bab iv tanggapan petani padi menghadapi - uksw · 2017. 10. 26. · pucung, sumber dowayah, sumber...
Post on 27-Jul-2021
2 Views
Preview:
TRANSCRIPT
49
BAB IV
TANGGAPAN PETANI PADI
DESA BATUREJO MENGHADAPI „CEKAMAN‟
IKLIM
Pengantar
Dampak ketidakpastian musim berpengaruh terhadap petani
yang bergantung pada curah hujan atau tidak memiliki sumber air
tetap untuk memulai musim tanam. Petani tidak memiliki patokan
dalam menentukan msuim tanam ketika kekacauan musim dialami
sehingga berdampak pada gagal panen khususnya pada musim tanam
pertama. Informasi musim yang diberikan oleh Dinas Pertanian dan
Peternakan Kabupaten Pati melalui Petugas Penyuluh Lapangan
(PPL) tidak digunakan petani karena didasarkan dibukanya pintu air
Klambu Kanan yang mendapat pasokan dari Waduk Kedung Ombo.
Sedangkan petani tidak bisa berharap dari pasokan air irigasi tersebut
karena saluran irigasi yang rusak dan selalu tidak mendapatkan air
karena banyaknya ”pencuri air”.
Bab ini menjelaskan bentuk adaptasi terhadap perubahan
iklim dengan menggeser waktu tanam (memajukan atau
memundurkan) merupakan bentuk tanggapan petani menghindari
puncak hujan. Upaya menggeser waktu tanam merupakan tindakan
petani menghadapi perubahan iklim yang ditandai dengan kekacauan
musim. Meskipun upaya adaptasi ini dibatasi oleh kondisi atau
konteks yang berbeda, pembelajaran kelompok Tani Sido mamur
Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati bisa menjadi acuan
dalam melihat bentuk adaptasi petani menghadapi ketidakpastian
iklim atas dampak perubahan iklim.
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
50
Kondisi Agro Ekologi
Kelompok Tani Sido Makmur ini berada di Desa Baturejo
yang memiliki luas hamparan sawah di desa ini kurang lebih 800 ha
dari 1200 ha luas Desa Baturejo. Kondisi ini menunjang wilayah
pertanian sawah yang mendukung sumber penghidupan masyarakat
disekitarnya karena sebagai wilayah bekas rawa, daerah ini kaya air
yang didapatkan baik dari rawa itu sendiri maupun sumber air yang
berasal dari pegunungan Kendeng (Gambar 4.1).
Gambar 4.1. Sketsa Hamparan Kelompok Tani Sido Makmur Desa Baturejo.
Pembangunan Waduk Kedung Ombo pada tahun 1980,
merubah pola pertanian rakyat yang memanfaatkan hujan untuk
menanam padi dan palawija pada saat memasuki musim kemarau.
Pengembangan pembangunan Waduk Kedung Ombo tersebut diikuti
dengan pembangunan jaringan irigasi, yang memicu petani
melakukan peningkatan pola pertaniannya menjadi lebih modern.
Peningkatan produktifitas hasil pertanian pun menjadi lebih baik.
Jika sebelum tahun 1980, pertanian padi hanya sekali dalam satu (1)
tahun, setelah pembangunan jaringan sekunder dan normalisasi
Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim
51
sungai pembuang (Sungai Tus) tersebut petani desa Baturejo dapat
melakukannya sampai dua (2) kali dalam setahun dan sekali untuk
palawija.
Model pertanian saat ini dikembangkan oleh petani desa
Baturejo adalah model pertanian yang menggunakan sistem irigasi
alternatif dengan menggunakan mesin pompa. Model ini berkembang
karena ancaman kegagalan pertanian padi pada musim tanam
pertama adalah banjir sehingga sistem irigasi pompa merupakan
pilihan untuk menghindari kegagalan panen karena banjir. Sumber
air yang didapat dari irigasi pompa yang berasal sungai pembuang
jaringan sekunder Klambu Kanan. Jaringan dibangun selain sebagai
jaringan irigasi teknis juga dilengkapi dengan saluran pembuang.
Saluran pembuang mememiliki tujuan untuk membuang genangan
air dari lokasi/lahan pertanian menunju Sungai Juwana II atau seringi
disebut sebagai sungai “tus” yang dinormalisasi pada tahun 1987
untuk memperlancar alur sungai untuk pembuangan genangan air ke
laut setelah dipergunakan untuk mengairi lahan pertanian.
Dengan curah hujan yang sedikit pun terjadi akibat oleh
endapan sungai (sedimentasi). Data curah hujan diperlihatkan pada
grafik pola curah hujan, ditunjukkan bahwa perubahan pola musim
hujan dan kemarau pada bulan Mei sampai September (Gambar 4.2).
Gambar 4.2. Grafik Curah Hujan di Wilayah Sukolio Pati Jawa Tengah 2005-
2009, BMKG, 2009.
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
52
Proses sedimentasi tersebut dipicu oleh kerusakan daerah
aliran sungai yang berada di wilayah pegunungan Kendeng Utara
maupun Pegunungan Muria. Aliran air dari beberapa sumber mata air
maupun lintasan air (run off) Pegunungan Kendeng Utara dialirkan
melalui „siphon‟ (Gambar 4.3.) sebagai sumber pengairan areal
wilayah pertanian Kecamatan Sukolilo yang kemudian masuk pada
aliran Sungai Tus sebagai sungai Juwana II (JU II), begitu juga yang
terjadi di wilayah Pegunungan Muria. Kerusakan wilayah tangkapan
air yang berada di wilayah tersebut memicu sedimentasi pada sungai-
sungai pembuang yang berada di wilayah kecamatan Sukolilo seperti
JU I dan II.1
Gambar 4.3. Saluran “Siphon” Desa Baturejo
Kawasan lahan pertanian Desa Baturejo terbagi atas 3 (tiga)
kawasan pertanian yang memiliki karakteristik pola tanam dengan
kontur yang berbeda-beda. Pola tanam tersebut dipengaruhi oleh
sumber air yang didapatkan dan struktur tanah untuk mengelola
lahan pertaniannya. Dua (2) kawasan yang dibatasi oleh sungai atau
Saluran Irigasi Gebang yang merupakan terusan dari Pintu Air
1 Laporan Ekspedisi Sungai Juwana, Yayasan SHEEP Indonesia, 2008.
Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim
53
Klambu Kanan, sering disebut masyarakat setempat sebagai “tanah
nggenengan” atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai tanah
pekarangan. Kontur tanah yang lebih tinggi dibanding yang lain
menyebabkan wilayah ini dipadati oleh masyarakat yang bertempat
tinggal. Sedangkan wilayah disebelah barat Sungai Gebang. dan
Sungai Tus disebut sebagai tanah “ngrowo” atau dalam bahasa
Indonesia diartikan sebagai tanah rawa karena sejarah tanah tersebut
merupakan tanah rawa yang memiliki kedalaman yang berbeda-beda.
Tanah “ngrowo” ini terletak lebih rendah dibandingkan tanah
nggenengan dan memiliki karakteristik yang berbeda karena dengan
curah hujan yang sedikit kawasan ini akan cepat tergenang tetapi juga
akan cepat hilang atau kering.
Pengelolaan lahan pertanian di wilayah “tanah nggenengan”
yang berbatasan langsung dengan Desa Sukolilo, tidak terlalu sulit
untuk mendapatkan air dalam mengelola lahan pertaniannya karena
mendapatkan air dari beberapa sumber air yang terletak di wilayah
pegunungan Kendeng 2 sebelah timur Desa Baturejo dan Sukolilo
sehingga tidak terlalu memengaruhi pola tanamnya. Bahkan dalam
model pengelolaan lahannya cukup ekstrim berbeda. Seperti
beberapa petak lahan pertanian digunakan untuk mengelola
perkebunan tebu tetapi disampingnya merupakan lahan pertanian
padi dan pembuatan bata merah oleh warga Desa Sukolilo yang
berbatasan langsung dengan Desa Baturejo. Sedangkan “tanah
nggenengan” yang berada disekitar wilayah penduduk yang
berbatasan dengan Sungai Tus juga hampir sama. Sumber air yang
didapatkan selain dari sumber air yang berasal dari Pegunungan
Kendeng juga dibantu oleh pompa air yang diambil dari “Sungai Tus” pada Musim Tanam I (MT I) dan Musim Tanam II (MT II) karena
2 Ketersediaan air sungai JU II didapat dari 5 (lima) sumber mata air berasal dari pegunungan Kendeng yang memiliki pengaruh terhadap sungai “tus” seperti sumber Pucung, Sumber Dowayah, Sumber Tambang, Sumber Grobag dan Sumber Telo, tetapi hampir ratusan sumber mata air berpengaruh terhadap ketersediaan air bagi wilayah pertanian di Kecamatan Gabus, Kayen dan Sukolilo.
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
54
untuk memenuhi kecukupan air dalam memulai dan mengelola lahan
pertanian padi.
Pemanfaatan pompa air untuk mengairi lahan pertanian
tersebut oleh petani sering disebut Sistem Irigasi Pompa. Irigasi
pompa merupakan irigasi alternatif karena ketika lahan pertanian
memerlukan air yang cukup banyak pada MT I yang jatuh sekitar
bulan November-Desember setelah musim kemarau karena pada saat
curah hujan belum mencukupi untuk pembahasan lahan dengan
memulai persemaian benih padi maka pompa air baru digunakan.
Gambar 4.4. Peta Sungai Juwana, BPDAS Jratun Seluna, 2010
Berbeda dengan “tanah nggenengan”, “tanah ngrowo”
merupakan lahan pertanian padi yang terhampar tidak hanya
merupakan wilayah administrasi Desa Baturejo melainkan beberapa
Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim
55
desa yang lain seperti Desa Wotan dan Desa Jongso (Barat) serta Desa
Gadudero (Utara).3
Kelompok Tani Sido Makmur merupakan salah satu
kelompok Tani Desa Baturejo pada hamparan “tanah ngrowo”.
Kelompok tani ini pernah memanfaatkan air “Sungai Tus” tersebut
untuk memajukan pola tanam pada Musim Tanam I (MT I) pada
bulan Agustus pertengahan atau akhir dengan bantuan pompa yang
dikelola oleh pengurus kelompok tani dimana MT I seharusnya
musim tanam pertama jatuh pada bulan Oktober pada MT I tahun
2004-2007. Ketika itu, mesin pompa air mampu membasahi lahan
untuk mencukupi kebutuhan air baik untuk persemaian benih padi
maupun dalam pengelolaan tanaman padi selama pertumbuhannya
sebelum hujan rutin pada bulan November sebagai upaya memajukan
pola tanam pada MT I seluas 156 ha pada lahan Kelompok Tani Sido
Makmur Desa Baturejo. Tetapi sejak tahun 2007 sampai MT II tahun
2014, kelompok tani tersebut tidak memajukan secara ekstrim musim
tanam dikarenakan terjadi pergantian pengurus dan kebutuhan bahan
bakar solar yang tinggi sehingga mereka memanfaatkan hujan dengan
masih dibantu juga oleh mesin pompa air dalam mengawali musim
tanam mereka. Meskipun dalam memulai musim tanam mereka
membutuhkan air untuk memulai musim tanam (persemaian) tetapi
pola tanam tersebut dapat dipastikan memajukan musim tanam
kebiasaan petani karena dalam mendapatkan air untuk memulai
musim tanam mereka (penyiapan benih dan tanah pertanian sebelum
musim tanam, kelompok tani tersebut membutuhkan air yang cukup
banyak. Jika mengandalkan air hanya dari curah hujan, petani
menunggu terlalu lama dan jika dalam memulai musim hujan mereka
terlambat maka hasil pertanian menurun atau tidak sama sekali
karena banjir sering terjadi pada puncak hujan di akhir bulan Januari
3 Luasnya hamparan mencapai 80% luas lahan pertanian di Kecamatan Sukolilo yang mencapai 13.768 hektar dengan tambahan areal jagung kurang lebih 120 ha dan 60 ha kedelai, jika tergangngu sangat memengaruhi ketahanan pangan di Kabupaten Pati, disebutkan oleh Mundi P., Petugas Penyuluh Lapangan Desa Baturejo.
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
56
dan bulan Februari. Seperti yang terjadi pada bulan Januari-Pebruari
tahun 2009, petani pada hamparan lahan tersebut mengalami banjir
selama 3 kali karena curah hujan yang tinggi pada bulan Januari-
Pebruari.
Desa yang berada di atas atau lebih tinggi hamparannya
dibandingkan Desa Baturejo tidak memajukan musim tanam
pertamanya karena kondisi lahan pertaniannya aman dari banjir.
Selain itu, lahan pertanian bergantung pada sistem irigasi teknis dan
sumber air yang mengalir sepanjang tahun dari pegunungan Kendeng
Utara yang merupakan wilayah karst sehingga pola tanamnya dapat
menggunakan model pola tanam yang dianjurkan oleh Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan (DISTANAK) Kabupaten
Pati, seperti Desa Wotan, Desa Kedung Winong, maupun Desa
Baleadi di Kecamatan Sukolilo.
Model Hamparan
Petani Desa Baturejo yang memiliki dua (2) model hamparan
dengan karakteristik yang berbeda yaitu “tanah nggenengan” dan
“tanah ngrowo”, memiliki pola tanam yang berbeda pula. Pola tanam
yang berada disebelah timur Saluran Irigasi Gebang (Zona I),
memulai musim tanamnya bervariasi antara bulan Oktober-
Desember pada MT I karena air dapat dipenuhi dari sumber air yang
berasal dari Pegunungan Kendeng (karst) selain terhindar dari
genangan air atau banjir. Tetapi lahan yang berada di antara Saluran
irigasi Gebang dan Sungai Tus atau sungai Juwana II, masih
menggunakan pompa sebagai alat penunjang petani dalam mengelola
“tanah nggenengan”. Tujuan mesin pompa tersebut adalah sebagai
alat penunjang dalam mengelola lahan pertanian karena kebutuhan
air pada Zona II ini cukup tinggi. Awal musim tanam pertama diawali
pembasahan dan pengelolaan lahan yang jatuh pada bulan Oktober,
pompa digunakan untuk membasahi lahan dalam mengelola tanah
pada awal musim tanam pertama yang jatuh pada bulan November.
Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim
57
Sedangkan pada zona III yaitu “tanah ngrowo”, hamparan
lahan pertanian ini merupakan bekas tanah rawa. Model pengelolaan
lahan pertanian pada zona III pada saat ini bersamaan dengan zona II
karena dalam mengelola lahan pertanian, kebutuhan air diambil dari
“Sungai Tus” yang mendapatkan air dari sisa buangan air penggunaan
lahan irigasi yang menggunakan Saluran Irigasi Klambu Kanan dari
Pintu Air Wilalung. Dua zona ini (II dan III) memiliki waktu yang
bersamaan dalam memulai musim tanam, yaitu bulan November,
dengan membasahi lahan pada bulan Oktober bersamaan dengan
turunnya hujan dan air yang berasal dari pintu air Klambu Kanan
telah sampai di Sungai Tus di wilayah tersebut (Gambar 4.5).
Gambar 4.5 Penampang melintang Desa Baturejo dan sekitarnya
Mesin pompa sangat membantu petani dalam menunjang
musim tanam pertama mereka. Pompa digunakan setiap musim
tanam I dan II, meskipun tidak secara terus menerus dioperasional-
kan sesuai kebutuhan dan pola tanam yang digunakan oleh petani di
wilayah tersebut. Pola tanam petani menggunakan model padi-padi-
bero. Pada MT III dizona II dan III, petani tidak mengolah lahan
pertaniannya karena tanah terlalu kering untuk ditanami dan jika
ditanami hanya palawija yang memiliki umur pendek saja seperti
semangka kwaci yang berumur 1,5 bulan dan hanya diambil bijinya
saja.
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
58
Untuk memulai musim tanam pertama petani tidak terlalu
menggantungkan curah hujan karena kebutuhan air untuk
mengawali persemaian didapatkan dari Sungai Tus. Meskipun
demikian curah hujan cukup sedikit membantu petani dalam
penggunaan mesin pompa. Karena operasional mesin pompa cukup
tinggi jika digunakan terus menerus. Dua (2) pertimbangan dalam
memulai musim tanamnya didasarkan pada ketersediaan air dalam
mengolah tanah, melakukan persemaian dan serangan hama tikus.
Lahan pertanian pada hamparan di Desa Baturejo memiliki
kontur yang berbeda-beda. Hamparan pada Zona III yaitu “tanah
ngrowo”, dahulu merupakan wilayah rawa-rawa. Alih fungsi rawa
menjadi tanah pertanian dipicu oleh pembangunan Bendung
Wilalung yang digunakan untuk membagi air untuk pengelolaan
pertanian, tahun 1980. Serta normalisasi (pengerukan) “Sungai Tus” pada tahun 1987 akibat sedimentasi yang menyebabkan tergenangnya
wilayah pertanian karena rawa mendapatkan suplai yang berlebihan
karena limpasan air dari pintu air Klambu Kanan.
Kontur yang berbeda tersebut menyebabkan lahan pertanian
yang terletak disekitar rawa lebih dalam dibandingkan wilayah yang
memiliki kontur yang lebih tinggi, sehingga yang diperlukan dalam
penanaman bibit padi yang tinggi atau berumur lebih lama. Dampak
bibit padi yang terlalu tua menyebabkan hasil produksi padi tidak
terlalu baik. Tetapi meskipun petani tahu dampak tersebut, petani
tetap melakukannya karena lebih baik panen dengan hasil yang
sedikit dari pada tidak sama sekali (Karno, dalam Nugroho, 2014).
Strategi Tanam Petani
Masa Tanam
Sebagian besar petani di Desa baturejo khusunya petani yang
berada pada hamparan Kelompok Tani sido makmur melakukan
tahpan pengelolaan benih padi sampai tanam dimana petani
menghadapi masa penting dalam memulai tanam padi untuk
Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim
59
menghindari puncak hujan (Tanto Pursidi dan Kuraji, dalam
Nugroho, 2014).
Berikut tahapan masa persiapan tanam sampai pada panen
padi di lokasi peneltiian pada hamparan Kelompok Tani Sido
Makmur Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati, yaitu:
1. Persiapan benih
a) Benih yang dipakai petani Baturejo selain menggunakan
benih panen sendiri 4 juga memakai benih berlabel atau
membeli dari toko pertanian5
b) Benih direndam dalam ember.
c) Kebutuhan benih petani Baturejo mencapai 40 kg/kg.
Kebutuhan tersebut merupakan keputusan petani sendiri,
tidak sesuai anjuran pemerintah (25 kg/ha), meskipun
pemerintah juga telah melakukan sosialisasi penghematan
kebutuhan benih di lahan.6
d) Setelah di rendam selama 24 jam kemudian dikeringkan sinar
matahari secara langsung selama 2 hari, agar pertumbuhan
gabah menjadi kecambah lebih sempurna.
e) Setelah menjadi kecambah benih sudah siap untuk
disemaikan.
4 Hasil panen sendiri yang dimaksud adalah petani Baturejo menyisihkan sebagian hasil panen untuk di pergunakan sebagi benih musim tanam berikutnya, tapi biasanya petani membuat benih pada saat panen musim tanam ke 2, caranya dengan hasi panen yang di anggap bagus kemudian di buang butir hampanya melalui berbagai cara seperti menggunakan blower, manual berupa di tampi. Upaya tersebut dilakukan dengan tujuan agar benih yang akan di pakai memiliki kwaliatas baik( menthes) 5 Benih berlabel yang di maksud adalah benih yang mempunyai label yang di produksi oleh perusahan benih sebagai contoh benih Ciherang, Ciboga, dan IR 64 dengan harga Rp. 5.500,-/kg. 6 Petani merasa puas jika tanaman padi berwarna hijau sehingga dalam menanam benih padi diperbanyak sehingga jika tumbuh akan keliahatn hijau sawahnya
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
60
2. Persiapan lahan persemaian
a) Lahan yang akan di pergunakan untuk pesemaian dilakukan
pembajakan dan garu sampai berlumpur 2-3 hari sebelum
benih di sebar.
b) Lahan untuk persemaian benih di sesuaikan dengan
banyaknya benih yang akan disemai, sebagai contoh benih 5
kg di butuhkan lahan semai 2 x 10 m atau 4 x 10 m.
c) Pada saat sebar benih lahan harus tidak tegenang air, karena
hal ini akan mengakibatkan benih tak dapat tumbuh
sempurna, tetapi jika lahan kering akar benih tidak mampu
tumbuh sempurna dan akibatnya benih akan mati .
3. Pemupukan benih
Pemupukan benih dilakukan setelah umur benih di
pesemaian mencapai satu minggu, namun pemupukanya 7
sebaiknya di sesuaikan dengan jadwal tanam, langkah ini
dilakukan karena jika benih di tanam pada umur 15-20 hari
sebaiknya dosis pupuk di kurangi hal ini di lakukan agar pada
saat benih di tanam kandungan pupuk yang ada dalam benih
tersebut sudah kurang sehingga tanaman tak mudah layu,
tetapi jika benih di tanam pada umur 25-30 hari maka dosis
pupuk sedikit ditambah yang bertujuan untuk memudahkan
pencabutan benih itu sendiri. Pada lahan rawa biasanya umur
benih sampai 36 hari atau 'selapan' pada MT 1 yang bertujuan
agar tanaman lebih tinggi dari genangan pada saat itu.
4. Persiapan tanam
a) Sebelum tanam lahan dibajak 15 hari sebelum tanam jika MT
I model pembajakan di lakukan dengan bajak luku, tapi jika
MT II pembajakan dilakukan dengan 'blebeg' yang digerakan
7 Pemupukan dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan, pupuk yang digunakan urea dan phonska tetapi jika petani menggunakan model organik pemupukan diberikan dengan pupuk kandang (5 kwintal) sebelum benih disemai
Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim
61
menggunakan mesin traktor, alat yang di pakai memang ada
perbedaan karena jika MT I kondisi tanah relatif keras dan
kalau MT II kondisi tanah sudah berlumpur .
b) Setelah dibajak baru ketika waktu tanam sudah dekat lahan
baru di garu dengan tenggang waktu 2-3 hari sebelum tanam.
c) Jika lahan sudah digaru dan jadwal tanam yang di tentukan
sudah tiba tanam bisa dilakukan, seiring dengan banyaknya
tenaga dari luar wilyah Desa Baturejo model tanam di
lakukan dengan sistim borong kedokan, maksudnya petani
tinggal bayar sesuai luas lahan yang di miliki kemudian sudah
ada tenaga yanga siap mengerjakan
d) Biaya tanam model borongan per ha Rp 750.000
e) Jarak tanam pemborong ditentukan oleh permintaan pemilik
lahan.
Penentuan Awal Musim Tanam
Dalam memulai musim tanam petani desa Baturejo memiliki
2 (dua) pedoman dalam menentukan dimulainya musim tanam.
Penentuan tersebut didasarkan pada dibukanya pintu air Klambu
Kanan dan datangnya hujan untuk mengawali musim tanam pertama.
Kewenangan atas buka tutupnya Pintu Air Klambu Kanan dipegang
oleh Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Propinsi Jawa Tengah yang
kemudian memberikan Surat Edaran pada BUPATI atau Dinas
Pertanian yang memiliki ketergantungan pada Sistem Irigasi Klambu
Kanan.8 Pemberitahuan tersebut diteruskan pada Petugas Penyuluh
Lapangan di tingkat Kecamatan dan Desa untuk memberikan
informasinya pada petani untuk mempersiapkan musim tanam
pertamanya. Karena petani desa Baturejo mendapatkan air buangan
8 Pintu air Klambu Kanan tahun 2008 dibuka pada tanggal 1 Oktober 2008, sisa limpahan air berada di Sungai Tus kurang lebih 5 hari sampai 2 minggu setelah dibukanya pintu air Klambu Kanan karena banyak terjadi kebocoran saluran irigasi sehingga air limpasan dapat masuk pada Sungai Tus relatif lebih cepat.
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
62
yang berada di Sungai Tus ketika air hujan tidak mencukupi untuk
memulai musim tanamnya, petani menggunakan pompa air untuk
mengambil air yang berada di Sungai Tus. Meskipun hujan sudah
mulai turun, pompa air tetap digunakan karena luasnya lahan dan
karakter tanah pasca musim kemarau menyebabkan kebutuhan air
cukup tinggi.
Selain faktor dibukanya Pintu Air Klambu Kanan yang
berasal dari Bendung Wilalung, penentuan kedua didasarkan pada
puncak hujan pada bulan Januari dan Pebruari. Pada bulan tersebut
curah hujan yang tinggi menyebabkan lahan pertanian tergenang
(banjir) sehingga petani berusaha untuk memanen padi pada bulan
Januari atau paling lambat awal Pebruari.
Penentuan musim tanam oleh petani di Desa Baturejo,
menjadi penting karena dimulainya keputusan tanam berpengaruh
terhadap risiko bencana yang terjadi pada puncak hujan karena
informasi pembukaan jaringan irigasi bersamaan dengan
pengumuman pemerintah atas dimulainya musim tanam.
“....nek nganggo pengumuman pemerintah sing disampeke lewat PPL...sawah kene kebanjiran kabeh...gak iso panen mas... jaringan irigasi gak ono banyune soale wis enthek di nggo sawah nduwurku disik, dadi gak tekan kene...dadi kali tus kui nak ono banyune, dipompa wae kanggo milike banyu nang sawah sak durunge musim tanam dimulai...dimajuke ben gak keneng banjir...lha nak nunggu saran pemerintah gak pernah panen soale keneng banjir”
(“...jika menggunakan pengumuman pemerintah yang disampaikan melalui PPL...sawah disini kena banjir semua..tidak bisa panen mas...jaringan irigasi sudah tidak ada airnya karena sudah dipakai sawah diatasnya, jadi tidak sampai....jadi Sungai Tus itu jika ada airnya dipompa saja unutk dialirkan ke sawah sebelum musim tanam dimulai...dimajukan biar tidak kena banjir...wah..jika menunggu saran pemerintah, tidak bisa panen karena kena banjir...”) (Tanto Pursudi)
Pemajuan awal musim tanam menjadi kunci petani untuk
menghindari puncak hujan. Kepuusan memulai musim tanam terse-
Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim
63
but merupakan bentuk tanggapan petani unutk beradaptasi terhadap
risiko iklim dan bencana yang sering petani hadapi setiap MT I.
Foto satelit di bawah ini (Gambar 4.6.) merupakan kejadian
banjir awal tahun 2006 di sekitar wilayah Pegunungan Muria, Jawa
Tengah bagian utara, yang merugikan petani karena gagal panen
akibat banjir.
Gambar 4.6.Informasi Spasial Penginderaan Jauh-Kejadian Banjir Kabupaten
Pati Jawa Tengah, Lembaga Penerbangan dan Antariksa
(LAPAN), 2006.
Petani Menggeser Waktu Tanam
Pembasahan lahan dilakukan dengan mesin pompa ketika
“Sungai Tus” dirasa mencukupi untuk dipompa. Keputusan
pembasahan lahan dengan menggunakan pompa ini dikarenakan
kemampuan air yang tersedia di Pintu Air Saluran Klambu Kanan
tidak mampu mencapai wilayah ini, sehingga jika terlambat karena
menunggu jatah air maka petani tidak dapat mengolah lahan
pertaniannya karena mengalami banjir.
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
64
Penentuan pengolahan dan semaian pertama, tidak
tergantung pada pertemuan anggota kelompok tani, melainkan
pengurus kelompok tani. Dalam memulai semaian pada MT I dan II,
pengurus kelompok tani mulai menyebar semaian pertama kali
kemudian diikuti oleh anggota kelompok lainnya. Kondisi ini
disebabkan dan dipengaruhi oleh pengelolaan pompa dan serangan
hama tikus. Pengelolaan pompa merupakan tanggung jawab pengurus
kelompok tani. Biaya operasional pompa baik solar (BBM), oli dan
perawatan mesin ditanggung oleh pengurus kelompok tani yang
menjabat. Anggota kelompok tani akan membayar ketika hasil panen
padi yaitu dengan seperdelapan (1/8) hasil panen petak sawah dengan
menggunakan tali sebelum dijual ke tengkulak. Sehingga pengurus
kelompok tani menanggung beban pembiayaan yang tinggi dan jika
tidak berhasil maka pengurus kelompok mengalami kerugian yang
cukup besar.
Selain itu, penentuan musim tanam yang diawali dengan
persemaian diawali oleh pengurus kelompok tani. Ketakutan petani
dalam mengawali persemaian pada musim tanam disebabkan karena
hama tikus yang akan menyerang. Populasi tikus yang cukup besar di
wilayah tersebut menyerang bahkan merusak persemaian jika petani
memulai sendiri musim tanamnya kecuali secara bersama-sama
karena banyaknya tikus tidak sebanding dengan hamparan yang luas
jika dilakukan bersama-sama. Upaya yang dilakukan kelompok tani
adalah dengan gropyokan tikus atau dengan setrum listrik sampai
padi berumur dua puluh (20) hari. Tikus pada usia padi tersebut
mengalami musim kawin dan kembali ke lubang persembunyiannya
sehingga serangan pada tanaman padi relatif berkurang.
Kondisi lahan pertanian melandasi petani memilih jenis
tanaman yang berumur pendek (3 bulan) karena merupakan lahan
genangan atau bekas rawa.9 Jenis tanaman yang dipilih saat ini seperti
9 Sebelum jaringan irigasi dibangun pemerintah (1987) petani memilih tanaman yang memiliki umur 4-6 bulan karena kondisi lahan petanian hanya menggantungkan curah hujan (lahan tadah hujan) tetapi setelah dibangun sistem irigasi semi teknis petani muklai beralih pada tanaman yang memiliki umur 3 bulan,
Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim
65
IR 64, Ciherang, Ciboga, dan Cigelis. Jenis tanaman Ciherang, Ciboga
dan Cigelis banyak dipilih petani selaian memiliki produksi yang
tinggi juga memiliki ketahanan terhadap serangan hama dan tahan
terhadap kerebahan. Petani Desa Baturejo mengenal jenis tanaman
(bibit) yang sesuai dengan kondisi lahan dari „boro‟ atau menjadi
buruh tani di luar wilayah desa, kecamatan ataupun kabupaten, selain
informasi dari penyuluh pertanian. Petani mendapatkan informasi di
luar wilayah desanya disebabkan karena perbedaan musim panen
wilayah yang lain, petani desa Baturejo mencari nafkah dengan
menjadi buruh panen padi di wilayah lain sehingga mereka mengenal
jenis padi yang baru. Jenis tanaman padi juga di ketahui petani
melalui „penebas‟ (pedagang padi) yang membeli hasil panen petani
atau tengkulak dengan memperkenalkan jenis padi baru yang
memiliki keunggulan tertentu.10
Gambar 4.7. Lahan Pertanian Dekat Rawa, Adi Nugroho, 2014
Masa pemeliharaan sampai panen, petani tidak mengalami
kesulitan. Pemahaman petani atas pestisida dalam menanggulangi
hama padi selama pemeliharaan sangat mumpuni (paham) karena
selaian itu wilayah tersebut sangat dipengaruhi oleh genangan air ketika musim hujan yang jatuh pada bulan Januari – Pebruari pada msuim tanam pertama. 10 Penebas memberikan informasi jenis padi berdasarkan pada hasil produksi gabah yang dibeli dari petani sedangkan tengkulak memberikan informasi berdasarkan pada „rendemen‟ beras.
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
66
banyak formulator (peramu) pestisida dari berbagai perusahaan
memberikan informasi dan melakukan uji coba dilapangan. Kondisi
yang paling dihindari petani adalah banjir pada puncak hujan yang
jatuh pada bulan Januari-Pebruari.
Sedangkan pada hamparan “tanah ngrowo”, MT II dimulai
pada bulan April-Mei karena puncak hujan terjadi pada bulan
Februari disertai dengan banjir atau genangan air yang relatif lama.
Berbeda dengan tanah nggenengan, MT II bisa dimulai persemaian
pada bulan Februari karena banjir 11 tidak memengaruhi wilayah
tersebut. Kebiasaaan pada tanah ngrowo persiapan Musim Tanam II
dilakukan pada bulan April dan memulai musim tanamnya pada
bulan Mei sehingga bulan Juli dapat dipanen hasilnya. Peluang petani
pada MT II ini sangat tinggi dibandingkan pada musim tanam
pertama karena selain ketercukupan air dalam memulai musim tanam
dan pengelolaanya sangat terbantu pada saat musim penghujan.
Penentuan musim tanam kedua dilakukan di bulan April merupakan
kebiasaan petani Desa Baturejo dalam mengelola lahan pertaniannya
karena selain air yang masih cukup tinggi dan genangan air paska
puncak hujan juga pada bulan Maret banyak petani dari daerah lain
seperti hamparan pertanian Desa Talun termasuk wilayah Kecamatan
Kayen sudah panen sehingga ditakutkan hama akan berpindah
dengan cepat ke hamparan yang akan ditanami (Desa Baturejo) yang
berbatasan langsung dengan Kecamatan Sukolilo. Sehingga
Organisme Penggangu Tanaman (OPT) berkembang sangat cepat
pada hamparan tersebut. Selain itu, menurut penuturan Mujono,
Santosa dan beberapa petani lainnya pada bulan tersebut sering
terjadi kondisi “timbreng” (mendung tapi tidak turun hujan) sehingga
OPT seperti wereng coklat, penggerek batang, hama putih palsu, dan
ulat grayak, berkembang sangat cepat. Kondisi ini dikarenakan
beberapa petani yang terletak pada hamparan desa lainnya telah
11 Petani memanfaatkan kondisi banjir tersebut dengan mencari ikan dan keong, karena wilayah lain yang berdekatan dengan bantaran sungai telah dibuat kolam ikan sehingga ikan yang dikelola keluar dari kolam tersebut, ketika banjir.
Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim
67
panen sehingga hama tersebut berpindah dengan cepat, berbeda jika
diberi jeda dalam memulai musim tanam kedua.
MT III sebagian kecil petani mengelola lahan pertaniannya
dengan menanam tanaman palawija seperti semangka kwaci, blewah,
waloh, tomat yang hanya membutuhkan sedikit air karena selain
kebutuhan air yang relatif sedikit juga waktu yang sempit karena
akan memasuki musim tanam III, sebagian besar petani
mengistirahatkan lahannya (bero).
Musim Tanam
(MT)
Bulan Keterangan
6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5
MT 1 x X X X MT I (anjuran pemerintah)
X x X X Pemajuan MT I (biasa)
√ √ √ √ Pemajuan Musim Tanam
(ekstrim)
MT 2 X X X X Pemunduran MT II
MT 3 = = = Isitrahat atau palawija
Puncak Kemarau
Puncak Hujan
Gambar 4.8. Kalender Musim Tanam Petani Desa Baturejo, Diadaptasi dari Ketua
Kelompok Tani Sido Makmur (2004-2007, 2014) dan Bendahara Kelompok Tani Sido
Rukun, 2014.
Model tanam yang banyak dipakai oleh petani Desa Baturejo
adalah Jajar Legowo tidak murni atau sering disebut „tandur paliran‟
karena petani memberikan sela antar tanaman padi bukan berdasar
pada jarak tanam model jajar legowo selebar 20-30 cm, hanya untuk
memberikan ruang atau jalan petani merawat tanaman.
Petani Desa Baturejo tidak bebas menentukan pola tanam
karena tergantung pada kelompok tani dan pengurus pompa sehingga
menunggu aliran air dari irigasi pompa dioperasionalkan. Sampai saat
ini, belum ada inisiatif petani membuat sumur panthek karena air
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
68
dari sumur panthek tidak mencukupi lahan pertanian yang dimiliki
(terlalu kecil dalam memenuhi kebutuhan air lahan pertanian padi).
Selain itu, pengalaman petani membuat sumur panthek tidak keluar
air. Jika pun keluar, kualitas air buruk karena berasa asin. Wilayah ini
tidak memungkinkan untuk menanam selain padi karena merupakan
wilayah rawa dimana ketika musim penghujan kondisi tanah menjadi
„bacek‟ (kandungan air dalam tanah terlalu tinggi).
Keuntungan Petani Mengelola Risiko Iklim
Pemajuan musim tanam yang cukup ekstrim merupakan salah
satu upaya petani untuk menghindari banjir pada bulan Januari
sampai Maret (MT I) yang dilakukan mulai tahun 2004-2007 dan
Kelompok Sido Rukun pada MT 1 tahun 2014. Menurut penuturan
Tanto, mantan Ketua Kelompok Tani Sido Makmur, masalah utama
untuk memajukan pola tanam adalah operasional pompa seperti solar,
oli, suku cadang dan umur teknis mesin. Besar biaya yang
dikeluarkan pada Kelompok Tani Sido Makmur yang beranggotakan
171 pada tahun 2004-2007 kurang lebih 100-200 juta untuk mengairi
lahan 156 ha pada MT I, yang ditanggung oleh pengurus kelompok
tani tersebut.
“.....asal due modal akeh, majuke musim tanam ki gak masalah...pengurus kelompok tani biasane nggadeke sertifikat, BPKP motor ben enthuk silihan seko bank opo rentenir..ben iso tuku solar karo ndandani saluran sing wis rusak...”
(“...asal punya modal banyak, memajukan musim tanam tidak maslah....pengurus kelompok tani biasanya menggandikan sertifikat tanah, BPKP motor biar mendapat pinjaman dari bank atau rentenir...untuk membeli solar dan memperbaiki saluran irigasi yang sudah rusak...”) (Tanto Pusidi)
Beban operasional tersebut dibayar anggota kelompok tani
dengan membagi seperdelapan (1/8) hasil panen padi pada pengurus
kelompok tani yang sekaligus pengurus pompa air. Dampak yang
Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim
69
dirasakan oleh Kelompok Tani Sido Makmur Desa Baturejo adalah
beban biaya operasional pompa menjadi tinggi karena petani
mengandalkan air yang berasal dari JU II yang dipasok dari limpahan
sungai pembuang irigasi Klambu Kanan. Selain itu hama tikus
berkembang sangat cepat yang menurunkan hasil atau produk panen
petani kurang lebih 5%. Meskipun dari serangan hama tikus yang
menyerang ketika memajukan musim tanam pada bulan Agustus
tetapi kelompok tani tersebut masih mendapatkan keuntungan
karena harga jual gabah hasil panen pada bulan awal Januari relatif
lebih tinggi (Rp. 2.700-3.000,-/kg Gabah Kering Panen, jika
menggunakan pola tanam biasa hanya Rp. 2.000-2.300,-/kg GKP)
selain itu aman dari banjir atau genangan banjir yang menyebabkan
padi puso.12 Dengan harga yang tinggi petani merasa mendapatkan
keuntungan yang lebih besar baik dari sisi harga, tenaga maupun dari
ancaman banjir pada bulan Januari-Pebruari, meskipun ancaman
hama tikus sangat besar (kurang dari 5%).13 14
Keterlibatan Perempuan
Pada pengelolaan lahan pertanian di Desa Baturejo,
keterlibatan perempuan dapat dilihat dari model borongan dalam
setiap pengelolaan tanaman padi. Buruh tani borongan relatif
didominasi oleh perempuan khususnya dalam ndawut dan
penanaman bibit padi pada lahan hamparan yang telah disiapkan,
sedangkan penyiapan lahan untuk semai dilakukan oleh laki-laki.
Semai sendiri dilakukan oleh kebanyakan kaum laki-laki. Tetapi
setiap petani pemilik lahan memiliki perlakuan berbeda untuk
12 Puso dimaknai oleh petani bahwa terjadi kegagalan panen lebih dari 50%. 13 Hama tikus pada musim tanam pertama menyerang padi yang hampir masak (mrapu) tetapi pada musim tanam kedua hama tikus pun menyerang semaian padi. 14 Upaya petani melawan hama tikus dengan sistem gropokan dan memasang jaringan aliran listrik di sekeliling areal pertanian dengan menggunakan mesin disel sebagai sumber energi listrik, tetapi jika tikus menyerang semaian, petani membuat penghalang dengan plastik di sekeliling semaian.
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
70
melakukan semai. Terkadang hanya perempuan saja dalam
melakukan persemaian tetapi juga dilakukan oleh keduanya.
Di lahan satu (1) hektar kebutuhan buruh tani dalam
menanam bibit tanaman kurang lebih 40 orang, 30 diantaranya
didominasi perempuan. Buruh tani borongan tersebut kebanyakan
dipimpin oleh laki-laki untuk melakukan negoisasi dengan pemilik
lahan yang akan ditanami. Dalam 1 bahu lahan pertanian untuk
melakukan ndawut dan penanaman bibit padi pada lahan dihargai
Rp. 630.000,-/bahu, yang dibagi kurang lebih 20-40 orang setiap
rombongannya. Kebanyakan pemilik lahan lebih memilih model
borongan karena dianggap lebih murah dibandingkan sistem harian.
Buruh tani rombongan tersebut banyak berasal dari kabupaten
Kudus, Grobogan dan atau wilayah desa maupun kecamatan yang
lain. Kondisi ini dipengaruhi oleh musim tanam yang serentak atau
bersama-sama untuk menghindari hama tikus.
Pengelolaan hamparan paska tanam seperti pemupukan,
penyemprotan (jika ada penyakit tanaman) maupun pembersihan
rumput dilakukan oleh pemilik lahan jika memiliki lahan yang relatif
sempit tetapi jika lahannya luas lebih dari 1 kotak dilakukan oleh
buruh tani harian. Seperti dalam pembersihan rumput, buruh tani
yang digunakan lebih banyak perempuan15 tetapi pemupukan dan
penyemprotan dilakukan oleh buruh tani laki-laki atau pemilik lahan
(laki-laki).
Peran perempuan pada tahap panen menjadi tersingkir, jika
maih terlihat perempuan di belakang dhos (alat pemisah bulir padi
dengan batang) itu pun hanya sebagai pengasak atau pencari sisa bulir
15 Buruh tani perempuan dalam sistem pertanian padi dihargai lebih rendah dibandingkan laki-laki. Penghargaan tersebut oleh pemilik lahan berdasarkan pada tenaga yang dimiliki karena perempuan memiliki tenaga lebih kecil dibandingkan kaum laki-laki. Besaran upah yang diberikan oleh pemilik lahan berkisar Rp. 17.000,- per hari yang bekerja mulai pukul 06.00 WIB sampai 10.30 WIB. Berbeda dengan laki-laki, upah yang diterima mencapai Rp. 20.000,-per hari dengan beban kerja dan waktu yang sama dengan kaum perempuan, sedangkan makan, minum dan rokok bagi kaum laki-laki menjadi tanggungan pemilik lahan yang membutuhkan tenaganya.
Tanggapan Petani Padi Desa Baturejo Menghadapi ‘Cekaman’ Iklim
71
padi yang belum terpisahkan dari batangnya. Perempuan pengasak
tersebut mendapatkan gabahnya dari sisa dhos dan memisahkan
dengan cara memukul batang padi sisa dhos tersebut dengan kayu.
Posisi perempuan pada tahap pasca panen tersebut berada di belakang
pengedhos (orang yang menjalankan mesin dos). Tetapi berbeda jika
hasil produksi rendah, buruh tani perempuan akan dioptimalkan
dalam panen karena menurut pandangan pemilik lahan kaum
perempuan lebih sabar dan teliti untuk memilih dan memilah hasil
panen dibandingkan laki-laki. Meskipun demikian pemilik lahan
tetap memberikan upah lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Catatan Penutup
Pertanian padi rentan terhadap perubahan pola musim
khususnya pada pertanian yang bergantung pada curah hujan atau
tidak memiliki sumber air tetap seperti irigasi. Perubahan pola musim
yang mendadak (cekaman) berpengaruh terhadap gagalnya produksi
padi baik pada seluruh tahap produksi pertanian selain serangan
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT).
Ketidakpastian musim atau ketidakteraturan curah hujan
menyebabkan petani sulit menentukan keputusan tanamnya. Petani
Desa Baturejo menggantungkan air Sungai Tus (JU II) untuk memulai
musim tanam pertama agar dapat terhindar dari puncak hujan pada
bulan januari sampai Maret. Penggunaan pompa air merupakan upaya
petani memulai musim pertama lebih awal dibandingkan dengan
informasi pemerintah yang selalu tidak tepat. Ketidaktepatan
informasi tersebut dikarenakan pada akhir MT I, hamparan lahan
pertanian kelompok Sido mamkur terjadi genangan air yang cukup
tinggi sehingga menggagalkan hasil panen pertanian sawah mereka.
Upaya menggeser waktu tanam pada musim tanam pertama,
membutuhkan kesepakatan bersama antara pengurus Kelompok Tani
Sido Makmur untuk memastikan ketersediaan air yang cukup,
kebutuhan bahan bakar, infrastruktur, dan antisipasi OPT. Selain
modal keuangan yang mencukupi untuk menggeser waktu tanam,
top related