236597716 case-besar-chf-finish

71
Get Homework/Assignment Done Homeworkping.com Homework Help https://www.homeworkping.com/ Research Paper help https://www.homeworkping.com/ Online Tutoring https://www.homeworkping.com/ click here for freelancing tutoring sites CASE BESAR Congestive Heart Failure dengan Cardiac Sirosis Disusun Oleh : Franky Abryanto Richard M Butu 1

Upload: homeworkping3

Post on 28-Jan-2018

868 views

Category:

Education


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: 236597716 case-besar-chf-finish

Get Homework/Assignment Done

Homeworkping.comHomework Help

https://www.homeworkping.com/

Research Paper helphttps://www.homeworkping.com/

Online Tutoringhttps://www.homeworkping.com/

click here for freelancing tutoring sitesCASE BESAR

Congestive Heart Failure dengan Cardiac Sirosis

Disusun Oleh :

Franky Abryanto

Richard M Butu

1

Page 2: 236597716 case-besar-chf-finish

Maitri Kalyani

Pembimbing

dr. Agoes Kooshartoro, Sp.PD

dr. Devy Juniarti Iskandar, Sp.PD

dr. Rini Zulkifli

RUMAH SAKIT BHAKTI YUDA

SMF PENYAKIT DALAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

KEPANITERAAN KLINIKSTATUS ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDASMF ILMU PENYAKIT DALAMRUMAH SAKIT BHAKTI YUDA

Nama Mahasiswa : Franky Abryanto

Richard M Butu

Maitri kalyani

Dokter Pembimbing : dr. Agoes Kooshartoro, Sp.PD

dr. Devy Juniarti Iskandar, Sp.PD

dr. Rini Zulkifli

Tanda Tangan :

2

Page 3: 236597716 case-besar-chf-finish

IDENTITAS PASIEN

Nama lengkap : Tn. S Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 69 Tahun Agama : Islam

Status perkawinan : Menikah Tanggal masuk RS :15-05-2014

Pekerjaan : Pensiunan PNS

Alamat : Jl Raya Citayam RT 01/05

ANAMNESIS

Diambil dari : Autoanamnesis Tanggal : 17 Mei 2014 Jam : 07.10 WIB

Keluhan utama :

Sesak Napas sejak kapan 3 hari sebelum masuk RS

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan sesak napas. Sesak dirasa sejak 3 hari sebelum

masuk rumah sakit dan semakin memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

Sesak dirasa oleh pasien tiap kali berjalan jauh dan dirasa membaik ketika pasien

duduk. Saat tidur pun pasien lebih nyaman diganjal dengan 2 bantal, karena dengan

seperti ini sesak dirasa berkurang. Sesak tidak disertai dengan suara mengi. Pasien

sering terbangun malam hari karena sesak.

Pasien juga terkadang terasa sesak jika batuk. Batuk disertai dahak berwarna

putih. Batuk sudah dirasakan oleh pasien sejak seminggu yang lalu.Selain sesak

pasien juga mengeluh demam. Demam dirasa timbul sejak 3 hari sebelum masuk

rumah sakit. Demam dirasakan sepanjang hari. Demam tidak disertai dengan

menggigil dan berkeringat.

Pasien juga merasa mual, namun tidak muntah. Mual dirasa setiap hari dan

hilang timbul. Pasien juga mengeluh nyeri di ulu hati, nyeri dirasa sejak 5 hari

3

Page 4: 236597716 case-besar-chf-finish

sebelum masuk RS, nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk, sejak merasa nyeri di ulu hati,

pasien tidak nafsu makan dan perut terasa kembung.

Pasien mengaku bengkak pada kedua kaki sejak 1 minggu sebelum masuk

rumah sakit. Bengkak baru pertama kali dirasakan, bengkak juga tidak dirasa nyeri.

Buang air besar tidak ada keluhan, buang air kecil berwarna seperti air teh

pekat.Selama ini pasien mengaku tidak rutin minum obat darah tinggi. Pasien

mengaku tekanan darah tertinggi 180/90, terendah 130/80. Riwayat nyeri dada

sebelumnya disangkal oleh pasiennya.

Penyakit Dahulu

(-) Cacar (-) Malaria (-) Batu ginjal/Sal.kemih

(-) Cacar Air (-) Disentri (-) Burut (Hemia)

(-) Difteri (-) Hepatitis (-) Penyakit Prostat

(-) Batuk Rejan (-) Tifus Abdominalis (-) Wasir

(-) Campak (-) Skrofula (-) Diabetes

(-) Influenza (-) Sifilis (-) Alergi

(-) Tonsilitis (-) Gonore (-) Tumor

(-) Khorea (+) Hipertensi (-) Penyakit Pembuluh

(-) Demam Rematik Akut (-) Ulkus Ventrikuli (-) Pendarahan Otak

(-) Pneumonia (-) Ulkus Duodeni (-) Psikosis

(-) Pleuritis (-) Gastritis (-) Neurosis

(-) Tuberkulosis (-) Batu Empedu lain-lain : (-) Operasi

(-) Kecelakaan

Riwayat Keluarga

Hubungan Umur (Tahun) Jenis Kelamin Keadaan

Kesehatan

Penyebab

Meninggal

Kakek (ayah) Tidak tahu Laki-laki Tidak tahu Tidak tahuNenek (ayah) Tidak tahu Perempuan Tidak tahu Tidak tahuKakek (ibu) Tidak tahu Laki-laki Tidak tahu Tidak tahuNenek (ibu) Tidak tahu Perempuan Tidak tahu Tidak tahuAyah Tidak tahu Laki-laki Meninggal Tidak tahuIbu Tidak tahu Perempuan Meninggal Tidak tahuSaudara Tidak tahu Laki-laki Sehat -

4

Page 5: 236597716 case-besar-chf-finish

(Kakak ke-1)Saudara

(Kakak ke-2) Tidak tahu

Laki-laki Sehat -

Saudara

(Adik ke-1) Tidak tahu

Laki-laki Sehat

-

Adakah Kerabat yang Menderita ?

ANAMNESIS SISTEM

Catatan keluhan tambahan positif disamping judul-judul yang bersangkutan

Kulit

(-) Bisul (-) Rambut (-) Keringat Malam (-) Ptechie

(-) Kuku (-) Kuning/Ikterus (-) Sianosis

Kepala

(-) Trauma (-) Sakit Kepala

(-) Sinkop (-) Nyeri pada Sinus

Mata

(-) Nyeri (-) Radang

(-) Sekret (-) Gangguan Penglihatan

(+) Kuning/Ikterus (-) Ketajaman Penglihatan menurun

Telinga

(-) Nyeri (-) Tinitus

(-) Sekret (-) Gangguan Pendengaran

5

Penyakit Ya Tidak Hubungan

Alergi Tidak ada

Asma Tidak ada

Tuberkulosis Tidak ada

Hipertensi Ada Ayah

Diabetes Tidak ada

Kejang Demam Tidak ada

Epilepsy Tidak ada

Poliomielitis Tidak ada

Page 6: 236597716 case-besar-chf-finish

(-) Kehilangan Pendengaran

Hidung

(-) Trauma (-) Gejala Penyumbatan

(-) Nyeri (-) Gangguan Penciuman

(-) Sekret (-) Pilek

(-) Epistaksis

Mulut

(-) Bibir kering (-) Lidah kotor

(-) Gangguan pengecapan (-) Gusi berdarah

(-) Selaput (-) Stomatitis

Tenggorokan

(-) Nyeri Tenggorokan (-) Perubahan Suara

Leher

(-) Benjolan (-) Nyeri Leher

Dada ( Jantung / Paru – paru )

(-) Nyeri dada (-) Sesak Napas

(-) Berdebar (-) Batuk Darah

(-) Ortopnoe (-) Batuk

Abdomen ( Lambung Usus )

(+) Rasa Kembung (-) Perut Membesar

(+) Mual (-) Wasir

(-) Muntah (-) Mencret

(-) Muntah Darah (-) Tinja Darah

(-) Sukar Menelan (-) Tinja Berwarna Dempul

(+) Nyeri Ulu Hati (-) Tinja Berwarna Ter

(-) Benjolan (-) Nyeri tekan CVA

Saluran Kemih / Alat Kelamin

(-) Disuria (-) Kencing Nanah

(-) Stranguri (-) Kolik

(-) Poliuria (-) Oliguria

(-) Polakisuria (-) Anuria

(-) Hematuria (-) Retensi Urin

(-) Kencing Batu (-) Kencing Menetes

(-) Ngompol (-) Penyakit Prostat

6

Page 7: 236597716 case-besar-chf-finish

Katamenia

(-) Leukore (-) Pendarahan

(-) lain – lain

Haid

(-) Haid terakhir (-) Jumlah dan lamanya (-) Menarche

(-) Teratur/tidak (-) Nyeri (-) Gejala Kilmakterium

(-) Gangguan haid (-) Pasca menopause

Saraf dan Otot

(-) Anestesi (-) Sukar Mengingat

(-) Parestesi (-) Ataksia

(-) Otot Lemah (-) Hipo / Hiper-esthesi

(-) Kejang (-) Pingsan

(-) Afasia (-) Kedutan (‘tick’)

(-) Amnesia (-) Pusing (Vertigo)

(-) Gangguan bicara (Disartri)

Ekstremitas

(+) Bengkak (-) Deformitas

(-) Nyeri (-) Sianosis

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Umum

Tinggi Badan : 60 kg

Berat Badan : 165 cm

Tekanan Darah : 140/90 mmHg

Nadi : 124x/menit

Suhu : 38,6°C

Pernapasan : 32x/menit, abdomino torakal

Keadaan gizi : IMT: 22,04 (Gizi cukup)

Kesadaran : compos mentis

Sianosis : tidak ada

Udema umum : tidak ada

Umur menurut taksiran pemeriksa : sesuai umur

Aspek Kejiwaan

7

Page 8: 236597716 case-besar-chf-finish

Tingkah Laku : wajar/gelisah/tenang/hipoaktif/hiperaktif

Alam Perasaan : biasa/sedih/gembira/cemas/takut/marah

Proses Pikir : wajar/cepat/gangguan waham/fobia/obsesi

Kulit

Warna : sawo matang

Effloresensi : tidak ada

Jaringan Parut : tidak ada

Pigmentasi : tidak ada

Pertumbuhan rambut : distribusi merata

Lembab/Kering : lembab

Suhu Raba : sub-febris

Pembuluh darah : tidak tampak pelebaran

Turgor : turgor kulit baik

Ikterus : tidak ada

Oedem : tidak ada

Ptekie : tidak ada

Kelenjar Getah Bening

Submandibula : tidak membesar Leher : tidak membesar

Supraklavikula : tidak membesar Ketiak : tidak membesar

Lipat paha : tidak membesar

Kepala

Ekspresi wajah : normal dan wajar

Simetri muka : simetris

Rambut : hitam, distribusi merata

Mata

Exophthalamus : tidak ada

Enopthalamus : tidak ada

Kelopak : tidak ptosis, tidak udem, tidak ada bekas luka

Lensa : jernih

Konjungtiva : tidak anemis

8

Page 9: 236597716 case-besar-chf-finish

Visus : tidak dilakukan pemeriksaan

Sklera : Ikterik

Telinga

Tuli : tidak ada

Lubang : liang telinga lapang, serumen +/+

Penyumbatan : tidak ada

Serumen : ada, pada liang telinga

Pendarahan : tidak ada

Cairan : tidak ada

Mulut

Bibir : tidak cyanosis, tampak kering

Tonsil : T1-T1, tenang

Langit-langit : tidak ada celah

Bau pernapasan : tidak berbau khas

Gigi geligi : tidak ada caries

Trismus : tidak ada

Faring : tidak hiperemis

Selaput lendir : kemerahan, basah

Lidah : tidak ada deviasi, tidak kotor

Leher

Tekanan Vena Jugularis (JVP) : 5 + 2 cm H2O

Kelenjar Tiroid : tidak membesar

Kelenjar Limfe : tidak membesar

Dada

Bentuk : normal

Buah dada : membesar, genekomastia

Paru – Paru Depan Belakang

Inspeksi

9

Page 10: 236597716 case-besar-chf-finish

Kiri : bentuk dada normal, simetris saat statis dan dinamis, sela iga tidak

membesar, jenis pernapasan abdominotorakal.

Kanan : bentuk dada normal, simetris saat statis dan dinamis, sela iga tidak

membesar, jenis pernapasan abdominotorakal.

Palpasi

Kiri : sela iga tidak melebar, taktil fremitus normal, gerakan dada simetris

Kanan : sela iga tidak melebar, taktil fremitus normal, gerakan dada simetris

Perkusi

Kiri : sonor di seluruh lapang paru

Kanan : sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi

Kiri : bunyi paru vesikuler, tidak terdengar ronkhi dan wheezing

Kanan : bunyi paru vesikuler, tidak terdengar ronkhi dan wheezing

Jantung

Inspeksi : bentuk thorax normal, tidak pectus excavatum, tidak pectus

carinatum, tidak barrel chest, ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : sela iga tidak melebar, ictus cordis tidak teraba

Perkusi :

Batas kanan jantung : ICS V linea sternalis dextra

Batas atas jantung : ICS II, linea sternalis sinistra

Batas pinggang jantung : ICS III, linea parasternalis sinistra

Batas kiri jantung : ICS VI, 2 cm dari linea midclavicula sinistra

Auskultasi : bunyi jantung I dan II reguler, tidak terdengar murmur dan gallop

Perut

Inspeksi : datar, supel, tidak ada bekas operasi, tidak ada penonjolan massa

Palpasi

Dinding perut : tegang, tidak ada defence muscular, ada nyeri

tekan epigastrium.

Hati : tidak teraba

Limpa : tidak teraba

10

Page 11: 236597716 case-besar-chf-finish

Ginjal : Tidak teraba, nyeri costovertebrae angle

negatif, ballotement tidak teraba

Kandung empedu : Murphy sign tidak ada

Perkusi : timpani, batas paru-hati sela iga 5, peranjakan hati 2

jari.

Auskultasi : bising usus + normal

Refleks dinding perut : positif normal

Alat Kelamin (atas indikasi)

Tidak diperiksa

Anggota Gerak

Lengan Kanan Kiri

Otot

Tonus : normotonus normotonus

Massa : tidak ada tidak ada

Sendi : tidak nyeri tidak nyeri

Gerakan : aktif aktif

Kekuatan : +5 +5

Oedem : tidak ada tidak ada

Lain-lain :

Petechie : tidak ada tidak ada

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri

Luka : tidak ada tidak ada

Varises : tidak ada tidak ada

Otot : normotrofi normotrofi

Tonus : normotonus normotonus

Massa : tidak ada tidak ada

11

Page 12: 236597716 case-besar-chf-finish

Sendi : tidak nyeri tidak nyeri

Gerakan : aktif aktif

Kekuatan : +5 +5

Udema : ada ada

Lain-lain :

Petechie : tidak ada tidak ada

LABORATORIUM & PEMERIKSAAN PENUNJANG LAINNYA

Pemeriksaan 15 mei 2014 pukul 20.18

PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL

Darah lengkap

Hemoglobin 14,9 g/dl 12-18

Leukosit 5,7 ribu/mm3 5-10

Trombosit 114 ribu/mm3 150-450

Hematokrit 44 % 38-47

Diff

Basofil 0 % 0-1

Eosinofil 0 % 1-3

Neutrofil Stab 0 % 3-5

Neutrofil Segmen 60 % 54-62

Limfosit 35 % 25-33

Monosit 5 % 3-7

12

Page 13: 236597716 case-besar-chf-finish

EKG

13

PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL

Diabetes Melitus

Glucose sewaktu 91 mg/dl <180

SGOT 228 U/L <35

SGPT 88 U/L <40

Fungsi Jantung

Elektrolit

Natrium 128 MEQ/L 135-146

Kalium 4.41 MEQ/L 3,5-5

Chlorida 99 MEQ/L 98-107

Ureum 55 mg/dl 10-50

kreatinin 2 mg/dl 0,5-1,5

Page 14: 236597716 case-besar-chf-finish

Kesan: Sinus ritme dan Old MCI anterior

Rontgen pada tanggal 16 Mei 2014

14

Page 15: 236597716 case-besar-chf-finish

Kesan : Cardiomegali, Bronkitis

RESUME

Pasien laki-laki usia 63 tahun datang dengan keluhan sesak napas. Sesak

dirasa sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit dan semakin memberat sejak 1 hari

sebelum masuk rumah sakit. Sesak timbul saat aktivitas, lebih nyaman menggunakan

bantal saat tidur, suka terbangun pada malam hari karena sesak. Batuk (+), dahak (+)

darah (-).

Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 140/90 mmHg, suhu 38,6˚C, nadi

124x/m, RR 32 x/m. sklera ikterik (+/+), BJ I-II iregguler, Ronkhi (+/+), Nyeri tekan

epigastrium (+), Nyeri tekan hipokondrium kanan (+) serta ekstremitas bawah udem

(+).

15

Page 16: 236597716 case-besar-chf-finish

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil SGOT SGPT meningkat,

natrium dan ureum menurun, kreatinin meningkat, pada gambaran EKG didapat kesan

old miokard anterior. Pada gambaran radiologi tampak cardiomegali dan brokhitis.

DIAGNOSIS KERJA:

1. CHD dengan HHD

Sesak saat beraktifitas

Tidur lebih nyaman dengan disanggah 2 bantal

Riwayat penyakit jantung (+), riwayat hipertensi (+)

Gambaran radiologi : kesan tampak cardiomegali

PF : HR : 124 x/menit, RR : 32x/menit, TD : 140/90 mmHg

2. Bronkitis akut

Sesak ketika batuk

Batuk disertai dengan dahak

Demam sejak 3 hari sebelum masuk RS

Suhu : 38,6

Suara vesikuler +/+, rh +/+

Gambaran radiologi : Kesan Bronkitis

3. Suspect kardiak sirosis

Adanya Penyakit Gagal Jantung Kongestif yang menyertai

Pasien terlihat Ikterik

Udem perifer

Pemeriksaan Lab IgM anti HAV (-), HbsAg (-), anti HCV (-).

Peningkatan SGOT dan SGPT

Pemeriksaan USG menggambarkan adanya sirosis

4. Acute Kitney Injury

Adanya Penyakit Gagal Jantung Kongestif yang menyertai

Belum pernah mengalami gangguan ginjal sebelumnya

Pemeriksaan awal ureum kreatinin sedikit meningkat

PF: Udem perifer

16

Page 17: 236597716 case-besar-chf-finish

DIAGNOSIS BANDING:

1. Cor pulmonale

2. Kardiomiopaty

ANJURAN PEMERIKSAAN

• Darah rutin

• Fungsi Liver

• Elektrolit

• Anti IgM HAV, HBsAg, Anti HCV

• Fungsi Ginjal

• USG abdomen

TATALAKSANA

Non medikamentosa:

• Batasi cairan,kurang dari 1 liter/hari

• Diet rendah protein

• Diet rendah garam < 2 gram/hari

• Olahraga

Medika mentosa:

O2 2 liter/menit

IVFD Ringer Laktat 10 tpm

Paracetamol infus 100ml

Furosemide iv 1x1

Ceftriaxon iv 1 gr

Ondansentron iv 40 mg

PROGNOSIS

Ad vitam : Dubia

Ad functionam : Dubia

Ad sanationam : Dubia

17

Page 18: 236597716 case-besar-chf-finish

Follow up

16 May 2014 17 May 2014

S • Sesak,

• Demam,

• Mual

S • Sesak,

• Batuk disertai dahak,

• Mual

O KU : Tampak sakit sedang, CM

TD : 140/90 mmHg

S : 37,7˚C

N : 88x/menit

RR : 22x/menit

O KU : Tampak sakit sedang, CM

TD : 130/90

S : 36 °C

N : 82 x/ menit irreguler

RR : 20x/menit

Thorax : Paru : Suara napas vesikuler +/+,

Rh+/+, Wh -/-

Ekstremitas : udem

Hasil Pemeriksaan penunjang 1

A CHF ec HHD

Obs febris ec.hepatitis

A CHF ec HHD

Obs febris ec.hepatitis

Bronkhitis akut

AKI

P Oksigen 2 L

Diet Makanan Lunak 1800 kkal

Paracetamol 3x1

Furosemid 1x1 ampul

Digoxin 1x1

ISDN 2x1

P Terapi lanjut

Ceftriaxon stop

Furosemid Inj Stop diganti dengan Furo

semid tab 1x1

Paracetamol stop

Instruksi : Konsul (raber)

Penyakit Dalam

Rencana :

Periksa SGOT, SGPT, Bilirubin Total; direct,

indirect, Ureum, Kreatinin, elektrolit

18

Page 19: 236597716 case-besar-chf-finish

18 May 2014 19 May 2014

S • Sesak dirasa berkurang

• Batuk berkurang

• Nyeri ulu hati

S • Sesak berkurang,

• Batuk berkurang

• Sulit tidur saat malam hari

O KU : Tampak sakit sedang, CM

TD : 130/90 mmhg

N : 80x/menit, irreguler

S : 36,2 °C

RR : 24x/menit

Hasil Pemeriksaan Penunjang

O KU : Tampak sakit sedang, CM

TD : 140/90 mmhg

N : 80x/menit, irreguler

S : 36,5 °C

RR : 24x/menit

Hasil pemeriksaan penunjang

A CHF ec HHD

Bronkhitis

AKI

Suspect Hepatitis

A CHF ec HHD

CAP

AKI

Suspect Hepatitis

P Terapi lanjut

SNMC 3 mg drip + Dextrose 5% 100cc

Ondansentron 3x1

Erdostein 3x1

Aminoral 3x1

Lesichol 2 x 300 mg

P Terapi lanjut

Rencana terapi :

Aspar K 2x1

NaCl caps 2x1

Rencana pemeriksaan :

HBs Ag, anti HAV igM

Rencana pemeriksaan :

Anti HCV

SGOT, SGPT

20 May 2014 21 May 2014

19

Page 20: 236597716 case-besar-chf-finish

S • Sesak dirasa berkurang

• Batuk berkurang

• Nyeri di kedua kaki dirasa hilang

timbul

• Nyeri ulu hati

S • Nyeri pada kedua kaki yang

hilang timbul

• Mual (+)

O KU : Tampak sakit sedang, CM

TD : 130/80 mmhg

N : 82x/menit, irreguler

S : 36,2 °C

RR : 20x/menit

Hasil Pemeriksaan penunjang

O KU : Tampak sakit sedang, CM

TD : 130/100 mmhg

N : 84x/menit,

S : 36 °C

RR : 24x/menit

Hasil pemeriksaan penunjang

A • CHF ec CAD

• Bronkhitis

• AKI

• Suspect Hepatitis

• Neuropati

A • CHF ec CAD

• CAP

• AKI

• Suspect Hepatitis

• Neuropati

P Terapi lanjut

Aspar K 2x1

Nacl caps 2x1

P Terapi lanjut

Omeprazol Inj 2x1

Rencana pemeriksaan :

USG abdomen

SGOT, SGPT, Ureum, Creatinin, Elektrolit

Rencana pemeriksaan :

USG abdomen

SGOT, SGPT, Ureum, Creatinin,

Elektrolit

Rencana terapi :

Cefixime tab 200mg 2x1

22 May 2014 23 May 2014

20

Page 21: 236597716 case-besar-chf-finish

S • Sesak sudah tidak dirasa lagi

• Nyeri di kedua kaki yang

dirasa hilang timbul mulai

berkurang

S Nyeri di kedua kaki yang dirasa

hilang timbul mulai berkurang

O KU : Tampak sakit sedang, CM

TD : 140/90 mmHg

N : 82x/menit, irreguler

S : 36,1 °C

RR : 20x/menit

Hasil pemeriksaan penunjang

O KU : Tampak sakit sedang, CM

TD : 140/90 mmHg

N : 84x/menit,

S : 36,7 °C

RR : 24x/menit

Hasil pemeriksaan penunjang

A • CHF ec CAD

• Bronkhitis dengan perbaikan

• AKI

• Neuropati

• Suspect Sirosis hepatis

A • CHF ec CAD dengan

perbaikan

• Bronkhitis dengan perbaikan

• AKI dengan perbaikan

• Neuropati

• Suspect Sirosis hepatis

P Terapi lanjut P Terapi stop

Rencana pemeriksaan :

SGOT, SGPT, albumin, ureum, creatinin

Rencana terapi :

Pemberian obat secara oral, Pasien

boleh pulang

Lampran hasil pemeriksaan penunjang

Lab tanggal 17 Mei 2014 pukul 08.07

21

Page 22: 236597716 case-besar-chf-finish

Pemeriskaan tanggal 17 mei 2014 pukul 20.39

PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL

Kimia darah

SGOT 1.186 U/L <35

SGPT 517 U/L <40

Bilirubin Total 2.2 mg/dl 0-1,5

Bilirubin direct 1.39 mg/dl 0-0,25

Bilirubin Indirect 0.81 mg/dl 0-0,75

Fungsi Jantung

Elektrolit

Natrium 127 MEQ/L 135-146

Kalium 3.4 MEQ/L 3,5-5

Chlorida 96 MEQ/L 98-107

Ureum 84 mg/dl 10-50

kreatinin 1.8 mg/dl 0,5-1,5

Pemeriksaan tanggal 18 mei 2014 pukul 17.47

PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL

22

PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL

Darah rutin

Hemoglobin 14,9 g/dl 12-18

Leukosit 6,1 ribu/mm3 5-10

Trombosit 177 ribu/mm3 150-450

Hematokrit 42 % 38-47

Page 23: 236597716 case-besar-chf-finish

Immunologi/Serologi

HBsAg Non reaktif Non reaktif

IgM Anti HAV Negative Negative

Pemeriksaan tanggal 19 Mei 2014 pukul 17. 13

PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL

Kimia darah

SGOT 665 â U/L <35

SGPT 388 â U/L <40

Immunologi/Serologi

Anti HCV Negative Negative

USG Tanggal 20 Mei 2014

23

Page 24: 236597716 case-besar-chf-finish

24

Page 25: 236597716 case-besar-chf-finish

Kesan : Sesuai dengan gambaran sirosis hepatic dengan ascites dan efusi dextra

Pemeriksaan tanggal 21 Mei 2014 pukul 11.50

PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL

Kimia darah

SGOT 391 â U/L <35

SGPT 299 â U/L <40

Pemeriksaan tanggal 23 Mei 2014 pukul 8.28

PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI NORMAL

Kimia darah

SGOT 169 â U/L <35

SGPT 195 â U/L <40

Albumin 2.8 g/dl 3.5-5

Ureum 21 mg/dl 10-50

Creatinin 1.1 mg/dl 0.5-1.5

25

Page 26: 236597716 case-besar-chf-finish

PEMBAHASAN

Pasien Tn S 63 tahun masuk ke RS dengan keluhan sesak nafas sejak 3 hari

dan semakin memberat sejak 1 hari SMRS. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan bahwa diagnosis adalah gagal jantung

kongestif (CHF ) dengan penyebab utamanya adalah Hypertension Heart Disease

(HHD)

Diagnosis gagal jantung kongestif dapat ditegakkan berdasarkan kriteria

Framingham dimana didapatkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor

dan dari anamnesis didapatkan dispnea d’effort kemudian dari pemeriksaan fisik

didapatkan, kardiomegali, paroximal nocturnal dispnea, ronkhi paru dan edema

ekstremitas. Pada pasien didapatkan 3 kriteria mayor dan 2 kriteria minor sehingga

didiagnosis pasien ini adalah gagal jantung kongestif. Berdasarkan tingkatannya, CHF

pada pasien ini termasuk ke dalam grade IV, yaitu pasien tidak mampu melakukan

kegiatan fisik apapun tanpa menimbulkan keluhan. Waktu istirahat juga dapat

menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung, yang bertambah apabila pasien

melakukan kegiatan fisik meskipun sangat ringan.

Hipertensi merupakan beban pressure overload bagi miokard yang dapat

mengakibatkan hipertrofi ventrikel kiri dan gangguan fungsi diastolic

(asimptomatik/subklinik) dan akhirnya dapat menyebabkan gangguan sistolik

ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri merupakan respon terhadap kenaikan wall

stress ventrikel kiri akibat hipertensi dan suatu upaya untuk mengembalikan wall

stress ventrikel kiri kepada nilai normal, mempertahankan fungsi sistolik ventrikel

kiri dan mengurangi kemungkinan terjadinya gangguan perfusi miokard. Respon

adaptasi tersebut terbatas. Seperti pada pasien ini, bila tekanan darah tetap tinggi

dimana pasien sudah mengalami hipertensi selama 5 tahun dan jarang kontrol makan

akan terjadi remodeling, perubahan struktur miokard dan gangguan fungsi jantung.

Sesak napas yang merupakan keluhan utama pada pasien ini disebabkan oleh

karena adanya kongesti pulmoner, dengan adanya akumulasi dari cairan interstisial

yang menstimulasi pernapasan cepat dan dangkal yang khas untuk sesak napas yang

disebabkan oleh penyakit jantung. Sesak napas pada malam hari saat pasien tidur

merupakan akibat pasien tidur dalam keadaan datar sehingga aliran balik darah

meningkat, akibatnya ventrikel kanan juga memompakan darah yang lebih banyak ke

arteri pulmonalis. Banyaknya darah di vaskuler paru mengakibatkan ekstravasasi

cairan dari vaskuler ke intersisial, dengan adanya ekstravasasi cairan ke intersisial

26

Page 27: 236597716 case-besar-chf-finish

jaringan paru akan menimbulkan suara ronki basah basal saat di lakukan auskultasi

pada kedua lapangan paru. Ronkhi yang timbul akibat adanya peradangan paru dapat

disingkirkan karena tidak adanya manifestasi demam pada pasien ini. Sesak napas

pada pasien ini juga bisa disebabkan karena penyakit bronkitis akutnya.

Edema kedua tungkai pada pasien ini terjadi karena adanya kongesti vena

sistemik sebagai akibat gagal jantung kanan. Gagal jantung kanan dapat terjadi akibat

meningkatnya tekanan vaskular paru sehingga akhirnya membebani ventrikel kanan.

Selain itu disfungsi ventrikel kiri juga berpengaruh langsung terhadap fungsi ventrikel

kanan melalui fungsi anatomis dan biokimiawinya. Kedua ventrikel mempunyai satu

dinding yang sama (septum interventrikularis) yang terletak dalam pericardium.

Perubahan-perubahan biokimia seperti berkurangnya cadangan norepinefrin

miokardium selama gagal jantung juga dapat merugikan kedua ventrikel.

TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan

Penyakit kardiovaskular sekarang merupakan penyebab kematian paling

umum di seluruh dunia. Penyakit kardiovaskular menyumbang hampir mendekati

40% kematian di negara maju dan sekitar 28% di negara miskin dan berkembang

(Gaziano, 2008). Menurut data dari studi Framingham, 90% orang yang berumur

diatas 55 tahun akan mengalami hipertensi selama masa hidupnya (Lilly, et al., 2007).

Hal ini menggambarkan masalah kesehatan publik karena hipertensi dapat

meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular, seperti gagal jantung

kongestif ( Kotchen, 2008). Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar

antara 5 - 10%. Dalam kurun 20 tahun terakhir, angka kematian karena serangan

jantung dan stroke yang disebabkan oleh hipertensi mengalami penurunan (Pickering,

2008), oleh karena itu terjadi peningkatan penderita penyakit jantung hipertensi yang

beresiko mengalami gagal jantung kongestif (Rodeheffer, 2007). Menurut data dan

27

Page 28: 236597716 case-besar-chf-finish

pengalaman sebelum adanya pengobatan yang efektif, penderita hipertensi yang tidak

diobati terbukti mengalami pemendekan masa kehidupan sekitar 10 – 20 tahun.

Bahkan individu yang mengalami hipertensi ringan jika tidak diobati selama 7 – 10

tahun beresiko tinggi mengalami komplikasi yaitu sekitar 30% terbukti mengalami

aterosklerosis dan lebih dari 50% akan mengalami kerusakan organ yang

berhubungan dengan hipertensi itu sendiri, seperti kardiomegali, gagal jantung

kongestif, retinopati, masalah serebrovaskular, dan/atau insufisiensi ginjal. Oleh

karena itu, walaupun bentuk ringan, hipertensi merupakan penyakit yang progresif

dan letal jika tidak segera diobati (Fisher, 2005).

Definisi

Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, di mana terdapat kegagalan

jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan.4 Keadaan dimana

jantung tidak mampu memompa darah untuk mencukupi metabolisme jaringan atau

hanya bisa melakukannya dengan tekanan pengisian yang tinggi secara tidak normal.

Penting untuk mengetahui dasar penyakit jantung dan faktor-faktor yang mencetuskan

gagal jantung kongestif akut.3

Etiologi

Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi miokard, endokard,

perikardium, pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di

Eropa dan Amerika disfungsi miokard paling sering terjadi akibat penyakit jantung

koroner biasanya akibat infark miokard, yang merupakan penyebab paling sering pada

usia kurang dari 75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes. Sedangkan di Indonesia

belum ada data yang pasti, sementara data rumah sakit di Palembang menunjukkan

hipertensi sebagai penyebab terbanyak, disusul penyakit jantung koroner dan katup.

Sebagaimana diketahui keluhan dan gejala gagal jantung edema paru dan syok sering

dicetuskan oleh adanya berbagai faktor pencetus. Hal ini penting diidentifikasi

terutama yang bersifat reversibel karena prognosis akan menjadi lebih baik.4

Faktor pencetus akut untuk gagal jantung mencakup asupan natrium

meningkat, ketidakpatuhan pada terapi anti-CHF, MI akut (mungkin tersembunyi),

kekambuhan hipertensi, aritmia akut, infeksi dan/atau demam, emboli paru, anemia,

tirotoksikosis, kehamilan, miokarditis akut atau endokarditis infektif dan obat-obatan

28

Page 29: 236597716 case-besar-chf-finish

tertentu (misalnya obat anti-inflamasi non-steroid, verapamil). Penyakit jantung yang

mendasari gagal jantung mencakup: (1) keadaan yang menekan fungsi sistolik

ventrikel (penyakit arteri koronaria, hipertensi, kardiomiopati dilatasi, penyakit katup,

penyakit jantung kongenital); dan (2) keadaan gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang

masih baik (misalnya kardiomiopati restriktif, kardiomiopati hipertrofi, fibrosis,

kelainan endomiokardial), juga disebut gagal diastolik.3

Patofisiologi Gagal Jantung

Patofisiologi dari gagal jantung dapat dibagi menjadi beberapa bagian.

Bagian-bagian tersebut antara lain:

a. Mekanisme Dasar

Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung

akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan

ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi

volume sekuncup, dan meningkatkan volume residu ventrikel. Dengan

meningkatnya EDV (volume akhir diastolik) ventrikel, terjadi peningkatan

tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDP). Derajat peningkatan tekanan

bergantung pada kelenturan ventrikel. Dengan meningkatnya LVDEP, terjadi

pula peningkatan tekanan atrium kiri (LAP) karena atrium dan ventrikel

berhubungan langsung selama diastol. Peningkatan LAP diteruskan ke belakang

ke dalam pembuluh darah paru-paru, meningkatkan tekanan kapiler dan vena

paru-paru. Apabila tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru-paru melebihi

tekanan onkotik pembuluh darah, akan terjadi transudasi cairan ke dalam

interstisial. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan

merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru. Tekanan arteri paru-paru

dapat meningkat akibat peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi

pulmonalis meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serangkaian

kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung

kanan yang akhirnya akan menyebabkan edema dan kongesti paru.

Perkembangan dari edema dan kongesti sistemik atau paru dapat diperberat oleh

regurgitasi fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau mitralis secara

bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi anulus katup

atroventrikularis, atau perubahan orientasi otot papilaris dan korda tendinae

29

Page 30: 236597716 case-besar-chf-finish

akibat dilatasi ruang. Edema paru pada gagal jantung kiri dapat kita lihat dengan

jelas pada Gambar no.2.5

Gambar no.1 Edema Paru pada Gagal Jantung Kiri

b. Respons Kompensatorik

Sebagai respons terhadap gagal jantung, ada tiga mekanisme primer yang dapat

dilihat: (1) meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis, (2) meningkatnya beban

awal akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan (3) hipertrofi

ventrikel. Ketiga respons kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk

mempertahankan curah jantung. Mekanisme ini mungkin memadai untuk

mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada

awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat. Namun, kelainan kerja

ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak saat beraktivitas.

Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi semakin kurang efektif.5

c. Peningkatan Aktivitas Adrenergik Simpatis

Menurunnya volume sekuncup pada gagal jantung akan membangkitkan

respons simpatis kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatik

merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan

medula adrenal. Denyut jantung dan kekuatan kontraksi akan meningkat untuk

menambah curah jantung. Selain itu juga terjadi vasokonstriksi arteri perifer

untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan

mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah (misal,

kulit dan ginjal) untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak.

Venokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk

30

Page 31: 236597716 case-besar-chf-finish

selanjutnya menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan hukum Starling. Seperti

yang diharapkan, kadar katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal

jantung, terutama selama latihan. Jantung akan semakin bergantung pada

katekolamin yang beredar dalam darah untuk mempertahankan kerja ventrikel.

Namun pada akhirnya respons miokardium terhadap rangsangan simpatis akan

menurun; katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel.

Perubahan ini paling tepat dengan melihat kurva fungsi ventrikel. Dalam keadaan

normal, katekolamin menghasilkan efek inotropik positif pada ventrikel sehingga

menggeser kurva ke atas dan ke kiri. Berkurangnya respons ventrikel yang gagal

terhadap rangsangan katekolamin menyebabkan berkurangnya derajat pergeseran

akibat rangsangan ini. Perubahan ini mungkin berkaitan dengan observasi yang

menunjukkan bahwa cadangan norepinefrin pada miokardium menjadi berkurang

pada gagal jantung kronis.5

d. Peningkatan Beban Awal Melalui Aktivasi Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron

Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium dan

air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel dan regangan serabut.

Peningkatan beban awal ini akan menambah kontraktilitas miokardium sesuai

dengan hukum Starling. Mekanisme pasti yang mengakibatkan aktivasi sistem

renin-angiotensin-aldosteron pada gagal jantung masih belum jelas. Namun,

diperkirakan terdapat sejumlah faktor seperti rangsangan simpatis adrenergik

pada reseptor beta di dalam aparatus jukstaglomerulus, respons reseptor makula

densa terhadap perubahan pelepasan natrium ke tubulus distal, dan respons

baroreseptor terhadap perubahan volume dan tekanan darah sirkulasi. Apapun

mekanisme pastinya, penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai

serangkaian peristiwa berikut: (1) penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju

filtrasi glomerulus, (2) pelepasan renin dari aparatus jukstaglomerulus, (3)

interaksi renin dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan

angiotensin I, (4) konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, (5) rangsangan

sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal, dan (6) retensi natrium dan air pada

tubulus distal dan duktus pengumpul. Angiotensin II juga menghasilkan efek

vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan darah. Pada gagal jantung berat,

kombinasi antara kongesti vena sistemik dan menurunnya perfusi hati akan

mengganggu metabolisme aldosteron di hati, sehingga kadar aldosteron dalam

darah meningkat. Kadar hormon antidiuretik akan meningkat pada gagal jantung

31

Page 32: 236597716 case-besar-chf-finish

berat, yang selanjutnya akan meningkatkan absorpsi air pada duktus

pengumpul.Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron dapat kita lihat pada Gambar

no.3.5

Renin + Angiotensinogen

Angiotensin I

Angiotensin II

Vasokonstriksi perifer Sekresi aldosteron

Retensi Na+, H2O

Peningkatan volume

plasma

Peningkatan tekanan darah

Gambar no.2 Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron

e. Hipertrofi Ventrikel

Respons kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi miokardium

atau bertambahnya tebal dinding. Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer

dalam sel-sel miokardium; sarkomer dapat bertambah secara paralel atau serial

bergantung pada jenis beban hemodinamik yang mengakibatkan gagal jantung.

Sebagai contoh, suatu beban tekanan yang ditimbulkan stenosis aorta akan

disertai dengan meningkatnya ketebalan dinding tanpa penambahan ukuran ruang

dalam. Respons miokardium terhadap beban volume, seperti pada regurgitasi

aorta, ditandai dengan dilatasi dan bertambahnya ketebalan dinding. Kombinasi

ini diduga terjadi akibat bertambahnya jumlah sarkomer yang tersusun secara

serial. Kedua pola hipertrofi ini disebut hipertrofi konsentris dan hipertrofi

eksentris. Apapun susunan pasti sarkomernya, hipertrofi miokardium akan

meningkatkan kekuatan kontraksi ventrikel.5

f. Mekanisme Kompensatorik Lainnya

32

Page 33: 236597716 case-besar-chf-finish

Mekanisme lain bekerja pada tingkat jaringan untuk meningkatkan hantaran

oksigen ke jaringan. Kadar 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) plasma meningkat

sehingga mengurangi afinitas hemoglobin dengan oksigen. Akibatnya, kurva

disosiasi oksigen-hemoglobin bergeser ke kanan, mempercepat pelepasan dan

ambilan oksigen oleh jaringan. Ekstraksi oksigen dari darah ditingkatkan untuk

mempertahankan suplai oksigen ke jaringan pada saat curah jantung rendah.5

g. Efek Negatif Respons Kompensatorik

Awalnya, respons kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang menguntungkan;

namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan gejala,

meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk derajat gagal jantung. Retensi

cairan yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan kontraktilitas menyebabkan

terbentuknya edema dan kongesti vena paru dan sistemik. Vasokonstriksi arteri

dan redistribusi aliran darah mengganggu perfusi jaringan pada anyaman vaskular

yang terkena, serta menimbulkan gejala dan tanda (misal, berkurangnya jumlah

keluaran urine dan kelemahan tubuh). Vasokonstriksi arteri juga meningkatkan

beban akhir dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir

juga meningkat karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung dan

kebutuhan oksigen miokardium (MVO2) juga meningkat. Hipertrofi miokardium

dan rangsangan simpatis lebih lanjut akan meningkatkan kebutuhan MVO2. Jika

peningkatan MVO2 ini tidak dapat dipenuhi dengan meningkatkan suplai oksigen

miokardium, akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan miokardium

lainnya. Hasil akhir peristiwa yang saling berkaitan ini adalah meningkatnya

beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal jantung.5

Manifestasi Klinis Gagal Jantung

Manifestasi klinis gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat

latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala

hanya muncul saat beraktivitas fisik; tetapi, dengan bertambah beratnya gagal jantung,

toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal

dengan aktivitas yang lebih ringan. Dispnea, atau perasaan sulit bernafas, adalah

manifestasi gagal jantung yang paling umum. Dispnea disebabkan oleh peningkatan

kerja pernafasan akibat kongesti vaskular paru yang mengurangi kelenturan paru.

Meningkatnya tahanan aliran udara juga menimbulkan dispnea. Batuk nonproduktif

juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi berbaring.5

33

Page 34: 236597716 case-besar-chf-finish

Gejala lain dari gagal jantung adalah edema perifer. Biasanya, keluhan dari

penderita adalah pada saat bangun tidur di pagi hari, kaki masih tampak normal.

Namun, semakin siang, kaki dan pergelangan kaki membengkak dan apabila ia

membuka sepatu, maka ia tidak akan dapat lagi mengenakannya. Penderita juga akan

mengeluh tentang perasaan berat di kaki. Di sepanjang hari itu, berat badan dapat

bertambah sampai 2 kg. Kita juga akan dengan mudah menekan satu sumuran di

dalam edema, sehingga sering disebut edema sumuran (pitting edema). Pada beberapa

penderita gagal jantung kronis yang selalu berada di tempat tidur, edema akan

berpindah ke bagian yang paling rendah dari tubuhnya. Hal inilah yang menyebabkan

timbulnya edema presakral. Umumnya edema di kaki kanan akan diangkut dan

dibuang melalui urin pada malam hari. Itulah sebabnya mengapa pada malam hari,

penderita selalu mengeluarkan kencing yang banyak (paling sedikit 3 kali) dan sering

disebut nokturia.6Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang

interstisial. Edema mula-mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan

terutama pada malam hari; dapat terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang

mengurangi retensi cairan. Nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan dan

reabsorpsi pada waktu berbaring, dan juga berkurangnya vasokonstriksi ginjal pada

waktu istirahat. Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema

anasarka (edema tubuh generalisata). Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan

pada aliran vena sistemik secara klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan,

namun manifestasi paling dini dari bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh

retensi cairan daripada gagal jantung kanan yang nyata. Semua manifestasi yang

dijelaskan di sini secara khas diawali dengan bertambahnya berat badan, yang jelas

mencerminkan adanya retensi natrium dan air.5

Kulit pucat dan dingin disebabkan oleh vasokonstriksi perifer; makin

berkurangnya curah jantung dan meningkatnya kadar hemoglobin tereduksi

menyebabkan terjadinya sianosis. Vasokonstriksi kulit menghambat kemampuan

tubuh untuk melepaskan panas; oleh karena itu dapat ditemukan demam ringan dan

keringat yang berlebihan. Kurangnya perfusi pada otot rangka menyebabkan

kelemahan dan keletihan. Gejala dapat diperberat oleh ketidakseimbangan cairan dan

elektrolit atau anoreksia. Makin menurunnya curah jantung dapat disertai insomnia,

kegelisahan, atau kebingungan. Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat terjadi

kehilangan berat badan yang progresif atau kakeksia jantung.5

34

Page 35: 236597716 case-besar-chf-finish

Pemeriksaan denyut arteri selama gagal jantung memperlihatkan denyut yang

cepat dan lemah. Denyut jantung yang cepat (atau takikardia) mencerminkan respons

terhadap rangsangan saraf simpatis. Sangat menurunnya volume sekuncup dan adanya

vasokonstriksi perifer mengurangi tekanan nadi (perbedaan antara tekanan sistolik

dan diastolik), menghasilkan denyut yang lemah (thready pulse). Hipotensi sistolik

ditemukan pada gagal jantung yang lebih berat. Selain itu, pada gagal ventrikel kiri

yang berat dapat timbul pulsus alternans, yaitu berubahnya kekuatan denyut arteri.

Pulsus alternans menunjukkan disfungsi mekanis yang berat dengan berulangnya

variasi denyut ke denyut pada volume sekuncup. Pada auskultasi dada lazim

ditemukan ronki (seperti yang telah dikemukakan di atas) dan gallop ventrikel atau

bunyi jantung ketiga (S3). Terdengarnya S3 pada auskultasi merupakan ciri khas gagal

ventrikel kiri. Gallop ventrikel terjadi selama diastolik awal dan disebabkan oleh

pengisian cepat pada ventrikel yang tidak lentur atau terdistensi. Kuat angkat

substernal (atau terangkatnya sternum sewaktu sistolik) dapat disebabkan oleh

pembesaran ventrikel kanan. Terjadi perubahan-perubahan khas pada kimia darah.

Misalnya, perubahan cairan dan kadar elektrolit terlihat dari kadarnya dalam serum.

Yang khas adalah adanya hiponatremia pengenceran; kadar kalium dapat normal atau

menurun akibat terapi diuretik. Hiperkalemia dapat terjadi pada tahap lanjut dari gagal

jantung karena gangguan ginjal.5 Manifestasi klinis dari gagal ventrikel kiri berupa

sesak napas, ortopnea, dispnea nokturnal paroksismal, rasa lelah, kebingungan,

nokturia, dan nyeri dada. Manifestasi klinis dari gagal ventrikel kanan berupa sesak

napas, peningkatan tekanan vena jugularis, anasarka, asites, edema kaki, refluks

hepatojugular, dan nyeri abdomen.7

Pemeriksaan Fisik Jantung

Pemeriksaan fisik harus dilakukan dengan tepat agar kita dapat menegakkan

diagnosis secara benar. Pada inspeksi dan palpasi jantung, posisi dan karakteristik

denyut apeks jantung harus diperhatikan. Posisi denyut apeks jantung biasanya berada

pada bagian terbawah dan terluar denyutan yang mudah diraba. Pada pasien dengan

bentuk dada normal dan dalam posisi duduk 450, denyut apeks jantung biasanya

teraba pada ruang interkostalis kelima pada garis midklavikula. Denyut apeks jantung

yang normal sebaiknya dirasakan oleh jari.Untuk melakukan palpasi denyut apeks

jantung, jemari tangan kanan pemeriksa seharusnya menekan dengan ringan dinding

dada pasien sepanjang sumbu iga, dengan bantalan jari tengah yang berada lebih

35

Page 36: 236597716 case-besar-chf-finish

lateral dan inferior dari ruangan interkostalis kelima pada haris midaksilaris. Jemari

secara perlahan di geser kearah medial untuk mencapai posisi yang diinginkan.

Bantalan jari tengah digunakan untuk menentukan bagian denyut apeks terluar dan

terbawah, sedangkan jari telunjuk dapat digunakan untuk memastikan apakah denyut

yang lebih jelas tidak teraba diatasnya. Jari manis dan kelingking dapat digunakan

untuk memastikan bahwa denyut apeks yang lebih jelas tidak teraba disebelah lateral

atau inferior dari denyut apeks yang teraba oleh jari tengah.2

Denyut apeks seharusnya teraba lebih kearah dalam dari apeks jantung yang

diperkirakan karena jantung merupakan tempat masuknya pembuluh-pembuluh besar

dari bagian atas mediastinum, tetapi pada kenyataannya denyut apeks bergerak kearah

luar karena jantung mengalami rotasi kearah anterior pada saat sistol ventrikel.

Getaran (murmur yang teraba) yang dirasakan tangan yang sedang melakukan

palpasi terutama menunjukkan adanya turbulensi aliran darah. Getaran sistolik

biasanya berhubungan dengan adanya kelainan pada bagian kiri jantung karena

tekanan yang terbentuk lebih besar. Getaran yang dirasakan diatas jantung dapat

disebabkan oleh stenosis aorta, defek septum ventrikel atau regurgitasi mitral.

Kadang-kadang, murmur diastolik pada stenosis mitralis dapat teraba.2

Jika denyut apeks bergeser kearah bawah atau luar, keadaan ini menunjukkan

adanya deformitas dada, pergeseran mediastinum, kelainan pleura atau paru-paru atau

pembesaran jantung (secara statistik lebih sering).Heaves (pengangkatan) adalah

terangkatnya jemari pemeriksa yang sedang meraba apeks jantung. Pengangkatan atau

pendorongan denyut apeks ini bersifat terus menerus dan kuat, serta mengangkat jari

pemeriksa yang sedang meraba. Keadaan ini dapat ditemukan (terutama pada

pembesaran ventrikel kiri) akibat hipertrofi otot jantung (sering kali ditemukan pada

beban tekanan yang berlebihan) atau dilatasi jantung(sering kali ditemukan pada

beban volume yang berlebihan).Denyut apeks yang tidak teraba dapat disebabkan

oleh obesitas, dinding dada yang tebal, emfisema, dan perikarditis konstriktif.2

Retraksi sistolik denyut apeks dapat terjadi pada perikarditis konstriktif karena

rotasi jantung mengalami gangguan karena tertahan oleh perikardium. Retraksi

sistolik dapat juga terjadi pada insufisiensi trikuspid karena terjadinya pengosongan

ventrikel kanan yang berlebih dan cepat sehingga ventrikel kiri kurang kuat untuk

melakukan rotasi ke arah anterior. Denyut apeks yang berdetak dapat disebabkan oleh

penutupan katup mitral yang sangat jelas terdengar, atau pendorongan ventrikel kiri

ke arah depan akibat pembesaran atrium kiri. Hal ini sering kali merupakan petunjuk

36

Page 37: 236597716 case-besar-chf-finish

klinis awal untuk stenosis mitral. Pengangkatan bagian bawah sternum dapat

disebabkan hipertrofi ventrikel kanan. Kadang-kadang hipertrofi ventrikel kanan

terjadi akibat penyakit paru dan dada yang mengembang dapat menyebabkan

ventrikel kanan yang mengalami hipertrofi menjadi sulit untuk diraba. Akan tetapi,

gerakan ventrikel kanan masih mungkin dirasakan dengan melakukan palpasi tepat

dibawah prosesus xiphoideus kearah atas.Pengangakatan midsternum sisi kiri dapat

terjadi pada infark miokard anterior atau bila terdapat aneurisma ventrikel kiri.Denyut

apeks yang sangat kuat terjadi jika curah jantung mengalami peningkatan setelah

berolahraga.Lokasi denyut apeks yang tidak jelas dapat terjadi pada penyakit otot

jantung, baik karena kardiomiopati maupun setelah mengalami infark miokard.2

Perkusi jantung jarang memberikan informasi yang bermanfaat. Kadang-

kadang efusi perikardial yang besar atau atrium kiri yang besar, dapat diperkusi (pada

stenosis mitral yang lama dan berat). Pada saat melakukan auskultasi, diafragma dan

sungkup stetoskop harus digunakan untuk mendengar bunyi jantung, yaitu bagian

diafragma untuk mendengar murmur bernada tinggi dan sungkup untuk mendengar

murmur bernada rendah. Posisi katup jantung dan daerah yang diauskultasi. Sebelum

pengendalian klinis berbagai lesi katup menjadi terlatih, bunyi jantung pertama dan

kedua sebaiknya dikenali terlebih dahulu, bunyi jantung ketiga dan keempat dicari

secara mendalam, dan murmur (jika ada) dikenali. Posisi katup jantung dan lokasi

daerah auskultasi dapat kita lihat lebih jelas pada Gambar no.1.2

Gambar no.3 Posisi Katup Jantung dan Lokasi Daerah Auskultasi

37

Page 38: 236597716 case-besar-chf-finish

Pada pemeriksaan fisik terhadap pasien gagal jantung mungkin ditemukan

pelebaran vena jugularis, S3, bendungan paru (ronki, pekak pada efusi pleura, edema

perifer, hepatomegali, dan asites). Takikardia sinus umum terjadi. Pada pasien dengan

disfungsi diastolik, S4 seringkali ada.3

a. Keadaan umum dan tanda vital

Pada gagal jantung ringan dan moderat, pasien sepertinya tidak mengalami

gangguan saat beristirahat, kecuali perasaan tidak nyaman saat berbaring pada

permukaan datar selama lima menit. Pada gagal jantung yang lebih berat, pasien

harus duduk dengan tegak, dapat mengalami sesak napas, dan kemungkinan

tidak dapat mengucapkan satu kalimat lengkap karena sesak napas yang

dirasakan. Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi pada gagal jantung

ringan, namun berkurang pada gagal jantung berat, karena adanya disfungsi

ventrikel kiri yang berat. Tekanan nadi dapat berkurang atau menghilang,

menandakan adanya penurunan stroke volume. Sinus takikardi merupakan tanda

nonspesifik disebabkan oleh peningkatan aktivitas adrenergik. Vasokonstriksi

perifer menyebabkan dinginnya ekstremitas bagian perifer dan sianosis pada

bibir dan kuku juga disebabkan oleh aktivitas adrenergik yang berlebih.

b. Pemeriksaan vena jugularis dan leher

Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada atrium kanan,

dan secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri. Pemeriksaan tekanan vena

jugularis dinilai terbaik saat pasien tidur dengan kepala deangkat dengan sudut

450. Pada gagal jantung stadium dini, tekanan vena jugularis dapat normal pada

waktu istirahat namun dapat meningkat secara abnormal seiring dengan

peningkatan tekanan abdomen.

c. Pemeriksaan paru

Pulmonary crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi cairan dari

rongga intravaskular ke dalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru, ronki

dapat didengar pada kedua lapang paru dan dapat disertai wheezing ekspiratoar

(asma kardial). Jika ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru, ronkhi spesifik

untuk gagal jantung. Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya tekanan

sistem kapiler pleura, hasilnya adalah transudasi cairan ke dalam rongga pleura.

d. Pemeriksaan jantung

Pemeriksaan jantung sering tidak memberikan informasi yang berguna mengenai

tingkat keparahan gagal jantung. Jika kardiomegali ditemukan, maka apex cordis

38

Page 39: 236597716 case-besar-chf-finish

biasanya berubah lokasi di bawah ICS V dan atau sebelah lateral dari

midclavicularis line, dan denyut dapat dipalpasi hingga 2 interkosta dari apex.

Pada beberapa pasien, suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar dan dipalpasi

pada apex. S3 atau prodiastolik gallop paling sering ditemukan pada pasien

dengan volume overload yang juga mengalami takikardi dan takipneu, dan sering

kali menandakan gangguan hemodinamika. Bising pada regurgitasi mitral dan

tricuspid biasa ditemukan pada pasien dengan gagal jantung tahap lanjut.

e. Abdomen dan ekstremitas

Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien jantung.

Jika memang ada, hati yang membesar seringkali teraba lunak dan dapat

berpulsasi saat sistol jika terdapat regurgitasi katup trikuspid. Asites dapat timbul

sebagai akibat transudasi karena tingginya tekanan vena hepatik dan sistem vena

yang berfungsi dalam drainase peritoneum. Jaundice dapat ditemukan dan

merupakan tanda gagal jantung stadium lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan

indirek meningkat. Ikterik ini disebabkan karena terganggunya fungsi hepar

sekunder akibat kongesti hepar dan hipoksia hepatoseluler. Edema perifer adalah

manifestasi cardinal jantung, namun hal ini tidaklah spesifik dan biasanya tidak

terdapat pada pasien yang telah mendapat diuretik. Edema perifer biasanya

simetris, beratya tergantung pada gagal jantung yang terjadi, dan paling sering

terjadi sekitar pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih

beraktivitas.

f. Cardiac cachexia

Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat ditandai dengan penurunan berat

badan dan cachexia yang bermakana. Mekanisme dari cachexia pada gagal

jantung dapat melibatkan banyak faktor dan termasuk peningkatan resting

metabolic rate, anorexia, nausea, dan muntah akibat hepatomegali kongestif dan

perasaan penuh pada perut. Jika ditemukan, cachexia menandakan prognosis

keseluruhan yang buruk.

• Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan yang umum dilakukan pada gagal jantung antara lain adalah darah

rutin, urin rutin, elektrolit (Na dan K), ureum dan kreatinin, SGOT/SGPT, dan

39

Page 40: 236597716 case-besar-chf-finish

BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada pasien dengan gagal jantung

dengan tujuan untuk mendeteksi anemia, gangguan elektrolit, menilai fungsi

ginjal dan hati mangukur brain natriuretic peptide (beratnya gangguan

hemodinamik). Pengukuran brain natriuretic peptide (BNP) membedakan

penyebab sesak dari jantung dan dari paru (>100 pg/mL pada gagal jantung).3

Pemeriksaan darah lengkap dan enzim hati dapat dilakukan cardiac troponin

sedikit meningkat.4

Foto thoraks

Pemeriksaan Chest X-Ray dilakukan untuk menilai ukuran dan bentuk jantung,

struktur dan perfusi dari paru. Kardiomegali dapat dinilai melalui pengukuran

cardiothoracic ratio (CTR) yang lebih dari 50%, atau ketika ukuran jantung

lebih besar dari setengah ukuran diameter dada, telah menjadi parameter penting

pada follow-ip pasien dengan gagal jantung.

EKG

Pemeriksaan EKG 12 lead dianjurkan untuk dilakukan. Kepentingan utama dari

EKG adalah untuk menilai ritme, menentukan keberadaan hipertrofi pada

ventrikel kiri atau riwayat Infark myocard (ada atau tidaknya Q wave). EKG

normal biasanya menyingkirkan adanya disfungsi diastolic pada ventrikel kiri.

Ekokardiografi

Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi jantung,

miokardium dan pericardium, dan mengevalusi gerakan regional dinding

jantung saat istirahat dan saat diberikan stress farmakologis pada gagal jantung.

Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah penilaian Left

ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya remodeling ventrikel kiri, dan

perubahan pada fungsi diastolik.

Diagnosis Gagal Jantung

Dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG atau foto thorax,

ekokardigrafi-doppler dan kateterisasi.

Klasifikasi fungsional dari The New York Heart Association (NYHA), umum dipakai

untuk menyatakan hubungan antara awitan gejala dan derajat latihan fisik

40

Page 41: 236597716 case-besar-chf-finish

1. Klas I Tidak timbul gejala pada aktivitas sehari-hari, gejala akan timbul pada

aktivitas yang lebih berat dari aktivitas sehari-hari.

2. Klas II Gejala timbul pada aktivitas sehari-hari.

3. Klas III Gejala timbul pada aktivitas lebih ringan dari aktivitas sehari-hari.

4. Klas IV Gejala timbul pada saat istirahat.

Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif.

Kriteria mayor:

1. Paroksismal nokturnal dispneu

2. Distensi vena leher

3. Ronkhi paru

4. Kardiomegali

5. Edema paru akut

6. Gallop S3

7. Peninggian tekanan vena jugularis

8. Refluks hepatojugular

Kriteria minor:

1. Edema ekstremitas

2. Batuk mala hari

3. Dispneu de effort

4. Hepatomegali

5. Efusi pleura

6. Takikardi

7. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

Diagnosis gagal jantug ditegakkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 minor.

Diagnosis banding

1. Kor Pulmonale

Kor pulmonale merupakan pembesaran jantung kanan akibat penyakit paru

primer, akan menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya menjadi gagal

41

Page 42: 236597716 case-besar-chf-finish

ventrikel kanan.3 Kor pulmonal juga dapat diartikan sebagai hipertrofi/dilatasi

ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit parenkim paru

dan atau pembuluh darah paru yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung kiri.

Untuk menetapkan adanya kor pulmonal secara klinis pada pasien gagal napas

diperlukan tanda pada pemeriksaan fisis yakni edema. Kor pulmonal akut adalah

peregangan atau pembebanan akibat hipertensi pulmonal akut, sering disebabkan oleh

emboli paru masif, sedangkan kor pulmonal kronis adalah hipertrofi dan dilatasi

ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan penyakit paru

obstruktif atau restriktif.4 Etiologi meliputi:

• Penyakit parenkim paru atau jalan napas. Penyakit paru obstruksi kronis

(PPOK), penyakit paru interstisial, bronkiektasi, fibrosis kistik.

• Penyakit vaskular paru. Emboli paru berulang, hipertensi paru primer (PHT),

vaskulitis, anemia sel sabit.

• Ventilasi mekanik yang adekuat. Kifoskoliosis, kelainan neuromuskular,

obesitas nyata, sleep apnea.3

Penyakit paru kronis akan mengakibatkan: (1) berkurangnya “vascular bed”

paru,

dapat disebabkan oleh semakin terdesaknya pembuluh darah oleh paru yang

mengembang atau kerusakan paru; (2) asidosis dan hiperkapnia; (3) hipoksia alveolar,

yang akan merangsang vasokonstriksi pembuluh paru; (4) polisitemia dan

hiperviskositas darah. Keempat kelainan ini akan menyebabkan timbulnya hipertensi

pulmonal (perjalanan lambat). Dalam jangka panjang akan mengakibatkan hipertrofi

dan dilatasi ventrikel kanan dan kemudian akan berlanjut menjadi gagal jantung

kanan. Tingkat klinis kor pulmonal dimulai PPOK kemudian PPOK dengan hipertensi

pulmonal dan akhirnya menjadi PPOK dengan hipertensi pulmonal serta gagal

jantung kanan.4

Gejala dari kor pulmonale tergantung pada penyebab yang mendasarinya

tetapi meliputi sesak napas, batuk kelelahan dan produksi sputum (pada penyakit

parenkim). Pada pemeriksaan fisik terhadap pasien yang menderita kor pulmonale

akan ditemukan napas cepat, sianosis, jari tabuh. Impuls RV (Right Ventricel)

sepanjang tepi sternal kiri, P2 keras, S4 sisi kanan. Jika berkembang gagal RV, tekanan

vena jugularis meningkat, hepatomegali dengan asites, edema kaki. Dapat terdengar

bising dari regurgitasi trikuspid.3

42

Page 43: 236597716 case-besar-chf-finish

Pada hasil EKG untuk kor pulmonale, akan didapatkan hipertrofi RV dan

pembesaran RA (Right Atrium), sering takiaritmia. Foto toraks memperlihatkan RV

dan arteri pulmonalis membesar; jika ada PHT, ikuti percabangan arteri pulmonalis.

CT dada untuk melihat emfisema, penyakit paru interstisial dan emboli paru akut.

V/Q scan lebih dapat dipercaya untuk diagnosis tromboemboli kronis. Tes fungsi paru

dan analisis gas darah mencirikan penyakit paru intrinsik. Pada hasil ekokardiogram,

hipertrofi ventrikel kanan (RV); fungsi ventrikel kiri normal. Tekanan sistolik RV

dapat diperkirakan dari pengukuran Doppler aliran regurgitasi trikuspid. Jika

pencitraan sulit karena udara dalam paru yang meregang, volume RV dan ketebalan

dinding dapat dinilai dengan MRI.3

Penatalaksanaan untuk kor pulmonale ditujukan pada penyakit paru yang

mendasarinya dan meliputi bronkodilator, antibiotika dan pemberian oksigen. Jika ada

gagal RV, obati seperti CHF, diet rendah natrium dan diuretik; digoksin harus

diberikan secara hati-hati (toksisitas meningkat karena hipoksemia, hiperkapnia,

asidosis). Diuretik lengkung Henle juga harus digunakan dengan hati-hati untuk

mencegah alkalosis metabolik yang berat yang mengganggu usaha pernapasan. Taki-

aritmia supraventrikular sering terjadi dan obati dengan digoksin atau verapamil

(sebaiknya menghindari penggunaan beta blocker). Antikoagulasi kronis dengan

warfarin diindikasikan ketika hipertensi pulmonal diikuti dengan gagal RV.3

2. Kardiomiopati

Adalah kelainan dari otot jantung yang tidak ada kaitanya dengan penyakit

perikardium, hipertensi, koroner, kelainan katup. Berdasarkan patofisiologi

kardiomiopati dibagi atas kardiomiopati dilatasi, hipertrofi, restriktif. Penyakit ini

kebanyakan mengenai usia pertengahan dan lebih sering ditemukan pada pria

dibanding wanita. Penyebab dari kardiomiopai dilatasi sendiri tidak diketahui dngan

pasti, kemungkinan kelainan ini merupakan hasil akhir dari kerusakan miokard akibat

toksin, infeksi dan zat metabolik. Pemeriksaan enzim konversi angiotensin genetik

diagnosis pasti kardiomiopati. Gejaala klinis hampir sama dengan gagal jantung

secara umum. Pada pemeriksaan dengan ekokardiografi dan ventrikulografi radio

nuklir didapatkan gambaran menunjukan dilatasi ventrikel dengan sedikit penebalan

dinding jantung. Pada kardiomiopati dilatasi pertama kali abnormalitas yang

ditemukan adalah perbesaran ventrikel dari disfungsi kontratilitas sitolok dengan

43

Page 44: 236597716 case-besar-chf-finish

tanda gagal jantung kongestif yang timbul kemudian. Penanganan penyakit ini sama

dengan penyakit gagal jantung kongestif.

Upaya Pencegahan Gagal Jantung

Pencegahan gagal jantung, harus selalu menjadi objektif primer terutama pada

kelompok dengan risiko tinggi. Pencegahan-pencegahan yang dapat dilakukan yaitu

(1) obati penyebab potensial dari kerusakan miokard, faktor risiko jantung koroner,

(2) pengobatan infark jantung segera di triase, serta pencegahan infark ulangan, (3)

pengobatan hipertensi yang agresif, (4) koreksi kelainan kongenital serta penyakit

jantung katup, (5) memerlukan pembahasan khusus, dan (6) bila sudah ada disfungsi

miokard, upayakan eliminasi penyebab yang mendasari, selain modulasi progresi dari

disfungsi asimtomatik menjadi gagal jantung.4

Komplikasi Gagal Jantung

Gagal jantung yang tidak ditangani dengan baik, dapat menimbulkan komplikasi.

Beberapa komplikasi yang terjadi akibat gagal jantung yaitu:

• Syok kardiogenik

Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri yang

mengakibatkan gangguan fungsi ventrikel kiri yaitu mengakibatkan

gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke

jaringan yang khas pada syok kardiogenik yang disebabkan oleh infark

miokardium akut adalah hilangnya 40 % atau lebih jaringan otot pada

ventrikel kiri dan nekrosis vocal di seluruh ventrikel karena

ketidakseimbangan antara kebutuhan dan supply oksigen miokardium.

• Tromboemboli

Risiko terjadinya bekuan vena (trombosis vena dalam atau DVT dan

emboli paru, dan emboli sistemik tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa

diturunkan dengan pemberian warfarin.

• Fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF, yang bisa menyebabkan

perburukan dramatis. Hal tersebut merupakan indikasi pemantauan denyut

jantung(dengan pemberian digoksin/ beta blocker) dan pemberian

warfarin.

44

Page 45: 236597716 case-besar-chf-finish

• Aritmia ventrikel sering dijumpai bisa menyebabkan sinkop atau kematian

Jantung mendadak (25-50% kematian pada CHF)

Prognosis

Sejumlah factor yang berkaitan dengan prognosis pada gagal jantung :

1. Klinis

Semakin buruk gejala pasien, kapasitas aktivitas dan gambaran klinis, semakin

buruk prognosis. Berkaitan dengan gungsional class NYHA.

2. Hemodinamik.

Semakin rendah indeks jantung, isi sekuncup dan fraksi ejeksi, semakin buruk

prognosis.

3. Biokimia.

Terdapat hubungan terbalik yang kuat antara norepinefrin, renin, vasopresin, dan

peptide natriuretic plasma. Hiponatremia dikaitkan dengan prognosis yang lebih

buruk.

4. Aritmia.

Fokus ektopik ventrikel yang sering atau takikardia ventrikel pada pengawasan

EKG ambulatory menandakan prognosis yang buruk. Tidak jelas apakah aritmia

ventrikel hanya merupakan penanda prognosis yang buruk apakah aritmia

merupakan penyebab kematian.8

Bronkitis Akut

Definisi

Bronkitis akut adalah peradangan pada bronkus yang disebabkan oleh infeksi saluran

napas yang ditandai dengan batuk (berdahak maupun tidak berdahak) yang

berlangsung hingga 3 minggu.9

Epidemiologi

Di Amerika Serikat, menurut National Center for Health Statistics, kira-kira ada 14

juta orang menderita bronkitis. Lebih dari 12 juta orang menderita bronkitis akut pada

tahun 1994 atau sama dengan 5% populasi Amerika Serikat pada saat itu. Karena

angka kejadiannya yang tinggi bronkitis telah menjadi masalah kesehatan dunia.

Bronkitis akut dipengaruhi 44 dari 1000 orang dewasa per tahun, dan 82% episode

45

Page 46: 236597716 case-besar-chf-finish

terjadi pada musim gugur atau musim dingin. Frekuensi bronkitis lebih banyak pada

populasi dengan status ekonomi rendah dan pada kawasan industri. Bronkitis lebih

banyak terdapat pada laki-laki dibanding wanita. Data epidemiologis di Indonesia

sangat minim. Meskipun ditemukan pada semua kelompok usia, bronkitis akut yang

paling sering didiagnosis pada anak-anak muda dari 5 tahun, sedangkan bronkitis

kronis lebih umum pada orang tua dari 50 tahun.9

Etiologi

Penyebab bronkitis sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas. Pada

kenyataannya kasus-kasus bronkitis dapat timbul secara kongenital maupun didapat.

a. Kelainan kongenital

Dalam hal ini bronkitis terjadi sejak dalam kandungan. Faktor genetik atau

faktor pertumbuhan dan faktor perkembangan fetus memegang peran

penting. Bronkitis yang timbul kongenital ini mempunyai ciri sebagai

berikut :2

- Bronkitis mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau

kedua paru.

- Bronkitis konginetal sering menyertai penyakit-penyakit konginetal

lainya, misalnya : mucoviscidosis ( cystic pulmonary fibrosis),

sindrom kartagener ( bronkiektasis konginetal,sinusitis paranasal

dan situs inversus), hipo atau agamaglobalinemia, bronkiektasis

pada anak kembar satu telur ( anak yang satu dengan bronkiektasis,

ternyata saudara kembarnya juga menderita bronkiektasis),

bronkiektasis sering bersamaan dengan kelainan kongenital berikut

: tidak adanya tulang rawan bronkus, penyakit jantung bawaan,

kifoskoliasis konginetal.

b. Kelainan didapat

Kelainan yang didapat merupakan akibat dari:

46

Page 47: 236597716 case-besar-chf-finish

- Infeksi virus, yang paling umum influenza A dan B, parainfluenza,

RSV, adenovirus, rhinovirus dan coronavirus.

- Infeksi bakteri, seperti yang disebabkan

oleh Mycoplasma spesies, Chlamydia pneumoniae , Streptococcus

pneumoniae, Moraxella catarrhalis, dan Haemophilus influenzae.

- Rokok dan asap rokok.

- Paparan terhadap iritasi, seperti polusi, bahan kimia, dan asap

tembakau, juga dapat menyebabkan iritasi bronkial akut.

- Bahan-bahan yang mengeluarkan polusi.

- Penyakit gastrofaringeal refluk-suatu kondisi dimana asam lambung

naik kembali ke saluran makan (kerongkongan).

- Pekerja yang terekspos dengan debu atau asap.

Patofisiologi

Pada bronkitis terjadi penyempitan saluran pernapasan. Penyempitan ini dapat

menyebabkan obstruksi jalan napas dan menimbulkan sesak. Pada penderita bronkitis

saat terjadi ekspirasi maksimal, saluran pernapasan bagian bawah paru akan lebih

cepat dan lebih banyak yang tertutup. Hal ini akan mengakibatkan ventilasi dan

perfusi yang tidak seimbang, sehingga penyebaran udara pernapasan maupun aliran

darah ke alveoli tidak merata. Timbul hipoksia dan sesak napas. Lebih jauh lagi

hipoksia alveoli menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan polisitemia.

Terjadi hipertensi pulmonal yang dalam jangka lama dapat menimbulkan kor

pulmonal.9

Selain terjadi penyempitan saluran napas, juga terjadi hipersekresi mukus dalam

bronkus karena hipertrofi kelenjar submukosa dan penambahan jumlah sel goblet

pada epitel bronkus. Produksi mukus jadi berlebihan dan kehilangan silia sehingga

pembersihan mukosiliar terhambat dan menimbulkan batuk produktif.10

Gelaja klinis

Pada awalnya gejalanya mirip dengan pneumoni ringan berupa batuk-batuk dengan

dahak mukopurulen, peningkatan suhu tubuh yang belum terlalu tinggi, rasa tak

nyaman di dada dan bisa disertai sesak napas ringan. Bila ditanya dengan cermat,

penderita biasanya juga menyatakan bahwa beberapa hari sebelumnya memang

47

Page 48: 236597716 case-besar-chf-finish

menderita ISPA seperti sakit tenggorokan, hidung tersumbat, sakit kepala, nyeri otot,

kelelahan ekstrim. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya rongki basah dan

wheezing yang tersebar di seluruh lapang paru, tanpa tanda-tanda infiltrat. Juga pada

foto thorax tidak didapatkan tanda-tanda infiltrat. Bila sputum diperiksa dengan

pengecatan Gram akan banyak didapatkan leukosit PMN dan mungkin pula bakteri.11

Diagnosa

Diagnosa di tegakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

a) Anamnesis1,3

Keluhan pokok:

- Gatal-gatal di kerongkongan

- Sakit di sekitar dada

- Batuk kering/batuk berdahak

- Demam yang tidak terlalu tinggi

b) Pemeriksaan fisik11

- Keadaan umum baik: tidak tampak sakit berat, tidak sesak atau

takipnea. Mungkin ada nasofaringitis.

- Paru: ronki basah kasar yang tidak tetap (dapat hilang atau pindah

setelah batuk), wheezing dengan berbagai gradasi (perpanjangan

ekspirasi hingga ngik-ngik) dan krepitasi .

Pemeriksaan penunjang

a) Pemeriksaan laboratorium

- Pada pemeriksaan sputum dengan pengecatan Gram akan banyak

didapat leukosit PMN dan mungkin pula bakteri.

- Uji sensivitas terhadap antibiotic perlu dilakukan bila ada

kecurigaan adanya infeksi sekunder.

- Respon terhadap pemberian kortikosteroid dosis tinggi setiap hari

dapat dipertimbangkan diagnosa dan terapi untuk konfirmasi asma.

48

Page 49: 236597716 case-besar-chf-finish

- Tes keringat yang negative dengan menggunakan pilocarpine

iontophoresis dapat memikirkan kemungkinan fibrosis kistik.

- Pemeriksaan Gas Darah. Perubahan gas darah berupa penurunan

PaO2 menunjukan abnormalitas regional distribusi ventilasi, yang

berpengaruh pada perfusi paru.

b) Tes pencitraan

Dapat dijumpai temuan peningkatan corakan bronkovaskular

tanpa tanda-tanda infiltrat.

c) Tes Faal Paru

Pada penyakit yang lanjut dan difus, kapasitas vital ( KV ) dan

kecepatan aliran udara ekspirasi satu detik pertama ( FEV1 ), terdapat

tendensi penurunan, karena terjadinya obstruksi airan udara pernafasan.

Diagnosis Banding

Sering kali gejala pada bronkitis akut sulit dibedakan dengan beberapa penyakit

saluran pernapasan yang gejalanya mirip dengan bronkitis akut, seperti:3

- Epiglotitis, yaitu suatu infeksi pada epiglotis, yang bisa menyebabkan

penyumbatan saluran pernafasan.

- Bronkiolitis, yaitu suatu peradangan pada bronkiolus (saluran udara yang

merupakan percabangan dari saluran udara utama), yang biasanya

disebabkan oleh infeksi virus.

- Influenza, yaitu penyakit menular yang menyerang saluran napas, dan

sering menjadi wabah yang diperoleh dari menghirup virus influenza.

- Sinusitis, yaitu radang sinus paranasal yaitu rongga-rongga yang terletak

disampig kanan - kiri dan diatas hidung.

- PPOK, yaitu penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran

udara di saluran napas yyang bersifat progresif nonreversibel parsial.

- Faringitis, yaitu suatu peradangan pada tenggorokan (faring) yang

disebabkan oleh virus atau bakteri.

49

Page 50: 236597716 case-besar-chf-finish

- Asma, yaitu suatu penyakit kronik (menahun) yang menyerang saluran

pernafasan (bronchiale) pada paru dimana terdapat peradangan (inflamasi)

dinding rongga bronchiale sehingga mengakibatkan penyempitan saluran

nafas yang akhirnya seseorang mengalami sesak nafas.

- Bronkiektasis, yaitu suatu perusakan dan pelebaran (dilatasi) abnormal

dari saluran pernafasan yang besar.

Penatalaksanaan

Terapi umumnya difokuskan pada pengentasan simptoms. Seorang dokter mungkin

meresepkan kombinasi obat yang terbuka menghalangi saluran udara lendir bronkus

dan obstruktif tipis sehingga dapat batuk dengan lebih mudah.9

- Oksigenasi pasien harus memadai.

- Istirahat yang cukup. Minta pasien beristirahat hingga demamnya

turun.

- Meningkatkan pemberian makanan secara oral pada pasien dengan

demam dan Minum cukup.

- Cara yang paling efektif untuk mengontrol batuk dan produksi

sputum pada pasien dengan bronchitis kronis adalah menghindari

iritasi lingkungan, terutama asap rokok.

Sebagian besar pengobatan bronkitis akut bersifat simptomatis (meredakan keluhan).

Obat-obat yang lazim digunakan, yakni:11

- Antitusif (penekan batuk):

DMP (dekstromethorfan) 15 mg, diminum 2-3 kali sehari.

Codein 10 mg, diminum 3 kali sehari.

Doveri 100 mg, diminum 3 kali sehari.

Obat-obat ini bekerja dengan menekan batuk pada pusat batuk di

otak. Karenanya antitusif tidak dianjurkan pada kehamilan dan bagi

ibu menyusui. Pada penderita bronkitis akut yang disertai sesak

napas, penggunaan antitusif hendaknya dipertimbangkan dan

50

Page 51: 236597716 case-besar-chf-finish

diperlukan feed back dari penderita. Jika penderita merasa tambah

sesak, maka antitusif dihentikan.

- Ekspektorant: adalah obat batuk pengencer dahak agar dahak mudah

dikeluarkan sehingga napas menjadi lega. Ekspektorant yang lazim

digunakan diantaranya: GG (glyceryl guaiacolate) sirup 5m x 3 kali

sehari , bromhexine sirup 10 ml x 3 kali sehari, ambroxol 30 mg x 3

kali sehari, dan lain-lain.

- Antipiretik (pereda panas): parasetamol (asetaminofen) 500 mg, dan

sejenisnya., digunakan jika penderita mengalami demam.

- Bronkodilator (melonggarkan napas), diantaranya: salbutamol (2-4

mg x 3/hari), terbutalin sulfat (2.5 mg x 3/hari), teofilin ( 150mgx

3/hari), dan lain-lain. Obat-obat ini digunakan pada penderita yang

disertai sesak napas atau rasa berat bernapas. Penderita hendaknya

memahami bahwa bronkodilator tidak hanya untuk obat asma, tapi

dapat juga digunakan untuk melonggarkan napas pada bronkitis.

Selain itu, penderita hendaknya mengetahui efek samping obat

bronkodilator yang mungkin dialami oleh penderita, yakni: berdebar,

lemas, gemetar dan keringat dingin. Andaikata mengalami efek

samping tersebut, maka dosis obat diturunkan menjadi setengahnya.

Jika masih berdebar, hendaknya memberitahu dokter agar diberikan

obat bronkodilator jenis lain.

- Antibiotika. Hanya digunakan jika dijumpai tanda-tanda infeksi oleh

kuman berdasarkan pemeriksaan dokter. Dapat diberikan ampisilin,

eritromisin, spiramisin, 3 x 500 mg/hari.

Terapi lanjutan9

Jika terapi antiinflamasi sudah dimulai, lanjutkan terapi hingga gejala menghilang

paling krang 1 minggu. Bronkodilator juga dapat diberikan jika diperlukan

Pasien yang didiagnosis dengan asma dapat diberikan terapi “controller”, yaitu

inhalasi terapi kortikosteroid, antihistamin dan inhibitor leukotrien setiap hari.

Edukasi Pasien

Edukasi pasien sangat penting dalam pencegahan dan pengobatan bronkitis

akut. Pasien harus diberitahu untuk mengambil langkah-langkah berikut:

51

Page 52: 236597716 case-besar-chf-finish

- Hindari merokok dan asap rokok

- Hidup dalam lingkungan yang bersih

- Menerima vaksin influenza tahunan antara Oktober dan Desember

- Menerima vaksin pneumonia setiap 5-10 tahun jika berusia 65 tahun atau

lebih atau dengan penyakit kronis

- Cuci tangan sesering mungkin dan kurangi kebiasaan menggosok hidung

atau mata dengan tangan.

- Gunakan masker saat berada disekitar orang yang menderita flu.

Komplikasi

Komplikasi yang biasanya terjadi akibat bronkitis akut yang tidak mendapat

pengobatan yang adekuat adalah:9

a) Bronkitis Kronik

b) Bronkopneumoni

c) Bronkiektasis

d) Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis

Bronchitis sering mengalami infeksi berulang biasanya sekunder terhadap

infeksi pada saluran nafas bagian atas. Hal ini sering terjadi pada mereka

yang drainase sputumnya kurang baik.

e) Pleuritis

Komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya pneumonia.

Umumnya pleuritis sicca pada daerah yang terkena.

f) Efusi pleura atau emfisema

g) Hemoptoe

Terjadi kerena pecahnya pembuluh darah cabang vena ( arteri

pulmonalis ) , cabang arteri ( arteri bronchialis ) atau anastomisis

pembuluh darah. Komplikasi haemaptoe hebat dan tidak terkendali harus

di rujuk untuk tindakan bedah gawat darurat.

h) Sinusitis

52

Page 53: 236597716 case-besar-chf-finish

Merupakan bagian dari komplikasi bronchitis pada saluran nafas

i) Kegagalan pernapasan

Merupakan komlikasi paling akhir pada bronchitis yang berat dan luas

j) Amiloidosis

Keadaan ini merupakan perubahan degeneratif, sebagai komplikasi klasik

dan jarang terjadi. Pada pasien yang mengalami komplikasi ini dapat

ditemukan pembesaran hati dan limpa serta proteinurea

k) Penyakit-penyakit lain yang di perberat seperti :

- Kor Pulmonal Kronik

Pada kasus ini bila terjadi anastomisis cabang-cabang arteri dan

vena pulmonalis pada dinding bronkus akan terjadi arterio-

venous shunt, terjadi gangguan oksigenasi darah, timbul sianosis

sentral, selanjutnya terjadi hipoksemia. Pada keadaan lanjut akan

terjadi hipertensi pulmonal, kor pulmoner kronik. Selanjutnya

akan terjadi gagal jantung kanan

- Penyakit jantung rematik

- Hipertensi

- Abses Metastasis di otak

Akibat septikemi oleh kuman penyebab infeksi supuratif pada

bronkus. Sering menjadi penyebab kematian

Prognosis

Kemungkinan sembuh bagi penderita bronkitis akut sangat baik jika penderita cepat

berkonsultasi ke dokter, melakukan tindakan konservatif yang disarankan dokter dan

meminum obat yang diberikan dokter.9

Gagal Ginjal Akut

AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam 48

jam) ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25 μmol/L)

53

Page 54: 236597716 case-besar-chf-finish

atau meningkat sekitar 50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama

>6 jam (Molitoris et al, 2007).

Suatu kondisi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya kemampuan

ginjal untuk mengekskresikan sisa metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan

cairan (Eric Scott, 2008).

Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju

filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan

ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit (Brady et al, 2005).

Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsidasarnya normal (AKI

“klasik”) atau tidak normal (acute onchronic kidney disease). Dahulu, hal di atas

disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam,

sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-

beda pada berbagai kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain

kesulitan membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan meta-analisis,

penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat diagnosis dini dan spesifisitas kriteria

untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat menggambarkan prognosis

pasien (Mehta et al, 2003)

Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan

para nefrolog dan intensives di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah

ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat

membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure

menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal.

Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut beberapa hal antara lain (1)

kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap penyakit; (2) sedikit saja perbedaan

kadar kreatinin (Cr) serum ternyata mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria

diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan urine

output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan Cr serum; (4)penetapan

gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum adanya

penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat

dilakukan di mana saja (Rusli R, 2007).

Acute Kitney Injury

Etiologi

54

Page 55: 236597716 case-besar-chf-finish

Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni

(1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan

pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung

menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3)

penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka

kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari tempat terjadinya AKI. Salah satu cara

klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi etiologi AKI (Robert Sinto, 2010)

AKI Prarenal I. Hipovolemia- Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular- Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia,

obstruksi- usus- Kehilangan darah- Kehilangan cairan ke luar tubuh- Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui

saluran- kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui

kulit- (luka bakar)

II. Penurunan curah jantung- Penyebab miokard: infark, kardiomiopati- Penyebab perikard: tamponade- Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal- Aritmia- Penyebab katup jantung

III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik- Penurunan resistensi vaskular perifer- Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis

berlebihan- (contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi)- Vasokonstriksi ginjal- Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin,

takrolimus,- amphotericin B- Hipoperfusi ginjal lokal

55

Page 56: 236597716 case-besar-chf-finish

- Stenosis a.renalis, hipertensi malignaIV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal

- Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen- Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis,

hipertensi- kronik, PGK (penyakit ginjal kronik), hipertensi

maligna),- penurunan prostaglandin (penggunaan OAINS, COX-2

inhibi- tor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis,

hiperkalsemia,- sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus,

radiokontras)- Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen- Penggunaan penyekat ACE, ARB- Stenosis a. renalis

V. Sindrom hiperviskositas- Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia

AKI Renal I. Obstruksi renovaskular- Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis,

emboli,- diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis

(trombosis,- kompresi)

II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal- Glomerulonefritis, vaskulitis

III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)- Iskemia (serupa AKI prarenal)- Toksin- Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik,

kemoterapi,- pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis,

hemolisis,- asam urat, oksalat, mieloma)

IV. Nefritis interstitial- Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi

(bakteri,- viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis),- idiopatik

V. Obstruksi dan deposisi intratubular- Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir,

metotreksat,sulfonamida

VI. Rejeksi alograf ginjalAKI pascarenal I. Obstruksi ureter

- Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresieksternal

II. Obstruksi leher kandung kemih- Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu,

56

Page 57: 236597716 case-besar-chf-finish

keganasan, darahIII. Obstruksi uretra

- Striktur, katup kongenital, fimosis

Klasifikasi AKI

ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3

kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria

UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang

menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel 2. (Rusli

R, 2007).

Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007

Kategori Peningkatan kadar SCr

Penurunan LFG Kriteria UO

Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,>6 jam

Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,>12 jam

Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam, >24 jam

Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4minggu

End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3Bulan

Patofisiologi

Patofisiologi Aki dapat dibagi menjadi mikrovaskular dan komponen tubular seperti

yang terdapat didalam gambar (Bonventre, 2008) berikut ini:

57

Page 58: 236597716 case-besar-chf-finish

Gambar 1. Patofisiologi AKI (Bonventre, 2008)

Patofisiologi dari AKI dapat dibagi menjadi komponen mikrovaskular dan tubular,

bentuk lebih lanjutnya dapat dibagi menjadi proglomerular dan komponen pembuluh

medulla ginjal terluar. Pada AKI, terdapat peningkatan vasokonstriksi dan penurunan

vasodilatasi pada respon yang menunjukkan ginjal post iskemik. Dengan peningkatan

endhotelial dan kerusakan sel otot polos pembuluh, terdapat peningkatan adhesi

leukosit endothelial yang menyebabkan aktivasi system koagulasi dan obstruksi

pembuluh dengan aktivasi leukosit dan berpotensi terjadi inflamasi.

Pada tingkat tubuler, terdapat kerusakan dan hilangnya polaritas dengan diikuti oleh

apoptosis dan nekrosis, obstruksi intratubular, dan kembali terjadi kebocoran filtrate

glomerulus melalui membrane polos dasar. Sebagai tambahan, sel-sel tubulus

menyebabkan mediator vasoaktif inflamatori, sehingga mempengaruhi vascular untuk

meningkatkan kerjasama vascular. Mekanisme positif feedback kemudian terjadi

sebagai hasil kerjasama vascular untuk menurunkan pengiriman oksigen ke tubulus,

sehingga menyebabkan mediator vasoaktif inflamatori meningkatkan vasokonstriksi

dan interaksi endothelial-leukosit. Bonventre (2008)

Pendekatan Diagnosis

1. Pemeriksaan Klinis

Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan berat

badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS,

penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi

58

Page 59: 236597716 case-besar-chf-finish

ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor

kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal

jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya

pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal

toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin

endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya

perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang menyokong seperti gejala trombosis,

glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna.

AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau suprapubik

akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri

pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut.

Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat

pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran

prostat. Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik

dan temuan disfungsi saraf otonom (Robert Sinto, 2010).

2. Pemeriksaan Penunjang

Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus,

tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang

didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga

menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat

ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan

menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain

pigmented “muddy brown” granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang

dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis

tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented “muddy brown” granular cast pada

nefritis interstitial (Schrier et al, 2004).

Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin

(osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada

penentuan tipe AKI, seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3. Kelainan analisis urin (Robert Sinto, 2010)

59

Page 60: 236597716 case-besar-chf-finish

Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah

pemeriksaan urin residu pascaberkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc,

didukung dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi

pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan

pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat

dilakukan sesuai indikasi.

Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang

belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan.

Pemeriksaan tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non-ATN yang

memiliki tata laksana spesifik, seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain

(Brady HR, 2005).

Penatalaksanaan

1. Terapi nutrisi

Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari enyakit dasarnya dan kondisi

komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan

status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dan telah dimodifikasi oleh

Sutarjo seperti pada tabel berikut:

Tabel 4. Kebutuhan nutrisi klien dengan AKI (Sutarjo, 2008)

60

Page 61: 236597716 case-besar-chf-finish

2. Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin

Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama

berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial.

Obatobatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja

menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi

sel thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis

pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas

dasar hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik

menjadi non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan

cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis. Meskipun demikian, pada keadaan tanpa

fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan

cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai

bagian dari tata laksana AKI adalah: (Mohani, 2008)

a. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak

dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau

dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam

15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih

dahulu.

61

Page 62: 236597716 case-besar-chf-finish

b. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada

AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap

awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam).

Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak terlihat,

dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam

atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha

tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk

meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil

(keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan

dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas (Robert,

2010).

Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga

dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun

kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih

jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan

kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih

dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat

meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien

(Sja’bani, 2008).

Dopamin dosis rendah (0,5-3 μg/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata

laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal.

Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal,

menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal,

LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan

vasokonstriksi.

Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu

terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak

terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma

dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum

yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti

hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat

sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis

pada literatur.

62

Page 63: 236597716 case-besar-chf-finish

Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti

bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard,

takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangrene digiti, dan lain-lain. Jika tetap

hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons

selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan

penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan untuk

pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki

hemodinamik dan fungsi ginjal (Robert Sinto, 2010).

Komplikasi dan Penatalaksanan

Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara konservatif,

sesuai dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Cardiak sirosis

Congestive hepatopathy merupakan kelainan hati yang sering dijumpai pada penderita

gagal jantung. Kelainan ini ditandai dengan adanya gejala klinis gagal jantung

(terutama gagal jantung kanan), tes fungsi hati yang abnormal dan tidak ditemukan

penyebab lain dari disfungsi hati (Allen, 2008; Lau, 2002). Congestive hepatopathy

63

Page 64: 236597716 case-besar-chf-finish

juga dikenal dengan istilah cardiac hepatopathy, nutmeg liver, atau chronic passive

hepatic congestion. Bila kondisi ini berlangsung lama akan mengakibatkan timbulnya

jaringan fibrosis pada hati, yang sering disebut dengan cardiac cirrhosis atau cardiac

fibrosis.

Meskipun cardiac cirrhosis menggunakan istilah sirosis, jarang memenuhi kriteria

patologis sirosis. Congestive hepatopathy ini sangat sulit dibedakan dari sirosis hati

primer karena klinisnya relatif tidak spesifik. Tetapi tidak sama seperti sirosis yang

disebabkan oleh hepatitis virus atau penggunaan alkohol, pengobatan ditujukan pada

pengelolaan gagal jantung sebagai penyakit dasar (Bayraktar, 2007; Myers, 2003;

Giallourakis, 2002; Wanless, 1995).

Patogenesis congestive hepatopathy umumnya dianggap sebagai reaksi stroma hati

terhadap hipoksia, tekanan atau nekrosis hepatoselular. Tetapi hal ini tidak

menjelaskan hubungan antara gejala dan tingkat keparahan fibrosis, dimana pada

pasien jantung dekompensasi pada derajat yang sama, fibrosis tidak selalu terjadi.

Patogenesis congestive hepatopathy penting, karena definisi congestive hepatopathy

masih menjadi perdebatan (Wanless, 1995).

Prevalensi congestive hepatopathy tidak jelas. Tidak ada data perbandingan laki-laki

dan wanita untuk congestive hepatopathy, namun karena gagal jantung kongestif lebih

sering terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita, kemungkinan yang sama untuk

congestive hepatopathy (Mathew, 2004; Burns, 1997).

PATOFISIOLOGI

Congestive hepatopathy disebabkan oleh dekompensasi ventrikel kanan jantung atau

gagal jantung biventrikular. Dimana terjadi peningkatan tekanan atrium kanan ke hati

melalui vena kava inferior dan vena hepatik. Ini merupakan komplikasi umum dari

gagal jantung kongestif, dimana akibat anatomi yang berdekatan terjadi peningkatan

tekanan vena sentral secara langsung dari atrium kanan ke vena hepatik (Nowak,

2004; Gore, 1994).

Penyebab paling umum dari gagal jantung kongestif pada usia lanjut berdasarkan data

dari RS.Dr.Kariadi pada tahun 2006 adalah penyakit jantung iskemik 65,63%,

penyakit jantung hipertensi 15,63%, kardiomiopati 9,38%, penyakit katub jantung,

rheumatic heart disease, penyakit jantung pulmonal masing-masing 3,13%. Penyebab

paling umum dari gagal jantung kongestif pada usia lebih muda adalah penyakit

jantung iskemik 55%, penyakit katub jantung 15%, kardiomiopati 12,5%, rheumatic

64

Page 65: 236597716 case-besar-chf-finish

heart disease 7,5%, penyakit jantung bawaan 5%, penyakit jantung hipertensi dan

penyakit jantung pulmonal keduanya 2,5%. Tidak ada perbedaan etiologi gagal

jantung kongestif antara pasien muda dan tua, dimana penyebab terbanyak adalah

penyakit jantung iskemik (Ardini,2007).

Pada tingkat selular, kongesti vena menghambat efisiensi aliran darah sinusoid ke

venula terminal hati. Stasis darah dalam parenkim hepar terjadi karena usaha hepar

mengatasi perubahan saluran darah vena. Sebagai usaha mengakomodasi aliran balik

darah (backflow), sinusoid hati membesar, mengakibatkan hepar menjadi besar. Stasis

sinusoid menyebabkan akumulasi deoksigenasi darah, atrofi parenkim hati, nekrosis,

deposisi kolagen dan fibrosis.

Hepatosit mempunyai sifat sangat sensitif terhadap trauma iskemik, meski dalam

jangka waktu yang pendek. Hepatosit dapat rusak oleh berbagai kondisi, seperti

arterial hypoxia, acute left sided heart failure, central venous hypertension (Nowak,

2004; Gore, 1994). Stasis kemudian menyebabkan timbulnya trombosis. Trombosis

sinusoid memperburuk stasis, dimana trombosis menambah aktivasi fibroblast dan

deposisi kolagen. Dalam kondisi yang parah menyebabkan nekrosis berlanjut

menyebabkan hilangnya parenkim hati, dan dapat menyebabkan trombosis pada vena

hepatik. Proses ini sering diperparah oleh trombosis lokal vena porta (Wanless,

1995).

Pembengkakan sinusoidal dan perdarahan akibat nekrosis nampak jelas di area

perivenular dari liver acinus. Fibrosis berkembang di daerah perivenular, akhirnya

menyebabkan timbulnya jembatan fibrosis antara vena sentral yang berdekatan. Hal

ini menyebabkan proses cardiac fibrosis, oleh karena itu tidak tepat disebut sebagai

cardiac cirrhosis karena berbeda dengan sirosis hati dimana jembatan fibrosis

cenderung untuk berdekatan dengan daerah portal. Regenerasi hepatosit periportal

pada kondisi ini dapat mengakibatkan regenerasi hiperplasia nodular. Nodul

cenderung kurang bulat dan sering menunjukkan koneksi antar nodul (Bayraktar,

2007; Wanless, 1995).

Cardiac cirrhosis telah didefinisikan dalam berbagai cara dan telah ditetapkan sebagai

klinis dari hipertensi portal atau akibat penyakit jantung kongestif. Pada kongestif

kronis, hipoksia berkelanjutan menghambat regenerasi hepatoselular dan membentuk

jaringan fibrosis, yang akan mengarah ke cardiac cirrhosis. Definisi morfologi fibrosis

telah seragam, tetapi beberapa penulis tidak menganggap cardiac cirrhosis sebagai

65

Page 66: 236597716 case-besar-chf-finish

sirosis sebenarnya karena sebagian besar cardiac cirrhosis bersifat fokal dan gangguan

arsitektur serta fibrosis secara menyeluruh tidak separah sirosis tipe yang lain.

Istilah congestive hepatopathy dan chronic passive hepatic congestion lebih akurat,

tetapi istilah cardiac cirrhosis telah menjadi konvensi. Oleh karena itu istilah cardiac

cirrhosis banyak digunakan untuk congestive hepatopathy dengan atau tanpa fibrosis

hati (Faya, 2008; Bayraktar, 2007; Myers, 2003; Wanless, 1995; Gore, 1994).

Distorsi struktur hati nampak pada saat parenkim hati rusak dan parenkim yang

berbatasan memperluas menuju daerah parenkim yang rusak. Sirosis dapat

didefinisikan sebagai distorsi struktur hati disertai fibrosis pada daerah parenkim hati

yang musnah. Pada saat perubahan menunjukkan kehadiran nodul pada sebagian

besar organ, secara umum dianggap sirosis. Hanya saja deskripsi kualitatif tidak dapat

mendeskripsikan semua tahapan pada pada penyakit, oleh karena itu diperlukan

nomenklatur menyangkut aspek kuantitatif fibrosis hati dan sirosis.

MANIFESTASI KLINIS

Tanda dan gejala

Gangguan fungsi hati pada congestive hepatopathy biasanya ringan dan tanpa gejala.

Sering terdeteksi secara kebetulan pada pengujian biokimia rutin. Tanda dan gejala

dapat muncul berupa ikterus ringan. Pada gagal jantung berat, ikterus dapat muncul

lebih berat dan menunjukkan kolestasis. Timbul ketidaknyamanan pada kuadran

kanan atas abdomen akibat peregangan kapsul hati. Kadang-kadang gambaran klinis

dapat menyerupai hepatitis virus akut, dimana timbul ikterus disertai peningkatan

aminotransferase.

66

Page 67: 236597716 case-besar-chf-finish

Beberapa kasus gagal hati fulminan yang mengakibatkan kematian telah dilaporkan

akibat gagal jantung kongestif. Namun sebagian besar disebabkan pasien memiliki

hepatic congestion dan iskemia. Gejala seperti dispnea exertional, ortopnea dan

angina serta temuan fisik seperti peningkatan vena jugularis, murmur jantung dapat

membantu membedakan congestive hepatopathy dengan penyakit hati primer.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan hepatomegali lunak, kadang masif, batas tepi hati

tegas, dan halus. Splenomegali jarang terjadi. Asites dan edema dapat tampak, tetapi

tidak disebabkan oleh kerusakan hati, melainkan akibat gagal jantung kanan

(Bayraktar, 2007; Myers, 2003).

LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium pada congestive hepatopathy menunjukkan peningkatan

Liver Function Test (LFT) yang berkarakter cholestatic profile yakni Alkaline

Phosphatase (ALP), Gamma Glutamyl Transpeptidase (GGT) dan bilirubin, serta

hipoalbumin, bukan hepatitic profile, Alanine transaminase (ALT) dan Aspartate

transaminase (AST). ALP dan GGT meningkat akibat meningkatnya sistesis protein

enzim, yang biasanya disertai peningkatan bilirubin (kecuali terjadi obstruksi bilier

atau intrahepatal). Karena ALP diproduksi oleh hepatosit dan GGT oleh sel epitel

bilier. Bilirubin yang meningkat adalah bilirubin total, sebagian besar yang tidak

terkonjugasi. Hiperbilirubinemia terjadi sekitar 70% pasien dengan congestive

hepatopathy. Hiperbilirubinemia yang berat mungkin dapat terjadi pada pasien dengan

gagal jantung kanan yang berat dan akut (Allen, 2009; Bayraktar, 2007; Pincus, 2006;

Giannini, 2005; Lau, 2002).

Meskipun terjadi deep jaundice, serum alkaline phospatase level pada umumnya

hanya meningkat sedikit sehingga dapat membedakan congestive hepatopathy dengan

ikterus obstruksi. Serum aminotransferase level menunjukkan peningkatan ringan,

kecuali terjadi hepatitis iskemia, dimana dapat terjadi peningkatan serum

aminotransferase (AST dan ALT) yang tajam. Prothrombin time dapat sedikit

terganggu, albumin dapat turun dan serum ammonia level dapat meningkat. Serologi

hepatitis virus perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya virus

tersebut (Allen, 2009; Bayraktar, 2007; Pincus, 2006; Giannini, 2005; Lau, 2002).

Diagnosa paracentesis cairan asites pada congestive hepatopathy menunjukkan

tingginya protein dan gradien serum albumin >1,1g/dL. Hal ini menunjukkan

konstribusi dari hepatic lymph dan hipertensi portal. Perbaikan LFT setelah

67

Page 68: 236597716 case-besar-chf-finish

pengobatan penyakit jantung mendukung diagnosa congestive hepatopathy

(Bayraktar, 2007).

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Pemeriksaan radiologi yang menunjang pemeriksaan congestive hepatopathy:

- Abdominal Doppler ultrasonography : dipertimbangkan bila klinis terdapat asites,

nyeri perut kuadran kanan atas, ikterus dan/atau serum LFT abnormal yang

refrakter terhadap pengobatan gagal jantung yang mendasari. Pemeriksaan ini

dilakukan untuk mencari diagnosa alternatif seperti sindroma Budd-Chiari

(Martinez, 2011, Bayraktar, 2007).

- CT scan dan MRI : Pemeriksaan ini dapat menunjukkan cardiac cirrhosis,

termasuk hepatomegali, hepatic congestion, pembesaran vena cava inferior dan

splenomegali (Martinez, 2011).

Pemeriksaan radiologi untuk menunjang pemeriksaan penyakit dasar congestive

hepatopathy:

- X foto dada : dapat menunjukkan kardiomegali, hipertensi vena pulmonal,

perubahan pada ruang jantung dan miokard tergantung pada penyebab gagal

jantung. Paru-paru menunjukkan chronic passive congestion, tampak edema

interstitial atau paru-paru, atau efusi pleura (Martinez, 2011; Brashers, 2009;

Bayraktar, 2007).

- Transthoracic Echocardiogram dengan Doppler : mendiagnosa penyakit dasar

penyebab cardiac cirrhosis. Tampak adanya peningkatan arteri pulmonalis, dilatasi

sisi kanan jantung, Tricuspid Regurgitasi (TR), diastolic ventricular filling yang

abnormal (Martinez, 2011; Brashers, 2009).

- Radionuclide imaging dengan thallium atau technetium merupakan pemeriksaan

noninvasif yang berarti. Tujuannya untuk mengidentifikasi reversible cardiac

ischemia pada pasien cardiac cirrhosis pada gagal jantung kompensasi atau

dekompensasi. Technetium-labeled agents dan positron-emission tomography

(PET) mengidentifikasi dilated cardiomyopathy dan menentukan fungsi miokard

(Martinez, 2011; Brashers, 2009).

- CT scan dan MRI mengidentifikasikan pembesaran ruang jantung, hipertrofi

ventrikel, diffuse cardiomyopathy, valvular disease dan kelainan struktural yang

lain. Keduanya dapat mengukur ejection fraction dan effectively rule out cardiac

cirrhosis (Martinez, 2011).

PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI

68

Page 69: 236597716 case-besar-chf-finish

Biopsi hati dapat membantu menegakkan diagnosa. Patologi pada kelainan ini dikenal

dengan istilah nutmeg liver. Istilah ini dikarenakan penampilan hati pada congestive

hepatopathy merupakan perpaduan 2 area, yakni area kontras berwarna merah yang

diakibatkan sinusoidal congestion dan perdarahan pada area nekrosis di sekeliling

vena hepatika yang membesar, serta area berwarna kekuningan yang merupakan area

hati normal atau fatty liver tissue (Guido, 2011; Allen, 2009; Lasitschka, 2009;

Bayraktar, 2007).

- Congestive hepatopathy : terjadi penyatuan darah merah di dekat vena sentral dari

beberapa vena sentral dari beberapa lobulus. Dalam proses ini fibrosis terjadi dari

dalam ke luar lobulus.

- Sirosis alkoholik : Alkohol yang berasal dari usus, awal bersentuhan dengan

hepatosit di portal triad, oleh karena itu yang pertama terpengaruh toksisitas

alkohol adalah hepatosit. Fibrosis akan terbentuk dari bagian luar ke dalam lobus,

lobulus sendiri terhindar dari kerusakan.

- Sirosis hati karena virus : virus hepatitis, utamanya hepatitis B menyebabkan

nekrosis luas hati, kerusakan meliputi lobulus dan interstitium sehingga jaringan

sulit dikenali.

DIAGNOSA BANDING

- Veno-occlusive disease : obstruksi pada sinusoid hati dan venul terminal. Kelainan

ini disebabkan oleh kerusakan endotel sinusoid karena Hematopoietic Stem Cell

Transplantation, kemoterapi, radioterapi abdominal dan pyrrolizidine alkaloids

(Bayraktar, 2007).

- Sindroma Budd-Chiari : obstruksi dari vena hepatik ke ujung superior vena cava

inferior. Kelainan ini disebabkan trombosis vena hepatik, pembuntuan vena cava

inferior, kompresi vena cava inferior oleh tumor, kista, abses (Bayraktar, 2007).

TATALAKSANA

Pengobatan penyakit dasar sangat penting untuk manajemen congestive hepatopathy.

Ikterus dan asites biasanya respon dengan baik terhadap diuresis. Jika gagal jantung

diobati dengan sukses, awal perubahan histologi congestive hepatopathy dapat diatasi

dan bahkan cardiac fibrosis mungkin secara histologis dan klinis mengalami regresi

(Bayraktar, 2007; Figueroa, 2006).

PROGNOSA

69

Page 70: 236597716 case-besar-chf-finish

Penderita dengan congestive hepatopathy meninggal terbanyak diakibatkan oleh

penyakit jantung itu sendiri. Kelainan hati jarang memberi konstribusi pada

morbiditas dan mortalitas pasien congestive hepatopathy. Tidak seperti pasien sirosis

hati, pasien dengan cardiac cirrhosis jarang menyebabkan komplikasi serius seperti

perdarahan varises esofagus.

Congestive hepatopathy yang mengakibatkan hepatocellular carcinoma jarang

dilaporkan. Namun, insiden hepatocellular carcinoma dan gagal hati karena

congestive hepatopathy kemungkinan meningkat diakibatkan peningkatan survival

pasien ini dengan kemajuan dalam pengobatan gagal jantung (Bayraktar, 2007).

RINGKASAN

Congestive hepatopathy merupakan kelainan hati yang sulit dibedakan dari sirosis hati

primer karena klinisnya relatif tidak spesifik. Definisinya masih diperdebatkan.

Ditandai dengan trias adanya gejala klinis gagal jantung (terutama gagal jantung

kanan), tes fungsi hati yang abnormal dan tidak ditemukan penyebab lain dari

disfungsi hati. Fibrosis pada congestive hepatopathy tidak tepat disebut cardiac

cirrhosis, tetapi istilah cardiac cirrhosis banyak digunakan untuk congestive

hepatopathy dengan atau tanpa fibrosis hati Diagnosis ditegakkan dari manifestasi

klinis didukung dengan laboratorium penunjang dan pemeriksaan tambahan. Terapi

terpenting adalah mengobati penyakit dasarnya. Prognosa congestive hepatopathy

jarang meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

Daftar Pustaka

1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga,

2007.h. 11-116.

2. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC, 2009.h. 40-1.

3. Saputra L. Buku saku Harrison kardiologi. Tangerang: KARISMA, 2012.h. 145-

58.

4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu

penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing, 2010.h. 1583-842.

5. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi

ke-6. Jakarta: EGC, 2005.h. 632-9.

6. Naga SS. Buku panduan lengkap ilmu penyakit dalam. Jogjakarta: DIVA Press,

2012.h. 96-107.

70

Page 71: 236597716 case-besar-chf-finish

7. McPhee SJ, Ganong WF. Patofisiologi penyakit: pengantar menuju kedokteran

klinis. Edisi ke-5. Jakarta: EGC, 2010.h. 293-301.

8. Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, Simpson IA. Kardiologi. Edisi ke-4.

Jakarta: Erlangga, 2005.h. 80-5.

9. Danusantoso H. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Hipokrates,

2000.hlm.70-73.

10. American Journal of Kidney Disease. 2006. Hemodialysis Guidelines. Diakses

darihttp://www.kidney.org/professionals/kdoqi/pdf/12-5

0210_JAG_DCP_Guidelines HD_Oct06_SectionA_ofC.pdf pada tanggal 12 Mei

2012

11. Bonventre, Joseph, MD, PhD. Pathophysiology of Acute Kidney Injury.

Nephrology rounds (2007), Volume 6 Issue 7.

12. Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS, Longo

DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editor. Harrison’s principle of internal

medicine. Ed 16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53.

71