alwan sri kustono struktur kepemilikan an dan rekayasa lama jurnal akuntansi

Upload: alwan-kustono

Post on 15-Jul-2015

163 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

STRUKTUR KEPEMILIKAN PERUSAHAAN DAN REKAYASA LABA Alwan Sri Kustono1

Abstract Ownership structure in a firm has the resources and incentives to monitor and influence management decisions. Whether the stockholders actually monitor and exert pressure on managers is an empirical question. Previous studies have reported mixed results on this question. This study was aimed to analyze the effect of ownership structure factors towards earning management. The ability of managers to opportunistically manage reported earnings is constrained by the effectiveness of external monitoring by stakeholders such as institutional investors, managerial ownership, public ownership, and block holder. Stockholder, such as institutional investors have the opportunity, resources, and ability to monitor, discipline, and influence managers of firms. Key words: earning management, ownership structure, agency theory

Tujuan laporan keuangan menurut Standar Akuntansi Keuangan dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan (IAI, 2007) adalah untuk menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi. pelaporan keuangan membantu perusahaan menyampaikan informasi yang membedakannya dengan perusahaan yang lainnya dan memfasilitasi alokasi sumber daya yang efisien dan pertanggungjawaban kepada pemegang saham. Pemakai laporan keuangan terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu internal dan eksternal. Merujuk pada teori pensinyalan, manajemen merupakan pihak internal yang berkewajiban menyusun laporan keuangan karena keberadaan mereka di dalam perusahaan dan merupakan pengelola aktiva perusahaan secara langsung. Pihak-pihak eksternal yang sangat memerlukan informasi laporan keuangan diantaranya pemegang saham, kreditor, investor, dan pemerintah. Laporan keuangan seharusnya mengindikasikan situasi perusahaan senyatanya dan menyediakan informasi mengenai sumber daya, klaim terhadap sumber daya, dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Informasi yang ada seharusnya bermanfaat dalam pengambilan keputusan investasi dan kredit, dan berguna untuk memperkirakan arus kas masa depan. Guether dan Young (2000) membuktikan adanya kepentingan investasi pada pengguna laporan keuangan. Dari sejumlah informasi yang tersaji dalam laporan keuangan, laba dan laba merupakan elemen yang paling menjadi perhatian. Menurut Standar Akuntansi Keuangan (IAI, 1995; 25) definisi laba (income) meliputi baik pendapatan (revenue)1Dosen Jurusan Akuntansi Universitas Jember 36

37

maupun keuntungan (gains). Pendapatan timbul dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan yang biasa dikenal dengan sebutan yang berbeda seperti penjualan, laba jasa (fees), bunga, deviden, royalti, dan sewa. Sementara Baridwan (1993; 30) mendefinisikan laba (income) adalah selisih pendapatan-pendapatan sesudah dikurangi biaya-biaya. Selisih antara pendapatan dan biaya merupakan laba atau rugi yang diderita oleh perusahaan. Bila pendapatan lebih kecil, selisihnya disebut rugi. Suwardjono (2005; 456) mengungkapkan bahwa pengertian laba yang dianut oleh struktur akuntansi sekarang adalah laba yang merupakan selisih pengukuran pendapatan dan biaya secara akrual. Laba semacam ini bermanfaat bagi para pemakai statemen keuangan khususnya investor dan kreditor. Pendefinisian laba seperti itu jelas akan lebih bermakna sebagai pengukur kembalian atas investasi (return on investment) daripada sekedar perubahan kas. Hal ini sesuai dengan penegasan FASB dalam SFAC no. 1 (prg. 4) sebagai berikut: Information about enterprise earnings and its components measured by accrual accounting generally provides a better indication of enterprises performance than information about current cash receipts and payments. Ball dan Brown (1968) menemukan bahwa informasi yang terkandung dalam angka akuntansi adalah berguna jika laba yang sesungguhnya berbeda dengan laba ekspektasian. Harga saham akan meningkat bila laba sesungguhnya dapat melebihi laba ekspektasian. Informasi laba merupakan komponen laporan keuangan perusahaan yang bertujuan untuk menilai kinerja manajemen, membantu mengestimasi kemampuan laba yang representatif dalam jangka panjang, dan menaksir risiko dalam investasi atau meminjamkan dana (Dwiatmini dan Nurkholis 2001). Karena pentingnya laba sebagai pengukur kinerja dan pertanggunjawaban operasional perusahaan maka manajemen berusaha memilih prosedur akuntansi yang menghasilkan angka laba yang menguntungkan bagi kinerjanya, tetapi juga sesuai dengan target yang dikehendaki oleh pemilik perusahaan. Motivasinya adalah untuk memelihara kesejahteraan dan kepentingannya di masa depan. Manajemen mungkin melakukan rekayasa laporan keuangan. untuk mengubah laporan keuangan. Perekayasaan sangat mungkin dilakukan oleh manajemen, karena manajemen memiliki asimetri informasi sehingga leluasa untuk memilih alternatif metode akuntansi. Manajemen akan memilih metode akuntansi tertentu jika terdapat insentif dan motivasi untuk melakukannya. Beberapa pihak menilai rekayasa laba bukan sesuatu yang jahat. Dechow and Skinner (2000) menunjukkan perbedaan antara rekayasa akuntansi dan kecurangan akuntansi. Praktik-praktik akuntansi yang curang menyimpang dari aturan dan standard akuntansi, sedangkan rekayasa akuntansi masih berada pada ambang toleransi aturan-aturan akuntansi. Schipper (1989) menyebutkan bahwa yang dapat disebut sebagai rekayasa laba adalah suatu intervensi dalam proses pelaporan keuangan kepada pihak eksternal dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Sementara Healy and Wahlen (1999) menyatakan bahwa rekayasa laba terjadi ketika manajer menggunakan judgment dalam pelaporan keuangan dan dalam struktur transaksi untuk mengubah laporan keuangan yang menyimpangkan stakeholders mengenai kondisi performa ekonomis perusahaan yang sebenarnya atau mempengaruhi keluaran-keluaran kontraktual yang tergantung atas angka-angka akuntansi laporan.

Artikel ini dimuat dalam jurnal Jurnal Akuntansi Universitas Jember

38

Rekayasa laba diduga muncul atau dilakukan oleh manajer atau para pembuat laporan keuangan dalam proses pelaporan keuangan suatu organisasi karena mereka mengharapkan suatu manfaat dari tindakan yang dilakukan. Rekayasa laba menjadi menarik untuk diteliti karena dapat memberikan gambaran akan perilaku manajer dalam melaporkan kegiatan usahanya pada suatu periode tertentu, yaitu adanya kemungkinan munculnya motivasi tertentu yang mendorong mereka untuk mengatur atau mengatur data keuangan yang dilaporkan. Rekayasa laba tidak harus dikaitkan dengan upaya untuk merekayasa data atau informasi akuntansi, tetapi lebih condong dikaitkan dengan pemilihan metode akuntansi atau kebijakan akuntansi untuk mengatur keuntungan yang bisa dilakukan karena memang diperkenankan menurut regulasi akuntansi. Definisi rekayasa laba yang hampir sama juga diungkapkan oleh Schipper (1989) yang menyatakan bahwa rekayasa laba merupakan suatu intervensi dengan tujuan tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal, untuk memperoleh beberapa keuntungan privat (sebagai lawan untuk memudahkan operasi yang netral dari proses tersebut). Rekayasa laba adalah campur tangan dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Rekayasa laba merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, rekayasa laba menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa (Setiawati dan Naim, 2000). Rekayasa laba merupakan area yang kontroversial dan penting dalam akuntansi keuangan. Beberapa pihak yang berpendapat bahwa rekayasa laba merupakan perilaku yang tidak dapat diterima, mempunyai alasan bahwa rekayasa laba berarti suatu pengurangan dalam keandalan informasi laporan keuangan. Investor mungkin tdak menerima informasi yang cukup akurat mengenai laba untuk mengevaluasi return dan risiko portofolionya (Ashari dkk, 1994). Salah satu teori yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan determinan rekayasa laba adalah teori agensi. Teori agensi menekankan bahwa angka-angka akuntansi memainkan peranan penting dalam menyelesaikan konflik agensi antara prinsipal dan agen (DeAngelo, 1986). 1. Teori Agensi Agensi didefinisikan sebagai hubungan yang didasarkan atas persetujuan antara dua pihak, di mana satu pihak (agen) setuju untuk bertindak atas nama pihak yang lain yakni prinsipal. Menurut Watts dan Zimmerman (1986), prinsipal adalah pemilik atau pemegang saham dan kreditur, sedangkan agen adalah manajer. Hubungan agensi muncul ketika satu pihak (prinsipal) membayar pihak lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa dan mendelegasikan otoritas atau wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Perusahaan tersusun atas banyak kontrak. Didalam perusahaan banyak kontrak antara satu dengan lainnya. Contohnya, kontrak antara karyawan dan manajemen, pemasok, investor, dan lain-lain. Perusahaan tentunya berusaha meminimalisasi biaya kontrak yang berkaitan dengan kontrak-kontrak tersebut semacam negosiasi, monitoring kinerja, renegosiasi, ekspektasi biaya kebangkrutan. Seringkali kontrak melibatkan variabel-variabel akuntansi seperti: gaji dan promosi karyawan yang diukur dengan pencapaian laba. Kontrak dengan suplier dapat saja tergantung pada derajat likuiditas. Kreditur menghendaki proteksi dalam bentuk dipenuhinya rasioArtikel ini dimuat dalam jurnal Jurnal Akuntansi Universitas Jember

39

rasio keuangan tertentu, misalnya rasio utang atas ekuitas, modal kerja minimal, laba yang dibagikan dan sebagainya. (Scott, 2000). Asumsi dasar dari teori agensi adalah bahwa setiap individu berusaha untuk melakukan segala sesuatu secara maksimal untuk mengoptimalkan kepentingannya sendiri. Usaha memaksimalkan utilitas ini mendorong timbulnya konflik kepentingan antara pemilik dan manajemen, karena setiap perusahaan memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya melalui kontrak kompensasi. Praktik rekayasa laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara manajemen dan pemilik yang timbul karena setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertimbangkan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Salno dan Baridwan (2000) Dalam hubungan keagenan, manajer memiliki informasi asimetri terhadap pihak eksternal perusahaan, seperti kreditur dan investor. Informasi asimetri terjadi ketika manajer memiliki informasi internal perusahaan yang relatif lebih banyak dan mengetahui informasi tersebut relatif lebih cepat dibandingkan pihak eksternal. Konflik kepentingan semakin meningkat ketika aktivitas agen sehari-hari tidak dapat dimonitor oleh prinsipal, sehingga prinsipal tidak mengetahui apakah agen sudah bekerja sesuai dengan keinginan prinsipal atau tidak. 2. Struktur Kepemilikan Teori agensi menghipotesiskan bahwa antara agen dan prinsipal kemungkinan terdapat konflik kepentingan. Pada situasi demikian, maka manajer sebagai agen akan berusaha untuk memaksimumkan kesejahteraannya dengan membebankan pada prinsipal. Manajer, pada kondisi demikian, akan dimotivasi untuk memilih projek yang menghasilkan laba dan arus kas positif di masa depan, meskipun mungkin saja ini menyebabkan negatif pada periode-periode awal, sebab semakin panjang durasi kontrak manajer, akan lebih banyak manfaat yang dihasilkan dari arus kas masa depan. Pembagian kewenangan antara kepemilikan dan fungsi pengelolaan perusahaan dapat menimbulkan masalah agensi antara pemilik dan manajer. Teori agensi menyatakan bahwa manajer yang bertindak sebagai agen akan cenderung memenuhi kesejahteraannya lebih dahulu dibandingkan dengan kesejahteraan pemilik. Tindakan ini dapat mengurangi kesejahteraan pemilik. Hal inilah yang seringkali memunculkan konflik agensi. Manajer akan terdorong untuk melakukan rekayasa informasi jika mereka merasa bahwa tindakan tersebut dapat mengamankan kepentingannya. Rekayasa akuntansi dapat dilakukan oleh manajemen, karena manajemen leluasa memilih alternatif metode akuntansi. Tentunya, manajemen akan memilih metode akuntansi tertentu jika terdapat insentif dan motivasi untuk melakukannya. Jika kepentingan manajer dan pemilik sudah selaras maka tidak ada motivasi lagi untuk melakukan penyembunyian informasi. Jensen dan Meckling (1975) menyatakan bahwa agen dan prinsipal memiliki kepentingan yang berbeda. Keselarasan kepentingan tersebut dapat dicapai jika agen (manajer) memiliki saham di perusahaan. Manajer yang memiliki saham, mempunyai kepentingan yang sama dengan pemilik. Jika hal ini terjadi, maka konflik agensi dapat dikurangi. Bila seseorang memiliki kontrol yang efektif, artinya manajer memiliki saham kepemilikan, maka ia akan dapat mengendalikan informasi akuntansi dan kebijakan pelaporan. Artikel ini dimuat dalam jurnal Jurnal Akuntansi Universitas Jember

40

Manajemen perusahaan berharap untuk dapat memperoleh penilaian yang baik dari pemilik dan seringkali ini menyebabkan munculnya dorongan untuk melakukan penyesuaian laba. Kinerja buruk yang tidak terekspektasi akan meningkatkan kemungkinan penurunan gaji dan intervensi. Sementara kinerja baik yang tidak terekspektasi boleh jadi akan meningkatkan kemungkinan kinerja masa mendatang akan menjadi tampak buruk jika menjadi suatu perbandingan. Sehingga manajer termotivasi untuk melakukan rekayasa laba (Moses, 1987). Asimetri informasi antara agen dan prinsipal memunculkan kepentingan bagi pemegang saham untuk melakukan pemantauan. Rentangan pengendalian ini berhubungan positif dengan struktur kepemilikan saham. Pemilik menempatkan fungsi pemantauan untuk mengatasi konflik. Menurut Salno dan Baridwan (2000), bentuk pemantauan yang umum digunakan diantaranya adalah: 1. Penyusunan laporan keuangan periodik untuk kepentingan pemilik (pertanggungjawaban, akuntabilitas), 2. Adanya fungsi pengauditan yang bersifat independen dalam menyatakan pendapat atas kewajaran laporan keuangan perusahaan Whitley (1999) mendukung bahwa ada pengaruh dari struktur kepemilikan yang dipertahankan terhadap strategi tertentu. Dalam perusahaan yang dikendalikan pemilik, maka pemegang saham dapat menetapkan praktik pemantauan untuk mengurangi kemungkinan manajer melakukan tindakan yang mengurangi kepentingannya (Tosi dan Gomez-Meija, 1994). 3. Kepemilikan Institusional Dan Rekayasa laba Selain proporsi kepemilikan manajerial, struktur kepemilikan perusahaan juga dapat ditunjukkan dengan perspektif lain yakni proporsi saham yang dimiliki oleh pemegang saham institusional versus individual. Investor institusional adalah investor besar yang memiliki pengalaman lebih dalam investasi (Lang dan McNichols,1997; Koh, 2001). Suatu organisasi yang biasanya dikelompokkan sebagai investor institusional adalah perusahaan asuransi, dana pensiun, bank, lembaga keuangan, perusahaan investasi, organisasi masyarakat, dan kelompok-kelompok lain yang dapat dikategorikan sebagai institusi. Kepemilikan institusional umumnya akan bertindak sebagai pihak yang memantau aktivitas perusahaan (Faizal, 2004). Perusahaan dengan kepemilikan yang besar mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen. Investor institusional dapat dikelompokkan menjadi dua kategori: berorientasi jangka pendek (transient) dan berorientasi jangka panjang (Black, 1992; Del Guercio dan Hawkins, 1999). Bukti-bukti empiris juga menjelaskan bahwa tipe investor institusional yang berbeda memiliki efek yang berbeda pula terhadap strategi rekayasa laba. Bushee (1998) menjelaskan bahwa perusahaan dengan kepemilikan institusional transient yang tinggi lebih menyukai untuk mengurangi pengeluaran R&D untuk menaikkan laba yang dilaporkan. Koh (2001) menemukan bahwa kepemilikan institusional transient (berorientasi jangka panjang) berhubungan positif (negatif) dengan akrual diskresionari positif. Untuk memprediksi hubungan antara kepemilikan institusional dan rekayasa laba membutuhkan suatu pendugaan apakah kedua tipe kepemilikan institusional tersebut memiliki dorongan yang berbeda terhadap rekayasa laba. Penelitian empiris Artikel ini dimuat dalam jurnal Jurnal Akuntansi Universitas Jember

41

yang menghubungkan antara kepemilikan institusional dan rekayasa laba masih jarang dilakukan. Rajgopal dkk. (2001) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki implikasi terhadap rekayasa laba. Kepemilikan institusional yang semakin tinggi akan memainkan peranan penting dalam pemonitoran operasional perusahaan. Mereka menemukan hubungan yang negatif antara kepemilikan institusional dengan akrual diskresionari. Mereka menyimpulkan bahwa manajer sulit melakukan rekayasa laba selama pemilik institusional melakukan tekanan dan pengawasan. Carlson dan Bathala (1997) menyatakan bahwa dengan melakukan praktik rekayasa laba, perusahaan dapat memelihara portfolionya untuk menjaga kepentingan investor institusional. Mereka beralasan bahwa investor transien lebih menyukai untuk menjual saham perusahaan yang tidak dapat mencapai laba target (Graves dan Waddock, 1990; Porter, 1992). Adanya praktik tersebut, investor transien merasa kepentingannya terpenuhi karena target laba perusahaan tercapai. Mengikuti Carlson dan Bathala (1997), investor institusional transien lebih menyukai arus laba yang direkayasa, dengan anggapan sebagai (a) ukuran kinerja portfolio perusahaan yang memuaskan (Graves dan Waddock, 1990; Porter, 1992) dan (b) portfolio perusahaan lebih berkualitas tinggi, dibanding dengan standard yang wajar (Badrinath dkk., 1989; Del Guercio, 1996). Kinerja portfolio yang baik akan merefleksikan evaluasi kinerja investor institusional. Manfaat dari kecenderungan perubahan laba perusahaan yang direkayasa dan terprediksi yang dirasakan oleh transien juga akan dirasakan oleh investor institusional jangka panjang. Investor jangka panjang memiliki jangka waktu investasi yang lebih panjang. Mereka mendasarkan manfaat dari: (1) capital gain melalui peningkatan harga saham yang diperoleh dari pertumbuhan laba (Barth dkk., 1999) dan (2) dividend payout (Ronen dan Sadn, 1991). Capital gain dan arus dividend income akan merefleksikan performance kinerja investor institusional jangka panjang. Meskipun memiliki alasan yang berbeda, kedua tipe investor institusional mempunyai preferensi yang sama terhadap kecenderungan perubahan laba. Laba yang dapat diprediksi untuk portfolionya akan lebih disukai. Bagi manajer perusahaan, hal ini merupakan dorongan untuk memelihara trend laba yang dapat diprediksi yang mempengaruhi juga nilai pasar perusahaan (Barth dkk., 1999; Loomis, 1999; dan Fox, 1997). Rekayasa laba juga memberikan kesempatan bagi manajer untuk membangun ketimpangan akuntansi untuk periode mendatang (DeFond dan Park, 1997). Koh (2002) menguji pengaruh kepemilikan institusional terhadap motivasi rekayasa laba. Studi empiris Koh tersebut berhasil menemukan bukti ada pola hubungan yang negatif antara level kepemilikan institusional terhadap praktik rekayasa laba. 4. Kepemilikan Manajerial dan Perekayasaan Laba Carlson dan Bathala (1997) dan Beattie dkk. (1994) berpendapat bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap praktik perekayasaan laba. Motivasinya adalah bahwa mereka memperoleh manfaat langsung dari peningkatan harga saham melalui perekayasaan laba dan ini mengindikasikan adanya asosiasi yang positif. Warfield, Wild dan Wild (1995) menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial positif berkorelasi dengan akrual akuntansi diskresionari. Dalam konteks rekayasa laba Dhaliwal, Salamon, dan Smith (1982) menemukan bahwa kepemilikan manajerial berhubunagn negatif dengan rekayasa Artikel ini dimuat dalam jurnal Jurnal Akuntansi Universitas Jember

42

laba. Weisbach (1988) memperluas penelitian dan menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial yang lebih banyak cenderung akan memiliki jumlah outside dan komite audit yang lebih kecil Peasnell dkk. (2000), menunjukan bahwa perusahaan dengan kepemilikan manajerial yang lebih kecil akan memiliki proporsi outside yang lebih besar. Mereka menemukan bahwa outside director berperan penting dalam membatasi manajer untuk merekayasa laba ketika ketika kepemilikan manajerialnya rendah. Teori agensi juga menyatakan bahwa salah satu pemicu untuk melakukan rekayasa laba adalah level kepemilikan manajerial. Pandangan lain menyatakan bahwa pada kepemilikan manajerial yang semakin besar, insentif untuk menggeser kesejahteraan menjadi lebih rendah. Hal ini menyatakan adanya asosiasi negatif antara perekayasaan dan tingkat kepemilikan manajerial (Beattie, dkk., 1994). Dalam konteks rekayasa laba, Dhaliwal, Salamon, dan Smith (1982) menemukan bahwa kepemilikan manajerial berasosiasi negatif dengan rekayasa laba. Weisbach (1988) menunjukkan bahwa perusahaan dengan proporsi kepemilikan manajerial yang lebih tinggi akan menurunkan kemungkinan adanya praktik perekayasaan laba. Ma (1988) menunjukkan bahwa derajat pengendalian akan mempengaruhi manajer untuk melakukan perilaku perekayasaan. Berbagai studi yang dilakukan (Monsen dkk., 1968; Larner, 1971; Koch, 1981; Amihud dkk., 1983 dalam Stolowy dan Breton, 2000) menyediakan bukti bahwa manajemen yang mengendalikan menunjukkan relatif memiliki serial laba yang lebih rata dan memiliki risiko pasar sistematik yang lebih rendah dibandingkan pemilik mengendalikan perusahaan. Makaryanawati (2003) menemukan adanya hubungan yang monotonik antara nilai perusahaan dengan kepemilikan manajerial dan interaksi variabel perekayasaan laba dengan kepemilikan manajerial terhadap nilai perusahaan. Ini berarti bahwa semakin rendah kepemilikan manajerial maka akan semakin tinggi motivasi manajemen untuk melakukan praktik perekayasaan laba. Brochet dan Gao (2004) menemukan bahwa pada level kepemilikan saham oleh manajer relatif sedikit maka manajer lebih cenderung melakukan praktik perekayasaan. Hal ini disebabkan menajer melakukan penjajaran kepentingan manajer dengan shareholder. Midiastuty dan Machfoedz (2003) melakukan penelitian pengujian terhadap pengaruh mekanisme tata kelola korporat yang baik terhadap perekayasaan laba yang diproksikan dengan akrual diskresionari Studi ini menemukan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap akrual diskresionari. Demikian pula dengan studi Fidyati (2004). Hasil studinya menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial mempunyai hubungan negatif dengan perekayasaan laba. Berbeda dengan studi-studi di atas, Koh (2002) gagal menunjukkan adanya pengaruh kepemilikan manajerial terhadap praktik perekayasaan laba. Kepemilikan manajerial bukan determinan perekayasaan laba. 5. Keberadaan Pendiri Dan Rekayasa laba Perusahaan yang dikendalikan keluarga pendiri berbeda dengan perusahaan yang dikendalikan bukan oleh pendiri pada beberapa dimensi. Pada satu sisi, keluarga pendiri yang memiliki ekuitas yang besar dapat mengarahkan perusahaan untuk mengimplementasikan tindakan yang dapat merugikan minoritas. Pada sisi yang lain, karakteristik ini juga menyediakan insentif untuk memantau manajemen. Studi yang Artikel ini dimuat dalam jurnal Jurnal Akuntansi Universitas Jember

43

dilakukan Anderson, Mansi, dan Reeb (2003), serta Anderson dan Reeb (2004) menunjukkan dampak karakteristik ini terhadap berbagai bentuk perilaku perusahaan, mencakup efekt terhadap kinerja perusahaan dan diversifikasi, debt cost dan policy, serta struktur komisaris. Perusahaan keluarga umumnya tidak memperoleh perhatian dan tekanan dari pasar yang dapat memperkuat manajemen. Kurangnya tekanan pasar akan mengarahkan pada lemahnya dorongan untuk melakukan rekayasa, karena manajer memiliki tekanan yang sedikit untuk melakukan pengungkitan laba dalam upaya menghindari takeover. Kepemilikan keluarga pendiri juga dapat mempengaruhi manajemen melalui berbagai saluran. Casson (1999) dan Chami (1999) menyatakan bahwa keluarga pendiri yang memiliki saham dalam jangka panjang memandang perusahaan sebagi asset yang akan dinikmati di sepanjang waktu daripada sekedar untuk dinikmati sekarang. Konsisten dengan model kepemilikan saham jangka panjang Stein (1986, 1989) dan James (1999), menyatakan bahwa pemilik dapat mengabaikan myopia manajerial. Lamanya mereka menangani perusahaan memberi mereka pemahaman terhadap perusahaan yang sangat baik sehingga dapat memonitor manajemen dengan lebih cermat. Bukti empiris Anderson dan Reeb (2003a, 2003b, 2004) serta Anderson dkk. (2003) memberikan sejumlah konsekuensi perusahaan yang dikendalikan oleh pendiri. Mereka menunjukkan struktur kepemilikan yang terkonsentrasi dengan perusahaan ini memiliki dampak terhadap kinerja perusahaan. Perusahaan semacam ini memiliki karakteristik: 6. Kepemilikan Terkonsentrasi Perusahaan yang dikendalikan keluarga memiliki kepemilikan ekuitas yang relative tidak terdispersi. Demsetz dan Lehn (1985) mencatat bahwa pemilik sejumlah besar ekuitas memiliki insentif ekonomik untuk mengurangi biaya agensi. Kesejehteraan keluarga pendiri akan terkait dengan kinerja perusahaan. Hasilnya mereka memiliki insentif untuk melakukan pemantauan terhadap manajer. Hasilnya, pemantauan ini menyediakan kemampuan kepada keluarga pendiri dalam membatasi tindakan manajer untuk merekayasa laba. Struktur kepemilikan perusahaan yang tersebar mungkin akan mengurangi keinginan pemegang saham untuk memonitor dan membatasi konsumsi tambahan yang dilakukan manajer. Pada perusahaan yang kepemilikannya kurang tersebar, pemilik memiliki lebih banyak dorongan untuk memonitor secara langsung manajemen dan pembayaran kontrak menjadi tidak begitu sepenting pada perusahaan publik. La Porta dkk. (1999) mempelajari masalah pengendalian mutlak dengan melacak proporsi kepemilikan untuk menemukannya. Hasilnya menunjukkan bahwa kepemilikan dan pengendalian dapat dilihat determinannya pada pemegang saham yang besar. Claessens dkk. (2000) menemukan bahwa di Asia Timur lebih dari 23 % perusahaan dikendalikan oleh pemegang saham tunggal. Pemisahan manajemen dari pengendalian pemilik sulit diperoleh, dan 60% dari perusahaan yang sahamnya tidak dimiliki secara luas oleh publik dipimpin dari keluarga pemegang saham utama. Temuan ini menunjukkan implikasi dalam kebijakan-kebijakan manajemen karena adanya konsentrasi kepemilikan.

Artikel ini dimuat dalam jurnal Jurnal Akuntansi Universitas Jember

44

Di Asia Timur lebih dari 50% perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga. Perusahaan-perusahaan di Jepang umumnya lebih dimiliki oleh publik secara luas dibandingkan dengan perusahaan di Indonesia dan Thailand yang umumnya dikendalikan keluarga. Kontrol oleh negara juga lebih signifikan di Indonesia, Korea, Malaysia, Singapore, dan Thailand. Di Indonesia, perusahaan-perusahaan publik dimiliki oleh keluarga. Pada kenyataannya, ketika mereka masuk ke bursa saham, mereka hanya menjual sahamnya dalam proporsi yang kecil dan masih mempertahankan kepemilikan dalam porsi besar. Pada kasus perusahaan yang kepemilikannya terkonsentrasi, pemilik dapat aktif melakukan tugas pengawasan. Tindakan ini akan menurunkan asimetri informasi sehingga mengurangi motif manajemen untuk melakukan rekayasa laba. Beattie et al (1994) menemukan bahwa outside ownership concentration memiliki hubungan negatif dengan rekayasa laba. Semakin tinggi konsentrasi kepemilikan pihak luar maka semakin rendah kemungkinan perusahaan melakukan rekayasa laba. 7. Kepemilikan Publik Dan Rekayasa laba Hubungan kepemilikan publik dan rekayasa laba belum banyak dilakukan penelitian empiris. Beberapa penelitian yang mengungkapkan hubungan kedua varaibel tersebut adalah Bauwhede dkk. (2000, 2003), Suranta dan Merdiastusi (2004), Spohr (2004) serta Burgstahler dkk. (2004). Hubungan kedua variabel juga memperlihatkan inkosistensi arah dan signifikansi. Bauwhede dkk. (2002,2003), Suranta dan Merdiastusi (2004), serta Habib (2005) menunjukkan hubungan yang positif antara kepemilikan publik dan praktik rekayasa laba. Spohr (2004) dan Burgstahler dkk. (2004) serta Ashbaugh-Skaife dkk. (2006) menemukan hubungan negatif di antara keduanya. Sedangkan Moses (1987), dan Atik dan Sensoy (2004) gagal menunjukkan signifikasi hubungan keduanya. Kepemilikan publik merujuk pada prosentase kepemilikan saham yang dimiliki oleh publik yang diperoleh dari perdagangan saham di pasar saham. Kepemilikan publik digunakan sebagai proksi pengukur dispersi kepemilikan. Semakin besar kepemilikan publik diasumsi semakin tersebar kepemilikan perusahaan. Mengikuti argumentasi teoritis, semakin tersebar kepemilikan perusahaan mengakibatkan mekanisme pemantauan yang dapat dilakukan menjadi menurun. Konsekuensinya, timbul informasi asimetri dan memberikan keleluasaan manajemen untuk bertindak opportunistik dan mengutamakan kepentingan pribadinya. Struktur kepemilikan perusahaan yang tersebar akan mengurangi kemampuan pemegang saham untuk memonitor dan membatasi konsumsi tambahan yang dilakukan manajer. Pada perusahaan yang kepemilikannya kurang tersebar, pemilik memiliki lebih banyak dorongan untuk memonitor secara langsung manajemen dan pembayaran kontrak menjadi tidak begitu sepenting pada perusahaan publik. Spohr (2004) dan Burgstahler dkk. (2004) berpendapat bahwa agnituda rekayasa laba tergantung pada informasi asimetri. Semakin lebar informasi asimetri antara manajer dan pemilik perusahaan, maka semakin berkualitas angka laba yang dilaporkan dan menurunkan praktik rekayasa laba. Manajer termotivasi untuk memberikan informasi yang transparan, relevan dan kredibel. Dengan latar belakang informasi asimetri, Burgstahler dkk. dan Spohr menunjukkan bahwa perekayasaan laba lebih banyak dilakukan pada perusahaan privat dibandingkan perusahaan publik.

Artikel ini dimuat dalam jurnal Jurnal Akuntansi Universitas Jember

45

Hal ini disebabkan karena pada perusahaan publik memiliki informasi asimetri yang lebih tinggi, sehingga manajemen termotivasi untuk menurunkan asimetri tersebut. Studi menunjukkan hubungan negatif antara kepemilikan publik dan rekayasa laba ditujukkan oleh Park dan Shin (2002). Pemegang saham pengendali memiliki insentif untuk merekayasa laba. Insentif tersebut dilatarbelakangi keinginan untuk menggali kekayaan dari perusahaan yang diperdagangkan secara publik. Karena dominasi suara, mereka mampu mengendalikan perusahaan untuk tujuan pribadinya. Hal ini akan mengarahkan pemegang saham pengendali individual dan korporasi untuk merekayasa laba dengan harapan untuk menghindari kehilangan kekayaan di pasar modal. Publik tidak dapat secara langsung mengawasi manajemen, sehingga mendasarkan pada laporan keuangan belaka. Prosentase kepemilikan publik yang rendah memberikan manajemen keleluasaan untuk memuasakan pemegang saham pengendali. Jadi kepemilikan publik memiliki pengaruh positif pada kecenderungan melakukan perekayasaan laba. Penelitian terdahulu menunjukkan bukti empiris adanya pengaruh pasar modal pada upaya rekayasa laba yang dilaporkan oleh perusahaan publik. Perusahaan perekayasa mengatur laba untuk mengkomunikasikan informasi privatnya pada pasar saham (Subramanyam, 1996), untuk mecapai atau memenuhi ekspektasi analist mengenai laba perusahaan (Abarbanell dan Lehavy, 1999; Burgstahler dan Eames, 1999; Degeorge dkk. 1999; Payne dan Robb, 2000), untuk meningkatkan tambahan pendanaan atau menjual saham kepemilikan pada harga yang lebih tinggi (Aharony dkk., 1993; Dechow dkk., 1996; Friedlan, 1994; Rangan, 1998; Teoh dkk., 1998). Berdasarkan bukti-bukti empiris tersebut, Bauwhede dkk. (2003) menduga bahwa kepemilikan publik menyediakan insentif untuk merekayasa laba sehingga dapat memenuhi ekpektasi pasar terhadap laba perusahaan. Ketidakmampuan mencapai ekpektasi pasar modal dianggap memiliki dampak negatif terhadap nilai pasar sehingga saham perusahaan akan turun. Studi empiris yang dilakukan berhasil menunjukkan bahwa baik perusahaan privat maupun publik mengatur laba yang dilaporkan. Namun demikian, Bauwhede gagal menunjukkan perbedaan intesitas rekayasa laba pada perusahaan privat maupun publik. Hasil empiris di Indonesia menunjukkan adanya hubungan positif antara kepemilikan publik dan rekayasa laba (Suranta dan Merdistusi, 2004). Menurut mereka, jumlah kepemilikan publik yang besar menyebabkan praktik perekayasaan yang semakin tinggi. Di Indonesia, perusahaan-perusahaan publik dimiliki oleh keluarga. Pada kenyataannya, ketika mereka masuk ke bursa saham, mereka hanya menjual sahamnya dalam proporsi yang kecil dan masih mempertahankan kepemilikan dalam porsi besar. Terdapat pertentangan ketika pembahasan masalah kepemilikan publik. Pada satu sisi, ketika kepemilikan publik kecil maka aktivitas pemantauan akan lebih mudah dilakukan. Pemilik mayoritas dapat terlibat langsung dalam pengawasan manajemen. Di sisi lain, kepemilikan mayoritas juga memberikan tekanan kepada manajemen untuk melakukan sesuai kepentingan mereka dengan mengabaikan pemilik minoritas. Apabila pemilik mayoritas melakukan tindakan yang mengutamakan kepentingan pribadinya, maka manajer dapat mudah dipaksa untuk melakukan rekayasa. Mekanisme governansi korporasi yang berjalan akan menyadarkan pada kepentingan pemegang saham mayoritas yakni non publik.

Artikel ini dimuat dalam jurnal Jurnal Akuntansi Universitas Jember

46

8. Jangka Keberadaan Keluarga pendiri umumnya adalah investor jangka panjang. Sebagai contoh keluarga The DuPont, adalah pemegang saham mayoritas (sedikitnya 15 persen dari ekuitas saham) selama lebih dari 200 tahun pada perusahaan dengan nama yang sama dengan nama keluarga tersebut. Lamanya jangka waktu tersebut memberikan dampak terhadap propensitas perusahaan untuk melakukan rekayasa laba. Pertama, keluarga pendiri biasanya menyukai untuk memiliki horizon investasi yang lebih panjang disbanding pemegang saham umum. Hal ini memberikan limitasi tekanan pada manajemen perusahaan untuk membuat kemakmuran jangka pendek yang memuaskan partisipan pasar modal. Selama perspektif rekayasa laba cenderung saling menggantikan antar waktu, maka semakin lama kepemilikan seharusnya akan menurunkan rekayasa laba. Keluarga pendiri yang berhubungan dengan perusahaan dalam jangka panjang memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai operasi dan praktik perusahaan, dan hal ini akan menekan praktik rekayasa laba. 9. Reputasi Kepemilikan keluarga memiliki reputasi dalam permodalan yang diinvestasikan pada perusahaan. Pertama, banyak perusahaan yang memberi nama sesuai dengan nama pendiri. Keluarga cenderung untuk mewariskan perusahaan pada generasi keturunannya. Casson (1999) dan Chami (1999) membuat suatu argument bahwa keluarga pendiri memandang perusahaan yang tidak hanya berarti untuk konsumsi sekarang, tetapi juga asset di masa depan. Lamanya mereka terlibat di erusahaan memberikan kemampuan kepada keluarga pendiri untuk mengadakan kerjasama dengan penyedia modal. Hasilnya, reputasi ini dapat berfunsi sebagai mekanisme bonding.

10 Simpulan Teori agensi memunculkan masalah-masalah fundamenetal dalam perilaku dua kepentingan di dalam organisasi. Manajer-manajer perusahaan masing-masing memiliki tujuan personal yang bersaing dengan tujuan untuk memaksimisasi kesejahteraan pemegang saham. Ketika pemegang saham memberikan kewenangan kepada manajer untuk mengelola asset perusahaan, konflik kepentingan akan muncul antara dua kelompok tersebut. Pembagian kewenangan antara kepemilikan dan fungsi pengelolaan perusahaan dapat menimbulkan masalah agensi antara pemilik dan manajer. Teori agensi menyatakan bahwa manajer yang bertindak sebagai agen akan cenderung memenuhi kesejahteraannya lebih dahulu dibandingkan dengan kesejahteraan pemilik. Tindakan ini dapat mengurangi kesejahteraan pemilik. Hal inilah yang seringkali memunculkan konflik agensi. Manajer akan terdorong untuk melakukan manipulasi informasi jika mereka merasa bahwa tindakan tersebut dapat mengamankan kepentingannya. Manipulasi akuntansi dapat dilakukan oleh manajemen, karena manajemen leluasa memilih alternatif metode akuntansi. Tentunya, manajemen akan memilih metode akuntansi tertentu jika terdapat insentif dan motivasi untuk melakukannya. Jika kepentingan manajer dan pemilik sudah selaras maka tidak ada motivasi lagi untuk melakukan penyembunyian informasi. Artikel ini dimuat dalam jurnal Jurnal Akuntansi Universitas Jember

47

Agen dan prinsipal memiliki kepentingan yang berbeda. Keselarasan kepentingan tersebut dapat dicapai jika agen (manajer) memiliki saham di perusahaan. Manajer yang memiliki saham, mempunyai kepentingan yang sama dengan pemilik. Jika hal ini terjadi, maka konflik agensi dapat dikurangi. Bila seseorang memiliki kontrol yang efektif, artinya manajer memiliki saham kepemilikan, maka ia akan dapat mengendalikan informasi akuntansi dan kebijakan pelaporan. Asimetri informasi antara agen dan prinsipal memunculkan kepentingan bagi pemegang saham untuk melakukan pemantauan. Rentangan pengendalian ini berhubungan positif dengan struktur kepemilikan saham. Struktur kepemilikan memiliki pengaruh yang kuat untuk mengendalikan upaya rekayasa laba. Pemegang saham yang kuat dapat menetapkan praktik pemantauan untuk mengurangi kemungkinan manajer melakukan tindakan yang mengurangi kepentingannya. Daftar Pustaka Aharony, J., C.J. Lin and M.P. Loeb 1993. Initial public offering, accounting choices, dan earnings management. Contemporary Accounting Research, 10 1: 61-81. Anderson, J.C. and J.G. Louderback III, 1975. Income manipulation dan purchasepooling: Some additional results. Journal of Accounting Research (Autumn): 338-343. Ashbaugh-Skaife, H., R.LaFond, and M. Lang. 2006. The effects of governance on smoothing and smoothing consequences: international evidence. Social Science Research Network Electronic Paper. Id4420236. Assih, P., dan Gudono.1998. Hubungan tindakan perataan penghasilan dengan reaksi pasar atas pengumuman informasi laba perusahaan yang terdapat di Bursa Efek Jakarta, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol 3 No, 1. (Januari): 35-53 Atik , A. and N. ensoy. 2006. Detecting income smoothing behaviours of Turkish listed firms through discretionary accounting changes. Sosial Saince Research Network Ball, R., and Brown, P., 1968. An empirical evaluation of accounting income numbers. Journal of Accounting Research 6: 159-178. Barth, M. E., J. A. Elliott, and M. W. Finn. 1999. Market rewards associated with patterns of increasing earnings. Journal of Accounting Research 37 (Autumn): 387413. Bauwhede, H.V. and M. Willekens. 2003. Earnings management in Belgium: a review of the empirical evidence. Tijdschrift voor Economie en Management Vol. XLVIII, 2 Bauwhede, H.V., M. Willekens, and A. Gaeremynck 2003. Audit firm size, public ownership, and firms discretionary accruals management. The International Journal of Accounting 38: 122 Beattie, V., S. Brown, D. Ewers, B. John, S. Manson, D.Thomas and M. Turner. 1994. Extraordinary items and income smoothing: A positive accounting approach. Journal of Business Finance dan Accounting, 216: 0306-686X

Artikel ini dimuat dalam jurnal Jurnal Akuntansi Universitas Jember

48

Burgstahler, D. and I. Dichev, 1997. Earnings management to avoid earnings decreases and losses. Journal of Accounting and Economics 24: 99-126. Carlson, S.J. and C.T. Bathala., 1997. Ownership differences and firms income smoothing behavior. Journal of Business Finance and Accounting 24(2) (March): 179-196. Claessens, S., S. Djankov, and L.H.P. Lang, 2000.The Separation of ownership and control in East Asian corporations. SSRN.com. 2000 DeAngelo, L, E., 1986. Accounting number as valuation substitutes: A study of management buyouts of public stockholders. The Accounting Review, 59: 400420. Dechow, P., R. Sloan and A. Sweeney, 1995. Detecting earnings management. The Accounting Review 70(2): 193-225. Dechow, P.M. and D.J. Skinner. 2000. Earnings management: reconciling the views of accounting academics, practitioners, and regulators. Accounting Horizons 14 2: 235-250. DeFond, M., and C. Park, 1997. Smoothing income in anticipation of future earnings. Journal of Accounting dan Economics 23 (2): 115-139. Dhaliwal, D. S., G. L., Salamon, and E. D. Smith, 1982. The effect of owner versus management control on the choice of accounting methods. Journal of Accounting and Economics 4. 4153. Faizal, 2004. Analisis agency cost, struktur kepemilikan and mekanisme corporate governance. Kumpulan Materi Simposium Nasional Akuntansi (SNA) III. Denpasar Bali. Desember: 83-113 Friedlan, M, L., 1994. Accounting choices of issuers of initial public offerings. Contemporary Accounting Research, 11 1: 1-31. Habib, A. 2005. Firm-specific determinants of income smoothing in Bangladesh: An empirical evaluation. Advances in International Accounting. Vol. 18: 53-71 Koch, B.S., 1981. Income smoothing: An experiment. The Accounting Review 56(3) (July): 574-586. Koh, P.S, 2001. The impact of institutional investor type on corporate earnings management. PhD Dissertation, University of Tasmania. La Porta, R., F. Lopez-de-Silanes and A. Shleifer. 1999. Corporate ownership around the world. Journal of Finance 54. 471-518. Lambert, R.A., 1984. Income smoothing as rational equilibrium behavior. The Accounting Review 59(4) (October): 604-618. Loomis, C.J., 1999. Lies, damned lies, and managed earnings. Fortune 140(3) (Aug.2): 74-92. Ma, C.K., 1988. Loan loss reserves and income smoothing: The experience in the US banking industry. Journal of Business Finance and Accounting 15(4) (Winter): 487-497.

Artikel ini dimuat dalam jurnal Jurnal Akuntansi Universitas Jember

49

Makaryanawati, 2003. Analisis perbedaan praktik perataan penghasilan melalui ukuran perusahaan. Ekuitas, Jurnal Ekonomi dan Keuangan. Stiesia. Vol 7 No.1, (Maret): 1-15 Moses, O.D. 1987. Income Smoothing and Incentives: Empirical Test Using Accounting Changes. The Accounting Review, Vol. 62. No.2: 358-377 Park, Y.W. and H. Shin. 2004. Board composition and earning management Rangan, S., 1998. Earnings management and the performance of seasoned equity offerings. Journal of Financial Economics, 50: 101-122. Schipper, K., 1989. Commentary on earnings management. Accounting Horizon, 3: 91-102. Subramanyam, K. R. 1996. The pricing of discretionary accruals. Journal of Accounting and Economics, 22: 249281. Suranta, E. dan P.P. Merdiastusi. 2004. Income smoothing, Tobins Q, agency problems dan kinerja perusahaan. Kumpulan Materi Simposium Nasional Akuntansi (SNA) III. Denpasar Bali. (Desember): 340-358 Teoh, S.H., I. Welch, and T.J. Wong. 1998. Earnings management and the underperformance of seasoned equity offerings. Journal of Financial Economics, 50: 63-99. Watts, R, L., and J.L. Zimmerman. 1986. Positive Accounting Theory. New York, Prentice Hall. Weisbach, M.S., 1988. Outside directors and CEO turnover. Journal of Financial Economics 20, 198431.

Artikel ini dimuat dalam jurnal Jurnal Akuntansi Universitas Jember