aik print

28
Pembaharuan Islam Pembaharuan atau Tajdid dalam bahasa keagamaan merupakan aktifitas dan kegiatan yang sangat alami, sesuatu yang sering dan mesti terjadi dalam kehidupan manusia, sebab ke manusia mempunyai permulaan dan penghabisan; Sesuatu yang telah berkembang akan mengalami perubahan, dan perubahan tersebut memerlukan upaya perbaikan untuk memperol kinerja dan efektifitas bagi suatu ajaran itu sendiri dalam menyahuti perkembangan ja Tajdid berasal dari akar kata Arab “JADADA” yang dari kata tersebut terdapat kata “JA yang berarti baru. Dalam beberapa teks, kata-kata jadada mempunyai tiga pengertian ya berbeda tetapi mempunyai makna yang hampir sama, yaitu : · Jadid (Baru) artinya menjadikan sesuati itu baru. · Al Qath’u (Putus) artinya menjadikan sesuatu itu tidak lagi mempunyai hubungan. · Roj’i (Kembali) artinya menjadikan sesuatu kembali pada asal dan orisinalitasnya. Dalam beberapa kesempatan, Al Qur’an menggunakan terminologi Jadid/Tajdid untuk memberikan justifikasi atas kekuasaan Allah dan ketidak mampuan manusia atau bahkan a tersebut dipakai untuk menguji ulang kekuasaan Allah yang untuk sementara diper-tanya oleh hamba-Nya dalam rangka memperkuat keimanannya, misalnya pada surat Al Isro 51, A Saba’ 7, As- Sajdah 10 dan Qof 15. Oleh sebab itu Tajdid diperlukan dalam rangka meningkatkan keimanan dan memprbaharui keberagamaan itu sendiri. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tajdid (pembaharuan) adalah proses untuk mengembalikan dan menjadikan sesuatu itu kembali kepada asalnya dalam rangka aktualis ajaran itu sendiri. Dari pengertian tersebut dapat ditarik satu kesimpulan bahwa inti pembaharuan itu ada 3 (tiga), yaitu : · Eksistensi awal artinya terdapat ajaran yang dijadikan kerangka acuan yang orisinal kebenarannya bersifat absolut.

Upload: ragil-sludgemetal-ftd

Post on 05-Oct-2015

213 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

aik

TRANSCRIPT

Pembaharuan Islam

Pembaharuan atau Tajdid dalam bahasa keagamaan merupakan aktifitas dan kegiatan yang

sangat alami, sesuatu yang sering dan mesti terjadi dalam kehidupan manusia, sebab kehidupan

manusia mempunyai permulaan dan penghabisan; Sesuatu yang telah berkembang akan

mengalami perubahan, dan perubahan tersebut memerlukan upaya perbaikan untuk memperoleh

kinerja dan efektifitas bagi suatu ajaran itu sendiri dalam menyahuti perkembangan jaman.

Tajdid berasal dari akar kata Arab JADADA yang dari kata tersebut terdapat kata JADID

yang berarti baru. Dalam beberapa teks, kata-kata jadada mempunyai tiga pengertian yang

berbeda tetapi mempunyai makna yang hampir sama, yaitu :

Jadid (Baru) artinya menjadikan sesuati itu baru.

Al Qathu (Putus) artinya menjadikan sesuatu itu tidak lagi mempunyai hubungan.

Roji (Kembali) artinya menjadikan sesuatu kembali pada asal dan orisinalitasnya.

Dalam beberapa kesempatan, Al Quran menggunakan terminologi Jadid/Tajdid untuk

memberikan justifikasi atas kekuasaan Allah dan ketidak mampuan manusia atau bahkan ayat

tersebut dipakai untuk menguji ulang kekuasaan Allah yang untuk sementara diper-tanyakan

oleh hamba-Nya dalam rangka memperkuat keimanannya, misalnya pada surat Al Isro 51, As-

Saba 7, As- Sajdah 10 dan Qof 15. Oleh sebab itu Tajdid diperlukan dalam rangka

meningkatkan keimanan dan memprbaharui keberagamaan itu sendiri.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tajdid (pembaharuan) adalah proses untuk

mengembalikan dan menjadikan sesuatu itu kembali kepada asalnya dalam rangka aktualisasi

ajaran itu sendiri. Dari pengertian tersebut dapat ditarik satu kesimpulan bahwa inti dari

pembaharuan itu ada 3 (tiga), yaitu :

Eksistensi awal artinya terdapat ajaran yang dijadikan kerangka acuan yang orisinalitas dan

kebenarannya bersifat absolut.

Terdapat penyimpangan dan kerusakan atau ketidakmampuan melakukan aktualisasi ajaran itu

sendiri, sehingga kehilangan daya tariknya.

Terdapat usaha untuk melakukan aktualisasi (menghidupkan) kembali konsep tersebut.

Disamping terminologi Tajdid (Pembaharuan), juga kita temukan teminologi lain yang

sebenarnya mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda. Kata-kata tersebut digunakan untuk

mengungkapkan proses reformulasi, pembentukan dan aplikasi ulang Islam sebagai sistem

kehidupan dan sumber nilai kehidupan manusia. Reformasi atau pembaharuan tersebut ber-

kembangan karena akumulasi sejarah kehidupan umat yang senantiasa dalam ketergantungan

struktural dan politik. Ketergantungan Struktural dan Politik pada jaman pertengahan melahirkan

sikap hidup yang pesimis, tidak progresif dan menggantungkan nasib hidupnya kepada kekuatan

selain Allah; sikap hidup yang didominasi oleh Takhayyul, Bidah dan Khurofat menjadi sesuatu

yang tidak terhindarkan.

Sikap hidup yang kurang progresif tersebut nampaknya memberi dorongan terbesar bagi tum-

buhnya budaya Taklid, menerima konsep dan ajaran tampa melakukan proses pengkajian dan

analisa terlebih dahulu. Sikap hidup seperti itu rentan terhadap berkembangnya penyakit sosial-

psykis lainnya. Maka dalam kurun waktu yang sangat lama, umat Islam tidak mampu

melepaskan diri dari dominasi bangsa Barat sampai ketika muncul pemikir-pemikir Islam yang

dikenal sebagai Reformis seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Bin Abd. Wahab (Wahabi),

Muhammad Abduh, M. Rasyid Ridho, Jamaluddin Al Afghoni dll. Gerakan tersebut tenyata

sangat efektif untuk menumbuhkan kesadaran beragama sekaligus melahirkan gerakan baru yang

disebut Gerakan Kebangkitan Islam.

Gerakan Pembaharuan Islam

Kemunduran Islam sebagaimana yang telah banyak digambarkan oleh para pemikir Islam

membawa dampak yang sangat general bagi perkembangan sosial, ekonomi, politik dan

intelektual umat Islam. Kemunduran umat Islam juga tidak dapat ditimpakan kepada satu

kelompok atau orang tertentu sebagai yang bertanggung jawab atau setidaknya menjadi

kontributor utama dalam proses kemunduran tersebut. Kemunduran Islam adalah fenomena yang

general untuk menggambarkan masa ketidak mampuan umat islam berperan dalam sisi

keduniaannya. Secara umum sistuasi umum umat Islam pada saat mengalami kemunduran adalah

sebagai berikut :

A. Sosial Politik

1. Wilayah kekuasaan Islam banyak yang lepas dan dikuasai oleh negara-negara Eropa diantara

mereka ada yang merdeka dan kemudian memukul balik kekuasaan Islam.

2. Wilayah kekuasaan Islam banyak yang lepas dan dikuasai oleh negara-negara Eropa diantara

mereka ada yang merdeka dan kemudian memukul balik kekuasaan Islam.

3. Struktur sosial politik umat Islam menjadi lemah, sehingga umat Islam cenderung mengalami

dependente (ketergantungan dengan dunia Barat).

4. Ketergantungan umat Islam kepada mereka menyebabkan lahirnya ketimpangan struktural

yang menempatkan umat Islam menjadi budak/buruh atau kaum marginal/kaum pinggiran

lainnya.

B. Ilmu Pengetahuan dan Budaya tradisi keilmuan

1. Umat Islam tidak lagi memiliki ilmu yang dapat dibanggakan karena kehebatannya. Lebih dari

itu umat Islam hanya mengikuti penemuan ilmiyah yang dilakukan oleh orang Barat.

2. Memudarnya kemegahan kebudayaan Islam yang ditandai dengan menurunnya tradisi berfikir

dan kebekuan berfikir mereka sedang terbuai impian kemegahan umat Islam masa lalu,

kenyataannya mereka dalam keadaan miskin, terjajah oleh bangsa Barat dan terhina.

3. Berkembangnya budaya imitasi terhadap budaya Barat sebagai wujud ketidakber-dayaan

struktural.

4. Munculnya slogan pintu Ijtihad telah tertutup. Slogan tersebut muncul dikarenakan tiga hal,

pertama untuk menggambarkan kelemahan berfikir umat Islam; kedua dimunculkan agar umat

Islam tidak melakukan ijtihad karena kelemahan ilmu yang dimiliki atau legali-asi untuk

kepentingan politik tertentu dan ketiga slogan tersebut sengaja dilontarkan orang Barat untuk

menghambat proses berfikir umat Islam.

C. Pengamalan Agama

1. Berkembangnya budaya Taklid (mengikuti susuatu tampa analisa), bidah (meng-adakan

tradisi yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi) dan khurofat (mempercayai hal-hal yang tidak

sesuai dengan visi keimanan).

2. Al Quran Hadits tidak lagi menjadi pedoman hidup dan digantikan oleh fatwa ulama atau

sufi, sehingga kuburan para ulama lebih ramai ketimbang masjid.

3. Berkembangnya mistik dan kebatinan dilingkungan umat Islam yang banyak di-pengaruhi

oleh Animisme dan Hinduisme yang kemudian melahirkan agama yang Sinkritisme.

Melihat kenyataan tersebut, maka pemikir-pemikir Islam mencoba untuk meng-hentikan

kebiasaan buruk dan menghidupkan kembali tradisi zaman Nabi dengan menempatkan Al

Quran dan Hadits sebagai pedoman Hidup. Orang-orang tersebut misalnya Ibnu Taimiyah

dengan gagasan kembali pada prinsip-prinsip Muhyi Atsaris Salaf/menghidupkan kembali

tradisi orang terdahulu) dan juga Muhammad bin Abdul Wahab dengan gerakan Mu-wahiddin

yaitu gerakan kembali kepada Keesaan Allah. Tetapi orang-orang yang tidak suka dengan

gerakan Muwahiddin menyebut gerakan tersebut dengan Gerakan Wahabi sebagai salah satu

bentuk pelecehan terhadap Muhammad bin Abdul Wahab.

Gerakan Pembaharuan atau Tajdid adalah proses membangkitkan kembali semangat dan ruh

Islam dalam kehidupan umat Islam, karena semangat dan ruh Islam telah di-gantikan oleh

kepercayaan lain. Gerakan pembaharuan juga dapat diartikan sebagai Proses aktualisasi pema-

haman dan pemikiran umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri agar meningkat kualitas

pengamalan dan pemahaman umat terhadap ajarannya. Dengan demikian tujuan pembaharuan

umat Islam adalah membangkitkan semangat dan ruh keislaman dalam diri umat Islam dan

merubah cara pandang/aktualisasi umat dalam memahami ajaran agamanya.

Dengan demikian, proses pembaharuan Islam hanya menyangkut prilaku umat Islam dalam

pengamalan dan pemahamannya terhadap ajaran agamanya, tidak menyangkut subtansi dan juga

tidak termasuk mensiasati ajaran Islam agar dapat mengikuti per-kembangan zaman, sebab Islam

sendiri sangat prospektif dan sesuai dengan perkembangan zaman.

Pembaharuan Islam di Indonesia

Proses Pembaharuan Islam Indonesia sudah berkembang sejak lama, seiring dengan proses

pembaharuan yang dilakukan oleh para mujaddid. Secara umum proses pembaharuan Islam

Indonesia melalui beberapa tahap :

1. Abad ke 19 proses pembaharuan Islam dilakukan oleh ulama Sumatra Barat dengan gerakan

Paderi pimpinan Imam Bonjol. Gerakan tersebut pada awalnya adalah gerakan pemurnian ajaran

Islam dari tradisi yang dipegang oleh tokoh adat (Purifikasi Islam) tetapi berkembang menjadi

perjuangan nasional karena campur tangan Belanda.

2. Abad ke 20 proses pembaharuan tersebut dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan dengan gerakan

Dakwah Muhammadiyah ia berusaha membersihkan Islam dari noda TBC (Tahayyul. Bidah

dan Khurofat).

3. Pertengahan abad 20 (1970 an) yang dipelopori oleh intelektual muda umat islam Indonesia

yaitu Dr. Nurcholis Madjid yang berusaha membangun citra intelektual Islam dan aktualisasi

ajaran Islam artinya memberikan pemikiran modernis agar nilai Islam tetap dapat dilaksanakan

dalam perkembangan dunia yang mutakhir sekalipun.

Secara umum, proses purifikasi ajaran umat Islam telah terjadi beberapa kali di Indonesia dengan

menggunakan thema dan format yang berbeda. Perbedaan gerakan pembaharuan tersebut

dipengaruhi oleh situasi dan letak geografi umat Islam tersebut. Menurut hemat saya, dalam per-

jalanan gerakan pembaharuan Islam Indonesia, telah terjadi tiga kali proses pembaharuan, yaitu :

1. Pembaharuan pada abad XIX oleh kaum Padri Minangkabau, yang dipelopori oleh Imam

Bonjol (Kelompok Harimau Nan Salapan). Pembaharuan Padri dilakukan oleh umat Islam

Sumatra, ketika umat Islam Sumatra terbelenggu oleh adat dan pengamalan agama yang banyak

dipengaruhi oleh Mistik. Bentuk pengamalan agama seperti itu banyak didukung dan dilakukan

oleh kaum adat. Pertentangan kaun Adat dengan kaum Padri tersebut menyebabkan kaum adat

ter-pinggirkan, dan oleh sebab itu ia minta bantuan kepada Belanda, maka berubahlah

pergerakan pembaharuan Islam menjadi gerakan perlawanan rakyat (santri) terhadap kolonial

Belanda.

2. Pembaharuan Islam pada awal abad XX yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan dengan ge-

rakan anti TBC. Gerakan tersebut merupakan gerakan purifikasi ajaran agama yang selama

berabad-abad, ajaran Islam telah berbaur dengan Mistik Hinduisme, Budhisme dan Animisme,

sehingga ajaran Islam telah kehilangan daya dobrak dan ruhnya.

3. Pembaharuan Islam Kontemporer pada tahun 1960-an. Pembaharuan tersebut lebih me-

rupakan gerakan modernisasi pemikiran dan pemahaman ajaran keislaman yang dilakukan oleh

generasi baru umat Islam; sebagai produk lembaga pendidikan umat Islam sendiri.

Saya kira untuk menuntaskan pembahasan kita mengenai pembaharuan atau tepatnya penataan

pemikiran Islam, perlu mengkaji gerak dan langkah tokoh-tokoh pembaharu pemikiran Islam

tersebut, misalnya Imam Bonjol, KH. Ahmad Dahlan, Dr. Nurcholis Madjid, Munawir Sadzali,

MA dan lain-lain. Sungguhpun demikian dengan mengingat keterbatasan area pembahasan,

maka hanya akan disajikan sedikit mengenai pemikiran Dr. Nurcholis Madjid.

Nurcholis Madjid lahir di Jombang Jawa Timur pada 17 Maret 1939. Nurcholis Madjid yang

kemudian lebih dikenal dengan panggilan Nurcholis Madjid memulai pendidikan dibawah

asuhan KH. Madjid (ayahnya sendiri) dan kemudian melanjutkan ke Pondok Modern Gontor

Ponorogo. Setelah menamatkan pendidikannya dari Gontor ia kemudian melanjutkan pendi-

dikannya di Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sehingga memperoleh gelar Sarjana

pada tahun 1968.

Nurcholis Madjid dikenal sebagai tokoh organisasi, yang kapasitasnya dan pemi-kirannya

menjadi kerangka kajian dan perkaderan, terutama para aktifis organinsasi Ekstra Kampus HMI.

Pada tahun 1974, ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas Chicago dan bertemu dengan

pemikir Islam Kontemporer yang sangat disegani yaitu Dr. Fazlur Rahman, yang merupakan

Pakar study keislaman dan pada tahun 1984 ia berhasil menyelesaikan program Doktornya,

dengan disertasi Ibnu Taimiyah on Kalam and Falsafah; Problem of reason and Revelation in

Islam.

Pada tahun 1966, Nurcholis Madjid telah melontarkan sebuah wacana pemikiran baru dalam

Islam. Pada saat itu ia melontarkan gagasan perlunya Modernisasi dalam pe-mikiran Islam

dengan format Modernisasi adalah Rasionalisasi dan bukan Westernisasi. Lontaran pemikiran

tersebut dengan cepat mendapat tanggapan luas dari pakar keislam-an dan dunia perguruan

Tinggi sekaligus memperbesar volume perlunya modernisasi dalam tataran pemikiran mahasiswa

Islam. Muhammad Kamal Hasan (pakar keislaman Universitas Malaya) mengatakan bahwa apa

yang dikatakan oleh Nurcholis Madjid adalah cerminan visi seorang Muslim idealis dan

memperkuat citra diri sebagai salah seorang yang mewarisi kebesaran seorang Moh. Natsir,

oleh sebab itu ia kerap kali disebut sebagai Natsiris Muda. Tidaklah berlebih an jika ia

dikatakan sebagai Natsiris Muda atau seorang Muslim Idealis, karena dalam manuskrip tersebut

ia mengatakan :

1. Westernisasi akan membawa manusia pada kehidupan yang sekuler

2. Sekelurisme akan membawa manusia pada sikap hidup atheis dan atheis itu sendiri adalah

produk paling utama dari Sekulerisme.

3. Sekulerisme adalah sumber dari Immoralisme.

Namun citra diri sebagai Natsiris Muda dan Muslim idealis menjadi tertutup, ketika ia

melontarkan pemikiran tentang Keharusan Pembaharuan pemikiran Islam dan Masalah in-

tegrasi Umat pada tanggal 3 Januari 1970 di Islamic Research Centre Jakarta. Muhammad

Kamal Hasan yang menulis Disertasi Doktor dengan mengambil thesis pembaharuan Islam

Indonesia mengatakan bahwa Nurcholis Madjid telah berubah menjadi seorang Modernis

Sekuler atau dalam bahasa lain ia mengatakan Nurcholis before Nurcholis.

Ada hal-hal yang mengganjal dan barangkali membuat jengkel para pemikir umat Islam

Indonesia, terutama Prof. Dr. HM. Rasyidi, yang menjadi salah satu tokoh Islam paling respek

dan kritis terhadap pemikiran pembaharuan Nurcholis Madjid. Barangkali sangat mafhum dan

dimengerti kalau banyak umat Islam yang menyebut Nurcholis Madjid sebagai Modernis Sekuler

atau bahkan sebagai agent Barat karena pemikirannya yang sangat berbeda dengan apa yang

dilontarkan sebelum tahun 1968. Dalam makalah tentang Keharusan pembaharuan pemikiran

Islam dan masalah Integrasi Umat secara eksplisit, Nurcholis Madjid mengatakan :

1. Perlunya liberalisasi pandangan dan pemikiran terhadap ajaran Islam

2. Perlunya kebebasan Intelektual (intelektual Freedom), gagasan kemajuan (Ide of Progres) dan

sikap terbuka.

3. Perlunya gagasan (ide) sekulerisasi dalam ajaran Islam

4. Perlunya penegakan dan pemihakan terhadap kualitas dan mengeliminir sikap me-nonjolkan

kuantitas, yang terbukti tidak efektif terhadap partisipasi umat kepada pemba-ngunan bangsa.

5. Perlunya mengambil sikap Islam Yes, Partai Islam, NO.

Barangkali statemen yang paling dominan membuat kontroversi terutama kaum tradi-sional,

ulama dan pemikir keislaman adalah penggunaan kata-kata Sekulerisasi yang tidak lazim

dipakai untuk menyebut gerakan pemikiran umat Islam. Reaksi yang paling keras muncul dari

Prof. Dr. HM. Rasyidi, yang menyatakan bahwa ia telah memahami bahasa Inggris (untuk

menyatakan ketidaksepakatannya dengan konsep sekulerisasi Nurcholis Madjid) sejak 40 tahun

yang lalu dan selama itu pula ia tidak pernah menggunakan istilah Sekulerisasi sebagai istilah

sosial yang dipakai dalam kerangka pemikiran pembaharuan Islam.

Menyimak perkembangan polemik yang semakin tajam dan mengarah kepada sikap kristalisi

pendapat menjadi kelompok-kelompok, maka Nurcholis Madjid tampil kembali kepentas

pemikiran umat Islam dengan menawarkan beberapa pemecahan, yang intinya menjelaskan

ulang konsep Sekulerisasi yang dikembangkan sebelumnya. Misi pen-jelasan tersebut dikemas

dalam thesis Beberapa catatan sekitar masalah pembaharuan dalam Islam. Namun penjelasan

Nurcholis Madjid, nampaknya tidak banyak memberi pengaruh pada perubahan Opini

masyarakat yang sudah terbentuk oleh kontroversi tersebut. Oleh sebab itu, ia tampil untuk kali

kedua pada pentas pemikiran umat dengan mengatakan Sekali lagi tentang Sekulerisasi.

Setelah itu ia tidak lagi tampil dengan gagasan-gagasan pembaharuannya ke pentas pe-mikiran

Nasional, karena pada tahun 1974 ia berangkat ke Amerika untuk melanjutkan study doktoralnya

di Universitas of Chicago, dan setelah ia kembali ke Indonesia pada tahun 1985, Nurcholis

Madjid membuat suatu penjelasan yang sangat meyakinkan, dengan satu tulisan yang merupakan

catatan kaki pada Buku mengenang atau peringatan 70 Th. Prof. Dr. HM Rasyidi. Pada catatan

itu, Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa tidak tepat menggunakan istilah Sekulerisasi sebagai

instrument untu menyebut perubahan sistem sosio-kultural Islam. Uraian itu ia beri nama dengan

Sekulerisasi ditinjau kembali.

Pada awal tahun 1990-an Nurcholis Madjid mengejutkan komunitas umat Islam dengan

penjelasannya yang sangat kontroversial. Statemen-statemen tersebut sebenarnya hanya sebuah

kajian terminologis dan hanya dilakukan ketika ia mengambil pemikiran atau pendapat dari

mazhab theologis umat Islam, misalnya :

1. Melakukan penafsiran kalimat La Illaha Illa Allah yang diartikan dengan Tiada Tuhan

selain Tuhan, dengan asumsi bahwa Tuhan yang kedua mengandung kekhususan yaitu Tuhan

Allah (terdapat al marifat).

2. Mengatakan bahwa makhluk Allah yang paling bersih dan murni keimanannya adalah Syetan,

karena ia tidak mau menyembah kepada selain Allah (kasus sujud kepada Adam).

3. Penegakan sikap bahwa semua manusia pada awalnya mempunyai perasaan agama yang sama,

yang dia sebut dengan Agama Hanief atau agama yang lurus. Oleh sebab itu retorika dakwah

kita adalah mengajak umat manusia pada Kalimat yang sama.

Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan Islam

Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan

ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah

satunya

adalah

menggarisi

lantai

Masjid

Besar

dengan

penggaris miring 241/2 derajat ke Utara. Menurut ilmu hisab

yang ia pelajari, arah Kiblat tidak lurus ke Barat seperti arah

masjid di Jawa pada umumnya, tapi miring sedikit 241/2

derajat. Perbuatan ini ditentang olen masyarakat, bahkan

Kanjeng Kiai Penghulu memerintahkan untuk menghapusnya.

Lalu ia membangun Langgar sendiri di miringkan arah Utara

241/2 derajat, lagi-lagi Kanjeng Kiai Penghulu turun tangan

dengan memerintahkan untuk merobohkannya. K.H. Ahmad

Dahlan hampir putus asa karena peristiwa-peristiwa tersebut

sehingga ia ingin meninggalkan kota kelahirannya. Tetapi

saudaranya menghalangi maksudnya dengan membangunkan

langgar yang lain dengan jaminan bahwa ia dapat mengajarkan

pengetahuan agama sesuai dengan apa yang diyakininya.

Peristiwa demi peristiwa tersebut rupanya menjadi cikal-bakal

pergulatan antara pikiran-pikiran baru yang dipelopori oleh

K.H.

Ahmad

Dahlan

dengan

pikiran-pikiran

yang

sudah

men tradisi.

a. Gerakan Pembaruan Ahmad Dahlan

Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan

masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari

keilmuan maupun keyakinan Quraniyyah guna meluruskan

tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber

aslinya, Al-Quran dengan penafsiran yang sesuai dengan akal

sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan

mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin

jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara

tertulis.

Kemudian

dia

mengeliminasi

upacara

selametan

karena

merupakan perbuatan bidah dan juga pengkeramatan kuburan

Orang Suci dengan meminta restu dari roh orang yang

meninggal karena akan membawa kemusyrikan (penyekutuan

Tuhan).

Mengenai

tahlil

dan

talqin,

menurutnya,

hal

itu merupakan upacara mengada-ada (bidah). Ia juga menentang

kepercavaan pada jimat yang sering dipercaya oleh orang-

orang Keraton maupun daerah pedesaan, yang menurutnya

akan

mengakibatkan

kemusyrikan.

Mendirikan Perserikatan Muhammadiyah Sebelum mendirikan

Organisasi

berbagai

Muhammadiyah,

perkumpulan,

seperti

K.H. Ahmad

Dahlan

Al-Jamiat

aktif

di

Al-Khairiyyah

(organisasi masyarakat Arab di Indonesia), Budi Utomo dan

Sarekat Islam. Ia termasuk salah seorang ulama yang mula-

mula mengajar agama Islam di Sekolah Negeri, seperti Sekolah

Guru

(Kweekschool)

di

Jetis

Yogyakarta

dan

OSVIA

di

Magelang.

Selain berdagang pada hari-hari tertentu, dia memberikan

pengajian agama kepada beberapa kelompok orang, terutama

pada kelompok murid Pendidikan Guru Pribumi di Yogyakarta.

Dia juga pernah mencoba mendirikan sebuah madrasah dcngan

pengantar bahasa Arab di lingkungan Keraton, namun gagal.

Selanjutnya, pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan

mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton

Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh

beberapa

guru

pribumi

berdasarkan

sistem

pendidikan

gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam

Swasta

pertama

yang

memenuhi

persyaratan

untuk

mendapatkan subsidi pemerintah.

Sumbangan

terbesarnya

K.H.

Ahmad

Dahlan,

yaitu

pada

tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial

keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji

Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi,

dan

Haji

Abdul

Gani.

Tujuan Muhammadiyah terutama untuk mendalami agama

Islam di kalangan anggotanya sendiri dan menyebarkan agama

Islam

di

luar

anggota

inti.

Untuk

mencapai

tujuan

ini,

organisasi itu bermaksud mendirikan lembaga pendidikan,

mengadakan

rapat-rapat

dan

tabligh

yang

membicarakan

masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid

serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat kabar dan

majalah.

Sebagai jawaban terhadap kondisi pendidikan umat Islam yang

tidak bisa merespon tantangan zaman, K.H. Ahmad Dahlan

dengan

Muhammadiyah

digabungkan dengan

mengadopsi pendidikan

dipandang

yang

melanjutkan

sistem

pendidikan

model

terbaik

model

dan

Barat,

sekolah

yang

gubernemen.

karena

ini

sistemnya

disempurnakan

dengan

penambahan mata pelajaran agama. Dengan kata lain, ia

berusaha untuk mengislamkan berbagai segi kehidupan yang

tidak Islami. Umat Islam tidak diarahkan kepada pemahaman

agama mistis melainkan menghadapi duni secara realitis.

Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan

permohonan

kepada

Pemerintah

Hindia

Belanda

untuk

mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan

pada tahun 1914, dengan surat ketetapan Pemerintah No. 81

tanggal 22 Agustus 1914. izin itu hanya berlaku untuk daerah

Yogyakarta.

Dari

kekhawatiran

sebabnya

Pemerintah

akan

Hindia perkembangan

kegiatannya

dibatasi.

Belanda

organisasi

Walaupun

timbul

ini.

Itulah

Muhammadiyah

dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srakandan, Wonosari, dan

Imogiri

dan

Muhammadiyah

lain-lain

di

luar

tempat

telah

Yogyakarta

berdiri

memakai

cabang

nama

lain.

Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan

nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan

di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah

(SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah.

Bahkan

dalam

kota

Yogyakarta

sendiri

ia

menganjurkan

adanya jamaah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian

dan

menjalankan

kepentingan

Islam.

Perkumpulan-

perkumpulan dan jamaah-jamaah ini mendapat bimbingan dari

Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin,

Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub,

Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba,

Taawanu alal birri, Taruf Bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri,

Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi

.

Modernisasi Islam di Indonesia

Meningkatnya derajat pendidikan umat Islam (panen sarjana I /Drs, dan II/Magister-Doktor)

sebagaimana yang dikemukakan oleh Cak Nur tersebut, di satu pihak sangat menggembirakan

karena hal tersebut akan dapat meningkatkan peran dan sumbangan umat terhadap pembangunan

bangsa, akan tetapi dipihak lain adalah lahirnya permasalahan keummatan yang baru.

Permasalah an umat Islam kontemporer tersebut adalah adanya perubahan kecenderungan dan

orientasi pe-ngamalan dan pemikiran keagamaan umat Islam. Pengamalan keagamaan tidak lagi

bernuansa tradisional yang hanya mengutamakan formalisme dan kesemarakan tampa makna,

akan tetapi telah mengarah kepada penga-malan keagamaan dengan menekankan aspek nilai dan

subtansinya. Sedangkan pola pemikiran dan pemahaman ajaran Islam telah mengarah kepada

rasionalisme dan meninggalkan pemikiran ajaran agama secara dogmatik, yang biasanya

dilakukan oleh masyara-kat Islam sebelumnya.

Perubahan kecenderungan dan pengamalan keagamaan tersebut, nampaknya telah merubah

struktur sosial keagamaan menjadi berbagai varian atau boleh dikatakan mereka telah terbentuk

dalam beberapa kelompok, yang kesemuanya memiliki landasan dan kepentingan keummatan

tersendiri. Pada tahun 1980-an, Fahry Ali melakukan study atau penelitian tentang polarisasi pe-

mikiran umat Islam yang terjadi akibat terbukanya pendidikan dan pemikiran umat Islam. Dalam

study tersebut, Fahry Ali menemukan 4 polarisasi pemikiran, yaitu :

1. Tradisional yaitu kelompok masyarakat yang memahami Islam secara dogmatik, tradisional

dan terbebas dari kemungkinan penafsiran rasional. Pemahaman Islam dalam perspektid seperti

itu, ajaran Islam tidak dapat berkembang dengan baik, karena hanya menonjolkan for-malisme

dan ketaatan kepada publik figur yang dianggap mempunyai kemampuan agama yang baik serta

mengabaikan pendalaman subtansial. Mereka itu adalah masyarakat Awam.

2. Modernisme yaitu kelompok umat Islam yang memahami Islam dengan menggunakan standar

atau prinsip rasional dan terkadang menggunakan standar Barat (Analitis dan Em-piris). Agama

dalam pangkuan kelompok modernisme akan mempunyai arti apabila di-lakukan penafsiran-

penafsiran dengan menggunakan prinsip rasionalisme dan paradigma perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah pengagum

rasionalisme dan sarjana-sarjana Barat.

3. Universalisme yaitu kelompok umat Islam yang menganggap bahwa agama Islam telah cukup

mengandung segala hal yang dibutuhkan oleh manusia. Oleh sebab itu untuk me-mahami ajara

Islam tidak memerlukan standar dan paradigma dari luar Islam, misalnya ke-budayaan Barat atau

yang lain. Kelompok boleh dikatakan sebagai kelompok anti thesis dari Modernisme

4. Neomodernisme adalah kelompok umat Islam yang menyatakan bahwa untuk mempelajari

ajaran Islam diperlukan standar atau parameter kebudayaan Barat atau pengertian yang lain ia

memerlukan prinsip-prinsip rasional, karena ajaran Islam itu sendiri bersifat rasional. Walaupun

demikian, ia tidak boleh meninggalkan ajaran dasar Islam dan khazanah kebu-dayaan Islam masa

lalu.

Modernisme di satu pihak akan melahirkan satu kelompok (umat) yang kehilangan ruh dan

kedalaman spiritual Islam dengan menitik beratkan pada penggunaan rasional dan kebudayaan

Barat, boleh jadi secara ekstrim ia adalah bagian dari konsep Westernisasi. Akan tetapi

menggunakan prinsip universalisme secara membabi buta bukanlah sebuah keputusan yang

bijak-sana, karena akan menyebabkan Islam menjadi sangat besar dalam kebesaran pemeluk dan

ajaran umat Islam itu sendiri (besar dalam tempurung) tetapi kecil atau lemah dalam peran dan

akses ter-hadap kepentingan keilmuan dan keduniaan.

Barangkali sudah bertahun-tahun, para pembaharu dan pemikir umat Islam memikirkan ba-

gaimana posisi yang paling representatif bagi umat Islam, baik dilihat dari pengembangan ajaran

Islam dan peran umat Islam dalam wacana keilmuan dan teknologi dunia. Dalam pergulatan

yang tiada henti-hentinya, akhirnya ditemukan format yang sangat mungkin representatif yaitu

NEO MODERNISME. Konsep tersebut menegakkan Islam dalam dua spektrum (dimensi),

yaitu spektrum pengembangan spiritualitas keislaman, termasuk didalamnya khzanah

kebudayaan Islam, dan spektrum peran umat Islam dalam percaturan pemikiran keagamaan dan

teknologi.

Adalah Dr. Fazlur Rahman yang pertama kali mengemukakan perluanya umat Islam me-lakukan

reinterpretasi ajaran Islam dengan menggunakan prinsip rasionalisme, tetapi tidak ke-hilangan

ruh atau semangat keislaman, yang oleh Dr. Fazlur Rahman disebut sebagai nilai ideal moral

dari ajaran Islam, Dalam perspektif seperti itu, ajaran Islam memang bersifat absolut, tetap dan

tidak mengalami perubahan subtansinya, akan tetapi untuk melihat seberapa jauh peran Islam

dalam menyahuti ajaran Islam, diperlukan aktualisasi ajaran Islam dengan melihat Ideal Moral

sebagai landasan pengembangannya.

Konsep Dr. Fazlur Rahman tersebut kemudian dinamakan dengan Neo Modernisme, yang

kehadlirannya di Indonesia dibawah oleh murid-muridnya, yang sempat mengenyam pendidikan

di Chicago Amerika yaitu Dr. Nurcholis Madjid. Oleh Cak Nur modernisme Islam dipahami

sebagai upaya mencuci habis prinsip-prinsip irrasional yang selama ini menempel pada ajaran

Islam dan menyisakan ajaran Rasional Islam. Lebih jauh ia mengatakan bahwa modernisasi

Islam adalah :

1. Membersihkan ajaran-ajaran Islam dari debu keduniaan (profan) yang menempel pada ajaran

Islam yang suci (sakral) artinya meletakkan bahwa yang suci (Sakral/Ibadah/Akidah) adalah suci

dan yang profan (keduniaan dan bukan bagian agama) adalah profan (Desakralisasi).

2. Bahwa modernisasi adalah rasionalisasi dan bukan westernisasi artinya modernisasi adalah

membuat Islam dapat berperan secara total dalam wacana sosial - politik, ekonomi, keilmuan dan

teknologi dan bukan dalam kerangka mengikuti pragram westernisasi (pembaratan) atau bahkan

sekulerisasi (pemisahan atau upaya mengeliminir peran agama).

Saya kira untuk menuntaskan pembahasan kita mengenai pembaharuan atau tepatnya penataan

pemikiran Islam, perlu mengkaji gerak dan langkah tokoh-tokoh pembaharu pemikiran Islam

tersebut, misalnya Dr. Nurcholis Madjid, Munawir Sadzali, MA dan lain-lain.

A. Dr. Nurcholis Madjid

Nurcholis Madjid lahir di Jombang Jawa Timur pada 17 Maret 1939. Nurcholis Madjid yang

kemudian lebih dikenal dengan panggilan Cak Nur memulai pendidikan dibawah asuhan KH.

Madjid (ayahnya sendiri) dan kemudian melanjutkan ke Pondok Modern Gontor Ponorogo.

Setelah menamatkan pendidikannya dari Gontor ia kemudian melanjutkan pendi-dikannya di

Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sehingga memperoleh gelar Sarjana pada tahun

1968.

Cak Nur dikenanl sebagai tokoh organisasi, yang kapasitasnya dan pemikirannya menjadi

kerangka kajian dan perkaderan, terutama dilingkungan HMI. Ia merupakan tokoh sentral HMI,

dengan menjadi ketua Umum PB HMI selama dua periode (tahun 1966-1969 dan 1969-1971).

Ketika ia menjadi tokoh sentral organisasi Mahasiswa terkemuka tersebut ia banyak melontarkan

pemikiran modernis, yang kemudian menjadi wacana intelektual muslim Indo-nesia dan untuk

intern HMI, Cak Nur membuat rumusan perkaderan yang kemudian disebut dengan NDP (nilai

dasar perjuangan) HMI, bersama dengan Endang Saifuddin Anshari dan Mansyur Amin.

Pada tahun 1974, ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas Chicago dan bertemu dengan

pemikir Islam Kontemporer yang sangat disegani yaitu Dr. Fazlur Rahman, yang me-rupakan

Pakar study keislaman dan pada tahun 1984 ia berhasil menyelesaikan program Doktornya,

dengan disertasi Ibnu Taimiyah on Kalam and Falsafah; Problem of reason and Revelation in

Islam.

Pada saat ia masih menjadi Ketua Umum PB HMI pada tahun 1966, Cak Nur telah melontarkan

sebuah wacana pemikiran baru dalam Islam, wacana tersebut sebenarnya sudah menjadi bahasan

yang sangar ramai dikalangan Mahasiswa Islam, terutamaHMI, PII dan GPI, bahkan materi

perkaderan dilingkungan HMI selalu didominasi oleh pemikiran perlunya pem-baharuan dalam

Islam. Pada saat itu ia melontarkan gagasan perlunya Modernisasi dalam pemikiran Islam

dengan format Modernisasi adalah Rasionalisasi dan bukan Westernisasi.

Lontaran pemikiran dengan format :Modernisasi adalah Rasionalisasi dan bukan Wester-nisasi

dengan cepat mendapat tanggapan luas dari pakar keislaman dan dunia perguruan Tinggi

sekaligus memperbesar volume perlunya modernisasi dalam tataran pemikiran maha-siswa

Islam. Muhammad Kamal Hasan (pakar keislaman Universitas Malaya) mengatakan bahwa apa

yang dikatakan oleh Nurcholis Madjid adalah cerminan visi seorang Muslim idealis dan

memperkuat citra diri sebagai salah seorang yang mewarisi kebesaran seorang Moh. Natsir,

oleh sebab itu ia kerap kali disebut sebagai Natsiris Muda. Tidaklah berlebih an jika ia

dikatakan sebagai Natsiris Muda atau seorang Muslim Idealis, karena dalam ma-nuskrip tersebut

ia mengatakan :

1. Westernisasi akan membawa manusia pada kehidupan yang sekuler

2. Sekelurisme akan membawa manusia pada sikap hidup atheis dan atheis itu sendiri adalah

produk paling utama dari Sekulerisme.

3. Sekulerisme adalah sumber dari Immoralisme.

Namun citra diri sebagai Natsiris Muda dan Muslim idealis menjadi tertutup, ketika ia

melontarkan pemikiran tentang Keharusan Pembaharuan pemikiran Islam dan Masalah in-

tegrasi Umat pada tanggal 3 Januari 1970 di Islamic Research Centre Jakarta. Muhammad

Kamal Hasan yang menulis Disertasi Doktor dengan mengambil thesis pembaharuan Islam

Indonesia mengatakan bahwa Nurcholis Madjid telah berubah menjadi seorang Modernis

Sekuler atau dalam bahasa lain ia mengatakan Nurcholis before Nurcholis.

Ada hal-hal yang mengganjal dan barangkali membuat jengkel para pemikir umat Islam

Indonesia, terutama Prof. Dr. HM. Rasyidi, yang menjadi salah satu tokoh Islam paling respek

dan kritis terhadap pemikiran pembaharuan Cak Nur. Barangkali sangat mafhum dan dimengerti

kalau banyak umat Islam yang mengecap Cak Nur sebagai Modernis Sekuler atau bahkan

sebagai agent Barat karena pemikirannya yang sangat berbeda dengan apa yang di-lontarkan

sebelumnya (tahun 1968). Dalam makalah tentang Keharusan pembaharuan pe-mikiran Islam

dan masalah Integrasi Umat secara eksplisit, Cak Nur mengatakan :

1. Perlunya liberalisasi pandangan dan pemikiran terhadap ajaran Islam

2. Perlunya kebebasan Intelektual (intelektual Freedom), gagasan kemajuan (Ide of Progres) dan

sikap terbuka.

3. Perlunya gagasan (ide) sekulerisasi dalam ajaran Islam

4. Perlunya penegakan dan pemihakan terhadap kualitas dan mengeliminir sikap me-nonjolkan

kuantitas, yang terbukti tidak efektif terhadap partisipasi umat kepada pemba-ngunan bangsa.

5. Perlunya mengambil sikap Islam Yes, Partai Islam, NO.

Barangkali statemen yang paling dominan membuat kontroversi terutama kaum tradi-sional,

ulama dan pemikir keummatan adalah penggunaan kata-kata Sekulerisasi yang tidak lazim

dipakai untuk menyebut gerakan pemikiran umat Islam. Reaksi yang paling keras muncul dari

Prof. Dr. HM. Rasyidi, yang menyatakan bahwa ia telah memahami bahasa Inggris (untuk

menyatakan ketidaksepakatannya dengan konsep sekulerisasi Cak Nur) sejak 40 tahun yang lalu

dan selama itu pula ia tidak pernah menggunakan istilah Sekulerisasi sebagai istilah sosial

yang dipakai dalam kerangka pemikiran pembaharuan Islam.

Menyimak perkembangan polemik yang semakin tajam dan mengarah kepada sikap kristalisi

pendapat menjadi kelompok-kelompok, maka Cak Nur tampil kembali kepentas pe-mikiran umat

Islam dengan menawarkan beberapa pemecahan, yang intinya menjelaskan ulang konsep

Sekulerisasi yang dikembangkan sebelumnya. Misi penjelasan tersebut di-kemas dalam thesis

Beberapa catatan sekitar masalah pembaharuan dalam Islam. Namun penjelasan Cak Nur,

nampaknya tidak banyak memberi pengaruh pada perubahan Opini masyarakat yang sudah

terbentuk oleh kontroversi tersebut. Oleh sebab itu, ia tampil untuk kali kedua pada pentas

pemikiran umat dengan mengatakan Sekali lagi tentang Sekulerisasi.

Setelah itu ia tidak lagi tampil dengan gagasan-gagasan pembaharuannya ke pentas pe-mikiran

Nasional, karena pada tahun 1974 ia berangkat ke Amerika untuk melanjutkan study doktoralnya

di Universitas of Chicago, dan setelah ia kembali ke Indonesia pada tahun 1985, Cak Nur

membuat suatu penjelasan yang sangat meyakinkan, dengan satu tulisan yang merupakan catatan

kaki pada Buku mengenang atau peringatan 70 Th. Prof. Dr. HM Rasyidi. Pada catatan itu, Cak

Nur menjelaskan bahwa tidak tepat menggunakan istilah Sekulerisasi se-bagai instrument untu

menyebut perubahan sistem sosio-kultural Islam.Uraian itu ia beri nama dengan Sekulerisasi

ditinjau kembali.

Perubahan pemikiran yang dilakukan oleh Cak Nur setelah ia kembali dari Amerika pada tahun

1985, tak urung juga menimbulkan permasalahan seputar konsistensi pemikiran Nur-cholis

Madjid. Drs. M. Dawam Rahardjo dalam pengantar buku Islam Keindonesiaan dan

Kemodernan (kumpulan tulisan-tulisan Cak Nur) mengatakan bahwa Nurcholis Madjid tetap

konsisten dengan pemikiran, bahkan ia tetap setia dengan prinsip Monotheisme Radikal yaitu

sikap kritis terhadap hal yang dapat merusak monotheisme. Hal tersebut terlihat dari kritiknya

terhadap Rasionalisme mutlak, Sekulerisme, Liberalisme, Individualisme, Kapital-isme,

Humanisme sekuler, Pragmatisme, Snouckisme, Islam Phobia dan Atheisme, walaupun dalam

kesempatan yang lain ia juga tidak menafikas sisi positif dari beberapa konsep tersebut.

Pada awal tahun 1990-an Cak Nur mengejutkan komunitas umat Islam dengan pen-jelasannya

yang sangat kontroversial. Statemen-statemen tersebu sebenarnya hanya sebuah kajian termi-

nologis dan hanya dilakukan ketika ia mengambil pemikiran atau pendapat dari mazhab

theologis umat Islam, misalnya :

1. Melakukan penafsiran kalimat La Illaha Illa Allah yang diartikan dengan Tiada Tuhan

selain Tuhan, dengan asumsi bahwa Tuhan yang kedua mengandung kekhususan yaitu Tuhan

Allah (terdapat al marifat).

2. Mengatakan bahwa makhluk Allah yang paling bersih dan murni keimanannya adalah Syetan,

karena ia tidak mau menyembah kepada selain Allah (kasus sujud kepada Adam).

3. Penegakan sikap bahwa semua manusia pada awalnya mempunyai perasaan agama yang sama,

yang dia sebut dengan Agama Hanief atau agama yang lurus. Oleh sebab itu retorika dakwah

kita adalah mengajak umat manusia pada Kalimat yang sama.

Nampaknya Cak Nur dilahirkan dengan kapasitas dan pemikiran yang selalu menjadi Head Line

atau konsumsi opini yang tidak habis-habisnya. Pada saat Indonesia sedang bergolak menuntut

demokrasi, Cak Nur hadlir dengan konsep Perubahan menit per menit yang kemu-dian

menjadi wacana perpolitikan bangsa di medium Mei 1998. Pada saat kita sedang asyik-asyiknya

melakukan pesta Demokrasi seiring dengan tumbangnya batu besar penghalang demokrasi

Indonesia, Cak Nur hadlir dengan pemikirannya kritisnya yang khas. Ia mengingatkan bahwa

bangsa Indonesia sedang mabuk kepayang dalam demokrasi, yang ia sebut sebagai Ledakan

Partisipasi. Ledakan partisipasi yang berlebih-lebihan akan menyebabkan adanya Politik

emosional dan hal tersebut akan menyebabkan situasi Choas, maka jika terjadi situasi Choas,

menurut Cak Nur akan mengundang lahirnya orang kuat baru (Strong Man) pasca Soeharto.

B. Munawir Sadzali, MA (Menteri Agama)

Dalam tataran yang lebih khusus, yaitu dilingkungan Departemen Agama, dan barangkali juga

berimplikasi secara umum pada umat Islam, Munawir Sadzali MA, tampil dengan gerak-an

pembaharuan umat Islam yang sama sekali baru. Gerakan itu menurut saya lebih bersifat sebagai

gerakan pemberdayaan umat Islam di sekitar tahun 1980-an. Pada saat itu, umat Islam

memasuki tahapan dan format yang sama sekali baru sebagai kelengkapan upaya pem-berdayaan

umat Islam. Dalam kerangka pemberdayaan potensi intelektual dan kehidupan sosio keagamaan

umat Islam, Munawir Sadzali menawarkan program-program :

1. Reaktualisasi ajaran Islam, dengan melihat makna sosial dan ideal moral dari ajaran Islam

(meminjam istilah Fazlur Rahman). Ia mengatakan bahwa ajaran tentang waris (dua banding

satu) dan ketentuan sosial lainnya, perlu dilakukan interpretasi ulang, sehingga ajaran Islam tidak

bersifat diskriminatif.

2. Bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan umat Islam, diperlukan program pengiriman

tenaga pengajar umat Islam kedunia Barat, dengan alasan bahwa umat Islam itu sangat lemah

dalam bidang metodologi dan sudah cukup kemampuan dalam pe-nguasaan Materi.

Yang pertama; Munawair beranggapan bahwa ajaran tentang waris yang menyatakan bahwa

laki-laki mendapat dua bagian lebih didasarkan kepada kualitas dan bukan pada jenis kelamin

seseorang, sehingga konsep tersebut akan sangat relevan jika diberlakukan untuk masyarakat, di-

mana seorang perempuan bekerja lebih keras dan yang laki-laki hanya berdiam diri di rumah se-

bagaimana yang terjadi pada masyarakat Jawa Tenggah (Solo) atau pulau Bali.

Yang kedua; Munawir beranggapan bahwa kelemahan mendasar umat Islam adalah tidak

dikuasainya metodologi yang merupakan instrument dasar bagi pengembangan ilmu pe-

ngetahuan dan teknologi, termasuk didalamnya pengembangan pemikiran umat Islam. Maka

menurutnya, tempat yang paling cocok adalah universitas-universitas Barat; dan yang perlu

diperhatikan bahwa universitas Barat juga mempunyai kajian keislaman yang cukup disegani,

misalnya study Islam di UCLA, Montreal, Sorbone, dan yang lain.

Di samping gerakan reaktualisasi dan pemberdayaan metodologi umat Islam ala Munawir

Sadzali tersebut, pada dasa warsa berikutnya berkembang satu upaya pemberdayaan pemikiran

dan aktualisasi peran Islam dalam pendekatan kultural. Pendekatan Islam dalam perspektif kul-

tural tersebut dikemukakan oleh KH. Abdurahman Wahid. Ungkapan yang sempat membuat

umat Islam Indonesia bingung adalah ketika Gus Dur mengiyakan Salam (Assalamualaikum

Wa rahmatullahi wa barakatuh) dapat di indonesiakan menjadi Selamat Pagi dst.

Pendekatan Islam kultural, menurut hemat saya merupakan pengejawantahan atau penjabaran

dari konsep Islam Yes, Partai Islam, NO yang dikemukakan oleh Nurcholis Madjid pada tahun

1970-an. Islam Yes, Partai Islam, NO dilontarkan oleh Cak Nur pada waktu itu, dimaksudkan

untuk mem-berdayakan umat Islam terutama dalam pemikiran dengan menghindarkan diri dari

kontroversi atau friksi kepentingan antar umat dan hal tersebut sangat merugikan bagi

pertumbuhan umat, karena Islam hanya sebagai kendaraan Politik saja. Konsep Islam Yes Partai

No, pada saat itu mendapat kecaman yang luar biasa dari para praktisi dan politikus umat, karena

kebisaan mereka yang menggunakan agama atau paling tidak jargon agama untuk kendaran

politik mereka merasa terancam. Islam sebagai kendaraan politik pada waktu merupakan

Mainstream (arus besar) dan meletakkan Islam sebagai satu ajaran dengan menanggalkan baju

politik adalah menentang arus besar (Mainstream) yang sedang mengalir pada wacana

perpolitikan umat.

Setelah beberapa tahun berlalu, konsep Islam Yes Partai Islam No muncul kembali dengan baju

dan format yang lain, yaitu pendekatan Islam kultural. Pendekatan Islam kultural, menurut Dus

Dur sangat cocok untuk masyarakat Islam Indonesia, karena tingkat pengetahuan dan pema-

hamannya yang masih rendah dan dengan demikian ia tidak membawa umat Islam berlari

mengikuti kompetisi yang tidak mungkin diikutinya. Pendekatan Islam kultural barangkali

adalah konsep napak Tilas pendekatan Kultural Wali Songo.

Pada tahun 1990-an, Gus Dur melihat bahwa membawa Islam dalam pergulatan politik Indo-

nesia artinya menggunakan pendekatan politik, sangat tidak menguntungkan karena Islam akan

dijadikan bahan rebutan atau kue Politik dan setelah mendapatkan kue politik dan pesta kue

politik tersebut dilakukan, ummat Islam ditinggal begitu saja dalam keterkoyakan dan

perpecahan sosial politik yang sampai saat ini masih membekas dalam dendam politik.

Akan tetapi apa yang terjadi dengan Gus Dur sebagai representasi NU setelah tahun 1998,

ternyata pendekatan Islam kultural dengan titik tekan tidak adanya pengerahan umat Islam dalam

konstek perpolitikan menjadi mental dan tidak bernilai lagi, walau pada masa sebelumnya Gus

Dur secara personal telah aktif dalam pergulatan Politik lewat Forum Demokrasi (FORDEM).

Menurut hemat saya Fordem adalah sebuah gerakan moral untuk pendidikan politik dengan

tujuan adanya upaya demokratisasi yang bermuara pada peningkatan partisipasi rakyat atau se-

luruh komponen bangsa dalam penentuan kebijakan Nasional

Lahirnya PKB sebagai anak kandung NU merupakan wujud perubahan visi Gus Dur atau NU

secara keseluruhan, yang dulunya menekankan adanya pendekatan Islam kulturan dan kemudian

berubah menjadi pendekatan Islam Politik. Ada alasan klasik yang dikemukakan oleh Gus Dur

(NU), bahwa NU selama ini hanya aktif dipakai sebagai kendaraan politik dan tidak pernah

diajak ikut naik dalam kendaraan setelah berhasil atau praktisnya NU tidak mendapatkan apa

selama Orde Baru.

Terlepas dari peristiwa yang dikatakan oleh Cak Nur sebagai Ledakan partisipasi dimana

seluruh komponen bangsa berlomba-lomba menyatakan partisipasi politik setelah mampu me-

numbangkan rezim yang menyumbat adanya partisipasi rakyat, maka keputusan NU menjadi Ibu

Kandung adalah sebuah perubahan mendasar organisasi tersebut, dan mudah-mudah ia tetap

komitmen dengan keputusannya dan semoga tidak ada hal yang menyebabkan ia balik kandang

sebagai Jamiyah (perkumpulan) umat Islam lagi setelah kepentingan politiknya tidak berhasil

diwujudkan

.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Hamka : Sejarah Umat Islam (Vol. IV)

Ahmad Mansyur Suryonegoro : Menemukan Sejarah; wacana pergerakan umat Islam

Indonesia

Fachry Ali dan Bachtiar Efendi : Merambah jalan baru Islam

Dr. Nurcholis Madjid : Islam Keindonesian dan Kemodernan

Clifford Geertz : The Religion of Java (Santri, abangan dan Priyayi)

Dr. Harun Nasution : Islam Rasional; gagasan dan pemikiran

Dr. Koentowijoyo : Paradigma Islam; interpretasi untuk aksi

risma : Agama dan Tantangan zaman