bab iii sedera secvikal belum fix agus
Post on 07-Apr-2016
49 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI SPINAL DAN VERTEBRA
B. JARAS SENSORIK DAN MOTORIK
UMN dan LMN Kontrol gerak oleh Sistem Saraf Pusat terbagi menjadi Sistem
Saraf Somatis (SSS) dan Sistem Saraf Otonom (SSO). Sistem saraf somatis mengontrol
kontraksi otot skelet secara sadar (volunter). Sedangkan Sistem saraf otonom
mengontrol gerak organ visceral secara tidak sadar (involunter) (Martini, 2008).
Berdasarkan letak anatomis, motoneuron pada sistem saraf somatis terbagi menjadi dua,
yakni Upper Motorneuron (UMN) dan Lower Motorneuron (LMN). Upper motorneuron
adalah semua neuron yang menyalurkan impuls motorik ke lower motorneuron dan
terbagi menjadi susunan piramidalis dan extrapiramidalis. Upper motorneuron berjalan
dari korteks serebri sampai dengan medulla spinalis sehingga kerja dari upper
motorneuron akan mempengaruhi aktifitas dari lower motorneuron (Sidharta, 2009).
Lower motorneuron adalah neuron-neuron yang menyalurkan impuls motorik pada
bagian perjalanan terakhir ke sel otot skeletal, hal ini, yang membedakan dengan upper
motorneuron. Lower motorneuron mempersarafi serabut otot dengan berjalan melalui
radix anterior, nervus spinalis dan saraf tepi. Lower motorneuron memiliki dua jenis
yaitu alfa-motorneuron memiliki akson yang besar, tebal dan menuju ke serabut otot
ekstrafusal (aliran impuls saraf yang berasal dari otak/medulla spinalis menuju ke
efektor), sedangkan gamma-motorneuron memiliki akson yang ukuran kecil, halus dan
menuju ke serabut otot intrafusal (aliran impuls saraf dari reseptor menuju ke
otak/medulla spinalis). Begitu halnya dengan nervi cranialis merupakan dari LMN
karena nervus-nervus cranialis ini sudah keluar sebelum medulla spinalis yaitu di pons
dan medulla oblongata (Sidharta, 2009 ; Snell, 2007).
A. Jaras Motorik
Sistem motorik merupakan sistem yang mengatur segala gerakan pada manusia.
Gerakan diatur oleh pusat gerakan yang terdapat di otak, diantaranya yaitu area motorik
di korteks, ganglia basalis, dan cerebellum. Jaras untuk sistem motorik ada dua, yaitu
traktus piramidal dan ekstrapiramidal.
2. Jaras piramidal dan ektrapiramidal
Sistem saraf somatis secara umum melibatkan tiga tingkat neuron yang disebut
neuron descendens. Neuron tingkat satu sistem saraf somatis berada di sistem saraf
pusat tempat impuls tersebut berasal. Neuron tingkat pertama memiliki badan sel di
dalam cortex cerebri atau berada di tempat asal impuls. Neuron tingkat kedua adalah
sebuah neuron internuncial (interneuron) yang terletak di medulla spinalis. Akson
neuron tingkat kedua pendek dan bersinaps dengan neuron tingkat ketiga di columna
grisea anterior (Snell, 2002).
Gambar 1. Jaras neuron motorik
Gambar 2. Jaras neuron motorik
Secara fungsi klinis tractus descendens dibagi menjadi tractus pyramidals dan
extrapyramidals. Tractur pyramidals terdiri dari tractus corticospinal dan tractus
corticobulbar. Tractus extrapyramidals dibagi menjadi lateral pathway dan medial
pathway. Lateral pathway terdiri dari tractus rubrospinal dan medial pathway terdiri
dari tractus vestibulospinal, tractus tectospinal dan tractus retikulospinal. Medial
pathway mengontrol tonus otot dan pergerakan kasar daerah leher, dada dan ekstremitas
bagian proksimal (Martini, 2006).
Gambar 2. Jaras pyramidal dan ekstrapiramidal
Tractus Corticospinal
Serabut tractus corticospinal berasal dari sel pyramidal di cortex cerebri. Dua
pertiga serabut ini berasal dari gyrus precentralis dan sepertiga dari gyrus postcentralis.
Serabut desendens tersebut lalu mengumpul di corona radiata, kemudian berjalan
melalui crus posterius capsula interna. Pada medulla oblongata tractus corticospinal
nampak pada permukaan ventral yang disebut pyramids. Pada bagian caudal medulla
oblongata tersebut 85% tractus corticospinal menyilang ke sisi kontralateral pada
decussatio pyramidalis sedangkan sisanya tetap pada sisi ipsilateral walaupun akhirnya
akan tetap bersinaps pada neuron tingkat tiga pada sisi kontralateral pada medulla
spinalis. Tractus corticospinalis yang menyilang pada ducassatio akan membentuk
tractus corticospinal lateral dan yang tidak menyilang akan membentuk tractus
corticospinal anterior (Snell, 2002)
Gambar 3. Tractus Piramidalis
Tractus Corticobulbar
Serabut tractus corticobulbar mengalami perjalanan yang hampir sama dengan tractus
corticospinal, namun tractus corticobulbar bersinaps pada motor neuron nervus cranialis
III, IV, V, VI, VII, IX, X, XI, XII. Tractus coricobulbar menjalankan fungsi kontrol
volunter otot skelet yang terdapat pada mata, dagu, muka dan beberapa otot pada faring
dan leher. Seperti halnya dengan tractus corticospinal, tractus corticobulbar pun
mengalami persilangan namun persilangannya terdapat pada tempat keluarnya motor
neuron tersebut. (Martini, 2006).
Medial Pathway
Medial Pathway (jalur medial) mempersarafi dan mengendalikan tonus otot dan
pergerakan kasar dari leher, dada dan ekstremitas bagian proksimal. Upper motor
neuron
jalur medial berasal dari nukleus vestibularis, colliculus superior dan formasio
retikularis. (Martini, 2006).
Nukleus vestibularis menerima informasi dari N VIII dari reseptor di vestibulum untuk
mengontrol posisi dan pergerakan kepala. Tractus descendens yang berasal dari nukleus
tersebut ialah tractus vestibulospinalis. Tujuan akhir dari sistem ini ialah untuk menjaga
postur tubuh dan keseimbangan. (Martini, 2006).
Colliculus superior menerima sensasi visual. Tractus descendens yang berasal dari
colliculus superior disebut tractus tectospinal. Fungsi tractus ini ialah untuk mengatur
refleks gerakan postural yang berkaitan dengan penglihatan (Snell, 2002).
Formasio retikularis ialah suatu sel-sel dan serabut-serabut saraf yang
membentuk jejaring (retikular). Jaring ini membentang ke atas sepanjang susunan saraf
pusat dari medulla spinalis sampai cerebrum. Formatio reticularis menerima input dari
hampir semua seluruh sistem sensorik dan memiliki serabut eferen yang turun
memengaruhi sel-sel saraf di semua tingkat susunan saraf pusat. Akson motor neuron
dari formatio retikularis turun melalui traktus retikulospinal tanpa menyilang ke sisi
kontralateral. Fungsi dari tractus reticulospinalis ini ialah untuk menghambat atar
memfasilitasi gerakan voluntar dan kontrol simpatis dan parasimpatis hipotalamus
(Martini 2006; Snell, 2002).
Gambar 4. Tractus Medial
Lateral Pathway
Lateral Pathway (jalur lateral) berfungsi sebagai kontrol tonus otot dan presisi
pergerakan dari ekstremitas bagian distal. Upper motor neuron dari jalur lateral ini
terletak dalam nukleus ruber (merah) yang terletak dalam mesencephalon. Akson motor
neuron dari nukleus ruber ini turun melalui tractus rubrospinal. Pada manusia tractus
rubrospinal kecil dan hanya mencapai corda spinalis bagian cervical. (Martini, 2006).
Traktus Ekstrapiramidal
System ekstrapiramidal tersusun dari semua jaras motorik yang tidak melalui
piramis medulla oblongata dan berkepentingan untuk mengatur sirkuit umpan balik
motorik pada medulla spinalis, batang otak, serebelum, dan kortek serebri. Selain itu,
system ini juga mencakup serabut-serabut yang menghubungkan kortek serebri dengan
masa kelabu ( seperti striata, nucleus ruber, dan subtantia nigra), dengan formation
rerikuaris dan dengan nucleus tegmental batang otak lainnya.
Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum, globus palidus, inti-inti talamik,
nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang otak,serebelum
berikut dengan korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6 dan area 8. komponen-
komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson masing-masing
komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang melingkar yang dikenal sebagai
sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan penerima tunggal dari serabut-serabut
segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit tersebut dinamakan sirkuit striatal yang terdiri
dari sirkuit striatal utama (principal) dan 3 sirkuit striatal penunjang (aksesori).1,3
Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu (a) hubungan segenap
neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus, (b) hubungan korpus
striatum/globus palidus dengan thalamus dan (c) hubungan thalamus dengan korteks
area 4 dan 6. Data yang tiba diseluruh neokorteks seolah-olah diserahkan kepada korpus
striatum/globus paidus/thalamus untuk diproses dan hasil pengolahan itu merupakan
bahan feedback bagi korteks motorik dan korteks motorik tambahan. Oleh karena
komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit yang pada
hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut sirkuit
striatal asesorik.1,3 Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang
menghubungkan stratum-globus palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2
adalah lintasan yang melingkari globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus.
Dan akhirnya sirkuit asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari
striatum-subtansia nigra-striatum.
Lateral pathway terdiri dari tractus rubrospinal dan medial pathway terdiri dari
tractus vestibulospinal, tractus tectospinal dan tractus retikulospinal. Medial pathway
mengontrol tonus otot dan pergerakan kasar daerah leher, dada dan ekstremitas bagian
proksimal.1
Pada jaras ekstra piramidal, jaras ini disebut juga jaras striatal. Ini menyampaikan saraf
motorik tanpa meleawti kompinen jalur piramidal.jaras ini penting dalam pengaturan
propioseptif tubuh. Jaras ini tersusun atas komponen3 :
princpal : kortex-korpus triatum-globus palidus-talamus
asesoris 1 : talamus-korpus striatum
8
asesoris 2 : globus palidus – nukleus subtalamikus
asesoris 3 : korpus striatum –substansia nigra
Sistem sensoris
Sistem saraf sensorik berperan dalam menyampaikan rangsangan yang diterima reseptor
ke otak dalam hal ini korteks sensorik ( girus post sentralis). Persepsi rasa baik nyeri,
sentuhan , tekanan dan suhu akan diterima reseptor kulit dan kemudian dijalarkan ke
otak melalui medula spinalis.3
1) Lemniskus Medialis Kolumna Dorsalis
Impuls yang masuk ke medulla spinalis berjalan melalui serabut bermielin tebal yang
masuk melalui divisi medial akar dorsal saraf spinalis ke kolumna 9
dorsalis massa putih yang ipsilateral, selanjutnya akan terbagi menjadi cabang
asenden dan descenden. Cabang descenden menyusun rangkaian reflek dengan cabang-
cabang kolateralnya ke kolumna dorsalis masa kelabu. Cabang asenden merupakan
serabut penghubung sensorik yang pertama. Pada saat masuk, serabut-serabutasenden
ini berada tepat disebelah medial kornu dorsalis.
Gambar 7. Lemniskus Medialis Kolumna Dorsalis
Dalam perjalanannya keatas, serabut asenden ini akan semakin bergeser ke
medial (karena ada serabut lain di tingkat yang lebih atasnya akan masuk), sehingga
serabut yang berada paling medial ( pada tingkat servikal) adalah yang berasal dari area
sacral, sedangkan yang lebih lateral berasal dari ekstremitas atas. Serabut asenden ini
akan berakhir di nucleus grasilis dan nucleus kuneatus pada perbatasan servikal dan
medulla oblongata. Serabut dari nucleus-nukleus ini akan berjalan melengkung ke
ventral dan membentuk kumpulan serabut yaitu lemnikus medialis, dan akhirnya
memasuki nucleus ventroposterior lateralis thalamus. Jalur sensorik ini merupakan
penghantar impuls sensorik: rasa raba, tekanan (dalam), getaran, sensasi posisi dan
diskriminasi sensorik.
2) Traktus Spinothalamikus
Badan sel neuron tingkat pertamanya berada di ganglia akar dorsalis dan mempunyai
serabut yang lebih tipis disbanding serabut lemnikus medialis. Serabut-serabutnya
memasuki medulla spinalis di bagian lateral akar dorsal dan terpisah menjadi cabang
asenden dan descenden. Cabang asenden nya akan ke atas (1-2 segmen) pada kolumna
postero lateral sebelum bersinap dengan neuron tingkat kedua yang terletak di kolumna
dorsalis. Selanjutnya, akson ini akan menyilang garis tengah ( komisura ventralis massa
putih) dan terus keatas didalam ventrolateral ( masa putih) sebagai traktus
spinotalamikus.
Ada beberapa serabut spinothalamikus yang mempunyai cabang kolateral ke
beberapa daerah nucleus tertentu seperti formasio retikularis. Traktus spinothlamikus
berakhir di nucleus ventroposterior lateralis thalamus. Traktus ini merupakan transmisi
rasa panas, dingin, nyeri, gatal serta merupakan jalur alternative untuk rasa raba
( kasar).
C. SISTEM SARAF OTONOM
Susunan saraf otonom merupakan bagian susunan saraf yang berhubungan
dengan persarafan struktur involunter seperti jantung, otot polos, dan kelenjar di seluruh
tubuh, serta tersebar di dalam susunan saraf pusat dan perifer. Susunan saraf otonom
dapat dibagi dalam dua bagian simpatis dan parasimpatis dan keduanya mempunyai
serabut saraf aferen dan eferen (Snell, 2006).
Kontrol yang dilakukan oleh sistem saraf otonom berlangsung sangat cepat dan
tersebar luas karena satu akson preganglionik dapat bersinaps dengan beberapa neuron
postganglionik. Kumpulan serabut-serabut aferen dan eferen dalam jumlah besar
bersama dengan ganglia yang sesuai membentuk plexus otonomik di toraks, abdomen
dan pelvis (Snell, 2007).
Bagian simpatis sistem otonom
Sistem simpatis adalah bagian terbesar dari kedua bagian sistem otonom yang
didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh, yang kemudian mempersarafi jantung dan
paru, otot pada sebagian besar dinding pembuluh darah, folikel rambut dan kelenjar
keringat, serta banyak organ visera abdominopelvik.
Fungsi sistem simpatis adalah menyiapkan tubuh pada keadaan darurat. Denyut
jantung meningkat, arteriola di kulit dan usus mengalami konstriksi, dan arteriola pada
otot-otot rangka berdilatasi, serta tekanan darah meningkat.Selain itu, saraf simpatis
membuat pupil berdilatasi, menghambat otot polos bronkus, usus, dan dinding vesika
urinaria, serta menutup sphincter. Rambut berdiri dan kulit berkeringat (Snell, 2007).
a. Serabut saraf eferen
Substansia grisea medula spinalis dari segmen thoracal I sampai segmen
lumbal II, mempunyai cornu laterale atau columna intermedia, yang merupakan
tempat badan sel neuron penghubung simpatis. Akson sel-sel ini yang bermielin
meninggalkan medulla spinalis pada radix anterior dan kemudian berjalan
melalui rami communicates alba ke ganglia paravertebralis truncus sympathicus.
Serabut sel-sel penghubung disebut preganglionik karena serabut ini menuju ke
ganglion perifer. Saat serabut preganglionik mencapai ganglia pada truncus
symphaticus, serabut tersebut mungkin menempuh perjalanan sebagai berikut :
1. Serabut tersebut mungkin berhenti pada ganglion yang dimasukinya dan
bersinaps dengan sel-sel eksitator di dalam ganglion. Celah diantara kedua
neuron tersebut dijembatani oleh zat neurotransmiter yaitu acetycholine.
Axon neuron eksitator yang tidak bermielin meninggalkan ganglion. Serabut
saraf postganglionik ini kemudian menuju ke nervi thoracici sebagai rami
communicantes grisea dan tersebar dalam cabang-cabang saraf spinal untuk
menyarafi otot polos di dalam dinding pembuluh darah, kelenjar keringat,
dan musculus arrector pili kulit.
2. Sebagian serabut-serabut yang masuk ke dalam ganglia truncus symphaticus
di daerah thorax bagian atas akan berjalan sepanjang truncus symphaticus
menuju ke ganglia di daerah leher, tempat serabut-serabut tersebut akan
bersinap dengan sel-sel eksitator. Di sini serabut saraf postganglionik
meninggalkan truncus symphaticus sebagai rami communicantes grisea dan
sebagian besar akan bergabung dengan nervi cervicales. Banyak serabut
postganglionik yang masuk ke dlaam bagian bawah truncus symphaticus dari
segmen bawah thoracal dan dua segmen lumbal bagian atas medulla spinalis
akan turun ke ganglia pada regio lumbalis dan sacralis, tempat serbaut-
serabut tersebut bersinaps dengan sel eksitator. Serabut postganglionik
meninggalkan truncus symphaticus sebagai rami communicantes grisea yang
bersatu dengan nervi lumbales, nervi sacrales, dan nervus coccygeus.
3. Serabut preganglionik mungkin berjalan melalui ganglia pada bagian
thoracal truncus symphaticus tanpa bersinaps. Serabut-serabut bermielin ini
membentuk tiga buah nervi splanchnici. Nervus splanchnicus major berasal
dari ganglia thoracica ke lima sampai sembilan, menembus diaphragma, dan
bersinaps dengan sel-sel eksitator di dalam ganglia coeliaca. Nervus
splanchnicus minor berasal dari ganglia thoracica ke sepuluh dan sebelas,
menembus diaphragma, dan bersinaps dengan sel-sel eksitator di dalam
ganglia coeliaca bagian bawah. Nervus splanchnicus imus berasal dari
ganglion thoracica kedua belas, menembus diaphragma, dan bersinaps
dengan sel-sel eksitator pada ganglia renalia. Oleh karena itu nervi
sphlanchnici terdiri atas serabut-serabut preganglionik. Serabut-serabut
postganglionik berasal dari sel-sel eksitator di dalam ganglia yang telah
disebutkan, dan tersebar ke otot-otot polos dan kelenjar pada visera.
Beberapa serabut preganglionik yang berjalan di dalam nervus splanchnicus
major berakhir langsung pada sel-sel di medulla suprarenalis. Sel-sel medula
ini dapat dianggap sebagai modifikasi sel-sel eksitator simpatis.
b. Serabut saraf aferen
Serabut aferen bermielin berjalan dari visera melalui ganglia simpatik tanpa
bersinaps. Serabut-serabut tersebut masuk ke saraf spinalis melalui rami
communicantes alba dan mencapai badan selnya dalam ganglion sensorium
nervi spinalis yang sesuai. Axon sentral kemudian masuk ke medulla spinalis
dan mungkin membentuk komponen aferen lengkung refleks lokal. Serabut yang
lain berjalan ke atas sampai ke pusat otonom yang lebih tinggi di dalam otak
(Snell, 2006).
Bagian parasimpatis sistem otonom
Aktivitas bagian parasimpatsis sistem otonom bertujuan untuk menyimpan dan
memulihkan tenaga. Laju denyut jantung melambat, pupil berkonstriksi, gerakan
peristaltik dan aktivitas kelenjar keringat meningkat, otot-otot sphincter membuka, serta
dinding kandung kemih berkontraksi (Snell, 2007).
a. Serabut saraf eferen
Konektor pada bagian parasimatis susunan saraf otonom terletak di
dalam batang otak dan segmen sakralis medulla spinalis. Sel-sel penghubung di
dalam batang otak ini membentuk sebagian nuclei yang merupakan asal dari
saraf otak III, VII, IX, dan X, dan axonnya bagian-bagian otak yang
mengandung saraf kranial yang sesuai.
Sel-sel penghubung sacral didapatkan pada substansi grisea segmen
sacralis kedua, ketiga dan keempat medula spinalis. Sel-sel ini tidak cukup
banyak untuk membentuk cornu lateral substansia grisea seperti sel-sel
penghubung pada daerah thoracolumbal. Axon bermielin meninggalkan medulla
spinalis di dalam radix anterior saraf spinalis yang sesuai, kemudian
meninggalkan nervus sacralis, dan membentuk nervus splanchnicus pelvicus.
Semua serabut eferen yang telah dijelaskan adalah serabut preganglionik,
yang bersinaps dengan sel eksitator di dalam ganglia perifer, yang biasanya
terletak dekat dengan visera yang dipersarafi. Serabut preganglionik kranial
bersinaps di ganglion ciliare, pterygopalatinum, submandibulare, dan oticum.
Serabut preganglionik di dalam nervus splanchnicus pelvicus berhenti pada
ganglia yang terdapat plexus hypogastricus atau dinding visera. Yang khas,
serabut postganglionik tidak bermielin dan relatif pendek bila dibandingkan
dengan serabut post ganglionik simpatis.
b. Serabut saraf aferen
Serabut –serabut aferen bermielin berjalan dari visera ke badan selnya
yang terletak didalam ganglion sensorium nervi cranialis atau ganglion
sensorium nervi sacrales. Axon sentralnya kemudian masuk ke susunan saraf
pusat dan ikut berperan dalam pembentukan lengkung refleks lokal atau berjalan
ke pusat susunan saraf otonom yang lebih tinggi.
Komponen aferen susunan saraf otonom identik dengan komponen
aferen susunan saraf somatik, dan membentuk sebagian segmen aferen umum di
seluruh sistem saraf. Ujung-ujung saraf komponen aferen otonom tidak dapat
diaktifkan oleh sensasi seperti panas atau raba, tetapi diaktifkan oleh regangan
atau kekurangan oksigen. Setelah serabut aferen masuk ke dalam medula
spinalis atau otak, serabut-serabut tersebut berjalan bersama-sama atau
bercampur dengan serabut aferen somatik (Snell, 2006).
D. TRAUMA SPINAL
E. TRAUMA CERVICAL
E.1 DEFINISI
Trauma servikal adalah cedera pada tulang belakang yang mengenai servikal
akibat trauma sehingga menyebabkan kerusakan fungsi neurologis seperti fungsi
motorik dan sensorik (syamsuhidajat).
E.2 ETIOLOGI
Cedera servikal paling sering disebabkan oleh benturan kuat, kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian atau trauma pukulan di kepala. Atlet yang terlibat dalam
olahraga impact, atau berpartisipasi dalam olahraga memiliki resiko jatuh akibat
benturan di leher (ski, menyelam, sepak bola, bersepeda) terkait dengan cedera
servikal.
Gambar 1. Penyebab cedera servikal
E.3 EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan bahwa di Amerika Utara sekitar 14.000 cedera tulang belakang
terjadi setiap tahun. Kecelakaan merupakan penyebab kematian terbanyak ke-4 di
Amerika Serikat, setelah penyakit jantung, kanker, dan stroke, dengan jumlah kematian
50 kasus per 100.000 populasi setiap tahunnya. Cedera medula spinalis, cenderung
terjadi pada populasi laki-laki usia muda. Dengan perbandingan 3-20 kali lebih sering
dibanding pada perempuan.
E.4 KLASIFIKASI
Meskipun ada banyak c1assifications dari cedera tulang belakang servikal akut,
mekanisme seharusnya cedera merupakan dasar yang paling umum untuk c1assification
tersebut. sebuah c1assification cedera dari servikal tulang belakang disajikan dalam
tabel 1 :
Tabel 1. Klasifikasi trauma servikal
Klasifikasi Narrowing sagittal diameter of spinal canal
Distractive hyperflexion
a. hyperflexion sprain
b. unilateral facet interlocking
c. bilateral facet interlocking
Compressive hyperflexion
a. hyperflexion fracture dislocation
b. tear-drop fracture
Distractive hyperextension
a. hyperextension dislocation
- hyperextesion sprain
Compressive hyperextension
b. hyperextension fracture dislocation
Axial compression
a. wedge-like fracture of vertebral body
b. burst fracture
none
moderate
usually severe
usually severe
often severe
common
temporary, sometimes severe
commonly not
none
varying, usually severe
Gambar 2. Mekanisme kompresi pada cedera servikal
Gambar 3. Mekanisme Hiperfleksi kompresi
Gambar 4. Mekanisme hiperekstensi distraktif
Gambar 5. Mekanisme hiperekstensi kompresi
Gambar 6. Fraktur kompresi
Klasifikasi lainnya juga dapat digunakan untuk mengklasifikasikan trauma spinal :
1. Compression : Vertebral body fracture, Disc herniation, Epidural hematoma,
Displacement of posterior wall of the vertebral body
Gambar 7. Trauma kompresi servikal
2. Flexion Injury : Tearing of interspinous ligaments, Disruption of capsular ligaments
around facet joints, Fracture of posterior elements, Disruption of posterior ligaments,
dan Often unstable fractures
Gambar 8. Trauma fleksi servikal
3. Extension Injury : Tearing of anterior longitudinal ligament, Separation of vertebral
bodies, Rupture of Disc, Avulsion of upper vertebral body from disc
Gambar 9. Trauma ekstensi servikal
4. Rotation : Associated with unilateral facet dislocation
Gambar 10. Trauma rotasi servikal
Gambar 11. Klasifikasi cedera servikal
E.5 MANIFESTASI KLINIS
Lesi saraf spinal dapat dibedakan menjadi lesi lengkap dan berbagai jenis lesi
tidak lengkap :
E.5.1 Komplit Lesi
Pada tahap akut lesi lengkap ada total kelumpuhan flaccid dengan kehilangan
total refleks tendon dan kepekaan di bawah tingkat cedera. The cremasteryc, sfingter
ani, dan bulbocavernusos refiexes dapat bertahan selama beberapa waktu setelah cedera
dan kemudian menghilang. Respon plantar flexion yang sering tidak ada atau bentuk
flexorvariant dengan berkepanjangan Interval antara stimulus dan respon. Atau,
mungkin bertahan selama beberapa jam setelah cedera atau muncul kembali setelah 1
hari atau lebih biasanya hanya menghilang lagi dan memberi jalan kepada plantar
ekstensor respon.
Cl ke C4. Dengan lesi spinal di CI ke tingkat C4, diafragma lumpuh sebagai
akibat dari gangguan dari persarafan segmental saraf frenikus. Karena semua otot
pernafasan bawah lintang yang juga lumpuh, lesi pada tingkat ini akan menyebabkan
kematian dalam waktu singkat kecuali nafas buatan diterapkan dengan segera.
Di bawah C4. Pada tahap akut cedera bawah C4, fungsi tingkat diafragma
biasanya terganggu, tapi dapat pulih. Lengan pasien lumpuh dan bahu yang digerakkan
oleh aksi dari otot levator skapula dan otot trapezius. Leher dan daerah aspek anterior
lengan atas sensasi normal. seluruh tubuh memiliki gangguan sensibilitas complet.
Di bawah C5. Pasien dengan lesi di bawah C5 mungkin juga perlu pernapasan
buatan. Ketika cedera tindakan seperti bahu ditinggikan, lengan diculik, dan lengan
tertekuk Perlu dilakukan karena tindakan tanpa hambatan dari deltoid, bisep, dan otot
brakialis. Kontraktur siku dengan mudah dapat terjadi , dan dengan demikian lengan
harus disimpan dalam posisi ekstensi dan tangan di abudction.
Di bawah C6. Dengan cedera bawah C6 biasanya fungsi pernafasan cukup untuk
bernapas spontan, trakeostomi dan ventilasi buatan jarang ditunjukkan. Tangan
menunjukkan penyimpangan radial karena aksi otot ekstensor karpi radialis tetapi
lumpuh.
Di bawah C7. Tangan dan jari ekstensor dan fiexors fungsional dalam kasus
cedera bawah C7 vertebra, tapi interosei dan Sorne melawan otot adalah berkurang
sekali kekuatannya. Hal ini biasanya menghasilkan tangan cakar. Sebagian besar pasien
mampu menulis, untuk makan sendiri, untuk mengetik setelah pelatihan yang memadai,
untuk duduk di kursi roda dengan keseimbangan yang baik, dan dapat bahkan
mengambil kegiatan atletik kursi roda.
E.5.2 Lesi Inkomplit
Ada berbagai jenis lesi servikal inkomplit. Beberapa sindrom klinis tampak
saling terkait dan ekstensi satu sama lain. Hal tersebut bukanlah seatu mekanisme yang
berbeda, namun merupakan perkembangan terus meningkat tergantung keparahan
cedera. Root syndrome adalah penampakan klinis yang paling serius.
Cord anterior Syndrome ditandai dengan kelumpuhan lengkap langsung dengan
hypesthesia dan hypalgesia bawah tingkat cedera, tetapi dengan keadaan yang sensitif,
gerak, posisi, dan getaran indera. Sindrom paling sering terlihat pada cedera
hyperflexion dari servikal yang keras dan juga kadang-kadang cedera dada.
Cord pusat Syndrome ditandai dengan tidak proporsionalnya penurunan fungsi
motorik yang lebih besar di ektremitas atas daripada ekstremitas bawah. Mungkin ada
disfungsi kandung kemih dan bervariasi derajat loos sensorik. Dalam varian ringan dari
sindrom, paresis dari lengan atau tangan dikombinasikan dengan kelemahan pada kaki;
dalam varian parah lengan atau tangan yang lumpuh dan kaki yang paretic. Pada pasien
dengan tipe yang terakhir mungkin ada gangguan sensorik yang melibatkan semua
modalitas, dan retensi urine. selalu presentasikan Bentuk sindrom adalah terutama
terlihat pada cedera hiperekstensi, tapi mungkin juga terjadi pada cedera hiperfleksi
Sindroma Brown-Sequard : Pada bentuk yang murni, menunjukkan akibat dari
hemiseksi kord spinal. Defisit neurologis berupa hilangnya fungsi motor ipsilateral,
sensasi vibrasi dan posisi. Sebagai tambahan, sensasi nyeri serta suhu kontralateral
hilang. Luka tembus dan peluru dapat menimbulkan sindroma Brown-Sequard
'lengkap', namun manifestasi tak lengkap sindroma ini tampak dengan berbagai ragam
pada lesi lain, termasuk trauma dan neoplasma.
E.6 PATOFISIOLOGI
Cedera dari tulang belakang leher dapat disebabkan Oleh kekuatan langsung
atau tidak langsung. Kekuatan langsung, seperti dari objek yang memukul jatuh leher
relatif jarang. Mereka bertindak secara langsung pada vertebra. Biasanya, hasilnya
adalah fraktur dari Prosesus spinosus atau lengkungan tulang belakang. Lesi yang
dihasilkan dari kekuatan tidak langsung disebabkan oleh pergerakan tulang belakang
yang melampaui jangkauan fisiologis. Hyper (Ante) fleksi hasil kompresi dari tulang
belakang tubuh atau dictraction discus elemen posterior. Hiperekstensi (kadang-
kadang diindikasikan sebagai hyperretroflexion atau hyperdeflexion) menghasilkan
fraktur kompresi keras dan merobek dari longitudinal ligament anterior. Hiperfleksi
lateral dan hyperrotation juga memainkan bagian dalam cedera tulang belakang
servikal. Kombinasi dari gerakan berlebihan bisa terjadi ,seperti hiperfleksi dan
kompresi aksial atau gangguan aksial yang bertindak untuk melukai servikal tulang
belakang. Kombinasi ini menentukan jenis cedera untuk tulang belakang leher.
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:
1. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan hematoma. Yang
paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus
vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfl eksi. Toleransi medula
spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.
3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu aliran darah
kapiler dan vena.
4. Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat kompresi
tulang.
E.6.1 Kerusakan Primer
Ada setidaknya 4 mekanisme penyebab kerusakan primer: (1) gaya impact dan
kompresi persisten, (2) gaya impact tanpa kompresi, (3) tarikan medula spinalis, (4)
laserasi dan medula spinalis terpotong akibat trauma. Sel neuron akan rusak dan
kekacauan proses intraseluler akan turut berdampak pada selubung mielin di dekatnya
sehingga menipis; transmisi saraf terganggu, baik efek trauma ataupun oleh efek massa
akibat pembengkakan daerah sekitar luka. Kerusakan substansia grisea akan ireversibel
pada satu jam pertama setelah trauma, sementara substansia alba akan mengalami
kerusakan pada 72 jam setelah trauma.
Gambar 12. Mekanisme cedera primer saraf servikal
E.6.2 Kerusakan Sekunder
Kerusakan primer merupakan sebuah nidus atau titik awal terjadinya kerusakan
sekunder. Kerusakan sekunder disebabkan, antara lain, oleh syok neurogenik, proses
vaskular, seperti perdarahan dan iskemia, eksitotoksisitas, lesi sekunder yang dimediasi
kalsium, gangguan elektrolit, kerusakan karena proses imunologi, apoptosis, gangguan
pada mitokondria, dan proses lain.
Gambar 12. Mekanisme cedera sekunder saraf servikal
E.6.3 Proses Imunologi Pada Kerusakan Sekunder
Sel glia berfungsi menjaga proses homeostasis melalui regulasi asam amino eksitatorik
dan derajat keasaman (pH). Sel glia menghasilkan berbagai macam growth factor untuk
menstabilkan kembali jaringan saraf yang rusak, serta sprouting atau penyebaran ujung
saraf; sel glia lain berfungsi menghilangkan debris atau sisa sel melalui enzim lisosom.
Leukosit mempunyai peran bifasik saat trauma, awalnya didapatkan predominasi infl
itrasi neutrofi yang melepaskan enzim lisis yang akan mengeksaserbasi kerusakan sel
saraf, sel glia, dan vaskular, tahap berikutnya adalah proses rekruitmen dan migrasi
makrofag yang akan memfagositosis sel rusak. Proses rekrutmen sel imun pada lokasi
trauma dimediasi oleh berbagai golongan protein, seperti ICAM-1 (intercellular
adhesion molecule-1). Protein ini akan memodulasi infi ltrasi neutrofi l pada lokasi
trauma; penggunaan antibodi monoklonal ICAM-1 pada percobaan dapat mensupresi
mieloperoksidase, mengurangi edema medula spinalis, dan meningkatkan aliran darah
medula spinalis. Molekul protein sejenis yang berfungsi mirip ICAM-1 antara lain P-
selektin, sitokin interleukin-1, interleukin-6, and tumor necrosis factor (TNF),
sedangkan interleukin-10 mampu mengurangi TNF yang akan menurunkan juga
monosit dan sel imun lain pascatrauma. Faktor lain yang masih perlu dipahami lebih
lanjut adalah aktivasi faktor kappa-B; faktor nuklear kappa-B merupakan kelompok gen
yang meregulasi proses infl amasi, proliferasi, dan kematian sel. Proses modulasi
respons imun pada trauma medula spinalis merupakan sasaran target terapi kerusakan
sekunder.
E.6.4 Apoptosis
Apoptosis dicetuskan banyak faktor, seperti sitokin, infl amasi, radikal bebas,
dan proses eksitotoksik. Apoptosis mikroglia menyebabkan respons sekunder trauma,
apoptosis oligodendrosit mengakibatkan demielinisasi pascatrauma pada beberapa
minggu berikutnya, apoptosis neuron akan mengakibatkan hilangnya sel saraf. Proses
apoptosis melalui dua jalur, jalur pertama ekstrinsik yang dimediasi oleh ligan Fas dan
reseptor Fas dan inducible. nitric oxide synthase (i-NOS) yang diproduksi makrofag,
sedangkan jalur intrinsik lewat aktivasi proenzim kaspase-3 oleh rusaknya mitokondria,
sitokrom-C, dan kaspase-9; studi menggunakan inhibitor kaspase dapat mencegah
kematian sel. Reseptor apoptosis dipengaruhi oleh tumor necrosis factor (TNF). Tumor
necrosis factor meningkat pascatrauma
dan mengaktifkan reseptor Fas di sel saraf, mikroglia, dan oligodendrosit yang akan
mengaktifkan pula beberapa kaspase, seperti kaspase-8 sebagai inducer, kaspase 3 dan 6
sebagai kaspase efektor. Produksi i-NOS mengaktifkan kaspase dengan cara yang
serupa dengan TNF.
E.7 DIAGNOSIS
E.7.1 Anamnesis
Riwayat trauma merupakan hal yang perlu diketahui. Trauma meliputi posisi,
waktu, yang terjadi setelah trauma dan keluhan yang dirasakan pasien.
E.7.2 Pemeriksaan Fisik
Adanya defisit neurologis merupakan tanda adanya gangguan pada spinal.
E.7.3 Foto Polos
Foto polos merupakan imejing dasar pada pasien yang dicurigai menderita
cedera servikal. Indikasi dilakukannya foto polos servikal antara lain adalah nyeri lokal,
deformitas, krepitus, edema, perubahan status mental, disfungsi neurologis, cedera
kepala dan multipel trauma. Serial foto servikal lengkap terdiri dari foto lateral,
anteroposterior, open mouth view, dan oblique film. Pillar view, swimmer’s view, dan
studi dinamik merupakan foto tambahan yang perlu dipertimbangkan untuk
mendapatkan evaluasi yang penuh dari cedera (Gofar.
Gambar xx. Hubungan normal dari servikal lateral. 1,prosesus spinosus; 2,spinolaminar line; 3,posterior vertebral body line; 4,anterior vertebral body line.
Gambar xx. Lateral View. 1) Anterior vertebral line 2) Posterior vertebral line 3) Spinolaminal line 4) Interspinous line.
Foto lateral digunakan untuk menilai allignment tulang servikal, kelainan tulang,
kelainan diskus intervertebralis, dan jaringan lunak. Temuan seperti swelling
prevertebra dapat menjadi temuan satu-satunya pada pasien cedera akut. Foto
anteroposterior, walaupun berguna untuk evaluasi lima vertebra servikal bagian bawah
dan vertebra torakal atas; memiliki keterbatasan karena bayangan yang bertumpang
tindih dengan mandibula dan occiput.
E.7.4 CT-Scan
Pada saat ini CT scan merupakan metode pilihan untuk melakukan evaluasi
trauma spinal akut. Dengan CT scan, tulang vertebra dapat divisualisasikan dengan
sangat baik, pecahan tulang kecil yang masuk ke kanalis spinalis dapat dinilai dengan
baik. Hal ini sangat berguna pada evaluasi fraktur C1-2 oleh karena subtipe fraktur
sangat sulit dilakukan dengan menggunakan foto polos saja.
E.7.4 Angiografi
Dengan perkembangan teknik CT angiography (CTA) dan MR angiography
(MRA), visualisasi sttuktur vaskular kini dapat dinilai dengan lebih baik dan semakin
non invasi dibandingkan dengan angiografi tradisional. MRA direkomendasikan oleh
beberapa penulis, tetapi teknik ini memiliki kelemahan dalam mendeteksi spasme dan
pecahan tulang kecil.
E.8 TATALAKSANA
Penatalaksanaan TMS dimulai segera setelah terjadinya trauma. Berbagai studi
memperlihatkan pentingnya penatalaksanaan prarumah sakit dalam menentukan
prognosis pemulihan neurologis pasien TMS.
E.8.1 Evaluasi
Fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder. Observasi primer terdiri
atas:
A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B: Breathing dan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan
D: Disabilitas (status neurologis)
E: Exposure/environmental control
Klasifi kasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level trauma
dapat diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan motorik
dilakukan secara cepat dengan meminta pasien menggenggam tangan pemeriksa dan
melakukan dorsofl eksi. Fungsi autonom dinilai dengan melihat ada tidaknya retensi
urin, priapismus, atau hilang tidaknya tonus sfi ngter ani. Temperatur kulit yang hangat
dan adanya fl ushing menunjukkan hilangnya tonus vaskuler simpatis di bawah level
trauma
E.8.2 Medikamentosa
Selain faktor mekanik yang merusak fungsi medula spinalis, perfusi jaringan dan
oksigenasi juga mempengaruhi luasnya kerusakan akibat stres mekanik. Proses lain
yang terjadi di daerah trauma dapat berupa edema, perdarahan, degenerasi akson,
demielinisasi, juga dapat mengubah bioenergetik seluler.5,10 Pada tingkat seluler,
terjadi peningkatan kadar asam amino eksitatorik, glutamat, produksi radikal bebas,
opioid endogen serta habisnya cadangan ATP yang pada akhirnya menyebabkan
kematian sel.
Bertambahnya pemahaman fi siologi trauma medula spinalis akan menambah
pilihan terapi farmakologi. Terapi farmakologi, seperti kortikosteroid, 21-amino steroid,
antagonis reseptor opioid, gangliosida, thyrotropinreleasing hormone (TRH),
antioksidan, kalsium, termasuk golongan imunomodulator, sedang diteliti; semuanya
memberikan hasil baik namun sampai saat ini baru kortikosteroid yang secara klinis
bermakna.
E.8.3 Terapi kerusakan primer
Trauma medula spinalis paling sering menimbulkan syok neurogenik yang
berhubungan dengan beratnya trauma dan level kerusakan yang terjadi. Pada awalnya,
akan terjadi peningkatan tekanan darah, detak jantung serta nadi, dan kadar katekolamin
yang tinggi, diikuti oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi lebih ditujukan untuk
mencegah hipoperfusi sistemik yang akan memperparah kerusakan medula spinalis,
menggunakan vasopresor; namun, penggunaan vasopresor ini harus diimbangi dengan
pemantauan status cairan karena penggunaan vasopresor yang berlebihan justru akan
membuat vasokonstriksi perifer yang akan menurunkan aliran darah ke perifer.
E.8.4 Terapi kerusakan sekunder
Merupakan sasaran terapi berikutnya karena hal ini akan memperburuk keluaran
(outcome) apabila tidak dilakukan intervensi farmakologis yang tepat mengingat patofi
siologi yang sangat variatif.1
E.8.5 Kortikosteroid
Steroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid,
mensupresi edema vasogenik dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis,
menghambat pelepasan endorfi n dari hipofi sis, dan menghambat respons radang.
Penggunaannya dimulai tahun 1960 sebagai antiinfl amasi dan antiedema.
Metilprednisolon menjadi pilihan dibanding steroid lain karena kadar antioksidannya,
dapat menembus membran sel saraf lebih cepat, lebih efektif menetralkan faktor
komplemen yang beredar, inhibisi peroksidasi lipid, prevensi iskemia pascatrauma,
inhibisi degradasi neurofi lamen, menetralkan penumpukan ion kalsium, serta inhibisi
prostaglandin dan tromboksan. Studi NASCIS I (The National Acute Spinal Cord Injury
Study) menyarankan dosis tinggi sebesar 30 mg/kgBB sebagai pencegahan peroksidasi
lipid, diberikan sesegera mungkin setelah trauma karena distribusi metilprednisolon
akan terhalang oleh kerusakan pembuluh darah medula spinalis pada mekanisme
kerusakan sekunder. Penelitian NASCIS II membandingkan metilprednisolon dosis 30
mg/kgBB bolus IV selama 15 menit dilanjutkan dengan 5,4mg/kgBB/jam secara infus
selama 23 jam berikutnya dengan nalokson (antireseptor opioid) 5,4 mg/kgBB bolus IV,
dilanjutkan dengan 4 mg/kgBB/ jam secara infus selama 23 jam. Hasilnya,
metilprednisolon lebih baik dan dapat digunakan sampai jeda 8 jam pascatrauma. Pada
NASCIS III, metilprednisolon dosis yang sama diberikan secara infus sampai 48 jam
ternyata memberikan keluaran lebih baik dibanding pemberian 24 jam. Selain itu,
dicoba pula tirilazad mesilat (TM), yakni inhibitor peroksidasi lipid nonglukokortikoid,
dan ternyata tidak lebih baik dibanding metilprednisolon. Terapi ini masih
kontroversial; studi terbaru mengatakan belum ada studi kelas 1 dan 2 yang mendasari
terapi ini, serta ditemukan efek samping berupa perdarahan lambung, infeksi, sepsis,
meningkatkan lama perawatan di intensive care unit (ICU), dan kematian.
E.8.6 21-Aminosteroid (Lazaroid)
21-aminosteroids atau U-74600F (tirilazad mesilat [TM]) bekerja dengan
mengurangi proses peroksidasi lipid melalui perantaraan vitamin E. Efek lainnya adalah
mengurangi enzim hidroksi peroksidase serta menstabilkan membran sel, namun
penggunaannya masih belum terbukti menghasilkan keluaran yang lebih baik.
E.8.7 GM-1 Gangliosid
Merupakan asam sialat yang mengandung glikolipid pada membran sel.
Glikolipid ini berperan meningkatkan neuronal sprout dan transmisi sinaptik.
Monosialotetraheksosil gangliosid (GM-1 gangliosid) memiliki fungsi faktor
pertumbuhan neurit, menstimulasi pertumbuhan sel saraf, serta meregulasi protein
kinase C untuk mencegah kerusakan sel saraf pascaiskemia. Pada percobaan, dilakukan
terapi 72 jam pascatrauma dan dimulai dengan dosis 100 mg/hari. Studi terbaru
menyatakan masih kurang bukti ilmiah terkait obat ini.
E.8.8 Antagonis opioid
Opioid endogen memperparah kerusakan sekunder. Penggunaan nalokson
sebagai antagonis opioid pada NASCIS II menunjukkan hasil tidak lebih baik dibanding
metilprednison. Penggunaan obat satu golongan namun beda titik tangkap, yaitu
golongan antagonis reseptor kappa (seperti dinorfi n dan norbinaltorfi min) pada hewan
coba berhasil baik; diduga berefek pada perbaikan sirkulasi pembuluh darah,
pengurangan infl uks kalsium, peningkatan kadar magnesium, serta modulasi pelepasan
asam amino eksitatorik. Namun, belum dilakukan uji klinis lanjutan. Opioid endogen
akan menginhibisi sistem dopaminergik dan depresi sistem kardiovaskuler. Pemberian
antagonis opioid dapat mencegah hipotensi sehingga mikrosirkulasi medula spinalis
membaik.
E.8.9 Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH) dan Analog TRH
Thyrotropin-releasing hormone (TRH) adalah tripeptida yang mempunyai fungsi
melawan faktor-faktor pengganggu, seperti opioid endogen, platelet activating factor,
peptidoleukotrien, dan asam amino eksitatorik, sehingga akan menguatkan aliran darah
spinalis, memperbaiki keseimbangan elektrolit dan mencegah degradasi lipid.
Pemberian thyrotropin-releasing hormone intravena bolus 0,2 mg/kgBB diikuti 0,2
mg/kgBB/jam infus sampai 6 jam, dikatakan memberikan hasil baik, terutama perbaikan
motorik dan sensorik sampai 4 bulan setelah injury.
E.8.10 Penyekat Kanal Kalsium
Peranan kalsium pada kematian sel melalui mekanisme efek neurotoksik,
vasospasme arteri, blokade kanal natrium serta NMDA dan AMPA; obat yang dipakai
adalah nimodipin,
golongan lainnya adalah benzamil dan bepridil merupakan antagonis ion kalsium dan
natrium. Nimodipin adalah golongan penyekat kanal kalsium dihidropiridin, sering
dipakai pada kasus stroke, memiliki fungsi blokade kanal ion kalsium sehingga
mencegah akumulasi ion kalsium intrasel terutama pada dinding sel endotel pembuluh
darah, oleh karena itu dianggap dapat mencegah vasospasme dan iskemi post trauma,
dibuktikan dengan efeknya pada aliran darah di percobaan laboratorium; namun klinis
masih belum terbukti mampu meningkatkan keluaran pascatrauma karena diduga ada
keterlibatan kanal ion lain. Infl uks kalsium terjadi dalam hitungan detik pascatrauma
sehingga jendela terapeutiknya sempit; beberapa studi menunjukkan bahwa peningkatan
dosis justru malah memperjelek aliran darah regional menyebabkan hipoperfusi dan
iskemia. Karena itu, dosis terapeutiknya juga sempit dan penggunaannya selektif.
E.8.11 Magnesium
Gangguan homeostasis magnesium terjadi pada trauma sekunder. Pada tikus
dengan onset 30 menit pascatrauma, dosis tinggi MgSO4 600 mg/kgBB mempunyai
efek baik dengan evaluasi somatosensory evoked potential dan mempunyai efek
mencegah peroksidase lipid, namun untuk memastikan efek pada kondisi klinis
sesungguhnya masih dibutuhkan serangkaian uji klinis pada manusia.
E.8.12 Penyekat Kanal Natrium
Selain kalsium didapatkan penumpukan ion natrium intrasel pascatrauma. Efek
obat ini adalah sebagai anestesi lokal, antiaritmia, dan antikonvulsi dengan tujuan
melindungi sel pascatrauma. Studi in vivo menggunakan tetrodotoksin dan golongan
lain, seperti QX- 314, masih belum menunjukkan efek yang diharapkan, begitu pula
penggunaan riluzol oleh Schwartz dan Fehlings masih belum menghasilkan perbaikan
klinis.
E.8.13 Modulasi metabolisme asam arakidonat
Perubahan asam arakhidonat menjadi tromboksan, prostaglandin, dan leukotrien
akan berefek menurunkan aliran darah, agregasi trombosit sehingga menimbulkan
iskemia. Obat yang dapat memblokade enzim COX dianggap dapat bermanfaat.
Prostasiklin yang merupakan hasil metabolisme asam arakidonat memiliki efek berbeda,
yaitu vasodilatasi dan menghambat agregasi trombosit. Penggunaan naloxon digabung
dengan indomethacin dan prostasiklin yang dimulai 1 jam pascatrauma memiliki efek
lebih meng untungkan dibandingkan dengan naloxon sendiri. Studi lain menggunakan
ibuprofen, meclofenamat (NSAID dan COX-inhibitor) dengan prostasiklin analog
(iloprost) me nunjukkan manfaat terhadap aliran darah.
E.9 Penatalaksanaan Gawat Darurat
E.9.1 Stabilisasi vertebra
Instabilitas vertebra berisiko merusak saraf. Vertebra servikal dapat
diimobilisasi sementara menggunakan hard cervical collar dan meletakkan bantal pasir
pada kedua sisi kepala. Bila terdapat abnormalitas struktur vertebra, tujuan
penatalaksanaan adalah realignment dan fi ksasi segmen bersangkutan. Indikasi operasi
meliputi fraktur tidak stabil, fraktur yang tidak dapat direduksi dengan traksi, gross
spinal misalignment, kompresi medula spinalis pada trauma inkomplet, penurunan
status neurologis, dan instabilitas menetap pada manajemen konservatif.
E.9.2 Pemulihan Stabilitas Spinal
Pemulihan stabilitas spinal adalah penting untuk meminimalisasi risiko cedera
sekunder dan memungkinkan mobilisasi dini dari pasien dan oleh karena itu
mengurangi risiko yang berhubungan dengan tirah baring jangka panjang.
E.10 Eksternal Orthoses
Imobilisasi eksternal dari spinal servikal terdiri dari ‘servikal collar’ yang terdiri
dari berbagai desain, poster type orthoses, cervicothoracic devices termasuk Minerva-
type braces, dan halo orthosis. Servikal collar terdiri dari soft collar Philadelphia,
Miami J, Aspen, Newport, dan berbagai jenis tipe rigid collar. Soft collar memberikan
perlindungan yang minimal dan restriksi pergerakan yang sangat sedikit sehingga
peranannya pada manajemen trauma sangatlah terbatas. Poster type orthoses terdiri dari
orthoses tipe Guilford dan sternaloccipital- mandibular immobilization (SOMI).
Perlengkapan ini memberikan immobilisasi yang yang lebih baik dari servikal collar
tetapi jarang dapat diaplikasikan pada setting trauma akut.
Gambar xx. Orthosis dan cast
Gambar xx. Servikal orthosis
Gambar xx. Traksi gartner well
Halo vest merupakan alat yang paling dapat diandalkan untuk mengontrol
pergerakan spinal servikal dan merupakan peralatan standar pada cedera servikal. Halo
vest dapat membatasi fleksi dan ekstensi, rotasi aksial, dan fleksi lateral dari servikal
atas, dimana level ini jarang dapat terlindungi dengan peralatan lain;dengan
kemampuannya membatasi pergerakan mulai occiput sampai C3, halo vest
direkomendasikan secara umum untuk terapi fraktur dislokasi axis, fraktur odontoid,
fraktur kombinasi C1-2 dan juga sebagai immobilisasi pasca operasi. Penggunaan halo
vest lebih terbatas pada kelompok pediatrik dimana ketebalan tulang tengkorak dan
penggunaan pin dapat menjadi potensi permasalahan.
Gambar xx. Posisi pin pada tengkorak dan halo vest
E.11 Stabilisasi Pembedahan
Waktu yang tepat untuk dilakukannya intervensi pembedahan pada konteks
fraktur dislokasi servikal masih merupakan isu kontroversial. Pasien yang menunjukkan
defisit neurologis complete setelah beberapa jam atau lebih setelah cedera nampaknya
kemungkinanuntuk pulih kecil. Hampir semua ahli sependapat bahwa intervensi
pembedahan adalah pada pasien yang tidak stabil yang secara progresif menunjukkan
defisit neurologis. Pada pasien yang stabil, pemilihan waktu yang tepat untuk
dilakukannya dekompresi menjadi kurang jelas. Alasan perlunya dekompresi dini
adalah untuk meminimalisasi cedera sekunder dengan meningkatkan perfusi,
mengurangi distorsi anatomi, dan mengembalikan sirkulasi cairan serebrospinal yang
optimal. Namun beberapa ahli yang tidak setuju dengan dekompresi dini mengajukan
argementasi bahwa medula spinalis yang mengalami cedera lebih rentan terhadap
manipulasi dan perubahan hemodinamik yang dapat terjadi pada intervensi pembedahan
dini, dan risiko pembedahan merupakan penyebab morbiditas yang potensial. Teknik
Pembedahan yang digunakan adalah Anterior Cervical Decompression , Fusion And
Instrumentation
Gambar xx. Odontoid screw fixation untuk fraktur odontoid
Gambar xx. Arthrodesis posterior C1-2 secara tipikal dilakukan dengan fiksasi
screw dan bone graft
E.13 KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada trauma servikal :
1. Syok neuogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang desending
pada medulla spinalis..
2. Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah terjadinya
cedera medulla spinalis.
3. Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil dari
cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah srvikal bawah atau
torakal atas.
4. Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut , keringat banyak, kongesti nasal,
bradikardi dan hipertensi.
E.14 SYOK NEUROGENIK
Definisi
Syok neurogenik dideskripsikan sebagai kehilangan mendadak dari tonus
autonom karena cedera dari medua spinalis. Gangguan jalur descendens simpatis
mengakibatkan hilangnya tonus vagal pada otot polos vaskular, yang menyebabkan
penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dan vasodilatasi (Mack, 2013).
Epidemiologi
Hilangnya tonus simpatis, sehingga shock neurogenik, yang paling umum ketika tingkat
cedera di atas T6. Selain itu, syok neurogenik dapat terjadi kapan saja setelah timbulnya
cedera atau sakit, mulai dari waktu pertama muncul sampai beberapa minggu setelah
onset. Tidak ada penelitian pada manusia mendokumentasikan perubahan hemodinamik
yang terjadi setelah SCI akut pada anak-anak, dan kejadian syok neurogenik pada anak
dengan SCI tidak diketahui. Namun, laporan menunjukkan di mana saja 50-90% orang
dewasa dengan SCI serviks memerlukan resusitasi cairan dan infus vasoaktif untuk
mencapai parameter dewasa yang direkomendasikan (MAP> 85-90 mm Hg selama 7
hari) oleh Kongres pedoman Ahli Bedah Neurologi 'untuk pengelolaan SCI. Orang
dewasa dengan SCI lebih tinggi (C1-C5) mungkin lebih mungkin untuk memerlukan
intervensi kardiovaskular, seperti agen vasoaktif atau pacu jantung, daripada SCI rendah
(C6-C7) (Mack, 2013).
Patofisiologi
Sistem saraf simpatis mengatur denyut jantung dan kontriksi pembuluh darah
dengan mensekresikan catecolamine (epinefrin dan norepinefrin) ke dalam pembuluh
darah. Ketokolamin ini, dibawah kondisi normal, mempertahankan pembuluh darah
berkontriksi sebagian untuk perfusi yang adekuat. Ketika tekanan arteri rendah,
baroreseptor yang terletak di sinus carotis dan arkus aorta, mengirim pesan ke otak
melalui sistem saraf. Otak kemudian mengirim pesan melalui sistem saraf simpatis ke
medula adrenal, menyebabkan peningkatan produksi ketokolamin.
Pada syok neurogenik, fungsi normal sistem saraf simpatis terganggu, respon
kompensasi normal tubuh terhadap syok tidak terjadi. Cedera medula spinalis
menyebabkan dilatasi pembuluh darah yang disuplai oleh nervus spinalis distal dari
cedera, menghasilkan penurunan resistensi vaskular sistemik, hipotensi dan hilangnya
kontrol suhu tubuh (Rahm, 2005).
Pada syok ini terjadi vasovagal berlebihan yang menyebabkan vasodilatasi
menyeluruh di regio splanknikus sehingga perdarahan otak berkurang. Reaksi vasovagal
umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut atau nyeri. Syok
neurogenik pada trauma terjadi karena hilangnya tonus simpatis, misalnya pada cedera
tulang belakang atau yang sangat jarang, cedera pada batang otak. Hipotensi pada
pasien dengan cedera tulang belakang disertai dengan pasokan oksigen yang cukup
karena curah jantung tinggi meskipun tekanan darahnya rendah (de Jong, 2014)
Syok neurogenik akibat dari cedera sumsum tulang belakang mengakibatkan
gangguan aliran otonom simpatik. Konsekuensi dari penurunan tonus adrenergik adalah
ketidakmampuan untuk meningkatkan kerja inotropik jantung dan konstriksi lemah dari
pembuluh darah perifer dalam menanggapi rangsangan excitational. Hilangnya tonus
vagal menghasilkan hipotensi dan bradikardi. Akibat dari vasodilatasi perifer kulit
menjadi hangat. Hipotermia dapat terjadi akibat tidak adanya regulasi otonom
vasocontriction redistribusi darah ke inti tubuh. Semakin tinggi tingkat cedera tulang,
semakin berat shock neurogenik, karena lebih banyak massa tubuh yang terputus dari
pengaturan simpatik. Syok neurogenik biasanya tidak terjadi jika cedera di bawah
tingkat T6 (Greenberg, 2005).
Manifestasi klinik
Tidak ada tes diagnostik yang pasti, tetapi secara klasik pasien menunjukkan
hipotensi dan bradikardia relatif. Bradikardia sering diperburuk oleh suction, buang air
besar, dan hipoksia. Kulit sering hangat dan memerah pada awalnya. Hipotermia dapat
berkembang karena vasodilatasi mendalam dan kehilangan panas. Seringkali tekanan
vena sentral rendah karena penurunan resistensi vaskular sistemik (Mack, 2013).
Karena syok neurogenik memblok kerja dari sistem saraf simpatis, ketokolamin
tidak dibebaskan ke pembuluh darah. Sehingga tanda klasik dari syok (seperti takikardi,
diaporesis) muncul.
Vasodilatasi menyebabkan kulit menjadi merah, hangat dan kering pada tingkat
dibawah cedera spinal. Bagaimanapun, bagian proksimal dari cidera, serat saraf
simpatis didaerah tersebut tetap utuh.
Denyut jantung lemah dan menurun, disebabkan oleh menurunnya epinefrin
disirkulasi dan selanjutnya efek sistem parasimpatis. Pasien dengan syok neurogenik
mempunyai laju pernafasan yang meningkat, jika cedera pada kolumna spinalis terjadi
pada regio servikal, paralisis dari diafragma, musculus intercostal, mungkin terjadi
(Rahm, 2005).
Tatalaksana
Penurunan resistensi pembuluh darah sistemik, menghasilkan suatu hipovolemia relatif
karena peningkatan kapasitas vena, dan pemberian cairan isotonik sering diperlukan.
Namun, hipotensi karena syok neurogenik sering refrakter terhadap resusitasi cairan.
Namun demikian, hipotensi pada pasien trauma tidak dapat diasumsikan karena syok
neurogenik awalnya, dan bisa menjadi tanda syok hemoragik. Dengan demikian, korban
trauma dengan hipotensi harus diperlakukan awalnya dengan cairan kristaloid (0,9%
natrium klorida, laktat ringer) atau koloid (albumin, produk darah) dan dievaluasi untuk
setiap kehilangan darah yang sedang berlangsung. Pasien harus diresusitasi memadai
dari perspektif hemodinamik sebelum menjalani operasi dekompresi tulang belakang.
Jika terdapat bradikardia, pasien mungkin berespon dengan atropin, glikopirolat,
atau infus vasoaktif dengan chronotropic, vasokonstriktor, dan inotropik lainnya seperti
dopamin atau norepinefrin. Isoproterenol juga dapat dipertimbangkan jika agen
chronotropic kuat diperlukan. Fenilefrin berpotensi menyebabkan refleks bradikardia,
tidak adanya aktivitas beta agonis, dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien
dengan bradikardia yang muncul sebagai bagian dari shock neurogenik.
Prognosis
Pasien dengan cedera medula spinalis servikal lebih cenderung untuk mengalami
syok neurogenik. Pasien dengan cedera medula spinalis torakolumbal umumnya tidak
mengalami syok neurogenik. Kehadiran syok neurogenik telah terbukti menyebabkan
keterlambatan dalam manajemen operasi, yang berpotensi memperburuk hasil juga.
Meskipun dianjurkan untuk menghindari dan mengobati hipotensi agresif, tidak
diketahui apakah hipotensi memperburuk hasil.
Syok neurogenik dapat bertahan selama 1-6 minggu setelah cedera. Dysreflexia
otonom, tekanan darah istirahat rendah, dan hipotensi ortostatik yang tidak biasa selama
fase kronis, sering muncul setelah syok neurogenik telah teratasi. Ketidakstabilan
otonom sering dimanifestasikan oleh hipertensi episodik, diaphoresis, dan takikardia.
Kesimpulannya, cedera tulang belakang terlepas dari mekanismenya dapat
menyebabkan syok neurogenik ditandai dengan kehilangan mendadak tonus otonom
yang mengakibatkan hipotensi dan bradikardia relatif. Lesi yang lebih tinggi dikaitkan
dengan defisit yang lebih parah. Vasokonstriktor perifer, chronotropik, dan inotropik
mungkin diperlukan dalam kasus-kasus syok neurogenik.
Hipotensi yang dihasilkan dari hilangnya tonus otonom dapat memicu cedera
iskemik sekunder lanjut ke sumsum tulang belakang, dan harus dikelola secara agresif.
Dysautonomia mungkin berkembang dan sering berlanjut beberapa minggu setelah
cedera.
Setiap pasien yang datang dengan kemungkinan cedera medula spinalis seharusnya
tulang belakang mereka diimobilisasi untuk mencegah cedera lebih lanjut atau kompresi
pada saraf tulang belakang (Mack, 2013).
top related