4. bab i & ii print malaysia (ambalat)
DESCRIPTION
Studi Kasus Malaysia Indonesia Ambalat Pendidikan Kewarganegaraan Wawasan Nusantara Geopolitik Indonesia PKNTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Geopolitik merupakan permasalahan yang sangat penting. Permasalahan ini menjadi
penting karena manusia yang telah berbangsa membutuhkan wilayah sebagai tempat
tinggalnya yang kemudian di kenal dengan Negara. Dalam perkembangannya pengertian
tidak saja diartikan sebagai intuisi yang secara minimal meliputi unsur wilayah, rakyat, dan
pemerintah yang berkuasa. Unsur rakyat suatu negara disamping warga negara juga meliputi
bukan warga negara. Agar negara mencapai tujuan nasional aman dan sejahtera (Pembukaan
UUD ’45 Alinea IV) perlu pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan yang dimaksud agar
warga negara Indonesia tahu tentang hak dan kewajiban, serta mampu berdiri dan tetap
menjaga dirinya di tengah arus globalisasi.
Seperti yang dikatakan Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 dihadapan sidang BPUPKI bahwa
orang dan tempat tak dapat dipisahkan atau rakyat tak dapat dipisahkan dari bumi yang ada
dibawah kakinya. Oleh karena itu, setelah membangsa orang menyatakan tempat tinggal
sebagai negara. Dalam perkembangan selanjutnya pengertian negara tidak hanya tempat
tinggal, tetapi diartikan lebih luas lagi yang meliputi institusi, yaitu pemerintah, rakyat,
kedaulatan, dan lain-lain.
Karena orang dan tempat tinggalnya tak dapat dipisahkan, ruang yang menjadi hal yang
menimbulkan konflik antar manusia, keluarga, masyarakat, dan bangsa hingga kini,
meskipun bentuknya dapat secara fisik maupun non fisik. Untuk dapat mempertahankan
ruang hidupnya, suatu bangsa harus mempunyai kesatuan cara pandang yang dikenal sebagai
wawasan nasional. Para ilmuan politik dan militer menyebutnya sebagai geopolitik yang
merupakan kepanjangan dari geografi politik.
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud dengan geopolitik?
2) Apa yang dimaksud dengan wawasan nusantara?
3) Bagaimana dampak dari kasus“ Kapal Tongkang Sedot Pasir Laut ” bagi wilayah
NKRI ?
4) Bagaimana upaya pemerintah untuk mengatasi kasus“ Kapal Tongkang Sedot Pasir
Laut” ?
1
2
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan pembahasan makalah ini, antara lain:
1) untuk mengetahui pengertian geopolitik;
2) untuk mengetahui pengertian wawasan nusantara;
3) untuk mengetahui dampak dari kasus “Kapal Tongkang Sedot Pasir Laut” bagi
wilayah NKRI; dan
4) untuk mengetahui kebijakan pemerintah untuk mengatasi kasus “Kapal Tongkang
Sedot Pasir Laut”.
3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Geopolitik
Menurut Widyo Alfandi (2002: 5-8) geopolitik merupakan perpaduan kata geografi dan
politik. Geografi adalah ilmu pengetahuan yang meliputi disiplin imu fisik maupun disiplin
ilmu sosial, yang obyeknya yaitu:
a. Suatu telaah geografi sistematik dengan pendekatan multidisipliner yang diterapkan
dalam suatu wilayah tertentu.
b. Suatu telaah geografi berdasarkan pendekatan holistik transdisipliner menggunakan
analisis tertentu.
Geografi politik adalah cabang geografi manusia yang obyek studinya aspek kekurangan,
pemerintahan atau kenegaraan, yang meliputi hubungan regional dan internasional
dipermukaan bumi, geografi politik bersifat statis dan adapun cirinya adalah wilayah politik,
aktivitas politik dan institusi politik.
Geopolitik adalah ilmu yang mempelajari kondisi fisik, ekonomi, sosial-politik,
antropologi, sebagai faktor-faktor yang memengaruhi proses kebijakan pemerintah mengenai
politik dan hankam (pertahanan dan keamanan) yang bersifat intren dan ekstern.
Kata politik diartikan sebagai aktivitas yang berkaitan dengan relasi-relasi antar bangsa
dan kelompok sosial lainnya, yang berhubungan dengan perkara penggunaan kekuasaan
negara. Ilmu politik adalah cabang pengetahuan kemasyarakatan yang mempelajari berbagai
gejala dalam kehidupan mayarakat dengan pemuatan perhatian pada perjuangan manusia
mencari, mempertahankan, atau memperbesar kekuasaan guna mencapai apa yang
diinginkan. Teori politik adalah pembahasan dan generalisasi dari pokok-pokok persoalan
yang bersifat politik, yang meliputi tujuan kegiatan politik, langkah-langkah pencapaian
tujuan, kemungkinan dan kebutuhan yang ditimbulkan dari kondisi politik, serta kewajiban-
kewajiban yang ditimbulkan dari tujuan tersebut.
Adapun ajaran atau pandangan tentang goepolitik dari beberapa ahli:
a. Fredrick Ratzel (1884-1904)
Fredrick Ratzel berpendapat bahwa dalam hal tertentu pertumbuhan negara mirip
dengan prtu,nuham organisme yang memerlukan ruang hidup dan juga melalui proses
lahir, berkembang, menyusut dan mati yang kemudia konsep ini disebut dengan konsep
4
ruang (teori ruang) yang melihat negara sebagai ruang yang ditempati oleh kelompok
politik. Inti ajarannya ialah bahwa hanya bangsa yang unggul yang dapat bertahan hidup
serta membenarkan hukum ekspansi mengenai batas suatu negara yang dapat berubah
demi memenuhi kebutuhannya.
b. Rudolf Kjellen (1864-1922)
Rudolf mengembangkan teori Fredrick bahwasanya negara bukan saja suatu
organisme tetapi juga harus memiliki intelektual, dimana sauatu negara harus mampu
berswasembada serta memanfaatkan kebudayaan dan teknologi untuk meningkatkan dan
mencapai persatuan dan kesatuan yang harmonis serta untuk memperoleh batas negara
yang lebih baik.
c. Karl Houshoffer (1896-1946)
Ajaran Karl dilandasi dengan semangat materialisme dan fasisme yang digunakan
Jerman (Nazi) dan Jepang (hakko ichiu). Inti dari ajaran Karl ialah:
1) Kekuasaan imperium daratan yang kompak akan dapat mengejar kekuasaan imperium
maritim untuk menguasai pengawasan di laut.
2) Beberapa negara besar di dunia akan timbul dan akan menguasai Eropa, Afrika dan
Asia Barat (Jerman, Italia dan Jepang).
Karl juga berpendapat bahwa geopolotik adalah doktrin negara di bumi yang berupa
doktrin perkembangan politik yang didasarkan kepada hubungannya dengan bumi.
Geopolitik juga merupakan ilmu yang mempelajari organisme politik dan ruang
susunannya. Geopolitik juga merupakan landasan ilmiah bagi tindakan politik dalam
perjuangan kelangsungan hidup suatu negara untuk mendapat ruang hidupnya.
d. Sir Hafford Mackinder (1861-1947)
Hafford mencetuskan wawasan benua atau konsep kekuatan didarat, dikatakan bahwa
barang siapa yang menguasai daerah jantung (Eurasia, Afrika) yang akan menguasai
dunia.
e. Sir Walter Raleigh (1554-1618) dan Alfred Thajer (1804-1914)
Walter dan Alfred mengemukakan wawasan bahari atau konsep kekuatan di laut,
dikatakan bahwa siapa yang menguasai lautan akan menguasai perdagangan yang berarti
penguasaan kekayaan dunia akan dikuasainya.
f. W. Mitchel (1887-1896), Ciulio Douhet (1896-1930) dan Fuller (1878)
5
Mitchel, Douhet dan Fuller melahirkan teori wawasan dirgantara atau konsep kekuata
di udara. Mereka berpendapat bahwa kekuatan di udara merupakan daya tangkal yang
ampuh terhadap ancaman dan dapat melumpuhkan musuh di kandang sendiri.
g. Nicholas J. Spykman (1893-1943)
Spykman menghasilkan teori daerah batas (rimland) yang merupakan teori wawasan
kombinasi. Teori ini banyak digunakan ahli geopolitik dan strategi untuk menyusun
kekuatan bagi negaranya.
Jika ditinjau dari sudut pandnag Pancasila, geopolitik yang telah dipaparkan tidak
sepenuhnya benar karena bangsa Indonesia tidak dapat mengembangkan benih
ekspansionisme dan adu kekuaatan. Geopolitik di Indonesia dipergunakan sebagai
pertimbangan untuk menentukan politik nasionalnya dengan mempertimbangkan kondisi
dan konstelasi geografi wilayah Indonesia sebagai suatu kesatuan yang utuh untuk
mewujudkan cita-cita dan tujuan nasionalnya. Kemudian wawasan nusantara adalah
geopolitik Indonesia. Hal ini dipahami berdasarkan pengertian bahwa dalam wawasan
nusantara terkandung konsepsi geopolitik Indonesia, yaitu unsur ruang, yang kini
berkembang tidak saja secara fisik geografis, melainkan dalam pengertian secara
keseluruhan.
2.2 Pengertian Wawasan Nusantara
Istilah wawasan berasal dari kata ‘wawas’ yang berarti pandangan, tinjauan, atau
penglihatan indrawi. Akar kata ini membentuk kata ‘mawas’ yang berarti memandang,
meninjau, atau melihat, atau cara melihat.sedangkan istilah nusantara berasal dari kata ‘nusa’
yang berarti diapit diantara dua hal. Istilah nusantara dipakai untuk menggambarkan kesatuan
wilayah perairan dan gugusan pulau-pulau Indonesia yang terletak diantara samudra Pasifik
dan samudra Indonesia, serta diantara benua Asia dan benua Australia.
Secara umum wawasan nasional berarti cara pandang suatu bangsa tentang diri dan
lingkungannya yang dijabarkan dari dasar falsafah dan sejarah bangsa itu sesuai dengan
posisi dan kondisi geografi negaranya untuk mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya.
Sedangkan wawasan nusantara memiliki arti cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan
lingkungannya berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta sesuai dengan
geografi wilayah nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan dan
cita-cita nasionalnya.
Menurut Hamdan Mansyur (2006: 64-78), dalam menentukan, membina, dan
mengembangkan wawasan nasionalnya, Bangsa Indonesia menggali dan mengembangan dari
6
kondisi nyata yang terdapat di lingkungan Indonesia sendiri. Wawasan nasional Indonesia
dibentuk dan dijiwai oleh pemahaman kekuasaan bangsa Indonesia yang berlandaskan
falsafah pancasila dan oleh pandangan geopolitik Indonesia yang berlandaskan pemikiran
kewilayahan dan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, pemahaman latar belakang filosofis
sebagai pemikiran dasar pengembangan wawasan nasional Indonesia dapat ditinjau dari:
1. Falsafah Pancasila
Pengembangan wawasan nasional didasari nilai-nilai pancasila, antara lain kebebasan
menjalankan ibadah sesuai agama masing-masing sebagai wujud nyata hak asasi
manusia. Mengedepankan kepentingan masyarakat yang lebih luas tanpa mematikan
kepentingan kelompok atau golongan. Mementingakan musyawarah dalam pengambilan
keputusan bersama, tidak merugikan orang lain. Dimana sikap tersebut diatas mewarnai
wawasan nasional yang dianut dan dikembangkan bangsa Indonesia.
2. Aspek Kewilayahan
Pengaruh geografi merupakan suatu yang mutlak yang perlu diperhitungkan karena
mengandung beranekaragam kekayaan alam dan jumlah penduduk yang besar. Dengan
demikian, kondisi objektif Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, memiliki keunggulan
dan kelemahan yang perlu dicermati dan diperhitungkan dalam perumusan geopolitik
Indonesia.
3. Aspek Sosial Budaya
Menurut ahli antropologi, tidak mungkin ada masyarakat kalau tidak ada kebudayaan
serta sebaliknya bahwa tidak mungkin ada kebudayaan jika tidak ada masyarakat.
Indonesia terdiri atas banyak suku bangsa yang masing-masing memiliki adat istiadat,
bahasa, agama dan kepercayaan. Oleh karena itu, kehidupan nasional yang berhubungan
dengan interaksi antar golongan berpotensi menimbulkan konflik yang besar, ditambah
lagi dengan wawasan nasional masyarakat yang masih relatif rendah dan jumlah
masyarakat terdidik yang relatif terbatas.
4. Aspek Historis
Dengan semangat yang menghasilkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, saat
Indonesia mulai merdeka, maka semangan inilah yang harus dipertahankan dengan
semangat persatuan yang esensinya adalah mempertahankan persatuan bangsa dan
menjaga wilayah kesatuan Indonesia. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan wilayah nasional Indonesia yang diwarnai oleh pengalaman sejarah yang
tidka menghendaki terulangnya perpecahan dalam lingkungan bangsa dan negara
Indonesia.
Landasan Konsepsional
PembukaanUUD 1945(Pancasila)
UUD 1945
Wawasan Nusantara
Ketahanan Nasional
Dokumen Rencana Pembangunan
Landasan Idiil
Landasan Konstitusional
Landasan Visional
Landasan Operasional
PARADIGMA KETATANEGARAANREPUBLIK INDONESIA
7
2.3 Kedudukan, Fungsi dan Tujuan Wawasan Nusantara
1. Kedudukan Wawasan Nusantara
Wawasan nusantara berkedudukan sebagai visi bangsa. Visi adalah keadaan atau
rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan. Wawasan nasional merupakan visi
bangsa yang bersangkutan dalam menuju masa depan. Visi bangsa Indonesia sesuai
dengan konsep wawasan nusantara adalah menjadi bangsa yang satu dengan wilayah yang
satu dan utuh pula. Wawasan nusantara dalam paradigma nasional menurut Rahman HI
(2008: 145-148) dapat dilihat dari spesifikasinya sebagai berikut:
a) Pancasila sebagai falsafah, ideologi bangsa, dan dasar negara berkedudukan sebagai
landasan idiil.
b) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konsitusi negara yang berkedudukan
sebagai landasan konstitusional.
c) Wawasan nusantara sebagai visi nasional, berkedudukan sebagai landasan visional.
d) Ketahanan nasional sebagai konsepsi nasional, berkedudukan sebagai landasan
konsepsional.
e) Dokumen Rencana Pembangunan sebagai kebijakan nasional, berkedudukan sebagai
landasan operasional.
2. Fungsi Wawasan Nusantara
Wawasan nusantara berfungsi sebagai pedoman, motivasi, dorongan serta rambu-ramu
dalam menentukan segala kebijakan, keputusan, tindakan dan perbuatan bagi
8
penyelenggara negara di tingkat pusat dan daerah, maupun bagi seluruh rakyat Indonesia
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Tujuan Wawasan Nusantara
Dasar pemikiran disusunnya wawasan nusantara sebagai cara pandang bangsa
Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan Pancasila dalah dalam rangka
mencapai tujuan nasional. Sehingga, tujuan wawasan nusantara harus sejalan dengan
tujuan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Wawasan
nusantara memiliki tujuan kedalam, yaitu untuk kepentingan nasional, yaitu mewujudkan
satu kesatuan segenap aspek kehidupan nasional baik alamiah (geografi, demografi dan
kekayaan alam) maupun aspek sosial (ideolodi, sosiologi, politik, ekonomi, sosial budan
dan pertahanan keamanan). Sedangkan tujuan keluar wawasan nusantara adalah untuk ikut
serta dalam usaha penyelenggaraan dan membina kesejahteraan dan perdamaian dunia.
2.4 Wawasan Nusantara sebagai Wawasan Wilayah
Jika meninjau latar belakang wawasan nusantara dengan pendekatan historis dan
yuridis, maka berarti meninjau pula perjuangan bangsa Indonesia untuk mengembangkan dan
mempertahankan wawasan nusantara di forum internasional.
Gagasan wawasan nusantara menurut Lemhannas (1997: 27-35) berpangkal dari
konsepsi negara kepulauan (archipelagic state concept). Konsepsi negara kepulauan mula-
mula ditemukan pada tanggal 13 Desember 1957 dalam bentuk “Deklarasi Juanda” yang
menyatakan:
1. Bahwa bentuk geografi Indonesia sebagai suatu negara kepulauan mempunyai sifat dan
corak sendiri.
2. Bahwa menurut sejarah sejak dulu kala kepulauan Indonesia merupakan suatu kesatuan.
3. Bahwa batas laut teritorial yang termaktub dalam Teritoriale Zee en Maritime Kringen
Ordonnatie 1939 memecah keutuhan teritorial Indonesia karena membagi wilayah daratan
Indonesia dalam bagian-bagian terpisah dengan teritorialnya sendiri-sendiri.
Dalam konferensi Jenewa pada tahun 1958 mengenai konferensi hukum laut
internasional, pendirian Indonesia diperdebatkan tetapi hasilnya masih kurang
menguntungkan bagi Indonesia. Keunikan Indonesia sebagai negara kepulauan belum dapat
dipahami oleh negara maritim yang berpengaruh, meskipun kelihatan dengan nyata bahwa
integritas teritorial Indonesia terganggu dengan adanya kapal perang Belanda yang lalu lalang
di perairan Nusantara mengganggu pelayaran kapal-kapal Indonesia.
9
Kesukaran untuk meyakinkan kebenaran pendirian Indonesia, disebabkan karena pada
saat itu yang dikenal rezim archipelago, sedangkan rezim archipelagic state belum dikenal.
Yurisprudensi Mahkamah Internasional dalam kasus Inggris lawan Norwegia mengenai
pengukuran wilayah dengan teori dan titik luar ke titik luar berikutnya terbatas pada coastal
archipelago sedangkan untuk mid-ocean archipelago belum ada yurisprudensinya.
Untuk memperkuat kedudukan hukumannya, Deklarasi Juanda dipertegas dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 4 tahun 1960 yang diikuti
dengan peraturan pelaksanaan mengenai lalu lintas damai kendaraan laut asing dalam bentuk
Peraturan Pemerintah (PP) No. 8 Tahun 1962.
Dengan berlakunya PERPU No. 4 Tahun 1960 yang menyatakan bahwa laut wilayah
lebarnya 12 mil diukur dari garis pangkal lurus (straight base line) dan bahwa semua
kepulauan dan laut yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat
maka luas wilayah Indonesia menjadi 5.193.250 km2 dengan perincian luas daratan 2.027.087
km2 dan luas perairan nasional menjadi 3.166.163 km2 (terdiri atas laut teritorial dan laut
nasional).
Selama ini luas wilayah Indonesia yang tercatat hanya wilayah daratan saja, sedangkan
wilayah laut teritorial tidak pernah diukur karena berdasarkan ordonantie tahun 1939, setiap
pulau mempunyai laut wilayah sendiri-sendiri sehingga tidak memungkinkan menghitung
luas laut wilayah dari 17.508 pulau yang ada.
Sementara itu, pemerintah Indonesia menganggap perlu untuk mengamankan sumber
daya alam yang terdapat dalam wilayah laut nasionalnya mengingat bahwa eksplorasi dan
eksploitasi sumber daya alam dilandas kontinen sudah dapat dilakukan berhubung adanya
kemajuan teknologi. Untuk itu pada tanggal 17 Februari 1969, pemerintah Indonesia
mengeluarkan deklarasi tentang landas kontinen dengan pertimbangan antara lain berikut:
1. Segala sumber mineral dan sumber kekayaan alam lainnya, termasuk organisme-
organisme hidup yang merupakan jenis sedentair yang terdapat pada dasar laut dan tanah
dibawahnya dilandasan kontinen, merupakan milik Indonesia dan merupakan di bawah
yuridikasinya yang eksklusif.
2. Dalam hal landas kontinen Indonesia, termasuk deressie-depressie (bagian yang dalam)
yang terdapat dalam landas kontinen atau kepulauan Indonesia berbatasan dengan suatu
negara lain, maka Pemerintah Republik Indonesia bersedia untuk melalui perundingan
10
dengan negara yang bersangkutan menetapkan suatu garis batas sesuai dengan prinsip-
prinsip hukum dan keadilan.
3. Menjelang tercapainya persetujuan seperti maksud diatas, Pemerintah Republik
Indonesia akan mengeluarkan izin untuk produksi minyak dan gas bumi untuk
eksploitasi sumber-sumber mineral ataupun kekayaan alam lainnya, hanya untuk daerah
sebelah Indonesia dari garis tengah (median line) yang ditarik dari pantai daripada pulau-
pulau Indonesia yang terluar.
4. Ketentuan-ketentuan tersebut diatas tidak akan memengaruhi sifat serta status daripada
perairan diatas landas kontinen Indonesia sebagai laut lepas, demikian pula ruang udara
diatasnya.
Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tersebut sesuai dengan kebiasaan praktek
negara dan dibenarkan pula oleh hukum internasional bahwa suatu negara pantai mempunyai
penguasaan dan yuridiksi yang eksklusif atas kekayaan mineral dan kekayaan lainnya dalam
dasar laut dan tanah didalamnya di lantasan kontinen.
Selain itu, Pemerintah Republik Indonesia merasa penting untuk menyelesaikan soal-
soal garis landasan kontinen, dengan negara tetangga sebelum ditentukan deposit (endapan
mineral) agar penyelesaiannya lebih mudah.
Perundingan segera diadakan dengan negara tetangga dan berkat semangat
kebijaksanaan bertetangga baik (good neighborhood policy) maka perjanjian segara dapat
ditandatangai pada tahun itu juga.
Perjanjian garis batas landas kontinen yang pertama berhasil diadakan dengan Malaysia
pada bulan Oktober tahun 1969, yang kemudian disusul oleh penandatanganan perjanjian
dengan negara tetangga lain sebagai berikut:
1. Perjanjian RI-Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Landas Kontinen kedua negara
(Selat Malaka dan Laut Cina Selatan) ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1969
mulai berlaku tanggal 7 November 1969.
2. Perjanjian RI-Thailand tentang Landas Kontinen Selat Malaka bagian Utara dan Laut
Andaman, ditandatangani tanggal 17 Desember 1971 dan berlaku mulai tanggal 7 April
1972.
3. Persetujuan RI-Malaysia dan Thailand mengenai Landas Kontinen bagian Utara tanggal
21 Desember 1971 dan berlaku tanggal 16 Juli 1973.
11
4. Persetujuan RI-Australia tentang penetapan atas batas dasar laut tertentu (di Laut Arfuru,
didepan pantai selatan pulai Irian dan di depan pantai utara Irian) tanggal 18 Mei 1971
dan berlaku mulai tanggal 19 November 1973.
5. Persetujuan RI-Australia tentang penetapan batas-batas dasar laut tertentu didaerah Laut
Timor dan Laut Arafuru sebagai tambahan pada persetujuan tanggal 18 Mei 1971 dan
berlaku mulai 9 Oktober 1972.
6. Persetujuan RI-India tentang penetapan garis batas landas kontinen antara kedua negara
(batas antara Sumatera dan Nikobar) ditandatangani dan mulai berlaku tanggal 8 Agustus
1974.
Persetujuan batas kontinen dengan negara tetangga diatas telah menguatkan pendirian
bahwa RI mempunyai kedaulatan atas kekayaan alam landas kontinen seluas ±800.000 mil2
(±20.720.000 km2). Indonesia mempunyai penguasaan penuh dan hak eksklusif atas kekayaan
alam di landas kontinen Indonesia, pemilikannya ada pada negara Indonesia. Selanjutnya
Pengumunan Pemerintah tentanh landas kontinen tahun 1969 telah dikukuhkan dengan
Undang-Undang No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia.
Disamping persetujuan mengenai garis batas landas kontinen diatas, Pemerintah
Republik Indonesia telah mengadakan pula perjanjian garis batas laut wilayah dan perjanjian
perbatasan (melalui perbatas darat dan laut) dengan negara tetangga sebagai berikut:
1. Perjanjian antara Indonesia –Malaysia tentang penetapan garis batas laut wilayah kedua
negara di Selat Malaka ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1970.
2. Perjanjian antara RI-Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah kedua
negara di Selat Singapura ditandatangi pad tanggal 25 Mei 1973.
3. Perjanjian antara Indonesia-Australia mengenai Garis-Garis Batas Tertentu antara Papua
New Guinea, ditandangani pada tanggal 17 Februari 1973.
Perjuangan untuk menegakkan Wawasan Nusantara bidang wilayah di forum negara
tetangga yang telah menghasilkan persetujuan dan perjanjian tersebut diatas dilanjutkan
dengan perjuangan di Konferensi Hukum Laut Internasional ke III yang diselenggarakan oleh
PBB (United Nation Conference on the Law of the Sea/UNICLOS).
Dalam konferensi Internasional itu, Indonesia dengan aktif memperjuangkan “asas
kepulauan” yang selama ini belum dikenal dalam rezim hukum laut internasional. Dengan
singkat dapat dikemukakan bahwa perjuangan yang dilakukan sejak tahun 1957 baru berhasil
12
setelah diterimanya hukum laut internasional yang sesuai dengan konsep Nusantara pada
tahun 1982 yang telah ditandatangani hampir smua negara di dunia.
Setelah itu, untuk membulatkan konsep kewilayahannya, pada tanggal 21 Maret 1980
Pemerintah Indonesia telah mengumumkan tentang Zona Eksklusif Ekonomi Indonesia yang
lebarnya 200 mil diukur dari garis pantai pangkal laut wilayah Indonesia.
2.5 Wawasan Nusantara sebagai Wawasan dalam Mencapai Tujuan Pembangunan
Nasional
Wawasan nusantara sebagai cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan
lingkungannya berdasarkan Pancasila telah dikukuhkan secara hukum dengan dimuatnya
dalam TAP MPR, yaitu TAP MPR No. II/MPR/1983, TAP MPR No. II/MPR/1988, TAP
MPR No. II/MPR/1993, dan TAP MPR No. II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN).
1. Perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan politik
a) Bahwa kedulatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu
kesatuan wilayah, wadah, ruang hidup, dan kesatuan matra, seluruh bangsa, serta
menjadi modal dan milik bersama bangsa.
b) Bahwa bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku dan berbicara dalam berbagai
bahasa daerah, memeluk dan meyakini berbagai agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa harus merupakan satu kesatuan bangsa yang bulat dalam arti
yang seluas-luasnya.
c) Bahwa secara psikologis, bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib
sepenanggungan, sebangsa dan setanah air, serta mempunyai satu tekad di dalam
mencapai cita-cita bangsa.
d) Bahwa pancasila adalah satu-satunya falsafah serta teologi bangsa dan negara yang
melandasi, membimbing dan mengarahkan bangsa menuju tujuannya.
e) Bahwa seluruh kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan hukum dalam arti bahwa
ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional.
2. Perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan ekonomi
a) Bahwa kekayaan wilayah nusantara, baik potensial maupun efektif adalah modal dan
milik bersama bangsa dan bahwa keperluan hidup sehari-hari harus tersedia merata di
seluruh wilayah tanah air.
13
b) Tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang di seluruh daerah, tanpa
meninggalkan ciri-ciri khas yang dimiliki oleh daerah-daerah dalam mengembangkan
kehidupan ekonominya.
3. Perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan sosial budaya
a) Bahwa masyarakat Indonesia adalah satu, perikehidupan bangsa harus merupakan
kehidupan yang serasi dengan terdapatnya tingkat kemajuan masyarakat yang sama,
merata dan seimbang serta adanya keselarasan kehidupan yang sesuai dengan kemajuan
bangsa.
b) Bahwa budaya bangsa Indonesia pada hakikatnya adalah satu, sedangkan corak ragam
budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya yang menjadi modal dan landasan
pengembangan budaya bangsa seluruhnya, yang hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh
bangsa.
4. Perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan pertahanan dan keamanan
a) Bahwa ancaman terhadap satu daerah pada hakikatnya merupakan ancaman bagi
seluruh bangsa dan negara.
b) Bahwa tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama di dalam
pembelaan warga negara.
2.6 Unsur Dasar Wawasan Nusantar
Wawasan nusantara sebagai cara pandang bangsa Indonesia merupakan fenomena
dinamis yang memiliki tiga unsur dasar, yaitu wadah, isi dan tata laku. Unsur wadah dan isi
yang membentuk wawasan nusantara sedangkan tata laku merupakan konsepsi pelaksanaan
mewujudkan wawasan nusantara.
1. Unsur Wadah
Wadah sebagai unsur terbentuknya konsepsi wawasan nusantara adalah tempat atau
organisasi dimana bangsa Indonesia memandang diri dan lingkungannya berdasarkan
pancasila dan UUD 1945 yang berwujud sebagai satu kesatuan wilayah yang utuh berupa
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah dari NKRI merupakan satu kesatuan dari
wilayah perairan dan daratan sesuai dengan deklarasi Djuanda dan sejalan dengan asas
archipelago. Archipelago berasal dari bahasa Yunani, archi yang berarti penting dan
pelagos yang berarti lautan. Dengan demikian asas archipelago menganut bahwa, perairan
14
lebih penting dari daratan. Asas archipelago mengandung pengertian wilayah lautan
dengan kumpulan pulau-pulau didalamnya.
2. Unsur Isi
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai wadah dari wawasan nusantara baik
sebagai wujud wilayah maupun organisasi negara perlu diisi dengan kehendak atau
aspirasi dari bangsa Indonesia yang berupa cita-cita nasioanl berdasarkan pancasila da
UUD 1945 dalam mewujudkan satu cara pandang bangsa Indonesia yang melihat
Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh dalam rangka mencapai tujuan nasional.
3. Tata Laku
Tata laku sebagai unsur dari wawasan nusantara adalah kegiatan atau perilaku bangsa
Indonesia dalam melaksanakan aspirasi guna mewujudkan Indonesia sebagau satu
kesatuan yang utuh menyeluruh dalam mencapai tujuan nasional. Tata laku terdiri dari tata
laku batiniyyah yang berwujud pengamalan pancasila yang melahirkan sikap mental
bangsa dan tata laku lahiriyyah yang berwujud pelaksanaan UUD 1945 oleh seluruh rakyat
maupun aparatur negara.
2.7 Sasaran Implementasi Wawasan Nusantara dalam Kehidupan Nasional
Implementasi atau penerapan wawasan nusantara sebagai landasan visional bangsa
haruslah tercermin pada pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang senantiasa mendahulukan
kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Dengan kata
lain wawasan nusantara menjadi dasar cara berpikir, bersikap dan bertindak dalam
menghadapi berbagai permasalahan yang menyangkut kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Implementasi wawasan nusantara haru berorientasi pada kepentingan rakyat
dan wilayah tanah air secara utuh dan menyeluruh, sebagai berikut:
1. Politik
Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan politik akan menciptakan iklim
penyelenggaraan negara yang sehat dan dinamis. Hal tersebut napak dalam wwujud
pemerinahan yang kuat aspiratif dan terpercaya yang dibangun sebagai penjelmaan
kedaulatan rakyat.
2. Ekonomi
Implementasi dalam bidang ekonomi akan menciptakan tatanan ekonomi yang
menjamin pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara
merata dan adil. Disamping itu, implementasi wawasan nusantara mencerminkan tanggung
15
jawab pengelolaan sumber daya alam yang memerhatikan kebutuhan masyarakat
antardaerah secara timbal balik serta kelestarian sumber daya alam itu sendiri.
3. Sosial Budaya
Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan sosial budaya akan menciptakan
sikap batiniah dan lahiriah yang mengakui, menerima dan menghormati setiap bentuk
perbedaan sebagai kenyataan hidup sekaligus karunia sang pencipta serta akan
menciptakan kehidupan yang rukun dan bersatu tanpa diskriminasi suku, asal-usul daerah,
agama ataupun status sosialnya.
4. Pertahanan Keamanan
Implementasi di bidang pertahanan keamanan akan menumbuhkembankan
kesadaran cinta tanah air dan bangsa yang lebih lanjut akan membentuk sikap bela negara
pada setiap warga negara Indonesia. Sikap bela negara akan menjadi modal utama yang
akan menggerakkan partisipasi setiap warga negara Indonesia dalam menanggapi suatu
bentuk ancaman.
Pengimplementasian wawasan nusantara dalam setiap pranata sosial yang berlaku di
masyarakat yang heterogen akan mendinamiskan kehidupan sosial yang akrab, peduli,
toleran, hormat dan taat hukum. Hal ini menggambarkan sikap, paham, dan semangat
kebangsaan atau nasionalisme yang tinggi sebagai identitas bangsa Indonesia.
16
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kasus Pencurian dan Pengambilan Pasir Indonesia oleh Singapura
Ambalat adalah sebuah gugus pulau di sekitar 118.2558 Bujur Timur (BT)-118.254167
BT dan 2.56861 Lintang Utara (LU)- 3.79722 LU yang terletak di perairan Laut Sulawesi,
sebelah timur Pulau Kalimantan Timur. Sengketa Ambalat Indonesia-Malaysia menyeruak
karena klaim kepemilikan. Pada 2005, krisis Ambalat ditandai dengan show of force kedua
angkatan bersenjata, penembakan kapal nelayan kita oleh Malaysia, dan aneka aksi
demonstrasi mengecam Malaysia. Ambalat disebut sebagai wilayah Republik Indonesia (RI)
sesuai Undang-undang No 4 Tahun 1960 tentang Perairan RI yang telah sesuai dengan
konsep hukum Negara Kepulauan (Archipelagic State). Undang-undang ini telah diakui
dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the
Sea/UNCLOS) ditetapkan dalam Konferensi III PBB di Montego Boy, Jamaika, 10
Desember 1982. Konvensi ini kemudian diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang
No 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS.
Malaysia mengklaim Ambalat sebagai wilayah kedaulatannya sesuai dengan peta
wilayah yang dibuat Malaysia pada 1979. Peta itu didasarkan pada The Convention on The
Territorial Sea and the Contiguous zone 1958 dan The Continental Self Convention 1958.
Peta Laut 1979 tersebut juga telah memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan ke dalam
wilayah Malaysia. Malaysia memberi Ambalat (wilayah XYZ) kepada Shell atas dasar
perjanjian bagi hasil (Production Sharing Contract ) pada 16 Februari 2005.
Masalah Penting
Masalah Ambalat menjadi penting bagi Indonesia karena setidak-tidaknya ia mencakup
tiga dari empat variabel kepentingan nasional. Pertama, dari sisi keamanan nasional, ada
masalah penjagaan integritas wilayah nasional yang cukup sensitif. Bagi kaum realisme
politik internasional, masalah- masalah keamanan nasional semacam ini justru menjadi fokus
utama kebijakan negara. Pengamat militer, Andi Wijayanto dalam wawancara TVOne
17
(27/5/09) menyatakan, langkah Malaysia sejatinya bisa dimaknai sebagai upaya ingin
menguji kedaulatan efektif kita atas Ambalat.
Kedua, ada persoalan citra dan harga diri bangsa karena perasaan terlecehkan sebagai
negara berdaulat dengan manuver angkatan laut Malaysia. Ini berakumulasi dengan memori
kehilangan kita atas Sipadan dan Ligitan, aneka kasus kekerasan pada TKI, klaim Malaysia
atas Lagu ”Rasa Sayange”, reog dan batik misalnya. Artinya para patriot dan nasionalis
menginginkan bahwa harga diri kita harus tegak sebagai bangsa berdaulat.
Ketiga ada ancaman bagi kesejahteraan ekonomi karena potensi ekonomi dari minyak
Ambalat ditakutkan jatuh ke pihak luar. Pakar ekonomi minyak Dr Kurtubi pada 2005
menyatakan secara kasar Ambalat memiliki cadangan migas seharga 40 miliar dolar AS.
Tentu, nilai ini cukup signifikan jika bisa masuk ke kas negara kita
Dengan ketiga kepentingan nasional tersebut, maka pilihan instrumen politik luar negeri
yang tersedia adalah diplomasi atau konfrontasi. Namun diplomasi memiliki beberapa
kelebihan. Pertama, pada tataran praktik, secara nyata telah ada upaya diplomasi sejak 2005
yang dijalankan kedua negara untuk menyelesaikan Ambalat. Menteri Pertahanan Juwono
Sudarsono (20/5/09) juga menyatakan perundingan Ambalat masih berlangsung. Artinya
pilihan penyelesaian diplomatik adalah yang paling rasional meski harus dikawal.
Komunikasi Diplomatik
Penyelesaian diplomatik dimulai dengan pembukaan komunikasi diplomatik Indonesia
dengan Malaysia (keterangan pers Departemen Luar Negeri, Jumat 4 Maret 2005). Malaysia
menjawab pada 25 Februari 2005 dengan menyampaikan pandangan mereka bahwa wilayah
itu adalah wilayahnya. Presiden SBY kemudian berkomunikasi dengan Perdana Menteri
Malaysia Abdullah Ahmad Badawi melalui telepon Senin 8 Maret 2005 sebelum meninjau
Ambalat. Pembicaraan berlangsung konstruktif untuk menyelesaikan masalah dengan baik
dan Badawi pun akan mengirimkan Menteri Luar Negeri Malaysia untuk mengunjungi
Indonesia.
Diplomasi memasuki babak baru setelah Menlu Malaysia Syed Hamid Albar bertemu
dengan Menlu RI Hasan Wirajuda di Jakarta (9/3/2005) bahkan diterima oleh Presiden SBY.
Dalam pertemuan antarmenlu telah disepakati bahwa kedua belah pihak akan membentuk tim
teknis yang akan melakukan perundingan ke arah penyelesaian Blok Ambalat. Pertemuan
”penyelesaian diplomasi” pertama dilakukan pada 22 dan 23 Maret 2005. Pertemuan tim
teknis Indonesia-Malaysia dilanjutkan di Langkawi pada 25-26 Mei, di Yogyakarta 25-26
Juli, di Johor Baru pada 27-28 September 2005 dan Desember 2005.
18
Namun hingga 2006 masalah sengketa Blok Ambalat antara Malaysia dan Indonesia
masih dalam proses perundingan oleh kedua negara dan belum ada penyelesaian yang dapat
diterima oleh kedua negara. Dalam pertemuan bilateral antara PM Abdullah Ahmad Badawi
dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Gedung Negara Tri Arga, Bukittinggi,
Sumatera Barat, pada 12-13 Januari 2006 telah disepakati bahwa, sengketa Blok Ambalat
akan terus diselesaikan secara perundingan.
Kedua, secara moral penyelesaian diplomasi lebih dipilih karena diplomasi merupakan
instrumen politik luar negeri yang beradab, murah, dan terukur. Konfrontasi dan perang
semakin banyak dicibir karena tidak hanya mahal tetapi juga karena efek rusaknya yang sulit
terkontrol. Yang menyedihkan adalah analisa bahwa dari sisi Alutsista kita akan kalah.
Perintah untuk tidak mengeluarkan tembakan dari kapal perang kita da cukup mengusir kapal
Malaysia cukup bijaksana. Alasan lain, Indonesia dan Malaysia adalah tetangga serumpun
yang ada dalam kerangka ”the ASEAN Way” dalam penyelesaian aneka sengketa yang ada.
Fase Diplomasi
Alur penyelesaian diplomatik yang telah disepakati sendiri mencakup dua fase. Fase
pertama adalah pembicaraan untuk mengeksplorasi dan mengetahui posisi masing-masing
negara atas klaimnya di Blok Ambalat. Fase kedua adalah bagaimana kedua negara bisa
menyepakati jalan keluar dari klaim tumpang tindih atas Blok Ambalat. Jalan keluar ini ada
tiga alternatif. Satu, negara yang bersengketa tidak menyepakati solusi dan membiarkan
permasalahan ini tidak terselesaikan (baca: mengambang) dengan catatan negara yang
bersengketa menyepakati suatu status quo. Dua, negara yang bersengketa tidak menyepakati
batas, tetapi bersepakat untuk melakukan pengelolaan bersama. Tiga, negara yang
bersengketa sepakat untuk membawa sengketa mereka ke forum penyelesaian sengketa. Alur
penyelesaian diplomatik yang telah disepakati sendiri mencakup dua fase. Fase pertama
adalah pembicaraan untuk mengeksplorasi dan mengetahui posisi masing-masing negara atas
klaimnya di Blok Ambalat. Fase kedua adalah bagaimana kedua negara bisa menyepakati
jalan keluar dari klaim tumpang tindih atas Blok Ambalat.
Jika diplomasi gagal maka krisis bisa kembali terjadi kapan saja. Konfrontasi akan
sangat kontra produktif bagi hubungan bilateral, maupun stabilitas regional ASEAN ke
depan. Krisis dan konfrontasi juga akan berakibat perluasan spektrum politik luar negeri tidak
lagi semata menjadi pembahasan para elite decision makers tetapi meluas merambah ke
wilayah keterlibatan publik. Ini tentu saja positif dalam konteks demokratisasi politik luar
negeri agar kebijakan yang diambil accountable terhadap rakyat.
19
Tetapi sayang, mencermati krisis terdahulu, keterlibatan publik lebih cenderung
mengarah kepada ekspresi emosi, kemarahan, sweeping, ajakan berperang, penggalangan
relawan dan sebagainya. Padahal eloknya keterlibatan itu lebih terarah kepada pernyataan
sikap, artikulasi kepentingan, maupaun aksi yang rasional dan terukur.
Penyelesaian Ambalat membutuhkan tidak hanya tekad dan upaya diplomasi bilateral
berkelanjutan tetapi juga sikap saling respek untuk tidak melakukan provokasi. Selagi
diplomasi masih bergulir, provokasi dan pelanggaran teritori tentu berbahaya. Bagi
Indonesia, diplomasi juga harus dikawal dengan menunjukkan kewibawaan, kekuatan dan
ketegasan. Kaum realis mengatakan, ‘’Jika ingin damai bersiaplah untuk berperang’’ (if you
want peace, prepare for war).
3.2 Upaya mengatasi Kasus Pencurian dan Pengambilan Pasir
Pendahuluan
Malaysia dan Indonesia adalah dua negara tetangga yang sangat dekat, bukan hanya dari
segi letak geografis tetapi dari segi budaya dan asal-usul bangsanya. Akan tetapi, walau
serumpun dengan bahasa yang mirip, hubungan kedua negara tidak bisa dikatakan selalu
rukun dan manis. Sejarah kedua bangsa pernah dihiasi tinta hitam peperangan, yang dikenal
dengan Konfrontasi Malaysia Indonesia pada tahun 1962-1965. Beberapa kasus sengketa
perbatasan wilayah pun pernah terjadi antara keduanya.
Pembahasan Masalah
Masalah antara Indonesia dan Malaysia seputar blok Ambalat mengemuka ketika terbetik
kabar bahwa pemerintah Malaysia melalui perusahaan minyak nasionalnya, Petronas,
memberikan konsesi minyak (production sharing contract) kepada perusahaan minyak Shell,
atas cadangan minyak yang terletak di Laut Sulawesi (perairan sebelah timur Kalimantan).
Pemerintah Indonesia mengajukan protes atas hal ini karena merasa bahwa wilayah itu berada
dalam kedaulatan negara Indonesia.
Sebenarnya klaim Malaysia terhadap cadangan minyak di wilayah itu sudah diprotes
Indonesia sejak tahun 1980, menyusul diterbitkannya peta wilayah Malaysia pada tahun
1979. Peta tersebut mengklaim wilayah di Laut Sulawesi sebagai milik Malaysia dengan
didasarkan pada kepemilikan negara itu atas pulau Sipadan dan Ligitan. Malaysia
beranggapan bahwa dengan dimasukkannya Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah kedaulatan
Malaysia, secara otomatis perairan di Laut Sulawesi tersebut masuk dalam garis wilayahnya.
20
Indonesia menolak klaim demikian dengan alasan bahwa klaim tersebut bertentangan dengan
hukum internasional.
Untuk memperjelas pokok permasalahan mengenai sengketa wilayah ini, kutipan dari
tulisan Melda Kamil Ariadno, Pengajar Hukum Laut Fakultas Hukum UI, Ketua Lembaga
Pengkajian Hukum Internasional (LPHI) FHUI, yang dimuat di Kompas, 8 Maret 2005, dapat
membantu.
Walaupun pemerintah Indonesia dan Malaysia berulang kali menegaskan bahwa
penyelesaian dengan cara kekerasan bukanlah pilihan yang mau diambil, dan kedua pihak
akan mengedepankan dialog melalui jalur-jalur diplomasi, masalah ini berkembang menjadi
perdebatan seru karena kedua pihak sama-sama kukuh pada pendiriannya. Malaysia melalui
Perdana Menteri Abdullah Badawi dan Menlu Syeh Hamid Albar menegaskan bahwa
pihaknya tidak salah dalam melakukan uniteralisasi peta 1979, dan bahwa konsesi yang
diberikan Petronas kepada Shell di perairan Laut Sulawesi berada di wilayah teritorial
Malaysia. Sementara pemerintah Indonesia melalui pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan
Deplu, TNI, maupun presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menegaskan bahwa Indonesia
tidak akan melepaskan wilayah itu karena wilayah itu merupakan kedaulatan penuh
Indonesia. Tentang hal itu jurubicara TNI AL, Laksamana Pertama Abdul Malik Yusuf
mengatakan kepada Asia Times, “We will not let an inch of our land or a drop of our ocean
fall into the hands of foreigners.”
Di Indonesia masalah ini kemudian menjadi santapan media massa dan memancing
reaksi keras dari berbagai kalangan masyarakat. Sentimen anti-Malaysia dengan slogan
“Ganyang Malaysia” pun lalu berkumandang. Kedutaan Besar dan Konsulat-konsulat
Malaysia tiba-tiba disibukkan dengan aksi unjuk rasa berbagai elemen masyarakat yang
mengecam sikap Malaysia itu. Di beberapa daerah aksi tersebut diwarnai dengan pembakaran
bendera Malaysia dan penggalangan sukarelawan “Front Ganyang Malaysia.” Pihak DPR-RI
pun bersuara keras meminta pemerintah bertindak tegas atas pelanggaran terhadap wilayah
kedaulatan RI di Laut Sulawesi. Di wilayah yang dipersengketakan pun ketegangan-
ketegangan terjadi antara tentara Malaysia dengan TNI. TNI menggelar pasukan dan kapal-
kapal perangnya di wilayah tersebut, yang dikatakan untuk mengimbangi kapal-kapal perang
Malaysia yang sudah lebih dulu ada di sana. Bahkan di Pulau Sebatik, yang berbatasan darat
dengan Malaysia, TNI dan Tentara Diraja Malaysia saling mengarahkan moncong senjatanya,
dan konon saling ejek pun kerap terjadi. Kapal-kapal perang Malaysia diberitakan
mengganggu pembangunan mercusuar di atol Karang Unarang, bahkan sempat menangkap
dan menyiksa seorang pekerjanya. Saling intimidasi antara kapal-kapal perang Malaysia dan
21
kapal-kapal TNI AL terjadi tiap hari. Yang paling parah terjadi pada tanggal 8 April 2005,
ketika KRI Tedong Naga saling serempet dengan KD Rencong di dekat Karang Unarang.
Insiden serempetan dua kapal perang itu kembali menghangatkan suasana, padahal
sebelumnya pada tanggal 22-23 Maret 2005, telah diadakan pertemuan teknis antara
perwakilan kedua negara untuk mencari solusi yang damai. Menlu Malaysia pun telah
diterima presiden, dan beberapa anggota DPR RI pun telah menemui PM Malaysia, untuk
membicarakan langkah-langkah diplomasi. Kedua pemerintahan juga sudah sepakat
melanjutkan dialog berkala setiap dua bulan.
Upaya Penyelesaian
Untuk mencari alternatif jalan keluar bagi masalah ini, kami akan memulai dengan
melihat bagaimana reaksi sangat keras muncul dari masyarakat Indonesia terhadap isu ini.
Padahal di Malaysia, menurut Menlu Malaysia dalam wawancaranya dengan Gatra,
masyarakatnya tenang-tenang saja dan menyerahkan persoalan sepenuhnya di tangan
pemerintah. Memakai pemikiran Shriver dalam bukunya An Ethics for Enemis:
Forgivenessin Politics , reaksi keras semacam ini bisa dikatakan sebagai akibat memori
kolektif sejarah ‘kekalahan’ Indonesia terhadap Malaysia. Memori masa konfrontasi dengan
Malaysia di zaman Sukarno, dan kemudian kekalahan Indonesia dari Malaysia dalam kasus
Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional, serta merta membangkitkan kemarahan kolektif
juga ketika Malaysia diberitakan ‘berulah’ lagi. Hal ini bisa dilihat dari porsi demikian besar
yang diberikan media terhadap masalah ini. Selain itu terlihat juga melalui komentar-
komentar yang dilontarkan, bukan hanya oleh masyarakat biasa, tetapi juga oleh para politisi.
Banyak yang mendorong pemerintah untuk bersikap keras, bahkan Zaenal Ma’arif, seorang
politisi dari Partai Bintang Reformasi (PBR) meminta pemerintah untuk segera menyatakan
perang melawan Malaysia.
Bila ditarik lebih jauh lagi, memori kolektif ‘kekalahan’ terhadap Malaysia ini bisa
dikaitkan juga dengan kenyataan bahwa jutaan orang Indonesia mengadu nasib sebagai
pekerja kelas rendahan di Malaysia. Rasa rendah diri sebagai bangsa bisa jadi tanda disadari
telah tertanam dalam memori kolektif bangsa, sehingga ketika ada gejolak sedikit saja, rasa
‘terinjak-injak’ itu begitu kuat. Namun demikian, kami menyadari juga bahwa untuk
menelusuri memori kolektif ini, diperlukan penelitian lanjut yang lebih mendalam. Akan
tetapi, dengan memperhatikan gejala-gejala yang ada, yaitu dalam reaksi keras masyarakat
Indonesia, setiap kali terjadi ‘persinggungan’ dengan Malaysia , kami berpendapat bahwa
22
langkah awal untuk menyelesaikan masalah dengan Malaysia untuk jangka panjang adalah
dengan menelusuri dan mengungkapkan memori kolektif itu. Tanpa itu dilakukan, hubungan
kedua bangsa yang bertetangga dan bersaudara serumpun ini, akan terus mengalami gejolak
seperti yang terjadi belakangan ini.
Selain mencermati reaksi keras masyarakat Indonesia, langkah berikutnya adalah
mencermati tindakan Malaysia melakukan klaim atas blok Ambalat ini. Memang informasi
yang dapat dikumpulkan tentang hal ini tidak begitu banyak, karena pemerintah Malaysia
maupun media Malaysia kelihatannya tidak terlalu membicarakan hal ini dengan terbuka.
Akan tetapi, kami tertarik melihat sikap Malaysia yang terlihat begitu enteng dalam
melakukan klaim, dan juga begitu yakin akan posisinya. PM Malaysia ketika ditanya tentang
protes Indonesia terhadap klaim Malaysia dengan enteng menyampaikan bahwa konsesi yang
diberikan Petronas kepada Shell di perairan Laut Sulawesi berada di wilayah teritorial
Malaysia. “Petronas pasti mengerti bahwa wilayah itu adalah wilayah Malaysia karena jika
itu wilayah orang lain, untuk apa Petronas sampai ke sana.”
Malaysia juga begitu yakin dengan pendiriannya menarik batas wilayah dengan
memakai asas titik pulau terluar, yang berlaku bagi negara kepulauan, padahal Malaysia
bukan termasuk Negara kepulauan. Bila memakai prinsip ini, maka terlihat bahwa klaim
Malaysia tidak hanya akan mencakup perairan Ambalat saja, tetapi bisa jauh masuk ke dalam
wilayah perairan antara Kalimatan bagian Timur dan Sulawesi Utara bagian Barat.
Sikap enteng Malaysia ini oleh beberapa pihak diduga karena Malaysia menganggap
masalah ini hanya masalah sumber daya alam. Sementara bagi Indonesia sengketa Ambalat
bukanlah sekadar sengketa untuk mendapatkan sumber daya alam. Blok Ambalat merupakan
wujud dari wilayah kedaulatan Indonesia. Kehilangan blok Ambalat berarti kehilangan
sebagian wilayah kedaulatan. Bahkan blok Ambalat bisa menjadi taruhan bagaimana
Indonesia mempertahankan kedaulatannya di wilayah yang dipersengketakan oleh negara
lain. Rakyat di Indonesia melihat sengketa blok Ambalat lebih sebagai masalah kedaulatan
dan harga diri bangsa ketimbang sekadar perebutan potensi sumber daya alam.
Dengan mengadopsi tujuh langkah penciptaan perdamaiannya Glenn Stassen, apa yang
dilakukan Malaysia ini jelas-jelas bukan langkah untuk menciptakan perdamaian. Karena itu
adalah tidak ada artinya sama sekali ketika Menlu Malaysia mengatakan bahwa pihaknya siap
berunding dengan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh klaimnya.
Langkah pertama dalam penciptaan perdamaian menurut Stassen adalah menetapkan
keamanan bersama (affirm common security), dengan membangun tatanan yang damai dan
adil bagi semua pihak. Penetapan batas wilayah dengan membuat peta secara sepihak, dengan
23
memakai pertimbangan menurut pengertian sepihak, seperti yang dilakukan oleh Malaysia,
adalah tindakan yang bisa dianggap kebalikan dari langkah ini. Penetapan batas wilayah
seperti itu justru menggoyahkan keamanan bersama, bahkan menciptakan ancaman bagi
pihak yang lain. Ketika ancaman sudah terjadi, dialog yang mau diadakan pun akan menjadi
lebih sulit untuk dijalankan dengan baik. Ini terlihat dalam pertemuan teknis Malaysia-
Indonesia membahas masalah Ambalat yang diadakan di Bali tanggal 22-23 Maret lalu.
Pertemuan itu berakhir tanpa hasil apa-apa, karena kedua pihak tetap pada pendirian masing-
masing.
Karena dalam kasus ini ancaman sudah terjadi, dan tatanan yang damai dan adil
digoyahkan, langkah kedua yang dianjurkan Stassen perlu diperhatikan baik-baik. Itu adalah
mengambil inisiatif lebih dulu untuk perdamaian (take independent initiatives). Dalam kasus
ini, pihak yang manakah yang mengambil inisiatif lebih dulu untuk menyelesaikan masalah?
Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa telah mengupayakan dialog atas klaim Malaysia ini
sejak lama, yaitu sejak tahun 1980, tetapi tidak mendapat tanggapan berarti, sampai kasusnya
menjadi besar karena diberikannya konsesi kepada Shell oleh Petronas Malaysia.
Pemerintah Malaysia melalui Menlunya mengatakan bahwa justru Indonesialah yang
melakukan inisiatif provokatif, dengan membangun mercusuar di atol Karang Unarang yang
diklaim Malaysia sebagai wilayahnya, sedangkan Malaysia selalu siap untuk berunding.
Hanya pertanyaan yang diajukan pihak Indonesia adalah berunding dengan kondisi seperti
apa? Apakah dengan kondisi melakukan pengakuan implisit akan klaim Malaysia lebih dulu
(dengan tidak memasuki lagi wilayah yang sudah diklaim Malaysia)? Pemerintah Indonesia
bersikukuh dialog dilakukan dengan tetap membangun mercusuar itu, karena itu termasuk
wilayahnya. Jalan tengah yang bisa ditawarkan adalah dengan membiarkan wilayah itu
menjadi wilayah tak bertuan untuk sementara, sampai ditemukan titik temu melalui dialog.
Namun, melihat perkembangan yang ada sekarang. Kelihatannya pilihan status quo itu juga
enggan untuk diterima.
Akan tetapi, ada langkah ketiga menurut Stassen, yaitu Talk to your enemy. Bicaralah,
lakukan negosiasi/perundingan, cari jalan keluar dengan memakai metode-metode
penyelesaian konflik Tentang hal ini, sudah dilakukan satu kali dan belum berhasil. Namun
dijanjikan untuk bertemu kembali bulan Mei, dan kita harus menunggu.
Sambil menunggu, langkah keempat mungkin bisa dilakukan. Itu adalah
mengutamakan hak asasi manusia dan keadilan. Penyelesaian konflik yang sudah terjadi
harus mengingat hal ini. Kampanye-kampanye anti Malaysia dengan semangat berperang
seperti membentuk Front Ganyang Malaysia, merekrut sukarelawan yang siap membela tanah
24
air melawan Malaysia, harus ditinggalkan. Perang hanya akan meninggalkan kesengsaraan.
Pengalaman konfrontasi berdarah di masa Soekarno seharusnya menjadi pelajaran. Banyak
jiwa yang melayang dan perekonomian negara pun morat marit karenanya. Yang harus
dikampanyekan adalah bagaimana menyembuhkan luka-luka bersama akibat memori kolektif
tadi itu. Selain itu, satu hal lain yang harus diperhatikan pemerintah Indonesia adalah
meningkatkan perhatiannya terhadap wilayah-wilayah terluar Indonesia. Sudah lama
wilayah-wilayah perbatasan seperti di ujung Barat Sumatera, ujung Utara Sulawesi, ujung
Selatan Timor, dan ujung Timur Papua, menjadi ‘anak terlantar’. Perhatian melalui
pembangunan fasilitas sosial bagi masyarakat di wilayah-wilayah ini sangat penting. Sipadan
dan Ligitan ditetapkan sebagai wilayah Malaysia oleh Mahkamah Internasional di tahun 1998
juga karena kedua wilayah itu tidak pernah ‘disentuh’ oleh Indonesia, namun dibangun dan
dikelola oleh Malaysia.
Langkah kelima dan keenam, yang menurut kami masih berkaitan erat adalah Memutus
lingkaran setan kekerasan, turut serta dalam penciptaan perdamaian dan Mengakhiri
propaganda saling menyalahkan, termasuk memberikan kompensasi/ganti rugi kepada yang
dirugikan. Langkah-langkah ini sangat penting, dan dalam kasus Malaysia dan Indonesia,
menurut saya kedua bangsa harus menoleh bersama ke belakang, sejarah konflik yang pernah
terjadi antara kedua bangsa harus diungkapkan, dan kemudian mencari jalan untuk
mengakhiri semua kecurigaan satu dengan yang lain .Kedua langkah ini terkait erat dengan
teori Shriver, “mengungkapkan untuk mengingat kejahatan yang sudah dilakukan, dan
kemudian mengampuni.”
Kemudian langkah yang terakhir adalah bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan
konflik ini dengan transparan dan terbuka. Semua upaya untuk pengungkapan masalah
dilakukan dengan jujur dan terbuka untuk kedua bangsa. Kami tidak setuju dengan pendapat
Menlu Malaysia yang mengatakan bahwa masalah ini hanya masalah teknis sehingga
masyarakat Malaysia tidak perlu tahu. Ini hanya urusan dua pemerintahan. Proses negosiasi,
kemajuan-kemajuan dan hambatan-hambatannya harus dibuat terbuka kepada publik,
sehingga publik bisa turut berpartisipasi dengan menyumbangkan opininya.
Penutup
Dengan menerapkan tujuh langkah ini dalam proses perundingan, serta dengan
menjalankan juga pengungkapan luka dalam memori kolektif kedua bangsa, masalah
sengketa Ambalat ini menurut kami akan bisa diselesaikan dengan lebih menyeluruh. Bukan
hanya sekedar menyelesaikan satu kasus yang sekarang saja, tetapi juga meletakkan dasar
25
bersama untuk menghadapi masalah-masalah serupa di masa mendatang. Namun demikian,
kami menyadari bahwa berteori selalu lebih mudah daripada menerapkan dalam kenyataan.
Memakai cara Shriver dan Stassen untuk menyelesaikan sengketa Ambalat juga masih perlu
dibuktikan. Akan tetapi, Glenn Stassen menunjukkan keberhasilan teorinya dalam
menyingkirkan rudal-rudal balistik di Eropa, karena itu kami bisa optimis juga, kalau cara ini
juga bisa saja berhasil di sini