89 · an increase in population generates increasing in travel demand for such as working and...

110
89

Upload: vuongkiet

Post on 18-Aug-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

89

i

KATA PENGANTAR Permasalahan lalu lintas merupakan permasalahan yang dihadapi

berbagai kota, termasuk Kota Medan. Dan permasalahan ini perlu mendapat

perhatian serius, karena terkait berbagai dampak sosial yang akan terjadi

seperti kemacetan.

Kajian dengan judul “Perilaku supir angkutan kota di Kota Medan”,

dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan, dibantu

staf / tenaga ahli dari Universitas Sumatera Utara, dimana salah satu tujuannya

untuk memperoleh gambaran tentang pola perilaku berlalu lintas supir

angkutan kota di Kota Medan, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang

berhubungan dengan perilaku supir angkutan kota tersebut.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua

pihak yang terlibat langsung dalam kajian ini dan juga kepada pihak-pihak lain

yang telah mendukung terlaksananya kajian ini.

Kajian ini tidak luput dari kelemahan-kelemahan, baik dalam metode

pendekatan maupun substansinya. Oleh karena itu, berbagai kritik dan saran

sangat diharapkan untuk penyempurnaan hasil kajian ini. Walaupun memiliki

berbagai kelemahan, hasil kajian ini tetap diharapkan memberikan banyak

manfaat, baik bagi Pemerintah Kota Medan, terutama dalam mengambil

kebijakan untuk meningkatkan budaya tertib berlalu lintas di Kota Medan.

Medan, September 2012 KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

KOTA MEDAN

Drs. HASAN BASRI, MM PEMBINA UTAMA MUDA NIP. 19580801 198103 1 007

ii

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR KEPALA BALITBANG KOTA MEDAN …………………………….. i DAFTAR ISI..................................................................................................... ii ABSTRAK ....................................................................................................... iv ABSTRACT ………………………………………………………………………………………………… vi BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang Masalah ……………………………………………………………………. 1 1.2 Perumusan Masalah …………………………………………………………………………. 6 1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………………………………………. 6 1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………………………………………. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………………………… 8 2.1 Perilaku Manusia ………………………………………………………………………………. 8 2.2 Bentuk Perilaku ………………………………………………………………………………… 11 2.3 Proses Terjadinya Perilaku ………………………………………………………………… 11 2.4 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Perilaku …………………………………….. 12 2.5 Transportasi Kota …………………………………………………………………………….. 13 2.6 Perilaku Berlalulintas ……………………………………………………………………….. 15 2.7 Landasan Teori …………………………………………………………………………………. 17 BAB III METODE PENELITIAN …………………………………………………………………… 20 3.1 Jenis Penelitian ………………………………………………………………………………… 20 3.2 Populasi dan Sampel Penelitian ……………………………………………………….. 20 3.3 Informan Penelitian …………………………………………………………………………. 24 3.4 Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………………………….. 24 3.5 Analisa dan Interpretasi Data …………………………………………………………… 26 3.6 Definisi Konsep ………………………………………………………………………………… 26 3.7 Definisi Operasional …………………………………………………………………………. 27 3.8 Jadwal dan Kegiatan Penelitian …………………………………………………………. 28 BAB IV ANALISIS DAN INTERPRESTASI DATA …………………………………………….. 30 4.1 Gambaran Lokasi Penelitian ……………………………………………………………… 30 4.2 Profil Responden ……………………………………………………………………………… 43 4.3 Pola perilaku mengemudi supir angkutan kota di Kota Medan …………. 53 4.4 Pengaruh Pendidikan Terhadap Perilaku Mengemudi ………………………. 69 4.5 Hubungan Variabel Etnis dan Perilaku Mengemudi …………………………… 74 4.6 Hubungan Lama Kerja Supir dan Perilaku Mengemudi ……………………… 84 4.7 Hubungan Armada dan Perilaku Mengemudi ……………………………………. 86

iii

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………………………….. 95 5.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………………………….. 95 5.2 Saran …………………………………………………………………………………………………. 98 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………………. 96 LAMPIRAN ………………………………………………………………………………………………. 98

iv

ABSTRAK Perilaku berlalu lintas di Indonesia umumnya, dan di Kota Medan khususnya, sudah memprihatinkan. Buruknya perilaku berlalu lintas ini tampak dari kesemrawutan berlalu lintas sehari-hari dari berbagai jenis kenderaan bermotor, khususnya angkutan kota seperti menerobos lampu merah, menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat, dan men-jamurnya terminal ‘bayangan’ di sepanjang jalan-jalan tertentu. Dampak lanjutan perilaku berlalulintas ini adalah meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas. Menurut Kapolri, pada tahun 2007 terdapat 20.000 orang korban kecelakaan lalulintas. Angka itu naik menjadi 20.188 orang pada tahun 2008. Tahun 2009, lebih tinggi lagi angkanya, mendekati 21.000 orang. Sedangkan di Kota Medan sendiri, berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas Polda Sumut, sejak Januari hingga April 2012, korban tewas kecelakaan lalu lintas mencapai 749 orang. Korban tewas ini merupakan bagian dari 2.992 kecelakaan yang terjadi sepanjang periode itu. Kecelakaan tertinggi terjadi Januari, yakni 847 kasus sedangkan Februari menurun hanya 715 kasus. Selanjutnya Maret terjadi 719 kasus kecelakaan dan terakhir April terjadi 711 kasus. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Responden dalam penelitian ini ditetapkan secara purposif dari setiap armada/kesatuan yang jumlahnya 300 orang yang dipilih secara proporsional dari setiap armada. Sedangkan informan utama adalah supir, direksi armada, dan mandor. Alat pengumpul data yang dipakai adalah kuesioner, observasi partisipasi (menaiki mobil angkutan kota), dan wawancara mendalam yang tidak terstruktur. Sedangkan analisa dan interpretasi data digunakan dengan bantuan program SPSS untuk menampilkan tabel tunggal (pola-pola perilaku mengemudi) dan analisis korelasi (variabel pendidikan, etnisitas, lama kerja, dan armada dan perilaku mengemudi). Interpretasi statistik deskriptif dan korelasi ini kemudian dilengkapi dengan konsep-konsep yang ditemukan dari wawancara mendalam. Studi ini menunjukkan bahwa pola-pola perilaku mengemudi supir di kalangan angkutan kota di Kota Medan kurang tertib. Ketidaktertiban ini tampak seperti ngebut begitu keluar stasiun atau pangkalan, ngebut mencari penumpang dan ngebut sesama angkutan kota. Pelanggaran lain yang dilakukan misalnya seperti menyalip dari jalur kiri, mengabaikan hak-hak pengguna jalan seperti pesepeda, dan tidak memasang segitiga pengaman ketika berhenti dalam keadaan darurat. Kendati begitu, tidak dalam semua hal

v

para supir kurang tertib. Perilaku memprioritaskan penumpang pelajar saat penumpang membludak, mengikuti lajur jalan secara umum ketika baru keluar dari stasiun, tidak menagih ongkos saat mengalihkan penumpang ke angkutan kota yang lain merupakan beberapa bukti perilaku tertib di kalangan supir. Temuan lain menunjukkan, bahwa pendidikan tidak mempengaruhi perilaku mengemudi di kalangan supir. Tapi variabel armada, lama kerja, dan kedekatan (internalisasi) etnis mempengaruhi perilaku mereka. Dengan kata lain, semakin lama bekerja menjadi supir dan semakin intens peran armada dalam mendidik supir, maka semakin tertib pula perilaku mereka dalam mengemudi. Dapat disimpulkan pula, ternyata tidak hanya faktor internal dari dalam diri supir (pendidikan, pengalaman, dan etnisitas) yang mempengaruhi perilaku tetapi lebih karena tekanan eksternal dari luar yang memaksa seperti tekanan memenuhi setoran dan penghasilan, trayek yang tumpang tindih, dan menurunnya jumlah penumpang. Tekanan eksternal yang memaksa ini kemudian yang mengkonstruksi konsensus ‘penyimpangan’ di kalangan supir. Dalam artian, internalisasi dan eksternalisasi ‘penyimpangan’ itu telah dianggap sebagai ‘keteraturan’ sebagai senjata bertahan menjadi supir angkutan kota di Kota Medan. Bagai roda angkutan kota berputar, begitu pula otak si supir berputar dalam mengemudi sehari-hari agar mampu bertahan. Kata-kata kunci : Perilaku, faktor internal dan faktor eksternal, afiliasi etnisitas, transportasi umum, dan supir angkutan kota.

vi

ABSTRACT An increase in population generates increasing in travel demand for such as working and lessure purposes. Nowadays, Indonesia deals with an explosive growth in vehicle ownership and utilization of public transportation. The increase of population and public transportation need unfortunately contributes to accidents case in Indonesia generally and in Medan particularly due to irregular public transportation (known as ‘angkot’ or angkutan kota) driver habit. Therefore, the main purpose of this research is to explore the pattern of driving of public transportation driver in Medan city. This type of this research is a descriptive quantitativ. The total of sampling are 300 drivers which selected accidently in the bush station (Pinang Baris and Amplas) and interviewed the main informants consist of supervisor in the station (mandor) and staf of public transportation management (armada). Instrument that used in gathering data are questionnaires, open-ended interview, and participation where the researcher for some extent observe the behavior of the driver and to be passanger of the public transportation. Data were analyzed using descriptive and correlation analysis. One main finding reported that most of the drivers abuse a public transportation regulation such as driving in high speed when get out of station, rush driving to pick the passanger up, and have no respect to the bycyle rider. Sum up, the bad behaviour of the driver not morely forced by internal factors such as education, ethnic affiliation, but for most extent imposed by external factors out side of the drivers such as the struggle to afford the payment to the car owner (setoran) and the daily wage, the tough competition among the drivers, and number of public transportation which excedeed designated number (plafon). Key word: behavior, internal and external behaviour, ethnicity, public transportation, and driver of public transportation.

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perilaku berlalu lintas adalah cermin budaya bangsa. Demikian motto

yang tertulis di sudut-sudut jalan Kota Medan sering kita lihat. Membaca itu,

kita bisa menyimpulkan betapa budaya bangsa kita secara umum, dan budaya

berlalu lintas khususnya sudah pada tahap mencemaskan. Saling adu cepat dan

serobot di jalur-jalur padat dan macet, sudah menjadi pandangan dan perilaku

sehari-hari sebagian supir di Kota Medan.

Bahkan dengan sinis sebagian orang mengatakan, kalau supir-supir di

kota ini adalah buta warna, karena tidak hirau dengan aturan lampu lalu lintas.

Menerobos pada saat lampu kuning bahkan merah, sudah menjadi

pemandangan umum. Kalau mau melihat mental jalan pintas atau mental

menerabas dengan menghalalkan segala cara agar tiba di tempat tujuan

dengan cepat, perilaku sebagian supir di jalan Kota Medan merupakan bukti

konkrit.

Salah satu indikator buruknya perilaku berlalulintas adalah tingginya

pelanggaran terhadap norma-norma berlalulintas yang ditunjukkan oleh

perilaku berlalu lintas yang tidak aman dan mengabaikan sopan santun

menggunakan jalan raya. Dampak lanjutannya, angka korban kecelakaan lalu

lintas dari tahun ke tahun meningkat seiring dengan tingginya angka

kecelakaan lalu lintas itu sendiri.

Menurut Kapolri, pada tahun 2007 terdapat 20.000 orang korban

kecelakaan lalulintas. Angka itu naik menjadi 20.188 orang pada tahun 2008.

2

Tahun 2009, lebih tinggi lagi angkanya, mendekati 21.000 orang. Lima persen

dari jumlah korban kecelakaan lalu lintas adalah pelajar dan mahasiswa.

Kecelakaan ini terjadi karena perilaku berlalu lintas yang buruk di satu sisi dan

meningkatnya penggunaan kenderaan (roda empat dan dua) di sisi lain.

Sedangkan di Kota Medan sendiri, berdasarkan data Direktorat Lalu

Lintas Polda Sumut, sejak Januari hingga April 2012, korban tewas kecelakaan

lalu lintas mencapai 749 orang. Korban tewas ini merupakan bagian dari 2.992

kecelakaan yang terjadi sepanjang periode itu. Kecelakaan tertinggi terjadi

Januari, yakni 847 kasus sedangkan Februari menurun hanya 715 kasus.

Selanjutnya Maret terjadi 719 kasus kecelakaan dan terakhir April terjadi 711

kasus.

Sejarah padatnya mobilnya dimulai ketika industri otomotif ditemukan.

Pada tahun 1910, 65 persen penduduk di Amerika masih tinggal di inti atau

sentra kota. Namun ketika mobil ditemukan Henry Ford pada 1908, komposisi

penduduk di sentra kota kemudian menyebar ke pinggiran kota (sub-urban)

karena mobil memungkinkan mereka melakukan mobilitas kerja (Spates dan

Macionis, 1987:298).

Sedangkan di Indonesia sendiri, menurut Kompas (14/4/2012), penjualan

mobil pada Maret 2012 mencapai 87.761 unit. Jumlah itu mengalami kenaikan

dibandingkan Februari 2012 yang sebesar 86.407 unit dan Januari 2012 76.365

unit. Adapun total penjualan di tiga bulan pertama tahun 2012 adalah 250.533

unit, atau lebih besar dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar 225.739

unit. Penjualan yang terus-menerus meningkat ini pada gilirannya membuat

arus lalu-lintas meningkat sementara ketersediaan jalan relatif tidak

meningkat.

3

Perilaku lalu-lintas angkutan umum di Indonesia memiliki karakter khas

dengan pola-pola budaya berlalu lintas di negara-negara maju. Beberapa

karakteristik khas angkutan umum di Indonesia antara lain (Dwi Handoko,

2006) :

1. Kecepatan tidak teratur, terkadang pelan terkadang cepat sekali.

2. Berhenti di sembarang tempat, dan dalam waktu yang tidak teratur.

3. Teknik mengemudi yang pindah jalur secara tidak teratur.

Faktor lain yang menyumbang pada kemacetan lalu lintas adalah tundaan

pergerakan mobil angkutan umum yang berimplikasi kepada antrian mobil

pribadi di belakangnya sehingga menimbulkan kesemrawutan. Penelitian

tentang tundaan pergerakan mobil pribadi (stopping delay) yang ditimbulkan

oleh angkutan umum ketika berhenti telah dilakukan oleh Aniek QS (1999)

dengan studi kasus jalan Jendral A. Yani, Kota Bandung. Pergerakan mobil

pribadi dipelajari dengan membandingkan tundaan yang ditimbulkan oleh

angkutan kota dan bis kota, karena kedua jenis kendaraan tersebut mempunyai

perbedaan karakteristik antara lain dari sisi ukuran dan kapasitasnya.

Tundaan yang ditimbulkan oleh bis kota sebesar 46.191 detik dan

tundaan angkutan kota sebesar 6.227 detik. Perbedaan ini disebabkan oleh

faktor rata-rata lama berhenti bis kota yang lebih lama dibandingkan dengan

angkutan kota, kecepatan bis kota yang lebih rendah dan batas headway

minimum yang diperlukan oleh kendaraan lain untuk mendahului bis kota lebih

panjang dibandingkan dengan headway minimum yang diperlukan oleh

kendaraan lain untuk mendahului angkutan kota.

Selanjutnya, Bastian Wirantono (1999) melakukan penelitian tentang

panjang antrian yang ditimbulkan oleh angkutan umum ketika berhenti telah

4

dilakukan dengan studi kasus Jalan Ahmad Yani (arah dalam dan luar kota),

jalan Dharmawangsa (depan terminal angkot), Jalan Urip Sumoharjo kota

Surabaya. Jenis angkutan umum yang diamati adalah bis dan angkutan kota

(angkot), dengan periode pengambilan data pada siang dan sore hari dan pada

jam bukan puncak.

Metode penelitian yang digunakan mencakup: pengukuran/perhitungan

jumlah dan panjang antrian kendaraan, lebar efektif jalan, dan waktu henti.

Dianalisa hubungan antara panjang antrian terhadap volume kendaraan, lebar

efektif dan waktu henti angkutan umum. Hasil penelitian ini menunjukkan

sebagai berikut (Bastian Wirantono, 1999):

1. Satu-satunya faktor yang berpengaruh secara signifikan pada panjang

antrian hanyalah waktu henti angkutan umum. Semakin lama angkutan

umum berhenti semakin panjang antrian kendaraan.

2. Tidak ada keterkaitan yang berarti antara volume kendaraan, lebar efektif

dan waktu henti

3. Volume kendaraan dan lebar efektif jalan tidak berpengaruh terhadap

panjang antrian, karena pengaruhnya terlalu kecil.

Secara teoritik sebenarnya lebar efektif jalan berepangaruh terhadap

tundaan, tetapi dalam penelitian ini kemungkinan persimpangan yang diukur

mempunyai lebar yang cukup ,sehingga lebar efektif jalan tidak berpengaruh.

Balitbang Provinsi Jawa Timur (2006) juga pernah melakukan studi

tentang perilaku supir dalam berlalu lintas di Surabaya. Studi ini berupaya

mengkaji faktor-faktor internal (individu) maupun eksternal yang menyebabkan

rendahnya kepatuhan masyarakat pemakai atau pengguna jalan ketika berlalu

lintas.

5

Temuan pokok dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kepatuhan masyarakat dalam hal ini pemakai atau pengguna jalan

khususnya pengendara kendaraan bermotor terhadap peraturan per-

undang-undangan lalu lintas di Jawa Timur semakin menurun.

2. Berdasarkan jenis pelanggaran yang paling banyak dilakukan, yakni

mengendarai kendaraan tanpa surat izin mengemudi (SIM), pelanggaran

rambu-rambu dan marka jalan, serta tidak dipenuhinya kelengkapan

kendaraan bermotor.

3. Situasi problematik utama yang dihadapi berkaitan dengan faktor sikap

dan perilaku pemakai atau pengguna jalan khususnya pengendara

kendaraan bermotor adalah menyangkut persepsinya tentang peraturan

perundangan lalu lintas yang lebih dilihat dalam perspektif kewajiban yang

harus dipenuhi, dan belum dilihat sebagai kebutuhan riil sehingga

mendorong mereka untuk berupaya memenuhinya.

4. Persepsi yang keliru tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat given

melainkan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pemahamannya

terhadap peraturan perundangan lalu lintas, pengalaman berlalu lintas,

cakrawala, keyakinan, dan proses belajar yang kesemuanya baik secara

sendiri-sendiri maupun pada umumnya secara simultan menghasilkan

persepsi dimaksud.

5. Pengetahuan dan pemahaman pemakai atau pengguna jalan khususnya

pengendara kendaraan bermotor tentang peraturan perundangan lalu

lintas pada umumnya masih bersifat superfisial karena umumnya

merupakan hasil dari proses belajar secara otodidak, sehingga dalam

implementasinya di lapangan sangat mudah dipengaruhi oleh berbagai

6

stimulus eksternal baik secara tunggal maupun bergabung dalam bentuk

imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati.

1.2 Perumusan Masalah

Karena begitu pentingnya perilaku tertib berlalu lintas untuk

menghindari tingginya angka kecelakaan lalu lintas di samping menumbuhkan

kehidupan kota yang lebih berbudaya, maka studi ini berupaya mengeksplorasi

beberapa masalah utama dalam berlalu lintas.

a. Bagaimanakah pola perilaku berlalulintas supir angkutan kota Medan?

b. Bagaimana hubungan tingkat pendidikan supir angkutan kota dengan

perilaku berlalu lintas di Kota Medan?

c. Apakah ada hubungan etnisitas dengan perilaku berlalu lintas di kalangan

supir angkutan kota di Kota Medan?

d. Apakah ada hubungan antara lama kerja dengan perilaku berlalu lintas di

kalangan supir angkutan kota di Kota Medan?

e. Apakah kelompok kerja (Armada) mempengaruhi perilaku berlalu lintas di

kalangan supir angkutan kota di Kota Medan?

f. Apakah faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku berlalu lintas supir

angkutan kota di Kota Medan?

1.3 Tujuan Penelitian

a. Memperoleh gambaran tentang pola perilaku berlalulintas supir angkutan

kota Medan di Kota Medan.

b. Mengukur hubungan antara tingkat pendidikan dengan perilaku berlalu

lintas supir angkutan kota Medan di Kota Medan.

c. Mengukur hubungan antara etnisitas dengan perilaku berlalu lintas di

kalangan supir angkutan kota Medan di Kota Medan.

7

d. Mengukur hubungan antara lama kerja dengan perilaku berlalu lintas di

kalangan supir angkutan kota Medan di Kota Medan.

e. Mengukur hubungan antara kelompok kerja (Armada) dengan perilaku

berlalu lintas di kalangan supir angkutan kota Medan di Kota Medan.

f. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku supir

angkutan kota di Kota Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada Pemerintah

Kota Medan, dalam hal ini Dinas Perhubungan Kota Medan, untuk menyusun

strategi penanggulangan masalah lalu lintas, seperti kemacetan. Hasil kajian ini,

diharapkan dapat menjadi data dasar yang mendasari pengambilan keputusan

(better information for better policy) dalam penanggulangan masalah lalu lintas

di Kota Medan yang lebih baik.

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Manusia

Apakah yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan atau

perilaku tertentu? Mengapa suatu perilaku dilakukan berulang-ulang,

sementara tindakan yang lain dihindari atau tidak dilakukan lagi? Pada

dasarnya, manusia memberikan respon atas stimulus yang diterimanya dari

luar. Karena itu pula, B.F. Skinner mengatakan, seorang individu cenderung

mengulang sebuah tindakan bila tindakan itu mendapat pujian atau ganjaran,

sementara tindakan yang mendapat hukuman (punishment) akan dihindari.

Karena itu, teori perilaku seringkali dipakai dalam teori pembelajaran dan

instruksi dalam kelas. Teori ini menyimpulkan, guru-guru yang sering memberi

pujian kepada perilaku siswa-siswinya, maka perilaku itu akan cenderung

diulangi, demikian pula sebaliknya.

Salah satu asumsi lanjutan dari aliran perilaku ini adalah bahwa pada

dasarnya tidak ada tindakan manusia yang benar-benar didorong kehendak

individu itu sendiri, melainkan karena kombinasi tekanan-tekanan eksternal.

Teori ini selanjutnya menjelaskan bahwa perubahan perilaku manusia

disebabkan tekanan dan kontrol lingkungan eksternal, bukan karena proses

internal dalam diri manusia itu sendiri. Sederhananya, individu akan cenderung

memilih perilaku yang digemari dan dilakukan berulang-ulang karena

lingkungan eksternal menghargainya.

Aspek lain dari teori perilaku adalah pilihan alternatif untuk mengulang

tindakan. Seorang individu memilih tindakan perilaku tertentu biasanya

9

berdasarkan ganjaran tindakan yang akan dilakukan. Ini berarti bahwa perilaku

tidak hanya diatur oleh konsekuensi atau ganjaran dari tindakan itu tapi juga

oleh ganjaran-ganjaran yang ada untuk alternatif tindakan lain.

Selanjutnya, mengapa individu merubah perilakunya? Menurut teori

perilaku, ada empat komponen tahapan yang dilakukan individu dalam

perubahan tindakannya. Ini dimuat dalam Tahapan-Tahapan Teori Perubahan

(Stages of Change Theory), yakni prakontemplasi (precontemplation),

kontemplasi (contemplation), tindakan (action) dan mempertahankan perilaku

yang terlah berubah (maintenance).

Ini bisa kita lihat ketika seseorang diduga terinveksi penyakit HIV

misalnya. Pada tahap precontemplation misalnya individu yang sakit tadi

mengalami masalah (apakah dia tahu atau tidak tahu sudah sakit HIV) dan tidak

ingin berubah. Tapi dengan munculnya kesadaran si individu, apakah melalui

informasi dan pengetahuan tentang HIV dan mulai melakukan evaluasi dan

refleksi pada dirinya (bagaimana dampak HIV pada dirinya) ia memasuki tahap

contemplation (ia menyadari ia telah kena HIV dan mulai berpikir untuk

berubah) ia kemudian melakukan evaluasi diri dan memikirkan perubahan yang

akan dilakukannya.

Pada tahap berikutnya, individu memasuki tahap Preparation for Action

(individu menyadari masalah penyakitnya dan ingin berubah pada bulan

berikutnya). Beberapa perilaku yang mau dirubah misalnya sudah dicatat,

seperti pemakaian kondom yang tidak konsisten, tapi bentuk nyata perubahan

perilaku belum ditemukan. Pada tahap ini, ia mulai meyakinkan diri, bahwa ia

yakin untuk berubah.

10

Pada saat inilah ia memasuki tahap action (ia menegaskan perubahan

perilaku) misalnya dengan memakai kondom secara konsisten setidaknya

selama 6 bulan dengan harapan bahwa tindakannya akan menyembuhkannya.

Ia kemudian mendapat dukungan dari kelompok dan menghindari seks bebas.

Pada tahap maintenance (ia menjaga perilakunya yang berubah) selama 6

bulan (lihat Gambar di bawah).

Prakontemplasi Kontemplasi Persiapan Aksi Pemeliharaan

- Meningkatnya Kesadaran - Penyembuhan Dramatis - Re-Evaluasi Lingkungan

- Re-Evaluasi Diri - Pembebasan Diri

- Meningkatkan Pengelolaan

(Manajemen) Diri - Membenahi Hubungan - Melawan Kondisi - Mengontrol Stimulus

Gambar 2.1. Tahapan Perubahan Perilaku Manusia.

Lalu, apakah yang disebut dengan perilaku? Leonard F. Polhaupessy

menjelaskan bahwa perilaku adalah sebuah gerakan yang dapat diamati dari

luar, seperti orang berjalan, naik sepeda, dan mengendarai motor atau mobil.

Untuk aktifitas ini mereka harus berbuat sesuatu, misalnya kaki yang satu harus

diletakkan pada kaki yang lain.

Tahap-tahap Perubahan

11

Ahli lain menjelaskan lebih lanjut bahwa perilaku adalah suatu kegiatan

atau aktifitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Karena itu,

dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh–

tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka

mempunyai aktifitas masing–masing. Sehingga yang dimaksud perilaku

manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas manusia itu sendiri

yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara,

tertawa, bekerja,kuliah, menulis, membaca dan sebagainya.

Dengan begitu, yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan

atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak

dapat diamati pihak luar (Notoatmodjo: 2003, 114).

2.2 Bentuk Perilaku

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, menurut Notoatmodjo,

maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu. Pertama, yakni perilaku

tertutup. Perilaku ini adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk

terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini

masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan / kesadaran, dan sikap

yang terjadi belum bisa diamati secara jelas oleh orang lain. Selanjutnya, kedua

adalah perilaku terbuka, yakni perilaku atas respon seseorang terhadap

stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap terhadap

stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan.

2.3 Proses Terjadinya Perilaku

Rogers (dalam Notoatmojo, 2003) mengungkapkan bahwa sebelum orang

mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut

terjadi proses yang berurutan, yaitu (1) awareness atau kesadaran, yakni orang

12

tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus atau objek terlebih dahulu

interest, yaitu orang mulai tertarik kepada stimulus; (2) evaluation adalah

menimbang–nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya. Hal ini berarti

sikap responden sudah lebih baik lagi dan (3) yakni trial dimana seseorang

telah mulai mencoba perilaku baru. Dan (4) adoption, di mana subjek atau

pelaku telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan

sikapnya terhadap stimulus. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi

perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan

sikap yang positif maka perilaku tersebut akan menjadikebiasaan atau bersifat

langgeng (Notoatmodjo 2003, 122).

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Menurut L.W.Green, faktor pendorong perilaku manusia adalah faktor

perilaku dan faktor non perilaku. Faktor perilaku khususnya perilaku yang

terbuka dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :

a. Faktor-faktor Predisposisi (Predisposing Factors)

Adalah faktor yang terwujud dalam kepercayaan, kayakinan, niali-nilai dan

juga variasi demografi, seperti: status ekonomi, umur, jenis kelamin dan

susunan keluarga. Faktor ini lebih bersifat dari dalam diri individu tersebut.

b. Faktor-faktor Pemungkin (Enabling Factors)

Adalah faktor pendukung yang terwujud dalam lingkungan fisik, termasuk di

dalamnya adalah berbagai macam sarana dan prasarana, misalnya : dana,

transportasi, fasilitas, kebijakan pemerintah dan lain sebagainya.

c. Faktor-faktor Pendukung (Reinforcing Factors)

13

Faktor-faktor ini meliputi : faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat,

tokoh agama, sikap dan perilaku petugas termasuk petugas, undang-undang

peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah.

2.5 Transportasi Kota

Kota merupakan magnit utama bagi pencari kerja ketika kondisi sosial

ekonomi penduduk desa mengalami proses pemiskinan. Ini diperparah

pembangunan di negara-negara berkembang pada banyak hal dianggap bias

kota. Untuk mendukung kegiatan penduduk di perkotaan, maka alat

transportasi sebagai pendukung mobilitas warga sangat penting.

Atmodirono mengemukakan, kegiatan manusia yang berbagai macam di

perkotaan menyebabkan mereka perlu saling berhubungan. Untuk itu

diperlukan alat penghubung, salah satu di antaranya dan yang paling tua

umurnya adalah angkutan. Jadi pengangkutan adalah bukan tujuan akhir

melainkan sekedar alat untuk melawan jarak.

Banyak negara berkembang menghadapi permasalahan transportasi dan

beberapa di antaranya sudah berada dalam tahap sangat kritis. Permasalahan

yang terjadi bukan saja disebabkan oleh terbatasnya sistem prasarana

transportasi yang ada, tetapi ditambah permasalahan lainnya. Pendapatan

rendah, urbanisasi yang sangat cepat, terbatasnya sumber daya, khususnya

dana, kualitas dan kuatintas data yang berkaitan dengan transportasi, kualitas

sumber daya manusia, tingkat disiplin yang rendah, dan lemahnya sistem

perencanaan dan kontrol membuat permasalahan transportasi menjadi

semakin parah (Tamin, 2000).

Dalam perkembangan literatur transportasi kota, Tamin, membedakan

dua konsep sistem transportasi. Pertama, ciri pergerakan tidak spasial (tanpa

14

batas ruang) di dalam kota, misalnya yang menyangkut pertanyaan mengapa

orang melakukan perjalanan, kapan orang melakukan perjalanan, dan jenis

angkutan apa yang digunakan. Kedua, ciri pergerakan (dengan batas ruang) di

dalam kota, termasuk pola tata lahan, pola perjalanan orang dan pola

perjalanan. Ciri pergerakan tidak spasial adalah semua ciri pergerakan yang

berkaitan dengan aspek tidak spasial, seperti faktor terjadinya pergerakan,

waktu terjadinya pergerakan dan jenis angkutan umum yang digunakan.

Terjadinya pergerakan dapat dikelompokkan berdasarkan maksud

perjalanan sebagai berikut. Pertama, aktivitas ekonomi, seperti mencari nafkah

dan mendapatkan barang serta pelayanan. Kedua, aktivitas sosial, seperti

menciptakan dan menjaga hubungan pribadi. Klasifikasi perjalanannya berupa

ke dan dari rumah teman, ke dan dari tempat pertemuan bukan di rumah.

Dalam aktifitas ini kebanyakan fasilitas terdapat dalam lingkungan keluarga dan

tidak menghasilkan banyak perjalanan serta terkombinasi dengan perjalanan

hiburan. Ketiga, aktivitas pendidikan, klasifikasi perjalanan ini adalah ke dan

dari sekolah, kampus dan lain-lain. Aktivitas ini biasanya terjadi pada sebagian

besar penduduk yang berusia 5-22 tahun, di negara sedang berkembang

jumlahnya sekitar 85 % penduduk. Keempat, aktivitas rekreasi dan hiburan.

Klasifikasi perjalanannya adalah ke dan dari tempat rekreasi atau yang

berkaitan dengan perjalanan dan berkendaraan untuk berekreasi. Aktifitas ini

biasa terjadi seperti mengunjungi restoran, kunjungan sosial. Kelima, aktivitas

kebudayaan, klasifikasi perjalanannya adalah ke dan dari daerah budaya serta

pertemuan politik. Aktivitas ini berupa perjalanan kebudayaan dan hiburan dan

sangat sulit dibedakan.

15

2.6 Perilaku Berlalulintas

Jalan raya yang awalnya berfungsi mempelancar pergerakan manusia dan

barang dari satu tempat ke tempat lain, ternyata akhir-akhir ini jalan menjadi

sumber kecelakaan.Jalan sudah tidak aman. Kecelakaan lalu lintas merupakan

suatu tragedi manusia.(EC.,1996) kecelakaan di jalan raya penyebabkan

kematian manusia di bawah umur 40 tahun dan merupakan penyebab

kehilangan umur kehidupan yang terbesar. Menurut Organisasi Kesehatan

Dunia (WHO), pada tahun 1998 tabrakan di jalan merupakan penyebab

terbesar luka atau kematian dini (early death) pada pria antara umur 15 sampai

44 di seluruh dunia. Juga, urutan kedua terbesar penyebab luka atau kematian

dini pada pria semua golongan umur di negara berkembang (BTS 2000).

Keamanan lalu lintas (traffic safety) tetap merupakan suatu keprihatian

kesehatan publik yang serius di negara maju dan di negara berkembang (Sinha,

2002) .

Semua pemakai jalan mempunyai peran penting dalam pencegahan dan

pengurangan kecelakaan. Walaupun kecelakaan cenderung terjadi tidak hanya

oleh satu sebab, tetapi pemakai jalan adalah pengaruh yang dominan. Pada

beberapa kasus tidak adanya pengalaman untuk menginterprestasi hal-hal

yang penting dari serangkaian peristiwa waktu mengendara sering mengambil

keputusan atau tindakan yang salah. Kesalahan yangpaling sering dilakukan

oleh pemakai jalan adalah kecepatan yang berlebihan, lengah, salah anggapan,

sikap panik karena tidak punya pengalaman. Para pengemudi muda yang tidak

berpengalaman dan kematangan emosial belum stabil, sikap suka pamer dan

sifat-sifat lain yang menyebabkan kelompok ini mempunyai laju kecepatan

yang tinggi.

16

Menurut Hobbs, (1995) pengemudi digolongkan antara pengemudi yang

aman dan tidak aman. Empat kategori pengemudi diindentifikasi setelah

mengamati kinerja merekadalam mengendarai kendaraan pada suatu rute

pengujian. Observasi-observasi ini mencakup kecelakaan di dekat lokasi,

pandangan ke kaca spion, gerakan kendaraan, dan respon didahului dan

mendahului. Kategori setiap pengemudi dapat dilihat pada bagian uraian

berikut :

a. Safe (S, aman): sangat sedikit kecelakaan, memakai sinyal dengan baik, tidak

melaksanakan gerakan yang tidak umum. Frekuensi menyalip sama dengan

frekuensi tersalip.

b. Dissociated active (DA, aktif terpisah): banyak mendapat kecelakaan dan

gerakannya berbahaya, mengemudi dengan cara seenaknya, sedikit

memberi sinyal dan jarang melihat kaca spion. Tersalip lebih sering dari

pada menyalip.

c. Dissociated passive (DP, pasif terpisah): sering mendapat kecelakaan,

kesadaran rendah, mengemudi di daerah median, dan dengan hanya sedikit

penyesuai dengan kondisi sekitar. Tersalip lebih jarang dibanding menyalip.

d. Injudicious (I, kemampuan menilai kurang) : sering mendapat kecelakaan,

estimasi jarak tidak baik, dan gerakann yang tidak umum, terlalu sering

melihat kaca spion, Gerakan menyalip tidak baik.

Uji psikologis yang telah dipakai untuk membedakan antara pengemudi

yang aman dan yang tidak aman. Biasanya pengemudi yang aman berasal dari

kelompok yang introvert . Pengemudi yang tidak aman biasanya dari kelompok

yang ekstrovert.

17

2.7 Landasan Teori

Perilaku manusia merupakan respon terhadap stimulus. Dalam

memberikan respon, manusia biasanya mempertimbangkan faktor internal

(dalam diri individu itu sendiri) dan faktor internal (di luar individu). Faktor

internal yang mempengaruhi perilaku manusia biasanya adalah pendidikan,

pengalaman, nilai-nilai dan orientasi yang dianut seseorang. Sedangkan faktor

eksternal yang mempengaruhi tindakan individu adalah penegakan hukum,

kompetisi, dan aturan yang ditegakkan oleh atasan atau lingkungan dimana

individu bekerja. Jadi, pada dasarnya, tidak ada individu yang benar-benar

bertindak yang hanya didorong kehendak bebas (free will) si individu, tapi pada

banyak hal, mempertimbangkan faktor eksternal.

Selanjutnya, dalam perubahan perilaku manusia dikenal teori Tahapan-

Tahapan Teori Perubahan (Stages of Change Theory), yakni precontemplation,

contemplation, action dan maintenance. Dengan kata lain, perubahan perilaku

manusia mengikuti tahap-tahap ini.

Ini bisa kita lihat ketika seseorang diduga terinveksi penyakit HIV

misalnya. Pada tahap precontemplation misalnya individu yang sakit tadi

mengalami masalah (apakah dia tahu atau tidak tahu sudah sakit HIV) dan tidak

ingin berubah. Tapi dengan munculnya kesadaran si individu, apakah melalui

informasi dan pengetahuan tentang HIV dan mulai melakukan evaluasi dan

refleksi pada dirinya (bagaimana dampak HIV pada dirinya) ia memasuki tahap

contemplation (ia menyadari ia telah kena HIV dan mulai berpikir untuk

berubah) ia kemudian melakukan evaluasi diri dan memikirkan perubahan yang

akan dilakukannya.

18

Pada tahap berikutnya, individu memasuki tahap preparation for action

(individu menyadari masalah penyakitnya dan ingin berubah pada bulan

berikutnya). Beberapa perilaku yang mau dirubah misalnya sudah dicatat,

seperti pemakaian kondom yang tidak konsisten, tapi bentuk nyata perubahan

perilaku belum ditemukan. Pada tahap ini, ia mulai meyakinkan diri, bahwa ia

yakin untuk berubah.

Dan pada saat inilah ia memasuki tahap action (ia menegaskan

perubahan perilaku) misalnya dengan memakai kondom secara konsisten

setidaknya selama 6 bulan dengan harapan bahwa tindakannya akan

menyembuhkannya. Ia kemudian mendapat dukungan dari kelompok dan

menghindari seks bebas. Pada tahap maintenance (ia menjaga perilakunya

yang berubah) selama 6 bulan.

Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran dan Perilaku Mengemudi

Berdasarkan model di atas, penelitian ini memfokuskan perhatian pada

beberapa variabel bebas, yakni: pendidikan, etnisitas, lama kerja dan

19

pembinaan armada, sehingga model hubungan yang akan diteliti adalah

sebagai berikut :

Gambar 2.3. Hubungan Variabel dan Perilaku Mengemudi

PERILAKU

PENDIDIKAN

ETNISITAS

LAMA KERJA

ARMADA

20

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

kualitatif. Nawawi mengatakan metode deskriptif memusatkan perhatian pada

masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang ada pada saat penelitian

dilakukan atau masalah yang bersifat aktual, kemudian menggambarkan fakta-

fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan

interpretasi yang akurat. Penelitian ini berupaya menjelaskan perilaku supir

angkutan kota di Kota Medan. Deskripsi ini akan menjelaskan hubungan antara

tingkat pendidikan, etnisitas, jenis armada dengan perilaku sopan-santun

dalam berlalu lintas. Juga akan dieksplorasi lebih jauh faktor-faktor utama yang

mempengaruhi perilaku berlalu lintas di kalangan supir angkutan kota di Kota

Medan.

Paradigma kuantitatif ini dalam banyak hal diupayakan akan mengikuti

asumsi, ontologi, epistimologi, aksiologi dan metode paradigma kuantitatif

(Creswell 2001, 12). Meski dalam metode pengumpulan data, pendekatan

kualitatif juga digunakan. Dengan kata lain, penelitian ini lebih dominan (more-

less dominant) menggunakan pendekatan kuantitatif

3.2. Populasi dan Sampel

3.2.1. Populasi Penelitian

Populasi adalah objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan

karakteristik tertentu yang disetarakan oleh peneliti untuk dipelajari, dan

kemudian ditarik kesimpulan. Sedangkan sampel adalah sebahagian dari

jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Populasi dalam penelitian

21

ini adalah keseluruhan supir angkutan kota yang armadanya di bawah

pengaturan Dinas Perhubungan Kota Medan.

Ini biasanya ditandai dengan Ijin Trayek yang dikeluarkan oleh Dinas

Perhubungan Kota Medan. Jumlah populasi secara keseluruhan berdasarkan

data jumlah armada angkutan kota di Kota Medan mencapai 16.736 armada.

Ini berarti bahwa di atas kertas, setidak-tidaknya terdapat 16.736 supir.

Namun, berdasarkan informasi dari lapangan diperoleh gambaran bahwa dari

keseluruhan jumlah armada tersebut, maksimal yang beroperasi di lapangan

rata-rata 80 %, sehingga dengan demikian banyaknya populasi untuk penelitian

ini diperkirakan 80 % x 16.736= 13.889 orang.

3.2.2. Sampel Penelitian

Menurut Arikunto sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang

diteliti. Penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Porposive

Sampling, dengan menggunakan ketentuan yang dikemukakan oleh Isaac dan

Michael (dalam Sugiyono, 2008: 126), sebagai berikut :

2 N. P. Q S= -----------------------

D2 (N-1) + 2. P.Q dengan dk = 1, taraf kesalahan optional 1%, 5%, atau 10%

P=Q= 0,5 D=0,05 S= Ukuran sampel

Berdasarkan rumus di atas, Isaac dan Michael selanjutnya menyusun

sebuah tabel yang memuat jumlah sampel terpillih untuk sejumlah populasi

tertentu.

22

Tabel 3.1. Tabel Isaac dan Michael Penentuan Jumlah Sampel Berdasarkan Rumus Isaac dan Michael dengan Taraf Signifikansi 95 %.

N S N S N S

10 10 220 140 1200 219 15 14 230 144 1300 297 20 19 240 148 1400 306 25 24 250 152 1500 309 30 28 260 155 1600 310 35 32 270 159 1700 313 40 36 280 162 1800 317 45 40 290 165 1900 320 50 44 300 169 2000 322 55 48 320 175 2200 327 60 52 340 181 2400 331 65 56 360 186 2600 335 70 59 380 191 2800 338 75 63 400 196 3000 341 80 66 420 201 3500 346 85 70 440 205 4000 351 90 73 460 210 4500 354 95 76 480 214 5000 357

100 80 500 217 6000 361 110 86 550 226 7000 364 120 92 600 234 8000 367 130 97 650 242 9000 368 140 103 700 248 10000 370 150 108 750 254 15000 375 160 113 800 260 20000 377 170 118 850 265 30000 379 180 123 900 269 40000 380 190 127 950 274 50000 381 200 132 1000 278 75000 382

23

210 136 1100 285 100000 384 Catatan: N = Populasi

S = Sampel

Berdasarkan tabel di atas jumlah sampel yang disarankan adalah 300.

Dengan demikian, penelitian ini selanjutnya mengambil sampel sebanyak 300

orang supir yang akan dipilih secara proporsional dari setiap arrmada dengan

memperhitungkan prosentasenya terhadap keseluruhan jumlah sampel.

Tabel 3.2. Nama dan Jumlah Armada Angkutan Kota di Medan. No Perusahaan Jumlah Direktur Ket

1 CV Mitra 750 Drs OK. Khaidir

2 PT Rahayu Medan Ceria

2.623 Drs Mont Gomery Munthe

3 CV Medan Bus 1.020 Jumongkas Hutagaol

4 PT Kobun 84 Drs B Surbakti

5 Kop Medan Raya Ekspers

290 T Ferdinand Simangunsong

6 CV Laju Deli Sejahtera 150 H Khairudinsyah

7 PT Nasional 605 Drs Baskami Ginting

8 PT Mars 1.055 Daud Sitepu SE

9 CV Hikma 250 H Abdul Hasyim Hasibuan

10 PT Povri 443 Novi Meliala

11 CV Desa Maju 294 Christoper Aritonang

12 KPUM 6.081 T Ferdinand Simangunsong

13 PTU Morina 1.670 J. Sitindaon

24

14 CV Mekar Jaya 315 Kushendra

15 PT Gajah Mada 310 J. Sitindaon

16 CV Wampu Mini 733 H. NG Brahmana

TOTAL 16.736

3.3. Informan Penelitian

Di samping para supir, informan dalam penelitian ini juga berasal dari

pemiliki angkutan umum (toke) dan pengurus Organda. Dari informan kunci ini,

akan digali lebih dalam informasi terkait dengan perilaku berlalu lintas para

supir. Untuk menggali informasi lebih dalam dari informan ini, akan dilakukan

wawancara mendalam dengan panduan wawancara terbuka (open-ended

interview guide). Wawancara akan dihentikan sepanjang permasalahan

penelitian dianggap telah terjawab ditandai dengan pengulangan jawaban-

jawaban responden. Untuk menjaga validitas dalam wawancara ini akan

dilakukan triangulasi data ke berbagai informan lain.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan jenis data dan unit analisis yang direncanakan, maka

proses penggalian data dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik

yaitu :

3.4.1. Penyebaran kuesioner (angket)

Pengumpul data dalam penelitian ini adalah kuesioner semi terbuka

(semi-open-ended questioner) yang akan disebarkan kepada para supir

angkutan kota yang ada di Kota Medan. Kuesioner disebarkan oleh para

pewawancara dan dipandu langsung pengisiannya karena diasumsikan, para

supir akan enggan mengisi sendiri karena jam kerja mereka yang tak terduga-

25

duga. Sebelum penyebaran kuesioner dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji

kuesioner terhadap 30 orang responden. Setelah dilakukan perbaikan atas

sistematika dan substansi beberapa pertanyaan maka akhirnya dilakukan

penyebaran kuesioner.

3.4.2. Wawancara

Selain kuesioner, alat pengumpul data yang digunakan adalah

wawancara mendalam yang dilakukan langsung oleh peneliti. Wawancara ini

akan dilakukan di tempat-tempat pangkalan angkutan kota tempat para supir

biasanya mangkal. Wawancara juga mungkin dilakukan di rumah supir dengan

perjanjian sebelumnya. Karena itu, penjajakan dan pendekatan dengan para

supir juga penting selama proses penelitian ini berlangsung. Dalam melakukan

wawancara digunakan instrumen penelitian sebagai pedoman wawancara dan

alat bantu seperti kamera, tape recorder dan buku catatan.

3.4.3. Pengamatan (observasi)

Pengamatan dalam penelitian ini dilakukan secara langsung ke lokasi

penelitian. Pengamatan ini dilakukan dengan melakukan wawancara langsung

di pangkalan dan kantor direksi armada. Pengamatan juga dilakukan dengan

menaiki angkot sebagaimana layaknya penumpang biasa dengan memilih

duduk di bangku samping supir dengan wawancara bebas dan tak terstruktur

pada trayek-trayek tertentu.

3.4.4. Studi Dokumen

Mengingat bahwa sebagian data primer hanya bisa dijelaskan dengan

bantuan data sekunder, maka dalam penelitian ini juga dilakukan penggalian

data dengan menggunakan teknik studi dokumen, seperti Undang-Undang,

Peraturan Pemerintah/Daerah, Renstra, buku dan lain-lain.

26

3.5. Analisis dan Interpretasi Data

Data dari kuesioner akan dianalisa dalam tabel tunggal dan tabel silang

untuk melihat prosentase dan kecenderungan (median) variabel-varibel

(pendidikan, etnisitas, armada, lama kerja jadi supir, misalnya) dari hasil olahan

statistik (SPSS atau Excell). Juga akan dilihat hubungan antar variabel dengan

menggunakan uji korelasi.

Sedangkan data kualitatif yang diperoleh dari wawancara mendalam

akan dikategorisasi dan dikonseptualisasi untuk melengkapi analisis kuantitatif

dari hasil olahan statistik yang merupakan hasil entri data kuesioner. Data ini

diharapkan akan menajamkan analisa sekaligus interpretasi data selama proses

penelitian berlangsung.

3.6. Definisi Konsep

a. Perilaku dalam penelitian ini adalah perilaku berlalu lintas yang dilakukan

supir yang dapat diamati baik yang dilakukan karena tekanan dari luar

(eksternal) maupun karena kesadaran sendiri (internal). Dengan demikian,

perilaku berlalulintas didefinisikan sebagai kecenderungan yang ditampil-

kan oleh supir angkutan kota dalam mengendarai kendaraan sejak dari

pangkalan keberangkatan, dalam perjalanan, hingga pangkalan tujuan.

Perlu ditambahkan, bahwa yang dimaksud dengan angkutan kota dalam

penelitian ini adalah terbatas untuk “sudako” (yang berarti taksi, becak

bermotor, damri, ojek tidak masuk dalam penelitian ini). Angkutan kota ini

antara lain : KPUM, CV Mitra, PT Rahayu, CV Medan Bus, PT Kobun, dan

lain-lain.

b. Sementara itu, yang dimaksud dengan supir adalah orang yang

mengendarai angkutan kota yang ditandai dengan merk armada dengan

27

ciri tersendiri untuk setiap armada (kesatuan) baik yang tidak memiliki SIM

yang berlaku maupun yang berlaku.

c. Lama kerja adalah durasi dalam mengemudi yang diperankan seorang

supir berdasarkan hitungan bulan dan tahun.

d. Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan formal dan nonformal yang

dicapai.

e. Etnisitas adalah penyebutan suku yang diakui dan ditandai dengan bahasa,

adat-istiadat maupun lingkungan tradisi yang dianut oleh seseorang.

f. Kesatuan (aArmada) adalah organisasi/perusahaan pengelola trayek

dimana angkutan kota bergabung.

3.7 Definisi Operasional

a. Perilaku berlalulintas diteliti melalui indikator-indikator sebagai berikut :

1) Kepatuhan terhadap peraturan armada.

2) Kepatuhan terhadap rambu-rambu lalu-lintas.

3) Kecenderungan dalam hal kecepatan.

4) Kecenderungan dalam hal penggunaan alat isyarat (sign) kendaraan.

5) Sopan-santun berkendaraan di antara kedaraan lainnnya.

b. Pendidikan diteliti melalui indikator-indikator :

1) Ijazah terakhir yang diperoleh.

2) Pengalaman mengikuti pendidikan nonformal.

3) Terpaan media (media exposure).

4) Frekuensi membaca buku.

5) Frekuensi berdiskusi dengan teman sepergaulan.

c. Etnisitas diteliti menurut indikator-indikator :

1) Lingkungan etnis tempat bermukim.

28

2) Lingkungan adat yang diikuti.

3) Bahasa yang digunakan dengan pasangan.

d. Lama Kerja diukur dengan indikator :

Durasi waktu (dalam satuan tahun) yang telah dilalui bekerja sebagai supir.

e. Kesatuan (Armada) diteliti melalui indikator-indikator :

1) Ketersediaan peraturan tata-tertib.

2) Kepatuhan terhadap peraturan tata-tertib.

3) Kebijakan organisasi menyangkut pengawasan.

4) Pendidikan sopan-santun lalulintas.

3.8. Jadwal dan Tahap Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu dimulai pada bulan

Juli 2012 sampai dengan bulan September 2012. Untuk lebih jelasnya kegiatan-

kegiatan yang dilakukan selama penelitian, dapat dilihat di table di bawah ini.

Tabel 3.3. Jadwal dan Kegiatan Penelitian.

NO

KEGIATAN Tahun 2012 / Bulan

Juli Agustus September

1 Penyusunan Proposal

2 Diskusi Proposal

3 Pengumpulan Data

4 Penyeleksian Data

5 Uji Keabsahan Data

6 Penulisan Laporan Kajian

7 Membuat Draft Laporan Penelitian

29

8 Diskusi Draft Laporan

9 Penyempurnaan Draf Laporan

10. Seminar hasil

30

BAB IV

ANALISIS DAN INTERPRESTASI DATA 4.1. Gambaran Lokasi Penelitian

4.1.1. Kondisi umum Lokasi Penelitian

Kota Medan sebagai sebuah kota metropolitan mempunyai posisi yang

sangat strategis baik sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara, pintu gerbang

bagian barat Indonesia bagi kegiatan jasa perdagangan dan keuangan domestik

dan regional dan pusat pelayanan jasa dan industri. Kota Medan juga kota

nomor tiga terbesar di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya, yang memiliki

luas 26.510 hektar (265,10 km²) atau 3,6 % dari keseluruhan wilayah Sumatera

Utara.

Sebagian besar penduduk Kota Medan bekerja pada lapangan pekerjaan

perdagangan (35,34 %) diikuti dengan lapangan pekerjaan jasa (20,38 %),

lapangangan pekerjaan listrik, gas dan air minum (16,92 %), lapangan

pekerjaan angkutan/komunikasi (13,59 %) dan lain-lain sebesar (13,77 %).

4.1.2. Geografi

Kota Medan sebagai ibukota dari Provinsi Sumatera Utara secara

geografis terletak di antara 03⁰.30’ - 03⁰.48’ LU dan 98⁰.39’.00” - 98⁰.47’.36”

BT, dengan ketinggian 3,0 s/d 30,0 meter dari permukaan air laut.

Letak geografis beberapa daerah di Kota Medan dapat dilihat pada tabel

berikut di bawah ini.

31

Tabel 4.1. Letak Geografis beberapa daerah Kota Medan.

Nama Daerah Garis Lintang

(LU) Garis Bujur

(BT) Tinggi Dari

Permukaan Laut (m) Sampali 03⁰.62’ 98⁰.78’ 25 Polonia 03⁰.32’ 98⁰.39’ 27 Belawan 03⁰.48’ 98⁰.42’ 3

Sumber: Kota Medan dalam Angka 2011 4.1.3 Administrasi

Secara administratif, Kota Medan memiliki wilayah seluas 265,10 km² yang

terdiri dari 21 kecamatan dengan 151 kelurahan, secara rinci dapat dilihat pada

tabel berikut.

Tabel 4.2. Luas Kota Medan menurut kecamatan No Kecamatan Luas(km²) Persentase 1 Medan Tuntungan 20,68 7,80 2 Medan Johor 14,58 5,50 3 Medan Amplas 11,19 4,22 4 Medan Denai 9,05 3,41 5 Medan Area 5,52 2,08 6 Medan Kota 5,27 1,99 7 Medan Maimun 2,98 1,12 8 Medan Polonia 9,01 3,40 9 Medan Baru 5,84 2,20

10 Medan Selayang 12,81 4,83 11 Medan Sunggal 15,44 5,82 12 Medan Helvetia 13,16 4,96 13 Medan Petisah 6,82 2,57 14 Medan Barat 5,33 2,01 15 Medan Timur 7,76 2,93 16 Medan Perjuangan 4,09 1,54 17 Medan Tembung 7,99 3,01 18 Medan Deli 20,84 7,86

32

19 Medan Labuhan 36,67 13,83 20 Medan Marelan 23,82 8,99 21 Medan Belawan 26,25 9,90

Total Kota Medan 265,10 100 Sumber: Kota Medan dalam Angka 2011 4.1.4. Demografi

Jumlah penduduk Kota Medan sampai dengan tahun 2011 sebesar

2.097.610 jiwa dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 0,87 % dan jumlah

kepadatan penduduk per kilometer rata-rata sebesar 7.798 jiwa/km². Angka

pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk dan jumlah penduduk per

kecamatan dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan Tabel 4.4. berikut.

Tabel 4.3. Jumlah penduduk Kota Medan menurut kecamatan dan jenis kelamin.

.No Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah

1 Medan Tuntungan 39.414 41.528 80.942 2 Medan Johor 61.085 62.766 123.851 3 Medan Amplas 56.175 56.968 113.143 4 Medan Denai 71.181 70.214 141.395 5 Medan Area 47.813 48.731 96.544 6 Medan Kota 35.239 37.341 72.580 7 Medan Maimun 19.411 20.170 39.581 8 Medan Polonia 25.989 26.805 52.794 9 Medan Baru 17.576 21.940 39.516

10 Medan Selayang 48.293 50.024 98.317 11 Medan Sunggal 55.403 57.341 112.744 12 Medan Helvetia 70.705 73.552 144.257 13 Medan Petisah 29.367 32.382 61.749 14 Medan Barat 34.733 36.038 70.771 15 Medan Timur 52.635 55.998 108.633 16 Medan Perjuangan 45.144 48.184 93.328 17 Medan Tembung 65.391 68.188 133.579 18 Medan Deli 84.520 82.273 166.793

33

19 Medan Labuhan 56.676 54.497 111.173 20 Medan Marelan 71.287 69.127 140.414 21 Medan Belawan 48.889 46.617 95.506 1.039.926 1.060.684 2.097.610

Sumber: Kota Medan dalam Angka 2011

Tabel 4.4. Luas wilayah dan jumlah penduduk serta kepadatan penduduk/km² menurut kecamatan.

No

Kecamatan Luas

Wilayah (km)

Penduduk (jiwa)

Kepadatan penduduk per Km2

1 Medan Tuntungan 20,68 80.942 3.914 2 Medan Johor 14,58 123.851 8.495 3 Medan Amplas 11,19 113.143 10.111 4 Medan Denai 9,05 141.395 15.624 5 Medan Area 5,52 96.544 17.490 6 Medan Kota 5,27 72.580 13.772 7 Medan Maimun 2,98 39.581 13.382 8 Medan Polonia 9,01 52.794 5.859 9 Medan Baru 5,84 39.516 6.766

10 Medan Selayang 12,81 98.317 7.675 11 Medan Sunggal 15,44 112.744 7.302 12 Medan Helvetia 13,16 144.257 10.962 13 Medan Petisah 6,82 61.749 9.054 14 Medan Barat 5,33 70.771 13.278 15 Medan Timur 7,76 108.633 13.999 16 Medan Perjuangan 4,09 93.328 22.819 17 Medan Tembung 7,99 133.579 16.718 18 Medan Deli 20,84 166.793 8.004 19 Medan Labuhan 36,67 111.173 3.032 20 Medan Marelan 23,82 140.414 5.895 21 Medan Belawan 26,25 95.506 3.638

Total Kota Medan 265,10 2.097.610 Sumber: Kota Medan dalam Angka 2011

34

4.1.5. Arah dan Perkembangan Kota Medan

Perkembangan Kota Medan yang sangat pesat, terutama terjadi di

pusat kota ke arah Timur dan Barat kota. Sementara itu, bagian Utara dan

Selatan kota, relatif kurang berkembang. Berdasarkan sejarah umur dan

kepadatan bangunan/lingkungan, unsur-unsur lingkungan kota yang menjadi

daya tarik, serta kendala-kendala fisik, diduga perkembangan fisik Kota Medan

bermula dari Kecamatan Medan Kota dan Kecamatan Medan Area yang saat ini

menjadi wilayah pusat kota.

Daerah ini terdiri dari kawasan permukiman, kawasan perdagangan,

dan pusat pemerintahan, yang radius perkembangannya saat ini mencapai 6

km. Perkembangan selanjutnya secara linier mengikuti kegiatan perangkutan

regional Medan-Binjai (ke arah Barat) dan Medan-Tebing Tinggi (ke arah

Timur). Tarikan perkembangan ke arah Barat dan Timur sangat kuat sejalan

dengan peningkatan kegiatan perangkutan di jalan arteri primer tersebut

(RUTR Kota Medan, 2005, hal 2-6). Perkembangan kota yang linier ini kurang

diharapkan karena, antara lain :

a. Mengganggu kelancaran lalu lintas regional

b. Bercampurnya kegiatan/lalu lintas lokal dan regional, dan

c. Berkembangnya sistem jaringan yang kurang efisien. 4.1.6. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

4.1.6.1. Kenderaaan Bermotor

Jumlah kenderaan bermotor dan pertumbuhannya adalah sebagaimana

ditampilkan pada tabel berikut :

35

Tabel 4.5. Pertumbuhan kenderaan bermotor menurut jenis kenderaan di Kota Medan

No

Tahun Jenis Kenderaan

Jumlah Penumpang Truck Bus Motor 1 2002 128.882 93.989 11.424 558.236 792.531 2 2003 138.179 99.464 11.815 657.460 906.918 3 2004 149.302 104.776 12.108 756.569 1.022.755 4 2005 164.314 112.001 12.406 833.406 1.172.128 5 2006 175.198 116.184 12.619 895.745 1.289.746

Sumber: Satlantas Poltabes MS, Ditlantas Poldasu, 2007

Dari tabel 4.5 dapat dilihat bahwa pertambahan jumlah kendaraan

bermotor mobil penumpang rata-rata per tahun (sebesar 6,51 %) lebih tinggi

daripada pertumbuhan angkutan bus rata-rata per tahun (sebesar 3,91) dan

juga pertumbuhan mobil barang (sebesar 5,29 %). Tetapi pertumbuhan

tertinggi terjadi pada sepeda motor yang mencapai 20,92 %. Secara

keseluruhan didapat pertumbuhan kendaraan bermotor sebesar 9,16 % per

tahun.

4.1.6.2 Angkutan Umum

Angkutan umum yang memberikan pelayanan dalam trayek tetap dan

teratur di Kota Medan terdiri dari jenis mobil penumpang umum, bus kecil, bus

sedang dan bus besar dengan perincian sebagaimana tertera dalam tabel

berikut.

Tabel 4.6. Jenis angkutan umum di Kota Medan

Jenis

Jumlah Trayek Jumlah Armada Plafon Realisasi % Plafon Realisasi %

MPU 146 98 67,12 8.789 5.283 60,10 60,08% 60,87% 63,34% 65,90%

Bus Kecil 83 55 66,26 4593 2517 54,80

36

34,16% 34,16% 33,10% 31,40% Bus sedang

6 5 83,3 290 155 53,44 2,47% 3,11% 2,09% 11,93%

Bus Besar

8 3 37,5 204 62 30,4 3,29% 1,86% 1,47% 0,77%

Jumlah 243 161 66,25 13.876 8.017 58,0% Sumber: Dinas Perhubungan Kota Medan, 2012

Jaringan trayek dan detail data untuk masing-masing perusahaan yang

beroperasi di Kota Medan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.7. Angkutan umum dalam trayek tetap di Kota Medan.

No

Nama Perusahaan Jenis Armada

Jumlah Trayek Jumlah Armada Plafon Realisasi % Plafon Reali-

sasi %

1 KPUM MPU 93 53 56,98 6.081 2.862 47,06 2 PT.U.Morina MPU 19 11 57,89 1.670 522 31,25 3 PT.Rahayu.MC MPU 23 16 69,56 2.623 1.548 59,01 4 CV.Wampu Mini MPU 8 7 87,50 733 264 36,01 5 CV.Mekar Jaya MPU 4 3 75,00 315 176 55,87 6 PT.Gajah Mada MPU 4 3 75,00 310 193 62,25 7 CV.Mitra B.Kecil 11 6 54,54 750 234 31,20 8 PT.Mars B.Kecil 20 11 55.00 1.055 263 24,92 9 CV.Medan Bus B.Kecil 13 6 46,15 1.020 217 21,27

10 PT.Kobun B.Kecil 4 0 0,00 84 0 0,00 11 CV.Hikma B.Kecil 4 0 0,00 250 0 0,00 12 PT.Nasional MT B.Kecil 10 4 40,00 605 167 27,60 13 PT.Povri B.Kecil 5 3 60,00 443 23 5,19 14 CV.Desa Maju B.Kecil 7 3 52,85 294 137 46,59 15 CV.Laju Deli S B.Kecil 6 1 16,66 150 8 5,33 16 KPUM(MRX) B.Sedang 6 2 33,33 290 137 47,24 17 Damri B.Besar 5 2 40,00 60 20 33,33

Jumlah 242 131 54,13 16.736 6.771 40,45

Sumber : Rekapitulasi Data Dinas Perhubungan Kota Medan, 2012

Sementara itu, untuk trayek tidak tetap dapat dilihat sebagaimana

tertera pada tabel berikut ini.

37

Tabel 4.8. Angkutan umum dalam trayek tidak tetap di Kota Medan.

Nama Perusahaan

Jenis Armada Jumlah Armada KPS Plapond Realisasi %

1 PT.Mandiri Karya S. Beca Bermotor 5.000 4.968 99,36 632 2 KPUM Beca Bermotor 4.000 4.000 100,00 686 3 YPSA Beca Bermotor 250 250 100,00 25 4 Bahumas Kosgoro Beca Bermotor 300 300 100,00 86 5 CV.Mitra Beca Bermotor 1.300 1.300 100,00 108 6 CV.Batang Gadis Beca Bermotor 300 300 100,00 - 7 KPSM Beca Bermotor 750 750 100,00 10 8 FA.Mekar Jaya Beca Bermotor 500 500 100,00 71 9 Koperasi Opsi SU Beca Bermotor 300 300 100,00 - 10 Kop.HABSU Beca Bermotor 600 600 100,00 36 11 UD.MILTAR Beca Bermotor 750 750 100,00 - 12 CV.Sinar Cahaya Duta Beca Bermotor 3.200 3.200 100,00 50 13 CV.Sinar Cahaya Duta Beca Bermotor 2.000 1.456 72,80 50 14 Yayasan T. Deli Indah Beca Bermotor 300 300 100,00 - 15 CV.Indah Ceria Medan Beca Bermotor 1.000 1.000 100,00 70 16 HABSSU(Sejahtera M.) Beca Bermotor 1.000 1.000 100,00 39 17 YAPABSU Beca Bermotor 500 500 100,00 33 18 PABM Beca Bermotor 950 950 100,00 40 19 Bestari Transport Beca Bermotor 300 300 100,00 4 20 Serikat Beca Merdeka Beca Bermotor 150 150 100,00 38 21 Perhimpunan A.B Win Beca Bermotor 500 142 28,40 112 22 CV.Laju Deli S. Beca Bermotor 1.000 1.000 100,00 50 23 Baja Pulau Samosir Beca Bermotor 200 200 100,00 4 24 HIPKAMSI Trans Beca Bermotor 300 300 100,00 23 25 CV.Permana Putra Beca Bermotor 750 15 1,86 -

Jumlah 26.200 24.531 93,62 2.167 Sumber: Rekapitulasi Data Dinas Perhubungan Kota Medan, 2012

38

Tabel 4.9. Angkutan umum taksi di Kota Medan

No

Nama Perusahaan

Jenis Kendaraan

Jumlah Armada Plapond Realisasi %

1 PT.Deli Cepat Taksi Taksi 275 76 27,63 2 Kokapura II Taksi 50 50 100,00 3 PT. Angkasa Bhakti Taksi 100 100 100,00 4 PT. Express Limo N. Taksi 500 120 24,00 5 PT. Yuki Taksi 100 21 21,00 6 Kostar Taksi Taksi 170 82 48,23 7 Matra Taksi(KPUM) Taksi 500 131 26,20 8 PT. Karsa Taksi 650 69 10,61 9 PT. Blue Bird Taksi 500 300 60,00

10 PT. Ridha Almunawarrah

Taksi 50 5 10,00

11 CV. Eka Prasetya Taksi 150 6 4,00 Jumlah 3.045 960 31,52

Sumber: Rekapitulasi Data Dinas Perhubungan Kota medan, 2012 Kebijaksaan angkutan umum di Kota Medan adalah:

1. Mengatur kembali sistem angkutan umum yang telah beroperasi

dengan melihat faktor-faktor sistem jaringan jalan yang ada, faktor

efisiensi dan dampak yang ditimbulkan seperti kemacetan, kerusakan

jalan dan lain-lain.

2. Menetapkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan sistem

angkutan umum agar perkembangannya dapat lebih terkendali dan

dapat melayani penduduk secara efisien serta terjangkau oleh

masyarakat.

3. Menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung sistem angkutan umum

seperti tempat pemberhentian, shelter dan terminal.

39

4. Memisahkan fungsi terminal yang bersifat lokal dengan regional agar

terjamin pelayanan angkutan umum yang optimal.

5. Meningkatkan pelayanan angkutan dalam rangka menarik minat

masyarakat untuk lebih menggunakan angkutan umum.

6. Mengembangkan jenis angkutan umum yang lebih sesuai dengan

karakteristik jaringan jalan kota.

4.1.7 Prasarana

4.1.7.1 Jaringan Jalan

Kota Medan memiliki pola jaringan jalan yang berbentuk grid/kisi-kisi

pada daerah pusat kota dan bentuk radial pada daerah pinggiran kota. Jalan

utama sebagai koridor dalam kota adalah Jalan Thamrin, Jalan Pandu, Jalan

Sutomo, Jalan Pemuda, Jalan Ahmad Yani, Jalan Balai Kota, Jalan MT Haryono,

Jalan Cirebon, Jalan Raden Saleh, Jalan Guru Patimpus, dan Jalan Perintis

Kemerdekaan, serta Jalan Prof. H.M. Yamin. Sedang koridor luar yang meng-

hubungkan daerah pinggiran kota dengan pusat kota yaitu Jalan KL. Yos

Sudarso, Jalan Putri Hijau, dan Jalan Krakatau sebagai jalan yang meng-

hubungkan daerah Utara dengan pusat kota, Jalan Letda Sujono sebagai jalan

yang menghubungkan daerah bagian Barat dengan pusat kota, Jalan Gatot

Subroto sebagai jalan yang menghubungkan daerah bagian Timur dengan pusat

kota, Jalan Sisingamangaraja dan Jalan Brigjend Katamso serta Jalan Jamin

Ginting, merupakan jalan yang menghubungkan daerah bagian Selatan dengan

pusat kota.

Untuk menghubungkan daerah pinggiran kota secara langsung, tanpa

harus melalui pusat kota disediakan jalan lingkar Utara, yaitu Jalan Kapten

Sumarsono, Jalan Asrama, Jalan Gagak Hitam, Jalan Industri, dan Jalan

40

Ngumban Surbakti, yang menghubungkan daerah bagian Utara dengan bagian

Timur, sedangkan daerah bagian Selatan dengan daerah bagian Timur

dihubungkan oleh jalan lingkar Selatan yaitu Jalan Bunga Sedap Malam, Jalan

AH. Nasution dan Jalan Karya Jasa.

Selain itu juga terdapat jalan Tol Belmera (Belawan-Medan-Tanjung

Morawa) yang menghubungkan daerah bagian Selatan Kota Medan yaitu

Tanjung Morawa dengan daerah bagian Utara Kota Medan yaitu Belawan yang

dibangun memanjang pada daerah bagian Barat. Keberadaan Jalan Lingkar dan

Jalan Tol ini sangat membantu dalam mengalihkan arus kendaraan menerus

yang melalui pusat kota, sehingga mengurangi kepadatan volume lalu lintas

dalam kota serta merangsang pertumbuhan daerah pinggiran kota. Untuk

memperlancar arus lalu lintas dilakukan beberapa manajemen lalu lintas

seperti jalan satu arah terutama pada daerah pusat kota yaitu pada Jalan

Ahmad Yani, Jalan Balai Kota, Jalan Putri Hijau, Jalan Diponegoro, Jalan Imam

Bonjol (sebagian), Jalan Kartini, Jalan Teuku Daud, Jalan Kapten Maulana Lubis,

Jalan MT Haryono, Jalan Gajah Mada (sebagian), Jalan Zainul Arifin, Jalan

Sutoyo, Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan HM. Yamin, Jalan Thamrin, Jalan

Merbabu, Jalan Sutomo, Jalan Pandu, Jalan Cirebon, Jalan Gaharu, dan hampir

seluruh jaringan jalan dalam wilayah pusat kota. Kota Medan memiliki jalan

sepanjang 3.078,94 km dengan perincian sebagai berikut :

Tabel 4.10. Panjang jalan (km) menurut kondisi di Kota Medan.

Kondisi

Penanggung Jawab Jumlah Negara Provinsi Kab./Kota

Baik 140,70 33,40 2.980,30 3.154,30 Sedang 15,80 15,80 Rusak 20,10 20,10

41

Rusak Berat 1,30 1,30 Tidak Diperinci 00,00 00,00 Jumlah 56,86 70,70 2.951,38 3.078,94

Sumber : Kota Medan dalam Angka 2011

Tabel 4.11. Panjang jalan menurut jenis permukaan di Kota Medan.

Permukaan

Penanggung Jawab Jumlah Negara Provinsi Kab./Kota

Aspal 56,86 70,70 2.548,89 2.676,45 Kerikil Tanah 8,95 8,95 Tidak Diperinci 393,54 393,54 Jumlah 56,86 70,70 2.951,38 3.078,94 Jumlah 56,86 70,70 2.951,38 3.078,94

Sumber : Kota Medan dalam Angka 2011

4.1.7.2 Terminal Penumpang

Terminal sebagai salah satu sarana pelayanan kepada masyarakat

pemakai jasa angkutan umum dan merupakan awal pemberangkatan dan akhir

perjalanan angkutan umum sekaligus tempat pergantian (interchange) moda

transportasi sangat berperan dalam menentukan tingkat kinerja dari pelayanan

angkutan umum dalam suatu kota. Pengaturan lokasi terminal bus ditentukan

berdasarkan sifat dan syarat lokasi dari terminal.

Untuk terminal bus angkutan komuter (Kota Medan ke kota-kota

terdekat) lokasinya harus berada pada jalur utama, paling optimal pada wilayah

transisi atau pinggiran (Terminal Terpadu Amplas, Terminal Terpadu Pinang

Baris dan Terminal Tuntungan. Dimensi kendaraan (bus) yang besar menuntut

pelayanan fungsi jaringan tingkat tinggi (arteri) dan mempunyai kemudahan

pencapaian (accessibility) yang mempunyai paling banyak jalur alternatif ke

luar kota.

42

Kota Medan telah menyediakan 5 (lima) buah terminal dengan kelas

pelayanan seperti Tabel 4.12, antara lain :

1. Terminal Terpadu Amplas, di wilayah Selatan memiliki kapasitas sebesar 80

unit bus dan 160 unit mobil penumpang umum dengan luas sebesar

26.580 m².

2. Terminal Pinang Baris, di wilayah barat memiliki kapasitas sebesar 60 unti

bus, dan 120 unit mobil penumpang umum dengan luas 19.940 m².

3. Terminal Sambu, di pusat kota berkapasitas sebesar 200 unit mobil

penumpang umum dengan luas 3.000 m².

4. Terminal Veteran, di pusat kota berkapasitas sebesar 20 unit bus dan 60

unit mobil penumpang umum dengan luas 2.600 m².

5. Terminal Belawan, di wilayah Utara memiliki kapasitas sebesar 24 unit bus

dengan luas 1.080 m².

Tabel 4.12. Terminal di Kota Medan

No Terminal Kelas Pelayanan

1 Amplas

Melayani angkutan umum untuk antar kota antar provinsi (AKAP), angkutan antar kota dalam provinsi (AKDP), angkutan kota dari wilayah Timur/Selatan ke Kota Medan.

2 Pinang Baris

Melayani angkutan umum untuk angkutan antar kota dalam provinsi (AKDP), angkutan kota dari wilayah Barat/Selatan ke Kota Medan.

3 Sambu Melayani kendaraan umum (mobil penumpang) dalam Kota Medan ke inti kota.

4 Veteran Melayani kendaraan umum (mobil bus) dalam Kota Medan yang menuju inti kota.

5 Belawan Melayani kendaraan umum (mobil bus) dalam Kota Medan yang menuju inti kota (Belawan – Medan).

Sumber : Dinas Perhubungan Kota Medan, 2007

43

4.2 Profil Responden

4.2.1 Klasifikasi jenis supir

Sebagian besar jenis atau kategori supir yang diteliti dalam penelitian ini

adalah supir tetap (66 %) diikuti kemudian supir tembak (19 %) dan yang

terakhir supir sekaligus pemilik (15 %). Ini merupakan konsekuensi logis karena

memang sebagian besar supir (35 %) yang diteliti merupakan supir KPUM.

Karena memang armada KPUM senantiasa menetapkan regulasi yang ketat

dalam menetapkan supir di dalam armadanya, yakni dengan memberikan Kartu

Pengenal Supir bagi setiap supir yang mengemudi dan menyimpan data dasar

supir di kantor.

Ini diperkuat lagi, karena Armada KPUM mewajibkan supir membayar

setoran untuk STM (Rp 5.000 per hari) yang dikelola supir secara independen.

Dengan demikian, KPUM jarang sekali atau tidak pernah mempekerjakan supir

tembak, sebagaimana terjadi di armada yang lain. Kategori supir di armada ini

biasanya adalah supir satu atau supir dua, yang semuanya terdaftar resmi di

kantor dan wajib membayar setoran.

Grafik 4.1. Kategori / Jenis Supir

44

Supir Tetap66%

Supir Tembak19%

Supir Sekaligus Pemilik

15%

Temuan observasi dan wawancara mendalam mengungkapkan, bahwa

secara umum, supir sekaligus pemilik yang biasanya relatif lebih taat mengikuti

peraturan lalu lintas karena mereka tidak terlalu ditekan untuk mengejar

setoran. Di samping itu, mereka juga menjaga mobilnya agar tidak cepat rusak

kalau dikemudikan sembrono untuk menjaga daya tahan suku cadang mobil

yang harganya terus melonjak di tengah menurunnya jumlah penumpang.

Selanjutnya, kategori supir tembak (supir cadangan) kerap kali dianggap

kurang mematuhi peraturan lalu lintas. Supir tembak ini, selama proses

wawancara mendalam di kalangan supir dan mondor, memiliki beberapa

sebutan lain seperti supir raun (memutar), supir kain lap atau supir door-smeer,

dan supir pocokan. Supir raun adalah supir yang mengambil alih kemudi angkot

begitu tiba di pangkalan untuk mencari sewa di sekitar pangkalan.

Sedangkan supir kain lap adalah supir-supir yang biasanya masih relatif

muda dan biasanya bekerja di tempat pencucian mobil (door-smeer)

sebelumnya untuk mencuci dan melap angkutan kota. Karena di tempat

45

pencucian mobil biasanya mereka ikut memajukan dan memundurkan

angkutan kota, lambat laun mereka menjadi supir dengan mengurus SIM

tembak (SIM yang diurus melalui calo). Kategori supir kain lap yang masih

muda dan mengurus SIM tembak inilah yang cenderung mengemudi di luar

aturan-aturan lalu lintas.

Ini terbukti suatu ketika peneliti menaiki angkutan kota dari Simpang

Selayang menuju Marelan. Sang supir, bermarga Simangunsong mengemudikan

kendaraannya ugal-ugalan sepanjang perjalanan. Pria berusia 20 tahun yang

tidak menyelesaikan pendidikan sampai SMP ini malah ‘memuntahkan’ kata-

kata kotor kepada supir angkutan kota lain, ketika dia menaikkan penumpang

di Jambur Namaken (Jalan Jamin Ginting) dan mengajak berduel dengan sang

supir. Saling kejar dan saling potong sambil zig-zag dari lajur kiri-dan kanan

ditambah suara klakson yang tiada henti terjadi mulai dari Jambur Namaken

sampai ke Sumber USU.

Ibu-ibu penumpang di bangku belakang bahkan berteriak sambil

memohon, agar sang supir jangan terlalu nekat, tapi sang supir tak peduli dan

mengatakan, “Armada ini (menyebut salah satu merek armada) memang selalu

cemburu kalau kita menaikkan penumpang. Walaupun Padang Bulan ini

‘dimerahkannya” (maksudnya cat armada yang disebutnya) dan mobilnya

banyak, tak bisa sesuka hatinya” ujar si supir dengan nada memaki.

Kekacauan belum berhenti, tatkala si supir ‘mengoceh’ lagi dengan

pengendara sepeda motor perempuan yang kebetulan menjemput anak

sekolah. Persis lewat Simpang Kampus, sang supir memaki si pengendara

motor dengan kata-kata “Hai perempuan bodoh” sambil merapatkan angkutan

kotanya ke samping pengendara motor. Supir yang lima tahun menjadi kenek

46

(kondektur) Borneo ini saling kejar dan saling potong. Bahkan di perlimaan

lampu merah Iskandar Muda dan Monginsidi, nyaris saja angkutan kota ini

menubruk perempuan yang mengendarai sepeda motor tadi dari belakang.

Peneliti yang tadi hanya diam mengobservasi akhirnya mengingatkan sang

sopir agar lebih lambat dan hati-hati. Apalagi mengingat di boncengan sepeda

motor itu ada anak perempuan yang masih berseragam TK.

Tapi sang supir menjawab, “Dia yang mancing-mancing. Masak di depan

kita ia ngegas keretanya. Ngajak balap dia itu. Perempuan seperti apa itu,”

gerutu supir yang berasal dari Sidikalang ini. Saling adu kejar dan potong ini

baru berakhir di Jalan Gajah Mada, karena angkutan kota ini memutar ke kiri ke

arah sekolah Raksana, sementara pengendara motor terus melaju lurus ke

ujung jalan Gajah Mada.

Kendala dalam menertiban supir ini menurut para direksi armada

disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pergantian supir dalam satu

angkutan kota sangat tinggi. Kalau manajemen direksi armada menetapkan

aturan yang ketat, belum tentu si pemilik angkutan kota setuju. Karena pemilik

angkutan kota kadang kurang peduli dengan perilaku supir mengemudi, yang

penting setoran disetor rutin setiap hari. Pergantian supir ini semakin tinggi,

karena memang jumlah angkutan kota banyak dan profesi supir itu adalah

profesi sampingan, yang akan mudah ditinggalkan ketika ada tawaran

pekerjaan yang lebih menjanjikan.

Kedua, mental supir yang cenderung ‘ngakali’ pemilik angkutan kota.

Seorang informan menuturkan cerita menarik terkait perilaku ini. Ia

mengisahkan, otak supir itu ibarat putaran ban angkutan kota itu sendiri. Supir

itulah yang memutar otak untuk ‘ngolah’ pemilik angkutan kota. Otak si supir

47

senantiasa berputar ‘ngakali’ si pemilik. Pada hal tertentu sang supir itu

sesungguhnya yang menjadi toke pertama. Kenapa? Karena begitu si supir

membawa angkutan kota ke pangkalan dia sudah disediakan teh susu, rokok,

dan sarapannya oleh pemilik warung di pangkalan, sementara si pemilik

angkutan kota belum dapat apa-apa. Karena itu, si supir disebut sebagai toke

pertama.

Begitu juga kalau dia pulang ke rumah, dia lebih dulu memikirkan uang

yang akan dibawanya pulang, bukan setoran kepada pemilik. Ambil misal, kalau

gajinya biasanya Rp 60 ribu, sementara setoran Rp 80 ribu. Kalau gajinya belum

cukup, setoran yang dikurangi. Padahal kalau ada kerusakan sedikit pun tidak

menjadi tanggungan supir. Beda dengan supir dulu. Supir dulu lebih memikir-

kan setoran dulu kepada pemilik. Bahkan sering memberi lebih dari setoran

yang telah ditetapkan. Jarang memberi setoran ‘belah jengkol’ (bagi dua secara

merata antara pendapatan supir dan setoran yang harus diberikan kepada

pemilik angkutan kota).

Begitu juga kalau mobil rusak, supir kadang malah bertingkah. Ketika

angkutan kota telah diperbaiki dan siap jalan, si supir malah tidak masuk. Mobil

sehat, supir sakit. Direksi armada ini mengaku, memiliki mobil tiga tapi tidak

pernah jalan semua karena ada saja supir yang tidak masuk. “Kita pecat supir

yang tidak masuk, datang lagi supir yang lebih buruk” tuturnya dengan nada

kesal.

48

4.2.2. Lama Kerja Supir

Grafik 4.2. Lama Kerja Supir

Di bawah 5 tahun 23%

5 – 10 tahun 35%

11 – 15 tahun 20%

16 – 19 tahun 7%

Di atas 20 tahun15%

Dilihat dari lama bekerja, sebagian besar (35 %) bekerja antara 5-10

tahun, disusul masa kerja di bawah 5 tahun (23 %) dan masa kerja 11-15 tahun

(20 %). Hanya 14 % yang bekerja di atas 20 tahun. Lama bekerja ini

merefleksikan beberapa asumsi. Pertama, sebagian besar supir masih baru

bekerja dan diasumsikan angkatan kerja berusia muda. Usia muda ini juga

diperkirakan salah satu faktor yang melatarbelakangi perilaku supir yang

kurang taat berlalu lintas. Kedua, masa kerja antara 11-15 tahun dan di atas 20

tahun kalau digabungkan mencapai sekitar 34 % mengasumsikan bahwa

pekerjaan supir sekarang ini bukan lagi profesi yang menjanjikan seperti supir-

supir dulu. Dalam artian lain, profesi supir bisa saja ditinggalkan kalau ada

pekerjaan yang lebih menjanjikan.

Ini dibuktikan saat wawancara di kalangan supir dan direksi armada.

Seorang supir mengatakan, nasib supir sekarang ini tak lebih ibarat budak

karena harus bekerja dari pagi sampai malam, tapi kadang tetap juga kurang

49

setoran. Ini yang membuat supir kurang taat berlalu lintas karena semata untuk

mengejar setoran dan mencari sekaligus menambah penghasilan. Menurut

supir yang kadang berprofesi sebagai supir truk lintas Sumatra ini, ia kadang

mengemudikan truk ke Jakarta membawa jeruk, karena penghasilannya lebih

baik. Dalam seminggu pulang pergi Medan-Jakarta, ia bisa menghasilkan Rp 1

juta. Ia menyerahkan kepada istrinya Rp 800.000 dan Rp 200.000 lagi

digunakan untuk uang jalannya.

Dengan nada putus asa, ia melanjutkan, kalau pekerjaan supir sekarang

tidak menjanjikan lagi dan hanya bisa hidup bertahan ala kadarnya. Ini

diperkuat lagi lewat pengakuan seorang direksi salah satu armada, yang

sebelumnya pernah bekerja sebagai supir di Jakarta dulu semasa

kepemimpinan Ali Sadikin. Mantan supir yang mengemudikan bus Saudaranta

pada 1973 di Jakarta ini menuturkan sekaligus membandingkan, penghasilana

supir dulu sangat menjanjikan dan masih terpandang.

Hanya bekerja sehari bisa membeli 2-3 meter tanah di Jakarta. Karena itu,

dulu profesi supir masih diminati dan dianggap terpandang. Bahkan untuk

menjadi supir dulu relatif sulit. Sebelum menjadi supir harus menjadi cincu

(kernek), ngelap ban mobil sampai mengkilap, bahkan kadang-kadang harus

mencuci pakaian supir. Ironisnya sekarang, profesi supir dianggap rendahan

dan kurang menjanjikan.

Menurut supir ini, menurunnya pendapatan supir sekarang salah satu

faktornya adalah berlebihnya, baik plafon maupun trayek angkutan kota di

Kota Medan (tanpa bisa menjelaskan ukuran kuantitatif kelebihannya ketika

ditanya lebih lanjut). Kalau ijin diberikan, kan uang masuk bagi Dinas

Perhubungan dan setoran untuk mandor akan berlipat. Bayangkan kalau ada

50

armada 7.000 unit dan setiap angkutan kota harus setor Rp 14.500, berapa per

hari dan per bulannya? Kami supir ini yang jadi korbannya.

4.2.3. Jenis Kesatuan Armada

Grafik 4.3. Kesatuan armada angkutan kota.

Hikma0%

Mars6%

Desa Maju6%

KPUM35%

Rahayu19%

Nasional2%

Medan Bus11%

Kobun0%

Morina8%

Medan Raya Express

9%

Povri0%

Gajah Mada0%

Lainnya0%

Mekar Jaya4%

Sebagian besar armada yang diteliti adalah KPUM (35 %), Rahayu (19 %),

Medan Bus (11 %), Medan Raya Express (9 %), Morina (8 %), dan terakhir Desa

Maju (6 %). Besaran ini juga pada tingkatan tertentu merefleksikan besaran

armada angkutan kota di Kota Medan.

51

4.2.4. Keberlakuan Surat Ijin Mengemudi (SIM)

Grafik 4.4. Keberlakuan Surat Izin Mengemudi (SIM).

Berlaku94%

Tidak6%

Sebagian besar responden (94 %) dalam mengemudikan angkutan

kotanya memiliki Surat Ijin Mengemudi (SIM) yang masih berlaku, hanya

sebagian kecil (6 %) yang memiliki SIM yang tidak berlaku. Pengemudi dengan

SIM yang tidak berlaku ini biasanya adalah jenis supir raun yang biasanya hanya

mengemudikan angkutan kota di sekitar pangkalan-pangkalan kecil di pinggiran

Kota Medan. Kendati sebagian besar supir masih memiliki SIM yang masih

berlaku, namun sebagian (19 %) supir dalam mengurus SIM melalui calo (lihat

Grafik di bawah). SIM tembak yang diperoleh dari calo ini pulalah yang kerap

dilakukan supir-supir muda atau supir door-smeer karena mereka sebenarnya

kadang belum memiliki kapasitas dalam mengemudikan angkutan umum, baik

dari segi usia dan persyratan khusus seperti ujian teori dan praktik (lihat UU

Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, pasal 77).

52

4.2.5 Cara mengurus SIM

Grafik 4.5. Cara memperoleh SIM

Resmi81%

Calo19%

Cara lain0%

Selanjutnya, jika dilihat dari jenis SIM yang dimiliki supir, sebagian besar

(44 %) adalah SIM A Umum (berlaku untuk mengemudikan kendaraan

bermotor umum dan barang dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak

melebihi 3.500 kilogram; disusul 34 % SIM B1 Umum (berlaku untuk

mengemudikan mobil penumpang dan barang umum dengan jumlah berat

yang diperbolehkan lebih dari 3.500 kilogram; dan 12 % SIM B Umum.

53

4.3 Pola perilaku mengemudi supir angkutan kota di Kota Medan

4.3.1 Pola antri berangkat dari stasiun

Grafik 4.6. Antrian berangkat dari Stasiun

Ya76%

Tidak24%

Mayoritas (76 %) setiap armada menetapkan antrian setiap berangkat

dari terminal/pangkalan menuju pangkalan berikutnya. Dalam hal ini, setiap

armada menetapkan repass. Hanya sebagian kecil yang tidak menetapkan

sistem repass ini dengan membiarkan supir untuk berangkat sesuka hati.

54

4.3.2 Pola Kepatuhan Antri

Grafik 4.7. Kepatuhan Antri

Sangat sering18%

Sering9%

Kadang-kadang26%

Tidak pernah47%

Kendati peraturan antri ditetapkan, hanya sebagian (27 %) supir yang

patuh (gabungan antara sangat sering dan sering) mengikuti antrian. Bahkan

sebagian besar (47 %) tidak pernah mematuhi antrian dan sebagian lagi (26 %)

kadang-kadang mematuhi antrian. Ini menunjukkan betapa sejak berangkat

dari terminal atau pangkalan, sesungguhnya supir sudah kurang tertib dalam

mengemudikan angkutan kotanya.

55

4.3.3 Pola keluar dari Stasiun

Grafik 4.8. Perilaku Ngebut Keluar Stasiun

Sangat sering34%

Sering53%

Kadang-kadang9%

Tidak pernah4%

Perilaku kurang tertib supir juga tampak dari tindakan ngebut mereka

begitu keluar dari stasiun. Lebih dari setengah (53 %) responden mengaku

sering ngebut bahkan sebagian (34 %) mengaku sangat sering ngebut. Hanya

sebagian kecil (9 %) yang menjawab kadang-kadang ngebut dan hanya sedikit

sekali (4 %) yang tidak pernah ngebut begitu keluar dari terminal.

Ini menunjukkan sekali lagi, betapa perilaku kurang tertib yakni dengan

ngebut sudah menjadi perilaku setiap supir angkutan kota di Kota Medan.

Ketika ditanya mengapa ngebut, sebagian besar supir mengatakan bahwa

mereka harus adu cepat untuk memperebutkan penumpang, karena sebagian

besar sepanjang jalan trayek baik antar maupun intra armada saling ‘tabrakan’

satu sama lain.

Trayek tabrakan ini, yang disebut informan lain sebagai trayek ‘kamar

mandi’, yakni trayek yang dibicarakan dan diputuskan di luar prosedur, antara

petugas Dinas Perhubungan Kota Medan dengan Direksi armada tertentu

56

sekaligus penyalur mobil. Trayek kamar mandi ini bahkan kadang bisa

menghasilkan trayek yang menghubungkan antar kota seperti Kota Binjadi dan

Kota Medan yang dimiliki oleh armada tertentu. Trayek jenis ini yang disinyalir

informan ini kemudian membuat kelebihan armada di sebagian trayek dan

sekaligus menyingkirkan armada yang lebih kecil.

Namun ‘tabrakan’ trayek dan trayek ‘kamar mandi’ ini dibantah informan

yang lain. Tidak ada tabrakan trayek, yang ada ada adalah trayek

‘bersinggungan.’ Trayek bersinggungan ini terjadi karena semua angkutan kota

memang berangkat awal (start) dari terminal yang sama. Misalnya, trayek dari

Amplas pasti bersinggungan di Jalan Sisingamangaraja. Karena nyatanya pada

trayek tersebut, memang itu satu-satunya jalan. Jadi persinggungan trayek itu

mungkin terjadi.

Persinggungan ini lebih mungkin karena armada yang lain membuka

trayek yang sudah dilalui armada yang lain. Ini dimungkinkan karena armada

tertentu merasa trayek ini adalah yang utama sehingga memulai trayek baru di

trayek yang sudah dilalui armada yang lain. Ini terjadi karena setelah

mengantongi ijin trayek baru, belum tentu langsung mengoperasikan semua

ijin trayek tersebut, tapi membuka trayek secara bertahap dan membuka

trayek yang lebih menguntungkan dulu, yang mungkin belum dilalui oleh

armada yang lain. Mitra dan Rahayu misalnya memiliki 5 ijin trayek, tapi

memulai operasinya berbeda. Rahayu membuka trayek pertama dari trayek x

menuju y, sementara Nitra mulai trayek dari A menuju B. Kemudian Rahayu

akan membuka trayek baru lagi dari A menuju B, ini yang sering disebut timpa

menimpa. Padahal sebetulnya tidak.

Trayek dikatakan tumpang tindih, jika dari mulai berangkat sampai ke

57

tujuan akhir melalui jalur jalan yang sama. Jalur Medan-Siantar misalnya, bisa

dilalui 5 merek seperti Intra, Sentosa, dan lain-lain. Begitu juga trayek Medan

Kabanjahe yang awal titik berangkat dan tujuan akhirnya sama yang dilalui

beberapa merek seperti Sinabung Jaya, Borneo, Sutra, dan Murni Exspress.

4.3.4 Pola Perilaku mencari Penumpang

Grafik 4.9. Perilaku Ngebut mencari Penumpang

Sangat sering23%

Sering57%

Kadang-kadang15%

Tidak pernah5%

Perilaku ngebut dalam mencari penumpang juga diakui sebagian besar

responden (80 %) yakni 23 % mengaku sangat sering ngebut dan 57 % sering

ngebut. Hanya sebagian (15 %) yang menjawab kadang-kadang ngebut dan

hanya sebagian kecil (5 %) yang tidak pernah ngebut.

Perilaku ngebut ini disebabkan terutama oleh dua faktor utama. Pertama,

sebagaimana dijelaskan terdahulu, yakni trayek yang ‘bersinggungan’ baik

antar maupun intra armada. Kedua, menurunnya jumlah penumpang.

Menurunya jumlah penumpang ini, menurut responden baik dari kalangan

supir maupun direksi disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah

hand phone (HP). Kalau dulu, sebelum masyarakat mengenal HP, maka

58

kemungkinan besar orang akan menggunakan jasa angkutan kota, misalnya

dalam mengantarkan undangan nikah. Tapi seiring dengan meningkatnya

penggunaan HP, setiap orang mengurangi mobilitasnya karena cukup dengan

bertelepon atau mengirim SMS kalau mau memberi kabar.

Faktor kedua adalah sepeda motor. Kemudahan memiliki sepeda motor

dengan kredit mudah dan bunga kredit yang rendah, mendorong setiap

keluarga memiliki sepeda motor. Satu sepeda motor bisa digunakan satu

keluarga dan bisa melakukan perjalanan dengan cepat di jalan raya dan

memasuki gang-gang kecil di permukiman padat. Penggunaan sepeda motor

sangat ekonomis dan praktis. Bila seseorang misalnya mengeluarkan uang

transport Rp 15.000 per hari maka sebulan ia menghabiskan Rp 450.000.

Dengan kalkulasi demikian, akan lebih menguntungkan membeli sepeda motor

baru dengan kredit Rp 500.000 per bulan dengan uang muka bervariasi mulai

dari Rp 1.000.000 – Rp 5.000.000.

Faktor ketiga adalah kehadiran betor (beca bermotor) yang kadang

‘dibiarkan’ berkeliaran memasuki jalur perkotaan tanpa sanksi yang tegas.

Padahal, dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan Bab X Bagian Kesatu Angkutan Orang dan Barang Pasal 141 tentang

Standar Pelayanan Angkutan Orang disebutkan, bahwa setiap Angkutan Orang

harus memenuhi standar pelayanan minimal seperti keamanan, keselamatan,

kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan. Faktanya, betor ini

sesungguhnya belum memenuhi persyaratan teknis dan kelaikan jalan. Tapi

penumpang tetap meminati moda transportasi ini karena di samping tarifnya

murah dan bisa mengangkut beberapa orang, juga praktis karena bisa

mengantar sampai ke depan rumah penumpang.

59

Faktor keempat, yakni menjamurnya angkutan umum dengan

menggunakan mobil pribadi (plat hitam). Ketua Organda Kota Medan,

Montgomery, bahkan mengancam melakukan mogok massal di kalangan

armada angkutan kota jika armada plat hitam dan terminal liar atau terminal

bayangan di sepanjang jalan Sisingamangaraja dan Jamin Ginting tidak

ditertibkan. Dampak beroperasinya armada dan terminal bayangan ini,

penurunan jumlah penumpang angkutan kota selama menjelang dan pasca

lebaran barusan semakin menurun.

Sebab, keberadaan pangkalan liar itu menyebabkan supir angkutan

umum yang tergabung dalam Organda saat ini resah dan menjerit. Penghasilan

mereka drastis jauh berkurang akibat keberadaan pangkalan liar ini. Tidak

hanya penumpang Angkutan Kota Antar Propinsi (AKAP) dan Angkutan Kota

Dalam Provinsi (AKDP), angkutan dalam kota juga diserobot oleh angkutan-

angkutan plat hitam.

Diungkapkan Munthe, kondisi ini sudah berlarut-larut tanpa ada tindakan

tegas. Karenanya, seluruh pengemudi angkutan umum resmi yang berada di

bawah naungan Organda sudah tak dapat menahan kesabarannya lagi. “Jika

dalam waktu sebulan ini tidak dilakukan penertiban, maka seluruh pengemudi

AKAP, AKDP dan angkutan kota sepakat menghentikan operasi selama 7 hari.

Sebab, ini sudah menyangkut masalah perut,” tegas Munthe.

Penegasan senada disampaikan Sekretaris DPC Organda Medan, M.

Ambarita, seluruh pengemudi angkutan umum saat ini menjerit akibat terminal

tidak digunakan lagi sebagai tempat transit akibat adanya pangkalan liar. Yang

menggunakan terminal hanya pengemudi angkutan resmi, sedangkan

pengemudi angkutan plat hitam milik pangkalan liar tidak pernah

60

menggunakannya sama sekali. “Untuk itu kami minta jadikan terminal sebagai

tempat transit dan trotoar sebagai tempat pejalan kaki,” tegasnya (Waspada,

10 September 2012).

Faktor terakhir adalah kenaikan ongkos. Dulu orang dengan ringan hati

membayar ongkos dengan Rp 1.000. Di sisi lain, dulu supir masih senang

menerima ongkos sebesar ini, tapi kalau sekarang dibayar begitu mata supirnya

akan mendelik. Sementara bagi ibu-ibu, jumlah uang Rp 2.000 cukup berarti

untuk uang jajan anak-anak, sehingga untuk jarak-jarak dekat tertentu

(misalnya dari Sumber-Pajak Sore) ibu-ibu memilih jalan kaki daripada naik

angkutan kota.

4.3.5 Perilaku mengemudi dengan angkutan kota lain

Grafik 4.10. Perilaku Ngebut dengan angkutan kota lain

Sangat sering5%

Sering31%

Kadang-kadang47%

Tidak pernah17%

Perilaku ngebut di kalangan supir angkutan kota juga terjadi ketika

mereka sedang di jalan. Sebagian supir (36 %) mengaku sangat sering dan

sering ngebut sesama mereka dan hampir separuh (47 %) kadang-kadang

61

ngebut dan hanya sebagian kecil (17 %) yang tidak pernah ngebut.

Ini sekali lagi mencerminkan perilaku kurang tertib berlalu lintas di

kalangan supir angkutan kota di Kota Medan cukup tinggi. Kendati ngebut ini

lebih dikarenakan faktor eksternal (seperti trayek yang tabrakan atau

bersinggungan dan penurunan jumlah penumpang), bukan faktor internal

seperti pendidikan, agama, suku, dan pengalaman, tetap harus diupayakan

pembenahannya secara komprehensif oleh pemangku kepentingan di sektor

transportasi umum.

4.3.6 Pola mengemudi dengan Pesepeda

Grafik 4.11. Perilaku supir terhadap pesepeda

Sangat mengutamakan

2%

Mengutamakan10%

Kurang mengutamakan

60%

Tidak mengutamakan

sa ma s ekal i28%

Perilaku kurang tertib berlalu lintas ini juga kelihatan saat supir

memperlakukan pengguna jalan lain seperti orang yang bersepeda. Hak

pesepeda, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Lalu Lintas

Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009 dalam pasal 131 ayat 2, berhak

62

mendapat prioritas pada saat menyeberang jalan di tempat penyeberangan.

Namun sebagaimana terungkap dalam penelitian ini hanya sekitar 12 %

(gabungan yang sangat mengutamakan dan mengutamakan) yang

mengutamakan pesepeda. Lebih dari separuh (60 %) supir kurang

mengutamakan dan lebih seperempat (28 %) yang sama sekali tidak

mengutamakan pesepeda.

Kondisi perlalulintasan ini mencerminkan bahwa badan jalan pada

tingkatan tertentu telah menjadi arena pertarungan antara yang ‘kuat’ dan

yang ‘lemah.’ Mobil pribadi dan angkutan kota ‘menggusur’ pengguna sepeda

motor, sepeda motor selanjutnya ‘menggusur’ pesepeda dan pejalan kaki. Ini

tampak dari trotoar yang mestinya digunakan oleh pejalan kaki malah dilalui

pengendara sepeda motor.

4.3.7 Pola menyalip dari Kiri

Grafik 4.12. Perilaku menyalip dari jalur kiri

Sangat sering2%

Sering15%

Kadang-kadang52%

Tidak pernah31%

Dalam hal mendahului kendaraan di depan dari jalur kiri, yang

semestinya tidak dibenarkan kecuali untuk kondisi tertentu, memang hanya 17

63

% supir yang melakukannya. Namun bila digabungkan dengan yang kadang-

kadang menyalip dari jalur kiri yang mencapai 52 %, maka perilaku menyalip

dari jalur kiri ini juga relatif tinggi. Dengan kata lain, perilaku berlalu lintas di

kalangan supir kurang tertib.

Padahal, sebagaimana ditegaskan dalam UU Nomor 22 Tahun 2009

Tentang Lalu Lintas Angkutan jalan pasal 109, pengemudi Kendaraan Bermotor

yang akan melewati Kendaraan lain harus menggunakan lajur atau jalur jalan

sebelah kanan dari Kendaraan yang akan dilewati, mempunyai jarak pandang

yang bebas, dan tersedia ruang yang cukup.

Dalam keadaan tertentu, pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dapat menggunakan lajur Jalan sebelah kiri dengan tetap memperhatikan

Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Jika kendaraan yang akan dilewati telah memberi isyarat akan

menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan, pengemudi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilarang melewati kendaraan tersebut.

64

4.3.8 Pola mengemudi saat pindah Jalur

Grafik 4.13. Memberi isyarat saat berpindah jalur

Sangat sering4%

Sering12%

Kadang-kadang48%

Tidak pernah36%

Bahkan ketika pindah jalur, hanya 16 % (sangat sering dan sering)

memberikan isyarat. Hampir setengah (48 %) kadang-kadang memberi isyarat

bahkan sebagian (36 %) mengaku tidak memberi lampu isyarat saat mau

berpindah jalur. Ini lagi-lagi mencerminkan kurang tertibnya perilaku berlalu

lintas di kalangan supir angkutan kota di Kota Medan. Bahkan dalam

wawancara seorang supir mengatakan, menyalip dari jalur kiri dan tanpa lampu

isyarat itu belum cukup. Kalau bisa dan perlu, mobilnya diterbangkan untuk

mendahului kenderaan yang ada di depan untuk mencari penumpang. Lebih

jauh lagi, baik supir maupun direksi armada mengatakan baik supir angkutan

kota maupun mobil pribadi sama saja perilaku mengemudinya.

Supir dan direksi ini juga menyangkal kalau biang kemacetan dituduhkan

kepada supir angkutan kota yang kurang tertib. Menurut mereka, kemacetan

lalu lintas justru disebabkan parkir yang berlapis, pelajar yang memarkirkan

mobilnya di badan jalan, pedagang kagetan atau kaki lima, dan meningkatnya

65

jumlah mobil pribadi. Hasil studi Bank Dunia tahun 1994 menyebutkan akibat

pencemaran udara dari sumber bergerak di kota-kota di Indonesia telah

membawa dampak kerugian ekonomi dan dampak kesehatan. Saat itu,

diperkirakan kerugian ekonomi di Jakarta saja sudah mencapai Rp. 500 milyar.

Angka tersebut diperoleh dengan perhitungan terjadinya 1.200 kematian

prematur, 32 juta masalah pernapasan, dan 464.000 kasus asthma (Republika

20 Juni 2012).

Pusat Penelitian Ekonomi LIPI memaparkan bahwa masyarakat menderita

kerugian sosial akibat kemacetan sebesar lebih dari Rp 17,2 triliun per tahun

akibat biaya pemborosan nilai waktu dan biaya operasi kendaraan terutama

bahan bakar. Bahkan pada perhitungan lain memperkirakan kerugian dari

kemacetan lalu lintas ini mencapai Rp 43 triliun. Tidak hanya itu, kemacetan

juga dapat berdampak pada menurunnya produktivitas ekonomi kota dan

merosotnya kualitas hidup warga kota. Selain dampak ekonomi dan sosial,

kemacetan juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan di DKI

Jakarta.

66

4.3.9 Pola mengemudi melewati objek tertentu

Grafik 4.14. Perilaku supir melewati objek tertentu

Sangat sering6%

Sering23%

Kadang-kadang47%

Tidak pernah24%

Tampaknya, perilaku berlalu lintas yang tertib sebagaimana diamanatkan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan

masih jauh dari harapan. Hanya sebagian supir (29 %) supir yang

memperlambat laju angkutan kotanya, saat melewati objek tertentu seperti

pejalan kaki, lintasan rel kereta api dan genangan air (sesuai dengan Undang-

Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 116 ayat 2).

Hampir separuh (47 %) responden hanya kadang-kadang yang memperlambat

laju kenderaannya. Bahkan hampir seperempat responden (24 %) tidak pernah

memperlambat.

67

4.3.10 Perilaku supir saat Berhenti Darurat

Grafik 4.15. Perilaku memasang segi tiga pengaman

Sangat sering10%

Sering15%

Kadang-kadang55%

Tidak pernah20%

Bahkan saat berhenti darurat pun hanya seperempat (25 %) supir yang

sangat sering dan sering memasang segi tiga pengaman (apakah meletakkan

daun-daun, roda angkutan kota, atau segi tiga pengaman). Hanya lebih dari

separuh (55 %) yang kadang-kadang memasang segi tiga pengaman, dan

ironisnya lagi bahkan sebagian (20 %) supir tidak memasang segi tiga

pengaman dalam keadaan berhenti darurat. Bisa dibayangkan, dalam keadaan

darurat saja, para pengemudi angkutan kota ini masih kurang hirau dengan

keselamatan orang lain, termasuk keselamatan dirinya sendiri termasuk

angkutan kota yang dikemudikannya.

4.3.11 Perilaku supir mengangkut Penumpang Pelajar

Kendati begitu, tidak dalam semua hal supir angkutan kota kurang tertib.

Dalam hal memprioritaskan pelajar di saat penumpang penuh, sebagian besar

supir (62 %) tetap mengutamakan kalangan pelajar ini. Hanya sebagian (29 %)

yang kadang-kadang mengutamakan dan hanya sedikit supir (9 %) yang tidak

68

pernah mengutamakannya. Ini tentu patut dihargai, karena meski tarif ongkos

pelajar lebih rendah, mereka tetap mengutamakannya. Terkait kondisi ini,

seorang direksi mengatakan, bahwa angkutan kota sebenarnya telah

memberikan ‘subsidi’ ke sektor pendidikan (kepada anak-anak sekolah)

padahal mereka tidak pernah mendapat subsidi suku cadang bahkan subsidi

minyak. Subsidi minyak tidak pernah diperoleh angkutan kota, dengan alasan

harga minyak yang mereka bayarkan sama dengan harga minyak mobil pribadi.

Grafik 4.16. Perilaku supir terhadap penumpang pelajar

Sangat sering11%

Sering51%

Kadang-kadang29%

Tidak pernah9%

4.3.12 Perilaku supir memungut ongkos saat mengoper penumpang

Begitu juga dalam hal meminta ongkos saat ‘mengoper’ (mengalihkan)

penumpang ke angkutan kota lain saat angkutan kotanya mengalami kerusakan

misalnya, sebagian besar supir tidak pernah melakukannya. Ini tentu perilaku

yang tertib, sebagaimana diharuskan dalam tata tertib berlalu lintas. Karena

kendati supir mungkin sudah hampir di tujuan tapi tanpa diduga mengalami

kendala, apakah rusak atau kena tilang si supir tidak memungut ongkos dari

para penumpang. Bahkan menurut pengakuan seorang supir, kadang-kadang

69

malah penumpang yang membayar ongkos tanpa diminta karena merasa iba

melihat si supir.

Grafik 4.17. Perilaku supir memungut ongkos ketika mengoper penumpang

Sangat sering1%

Sering5%

Kadang-kadang17%

Tidak pernah77%

4.4. Pengaruh Pendidikan Terhadap Perilaku Mengemudi

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan melalui aplikasi SPSS R.15

diperoleh hasil korelasi sebagaimana tercantum pada tabel di bawah berikut

ini.

70

Tabel 4.13. Korelasi Variabel Pendidikan dan Perilaku Mengemudi.

Correlations

1 ,003 ,146* ,208** ,204**,952 ,012 ,000 ,000

300 300 300 300 300,003 1 ,272** -,023 ,046,952 ,000 ,696 ,424300 300 300 300 300

,146* ,272** 1 ,115* ,233**,012 ,000 ,047 ,000300 300 300 300 300

,208** -,023 ,115* 1 -,001,000 ,696 ,047 ,989300 300 300 300 300

,204** ,046 ,233** -,001 1,000 ,424 ,000 ,989300 300 300 300 300

Pearson CorrelationSig. (2-tailed)NPearson CorrelationSig. (2-tailed)NPearson CorrelationSig. (2-tailed)NPearson CorrelationSig. (2-tailed)NPearson CorrelationSig. (2-tailed)N

PS

Pend

Et

L K

Kes

PS Pend Et L K Kes

Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).*.

Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).**.

Hasil di atas menunjukkan bahwa koefisien korelasi antara variabel

pendidikan dengan perilaku supir adalah 0,003. Ini memperlihatkan rendahnya

korelasi atau asosiasi antara variabel pendidikan dengan perilaku supir. Asosiasi

tersebut juga bahkan tidak signifikan. Ini menunjukkan bahwa berdasarkan

perhitungan statistik korelasi, tidak ada hubungan antara pendidikan dengan

perilaku supir dalam berlalulintas di jalan raya.

Dengan kata lain, level pendidikan apa pun yang dimiliki seorang supir

tidak mempengaruhi tertib tidaknya mereka dalam mengemudi. Perilaku

mengemudi yang kurang tertib di kalangan supir, sebagaimana tampak dalam

pola-pola perilaku mengemudi lebih disebabkan oleh tekanan struktural

eksternal yang ada dalam diri seorang supir, seperti target kejar setoran,

tumpang tindih trayek dan menurunnya jumlah penumpang. Perilaku kurang

71

tertib ini semakin terbentuk, karena dalam keseharian mengemudi, setiap supir

‘dipaksa’ untuk tidak tertib agar mereka bisa bertahan menjadi supir angkutan

kota.

Sebagian besar (60 %) supir yang diteliti dalam penelitian ini tingkat

pendidikannya pada level menengah atas (tamat atau tidak tamat SMA) disusul

kemudian seperempat (25 %) tingkat menengah pertama (tamat atau tidak

tamat SMP) dan yang terakhir sebagian kecil (6 %) hanya pada tingkat

pendidikan dasar (tamat atau tidak tamat SD).

Grafik 4.18. Tingkat pendidikan supir angkutan kota.

Tamat atau tidak tamat SMA

60%

Tidak sekolah1%

Tamat atau tidak tamat Sarjana

3%Tamat atau tidak

tamat SD6%

Tamat atau tidak tamat SMP

25%

Tamat atau tidak tamat Sarjana Muda/Diploma

5%

Level pendidikan responden ini menunjukkan profesi supir memang

hanya diminati angkatan kerja dengan pendidikan menengah atas ke bawah

karena profesi ini dianggap kurang menjanjikan bahkan sering dianggap hanya

pekerjaan sampingan. Dengan kata lain, kondisi pendidikan demikian,

memperlihatkan kemampuan angkatan kerja supir dan implikasinya terhadap

72

baik terhadap pendapatan yang diperoleh dan kesetiaan kepada pilihan

pekerjaan.

Tingkat pendidikan menengah atas dan pertama yang dimiliki responden

dalam penelitian ini diasumsikan pula yang memengaruhi perilaku mereka yang

kurang tertib di jalanan. Meski bukan jaminan pula kalau pendidikan yang lebih

tinggi (diploma atau sarjana) akan membuat mereka lebih tertib berlalu lintas.

Melalui kuesioner diperoleh informasi menyangkut kebiasaan membaca

para supir angkutan kota di Kota Medan. Kebiasaan membaca ini merupakan

indikator lain yang menunjukkan dimensi wawasan para supir terkait dengan

variabel pendidikan. Gambaran tentang kebiasaan membaca yang dimaksud

termuat pada grafik berikut ini.

Grafik 4.19. Kebiasaan membaca supir angkutan kota.

Sangat sering18%

Sering51%

Kadang-kadang27%

Tidak pernah4%

Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa 51 % dan 18 % responden

menyatakan sering dan sangat sering membaca buku. Gambaran ini

menunjukkan bahwa mereka memiliki tingkat literasi yang baik yang sekaligus

73

memberikan gambaran bahwa mereka bukanlah kelompok yang buta

perkembangan atau buta informasi. Kebiasaan membaca sudah tentu

memberikan kesempatan bagi mereka untuk senantiasa memperoleh informasi

baru berbagai perkembangan dalam kehidupan.

Peluang mereka untuk senantiasa memperoleh tambahan pengetahuan

tidak hanya dari kegiatan membaca buku. Kegiatan lain yang juga relatif dapat

memberikan tambahan pengetahuan adalah membaca koran. Namun ber-

dasarkan hasil penelitian ini, ternyata kebiasaan membaca koran tidak begitu

meluas di kalangan supir.

Grafik 4.20. Kebiasaan membaca koran supir angkutan kota.

Sangat sering1%

Sering18%

Kadang-kadang63%

Tidak pernah18%

Berdasarkan grafik di atas ternyata sebagian besar yakni 63 % dan 18 %

responden menyatakan kadang-kadang dan tidak pernah membaca koran.

Angka ini sebenarnya agak mengejutkan melihat bahwa di setiap pangkalan

perhentian angkutan kota terdapat warung kopi yang sekaligus menyediakan

koran bacaan. Hasil observasi menunjukkan bahwa sebagian besar mereka

ternyata mengisi waktu di saat berhenti istirahat di kedai dengan mengobrol

74

sesama teman. Koran ternyata hanya disentuh sebagian kecil yang kebetulan

tidak ngobrol.

Sementara itu, dilihat dari aktivitas menonton TV yang juga dianggap

dapat menambah pengetahuan, ternyata sebagian besar yakni 52 % dan 22 %

hanya kadang-kadang dan tidak pernah menonton TV.

Grafik 4.21. Kebiasaan menonton TV supir angkutan kota.

Sangat sering0% Sering

26%

Kadang-kadang52%

Tidak pernah22%

Berdasarkan wawancara, diperoleh informasi bahwa sepulang “narik”

(beroperasi) mereka kebanyakan telah lelah secara fisik. Kondisi ini

menyebabkan mereka tidak berminat lagi menonton TV, lebih memilih

sesegera mungkin istirahat, dengan pengecualian jika terdapat acara yang

menarik seperti pertandingan sepak bola klub kesayangan, acara semi final

atau final kompetisi liga sepak bola atau acara lainnya.

4.5. Hubungan Variabel Etnis dan Perilaku Mengemudi.

Sementara itu koefisien korelasi antara keeratan pada adat dengan

perilaku adalah 0,146. Sebagaimana digambarkan dengan simbol bintang (*),

maka angka ini signifikan pada tingkat kepercayaan 95 %. Hal ini menunjukkan

75

bahwa hubungan antara keeratan pada nilai adat-istiadat dengan perilaku supir

ternyata signifikan, sebagaimana tercantum dalam tabel di bawah ini.

Tabel 4.14. Korelasi Variabel Etnis dan Perilaku Mengemudi Correlations

1 ,003 ,146* ,208** ,204**,952 ,012 ,000 ,000

300 300 300 300 300,003 1 ,272** -,023 ,046,952 ,000 ,696 ,424300 300 300 300 300,146* ,272** 1 ,115* ,233**,012 ,000 ,047 ,000300 300 300 300 300,208** -,023 ,115* 1 -,001,000 ,696 ,047 ,989300 300 300 300 300,204** ,046 ,233** -,001 1,000 ,424 ,000 ,989300 300 300 300 300

Pearson CorrelationSig. (2-tailed)NPearson CorrelationSig. (2-tailed)NPearson CorrelationSig. (2-tailed)NPearson CorrelationSig. (2-tailed)NPearson CorrelationSig. (2-tailed)N

PS

Pend

Et

L K

Kes

PS Pend Et L K Kes

Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).*.

Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).**.

Hal ini tidak berarti bahwa etnis tertentu lebih sopan dari etnis yang lain,

melainkan keeratan seorang supir dengan nilai-nilai dan ritual adat

berhubungan dengan perilakunya dalam mengemudikan kenderaan. Jika

diinterpretasi lebih lanjut, fakta itu menunjukkan bahwa keeratan seseorang

supir dengan adat memiliki hubungan dengan sopan-santunnya ketika

mengemudi di jalan raya.

Ternyata sopan-santun yang pasti diajarkan melalui nilai-nilai adat akan

menentukan bagaimana seseorang pengemudi angkutan kota menjalankan

kegiatannya di lapangan. Kenyataan ini setidak-tidaknya mengandung pesan

76

bahwa nilai-nilai adat tetap memiliki relevansi dengan penegakan harmoni

ditengah-tengah masyarakat, sehingga dalam menata kesemrawutan

perlalulintasan setidak-tidaknya juga perlu didekati melalui pendekatan nilai-

nilai adat istiadat yang berlaku pada diri para pengemudi angkutan kota.

Grafik 4.22. Etnis Supir

Toba66%

Mandailing4%

Simalungun2%

Karo20%

Pakpak2%

Nias0%

Minang1%

Lainnya5%

Sebagian besar responden yang diteliti adalah etnis Toba (66 %), disusul

kemudian etnis Karo (20 %), dan Mandailing (4 %). Ini menggambarkan pada

tingkatan tertentu, garis-garis etnis berkaitan dengan pilihan pekerjaan

(okupasi). Dengan kata lain, identitas etnis (Batak Toba dan Karo) memiliki

preferensi dengan pilihan pekerjaan (supir), kendati tidak secara keseluruhan

demikian. Realitas lain misalnya, kita bisa mengidentikkan pekerjaan berdagang

77

itu cenderung dilakukan entis Padang atau Tionghoa. Menjahit dan rumah

makan juga dilakukan orang-orang Minang. Pilihan pekerjaan ini juga biasanya

terkait dengan sejarah etnis tertentu mulai memilih pekerjaan pada awalnya

dalam perkembangan kota pada awalnya. Pekerjaan yang dipilih dan ditekuni

generasi pertama etnis yang bermigrasi ke kota ini kemudian diwariskan dari

generasi ke generasi di tengah-tengah persaingan mendapatkan pekerjaan di

antara etnis-etnis yang majemuk di perkotaan.

Grafik 4.23. Tempat Tinggal Supir Angkutan Kota.

Ya52%

Tidak48%

Keeratan mereka terhadap adat pada tahap yang paling dini dapat dilihat dari

pilihan tempat tinggal. Berdasarkan data yang diperoleh dari kuesioner,

diperoleh informasi bahwa sebanyak 52 % ternyata tinggal di lingkungan yang

mayoritas dihuni oleh suku mereka sendiri.

Grafik 4.24. Pemahaman Adat di Kalangan Supir Angkutan Kota.

78

Sangat menguasai

4%

Kurang menguasai

53%

Menguasai28%

Tidak menguasai15%

Di sisi lain, 48 % responden ternyata tinggal di luar komunitas adatnya.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa keeratan dengan komunitas adat relatif

terjadi pada para supir angkutan kota. Namun, realitas tersebut ternyata tidak

diiringi dengan penguasaan terhadap adat.

Grafik berikut ini menunjukkan bahwa 53 % dan 15 % responden

menyatakan tidak menguasai adat istiadat. Realitas ini sebenarnya

memunculkan pertanyaan baru tentang proses sosialisasi dan pendidikan adat

pada komunitas-komunitas yang tinggal diperkotaan seperti Kota Medan.

Grafik 4.25. Kebanggaan terhadap adat di kalangan supir

79

Sangat bangga1%

Bangga2%

Kurang bangga51%

Tidak bangga46%

Demikian juga, dari segi kebanggaan terhadap adat ternyata 51 % dan 46

% responden menyatakan kurang bangga dan tidak bangga terhadap adat. Dari

sudut komunitas adat, ini menjadi tanda-tanda yang memprihatinkan.

Komunitas adat sendiri mulai tergerus kebanggaan terhadap adatnya sendiri.

Sementara itu, jika dilihat dilihat dari segi kehadiran dalam acara-acara

adat ternyata terdapat perimbangan antara yang menghadiri dengan yang

tidak menghadiri. Berdasar grafik berikut, terlihat bahwa 42 % dan 5 % yang

sering dan sangat sering menghadiri acara/ritual adat. Sebaliknya, 44 % dan 9 %

hanya kadang-kadang dan tidak pernah menghadiri. Responden yang kadang-

kadang, terutama yang tidak pernah menghadiri ritual adat ini sebagian besar

adalah para supir yang belum menikah. Sehingga belum ada kewajiban moral

dan adat bagi mereka untuk menghadirinya.

Berdasarkan data di atas, terlihat kecenderungan komunitas supir secara

perlahan meninggalkan kebiasaan hidup di tengah komunitas adatnya.

Pergaulan mereka dengan komunitas lainnya diperkirakan memiliki hubungan

dengan kecenderungan tersebut. Ditambah lagi dengan persoalan-persoalan

80

kehidupan keseharian seperti aktivitas ekonomi dalam mencari dan

memperoleh pendapatan untuk konsumsi keluarga termasuk biaya pendidikan

sekolah telah mengurangi aktivitas dalam komunitas adat.

Seorang informan menjelaskan bahwa kehadiran ke pesta adat

membutuhkan uang yang tidak sedikit bahkan sering melampaui penghasilan

yang diperoleh seharian narik. Ditambah lagi, dengan absen bekerja berarti

mengurangi pendapatan. Sehingga, “sudah tidak mendapat penghasilan, juga

harus mengeluarkan uang lagi!” Pertimbangan seperti menyebabkan mereka

mengurangi aktivitas kehadiran dalam acara-acara adat.

Grafik 4.26. Frekuensi menghadiri acara adat di kalangan supir.

Sangat sering5%

Sering42%

Kadang-kadang44%

Tidak pernah9%

Kendati label etnis tidak mempengaruhi perilaku dalam mengemudi,

namun sebagaimana diakui salah satu direksi armada, dalam hal memberikan

pengarahan di armada yang dipimpinnya, etnis Batak Toba dan Karo biasanya

relatif sulit diarahkan dan biasanya cenderung ‘melawan.’

Informan direksi salah satu armada lebih menegaskan terkait perilaku

81

kurang tertibnya etnis Toba mengemudikan angkutan kota. Direksi armada

yang pernah lama menjadi supir di Jakarta ini menjelaskan karakter budaya

‘kasar’ dan ‘pemberani’ Batak Toba membuat mereka cenderung kurang tertib,

bahkan ugal-ugalan. Orang Batak mau menjadi ‘ketua’ semua. Karena itu,

orang Batak sulit bekerjasama dan cenderung kasar, termasuk kurang tertib

mengemudi. Agar bisa menjadi ‘ketua’ orang Batak cenderung saling

menyalahkan. Karena 90 persen supir adalah orang Batak bisa dibayangkan

bagaimana perilaku dalam berlalu lintas. Kadang bukan karena rebutan

penumpang, hanya karena ‘palakan-palakan’ (merasa terusik harkat dan

martabatnya karena persoalan sepele saja) sesama supir bisa ugal-ugalan dan

kebut-kebutan di jalan.

Lebih lanjut informan ini menuturkan, perilaku ‘damai’ di tempat awalnya

diduga dilakukan oleh polisi dan supir Batak Toba di Jakarta. Orang Medan jago

nego dan pintar ‘mengolah’. Orang Batak dari Medan diduga pertama sekali

menjadi calo penumpang di Jakarta dan kemudian berkembang di seluruh

Jakarta. Termasuk ‘ngeremani’ halte-halte dan terminal di Jakarta.”

Terkait keberanian dan pintar mengolah ini bisa dibandingkan dalam hal

bepergian jauh antara orang Batak dan Jawa. Orang-orang Jawa kalau

bepergian dan menyeberang jalan senantiasa sambil berpegangan dan

berkelompok, tapi kalau orang Batak berani bepergian sendirian. Contohnya,

informan ini menjelaskan lebih lanjut, neneknya yang tidak bisa baca tulis dan

berbahasa Indonesia berani bepergian ke Kalimantan sendirian. Padahal ia

cuma bisa berbahasa Karo. Kalau suku Jawa mungkin tidak seberani itu.

Sebaliknya, informan lain menjelaskan bahwa etnisitas tidak mempe-

ngaruhi perilaku dalam mengemudi. Dengan kata lain, kultur internal yang

82

inheren dalam diri seseorang (apakah Batak, Jawa, Karo dan sebagainya) tidak

menjadi determinan yang mempengaruhi perilaku seorang supir. Faktor

eksternal dari luar individu malah yang menjadi faktor utama yang mem-

pengaruhi perilaku supir. Pada awalnya, setiap supir mengemudi dengan baik,

yakni berupaya menaati peraturan lalu lintas, tapi ketika mengemudi setiap

hari ia menemui penyimpangan dan menjadi ‘korban’ dari pelanggaran itu

sendiri, ia akhirnya kemudian ikut ugal-ugalan, sebagai mekanisme mem-

pertahankan diri sebagai supir.

Jadi, ada budaya saling ‘isi-mengisi’ sesama supir dalam perilaku

mengemudi. Karena itu, ada istilah ‘Karoja’ atau Karo-Jawa. Jadi etnisitas itu

kemudian melebur dan tidak mempengaruhi perilaku. Tekanan eksternal dari

luar, yakni praktik kurang tertib yang dilihat setiap hari, itu yang memaksa

mereka akhirnya kurang tertib. Karena dalam kondisi demikian, kekurang-

tertiban itu sendiri sudah menjadi ‘ketertiban.’ Supir yang mengikuti aturan lalu

lintas, malah dianggap tidak mendukung dan tidak mengikuti ‘aturan’ supir

kebanyakan. Kendati begitu, segregasi etnisitas itu pada tingkatan tertentu

tampak dalam kepemilikan mobil dalam setiap armada angkutan kota. Dalam

kaitan ini, kepemilikan setiap jenis armada angkutan kota mengikuti garis-garis

etnisitas. Armada Rahayu didominasi etnis Karo; Nasional (Karo); Medan Bus

(Tapanuli Utara); Nitra (campuran beberapa etnis); Hikma (Mandailing) dan

Mekar (Melayu-Karo).

Segregasi atau pengelompokan etnis dan agama justru menguat dalam

pemilihan tempat dan berteman di terminal karena terminal memang pada

tingkatan tertentu kurang aman. Supir yang beragama Islam kadang malas dan

jarang duduk di terminal, karena terminal pada banyak hal telah berubah fungsi

83

menjadi sarang minuman dan judi, termasuk makanan-makanan yang tidak

halal. Mereka berkawan satu sama lain sebagai supir, tapi tersegrasi dalam

memilih teman dan tempat ketika menunggu giliran mau ‘narik’ angkutan kota

masing-masing. Tempat duduk para supir di terminal biasanya secara

struktural juga mengelompok berdasarkan ikatan-ikatan etnis dan agama.

Pengelompokan atau segregasi ini terbentuk bagai air mengalir dan

terkondisikan secara alamiah.

Selanjutnya, dilihat dari dimensi etnisitas, kepemilikan mobil bagi orang

Karo dianggap sebagai simbol kekayaan dan kemakmuran. Karena itu,

kelompok etnis ini kadang-kadang tetap bertahan untuk memiliki mobil meski

merugi bahkan memiliki orientasi budaya untuk senantiasa menambah jumlah

angkutan kotanya. Bagi kelompok ini, mobil dipandang sebagai simbol ‘erjile-

jile’.

‘Erjile-jile’ atau memiliki mobil itu dipandang sebagai simbol status

kekayaan dan kemakmuran. Seorang dianggap sudah sukses dan makmur bila

sudah menjadi toke angkutan kota. Jadi grafiti bere biringna (dilahirkan ibu

beru Sembiring) dan anak si nguda (anak bungsu) adalah teks-teks yang hendak

menceritakan konteks kekayaan orang Karo. Kalau sudah punya mobil dianggap

sudah sukses (jore). Trayek 04, jurusan Bangun Purba - Pinang Baris adalah

contoh mobil dipertunjukkan sebagai status simbol kekayaan. Pemiliknya

adalah seorang kaya yang memiliki kebun sawit dan karet. Trayek ini tetap

beroperasi, kendati kadang-kadang merugi.

Pada tingkatan yang lebih tinggi, budaya erjile-jile ini ditanamakan dalam

keluarga pemilik armada Nitra dari generasi ke generasi. Pendiri awal armada

ini berpesan kepada generasi penerusnya untuk tetap mempertahankan

84

keberadaan armada ini. “Bila Nitra ini tidak jalan (beroperasi) lagi itu berarti

marga Sembiring Kembaren juga sudah hilang. Angkutan kota Nitra merupakan

simbol keluarga Sembiring Kembaren.

4.6. Hubungan Lama Kerja Supir dan Perilaku Mengemudi

Pada sisi lain, perhitungan korelasi menemukan angka koefisien korelasi

sebesar 0,208 disertai dengan simbol dua bintang (**) untuk asosiasi antara

variabel lama kerja dengan perilaku supir. Berdasarkan angka dan simbol

tersebut dapat diinterpretasikan bahwa hubungan antara lama kerja dengan

perilaku supir adalah signifikan. Hubungan ini setidaknya bisa memberikan

penjelasan tentang betapa lama waktu yang sudah dijalani dalam profesi

sebagai supir memiliki hubungan dengan perilaku yang ditampilkan sehari-hari

dalam mengemudikan kenderaan. Dengan angka positif yang diperoleh oleh

koefisien tersebut, berarti semakin lama seseorang bekerja sebagai supir, maka

semakin positif perilaku sopan santun yang ditampilkannya pada saat

mengemudi kenderaan.

Grafik 4.27. Lama Kerja Supir

Di bawah 5 tahun 23%

5 – 10 tahun 35%

11 – 15 tahun 20%

16 – 19 tahun 7%

Di atas 20 tahun15%

85

Dilihat dari lama bekerja, sebagian besar (35 %) bekerja antara 5-10

tahun, disusul masa kerja di bawah 5 tahun (23 %) dan masa kerja 11-15 tahun

(20 %). Hanya 14 % yang bekerja di atas 20 tahun. Lama bekerja ini

merefleksikan beberapa asumsi. Pertama, sebagian besar supir masih baru

bekerja dan diasumsikan angkatan kerja berusia muda. Usia muda ini juga

diperkirakan salah satu faktor yang melatarbelakangi perilaku supir yang

kurang taat berlalu lintas. Kedua, masa kerja antara 11-15 tahun dan di atas 20

tahun kalau digabungkan mencapai sekitar 34 % mengasumsikan bahwa

pekerjaan supir sekarang ini bukan lagi profesi yang menjanjikan seperti supir-

supir dulu. Dalam artian lain, profesi supir bisa saja ditinggalkan kalau ada

pekerjaan yang lebih menjanjikan.

Ini dibuktikan saat wawancara di kalangan supir dan direksi armada.

Seorang supir mengatakan, nasib supir sekarang ini tak lebih ibarat budak

karena harus bekerja dari pagi sampai malam, tapi kadang tetap juga kurang

setoran. Ini yang membuat supir kurang taat berlalu lintas karena semata untuk

mengejar setoran dan mencari sekaligus menambah penghasilan. Menurut

supir yang kadang berprofesi sebagai supir truk lintas Sumatra ini, ia kadang

mengemudikan truk ke Jakarta membawa jeruk, karena penghasilannya lebih

baik. Dalam seminggu pulang pergi Medan-Jakarta, ia bisa menghasilkan Rp 1

juta. Ia menyerahkan kepada istrinya Rp 800.000 dan Rp 200.000 lagi

digunakan untuk uang jalannya.

Dengan nada putus asa, ia melanjutkan, kalau pekerjaan supir sekarang

tidak menjanjikan lagi dan hanya bisa hidup bertahan ala kadarnya. Ini

diperkuat lagi lewat pengakuan seorang direksi salah satu armada, yang

sebelumnya pernah bekerja sebagai supir di Jakarta dulu semasa

86

kepemimpinan Ali Sadikin. Mantan supir yang mengemudikan bus Saudaranta

pada 1973 di Jakarta ini menuturkan sekaligus membandingkan, penghasilana

supir dulu sangat menjanjikan dan masih terpandang.

Hanya bekerja sehari bisa membeli 2-3 meter tanah di Jakarta. Karena itu,

dulu profesi supir masih diminati dan dianggap terpandang. Bahkan untuk

menjadi supir dulu relatif sulit. Sebelum menjadi supir harus menjadi cincu

(kernek), ngelap ban mobil sampai mengkilap, bahkan kadang-kadang harus

mencuci pakaian supir. Ironisnya sekarang, profesi supir dianggap rendahan

dan kurang menjanjikan.

Menurut supir ini, menurunnya pendapatan supir sekarang salah satu

faktornya adalah berlebihnya baik plafon maupun trayek angkutan kota di Kota

Medan (tanpa bisa menjelaskan ukuran kuantitatif kelebihannya ketika ditanya

lebih lanjut). Kalau ijin diberikan, kan uang masuk bagi Dinas Perhubungan Kota

Medan dan setoran untuk mandor akan berlipat. Bayangkan kalau ada armada

7.000 unit dan setiap angkot harus setor Rp 14.500, berapa per hari dan per

bulannya. Kami supir ini yang jadi korbannya.

4.7. Hubungan Armada dan Perilaku Mengemudi

Selanjutnya, angka koefisien korelasi antara armada/kesatuan dengan

perilaku supir adalah 0,204. Angka ini sebagaimana ditunjukkan melalui simbol

dua bintang (**) adalah signifikan pada tingkat kepercayaan 99 %. Dengan

demikian, hubungan antara armada/kesatuan dengan perilaku supir adalah

terbukti. Lebih jauh dapat pula diartikan bahwa dengan semakin baik

pembinaan dan pengorganisasian dilakukan oleh armada, maka semakin positif

pula perilaku sopan santun yang ditampilkan supir di saat mengemudikan

kenderaan.

87

Fakta lain sehubungan dengan interaksi antara pengemudi dengan

armada kenderaan, ternyata para supir cenderung tidak merasa bangga

terhadap armada tempat mereka bernaung dan bekerja.

Grafik 4.28. Kebanggaan Supir Terhadap Armada

Sangat bangga1%

Bangga4%

Kurang bangga59%

Tidak bangga36%

Grafik di atas menunjukkan bahwa hanya 4 % dan 1 % supir yang merasa

bangga dan sangat bangga terhadap armadanya. Selebihnya yakni sebanyak

95 % cenderung kurang bangga dan tidak bangga. Fakta ini meneguhkan kesan

yang diperoleh pada saat observasi di lapangan bahwa perilaku supir di

lapangan cenderung tidak dapat dikendalikan oleh pengurus armada. Pada

banyak hal, manajemen armada kurang bisa mengendalikan karena posisi

tawar pemilik angkutan kota lebih kuat dalam relasi ini. Armada sebagai

pemegang merek, mendapat iuran dari si pemilik angkutan kota untuk

membiayai seluruh biaya operasional armada. Jadi, bila pemilik angkutan kota

tidak membayar, itu berarti mengurangi pendapatan manajemen armada itu

sendiri. Situasi ini terkesan kian kurang terkendali, karena faktanya sebagian

besar armada tidak memiliki kenderaan patroli di lapangan untuk mengontrol

88

perilaku supir selama di perjalanan.

Berdasarkan wawancara di lapangan diperoleh informasi bahwa satu-

satunya armada yang masih memiliki kenderaan patroli adalah Koperasi

Pengangkutan Umum Medan (KPUM). Sementara itu, sebagian armada lainnya

dulu memilikinya tetapi saat ini tidak beroperasi lagi. Kenyataan ini terespons

melalui data yang diperoleh melalui kuesioner yang tergambar pada grafik

berikut.

Grafik 4.29. Kepemilikan mobil patroli

Ya49%

Tidak51%

Grafik di atas menunjukkan bahwa dengan komposisi yang hampir

berimbang 51 % responden menyatakan bahwa armada mereka tidak memiliki

patroli, dan selebihnya (49 %) menyatakan memiliki patroli. Ini tidak

mencerminkan fakta. Angka ini muncul karena supir KPUM yang lebih banyak

didata sehingga memberikan kontribusi yang sangat berarti terhadap angka

yang menyatakan memiliki patroli di atas. Di samping itu, sebagian supir

intensitas komunikasinya relatif kurang dengan pihak armada, sehingga tidak

89

mengetahui bahwa armadanya tidak lagi memiliki kenderaan patroli lapangan.

Fakta lain yang diperoleh melalui penelitian ini adalah bahwa sebesar 21

% dan 36 % responden menyatakan bahwa armada sering dan sangat sering

menyelenggarakan pendidikan tentang sopan santun terhadap para

pengemudi. Namun, selebihnya yakni sebesar 43 % menyatakan hanya kadang-

kadang dan tidak pernah.

Grafik 4.30. Pendidikan sopan santun

Sangat sering36%

Sering21%

Kadang-kadang35%

Tidak pernah8%

Untuk mendapatkan arti yang lebih mendalam atas data di atas, juga

diperoleh informasi melalui wawancara bahwa setiap tahun Dinas

Perhubungan Kota Medan menyelenggarakan kursus terhadap para supir yang

dirangkaikan dengan kegiatan memilih “awak teladan” (supir teladan) yang

biasanya melibatkan seluruh perusahaan angkutan kota yang ada di Kota

Medan. Maka dapat dipahami bahwa sebagian besar supir menyatakan bahwa

pendidikan sopan santun diselenggarakan oleh armada. Fakta di lapangan,

hanya KPUM yang secara rutin melaksanakan pendidikan sopan santun dan

pemberian motivasi terhadap supir dengan mengundang orang-orang yang

90

dianggap berkompeten dan ahli dalam hal tersebut.

Informasi lain sehubungan dengan interaksi supir dengan armada adalah

menyangkut pengawasan lapangan terhadap supir yang dilakukan oleh

armada. Berdasarkan informasi yang digambarkan pada grafik berikut, terlihat

bahwa 27 % dan 39 % responden menyatakan bahwa armada melakukan

pengawasan di lapangan. Pengawasan yang dimaksud dilakukan dengan

menggunakan kenderaan patroli ataupun kenderaan pribadi pengurus armada,

termasuk pengawasan yang dilakukan oleh mandor lapangan.

Grafik 4.31. Pengawasan lapangan oleh armada

Sangat sering39%

Sering27%

Kadang-kadang29%

Tidak pernah5%

Jika sebagian responden yakni sebesar 29 % dan 5 % menyatakan hanya

kadang-kadang dan tidak pernah dilakukan pengawasan lapangan, maka ini

merupakan gambaran dari para supir yang termasuk dalam kategori supir yang

kurang berkomunikasi dengan pihak pengurus armada, atau secara psikologis

merasa bahwa dia memang tidak diawasi oleh siapa-siapa.

Informasi lainnya adalah menyangkut pemberian sanksi terhadap supir

yang tertangkap mengendarai kenderaannya secara ugal-ugalan.

91

Grafik 4.32. Sanksi terhadap supir ugal-ugalan

Sangat sering35%

Sering28%

Kadang-kadang30%

Tidak pernah7%

Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa 63 % reponden menyatakan

bahwa para supir yang ugal-ugalan dikenakan sanksi oleh armada. Hal ini

menunjukkan bahwa armada memiliki upaya untuk meningkatkan sopan

santun berkenderaan terhadap awaknya. Namun perlu dicatat bahwa daya

jangkau armada dalam mengawasi supirnya juga terbatas mengingat fluiditas

pergerakan kenderaan angkutan kota di lapangan.

Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, ternyata 49 % responden

menyatakan bahwa mereka dilindungi oleh armada. Perlindungan ini hanya

terasa kadang-kadang oleh 42 % responden, dan bahkan tidak pernah

terasakan oleh 9 % responden lainnya.

92

Grafik 4.33. Perlindungan terhadap supir

Sangat sering20%

Sering29%

Kadang-kadang42%

Tidak pernah9%

Angka 42 % yang hanya kadang-kadang merasakan perlindungan pada

grafik di atas, menunjukkan sebagian besar responden merasa belum

sepenuhnya selama masa bekerja mendapat perlindungan. Namun, kondisi ini

belum sampai menyebabkan para supir untuk memutuskan untuk pindah ke

armada lainnya, sebagaimana dimuat dalam grafik berikut.

93

Grafik 4.34. Bersedia pindah ke armada lain

Sangat bersedia2%

bersedia19%

Kurang bersedia20%

Tidak bersedia59%

Berdasarkan grafik di atas ternyata sebagian besar yakni 59 % responden

menyatakan tidak bersedia untuk pindah ke armada lain walaupun ada

tawaran. Jumlah tersebut menjadi lebih besar jika digabungkan dengan 20 %

lainnya yang menyatakan kurang bersedia pindah. Sehingga terdapat kesan

bahwa kekurangan dalam perlindungan seperti pada grafik sebelumnya

ternyata masih dapat ditolelir oleh supir, sehingga mereka tidak mengambil

keputusan untuk pindah.

94

Grafik 4.35. Pembatasan jumlah kenderaan sesuai plafon

Sangat membatasi20%

Membatasi20%Kurang membatasi

53%

Tidak membatasi7%

Salah satu perlakuan lain yang dilaksanakan oleh armada dan dianggap

penting adalah menyangkut pembatasan jumlah kenderaan dalam armada

yang menjalani trayek yang telah ditentukan.

Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa 40 % responden yang

menyatakan bahwa armada membatasi dan sangat membatasi jumlah

kenderaan sesuai plafon. Selebihnya, sebanyak 60 % menyatakan kurang

membatasi dan tidak membatasi jumlah kenderaaan. Angka-angka ini

menunjukkan bahwa armada tertentu yang secara ketat mengawasi jumlah

kenderaan pada trayeknya. Ada pula armada yang tidak terlalu memperdulikan

tentang jumlah kenderaan dalam trayek ini, namun lebih cenderung hanya

mempertimbangkan jumlah iuran yang dapat ditarik setiap harinya.

Kemungkinan lainnya adalah untuk satu armada tertentu, ternyata perlakukan

pengawasan jumlah kenderaan berbeda antartrayek. Ada trayek yang diawasi

secara ketat, dan ada pula trayek yang tidak diawasi secara ketat

95

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa variabel tingkat pendidikan tidak

memengaruhi perilaku mengemudi supir angkutan kota di Medan. Kendati

begitu, variabel armada, lama kerja dan kedekatan (internalisasi budaya)

seorang supir secara signifikan berpengaruh terhadap perilaku mengemudi.

Terkait dengan variabel etnisitas, perlu ditekankan dan dipahami bahwa

perilaku seorang supir tidak berhubungan dengan identitas etnis yang dimiliki-

nya, tetapi lebih kepada kedekatan atau internalisasi sekaligus eksternalisasi

(identifikasi diri dengan identitas etnis dan kemudian diekspresikan melalui

tindakan) identitas atau nilai-nilai tradisi yang disandangnya. Dengan demikian,

dapat disimpulkan bahwa label etnisitas tidak berhubungan dengan perilaku

mengemudi, tapi lebih kepada kedalaman seseorang dalam menginternali-

sasikan identitas etnis masing-masing.

Karena itu, dapat disimpulkan bahwa perilaku kurang tertib para

pengemudi angkutan kota bukan sepenuhnya dipengaruhi faktor-faktor

internal dari dalam dirinya (seperti antara lain pendidikan dan etnisitas) tetapi

lebih disebabkan faktor eksternal seperti tekanan memenuhi setoran dan

pendapatan yang akan dibawa ke rumah. Tekanan memenuhi setoran ini kian

sulit disebabkan tekanan struktural dalam trayek yang dilalui seorang supir baik

intra-armada maupun antar-armada. Tekanan struktural itu adalah tumpang

tindih trayek armada bahkan sampai kelebihan plafon di trayek-trayek basah

yang dimiliki armada tertentu. Masalah ini sebetulnya dapat dianggap sebagai

masalah pokok, tetapi untuk memberikan evaluasi tentang kelebihan angkutan,

96

maupun kelebihan beban pada satu trayek, tentu memerlukan suatu penelitian

yang komprehensif yang terkait dengan analisa kawasan bangkitan maupun

tarikan lalu lintas seluruh Kota Medan.

Trayek tumpang tindih yang dihasilkan lewat trayek kamar mandi terjadi

karena perilaku pemburu rente (rent seeker) antara penguasa (Dinas

Perhubungan Kota Medan) dan pengusaha (penyedia dan penyalur mobil dan

direksi armada). Faktor eksternal yang lebih kuat ini sebagaimana diakui para

supir membuat mereka terpaksa mengemudi di luar peraturan (UU No 22

Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan) dan kadang merasa sudah

menjadi ‘budak.’ Kondisi ini juga, menurut direksi armada membuat persaingan

‘hukum rimba’ antara armada yang besar dan armada yang (lebih) kecil.

Faktor eksternal yang lain adalah menurunnya jumlah penumpang yang

disebabkan beberapa faktor penting sebagai berikut. Faktor pertama adalah

hand phone (HP) yang membuat mobilitas manusia berkurang dalam meng-

gunakan moda transportasi karena cukup dengan mengirim kabar lewat hand

phone. Faktor kedua adalah sepeda motor. Kemudahan memiliki sepeda motor

dengan kredit mudah dan bunga kredit yang rendah, mendorong setiap

keluarga memiliki sepeda motor. Faktor ketiga adalah kehadiran betor (beca

bermotor) yang kadang ‘dibiarkan’ berkeliaran memasuki jalur perkotaan tanpa

sanksi yang tegas. Faktor keempat, yakni menjamurnya angkutan umum

dengan menggunakan mobil pribadi (plat hitam) dan terminal bayangan. Dan

faktor terakhir adalah kenaikan ongkos.

Tekanan eksternal yang demikian besar membuat sebagian besar supir

mengemudi di luar aturan seperti ngebut begitu keluar stasiun atau pangkalan,

ngebut mencari penumpang dan ngebut sesama angkot. Pelanggaran lain yang

97

dilakukan misalnya seperti menyalip dari jalur kiri meski melanggar peraturan,

mengabaikan hak-hak pengguna jalan seperti pesepeda, dan tidak memasang

segitiga pengaman ketika berhenti dalam keadaan darurat.

Menghadapi tekanan eksternal yang demikian berat, pada tingkatan

tertentu memaksa supir ‘memutar’ otak seperti roda angkutan kota yang

berputar ‘mengolah’ pemilik angkutan kota dengan mengurangi jumlah

setoran. Karena itu, jarang sekali angkutan kota yang dikredit lunas di satu

tangan pemilik karena cenderung merugi terus. Sebuah mobil angkutan kota

yang dikredit biasanya baru lunas bisa sampai 4 (empat) pemilik.

Kendati begitu, dalam beberapa hal, perilaku supir masih patut dipuji

karena masih tertib. Perilaku memprioritaskan penumpang pelajar saat

penumpang membludak, mengikuti lajur jalan secara umum ketika baru keluar

dari stasiun, tidak menagih ongkos saat mengalihkan penumpang ke angkutan

kota yang lain merupakan beberapa bukti perilaku terpuji dari para supir

angkutan kota di Kota Medan.

Faktor lain yang berkontribusi dalam kekurangtertiban mengemudi ini

adalah manajemen internal armada angkutan kota di Kota Medan. Sejauh ini,

kriteria dan standarisasi supir termasuk standar prosedur operasional belum

baku antara manajemen armada dan pemilik angkutan kota. Manajemen

armada sebagai penyedia jasa merek kadang belum bisa menetapkan standar

dan kriteria yang ketat karena tekanan pemilik angkot. Pemilik angkutan kota,

pada tingkatan tertentu, masih lebih mementingkan setoran ketimbang

kapasitas dan kualifikasi supir. Apalagi hubungan kekerabatan antara supir dan

pemilik angkutan kota memungkinkan supir mudah berpindah-pindah dari satu

angkutan kota ke angkutan kota yang lain. Ini diperparah lagi karena

98

perbandingan antara mobil angkutan kota yang sangat banyak dibandingkan

jumlah supir yang tersedia.

Sejauh pengamatan di lapangan, hanya satu armada yang relatif memiliki

standarisasi dan data dasar supir yang tersimpan di kantor sehingga angkutan

kota tidak mungkin dikemudikan supir yang tidak terdata di manajemen

armada. Apalagi, setiap supir yang terdata akan memiliki simpanan wajib di

koperasi armada tersebut. Untungnya lagi, koperasi ini independen dan

beroperasi di luar manajemen internal armada yang bersangkutan.

Secara umum dapat disimpulkan sebagian besar armada tidak memiliki

standar operasional yang baku bagaimana seorang supir mengemudikan

angkutan kotanya sepanjang hari kerja. Manajemen armada juga belum

menetapkan kriteria minimum (kecuali lewat SIM) sebelum seseorang menjadi

supir di armada tertentu. Lebih jauh lagi, tidak ada pelatihan yang berkala yang

dilakukan internal armada masing-masing untuk memberikan penertiban

kepada supir. Begitu juga Dinas Perhubungan Kota Medan sebagai regulator

dan fasilitator hanya memberikan pelatihan melalui program AKUT (Awak

Kenderaan Umum Teladan) yang di mata para direksi kadang dianggap lebih

bersifat seremonial.

5.2 Saran

1. Standar minimum dan standar operasional dalam mengemudikan angkot

perlu ditetapkan. Regulasi ini perlu dirumuskan antara pemilik angkot,

manajemen armada, Dinas Perhubungan Kota Medan, dan Satlantas.

2. Kerentanan hidup supir perlu diatasi dengan memberikan jaminan atau

asuransi kesehatan dan perumahan bagi para supir sehingga mereka

memiliki kenyamanan dalam bekerja.

99

3. Memperketat pemberian SIM kepada pengemudi dan menegakkan dengan

tegas UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan.

Mengurangi kalau bukan menghapuskan perilaku tilang atau ‘damai’ di

tempat merupakan langkah yang tidak boleh ditawar lagi. Kalau tilang

dilakukan konsisten dan tanpa pandang bulu (termasuk kepada mobil

pribadi), pasti pengemudi dan pemilik angkutan kota akan jera.

4. Dinas Perhubungan Kota Medan mestinya memberikan pengarahan

langsung kepada para supir langsung di pangkalan, termasuk dalam

memberikan pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada supir.

5. Mengoperasionalkan trans Medan dengan dukungan infrastruktur

pendukung dan sumber daya yang memadai. Dari segi sejarah, Medan

lebih dahulu mengenal bus (besar) daripada Jakarta. Dulu ada bus besar

namanya Doby.

6. Menetapkan regulasi pemberian ijin trayek dan plafon armada dengan

transparan dan akuntabel dengan memperhitungkan load factor.

7. Menyediakan infrastruktur pendukung (rambu lalu lintas, terminal, halte

dan sebagainya) untuk mendukung implementasi UU Nomor 22 Tahun

2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan termasuk dukungan sumber daya

manusia (Dinas Perhubungan Kota Medan dan Satlantas) sehingga undang-

undang ini bisa dijalankan. Sebenarnya kita bukan kekurangan undang-

undang Lalu Lintas Angkutan Jalan yang baik, tapi kekurangan orang-orang

yang baik untuk menjalankan Undang-Undang ini dengan konsisten.

8. Koordinasi dan harmonisasi antara Organda Provinsi Sumut dan Kota

Medan harus disinergikan, misalnya dalam kasus pengelolaan terminal,

seperti Terminal Amplas. Dalam pandangan Organda Kota Medan, terminal

100

Amplas sebaiknya dan harus dimasuki oleh baik angkutan kota maupun

bus AKAP/AKDP. Armada ini tidak boleh beroperasi permanen di terminal

bayangan.

9. Jika petugas menindak supir, maka SIM yang harus disita, bukan STNK.

Karena kalau STNK yang ditahan, supir akan pindah ke angkutan kota lain

dan akan memberatkan pemilik karena mobil tidak akan ‘jalan’ sehingga

terkendala membayar kredit angkutan kotanya. Kalau SIM supir yang

ditindak yang ditandai (misalnya diberi kode dengan dibolongi), si supir

akan jera.

10. Pihak armada dan mandor kurang tepat menindak supir dan pemilik,

aparat Polantas yang mestinya harus jelas dan tegas menegakkan aturan

sesuai dengan UU LLAJ.

11. Subsidi untuk moda transportasi umum (apakah dalam bentuk suku

cadang dan BBM) seharusnya diberikan oleh pemerintah.

12. ‘Monopoli’ penyediaan angkot sebaiknya dihapuskan. Membuka kesem-

patan yang sama bagi semua pemilik merek untuk menyediakan armada

angkutan kota kemungkinan akan melahirkan beberapa pilihan dan harga

yang bersaing.

13. Diperlukan penelitian yang komprehensif, kebutuhan armada, dan

kebutuhan operasional dari seluruh trayek, agar dapat dilakukan penyem-

purnaan tentang trayek lalu lintas angkutan kota di kota Medan.

14. Perlu dilakukan diskusi kelompok terarah (FGD) untuk menentukan skala

prioritas saran untuk jangka pendek, menengah,dan panjang di kalangan

pemangku kepentingan (stakeholder) transportasi angkutan publik agar

101

saran dalam kajian ini lebih tepat guna dan dapat diimplementasikan

dengan baik.

102

DAFTAR PUSTAKA Aniek QS, 1999, Pengaruh Perilaku Angkutan Umum Terhadap Kinerja Lalu-

lintas, Bandung. Anonim, Surabaya Macet, Bagaimana Solusinya?, Tempo Interaktif, 16 Februari

2006. Adrian, Thomas, 2008, Evaluasi Kinerja Angkutan Kota Medan, Jenis Mobil

Penumpang Umum (MPU): Studi Kasus MPU Trayek 64, Tesis Sekolah Pasca Sarjana USU Medan.

Aminah, Siti, 2006, Transportasi Publik dan Aksesibilitas Masyarakat Perkotaan,

Jurusan Ilmu Politik FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya. Arikunto, Suharsimi , 1996, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek,

Rineka Cipta, Jakarta. B.F., Skinner, 1932, Science and Human Behaviour McGraw Publicaion

Company, California, Amerika. Borgotta F., Edgar, dan Marie L. Borgotta, 1992, Encyclopedia of Sociology,

McMillan Publishing Company. Creswell, Jhon, 1989, Quantitative and Qualitative Research, London, Sage

Publication Ltd. Glaser, Barney G and Anselm L Strauss, 1967, The Discovery of Grounded

Theory: Stategies for Qualitative Research, Chichago, Aldine Publishing Company.

Hadiz, Vedi R & Richard Robison, 2004, Organizing Power in Indonesia: The

Politics of Oligarchy in an Age of Markets London: Routledge Curzon. Lulie, Johannes, Jhon Tri Handoko, 2005, Perilaku Agresif Menyebabkan Resiko

Kecelakaan Saat Mengemudi, JURNAL TEKNIK SIPIL ITB (Website dikunjungi pada 20 September 2012).

103

Macionis, 1987, Sociology Of Cities McGraw Publication, California, Amerika. Nawawi, Hadari ,1990, Metode Penelitin Sosial, Gajah Mada Press, Yogyakarta. Notoatmodjo, 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. Ofyar Z. Tamin, 1997, Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, ITB, Bandung. Ofyar Z. Tamin, 2007, Pemilihan Moda Angkutan Umum Penumpang (AUP)

Puslit Undip, Semarang. Pelly, Usman, 1984, Urbanisasi dan Adaptasi Peranan Misi Budaya

Minangkabau dan Mandailing, LP3ES, Jakarta. Polhaupessy, Leonard F. 1999, Perilaku Manusia, Rineka Cipta, Jakarta. Sugiyono, 2004, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung. Swarjono, Warpani, 1985, Rekayasa Lalu Lintas, Bhatara Karya Aksara, Jakarta. _______________, 1990, Merencanakan Sistem Pengangkutan, Penerbit ITB. Triani, Novia, Hendro Prabowo, 2008 “Perilaku Agresif Pengemudi Angkutan

Umum di Jalan Raya dengan Kepadatan Lalu-lintas yang Tinggi” dalam JURNAL PENELITIAN FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GUNA DARMA, 2008.

Wirantono, Bastian, 1999, Hubungan Panjang Antrian Kendaraan Terhadap

Berhentinya Angkutan Umum, Skripsi S1 Teknik Sipil Universitas Petra Surabaya.