2. tinjauan pustaka 2.1 cacing laut ( nereis sprepository.ub.ac.id/6463/3/bab 2 skripsi-...
Post on 27-Nov-2020
16 Views
Preview:
TRANSCRIPT
6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cacing Laut ( Nereis sp )
Cacing laut Nereis sp. termasuk dalam kelas Polichaeta. Kelas policaheta
seringkali diasosiasikan dengan indikator lingkungan perairan dalam keadaan
baik (Dean, 2008). Penggunaan cacing laut dapat memberikan beberapa
manfaat dalam kehidupan. Manfaat dari cacing laut Nereis sp, diantaranya
sebagai pakan induk udang windu, udang galah, dan udang vaname. Cacing laut
dalam bentuk segar berupa cacahan maupun dalam bentuk tepung yang
dicampurkan dalam pembuatan pellet, sangat baik digunakan untuk
meningkatkan pertumbuhan udang windu dan galah (Hermawan et al., 2015).
Caing laut tergolong dalam kelas polychaeta. Klasifikasi dari cacing laut (Nereis
sp) menurut Wilson dan Ruff (1988) adalah sebagai berikut.
Filum : Annelida Kelas : Polychaeta Ordo : Phyllodocida Famili : Nereidaeq Genus : Nereis Spesies : Nereis sp.
Ciri-ciri dari cacing laut (Nereis sp) ini adalah memiliki segmen yang
cukup banyak mencapai 200 segmen, panjang badan mencapai 900 mm, pada
bagian distal memiliki sepasang antena dan mata. Lebar pada bagian tubuhnya
dapat mencapai 40 mm. Cacing laut merupakan hewan pemakan endapan.
Cacing laut nereis dilaporkan dapat hidup pada berbagai sedimen dari lumpur
berpasir hingga pasir saja (Wilson dan Ruff, 1988). Cacing laut ini biasanya juga
sering ditemukan di sekitar wilayah perairan pantai di Jawa Timur. cacing laut
dalam bentuk tepung memiliki kandungan protein sebesar 56,29%, lemak
11,32%, dan abu sebesar 14,34% (Hermawan et al., 2015). Morfologi dari cacing
7
laut Nereis sp dengan pengamatan anterior sampel menggunakan mikroskop
stereo perebesaran 2x dapat dilihat pada Gambar 1.
2.2 Cacing Tanah Lumbricus rubellus dan Eisenia foetida
Cacing termasuk hewan tingkat rendah, karena tidak memiliki tulang
belakang (invertebrata). Cacing tergolong ke dalam Filum Annelida. Annelida
berasal dari kata “Annulus” yang berarti cincin. Tubuh hewan ini terdiri dari
cincin-cincin atau segmen-segmen (Nilawati et al., 2014). Cacing tanah termasuk
dalam kelas Oligochaeta yang mempunyai banyak suku (famili). Terdapat 4
spesies cacing tanah yang sudah dibudidayakan dan diproduksi secara
komersial, yaitu Lumbricus rubellus, Eisenia foetida, Pheretima asiatica, dan
Eudrilus eugeuniae. Cacing tanah merupakan hewan hermaprodit yaitu
mempunyai alat kelamin jantan dan betina sekaligus (unisex). Cacing tanah yang
sudah dewasa kelamin memiliki klitelium yang berfungsi sebagai alat reproduksi.
Klitelium juga merupakan penciri utama pembeda spesies cacing tanah yang
berasal dari penebalan jaringan epitel permukaan dan mengandung banyak
sekali sel-sel kelenjar. Sel-sel kelenjar tersebut menghasilkan sekreta yang
menyerupai lendir. Sekreta tersebut berguna untuk pembentukan kokon serta
pelindung pada saat embrio berkembang (Simandjutak dan Waluyo,1982).
Gambar 1. Cacing Laut Nereis sp
8
Cacing tanah merupakan hewan yang memiliki kutikula berpigmen yang
tipis bersama setae diatas semua segmen kecuali pada dua segmen pertama.
Reproduksi pada cacing tanah secara hemaprodit yaitu memiliki alat kelamin
jantan dan betina. Cacing tanah juga memiliki klitelium yang dapat mengeluarkan
kokon, sistem peredaran darah bersifat tertutup, sistem ekskresinya
menggunakan anus dan nephridia, serta sistem respirasi yang dilakukan
menggunakan kulit (Anas, 1990). Bagian luar dari cacing tanah terdapat segmen
diseluruh tubuhnya. Segmen pada cacing tanah bervariasi namun pada
umumnya segmen yang paling lebar ada pada bagian anterior (Anas, 1990).
Berbagai hasil penelitian menunjukkan cacing tanah mengandung protein
yang sangat tinggi, yaitu 65-84,5%. Protein cacing tanah terdiri dari asam-asam
amino esensial yang lengkap dan kadarnya cukup tinggi. Komposisi asam amino
dalam cacing tanah adalah: arginin, sistin, glisin, histidin, isoleusin, leusin, lisin,
metionin, fenionin, fenilalanin, serin, treonin, tirosin, dan valin (Palungkun, 2008).
Selain sering dimanfaatkan untuk sumber protein pada bahan pakan ikan,
cacing tanah juga dapat di manfaatkan sebagai kosmetik dan obat. Cacing tanah
juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein pada pakan ikan. namun pada
beberapa penelitian yang telah di kembangkan, cacing juga dapat bermanfaat
sebagai antibakteri (Khairuman dan Khairulamri, 2010).
Cacing tanah (Lumbricus rubellus) menurut Maulida (2015), merupakan
jenis cacing yang aktif di permukaan tanah. Memiliki warna tubuh gelap dan
memiliki kemampuan penyamaran yang efektif. Lumbricus rubellus merupakan
cacing tanah yang aktif pada permukaan tanah. Lumbricus rubellus ini memiliki
ciri-ciri tubuh berwarna coklat atau coklat kemerahan, panjang tubuh anatara 25 -
105 mm, pada bagian ekor berwarna kuning, dan memiliki jumlah segmen
sebanyak 95-120. Menurut Maulida (2015), klasifikasi dari cacing tanah
Lumbricus rubellus dalam taksonomi adalah sebagai berikut.
9
Kingdom : Animalia Filum : Annelida Kelas : Clitellata Ordo : Oligochaeta Famili : Lumbricidae Genus : Lumbricus Spesies : Lumbricus rubellus
Lumbricidae menurut (Anas, 1990), memiliki 6 buah otot blok pada bagian
punggung, perut, dan bagian bawah. Posisi dari klitelium digunakan sebagai
penciri utama pada lumbricidae, karena posisi klitelium ada pada segmen ke 26,
27-31, 32 Morfologi dari Lumbricus rubellus dengan pengamatan anterior sampel
menggunakan mikroskop stereo perebesaran 2x dapat dilihat pada Gambar 2.
Cacing tanah berjenis Lumbricus rubellus ini memiliki kemampuan
mendekomposisi limbah organik, tingkat produktivitas tinggi, dan pemeliharaan
yang mudah. Cacing tanah Lumbricus rubellus (dalam kondisi kering) memiliki
kandungan protein tinggi 64-76%, lemak 7-10%, kalsium 0,55%, fosfor 1%, serat
kasar 1,08%, dan auxin sebagai zat perangsang tumbuh untuk tanaman. Protein
yang sangat tinggi terdiri dari setidaknya sembilan macam asam amino esensial
dan empat macam asam amino non-esensial. Asam amino esensial didominasi
oleh isoleusin, lisin, dan leusin. Asam amino non esensial didominasi oleh asam
glutamate, dan serin (Wulandari, 2010). Cacing ini dapat digunakan sebagai
Gambar 2. Cacing Tanah Lumbricus rubellus
10
antibakteri karena memiliki aktifitas antimikroba dan dapat menghasilkan zat
pengendali bakteri yang bernama lumbricin (0,1 μg/g) yang merupakan senyawa
peptida dengan susunan asam amino yang lengkap terutama prolin (Sofyan et
al., 2008). Lumbricin menurut Suryani et al., (2015), merupakan senyawa peptida
yang disusun oleh asam amino yang lengkap terutama prolin. Lumbricus rubellus
juga sering digunakan sebagai obat, khususnya untuk menegobati penyakit tipes.
Eisenia foetida merupakan cacing yang mudah untuk di kembangbiakkan
dan sering dijual oleh peternak cacing. Cacing Eisenia foetida ini merupakan
cacing yang berperan dalam pembentukan kompos dan tidak dapat bertahan
hidup dalam waktu yang lama di lapangan (Anas, 1990). Cacing tanah Eisenia
foetida termasuk famili lumbericidae dan genus eisenia. Cacing ini sering disebut
dengan cacing macan karena tubuhnya memiliki corak seperti macan. Klasifikasi
cacing tanah Eisenia foetida menurut Permata (2006), adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia Phylum : Annelida Kelas : Clitellata Sub kelas : Oligochaeta Ordo : Haplotaxiada Sub Ordo : Lumbricina Famili : Lumbricidae Genus : Eisenia Spesies : Eisenia foetida
Eisenia foetida memiliki tubuh berwarna coklat dan memiliki garis segmen
yang lebih terlihat jelas. Jumlah klitelium pada cacing Eisenia foetida terletak
pada segmen ke 24, 25, 26, 27 dan jumlah total segmen tubuhnya berkisar
antara 90-105. Klitelium pada Eisenia foetida berbentuk sadel dan jumlah seta
yang dimilikinya hanya sedikit (Permata, 2006). Morfologi dari Eisenia foetida
dengan pengamatan anterior sampel menggunakan mikroskop stereo
perebesaran 2x dapat dilihat pada Gambar 3.
11
2.3 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun cair
dengan bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak
substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi
merupakan proses pemisahan suatu bahan dari campurannya. Ekstraksi
merupakan proses pemisahan zat aktif yang dapat larut dari bahan yang tidak
dapat larut dengan pelarut cair. Hasil dari ekstrak yang berwujud seperti pasta
kental diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari sampel. Ekstraksi
dapat dilakukan dengan berbagai cara. Proses ekstraksi menggunakan pelarut
tertentu didasarkan pada kelarutan komponen terhadap komponen lain dalam
campuran (Suyitno et al., 1989). Beberapa syarat pelarut yang digunakan pada
saat ekstraksi adalah harus dapat melarutkan semua zat yang ada pada bahan
tersebut (Munawaroh, 2010).
Pada penelitian ini dilakukan juga proses maserasi dan evaporasi.
Maserasi dilakukan dengan cara perendaman dengan pelarut tertentu dan
dilakukan penyaringan, sehingga di dapatkan filtrat. Hasil filtrat yang di dapat
kemudian diuapkan oleh alat evaporator. Beberapa syarat pelarut yang
digunakan pada saat ekstraksi menurut Munawaroh (2010), adalah harus dapat
melarutkan semua zat yang ada pada bahan.
Gambar 3. Cacing Tanah Eisenia foetida
12
2.4 Pelarut Etil Asetat
Berdasarkan kepolarannya, pelarut dibagi menjadi tiga macam yaitu
polar, semi polar, dan non polar. Pelarut polar akan melarutkan solut yang polar
(Ash’ary et al., 2010). Ditambahkan dengan Saurasa et al., (2011), pelarut non
polar akan melarutkan solut yang non polar dan memiliki kemampuan untuk
megikat gugus nonpolar (OH). Sedangkan pelarut yang bersifat semipolar dapat
melarutkan pelarut yang bersifat polar ataupun non polar.
Etil asetat adalah salah satu jenis pelarut yang memiliki karakterisrik
jernih, tak berwarna dan berbau khas yang menyengat. Etil asetat merupakan
pelarut yang mudah menguap, tidak beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat
merupakan senyawa yang bersifat semipolar sehingga dapat menarik analit-
analit yang bersifat polar dan non polar (Artini, 2013). Etil asetat merupakan
pelarut yang memiliki ciri-ciri antara lain massa molekul sebesar 88,11 g/mol,
memiliki titik didih 77,1 , dan titik leleh -840C, (Ibrahim, 2013).
Etil asetat merupakan penerima ikatan hidrogen yang lemah, dan bukan
suatu donor ikatan hidrogen karena tidak adanya proton yang bersifat asam
(yaitu hidrogen yang terikat pada atom elektronegatif seperti flor, oksigen, dan
nitrogen). Etil asetat dapat melarutkan air hingga 3%, dan larut dalam air hingga
kelarutan 8% pada suhu kamar (Minarni, 2013). Etil asetat merupakan senyawa
yang dihasilkan dari pertukaran gugus hidroksil pada asam karboksilat dengan
gugus hidrokarbon yang terdapat pada etanol. Etil asetat seringkali disintesis
dengan mengunakan katalisator cair berupa asam sulfat (nuryoto, 2008).
2.5 Bakteri Uji Salmonella typhi
Salmonella typhi adalah strain bakteri yang dapat menyebabkan penyakit
demam tipoid. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi serius dan merupakan
penyakit endemis yang serta menjadi masalah kesehatan global termasuk di
13
Indonesia dan Negara-negara Asia (Cita, 2011). Salmonella typhi juga dapat
menyebabkan penyakit gastroenteritis (keracunan makanan) dan septikemia.
Bakteri ini masuk melalui mulut bersama makanan dan minuman yang
terkontaminasi oleh bakteri tersebut dan hanyut ke saluran pencernakan, apabila
bakteri berhasil mencapai usus halus dan masuk ke dalam tubuh mengakibatkan
terjadinya demam tipoid (Darmawati dan Haribi, 2005).
Salmonella typhi adalah bakteri yang selnya berbentuk batang berukuran
0,7-1,5pm x 2,0-5,0 pm, dan bersifat Gram-negatif, sehingga mempunyai
komponen outer layer (lapisan luar) yang tersusun dari LPS (lipopolisakariada)
dan dapat berfungsi sebagai endotoksin. Bakteri ini juga dapat bergerak dengan
flagel peritrik, tidak membentuk spora. Bakteri Salmonella typhi merupakan jenis
bakteri yang bersifat fakultatif anaerob, dan membutuhkan suhu optimal 370C
untuk pertumbuhannya (Cita, 2011). Morfologi kenampakan bakteri Salmonella
typhi dapat ditunjukkan pada Gambar 4.
Salmonella typhi dapat tumbuh optimum pada suhu 370C, meskipun
dapat tumbuh di bawah suhu 100C, dan pH optimum pertumbuhan adalah 6,5-7,5
walaupun dapat tumuh pada interval pH 5,5. Bakteri ini terdapat pada makanan
dengan kandungan lemak tinggi, serta viabilitasnya akan menurun selama
penyimpanan beku (Portillo, 2000). Bakteri Salmonella typhi adalah bakteri gram
negatif yang menyebabkan gangguan kesehatan pada organ pencernaan
(Suryani, 2010). Bakteri gram negatif umumnya lebih resisten terhadap antibiotik
Gambar 4. Bakteri Salmonella typhi (Cita, 2011)
14
dibandingkan dengan bakteri gram positif karena membran bagian luar
menghalangi masuknya obat-obatan, berbanding terbalik dengan bakteri gram
positif. Bakteri ini adalah salah satu bakteri endogen pada saluran
gastrointestinal ikan dan kelompok vertebrata lain
Bakteri gram negatif memiliki struktur yang lebih kompleks, yaitu
kompleks molekul liposakarida yang melindungi senyawa toksik dan antibiotik,
serta membuat lapisan tipis peptidoglikan dan plasma membran. Struktur dinding
sel yang lebih kompleks dan stabil menyebabkan resistensi bakteri gram negatif
terhadap senyawa antibakteri di luat dinding dibandingkan golongan bakteri gram
positif yang hanya mempunyai lapisan peptidoglikan (Istiqomah et al., 2014).
Bakteri Salmonella typhi juga dapat digunakan sebagai dasar untuk melacak
epidemiologi dari kasus demam typoid, disamping itu dengan adanya keunikan-
keunikan sifat yang dimiliki oleh strain bakteri tersebut dapat digunakan sebagai
dasar identifikasi dan klasifikasinya (Darmawati, 2009).
2.6 Uji Aktivitas Antibakteri
Pengukuran aktivitas antibakteri menurut Kusmiyati dan Agustini (2006),
dapat dilakukan dengan metode difusi dan metode pengenceran. Metode difusi
merupakan salah satu metode yang sering digunakan, metode difusi dapat
dilakukan 3 cara yaitu metode silinder, lubang dan cakram kertas. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode cakram (Kirby-Bauer). Semakin
besar diameternya maka semakin terhambat pertumbuhannya, sehingga
diperlukan standar acuan untuk menentukan apakah bakteri itu resisten atau
peka terhadap suatu antibiotik. Faktor yang mempengaruhi metode Kirby-Bauer
antara lain: (1) konsentrasi mikroba uji, (2) konsentrasi antibiotik yang terdapat
dalam cakram, (3) jenis antibiotik, serta (4) pH medium (Jawetz et al., 1996).
15
Metode Kirby-Bauer digunakan untuk menentukan keampuhan antibiotik.
Pada uji ini media agar di tanam dengan bakteri uji, kemudian kertas cakram
yang berisi beberapa antibiotik diletakkan diatas lempengan agar yang telah
ditanam bakteri uji. Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh antibiotik
dapat dilihat dari wilayah bening atau zona bening yang dihasilkan disekitar
kertas cakram (Lay,1994). Lebarnya diameter zona bening dapat dijadikan
sebagai parameter untuk melihat kekuatan senyawa bioaktif yang terkandung
dalam ekstrak. Semakin lebar diameter zona hambat yang terbentuk
mengindikasikan semakin kuatnya senyawa bioaktif itu menghambat
pertumbuhan bakteri.
Luasnya wilayah jerinih menurut Lay (1994), merupakan petunjuk
kepekaan mikroorganisme terhadap antibiotik. Salain itu luasnya wilayah
berkaitan dengan kecepatan berdifusi antibiotik terhadap medium. Kecepatan
berdifusi ini harus diperhitungkan dalam penentuan keampuahan antibiotik.
Beberapa bahan antimikrobial tidak membunuh tapi hanya menghambat
pertumbuhan mikroorganisme. Bahan antimikrobial bersifat bakterisidal bila
digunakan dalam konsentrasi kecil, namun bila digunakan dalam konsentrasi
tinggi akan mematikan mikroorganisme. Berdasarkan hal ini perlu diketahui
Minimum Inhibition Concentration (MIC) dan Minimum Bactericidal Concentration
(MBC) (Lay,1994).
MIC (minimum inhibition concentration) merupakan petunjuk konsentrasi
antibiotik yang mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan juga
memberikan petunjuk mengenai dosis yang diperlukan dalam pengobatan
penyakit (Lay,1994). minimum inhibition concentration juga merupakan
konsentrasi terendah bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
dengan hasil yang dilihat dari pertumbuhan koloni pada agar atau kekeruhan
pada biakan cair. Sedangkan minimum bactericidal concentration merupakan
16
konsentrasi terendah antimikroba yang dapat membunuh 99,9% pada biakan
selama waktu yang ditentukan (Juke, 2015). Penentuan konsentrasi minnimum
antibiotik yang dapat membunuh bakteri atau MBC dilakukan dengan menanam
bakteri pada perbenihan cair yang digunakan untuk MIC kedalam agar kemudian
di inkubasi semalam pada suhu 370C (Juke, 2015).
2.7 Pengamatan Morfologi Bakteri dengan Pewarnaan Sederhana
Mikroorganisme sulit dilihat dengan mikroskop cahaya karena tidak
mengabsorpsi ataupun membiaskan cahaya. Bagian sitoplasma sel pada
mikroba memiliki indeks bias yang hampir sama dengan indeks bias
lingkungannya yang berisfat cair. Kontras antara sel dan latar belakangnya dapat
dijelas dengan pemberian zat warna. Alasan inilah yang menyebabkan zat warna
digunakan untuk mewarnai mikroorganisme atau latar belakangnya. Zat warna
mengadsorbsi dan membiaskan cahaya sehingga kontras mikroorganisme
dengan sekelilingnya ditingkatkan (Lay, 1994).
Menurut Dwidjoseputro (1998), berdasarkan perbedaannya dalam
penyerapan warna, bakteri terbagi menjadi dua jenis golongan yaitu bakteri gram
positif dan gram negatif. Bakteri gram positif menyerap zat warna pertama yaitu
kristal violet yang menyebabkan bakteri tersebut berwarna ungu, sedangkan
bakteri gram negatif menyerap zat warna kedua yaitu safranin dan menyebabkan
warna merah. Bakteri uji Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif.
Penambahan safranin menyebabkan sel bakteri berwarna merah karena
persenyawaan kompleks kristal violet-yodium larut dan dinding sel kemudian
mengikat zat warna kedua (Lay,1994).
17
2.8 Pengamatan Morfologi Bakteri dengan Scanning Electron Microscopy (SEM)
SEM menurut Abdullah dan Khairurrija (2009), adalah salah satu jenis
mikroskop elektron yang menggunakan berkas elektron untuk menggambar profil
permukaan benda. Prinsip kerja SEM adalah menembakkan berkas elektron
berenergi tinggi ke permukaan benda. Permukaan benda yang dikenai berkas
akan memantulkan kembali berkas tersebut atau menghasilkan elektron
sekunder ke segala arah. SEM dapat memberikan kontras yang relatif rendah
terlebih pada perbesaran tinggi. Oleh karena itu SEM harus dioperasikan dengan
pengaturan parameter elektron seperti high voltage, spot size, bias dan beam
current juga parameter optik seperti kontras, fokus dan astigmatismus yang tepat
sehingga diperoleh hasil gambar yang optimal secara ilmiah dan tidak
memberikan interpretasi ganda (Sujatno et al., 2015).
Komponen utama alat SEM ini pertama adalah tiga pasang lensalensa
elektromagnetik yang berfungsi memfokuskan berkas elektron menjadi sebuah
titik kecil, lalu oleh dua pasang scan coil discan-kan dengan frekuensi variabel
pada permukaan sampel. Yang kedua adalah sumber elektron, biasanya berupa
filamen dari bahan kawat tungsten atau berupa jarum dari paduan Lantanum
Hexaboride LaB6 atau Cerium Hexaboride CeB6, yang dapat menyediakan
berkas elektron yang teoretis memiliki energi tunggal (monokromatik), Ketiga
adalah imaging detector, yang berfungsi mengubah sinyal elektron menjadi
gambar/image. Sesuai dengan jenis elektronnya (Sujatno et al., 2015).
Cara kerja dari SEM adalah sinar dari lampu dipancarkan pada lensa
kondensor, sebelum masuk pada lensa kondensor ada pengatur dari pancaran
sinar elektron yang ditembakkan. Sinar yang melewati lensa kondensor
diteruskan lensa objektif yang dapat diatur maju mundurnya. Sinar yang melewati
lensa objektif diteruskan pada spesimen yang diatur miring pada pencekamnya,
18
spesimen ini disinari oleh deteksi x-ray yang menghasikan sebuah gambar yang
diteruskan pada layar monitor (Respati, 2008). SEM memiliki resolusi yang lebih
tinggi daripada mikroskop optik. Hal ini karena panjang gelombang de Broglie
yang dimiliki mikroskop elektron lebih pendek daripada gelombang optik.
top related