bab iv tinjauan ekoteologi terhadap pandangan masyarakat...
Post on 02-Mar-2019
221 Views
Preview:
TRANSCRIPT
104
Bab IV
Tinjauan Ekoteologi terhadap Pandangan Masyarakat Desa Kotabes tentang
Pengaruh Revolusi Hijau dalam Bertani
4. Pengantar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online, istilah “pandangan”
diartikan sebagai hasil perbuatan memandang (memperhatikan, melihat, dan
sebagainya).1 Istilah “pandangan” dipilih atau digunakan oleh penulis dengan
beberapa pertimbangan. Pertama, penulis ingin mengetahui bagaimana masyarakat
sendiri melihat atau memperhatikan praktek bertani yang dilakukan saat ini. Kedua,
dengan menggunakan pandangan masyarakat, penulis tidak terjebak dalam
pemahaman yang subjektif. Melalui tulisan ini akhirnya akan sampai pada
kesimpulan bahwa pandangan masyarakat dapat benar tetapi dapat juga salah. Kajian
ekoteologi dapat membantu penulis dalam menganalisa temuan di lapangan dan juga
teori yang penulis digunakan di dalam bab II.
Bab IV ini merupakan kajian ekoteologi terhadap pandangan masyarakat desa
Kotabes tentang pengaruh revolusi hijau dalam bertani, faktok-faktor penyebab
terjadinya perubahan pola bertani dan bagaimana tinjauan ekoteologi terkait dengan
pandangan tersebut. Hasil temuan di lapangan menunjukkan beberapa hal dan sejalan
dengan rumusan serta tujuan masalah, yakni praktik-praktik bertani yang dilakukan
oleh masyarakat Desa Kotabes yang berubah akibat masuknya revolusi hijau dan
tinjauan ekoteologi terhadap perubahan praktik-praktik bertani yang dimaksud. Ada
1 https://kbbi.web.id/pandang, diunduh pada Rabu, 18 Oktober 2017, Pkl. 21.46WIB
105
beberapa temuan penulis dalam penelitian lapangan. Pertama, masuknya revolusi
hijau membawa beberapa pengaruh seperti penggunaan alat-alat pertanian yang lebih
modern dan tidak ramah lingkungan. Kedua, kearifan lokal masyarakat yang mulai
digantikan dengan pengetahuan modern. Ketiga, orientasi bertani yang hanya semata
demi uang sehingga berusaha mencari alternatif dan kemudahan-kemudahan.
Keempat, revolusi hijau berdampak pada rusaknya tanah dan hilangnya tanaman-
tanaman lokal serta tinjauan ekoteologi terhadap revolusi hijau dalam bertani. Namun
sebelum itu penulis akan memberikan beberapa catatan penting terkait dengan konsep
bertani yang ramah lingkungan (pertanian organik) dan pandangan masyarakat
tentang bertani yang ramah lingkungan ditinjau dari ekoteologi.
4.1 Bertani Ramah Lingkungan sebagai Alternatif
Bertani yang ramah lingkungan adalah proses bertani yang tetap menjaga
keutuhan ciptaan dalam hal ini tanah dan makhluk hidup yang ada di sekitarnya.
Ketika revolusi hijau masuk yang terjadi adalah lingkungan menjadi rusak
(lingkungan bertani khususnya), agenda revolusi hijau seperti penemuan bibit unggul,
pembuatan obat pembasmi hama dan penggunaan bahan-bahan kimia nampaknya
merusak dan menghancurkan ekosistem serta menghancurkan keseimbangan
lingkungan.2 Teknologi dan pengetahuan modern sebenarnya tidak salah, sebaliknya
membantu masyarakat tani, yang salah adalah ketika teknologi dan pengetahuan
modern tidak diikuti dengan kesadaran moral akan pentingnya semua ciptaan bagi
kehidupan manusia. Pada akhirnya memang benar bahwa manusia tidak mungkin lagi
2 J. Mardimin, Petani Versus Globalisasi (Salatiga: Sinode GKJTU, 2009), 25
106
hidup seperti zaman dulu yang hanya memanfaatkan apa yang ada di alam semesta,
perubahan harus dilakukan demi dan untuk keberlangsungan hidup yang lebih baik.
Teknologi dan pengetahuan kemudian menjadi sumber petaka ketika tidak
dimanfaatkan dengan bertanggungjawab. Hal inilah yang dikritik oleh seorang teolog
bernama Lynn White dalam tulisannya yang terkenal, yakni the historical roots of
our ecological bahwa menurut White akar dari krisis lingkungan sebenarnya
dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, mandat Allah kepada manusia sebagai penguasa
alam semesta yang disalahgunakan. Kedua, teknologi dan pengetahuan yang berasal
dari Barat.3 Namun demikian, tulisan White ini juga perlu dikritik bahwa teknologi
dan pengetahuan dari Barat tidak semuanya salah, sekali lagi yang salah adalah ketika
tidak ada etika dan kesadaran dari manusia untuk menjaga dan memelihara
lingkungan. Gerakan revolusi hijau bukan semata-mata dianggap sebagai program
pertanian yang meningkatkan kesejahteraan petani, melainkan merusak ideologi
masyarakat yang dulunya sangat mencintai dan menganggap alam sebagai bagian dari
hidupnya.
Sejak zaman dahulu, masyarakat tani di Amarasi sebenarnya sudah menerapkan
sistem pertanian yang ramah lingkungan atau istilah lainnya adalah pertanian organik,
namun entah mengapa hal tersebut dilupakan dan ditinggalkan. Masyarakat tani
tradisional di Amarasi memanfaatkan kotoran hewan dan daun-daun kering sebagai
pupuk untuk menyuburkan tanah dan tanaman. Di satu sisi, sistem pertanian organik
atau pertanian yang pro lingkungan dan keutuhan ciptaan nampaknya memberikan
3 Lihat dalam Bab II
107
keunggulan tersendiri. Di lain sisi pertanian organik sebenarnya ingin
mengembalikan perilaku masyarakat tani yang mulai lupa dengan pengetahuan lokal
yang mereka miliki. Ada empat aspek yang menjadikan pertanian organik sebagai
pilihan yang menjanjikan, yaitu:4
1. Menghapus Ketergantungan
Ketergantungan petani terhadap pupuk kimia dan bibit unggul, nampaknya sudah
menjadi hal yang biasa. Para petani akan merasa sangat bangga ketika berhasil
membeli obat pembasmi hama dengan kualitas yang bagus. Petani akan bangga
ketika pemasukan lebih banyak dan pengeluaran sedikit. Petani akan bangga ketika
hasil panen melimpah ataupun ketika mereka berhasil memanen hasil duluan dan
menjualnya. Hasil temuan penulis di lapangan bahwa sebagian masyarakat tani
Kotabes-Amarasi memang bergantung dengan pupuk kimia, pestisida dan bibit
unggul. Namun demikian, ada beberapa yang tidak bergantung sebab sebagian
masyarakat masih percaya bahwa tanpa pupuk kimia dan pestisida pun masih ada
kehidupan yang lebih baik. Penulis mengakui bahwa kaum perempuan adalah orang-
orang yang masih peduli dengan lingkungan. Keajaiban dari pupuk kimia dan
pestisida nampaknya mengubah mindset para petani di desa (ini juga terjadi dalam
masyarakat tani di desa Kotabes). Pola pikir dan pola perilaku mereka menjadi tidak
rasional lagi artinya masyarakat tani menggantungkan hidup sepenuhnya pada pupuk
kimia dan pestisida. Sekalipun tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat tani yang
tradisional terlahir sebagai petani-petani yang ramah lingkungan.
4 J. Mardimin, …. 63
108
Hal ini dapat terjadi karena tiga hal, yakni: pertama, para petani dengan mudah
dapat memperoleh bibit unggul yang dijual toko-toko, seperti bibit sayur, buah dan
kacang-kacangan yang dijual dalam bungkusan alumunium foil. Biasanya proses ini
terjadi dari mulut ke mulut ketika ada petani lain yang sudah membeli dan
menunjukkan hasil yang baik maka tanpa dikomando petani lainpun akan
mengikutinya. Kedua, produksi bibit unggul lokal yang mulai hilang dan sudah tidak
lagi dibudidayakan oleh masyarakat maupun para pemerhati tanaman, mengakibatkan
masyarakat hanya bergantung pada bibit unggul yang dijual di toko-toko. Hal inilah
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tani di desa Kotabes. Hasil wawancara
penulis menunjukkan bahwa tanaman lokal seperti tomat dan jenis jagung ataupun
buah-buahan yang sering ditanam dan dibudidaya sekarang sudah tidak ada lagi.
Alasan yang dikemukakan, yakni tanaman atau bibit lokal rentan terhadap penyakit
serta juga kondisi saat ini tidak memungkinkan lagi untuk mendapatkan bibit lokal.
Ketiga, ketergantungan petani terhadap pupuk kimia, bibit unggul dan pestisida ini
disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat tentang bagaimana cara-cara
mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah pertanian serta bagaimana cara-
cara mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Faktor tingkat pendidikan dan
pengetahuan masyarakat tidak dapat diabaikan dalam hal ini. Teknologi lokal yang
dulunya dilakukan oleh leluhur zaman dulu telah hilang bahkan tidak dipedulikan
lagi, akibat keserakahan dan kecongkakan ilmu pengetahuan manusia yang semakin
maju.5
5 J. Mardimin, …. 64
109
2. Merehabilitasi Lingkungan
Gerakan revolusi hijau nampaknya telah mengakibatkan kerusakan
lingkungan yang begitu besar. Lahan pertanian menjadi rusak oleh karena
penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia yang secara terus menerus. Lahan
pertanian menjadi jenuh dan beracun. Tanah menjadi tidak sehat dan tidak
memberikan efek yang baik untuk meningkatkan produksi yang lebih tinggi. Kriteria
kerusakan lingkungan yang mencakup ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia,
dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk
dapat tetap melestarikan fungsinya.6
Hal itu sudah terbukti bahwa penggunaan bahan-bahan kimia telah membuat
tanah kehilangan kemampuannya untuk mengikat unsur hara dan air, tanah akan
keras dan tingkat kegemburannya semakin menurun. Ketika hal tersebut terjadi, maka
tanah dengan sendirinya akan menghambat perkembangan akar tanaman. Selain itu,
pupuk kimia juga akan mematikan entitas alam yang menjadi penjaga kesimbangan
alam akan mengalami kepunahan.7 Pertanian organik pada akhirnya menawarkan cara
produksi pangan yang ramah lingkungan, menawarkan budaya tani yang lebih
mencintai kehidupan, memberikan jaminan akan perlindungan dan memberikan
keuntungan bagi lingkungan secara keseluruhan.8
6 http://www.unhas.ac.id/pplh/wpcontent/uploads/2012/12/UU_2009_32PPLH_1.pdf http://e-
journal.uajy.ac.id/2999/3/2TA12223.pdf, diunduh pada Rabu, 13 Desember 2017, Pkl. 07.04WIB 7 J. Mardimin, …. 65 8 J. Mardimin, …. 65
110
3. Menghasilkan Makanan Sehat yang Bebas Residu kimia (bahan kimia)
Tidak dapat dipungkiri bahwa masuknya revolusi hijau mengubah mindset
masyarakat tani mengenai untung dan rugi dalam bertani bahwa keuntungan dihitung
dari hasil jual panen yang lebih banyak dari pengeluaran biaya produksi. Masyarakat
tani tidak lagi mempedulikan, apakah ada pengaruh dari perilaku bertani yang
sekarang ini merusak lingkungan ataukah sebaliknya tidak. Dengan adanya pertanian
organik, cara-cara bertani yang merusak ekologi setidaknya dapat dikoreksi terutama
mematahkan mindset para petani bahwa keuntungan melimpah dengan
menghancurkan ekosistem lingkungan adalah sesuatu yang melanggar kodrat ciptaan.
Oleh karenanya pertanian organik dianggap sebagai obat penawar yang dapat
membantu masyarakat khususnya para petani agar mulai memikirkan kegiatan bertani
yang ramah lingkungan.9 Sekalipun secara kualitas dan kuantitas hasil dari bertani
organik tidak sebagus hasil pertanian pupuk kimia, karena kebanyakan sayur ataupun
buah-buahan banyak yang berlubang ataupun tidak sebagus, sehingga membuat
masyarakat memperhitungkan untung dan ruginya.
Namun demikian, hasil dari bertani organik secara fisik berlubang ataupun tidak
sebagus hasil pupuk kimia, sayuran ataupun buah-buahan lebih sehat untuk
dikonsumsi. Selain keuntungan finansial seperti menghasilkan bahan makanan sehat
untuk dikonsumsi, keuntungan lainnya yang diberikan dari pertanian organik, yakni
kelestarian alam tetap terjaga, keberlanjutan alam tetap akan dapat dinikmati oleh
9 J. Mardimin, …. 67
111
anak cucu dan keberagaman hayati akan tetap terpelihara dengan baik.10 Dalam
kehidupan masyarakat tani di desa Kotabes, hal ini terlihat belum jelas sehingga
membuat mereka masih tidak mau meninggalkan perilaku bertani. Mereka kawatir
hasil pertaniannya tidak laku, sementara mereka sudah mengeluarkan biaya yang
cukup besar.
4. Menjamin Keadilan dan Keselarasan Kehidupan
Gerakan revolusi hijau telah berhasil mengubah cara, gaya dan prinsip hidup
masyarakat tani menjadi masyarakat yang sangat mendukung kapitalis yang lambat
laun akan menggeser eksistensinya sendiri. Prinsip revolusi hijau sebenarnya
bukanlah prinsip keadilan, melainkan kontra keadilan. Revolusi hijau menciptakan
dan melanggengkan ketergantungan bagi petani yang tinggal desa. Gerakan pertanian
organik sebenarnya hadir untuk memutuskan rantai setan yang selama ini dialami
oleh masyarakat tani di desa, yang begitu bergantung dengan benih unggul, pupuk
kimia, dan pestisida. Dalam perspektif keutuhan ciptaan, pertanian organik
menjanjikan terjadinya kesetaraan antara manusia dengan ciptaan Tuhan lainnya.
Dari keempat keuntungan bertani organik atau yang ramah lingkungan yang
ditawarkan ini, menurut hemat penulis nampaknya agak sukar diterapkan dalam
masyarakat tani desa Kotabes. Hal ini dikarenakan ada masyarakat yang berpikir
bahwa pertanian organik tidak membawa keuntungan, tetapi kerugian. Di samping
itu, pertanian organik juga membutuhkan kerja keras dan usaha serta bantuan dari
pihak lain, seperti pemerintah dan penyuluh-penyuluh pertanian.
10 J. Mardimin, …. 68
112
4.2 Kesadaran Ekologi
Hasil temuan penulis di lapangan bahwa pendidikan ikut serta mempengaruhi
pola pikir ataupun perilaku masyarakat dalam bertani. Di satu pihak, sebagian
masyarakat mengakui bahwa ada ketergantungan yang begitu besar terhadap
pemakaian bibit unggul, pupuk kimia dan pestisida, tetapi di lain pihak ada
masyarakat khususnya kaum perempuan yang masih terus bekerja dengan teknik
tradisional. Sejauh ini penulis masih menduga bahwa semakin tinggi pengetahuan
maupun pendidikan seseorang mempengaruhi pola dan perilakunya terhadap
bagaimana cara dia memperlakukan lingkungannya. Tampaknya kaum perempuan
dibanding kaum laki-laki lebih peka dalam memperlakukan alam.11 Kegiatan bertani
yang dilakukan oleh kaum perempuan dapat menjadi contoh bagi masyarakat tani
lainnya agar tidak saja bertani demi kebutuhan hidup atau untuk mendapatkan
keuntungan namun juga yang mempedulikan lingkungan sebagai bagian dari dirinya.
Pertanyaannya mengapa perempuan masih begitu peduli dengan lingkungan
hidupnya, ketika banyak pihak lain melupakan dan malah merusak?
Dalam buku Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, ada satu tulisan yang
berjudul panggilan berhati ibu bagi semua yang dikaji dari ekofeminisme.12 Tulisan
ini dengan jelas menegaskan bahwa manusia sebagai citra Allah atau yang diciptakan
seturut dan segambar dengan Allah, manusia pada akhirnya harus memiliki hati yang
11 Ada kemungkinan bahwa dugaan penulis salah, namun ini adalah temuan penulis di
lapangan. Akan tetapi, tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorangpun tidak menutup kemungkinan
berbanding terbalik dengan perilaku dn pola pikirnya. Namun demikian, hal ini kembali kepada
kesadaran individu itu sendiri terhadap lingkungannya. 12 M. Henrika, Panggilan Berhati Ibu bagi Semua: Kajian Ekofeminis dalam Buku Menyapa
Bumi Menyembah Nyang Ilahi: Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius,
2008), 103.
113
mampu meluapkan kasih Allah bagi sesamanya (tidak terkecuali bagi ciptaan lain,
selain manusia). Manusia dituntut agar memiliki hati layaknya seorang ibu yang
mencintai dan memelihara alam sebagai anaknya. Hati seorang ibu dipilih karena
menceritakan tentang relasi yang hidup antara Tuhan dengan ciptaan-Nya; ibu dengan
anaknya; manusia dengan lingkungannya yang digambarkan sebagai berikut:
Allah sebagai pencipta, penguasa dan pemberi kehidupan, tetapi juga
memberikan kebebasan kepada manusia.
Ibu sebagai yang melahirkan manusia baru di bumi, bertanggungjawab
atas anak yang dilahirkan, tetapi bukan sebagai penguasa dan
penindas.
Manusia sebagai citra Allah, yang diberi kuasa atas semua ciptaan
yang lain bukan untuk menghancurkan, tetapi mengalirkan kasih yang
telah diterimanya.13
Ikatan yang terjalin antara Allah dan ciptaan-Nya, ibarat ikatan antara seorang
ibu dan anak yang begitu dikasihinya. Allah begitu mengasihi ciptaan-Nya, tidak
terkecuali, Allah tidak hanya mengasihi manusia tetapi semua yang Dia ciptakan
mendapat kasih dan berkat yang sama. Keistimewaan manusia sebagai yang ditulis
dalam Kejadian 1:26-28 menceritakan bagaimana manusia itu diciptakan serupa dan
segambar dengan Allah, dan juga mendapatkan mandat untuk berkuasa atas alam
semesta.
13 M. Henrika, Panggilan Berhati Ibu bagi Semua: Kajian Ekofeminis, … 104
114
4.3 Empat Pandangan tentang Perilaku Masyarakat terhadap Alam atau
Lingkungan
Hasil penelitian dan temuan penulis di lapangan menunjukkan bahwa sebenarnya
masyarakat Amarasi menganut empat pola perilaku dan pikir terhadap alam atau
lingkungan yang mempengaruhi tindakan masyarakat dalam memperlakukan
lingkungan khususnya dalam bidang pertanian, yakni:
Antroposentris
Manusia memandang dirinya sebagai pusat alam semesta, sebagai pusat dan
tolok ukur bagi semua kebijakannya dalam penataan seluruh alam semesta.
Manusialah yang diberikan mandat untuk memberikan nama kepada semua ciptaan
yang ada. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa alam hanya semata menjadi objek
untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Tujuan Allah menciptakan manusia
adalah untuk menguasai alam, tetapi bukan mengeksploitasi dan mendominasi dalam
hal yang buruk. Kata “menguasai” sebenarnya adalah memahami, mengenali secara
mendalam dan karenanya memanfaatkan untuk kehidupan yang lebih baik, bukan
sebaliknya menyebarkan kematian.14 Ciptaan yang sebenarnya setara kedudukannya
berubah menjadi objek-subjek karena paham antroposentrisme. Krisis lingkungan
sebenarnya muncul dari sikap dan cara pandang antroposentris. Sikap antroposentris
yang kemudian diikuti dengan teknologi dan pengetahuan modern yang tidak
bertanggungjawab, menjadi satu paket yang pada akhirnya memperparah kehidupan
di alam semesta. Panggilan berhati ibu sebenarnya mau menyadarkan manusia bahwa
hubungan manusia dan alam seharusnya mengikuti pola hubungan ibu dan anak yang
14 M. Henrika, . . . 123
115
saling mengasihi dan memelihara.15 Inilah yang menjadi kritikan White, jika manusia
cenderung mengklaim kalau alam hanya diciptakan untuk dirinya, maka yang dia
lakukan adalah bertindak sesuka hatinya dan hal ini masih terjadi dalam masyarakat
tani desa Kotabes.
Di desa Kotabes ada beberapa masyarakat yang masih menganut paham bahwa
semua ciptaan yang ada di dunia diciptakan untuk dirinya, hal ini membuat
masyarakat tani berasumsi bahwa, dia bebas untuk melakukan apa saja terhadap
lingkungan. Bahkan ada masyarakat tani yang berpendapat kalau tanah yang Tuhan
ciptakan adalah tempat mencari makan dan minum sehingga tidak menjadi persoalan
ketika tanah diolah sedemikian rupa sesuai dengan keinginan masyarakat.16 Hal
tersebut tidak salah, tetapi yang menjadi persoalan adalah ketika tanah tidak
diperlakukan dengan baik dan penuh tanggungjawab. Dampak dari pandangan
antroposentris adalah beberapa masyarakat tani di desa Kotabes, tetap melakukan
kegiatan bertani yang tidak ramah lingkungan.
Biosentris
Pandangan biosentris berpendapat bahwa bukan hanya manusia saja yang
bernilai dan memiliki citra yang serupa dengan Allah, tetapi alam juga mempunyai
nilai yang sama yang setara dengan manusia. Pandangan ini menegaskan bahwa
semua makhluk memiliki nilai pada dirinya sendiri sehingga pantas untuk
diperhitungkan. Hubungan yang didasarkan antara manusia dan alam dan seluruh
15 M. Henrika, . . . 124 -125 16 Wawancara Ibu Sarah Maniyeni pada Jumat, 23 Juni 2017 Pkl. 15.00WITA
116
isinya memiliki harkat dan nilainya dalam komunitas kehidupan di bumi. Alam
sendiri mempunyai nilai justru karena ada kehidupan di dalam dirinya. Manusia juga
demikian menjadi bernilai dan berarti justru karena kehidupan yang ada di dalam
dirinya. Sampai pada akhirnya tanah dan bumi dengan demikian memiliki arti dari
dirinya dan harus diperlakukan dengan adil karena hidupnya.17 Paham atau
pandangan ini bagi masyarakat tani di desa Kotabes, dipahami secara lain bahwa bagi
masyarakat hewan pengganggu harus dibasmi atau dicegah sehingga tidak
menggangu tanaman. Hal ini terlihat dengan beberapa masyarakat yang mencampur
air dengan pupuk kimia atau zat beracun dan ditaruh di dalam kebun yang ketika
diminum oleh hewan akan mengalami keracunan dan mati dengan sendirinya. Paham
ini bagi masyarakat dipahami dari sisi yang lain, bahwa setiap hewan pengganggu
harus dibasmi agar tanaman dapat tumbuh dengan baik.18 Paham biosentris yang
semestinya menganggap semua makhluk hidup adalah satu kesatuan menjadi
kebalikannya yakni makhluk yang harusnya di jaga dan diperhatikan hanyalah
manusia.
Ekosentrisme
Jika dalam pandangan antroposentris yang berpusat hanya pada manusia dan
biosentris yang berpusat pada semua makhluk hidup selain manusia, maka
ekosentrisme memusatkan perhatiannya pada komunitas ekologis, baik yang hidup
maupun yang tidak hidup (tanah, air, udara). Karena secara ekologis, semua makhluk
hidup dan benda abiotik selalu berkaitan satu sama lain dan saling membutuhkan.
17 M. Henrika, . . . 126 18 Wawancara Wasti Nubatonis, pada Jumat, 23 Juni 2017 pukul 17.00WITA
117
Deep Ecology merupakan satu satu versi teori ekosenris yang dikembangkan oleh
Arne Naess seorang filsuf Norwegia, yang mulai mengembangkan prinsip-prinsip
dasariah deep ecology pada tahun 1970-an, mengingat bahwa manusia adalah bagian
dari alam semesta. Naess merasa frustasi karena kegagalan yang dialami oleh para
ekolog dan ilmuwan dalam menemukan akar-akar terdalam dari krisis lingkungan
hidup.19 Bagi Naess ada tiga prinsip dasar deep ecology, yakni pertama, semua
kehidupan insani pada dasarnya memiliki nilai dalam dirinya sehingga ini membuat
manusia tidak boleh dengan sesuka hati merampas nilai yang ada tersebut. Kedua,
pada dekade-dekade terakhir ini terjadi ledakan populasi dunia dan kepedulian
manusia pada jenis-jenis kehidupan perlahan mulai hilang. Ketiga, untuk mencapai
keseimbangan yang sehat, perubahan-perubahan signifikan perlu dilakukan baik
dalam struktur ekonomi, ideologis, dan lain sebagainya.
Deep Ecology menuntut suatu etika yang berpusat pada makhluk hidup secara
menyeluruh dalam kaitannya dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup.
Prinsip moral yang dikembangkan oleh deep ecology sebenarnya adalah menyangkut
kepentingan seluruh komunitas ekologis. Deep ecology melihat permasalahan
lingkungan dalam relasional dan berusaha untuk mencari dan melihat akar
permasalahan secara komplit dan komprehensif untuk selanjutnya diatasi secara
mendalam. Dalam deep ecology disadari sesungguhnya bahwa krisis lingkungan
disebabkan oleh faktor yang paling fundamental, yakni cara pandang dalam diri
19 A. Naess: “Intuition, Intrinsic Value and Deep Ecology”. Dalam The Ecologist.
Vol.14,no.5-6, (1984): 201-202
118
manusia tentang dirinya, alam dan tempat manusia dalam alam.20 Deep ecology
nampaknya dapat menjawab keperluan mendasar di tengah perusakan bumi, deep
ecology hadir dan berupaya untuk menata kembali konsep mengenai relasi kosmologi
dan kosmogini.21 Temuan penulis di lapangan bahwa masyarakat tani yang ada di
desa Kotabes belum paham betul akan bahaya dari cara bertani yang dilakukan.
Lingkungan hanya dipahami masyarakat sebagai tempat memenuhi kebutuhan hidup
dengan cara bercocok tanam tanpa peduli bahwa praktik bertani akibat masuknya
revolusi hijau mengancam ekosistem pertanian. Deep ecology sebagaimana yang
Naess ungkapkan nampaknya akan menjadi wacana semata ketika tidak diikuti
dengan kesadaran dan rasa memiliki bahwa ekosistem juga bagian dari kehidupan
manusia itu sendiri. Hasil temuan penulis di lapangan menunjukkan bahwa,
kesadaran akan cara bertani yang aman terhadap lingkungan masih sangat kurang,
akibatnya masyarakat memandang ekosistem hanya sebagai tempat bagi dirinya.
Makhluk lain bukan menjadi prioritas dan agenda manusia dalam hidupnya. 22
Ekofeminisme
Perjuangan utama kaum feminis adalah meyakinkan manusia modern bahwa ada
beragam cara pandang, cara berpikir, dan cara berada. Bahwa ada sebuah entitas
berbeda dan beragam dalam hidup ini. Dunia bukan hanya dunia laki-laki, tetapi juga
20 M. Henrika, . . . 127 21 Kosmologi yakni ilmu tentang asal usul kejadian bumi, hubungannya dengan sistem
matahari dan jagat raya atau dengan kata lain ilmu tentang alam semesta sedangkan kosmogini yakni
teori tentang asal mula terjadinya benda langit dan alam semesta. 22 Hal ini penulis temukan ketika melakukan observasi langsung, hujan yang jarang turun juga
menjadi salah satu faktor terjadinya gagal panen. Ketika itu terjadi maka jalan satu-satunya yang
dilakukan oleh masyarakat tani adalah memesan air tanki dengan harga berkisar rp.150..000-
175.000/5.000Ltr.
119
dunia perempuan. Feminisme hadir untuk menggugat cara pandang, bahkan nilai
yang umum diterima berlaku menyangkut perubahan revolusioner atas sistem yang
ekonomi dan politik yang meminggirkan dan menimbulkan ketidakadilan bagi
perempuan. Dalam kerangka ekologi, ekofeminisme merupakan sebuah gerakan yang
ingin mendobrak pandangan antroposentrisme yang lebih mengutamakan manusia
daripada alam semesta seperti juga pandangan biosentrisme dan ekosentrisme.
Kontribusi utama ekofeminisme sebenarnya adalah membantu banyak pihak dalam
memahami akar permasalahan krisis lingkungan yang berakar pada dominasi
manusia. Setiap upaya untuk menyelamatkan alam semesta tidak akan berhasil ketika
tidak diikuti dengan upaya menghapus cara pandang patriakhi dalam masyarakat
modern saat ini. Adanya kesetaraan dalam semua makhluk ekologis, maka
ekofeminisme menawarkan kasih sayang, harmoni, cinta, tanggungjawab dan saling
percaya antara satu dengan lainnya.23 Hasil temuan penulis di lapangan menunjukkan
bahwa sebagian masyarakat terkhusus kaum perempuan, masih menunjukkan sikap
peduli terhadap lingkungan. ini jelas terlihat dengan proses bertani yang ramah akan
tanah dan tanaman. Sikap seperti ini harusnya ditularkan kepada semua masyarakat,
tidak saja kaum perempuan yang melakukannya. Namun demikian, hal ini sepertinya
sulit dilakukan mengingat kepelbagaian pola dan perilaku masyarakat.
Ada banyak tafsiran terhadap perikop ini yang memunculkan kerakusan manusia
atas alam semesta, pengerusakan dan pengeksploitasian yang dilakukan manusia
karena alam dan segala ciptaan diberikan untuk diusahakan demi dan untuk
23 M. Henrika, . . . 127-129
120
kepentingan dirinya. Kembali kepada panggilan berhati ibu yang menekankan
hubungan yang begitu dekat antara manusia dan ciptaan, ibu sebagai perantara
kehidupan yang memiliki tugas melahirkan, memelihara, menjaga, mendidik dan
melestarikan nampaknya harus menjadi model pembelajaran bagi manusia agar
memperlakukan alam dan lingkungan dengan baik dan bartanggungjawab. Umat
manusia pada umumnya dan masyarakat tani pada khususnya harus diingatkan bahwa
kehadirannya di bumi adalah untuk mengelola, mengusahakan dan menjaga alam
semesta dengan penuh kasih dan bertanggungjawab layaknya seorang ibu.
Pertanian organik atau yang ramah lingkungan nampaknya menjadi pilihan
berhati ibu kalau mau dilihat dari perspektif ekofeminisme dengan beberapa prinsip
yang ditekankan, yakni menghapus ketergantungan, merehabilitasi atau
mengembalikan kelestarian lingkungan, meraih keuntungan, dan menjamin keadilan
dalam bidang pertanian saat ini. Revolusi hijau nampaknya harus gulung tikar sebab
pengaruh yang ditimbulkan tidak sebaik kampanye yang dilakukan semenjak gerakan
tersebut dilakukan. Semua pihak harus ikut bertanggungjawab dan ikut memperbaiki,
baik masyarakat itu sendiri, pemerintah maupun gereja sebagai satu kesatuan yang
tidak terpisahkan. Ibarat batu tungku di mana ketiganya harus “duduk” secara baik
agar tidak terjadi ketimpangan. Kesadaran harus diikuti dengan sikap yang
bertanggungjawab yang juga mampu menjadi virus yang baik orang lain. Kaum
perempuan tani di desa Kotabes memiliki hati ibu yang peduli dengan lingkungannya
Di saat banyak pihak mulai beralih pada pertanian modern yang merusak lingkungan,
perempuan masih mempertahankan kebiasaan bertani tradisional dengan nilai-nilai
121
yang diyakini sebagai nilai luhur. Kesadaran ini seharusnya ditularkan kepada banyak
pihak dan tidak memandang laki-laki atau perempuan, orang muda atau anak-anak.
Masyarakat tani di desa Kotabes sebenarnya mengalami dilema antara
menyetujui revolusi hijau dan yang tidak sama sekali. Namun demikian, data
lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar pro dengan revolusi hijau.24 Di bagian
awal, penulis sudah banyak menjelaskan bahwa pandangan masyarakat tani di desa
Kotabes juga dipengaruhi dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan. Ada
masyarakat yang menganggap biasa saja dengan sistem bertani yang ia lakukan
karena tuntutan kebutuhan hidup dan ekonomi. Masyarakat tentunya menyadari juga
bahwa masuknya teknologi dan pengetahuan modern memudahkan masyarakat dalam
menyelesaikan pekerjaan. Misalnya, hasil wawancara dengan narasumber
menyatakan bahwa dengan adanya traktor membantu masyarakat dalam mengolah
tanah agar lebih cepat dan efisien. Selain traktor, beberapa kemudahan yang
ditawarkan oleh revolusi hijau antara lain, Pertama, adanya obat pengering rumput.
Kedua, benih atau bibit yang dijual di toko-toko. Ketiga, pupuk kimia.
Sejalan dengan itu juga bahwa peradaban manusia yang terus berkembang,
manusia yang ingin hidup lebih baik namun melupakan beberapa hal ataupun tradisi
yang sebenarnya masih sangat diperlukan pada masa sekarang. Ritual bertanam
misalnya sudah tidak dilakukan dengan alasan bahwa hasil panen atau buah pertama
akan dibawa ke gereja sebagai bentuk persembahan. Ritual tanam digantikan dengan
24 Perlu disadari juga bahwa pada satu sisi masyarakat sendiri kurang paham dengan kata
revolusi namun karena penulis berusaha untuk mencari agenda-agenda revolusi hijau seperti
penggunaan bibit unggul, pupuk kimia dan pembasmi kimia maka setidaknya ada informasi-informasi
yang dapat penulis peroleh.
122
doa yang dilakukan oleh Pendeta ketika masyarakat tani hendak membuka ladang
untuk bertanam. Masuknya agama dalam hal ini Kekristenan, secara perlahan
mengubah pola pikir yang ada dan mengakibatkan masyarakat menganggap ritual
tanam dan panen adalah sesuatu yang salah serta tidak boleh dilakukan lagi.
Kehidupan bertani yang tradisional yang masih dekat dengan alam kemudian
perlahan mulai berubah menjadi kehidupan bertani yang lebih modern, dengan
beberapa catatan penting bahwa kebutuhan hidup semakin banyak, harga barang
semakin mahal dan sudah tidak ada lagi keuntungan ketika masih mau bertani secara
tradisional. Pola perilaku dan pengetahuan masyarakat tani perlahan mulai
dipengaruhi oleh gerakan revolusi hijau dengan segala kemudahan yang tidak
disadari dengan cepat oleh masyarakat desa Kotabes. Pengaruh yang ditimbulkan
tidak saja terhadap manusia, makhluk hidup lain tetapi juga terhadap ekosistem.
Masuknya revolusi hijau mengubah banyak hal dalam kehidupan masyarakat tani di
desa Kotabes dan juga dampak dari pandangan masyarakat yang antroponsentris,
biosentris, ekosentris dan ekofeminis, mempengaruhi masyarakat tani yang
berhubungan dengan bentuk-bentuk perubahan pola bertani. Di bawah ini penulis
membuatnya dalam empat poin penting yakni:
1) Penggunaan alat-alat pertanian yang lebih modern dan tidak ramah
lingkungan.
Moderniasai dapat dipahami sebagai penerapan pengetahuan ilmiah yang ada
kepada semua aktivitas atau aspek-aspek dalam bidang kehidupan manusia.25 Segi
25 J. W. Schoorl, Modernisasi (Jakarta: Gramedia, 1980), 4
123
modernisasi yang paling menonjol adalah dalam bidang teknik produksi dan
industri di mana sisi yang paling menonjol adalah perubahan metode tradisional
ke metode yang lebih modern. Misalnya, dalam bidang pertanian, perubahan
mulai terjadi sejalan dengan perdaban kehidupan manusia yang terus
berkembang. Penggunaan alat-alat atau metode tradisional pada masa kini sudah
tidak efisien lagi. Teknologi dan metode modern menjadi malaikat penolong bagi
proses bertani yang menawarkan banyak sekali keuntungan dan kemudahan. Pada
akhirnya dasar dari semua perubahan adalah dalam cara manusia berpikir, seperti
yang diungkapkan oleh J.W. Schoorl, bahwa:
Ada penghargaan yang positif terhadap perubahan, khususnya dalam bidang-
bidang kehidupan tertentu seperti ekonomi dan ilmu pengetahuan. Ada
semacam rasa optimisme yang didasarkan pada pengertian kemajuan,
pengertian evolusi. Kegiatan ekonomi sangat dihargai. Bekerja dipandang
sebagai sesuatu yang baik, yang mutlak. Sistem kepercayaan dan pandangan
dunia berubah sifatnya menjadi lebih universal, di mana masyarakat dunia
secara keseluruhan mendapat tempat dan arti. Bersamaan dengan hal itu
terjadi sebuah sekularisasi . . . . agama dan pandangan hidup berkurang
kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain.26
Sikap-sikap modern adalah ciri-ciri manusia baru atau manusia modern yang
terdiri dari beberapa sikap yakni: pertama, efisiensi. Kedua, kerajinan. Ketiga,
keteraturan. Keempat, ketepatan waktu. Kelima, penghematan. Keenam,
kejujuran yang teliti (yang meningkatkan efisiensi dalam segala hubungan sosial
dan ekonomi dlam jangka panjang). Ketujuh, rasionalitas dalam memutuskan
tindakan (pembebasan dari kepercayaan pada adat statis, dari kecenderungan
untuk memihak pada kelompok tertentu dan memandang bulu, dari tahyul dan
prasangka). Kedelapan, kesediaan untuk berubah (membuat percobaan,
26 J. W. Schoorl, Modernisasi, . . . 3
124
menempuh jalan baru serta pindah tempat, kedudukan dan pekerjaan).
Kesembilan, kesediaan untuk membuat rencana jangka panjang (menolak
keuntungan jangka pendek, subordinasi spekulasi kepada investasi, dan
sebagainya).27
Harus diketahui bersama bahwa modernisasi memerlukan manusia atau
orang-orang yang mengerti bahwa perubahan adalah sebuah unsur yang normal
dalam kehidupan manusia, juga bahwa lewat perubahan-perubahan yang terjadi
manusia diharapkan untuk mengambil nilai yang dianggap penting. Manusia
modern percaya bahwa ilmu pengetahuan serta teknik dan metode ilmiah
memudahkan dan bahkan memungkinkan masyarakat untuk mempergunakan
alam dan memperbaiki kehidupan.28 Kenyataannya sekarang teknologi dan ilmu
pengetahuan disalahgunakan oleh manusia-manusia modern yang memiliki
kepentingan tertentu, dampaknya tidak saja bagi kehidupan manusia tetapi
kehidupan lingkungan. Teknologi yang awalnya membantu masyarakat
khususnya alat pertanian, perlahan mulai menjadi tidak ramah lingkungan.
Perubahan ini yang jelas dialami oleh masyarakat tani di desa Kotabes.
2) Kearifan lokal masyarakat yang mulai digantikan dengan pengetahuan
modern.
Karena modernisasi memerlukan manusia yang rasional dan pragmatis, maka
semua program pembangunan harus berdasarkan pada kepercayaan bahwa dengan
27 Gunnar Myrdal Basis XVI, No. 3, 77 28 Malcom Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1989), 144-145
125
pikiran logis manusia dapat memecahkan semua masalah yang menghambat
proses kemajuan.29 Menurut Emerico P. Nacpil, seorang uskup Methodist di
Filipina, menjelaskan bahwa gambaran manusia tradisional orang Filipina
umumnya berlaku juga bagi orang di Asia. Nacpill memberikan tiga sikap
manusia tradisional yang bertentangan dengan pikiran manusia modern, yakni
pertama, pikiran orang Filipina berdasarkan pada sikap menyembah dan
mengagumi, bukan keinginan untuk mengerti. Lingkungan alam dianggap penuh
dengan kuasa-kuasa gaib yang dipengaruhi oleh roh-roh, dewa-dewa dan nenek
moyang. Bagi orang Filipina yang juga mewakili orang Asia menganggap bahwa
alam tidak dapat diuraikan dan dikuasai oleh cara ilmiah. Kedua, baik orang
Filipina dan Asia sama-sama menyukai keselarasan dan persatuan dengan alam,
manusia bersatu dengan alam sehingga keduanya dianggap saling membutuhkan.
Ketiga, pengertian orang Filipina dan Asia biasanya berdasarkan pada mitos,
bukan konsep ilmiah.30 Nilai-nilai Asia tradisional lebih mengutamakan
kestabilan daripada perubahan, bagi orang Asia waktu dianggap berjalan sesuai
dengan peredaran musim-musim tanam dan musim-musim panen yang berselang-
seling. Kearifan lokal masyarakat khususnya di desa Kotabes perlahan mulai
ditinggalkan dengan alasan tidak mampu lagi menjawab persoalan kebutuhan
hidup manusia. Salah satunya pengetahuan tentang obat tradisional untuk
menjaga tanaman dan membasmi hama serta penyakit tanaman.
29 Malcom Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, . . . 145 30 Malcom Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, . . . 145
126
Kearifan lokal pada akhirnya harus tetap dijaga oleh masyarakat, meskipun
tidak lagi mampu menandingi pengetahuan modern, tetapi paling kurang kearifan
lokal yang tetap dijaga dan dipelihara dapat menjadi penyeimbang bagi kehidupan
alam. Sikap manusia dalam memandang alam juga berbeda. Manusia tradisional
lebih pasif sebab dianggap bersatu dengan alam yang keramat dan harus hidup
selaras dengan alam sedangkan manusia modern lebih aktif dalam memandang
alam, manusia harus berusaha untuk mengerti hukum-hukum alam dan
menaklukkannya Manusia sebagai subjek yang berhadapan dengan alam sebagai
objek, alam tidak dimaknai secara keramat sehingga alam dengan hukum-
hukumnya harus diselidiki dan dimengerti.31
Masyarakat desa Kotabes sendiri sejak dahulu kala memiliki kearifan lokal
sebut saja pemahaman mereka tentang adanya dewa penguasa dan penjaga alam
semesta. Semua yang masyarakat lakukan tidak boleh menganggangu alam
semesta, bekerja sesuai dengan ritme yang telah ditentukan oleh alam.
Kepercayaan akan terjadinya bencana ketika memanfaatkan alam dengan tidak
bertanggungjawab.32 Hal inilah yang seharusnya dimaknai oleh teologi dalam hal
ini Kekristenan, bagaimana melihat kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat
kemudian menggabungkan dengan ajaran-ajaran teologi (gereja) sehingga
masyarakat mampu memperlakukan alam dengan penuh kasih dan
bertanggungjawab, sehingga dogma gereja tidak hanya terkungkung dalam
mimbar-mimbar gereja semata.
31 Malcom Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, . . . 153 32 Lihat Bab III Hal 76-77
127
3) Orientasi bertani yang hanya semata demi uang sehingga berusaha
mencari alternatif dan kemudahan-kemudahan
Manusia sebagai makhluk yang bekerja seperti yang dikatakan oleh Marx,
terus berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun kegiatan bekerja itu
terkadang merusak ciptaan yang lainnya, salah satunya tanah.33 Bagaimana
mungkin kebutuhan manusia menjadi terpenuhi dengan baik, tetapi
lingkungannya menjadi rusak dan kelaparan. Fritjof Capra mengungkapkan
bahwa sebuah masyarakat yang berkelanjutan adalah masyarakat yang tidak saja
maju dan sejahtera dalam bidang ekonomi, tetapi juga masyarakat yang sekaligus
secara ekologis ramah dan harmonis dengan alam sebagai sebuah sistem
kehidupan yang autopoesis disipatif.34 Ilmu ekonomi dan ekologi seharusnya
saling melengkapi, bukan saling menjatuhkan satu sama lain.35 Masuknya
revolusi hijau ternyata meniadakan hal tersebut, nilai ekonomi semata dipandang
lebih menguntungkan dan mendatangkan banyak keberuntungan sehingga tidak
ada masalah ketika mengesampingkan alam sebagai bagian dari manusia itu
sendiri. Dalam masyarakat desa Kotabes hal ini benar-benar terjadi bahwa
masyarakat memisahkan diri dari alam bahkan menganggap alam hanya sebagai
objek untuk dikelola demi dan untuk kebutuhan hidup tanpa ada tindakan
33 George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai
Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern (Bantul: Kreasi Wacana, 2016), 46-47 34 Autopoesis disipatif, yaitu menyerap energi dan makanan dari luar, mengolahnya lalu
mengeluarkan sisa proses metabolisme sebagai limbah, yang akan diserap oleh sistem kehidupan
lainnya yang juga akan berproses secara sama, dalam interaksi saling terkait dan menunjang kehidupan
satu sama lain di unduh dari http://www.menlh.go.id/melek-ekologis/, pada Kamis, 28 September
2017. Pkl. 23.10WIB 35 Frijof Capra, Bioregionalisme: menyatunya ekonomi dan ekologi dalam jurnal Etika Sosial,
Respons, Vol. 17, No. 1, Juli 2012.
128
mengembalikan kelestarian alam. Orientasi bertani yang dilakukan oleh
masyarakat tani di desa Kotabes, bukan semata demi memenuhi kebutuhan hidup,
tetapi mulai beralih menjadi nilai ekonomi. Masyarakat tidak lagi peduli apakah
kegiatan bertani yang dilakukan tetap melestarikan lingkungan atau sebaliknya
tidak. Karena orang tradisional pada awalnya hanya bekerja untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya, ia akan berhenti ketika ia sudah cukup memenuhi kebutuhan
hidupnya. Hal ini berbeda dengan orang yang mencari keuntungan di mana ia
akan bekerja supaya mendapatkan keuntungan yang lebih besar.36
4) Revolusi hijau berdampak pada rusaknya tanah dan hilangnya tanaman-
tanaman lokal
Dalam pandangan orang Timor atau atoinmeto, tanah dalam bahasa Dawan
dikenal dalam dua kata, yakni afu dan nain/naijan. Kata afu berhubungan dengan
afa yang artinya lemak, lambang kemakmuran dan kesejahteraan. Orang yang
sejahtera adalah mereka yang memiliki tanah dan merawat serta memelihara
tanahnya, sedangkan konsep lainnya, yakni naijan yang mempunyai akar kata
yang dekat dengan kata nai yang artinya leluhur dan nai yang artinya periuk serta
nain yang artinya kerabat. Dalam pandangan orang Meto tanah, leluhur, periuk,
dan kerabat saling berhubungan erat satu sama lainnya. Tanah sebagai nai atau
periuk dipahami oleh masyarakat Meto sebagai sebagai tempat di mana
masyarakat mencari makanan untuk dibagi kepada semua anggota keluarga. Di
atas tanah tumbuh berbagai jenis tanaman, tak ada satupun makanan manusia
36 Malcom Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, . . . 157
129
yang tidak berasal dari dan berhubungan dengan tanah. Bahkan semua makhluk
hidup yang bergerak, termasuk binatang, hidup dari apa yang tumbuh di atas
tanah. Tanah menjadi periuk kehidupan, tempat manusia mengolah hidup. Di atas
tanah yang sama pula, manusia bergumul untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya.37 Filosofi ini tidak lagi menjadi sebuah pegangan bagi masyarakat,
tanah sudah tidak lagi menjadi satu kesatuan sehingga masyarakat dengan
gampang menggunakan kemampuannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang
diinginkannya. Tanah sebagai periuk kehidupan, beralih fungsi menjadi tanah
sebagai lahan ekonomi. Periuk kehidupan terpenuhi akan tetapi tidak
menguntungkan bagi tanah maupun makhluk hidup lainnya. Tanah sudah
memelihara manusia, namun demikian hubungan timbal balik dari manusia
memelihara tanah nampaknya tinggal cerita semata.
Teknologi dan pengetahuan modern telah mengubah paradigma berpikir
masyarakat dan membuat masyarakat melupakan kearifan lokal yang mereka
miliki. Hal ini pula yang dikemukakan oleh Vandana Shiva, dalam tulisannya
yang berjudul Ecological Balance in an Era of Globalization38 mengkritik bahwa
masuknya globalisasi mengubah sistem tatanan yang ada di dalam kehidupan
masyarakat. Ia menggunakan masyarakat India sebagai contoh konkirt bagaimana
globalisasi menarik kearifan lokal masyarakat yang menjaga dan melestarikan
37 Mery L. Y. Kolimon, Teologi Ramah Tanah di Timor Barat dalam Jurnal Oase STT INTIM
(Teologi Tanah: Perpektif Kristen terhadap Ketidakadilan Sosio-ekologis di Indonesia), 25-26 38 Frank J. Lechner and John Boli (ed), The Globalization Reader Second Edition (Blackwell
Publishing, 2003), 422
130
alam menjadi kehidupan yang merusak alam. Ia menyebutnya sebagai “yang
global menarik yang lokal.”
Bagi Shiva perlu adanya keseimbangan ekologi di era globalisasi saat ini.
Tidak adanya keseimbangan menyebabkan masyarakat India sebagai negara dunia
ketiga dijadikan tempat sampah yang meracuni dan merusak alam serta
lingkungan.39 Globalisasi secara tidak langsung menciptakan masalah baru yang
berujung pada kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Temuan penulis di
lapangan menunjukkan bahwa peradaban manusia yang semakin berkembang
membuat masyarakat menjadi semakin ingin hidup instan, tidak mau susah-susah
ataupun berkeringat. Pada akhirnya hal tersebut akan membuat manusia merusak
ciptaan lainnya. Berkaca dari peristiwa di India, mengenai globalisasi yang
merusak lingkungan (pembuangan sampah, polusi udara) Shiva mencoba untuk
tetap terus mempertahankan kearifan lokal, menjaga keseimbangan lingkungan di
era globalisasi, menolak penggunaan bahan kimia pada tanaman sebagai bentuk
penolakan mereka akan masuknya arus globalisasi yang berdampak buruk.
Hal inilah yang seharusnya menjadi contoh bagi komunitas di setiap daerah,
di Desa Kotabes pemikiran untuk membentuk sebuah komunitas yang peduli
terhadap lingkungan khususnya dalam pertanian belum dipikirkan, mengingat
sumber daya manusia yang masih memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Inilah
kemudian yang juga menjadi pergumulan bersama bahwa bagaimana terus
39 Retnowati, Agama dan Globalisasi: Refleksi Teori-teori Globalisasi dan Relevansinya
Terhadap Persoalan-persoalan Sosial, Gereja dan Masyarakat (Salatiga: Fakultas Teologi, 2015), 61
131
menjaga lingkungan alam, menjaga sumber pangan, menjaga keanekaragaman
hayati yang mulai rusak di tengah-tengah era globalisasi yang terus masuk dalam
kehidupan masyarakat. Filosofi ini pada akhirnya, ingin mengingatkan manusia
bahwa dia berasal dari alam, manusia bukan tuan atas alam, tetapi saudaranya.
Hubungan manusia Timor dengan tanah bukanlah hubungan hirarkis-dominatif,
tetapi sebuah hubungan mutual-equalis. Tanah memelihara kehidupan manusia,
begitupun sebaliknya manusia memelihara tanah. Oleh karena sama-sama berasal
dari tanah, manusia seharusnya tidak merusak tanah dengan penggunaan pupuk
kimia dan pestisida yang tidak bertanggungjawab dan merugikan ciptaan yang
lain. Manusia bersama dengan alam harus menjadi rekan kerja. Pertanian yang
ramah lingkungan harusnya tetap dijaga dan lebih ditingkatkan kembali. Selain
sebagai makhluk sosial, manusia sebenarnya adalah makhluk ekologis. Manusia
tidak saja membutuhkan orang lain, tetapi juga membutuhkan alam sebagai
bagian dari hidupnya. Manusia tidak dapat menjadi manusia tanpa lingkungan
hidup, tidak dapat hidup tanpa air, udara, tanah, dan makhluk hidup lainnya.
Kalaupun demikian manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa
interaksi dan saling mempengaruhi, saling terkait dengan sesama makhluk hidup
lainnya.40 Penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan berdampak
pada menurunnya kualitas tanah, unsur hara yang terkandung di dalam tanah pada
akhirnya tidak dapat memberikan kesuburan bagi tanaman. Hal ini membuat
tanah harus terus disiram dan tetap basah.
40 Sonny Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup (Jogjakarta: Kanisius, 2014), 90
132
4.4 Tinjauan Ekoteologi terhadap Pandangan Masyarakat Desa Kotabes tentang
Pengaruh Revolusi Hijau dalam Bertani
Tinjauan ekoteologi yang penulis gunakan untuk mengkaji persoalan revolusi
hijau terhadap bertani yang ramah lingkungan bukanlah semata-mata mau
menegaskan bahwa tinjauan ekoteologi adalah yang paling tepat dan menjadi
alternatif paling ampuh dalam menangani masalah ini, tetapi tinjauan ekoteologi
setidaknya dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan yang membantu
masyarakat tani secara umum tentang bagaimana kembali membina relasi atau
hubungan yang baik dengan alam semesta sebagai bagian dari dirinya. Dalam bab II,
penulis sudah sangat jelas memberikan beberapa konsep tentang ekoteologi baik
secara umum maupun secara khusus yang berasal dari pikiran beberapa ahli seperti
Lynn White, Sallie McFague, Denis Edwards, Aldo Leopold, John B. Cobb, Simone
Morandini dan Leonardo Boff. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemunculan para
ekoteolog bermula dari keprihatinan tentang krisis ekologi atau lingkungan hidup
yang terjadi sekarang ini.
Program revolusi hijau dianggap sebagai masa depan untuk menjaga ketahanan
pangan penduduk dunia. Namun demikian masa kejayaan itu mulai tidak lagi
mendapatkan respon ketika program revolusi hijau ternyata menyimpan banyak
rahasia, sebut saja pengetahuan dan politik. Beberapa sumber menyebutkan bahwa
pada awalnya program revolusi hijau ini membawa kesuksesan ketika diterapkan
pada satu daerah di India, di mana benar-benar mengalami revolusi hijau dalam
produksi gandum, juga sumber lain menyebutkan bahwa ini bukan hal yang pertama
133
tetapi sudah ada dan tidak terlepas pisahkan dari proses yang sudah dimulai sekitar
tahun 1950.41 Seperti yang diketahui bersama bahwa India pada tahun 1967
mengalami kekurangan pangan dan masih mengimpor puluhan juta ton beras ataupun
gandum dari negara lainnnya. Dengan keadaan yang demikian, muncullah pemikiran
untuk mengubah sistem pertanian tradisional. Oleh karena itu, teknologi baru harus
ditemukan melalui sebuah penelitian. Beberapa negara yang sudah lebih dulu maju,
seperti Meksiko, Taiwan dan Sudan, sudah sejak lama meninggalkan pola pertanian
tradisional karena dianggap tidak lagi dapat memenuhi kenaikan permintaan pangan
akibat pertambahan penduduk yang pesat dan kenaikan pendapatan industri.42
Sejalan dengan itu jelas benar yang dikatakan oleh ekoteolog White bahwa salah
satu akar krisis ekologi adalah teknologi dan ilmu pengetahuan dari Barat, namun
kelemahan yang tidak disadari bahwa pemicu kerusakan lingkungan terjadi oleh
karena perubahan pola perilaku manusia. Revolusi hijau dalam kegiatan bertani,
merupakan salah satu agenda yang dibawa oleh teknologi dan ilmu pengetahuan
modern. Revolusi hijau menjadi negatif ketika disalahgunakan oleh orang-orang yang
menggantungkan dirinya pada nilai ekonomi atau keuntungan semata dan menjadi
bingung ketika masalah mulai terjadi. Seorang ekoteolog lain bernama Sallie
McFague menggambarkan bahwa alam semesta sebagai bagian dari the body of God
artinya alam semesta juga bagian dari tubuh Kristus yang saling melengkapi dan
membutuhkan. Oleh karenanya, manusia dan alam sudah seharusnya menjadi kawan
41 Sri Widodo & Pinjung Nawang Sari, Dinamika Pembangunan Pertanian (Jogjakarta:
Liberti Jogjakarta, 2016), 3-4 42 Sri Widodo & Pinjung Nawang Sari, Dinamika Pembangunan Pertanian, . . . 2
134
sekerja Allah dalam dunia ini. Manusia sudah tidak lagi berada di atas alam untuk
berkuasa, merusak dan mengeksploitasi, tetapi harus menjaga, memelihara, dan
merawat ibarat seorang ibu yang merawat anak yang dikasihinya. Revolusi hijau yang
berdampak pada rusaknya ekosistem nampaknya bukan bagian dari the body of God,
namun karena kecenderungan untuk lebih hebat dari Sang Pencipta yang menguasai
dunia. Hal inilah yang dikatakan oleh Vandana Shiva yakni:
“Neither God nor traditions is privileged with the same credibility as
scientific rationality in modern cultures… The project that science’s
sacredness make taboo is the examination of science in just the ways any
other institution or set of practices can be examined.”43
Lain halnya dengan ekoteolog John B. Cobb, menurutnya banyak orang yang
menganggap bahwa kerusakan lingkungan hanya dapat diatasi dengan teknologi
canggih, tetapi banyak orang juga lupa bahwa tidak semua teknologi canggih dapat
menyelesaikan semua permasalahan lingkungan. Teknologi canggih justru cenderung
menjadikan alam sebagai objek untuk dirombak. Kerusakan lingkungan hanya dapat
diatasi jika ada perubahan visi dan misi tentang alam, tentang posisi manusia yang
cenderung antroposentris. Revolusi hijau tidak mampu menjawab persoalan
masyarakat dalam menjaga ketahanan pangan sebab pengaruh yang ditimbulkan
adalah merusak lingkungan. Menurut hemat saya, kembali kepada kearifan lokal
dengan mengangkat kembali budaya dan pengetahuan lokal dapat membantu manusia
untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup namun juga dapat menjaga alam.44
43 Vandana Shiva, The Violence of The Green Revolution: Third World Agriculture, Eology
and Politics (London: Zed Books Ltd, 1991), 21 44 Dalam UU No 32 thn 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan definisi
kearifan lokal sebagai nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain
melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
135
Tinjauan ekoteologi dengan sangat jelas menentang revolusi hijau terhadap
proses bertani yang tidak ramah lingkungan karena merusak keutuhan ciptaan dan
hakikat manusia sebagai bagian dari penjaga alam semesta. Solusi yang ditawarkan,
yakni kembali kepada gaya bertani yang ramah lingkungan yang disebut dengan
pertanian organik. Masyarakat seharusnya disegarkan kembali bahwa dulunya
kegiatan bertani yang dilakukan adalah yang ramah terhadap alam, tidak begitu
peduli dengan adanya perubahan, untung ataupun rugi tetapi lebih kepada bagaimana
dapat memenuhi kebutuhan hidup dan lain sebagainya. Ketika nilai-nilai tradisional
mulai bergeser di situlah peran teologi hadir sebagai jembatan atau penyeimbang
yang memberikan pertimbangan-pertimbangan yang dapat membantu baik lewat
etika, tindakan moral maupun spiritualitas dalam diri manusia. Pendamaian dengan
alam semesta perlu dilakukan sebagai bentuk dari penyesalan manusia yang bertindak
melebihi pencipta alam semesta seperti yang dikemukakan oleh Yewangoe dalam
bukunya yang berjudul Pendamaian.
Menurut hemat penulis, para pakar ekoteolog nampaknya hanya mampu
memberikan teori mengenai krisis lingkungan dan faktor penyebabnya, tetapi tidak
mampu memberikan contoh tindakan konkrit yang harus dilakukan oleh manusia
untuk menjaga lingkungan. Nampaknya para pakar ekoteolog harus bekerja sama
dengan banyak pihak agar mampu menciptakan kehidupan harmonis dengan alam
semesta. Kesadaran akan pentingnya lingkungan tidak cukup mampu mengubah pola
pikir masyarakat yang sudah terlanjur menganggap dirinya sebagai “penguasa” alam
136
semesta. Kritikan sangat diperlukan namun sebuah kritikan yang baik dan
membangun harus diikuti dengan aksi atau tindakan nyata.
Krisis atau masalah ekologi yang terjadi juga tidak terlepas dari masalah moral
dan religius. Kualitas moral dan religius seseorang ikut mempengaruhi pola pikiran
dan perilakunya terhadap alam semesta.45 Hal tersebut dapat dirumuskan dalam
beberapa poin di bawah ini. Pertama, masalah moral di mana pemeliharaan dan
perawatan alam semesta adalah masalah makhluk yang berkesadaran atau yang
mempunyai akal budi untuk berpikir. Kita tahu bersama bahwa baik lingkungan
ataupun makhluk hidup lainnya memiliki nilai pada dirinya sendiri yang tidak dapat
diganggu gugat ataupun diambil dengan paksa oleh makhluk yang disebut manusia.
Pendekatan antroposentris lagi-lagi diduga sebagai akar permasalahan lingkungan.
Apalagi diikuti dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang begitu hebat,
akhirnya mengakibatkan alam atau lingkungan mengalami “mimpi buruk” yang
berkepanjangan. Era modernisasi yang menganggap kearifan tradisional masyarakat
lokal sebagai bentuk kebodohan manusia yang memandang dirinya sebagai tuan atas
alam. Artinya bahwa orang modern adalah mereka yang memiliki sikap arogansi dan
menganggap masyarakat tradisional adalah orang-orang yang bodoh. Namun, semua
itu salah karena masyarakat lokal sekali lagi adalah masyarakat yang melihat
keberadaan dirinya sebagai bagian dari alam.46 Kedua, masalah religius di mana
sebagai citra Allah manusia harus peduli dengan taman kehidupan yang telah Allah
45 John Paul II, Peace with God the Creator, Peace with All of Creation (World Day of
Peace, 1 January 1990) 46 Reymundus Sudiarsa. “Merumuskan Tanggungjawab Iman dan Keberpihakan pada
Lingkungan Hidup” dalam Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi(Yogyakarta: Kanisius, 2008),
186-187.
137
ciptakan bagi kehidupannya. Hal ini harus ditandai dengan sikap peduli dan mau
memelihara, sebagai makhluk yang dianggap memiliki akal budi dan dapat berpikir
seharusnya manusia sadar bahwa ia harus menjadi ibu bagi makhluk biotik maupun
abiotik (makhluk hidup maupun benda mati). Pembangunan juga harus
mensejahterakan semua ciptaan tanpa terkecuali.
Kesadaran moral dan religius nampaknya belum disadari dengan baik dan benar
oleh masyarakat desa Kotabes. Masyarakat sudah menyadari pengaruh yang
ditimbulkan dari agenda revolusi hijau terhadap kegiatan bertani yang tidak ramah
lingkungan, namun tetap dilakukan dengan banyak alasan dan pertimbangan.
Kesadaran moral akan pentingnya lingkungan seharusnya lebih ditingkatkan lagi,
demi dan untuk generasi yang akan datang.
4.4.1 Peran Gereja terhadap Pelestarian Lingkungan dan Pemanfaatan
Sumber Daya Alam
Dalam pokok-pokok tugas panggilan bersama (PTPB)47 Persekutuan Gereja-
gereja di Indonesia memberikan beberapa penjelasan mengenai peran gereja dan
warga gereja terhadap pelestarian lingkungan, yakni:
1) Sebagai gambar dan citra Allah, manusia diberikan mandat menjadi
kawan sekerja Allah untuk menjaga dan merawat bumi, alam dan
segala isinya, agar menjadi “rumah tangga” (oikos) dengan merujuk
pada Kitab Kejadian 2:15. Di mana segala makhluk dapat tinggal dan
hidup dengan berdampingan. Di dalam “rumah tangga Allah” inilah
47 Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (DKG-PGI)2014-2019
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cet. 1. 2015)
138
kehidupan berkembang dan mencapai kepenuhannya ketika semua
diperdamaikan dengan Allah dan “Allah menjadi semua di dalam
semua.”48
2) Sebagai akibat dosa manusia, tatanan rumah tangga itu berantakan.
Hubungan antara Allah dan manusia yang terputus mengakibatkan
hubungan antara manusia dengan alam juga ikut terputus. Tanah
berubah menjadi tempat manusia mencari makan dengan susah payah
demi menjalankan kehidupannya. Segala makhluk mengerang
menantikan kemerdekaan anak-anak Allah. Namun demikian, karena
kasih Allah kepada dunia dan semua ciptaan, Ia mengutus anak-Nya
untuk memulihkan hubungan yang terputus itu menjadi utuh kembali
dan menyeluruh atas semua makhluk. Sebagai ciptaan baru, gereja
diberi tugas panggilan untuk melanjutkan misi Allah, yaitu
memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di
bumi, maupun di sorga.”49
3) Berdasarkan pada poin dua di atas, maka gereja tidak boleh tinggal
diam menyaksikan proses eksploitasi dan perusakan sumber daya
alam. Berbagai kerusakan lingkungan antara lain dapat terlihat dalam
kenyataan-kenyataan berikut ini: degradsai air, eksploitasi berlebihan
sumber daya kelauatan, lahan/tanah, dan udara, deforestasi hutan,
48 Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, . . . 77 49 Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, . . . 78
139
kepunahan jenis binatang dan tumbuhan, perubahan atmosfir serta
degradasi masyarakat dan budaya (kearifan lokal).50
4) Gereja melihat bahwa kesadaran ekologis seharusnya mewarnai
seluruh kehidupan umat manusia, baik sebagai pribadi maupun
sebagai kelompok atau bangsa. Hanya dengan pemanfaatan sumber
daya alam yang dilandasi oleh kesadaran ekologis itulah sebenarnya
yang dimaksud dengan shalom Allah, yaitu keadilan, damai sejahtera,
dan keutuhan ciptaan dapat ditegakkan.51
5) Gereja-gereja di Indonesia harus menaruh perhatian dan berusaha
menyadarkan warga gereja tentang pentingnya memelihara kelestarian
alam, mengembangkan pola hidup yang ramah lingkungan, dan
menopang usaha-usaha advokasi ekologi bersama kelompok agama
dan kepercayaan lain serta semua pihak yang berkehendak baik.52
Menurut hemat penulis, pelestarian alam dan kesadaran terhadap pola hidup yang
ramah lingkungan tidak akan dapat dilakukan, kalau belum ada kesadaran dari setiap
individu. Sebagus atau sebaik apapun program yang dibuat harus juga didasarkan
pada sumber daya manusia ataupun jemaat di dalam gereja. Ini menjadi tugas yang
berat, karena gereja tidak saja berperan dalam penyampaian Firman Allah, tetapi
bagaimana Firman Allah menjadi nyata di dalam kehidupan jemaat ataupun
masyarakat.
50 Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, . . . 78 51 Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, . . . 79 52 Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, . . . 79
140
Gereja perlu memeriksa kembali visi dan misi kehadirannya di tengah-tengah
dunia yang Allah ciptakan. Dalam makalah Studi Institut PERSETIA yang
dipaparkan oleh Yusak B. Setyawan bahwa tidak cukup hanya sekadar
mengembangkan pemahaman baru terhadap nature atau alam, melainkan yang
menjadi sangat penting untuk mengembangkan pemahaman baru tentang gereja
dalam hubungannya dengan krisis ekologi. Sejauh ini gereja masih fokus pada
dogma, khotbah, hari raya gerejawi, persembahan, pembangunan gereja, dan hal-hal
lain. Fokus pada krisis ekologi menjadi hal yang tidak pernah disinggung.53
Selanjutnya ia menawarkan kepada gereja tentang pentingnya pemahaman ulang
teologi bagi eko-eklesiologi. Disampaikan olehnya bahwa “akan sangat bermanfaat
untuk melakukan rekonstruksi eklesiologi dengan lebih menyadari keterhubungannya
dengan ekologi.” Eklesiologi yang demikian harus menghubungkan diri dengan
pemahaman-pemahaman baru yang terhubung dengan kesadaran ekologi tentang
Tuhan. Keselamatan, Kristus, manusia dan gereja merupakan komunitas
eklesiologis.”54 Gereja harus ikut memperbaharui visi dan misinya karena krisis
ekologi berakar dari ajaran gereja dan teologi yang memusatkan perhatian utama pada
manusia dan didorong secara massif oleh kultur konsumerisme dan kaptalisme.
Gereja perlu terlibat dan melibatkan diri dalam pengambilan kebijakan publik tekait
dengan penggunaan teknologi, isu-isu ekologi yang langsung berkaitan dengan proses
kehancuran ekosistem (salah satunya agenda revolusi hijau), perlakuan terhadap
53 Yusak B. Setyawan, Menuju Eko-Eklesiologi: Gereja Dalam Konteks Persoalan Ekologis
Di Indonesia, Makalah Studi Institut PERSETIA, STT Jakarta, 23-26 Juni 2015, 5 54 Setyawan, Menuju Ekko-Eklesiologi, . . . 10
141
binatang, kepunahan binatang dan tanaman dan tanggungjawab pada generasi yang
akan datang.55
4.4.2 GMIT dan Lingkungan Hidup
Berhadapan dengan fakta kerusakan lingkungan hidup (tanah, air, hutan, laut,
udara) yang semakin parah pada zaman ini, GMIT punya tugas untuk merawat alam
semesta ciptaan Allah yang diciptakan-Nya baik, bahkan sangat baik. Karena masalah
lingkungan hidup adalah masalah bersama, maka sebagaimana kita adalah bagian dari
masalah maka kita pula adalah bagian dari jalan keluarnya. Alam semesta adalah
ciptaan Allah, dan manusia harus menghargai batas-batas yang diletakkan oleh Allah
sendiri dalam mengelola dan memanfaatkan alam untuk kepentingannya.
Meskipun manusia disebut gambar Allah, namun manusia bukan pencipta
semesta (bukan co-creator). Karena itu, semesta harus diperlakukan dengan hormat
sebagai sesama ciptaan. Di antara Allah, manusia, dan alam semesta ada hubungan
timbal balik yang harus dijaga dengan rasa hormat. Sebagaimana Allah mengikat
perjanjian dengan manusia, Allah pun dapat mengikat perjanjian dengan alam
semesta buah tangan-Nya. Keselamatan manusia memiliki hubungannya dengan
pemulihan terhadap alam. Jika manusia tidak bertobat, maka Allah dapat memakai
alam semesta sebagai nabi yang menegur dan menghukum manusia (Hos. 4:1-3).
Oleh sebab itu, GMIT perlu melahirkan dan mengembangkan pemikiran-pemikiran
teologis yang kontekstual mengenai lingkungan, yang menjadi dasar pendorong bagi
perhatian jemaat/masyarakat. Dengan ekoteologi kontekstual ini diharapkan akan ada
55 Setyawan, Menuju Ekko-Eklesiologi, . . .18-19
142
sumbangan masyarakat (jemaat) lokal terhadap upaya dunia mengatasi krisis
lingkungan, sekaligus perawatannya demi keberlanjutan (sustainability), baik bagi
manusia maupun alam lingkungan. GMIT perlu menghayati dan mewujudkan
panggilan dan amanat untuk mengelola taman kehidupan (bnd. Kej. 2:8-17) dan
mempertanggungjawabkan amanat itu kepada sang Pencipta. Hal ini semakin
mendesak di era krisis ekologi global di masa sekarang karena ancaman bencana di
depan mata kita.56
4.4.3 Respon GMIT Imanuel Hausisi terhadap Krisis Ekologi di Desa
Kotabes
Pertanyaan yang paling mendasar adalah bagaimana respon, tanggapan ataupun
aksi nyata yang dilakukan oleh sinode GMIT terkait dengan krisis ekologi? Di desa
Kotabes, penulis menemukan bahwa pola pikir dan perilaku petani masih bersifat
antroposentris terhadap lingkungan atau alam semesta, sehingga mengakibatkan
masyarakat masih memperlakukan alam sesuka hati. Gerakan revolusi hijau seolah
mengubah perilaku masyarakat yang hidup dekat dengan alam menjadi asing dengan
alam dan kearifan-kearifan lokal mulai dianggap “kuno” dan tidak dapat menjawab
berbagai persoalan terkait dengan kebutuhan hidup. Beberapa program Sinode GMIT
seperti bulan lingkungan hidup dan pendeta suka tani telah dilakukan sebagai respon
terhadap krisis ekologi, terapi belum semua gereja dan jemaat mempraktikkanya
dengan pertimbangan masih pembangunan gereja, masih banyak hal yang lebih
56 Pokok –pokok Eklesiologi GMIT NOMOR: 1/TAP/SSI-GMIT/II/2010, 50-51
143
penting yang harus dilakukan dan alasan-alasan lainnya.57 Namun program ini
memunculkan pertanyaan bagi penulis apabila dilakukan, yakni apakah program yang
dilakukan oleh sinode dan gereja, semata-mata demi kelestarian lingkungan ataukah
hanya untuk menaikkan ekonomi jemaat?58 Menurut hemat penulis, sejauh ini gereja
belum melakukan apa-apa, yang gereja lakukan masih sekitar ibadah formal,
pemberitaan firman dan kegiatan hari raya gerejawi setiap tahunnya.
Kesimpulan:
Setelah melakukan penelitian dan memperlihatkan kondisi masyarakat Kotabes
terkait dengan persoalan Revolusi Hijau dalam bertani maka tawaran yang dapat
penulis berikan adalah:
1. Masyarakat sebaiknya melihat lagi kearifan lokal yang dimiliki.
2. Kesadaran akan pentingnya ekologi bagi masyarakat seharusnya lebih
ditingkatkan
3. Kembali belajar dari filosofi lokal yang dimiliki masyarakat mengenai tanah
4. Membudidayakan bibit tanaman lokal yang dimiliki masyarakat dan
mengurangi penggunaan bibit yang dijual di toko-toko dan penggunaan
pupuk buatan yang berasal dari kotoran hewan nampaknya harus kembali
digunakan
57 Wawancara Ketua Majelis Imanuel Hausisi, pada Rabu, 18 Oktober 2017, Pkl, 18.00WIB 58 Hal in tentunya membutuhkan penelitian lebih mendalam bagi peneliti yang tertarik dengan
penelitian sebelumnya. Penulis tidak membahas lebih lanjut karena penelitian tidak akan fokus tetapi
sebaliknya semakin melebar.
144
5. Masyarakat dapat memadukan kegiatan bertani yang tradisional dan modern
secara baik dan bertanggungjawab
6. Pelatihan dan pendampingan seharusnya lebih diberikan baik dari pihak
gereja dan pemerintah.
Tawaran yang penulis berikan memang hanya berupa teori ataupun ide, namun
penulis berharap bahwa dengan ide ini mampu membantu masyarakat tani yang ada
di Amarasi, lewat kerja sama dengan pemerintah ataupun gereja.
top related