analisis eksistensi hak pengusahaan perairan pesisir dalam kaitan dengan sektor kepariwisataan kota...
Post on 27-Jul-2015
952 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
ANALISIS EKSISTENSI HAK PENGUSAHAAN PERAIRAN
PESISIR DALAM KAITAN DENGAN SEKTOR
KEPARIWISATAAN KOTA MAKASSAR
Di susun oleh :
MUHAMMAD NUR UDPA
B111 07 173
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2009
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau, menurut data Departemen
Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2004, adalah sebanyak 17.504 buah. 7.870 di
antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama. Jumlah pulau
yang tidak sedikit inilah yang menjadi salah satu faktor banyaknya jumlah nelayan yang
tersebar di bumi Nusantara Indonesia, yang berjumlah sekitar dua juta nelayan. Indonesia
juga akrab dikenal sebagai negara maritime yang memiliki wilayah laut 2/3 dari seluruh
luas wilayah Negar dan memiliki kekayaan bahari yang begitu melimpah, layaknya
menjadi surga setiap pelaut dan nelayan yang hidup di bumi ini.
Suatu hal yang wajarlah ketika, pemerintah mengatasnamakan negara berjuang mati
matian untuk memberikan kesejahteraan masyarakat di daerah pesisir. Salah satu
pembuktian akan keseriusan pemerintah dalam menunjang kesejahteraan daerah pesisir
yaitu dengan disahkannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dimana dalam salah satu pasalnya, Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999
menyatakan kewenangan daerah di wilayah laut adalah : Eksplorasi, eksploitasi,
konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut, Pengaturan
kepentingan administratif, Pengaturan tata ruang, Penegakan hukum terhadap peraturan
yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah,
dan Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Undang Undang ini dengan
jelas memberikan kewenangan akan pemanfaatn sebesar besarnya daerah pesisir dengan
tetap memerhatikan keseimbangan di daerah tersebut.
Selain itu pemerintah juga mengesahkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang
memberikan hak pengusahaan perairan pesisir untuk kurun waktu 20 tahun. Guna
menopang hak pengusahaan perairan pesisir (HP3), pemerintah berencana menerbitkan
aturan zonasi kawasan pesisir tahun ini. Pengaturan tata ruang itu memisahkan kawasan
2
perikanan budidaya dan tangkap sehingga mendorong pengelolaan kawasan secara
eksklusif. Menurut Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan
dan Perikanan (DKP) Syamsul Ma’arif, penerbitan HP3 bertujuan mendorong orang,
kelompok masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan sumber daya perairan pada
areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai. Pengaplingan pesisir untuk menopang HP3
dilakukan bersama-sama oleh pemerintah daerah, masyarakat pesisir, dan pengusaha.
Pemberian HP3 dinilai akan memberikan kepastian hukum untuk berinvestasi sekaligus
perlindungan kawasan. ”HP3 akan mendorong percepatan investasi di wilayah pesisir dan
menguntungkan semua pihak. Pelaku usaha memiliki kepastian hukum dalam
mengembangkan usaha dan nelayan terlindungi dalam menangkap ikan di perairan,”
Namun, terjadi kontroversi akan diterbitkannya Hak Pengusahaan Perairan (HP3)
tersebut. Kontra akan penerbitan HP3 tersebut, berawal dari keraguan hak pengelolaan
pesisir itu mampu melindungi nelayan dan masyarakat pesisir terhadap kepentingan
pemilik modal. Selain itu HP3 tersebut akan mengapling laut untuk kegiatan usaha
dikhawatirkan kian menggerus hak-hak masyarakat adat yang sekian lama termajinalkan.
Setidaknya, ada tiga hal mendasar yang perlu ditakar ulang dalam pemberian hak
tersebut. Pertama, aspek pemenuhan hak atas perlindungan dan keselamatan warga
negara dari ancaman bencana. Sudah menjadi pengetahuan setiap orang, bahwa wilayah
Indonesia terletak di sepanjang jajaran gunung api (yang dikenal dengan ring of fire),
serta pertemuan tiga lempeng bumi, yang secara alamiah telah menyebabkan Indonesia
rawan bencana. Sebut saja bencana tsunami Aceh dan Yogyakarta, bencana banjir dan
abrasi hampir di seluruh desa-desa pesisir, serta gelombang tinggi yang akhir-akhir ini
semakin kerap melanda perairan Indonesia. Semua itu memberikan isyarat betapa
rentannya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia terhadap bencana. edua,
menakar untuk siapa sebenarnya sertifikat HP-3 diberikan. Dengan komposisi
kemiskinanan yang masih mendominasi, serta taraf pendidikan yang juga masih sangat
rendah, menjadi tidak relevan bagi masyarakat nelayan dan pembudidaya tradisional
masuk ke dalam skema sertifikasi seperti yang diharapkan UU. Budaya birokrasi yang
rumit, dan cenderung mahal mengisyaratkan penguasaan kegiatan usaha oleh pemilik
3
modal besar justru akan mendominasi, sejalan dengan kemudahan yang diberikan negara,
dan kemampuan pemodal memenuhi kebutuhan sertifikasi tersebut.
Ketiga, menakar intensitas konflik perikanan terkait hak kepemilikan. Charles dalam
bukunya Sustainable Fishery Systems (2001) menyebutkan, debat mengenai hak
kepemilikan mencakup pertanyaan filosofis yang telah berlangsung sejak lama mengenai
aspek legal, sejarah dan/atau kepemilikan, akses dan kontrol perikanan. Konflik ini
sendiri cenderung, di antaranya, disebabkan perbedaan kepentingan terhadap beberapa
bentuk kepemilikan perikanan, di antaranya: open-access, manajemen terpusat, hak
pengelolaan kawasan, pengelolaan berbasis masyarakat, kuota individu, dan privatisasi.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dan untuk memfokuskan penulisan ini, masalah yang
terumuskan sebagai berikut :
a. Bagaimanakah eksistensi Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dalam kaitannya
dengan Kepariwisataan Kota Makassar ?
b. Dengan cara apakah tertunjangnya daerah pesisir khususnya dalam sektor
pariwisata, Kota Makassar ?
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
a. Menjelaskan mengenai eksistensi Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dalam
kaitannya dengan Kepariwisataan Kota Makassar
b. Memberikan gambaran mengenai faktor faktor dapat tertunjangnya daerah pesisir
khususnya dalam sektor pariwisata, Kota Makassar
Adapun kegunaan dari penulisan skripsi ini adalah:
4
a. Memberikan penjelasan mengenai eksistensi Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
dalam kaitannya dengan Kepariwisataan Kota Makassar
b. Menguraikan mengenai faktor faktor dapat tertunjangnya daerah pesisir
khususnya dalam sektor pariwisata, Kota Makassar
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian- Pengertian
2.1.1 Pariwisata
Kepariwisataan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan
pariwisata (Yoeti, 1997, p.194). Wisata merupakan suatu kegiatan perjalanan atau
sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara
untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata. Sedangkan wisatawan adalah orang yang
melakukan kegiatan wisata. “Tourism is an integrated system and can be viewed in terms
of demand and supply. The demand is made up of domestic and international tourist
market. The supply is comprised of transportations, tourist attractions and activities,
tourist facilities, services and related infrastructure, and information and promotion.
Visitors are defined as tourist and the remainder as same-day visitors”.
Pada garis besarnya, definisi tersebut menunjukkan bahwa kepariwisataan memiliki arti
keterpaduan yang di satu sisi diperani oleh faktor permintaan dan faktor ketersediaan.
Faktor permintaan terkait oleh permintaan pasar wisatawan domestik dan mancanegara.
Sedangkan faktor ketersediaan dipengaruhi oleh transportasi, atraksi wisata dan
aktifitasnya, fasilitas-fasilitas, pelayanan dan prasarana terkait serta informasi
dan promosi.
Menurut definisi yang luas pariwisata adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain,
bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari
keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi
sosial, budaya, alam dan ilmu. Suatu perjalanan dianggap sebagai perjalanan wisata bila
memenuhi tiga persyaratan yang diperlukan, yaitu : (dikutip dari Ekonomi Pariwisata, hal
21)
6
a. Harus bersifat sementara
b. Harus bersifat sukarela (voluntary) dalam arti tidak terjadi karena dipaksa.
c. Tidak bekerja yang sifatnya menghasilkan upah ataupun bayaran. Dalam
kesimpulannya pariwisata adalah keseluruhan fenomena (gejala) dan hubungan-hubungan
yang ditimbulkan oleh perjalanan dan persinggahan manusia di luar tempat tinggalnya.
Dengan maksud bukan untuk tinggal menetap dan tidak berkaitan dengan pekerjaan-
pekerjaan yang menghasilkan upah. (Sejarah Pariwisata dan Perkembangannya di
Indonesia, hal. 3)
2.1.2 Hak Pengusahaan Pengelolaan Pesisir
Menurut Undang-Undang RI No.27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau Pulau Kecil pasal 1 ayat (1);
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah,
antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Undang-Undang RI No.27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau Pulau Kecil pasal 1 ayat (2);
Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Menurut Undang-Undang RI No.27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau Pulau Kecil pasal 1 ayat (4);
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber
daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati
meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber
daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan
7
meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa
lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah
air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang
terdapat di Wilayah Pesisir.
Menurut Undang-Undang RI No.27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau Pulau Kecil pasal 1 ayat (7);
Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan
sejauh 12 (duabelas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang
menghubungkan pantai dan pulau-pulau,estuari, teluk, perairan dangkal, rawa
payau, dan laguna.
Menurut Undang-Undang RI No.27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau Pulau Kecil pasal 1 ayat (15);
Rencana Pengelolaan adalah rencana yang memuat susunan kerangka kebijakan,
prosedur, dan tanggung jawab dalam rangka pengoordinasian pengambilan
keputusan di antara berbagai lembaga/instansi pemerintah mengenaikesepakatan
penggunaan sumber daya ataukegiatan pembangunan di zona yang ditetapkan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia, wilayah
perairan Indonesia mencakup :
1. Laut territorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut diukur dari garis
pangkal kepulauan Indonesia,
2. Perairan Kepulauan, adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis
pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak dari pantai,
3. Perairan Pedalaman adalah semua peraiaran yang terletak pada sisi darat dari garis
air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk didalamnya semua bagian dari
perairan yang terletak pada sisi darat pada suatu garis penutup
8
Menurut Dayan, perairan pedalaman adalah perairan yang terletak di mulut sungai, teluk
yang lebar mulutnya tidak lebig dari 24 mil laut dan di pelabuhan. Karakteristik umum
dari wilayah laut dan pesisir dapat disampaikan sebagai berikut :
1. Laut meruapakan sumber dar “common property resources” (sumber daya milik
bersama), sehingga kawasan memiliki fungsi public/kepentingan umum.
2. Laut merupakan “open access regime, memungkinkan siapa pun untuk
memanfaatkan ruang untuk berbagai kepentingan.
3. Laut persifat “fluida”, dimana sumber daya (biota laut) dan dinamika
hydrooceanography tidak dapat disekat/dikapling.
4. Pesisir merupakan kawasan yang strategis karena memiliki trografi yang relative
mudah dikembangkan dan memiliki akses yang sangat baik (dengan
memanfaatkan laut sebagai “prasarana” pergerakan.
5. Pesisir merupakan kawasan yang akan sumber daya alam, baik yang terdapat di
ruang daratan maupun ruang lautan, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
manusia.
Wilayah laut dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi
pengembangan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar
ekonomi nasional. Disamping itu, fakta-fakta yang telah dikemukakan beberapa ahli
dalam berbagai kesempatan, juga mengindikasikan hal yang serupa. Fakta-fakta tersebut
antara lain adalah :
1. Secara sosial, wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60% dari
penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai.
Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal perkembangan
urbanisasi Indonesia pada masa yang akan dating.
2. Secara administratif kurang lebih 42 Daerah Kota dan 181 Daerah Kabupaten
berada di pesisir, dimana dengan adanya otonomi daerah masing-masing daerah
otonomi tersebut memiliki kewenangan yang lebih luas dalam pengolahan dan
pemanfaatan wilayah pesisir.
9
3. Secara fisik, terdapat pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi yang tersebar mulai
dari Sabang hingga Jayapura, dimana didalamnya terkandung berbagai asset
sosial (Social Overhead Capital) dan ekonomi yang memiliki nilai ekonomi dan
financial yang sangat besar.
4. Secara ekonomi, hasil sumberdaya pesisir telah memberikan kontribusi terhadap
pembentuka PDB nasional sebesar 24% pada tahun 1989. Selain itu, pada wilayah
ini juga terdapat berbagai sumber daya masa depan (future resources) dengan
memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini belum dikembangkan
secara optimal, antara lain potensi perikanan yang saat ini baru sekitar 58,5% dari
potensi lestarinya yang termanfaatkan.
5. Wilyah pesisir di Indonesia memiliki peluang untuk menjadi produsen (exporter)
sekaligus sebagi simpul transportasi laut di Wilayah Asia Pasifik. Hal ini
menggambarkan peluang untuk meningkatkan pemasaran produk-produk sektor
industri Indonesia yang tumbuh cepat (4%-9%)
6. Selanjutnya, wilayah pesisir juga kaya akan beberapa sumber daya pesisir dan
lauatan yang potensial dikembangkan lebih lanjut meliputi (a) pertambangan
dengan diketahuinya 60% cekungan minyak, (b) perikanan dengan potensi 6,7
juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik penangkapan ikan di dunia, (c)
pariwisata bahari yang diakui duniadengan keberadaan 21 spot potensial, dan (d)
keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural biodiversity) sebagai daya
tarik bagi pengembangan kegiatan “ecotaurism”.
7. Secara biofisik, wilayah pesisir di Indonesia merupakan pusat biodiversity laut
tripis dunia kerena hamper 30% hutan bakau dan terumbu karang dunia terdapat
di Indonesia.
8. Secara politik dan hankam, wilayah pesisir merupakan kawasan perbatasan antar
Negara maupun antar daerah yang sensitive dan memiliki implikasi terhadap
pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
10
2.2 Sejarah Terlahirnya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
Selama berabad-abad, manusia memandang laut sebagai open access commodity dengan
sumber daya yang tidak terbatas. Setiap orang bebas untuk melakukan aktivitas di laut
dan mengeksploitasi sumber daya laut. Hal ini mendorong terjadinya over eksploitasi
sumber daya dan kerusakan ekosistem laut yang secara kumulatif menyebabkan the
tragedy of common yaitu menipisnya kekayaan laut.
Lahirnya Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K) adalah sebuah bukti bahwa Pemerintah mulai
menyadari bahwa kekayaan laut adalah sesuatu yang harus dijaga kelestariannya dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat secara langsung maupun tidak
langsung untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang. UU PWP3K ini
bertujuan untuk melindungi, mengonservasi, merehabilitasi dan memperkaya sumber
daya pesisirdan laut secara berkelanjutan serta meningkatkan nilai sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya
pesisir dan pulau-pulau kecil.
Salah satu ruh dari UU PWP3K adalah dilahirkannya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
(HP3). Dalam Pasal 16 UU PWP3K dijelaskan bahwa pemanfaatan perairan
pesisir meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan
permukaan dasar laut diberikan dalam bentuk HP3. HP3 ini dilahirkan karena sistem
pemanfaatan yang ada sekarang ini terbukti tidak efektif dan belum meningkatkan taraf
hidup masyarakat nelayan.
Sebenarnya HP3 bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. Dalam Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, pernah diperkenalkan Hak Pemeliharaan
dan Penangkapan Ikan (HPPI). Namun karena politik hukum yang mati suri ketika itu,
Peraturan Pemerintah tentang HPPI tidak pernah diterbitkan. Bahkan jauh sebelum itu,
beberapa masyarakat tradisional di Indonesia telah mengembangkan tradisi pengelolaan
perairan pesisir yang bersifat eksklusif sepertisasi di Maluku, awig-awig di Nusa
Tenggara Barat dan rompong di Sulawesi Selatan.
11
Berkembangnya pemanfaatan perairan pesisir dewasa ini seperti budidaya mutiara dan
rumput laut serta ekowisata bahari dan untuk memelihara pengakuan terhadap hak-hak
adat, maka Pemerintah memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk
menerbitkan HP3. Namun untuk dapat menerbitkan HP3, Pemerintah Daerah harus sudah
terlebih dahulu memiliki Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan dan
Rencana Aksi Wilayah Pesisir yang masing-masing ditetapkan dalam bentuk suatu
Peraturan Daerah. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi munculnya konflik
pemanfaatan setelah diberikannya HP3.
Prioritas pertama penerima HP3 adalah masyarakat lokal atau adat yang secara turun
temurun menguasai dan memanfaatkan perairan pesisir. Pemberian HP3 untuk komunitas
ini tidak terbatas hanya untuk kegiatan ekonomi, namun juga dapat diberikan untuk
kegiatan-kegiatan yang bersifat religius dan kultural. Subjek hukum lain yang dapat
diberikan HP3 adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia. Karena itu,
perusahaan asing atau multinasinal tidak dapat diberikan HP3.
Jangka waktu HP3 akan diberikan dengan mempertimbangkan karakteristik usaha dan
waktu yang kondusif bagi tumbuhnya investasi. Jangka waktu pertama akan diberikan
selama 20 tahun dan dapat diperpanjang lagi masing-masing 20 tahun sampai waktu yang
tak terbatas sepanjang masih dimanfaatkan secara efektif. Disamping itu, HP3 akan
diberikan dalam bentuk sertifikat yang dapat beralih, dialihkan dan dapat dijadikan
jaminan utang. HP3 akan berakhir karena jangka waktunya habis dan tidak diperpanjang
lagi, ditelantarkan atau dicabut untuk kepentingan umum.
2.3 Kewenangan Daerah di Bidang Kelautan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan
kewenangan yang luas kepada Daerah Kabupaten dan Kota untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri berdasarkan aspirasi msyarakat setempat
12
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun
1999 menyatakan kewenangan daerah di wilayah laut adalah :
Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas
wilayah laut tersebut.
Pengaturan kepentingan administratif.
Pengaturan tata ruang.
Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah.
Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
Yang termasuk wilayah laut Daerah Propinsi adalah sejauh dua belas mil laut yang diukur
dari garis pantai arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Sedangkan wilayah
laut Daerah Kabupaten dan Kota adalah sepertiga dari wilayah laut Daerah Propinsi.
Dengan memperhatikan ketentuan tersebut maka daerah pesisir merupakan kewenangan
dari Daerah Kabupaten dan Kota .
Daerah pesisir sebagai transisi dari ekosistem darat dengan ekosistem laut berada dalam
kewenangan Daerah di bidang kelautan. Sesuai dengan UU 22/1999 yang menyatakan
bahwa wilayah laut dari Kabupaten/Kota adalah sepertiga dari wilayah laut Propinsi
berarti sepanjang 4 (empat) mil laut dari garis pantai, maka wilayah pesisir berada dalam
kewenangan Daerah Kabupaten atau Kota setempat.
Sejalan dengan kewenangan Daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakatnya, maka Daerah akan mengelola dan memanfaatkan daerah pesisir untuk
digunakan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Daerah. Untuk memenuhi
kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam mewujudkan kesejahteraan
rakyat di Daerah maka seluruh potensi sumber daya yang tersedia di Daerah akan
dimanfaatkan seoptimal mungkin. Salah satu potensi sumber daya yang dimiliki Sebagian
Daerah adalah potensi daerah pesisir.
Secara alamiah potensi pesisir di daerah dimanfaatkan langsung oleh masyarakat yang
bertempat tinggal di kawasan tersebut yang pada umumnya terdiri dari nelayan. Nelayan
13
di pesisir memanfaatkan kekayaan laut mulai dari ikan, rumput laut, terumbu karang dan
sebagainya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada umumnya potensi pesisir dan
kelautan yang dimanfaatkan oleh para nelayan baru terbatas pada upaya pemenuhan
kebutuhan hidup.
Pemanfaatan potensi daerah pesisir secara besar-besaran untuk mendapatkan keuntungan
secara ekonomis dalam rangka peningkatan pertumbuhan perekonomian rakyat belum
banyak dilakukan. Pemanfaatan pesisir untuk usaha ekonomi dalam skala besar baru
dilakukan pada sebagian Kabupaten dan Kota yang berada di daerah pesisir. Pada
umumnya usaha ekonomi pemanfaatan daerah pesisir ini bergerak di sektor pariwisata.
Sejalan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah berupaya untuk
memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Disamping itu Pemerintah Daerah juga memanfaatkan potensi daerah pesisir ini
untuk meningkatkan pertumbuhan dan perekonomian masyarakat di Daerah.
Mengingat kewenangan Daerah untuk melakukan pengelolaan bidang kelautan yang
termasuk juga daerah pesisir masih merupakan kewenangan baru bagi Daerah maka
pemanfaatan potensi daerah pesisir ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Daerah
Kabupaten atau Kota yang berada di pesisir. Jadi belum semua Kabupaten dan Kota yang
memanfaatkan potensi daerah pesisir.
14
BAB III
METODE PENULISAN
3.1 Lokasi Penelitian
Pada penelitian kali ini Penulis mengambil lokasi yang tidak jauh dari tempat Penulis
tengah berdomsili. Hal ini beralasan bahwa data-data yang di butuhkan dalam melakukan
penelitian ada dalam kawasan domisili Penulis serta data tersebut dirasakan sudah cukup
untuk menjadi dasar serta fondasi Penulis dalam melakukan penelitian serta pembuatan
skripsi ini. Lokasi penelitian Penulis adalah Daerah Kota Makassar itu sendiri tepatnya
pada daerah pesisir kota makassar.
3.2 Sumber Data
Mengenai jenis data, Penulis mengambil data sekunder. Data sekunder adalah data yang
diperoleh melalui penalaran dan telaah dari setiap dokumen-dokumen yang berhubungan
dengan apa yang tengah diteliti oleh Penulis. Data-data tersebut dapat diperoleh baik
melalui buku referensi, Koran, majalah, arsip, media elektronik, dan lain sebagainya.
Semua data-data tersebut Penulis baca dan telaah secara seksama untuk mendapatkan
data yang Penulis perlukan dalam penelitian
3.3 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Penulis menggunakan metode deskriptif-kualitatif dengan maksud menjelaskan sejauh
mana eksistensi Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dalam Kaitan dengan Sektoral
Kepariwisataan Kota Makassar.
3.4 Analisis Data
Penulis melakukan analisis secara kualitatif terhadap data-data yang telah Penulis
temukan dan telaah secara seksama. Analisis seperti ini dirasakan Penulis lebih sesuai
dengan data yang telah diperoleh. Adapun nanti analisis kuantitatif apabila dalam
pembahasan nanti terdapat hal-hal yan dirasa perlu untuk dilakukan oleh Penulis.
15
DAFTAR PUSTAKA
http://www.beritamaritim.com/berita/01/11.shtml
www.indoprogress.com
www. makassarkota .go.id/index.php?option=com_content .
www.depkominfo.go.id/.../ hak - pengusahaan - perairan - pesisir -dapat-ditolak-jika-
ancam-kelestarian/
www.dkp-banten.go.id/berita/02/08-liput.rtf
www.wikipedia.com/jumlahpulau
16
top related