2proposal penelitian intrenship

34
1 Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Penanggulangan Gizi Buruk di Desa Hargomulyo, Kecamatan Kokap, Kulon Progo, Yogyakarta BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Kasus gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia saat ini masih sangat Data kesehatan anak saat ini berdasar hasil riset kesehatan dasar (riskes 2010, menunjukkan angka balita kurang gizi diangka 17,9 persen, nilainya dibanding dengan 2007, 18,4 persen. Pemerintah berupaya untuk menurunkann hingga menjadi15,1 persentahun 2015, sesuai dengan target Millenium Development Goals (MDGs) 2015. Setiap tahun ada penurunan kasus gizi buru menjadigizikurang. Berdasarkan data Direktorat Bina Gizi Kementerian Kesehatan pada 2010 tercatat 43.616 anak balita gizi buruk. Angk rendah dibandingkan tahun 2009 yang berjumlah 56.941 anak. Namun, penderita gizi buruk pada 2010 masih lebih tinggi dibandingkan 2 berjumlah 41.290 anak. Berbanding terbalik ketika dibandingkan dengan anggaran negara untuk kesejahteraan masyarakat yang tergolong cukup tinggi. Beberapaprogram pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat mel pemberian bantuan mulai dari subsidi bahan pangan hingga BLT (Ba Langsung Tunai)sudah dilakukan. Bantuan operasional Untuk membantu memulihkan kasus gizi buruk maupun kurang, pemerintah memberikan berupa Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Dana BOK ini tersebar di 8.73 puskesmas di seluruh Indonesia. Kemajuan yang ditunjukkan dari angka-angkamakro indikator pembangunan seakan tidak berpengaruh pada realitas di masyarakat. Badan P Statistik (BPS) mencatat Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia me pertumbuhan hingga 6,5% selama 2011. Pertumbuhan terjadi pada semua sekto ekonomi, di mana besaran tersebut atas dasar harga berlaku mencapai Rp7.4

Upload: auliapradana

Post on 21-Jul-2015

123 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Penanggulangan Gizi Buruk di Desa Hargomulyo, Kecamatan Kokap, Kulon Progo, Yogyakarta

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang Kasus gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia saat ini masih sangat tinggi. Data kesehatan anak saat ini berdasar hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2010, menunjukkan angka balita kurang gizi diangka 17,9 persen, nilainya turun dibanding dengan 2007, 18,4 persen. Pemerintah berupaya untuk menurunkannya hingga menjadi 15,1 persen tahun 2015, sesuai dengan target Millenium Development Goals (MDGs) 2015. Setiap tahun ada penurunan kasus gizi buruk menjadi gizi kurang. Berdasarkan data Direktorat Bina Gizi Kementerian Kesehatan pada 2010 tercatat 43.616 anak balita gizi buruk. Angka ini lebih rendah dibandingkan tahun 2009 yang berjumlah 56.941 anak. Namun, angka penderita gizi buruk pada 2010 masih lebih tinggi dibandingkan 2008 yang berjumlah 41.290 anak. Berbanding terbalik ketika dibandingkan dengan anggaran negara untuk kesejahteraan masyarakat yang tergolong cukup tinggi. Beberapa program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberian bantuan mulai dari subsidi bahan pangan hingga BLT (Bantuan Langsung Tunai) sudah dilakukan. Bantuan operasional Untuk membantu memulihkan kasus gizi buruk maupun kurang, pemerintah memberikan dana berupa Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Dana BOK ini tersebar di 8.737 puskesmas di seluruh Indonesia. Kemajuan yang ditunjukkan dari angka-angka makro indikator

pembangunan seakan tidak berpengaruh pada realitas di masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mengalami pertumbuhan hingga 6,5% selama 2011. Pertumbuhan terjadi pada semua sektor ekonomi, di mana besaran tersebut atas dasar harga berlaku mencapai Rp7.427,1

1

triliun, meningkat dibandingkan 2010 yang mencapai Rp6.436,3 triliun atau tembus 6,5%. Sementara itu indek pertumbuhan manusia Indonesia (IPM) atau Human Development Index (HDI) Indonesia berdasarkan riset United Nations Development Programme (UNDP) meningkat dari 0,613 pada tahun 2010 menjadi 0,617 pada tahun 2011. Namun pada kenyataannya masyarakat masih saja dihadapkan pada persoalan kesejahteraan dan kesehatan. Banyaknya kasus gizi buruk di Indonesia merupakan sebuah ironi mengingat Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam potensial. Indonesia merupakan negara dengan tingkat biodiversitas tertinggi kedua di dunia setelah Brazil. ditunjukkan dengan adanya 10% dari tanaman berbunga yang dikenal di dunia dapat ditemukan di Indonesia, 12% dari mamalia, 16% dari hewan reptil, 17% dari burung, 18% dari jenis terumbu karang, dan 25% dari hewan laut. Di bidang agrikultur, Indonesia juga terkenal atas kekayaan tanaman perkebunannya, seperti biji coklat, karet, kelapa sawit, cengkeh, dan bahkan kayu yang banyak diantaranya menempati urutan atas dari segi produksinya di dunia. Sumber daya alam di Indonesia tidak terbatas pada kekayaan hayatinya saja. Berbagai daerah di Indonesia juga dikenal sebagai penghasil berbagai jenis bahan tambang, seperti petroleum, timah, gas alam, nikel, tembaga, bauksit, timah, batu bara, emas, dan perak. Di samping itu, Indonesia juga memiliki tanah yang subur dan baik digunakan untuk berbagai jenis tanaman. Wilayah perairan yang mencapai 7,9 juta km2 juga menyediakan potensi alam yang sangat besar. Salah satu daerah di Indonesia yang masih berkutat dengan permasalahan gizi buruk adalah Provinsi DIY. Dengan Indeks Pembangunan Manusia yang cukup tinggi yaitu 75.77 atau peringkat 4 nasional, DIY masih dihadapkan pada rumitnya permasalahan gizi buruk masyarakat. Dari sekitar 200 ribu jumlah balita se-DIY, 2.000 diantaranya menderita gizi buruk. Balita yang menderita gizi buruk ini tersebar di seluruh kabupaten/kota di DIY. Bayi penderita gizi buruk di DIY, yaitu di Kota Yogyakarta sebanyak 1,56%, Gunungkidul 1,38%, Kulon progo 1,24%, Bantul 1,01%, dan Sleman 1,00%. Angka ini dinilai masih cukup tinggi meskipun diakui lebih kecil dibanding angka nasional saat ini yang masih mencapai 8,1%.

2

Salah satu kabupaten di DIY dengan penderita gizi buruk terbanyak adalah Kabupaten Kulonprogo. Data dari Dinas Kesehatan Kulonprogo angka kasus gizi buruk turun dari 0.88% (2010) menjadi 0.83% hingga Oktober 2011 atau hanya turun 0.05%. Dalam hal ini, wilayah dengan permasalahan gizi buruk adalah Kecamatan Kokap. Ada sekitar 32 anak menderita gizi buruk dan 48 anak berstatus rawan gizi . Enam belas anak berasal dari Puskesmas Kokap 1 dan tujuh lainnya dari puskesman Kokap 2. Kawasan Kokap sendiri bukan daerah yang terisolir. Meskipun mobilitas masyarakat tidak begitu lancar , namun sumber daya alam yang ada sangat melimpah. Sebut saja , hasil pertanian dan pertambangan, hal ini seharusnya dapat mensejahterakan masyarakat. Namun yang terjadi justru kasus gizi buruk dengan jumlah yang tidak sedikit. Penanganan kasus gizi buruk dan di Kulonprogo bukan hal yang mudah, memerlukan kerjasama banyak pihak dan menyangkut banyak aspek kehidupan. Pada dasarnya, dana penanganan gizi buruk di Kulonprogo telah dianggarkan, namun sepertinya belum mampu menjadi solusi. Kebutuhan gizi penduduk Kulonprogo belum sepenuhnya tercover dengan besarnya dana penanangan gizi buruk yang digelontorkan. Untuk itu, pemerintah daerah perlu semaksimal mungkin mendayagunakan dana tersebut untuk mengatasi kasus gizi buruk. Dari program-program yang telah dibuat pemerintah juga besarnya dana seharusnya mampu mengatasi permasalahan gizi kurang dan gizi buruk di Kulonprogo, namun hal tersebut masih belum menghasilkan peningkatan yang berarti. Ada aspek lain yang perlu diperhatikan selain regulasi dan pendanaan yang sudah cukup memadai yaitu masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat adalah yang paling terpengaruh dengan adanya kebijakan pemerintah. Termasuk dalam penanganan kasus gizi buruk . Dalam hal ini peran aktif masyarakat sangatlah penting. Banyaknya kasus gizi buruk dapat diakibatkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam programprogam pengentasan gizi buruk dan gizi kurang. Kepedulian masyarakat terhadap permasalahan ini menjadi kunci penting karena masyarakatlah yang akan menjalankan dan merasakan hasil dari program-program pengentasan gizi kurang dan gizi buruk pemerintah. Tanggapan masyarakat terhadap program-program

3

pemerintah menjadi feedback yang baik bagi perbaikan kualitas kebijakan di masa datang. Masyarakat merupakan target group dari penanganan gizi kurang dan gizi buruk. Maka perlu diteliti lebih lanjut tentang partisipasi masayarakat dalam pengentasan gizi buruk dan gizi kurang di Kulonprogo. Hal ini dilakukakan untuk mengetahui bagaimana respon masayarakat kebiajakan pengentasan gizi kurang dan gizi buruk. dan partisipasinya terhadap

B. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah bersumber dari latar belakang permasalahan diatas, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut : a. Mengapa permasalahan gizi buruk di Indonesia semakin meningkat ? b. Mengapa biaya hidup mendominasi penyebab kasus gizi buruk ? c. Bagaimana peran pemerintah dalam penanggulangan kasus gizi buruk ? d. Bagaimana peran serta masyarakat dalam penanganan kasus gizi buruk ?

C. Batasan Masalah Dari identifikasi masalah tersebut, banyak masalah yang berkaitan dengan upaya penanggulangan gizi buruk di Desa Hargomulyo, Kecamatan Kokap, Kulonprogo, Yogyakarta. Untuk itu, perlu adanya pembatasan masalah agar lebih mempertegas masalah yang dibahas. Masalah dibatasi pada cara partisipasi masyarakat dalam Upaya Penanggulangan Gizi Buruk di Desa Hargomulyo Kecamatan Kokap, Kulon Progo, Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah Bagaimana partisipasi masyarakat dalam penanganan kasus gizi buruk di Desa Hargomulyo, Kecamatan Kokap, Kulonprogo, Yogyakarta ?

E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dalam proposal kualitatif masih bersifat sementara. Tujuan peneliatian terkait dengan rumusan masalah yaitu untuk mengetahui segala sesuatu setelah rumusan masalah itu terjawab melalui pengumpulan data .

4

Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami cara partisipasi masyarakat terhadap penanggulangan gizi buruk di Desa Hargomulyo Kecamatan Kokap, Kulonprogo, Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan teori dan analisisnya untuk penelitian di masa yang akan datang yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, serta menjadi salah satu referensi untuk kajian pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai upaya pengentasan gizi buruk 2. Secara praktis a. Bagi Pemerintah Kabupaten Kulonprogo. Dengan mengadakan penelitian ini, diharapkan Pemerintah Kabupaten Kulonprogo mendapatkan bahan dan masukan untuk keberlanjutan program yang telah dijalankan. Pemerintah dapat menerapkan upaya tersebut dengan lebih baik lagi dan dengan persiapan yang lebih matang. Lebih jauh penelitian ini dapat digunakan untuk perumusan kebijakan sejenis dimasa mendatang. b. Bagi masyarakat Dengan mengadakan penelitian ini, diharapkan menambah wawasan, dan pengetahuan masyarakat tentang bagaimana partisipasi masyarakat dalam penanganan kasus gizi buruk di Desa Hargomulyo, Kecamatan Kokap, Kulonprogo, Yogyakarta c. Bagi Peneliti Dengan mengadakan penelitian ini, diharapkan dapat menambah wawasan, pengalaman, dan pengetahuan peneliti tentang partisipasi masyarakat Desa Hargomulyo, Kecamatan Kokap, Kulonprogo,

Yogyakarta terhadap upaya penanggulangan gizi buruk.

5

BAB II Pembahasan

A. Kajian Pustaka 1. Tinjauan Teori partisipasi a. Pengertian Partisipasi Menurut Ach. Wazir Ws., et al. (1999: 29) partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab bersama. Partisipasi masyarakat menurut Isbandi (2007: 27) adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses

mengevaluasi perubahan yang terjadi. Mikkelsen (1999: 64) membagi partisipasi menjadi 6 (enam) pengertian, yaitu: a. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan b. Partisipasi adalah pemekaan (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan c. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri d. Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu

6

e. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial f. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka. Pentingnya partisipasi dikemukakan oleh Conyers (1991: 154-155) sebagai berikut: Pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. Kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut. Ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Apa yang ingin dicapai dengan adanya partisipasi adalah meningkatnya kemampuan (pemberdayaan) setiap orang yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam sebuah program pembangunan dengan cara melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya dan untuk jangka yang lebih panjang. Adapun prinsip-prinsip partisipasi tersebut, sebagaimana tertuang dalam Panduan Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif yang disusun oleh Department for International Development (DFID) (dalam Monique Sumampouw, 2004: 106-107) adalah: 1. Cakupan Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses proyek pembangunan.

7

2. Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership) Pada dasarnya setiap orang mempunyai keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masing-masing pihak. 3. Transparansi Semua pihak harus dapat menumbuhkembangkan komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog. 4. Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership) Berbagai pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi. 5. Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility) Berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan langkahlangkah selanjutnya. 6. Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain. 7. Kerjasama Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia.

b. Konsep Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat menurut Hetifah Sj. Soemarto (2003) dalam Turindra (2009) adalah proses ketika warga sebagai individu maupun

8

kelompok

sosial

dan

organisasi,

mengambil

peran

serta

ikut

mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakan kebijakan yang langsung mempengaruhi kehiduapan mereka. Conyers (1991) dalam Turindra (2009) menyebutkan tiga alasan mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat sangat penting, yaitu: Pertama partispasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat, tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal, alasan kedua adalah bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyairasa memiliki terhadap poyek tersebut. Alasan ketiga yang mendorong adanya partisiapsi umum di banyak negara karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Hal ini selaras dengan konsep man-cetered development yaitu

pembangunan yang diarahkan demi perbaiakan nasib manusia.

c. Tipologi Partisipasi Tipologi partisipasi menggambarkan derajat keterlibatan

masyarakat dalam proses partisipasi yang didasarkan pada seberapa besar kekuasaan (power) yang dimiliki masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Kegunaan dari adanya tipologi partisipasi ini adalah: (a) untuk membantu memahami praktek dari proses pelibatan masyarakat, (b) untuk mengetahui sampai sejauh mana upaya peningkatan partisipasi masyarakat dan (c) untuk menilai dan mengevaluasi keberhasilan kinerja dari pihakpihak yang melakukan pelibatan masyarakat. Tipologi Tangga Partisipasi Arnstein (1969). Sherry Arnstein adalah yang pertama kali mendefinisikan strategi partisipasi yang didasarkan pada distribusi kekuasaan antara masyarakat (komunitas) dengan badan pemerintah (agency). Dengan pernyataannya

9

bahwa partisipasi masyarakat identik dengan kekuasaan masyarakat (citizen partisipation is citizen power), Arnstein menggunakan metafora tangga partisipasi dimana tiap anak tangga mewakili strategi partisipasi yang berbeda yang didasarkan pada distribusi kekuasaan. Tangga terbawah merepresentasikan kondisi tanpa partisipasi (non participation), meliputi: (1) manipulasi (manipulation) dan (2) terapi (therapy). Kemudian diikuti dengan tangga (3) menginformasikan (informing), (4) konsultasi (consultation), dan (5) penentraman (placation), dimana ketiga tangga itu digambarkan sebagai tingkatan tokenisme (degree of tokenism). Tokenisme dapat diartikan sebagai kebijakan sekadarnya, berupa upaya superfisial (dangkal, pada permukaan) atau tindakan simbolis dalam pencapaian suatu tujuan. Jadi sekadar menggugurkan kewajiban belaka dan bukannya usaha sungguh-sungguh untuk melibatkan masyarakat secara bermakna. Tangga selanjutnya adalah (6) kemitraan (partnership), (7) pendelegasian wewenang / kekuasaan (delegated power), dan (8) pengendalian masyarakat (citizen control). Tiga tangga terakhir ini menggambarkan perubahan dalam keseimbangan kekuasaan yang oleh Arnstein dianggap sebagai bentuk sesungguhnya dari partisipasi masyarakat. 1. Manipulasi (manipulation). Pada tangga partisipasi ini bisa diartikan relatif tidak ada komunikasi apalagi dialog; tujuan sebenarnya bukan untuk melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program tapi untuk mendidik atau menyembuhkan partisipan (masyarakat tidak tahu sama sekali terhadap tujuan, tapi hadir dalam forum). 2. Terapi (therapy). Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari pemerintah dan hanya satu arah.

10

Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai derajat tokenisme dimana peran serta masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat. 3. Informasi (information). Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan tangapan balik (feed back). 4. Konsultasi (consultation). Pada tangga partisipasi ini komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi. 5. Penentraman (placation). Pada level ini komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan usulan kegiatan. Namun pemerintah tetap menahan kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut. Tiga tangga teratas dikategorikan sebagai bentuk yang

sesungguhnya dari partisipasi dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. 6. Kemitraan (partnership). Pada tangga partisipasi ini, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar. Kekuasaan telah diberikan dan telah ada negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan, baik dalam hal perencanaan,

11

pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Kepada masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses untuk proses pengambilan keputusan diberikan kesempatan untuk bernegosiasiai dan melakukan kesepakatan. 7. Pendelegasian kekuasaan (delegated power). Ini berarti bahwa pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengurus sendiri beberapa kepentingannya, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, sehingga masyarakat memiliki kekuasaan yang jelas dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keberhasilan program. 8. Pengendalian warga (citizen control). Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pemerintah.

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program, sifat faktor-faktor tersebut dapat mendukung suatu keberhasilan program namun ada juga yang sifatnya dapat menghambat keberhasilan program. Misalnya saja faktor usia, terbatasnya harta benda, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Angell (dalam Ross, 1967 : 130) mengatakan partisipasi yang tumbuh dalam masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam berpartisipasi, yaitu: 1. Usia Faktor usia merupakan faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia menengah ke atas dengan keterikatan moral kepada nilai dan norma masyarakat yang lebih mantap, cenderung lebih banyak yang berpartisipasi daripada mereka yang dari kelompok usia lainnya.

12

2. Jenis kelamin Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan bahwa pada dasarnya tempat perempuan adalah di dapur yang berarti bahwa dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan tersebut telah bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan perempuan yang semakin baik. 3. Pendidikan Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi. Pendidikan dianggap dapat mempengaruhi sikap hidup seseorang terhadap lingkungannya, suatu sikap yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat. 4. Pekerjaan dan penghasilan Hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang akan menentukan berapa penghasilan yang akan

diperolehnya. Pekerjaan dan penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Pengertiannya bahwa untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, harus didukung oleh suasana yang mapan perekonomian. 5. Lamanya tinggal Lamanya seseorang tinggal dalam dengan lingkungan lingkungan tertentu tersebut dan akan

pengalamannya

berinteraksi

berpengaruh pada partisipasi seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam lingkungan tertentu, maka rasa memiliki terhadap lingkungan cenderung lebih terlihat dalam partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut. Sedangkan menurut Holil (1980: 9-10), unsur-unsur dasar partisipasi sosial yang juga dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah :

13

1. Kepercayaan diri masyarakat; 2. Solidaritas dan integritas sosial masyarakat; 3. Tanggungjawab sosial dan komitmen masyarakat; 4. Kemauan dan kemampuan untuk mengubah atau memperbaiki keadaan dan membangun atas kekuatan sendiri; 5. Prakarsa masyarakat atau prakarsa perseorangan yang diterima dan diakui sebagai/menjadi milik masyarakat; 6. Kepentingan umum murni, setidak-tidaknya umum dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan, dalam pengertian bukan kepentingan umum yang semu karena penunggangan oleh kepentingan

perseorangan atau sebagian kecil dari masyarakat; 7. Organisasi, keputusan rasional dan efisiensi usaha; 8. Musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan; 9. Kepekaan dan ketanggapan masyarakat terhadap masalah, kebutuhankebutuhan dan kepentingan-kepentingan umum masyarakat. Faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program juga dapat berasal dari unsur luar/lingkungan. Menurut Holil (1980: 10) ada 4 poin yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat yang berasal dari luar/lingkungan, yaitu: 1. Komunikasi yang intensif antara sesama warga masyarakat, antara warga masyarakat dengan pimpinannya serta antara sistem sosial di dalam masyarakat dengan sistem di luarnya; 2. Iklim sosial, ekonomi, politik dan budaya, baik dalam kehidupan keluarga, pergaulan, permainan, sekolah maupun masyarakat dan bangsa yang menguntungkan bagi serta mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat; 3. Kesempatan untuk berpartisipasi. Keadaan lingkungan serta proses dan struktur sosial, sistem nilai dan norma-norma yang memungkinkan dan mendorong terjadinya partisipasi sosial; 4. Kebebasan untuk berprakarsa dan berkreasi. Lingkungan di dalam keluarga masyarakat atau lingkungan politik, sosial, budaya yang

14

memungkinkan dan mendorong timbul dan berkembangnya prakarsa, gagasan, perseorangan atau kelompok.

e. Karakteristik Partisipasi Penumbuhan dan pengembangan partisipasi masyrakat seringkali terhambat oleh persepsi yang kurang tepat, yang menilai masyarakat sulit diajak maju oleh sebab itu kesulitan penumbuhan dan pengembangan partisipasi masyrakat juga disebabkan karena sudah adanya campur tangan dari pihak penguasa. Turinda menjelaskan tipologi partisipasi masyarakat tersebut, diantaranya: 1. Partisipasi pasif/ manipulatif Masyarakat berpartisipasi dengan cara diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi; Pengumuman sepihak oleh manajemen atau pelaksana proyek tanpa memperhatikan tanggapan masyarakat; Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran. 2. Partisipasi dengan cara memberikan informasi Masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab pertanyaanpertanyaan penelitian seperti dalam kuesioner atau sejenisnya; (Masyarakat tidak punya kesempatan untuk terlibat dan

mempengaruhi proses penyelesaian; Akurasi hasil penelitian tidak dibahas bersama masyarakat.

3. Partisipasi melalui konsultasi Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi; Orang luar mendengarkan sendiri dan dan membangun kemudian dengan pandangan-

pandangannya permasalahan

untuk

mendefinisikan memodifikasi

pemecahannya,

tanggapan-tanggapan masyarakat; Tidak ada peluang bagi pembuat keputusan bersama;

15

Para profesional tidak berkewajiban mengajukan pandanganpandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti.

4. Partisipasi untuk insentif materil Masyarakat berpartisipasi dengan cara menyediakan sumber daya seperti tenaga kerja, demi mendapatkan makanan, upah, ganti rugi, dan sebagainya; Masyarakat tidak dilibatkan dalam eksperimen atau proses pembelajarannya; Masyarakat tidak mempunyai andil untuk melanjutkan kegiatankegiatan yang dilakukan pada saat insentif yang

disediakan/diterima habis. 5. Partisipasi fungsional Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk mencapai tujuan yang berhubungan dengan proyek; Pembentukan kelompok (biasanya) setelah ada keputusankeputusan utama yang disepakati; Pada awalnya, kelompok masyarakat ini bergantung pada pihak luar (fasilitator, dll) tetapi pada saatnya mampu mandiri. 6. Partisipasi interaktif Masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama yang mengarah pada perencanaan kegiatan dan pembentukan lembaga sosial baru atau penguatan kelembagaan yang telah ada; Partisipasi ini cenderung melibatkan metode inter-disiplin yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematik; Kelompok-kelompok masyarakat mempunyai peran kontrol atas keputusan-keputusan mereka, sehingga mereka mempunyai andil dalam seluruh penyelenggaraan kegiatan.

16

7. Self mobilization Masyarakat berpartisipasi dengan mengambil inisiatif secara bebas (tidak dipengaruhi/ditekan pihak luar) untuk mengubah sistemsistem atau nilai-nilai yang mereka miliki; Masyarakat mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan-bantuan teknis dan sumberdaya yang dibutuhkan; Masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumber daya yang ada

2. Tinjauan Teori Gizi Buruk a. Pengertian gizi buruk Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia, kasus KEP (Kurang Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita. Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu, contoh gondok endemik merupakan keadaaan tidak seimbangnya pemasukan dan pengeluaran yodium dalam tubuh. Perlunya deteksi dini status gizi mengingat penyebabnya sangat kompleks, pengelolaan gizi buruk memerlukan kerjasama yang

komprehensif dari semua pihak. Bukan hanya dari dokter maupun tenaga medis, namun juga pihak orang tua, keluarga, pemuka masyarakat maupun agama dan pemerintah. Menurut Menkes No. 9201 menkes/SK/VIII/2002 status gizi ditentukan berdasarkan Z-SCORE berdasarkan berat badan (kg) terhadap umur (bulan) yang diklasifikasikan sebagai berikut

Gizi Lebih: apabila berat badan balita berada > +2 SD (Standar Deviasi)

17

Gizi Baik : apabila berat badan balita berada antara