anatomi
Post on 09-Feb-2016
287 Views
Preview:
TRANSCRIPT
DAFTAR ISI
ANATOMI..................................................................................................................... 2
1. Tengkorak.................................................................................................................. 22. Kulit kepala (SCALP)....................................................................................................163. Meninges........................................................................................................................... 184. Otak................................................................................................................................... 205. Vaskularisasi.................................................................................................................... 215. Traktus.............................................................................................................................. 28
ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA.........................................................32
Trauma Kapitis.......................................................................................................... 36Definisi................................................................................................................................... 36Epidemiologi......................................................................................................................... 36Etiologi................................................................................................................................... 37Mekanisme............................................................................................................................ 38Klasifikasi............................................................................................................................. 46
Menurut derajat keparahan......................................................................................................46Menurut letak lesi..........................................................................................................................55A. Lesi difus..................................................................................................................................56B. Lesi fokal..................................................................................................................................62
Komplikasi.......................................................................................................................... 85
Bibliography................................................................................................................ 93
ANATOMI
1. TengkorakTengkorak dibentuk oleh tulang-tulang yang saling berhubungan satu
sama lain dengan perantaraan sutura. Tulang tengkorak terdiri dari tiga lapisan
yaitutabula eksterna, diploe dan tabula interna. Pada orang dewasa ketebalan dari
tulang tengkorak bervariasi antara tiga milimeter sampai dengan 1,5 centimeter,
dengan bagian yang paling tipis terdapat pada daerah pterion dan bagian yang
paling tebal pada daerah protuberantia eksterna.
Tulang tengkorak dibagi menjadi dua bagian yaitu Neurocranium
(tulang-tulang yang membungkus otak) dan Viscerocranium (tulang-tulang yang
membentuk wajah).
Neurokranium dibentuk oleh :
1. Os. Frontale
2. Os. Parietale
3. Os. Temporale
4. Os. Sphenoidale
5. Os. Occipitalis
6. Os. Ethmoidalis
Viscerocranium dibentuk oleh :
1. Os. Maksilare
2. Os. Palatinum
3. Os. Nasale
4. Os. Lacrimale
5. Os. Zygomatikum
6. Os. Concha nasalis inferior
7. Vomer
8. Os. Mandibulare
Rangka atau tulang-tulang tengkorak ini melindungi kepala dan organ-organ
dalam kepala.
Bagian-bagian tengkorak ialah:
1. Kranium
o Berfungsi untuk melindungi otak.
o Mempunyai 8 kepingan tulang yang berasingan bercantum melalui
satur(sendi tak bergerak).
2. Soket mata (atau Orbit)
o Berfungsi untuk melindungi kedua-dua bebola mata.
3. Tulang hidung
o Berfungsi untuk menyokong tisu-tisu hidung yang lembut.
4. Lubang telinga
o Berfungsi untuk melindungi bahagian dalam telinga.
5. Rahang atas (atau Maksila)
o Berfungsi menyokong barisan gigi atas.
6. Rahang bawah (atau Mendibel)
o Berfungsi menyokong barisan gigi bawah.
o Rahang berkebolehan untuk bergerak, iaitu untuk menguyah
makanan dan sebagainya.
7. Bukaan pada dasar tengkorak
o Berfungsi untuk menyambung tengkorak dengan turus vertebra.
Tulang tengkorak
Tampak depan
Tampak samping
Tampak belakang
Calvaria
Calvaria adalah bagian atas dari tempurung kepala dan mengelilingi
rongga tengkorak yang mengandung otak. Calvaria (songkok) terdiri dari frontal,
oksipital dan kanan dan parietal kiri.
Permukaan luar tengkorak memiliki sejumlah landmark. Titik di mana dua
tulang parietal dan tulang frontal bertemu dikenal sebagai "Bregma". Titik di
mana dua parietal dan occipital bone bertemu dikenal sebagai "Lambda". Tidak
hanya ini landmark menunjukkan ubun pada bayi baru lahir, mereka juga
bertindak sebagai titik acuan dalam pengobatan dan pembedahan.
Pada janin, pembentukan calvaria melibatkan proses yang dikenal sebagai
pengerasan intramembranous, meskipun dasar tengkorak (mendasari otak)
berkembang melalui osifikasi endochondral.
Bagian dalam dari permukaan songkok
Permukaan bagian dalam songkok adalah berbentuk cekung dan
menyajikan depresi untuk convolutions dari otak besar, bersama dengan banyak
alur-alur untuk pengajuan cabang pembuluh meningeal.
Sepanjang garis tengah adalah alur longitudinal, sempit di depan, di mana
berawal di puncak frontal, tetapi lebih luas di belakang; itu menyampaikan sinus
sagital superior, dan margin yang mampu keterikatan pada cerebri falx. Di kedua
sisi itu adalah beberapa depresi untuk granulasi arakhnoid, dan pada bagian
belakangnya, terdapat bukaan dari foramen parietal. Ini disilangkan, di depan,
oleh sutura koronal, dan di belakang oleh lambdoidal, sementara sagital terletak
pada bidang medial antara tulang-tulang parietal.
Daftar dari foramen dan struktur yang lewat/ keluar melalui foramen
tersebut
TulangFossa
KranialForamen Pembuluh darah Saraf
frontal - foramen supraorbital arteri supraorbital, vena supraorbital saraf supraorbital
frontalfossa kranial
anteriorforamen cecum vena emissary ke sinus sagittal superior -
ethmoid -foramen dari
cribriform plate- bundel saraf olfactory
ethmoidfossa kranial
anterior
foramen ethmoidal
anterior
arteri ethmoidal anterior
vena ethmoidal anteriorsaraf ethmoidal anterior
ethmoidfossa kranial
anterior
foramen ethmoidal
posterior
arteri ethmoidal posterior
vena ethmoidal posteriorsaraf ethmoidal posterior
sphenoid - kanal optic arteri ophthalmic saraf optic (II)
sphenoidfossa kranial
tengah
fissure orbital
superiorvena ophthalmic superior
saraf oculomotor (III)
saraf trochlear (IV)
lacrimal, frontal dan
cabang-cabang nasociliary
dari saraf ophthalmic
saraf abducent (VI)
sphenoidfossa kranial
tengahforamen rotundum - saraf maxillary (V2)
maxilla -foramen incisive /kanal
incisivearteri sphenopalatine saraf nasopalatine (V2)
palatine -greater palatine
foramen
arteri greater palatine
vena greater palatinesaraf greater palatine
palatine dan
maxilla-
lesser palatine
foramina
arteri lesser palatine
vena lesser palatinesaraf lesser palatine
sphenoid dan
maxilla
- fissure orbital inferior vena inferior ophthalmic
arteri infraorbital
saraf zygomatic dan
infraorbital dari saraf
vena infraorbital
maxillary (V2)
cabang-cabang orbital dari
ganglion pterygopalatine
maxilla - foramen infraorbitalarteri infraorbital
vena infraorbitalsaraf infraorbital
sphenoidfossa kranial
tengahforamen ovale arteri accessory meningeal
saraf mandibular (V
saraf lesser petrosal
(occasionally)
sphenoidfossa kranial
tengahforamen spinosum arteri middle meningeal
cabang meningeal dari saraf
mandibular (V3)
sphenoidfossa kranial
tengahforamen lacerum
arteri internal carotid , arteri dari kanal
pterygoidsaraf dari kanal pterygoid
temporalfossa kranial
posterior
internal acoustic
meatusarteri labyrinthine
saraf facial (VII), saraf
vestibulocochlear (VIII)
temporalfossa kranial
posteriorforamen jugular sinus petrosal inferior, sinus sigmoid
saraf glossopharyngeal
(IX), saraf vagus (X), saraf
accessory (XI)
occipitalfossa kranial
posteriorkanal hypoglossal - saraf hypoglossal (XII)
occipitalfossa kranial
posteriorforamen magnum
arteri-arteri anterior dan posterior
spinal, arteri-arteri vertebralmedulla oblongata
temporalfossa kranial
posteriorforamen stylomastoid arteri stylomastoid saraf facial
Basis cranii
Dasar tengkorak membentuk lantai dari rongga kranial dan memisahkan
otak dari struktur wajah lainnya. Daerah ini anatomi yang kompleks dan
menimbulkan tantangan bedah untuk otolaryngologists dan ahli bedah saraf.
Pengetahuan dasar tentang anatomi normal dan varian dari dasar tengkorak sangat
penting untuk perawatan bedah efektif dari penyakit di daerah ini.
5 tulang yang membentuk dasar tengkorak adalah ethmoid, sphenoid,
oksipital, pasangan frontal, dan pasangan tulang parietal. Dasar tengkorak dapat
dibagi lagi menjadi 3 daerah yaitu fosa kranial anterior, tengah, dan posterior.
(Lihat gambar di bawah.) Fisura petro-oksipital membagi fosa kranial tengah
menjadi 1 komponen sentral dan 2 komponen lateral.
Tengkorak manusia memiliki banyak lubang (foramen) dimana lubang-
lubang tersebut adalah tempat keluarnya saraf kranial, arteri, vena dan struktur
lainnya
Foramen dan nervus kranialis yang keluar melalui foramen tersebut
Tabel dari nervus kranialis
Cranial Nerve
Foramen of
Exit From
Skull
Other
Associated Foramen
BranchesType of Nerve Impulse
Area Supplied and
Function
I (olfactory)cribriform
platenone olfactory filaments special sensory (afferent) nasal mucosa, smell
II (optic)optic
foramennone none special sensory (afferent) retina, vision
III (oculomotor)
superior
orbital
fissure
nonesuperior division inferior division
general motor (efferent) parasympathetic motor
muscles: superior
rectus, levator
palpebrae superioris muscles: medial
rectus, inferior
rectus, inferior
oblique,
parasympathetic to
ciliary ganglion for
pupillary constriction
IV (trochlear)
superior
orbital
fissure
none muscular motor (efferent)superior oblique
muscle
V (trigeminal) see below see below see below general motor (efferent) general sensory (afferent)
see below
V1 (opthalmic)
superior
orbital
fissure
supraorbital
foramen anterior &
posterior ethmoidal
foramina
meningeal, frontal,
lacrimal, nasociliarygeneral sensory (afferent)
sensation from dura,
skin of forehead,
scalp, roof of nasal
cavity and skin on tip
of nose, ethmoid air
cells
V2 (maxillary)foramen
rotundum
inferior
orbital
fissure infraorbital
foramen
meningeal, infraorbital,
posterior & anterior
superior alveolar
branches, zygomatic,
sensory roots to
pterygopalatine
ganglion, greater &
lesser palatine
general sensory (afferent)
sensation from dura,
nasal mucosa, soft
palate, skin of lower
eyelid and beneath
the eye, side of nose,
cheek, lip, upper
teeth, hard palate
V3 (mandibular)foramen
ovale
mandibular
foramen
meningeal,
auriculotemporal,
buccal, lingual inferior alveolar
general sensory (afferent) general motor (efferent)
sensation from dura,
anterior ear and
scalp, mucosa lining cheek
and gums, skin of
cheek, lower teeth, skin of
chin. motor to temporalis,
masseter, medial
pterygoid, lateral
pterygoid, anterior
belly of digastric,
mylohyoid, tensor
palati, and tensor
tympani.
VI (abducens) superior
orbital
none muscular general motor (efferent) lateral rectus muscle
fissure
VII (facial)
internal
auditory
meatus
hiatus of
facial canal
facial canal stylomastoid
foramen
greater petrosal nerve,
chorda tympani auricular branch, facial
branches, cervical branches
special and general sensory
(afferent) general and parasympathetic
motor (efferent)
sensation of taste for
anterior 2/3 tongue,
skin from external
meatus, taste from
palate. motor to muscles of
facial expression,
stapedius muscle,
muscles of auricle,
parasympathetic
motor to
pterygopalatine
ganglion for lacrimal
secretion, motor to
submandibular
ganglion to
submandibular and
sublingual glands
for secretion.
VIII
(vestibulocochlear)
internal
auditory
meatus
none vestibular, cochlear general sensory (afferent)
sensation from
cochlea for hearing
and from semicircular canals
and vestibule for
equilibrium
IX
(glossopharyngeal)
jugular
foramen
muscular branches,
auricular branch, lingual
branch, branch to
carotid body and sinus,
tympanic branch, lesser
petrosal
general and special sensory
(afferent) general and parasympathetic
motor (efferent)
special sensation of
taste from posterior
1/3 of tongue,
general sensation
from the oropharynx,
posterior 1/3 of
tongue, sensation
from pharyngeal
mucosa, special
sensation from
carotid body and
sinus. general motor to
stylopharyngeus
muscle,
parasympathetic to
the otic ganglion for
parotid gland
secretion.
X (vagus)jugular
foramennone
palatopharyngeal
branch, superior
laryngeal branch,
recurrent laryngeal
branch, carotid sinus
nerve, cardiac,
pulmonary, gastric,
renal, hepatic,
pancreatic, small
intestine, large intestine
branches.
sensory (afferent) motor (efferent)
special sensation of
taste from base of
tongue and epiglottis,
general sensation
from soft palate,
upper larynx, special
sensation form
carotid body. motor to muscles of
soft palate (except
tensor palati),
muscles of pharynx
(except for
stylopharyngeus),
muscles of larynx,
cardiac muscle,
smooth muscle of
lungs, muscles of
intestinal tract as far
as the left colic
flexure..
XI (spinal accessory)jugular
foramen
foramen
magnum muscular motor (efferent)
cranial part: provides
motor to vagus spinal part:
sternomastoid and
trapezius muscles
XII (hypoglossal)hypoglossal
foramen none muscular general motor (efferent)
motor to
styloglossus,
hyoglossus,
genioglossus and
intrinsic muscles of
the tongue.
2. Kulit kepala (SCALP)
Selubung jaringan lunak dari kranial disebut kulit kepala. Kulit kepala memanjang
dari tonjolan oksipital eksternal dan garis nuchae superior ke margin supraorbital.
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan (terlihat pada gambar dibawah): kulit, jaringan
ikat, aponeurosis epikranial, jaringan areolar longgar, dan perikranium. 3 lapisan
pertama terikat bersama sebagai satu kesatuan. Unit tunggal tersebut dapat
bergerak sepanjang jaringan areolar longgar yang berada di atas perikranium,
yang mana melekat kepada calvaria.
Skin / Kulit
Kulit kulit kepala tebal dan mengandung rambut dan berisi kelenjar minyak
banyak. Akibatnya, kulit kepala adalah tempat yang umum untuk kista sebasea.
Connective tissue (superficial fascia)/ Jaringan Ikat
Fasia superfisial adalah lapisan fibrofatty yang menghubungkan kulit ke
aponeurosis dasar dari otot occipitofrontalis dan menyediakan jalan untuk saraf
dan pembuluh darah. Pembuluh darah melekat pada jaringan ikat fibrosa ini. Jika
pembuluh dipotong, lampiran ini mencegah vasospasme, yang dapat
menyebabkan perdarahan hebat setelah cedera.
Epicranial aponeurosis (galea aponeurotica) / A poneurosis E pi k ranial
Aponeurosis epicranial adalah tipis, struktur tendon yang menyediakan tempat
insersi untuk otot occipitofrontalis. Posterolateral, aponeurosis epicranial
memanjang dari garis nuchae superior ke garis temporal superior. Lateral,
aponeurosis epicranial terus berlanjut sebagai fasia temporal. Anterior, ruang
subaponeurotic meluas ke kelopak mata bagian atas karena kurangnya insersi
tulang. Jaringan areolar longgar ini menyediakan ruang subaponeurotic potensial
yang memungkinkan cairan dan darah untuk lewat dari kulit kepala ke kelopak
mata atas.
Loose areolar tissue / J aringan areolar longgar
Jaringan areolar longgar menghubungkan aponeurosis epicranial ke perikranium
dan memungkinkan 3 lapisan superfisial kulit kepala untuk bergerak di atas
perikranium tersebut. Flaps kulit kepala terangkat bersama bidang yang relatif
avascular dalam kraniofasial dan prosedur bedah saraf. Akan tetapi, beberapa
vena melintasi lapisan ini, yang menghubungkan vena kulit kepala ke vena diploic
dan sinus vena intrakranial.
Perikranium
Perikranium adalah periosteum tulang tengkorak. Sepanjang baris jahitan,
perikranium menjadi berkelanjutan dengan endosteum Sebuah hematoma
subperiosteal, karena itu, terbentuk dalam bentuk tulang tengkorak.
3. Meninges
Selain kulit kepala dan tengkorak ada tiga lapisan lain di dalam tengkorak
yang membungkus dan melindungi otak Anda. Ketiga lapisan yang melapisi
tersebut adalah meninges, dan terdiri dari "Dura Mater", the "Arachnoid", and the
"Pia Mater".
Dura Mater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri
atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut
Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat. Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan
laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling
sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).
Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arachnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah
luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang
potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid
yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala, perdarahan pada lapisan subarakhnoid biasanya
disebabkan karena pecahnya arteri serebri.
Pia Mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk ke dalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.
4. Otak
Otak adalah struktur pusat pengaturan yang memiliki volume sekitar
1.350cc dan terdiri atas 100 juta sel saraf atau neuron. Otak mengatur dan
mengkordinir sebagian besar, gerakan, perilaku dan fungsi tubuh homeostasis
seperti detak jantung, tekanan darah, keseimbangan cairan tubuh dan suhu tubuh.
Otak manusia bertanggung jawab terhadap pengaturan seluruh badan dan
pemikiran manusia. Oleh karena itu terdapat kaitan erat antara otak dan
pemikiran. Otak dan sel saraf didalamnya dipercayai dapat memengaruhi kognisi
manusia. Pengetahuan mengenai otak memengaruhi perkembangan psikologi
kognitif. Otak juga bertanggung jawab atas fungsi seperti pengenalan, emosi.
ingatan, pembelajaran motorik dan segala bentuk pembelajaran lainnya.
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri
dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon
(otak belakang) terdiri dari pons,medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus
parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab
dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan.
5. Vaskularisasi
Sirkulasi serebral mengacu pada pergerakan darah melalui jaringan
pembuluh darah yang mensuplai otak. Arteri memberikan darah beroksigen,
glukosa dan nutrisi lainnya ke otak dan pembuluh vena membawa darah
terdeoksigenasi kembali ke jantung, menghilangkan karbon dioksida, asam laktat,
dan produk metabolik lainnya. Karena otak sangat rentan terhadap kompromi
dalam suplai darah, sistem peredaran darah otak memiliki banyak pengamanan.
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri
vertebralis.Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk sirkulus Willis. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot di
dalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut
keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.
Sirkulasi arteri serebral
Sirkulasi serebral arteri dibagi ke dalam sirkulasi serebral anterior dan
sirkulasi serebral posterior. Ada dua pasangan utama dari arteri yang memasok
arteri ke serebelar dan serebelum: arteri karotis internal dan arteri vertebralis.
Sirkulasi serebral anterior dan posterior yang saling berhubungan melalui
arteri bilateral posterior yang saling berkomunikasi. Mereka adalah bagian dari
Circle of Willis, yang menyediakan sirkulasi cadangan ke otak. Jika sewaktu-
waktu salah satu arteri tersumbat, Circle of Willis menyediakan interkoneksi
antara sirkulasi serebral anterior dan posterior, memberikan darah ke jaringan
yang mungkin akan mengalami iskemik.
Fungsi Circle of Willis adalah untuk mendistribusikan darah yang
mengandung oksigen masuk melalui arteri aferen basilar dan arteri internal
karotid, ke wilayah-wilayah otak melalui tiga pasang arteri eferen utama dikenal
sebagai arteri serebral anterior, tengah dan posterior. Lingkaran ini penting karena
memungkinkan untuk darah yang akan kembali diarahkan melalui arteri
communicating anterior dan arteri communicating posterior demi menjaga
pasokan oksigen ke semua wilayah otak, maka suplai darah melalui pembuluh
darah aferen harus dikurangi. Mempertahankan suplai darah ini penting karena
meskipun otak hanya terdiri dari sekitar 2% dari total massa tubuh, tetapi otak
membutuhkan sekitar 20% darah dari output darah dari jantung, dan jika otak
kekurangan pasokan ini selama lebih dari beberapa menit sel otak akan menjadi
rusak secara permanen.
Serebral potongan koronal
Serebral potongan axial
Sirkulasi serebral anterior adalah suplai darah ke bagian anterior otak. Hal ini
disuplai oleh arteri berikut:
Arteri karotis internal: Pembuluh nadi besar adalah cabang kiri dan
kanan dari arteri karotis di leher yang masuk tengkorak, lain dengan
cabang karotid eksternal yang memasok jaringan wajah. Arteri karotid
internal bercabang menjadi arteri serebri anterior dan terus membentuk
arteri middle serebral
Anterior serebral arteri (ACA)
o Arteri communicating anterior: Menghubungkan kedua arteri
serebral anterior.
Tengah cerebral arteri (MCA)
Sirkulasi serebral posterior merupakan suplai darah ke bagian posterior otak,
termasuk lobus oksipital, serebelum dan batang otak. Hal ini disuplai oleh arteri
berikut:
Vertebra arteri: Cabang arteri yang lebih kecil dari arteri subklavia yang
terutama mensuplai bahu, dada bagian samping dan lengan. Dalam
tempurung kepala dua arteri vertebralis menyatu menjadi arteri basilar.
o Arteri cerebellar posterior inferior (Pica)
Arteri basilar: Mensuplai otak tengah, serebelum, dan bercabang menjadi
arteri serebri posterior
o Arteri cerebellar anterior inferior (AICA)
o Cabang pontine
o Arteri cerebellar superior (SCA)
Arteri serebral posterior (PCA)
Arteri communicating posterior
Drainase vena cerebral
Drainase vena dari otak besar dapat dipisahkan menjadi dua subdivisi:
superfisial dan dalam.
Sistem superfisial terdiri dari sinus vena dural, yang dinding terdiri dari
dura mater yang berlawanan dengan vena tradisional. Sinus dural, oleh karena itu
terletak di permukaan otak besar. Yang paling menonjol dari sinus adalah sinus
sagital superior yang mengalir pada bidang sagital bawah garis tengah otak,
posterior dan inferior terhadap torcula, membentuk pertemuan sinus, di mana
drainase superfisial bergabung dengan sinus yang terutama mengalirkan ke sistem
vena dalam. Dari sini, dua sinus melintang yg terbagi dalam dua cabang dan
bergerak lateral dan inferior dalam kurva berbentuk S yang membentuk sinus
sigmoid yang terus akan membentuk dua vena jugularis. Di leher, vena jugularis
berjalan paralel di atas arteri karotis dan mengalirkan darah ke vena cava superior.
Drainase vena dalam, terdiri dari pembuluh darah tradisional di dalam
struktur-struktur dalam otak, yang bergabung di belakang otak tengah untuk
membentuk vena Galen. Vena ini menyatu dengan sinus sagital inferior untuk
membentuk sinus lurus yang kemudian bergabung dengan sistem vena superfisial
yang disebutkan di atas pada pertemuan dari sinus.
5. Traktus
Substansia alba tersusun menjadi traktus (jaras), yaitu berkas serat-serat
saraf (akson-akson dari antarneuron yang panjang) dengan fungsi serupa. Berkas-
berkas itu dikelompokkan menjadi kolumna yang berjalan di sepanjang medulla
spinalis. Setiap traktus ini berawal atau berakhir di dalam daerah tertentu di otak,
dan masing-masing memiliki kekhususan dalam mengenai informasi yang
disampaikannya. Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu,
yaitu traktus desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa
sensasi yang bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus
asenden secara umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat
atau tidak dapat mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua
kelompok, yaitu (1) informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti
rasa nyeri, suhu, dan raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari
dalam tubuh, misalnya otot dan sendi.
Traktus desenden (motorik) yang melewati medulla spinalis terdiri dari
1. Traktus direk (piramidal)
a. Traktus kortikospinal
Traktus ini merupakan lintasan yang berkaitan dengan gerakan-
gerakan terlatih, berbatas jelas, volunter, terutama pada bagian
distal anggota gerak. Terdiri dari dua:
Kortikospinal lateral
Menyalurkan impuls dari korteks motor menuju otot rangka
pada bagian kontralateral tubuh untuk gerakan yang
disadari dan terlatih pada bagian distal anggota gerak
tubuh. Akson dari upper motor neurons (UMN) turun
melalui girus presentral dari korteks menuju medulla. Di
sini 90% berdekusasi (menyilang ke bagian kontralateral)
dan kemudian menuju bagian kontralateral dari medulla
spinalis. Pada level terminasinya, UMN berakhir pada
anterior gray horn pada sisi yang sama. Hal ini
menghasilkan input terhadap lower motor neurons, yang
menginervasi otot skeletal.
Kortikospinal anterior
Menyalurkan impuls dari korteks motor menuju otot rangka
pada bagian kontralateral tubuh untuk gerakan yang
disadari dan terlatih pada bagian distal anggota gerak
tubuh. Akson dari upper motor neurons (UMN) turun
melalui girus presentral dari korteks menuju medulla. Di
sini 10% tidak berdekusasi dan kemudian menuju medulla
spinalis dan membentuk traktus ini. Pada level
terminasinya, UMN berdekusasi dan berakhir pada anterior
gray horn pada sisi yang berlawanan. Hal ini menghasilkan
input terhadap lower motor neurons, yang menginervasi
otot skeletal.
b. Traktus kortikobulbar
Menyalurkan impuls dari korteks menuju otot rangka dari kepala
dan leher untuk koordinasi gerakan yang disadari dan terlatih.
Akson dari UMN turun dari korteks menuju batang otak, dimana
beberapa berdekusasi dan beberapa tidak. Hal ini menyediakan
input kepada LMN pada nucleus-nukleus dari nervus kranialis III,
IV, V, VI, VII, IX, X, XI, dan XII, yang mengontrol gerakan
volunter dari mata, lidah, dan leher; mengunyah; ekspresi wajah;
dan artikulasi.
2. Traktus indirek (ekstrapiramidal)
a. Traktus retikulospinalis (medial dan lateral): dapat mempermudah
atau menghambat aktivitas neuron motorik alpha dan gamma pada
columna grisea anterior dan karena itu, kemungkinan
mempermudah atau menghambat gerakan volunter atau aktivitas
refleks.
b. Traktus spinotektalis: berkaitan dengan gerakan-gerakan refleks
postural sebagai respon terhadap stimulus verbal.
c. Traktus rubrospinalis: bertidak baik pada neuron-neuron motorik
alpha dan gamma pada columna grisea anterior dan mempermudah
aktivitas otot-otot ekstensor atau otot-otot antigravitasi.
d. Traktus vestibulospinalis, akan mempermudah otot-otot ekstensor,
menghambat aktivitas otot-otot fleksor, dan berkaitan dengan
aktivitas postural yang berhubungan dengan keseimbangan.
e. Traktus olivospinalis, berperan dalam aktivitas muskuler.
Traktus asenden (sensorik) medulla spinalis terdiri dari:
a. Kolumna dorsalis, berfungsi dalam membawa sensasi raba, proprioseptif,
dan berperan dalam diskriminasi lokasi.
b. Traktus spinotalamikus anterior berfungsi membawa sensasi raba dan
tekanan ringan.
c. Traktus spinotalamikus lateral berfungsi membawa sensasi nyeri dan suhu.
d. Traktus spinoserebellaris ventralis berperan dalam menentukan posisi dan
perpindahan, traktus spinoserebellaris dorsalis berperan dalam
menentukan posisi dan perpindahan.
e. Traktus spinoretikularis berfungsi membawa sensasi nyeri yang dalam dan
lama
ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA
Tekanan Intrakranial (TIK)
Terdapat 3 komponen dari volume intrakranial, yaitu:
1. Parenkim otak (80%)
2. Darah (12%)
3. LCS/Liquor Cerebrospinalis (18%)
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan
secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa
dalam posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal
pungsi yaitu 4 – 10 mmHg. Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan
menyebabkan atau memperberat iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada
penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap.
Doktrin Monro-Kellie
Doktrin ini merupakan suatu konsep sederhana namun penting sekali dapat
menerangkan pengertian dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume
total intrakranial harus selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya
merupakan rongga yang tidak mungkin mekar atau membesar. (Lihat gambar
Doktrin Monro-Kellie dan gambar kurva volume-tekanan).
Oleh karena itu segera setelah cedera kepala, suatu massa perdarahan
dapat membesar sementara tekanan intrakranial masih tetap normal. Namun bila
batas penggeseran cairan serebrospinal dan darah intravaskuler terlampaui maka
tekanan intrakranial akan mendadak meningkat dengan cepat.
Gambar Doktrin Monro-Kellie – kompensasi intrakranial terhadap massa yang
berkembang
Doktrin Monro-Kellie: Kompensasi Intrakranial terhadap masa yang
berkembang. Volume isi intrakranial akan selalu konstan. Bila terdapat
penambahan masa seperti adanya hematoma akan menyebabkan tergesernya CSS
dan darah vena keluar dari ruang intrakranial dengan volume yang sama, TIK
akan tetap normal. Namun bila mekanisme kompensasi ini terlampaui maka
kenaikan jumlah masa yang sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK yang
tajam, seperti tampak pada gambar kurva volume-tekanan.
Gambar Kurva volume-tekanan
Kurva Volume-Tekanan: Isi intrakranial dapat mengkompensasi sejumlah masa
baru intrakranial, seperti perdarahan subdural atau epidural sampai pada titik
tertentu. Bila volume masa perdarahan ini telah mencapai 100 – 150 ml, akan
terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang sangat cepat dan akan
menyebabkan penghentian aliran darah otak.
Aliran Darah ke Otak (ADO)
Pada orang dewasa ADO kira-kira 50 - 55 mL/100 gr jaringan otak per
menit. Pada anak-anak ADO lebih tinggi tergantung usianya. Pada umur 1 tahun
menyerupai orang dewasa, tetapi pada usia 5 tahun aliran darah otaknya normal ±
90 ml/100 gr jaringan otak/ menit yang kemudian secara bertahap turun ke level
seperti orang dewasa pada usia pertengahan atau akhir remaja.
Suatu cedera otak yang cukup adekuat dapat menyebabkan koma, dapat
menyebabkan penurunan 50 % aliran darah otak pada 6 – 12 jam pertama paska
trauma. Biasanya akan meningkat pada 2 – 3 hari berikutnya, namun pada pasien-
pasien yang tetap koma biasanya aliran darah otaknya tetap dibawah normal untuk
beberapa hari bahkan beberapa minggu paska trauma.
Sekarang semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa tingkatan aliran
darah otak yang begitu rendah tidak akan mencukupi kebutuhan metabolisme otak
segera setelah cedera sehingga iskemia serebri yang regional bahkan global sering
terjadi.
Sebagai tambahan, untuk mempertahankan ADO yang konstan, pembuluh-
pembuluh darah otak prekapiler normal mempunyai kemampuan untuk
berkonstriksi dan berdilatasi sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah
sistolik rata-rata antara 50 s/d 160 mmHg (Autoregulasi Tekanan). Pembuluh-
pembuluh darah ini juga secara normal berkonstriksi dan berdilatasi sebagai
respon terhadap perubahan PO2 dan PCO2 darah (Autoregulasi Kimiawi). Cedera
kepala yang berat dapat merusak kedua sistim autoregulasi ini.
Sebagai konsekuensinya parenkim otak yang tercederai sangat rentan
terhadap iskemia dan infark sebagai akibat penurunan hebat aliran darah otak
sebagai akibat lesi cedera otak itu sendiri. Timbulnya iskemia awal ini sangat
dipermudah oleh adanya hipotensi, hipoksia atau hipokapnu/hipokarbia, yang
sangat mungkin terjadi secara iatrogenik sebagai akibat hiperventilasi berlebihan.
Oleh karena itu semua upaya pertolongan harus ditujukan kepada
perbaikan perfusi serebral dan perbaikan aliran darah otak dengan cara
menurunkan tekanan intrakranial yang meningkat, mempertahankan volume
intravaskuler normal, memelihara Tekanan darah Arteri Rata-rata (TAR) atau
MAP (Mean Arterial Blood Pessure) yang normal dan mempertahankan
oksigenasi yang adekuat dan normokapnu (normokarbia).
Memelihara Tekanan Perfusi Otak (TPO) atau CPP (Cerbral Perfusion
Pressure) = MAP (Mean Arteral Pressure – Intra Cranial Pressure/ICP), pada level
60-70 mmHg sangat dianjurkan untuk memperbaiki aliran darah otak.
Sekali mekanisme kompensasi tidak bekerja serta terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial yang eksponensial maka perfusi otak akan sangat buruk
terutama pada pasien-pasien yang mengalami hipotensi. Oleh sebab itu bila ada
perdarahan intrakranial harus segera dievakuasi dan tekanan darah sistemik yang
adekuat harus dipertahankan.
Trauma Kapitis
Definisi
Secara umum definisi cedera kepala menurut urutan struktur anatominya
adalah cedera yang dapat terjadi dari lapisan terluar hingga paling dalam di
kepala, yaitu kulit kepala, tulang tengkorak, selaput otak, pembuluh darah otak,
dan jaringan otak.
Sebagian para ahli sering menggunakan istilah “cedera kranio serebral”
pada pembahasan cedera pada kepala. Terminologi ini dipakai berdasarakan lesi
yang terjadinya biasanya terdapat pada tulang tengkorak (cranium) atau bagian
jaringan otak (serebral), atau bahkan keduanya sekaligus. Sedangkan di dalam
literature barat, terminologi yang dipakai adalah Traumatic Brain Injury (Cedera
Otak Traumatik) yang umumnya didefinisikan sebagai kelainan non degeneratif
dan non- kongenital yang terjadi pada otak, sebagai akibat adanya kekuatan
mekanik dari luar, yang beresiko menyebabkan gangguan temporer atau permanen
dalam hal fungsi kognitif, fisik dan fungsi psikososial dengan disertai penurunan
atau hilangnya kesadaran.
Epidemiologi
Data dari berbagai sumber hampir selalu menunjukkan bahwa cedera
merupakan penyebab kematian pada pasien berusia kurang dari 45 tahun. Dari
berbagai kasus cedera ini, ternyata hampir 50% nya merupakan cedera kepala,
atau bahkan cedera bagian tubuh lainnya yang disertai pula oleh cedera kepala.
Berdasarkan kelompok umur, beberapa sumber menunjukkan bahwa usia
yang paling banyak mengalami cedera kepala adalah 15-24 tahun yang umumnya
karena kecelakaan lalu lintas, sedangkan untuk kelompok usia diatas 65 tahun,
penyebab utama terjadinya cedera adalah jatuh. Untuk anak kurang dari 2 tahun,
cedera terutama disebabkan karena jatuh dari kursi, meja dan sebagainya dan
umumnya tidak sampai mengakibatkan cedera otak yang berat. Anak usia 10-15
tahun umumnya mengalami cedera kepala akibat kecelakaan olah raga atau
kegiatan permainan sehari-hari.
Jika diperhatikan dalam hal waktu terjadinya cedera kepala ini, didapatkan
kasus yang cenderung lebih banyak pada akhir pekan masa liburan yang
kemungkinan berkaitan dengan lebih meningkatnya aktivitas di luar rumah dan
semakin padatnya lalu lintas pada saat akhir pekan dan liburan.
Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, didapatkan laki-laki 3 kali lebih
banyak daripada perempuan. Hal ini dapat dikaitkan dengan kenyataan bahwa
laki- laki lebih banyak melakukan aktivitas di luar rumah dibandingkan dengan
wanita dalam sehari-harinya.
Etiologi
Penyebab terjadinya cedera kepala di berbagai negara kebanyakan adalah
kecelakaan lalu lintas, yang meliputi kejadian tabrakan sepeda motor, mobil,
sepeda, dan juga pejalan kaki yang tertabrak oleh kendaraan bermotor. Selain itu
cedera kepala juga kerap disebabkan karena jatuh dari sebuah titik ketinggian,
kepala tertimpa benda jatuh, kecelakaan dalam olah raga, pukulan dengan benda
tumpul, benda tajam, senjata api dan korban kekerasan yang umumnya lebih
sering terjadi di wilayah perkotaan yang padat dan memiliki angka kriminalitas
yang tinggi.
Mekanisme
Akibat dari cedera otak traumatik dapat dibagi menjadi 2 kategori: trauma
primer atau trauma langsung dimana kerusakan disebabkan oleh dampak suatu
trauma dan trauma sekunder dimana kerusakan berasal dari lanjutan
pembengkakan otak, infeksi ataupun hipoksia cerebri. Trauma langsung ini terdiri
dari trauma axon difus dan lesi fokal dari laserasi, kontusio, dan perdarahan,
sedangkan trauma tidak langsung sering dalam bentuk difus ataupun multifokal,
termasuk konkusi, infeksi, dan hipoksia trauma otak. Meskipun tulang tengkorak
dan LCS menyediakan proteksi bagi otak, mereka juga berkontribusi pada trauma.
Ketika tekanan mekanik menginduksi trauma kepala menyebabkan lompatan otak
pada tulang tengkorak yang tertutup, maka mekanisme coup-contrecoup akan
terjadi. Otak mengapung dengan bebas pada LCS. Oleh sebab itu, tekanan tajam
pada kepala dapat menyebabkan akselerasi otak pada tulang tengkorak, dan
selanjutnya akan terjadi deakselerasi secara tiba-tiba pada permukaan dalam
tengkorak yang terhantam. Kontusio langsung pada otak pada bagian luar dari
tekanan dinamakan trauma coup, dimana trauma yang berada pada posisi yang
berlawanan dengan trauma coup, dinamakan trauma contrecoup. Ketika otak
menghantam permukaan kranial, jaringan otak, pembuluh darah, traktus saraf, dan
struktur lainya akan memar dan robek, hal ini akan menyebabkan kontusio dan
hematoma.
Iskemia dianggap sebagai penyebab utama dari terjadinya trauma
sekunder. Iskemia ini dapat menyebabkan hipoksia dan hipotensi yang terjadi
pada saat proses resusitasi atau dari gangguan mekanisme regulasi oleh respon
serebrovaskular yang mengatur aliran darah dan oksigen yang cukup bagi otak.
Pada cedera kepala ringan, terdapat hilangnya kesadaran tanpa adanya
gejala neurologis atau gejala sisa, kecuali kemungkinan adanya amnesia.
Perubahan mikroskopis yang terjadi biasanya dapat dideteksi pada neuron dan glia
dalam hitungan jam pada waktu trauma, tetapi biasanya rontgen otak akan negatif.
Sedangkan konkusio adalah hilangnya kesadaran sementara dan tiba-tiba yang
disertai oleh periode amnesia secara singkat setelah terjadi hantaman pada kepala.
Meskipun pemulihan biasanya terjadi dalam waktu 24 jam, gejala ringan seperti
sakit kepala, mudah kesakitan, insomnia, dan konsentrasi yang buruk dan
gangguan memori dapat bertahan hingga dalam hitungan bulan. Sindroma ini
dinamakan sindroma post konkusio. Memori yang hilang biasanya pada interval
waktu yang lampau (amnesia retrograde) ataupun setelah trauma (amnesia
anterograde). Durasi dari amnesia retrograde ini berhubungan dengan derajat
trauma otak. Karena keluhannya biasanya tidak jelas dan subyektif, maka
biasanya keluhan ini berasal dari psikis. Sindrom postkonkusio memiliki efek
yang signifikan dalam aktivitas sehari-hari dalam pekerjaan.
Pada cedera kepala ringan, terdapat beberapa perdarahan kecil dan
beberapa pembengkakakan otak. Kontusio ini biasanya menyebar pada permukaan
otak di bagian dalam dan paling sering terjadi pada lobus frontal dan temporal
yang akan menyebabkan gangguan kognitif dan motorik. Cedera kepala sedang
ditandai oleh adanya ketidaksadaran dan mungkin berhubungan dengan
manifestasi lokal seperti hemiparesis, afasia, dan cranial nerve palsy. Pada tipe
ini, kontusio dapat dilihat dengan menggunakan CT scan.
Cedera kepala berat terjadi karena adanya tekanan mekanik yang luas dan
trauma sekunder pada struktur otak dan selalu ditandai oleh adanya gangguan
kesadaran dan biasanya koma. Pada cedera kepala berat, trauma mekanik biasanya
terjadi secara cepat dan ireversible, yang menyebabkan trauma axonal difus,
gangguan pembuluh darah dan kerusakan jaringan. Kontusio dan intraserebral,
subdural, epidural dan perdarahan subaraknoid sering terlihat pada CT scan. Hal
ini biasanya disertai oleh gangguan neurologis seperti koma, hemiplegia dan
tanda-tanda dari peningkatan tekanan intrakranial. Cedera kepala berat biasanya
terjadi disertai oleh cedera bagian tubuh lainnya, seperti ekstremitas, dada, dan
abdomen dimana dapat membatasi kemampuan pemeriksa dalam penilaian
gangguan neurologis.
Menurut mekanisme fisik terjadinya cedera kepala, terdapat dua jenis beban
mekanik yang dapat terjadi pada proses cedera kepala. Beban mekanik tersebut
adalah beban statik dan beban dinamik.
a. Beban statik
Beban statik secara relatif dikatakan terjadi secara perlahan-lahan, yaitu
dalam waktu yang melebihi 200 milidetik. Dalam situasi ini tenaga tekanan
mengenai kepala secara bertahap, dan efek tekanan/ efek gencetan terjadi
secara lambat. Dalam prakteknya kasus cedera akibat beban statik tidak lazim
terjadi,walaupun tetap saja dapat terjadi dalam keadaan tertentu, misalnya
kepala terjepit benda keras secara perlahan-lahan
Bila kekuatan yang mengenai kepala cukup besar, maka dapat terjadi
keretakan tulang berupa egg-shell fracture, fraktur multipel, fraktur kominutif
tengkorak, atau bahkan pada dasar tulang tengkorak. Gejala defisit neurologis
biasanya juga tidak langsung muncul, kecuali bila deformitas yang terjadi
cukup berat dan menyebabkan adanya distorsi dari jaringan otak.
b. Beban dinamik (dynamic force)
Beban dinamik merupakan mekanisme yang lebih sering terjadi dalam
kasus cedera kepala. Beban yang terjadi di sini terjadi dalam waktu yang
singkat, yaitu kurang dari 200 milidetik. Beban dinamik terbagi menjadi
beban guncangan (impulsive loading) dan beban benturan (impact loading)
Akibat adanya beban guncanga dan atau beban benturan, jaringan otak
yang ada dalam tengkorak dapat mengalami cedera. Namun tidak semua
beban guncangan atau beban benturan akan menyebabkan jaringan otak
mengalami cedera. Cedera jaringan otak akan terjadi manakala beban yang
terjadi melewati batas toleransi struktural jaringan otak. Jenis cedera yang
dapat terjadi ada tiga macam, yaitu kompresi (compression), regangan
(tension), dan robekan (shear)
1. Beban benturan
Beban benturan dialami kepala dan jaringan otak akibat adanya
benda padat yang membentur kepala dengan kecepatan tertentu. Beban
ini merupakan yang paling sering terjadi dan merupakan kombinasi dari
kekuatan beban lanjut (inertial forces). Beban kontak merupakan
benturan yang dialami kepala yang sedang dalam posisi istirahat (tidak
bergerak). Beban lanjut terjadi bila kepala mengalami akselerasi gerakan
dengan atau tanpa beban kontak. Pada prakteknya, cedera kepala yang
dialami pasien bukanlah cedera bentur saja, namun juga disertai cedera
akselerasi.
Timbulnya jejas pada cedera kontak bentur, dialami bila terjadi
fenomena kontak yaitu efek gabungan yang ditimbulkan karena energi
benturan dihantarkan ke kepala sebesar tenaga kontak. Fenomena kontak
merupakan kumpulan peristiwa mekanis yang terpisah dari titik benturan,
tetapi ada di dekatnya. Fenomena yang terjadi dipengaruhi oleh ukuran
benda yang membentur, arah,dan besar tenaga yang mengenai titik
benturan.
Berdasarkan lokasinya, cedera yang terjadi dapat digolongkan
menjadi 2 kelompok, yaitu jejas lokal dan jejas di tempat lain
a. Jejas lokal
Jejas lokal adalah jejas yang terjadi di kepala di lokasi benturan.
Jejas dapat berupa fraktur tulang tengkorak, hematoma epidural,
kontusio koup (coup contussion), atau beberapa fraktur basis kranii.
Fraktur
Terjadinya fraktur ditentukan oleh besarnya benda yang
membentur, besarnya energi yang diabsorpsi oleh kepala dan
ketebalan tulang. Bila benda yang membentur kepala secara
lamgsung memiliki luas lebih dari 5cm2, maka umumnya terjadi
deformitas lokal pada tengkorak, dimana akan cenderung melekuk
ke dalam pada daerah yang terkena benturan langsung, sedangkan
pada daerah perifer disekitarnya akan mencuat ke arah luar.
Seandainya beban tidak melewati batas toleransi derajat deformitas
tengkorak, maka tidak akan terjadi fraktur, Sebaliknya, fraktur akan
terjadi bila batas toleransi terlewati. Bila benda yang membentur
kepala secara langsung memililki luas lebih kecil dari 5cm2, maka
umumnya akan terjadi penetrasi, perforasi atau fraktur depres lokal.
Hematoma epidural
Terjadinya fraktur tengkorak yang meyebabkan deformitas berat
dan robeknya pembuluh darah duramater akan menyebabkan
terjadinya hematoma epidural.
Kontusi Koup
Kontusi koup (coup contussion) adalah perdarahan pada
permukaan otak dengan bentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa
kerusakan pada duramater,dan terletak dibawah lokasi benturan. Lesi
dapat terjadi akibat tekanan secara langsung pada jaringan otak dan
pembuluh darah, namun dapat pula sebagai akibat tekanan negatif
yang besar yang terjadi. Tekanan negatif ini dapat terjadi kala tulang
tengkorak bergerak kembali ke posisi semula setelah sebelumnya
melekuk ke sebelah dalam saat terkena benturan dari luar yang tidak
sampai menyebabkan fraktur tulang tengkorak.
b. Jejas di tempat lain
Fenomena kontak yang terjadi dapat menyebabkan timbulnya
jejas di kepala selain di lokasi benturan. Hal ini terjadi akibat adanya
distorsi otak dan gelombang hantaman (shock wave). Cedera yang
terjadi dapat berupa fraktur di lokasi lain yang berjauhan, kontusio
kontra koup (contre-coup), dan kontusio intermediate coup.
Fraktur tengkorak di lokasi lain
Bila benturan yang dialami kepala mengenai bagian dengan
ketebalan tulang yang tebal, atau benda yang membentur bentuknya
melebar, maka umumnya lekukan yang terjadi pada tulang tengkorak
yang terkena benturan tidaklah dalam. Namun pada bagian di sekitar
benturan, tulang tengkorak akan mencuat ke arah luar dan dalam
keadaan tertentu dapat menyebabkan cedera pada lokasi lain yang
ada di seberang tempat benturan. Fraktur dapat terjadi pada lokasi
lain tersebut bila bagian tersebut memiliki lapisan tulang yang relatif
tipis.
Kontusio kontra koup
Saat terkena benturan, kepala juga dapat mengalami
perubahan bentuk yang sifatnya global, yang tidak sampai
menyebabkan terjadinya fraktur tulang tengkorak. Deformitas yang
terjadi berlangsung secara singkat, dan dengan adanya daya
elastisitas dari tulang tengkorak, maka kemudian tulang tengkorak
akan kembali ke bentuk semula. Walaupun tidak menimbulkan
cedera pada tulang tengkorak, perubahan bentuk yang terjadi ini
akan menimbulkan perubahan volume intraranial secara cepat .
Perubahan yang terjadi sifatnya penurunan volume (saat terkena
benturan) dan kemudian meningkat kembali (saat kembali ke bentuk
semula). Perubahan tekanan akan menyebabkan timbulnya tekanan
negatif di bagian tertentu dari otak, dan akan memberikan beban
regangan pada jaringan otak sehingga terjadi cedera kontusio kontra
koup.
Kontusio intermediate coup
Saat terjadi benturan di kepala, gelombang hantaman akan
dihantarkan ke segala arah denan cepat. Gelombang yang
dihantarkan tulang tengkorak yang keras akan menyebabkan
deformitas dan distorsi tulang tengkorak. Sedangkan gelombang
yang dihantarkan jaringan otak yang lunak, akan memiliki sifat
seperti gelombang pada air, yaitu dipantulkan ketika mengenai benda
keras. Pantulan akan menyebabkan gelombang berbalik arah dan
menyebabkan terjadinya reverbasi di dalam jaringan otak. Reverbasi
menyebabkan perbedaan tekanan lokal yang intesitasnya tinggi, dan
ketika akhirnya melewati ambang toleransi, terjadilah jejas pada
jaringan otak dan vaskular. Cedera yang terjadi ini disebut kontusio
intermediate coup, dan terdapat di bagian dalam otak, bukan pada
permukaannya.
2. Beban guncangan
Beban guncangan dialami kepala (otak) manakala terjadi
perubahan atau gerakan mendadak tanpa ada kontak fisik secara langsung
pada kepala yang signifikan. Berdasarkan prosesnya, peristiwa yang
terjadi dapat berupa kepala dalam keadaan diam kemudian diguncang
secara mendadak atau dapat pula kepala yang sedang dalam keadaan
bergerak dihentikan secara tiba-tiba. Dalam kedua kejadian ini tidak
terjadi benturan pada kepala secara langsung, namun benturan langsung
yang hebat terjadi pada bagian tubuh lainnya, misalnya dadam atau
muka.
Guncangan yang terjadi dapat disebabkan karena benturan
ataupun bukan, berakibat gerakan yang cepat dari kepala. Cedera yang
terjadi dalam hal ini disebut cedera akselerasi-deselerasi. Secara mekanis,
akselerasi dan deselerasi merupakan mekanisme serupa yang berbeda
dalam hal arah gerak. Cedera akselerasi-deselerasi menyebabkan cedera
jaringan otak melalui mekanisme:
Mekanisme pertama adalah akibat adanya perbedaan relatif dalam
arah gerak otak dan tengkorak. Seperti diketahui, otak dapat bergerak
bebas dalam batas tertentu dalam rongga tengkorak. Saat terjadi
benturan, terjadilah gerakan akselerasi dan jaringan otak tertinggal
dibanding gerakan yang dialami tengkorak. Sebagai dampaknya, otak
akan bergeser secara relatif terhadap tulang tengkorak dan duramater,
dan terjadilah cedera pada permukaan jaringan otak dan vena-vena
jembatan (bridging-vein). Mekanisme ini merupakan dasar terjadinya
hematoma subdural dan dapat pula menyebabkan kontusio kontra koup
(contre-coup). Lesi kontra koup adalah lesi berupa perdarahan pada
permukaan otak, yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa
kerusakan pada duramater, dan terletak pada lokasi yang berseberangan
dengan lokasi benturan.
Mekanisme kedua yang dapat terjadi adalah jejas di dalam otak
sendiri, yaitu cedera otak difus (sindroma konkusi dan cedera aksonal
difus), perdarahan jaringan, dan kontusi intermediate coup. Dalam hal
ini, bentuk, lokasi dan besar, beban, durasi dan kecepata akselerasi yang
terjadi.
Berdasarkan jenis akselerasinya, cedera akselerasi
dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu akselerasi translasi, akselerasi
rotasi dan akselerasi angular.
Cedera akselerasi translasi
Dapat terjadi bila titik-titik berat otak bergerak dalam sumbu garis
lurus. Titik berat otak ini lokasinya kira-kira di sekitar daerah kelenjar
pineal. Secara teoritis, hubungan fisiologis gerakan kepala leher ini
tidaklah dimungkinkan. Terjadinya cedera hanya dimungkinkan bila
terjadi benturan pada verteks yang menyebabkan gerakan superior inferior.
Cedera yang terjadi dalam hal ini hanyalah cedera akibat pergeseran relatif
antara otak dan tengkorak, bukan jejas yang ditimbulkan dalam jaringan
otak. Jenis cedera yang dijumpai adalah cedera fokal saja, yaitu kontusi
kontra kup, hematoma intraserebral, dan hematoma subdural.
Cedera akselerasi rotasi,
Dapat terjadi bila ada gerakan rotasi di daerah titik beray otak,
namun tanpa diikuti dengan pergerakan titik berat tersebut. Dalam
praktisnya, gerakan akselerasi rotasi yang murni ini tidak dimungkinkan,
kecuali pada bidang horisontal dengan putaran mengelilingi aksis vertikal.
Mekanisme cedera ini umumnya berlangsung bersamaan dengan gerakan
akselerasi angular dan merupakan mekanisme yang dapat menimbulkan
jejas yang hebat di bagian dalam otak.
Cedera akselerasi angular
Terjadi akibat gabungan dari mekanisme akselerasi translasi dan
rotasi merupakan cedera yang paling umum terjadi. Dalam mekanisme ini,
titik berat otak bergerak dalam arah yang membentuk sudut. Secara
anatomi klinik gerakan akan terpusat pada daerah servikal. Gerakan rotasi
akan banyak melibatkan bagian servikal atas, sedangkan gerakan translasi
banyak melibatkan bagian servikal bawah. Dalam praktis sehari-harinya,
mekanisme ini sangat kerap dijumpai dan dapat menyebabkan semua jenis
cedera kepala, kecuali fraktur tengkorak dan hematoma epidural.
Klasifikasi
Menurut derajat keparahan
Trauma kapitis dapat di kategorikan berdasarkan derajat keberatannya menjadi
ringan, sedang ataupun berat. Klasifikasi ini nantinya dapat di jelaskan dengan
sebuah terminologi Cedera Kepala Ringan (CKR), Cedera Kepala Sedang (CKS)
dan Cedera Kepala Berat (CKB). Pembagian menuju ketiga klasifikasi ini dapat
ditentukan berdasarkan lama waktu penurunan ataupun kehilangan tingkat
kesadaran dari pasien, status mental dari pasien, dan amnesia pasca trauma. Serta
salah satu kriteria yang sangat penting tentu adalah nilai dari Glasgow Coma
Scale (GCS) (Department of Defense, 2009).
DEFINISI DAN KLASIFIKASI
Pasien yang datang dengan trauma kapitis dapat dibagi ke dalam sebuah struktur
pembagian yang akan menunjukan syarat-syarat apakah pasien ini dapat
didefinisikan dalam kategori cedera kepala ringan (CKR), cedera kepala sedang
(CKS) ataupun cedera kepala berat (CKB). Sebelum pasien dapat dimasukkan ke
dalam pembagian tersebut, terdapat beberapa syarat yang harus dilihat dan
dipertimbangkan (Department of Defense, 2009) :
Pasien dapat dilkasifikasikan dalam kategori cedera kepala ringan, sedang ataupun
berat apabila dia telah memenuhi kriteria yang dapat dilihat pada tabel dibawah
yang disesuaikan denganderajat keparahan. Apabila pada pasien ditemukan
kriteria kategori keparahan lebih dari satu. Maka derajat keparahan yang lebih
tinggi akan diambil.
Apabila tidak memungkinkan untuk menentukan tingkat keparahan pada otak
dikarenakan komplikasi medis (koma yang terinduksi secara medis) maka
penentuan derajat harus menggunakan klasifikasi lain untuk menentukan derajat
keparahan pada otak.
Apabila dalam dilakukan pemeriksaan penunjang, maka setiap hasil abnormal
maka pasien dengan trauma kepala akan diklasifikasikan pada tingkat yang lebih
berat.
Berikut dapat dilihat definisi dan klasifikasi trauma kepala menurut derajat
keberatannya pada tabel di bawah berikut:
Definisi yang tertulis pada tabel A-1 juga telah disetujui dapat digunakan pada
anak-anak. Kelemahan dari pembagian yang menurut derajat pembagian ini
adalah tidak dapat memprediksi tingkat prognosis secara tepat, sehingga pada
penelitian terbaru. Department of Defense dan Department of Veterans Affairs
Amerika Serikat juga mengajukan beberapa gejala klinis yang dapat terlihat,
seperti pembengkakan, defisit neurologis, lesi fokal atau perlukaan difus pada
klasifikasi. Sehingga pembagian ini dapat pula digunakkan pada kondisi-kondisi
yang tidak memiliki pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan ataupun MRI (Maal,
2008).
EPIDEMIOLOGI
Kurang lebih sekitar 8 juta orang di Amerika Serikat datang ke unit gawat darurat
Rumah sakit dengan cedera kepala ringan. Hampir setiap pasien yang datang rata-
rata memiliki kesadaran penuh dan dapat beraktivitas serta berkomunikasi dengan
baik, tetapi kurang lebih 6-8% pasien yang datang dengan tingkat kesadaran
penuh ternyata memiliki perubahan pada struktur otak ataupun kepala yang
sewaktu-waktu dapat membahayakan nyawa pasien. Sehingga evaluasi secara dini
penting untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih lanjut terhadap fungsi
otak (Stone CK, 2011).
Sedangkan untuk cedera kepala sedang dan berat, menurut sebuah data di Negara-
negara eropa adalah sekitar 235 per 100.000 orang. Angka ini relatif sama dengan
angka yang ditemukan di Australia, para pasien yang datang dengan cedera kepala
sedang dan berat harus diintervensi lebih lanjut karena biasanya sudah terjadi
defisit neurologis (Maal, 2008).
TANDA DAN GEJALA KLINIS
Gejala yang dapat timbul pada pasien dengan cedera kepala sangat berbeda antara
satu dengan yang lain. Hal ini dikarenakan letak lesi fokal ataupun difus pada
setiap bagian otak akan menunjukan gejala yang berbeda (Arlinghaus KA, 2005).
Tetapi, peneliti sepakat bahwa ada beberapa tanda dan gejala yang dapat dilihat
sebagai hal yang penting dan signifikan menurut derajat berat pada pasien dengan
trauma kapitis.
Pada pasien dengan cedera kepala ringan pasien biasa tetap sadar, kalaupun
kehilangan kesadaran, pasien akan segera sadar beberapa menit hingga beberapa
jam sesaat setelah terjadi trauma. Selain kesadaran, pada pasien dengan cedera
kepala ringan biasa akan merasakan sakit kepala, mual dan muntah, penurunan
koordinasi motorik, kepala terasa pening dan pusing, pengelihatan menjadi kabur,
dan menjadi kebingungan. Biasa keadaan ini tidak akan berlangsung lama
(National Institute of Neurological Disorders and Stroke, 2008).
Sedangkan pada cedera kepala sedang dan berat, tanda dan gejala yang ditemukan
pada cedera kepala ringan juga dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi
cedera kepala sedang dan berat. Sakit kepala merupakan salah satu tanda yang
paling mudah dilihat dan paling dirasakan oleh pasien, pada cedera kepala sedang
dan berat, sakit kepala akan dirasakan persisten, setelah itu akan timbul rasa mual
yang tidak kunjung hilang disertai dengan muntah yang berulang, kejang juga
dapat timbul, penurunan kesadaran yang dalam sehingga tidak dapat dibangunkan,
dan biasanya timbul gejala defisit neurologis seperti kelemahan pada salah satu
sisi tungkai, kesemutan, rasa baal, delirium dan agitasi (National Institute of
Neurological Disorders and Stroke, 2008).
Pada cedera kepala sedang dan berat, sering dijumpai tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial, tanda ini dikenal sebagai Cushing Triads dijumpai tiga tanda
cardinal, yaitu bradikardia yang disertai dengan tekanan darah yang tinggi dan
depresi pernafasan. Pada peningkatan tekanan intracranial yang tinggi, dijumpai
ukuran pupil yang tidak simetris (anisokor) disertai dengan penurunan refleks
cahaya dari pupil. Setelah itu karena efek penekanan intrakranial yang tinggi
terhadap otak, maka akan timbul defisit neurologis terutama kelemahan pada salah
satu sisi tungkai. Penurunan kesadaran juga merupakan hal yang sering terjadi
(Parikh S, 2007).
Pada anak-anak tanda dan gejala yang dijumapi relatif sama pada orang dewasa,
beberapa gejala yang lain yang dapat kita lihat adalah rewel, terus-terusan
menangis, tidak ingin makan dan tidak mampu berkomunikasi pada anak-anak
yang relatif sudah cukup besar (CDC, 2012).
DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Penegakkan diagnosis dapat dilaksanakan dengan pemeriksaan yang akurat yaitu
dengan anamnesa yang detail mengenai perjalanan trauma pada pasien, kapan
pasien terkena trauma, benda apa yang menyerang pasien, pengobatan atau
penanganan apa saja yang sudah diberikan kepada pasien. Setelah itu pemeriksaan
neurologis yang cepat dan tepat terutama yang dapat memberikan gambaran klinis
yang penting terhadap pengobatan seperti pemeriksaan pupil, Glasgow coma
scale, serta gambaran tanda-tanda vital sudah cukup untuk dapat
mengklasifikasikan pasien dengan trauma kapitis ke dalam klasifikasi ringan,
sedang ataupun berat (Valadka, 2004).
Dalam penegakkan diagnosis, salah satu modalitas utama yang dapat digunakkan
untuk menegakkan dan mengklasifikasikan trauma kapitis yang dialami oleh
pasien adalah dengan menggunakan CT-Scan. CT-Scan mampu memberikan
gambaran yang cepat, akurat, dan umumnya tersedia pada fasilitas-fasilitas
kesehatan. Pada pasien yang sudah di evaluasi secara klinis dan di diagnosa
memiliki cedera kepala sedang (CKS) ataupun cedera kepala berat (CKB). Pasien
tersebut harus dilaksanakan pemeriksaan CT-Scan, karena untuk dapat
menimbulkan defisit neurologis, terjadi sesuatu penekanan ataupun perdarahan
ataupun proses lainnya yang menyebabkan terjadinya defisit neurologis.
Sehingga, kondisi pada pasien dapat dinilai lebih objektif dan penanganan dapat
dilakukan lebih baik sehingga dapat memaksimalkan kualitas hidup pasien sesaat
setelah keluar dari Rumah sakit (Zink, 2001).
Sedangkan pada pasien dengan cedera kepala ringan (CKR) keharusan
dilakukannya pemeriksaan penunjang CT-Scan masih cukup diperdebatkan
diseluruh dunia. Tetapi, studi terakhir yang dilaksanakan di New Orleans dan
Canada yang dituliskan pada New Orleans Criteria dan Canada CT head rule
(Haydel MJ, 2000) & (Stiell IG, 2000) :
Berdasarkan kedua penelitian tersebut National Institute for Clinical Excellence
dan Neurotraumatology Committee of the World Federation of Neurosurgical
Societies mengkonklusikan kriteria apa saja yang menjadi syarat untuk dilakukan
CT-Scan pada pasien dengan GCS 13-15 yang tidak mengalami penurunan
kesadaran.
CT-Scan tetap menjadi pilihan favorit dalam penegakkan diagnosis dikarenakan
memiliki tingkat sensitivitas yang sangat tinggi terhadap lesi intrakranial ataupun
lesi yang membutuhkan intervensi bedah syaraf, yaitu 94% untuk lesi intrakranial
dan 82% untuk lesi yang membutuhkan intervensi bedah syaraf. Pada pasien
dengan cedera kepala ringan ditemukkan 2% memiliki lesi intrakranial dan 0.6%
membutuhkan intervensi bedah syaraf. (Fabbri A, 2005)
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien dengan cedera kepala, dibagi dalam dua hal, terapi
umum dan terapi khusus. Terapi umum melibatkan pada prinsip ABCDE (Airway,
Breathing, Circulation, Disability and Exposure) selain itu juga terdapat beberapa
prinsip yang harus dipegang dalam menangani pasien trauma kapitis yang muncul
dengan gejala-gejala spesifik. Sedangkan terapi khusus pada pasien terutama
dengan lesi intrakranial maka harus dilakukan pendekatan bedah syaraf untuk
mengevakuasi hematoma ataupun fraktur yang terjadi dengan langkah operatif.
Prinsip awal sesaat setelah pasien masuk adalah dilakukannya imobilisasi servikal
dari tempat trauma, karena 5% pasien yang mengalami trauma kapitis akan
mengalami trauma pada tulang servikal. Setelah itu langkah yang dapat diambil
selanjutnya adalah sebagai berikut (Stone CK, 2011):
Airway
Prinsip pemberian oksigen harus agresif, seluruh pasien dengan cedera kepala,
terutama cedera kepala sedang dan berat dengan penurunan kesadaran, harus
mendapatkan oksigen 100% dengan penggunan nonbreathing-mask. Karena
oksigen merupakan salah satu nutrisi yang dibutuhkan otak untuk terus
mempertahankan fungsi otak, pada pasien harus dipastikan jalan napas yang tidka
terobstruksi. Pada pasien dengan tingkat kesadaran menurun dengan GCS 8
kebawah, maka merupakan indikasi untuk dilakukan pemasangan tuba
endotrakeal. Pemberian oksigen juga harus dimonitor karena pemberian oksigen
hingga titik hiperventilasi dapat menyebabkan hypocarbia yang akan
mengakibatkan vasospasme serebral, dapat menyebabkan buruknya tingkat
prognosis.
Breathing
Setelah jalan napas berhasil diamankan dan oksigen telah diberikan, maka
pengambilan dan analisa gas darah sangat penting, karena pada pasien dengan
trauma kapitis, harus dipertahankan kondisi PO2 dan PCO2 pada level yang
fisiologis normal.
Circulation
Pada pasien dengan trauma kapitis, baik ringan, sedang ataupun berat. Kondisi
tekanan darah harus diperhatikan, terutama kondisi hipotensi, karena kondisi
hipotensi dapat menyebabkan terjadinya secondary injury terhadap otak dan
malah memperberat defisit neurologis yang terjadi terutama pada pasien dengan
cedera kepala ringan dan berat. Pada trauma kapitis, prinsip utama adalah
mempertahankan tekanan darah di atas 90 mmHg atau mempertahankan MAP >
80 mmHg. Apabila terjadi shock hipovolemia, maka harus diberikan terapi cairan
yang agresif dengan menggunakan ringer lactate ataupun normal salin. Pemberian
cairan harus menghindari produk yang berisi glukosa, karena kondisi
hiperglikemia dapat memperburuk kondisi otak.
Disability
Seluruh pasien dengan trauma kapitis harus dinilai GCS-nya, sehingga dapat
menggambarkan kondisi klinis pasien dan pemeriksaan neurologis yang diulang
setiap 2 jam. Pemeriksaan neurologis yang dianjurkan adalah pemeriksaan pupil
dan pemeriksaan doll’s eyes serta pemeriksaan kalorik, pemeriksaan ini berguna
untuk menilai fungsi kortikal dan batang otak. Pemeriksaan lainnya seperti
refleks, kekuatan otot, pemeriksaan sensorik penting untuk memastikan apakah
terdapat lateralisasi atau tidak.
Exposure
Pasien dengan trauma kepala harus diperiksa secara menyeluruh, serta pasien
harus dipastikan berada pada suhu yang baik. Kondisi hipotermia harus dicegah
dengan pemberian selimut hangat pada tubuh pasien.
Beberapa gejala lain yang harus diperhatikan pada pasien dengan trauma kapitis,
pada derajat apapun adalah kejang, rasa nyeri, hipertensi sistemik dan peningkatan
tekanan intrakranial.
Kejang
Pada pasien dengan cedera kepala sedang atuapun berat dengan kondisi GCS ≤ 8.
Pemberian profilaksis terhadap kejang harus dilakukan dengan memberikan
fenitoin, fosphenytoin ataupun carbamazepine. Apabila terjadi kejang pada pasien,
maka pemberian lorazepam ataupun diazepam secara suposutoria harus segera
dilakukan, karena pada kondisi kejang, dapat terjadi hipoksemia pada otak yang
dapat memperparah kerusakan otak. Pada anak-anak dapat diberikan fenobarbital.
Rasa Nyeri
Jangan ragu untuk memberikan analgesik ataupun obat-obatan sedative, pada
pasien biasanya akan terasa sangat gelisah dan dapat melakukan pergerakan yang
dapat memberikan trauma tambahan.
Hipertensi Sistemik
Kondisi hipertensi kerap terjadi pada trauma, perlu dievaluasi lebih lanjut apakah
hipertensi yang timbul merupakan sebuah reaktif hipertensi yang disebabkan oleh
mekanisme trauma ataupun nyeri. Karena itu pada kondisi hipertensi, penurunan
tekanan darah hanya diperbolehkan 10-20% dari tekanan darah awal. Dan perlu
dilihat juga apakah hipertensi ini muncul bersamaan dengan gejala seperti
bradikardia ataupun depresi pola nafas, karena merupakan tanda dari Cushing
triad yang merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Penigkatan Tekanan Intrakranial
Hipertensi, bradikardia dan depresi pernafasan merupakan salah satu tanda
kardinal dari Cushing Triad yang merupakan pertanda bahwa tekanan intrakranial
di otak sudah melebihi batas normal. Kondisi ini juga dapat disertai dengan
penurunan defisit neurologis yang semakin parah tanpa disertai dengan gejala lain.
Muntah proyektil, perubahan ukuran pupil (blown-out pupil), anisokoria,
penurunan refleks cahaya pada pupil, serta sakit kepala hebat merupakan tanda
yang penting untuk dimonitor. Pada kondisi ini dapat diberikan mannitol (0.25-1.0
g/kgBB bolus) untuk menurunkan tekanan intrakranial pada trauma kapitis.
PROGNOSIS
Pada pasien dengan kondisi cedera kepala ringan (CKR) memiliki prognosis yang
baik, walaupun terkadang terdapat beberapa gejala bawaan yang baru dapat hilang
setelah 2-3 tahun. Gejala tersebut seperti post-concussion syndrome yang terdiri
dari sakit kepala ringan yang tidak membaik, ketidakstabilan emosi, dan juga
penurunan fungsi kognitif. Sedangkan pada CKS dan CKB, apabila tidak
dilakukan penanganan yang cepat, maka dapat menyebabkan defisit neurologis
yang menetap atau kematian.
Menurut letak lesi
A. Lesi difus
1. Cedera kepala sederhana
Cedera kepala sederhana adalah akibat paling ringan dari trauma kapitis
dimana tidak terjadi penurunan kesadaran atau pingsan, amnesia atau
muntah. Keluhan penderita paling hanya pusing-pusing ringan, karena
tidak terjadi kelainan/ kerusakan jaringan otak. Penanganan pada kasus
cidera kepala sederhana tidak memerlukan penanganan yang khusus,
cukup dengan pemberian obat-obat simtomatik dan istirahat yang cukup.
2. Komosio serebri
Definisi
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang
berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak
disertai kerusakan jaringan otak. (Chalim, 2007)
Gejala dan tanda
Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah
dan tampak pucat.. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap
kali tidak diperhatikan. Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar
pada labirin atau terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada
komosio cerebri mungkin pula terdapat amnesia post-
traumatic(anterograde) dan amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan
sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini
timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian di lobus temporalis.
Berdasarkan lamanya gangguan memori dan hilangnya kesadaran,
konkusi terbagi menjadi 5 tingkatan, yaitu: (Wahjoepramono E. J., 2005)
Grade 1 :penderita mengalami konfusi temporer,
namun tidak mengalami gangguan memori.
Grade 2 :penderita mengalami disorientasi sejenak,
anterograde amnesia kurang dari 5 menit.
Grade 3 :penderita mengalami disorientasi sejenak,
anterograde amnesia dan hilang kesadaran kurang dari 5
menit.
Grade 4 :penderita mengalami disorientasi sejenak,
anterograde amnesia dan hilang kesadaran 5-10 menit.
Grade 5 :penderita mengalami disorientasi sejenak,
anterograde amnesia dan hilang kesadaran lebih dari 10
menit.
Diagnosis
Ada riwayat benturan pada kepala seperti kecelakaan lalu lintas,
pukulan, terjatuh dari ketinggian, dan sebagainya. Penderita mengalami
pingsan sebentar biasanya kurang dari 10 menit. Sering disertai mual
muntah, sakit kepala dan kadang-kadang dijumpai adanya defisit
neurologis. (Chalim, 2007)
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang biasanya perlu dilakukan adalah foto
rontgen kepala, untuk melihat ada atau tidaknya fraktur tulang kepala.
(Chalim, 2007) Selain itu mungkin perlu dilakukan pemeriksaan EEG dan
pemeriksaan memori.
Penanganan
Penderita harus beristirahat di tempat tidur (tirah baring) sampai
keluhan-keluhan (gejala) nya hilang mungkin sekitar 3-5 hari. Bila
muntah-muntah banyak, terapi cairan diperlukan (dextrose 5 %- 10 %,
NaCl, Ringer) dengan jumlah yang sesuai kebutuhan. Pengobatan adalah
bersifat simptomatis (menghilangkan gejala) dengan analgetika,
antimuntah dan sebagainya. Boleh juga diberikan obat-obat metabolisme
otak meskipun manfaatnya masih belum jelas benar. (Chalim, 2007)
Prognosis
Meskipun prognosis komosio serebri adalah baik, tetapi pada
sebagian penderita yang sudah dinyatakan sembuh kadang-kadang masih
suka timbul keluhan sakit kepala. Tetapi perlu diselidiki apakah keluhan
tersebut memang akibat benturan kepalanya atau karena sebab lain.
(Chalim, 2007)
3. Kontusio serebri
Definisi
Kontusio cerebri (memar otak) adalah trauma kapitis yang
menyebabkan terjadi kerusakan jaringan otak berupa terputusnya
kontinuitas jaringan. Disertai titik perdarahan-perdarahan kapiler di dalam
jaringan otak. Perdarahan ini bisa tampak dengan mata telanjang
(makroskopis) bisa juga mikroskopis. Robekan jaringan bisa tidak kasat
mata meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus.
(Chalim, 2007; Wahjoepramono E. J., 2005)
Kontusio merupakan bentuk cidera kepala yang paling sering
terjadi dan kerap kali terjadi bersamaan dengan hematoma subaraknoid.
Secara tradisional, istilah kontusio digunakan untuk menyatakan adanya
cidera kepala yang lebih berat daripada konkusi, dengan memililki
karakteristik adanya kerusakan sel saraf dan aksonal, dengan titik-titik
perdarahan kapiler, dan edema jaringan otak. (Wahjoepramono E. J.,
2005)
Patofisiologi
Yang penting untuk terjadinya lesi kontusio ialah adanya akselerasi
dan deselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak
serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat
berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang
batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible
terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak
tidak mendapat input aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama
blokade reversibel berlangsung.
Timbulnya lesi contusio di daerah “coup” , “contrecoup”, dan
“intermediate-coup” akibat perubahan tekanan yang tiba-tiba akibat dari
terjadinya akselerasai dan deselerasi yang tiba menimbulkan gejala-gejala
lesi upper motor neuron. Gejala deficit neurologik yang bisa muncul
berupa refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Akibat
cidera pada jaringan otak, pasien dapat mengalami keadaan yang dahulu
diistilahkan ‘cerebral irritation’. Saat ini keadaan tersebut lebih sering
disebut sebagai ‘ delirium traumatik’, yaitu keadaan dimana pasien
berbaring dengan kecenderungan posisi fleksi, mengalami konfusi,
disorientasi, dan mudah terganggu dengan rangsang seperti suara keras
dan cahaya kuat. (Wahjoepramono E. J., 2005)
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang
beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh
darah cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah
menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah.
Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan
pernafasan bisa timbul.
Gejala dan tanda
Hilangnya kesadaran yang cukup lama (>10 menit), disertai adanya
defisit neurologis seperti parese saraf kranial atau parese anggota tubuh.
Bisa disertai kejang. Dapat terjadi penurunan kesadaran dari yang ringan
hingga yang berat, disertai dengan penurunan tekanan darah, dan
gangguan pola pernafasan. Gejala seperti pusing, sakit kepala dan
terganggunya sistem memori seperti retrograde dan anterograde amnesia
dapat terjadi.
Diagnosis
Adanya riwayat benturan kepala disertai pingsan yang cukup lama
(lebih dari 10 menit). Kriteria yang lebih pasti untuk diagnosis kontusio
serebri selain dari lamanya pingsan adalah bila ditemukan adanya defisit
neurologis misalnya pasesis saraf kranial atau anggota tubuh. Ini
dikarenakan adanya kerusakan jaringan otak tersebut. Kejang bisa juga
terjadi dan penurunan kesadaran dari tingkat yang paling berat hingga
yang paling ringan. (Chalim, 2007)
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah foto rontgen
kepala atau lebih bagus lagi CT scan otak. Gambaran CT scan otak bisa
perdarahan atau kadang hanya edema otak saja. (Chalim, 2007)
Penanganan
Komplikasi
Prognosis
Prognosis ad vitam penderita kontusio serebri berdasarkan
penelitian yang pernah dilakukan, dapat diperkirakana
kemungkinannya dari nilai Skala Koma Glasgow (SKG) pada hari
pertama kejadian. Dengan tidak mengikutsertakan kasus yang disertai
faktor pemberat, maka penderita dengan nilai SKG 7 kebawah ternyata
semuanya meninggal, sedangkan penderita dengan nilai SKG 9 keatas
semuanya hidup. Penderita dengan nilai SKG 8 ternyata sebagian
meninggal dan sebagian tetap hidup. Penderita yang hidup kadang-
kadang masih terdapat gejala sisa, misalnya cacat neurologis, baik
yang menetap atau yang tidak, amnesia pasca trauma dan sebagainya.
(Chalim, 2007)
4. Laserasi
Definisi
Laserasi serebral adalah kontusio serebral yang berat, dimana
mengakibatkan gangguan kontinuitas jaringan yang kasat mata. Dalam hal
ini terdapat kerusakan atau robeknya piamater. Laserasinya biasanya
berkaitan dengan perdarahan subaraknoid, subdural, dan intraserebral.
(Wahjoepramono E. J., 2005)
Patofisiologi
Mekanisme terjadinya laserasi bisa langsung atau tidak langsung.
Secara langsung biasanya merupakan akibat adanya fragmen fraktur atau
benda asing yang menyebabkan robeknya piamater. Sedangkan secara
tidak langsung dapat terjadi karena kekuatan mekanis yang terjadi saat
benturan terjadi menyebabkan deformitas jaringan yang hebat.
(Wahjoepramono E. J., 2005).
Gejala dan tanda
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan CT-scan atau dapat
dilakukan pungsi lumbal bila tidak ada kontra indikasi.
Pemeriksaan penunjang
Penanganan
Komplikasi
Prognosis
B. Lesi fokal
FRAKTUR BASIS KRANII
Cedera kepala berat merupakan sebuah kondisi serius yang harus
diwaspadai pada pasien dengan trauma kapitis. Salah satu bentuk dari sebuah
cedera kepala berat adalah fraktur dasar tengkorak atau sering disebut dengan
fraktur basis kranii (Basillar Skull Fracture). Fraktur basis kranii berdampak
pada paresis nervus kranialis yang lewat pada dasar otak, selain itu dapat
timbul infeksi sekunder yang dapat membahayakan kondisi pasien karena
fraktur ini akan merobek dura dan mengekspos otak.
DEFINISI
Fraktur basis kranii merupakan fraktur yang meliputi tulang-tulang
yang terletak pada dasar tengkorak, tulang-tulang tersebut meliputi petrosa os
temporalis, os etmhoidalis, os sphenoid dan os osipitalis. Selain tulang,
fraktur juga dapat terjadi pada rongga atau fossa pada dasar kranium, yaitu
fossa anterior, fossa media dan fossa posterior. (Orlando Regional
Healthcare, 2004)
EPIDEMIOLOGI
Di antara semua jenis fraktur tulang kepala, fraktur basis kranii
merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi setelah fraktur linear
sederhana tulang tengkorak. Dari seluruh fraktur tulang tengkorak, 20%
diantaranya merupakan kasus fraktur basis kranii. Di Amerika Serikat, fraktur
basis kranii terjadi pada 1 dari 6500 orang setiap tahunnya. (Qureshi, 2012)
ETIOLOGI
Pada orang dewasa, fraktur basis kranii sering terjadi terutama pada
aksi kekerasan karena trauma dengan benda tumpul yang langsung
mencederai kepala, kecelakaan kendaran bermotor, ataupun jatuh dari tempat
yang tinggi. Pada balita dan anak-anak biasa terjadi karena kecerbohan saat
menggendong, sehingga anak terjatuh, dapat juga terjadi pada kekerasan
terhadap bayi atau anak kecil. Biasa trauma yang terjadi karena terjatuh, atau
karena aksi kekerasan yang mencederai bagian oksiput dan temporal akan
dapat meyebabkan fraktur basis kranii. (Qureshi, 2012).
PATOFISIOLOGI
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada
daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita);
transmisi energi yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau
efek “remote‟ dari benturan pada kepala (gelombang tekanan yang
dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak) (Listiono,
2000)
Pada dasar dari kranium, banyak terdapat rongga-rongga yang
terbentuk dan dilewati oleh nervus kranialis. Tidak hanya satu nervus
kranialis yang dapat terganggu, tetapi seluruh nervus kranialis dapat
terganggu sesuai dengan titik tempat terjadinya fraktur. Pada gambar di
bawah, dapat terlihat jalur fraktur yang dapat terjadi sesuai dengan titik
dimana terjadinya trauma terhadap kranium. Apabila terjadi fraktur pada
fossa anterior terutama pada lempeng kribiformis, maka dapat terjadi
gangguan penghidu (anosmia ataupun hiposmia). Apabila fraktur melewati
sela tursika, maka dapat terjadi gangguan anti-diuretic hormone, dan dapat
timbul gejala dari diabetes insipidus. (Ropper AH, 2009)
Selain kerusakan nervus kranialis yang dapat timbul sesuai dengan letak
fraktur yang terjadi pada dasar kranium. Pada fraktur basis kranii, terutama
pada fraktur yang terjadi pada bagian petrosa dari tulang temporal dapat
menyebabkan terjadinya akumulasi darah pada prosesus mastoideus dikenal
dengan sebutan Bettle Sign, sedangkan apabila fraktur terjadi pada fossa
anterior maka darah akan terakumulasi pada jaringan preorbital dan
menimbulkan gambaran raccoon eyes (Ropper AH, 2009).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah fraktur basis kranii dapat
merobek dura dan merusak struktur dari kanalis auditorius eksternal sehingga
cairan serebrospinal dapat keluar dan menimbulkan otorhea. Hal ini tidak
hanya dapat terjadi pada telinga, tetapi juga dapat terjadi pada fossa anterior
sehingga dapat menimbulkan rhinorrhea. (Wahjoepramono, 2005)
TANDA DAN GEJALA KLINIS
Tanda dan gejala klinis yang dapat timbul pada fraktur basis kranii sangat
bervariasi karena bergantung pada letak fraktur yang terjadi pada dasar
kranium. Gejala klinis berupa otorhea, rhinorea, ekimosis periorbital,
ekimosis retroaurikular, atau gangguan pada nervus kranialis terutama N. VII
dan N. VIII merupakan tanda dari fraktur basis kranii, tetapi tidak seluruh
gejala klinis tersebut dapat muncul, karena itu tanda dan gejala klinis dapat
dibagi berdasarkan letak fraktur-nya (Wahjoepramono, 2005) :
1. Fraktur Basis Kranii Fossa Anterior
Tanda penting yang harus dilihat pada fraktur basis kranii fossa
anterior adalah rhinorea cairan serebrospinal, hematoma / ekimosis
periorbital dan hematoma subkonjungtiva.
Gejala rhinorea yang dijumpai perlu diperhatikan apakah cairan
yang keluar adalah cairan serebrospinal atau mucin. Bila didapatkan
glukosa dalam cairan tersebut, maka merupakan petunjuk bahwa cairan
tersebut adalah cairan serebrospinal, untuk dapat mengidentifikasi
glukosa, maka dapat dilakukan tes benedict pada cairan tersebut.
Selain dengan menggunakan tes benedict, untuk
membuktikan bahwa cairan tersebut adalah cairan serebrospinal,
maka dapat dilakukan tes halo; yaitu meneteskan cairan tersebut di
atas kertas tissue atau Koran. Pada tes yang positif maka darah
akan tetap berkumpul di bagian tengah, dan terjadi rembesan cairan
serebrospinalis yang akan membentuk cincin yang mengelilingi
darah di bagian tengah tersebut. Tanda ini disebut halo-sign atau
double-ring sign.
Hematoma periorbital adalah tanda berupa hematoma yang
umumnya terjadi 12-24 jam pasca trauma dan terbatas pada daerah orbital
kedua mata saja. Tanda ini bersifat bilateral karena itu disebut juga sebagai
raccoon eyes atau dapat disebut sebagai brill hematoma. Untuk
memastikan bahwa perdarahan terjadi tepat dibelakang jaringan
periorbital, dapat diperhatikan bahwa pada tanda ini batasnya tegas, selalu
terletak di bawah tepi orbita dan tidak didapatkan cedera lokal pada
lapisan kulit.
Gejala lainnya adalah hematoma subkonjungtiva yang tidak
memiliki tepi yang jelas ke arah posterior. Adakalanya pula cedera
menyebabkan anosmia, jika nervs olfaktorius yang menembus lempeng
kribiformis terlibat. Sedangkan bila nervus optikus yang ikut terkena
cedera, pasien dapat mengalami gangguan visus.
Pada fraktur basis kranii fossa anterior, pemasangan naso gastric tube
tidak boleh dilakukan, karena apabila terdapat fraktur pada lempeng
kribiformis, NGT yang dapat tembus masuk ke dalam daerah intrakranial
dan mencederai jaringan otak di dalamnya.
2. Fraktur Basis Kranii Fossa Media
Bagian anterior dari fossa media berbatasan langsung dengan fossa
anterior, sedangakan bagian posteriornya dibatasi oleh pyramida petrosus
os temporalis, procesus clinoidalis posterior dan dorsum sella. Pada fraktur
basis kranii yang mengenai fossa media akan timbul gejala otorhea, yaitu
keluarnya darah atau cairan serebrospinal karena pecahnya membrane
timpani. Darah pada telinga ini harus dibedakan dengan hemotympanum
dan perdarahan akibat laserasi pada saluran telinga luar yang juga kerap
terjadi.
Ekimosis retroaurikeluar atau disebut juga sebagai Battle’s sign adalah
tanda berupa adanya hematoma / ekimosis pada tulang mastoid yang
muncul 24 jam setelah cedera kepala terjadi.
Kelumpuhan nervus kranialis juga dapat terjadi pada fraktur basis kranii
pada bagian fossa media. Kelumpuhan yang paling sering terjadi adalah
parese N VII dan N VIII, sehingga akan timbul facial paralysis dan
gangguan pendengaran dan keseimbangan.
3. Fraktur Basus Kranii Fossa Posterior
Fossa posterior merupakan dasar dari kompartemen infratentorial.
Kadangkalah fraktur basis kranii fossa posterior dapat memberikan tanda
battle’s signm namun tidak jarang pula tidak ditemukan tanda dan gejala
yang jelas. Fraktur ini dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat,
karena terjadinya penekanan pada batang otak. Pada beberapa pasien dapat
ditemukan paresis nervus IX, X, XI, dan XII atau disebut dengan Collet
syndrome dan paresis nervus IX, X, dan XI atau disebut dengan Vernet
Syndrome.
DIAGNOSA DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosa fraktur basis kranii dapat ditegakkan lewat anamnesa,
riwayat trauma pada kepala dan disertai dengan munculnya gejala klinis
dalam jangka waktu 12-24 jam. Gejala klinis yang dapat mendukung
dalam penegakkan diagnosa dari fraktur basis kranii adalah dijumpainya
gejala klinis berupa otorhea, rhinorrhea, ekimosis periorbital, ekimosis
retroaurikular atau gangguan pada nervus kranialis, terutama N. VII dan
N. VIII. Perlu dilihat pula kondisi kesadaran pasien, serta tanda-tanda
shock ataupun tanda-tanda peningkatan intrakranial (Wahjoepramono,
2005).
Pada pemeriksaan penunjang, pemeriksaan radiologi ataupun CT-
Scan tidak dapat memberikan gambaran fraktur yang jelas pada hasil
pemeriksaan. Tetapi ada beberapa tanda penting yang dapat dilihat dan
merupakan tanda terdapatnya fraktur basis kranii pada pasien.
Pemeriksaan foto polos kranium dapat memberikan gambaran udara
intrakranial (pneumocephalus) atau gambaran sinus sfenoid yang opaque
dan memiliki gambaran air fluid level (Qureshi, 2012)..
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat membantu adalah dengan
menggunakan CT-Scan. CT-Scan merupakan modalitas kriteria standar
untuk membantu dalam diagnosis fraktur basis kranii. Slice tipis bone
window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan potongan sagital, bermanfaat
dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat membantu dalam
menvisualisasikan fraktur. Sedangkan pemeriksaan MRI hanya dapat
membantu melihat keadaan ligament dan jaringan lunak disekitarnya,
sehingga pemeriksaan ini tidak disarankan (Qureshi, 2012).
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada fraktur basis kranii adalah mencegah
terjadinya infeksi sekunder dikarenakan robek-nya duramater karena
proses trauma. Pencegahan terjadinya infeksi sekunder dilakukan dengan
pemberian antibiotik profilaksis terutama pada pasien dengan gejala
kebocoran cairan serebrospinalis. Pemberian antibiotika diharapkan dapat
mencegah komplikasi infeksi terutama meningitis dan encephalitis.
Antibiotik pilihan, tentu saja antibiotik yang mampu menembus sawar
darah otak dan meninges seperti sefalosporin golongan III seperti
cefixime, ceftriaxone dengan dosis 1-2 gram per hari. Obat-obatan
golongan chloramphenicol dan penicillin juga dapat diberikan sebagai
antibiotik pilihan (Wahjoepramono, 2005).
Setelah pencegahan terhadap infeksi sekunder, hal lain yang perlu
diperhatikan adalah penatalaksanaan fraktur basis kranii itu sendiri. Pada
fraktur basis kranii fossa anterior, NGT tidak boleh dipasang dikarenakan
dapat merusak jaringan otak karena dapat menembus lempeng kribiformis.
Begitu pula pada fraktur basis kranii fossa media, irigasi pada otorhea
tidak boleh dilakukan, karena justru dapat mempermudah infeksi masuk ke
dalam otak (Wahjoepramono, 2005).
Normalnya cairan serebrospinal yang bocor melalui hidung
ataupun telinga akan berhenti secara spontan setelah satu-dua minggu,
sehingga pada pasien tanpa infeksi sekunder dengan fraktur basis kranii
cukup dirawat dengan perawatan konservatif dengan memperhatikan
tanda-tanda vital dan perkembangan status neurologis dan gejala yang
timbul. Intervensi bedah syaraf baru dilakukan pada kebocoran cairan
serebrospinal yang tidak berhenti secara spontan setelah lebih dari 2
minggu. Pada kebocoran cairan serebrospinal lewat hidung dikarenakan
fraktur basis kranii pada fossa anterior, maka dapat dilakukan craniotomy
dengan anterior subcranial approach untuk memperbaiki kebocoran
cairan serebrospinal (Kellman, 2012).
Kebocoran pada telinga akan berhenti secara spontan, dan tidak
diperlukan tindakan pembedahan. Pada fraktur basis kranii fossa posterior,
hingga saat ini penatalaksanaan yang dapat dilakukan hanyalah
penatalaksanaan secara konservatif walaupun telah terjadi penekanan pada
batang otak. Beberapa Rumah sakit melakukan stabilisasi dengan cara
mengfiksasi bagian leher dan oksiput menggunakan cervical collar, halo
traction vest atau dengan langkah pembedahan atlanto-axial arthrodesis.
Pada pasien dengan kondisi stabil, dapat dilakukan tindakan pembedahan
bedah syaraf pada daerah batang otak untuk mereduksi penekanan pada
batang otak dengan mengangkat fragmen tulang yang menekan batang
otak ataupun arteri vertebralis (Antonio Leone, 2000)
PROGNOSIS
Fraktur basis kranii merupakan salah satu jenis cedera kepala berat
yang membutuhkan perhatian khusus. Gejala yang timbul bervariasi dan
baru dapat muncul 12-24 jam pasca trauma. Pada fraktur basis kranii fossa
anterior dan media, prognosis pasien baik selama tanda-tanda vital dan
status neurologis di evaluasi secara teratur dan dilakukan tindakan sedini
mungkin apabila ditemukkan defisit neurologis serta diberikan pengobatan
profilaksis antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
Sedangkan pada fraktur basis kranii fossa posterior, prognosis buruk
dikarenakan fraktur pada fossa posterior dapat mengkompresi batang otak
dan tindakan pembedahan sulit dilakukan mengingat batang otak
merupakan struktur yang penting dan dibutuhkan keahlian tinggi serta
kondisi yang stabil dari pasien.
PERDARAHAN INTRAPARENKIM
Perdarahan intraparenkim atau perdarahan intraserebral merupakan
perdarahan yang terjadi di dalam jaringan parenkim otak. Perdarahan
terjadi karena laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan
pecahnya pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut.
Beberapa sumber menyatakan bahwa definisi hematoma serebri adalah
perdarahan lebih dari 5 cc, sedangkan bila kurang maka disebut petechial
intraserebri (kontusio serebri). Eka. Perdarahan dapat disebabkan oleh
trauma penetrasi maupun non penetrasi di kepala.
Epidemiologi (medscape)
Di Amerika Serikat, perdarahan intraserebral mengenai 12-15 per
100.000 individu, termasuk 350 kasus perdarahan karena hipertensi per
100.000 lansia. Namun, insidensi perdarahan intraserebral telah menurun
sejak tahun 1950an. Negara di Asia memiliki angka insidensi perdarahan
intraserebral yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan lokasi lain di
dunia.
Setiap tahunnya, lebih dari 20.000 individu meninggal karena
perdarahan intraserebral. Perdarahan yang mengenai daerah pontin atau
batang otak memiliki angka mortalitas sebanyak 75% dalam waktu 24
jam.
Patofisiologi
Perdarahan intraparenkim termasuk ke dalam perdarahan intra
aksial. Lokasi predileksi untuk perdarahan intraserebral adalah ganglia
basalis (40-50%), regio lobaris (20-50%) paling sering di frontalis atau
temporalis, thalamus (10-15%), pons (5-12%), cerebellum (5-10%), dan
lokasi batang otak lainnya (1-5%). Medscape
Lesi perdarahan dapat terjadi di sisi yang sama atau pada sisi
lainnya (countre-coup). Bentuk lesi dapat berupa fokus perdarahan kecil-
kecil ataupun luas. Perdarahan kecil umumnya terjadi karena lesi
akselerasi-deselerasi, sedangkan yang besar umumnya disebabkan oleh
laserasi atau kontusio serebri berat. (eka)
Tanda Klinis
Gambaran klinis pada perdarahan intraserebral dapat muncul
segera setelah terjadi cedera kepala, atau perdarahan baru muncul
beberapa minggu (atau bulan), yang disebut juga dengan spät apoplexie
atau Bollinger's apoplexy. Selama waktu tersebut, pasien dalam keadaan
neurologis yang normal. (adam victor, eka)
Kebanyakan perdarahan terjadi di substansia alba subkortikal pada
satu lobus atau di struktur yang lebih dalam seperti ganglia basalis atau
thalamus, jika dibandingkan dengan kontusio yang cenderung terjadi lebih
sering di daerah kortikal.(merrits) Cedera parenkim yang terjadi hampir
selalu parah; pembuluh darah dan jaringan korteks juga terluka.
Gejala yang muncul biasanya seperti yang terjadi pada perdarahan
otak karena hipertensi, yaitu terjadi koma, hemiplegia, dilatasi pupil, tanda
Babinski positif bilateral, dan pernapasan yang ngorok dan iregular.
Adanya massa tambahan dimanifestasikan sebagai peningkatan tekanan
darah dan tekanan intrakranial secara tiba-tiba.
Perdarahan pada lobus temporal memberikan risiko besar
terjadinya herniasi uncal yang dapat berakibat fatal. Hematoma
intraserebral yang disertai dengan hematoma subdural, kontusio atau
laserasi pada daerah yang sama juga memiliki efek yang fatal, dan disebut
sebagai 'burst lobe'. (eka)
Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Untuk menentukan diagnosa, pemeriksaan dengan menggunakan
CT scan merupakan modalitas yang paling bermanfaat. Pada CT scan,
hematoma akan tampak sebagai bayangan hiperdens yang homogen
dengan batas tegas, dan terdapat edema perifokal di sekitarnya. Namun,
terkadang CT scan yang dilakukan segera setelah cedera terjadi, justru
memberikan hasil yang kesannya normal.
Gambar. CT scan menunjukkan adanya hematoma intraserebral pada lobus frontalis kiri.
Terdapat bengkak pada kulit kepala dan kontusio pada daerah yang terkena cedera. (Principles of
critical care)
Oleh karena itu, berdasarkan gambaran yang diperoleh pada
pemeriksaan CT scan, hematoma inteaserebral dibagi menjadi (eka):
a. Tipe 1, hematoma telah tampak sejak CT scan awal.
b. Tipe 2, hematoma hanya tampak kecil pada pemeriksaan awal,
kemudian tampak membesar pada pemeriksaan CT scan selanjutnya.
c. Tipe 3, hematoma terbentuk pada daerah yang sebelumnya tampak
normal pda CT scan awal.
d. Tipe 4, hematoma berkembang pada daerah yang sejak awal memang
telah tampak tidak normal (salt and pepper appearance).
Jumlah darah yang banyak akan memberikan gambaran radiologi
peningkatan tekanan intrakranial, yaitu (cdemcurriculum):
Pergeseran garis tengah (midline shift)
Kompresi ventrikel ipsilateral dengan atau tanpa perbesaran ventrikel
kontralateral
Hilangnya sulkus
Kaburnya grey-white junction
Penanganan
Pasien dengan perdarahan intraserebri termasuk ke dalam
kegawatdaruratan saraf. Hampir 30 persen pasien dengan perdarahan
supratentorial dan hampir seluruh pasien dengan perdarahan batang otak
atau serebelum memiliki penurunan kesadaran dan membutuhkan intubasi.
Pasien yang tidak memiliki reflex untuk proteksi jalan udara juga perlu
diintubasi dengan menggunakan anestesi jangka pendek. Keterlambatan
melindungi jalan napas dapat berakibat pada cedera sekunder berupa
aspirasi, hipoksemua, dan hiperkapnia. Adanya perburukan kondisi yang
cepat, tanda klinis herniasi transtentorial atau hidrosefalus harus
dikonsultasikan ke bedah saraf secepatnya.
Efek massa yang disebabkan oleh volum hematoma, jaringan
bengkak sekitarnya, dan obstruktif hidrosefalus dengan herniasi menjadi
penyebab sekunder kematian pada beberapa hari pertama setelah
terjadinya perdarahan intraserebral. Penggunaan manitol intravena dan
hiperventilasi dan kateter intraventrikular untuk drainase cairan
serebrospinal dapat meningkatkan aliran darah otak dan memperbaiki
metabolisme yang terganggu karena herniasi transtentorial. Akan tetapi
kedua hal tersebut tidak berpengaruh jika digunakan pada hipertensi
intrakranial sedang saja. Penggunaan kortikosteroid sebaiknya dihindari
oleh karena gagalnya percobaan yang dilakukan secara acak pada pasien
dengan perdarahan intraserebral. Status neurologis pasien juga dipantau
per jam dengan evaluasi standar dan Glasgow Coma Scale.
Indikasi operasi perdarahan intraserebral pasca trauma yaitu (Eka):
a. Penurunan kesadaran progresif
b. Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan nafas (Cushing
Reflex)
c. Perburukan defisit neurologi fokal
Peningkatan tekanan darah pada umumnya terjadi setelah
perdarahan intraserebri dan biasanya berhubungan dengan perluasan
hematoma dan hasil akhir yang tidak bagus. Belum jelas apakah tekanan
darah tinggi menyebabkan perluasan hematoma, atau sebaliknya.
Umumnya, peningkatan tekanan darah disebabkan karena hipertensi
kronik tidak terkontrol dan respons non spesifik terhadap stress.
Peningkatan tekanan darah juga merupakan respons protektif yang
bertujuan untuk menjaga perfusi otak, terutama pada pasien dengan
kompresi batang otak. (NEJM, spontaneous)
Adanya darah di ventrikel diasosiasikan dengan angka kematian
tinggi. Hal ini dihubungkan dengan berkembangnya hidrosefalus
obstruktif, atau efek massa langsung pada darah ventrikel di daerah
periventrikular, yang dihubungkan dengan hipoperfusi global di korteks
yang terlibat. Darah di ventrikel juga mengganggu fungsi normal cairan
serebrospinal dengan membuar laktik asidosis. Drainase cairan
serebrospinal dari luar lewat kateter ventrikuler menurunkan tekanan
intrakranial. Namun, hal tersebut dapat terhalang dengan terjadinya
gumpalan di kateter dan infeksi. Oleh karena itu, diberikan agen
trombolitik secara intraventrikuler. Studi menunjukkan bahwa pemberian
Urokinase setiap 12 jam sampai drainase eksternal tidak dibutuhkan lagi
menurunkan angka kematian dalam sebulan.
Pada umumnya, pasien dengan cedera kepala traumatik yang parah
tanpa massa atau space occupying lesion yang signifikan seharusnya
mendapat konsultasi neurologi sesegera mungkin, dan dibawa ke ICU
(termasuk monitoring tekanan intrakranial untuk GCS <9) atau dibawa ke
ruang operasi dalam keadaan darurat untuk dekompresi space occupying
lesion. (CURRENT)
Pada hematoma intraserebri yang kecil, terapi observatif dan
suportif saja masih memungkinkan. Dalam hal ini, tekanan darah juga
perlu dijaga untuk mencegah terjadinya perdarahan ulang. Perdarahan
yang besar, namun tidak dapat dilakukan tindakan operatif ditangani
dengan cara hiperventilasi, manitol, dan steroid, serta dilakukan
pemantauan tekanan intracranial dengan ketat. Jika pasien berhasil
melewati masa kritis dan selamat, perdarahan akan direorganisasi dengan
pembentukan gliosis dan kavitasi sehingga dapat menimbulkan manifestasi
neurologis sisa sesuai dengan bagian otak yang terkena.
Dua puluh lima sampai lima puluh persen pasien dengan koma
akibat cedera kepala memiliki hematoma intrakranial yang dapat dioperasi.
(principles of critical care) Pasien dengan hematoma yang besar, yang
memberikan efek massa yang besar dan gangguan neurologis,
diindikasikan untuk dilakukan tindakan operatif. Demikian pula pada
perdarahan yang menyebabkan peningkatan tekanan intracranial. Operasi
dilakukan dengan kraniotomi dan hematoma diaspirasi. (eka)
Pada perspektif bedah, hematoma serebelar memiliki aspek unik
karena dapat dicapai tanpa menyebabkan kerusakan substansial terhadap
korteks atau jaras motorik primer. Angka morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan kompresi batang otak telah menurun dengan
kompresi berkala. Hasil bedah paling bagus dapat dilihat pada pasien
dengan perdarahan intraserebral yang terjadi di serebelum yang memiliki
skor awal GCS kurang dari 14 atau perdarahan besar (volum 40mL atau
lebih). Pasien dengan status neurologis baik (GCS 14 atau lebih) dengan
perdarahan kecil (volum kurang dari 40mL) memiliki hasil akhir yang
bagus dengan kepulihan penuh atau dengan sedikit kecacatan dengan
penanganan konservatif. Kecenderungan untuk hasil yang baik lebih tinggi
pada pasien yang menjalani tindakan operatif (56 persen), jika
dibandingkan dengan pasien yang hanya menerima pengobatan konservatif
saja (36 persen). (NEJM, spont)
Kraniotomi dengan evakuasi gumpalan akut maupun tertunda telah
memberikan hasil yang sukses pada beberapa kasus, akan tetapi hal itu
juga tergantung pada faktor-faktor lain seperti level kesadaran, onset
terjadinya cedera, kerusakan lain yang berhubungan (kontusio, perdarahan
subdural dan epidural) yang ditunjukkan dari gambaran radiologis.
Perdarahan ganglia basalis dapat membesar pada hari yang sama atau hari
kedua setelah terjadi cedera kepala tertutup dan perdarahan dengan volum
lebih dari 25 mL berakibat fatal pada 9 dari 10 kasus. (adam victor)
Prognosis
Prognosis perdarahan intraserebral tergantung ukuran hematoma,
besarnya pembengkakan yang terjadi, dan area terjadinya perdarahan.
Pasien dapat pulih sempurna, atau dengan hilangnya fungsi otak secara
permanen. Terdapat kemungkinan terjadinya kematian walaupun telah
dilakukan pengobatan medis yang cepat dan tepat.
PERDARAHAN SUB ARAKNOID
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan yang terletak antara
araknoid dan piamater dan masuk ke dalam cairan serebrospinalis. (eka)
Epidemiologi
kejadian perdarahan subaraknoid bervariasi. Terdapat 14,3% kasus
perdarahan subaraknoid akibat cedera kepala di sebuah rumah sakit di
Nepal pada tahun 2005. Angka mortalitas pada pasien dengan gumpalan di
cisterna sebesar >1mm lebih tinggi. American Traumatic Coma Data Bank
menyatakan bahwa terdapat sekitar 40% perdarahan subaraknoid dari
seluruh kejadian cedera kepala. (perdarahan)
Patofisiologi (eka)
Hematoma subaraknoid terjadi akibat rupturnya bridging vein pada
ruang subaraknoid atau pembuluh darah yang ada pada permukaan
jaringan otak. Robekan pembuluh darah terjadi akibat gerakan dinding
yang timbul kala otak bergerak atau bergeser. Umumnya lesi disertai
dengan kontusio atau laserasi serebri. Perdarah sekitar 10% kasus. Studi di
Eropa menunjukkan sepertiga dari semua pasien cedera kepala sedang
hingga berat mengalami hematoma subaraknoid pada pemeriksaan dini
dengan CT scan.
Robekan pembuluh darah dapat disebabkan oleh akselerasi angular
(kombinasi akselerasi translasional dan rotasional) yang merupakan bentuk
proses cedera akibat gaya kelebaman (inertial forces) yang paling sering.
Pada akselerasi angular, pusat gravitasi kepala bergerak pada poros di
pusat angulasi, yaitu vertebra servikal bawah atau tengah. Kekuatan dan
lamanya akselerasi akan menentukan parahnya kerusakan otak yang
disebabkannya. Akselerasi berkecepatan tinggi dalam durasi singkat
menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Sedangkan akselerasi
berkecepatan tinggi dengan durasi yang lebih lama dapat menyebabkan
kerusakan aksonal.
Darah yang masuk ke dalam ruang subaraknoid dan sistem cairan
serebrospinalis tersebut akan menyebabkan terjadinya iritasi meningeal.
Sebagai dampak dari adanya perdarahan ini, pasien akan mengeluhkan
gejala meningeal, baik yang ringan maupun berat. Gejala dapat berupa
nyeri kepala, demam, kaku tengkuk, iritabilitas, fotofobia, dan sebagainya.
Bila cedera yang terjadi berat, akan terjadi penurunan kesadaran dan
gangguan pernapasan menjadi pernapasan Cheyne Stokes.
Adanya darah di dalam ruang subaraknoid ini akan berakibat arteri
mengalami spasme. Sebagai akibatnya aliran darah ke otak akan sangat
berkurang, bahkan diduga dapat turun hingga tinggal 40%. Vasospasmus
biasanya akan mulai terjadi pada hari ketiga dan mencapai puncaknya pada
hari ke-6 sampai ke-8, dan akhirnya menghilang pada hari ke-12. Adanya
spasme akan mudah diketahui dengan pemeriksaan Doppler scanning.
Terjadinya spasme diketahui memiliki nilai penting, akan menyebabkan
terganggunya mikrosirkulasi dalam otak dan sebagai dampaknya akan
terjadi edema otak.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi pada cedera kepala dapat juga
mengakibatkan terjadinya hidrosefalus, baik tipe komunikans maupun non
komunikans. Tipe komunikans terjadi bila produk darah mengobstruksi
villi araknoid, sedangkan tipe non komunikans dapat terjadi bila bekuan
darah mengobstruksi ventrikel keempat atau ketiga.
Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus cedera kepala, pasien biasanya datang dengan keluhan
sakit kepala dan riwayat penurunan kesadaran. Hal tersebut terjadi akibat
cedera kepala yang dialaminya. Pada pemeriksaan neurologis tidak
ditemukan tanda iritasi meningeal (kaku kuduk) yang tentunya dilakukan
setelah terbukti tidak ada cedera pada leher atau fraktur servikal. Tahanan
yang disertai nyeri terhadap fleksi leher pasif maupun aktif pada kaku
kuduk disebabkan iritasi meningen servikal oleh darah dalam ruang
subaraknoid atau inflamasi. Pergerakan fleksi kepala akan menjadi tegang
dan kaku pada struktur lokasi dari meningen, serabut saraf, atau medulla
spinalis yang mengalami inflamasi ataupun edema. Iritasi pada meningen
yang menimbulkan tanda klinis berupa kaku kuduk ini biasanya timbul
dalam 3 hingga 12 jam. (perdarahan)
Kepastian diagnosa akan diperoleh dengan didapatkannya cairan
serebrospinal bercampur dengan darah pada pungsi lumbal. Seandainya
darah hanya sedikit, maka cairan serebrospinal akan menjadi warna
xantokrom. Pemeriksaan dengan CT scan juga memiliki nilai diagnostik.
Gambaran yang tampak adalah lesi hiperdens yang mengikuti pola sulkus
pada permukaan otak. Namun demikian, ada kalanya terjadi penundaan
sehingga tidak segera tampak pada pemeriksaan tersebut. (eka)
Gambar. Pola perdarahan yang mengisi ruang cairan serebrospinal pada
dasar otak dan di sekitar batang otak
Terdapat 2 pola penyebab terjadinya perdarahan subaraknoid pasca
cedera kepala. Yang pertama diakibatkan oleh trauma atau SAHt
(diakibatkan ruptur pembuluh darah kecil di ruang subaraknoid) dan yang
kedua SAH aneurismal (aneurisma yang sebelumnya telah ada dan
mengalami ruptur setelah trauma kepala). Oleh karena itu, harus dibedakan
apakah hal ini akibat aneurisma yang telah ada sebelumnya atau bukan.
Selain anamnesis, keadaan tersebut dapat dibedakan berdasarkan hasil
pencitraan, pada SAH aneurismal, darah akan lebih banyak terdapat pada
sisterna basal, sedangkan pada SAHt lebih sering terdapat pada sulkus
perifer dan fisura interhemisfer. (perdarahan)
Penanganan
Perdarahan subaraknoid akibat cedera kepala umumnya
memerlukan perawatan intensif dan konsultasi dokter bedah saraf. Walau
demikian, pengobatan pada dasarnya bersifat simtomatis. Pasien yang
gelisah kadang perlu diberikan obat penenang.
Penanganan tekanan darah tinggi juga merupakan hal yang penting
dalam menangani SAH, terutama jika tekanan darah naik hingga
200/110mmHg. Adanya perdarahan intrakranial membuat jarak antara
batas atas dan batas bawah dari autoregulasi pembuluh darah otak menjadi
lebih sempit, yang membuat perfusi otak menjadi lebih tergantung kepada
tekanan darah arteri. Pengobatan secara agresif terhadap peningkatan
tekanan darah juga berisiko terjadinya iskemia pada daerah yang
kehilangan fungsi autoregulasinya. (brainoxfordjuournal)
Keseimbangan cairan dan elektrolit juga harus diperhatikan untuk
mencegah berkurangnya volum plasma yang dapat menyebabkan iskemik
serebral. Pada kira-kira sepertiga pasien, volum plasma turun >10%
diantara periode preoperative, yang berhubungan secara signifikan dengan
keseimbangan negative natrium. Untuk mencegah hipovolemia, maka
pasien diberikan normal saline sebanyak 2.5-3.5 L/hari kecuali
dikontraindikasikan karena adanya tanda gagal jantung.
Kalsium antagonis juga diberikan untuk mencegah iskemik
sekunder yang disebabkan oleh vasospasme, obat ini mengurangi
vasospasme dengan melawan influks ion kalsium di otot polos pembuluh
darah. (brainoxford) Terapi penghambat kalsium diberikan selama
minimal 2 minggu, misalnya dengan menggunakan diltiazem 100mg
secara infus selama 6 jam setiap hari. (eka)
Prognosis
Prognosis pada perdarahan subaraknoid tergantung pada klasifikasi
keparahan cedera kepalanya, banyaknya volum perdarahan dan distribusi
SAH. Adanya perdarahan subaraknoid pada sisterna basal dan konveksitas
serebri mengindikasikan keluaran yang buruk. Pasien dengan cedera
kepala berat dengan SAH secara bermakna lebih buruk daripada pada
pasien cedera kepala berat tanpa SAH. Penelitian di Jepang menunjukkan
pada 9 pasien cedera kepala ringan dengan SAH, hanya satu yang
menunjukkan keluaran yang buruk (vasospasme dan hidrosefalus
komunikans), sedangkan dari 10 pasien cedera kepala berat dengan SAH
hanya satu yang menunjukkan keluaran yang baik. Untuk perdarahan
subaraknoid ini dipakai sistem scoring untuk menentukan berat tidaknya
keadaan SAH dan dihubungkan dengan keluaran pasien.
Beberapa sistem penilaian yang dipakai adalah:
1. Hunt & Hess Grading of SAH
2. WFNS (World Federation Neuro Surgeon) SAH Grade
3. Modified Hijdra Score
4. Fisher Grade
Dari keempat sistem penilaian tersebut, yang digunakan dalam
studi cedera kepala adalah modified Hijdra score dan Fisher grade. Sistem
penilaian nomor 1 dan 2 dipakai pada kasus SAH aneurismal.
Komplikasia. Cedera otak sekunder akibat hipoksia dan hipotensi
Hipoksia (oksigen arteri <60mmHg) dan hipotensi (tekanan sistolik
<90mmHg) merupakan kondisi yang perlu dicegah, karena akan
mengakibatkan keruakan lebih lanjut pada jaringan otak yang mengalami
iskemia dan edema serebral yang dapat mengakibatkan penigkatan angka
morbiditas dan mortalitas, serta dapat menyebabkan gangguan metabolisme
serebral.
Hipoksia dapat disebabkan oleh adanya cedera di dada atau bahkan
tanpa adanya cedera. Adanya obstruksi saluran napas, atelectasis, aspirasi ,
pneumothoraks atau gangguan gerakan pernapasan dapat berdampak pasien
mengalami kesulitan bernapasan dan mengakibatkan hipoksia. Sedangkan
hipoksia yang berasal dari tanpa adanya cedera di dada biasanya terjadi karena
adalanya pulmonary shunting yang penyebabnya hingga kini masih belum
diketahui.
Hipotensi biasanya dapat berasal dari intrakranial maupun secara
sistemik. Dari intrakranial biasanya terjadi sesaat setelah konkusi atau
merupakan tahap akhir kegagalan meduler akibat telah terjadinya herniasi
serebral dan kejadian ini sangat jarang terjadi. Sedangkan secara sistemik,
hipotensi biasanya terjadi karena adanya gangguan sirkulasi darah, misalnya
karena terjadinya hipovolemia karena perdarahan berat di bagian tubuh
lainnya.
b. Edema serebral
Edema serebral adalah tertimbunnya cairan yang berlebihan di dalam
jaringan otak. Hal ini merupakan kasus yang paling serius dan berbahaya.
Edema ini dapar terlokalisir maupun bersifat menyeluruh (difus). Edema
serebral ini dapat mengakibatkan bertambah besarnya jaringan otak didalam
rongga tulang tengkorak yang merupakan ruang tertutup. Kondisi ini akan
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang selanjutnya
berakibat penurunan perfusi jaringan otak dan herniasi jaringan otak.
Berdasarkan proses terjadinya edema serebral ada beberapa macam,
yaitu tipe edema vasogenik, iskemik, hidrostatik, osmotik dan edema
interstitial.
Edema vasogenik adalah edema yang terjadi karena adanya
peningkatan permeabilitas kapiler karena terjadi perubahan atau kerusakan
sawar darah otak, yang menyebabkan terjadinya penimbunan cairan plasma
tinggi protein pada ruang ekstraseluler.
Edema iskemik/ edema sitotoksik merupakan edema yang dapat terjadi
pada cedera kepala dan berkaitan dengan adanya kondisi hipoksia dan iskemia
jaringan otak dan penimbunan cairan terjadi di dalam sel, karena adanya
gangguan gradien ion yang terjadi karena adanya pelepasan neutransmiter
excitotoxic yang akan menyebabkan peningkatan influx neuronal dari natrium
dan kalsium sehingga cadangan neuronal dapat habis dan terjadi kerusakan sel
terus menerus yang juga di tingkatkan oleh pelepasan radikal bebas, sebagai
respon dari sel yang rusak.
Edema hidrostatik merupakan edema yang terjadi karena adanya
peningkatan mendadak tekanan drah pada vascular bed yang utuh, sehingga
terjadi penumpukan cairan yang rendah protein di ruang ekstraselular.
Selanjutnya, air akan masuk ke dalam prosesus astrosit dan menyebabkan
terjadinya edema intrasel.
Edema osmotik adalah dampak penurunan osmolaritas serum yng
menyebabkan peningkatan cairan intrasel. Edema osmotik terjadi pada
keadaan hiponatremia.
Edema interstitial merupakan ekstravasasi air pada periventrikel,
karena peningkatan tekanan pada keadaan hidrosefalus obstruktif
Edema serebral ini akan mencapai tingkat maksimalnya pada hari ke-3
pasca cedera. Selama ini dapat terjadi peningkatan massa yang bermakna dan
dapat berakibat fatal, yaitu salah satunya adalah peningkatan tekanan
intrakranial yang berakibat pada herniasi jaringan otak.
c. Peningkatan Tekanan Intra kranial
Rongga otak adalah ruang tertutup dengan sebuah lubang besar di
dasar, yaitu yang disebut foramen magnum. Otak sebagai jaringan lunak
berada dalam kantung araknoidea yang juga berisi cairan serebrospinalis yang
diproduksi terus menerus di dalam ventrikel otak dan diserap di dalam sinus
venosus dura mater melalui vili araknoidales. Jaringan otak, cairan
serebrospinalis, dan darah yang mengalir ke jaringan otak melalui arteri
karotis komunis dan arteri vertebralis, merupakan komponen pengisi rongga
tengkorak dan unsur dari tingginya tingkat tekanan intrakranial. Volume otal
dari sisterna duramatris, ventrikel, dan subaraknoid adalah sekitar 250cc, jika
lebih dari 250cc, maka kompensasi sudah tidak dapat mengatasinya lagi, maka
terjadilah peningkatan tekanan intra kranial yang mengakibatkan herniasi
jaringan otak.
Tekanan intrakranial dapat meningkat karena beberapa sebab,
misalnya karena batuk dan bersin yang keras, mengejan dengan kuat ataupun
hal lainnya yang menyebabkan tekanan dalam sistem vena meningkat, selain
itu dapat pula disebabkan oleh adanya dlatasi arteriol yang menyebabkan
peningkatan volume darah otak, perdarahan selaput otak (misalnya hematoma
epidural dan subdural), perdarahan pada jaringan otak (misalnya laserasi dan
hematoma serebri), dan dapat pula akibat terjadinya kelainan parenkim otak,
yaitu edema serebri.
Untuk mengetahui adanya peningkatan tekanan intrakranial ada
beberapa cara pengukuran, yaitu pungsi lumbal, pungsi sub-oksipital, pungsi
ventrikel yang diukur dengan menggunakan manometer, pengukuran tekanan
ekstradural yang menggunakan tranduser melalui lubang trepanasi di tulang
tengkorak, yaitu antara tulang dan duramater, dan pengukuran tekanan
jaringan otak yang juga menggunakan transduser, tetapi hasilnya lebih akurat
daripada pengukuran pada ekstradural, karena ujung trepanasi diletakkan
dibawah dura mater, menekan pada arakhnoidea pada permukaan otak,
sehingga hasilnya lebih akurat.
d. Herniasi jaringan otak
Adanya penambahan volume dalam ruang tengkorak, misalnya karena
adanya hematoma akan menyebabkan semakin meningkatnya tekanan intra
kranial. Jika tekanan intra kranial ini mencapai batas yang sudah tidak dapat
ditoleransi, maka terjadilah komplikasi berupa pergeseran dari struktur otak
tertentu ke arah celah-celah yang ada yang biasa disebut sebagai herniasi
jaringan otak.
Herniasi jaringan otak paling sering terjadi karena adanya perdarahan
intrakranial, edema otak yang progresif, gangguan ekuilibrium cairan
serebrospinalis di saat tekanan intra kranial sedang meningkat.
Rongga intrakranial terbagi menjadi 3 kompartemen, sebagai akibat
adanya 2 struktur ,yaitu falx serebri, dan tentorium serebeli. Falx cerebri
membagi kompartemen supratentorial menjadi 2 bagian yang sama, sisi
hemisfer kanan dan sisi hemisfer kiri, sedangkan Tentorium serebeli membagi
rongga intrakraniakl menjadi kompartemen infratentorial, dan komponen
supratentorial, Pada bagian tengah dari falx serebri dan tentorium serebri,
terdapat lubang yang menjadi tempat penghubung dari jaringan otak.
Berdasarkan kompartemen yang ada tersebut, maka herniasi jaringan
otak dapat bersifat supratentorial, maupun infratentorial. Herniasi
supratentorial dapat berupa herniasi subfalksial, tentorial sentral dan tentorial
lateral, sedangkan herniasi infratentorial dapat berupa herniasi serebelar atau
herniasi tonsillar.
e. Infeksi
Cedera kepala yang disertai dengan robeknya lapisan kulit akan
memiliki resiko terjadinya infeksi. Infeksi yang terjadi ini dapat menyebabkan
terjadinya meningitis, ensefalitis, empiema subdural, osteomielitis,tulang
tengkorak, atau bahkan abses otak.
Bakteri yang umumnya menyebabkan infeksi pada orang dewasa
adalah Streptococcus, sedangkan pada anak adalah Haemophilus influenzae.
Selain itu, dapat pula disebabkan oleh Staphylococcus, dan bakteri gram
negatif, seperti E. coli, Klebsiella, atau proteus, yang memiliki angka kematian
yang tinggi.
f. Emboli Lemak
Pada pasien yang mengalami trauma atau kecelakaan berat, khususnya
bila sampai terjadi fraktur pada tulang panjang, dapat terjadi komplikasi
emboli lemak yang berasal dari sumsum tulang, yang memberikan efek cukup
fatal. Fraktur yang sering menimbulkan emboli lemak adlah fraktur pada
femur, namun demikian, emboli dapat saja terjadi juga pada fraktur tulang
yang lebih kecil.
Walaupun sangat jarang, emboli lemak dapat melewati paru-paru dan
akhirnya mencapai jaringan otak, sehingga terjadi emboli lemak serebral.
Manifestasi dari emboli lemak ini bervariasim yaitu berupa sakit kepala,
letargi, iritabilitas, delirium, stupor, kejang, atau bahkan koma.
Kecurigaan secara klinis akan adanya emboli lemak serebral adalah
dengan mengamati adanya gejala utama berupa gangguan pernapasan,
hipoksemia, petekie di kulit dan gangguan neurologis (misalnya gangguan
kesadaran). Munculnya gejala ini biasanya dalam waktu 48 jam pertama pasca
terjadinya fraktur tulang panjang.
g. Hidrosefalus
Hidrosefalus merupakan salah satu komplikasi cedera kepala yang
cukup sering terjadi, khususnya bila cedera kepala cukup berat.
Berdasarkan lokasi obstruksinya, hidrosefalus terbagi menjadi dua
jenis, yaitu tipe komunikans dan tipe non-komunikans. Sedangkan
berdasarkan keadaan tekanan intrakranial yang terjadi, terbagi menjadi
hidrosefalus dengan tekanan normal, dan hidrosefalus dengan peningkatan
tekanan intrakranial.
Hidrosefalus yang memiliki tekanan intra kranial akan memberikan
manifestasi gejala yang tipikalm yaitu antara lain berupa sakit kepala,
gangguan penglihatan, mual, muntah, dan penurunan kesadaran. Sedangkan
pada hidrosefalus yang memiliki tekanan intra kranial yang normal akan
memberikan manifestasi antara lain berupa gangguan memori, gait ataksia,
retardasi psikomotor, dan inkontinensia urin.
Hidrosefalus tipe non-komunikans terjadi ketika adanya obstruksi
cairan serebrospinalis pada sistem ventrikel yaitu pada foramen inter-
ventrikular, ventrikular ketiga, ventrikel keempat dan aqueduct cerebri. Dalam
kasus cedera kepala, obstruksi terjadi akibat penekanan efek masa perdarahan
yang biasanya berasal dari adanya perdarahan fossa posteriorm yang menekan
ventrikel keempat.
Hidrosefalus tipe komunikans adalah tipe yang paling sering terjadi
pada cedera kepala. Pada jenis ini, obstruksi terjadi pada ruang subaraknoid.
Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya inflamasi dan gangguan
absorbsi cairan serebrospinalis pada granulasi arakhnoid. Umumnya terjadi
dalam 2 bulan pertama setelah cedera kepala terjadi. Secara klinis, akan
didapatkan penderita mengalami perbaikan klinis awal yang cepat setelah
cedera kepala terjadi, namun kemudian kemajuan tidak ada lagi, atau bahkan
memburuk.
h. Fistula Cairan serebrospinalis
Cedera kepala yang berat, misalnya sampai menyebabkan fraktur basis
kranii, kerap disertai robeknya lapisan dura yang berakibat kebocoran cairan
serebrospinal. Kebocoran yang terjadi akan bermanifestasi sebagai rinorea
atau dapat juga otorea. Kebocoran cairan serebrospinal memberi resiko
terjadinya infeksi selaput otak maupun jaringan otak, sehingga penanganannya
perlu diperhatikan baik,
Rinorea adalah keluarnya cairan melalui lubang hidung. Bila yang
keluar adalah cairan serebrospinalis, maka umumnya disebut sebagai rinorea
likuor. Selain cairan serebrospinalis, keluarnya cairan dari lubang hidung
dapat berasal dari hipersekresi nasal, rinitis alergika, epistaksis dan
sebagainya, sehingga membedakannya tidaklah gampang.
Cara mengetahui jenis cairan yang keluar dari hidung adalah dengan
memeriksa ada tidaknya glukosa dalam cairan tersebut. Jika cairan tersebut
mengandung glukosa, maka kemungkinan besar, cairan tersebut merupakan
cairan serebrospinal. Selain itu dapat juga digunalan tes halo, yaitu
meneteskan cairan di kertas tisu. Hasilnya positif jika memberkan gambaran
darah yang terkumpul di tengah, dan cairan serebrospinalis merembes
membentuk cincin yang mengelilingi bagian tengah tersebut. Cara lain juga
bisa menggunakan pemeriksaan beta-2- transferin yang merupakan marker
spesifik untuk cairan serebrospinalis.
Otorea adalah keluarnya cairan dari lubang telinga. Cairan dapat
berupa darah, atau cairan serebrospinal, karena pecahnya membran timpani.
Bila yang keluar adalah cairan serebrospinal, maka disebut otorea likuor.
Untuk membuktikan adanya cairan serebrospinal adalah dengan
menggunakan tes halo, seperti pada rhinorea. Adanya darah pada telinga perlu
dibedakan dengan hemotimpaninum dan perdarahan akibat laserasi pada
saluran telinga luar yang juga kerap terjadi dengan pada kasus terjadinya
rhinorea.
BibliographyAntonio Leone, A. C. (2000). Occipital Condylar Fractures: A Review. Radiology
, 635-644.
Arlinghaus KA, S. A. (2005). Neuropsychiatric Assessment. In M. T. Silver JM,
Textbook of Traumatic Brain Injury (pp. 63-65). Washington DC: American
Psychiatric Association.
CDC. (2012, February 28). Traumatic Brain Injury. Retrieved August 3, 2012,
from http://www.cdc.gov/TraumaticBrainInjury/index.html
Department of Defense. (2009). CLINICAL PRACTICE GUIDELINE FOR
MANAGEMENT OF CONCUSSION/MILD TRAUMATIC BRAIN INJURY
(mTBI). United States: Department of Defense.
Fabbri A, S. F. (2005). Clinical performance of NICE recommendations versus
NCWFNS proposal in patients with mild head injury. Neurotrauma Journal ,
1419.
Haydel MJ, P. C. (2000). Indications for computed tomography in patients with
minor head injury. New England Journal Medicine , 100.
Kellman, R. (2012, June 21). Anterior Subcranial Approach. Retrieved August 7,
2012, from Emedicine Medscape: http://emedicine.medscape.com/article/844327-
overview#showall
Listiono, L. (2000). Ilmu Bedah Syaraf Satyanegara. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Maal, S. B. (2008). Moderate and severe traumatic brain injury in adults. Lancet
Neurol , 728.
National Institute of Neurological Disorders and Stroke. (2008, September 15).
NINDS Traumatic Brain Injury Information Page. Retrieved August 3, 2012,
from http://www.ninds.nih.gov/disorders/tbi/tbi.htm
Orlando Regional Healthcare. (2004, February 9). Overview of Adult Traumatic
Brain Injuries. Retrieved August 4, 2012, from Orlando Regional Healthcare:
http://www.orlandoregional.org/pdf%20folder/overview%20adult%20brain
%20injury.pdf
Parikh S, K. M. (2007). Traumatic Brain Injury. International Anesthesiology
Clinic , 119-35.
Qureshi, N. (2012, January 13). Skull Fracture. Retrieved August 5, 2012, from
Medscape Reference: http://emedicine.medscape.com/article/248108-
overview#showall
Ropper AH, S. M. (2009). Adams & Victor’s Principles of Neurology. United
States: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Stiell IG, L. A. (2000). Indications for computed tomography after minor head
injury. Canadian CT Head and Cervical-Spine Study Group. New England
Journal Medicine , 1570.
Stone CK, H. R. (2011). CURRENT Diagnosis and Treatment Emergency
Medicine (Vol. 7e). United States: The McGraw-Hill Companies.
Valadka, A. (2004). Injury to the Cranium. In F. D. Moore EJ, Trauma (pp. 385-
406). New York: McGraw-Hill, Medical Pub.
Wahjoepramono, E. (2005). Cedera Kepala. Lippo Karawaci: Fakultas
Kedokteran Universitas Pelita Harapan.
Zink, B. (2001, March). Traumatic Brain Injury Outcome: Concepts for
Emergency Care. Annals of Emergency Medicine , 318-32.
top related