dan bantuan seluas mungkin untuk itu), oleh karena itu dalam rangka menindaklanjuti setiap negara hams saling bekerjasama dan membantu dalam upaya mewujudkan prinsip ini.

Prinsip dasar lain yang disyaratkan dalam UNCAC 2003, bahwa negara peserta wajib, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar sistem hukumnya dan dengan memperhatikan kemandirian peradilan, mengambil tindakan untuk memperkuat integritas dan mencegah kesempatan melakukan korupsi di antara aparata peradilan. Tindakan itu dapat meliputi aturan mengenai etika perilaku aparat peradilan '. Di samping itu pula, negara peserta, berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan pencegahan korupsi di sektor swasta antara lain melalui peningkatan standar akuntansi dan audit". Kewajiban negara peserta untuk mengambil langkah-langkah mendorong partisipasi aktif baik individu maupun kelompok dalam pencegahan, dan pemberantasan korupsi termasuk melalui program pendidikan masyarakat, dan pernbenahan kurikulum di bidang pendidikan 9

Dalam masalah kriminalisasi perbuatan sebagai tindak pidana korupsi, UNCAC 2003 mensyaratkan untuk mempertimbangkan beberapa perbuatan, antara lain : 1. Penyuapan pejabat publik nasional; 2. penyuapan pejabat publik asing dan organisasi intemasional; 3. penggelapan, penyalahgunaan atau penyelewengan kekayaan oleh pejabat publik; 4. memperdagangkan pengaruh; 5. penyalahgunaan fungsi; 6. memperkaya diri sendiri secara tidak sah; 7. penyuapan di sektor swasta; 8. penggelapan kekayaan di sektor swasta; 9. pencudan hasil-hasil kejahatan; dan 10. penyertaan dan percobaan.

7 8 9

Lihat Pasalll UNCAC 2003 Lihat Pasal12 UNCAC 2003 Lihat Pasal13 UNCAC 2003

Jumal Hukum Program Studi Doktor llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana • 21

Page 15: 2003 DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM

KEJUH" CiO-;''' . Volume ~ Nomor 1, Februari 2016 I

Dalam kerangka mengefeklifkan pemberantasan korupsi, UNCAC 2003 juga jUl J

menghimbau diadopsinya ketentuan mengenai perlindungan saksi, ahli dan korban (Pasal J

32, Pasal33 dan Pasal37 UNCAC 2003). Bertalian dengan bentuk kerjasama, negara peserta J

tidak diwajibkan untuk membuat suatu perjanjian ekstradisi yang bersifat bilateral maupun

• ~

multilateral karena UNCAC 2003 memungkinkan konvensi dijadikan dasar sebagai perjanjian ekstradisi. Penolakan atas dasar bahwa tersangka adalah warganegara dari 5 negara yang diminta tidak menghilangkan kewajiban negara untuk melakukan penuntutan dan pemidanaan terhadap pelaku dengan tetap berdasarkan pada proses peradilan yang F adil (due proces of law). iI

Kerjasama antar negara merupakan salah satu bagian penting dalam UNCAC 2003, cl dikarenakan tindak pidana korupsi dengan adanya UNCAC 2003 tidak sebatas sebagai iI kejahatan dalam skala nasional suatu negara akan tetapi dianggap sebagai kejahatan II transnasionaJlo maupun kejahatan intemasional." oleh karena itu untuk memberantas cl tindak pidana korupsi dibutuhkan suatu mekanisme penegakan hukum yang memiliki 1 perspektif transnasional maupun intemasional, sehingga UNCAC 2003 berdasarkan Pasal 43 diisyaratkan adanya suatu kerjasama antar negara dalam kerangka mengefek 5

penegakan hukum untuk memberantas korupsi. Pasal 43 UNCAC 2003 menyebutkan d : "States Parties shall C(J(Jperate in criminal mntters in accordance with articles 44 to 50 of t!li D

Convention. VVhere appropriate and consistent with their domestic legal system, States Parties Ii shall consider assisting each other in investigations of and proceedings in civil and administrative k matters relating to corruption" Pengaturan kerjasama antar negara, dalam UNCAC 2003 !Ii pengaturannya tertera dalam ketentuan Pasal 44 sampai dengan Pasal 50, yaitu : 1) Pasal P 44 tentang Ekstradisi (Extradition); 2) Pasal 45 tentang Pemindahan narapidana (Transfer of D

sentenced persons); 3) Pasal46 tentang bantuan hukum timbal balik (mutual legal assistance); 4) Pasal 47 tentang Pengalihan proses pidana (Transfer of criminal proceedings); 5) Pasal 48 .. tentang kerjasama dalam penegakan hukum (Law enforcement cooperation); Pasal49 tentang .. penyidikan bersama (joint investigations); dan Pasal 50 tentang teknik penyidikan khusus b (Special investigative techniques). P

Apabila dicermati ketentuan pasal-pasal tersebut di atas suatu kemajuan yang dapat D

ajdicatat bahwa ketentuan mengenai ekstradisi, seperti prinsip "dual criminality" tidak lagi merupakan prinsip yang mengikat. Hal ni dapat dilihat dengan mencermati Pasal44 butir li 2 yang menentukan :"state party whose law so permits my grant the extradition ofa person for any 51

ofthe offences covered by this convention that are not punishable under its own domestic law". P Terobosan lain terhadap prinsip umum ekstradisi juga dapat dilakukan terhadap

negara yang masih mengadopsi prinsip nasionalitas. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan i Pasal 44 butir 11 dan 12, yang memberikan kelonggaran terhadap negara yang menganut prinsip nasionalitas untuk segera menyerahkan seorang warganya yang dimintakan ekstradisi ke negara pemohon dengan syarat tertentu. Dapat diidentifikasi pula bentuk­bentuk kerjasama intemasional yang baru dalam UNCAC 2003, seperti: pengalihan narapidana (transfer of sentenced person) dalam Pasal45 dan pengalihan proses peradilan pidana (transfer ofcriminal proceeding) dalam Pasal47.

IJSelain penegakan hukum dalam masalah pidana UNCAC juga meminta negara­13

negara untuk melakukan kerjasama secara perdata dan adrninistrasi selain mekanisme It II10 Lihat Ketentuan Pasal3 ayat 2 UNTOC

11 Bassiouni, M. Oterif 1986, International Crimi'lal Law, New York: Transnational Publishers, Volume nProcedure, h. 81

22 • Jumal Hukum Program Studi Doktor llmu Hukum Program PascasaIjana Universitas Udayana

Page 16: 2003 DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM

Urgensi Ratifikasi United Nations Convention Against Corruption 2003 I Gusti Ketut Ariawan

pidana terkait dengan permasalahan pengakuan atas hak milik/properti dalam hal tindak pidana korupsi.12 Pemberantasan korupsi sebenarnya bukanlah hanya dalam lingkup penegakan hukum pidana lewat penuntutan (conviction) melalui proses peradilan pidana (criminal proceedings) semata-mata, melainkan juga dapat dilaksanakan lewat upaya keperdataan (civil proceeding). Strategi pencegahan korupsi harus dilihat sebagai upaya strategis di samping upaya pemberantasan (represif).

Prinsip dasar yang baru yang muncul dalam UNCAC 2003, adalah setiap negara peserta diminta untuk memberikan bantuan kerjasama meskipun tidak mengharuskan adanya upaya paksa, bahkan apabila tidak terdapat ketentuan kejahatan ganda, yang sesuai dengan ketentuan dasar dalam sistem hukum masing-masing negara. Sehubungan dengan inovasi terkait masalah kejahatan ganda masing-masing negara peserta perlu melakulan pengkajian ulang terhadap aturan hukum yang berlaku di negaranya yang berhubungan dengan persyaratan dan praktek kejahatan ganda khususnya dalam masalah MLA (Mutual Legal Assitarn:e in criminal matters).

MLA berasal dari Letters Rogatory yaitu suatu media dimana suatu negara melalui salah satu lembaga pengadilannya meminta pada negara lain bertindak melalui pengadilan di negaranya dengan prosedur khusus dan suatu kesepakatan yang ditandatangai membantu suatu proses penegakan hukum di negara yang meminta. Bantuan hukum timbal balik merupakan bentuk kerjasama dalam rangka penegakan hukum pidana khususnya terhadap tindak pidana yang memiliki unsur transnasional atau internasional. MLA pada dasarnya sarna dengan letters rogatory akan tetapi tidak memerlukan adanya perintah pengadilan dalam suatu proses permohonan bantuan dan penuntut umum dapat mengajukan permohonan secara khusus tentang apa yang dibutuhkan 13.

Proses pengajuan MLAharus tetap menghargai, menghormati dan menjunjung tinggi kedaulatan negara lain yang terkait dengan prinsip kepastian, kerahasiaan, keterbukaan, kejahatan ganda, penistaan, hak asasi manusia, proporsionalitas dan resiprositas14 Seperti halnya ekstradisi, MLA merupakan bentuk kerjasama internasional yang didasarkan pada perjanjian, namun dalam UU No 1 Tahun 2006 disebutkan bahwa perjanjian bukan merupakan keharusan, karena MLAdapat dilakukan atas dasar hubungan balk. Pengaturan atau panduan tentang MLA dapat ditemukan dalam The United Nations Model Law on Mutual A<;sistance in Criminal Matters. Pengaturan MLA dalam sistem hukum Indonesia sendiri didasarkan pada UU No 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, Badan Pembinaan Hukum Nasional 15 Tujuan dibentuknya Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana adalah : 1. Memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Hal ini ditujukan untuk membantu penegakan hukum di Indonesia dalam mengejar aset tersangka di luar negeri dan mengatasi kejahatan transnasional yang cenderung meningkat.

2. Memenuhi kebutuhan internasional. Hal ini merupakan amanat dari berbagai Konvensi Internasional antara lain UNTOC,

12 Legislative Guide For The Implementation of the UNCAC 2006, New York: UN Office on Drugs and Crime, h. 190 13 Edward M Wise dan Podgor Ellen S, 2000, International Criminal Law: Cases and Materials, New York:

Lexis Publishing, h. 319 14 Ibid., h. 334 15 Analisis dan Evaluasi Hukum Terhadap UU No 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana 2010,

Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, h. 7

Jurnal Hukum Program Studi Doktor llmu Hukum Program Pascasariana Universitas Udayana • 23

Page 17: 2003 DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM

K(JUH'=' CiO'5'=' • Volume I, Nomor I, Februari 2016 I

United Nations Covention Againts Corruption (UNCAC) maupun rekomendasi dari FATF agar pembangunan Anti Money Laundering Regime di Indonesia dilengkapi

Ddasar hukum yang kuat di bidang MLA in Criminal Matters. 51

~ Selain perjanjian secara bilateral Indonesia sendiri terikat dengan perjanjian regional terkait dengan MLA yaitu dalam ASEAN Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal

uMatters (2004). 344 Pasal 7 The United Nations Model Law on Mutual Assistance in Criminal UMatters, Optional Protocol UN Model Treaty on Mutual Assistance in Criminal Matters (1990),14

Desember 1990. .".. errv. IMPLIKASI RATIFIKASI UNCAC 2003 m

Dalam dasa warsa terakhir korupsi menjadi perhatian secara global/universal seperti yang dinyatakan dalam laporan USAID (United States Agency for International Development) m yaitu : "the global anti-corruption movement owes much of its impetus to the end of the Cold War. Donor governments are able to pay greater attention in their allocation decisions to directing resources to government and organization that will employ their contribution most effectively"." Hal yang senada disepakati dalarn deklarasi "Global Forum on Fighting Corruption and Safeguarding JIll

Integrity ke-II yang diselenggarakan di Hague Belanda tanggal31 Mei 2001, yaitu : We are tiD all deeply concerned about the spread ofcorruption which is virus capable ofcrippling government. up discrediting public institutions and private corporations and giving a devastating impact on the j;III human rights ofpopulations, and thus undermining society and developments, affecting in particular the poor. We are determined to prevent and combat all forms corruption 17 VI.

Isu korupsi yang semula merupakan isu nasional, dengan munculnya UNCAC 2003, bergeser menjadi isu Intemasional. Berbagai inovasi tentang penanganan korupsi, menggugah pemerintah Indonesia untuk meratifikasi. UNCAC 2003 mengatur berbagai ketentuan yang sifatnya khusus mengenai kerjasarna intemasional yang selama ini menjadi harnbatan signifikan. Perjanjian regional dan bilateral yang sudah ditandatangani harus segera diratifikasi, terrnasuk Asean Mutual Legal Assistancde Treaty (AMLAT's) tahun 2004 dengan 5 negara ASEAN di samping Indonesia.

Inovasi dalam UNCAC bukan berarti tidak ada harnbatan-harnbatan, kalau dihubungkan dengan ketentuan Pasal 4, khususnya penggunaan prinsip-prinsip non intervensi yang kaku, karena akan dapat mengharnbat kerjasama intemasional.

Krirninalisasi tindak pidana baru dalam UNCAC 2003 membedakan antara bribery in the public sectror (Pasal 15) dengan bribery in the private sector (Pasal 21). Kebijakan ini mengidentifikasikan bahwa antara sektor publik dengan sektor swasta ada keterkaitan yang demikian erat dalarn masalah korupsi di negara-negara sedang berkembang (NSB). Kebijakan ini tidak terlepas dari laporan penjelasan mengenai criminal law convention bahwa korupsi di sektor swasta telahberdampak pada melemahnya nilai-nilai, seperti kepercayaan, loyalitas yanag sangat diperlukan dalarn upaya memelihara serta meningkatkan hubungan sosial dan ekonomis. Di sarnping itu, perlunya perlindungan atas persaingan tidak sehat di sektor swasta perlu dilakukan.

16 Laporan Penelitian USAlD (United States Agency for Internal Development) : "Promoting Transparency and Accountability : DSAID'S Anti-Comlption Experience", Center Governance, Bureau for Global Programs, Field Support, and Research, U. S. Agency for International Development; Washington D. C; January 2000; h. 22

17 Global Forum on Fighting Corruption and Safeguarding Integrity n, Final Declaration.. The Hague Netherland, 31 May 2001, h.!.

24 • Jumal Hukum Program 5tudi Doktor llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana

Page 18: 2003 DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM

Urgensi Ratifikasi United Nations Convention Against Corruption 2003 I Gusti Ketut Ariawan

Kebijakan kriminalisasi penting lain dalam UNCAC 2003 menyangkut perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit enrichment), yang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Rumusan ini justru tidak bersesuaian dengan rumusan tindak pidana dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

Berhubungan dengan kriminalisasi tersebut adalah unsur kerugian negara dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, dalam UNCAC 2003 tidak lagi sebagai unsur penting (lihat Pasal 3 butir 2 tentang scope and aplication), yang menentukan bahwa : "for the purpose of implementing this convention, it shall not be necessary, except as otherwise stated herein, for the offences set forth in it to result in damage or harm to state property". Dalam mengimplemantasikan Uncac 2003, persoalan ini masih memerlukan kajian mendalam prihal persoalan-persoalan menyangkut : apakah unsur kerugian negara masih dapat dipertahankan pasca ratifikasi konvensi tersebut, sedangkan rumusan Pasal 3 tentang scope and application bersifat wajib. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah "illicit enrichment" sebagai suatu tindak pidana yang berdiri sendiri dapat menggantikan rumusan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 sebagairnana telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Apabila diterima, konsekuensinya adalah dalam masalah beban pembuktian. Perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit enrichtment) sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dapat digunakan sistem beban pembuktian melalui upaya keperdataan dan tidak hanya tergantung pada jalur proses peradilan pidana, dan jalur keperdataan inipun telah digunakan oleh beberapa negara.

VI. PENUTUP

a. Kesimpulan 1) Ratifikasi UNCAC 2003 oleh pemerintah Indonesia, secara politis telah

menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama Intemasional.

2) Ratifikasi UNCAC 2003 berdampak pada ketentuan mengenai ekstradisi, seperti prinsip "dual criminality" tidak lagi merupakan prinsip yang mengikat. Terobosan lain terhadap prinsip umum ekstradisi juga dapat dilakukan terhadap negara yang masih mengadopsi prinsip nasionalitas. Kriminalisasi tindak pidana baru dalam UNCAC 2003 membedakan secara tegas masalah "penyuapan" antara penyuapan di sektor publik dengan penyuapan di sektor privat. Kebijakan ini mengidentifikasikan bahwa antara sektor publik dengan sektor swasta ada keterkaitan yang demikian erat dalam masalah korupsi di negara-negara sedang berkembang. Kebijakan kriminalisasi penting lain dalam UNCAC2003menyangkutperbuatanmemperkaya dirisendiri (illicitenrichment), yang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Rumusan ini berimplikasi mempersempit rumusan tindak pidana korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU No 20 Tahun 2001. Berhubungan pula dengan kriminalisasi tersebut adalah unsur 'kerugian negara' dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU No 20 Tahun 2001, oleh dalam konvensi anti korupsi 2003 tidak lagi sebagai unsur penting.

3) Dalam mengimplemantasikan UNCAC 2003 diperlukan pengkajian mendalam prihal : apakah unsur kerugian negara masih dapat dipertahankan

]umal Hukum Program Studi Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana • 25

Page 19: 2003 DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM

K{QTHR CiO'5R • Volume I, Nomor 1, Februari 2016

pasca ratifikasi konvensi tersebut, sedangkan rumusan artikel 3 konvensi anti korupsi 2003 bersifat wajib. Unsur "memperkaya dirt sendiri" apabila diterima, konsekuensinya adalah dalam masalah beban pembuktian. Perbuatan memperkaya dirt sendiri sebagai tindak pidana yang berdirt sendiri dapat digunakan sistem beban pembuktian melalui upaya keperdataan dan tidak hanya tergantung pada jalur proses peradilan pidana, dan jalur keperdataan. Kemudahan dalam masalah pembuktian melalui jalurcivilforfeiture, merupakan altematif, karena lebih efektif dalam upaya pengembalian aset, walaupun prosedur in! tidak luput dari berbagai kelemahan, seperti lambat dan biaya tinggi. Pemanfaatanpotensi civilforfeiture harus diikuti dengan adanya perjanjian bilateral disamping pula memerlukan suatu re-strukrisasi hukum nasiona!. Di samping itu pula civil forfeiture menuntut legal expertise dan pengetahuan teknis yang tinggi, dan dikhawatirkan Indonesia masih belum memiliki sumber daya yang bisa memenuhi tuntutan ini. Perlu dipertimbangkan aspek check and balance karena jalur ini rawan penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku:

Atmasasmita, Romli 1995, Kapital Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung : Mandar Maju.

---------------------------2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, CetakanL

Bassiouni, M. Cherif 1978, Substantive Criminal Law, lllionis USA: Charles C, Thomas Publisher

-------------1986, International Criminal Law, New York: Transnational Publishers, Volume II Procedure

BPHN 2010, Analisis dan Evaluasi Hukum Terhadap UU No 1 tahun 2006 ten tang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, Jakata : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Dinino, Philip & John Kpundeh Sahr 1999. A Handbook of Fighting Corruption. Washington DC : Center for Democracy and Governance

Klitgaard, Robert Membasmi Korupsi (Controlling Corruption) terjemahan oleh Hermoyo, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Marpaung, Leden 2001, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan, Jakarta: Bina Grafika.

Suwaryadi, 1999, Hukum Tindak Pidana Korupsi dan Upaya Pencegahannya, Jakarta: Sinar Grafika

Wise, Edward M dan Podgor Ellen 5, 2000, International Criminal lAw : Cases and Materials, New York: Lexis Publishing

Yunara, Edi 2005, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana KJJrupsi Berikut Studi Kasus, Bandung : Citra Aditya Bakti.

26 • Jumal Hukurn Program Stud; Doletor Drnu Hukum Program Pascasarjana Univemlas Udayana