bab ii dialog agama, diplomasi bilateral dan diplomasi
Post on 16-Oct-2021
15 Views
Preview:
TRANSCRIPT
17
BAB II
DIALOG AGAMA, DIPLOMASI BILATERAL DAN DIPLOMASI
KEBUDAYAAN
2.1 Pengantar
Pada bab sebelumnya, penulis telah menjelaskan permasalahan yang akan
diteliti, yakni global interreligious dialogue: diplomasi kultural dalam kebijakan
dialog agama bilateral Indonesia. Dialog agama bagian dari studi interdisipliner.
Studi interdisipliner adalah pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dari
pendekatan beragam disiplin. Hubungan dialog agama tidak hanya dilihat sebagai
persoalan teologi, tapi juga isu sosial, budaya, ekonomi, politik. Hubungan
bilateral merupakan hubungan antara dua negara atau lebih dalam forum diskusi
internasional untuk meningkatkan hubungan kerja sama dalam bidang ekonomi,
sosial, budaya, politik dan agama.
Diplomasi dilakukan untuk terciptanya kelangsungan hidup umat
beragama yang rukun dan damai termasuk untuk mengatasi isu global yang
terindikasi mengancam keamanan dunia. Diplomasi kebudayaan, kebudayaan
yang dimiliki Indonesia merupakan elemen yang harus digali, dikaji karena
esensinya yang begitu penting dalam penguatan fondasi jati diri bangsa dalam
menghadapi berbagai tantangan globalisasi.
Tulisan ini akan melihat hubungan dialog agama dari perspektif sosiologis,
tetapi juga diplomasi bilateral dan budaya dalam kehidupan dalam sebuah
pertunjukkan, interaksi komunitas. Tulisan ini akan menyimpulkan bahwa dialog
agama yang dilakukan melalui cara diplomasi kebudayaan tidak hanya penting
18
karena pesan verbal tetapi juga tindakan. Dalam bab ini penulis juga akan menulis
tentang teori yang digunakan permasalahan tersebut memiliki beberapa konsep
yang akan dianalisis dengan menggunakan teori tentang dialog agama, diplomasi
bilateral dan diplomasi kebudayaan. Oleh sebab itu, penulis akan menguraikan
teori-teori tersebut sebagai berikut:
2.2 Dialog Agama
Konsep dari sebuah ajaran agama ialah untuk menganjurkan sebuah
keharmonisan, kerukunan, kedamaian, saling menghormati, menjunjung tinggi
prinsip kebersamaan, namun pada kenyataan konsep tersebut belum dapat bisa
terlaksana seperti yang diharapkan oleh masing-masing penganut agama. Oleh
karena itu, untuk mewujudkan konsep-konsep agama perlu adanya instrumen
tepat yaitu “dialog”. Dialog dikatakan sebagai sebuah keterbukaan pandangan
yang berbeda, tetapi memiliki kepedulian terhadap satu dan yang lainnya. Dialog
yang dilakukan antar umat beragama adalah wujud dari sebuah keharmonisan.
Menurut Paul Knitter1 cara efektif dalam melaksanakan sebuah dialog antaragama
adalah dengan mengupayakan dialog itu menjadi dialog yang bertanggungjawab
secara global.
Dialog bukan untuk saling mengalahkan akan tetapi untuk saling
memahami antara satu pihak lain dengan baik, untuk mencapai kesepakatan penuh
secara universal. Dialog berorientasi sebagai sebuah sarana komunikasi untuk
menjembatani kesalahpahaman dalam budaya yang berbeda, mengungkapkan
1 Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Agama dan Tanggug Jawab Global (Jakarta:
Gunung Mulia, 2010), 23.
19
pandangan dalam bahasa masing-masing2. Dialog bukan hanya sebagai sebuah
orientasi hidup bersama secara damai dengan cara toleransi dengan pemeluk
agama lain, melainkan berpartisipasi secara aktif terhadap keberadaan pemeluk
agama lain3. Yang terkenal satu hal yaitu masyarakat Indonesia adalah negara
yang pluralisme agama, dialog ini merupakan pilihan alternatif ideal dalam
sebuah penyelesaian konflik antar umat beragama. Konflik antar umat beragama
bisa berdampak negatif dalam kehidupan sosial masyarakat. Dialog juga bisa
dijadikan sebagai sebuah solusi untuk menyelesaikan fenomena, dan bisa
dijadikan sebagai upaya pencegahan sebelum terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
Dalam buku Etik Global, Hans Kung mengungkapkan “Tak ada
perdamaian dunia tanpa perdamaian antaragama”4. Tidak ada perdamaian dunia
tanpa perdamaian tanpa perdamaian bangsa-bangsa, tidak ada bangsa-bangsa
tanpa perdamaian agama-agama, tidak ada perdamaian agama-agama tanpa dialog
antaragama. Dari apa yang telah disampaikan Hans Kung dampak suatu dialog
sangat besar dan tidak hanya bagi umat beragama saja tetapi juga manusia di
seluruh penjuru dunia. Kalimat ini penulis pakai untuk menjadi acuan dalam
pemikiran Paul Knitter dalam bukunya “Satu Bumi banyak Agama”, Knitter
menyertakan pemikiran atau pandangan Hans Kung dalam bukunya tersebut. Bagi
Hans Kung, dalam situsi global saat ini, umat manusia memerlukan visi mengenai
2 Raimundo Panikar, “The Intra Religius Dialogue”, dalam A. Sudiarja (ed), Dialog Intra
Religius (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 33. 3 Ahmad Zarkasi, Idrus Ruslan, Agustam, et.al., “Dialog Antar Umat Beragama Dalam
Upaya Pencegahan Konflik”. (Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung Indonesia, 2019). 4 Hans Kung, Karl-Josef Kuschel, Etik Global (Yogyakarta: Sisiphus bekerjasama dengan
Pustaka Pelajar, 1999), xvii.
20
kehidupan bersama secara damai, hidup bersama diantara berbagai macam
budaya, agama bagi perawatan bumi5.
Usaha Kung untuk menyusun etika global mempunyai tujuan yaitu untuk
menjalin sebuah perdamaian antara agama-agama dan untuk “mengobati” dunia
yang sedang mengalami krisis mengenai makna nilai dan norma. Dalam dunia
yang masih harus menciptakan sebuah perdamaian, agama berbagi pada satu
tanggungjawab bersama, yaitu menciptakan sebuah perdamaian. Inilah yang
tanggungjawab bersama yang harus menjadi pemikiran setiap kelompok agama
atau agama secara keseluruhan. Dalam buku “Etika global” dibutuhkan manusia
yang dapat hidup dan bekerja sama dalam melindungi kemanusiaan dan
lingkungannya.
Menurut William Placher dan John Cobb salah satu hubungan dasar bagi
hubungan antar agama apa pun adalah semua umat beragama harus mengakui
perlunya sebuah nilai dari dialog tersebut. Dialog akan menghasilkan sebuah
pengukuhan keserasian dan saling pengertian6. Kita melihat bahwa perdamaian
antar agama adalah syarat utama bagi suatu perdamaian dunia. Asumsi mengenai
dunia dan agama, dalam arti dunia menjadi satu, multikultur dan multiregius.
Namun juga dipihak lain mengartikan bahwa perdamaian dunia tersebut sekaligus
merupakan lingkungan yang kondusif bagi perdamaian antara agama. Tidak
disangkal bahwa agama dan aspek dalam kehidupan bermasyarakat saling
tergantung, saling mempengaruhi yang lain, tidak bisa berdiri sendiri tanpa
subyek yang lain. Dalam kehidupan dunia ini satu-satunya jalan yaitu
5 Hans Kung, Etik Global, 16-20.
6 Nurcholis Majid, “Dialog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam”
dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Passing Over – Melintasi Batas Agama
(Jakarta: Gramedia Pustaka, 1998), 6.
21
„persaudaraan antaragama‟. Dan sebuah kerjasama dari agama-agama yang
memiliki nilai-nilai etika harus disumbangkan pada umat manusia.
Menurut Leonard Swidler7 yang dikenal sebagai salah satu guru studi
dialog agama dunia, menjelaskan bahwa dialog merupakan percakapan antara dua
atau lebih dengan pandangan yang berbeda, tujuan utama dalam hal ini agar
peserta dapat belajar dari sesama. Oleh karena itu, mereka dapat berubah dan
tumbuh. Kalau kata agama dipahami sebagai hal yang kongkrit, bukan sebuah
metafisis, maka dialog antaragama berarti dialog antar orang-orang beragama.
Manusia mendapatkan tempat sentral dalam sebuah dialog, dengan syarat,
manusia tidak dipahami secara metafisis, malainkan manusia yang kongkrit.
Manusia yang kongkrit artinya, menunjuk kepada orang-orang beriman dalam
agama tertentu, dalam lingkungan budaya tertentu, dan dengan aspirasi tertentu
dan pada masa tertentu.
Mengenai arti dan praktik dialog, Swidler pernah menguraikannya yang
disebut sebagai “The Dialogue Decalogue”. Adapun rekomendasi Swidler
mengenai dialog antaragama yang sukses8 ada sepuluh titah dialog decalogue:
Pertama, tujuan utama dialog untuk belajar, untuk mengubah dan tumbuh dalam
persepsi dan pemahaman tentang realitas. Kedua, dialog antaragama, interideologi
harus merupakan dua sisi, komunitas agama atau ideologis dan komunitas agama
atau ideologis. Ketiga, berdialog dengan penuuh kejujuran dan ketulusan hati
dengan mitranya. Keempat, dalam dialog antaragama, interideologis tidak boleh
7 Izak Lattu, ”Performative Interreligious Engagement: Memikirkan Sosiologi Hubungan
Lintas Agama‟ dalam Sosiologi Agama Pilihan Berteologi di Indonesia: 25 Tahun Pascasarjana
Sosiologi Agama Universitas Kristen satya Wacana. (Salatiga: Universitas Kristen Satya
Wacana, 2016), 281-282. 8 Leonard Swidler, “The Dialogue Decalogue: Ground Rules for Interreligious,
Interideological Dialogue”. Diambil dari https://www.dialogueinstitute.org.html (diakses pada
tanggal 16 Oktober 2019), 1-5.
22
dibandingkan cita-cita dengan mitra. Kelima, setiap peserta harus mendefinsiakn
dirinya sendiri. Keenam, peserta dialog harus datang ke dialog tanpa asumsi keras
dan tepat dititik perselisihan berada. Ketujuh, dialog hanya dapat terjadi diantara
yang sederajat, untuk saling belajar. Kedelapan, dialog hanya dapat terjadi atas
dasar rasa saling percaya. Kesembilan, orang-orang yang ada dalam dialog
antaragama, interideologis paling tidak mengkritik diri sendiri dan tradisi agama
atau ideologis mereka sendiri. Kesepuluh, setiap peserta harus berusaha untuk
mengalami agama atau ideologi “dari dalam”.
Menurut Swidler inti dan tujuan utama dialog adalah belajar, bertumbuh
seturut pemahaman yang muncul dan bertindak dalam terang pemahaman
tersebut. Dialog hendaknya datang dengan sikap jujur, tulus dan juga kerendahan
hati, tidak mempermalukan rekannya dan bersikap tentang keunggulan imannya.
Dialog seperti proses hidup bersama yang tersedia “face to face” dengan rekan
atau lawan dialog. Dialog adalah kesediaan berjalan “side by side” bersama umat
dengan keberagaman yang berbeda (ada proses menghadapi tantangan bersama,
lalu berkolaborasi mengatasi persoalan hidup agar dapat masuk memperbaharui
hidup9.
Dalam tesisnya Samuel Huntington10
, benturan yang paling keras
menurutnya adalah terjadi antara kebudayaan Kristen Barat dan kebudayaan
Islam. Dari tesis tersebut memperkuat asumsi sebagian ilmuan Barat melihat
Islam sebagai sebuah ancaman. Dalam bukunya Huntington berpendapat bahwa
berakhirnya perang dingin sumber konflik utama dihadapi oleh umat manusia
9 Martin Lukito Sinaga, Beriman Dalam Dialog: Esai-Esai Tentang Tuhan Dan Agama
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 73-75. 10
Samuel P. Huntington, 2004. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik
Dunia (The Clash of Civilizations and The Remarking of Word Order). Terj. M. Sadat Ismail.
(Yogyakarta: Qalam, 2012). Cet. XI.
23
yaitu tidak lagi masalah ideologi, ekonomi tetapi perbedaan kebudayaan11
.
Budaya disini oleh berbagai wilayah daerah, desa, etnis, agama dan yang
mempunyai tingkat keberagaman budaya yang berbeda. Perbandingannya, yang
berkaitan dengan “perdaban” dan “kebudayaan”. Pendukung mazhab Jerman atau
Eropa Kontinental yang membedakan antara cultur (kebudayaan) dan civilization
(peradaban).
Manusia dapat berpartisipasi dalam sebuah budaya, sebagai seni, adat
istiadat, kebiasaan atau kepercayaan dalam tradisi yang merupakan cara hidup
masyarakat, peradaban berarti perbaikan pemikiran, tata krama. Peradaban
terdiferensiasi oleh budaya, sejarah, bahasa, tradisi dan yang terpenting ialah
agama12
. Perbedaan agama melahirkan perbedaan dalam memandang antara
hukum manusia-Tuhan, individu-kelompok, hak-kewajiban, warga-negara dan
sebagainya. Sejarah mencatat perbedaan inilah yang menimbulkan konflik paling
keras dan berkepanjangan. Budaya dalam manifestasinya lebih luas ialah
peradaban, unsur yang membentuk kohesi, disintegrasi dan konflik. Bahwa perang
antaretnik, antarsuku, antaragama dan juga antarbangsa adala fenomena umum.
2.3 Diplomasi Bilateral
Diplomasi dalam kajian hubungan internasional digunakan sebagai
inisiatif mempromosikan negara, menigkatkan eksistensi atau pengaruh ke negara
lainuntuk kepentingan nasional masing-masing negara13
. Di era globalisasi saat
11
Vita Vitria, “Konflik Peradaban Samuel P. Huntington: Kebangkitan Islam yang
Dirisaukan” HUMANIKA, Vol 9. No. 1 (Maret 2009), 39-52. 12
Samuel P. Huntington, “Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?”. Terj.
Saiful Muzani. Dalam jurnal Ulumul Qur’an, Vol 4. No. 5 (1993), 25-40. 13
KM Panikar “The Principle and Practive Diplomacy” dalam Diplomasi. Terj. Harwanto
dan Misrawati (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), 3.
24
ini, negara-negara cenderung memenuhi kepentingan negara dengan melakukan
sebuah diplomasi. Diplomasi ini dilakukan pada pertemuan khusus antar negara.
Secara konvensional, diplomasi merupakan suatu usaha sebuah negara dalam
mengupayakan kepentingan nasional dalam ranah internasional. Dapat diartikan
sebagai suatu hubungan luar negeri antara satu negara dengan negara lain14
.
Diplomasi merupakan salah satu cara untuk mencapai kepentingan negara
yang damai. Saat berakhirnya Perang Dunia I, dimana perang yang terjadi antara
negara tidak dapat terhindarkan. Perang tersebut menimbulkan banyak kerugian
bagi peserta perang. Yang kemudian terbentuk Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang
bertujuan untuk mencegah perang agar tidak kembali pecah. LBB ini menerapkan
aktivitas diplomasi multilateral yang secara damai. Meskipun LBB tidak mampu
mencegah perperangan, karena dimana saat itu perang dunia kembali pecah.
Namun, LBB membuat atau melahirkan organisasi-organisasi yang kemudian
memaksa negara untuk mencapai kepentingan negaranya melalui cara yang lebih
damai yaitu melalui diplomasi.
Diplomasi dilakukan dengan menjalin suatu hubungan antar negara.
Hubungan yang melibatkan banyak negara (multilateral) atau hubungan yang
melibatkan hanya dua negara (bilateral). Barston mendefinisikan diplomasi
sebagai manajemen hubungan antar negara atau sebuah hubungan antar negara
dengan aktor internasional lainnya15
. Diplomasi dapat dilakukan dalam pertemuan
khusus maupun konferensi umum. Melalui diplomasi inilah sebuah negara dapat
membangun citra negaranya. Dalam hubungan antar negara, diplomasi pada
14
Tulus Warsito dan Wahyuni Kartisari, Diplomasi Kebudayaan: Konsep Dan Relevansi
Bagi Negara Berkembang: Studi Kasus Indonesia (Yogyakarta: Ombak, 2007), 2. 15
Sukawarsini Djelantik, Diplomasi Antara Teori dan Praktik (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2008), 4.
25
umumnya diterapkan pada tingkat awal sebuah negara hendak melakukan
hubungan bilateral dengan negara lain hingga keduanya mengembangkan
hubungan diplomasi ke tingkat selanjutnya.
Diplomasi memiliki kaitan erat dengan politik luar negeri, kebijakan luar
negeri dirancang dan diformulasikan oleh Menteri Luar Negeri dan staf
Departemen Luar Negeri. Keberhasilan sebuah kegiatan diplomasi dinilai dari
tujuan awal. Diplomat melakukan diplomasi untuk mengejar kepentingan nasional
dengan cara saling tukar menukar informasi secara terus menerus dengan negara
lain16
. Diplomasi sebuah komunikasi antar sejumlah pihak yang didesain untuk
mencapai suatu kesepakatan. Menurut KM Panikkar, diplomasi dalam
hubungannya dengan politik internasional yaitu seni untuk mengedepankan
kepentingan suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain17
.
Ada beberapa bagian dalam melakukan diplomasi, yakni:
1. Negosiasi
Negosiasi merupakan bagian yang dimana tidak terpisahkan dari
sebuah pelaksanaan diplomasi. Sifat, tujuan dan visi dari politik luar
negeri suatu negara dilihat dari aktivitas negosiasi yang dilakukan. Citra
suatu negara, ditentukan dari keberhasilan para diplomat dalam sebuah
negosiasi dan mencari kesepakatan terhadap kepentingan nasionalnya.
Para diplomat sebagai wakil negara dan pemerintahan memegang peranan
penting terhadap keberhasilan sebuah negosiasi. Abbe Duguet18
, memberi
16
Djelantik, Diplomasi Antara, 14. 17
Rizki Rahmadini Nurika, “Peran Globalisasi di Balik Munculnya Tantangan Baru Bagi
Diplomasi di Era Kontemporer”, Jurnal Sospol, Vol. 3 No. 1 (2017), 128. 18
Djelantik, Diplomasi Antara, 39. (Negosiasi adalah kontak dan komunikasi antara
pembuat kebijakan dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan. Yang ingin dicapai adalah
harmoni dan saling pegertian, bukan semata-mata kemenangan).
26
batasan mengenai negosiasi:”...Negotiation is a contact and
communication between policy makers with a view toward coming to
terms. The search is for harmony and unanimity, not victory...”.
Dalam lingkup kerja diplomat, secara garis besar Konperensi Wina
menjabarkan fungsi-fungsi dari seorang diplomat, yakni19
:
a. Mewakili negara yang mengirim di negara yang menerima.
b. Melindungi kepentingan negara dan bangsa negara pengirim di
negara penerima di dalam batas-batas yang diijinkan oleh
Hukum Internasional.
c. Melakukan negosiasi dengan pemerintahan negara penerima.
d. Memastikan secara sah menurut hukum, segala kondisi dan
perkembangan dinegara penerima dan melaporkan kepada
negara pengirim.
e. Memajukan hubungan persahabatan antara negara pengirim
dan negara penerima serta mengembangakan hubungan-
hubungan ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan.
2. Pemungutan Suara (Voting)
Pemungutan suara perlu diketahui oleh setiap para delegasi20
, ada
empat aspek pemungutan suara, yaitu: bobot voting, syarat kuorum, syarat
mayoritas, dan cara-cara pemungutan suara. Ada lima metode pemungutan
suara, yaitu: pertama, dengan mengangkat tangan. Delegasi yang
mengangkat tangan akan dihitung oleh petugas sekretariat. Kedua, dengan
cara berdiri. Ketiga, melalui roll call (pemanggilan). Posisi yang diambil
19
Djelantik, Diplomasi Antara, 40. 20
Djelantik, Diplomasi Antara, 51-56.
27
setiap delegasi melalui pemungutan suara dengan roll call dinyatakan
dalam sebuah catatan resmi. Keempat, dengan pemungutan suara rahasia
(Secret Ballot). Cara ini, setiap delegasi memasukkan suara mereka ke
dalam satu kotak suara khusus, kemudian dihitungoleh petugas sekretariat.
Kelima, Postal Ballot. Pengambilan keputusan ini biasanya menggunakan
sistem pemungutan suara melalui pos. Suara akan dikirim melalui pos
yang telah diisi, kemudian dikirim kembali ke sekretariat.
2.4 Diplomasi Kebudayaan
Konsep dari diplomasi kebudayaan dari dua kata yaitu diplomasi dan
kebudayaan. Diplomasi adalah sebuah instrumen yang digunakan dalam
hubungan internasional guna untuk mencapai sebuah kepentingan nasional.
Secara konvensional, diploamsi sebagai usaha negara bangsa untuk
memperjuangan kepentingan nasional terutama pada kalangan masyarakat
internasional21
. Secara umum kata budaya atau kebudayaan berasal dari kata
bahasa Sansekerta buddhayah, yang adalah bentuk jamak dari kata buddhi (budi
atau akal) yang diatika sebagai hal yang berkaaitan dengan akal dan budi
manusia22
.
Koentjaraningrat23
mengatakan bahwa kebudayaan adalah perkembangan
dari bentuk jamak budi daya yang artinya daya dari budi dan kekuatan dari akal.
Kemudian juga Koentjaraningrat merumuskan definisi kebudayaan yaitu “
keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar,
21
K.J. Holsti, International Politics, A Framework For Analysis (New Delhi: Prentice
Hlm of India, 1984), 82-83. 22
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1993), 9. 23
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1981), 5.
28
beserta dengan keseluruhan dari hasil budi dan karyanya”. Menurut
Koentjaraningrat, ada tiga wujud kebudayaan, yaitu24
:
1. Ide, gagasan, nilai, norma, peraturan berfungsi mengatur, mengendalikan,
memberi arah pada kelakuan, perbuatan manusia dalam masyarakat
disebut “adat tata kelakuan”.
2. Aktivitas kelakuan berpola dari manusia yang disebut “ sistem sosial”
Sistem sosial terdiri dari rangkaian aktivitas dalam masyarakat yang selalu
mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan, seperti
gotong-royong dan kerja sama.
3. Benda-benda hasil karya manusia yang disebut “kebudayaan fisik” seperti
candi borobudur, pesawat udara atau kain batik.
Bagi negara modern seperti Indonesia, bukan hanya berwujud sebuah unit
geopolitik semata, namun pada kenyataannya mengandung keragaman kelompok
sosial dan sistem budaya yang tercermin pada keanekaragaman kebudayaan suku
bangsa. Seperti halnya semboyan “Bhineka Tunggal Ika” sesungguhnya masih
lebih merupakan suatu cita-cita yang masih harus diperjuangkan oleh segenap
bangsa Indonesia daripada sebagai kenyataan yang benar-benar hidup di dalam
masyarakat25
. Kebudayaan Indonesia berakar dari kebudayaan etnik (lokal) di
Indonesia yang memiliki keragaman. Multikulturalisme dapat dimaknai sebagai
sebuah kepercayaan yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnik atau
budaya (ethnic and cultural groups) dapat hidup berdampingan secara damai
24
Abdulkadir Muhammad, Ilmu Sosial Budaya Dasar (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2011), 75-76. 25
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001), 4.
29
dalam prinsip coexistence yang ditandai oleh kesediaan menghormati budaya
lain26
.
Secara konseptual kearifan lokal adalah bagian dari kearifan lokal.
Haryati27
mengungkapkan bahwa kearifan lokal (local genius) secara keseluruhan
dapat dianggap sama dengan cultural identity yang dapat diartikan dengan
identitas atau kepribadian budaya suatu bangsa. Kearifan lokal dapat dimaknai
sebagai kebijakan manusia dan komunitas dengan bersandar pada sebuah nilai-
nilai, etika, dan perilaku yang secara tradisional mengelola berbagai sumber daya
alam, sumber daya hayati, sumber daya manusia, dan sumber daya budaya untuk
kelestarian bagi kelangsungan hidup berkelanjutan.
Menurut Barker28
identitas merupakan produk wacana-wacana, atau cara-
cara tertentu dalam berbicara (regulated ways of speaking) tentang dunia. Karena
melalui pertuturan dan pertulisan-lah seseorang dan atau sekelompok orang dapat
dikenal dan memperkenalkan jati dirinya. Jati diri sebagai seorang guru, pejabat,
pedagang, dokter dan lain-lain dapat dipahami lewat bahasanya, lewat tuturan dan
tulisannya. Dengan istilah lain identitas diciptakan dan bukan ditemukan, dan
terbentuk dari representasi-representasi terutama bahasa.
Diplomasi adalah cara, peraturan, sebuah tata krama, yang digunakan
suatu negara untuk mencapai kesepakatan nasionalnya dalam hubungannya
dengan negara lain atau masyarakat internasional. Sebelumnya seperti pada
penjelasan diatas diplomasi tidak bisa dipisahkan dari suatu negara, justru sangat
26
Ida Bagus Brata, “Kearifan Budaya Lokal Perekat Identitas Bangsa”, Jurnal Bakti
Saraswati, Vol. 05. No. 01 (Maret 2016), 9-16. 27
Soerjanto Poespowardojo, ”Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam
Modernisasi” dalam Ayatrohaedi (ed) Keperibadian Budaya Bangsa (Local Genius), (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1986), 18-19. 28
Chris Barker, Cultural Studies Teori dan Praktek (Yogyakarta: Bentang, 2005), 14.
30
erat dengan politik luar negeri. Kebijakan luar negeri, budaya, nilai, norma
merupakan bagian dari soft power. Diplomasi terbagi atas dua bagian, yakni soft
power dan hard power. Sebelumnya sudah dijelaskan mengenai diplomasi budaya
(cultural diplomacy) yang merupakan bagian dari diplomasi publik (soft power
diplomacy).
Soft diplomacy adalah diplomasi dalam bentuk peneyelesaian secara
damai, dalam bidang kebudayaan, bahasa, ekonomi dan persahabatan. Sedangkan
hard diplomacy adalah diplomasi dalam bentuk perang atau kekerasan, yaitu
agresi militer dan politik. Menurut Joseph Nye, sebuah kemampuan untuk
menarik atau mengajak orang untuk saling bekerjasama29
. Soft power bagian dari
diplomasi publik yang mempunyai turunan terdiri dari diplomasi budaya,
diplomasi media, diplomasi kerjasama dan diplomasi olahraga.
Diplomasi budaya penggunaanya ada macam seperti film, wayang,
kuliner, fashion, kebudayaan tradisional, bahkan dialog lintas agama. Diplomasi
publik dalam karyanya Mark Leonard, Public Diplomacy mengatakan diplomasi
publik merupakan cara untuk membangun hubungan dengan cara memahami
kebutuhan, budaya, dan masyarakat; membenarkan mispersepsi yang ada dalam
masyarakat internasional; mencari area dimana pemerintah dapat menemukan
kesamaan pandangan30
.
Diplomasi kebudayaan merupakan salah satu alat saat ini bagi negara-
negara untuk mendapatkan posisi dimata dunia internasional. Diplomasi budaya
dalam hubungan internasional adalah hal yang menarik dan penting. Diplomasi
29
Siswo Pramono, Resources of Indonesian Soft Power Diplomacy (Jakarta: Jakarta
Post, 2011). Diambil dari http://www.thejakartapost.com/news/2010/06/28/resources-indonesian-
soft-power-diplomacy.html (diakses pada tanggal 18 September 2019, 21:30). 30
Mark Leonard, Public Diplomacy. (London: The Foreign Policy Centre, 2002), 8.
31
tidak dilakukan dalam mekanisme pemerintah ke pemerintah, tetapi lebih
ditekankan kepada hubungan pemerintah ke masyarakat dan yang terpenting yaitu
hubungan masyarakat ke masyarakat31
. Diplomasi kebudayaan dianggap sebagai
alat memperlihatkan peradaban suatu bangsa. Seseorang yang menaruh perhatian
terhadap sesuatu atau kebudayaan suatu negara, maka muncul rasa keingintahuan
tentang negara yang memiliki ketertarikan tersebut.
Dalam bukunya diplomasi kebudayaan, Tulus Warsito dan Wahyuni
Kartikasari mengartikan diplomasi kebudayaan upaya negara untuk
memperjuangkan kepentingan nasionalnya melalui kebudayaan, baik itu secara
mikro seperti pendidikan, olahraga, ilmu pengetahuan, dan kesenian, atau makro
dengan ciri-ciri utama, misalnya propaganda dan lain-lain, secara pengertian
konvensional dapat dianggap sebagai bukan politik, ekonomi maupun militer32
.
Ada juga secara makro mengartikan kebudayaan yaitu bagian dari sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar33
.
Diplomasi kebudayaan yang mengenalkan budaya Indonesia dimana
publik menjadi bagian target dari strategi yang dikenal dengan diplomasi publik.
Kebudayaan dipandang sangat mempunyai pengaruh daripada menggunakan
kekuatan militer. Diplomasi publik adalah faktor yang penting dalam menunjang
keberhasilan diplomasi jalur pertama yang dilakukan wakil-wakil pemerintah.
Diplomasi publik bertujuan untuk menumbuhkan opini masyarakat yang positif
31
Gusti Ayu, Pentingnya Diplomasi Budaya dan Peranan Social Media dalam Diplomasi
Budaya suatu Negara, 2016. Diambil dari https://id.linkedin.com/pulse/pentingnya-
diplomasibudaya-dan-peranan-social-media-dalam-diplomasi-budaya-suatu-negara (diakses pada
tanggal 18 September 2019). 32
Tulus Warsito dan Wahyuni Kartikasari, Diplomasi Kebudayaan: Konsep dan
Relevansi Bagi Negara Berkembang: Studi Kasus Indonesia (Yogyakarta: Ombak, 2007), 4. 33
Kuntjaraningrat, Pengantar Antropologi Budaya (Jakarta: Aksara Baru, 1979), 193.
32
dinegara melalui interaksi dengan kelompok kepentingan. Diplomasi publik
melengkapi upaya-upaya pemerintah dalam diplomasi tradisional. Idealnya,
diplomasi publik ini harus membuka jalan negosiasi yang dilakukan antar
pemerintah, memberi masukan melalui informasi-informasi serta memberikan visi
yang berbeda terhadap suatu masalah.
Diplomasi publik mempunyai tiga tujuan utama, yaitu34
:
1. Untuk menghindarkan atau menyelesaikan konflik antar kelompok atau
negara dengan cara terus mengembangkan komunikasi saling pengertian
dan meningkatkan kualitas hubungan pribadi.
2. Untuk mengurangi ketegangan, ketakutan, kemarahan, kesalahpahaman
dan memberikan individu pengalaman-pengalaman khusus ketika saling
berinteraksi.
3. Sebagai jembatan antara kegiatan diplomasi jalur pertama yang dilakukan
antara pemerintah dengan masyarakat. Dengan menjelaskan pokook
permasalahan dari sudut pandang masing-masing, berbagi perasaan dan
kebutuhan, melalui komunikasi intensif tanpa prasangka. Diplomasi publik
kemudian menajdi sbuah landasan untuk melakukan negosiasi yang lebih
formal atau untuk mambangun sebuah kebijakan.
Yang dapat melakukan kegiatan diplomasi kebudayaan yaitu pemerintah
maupun lembaga non-pemerintah, individual maupun kolektif, atau setiap
warganegara. Tujuan dari diplomasi kebudayaan adalah untuk mempengaruhi
pendapat umum (masyarakat negara lain) untuk mendukung suatu
kebijaksanaan politik luar negeri. Adapun sasaran utama diplomasi
34
Sukawarsini Djelantik, Diplomasi Antara Teori dan Praktik (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2008), 216.
33
kebudayaan adalah pendapat umum, pada level nasional (dari suatu
masyarakat negara tertentu) maupun internasional, dengan harapan bahwa
pendapat umum tersebut dapat mempengaruhi para pengambil keputusan para
pemerintah atau organisasi internasional35
.
Kenyataannya bahwa pusat budaya modern berada pada negara-negara
maju yang memberi arti strategis negara maju untuk mengembangkan
pangaruh budaya36
(hegemoni) demi keuntungan dan juga kepentingan
nasionalnya. Sebab utama yang dibahas adalah diplomasi kebudayaan dalam
fungsinya politik luar negeri. Ketika politik luar negeri dan berbagai negara
harus berbenturan dalam politik internasional kemampuan (kekuatan) nasional
lebih menentukan daripada kemauan (kepentigan) nasional. Dilain pihak,
ketika pluralisme budaya dunia memberikan peluang kepada masyarakat
negara berkembeng untuk kebudayaan “lokal” yang unik, khas, sekaligus
dapat membantu pencapaian kepentingan nasional dalam percaturan politik
internasional.
Artinya bahwa, pluralisme harus dimanfaatkan sabagai peluang untuk
diplomasi kebudayaan. Pluralisme adalah peluang untuk tampil khas, dan
globalisme adalah peluang lain untuk tampil khas yang lain. Jika dirinci
mengenai sektor yang bersifat global dan plural, maka berikut adalah sejumlah
kriteria yang dapat dijadikan alat untuk mendeskripsikan ciri-ciri berikut. Dari
segi politik yang berkaitan langsung High Politics seperti politik pemerintahan
dan militer adalah bersifat global. Bahwa, semua negara bangsa mempunyai
kepedulian dan kepentingan yanag sama terhadap efektifitas politik dan
35
Tulus Warsito dan Wahyuni Kartikasari, Diplomasi Kebudayaan: Konsep dan
Relevansi Bagi Negara Berkembang: Studi Kasus Indonesia (Yogyakarta: Ombak, 2007), 5. 36
Tulus Warsito, Diplomasi Kebudayaan, 43-46.
34
militer. Low Politics seperti ekonomi, ideologi, agama, atau kebudayaan
mikro umumnya bersifat plural. Karena setiap negara bangsa mempunyai latar
belakang dan permasalahan yang berbeda-beda.
2.5 Kesimpulan
Kegiatan dialog lintas agama adalah sebagai saluran komunikasi efektif antara
Pemerintah Indonesia (Kemlu) dan kalangan civil society seperti ormas
keagamaan, pemuda dan mahasiswa, universitas, dan media masa. Kegiatan ini
adalah forum bagi civil society untuk menyuarakan pandangan dan seruan
toleransi dan perdamaian, sehingga bisa merubah potensi konflik menjadi kerja
sama yang sama-sama menguntungkan. Secara tidak langsung, Pemerintah
Indonesia telah mendekatkan jurang pemisah antara faktor internasional dengan
faktor domestik. Dialog lintas agama terbukti merupakan wahana bagi Pemerintah
Indonesia untuk tetap konsisten melibatkan seluruh komponen dalam civil society
sekaligus menciptakan networking dan kerja sama serta bantuan luar negeri.
Diplomasi merupakan cara, dengan peraturan dan tata krama tertentu, yang
digunakan suatu negara guna mencapai kesepakatan nasional negara tersebut
dalam hubungnnya dengan negara lain atau dengan masyarakat internasional.
Dalam konteks ini maka dikenal dengan “Diplomasi Kebudayan”, dengan
mengesampingkan penggunaan kekuatan militer dan ekonomi, lebih menonjolkan
penggunaan bidang kebudayaan. Budaya masyarakat suatu negara dapat
memperlihatkan sisi positif dari suatu negara, nilai-nilai menarik yang
membedakan identitas negara satu dengan negara lainnya sehingga masyarakat
35
dapat perlahan tertarik dan mulai menaruh perhatian pada negara lain dalam
konteks lebih luas seperti konteks ekonomi, politik, dan sosial dari negara yang
memiliki daya tarik. Hubungan kerja sama Indonesia di bidang sosial budaya
dengan negara Serbia terus meningkat. Ini diperlihatkan dengan semakin
banyaknya program people-to-people contact. Indonesia telah menandatangani
Nota Kerjasama perjanjian atau kesepakatan dalam bidang pendidikan, iptek,
peace corps, pariwisata, seni dan budaya serta olah raga.
top related