adjuvan anestesi

Upload: adi-chand

Post on 10-Oct-2015

51 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

anestesi adjuvan

TRANSCRIPT

Adjuvan AnestesiKONSEP UTAMA1. Difenhidramin adalah salah satu contoh dari beragam kelompok obat yang memblok reseptor-H1 secara kompetitif. Kebanyakan obat dengan sifat-sifat antagonis reseptor-H1 memiliki aktivitas antimuskarinik, atau mirip-atropin (misal, mulut kering), atau aktivitas antiserotonergik (antiemetik) yang bermakna. 2. Bloker-H2 mengurangi risiko pneumonia aspirasi perioperatif dengan mengurangi volume cairan lambung dan meningkatkan pH isi lambung. 3. Metoklopramid meningkatkan tonus sfingter esofagus bawah, mempercepat pengosongan lambung, dan mengurangi volume cairan lambung dengan menambah efek stimulasi asetilkolin pada otot polos usus. 4. Ondansetron, granisetron, dan dolasetron memblok reseptor 5-HT3 serotonin secara selektif, tanpa efek atau sedikit berefek terhadap reseptor dopamin. Reseptor 5-HT3, yang berlokasi di perifer dan sentral, berperan penting dalam inisiasi refleks muntah. 5. Ketorolak adalah obat antiinflamasi nonsteroid yang diberikan secara parenteral yang menghasilkan analgesia dengan menghambat sintesis prostaglandin. 6. Klonidin umumnya digunakan sebagai obat antihipertensi namun dalam anestesi, obat ini digunakan sebagai adjuvan infus epidural pada pengelolaan nyeri. Klonidin paling bermanfaat dalam pengelolaan pasien dengan nyeri neuropatik yang semakin lama menjadi resisten terhadap infus opioid epidural. 7. Dexmedetomidin adalah agonis-2 selektif parenteral dengan efek sedatif. Obat ini tampaknya lebih selektif terhadap reseptor-2 daripada klonidin. 8. Aktivasi selektif kemoreseptor karotid oleh doxapram dosis rendah menghasilkan stimulasi pusat hipoksik, yang menyebabkan volume tidal meningkat dan frekuensi napas sedikit bertambah. Walaupun demikian, doxapram bukan obat reversal spesifik dan tidak boleh menggantikan terapi suportif standar (misal, ventilasi mekanik). 9. Nalokson membalikkan aktivitas agonis yang terkait dengan opioid endogen maupun eksogen. 10. Flumazenil bermanfaat untuk reversal efek sedasi benzodiazepin dan terapi overdosis benzodiazepin.11. Aspirasi tidak selalu menyebabkan pneumonia aspirasi. Beratnya kerusakan paru bergantung pada volume dan komposisi aspirat. Pasien paling berisiko jika volume gaster lebih dari 25 mL (0.4 mL/kg) dan pH gaster kurang dari 2.5.

Bab farmakologi terakhir ini menjelaskan beberapa obat yang mendapat perhatian khusus dalam anestesiologi. Fisiologi histamin dijelaskan singkat karena beberapa obat adalah antagonis reseptor-histamin. Simetidin, ranitidin, dan famotidin bermanfaat dalam persiapan preoperatif bagi pasien yang berisiko terjadi pneumonia aspirasi. Bab ini membahas obat (misal, metoklopramid, antasid, dan inhibitor pompa proton) yang dapat digunakan untuk mengurangi risiko aspirasi dan juga antagonis serotonin, yang terbukti merupakan antiemetik kuat. Agonis adrenergik-2 klonidin dan deksmedetomidin juga dibahas. Bab ini akan ditutup dengan diskusi stimulan napas (doksapram), antagonis opioid (nalokson), dan antagonis benzodiazepin (flumazenil).

ANTAGONIS RESEPTOR-HISTAMINFisiologi HistaminHistamin ditemukan di sistem saraf pusat, dalam mukosa, dan jaringan perifer lainnya. Zat ini disintesa dari dekarboksilasi asam amino histidin. Neuron histaminergik terutama terletak dalam hipotalamus posterior tetapi memiliki penyebaran luas dalam otak. Histamin juga secara normal berperan penting dalam sekresi asam hidroklorida oleh sel parietal dalam lambung (Gambar 15-1). Konsentrasi tertinggi histamin ditemukan dalam granula penyimpanan basofil yang bersirkulasi dan sel mast di seluruh tubuh. Sel mast cenderung terkonsentrasi dalam jaringan penyambung di bawah permukaan epitel (mukosa). Pelepasan histamin (degranulasi) dari sel ini dapat dipicu oleh stimulasi kimiawi, mekanis, atau imunologis (Bab 46). Dua reseptor, H1 dan H2, memediasi efek histamin. Reseptor-H1 mengaktifasi fosfolipase C, sementara reseptor-H2 meningkatkan adenosin monofosfat siklik (cAMP). Reseptor-H3 terutama terletak pada sel sekresi-histamin dan memediasi feedback negatif, menghambat sintesis dan pelepasan histamin tambahan. Histamin-N-metiltransferase memetabolsme histamin untuk menonaktifkan metabolit yang diekskresi dalam urin. Reaksi enzimatik ini dihambat oleh droperidol. Gambar 15-1.

Sekresi asam hidroklorida normalnya dimediasi oleh pelepasan histamin yang diinduksi oleh gastrin dari sel mirip-enterokromafin di lambung. Ingat bahwa sekresi asam oleh sel parietal lambung juga dapat meningkat secara indirek oleh asetilkolin melalui stimulasi reseptor M3 dan secara direk oleh gastrin melalui peningkatan konsentrasi intrasel Ca2+. Prostaglandin E2 dapat menghambat sekresi asam dengan menurunkan aktifitas cAMP.

A. KARDIOVASKULARHistamin menurunkan tekanan darah arteri namun meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas miokardium. Stimulasi reseptor-H1 meningkatkan permeabilitas kapiler dan meningkatkan iritabilitas ventrikel, sementara stimulasi reseptor-H2 meningkatkan denyut jantung dan meningkatkan kontraktilitas. Kedua tipe reseptor tersebut memediasi dilatasi arteriol perifer dan sebagian vasodilatasi koroner.B. RESPIRASIHistamin menyebabkan konstriksi otot polos bronkiol melalui reseptor-H1. Stimulasi reseptor-H2 dapat menghasilkan bronkodilatasi ringan. Histamin menghasilkan efek bervariasi pada pembuluh darah pulmonal; reseptor-H1 tampaknya memediasi sebagian vasodilatasi pulmonal, sementara reseptor-H2 mungkin berperan dalam vasokonstriksi pulmonal yang dimediasi oleh histamin. C. GASTROINTESTINALAktivasi reseptor-H2 dalam sel parietal meningkatkan sekresi asam lambung. Stimulasi reseptor-H1 menyebakan kontraksi otot polos intestinal. D. DERMALRespons kulit klasik wheal-dan-flare terhadap histamin adalah hasil dari peningkatan permeabilitas kapiler dan vasodilatasi serta terutama diaktivasi melalui reseptor-H1.

E. IMUNOLOGISHistamin adalah mediator utama reaksi hipersensitifitas tipe 1 (lihat Bab 46). Stimulasi reseptor-H1 menarik leukosit dan menginduksi sintesis prostaglandin. Sebaliknya, reseptor-H2 mengaktivasi supresor limfosit T.

1. Antagonis Reseptor-H1Mekanisme KerjaDifenhidramin (suatu etanolamin) adalah salah satu contoh dari sekelompok obat yang memblok reseptor-H1 secara kompetitif (Tabel 15-1). Banyak obat bersifat antagonis reseptor-H1 yang memiliki aktivitas antimuskarinik, atau mirip-atropin atau aktivitas antiserotonergik (antiemetik) yang bermakna. Prometazin adalah suatu derivat fenotiazin dengan aktivitas antagonis reseptor-H1 serta juga bersifat antidopaminergik dan blok--adrenergik. Penggunaan KlinisSeperti antagonis reseptor-H1 lainnya, difenhidramin memiliki kegunaan terapeutik yang luas: supresi gejala alergi (misal, urtikaria, rinitis, konjungtivitis); vertigo, mual, dan muntah (misal, mabuk perjalanan, penyakit Meniere); sedasi; supresi batuk; dan diskinesia (misal, parkinsonisme, efek samping ekstra piramidal yang diinduksi oleh obat). Beberapa aksinya dapat diramalkan dari pemahaman fisiologi histamin, sementara lainnya adalah hasil dari efek antimuskarinik dan antiserotoninergik obat (Tabel 15-1). Walaupun bloker-H1 mencegah respons bronkokonstriksi terhadap histamin, namun obat ini tidak efektif dalam pengobatan asma bronkial, yang terutama dimediasi oleh mediator lain (lihat Bab 23 dan 46). Selain itu, bloker-H1 tidak akan mencegah efek hipotensi histamin sepenuhnya kecuali jika bloker-H2 diberikan secara bersamaan. Oleh karena itu, kegunaan bloker-H1 saat reaksi anafilaktik akut agak terbatas; epinefrin adalah terapi pilihannya. Tabel 15-1. Sifat-sifat antagonis reseptor-H1 yang sering digunakan.1ObatRuteDosis (mg)Durasi (jam)SedasiAntiemetik

Difenhidramin (Benadryl)PO, IM, IV25-1003-6+++++

Dimenhidrat (Dramamin)PO, IM, IV50-1003-6+++++

Klorfeniramin PO2-124-8++0

(Chlor-Trimeton)IM, IV5-20

Hidrokszin (Atarax, Vistaril)PO, IM25-1004-12+++++

Prometazin (Phenergan)PO, IM, IV12.5-504-12++++++

Setirizin (Zyrtec)PO5-1024+

Siproheptadin (Periactin)PO46-8++

Dimenhidrat (Dramamin)PO506-12++

Feksofenadin (Allegra)PO30-60120

Meklizin (Antivert)PO12.5-508-24+

Loratadin (Claritin)PO10240

10, tidak berefek; ++, aktivitas sedang; +++, aktivitas kuat.Efek antiemetik dan hipnotik ringan dari obat antihistamin (terutama difenhidramin, prometazin, dan hidroksizin) adalah alasannya digunakan sebagai premedikasi. Walaupun banyak bloker-H1 menimbulkan sedasi yang bermakna, namun pusat napas biasanya tidak terpengaruh bila tidak ditambah obat sedasi lainnya. Prometazin dan hidroksizin sering dikombinasi dengan opioid untuk menambah analgesia. Antihistamin lebih baru (generasi-kedua) cenderung menimbulkan sedikit atau tanpa sedasi karena keterbatasannya melewati sawar darah-otak. Kelompok obat ini hanya tersedia dalam preparat oral yang terutama diberikan untuk rinitis alergi dan urtikaria. Yang termasuk kelompok ini adalah loratadin, feksofenadin, dan setirizin. Banyak preparat untuk rinitis alergi yang juga mengandung vasokonstriktor seperti pseudoefedrin. Meklizin dan dimenhidrat terutama digunakan sebagai antiemetik, khususnya untuk mabuk perjalanan, dan dalam penanganan vertigo. Siproheptadin, yang juga memiliki aktivitas antagonis serotonin yang bermakna, digunakan dalam penanganan sindrom Cushing, sindrom karsinoid, dan sakit kepala vaskular (cluster). DosisDosis umum difenhidramin untuk orang dewasa adalah 25-50 mg (0.5-1.5 mg/kg) per oral, intramuskular, atau intravena setiap 4-6 jam. Dosis antagonis reseptor-H1 lainnya tertera di Tabel 15-1. Interaksi ObatEfek sedatif antagonis reseptor-H1 dapat menimbulkan potensiasi depresan sistem saraf pusat lainnya seperti barbiturat, benzodiazepin, dan opioid.

2. Antagonis Reseptor-H2Mekanisme KerjaAntagonis reseptor-H2 antara lain simetidin, famotidin, nizatidin, dan ranitidin (Tabel 15-2). Obat ini menghambat ikatan histamin dengan reseptor-H2 secara kompetitif, dengan demikian mengurangi produksi asam lambung dan meningkatkan pH lambung. Nizatidin hanya tersedia dalam formulasi oral. Tabel 15-2. Farmakologi prophylaxis pneumonia aspirasi.1ObatRuteDosisOnsetDurasiKeasamanVolumeTonus SEB

Simetidin (Tagamet)POIV300-800 mg300 mg1-2 j4-8 j0

Ranitidin (Zantac)POIV150-300 mg50 mg1-2 j10-12 j0

Famotidin (Pepcid)POIV20-40 mg20 mg1-2 j10-12 j0

Nizatidin (Axid)PO150-300 mg0.5-1 j10-12 j0

Antasid non-partikulat (Bicitra, Polycyitra)PO15-30 mL5-10 mnt30-60 mnt0

Metoklopramid (Reglan)IVPO10 mg10-15 mg1-3 mnt1-2 j30-60 mnt0

10, tidak berefek; , penurunan sedang; , sangat menurun; , sedikit meningkat; , meningkat sedang; SEB, sfingter esofagus bawah. 2Metoklopramid oral memiliki variasi onset kerja dan durasi kerja. Penggunaan KlinisSemua antagonis reseptor-H2 sama efektifnya untuk terapi ulkus duodenal peptik dan gastrik, keadaan hipersekresi (sindrom Zollinger-Ellison), dan penyakit refluks gastroesofagus (GERD). Preparat intravena juga digunakan untuk mencegah ulserasi stres pada pasien sakit kritis (lihat Bab 49). Ulkus duodenal dan gastrik biasanya disertai dengan infeksi Helicobacter pylori, yang juga diterapi dengan kombinasi bismuth, tetrasiklin, dan metronidazol. Ranitidin bismuth sitrat dengan klaritromisin juga dapat digunakan untuk ulkus peptik yang disertai dengan infeksi H. pylori. Dengan menurunnya volume dan kandungan ion hidrogen cairan lambung, maka bloker-H2 juga mengurangi risiko pneumonia aspirasi perioperatif. Obat-obat ini hanya memengaruhi pH sekresi lambung yang keluar sesudah obat diberikan. Kombinasi antagonis reseptor-H1 dan H2 menghasilkan sedikit proteksi terhadap reaksi alergi yang diinduksi oleh obat (misal, radiokontras intravena, injeksi kimopapain untuk penyakit diskus lumbal, protamin). Walaupun terapi awal dengan obat ini tidak mengurangi pelepasan histamin, namun obat ini dapat mengurangi hipotensi yang akan terjadi kemudian. Efek SampingSimetidin dan ranitidin yang diinjeksikan secara intravena dengan cepat, walaupun jarang, dapat menimbulkan hipotensi, bradikardi, aritmia, dan henti jantung. Efek samping kardiovaskuular ini lebih sering terjadi setelah pemberian simetidin kepada pasien sakit kritis. Sebaliknya, famotidin dapat diinjeksi secara intravena dengan aman dalam waktu sekitar 2 menit. Antagonis reseptor-H2 merubah flora lambung melalui efeknya terhadap pH. Kemaknaan klinis dari perubahan ini masih belum jelas. Komplikasi terapi simetidin jangka panjang, antara lain hepatotoksik (penngkatan transaminase serum), nefritis interstisial (peningkatan serum kreatinin), granulositopenia, dan trombositopenia. Simetidin juga terikat pada reseptor androgen, terkadang menimbulkan ginekomastia dan impotensi. Simetidin dapat disertai dengan perubahan status mental, berkisar dari letargi dan halusinasi sampai kejang, terutama pada pasien usia lanjut. Sebaliknya ranitidin, nizatidin, dan famotidin tidak memengaruhi reseptor androgen dan tidak menembus sawar darah-otak dengan baik. DosisSebagai premedikasi untuk mengurangi risiko pneumonia aspirasi, antagonis reseptor-H2 sebaiknya diberikan sebelum tidur dan diberikan lagi setidaknya 2 jam sebelum operasi (Tabel 15-2). Dosis harus dikurangi pada pasien dengan gangguan ginjal bermakna, karena keempat obat tersebut dieliminasi terutama oleh ginjal. Interaksi ObatSimetidin dapat menurunkan laju aliran darah hepatik dan terikat pada oksidase multi-fungs sitokrom P-450. Efek ini mengurangi metabolisme berbagai obat, termasuk lidokain, propanolol, diazepam, teofilin, fenobarbital, warfarin, dan fenitoin. Ranitidin adalah inhibitor lemah sistem sitokrom P-450, dan tidak ada interaksi obat bermakna yang dilaporkan. Famotidin dan nizatidin tidak memengaruhi sistem sitokrom P-450.

ANTASIDMekanisme KerjaAntasid menetralkan keasaman cairan lambung menyediakan suatu basa (biasanya hidroksida, karbonat, bikarbonat, sitrat, atau trisilikat) yang bereaksi dengan ion hidrogen untuk membentuk air. Penggunaan KlinisPenggunaan umum antasid, antara lain untuk terapi ulkus gastrik dan duodenal, GERD, dan sindrom Zollinger-Ellison. Dalam anestesiologi, antasid memberi proteksi dari efek membahayakan pneumonia aspirasi dengan meningkatkan pH isi lambung. Tidak seperti antagonis reseptor-H2, antasid memberi efek segera. Sayangnya, obat ini meningkatkan volume intragastrik. Aspirasi antasid partikulat (aluminium atau magnesium hidroksida) menyebabkan gangguan fungsi paru yang sebanding dengan gangguan yang terjadi setelah aspirasi asam. Antasid nonpartikulat (sodium sitrat atau sodium bikarbonat) menghasilkan jauh lebih sedikit kerusakan pada alveoli paru jika teraspirasi. Selain itu, antasid nonpartikulat bercampur dengan isi lambung lebih baik daripada solusi partikulat. Waktu pemberian sangat penting, karena antasid nonpartikulat tidak lagi efektif 30-60 menit setelah ingesti. DosisDosis umum untuk orang dewasa untuk solusi 0.3 M sodium sitrat Bicitra (sodium sitrat dan asam sitrat) atau Polycitra (sodium sitrat, potasium sitrat, dan asam sitrat) adalah 15-30 mL per oral, 15-30 menit sebelum induksi. Interaksi ObatAntasid mengubah absorpsi dan eliminasi berbagai obat, karena obat ini mengubah pH lambung dan urin. Kecepatan absorpsi digoksin, simetidin, dan ranitidin diperlambat, sementara eliminasi fenobarbital dipercepat.

METOKLOPRAMIDMekanisme KerjaMetoklopramid bekerja di perifer sebagai kolinomimetik (yaitu, fasilitasi transmisi asetilkolin pada reseptor muskarinik selektif) dan di sentral sebagai antagoni dopamin. Kerjanya sebagai obat prokinetik di saluran gastrointestinal (GI) atas tidak bergantung pada persarafan vagal tetapi dihilangkan oleh obat antikolinergik. Obat ini tidak merangsang sekresi.

Penggunaan KlinisMetoklopramid meningkatkan tonus sfingter esofagus bawah, mempercepat pengosongan lambung, dan mengurangi volume cairan lambung, dengan cara memperkuat efek stimulasi asetilkolin pada otot polos usus. Sifat ini berperan dalam efikasinya untuk terapi pasien dengan gastroparesis diabetik dan GERD, dan juga profilaksis untuk pasien berisiko pneumonia aspirasi. Metoklopramid tidak memengaruhi sekresi asam lambung atau pH cairan lambung. Metoklopramid menghasilkan efek antiemetik dengan blokade reseptor dopamin di zona pemicu kemoreseptor susunan saraf pusat. Manfaatnya sebagai obat antiemetik untuk kemoterapi kanker lebih terbukti dibandingkan sebagai obat tunggal untuk pencegahan mual dan muntah pascaoperasi (PONV). Metoklopramid dapat memberi sedikit analgesia pada keadaan yang disertai dengan spasme otot polos (misal, kolik renal atau biliar, kram uterus), mungkin karena efek kolinergik dan dopaminergik. Obat ini juga dapat menurunkan kebutuhan analgesik pada pasien yang menjalani terminasi kehamilan yang diinduksi oleh prostaglandin. Efek SampingInjeksi intravena cepat dapat menyebabkan kram perut, dan metoklopramid dikontraindikasikan pada pasien dengan obstuksi intestinal total. Obat ini dapat menginduksi krisis hipertensi pada pasien dengan feokromositoma melalui pelepasan katekolamin dari tumor. Sedasi, gelisah, dan gejala ekstrapiramidal dari antagonisme dopamin (misal, akatisia) jarang terjadi dan reversibel. Walaupun demikian, metoklopramid paling aman dihindari pada penderita penyakit Parkinson. Peningkatan sekresi aldosteron dan prolaktin yang diinduksi oleh metoklopramid tidak bermakna pada terapi jangka pendek. Metoklopramid jarang menyebabkan hipotensi dan aritmia. DosisDosis metoklopramid 10-20 mg (0.25 mg/kg) untuk orang dewasa, efektif diberikan per oral, intramuskular, atau intravena (disuntikkan lebih dari 5 menit). Dosis lebih besar (1-2 mg/kg) digunakan untuk mencegah muntah selama kemoterapi. Onset kerjanya jauh lebih cepat setelah pemberian parenteral (3-5 menit) daripada oral (30-60 menit). Dosis metoklopramid harus diturunkan pada pasien dengan gangguan ginjal, karena obat ini diekskresikan melalui urin. Interaksi ObatObat antimuskarinik (misal, atropin, glikopirolat) memblokade efek GI metoklopramid. Metoklopramid mengurangi absorpsi simetidin yang diberikan per oral. Penggunaan bersamaan dengan fenotiazin atau butirofenon (droperidol) meningkatkan kecenderungan efek samping ekstrapiramidal. Metoklopramid mengurangi dosis kebutuhan induksi anestesi dengan tiopental. Obat ini tidak mengembalikan efek infus dopamin dosis-rendah terhadap pembuluh darah ginjal.

INHIBITOR POMPA PROTONMekanisme KerjaGolongan ini, termasuk omeprazol (Prilosec), lansoprazol (Prevacid), rabeprazol (Aciphex), dan pantoprazol (Protonix), mengikat pompa proton sel parietal dalam mukosa lambung dan menghambat sekresi ion hidrogen.

Penggunaan KlinisInhibitor pompa proton diindikasikan untuk terapi ulkus duodenal, GERD, dan sindrom Zollinger-Ellison. Obat ini dapat menyembuhkan ulkus peptik dan GERD erosif lebih cepat daripada bloker reseptor-H2. Penggunaan inhibitor pompa proton untuk profilaksis aspirasi sebelum anestesi umum masih terbatas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bila dibandingkan dengan omeprazol, bloker reseptor-H2 lebih dapat diandalkan untuk meningkatkan pH lambung dan mengurangi volume lambung secara konsisten; lanzoprazol mungkin sama efektifnya dengan bloker reseptor-H2. Dua dosis lansoprazol (malam dan pagi sebelum operasi) lebih efektif daripada profilaksis dosis-tunggal. Data untuk penggunaan obat intravena yang lebih baru (pantoprazol) untuk profilaksis aspirasi masih terbatas.Efek SampingInhibitor pompa proton umumnya dapat ditoleransi dengan baik karena efek sampingnya sedikit. Efek samping yang tak diinginkan terutama GI (mual, nyeri abdomen, konstipasi, dan diare). Mialgia, anafilaksis, angioedema, dan reaksi dermatologi berat, pernah dilaporkan. Terapi jangka-panjang juga disertai hiperplasia sel mirip-enterokromafin gaster. DosisDosis oral yang disarankan untuk orang dewasa adalah omeprazol 20 mg, lansoprazol 15 mg, rabeprazol 20 mg, dan pantoprazol 40 mg. Di Amerika Serikat, hanya pantoprazol yang tersedia untuk pemberian intravena. Pemberian ulang harus dikurangi pada pasien dengan gangguan hepar berat, karena obat-obat ini terutama dieliminasi oleh hepar.

Interaksi ObatOmeprazol mempengaruhi enzim P-450 hepar dan mengurangi klirens diazepam, warfarin, dan fenitoin. Obat lain tidak menunjukkan interaksi obat yang bermakna.

ANTAGONIS RESEPTOR 5-HT3Fisiologi SerotoninSerotonin, 5-hidroksitriptamin (5-HT), ditemukan dalam jumlah banyak pada trombosit dan saluran cerna (sel enterkromafin dan pleksus mienterik). Selain itu, serotonin juga merupakan neurotransmiter penting di berbagai area sistem saraf pusat, antara lain retina, sistem limbik, hipotalamus, serebelum, dan medula spinalis. Serotonin dibentuk melalui hidroksilasi dan dekarboksilasi triptofan. Monoamin oksidase membuat serotonin menjadi tidak aktif menjadi asam 5-hidroksiindoleasetat (5-HIAA). Fisiologi serotonin sangat kompleks karena ada setidaknya tujuh tipe reseptor, sebagian besar dengan beberapa subtipe. Reseptor 5-HT3 memediasi muntah dan ditemukan di saluran cerna dan otak (area postrema). Reseptor 5-HT2A berperan untuk kontraksi otot polos dan agregasi trombosit, reseptor 5-HT4 pada saluran cerna memediasi sekresi dan persitaltik, dan reseptor 5-HT6 dan 5-HT7 terutama terletak di sistem limbik dan berperan dalam depresi. Banyak obat antidepresan mengikat reseptor 5-HT6. Semua reseptor, kecuali reseptor 5-HT3, berpasangan dengan protein G dan memengaruhi salah satu dari adenilil siklase atau fosfolipase C; reseptor 5-HT3 adalah saluran ion.

Gambar 15-2

Struktur ondansetron mirip dengan serotonn. A. KARDIOVASKULARSelain di otot jantung dan rangka, serotonin adalah vasokonstriktor arteriol dan vena yang kuat. Efek vasodilatasinya di jantung sangat bergantung pada endotel. Ketika endotel miokardium rusak setelah cedera, serotonin menyebabkan vasokonstriksi. Pembuluh darah paru dan ginjal sangat sensitif terhadap efek vasokonstriksi arteri serotonin. Setelah pelepasan serotonin, kontraktilitas dan denyut jantung dapat meningkat secara sesaat; biasanya diikuti refleks bradikardi. Vasodilatasi otot rangka pada akhirnya dapat menyebabkan hipotensi. B. RESPIRASIKontraksi otot polos meningkatkan resistensi jalan napas. Bronkokonstriksi adalah tanda yang menonjol dari sindroma karsinoid (Bab 36). C. GASTROINTESTINALKontraksi otot polos secara direk (melalui reseptor 5-HT2) dan pelepasan asetilkolin yang diinduksi oleh serotonin di pleksus mienterik (melalui reseptor 5-HT3) sangat meningkatkan peristalsis. Sekresi tidak dipengaruhi. D. HEMATOLOGIAktivasi reseptor 5-HT2 menyebabkan agregasi trombosit. Mekanisme KerjaOndansetron (Zofran), granisetron (Kytril), dan dolasetron (Anzemet) memblok reseptor 5-HT3 serotonin secara selektif (Gambar 15-2). Reseptor 5-HT3 yang terletak di perifer (aferen vagal abdomen) dan sentral (chemoreceptor trigger zone daerah postrema dan nukleus traktus solitarius), berperan penting untuk terjadinya refleks muntah. Obat-obat ini tidak memengaruhi motilitas saluran cerna atau tonus sfingter esofagus bawah, tidak seperti metoklopramid. Penggunaan KlinisSemua obat ini terbukti sebagai antiemetik yang efektif untuk masa pasca operasi. Dalam beberapa penelitian, antagonis reseptor 5-HT3, sebagai obat tunggal, adalah profilaksi antiemetik yang lebih baik dibandingkan dengan metoklopramid atau droperidol tunggal. Penelitian lain menemukan bahwa metoklopramid bersama dengan droperidol dapat menjadi profilaksis yang sebanding dengan ondansetron tunggal. Beberapa klinisi percaya bahwa karena harganya yang mahal, antagonis reseptor 5-HT3 tidak disarankan untuk digunakan sebagai profilaksis rutin tetapi digunakan sebagai cadangan terapi simtomatik mual atau muntah. Penelitian-penelitian tersebut tidak menemukan perbedaan hasil ketika antiemetik diberikan untuk terapi simtomatik maupun profilaksis. Namun, profilaksis sebaiknya diberikan untuk pasien dengan riwayat mual pasca operasi, yang akan menjalani prosedur berisiko tinggi terjadi mual (misal, laparoskopi), yang perlu mencegah mual dan muntah (misal, bedah saraf), dan yang sudah mengalami mual dan muntah, untuk mencegah serangan lebih lanjut. Efek SampingAntagonis reseptor 5-HT3 sebenarnya tidak memiliki efek samping serius, bahakan dalam jumlah berkali-kali lipat dari dosis yang dianjurkan. Golongan ini tidak menyebabkan sedasi, tanda ekstrapiramidal, atau depresi napas. Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah sakit kepala. Ketiga obat ini dapat memperpanjang interval QT pada elektrokardiogram. Efek ini lebih sering terjadi dengan dolasetron, walaupun tidak disertai dengan gangguan aritmia lainnya. Walaupun demikian, obat-obat ini, khususnya dolasetron, harus diberikan dengan hati-hati pada pasien yang menggunakan obat antiaritmia atau yang memiliki interval QT memanjang. DosisDosis ondansetron intravena untuk mencegah mual dan muntah perioperatif pada orang dewasa adalah 4 mg, baik sebelum induksi anestesi atau pada akhir operasi. Mual dan muntah pasca operasi juga dapat diterapi dengan dosis 4 mg, diulang sesuai kebutuhan tiap 4-8 jam. Ondansetron mengalami metabilisme ekstensif dalam hepar melalui hidroksilasi dan konjugasi melalui enzim sitokrom P-450. Gagal hati mengganggu klirens beberapa kali lipat, dan dosisnya perlu dikurangi. Dosis intravena yang dianjurkan adalah 12.5 mg untuk dolasetron dan 1 mg untuk granisetron. Semua obat ini tersedia dalam bentuk oral untuk profilaksis PONV. Dosis oral adalah sama dengan preparat parenteral untuk ondansetron dan granisetron, sedangkan 100mg untuk dolasetron. Interaksi ObatTidak ada interasi obat bermakna pernah dilaporkan dengan antagonis reseptor 5-HT3.

KETOROLAKMekanisme KerjaKetorolak adalah obat antiinflamasi non-steroid (non-steroidal antiinflammatory drug/NSAID) parenteral yang menghasilkan analgesia dengan menghambat sintesis prostaglandin. Penggunaan KlinisKetorolak diindikasikan untuk penatalaksanaan nyeri jangka-pendek (kurang dari 5 hari), dan sangat bermanfaat dalam periode segera pasca operasi. Dosis standar ketorolak menghasilkan analgesia setara dengan 6-12 mg morfin yang diberikan dalam rute yang sama. Waktu onsetnya juga hampir sama dengan morfin, tetapi ketorolak memiliki durasi kerja yang lebih lama (6-8 jam). Ketorolak, obat yang bekerja di perifer, telah menjadi pilihan lain yang popular dari opioid untuk analgesia pasca operasi karena efek sampingnya terhadap sistem saraf pusat minimal. Secara khusus, ketorolak tidak menyebabkan depresi napas, sedasi, atau mual dan muntah. Kenyataannya, ketorolak tidak melewati sawar darah-otak sama sekali. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa NSAID oral dan parenteral memiliki efek opioid sparing. Obat ini paling berguna bagi pasien yang berisiko mengalami depresi napas pasca operasi atau muntah-muntah. Efek analgesik ketorolak lebih jelas setelah tindakan ortopedi dan ginekologi daripada setelah bedah intraabdomen. Efek SampingSeperti NSAID lainnya, ketorolak menghambat agregasi trombosit dan memperpanjang waktu perdarahan. Oleh karena itu, ketorolak dan NSAID lainnya harus hati-hati jika diberikan untuk pasien berisiko terjadi perdarahan pasca operasi. Pemberian jangka panjang dapat menyebabkan toksisitas ginjal (misal, nekrosis papilari) atau ulserasi saluran cerna dengan perdarahan dan perforasi. Obat ini jangan diberikan kepada pasien dengan gagal ginjal karena eliminasinya bergantung pada ginjal. Ketorolak dikontraindikasikan bagi pasien yang alergi aspirin atau NSAID. Pasien dengan asma memiliki insidens sensitivitas terhadap aspirin lebih besar (sekitar 10%), khususnya jika disertai dengan riwayat polip nasal (sekitar 20%). DosisKetorolak diberikan secara loading dose intramuskular 60 mg maupun intravena 30 mg; dianjurkan dosis pemeliharaan 15-30 mg setiap 6 jam. Pasien usia lanjut mengeliminasi ketorolak lebih lambat dan perlu dikurangi dosisnya. Interaksi ObatAspirin mengurangi ikatan protein ketorolak, meningkatkan jumlah obat tidak terikat yang aktif. Ketorolak tidak memengaruhi konsentrasi alveolar minimum (minimum alveolar concentration) obat anestesi inhalasi, dan pemberiannya tidak merubah hemodinamik pasien yang teranestesi. Obat ini mengurangi kebutuhan analgesik opioid pasca operatif. NSAID Parenteral LainnyaNSAID yang diberikan secara parenteral, antara lain diklofenak, ketoprofen, dan parecoxib. Bila ketorolak dan diklofenak adalah inhibitor siklooksigenase (COX) nonspesifik, maka parecoxib adalah inhibitor COX-2 selektif (Bab 18). Inhibitor COX-2 memiliki toksisitas lebih rendah, khususnya efek samping GI yang lebih sedikit, dan berefek kecil terhadap agregasi trombosit. Diklofenak diberikan dengan dosis 1 mg/kg secara intravena, sementara dosis parecoxib adalah 20-40 mg secara intravena pada orang dewasa.

KLONIDINMekanisme KerjaKlonidin (Catapres dan Duraclon) adalah derivat imidazolin yang dominan aktivitas agonis 2-adrenergik (Bab 12). Obat ini sangat larut lemak dan mudah melewati sawar darah-otak dan plasenta. Penelitian menunjukkan bahwa klonidin terikat paling banyak di medula venterolateral rostral batang otak (jalur utama terakhir outflow simpatis) tempat terjadinya aktivasi neuron inhibitor. Efek akhirnya adalah untuk mengurangi aktivitas simpatis, meningkatkan tonus parasimpatis, dan mengurangi katekolamin yang bersirkulasi. Selain itu, juga terbukti bahwa sebagian besar kerja antihipertensi klonidin terjadi melalui ikatan pada reseptor nonadrenergik (imidazolin). Sebaliknya, efek analgesiknya, khususnya di medula spinalis, dimediasi seluruhnya melalui reseptor adrenergik-2 pre-sinaps dan mungkin juga pasca-sinaps yang memblokade transmisi nyeri.Penggunaan KlinisKlonidin umumnya digunakan sebagai obat antihipertensi (Bab 12 dan 20), namun dalam anestesi, obat ini digunakan sebagai adjuvan infus epidural untuk penatalaksanaan nyeri (Bab 18). Klonidin paling bermanfaat dalam penanganan pasien dengan nyeri neuropati yang resisten terhadap infus epidural opioid. Ketika diberikan secara epidural, efek analgesik klonidin adalah segmental, terlokalisasi di level tempat disuntik atau diinfus. Ketika digunakan untuk penatalaksanaan hipertensi akut atau kronis, penurunan tonus simpatisnya menurunkan resistensi vaskular sistemik, denyut jantung, dan tekanan darah. Penggunaannya di luar label / penelitian antara lain sebagai adjuvan premedikasi, mengendalikan sindrom withdrawal (nikotin, opioid, alkohol, dan gejala vasomotor menopause), dan terapi glaukoma serta berbagai gangguan psikiatri. Efek SampingEfek samping yang sering terjadi adalah sedasi, pusing, bradikardi, dan mulut kering. Yang jarang terjadi adalah bradikardi, hipotensi, mual, dan diare. Penghentian klonidin secara tiba-tiba setelah pemberian jangka panjang (> 1 bulan) dapat menimbulkan fenomena withdrawal yang ditandai oleh hipertensi rebound, agitasi, dan simpatis yang terlalu aktif. DosisKlonidin epidural biasanya dimulai dari 30 mcg/jam dicampur dengan opioid dan/atau anestesi lokal (Bab 18). Klonidin oral langsung diabsorbsi, memiliki onset 30-60 menit, dan durasi 6-12 jam. Pada terapi hipertensi akut, 0.1 mg dapat diberikan per oral setiap jam sampai tekanan darah terkontrol, atau sampai maksimum 0.6 mg; dosis maintenance dengan 0.1-0.3 mg dua kali sehari. Preparat transdermal klonidin dapat dapat juga digunakan sebagai terapi pemeliharaan. Tempelan tersedia dengan dosis 0.1, 0.2, dan 0.3 mg/hari yang diganti setiap 7 hari. Klonidin dimetabolisme oleh hepar dan diekskresi oleh ginjal. Dosis harus dikurangi untuk pasien dengan insufisiensi ginjal. Interaksi ObatKlonidin menambah dan memperpajang blokade sensorik dan motorik anestesi lokal epidural. Efek aditif dengan obat hipnotik, anestesi umum, dan sedatif dapat menambah sedasi, hipotensi, dan bradikardi. Obat ini harus digunakan dengan hati-hati, atau tidak digunakan sama sekali, pada pasien dengan -adrenergik bloker dan pasien dengan gangguan sistem konduksi jantung bermakna. Selain itu, klonidin dapat menutupi gejala hipoglikemi pasien diabetik (Bab 36).

DEKSMEDETOMIDINMekanisme KerjaDeksmedetomidin (Precedex) adalah 2-agonis selektif parenteral bersifat sedatif (Bab 12). Obat ini lebih selektif untuk reseptor-2 dan juga menstimulasi reseptor 1-adrenergik. Penggunaan KlinisDeksmedetomidin menyebabkan ansiolisis sedasi bergantung-pada-dosis dan sedikit analgesia serta menumpulkan respons simpatis terhadap pembedahan dan stres lainnya. Yang paling penting, obat ini memiliki efek opioid-sparring dan tidak menyebabkan depresi pusat napas secara bermakna. Obat ini digunakan untuk jangka pendek (