adat budaya flores
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Flores berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Flores termasuk dalam
gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas wilayah sekitar
14.300 km². Daerah ini termasuk daerah yang kering dengan curah hujan rendah,
memiliki potensi bidang pertanian yang rendah. Meskipun potensi di bidang
pertanian rendah, Flores memiliki potensi di bidang lain yang cukup menjanjikan.
Tetapi sayang, tidak banyak yang tahu mengenai potensi tersebut. Potensi pariwisata
dan budaya Flores dianggap akan dapat memakmurkan perekonomian daerah Flores.
Daerah Flores yang indah sangat mendukung untuk dikembangkannya pariwisata
disana. Ada banyak tempat-tempat indah di Flores yang bisa dikunjungi oleh
wisatawan, baik wisatawan luar negeri maupun dalam negeri, misalnya Air Terjun
Kedebodu/Ae Poro, Kebun Contoh Detu Bapa, Air Panas Ae Oka Detusoko, Air
Panas Liasembe dan sebagainya.
Tetapi pengembangan atas bidang ini masih sangat kurang. Budaya Flores yang
beraneka ragam juga dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Aneka
tarian, lagu daerah, alat musik dan berbagai produk budaya lainnya merupakan
kekayaan Flores yang menuntut warganya untuk selalu melestarikannya. Upacara-
upacara adat yang unik juga dapat memberikan ciri khas bagi daerah Flores. Apabila
potensi-potensi di bidang budaya ini dikembangkan, akan dapat memajukan dan
meningkatkan perekonomian Flores di masa depan. Pembelajaran, pendalaman,
pengembangan dan pelestarian terhadap budaya-budaya Flores harus mulai
dilakukan sekarang, terutama oleh masyarakat Flores sendiri.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. IDENTIFIKASI FLORES
Nama Pulau Flores mulanya berasal dari bahasa Portugis “Cabo de Flores” yang
berarti “Tanjung Bunga”. Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk
menyebut wilayah paling timur dari pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara
resmi sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer.
Nama Flores yang sudah hidup hampir empat abad ini sesungguhnya tidak
mencerminkan kekayaan flora yang dikandung oleh pulau ini. Karena itu, lewat
sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama
asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa yang artinya Pulau Ular.
Dari sudut Antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai
makna filosofis, kultural dan ritual masyarakat Flores.
Sejarah kependudukan masyarakat Flores menunjukkan bahwa pulau ini dihuni oleh
berbagai kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir
eksklusif sifatnya. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan
pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara
utuh (Barlow,1989;Taum,1997b).
Heterogenitas penduduk Flores terlihat dalam sejarah asal-usul, suku, bahasa, filsafat
dan pandangan dunia.
Suku bangsa Flores dianggap merupakan percampuran etnis antara Melayu,
Melanesia, dan Portugis. Dikarenakan lokasi yang berdekatan dengan Timor, yang
pernah menjadi Koloni Portugis, maka interaksi dengan kebudayaan Portugis pernah
terjadi dalam kebudayaan Flores, baik melalui Genetik, Agama, dan Budaya.
2
B. SISTEM KEKERABATAN
Klen (Clan) sering juga disebut kerabat luas atau keluarga besar. Klen merupakan
kesatuan keturunan (genealogis), kesatuan kepercayaan (religiomagis) dan kesatuan
adat (tradisi). Klen adalah sistem sosial yang berdasarkan ikatan darah atau
keturunan yang sama umumnya terjadi pada masyarakat unilateral.Pada Masyarakat
Flores menganut klen atas dasar garis keturunan ayah (patrilineal) di mana klennya
disebut Fam antara lain : Fernandes, Wangge, Da Costa, Leimena, Kleden, De-
Rosari, Paeira.
Kelompok kekerabatan di Manggarai yang paling kecil dan yang berfungsi paling
intensif sebagai kesatuan dalam kehidupan sehari-sehari di dalam rumah tangga atau
di ladang dan kebun, adalah keluarga luas yang virilokal (kilo). Pada orang Ngada
suatu keluarga luas virilokal serupa itu disebut sipopali.
Beberapa istilah yang dikenal dalam sistem kekerabatan Manggarai antara lain Wae
Tua (turunan dari kakak), Wae Koe (turunan dari adik), Ana Rona (turunan keluarga
mama), Ana Wina (turunan keluarga saudara perempuan), Amang (saudara lelaki
mama), Inang (saudara perempuan bapak), Ema Koe (adik dari bapak), Ema Tua
(kakak dari bapak), Ende Koe (adik dari mama), Ende Tua (kakak dari mama), Ema
(bapak), Ende (mama), Kae (kakak), Ase (adik), Nana (saudara lelaki), dan Enu
(saudara wanita atau istri).
C. SISTEM KEMASYARAKATAN
Dalam masyarakat sub-sub suku bangsa di flores yang kuno ada suatu sistem
strafikasi sosial kuno, yang terdiri dari tiga lapisan. Dasar dari pelapisan itu ialah
keturunan dari klen-klen yang dianggap mempunyai sifat keaslian atau asas
senioritet. Biasanya ada tiga lapisan sosial. Pada orang manggarai misalnya ada
3
lapisan orang kraeng, lapisan orang ata ehe dan lapisan orang budak. Pada orang
Ngada misalnya ada lapisan orang gae meze, lapisan orang gae kisa dan juga lapisan
orang budak (azi ana).
Lapisan kraeng dan gae meze, adalah lapisan orang bangsawan yang secara khusus
terbagi lagi dalam beberapa sub lapisan, tergantung kepada sifat keaslian dari klen-
klen tertentu, yang dianggap secara historis atau menurut dongeng-dongeng
mitodologi, telah menduduki suatu daerah tertentu lebih dahulu dari klen-klen yang
lain. Demikian warga dari klen-klen yang berkuasa dalam dalu-dalu atau glaring-
glarang, pada orang Manggarai, termasuk lapisan kraeng.
Lapisan ata leke dan gae kisa adalah lapisan orang biasa, bukan keturunan orang-
orang senior. Orang ata leke biasanya bekerja sebagai petani, tukang-tukang atau
pedagang, walau banyak dari orang bangsawan ada juga yang dalam kehidupan
sehari-hari juga hanya menjadi saja. Lapisan budak, yang sekarang tentu sudah tidak
ada lagi.
D. UPACARA ADAT
Upacara adat yang ada di wilayah Nusa Tenggara Timur sangatlah beragam dimana
masing-masing suku memiliki caranya masing-masing, upacara adat tersebut terdiri
dari upacara perkawinan, upacara menyambut datangnya panen, upacara
pemanggilan hujan dan lain-lain.
1. Upacara Kelahiran
Kelahiran Pada masa kehamilan di Tetum, merupakan upacara yang bertujuan agar si
ibu tetap sehat dan tidak dianggap roh jahat disebut upacara Keti Kebas Metan
(mengikat dengan tali benang kitan). Pada peristiwa kelahiran, dukun beranak
4
memegang peranan penting pada peristiwa tersebut ada dua upcara yang penting
yaitu pengurusan ari-ari dan pemberian nama bayi.
2. Upacara Menjelang dewasa
Masa Remaja Setelah anak menjelang dewasa biasanya diadakan serangkaian
upacara yaitu cukuran rambut pada masa anak-anak dan sunat bagi laki dan potong
gigi untuk wanita yang biasa disebut Koa Ngll. Koa Ngll merupakan upacara potong
gigi massal untuk gadis memasuki usia remaja. Upacara ini menandakan gadis-gadis
yang telah mengikuti upacara ini telah dewasa dan boleh dipinang untuk membangun
rumah tangga.
3. Upacara Perkawinan
Berikut ini kami sajikan beberapa upacara adat perkawinan dari beberapa daerah
antara lain :
a) Wanita dan Perkawinan di Fores Timur
Kehidupan wanita dalam adat istiadat Lamaholot sangat tinggi nilainya. Wanita
merupakan pusat kehidupan masyarakat karena itu harus diperhatikan oleh yang
mengelilinginya. Nilai seorang wanita pada mas kawin yang dikonkritkan dalam
jumlah dan ukuran gading gajah yang sulit diperoleh
b) Wanita dan Adat Perkawinan di Sikka
Urusan perkawinan antara pria dan wanita merupakan pertalian yang tidak dapat
dilepaskan. Hubungan yang menyatu itu terlukis dalam ungkapan Ea Daa Ribang,
Nopok, Tinu daa koli tokar (Pertalian kekrabatan antara kedua belah pihak akan
berlangsung terus menerus dengan saling memberi dan menerima sampai kepada
turun temurun.
Norma-norma yang mengatur perkawinan ini dalam bahasa hukum adat yang
disebut Naruk dua - moang dan kleteng latar yang tinggi nilai budayanya.
5
c) Perkawinan Adat Masyarakat Ngada
Perkawinan di wilayah kabupaten Ngada berbentuk patriachat (Nagekeo, Soa,
dan Riung, sebagian masyarakat Ngada di Todabelu). Perkawinan ini dilakuakan
tanpa belis, seluruh biaya perkawinan ditnaggung oleh klen perempuan, pola
pemukiman pasca nikah pun dirumah wanita karena yang akan mewarisi harta
kekayaan klennya, apalagi kalau cuma satu satu putri tunggal.
Perkawinan patriachat selalu didahului oleh peminangan bere tere/nio manu/idi
weti, masuk minta. Masuk minta dilakukan oleh klen laki-laki ditemani bibinya
membawa tempat siri pinang atau kepe oka. Acara ini biasanya dilakukan pada
saat pesta reba, puru witu. Jika hantaran kepe oka ditolak oleh klen wanita artinya
lamarannya ditolak. Seluruh rangkaian acara pinangan disebut Beret ere oka pale,
bheku mebhu tana tigi, idi tua manu.
d) Perkawinan Adat Masyarakat Manggarai
Secara garis besar di Manggarai dikenal beberapa jenis perkawinan antara lain:
1) Perkawinan antar pelapisan social tingkat atas didasarkan atas kesepakatan
orang tua untuk melanjutkan kekuasaan. Besarnya belis tidak merupakan
lambang pemabayaran wanita tetapi penghargan kepada orang tua wanita yang
telah membesarkannya.
2) Perkawian pelapisan menengah, biasanya diputuskan oleh pemuda dan pemudi
itu sendiri tanpa (kadang-kadang) mengikuti sertakan orang tua dalam
pemilihan jodoh.
3) Perkawinan tungku salang, perkawinan yang terjadi karena memiliki hubungan
dara misalnya anak laki-laki dari tante dapat dinikahkan dengan anak
perempuan dari om
6
4) Perkawianan tungku kala adalah jenis perkawinan yang dilakukan tidak
berdasarkan hu bungan dara.
5) Perkawinan silih tikar ganti tikar ialah jenis perkawinan sororat dan levirat.
4. Upacara Kematian
Upacara Kematian Menurut kepercayaan mereka kematian adalah berpindahnya dari
dunia ramai kekehidupan gaib. Untuk pesta kematian ini dikorbankan sajian
berpuluh-puluh ekor sapi, kerbau dan babi Rangkaian upacara meliputi beberapa
tahap : Adat meratap, yaitu menangis dimuka mayat yang dilakukan oleh wanita.
Adat memakan mayat, yaitu memakan mayat selama beberapa hari sebelum dikubur.
Merawat mayat, sebelum dikubur mayat dimandikan terlebih dahulu, kemudian
diberi pakaian yang bagus atau pakaian kebesaran. Upacara waktu penguburan,
tempatnya didekat rumah, untuk laki disebelah barat dan perempuan disebelah timur.
Upacara setelah penguburan, malam harinya diadakan pesta besar-besaran dengan
membunyikan bunyi-bunyian dan tari-tarian.
5. Upacara Pembangunan Rumah
Dalam melaksanakan pembangunan rumah adat, pertama kali akan dilakukan
musyawarah yang dipimpin oleh tetua adat untuk memperoleh kesepakatan. Sehari
sebelum upacara pembangunan rumah dimulai, masyarakat melangsungkan upacara
Maalaba yaitu penghormatan kepada tetua adat yang nantinya akan berperan dalam
proses pembangunan rumah. Upacara ini dilanjutkan dengan acara makan bersama.
Dalam pelaksanaan upacara dipersiapkan terlebih dahulu sesajian yang terdiri atas
pisang, tebu, dan seekor anak babi. Selanjutnya anak babi ditusuk dengan benda
tajam dan darahnya ditampung dalam wadah. Darah tersebut kemudian dipercikan
kepada bagian-bagian rumah agar roh-roh leluhur memberkati pembangunannya dan
mengusir roh-roh yang jahat. Anak babi kemudian disembelih dan bagian-bagiannya
7
diberikan kepada tetua adat untuk diperiksa apakah terdapat tanda-tanda boleh atau
tidaknya pembangunan rumah diteruskan.
Setelah dinyatakan boleh, kemudian anak babi tersebut dikuliti, dimasak dengan cara
dibakar. Upacara dilanjutkan dengan acara makan bersama sambil minum tuak.
Dalam acara doa bersama, mereka berharap mendapatkan restu dan petunjuk agar
berhasil dalam membangun rumah mereka. Dalam bentuknya lebih miniatur, simbol
bhaga atau ngadu dapat dilihat pada atap rumah yang berstatus "rumah adat".
6. Upacara Penutupan Bulan Maria
Dalam upacara ini tampak patung Bunda Maria diarak di atas perahu kecil yang
dipikul empat orang diiringi doa Rosario dan tarian khas Flores menuju gereja.
Sebelum memasuki gereja, arak-arakan berhenti sejenak di tiap kabupaten, seperti
Kabupaten Flores Timur, Ende, Bajawa, Manggarai, dan Maumere. Ini sebagai
simbol umat yang disatukan oleh Tuhan dengan perantara Bunda Maria. Prosesi
seperti ini biasa dilakukan umat Katolik di NTT.
Setelah diletakkan di atas altar, patung Bunda Maria mendapat penghormatan
terakhir. Permohonan dari perwakilan beragam etnis disampaikan sebagai wujud
persatuan dalam Bhinneka Tunggal Ika. Bulan Maria biasanya diperingati tiap
Oktober. Pada awal dan akhir bulan biasanya diselenggarakan upacara Bulan Maria
oleh tiap umat Katolik di penjuru dunia. Berdasarkan tradisi gereja, bulan tersebut
memang dikhususkan untuk menghormati Maria.
7. Upacara Adat di Sampar
Upacara ini dilakukan di desa Sampar yang berkaitan dengan perayaan atas
selesainya rumah adat yang baru yang juga bentuknya diilhami oleh sarang laba-
laba. Perayaan ini dimeriahkan dengan Permainan kesenian yang disebut Caci, di
mana 2 orang laki-laki akan saling berhadapan, seorang dengan senjata cambuk dari
8
kulit kerbau akan berusaha memukul lawannya yang akan bertahan dengan
menangkis menggunakan sebuah tameng kulit dan sebuah tongkat rotan.
Pukulan hanya dibolehkan sekali dan kemudian ganti posisi, si pemukul akan
berganti menjadi pihak yang bertahan dan sebaliknya, laki-laki yang tadi bertahan
sekarang menggenggam cambuk kulit. Jarang sekali cambukan tersebut mengena
karena kelihaian mengkis, tapi sekali kena, cukup bikin kulit peserta robek.
Permainan ini diikuti oleh 2 kelompok dengan pemain yang bergantian maju tampil
ke gelanggang.
8. Upacara Iyegerek
Warga Lamalera, dikenal sebagai pemburu paus yang tangguh, memilih sperm
sebagai buruannya. Paus hasil buruan, menurut adat, dibagikan kepada sejumlah
warga. Terutama kepada tuan tanah, lamafa (juru tikam), rumah adat, matros (anak
buah kapal), dan pemilik perahu. Perjalanan dilanjutkan ke laut. Empat orang
bermahkota daun turi menceburkan diri ke laut, sebagai ritual memanggil ikan.
Sementara dua orang pemegang tombak menanti di pantai. Upacara berakhir ketika
empat orang itu mentas dari laut.
Setelah upacara iyegerek, mereka menggelar misa arwah pada sore harinya. Selama
perayaan misa arwah, nelayan pantang melaut. Setelah serangkaian acara, misa
ditutup dengan doa khusus untuk arwah. Masyarakat Lamalera percaya, jika jenazah
mereka yang hilang tidak diperhatikan maka arwahnya akan marah.
9. Takung
Takung (persembahan), yakni upacara persembahan hewan kurban bagi penunggu
tanah agar memperlihatkan arwah para korban. Selain itu meminta kepada arwah
korban untuk memperlihatkan dirinya agar mereka bisa dikuburkan sesuai adat.
Upacara adapt ini dilakukan dengan menyembelih seekor kambing.
9
10. Upacara Giit Mendong
Inti upacara adat yang sering dilaksanakan dalam setiap perayaan kemasyarakatan di
Kabupaten Sikka ini, yakni meminta kehadiran arwah nenek moyang masyarakat
Sikka untuk merestui setiap perayaan yang dilakukan.
11. Tradisi Megalitik di Flores
Pulau Flores yang terdiri dari berbagai suku bangsa, mempunyai kekayaan sejarah
dan budaya yang tinggi. Daerah ini menjadi obyek penelitian yang menarik bagi para
etnolog dan arkeolog. Pulau Flores dan pulau-pulau kecil disekitarnya mulai dari
ujung barat sampai ujung timur mengandung peninggala-peninggalan baik yang
berujud budaya materil maupun nilai-nilai tradisi yang berakar sejak zaman dulu.
Salah satu tradisi yang masih berakar kuat dan menonjol dalam sistem perilaku
budaya sehari-hari adalah tradisi megalitik di beberapa sub etnis Flores. Misalnya,
tradisi mendirikan dan memelihara bangunan-bangunan pemujaan bagi arwah
leluhur. Dalam buku, "Aneka Ragam Khasanah Budaya IV" yang dikeluarkan Dirjen
Dikti tahun 2000 ditulis bahwa tradisi pendirian bangunan megalitik sebagai ujud
penghormatan (kultus) terhadap para leluhur dan arwahnya berawal sejak sekitar
2500 - 3000 tahun lalu dan sebagian diantaranya masih berlangsung sampai
sekarang.
Dampak pendirian monumen-monumen tradisi megalitik itu tradisi megalitik itu
begitu luas mencakup aspek simbolisme, pandangan terhadap kosmos (jagat raya),
asal mula kejadian manusia, binatang dan sebagainya. Upacara doa dan mantra, serta
berbagai media untuk mengekspresikan simbol-simbol secara fisik dalam
kebersamaan.
Tradisi megalitik yang berkembang di Pulau Flores awal pemunculannya, tampak
pada sisa-sisa peninggalan seperti rancang rumah adat dan monumen-monumen
10
pemujaan terhadap arwah leluhur, termasuk seni ragam hiasnya. Tampak juga pada
upacara pemujaan termasuk prosesi doa mantra, pakaian, pelaku seni, seni suara dan
tari serta perlengkapan-perlengkapan upacara (ubarampe) dan sebagainya.
Tradisi megalitik pun tampak pada tata ruang, fungsi, konstruksi serta struktur
bangunan. Tak ketinggalan pada upacara siklus hidup mulai dari lahir, inisiasi,
perkawinan dan pola menetap setelah perkawinan dan kematian, penguburan serta
perkabungan. Sudah tentu juga berkaitan dengan upacara untuk mencari mata
pencarian, seperti pembukaan lahan, penebaran benih, panen, berburuan, pengolahan
logam dan sebagainya, serta pembuatan benda-benda gerabah, tenun dan senjata.
12. Nyale
Masyarakat Wanukaka yang menyelenggarakan nyale ini di awal bulan Maret, telah
melakukan berbagai macam ritual dari jauh-jauh hari. Salah satunya dilakukan di
rumah masing-masing, malam sebelum nyale.
Potong ayam dan membuat ketupat, salah satu ritual yang wajib dilaksanakan
masyarakat Wanukaka. Seperti juga di salah satu rumah warga Kampung Ubu Bewi
ini. Sebab ritual ini erat kaitannya dengan kegiatan Pasola. Sebagai pertanda, untuk
melihat baik dan buruknya nasib seseorang yang akan ikut dalam Pasola.
Sang pemimpin adat atau rato melihat hasil olahan ayam dan ketupat. Apabila ayam
panggang masih mengeluarkan darah dari ususnya, dan ketupat yang telah masak,
ada yang berwarna merah, atau kecoklatan, maka diyakini ini merupakan pertanda
buruk. Yakni anggota keluarga yang ikut Pasola, akan mendapat bahaya, seperti
menderita luka-luka, atau bahkan meninggal dunia.
Ketika malam semakin larut, para rato dari Suku Ubu Bewi, yang bertugas
mengamati munculnya bulan purnama, segera bersiap-siap memakai pakaian
kebesaran rato. Atau dalam bahasa Wanukaka disebut rowa rato, untuk berdoa diatas
11
batu kubur, menghadap ke arah bulan purnama. Dengan menghadap ke arah bulan
purnama, para rato bisa memastikan ketepatan dan posisi bulan, serta keadaan
gelombang laut di pantai. Dari situlah akan diputuskan saatnya nyale. Begitu nyale
atau cacing laut sudah terlihat, seluruh warga yang telah berkumpul sejak subuh,
memulai perburuannya. Ternyata menangkap nyale tidak sesulit yang dibayangkan.
Tidak perlu susah-susah mencarinya hingga ke bagian laut yang agak dalam. Cukup
di tepi saja, kita sudah dapat menemukan sekumpulan nyale.
Sesungguhnya nyale merupakan acara inti, dari serangkaian upacara adat yang
dilakukan masyarakat pada bulan Pasola. Kehadiran nyale, harus dirayakan dalam
bentuk perayaan, yakni atraksi Pasola. Bagi masyarakat agraris seperti di Wanukaka
ini, kedatangan nyale juga punya kaitan erat, dengan hasil panen di daerah mereka.
Semakin banyak nyale yang muncul, kian besar juga kemungkinan hasil panen akan
berjalan baik.
Asal usul adanya nyale dan Pasola bermula dari cerita rakyat Waiwuang. Konon,
ribuan tahun silam hiduplah tiga orang bersaudara dari Desa Waiwuang. Mereka
pergi melaut selama berbulan-bulan. Karena tak kunjung pulang, salah satu istri
mereka menikah dengan pria lain. Ternyata ketiga pria itu kembali dan menemui
kenyataan, istri dari salah satu pria itu menikah dengan orang lain. Mereka sempat
merasa dipermalukan, namun toh akhirnya selesai secara damai. Dengan sejumlah
persyaratan antara lain sang istri dan suami barunya, harus menyediakan satu
bungkus nyale hidup.
Atas dasar hikayat ini, tiap tahun warga mengadakan bulan nyale yang diakhiri pesta
Pasola. Lucunya, tidak semua warga tahu mengapa ada nyale. Terutama generasi
mudanya. Bagi mereka, ini adalah saatnya bersenang-senang. Sebuah selingan dari
rutinitas sehari-hari.
12
Setelah nyale menghilang dari pantai, perburuan pun usai. Para pria berkuda
berdatangan ke pantai. Mereka akan melakukan Pasola. Ini bukanlah Pasola inti.
Hanya berlangsung tak lebih dari 2 jam, Pasola ini semacam pemanasan menuju ke
atraksi yang sesungguhnya. Pasola di lapangan nan luas.
13. Pasola
Pasola berasal dari kata `sola' atau `hola', yang berarti sejenis lembing kayu yang
dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua
kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola),
artinya menjadi permainan. Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan
saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang
antara dua kelompok yang berlawanan. Pasola dilaksanakan di bentangan padang
luas, disaksikan oleh segenap warga Kabisu dan Paraingu dari kedua kelompok yang
bertanding dan oleh masyarakat umum.
Sedangkan peserta permainan adalah pria pilih tanding dari kedua Kabius yang harus
menguasai dua keterampilan sekaligus yakni memacu kuda dan melempar lembing
(hola). Pasola biasanya menjadi klimaks dari seluruh rangkaian kegiatan dalam
rangka pesta nyale.
14. Etu
Etu adalah sebutan dalam etnis Nagekeo / Sagi adalah sebutan dalam suku Ngadha
merupakan atraksi tinju tradisional dengan manampilkan jago-jago dari kampung
masing-masing untuk mengadu kekuatan dan ketangkasan masing-masing peserta.
Atraksi ini berlangsung dalam arena yang dibuat di tengah kampung. Tiga hari
sebelum pertandingan diadakan ritual adat memohon kekuatan untuk peserta tinju.
13
15. Toalako
Toalako merupakan kegiatan yang diadakan pada musim panas mengatraksikan
kemampuan binatang peliharaan yaitu kuda dan anjing serta peralatan berburu
(misalnya tombak / tuba dan bhou) dalam menangkap binatang buruan yaitu : rusa
dan babi hutan (celeng). Hasil tangkapan ini disantap secara bersama di lokasi (loka)
yang telah disediakan oleh masing-masing suku.
14
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Budaya Flores yang beraneka ragam menuntut semua pihak untuk ikut serta dalam
usaha pengembangan dan pelestarian budaya Flores. Dalam hal ini, masyarakat
Flores sendirilah yang diharapkan memberikan sumbangan yang paling besar
terhadap upaya pengembangan dan pelestarian budayanya. Hal ini didasarkan pada
pemikiran bahwa masyarakat Flores yang seharusnya paling tahu dan paham
terhadap budayanya. Demikian yang dapat penulis sampaikan dalam makalah ini
mengenai budaya Flores. Semoga dapat bermenfaat bagi semua pihak yang
membacanya. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan dalam
rangka perbaikan.
15
Daftar Pustaka
Daeng, Hans J., 2000. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan: Tinjauan
Anropologis
Pengantar Dr. Irwan Abdullah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fernandez, Inyo Yos., 1996. Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores: Kajian
Linguistik Historis komparatif terhadap Sembilan Bahasa di Flores. Ende: Nusa
Indah.
Fernandez, Stephanus Osias, 1990. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu
dan
Kini. Ledalero: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik.
Ghono, John, 1992. “Nilai Religius Budaya NTT Sebelum dan Sesudah Masuknya
Pengaruh Kristianitas” Makalah Diskusi Panel Sehari Pelestarian Budaya Lokal.
16