74120773 makalah leukemia
DESCRIPTION
lTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit kanker pada anak umumnya jarang dibandingkan angka kejadian
kanker pada orang dewasa. Pada anak angka kejadian kanker 2-4 %, sangat kecil
dibandingkan angka kejadian penyakit lainnya seperti infeksi dan allergi. Namun,
dari data statistik menunjukkan kejadian penyakit kanker pada anak saat ini
memperlihatkan kecenderungan meningkat, dibandingkan dua dasa warsa yang
lalu. (1)
Leukemia adalah kanker anak yang paling sering, mencapai lebih kurang
33% dari kegasanasan pediatrik. Leukemia limfoblastik akut (LLA) berjumlah
kira-kira 75% dari semua kasus, dengan insidensi tertinggi pada umur 4 (empat)
tahun. Leukemia mieloblastik d akut (LMA) berjumlah kira-kira 20% dari
leukemia, dengan insidensi yang tetap dari lahir sampai usia 10 tahun, meningkat
sedikit pada masa remaja. Leukemia sisanya ialah bentuk kronis; leukemia
limfositik kronis (LLK) jarang ditemukan pada anak. Insidensi tahunan dari
keseluruhan leukemia adalah 42,1 tiap juta anak kulit putih dan 24,3 tiap juta
anak kulit hitam. Perbedaan itu terutama disebabkan oleh rendahnya kejadian
kejadian LLA pada orang kulit hitam. Gambaran klinis yang umum dari leukemia
adalah serupa karena semuanya melibatkan kerusakan hebat fungsi sum-sum
tulang. Tetapi, gambaran klinis dan laboratorium spesifik berbeda dan ada
perbedaan dalam respon terhadap terapi dan perbedaan dalam prognosis. (1)
1
1.2. Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk melengkapi persyaratan tugas kepanitraan klinik stase Ilmu
Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Haji Medan.
b. Tujuan Khusus
Memberikan penjelasan tentang Leukemia Pada Anak
BAB 2
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi (1,4,6)
Leukemia atau kanker darah adalah sekelompok penyakit neoplastik yang
beragam, ditandai oleh perbanyakan secara tak normal atau transformasi maligna
dari sel-sel pembentuk darah di sumsum tulang dan jaringan limfoid. Sel-sel
normal di dalam sumsum tulang digantikan oleh sel tak normal atau abnormal. Sel
abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau
darah tepi. Sel leukemia mempengaruhi hematopoiesis atau proses pembentukan
sel darah normal dan imunitas tubuh penderita.
Kata leukemia berarti darah putih, karena pada penderita ditemukan banyak
sel darah putih sebelum diberi terapi. Sel darah putih berasal dari sel stem di
sumsum tulang.
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah
putih mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Sel
darah putih yang tampak banyak merupakan sel yang muda, misalnya promielosit.
Jumlah yang semakin meninggi ini dapat mengganggu fungsi normal dari sel
lainnya.
2.2. Etiologi (1,7,8)
Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti, namun diketahui beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi frekuensi leukemia, seperti :
3
1. Radiasi
Radiasi dapat meningkatkan frekuensi LMA dan LMA. Tidak ada laporan
mengenai hubungan antara radiasi dengan LLK. Beberapa laporan yang
mendukung :
Para pegawai radiologi lebih sering menderita leukemia
Penderita dengan radioterapi lebih sering menderita leukemia
Leukemia ditemukan pada korban hidup
kejadian Hiroshima dan Nagasaki.
2. Leukemogenik
Pewarna tekstil (rhodamin) digunakan mewarnai jelly dan minuman agar
menarik minat anak-anak untuk dikonsumsi. Sayuran dan buah-buahan sudah
tercemar bahan kimia, akibat pemupukan dan insektisida, sebelum sampai
ketangan konsumen.
Hampir semua makanan saat ini menggunakan MSG, monosodium
glutamat, perasa yang berbahan kimia.
Obat untuk kemoterapi
Bahan bakar bensin
3. Genetic
Orang yang memiliki kelainan genetik tertentu (misalnya sindroma
Down dan sindroma Fanconi), juga lebih peka terhadap leukemia.
4. Virus
4
Virus HTLV-I (human T-cell lymphotropic virus type I), yang
menyerupai virus penyebab AIDS, diduga merupakan penyebab jenis
leukemia yang jarang terjadi pada manusia, yaitu leukemia sel-T dewasa.
2.3. Klasifikasi
Leukemia dapat diklasifikasikan berdasarkan (1,6,7) :
1. Perjalanan alamiah penyakit: akut dan kronis
Leukemia akut ditandai dengan suatu perjalanan penyakit yang sangat
cepat, mematikan, dan memburuk. Apabila tidak diobati segera, maka
penderita dapat meninggal dalam hitungan minggu hingga hari.
Leukemia kronis memiliki perjalanan penyakit yang tidak begitu cepat
sehingga memiliki harapan hidup yang lebih lama, hingga lebih dari 1
tahun bahkan ada yang mencapai 5 tahun.
2. Tipe sel predominan yang terlibat: limfoid dan myeloid
Kemudian, penyakit diklasifikasikan dengan jenis sel yang ditemukan
pada sediaan darah tepi.
Ketika leukemia mempengaruhi limfosit atau sel limfoid, maka
disebut leukemia limfositik.
Ketika leukemia mempengaruhi sel mieloid
seperti neutrofil, basofil, dan eosinofil, maka disebut leukemia
mielositik.
5
3. Jumlah leukosit dalam darah
Prevalensi empat tipe utama
Leukemia leukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah lebih dari
normal, terdapat sel-sel abnormal
Leukemia subleukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah kurang
dari normal, terdapat sel-sel abnormal
Leukemia aleukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah kurang
dari normal, tidak terdapat sel-sel abnormal
Dengan mengkombinasikan dua klasifikasi pertama, maka leukemia dapat dibagi
menjadi (1,6,7):
1. Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan tipe leukemia paling sering
terjadi pada anak-anak. Penyakit ini juga terdapat pada dewasa yang terutama
telah berumur 65 tahun atau lebih
2. Leukemia mieloblastik akut (LMA) lebih sering terjadi pada dewasa daripada
anak-anak.Tipe ini dahulunya disebut leukemia nonlimfositik akut.
3. Leukemia limfositik kronis (LLK) sering diderita oleh orang dewasa yang
berumur lebih dari 55 tahun. Kadang-kadang juga diderita oleh dewasa muda,
dan hampir tidak ada pada anak-anak
4. Leukemia mielositik kronis (LMK) sering terjadi pada orang dewasa. Dapat
juga terjadi pada anak-anak, namun sangat sedikit
Tipe yang sering diderita orang dewasa adalah LMA dan LLK, sedangkan
LLA sering terjadi pada anak-anak.
6
2.4. Leukemia Myeloblastik Akut (1,2,5,7,8)
A. Defenisi (1,7)
Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai
dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari
sel myeloid. Bila tidak diobati,penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara
cepat dalam waktu beberapa minggu sampai bulan sesudah diagnosis. (1)
Di Negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32%
dariseluruh kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa
(85%) dari pada anak(15%). Insidens LMA umumnya tidak berbeda dari masa
anak-anak hingga masa dewasa muda.Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA
meningkat secara eksponensial sejalan dengan meningkatnya usia.
LMA pada orang yang berusia 30 tahun adalah 0,8%, pada orang
yangberusia 50 tahun 2,7%, sedang pada orang yang berusia di atas 65 tahun
adalah sebesar 13,7%.Secara tidak umum tidak didapatkan adanya variasi antar
etnik tentang insidensi LMA, meskipun pernah dilaporkan adanya insidens LMA
tipa M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali besar pada ras Hispanik yang tinggal di Amerika
Serikat dibandingkan dengan ras Kaukasia (7)
B. Etiologi (1,5)
Etiologi LMA tidak diketahui. Meskipun demikian, ada beberapa faktor
yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor predisposisi
LMA pada populasi tertentu. Benzene merupakan zat leukomogenik untuk LMA.
7
Selain itu, radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA. Terdapat
penelitian pada orang-orang yang selamat dari serangan bom atom Hiroshima dan
Nagasaki pada tahun 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut
mulai tampak sejak 1.5tahun sesudah pengeboman dan mencapai puncak 6 atau 7
tahun sesudah pengeboman. Faktor lain yang merupakan predisposisi untuk LMA
adalah trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter sindrom
Down. Pasien sindrom Down mempunyai risiko 10 hingga 18 kali lebih tinggi
untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7. Selain itu pasien beberapa
sindrom genetik seperti sindrom Bloom dan anemia Fanconi juga
diketahuimempunyai risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal
untuk menderita LMA.Faktor lain yang memicu terjadinya LMA adalah
pengobatan dengan kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. LMA akibat
terapi adalah komplikasi jangka panjang yang serius dari pengobatan limfoma,
mieloma multipel, kanker payudara, kanker ovarium dan kanker testis. Jenis
kemoterapi yang paling sering memicu timbulnya LMA adalah
golongan alkalyting agent dan topoisomerase II inhobitor. LMA akibat terapi
mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan LMA de novo sehingga di
dalam klasifikasi leukemia versi WHO dikelompokkan tersendiri. (1,5)
C. Pathogenesis (1,7)
Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang
menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda
(blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast disumsum tulang. Akumulasi blast di
8
dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan
pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone
marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia
(anemia,leukopenia dan trombositopenia). Adanya anemia akan menyebabkan
pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat sesak nafas, adanya
trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedang adanya
leukopenia akan menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi,termasuk infeksi
oportunistis dari flora bakteri normal yang ada di dalam tubuh manusia. Selain itu,
sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar sumsum
tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak
dan sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala
akibatnya. (1)
D. Tanda dan gejala (1,5)
Tidak selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50%
kasus LMA, sedang15% pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan
sekitar 35% pasien mengalami netropenia. Meskipun demikian, sel-sel
blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus
LMA. Oleh karena itu sangat penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel
leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan
diagnosis pada orang yang diduga menderita LMA.
Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan
infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana
9
disebutkan di atas. Perdarahan biasanya terjadi adalam bentuk purpura atau
petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis,
perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada
kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling sering dijumpai di
tenggorokan,paru-paru, kulit dan daerah perirektal, sehingga organ-organ tersebut
harus diperiksa secara teliti pada pasien LMA dengan demam. (5)
Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (>100 ribu/mm3),
sering terjadi leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat
aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis, yaitu terjadinya
gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri.
Gejala leukostasis sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang
sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan
priapismus. Angka leukosit yang sangat tinggi juga sering menimbulkan gangguan
metabolisme berupa hiperurisemia dan hipoglikemia. Hiperurisemia terjadi akibat
sel-sel leukosit yang berproliferasi secara cepat dalam jumlah yang besar.
Hipoglikemia terjadi karena konsumsigula in vitro dari sampel darah yang akan
diperiksa, sehingga akan dijumpai hipoglikemia yang asimptomatik karena
hipoglikemia tersebut hanya terjadiin vitro tetapi tidak in vivo pada tubuh pasien.
Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi tergantung
organ yang diinfiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan menyebabkan leukemia
kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang
infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan nodul di bawah kulit
(lkoroma). Infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi. Meskipun jarang, pada LMA juga
10
dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah meninges dan untuk penegakan
diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang diambil
melalui prosedur pungsi lumbal. (1)
E. Diagnosis
LMA khas menunjukkan tanda dan gejala yang berkaitan dengan kegagalan
sumsum tulang. LMA harus dipertimbangkan dalam evaluasi setiap penderita
dengan pucat, demam, infeksi, atau perdarahan. Hepatosplenomegali sering,
limfadenopati mungkin ada. Hipertrofi gingiva atau pembengkakan kelenjar
parotis jarang tetapi merupakan temuan yang sugestif. Massa lokal dari sel
leukemia (kloroma), mungkin timbul di tempat manapun, tetapi daerah retro
orbital dan epidural paling sering. Kloroma dapat mendahului infiltrasi sel
leukemia sumsum tulang. Hitung darah biasanya abnormal. Anemia dan
trombositopenia sering mencolok. Hitung leukosit mungkin tinggi, rendah, atau
normal. Blast leukemia mungkin nyata pada preparat apus darah. (1,6)
LMA mungkin timbul pada anak yang mula-mula hanya menunjukkan
anemia, leokopenia atau trombositopenia saja. Keadaan ini, yang lebih sering
terjadi pada dewasa, khas disebut sindrom mielodisplasia. Sindrom mielodisplasia
mempunyai beberapa kesamaan dengan LMA, tetapi sumsum tulang mengandung
persentase sel blast yang lebih rendah dan mempunyai gambaran displasia yang
khas, termasuk megaloblastosis. Penderita mungkin tidak tampak sakit pada
waktu diperiksa dan hanya anemia dan leukopenia yang mendorong mereka untuk
memeriksakan diri ke dokter. Gambaran khasnya meliputi kelainan morfologi sel
11
darah dan sumsum tulang. Perjalanan alamiah sindrom mielodisplasia pada anak
tidak begitu jelas, tetapi dapat timbul pada anak yang mendapat terapi keganasan
sebelumnya. (6)
Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik,
morfologi sel dan pewarnaan sitokimia. Sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu
berkembang 2 teknik pemeriksaan terbaru: immunoserotyping dan analisis
sitogenetik. Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia,
klasifikasi LMA terdiri dari 8 subtipe (M0 sampai M7). Klasifikasi ini dikenal
dengan nama klasifikasi FAB (French American British). Klasifikasi FAB saat ini
masih menjadi dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien LMA
adalah Sudan Black B (SBB) dan mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan
sitokimia tersebut akan memberikan hasil positif pada pasien LMA tipe M1, M2,
M3, M4 dan M6.
Klasifikasi menurut FAB (1)
LMA-M0 : Leukemia mielositik akut : Diferensiasi minimal
LMA-M1 : leukemia mieloblasti akut : tanpa maturasi
LMA-M2 : Leukemia mieloblastik akut : dengan maturasi
LMA-M3 : leukemia promielositik akut
LMA-M4 : leukemia mielomonositik akut
LMA-M5 : leukemia monositik akut
12
LMA-M6 : Eritroleukemia
LMA-M7 : Leukemia megakariositik akut
Di antara anak, jumlah kasus dengan subtipe M0, M1, dan M2 kira-kira
sama dengan jumlah penderita dengan M4 dan M5, tipe FAB ini bertanggung
jawab atas 80% dari LMA masa kanak-kanak. Subtipe M3 dan M7 lebih jarang,
dan M6 langka. Sistem klasifikasi ini memudahkan penelitian mengenai
perjalanan klinis dan memungkinkan pembandingan berbagai terapi. Peristiwa
molekuler spesifik mendasar beberapa tipe FAB.
Meskipun diatesis hemoragi (DIC pada waktu pertama diperiksa atau
kemudian) dapat terjadi pada semua kelompok FAB, penderita dengan leukemia
promielositik akut (M3) yang terutama beriksiko. Penemuan yang hampir selalu
tetap pada subtipe ini adalah translokasi materi genetik antara kromosom 15 dan
17, ini menghasilkan gena fusi yang meliputi gena yang menjadi reseptor asam
retinoat-α. Asam retinoat dapat secara efektif menginduksi remisi pada penderita
ini. Translokasi antara kromosom 8 dan 21, khas terdapat pada M2, berkaitan erat
dengan kloroma. Inversi material genetik di kromosom 16 dapat dijumpai pada
M4, di mana eosinofilia merupakan gambaran yang menonjol.
Perubahan kromosom, termasuk trisomi 8 dan delesi sempurna atau
sebagian dari kromosom 5 atau 7, mungkin ada, Delesi kromosom 5 atau 7
terutama sering pada sindrom mielodisplasia sekunder dan LMA sekunder.
Leukemia mielogenik kronis juvenil (juvenile chronic myelogenous
leukemia (JCML)) tidak seperti leukemia myeloid kronis (chronic myeloid
13
leukemia (CML)) tipe dewasa, tetapi mempunyai gambaran yang serupa dengan
gambaran LMA dan sindrom mielodsiplasia. Kromosom Philadelphia tidak ada
poada JCML. Gejala dan tanda nonspesifik meliputi demam, lesu, pembesaran
hati dan limpa, dan adenopati. Erupsi kulit makulopapular desquamatif kronis
sering mengaburkan diagnosis. Kenaikan Hb-F yang mencolok, yang dapat
mencapai 50%, dan leukositosis (terutama monositosis darah dan sumsum tulang)
merupakan temuan yang mencolok. JCML jarang ditemukan pada umur lebih dari
5 tahun dan mungkin lebih sering pada anak dengan neurofibromatosis tipe 1,
kasus-kasus familier atau herediter pernah dilaporkan.
Klasifikasi WHO Untuk LMA(1,6,8)
I. I.LMA dengan translokasi sitogenetik rekuren
LMA dengan t (8;21) (q22;q22),AML 1 (CBFα)/ETO APL dengan
t(15;17) (q22;q11-12) dan varian-variannya, PML/RARα
LMA dengan eosinofil sumsum tulang abnormal dengan inv (16)
(p13q22) atau t (16;16) (p13;q11) CBFβ/MHY11
LMA dengan abnormalitas 11q23 (MLL)
II. LMA dengan multilineage dysplasia dengan sindrom myelodisplasia tanpa
sindrom myelodisplasia
III. LMA dan sindrom myelodisplastik yang berkaitan dengan terapi akibat
obat alkilasi akibat epipodofilotoksin (beberapa merupakan kelainan
limpfoid) tipe lain.
IV. LMA yang tidak terspesifikasi
LMA diferensiasi minimal
14
LMA tanpa maturasi
LMA dengan diferensiasi monositik
Leukemia monositik akut
Leukemia eritroid akut
Leukemia megakariositik akut
Leukemia basofilik akut Panmielosis akut dengan mielofibrosis
F. Penatalaksanaan (2,3,10)
Terapi LMA direncanakan untuk tujuan kuratif. Penderita yang mempunyai
peluang besar untuk mencapai tujuan kuratif adalah mereka yang berusia <60
tahun, tanpa komorbiditas yang berat serta mempunyai profil sitogenik yang
favorable. Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang maksimal, sangat penting
untuk melakukan skrining awal dengan teliti sebelum pengobatan dimulai.
Skrining awal ini, terutama ditujukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya
infeksi, gangguan fungsi jantung (regimen terapi standar LMA mengandung
preparat golongan antrasiklin yang bersifat kardiotoksik) dan adanya koagulopati
yang sering ditemukan pada penderita LMA. Selain itu, penderita yang
mempunyai angka leukosit pra-terapi yang sangat tinggi (>100 ribu/mm3),
mungkin memerlukan tindakan leukoparesis emergensi untuk menghindari
leukostaisi dan sindrom tumor lisis akibat terapi induksi, sangat penting untuk
mengingatkan agar terapi LMA sebaiknya dilakukan di rumah sakit yang
mempunyai tim leukemia yang bersifat multi-disiplin, sarana laboratorium
mikrobiologi yang memadai, akses untuk transfusi darah yang lengkap serta ruang
15
steril/semi-steril untuk pelaksanaan pengobatan. Tanpa prasarana tersebut angka
kematian saat pengobatan akan sangat tinggi.
Untuk mencapai hasil pengobatan yang kuratif harus dilakukan eradikasi sel-
sel klonal leukemik dan memulihkan hematopoesis normal di dalam sumsum
tulang. Survival jangka panjang hanya didapatkan pada pasien yang mencapai
remisi komplit. Dosis kemoterapi tidak perlu diturunkan karena alasan adanya
sitopenia, karena dosis yang diturunkan ini tetap akan menimbulkan efek samping
berat berupa supresi sumsum tulang, tanpa punya efek yang cukup untuk
mengeradikasi sel-sel leukemik maupun untuk mengembalikan fungsi sumsum
tulang.
Eradikasi sel-sel leukemik yang maksimal, memerlukan strategi pengobatan
yang baik.Umumnya regimen kemoterapi untuk pasien LMA terdiri dari dua fase:
fase induksi dan fasekonsolidasi. Kemoterapi fase induksi adalah regimen
kemoterapi yang intensif bertujuan untuk mengeradikasikan sel-sel leukemik
secara maksimal sehingga tercapai remisi komplit. Istilah remisi komplit
digunakan bila jumlah sel-sel darah di peredaran darah tepi kembali normal
sertapulihnya populasi sel di sumsum tulang termasuk tercapainya jumlah sel-sel
blast <5%. Perlu ditekankan disini, meskipun terjadi remisi komplit tidak berarti
sel-sel klonal leukemik telah tereradikasi seluruhnya, karena sel-sel leukemik akan
terdeteksi secara klinik bila jumlahnya lebih dari 109 log sel. Jadi pada kasus
remisi komplit, masih tersisa sejumlah signifikan sel-sel leukemik di dalam tubuh
pasien tetapi tidak dapat dideteksi. Bila dibiarkan, sel-sel ini berpotensi
menyebabkan kekambuhan di masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu,
16
meskipun pasien telah mencapai remisi komplit perlu ditindak lanjuti dengan
program pengobatan selanjutnya yaitu kemoterapi konsolidasi. Kemoterapi
konsolidasi biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan menggunakan
obat dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar dari dosis yang digunakan
pada fase induksi. Pengobatan eradikasi sel-sel tumor ini sebenarnya dapat
menyebabkan eradikasi sisa-sisa sel hematopoiesis normal yang ada di dalam
sumsum tulang, sehingga pasien LMA akan mengalami periode apalsia pasca
terapi induksi. Pada saat tersebut pasien sangat rentan terhadap infeksi dan
perdarahan. Pada kasus yang berat kedua komplikasi ini dapat berakibat fatal.
Oleh karena itu terapi suportif berupa penggunaan antibiotika dan transfusi
komponen darah (khususnya sel darah merah dan trombosit) sangat penting untuk
menunjang keberhasilan terapi LMA. Terapi LMA dibedakan menjadi 2 yaitu
terapi untuk LMA pada umumnya dan terapi khusus untuk leukemia promielositik
akut (LPA)
Terapi LMA pada umumnya (10)
Terapi standar 7+3 adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin
dan daunorubisin dengan protokol sitarabin 100mg/m2 diberikan secara infus
kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari.
Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi komplit dengan terapi sitarabin dan daun
orubisin yang diberikan sebagai obat tunggal, sedang bila diberikan sebagai
kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. Bila terdapat
residual disease pada hari ke-28 perlu dipertimbangkan adanya gagal terapi
primer dan perlu dimulai terapi alternatif dengan regimen lain.
17
Pada pasien dengan gangguan fungsi jantung pemakaian antrasiklin
merupakan kontra indikasi terutama bila terdapat riwayat miokard infark dan
fraksi ejeksi kurang dari 50%. Pilihan terapi pada kondisi ini adalah high dose
cytarabine (ara-C)/HDAC. Regimen terapi yang dipakai pada HDAC adalah
sitarabin 2-3 g/m2 infus iv selama 1-2 jam tiap 12 jam selama 12 dosis atau
sitarabin 2-3 g/m2 selama 2 jam setiap 12 jam pada hari 1,3 dan 5. (10)
Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa kemoterapi konsolidasi,
transplantasi sel stem hematopoetik (hematopoetic stem cell transplantion/HSCT)
otolog, atau HSCT alogenik. Jenis terapi pada pasca remisi ditentukan
berdasarkan usia dan faktor prognostik, terutama profil sitogenetik. Sebagian
besar pasien usia muda memberikan respons yang lebih baik dibanding pasien
usia tua.
Bila terjadi relaps dapat diberikan lagi kemoterapi intensif dan/atau HSCT
untuk mencapai remisi komplit kedua atau hanya diberikan perawatan suportif.
Pencapaian remisi komplit kedua tidak begitu dipengaruhi karakter sitegenetik,
namun lebih dipengaruhi oleh durasi remisi komplit pertama, usia, dan ada
tidaknya komorbiditas aktif. Durasi median remisi komplit kedua umumnya
kurang dari 6 bulan bila tanpa HSCT dengan disease-free survival kurang dari 10
bulan. Survival meningkat bila sebelumnya pasien telah menjalani HSCT
alogenik, namun donor untuk prosedur tersebut umumnya terbatas.
G. Prognosis (1,5)
Dengan terapi agresif, 40-50% penderita yang mencapai remisi akan hidup
lama (30-40% angka kesembuhan keseluruhan). Penderita yang mengalami relaps
18
setelah mendapat kemoterapi atau transplantasi autolog dapat diterapi dengan
transplantasi dengan CST allogenik sebagai terapi penyelamatan. Beberapa
subtipe morfologi atau genetik LMA mempunyai prognosis yang semakin baik.
2.5. Leukemia limfositik akut (1,2,3,9)
A. Defenisi
Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan suatu keganasan klonal dari
sel-sel prekursor limfoid,akibat kerusakan gen DNA yang terdapat pada tulang
belakang. LLA adalah kanker tersebar yang pertama kali terbukti dapat
disembuhkan dengan kemoterapi dan radiasi. LLA terjadi sedikit lebih sering pada
anak lelaki dibandingkan anak perempuan. Laporan mengenai kluster geografik
leukemia anak memberi kesan peran faktor lingkungan. Namun, telaah balik
secara hati-hati tidak mendukung kebanyakan dari hubungan yang diajukan.
Leukemia limfoid terjadi lebih sering dengan yang diharapkan pada penderita
dengan immune defisiensi (hipo gamma globulinemia) kongenital, ataksia-
telangiektasi) atau dengan dengan defek kromosom konstitusional (trisomi 21). (1,9)
B. Etiologi (1,9)
Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti. Diperkirakan bukan
penyebab tunggal tetapi gabungan dari faktor resiko antara lain :
Terinfeksi virus. Agen virus sudah lama diidentifikasi sebagai penyebab
leukemia pada hewan. Pada tahun 1980, diisolasi virus HTLV-1 dari
19
leukemiasel T manusia pada limfosit seorang penderita limfoma kulit dan
sejak saat itu diisolasi dari sampel serum penderita leukemia sel T.
Faktor Genetik. Pengaruh genetik maupun faktor-faktor lingkungan
kelihatannya memainkan peranan , namun jarang terdapat leukemia
familial, tetapi insidensi leukemia lebih tinggi dari saudara kandung anak-
anak yang terserang , dengan insidensi yang meningkat sampai 20% pada
kembar monozigot (identik).
Kelainan Herediter. Individu dengan kelainan kromosom, seperti Sindrom
Down, kelihatannya mempunyai insidensi leukemia akut 20 puluh kali
lipat.
Faktor lingkungan.
Radiasi. Kontak dengan radiasi ionisasi disertai manifestasi
leukemia yang timbul bertahun-tahun kemudian.
Zat Kimia. Zat kimia misalnya : benzen, arsen,
kloramfenikol, fenilbutazon, dan agen antineoplastik
dikaitkan dengan frekuensi yang meningkat khususnya
agen-agen alkil. Kemungkinan leukemia meningkat pada
penderita yang diobati baik dengan radiasi maupun
kemoterapi.
C. Patologi (1,9)
20
Kasus LLA disubkalasifikasikan menurut gambaran morfologi dan
imunologi, dan genetik sel induk leukemia. Diagnosis pasti biasanya didasarkan
pada pemeriksaan aspirasi sum-sum tulang. Gambaran sitologi sel induk sangat
bervariasi walaupun dalam satu cuplikan tunggal, sehingga tidak ada satu
klasifikasi yang memuaskan. Sistem Prancis-Amerika-Inggris membedakan tiga
subtipe morfologi L1, L2 dan L3. Pada limfoblas L1 umumnya kecil dengan
sedikit sitoplasma, pada sel L2 lebih besar dan pleomorfik dengan sitoplasma
lebih banyak, bentuk inti ireguler, dan nukleoli nyata, dan sel L3 mempunyai
kromatin inti homogen dan berbintik halus, nukleoli jelas, dan sitoplasma biru tua
dengan vakuolisasi nyata. Karena perbedaan yang subyektif antara blas L1 dan L2
dan korelasi dengan penanda imunologik dan genetik yang sedikit, hanya subtipe
L3 yang mempunyai arti klinis.
Klasifikasi Leukemia limfositik Akut Menurut French-American-British (FAB) (1)
L-1 :Pada masa anak-anak populasi sel homogen
L-2 :Leukemia limfositik akut tampak pada orang dewasa populasi sel
heterogen
L-3 :Limfoma burkitt tipe sel-sel besar populasi homogen
Klasifikasi LLA bergantung pada kombinasi gambaran sitologik,
imunologik dan kariotip. Dengan antibodi monoklonal yang mengenali antigen
permukaan sel yang terkait dengan galur sel dan antigen sitoplasma. Maka
imunotipe dapat ditentukan pada kebanyakan kasus. Umumnya berasal dari sel
progenitor , lebih kurang 15% berasal dari sel progenitor T, dan 1% berasal dari
sel B yang relatif matang. Imunotipe ini mempunyai implikasi prognostik maupun
21
terapeutik. Subtipe dari LLA, sifat klinis tertentu, dan angka insidensi relatifnya
ditunjukkan pada
Tabel 1. Beberapa kasus belum dapat diklasifikasikan karena menunjukan
ekspresi antigen yang berkaitan dengan beberapa galur sel yang berbeda (LLA
galur campuran atau bifenotipik). (1,9)
Subtipe Jumlah
Penderita
% Umur
(Median)
Hitung
Leukosit (x
103)(Median)
%
pria
% dengan
Massa
Mediastinum
Abnormalitas
Kromosom
Terkait
T(T+) 44 14 7,4 th 61,2 67,2 38,2 t(11;14)
B(slg +) 2 0,6 t(8;14)
PreB(clg+) 56 18 4,7 th 12,2 54,8 1,2 t(1;19)
PreB awal
(T-,slg-,cl
g-)
209 67 4,4 th 12,4 56,5 1.0 t(9;22)
PreB awal
bayi
33 NA 1 th 50 55 Tidak ada t(4;11)
Kelainan kromosom dapat diidentifikasikan setidaknya 80-90% LLA anak.
Kariotip dari sel leukemia mempunyai arti penting, prognostik, dan terapeutik.
Mereka menunjukan tepat sisi bagi penelitian molekuler untuk mendeteksi gen
yang mungkin terlibat pada transformasi leukemia. LLA anak dapat juga
22
diklasifikasikan atas dasar jumlah kromosom tiap sel leukemia (ploidy) dan atas
penyusunan kembali (rearrangement) kromosom struktural misalnya translokasi.
Penanda biologik lain yang potensial bermanfaat adalah aktivitas terminal
deoksinukleotidil tranferase (TdT), yang umumnya dapat diperlihatkan pada LLA
sel progenitor-B dan sel T. Karena enzim ini tidak terdapat pada limfoid normal,
ia dapat berguna untuk mengidentifikasikan sel leukemia pada situasi diagnostik
yang sulit. Misalnya, aktivitas TdT dalam sel dari cairan serebrospinal mungkin
menolong untuk membedakan relaps susunan saraf sentral awal dengan meningitis
aseptik.
Kebanyakan penderita dengan leukemia mempunyai penyebaran pada waktu
diagnosis, dengan keterlibatan sumsum tulang yang luas dan adanya sel blast
leukemia di sirkulasi darah. Limpa, hati, kelenjar limfe biasanya ikut terlibat.
Karena itu, tidak ada sistem pembagian stadium (staging) untuk LLA.
D. Gejala dan tanda(1)
Kira-kira 66% anak dengan LLA mempunyai gejala dan tanda penyakitnya
kurang dari 4 minggu pada waktu diagnosis. Gejala pertama biasanya nonspesifik
dan meliputi anoreksia, iritabel, dan letargi. Mungkin ada riwayat infeksi virus
atau eksantem dan penderita seperti tidak mengalami kesembuhan sempurna.
Kegagalan sumsum tulang yang progresif sehingga timbul anemia, perdarahan
(trombositopenia), dan demam (neutropenia, keganasan) gambaran ini biasanya
mendorong pemeriksaan ke arah diagnosis.
23
Gejala pertama biasanya terjadi karena sumsum tulang gagal menghasilkan
sel darah merah dalam jumlah yang memadai, yaitu berupa: lemah dan sesak
nafas, karena anemia (sel darah merah terlalu sedikit) infeksi dan demam karena,
berkurangnya jumlah sel darah putih perdarahan, karena jumlah trombosit yang
terlalu sedikit.
Pada pemeriksaan inisial, umumnya penderita, dan lebih kurang 50%
menunjukan petekiae atau perdarahan mukosa. Sekitar 25% demam, yang
mungkin disebabkan oleh sebab spesifik seperti infeksi saluran napas atau otitis
media. Limfadenopati biasanya nyata dan splenomegali (biasanya kurang dari 6
cm di bawah arkus kosta), dijumpai pada lebih kurang 66%. Hepatomegali kurang
lazim. Kira-kira 25% ada nyeri tulang yang nyata dan atralgia yang disebabkan
oleh infiltrasi leukemia pada tulang perikondrial atau sendi atau oleh ekapansi
rongga sumsum tulang akibat sel leukemia. Jarang ada gejala kenaikan tekanan
intrakranial seperti nyeri kepala dan muntah, yang menunjukan keterlibatan
selaput otak. Anak dengan LLA sel T umumnya dari kelompok umur lebih tua dan
lelaki lebih banyak, 66% menunjukkan massa mediastionum anterior, suatu
gambaran yang sangat berkaitan dengan subtipe leukemia.
E. Diagnosis (1,2)
Pada pemeriksaan awal umumnya terdapat anemia, meskipun hanya kira-kira
25% mempunyai Hb 6%. Kebanyakan penderita juga trombositopeni, tetapi kira-
kira 25% mempunyai trombosit 100.000/mm3. Sekitar 50% penderita dengan
hitung sel darah putih kurang dari 10.000/mm3, sekitar 20% memiliki hitung sel
darah putih yang lebih besar dari 50.000/mm3. Jumlah total sel darah putih bisa
24
berkurang, normal ataupun bertambah, tetapi jumlah sel darah merah dan
trombosit hampir selalu berkurang. Diagnosis leukemia dikesankan oleh adanya
sel blas pada preparat apus darah tepi tetapi dipastikan dengan pemeriksaan
sumsum tulang, yang biasanya diganti sama sekali oleh limfoblas leukemia.
Pemeriksaan darah rutin (misalnya hitung jenis darah komplit) bisa memberikan
bukti bahwa seseorang menderita leukemia. Kadang-kadang, sumsum tulang pada
awalnya hiposeluler. Pemeriksaan sitogenetik pada kasus-kasus ini mungkin
bermanfaat untuk mengidentifikasi abnormalitas spesifik yang berkaitan dengan
sindroma preleukemia. Jika sumsum tulang tidak dapat diaspirasi atau
cuplikannya hiposeluler, maka diperlukan sumsum tulang.
Radiografi dada diperlukan untuk menentukan apakah ada massa
mediastinum. Radiografi tulang mungkin menunjukkan perubahan trabekula
medulla, defek korteks, atau resorpsi tulang subepifiseal. Penemuan ini tidak
mempunyai arti klinis ataupun prognostik, sehingga survai skeletal biasanya tidak
diperlukan. Cairan serebrospinal harus diperiksa untuk menemukan sel leukemia
karena keterlibatan awal Susunan Saraf Sentral (SSS) mempunyai implikasi
prognostik penting. Kadar asam urat dan fungsi ginjal harus ditentukan sebelum
terapi dimulai. (2)
F. Diagnosis banding
Diagnosis LLA biasanya langsung dapat ditegakkan segera setelah
kemungkinannya dipertimbangkan. Pencantuman LLA dalam diagnosis banding
ditunda bila seorang anak menderita sakit dan demam dengan adenopati selama
25
beberapa minggu. Penyakit-penyakit yang termasuk DM adalah penyakit dengan
kegagalanb sumsum tulang, seperti anemia aplastik dan myelofibrosis.
Mononukleosis infeksiosa menimbulkan beberapa gambaran klinis serupa, tetapi
pemeriksaan teliti aspirat sumsum tulang memperlihatkan populasi sel normal.
Infiltrasi sumsum tulang oleh sel maligna lain kadang-kadang menyebabkan
pansitopeni. Tumor pediatrik yang dapat menginfiltrasi sumsum tulang-tulang
meliputi neuroblastoma, rabdomiosarkoma, sarkoma Ewing, dan jarang
retinoblastoma. Sel-sel tumor ini biasanya terdapat dalam kelompokan-
kelompokan yang tersebar di seluruh jaringan sumsum tulang tetapi kadang-
kadang dapat juga mendesak total sumsum. Biasanya pada kasus-kasus ini ada
bukti adanya tumor primer di suatu bagian tubuh. (9)
G. Penatalaksanaan (2,3,10)
Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan
menghancurkan sel-sel leukemik sehingga sel normal bisa tumbuh kembali di
dalam sumsum tulang.Penderita yang menjalani kemoterapi perlu dirawat di
rumah sakit selama beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung kepada
respon yang ditunjukkan oleh sumsum tulang. Terapi LLA masa kini didasarkan
atas bukti resiko klinis, tidak ada bukti kelompok resiko universal. Pada
umumnya, penderita dengan resiko baku atau rata-rata untuk relaps adalah antara
umur 1 tahun dan 10 tahun, mempunyai jumlah leukosit 100.000/mm3, tidak ada
bukti adanya massa mediastinum atau leukemia SSS, dan mempunyai
immunofenotipe sel progenitor B. Adanya translokasi kromosom spesifik tertentu
26
harus disingkirkan. Rencana terapi untuk kelompok resiko baku meliputi
pemberian kemoterapi induksi sampai sumsum tulang tidak lagi memperlihatkan
sel-sel leukemia yang dapat dikenali secara morfologis, kemudian terapi
”profilaksis” pada SSS, dan terapi lanjutan. Contoh rencana terapi diringkas pada
Tabel 2. Suatu kombinasi prednison, vinkristin (Oncovin), dan asparaginase akan
menghasilkan remisi pada kira-kira 98% dari anak dengan LLA resiko-standar,
khas dalam 4 minggu. Kurang dari 5% penderita memerlukan 2 minggu terapi
induksi lagi. Terapi lanjutan sistemik, biasanya terdiri dari antimetabolit
metotreksat (MTX) dan 6-merkaptopurin (Purinetol), harus diberikan selama 2,5-3
tahun. (3)
Tanpa terapi profilaksis, SSS merupakan tempat awal relaps pada lebih dari
50% penderita. Sel leukemia biasanya ditemukan di selaput otak pada saat
diagnosis, walaupun sel-sel iti tidak dapat dilihat pada cairan serebrospinal. Sel-
sel ini bertahan hidup dari kemoterapi sistemik karena penetrasi sawar darah otak
obat jelek. Iradiasi kranium mencegah leukemia SSS tersembunyi pada
kebanyakan penderita tetapi menyebabkan efek lambat neuropsikologik, terutama
pada anak kecil. Karena itu, penderita resiko standar khas hanya diberi terapi
intratekal saja untuk mencegah keterlibatan SSS klinis. (3)
Kebanyakan penderita dengan LLA sel T mengalami relaps dalam 3-4 tahun
jika diterapi dengan regimen resiko standar. Dengan regimen obat ganda yang
lebih intensif , 50% atau lebih penderita mengalami remisi jangka panjang.
Dikembangkan suatu terapi sasaran yang dimaksudkan untuk mengeksploitasi
27
sifat unik dari sel T leukemia. Suatu contoh dari pendekatan ini adalah antibodi
monoklonal terhadap antigen permukaan sel T yang dikonjugasikan pada
imunotoksin. Kompleks antibodi-imunotoksin akan menempel pada limfoblas T,
mengalami endositosis, dan membunuh sel.
Tabel 2 Regimen terapi yang efektif bagi leukemia limfoblastik akut resiko-
rendah (3,10)
Induksi Remisi (4-6 minggu)
Vinkristin 1,5 mg/m2 (maks 2 mg) IV/minggu
Prednison 40 mg/m2 (maks. 60 mg) PO/hari
Asparaginase (E.coli) 10.000U/m2/hari 2 mingguan IM
Terapi Intratekal
Terapi tripel : MTX*, HC*, Ara-C*
Mingguan 6 x selama induksi dan kemudian tiap 8 minggu untuk 2 tahun
Terapi Lanjutan Sistemik
6-MP 50 mg/m2/hari PO
MTX 20 mg/m2/minggu PO,IV,IM
Atur MTX ±6-MP diberikan dengan dosis tinggi
Penambahan
Vinkristin 1,5 mg/m2/ (maks. 2 mg) IV tiap 4 minggu
Prednison 40 mg/m2/hari PO 7x hari tiap 4 minggu
MTX= metotreksat; HC=Hidrokortison; Ara-C=sitarabin;
28
IV=intravena;
PO=peroral; IM=intramuscular; 6-MP=6-merkaptopurin.
Dosis pengobatan intratekal disesuaikan dengan umur
Umur MTX HC Ara-C
≤ 1 tahun
2-8 tahun
≥ 9 tahun
10 mg
12,5mg
15 mg
10 mg
12,5 mg
16 mg
20 mg
25 mg
30 mg
Kasus sel B dengan morfologi L3 dan imunoglobulin permukaan dulu
mempunyai prognosis buruk. Pendekatan demikian paling baik diterapi dengan
regimen pendek (3-6 bulan) tetapi intensif yang dikembangkan untuk limfoma sel
B. Dengan pendekatan ini, angka kesembuhan membaik secara dramatis, dari 20%
satu dekade yang lalu menjadi 70% atau lebih.
H. Prognosis (1)
Sebelum adanya pengobatan untuk leukemia, penderita akan meninggal
dalam waktu 4 bulan setelah penyakitnya terdiagnosis. Lebih dari 90% penderita
penyakitnya bisa dikendalikan setelah menjalani kemoterapi awal.
Banyak gambaran klinis telah dipakai sebagai indikator prognosis, tetapi
kehilangan arti karena keberhasilan terapi. Misalnya, imunofenotip penting dalam
mengarahkan terapi ke arah resiko, tetapi arti prognostiknya telah lenyap berkat
29
regimen terapi kontemporer. Karena itu, terapi merupakan faktor prognositik
penting. Hitung leukosit awal mempunyai hubungan liner terbalik dengan
kemungkinan sembuh. Umur pada waktu diagnosis juga merupakan peramal yang
dapat dipercaya (reliable). Penderita berumur lebih dari 10 tahun dan yang kurang
dari 12 bulan yang mempunyai penyusunan kembali (rearrangement) kromosom
yang menyangkut regio 11q23, jauh lebih buruk dibanding anak dari kelompok
umur pertengahan (intermediete). Beberapa kelainan kromosom mempengaruhi
hasil terapi. Hiperploidi lebih dari 50 kromosom berkaitan dengan hasil terapi baik
dan memberi respon terhadap terapi berbasis antimetabolit. Dua translokasi
kromosom t(9;22), atau kromosom Philadelpia, dan t(4;11) mempunyai prognosis
buruk. Beberapa peneliti menganjurkan CST selama remisi inisial pada penderita
dengan translokasi tersebut. LLA progenitor sel B dengan t(1;19) mempunyai
prognosis kurang baik dibandingkan kasus lain dengan imunofenotip ini, hanya
60% dari penderita akan remisi setelah 5 tahun jika tidak mendapat terapi sangat
intensif.
30
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
2.7. Kesimpulan
Leukemia adalah kanker anak yang paling sering, mencapai lebih kurang
33% dari kegasanasan pediatrik. Leukemia limfoblastik akut (LLA) berjumlah
kira-kira 75% dari semua kasus, dengan insidensi tertinggi pada umur 4 (empat)
tahun. Leukemia mieloblastik akut (LMA) berjumlah kira-kira 20% dari leukemia,
dengan insidensi yang tetap dari lahir sampai usia 10 tahun, meningkat sedikit
pada masa remaja.
Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai
dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari
sel myeloid. Bila tidak diobati,penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara
cepat dalam waktu beberapa minggu sampai bulan sesudah diagnosis. Tidak selalu
dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA,
sedang15% pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35%
pasien mengalami netropenia. Meskipun demikian, sel-selblas t dalam jumlah
yang signifikan di darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena
itu sangat penting untuk memeriksa rincian jenissel-sel leukosit di darah tepi
sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis pada orang
yang diduga menderita LMA.
Dengan terapi agresif, 40-50% penderita yang mencapai remisi akan hidup
lama (30-40% angka kesembuhan keseluruhan). Penderita yang mengalami relaps
setelah mendapat kemoterapi atau transplantasi autolog dapat diterapi dengan
31
transplantasi dengan CST allogenik sebagai terapi penyelamatan. Beberapa
subtipe morfologi atau genetik LMA mempunyai prognosis yang semakin baik
LLA merupakan leukemia yang paling sering terjadi pada anak-anak.
Leukemia jenis ini merupakan 25% dari semua jenis kanker yang mengenai anak-
anak di bawah umur 15 tahun. Paling sering terjadi pada anak usia antara 3-5
tahun, ada juga yang mengatakan sekitar 4 tahun, tetapi kadang terjadi pada usia
remaja dan dewasa. Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total
dengan menghancurkan sel-sel leukemik sehingga sel normal bisa tumbuh
kembali di dalam sumsum tulang.Penderita yang menjalani kemoterapi perlu
dirawat di rumah sakit selama beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung
kepada respon yang ditunjukkan oleh sumsum tulang. Sebelum adanya
pengobatan untuk leukemia, penderita akan meninggal dalam waktu 4 bulan
setelah penyakitnya terdiagnosis. Lebih dari 90% penderita penyakitnya bisa
dikendalikan setelah menjalani kemoterapi awal
2.8. Saran
Demikianlah makalah yang telah kami susun mengenai Leukemia Pada
Anak, yang meliputi berbagai macam klasifikasinya.demi kesempurnaan makalah
ini kami harapkan kritikan serta saran yang membangun. Saran dari penulis kami
harapkan agar pembaca dapat memaknai makalah ini. Semoga dapat bermanfaat
bagi kita semua.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman R. Kliegman R. Jenson H. Nelson Textbook of Pediatrics. 2000;
16th edition : (501) 1537 – 1540
2. Voute P. Kalifa C. Barrett A. Cancer in Children Clinical Management.
1998; 4th edition : (4) 44 – 57
3. Haskell C. Cancer Treatment. 1985; 2nd edition : (5) 43 – 9
4. Bagemann, Rastetter J. Atlas of Acute Leukemia. In Clinical
Hematology rded. Thieme, Stuttgart. 1986 pp 243-48.
5. Berg SL, Steuber CP, Poplack DG. Clinical Manifestation of Acute
Lymphoblastic Leukemia. In Hoffman ed : Hematology : Basic Principles
and Practice 3rd ed. Churchill Livingstone Inc. 2000, pp 1070-76
6. Miller DR. Baehner RL, Mc Millan CW, Miller LP. Blood Disease of
Infancy and Childhood. 5th ed. St. Louis : Mosby Co., 1997 : 619.
7. Nathan DB, Oski FA. Hematology of Infancy and Childhood 2nd ed.
Philadelphia : WB Saunders, 2000 : 979.
8. Pui Ching H. Childhood Leukemia. N Eng J Med 1995 : 332 : 1618-27.
9. Sandlund J, Harrison PL, Rivers G, Behm FG, FG, Head D, Boyett J
rubritz JE, et all. Persistence of Lymphoblasts in Bone Marrow on Day 15
and Days 22 to 25 of Remiss
10. Ganiswarna S. Setiabudy R. Suyatna F. Purwatyastuti. Nafrialdi.
Farmakologi dan Terapi. 1995; edisi ke-4 : (13) 702 – 713
33