bab v jual beli a. pengertian dan dasar hukum jual beli
Post on 19-Nov-2021
18 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB V
JUAL BELI
A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-bai' yang berarti menjual,
mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-bai'
dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya,
yakni kata asy-syira' (beli). Dengan demikian, kata al-bai' berarti jual beli.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang dike-
mukakan ulama fiqh, sekalipun substansi dan tujuan masing-masing
definisi adalah sama, yaitu tukar menukar barang dengan cara tertentu atau
tukar menukar sesuatu dengan yang sepadan menurut cara yang
dibenarkan. Definisi lain dikemukakan ulama Malikiyah, Syafi`iyah, dan
Hanabilah bahwa jual beli dimaknai sebagai saling menukar barang
dalam bentuk pemindahan hak milik dan kepemilikan.
Dari definisi tersebut di atas dapat dikatakan hal yang terkandung
dalam jual beli adalah adanya pertukaran antara barang dengan barang
lainnya serta adanya pemindahan hak (posession) dan kepemilikan
(ownership) kepada pihak lain.
Meski terdapat perbedaan antara para fuqaha, maal (barang) pada
umumnya diartikan sebagai barang atau materi dan manfaat atau nilai
dari sesuatu yang dapat diukur. Oleh karenanya manfaat dari suatu
benda juga dapat diperjualbelikan.
Jual beli mempunyai landasan hukum yang kuat dalam al-Qur'an
dan sunnah Rasulullah saw. Terdapat sejumlah ayat al-Qur'an yang
berbicara tentang jual beli, di antaranya dalam surat al-Baqarah, 2:275:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …”, dan surat an Nisa
/4 : 29. “... kecuali dengan jalan perdagangan yang didasari suka sama suka di
antara kamu . . .”
2
Dasar hukum jual beli juga terdapat dalam sunnah Rasulullah saw.
antara lain:
Rasulullah saw. ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi)
apa yang paling balk. Rasulullah ketika itu menjawab: Usaha tangan manusia
sendiri dan setiap jual beli yang diberkati. (HR al-Bazzar dan al-Hakim).
”Pedagang yang jujur dan terpercaya itu sejajar (tempatnya di surga) dengan
para Nabi, para siddiqin, dan para syuhada'.” (HR. Turmudzi)
B. Rukun dan Syarat Jual Beli
Para ulama berbeda pendapat mengenai rukun jual beli. Menurut
ulama Hanafiyah, Rukun jual beli hanya ijab dan qabul. Berarti menurut
mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan kedua
belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Indikasi yang
menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi,
dapat tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling
memberikan barang dan harga barang.
Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun jual beli terdiri dari:
1. Orang yang berakad. Syarat bagi orang yang melakukan akad adalah
berakal, baligh, atas kehendak sendiri, dan tidak pemboros. Oleh
karena itu, baik laki-laki maupun perempuan selama terpenuhi syarat
tersebut, ia berhak melakukan jual beli tanpa ada seorangpun yang
boleh menghalanginya, termasuk wali maupun suaminya.
2. Lafaz ijab dan qabul (sighat), Dalam ijab dan qabul tidak ada keharusan
untuk menggunakan kata-kata khusus, karena ketentuan hukumnya
ada pada akad dengan tujuan dan makna, bukan dengan kata-kata dan
bentuk kata-kata itu sendiri. Yang diperlukan adalah saling rela yang
direalisasikan dalam bentuk mengambil dan memberi atau cara lain
yang dapat menunjukkan keridhoan dan berdasarkan makna
pemilikan. Syarat yang terkait dengan ijab qabul : 1). orang yang
3
mengucapkannya telah baligh dan berakal, 2). Qabul sesuai dengan
ijab. 3). Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis.
3. Obyek jual beli, yang terdiri dari barang yang diperjualbelikan, dan
harga barang. Barang yang diperjualbelikan disyaratkan suci
(bersihnya barang), dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
Oleh sebab itu, bangkai, khamar, dan benda-benda haram lainnya,
tidak sah menjadi obyek jual beli, karena benda-benda tersebut tidak
bermanfaat bagi manusia dalam pandangan syara`. Selanjutnya,
barang tersebut milik seseorang yang melakukan akad, dapat
diserahkan pada saat akad berlangsung atau pada waktu yang telah
disepakati bersama ketika akad berlangsung.
4. Nilai tukar (harga barang) hendaknya merupakan harga yang
disepakati kedua belah pihak. Harus jelas jumlahnya, dapat
diserahkan pada waktu akad (transaksi) sekalipun secara hukum
(seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit). Apabila barang itu
dibayar kemudian (berhutang), maka harus jelas waktu
pembayarannya. Apabila jual beli itu dilakukan secara barter atau
saling mempertukarkan barang (al-muqayadhah), maka barang yang
dijadikan nilai tukar, bukan barang yang diharamkan syara` seperti
babi dan khamar, karena kedua jenis benda itu tidak bernilai dalam
pandangan syara`.
C. Bentuk-bentuk Jual Beli
Ulama hanafiyah membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya
menjadi tiga bentuk, yaitu: 1) Jual beli yang sahih, 2) Jual beli yang batal, 3)
Jual beli fasid.
Suatu jual beli dikatakan sebagai jual beli yang sahih apabila jual beli
itu disyari'atkan, memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, bukan
milik orang lain, tidak tergantung pada hak khiyar lagi. Jual beli yang batal
apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli
4
itu pada dasar dan sifatnya tidak disyari'atkan. Jual beli fasid adalah jual
beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara, tetapi ada sifat-
sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya.
Ada beberapa hal yang membedakan jual beli fasid dengan jual beli
yang batal. Apabila kerusakan dalam jual beli itu terkait dengan barang
yang dijual belikan, maka hukumnya batal, seperti memperjualbelikan
benda-benda haram (khamar, babi, dan darah). Apabila kerusakan pada
jual beli itu menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki, maka jual
beli itu dinamakan fasid.
Berbeda dengan ulama Hanafiyah, jumhur ulama tidak
membedakan antara jual beli yang fasid dengan jual beli yang batal.
Menurut mereka jual beli itu terbagi dua, yaitu jual beli yang sahih dan
jual beli yang batal. Apabila rukun dan syarat jual beli terpenuhi, maka
jual beli itu sah. Sebaliknya, apabila salah satu rukun atau syarat jual beli
itu tidak terpenuhi, maka jual beli itu batal.
Adapun jenis jual beli yang batal adalah:
1. Jual beli sesuatu yang tidak ada (bai’u al-ma’dum). Para ulama
fiqh sepakat mengatakan jual beli seperti ini tidak sah/batal.
2. Menjual barang yang tidak dapat diserahkan pada pembeli (bai’ ma’juz
al-taslim). Hukum ini disepakati oleh seluruh ulama fiqh dan temasuk
ke dalam kategori bai' al-garar.
Termasuk ke dalam kategori bai’ ma’juz al-aslim ini adalah jual beli
utang (bai’ al-dain). Yang dimaksud utang adalah harga suatu barang
yang harus dibayar, pengganti pinjaman, upah/sewa suatu manfaat,
diyat (sanksi pidana), denda orang yang merusak, khulu’ (tebusan), dan
obyek salam. Jual beli utang ada kalanya berbentuk menjual utang
kepada pihak yang berutang (debitur/madin) atau kepada pihak lain
(bukan debitur, ghairu madin). Di samping itu, ada kalanya jual beli
utang dilakukan secara langsung (cash/fi al-hal) atau dengan cara
ditangguhkan (muajjal). Jual beli utang dengan cara ditangguhkan
5
(muajjal) adalah jual beli yang dikenal dengan istilah bai’ al-kali’ bi al-
kali’ (menjual piutang dengan piutang). Jual beli seperti ini dilarang oleh
syari’at Islam. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dari
Rafi’ Ibn Khudaij, bahwasanya Rasulullah SAW melarang menjual
piutang dengan piutang (bai’ al-kali’ bi al-kali’).
Adapun jual beli piutang (bai’ al dayn) secara langsung (cash), para
ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama selain mazhab Dhahiriyah
membolehkan jual beli piutang kepada debitur atau menghibahkan
kepadanya (sale of debt to debitor). Sedangkan jual beli piutang kepada
selain debitur (sale of debt to third party) dengan cara tunai (cash, naqdan)
mayoritas ulama melarangnya kecuali ulama dari mazhab Maliki
membolehkannya dengan syarat terbebaskan dari terjadinya spekulasi
(gharar), riba, dan ancaman bahaya-bahaya lainnya.
Keabsahan jual beli piutang secara langsung kepada debitur
menurut mayoritas ulama di atas, boleh jadi karena jual beli jenis ini
hanyalah bentuk lain dari pengalihan hutang kepada bentuk jual beli
dengan merubah akad (novasi). Di samping itu, kekhawatiran debitur
tidakmampu menyerahkan atau membayar hutangnya tidak sebesar
kalau piutang itu dijual kepada selain debitur.
Hasil keputusan/Fatwa Lembaga Fiqh Islam OKI No. 110 tahun
1998 tampaknya memperkuat pendapat mayoritas ulama di atas, yaitu:
“bahwa sesungguhnya tidak diperbolehkan menjual piutang yang akan
dibayar kemudian kepada selain debitur dengan harga tunai, baik dibayar
dengan sejenisnya atau dengan yang bukan sejenisnya karena membawa
kepada praktek riba. Demikian pula halnya tidak dibolehkan menjual piutang
dengan pembayaran kemudian baik pembayaran dilakukan dengan sejenisnya,
karena termasuk menjual al-kali’ bi al-kali’ (menjual piutang dengan
piutang) yang dilarang dalam syari’at Islam. Hal ini dilarang baik piutang
dalam bentuk pinjaman uang atau dalam bentuk jual beli tidak secara tunai.”
6
Dari beberapa pendapat di atas, pendapat yang relevan untuk
diterapkan adalah bahwa Jual Beli Piutang diperbolehkan bila
dilakukan secara langsung kepada debitur. Ini diperbolehkan karena
akan terhindarkan dari unsur riba, ketidak jelasan (gharar) dan tindak
spekulasi (maisir). Dalam praktek di dunia perbankan konvensional bai
al-dain bi al-dain dikenal dengan nama jual beli surat berharga di bursa
efek, obligasi dan lain-lain.
3. Jual beli benda-benda yang dikategorikan najis (Bai’u an Najas). Semua benda
yang termasuk najis dan tidak bernilai menurut syari’at tidak boleh
diperjualbelikan.
4. Jual beli ‘arabun/’urbun adalah menjual suatu barang dengan lebih dulu
membayar panjar kepada pihak penjual (sebelum benda yang dibeli
diterima), dengan ketentuan jika jual beli jadi dilaksanakan, uang
panjar itu dihitung sebagai bagian dari harga, dan jika pihak pembeli
mengundurkan diri maka uang panjar itu menjadi milik pihak penjual.
Jumhur ulama berpendapat jual beli dengan panjar seperti ini tidak
sah, berdasarkan hadits Rasulullah SAW tentang pelarangannya,
dalam jual beli ini juga terdapat unsur gharar (ketidak pastian) dan
berbahaya, serta masuk kategori memakan harta orang lain tanpa
pengganti.
Ulama Hanabilah dan sebagian ulama Hanafiyah membolehkan
’urbun dengan syarat adanya batasan waktu tunggu untuk
melangsungkan atau tidak melanjutkan jual beli tersebut. Adapun
dasar kebolehan ‘bai arabun adalah hadits yang diriwayatkan oleh Zaid
ibn Aslam bahwasanya “Rasulullah ditanya tentang panjar dalam jual beli
dan beliau membolehkannya,” dan juga sebuah riwayat yang
menceritakan bahwa Nafi’ Ibn Abdul Harits membelikan untuk Umar
sebuah rumah tahanan dari Sofyan Ibn Umayyah dengan harga 4000
dirham. Jika Umar setuju maka jual beli dilangsungkan, dan jika tidak
setuju, Sofyan mendapatkan 400 dirham “.
7
Menurut Wahbah Zuhaili kedua hadits yang dipakai para
ulama, baik yang membolehkan ataupun yang melarang sama-sama
lemah (dhaif). Oleh karena itu menurutnya, hukum bai ‘arabun boleh
atas dasar ‘urf, hal ini mengingat bai’ urbun ini sulit dihindari dalam
transaksi modern terutama sebagai sarana untuk menjalin ikatan
antara pihak-pihak yang bertransaksi sebelum transaksi itu disepakati
secara penuh, sehingga sebagai kompensasi bagi penjual yang
menunggu dalam waktu tertentu, maka diberikan kepadanya uang
panjar.
Pendapat Wahbah Zuhaili ini diperkuat oleh hasil
keputusan/Fatwa Lembaga Pengkajian Fiqh Islam OKI No. 72 tahun
1993,yang menetapkan bahwa diperbolehkan jual beli dengan panjar
dengan syarat jarak waktu untuk menyatakan jadi atau tidaknya
dijelaskan secara pasti dan uang muka itu dihitung sebagai bagian dari
harga, serta uang muka itu menjadi hak penjual bila mana pembeli
mundur dari pembelian.
Adapun pendapat yang terpilih adalah bahwa diperbolehkan bai’
Urbun karena sulit dihindari (hajiyyat) dengan syarat jarak waktu
untuk menyatakan jadi atau tidaknya dijelaskan secara pasti dan uang
muka itu dihitung sebagai bagian dari harga, serta uang muka itu
menjadi hak penjual bila mana pembeli mundur dari pembelian.
5. Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut, dan air yang tidak
boleh dimiliki seseorang atau merupakan hak bersama umat manusia
(kepemilikan kolektif), dan tidak boleh diperjualbelikan.
Sedangkan yang masuk kategori Jual Beli Yang Fasid adalah:
1. Jual beli al-majhul (benda atau barangnya secara global tidak
diketahui) atau ke-majhulan-nya bersifat total. Akan tetapi, jika
ke-majhul-annya (ketidakjelasannya) itu sedikit, jual belinya sah,
karena hal itu tidak akan membawa kepada perselisihan. Ulama
Hanafiyah mengatakan bahwa sebagai tolok ukur untuk unsur
8
majhul itu diserahkan sepenuhnya kepada 'urf (kebiasaan yang
berlaku bagi pedagang dan pembeli).
2. Jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat.
3. Menjual barang yang gaib (tidak ada) atau tidak dapat diserahkan saat jual beli
berlangsung, sehingga tidak dapat dilihat oleh pembeli. Ulama Malikiyah
membolehkannya, apabila sifat-sifatnya disebutkan dengan syarat sifat-
sifatnya tidak akan berubah sampai barang diserahkan.
4. Jual beli yang dilakukan oleh orang buta. Jumhur ulama mengatakan
bahwa jual beli orang buta adalah sah apabila orang buta itu memiliki
hak khiyar dan kemampuan meraba atau mengindera.
5. Jual beli dengan harga yang diharamkan.
6. Jual beli nasi’ah yaitu jual beli dengan pembayaran tangguh kemudian
dibeli kembali dengan tunai. Jual beli seperti ini dikatakan fasid karena
menyerupai dan mengarah kepada riba. Akan tetapi, madzhab
Hanafiyah mengatakan apabila unsur yang membuat jual beli ini rusak
dapat dihilangkan, maka hukumnya sah. Menurut sebagian ulama
Malikiyah hal ini dinamakan bai’ al ajal karena selalu memuat
penangguhan. Sebagian lain menamakannya bai’ al ‘inah. Ini pada
hakekatnya satu macam jual beli tangguh yang dimaksudkan untuk
ber-hilah dari riba, karenanya akad seperti ini tidak sah.
7. Jual beli anggur dan buah-buahan lain untuk tujuan pembuatan khamar,
apabila penjual anggur itu mengetahui bahwa pembeli itu adalah pro-
dusen khamar.
8. Menggabungkan dua syarat dalam satu penjualan (al bai’atan fi bai’atin atau
asy syarthaani fi bai’in wahidin). Hal ini sesuai dengan hadist nabi dari
Abdullah bin Umar yang berbunyi :
“Nabi saw. bersabda: Tidak halal melakukan transaksi utang piutang dan
penjualan dalam waktu bersamaan, tidak halal mengabungkan dua syarat
dalam satu penjualan, tidak halal mengambil keuntungan terhadap barang
yang tidak berada dalam tanggungannya dan tidak halal menjual barang yang
9
belum engkau miliki’. (H.R Ahmad, Abu Daud, An Nasa’I dan At
Turmudzy)
Contohnya adalah seseorang menjual sebuah barang pada pembeli
dengan syarat pembeli tidak boleh menjualnya kepada orang tertentu,
atau pembeli tidak boleh mewakafkan atau menghibahkannya. Ulama
Syafi'iyah dan Hanabilah menyatakan jual beli bersyarat di atas adalah
batal. Sedangkan Imam Malik menyatakan jual beli bersyarat di atas
adalah sah, apabila pembeli diberi hak khiyar (pilihan). Jual beli seperti
ini tidak dibenarkan karena bertentangan dengan prinsip dasar kontrak
berupa kebebasan (hurriyyah) bagi salah satu pihak yang melakukan
transaksi.
9. Jual beli sebagian barang yang sama sekali tidak dapat dipisahkan dari
satuannya.
10. Jual beli buah-buahan atau padi-padian yang belum sempurna
matangnya untuk dipanen.
D. Beberapa Bentuk Khusus Jual Beli
Para ahli fiqh membagi model jual beli menjadi beberapa macam.
Dari segi obyek pertukarannya (badalain) apakah berupa barang (ain) atau
berupa uang (dain), jual beli dibagi menjadi empat macam: pertama, jual
beli barter (al-muqayadhah), yaitu jual beli yang obyek pertukarannya
barang (ain) dengan barang (ain), seperti jual beli pakaian dengan beras.
Kedua, jual beli mutlak, yaitu jual beli yang umumnya dipraktikkan saat
ini, di mana obyek pertukarannya antara barang (ain) dengan harga/uang
(dain). Ketiga, jual beli mata uang (al-sharf), yaitu jual beli yang obyek
pertukarannya uang (dain) dengan uang (dain), seperti rupiah dengan
rupiah atau rupiah dengan dolar. Keempat, jual beli pesanan (al-salam),
yaitu jual beli yang obyek pertukarannya sebenarnya adalah barang (ain)
dengan harga/uang (dain), tetapi karena barang yang menjadi obyek
pertukaran tidak ada di tempat akad dan baru akan ada di kemudian
10
waktu maka wujudnya tidak lagi dinilai sebagai ain (barang) tetapi
sebagai dain. Jual beli salam memiliki variasi lain yang sering dikenal
dengan jual beli istishna’, yaitu jual beli sesuatu yang akan dibuat.
Dari segi harga jual (tsaman) yang dikenakan kepada pembeli, jual
beli juga dibagi menjadi empat. Pertama, Jual beli Murabahah (al-
murabahah), yaitu jual beli dengan menarik keuntungan tertentu dari
harga beli barang semula, dimana pihak pembeli mengetahui besar
keuntungan yang diambilnya. Kedua, jual beli tauliyah, yaitu jual beli
dengan tidak menarik keuntungan dari harga beli barang semula, dimana
pihak pembeli mengetahui besar modal pembelian barang tersebut.
Ketiga, jual beli al-wadhii’ah, yaitu jual beli dengan harga jual lebih rendah
dari harga beli barang semula, dimana pihak pembeli mengetahui besar
modal pembelian barang tersebut. Keempat, jual beli al-musawamah, yaitu
jual beli dengan harga jual sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak,
di mana pihak penjual biasanya menyembunyikan besar modal
pembelian barang tersebut. Inilah bentuk jual beli pada umumnya yang
berlaku di masyarakat.
Berdasarkan pembagian jual beli di atas, berikut akan dibahas
beberapa bentuk jual beli yang telah disebutkan, yang pada saat ini
populer dipraktikan di masyarakat, yaitu antara lain jual beli salam, jual
beli istishna’, jual beli sharf, dan jual beli murabahah.
1. Jual Beli Murabahah
Jual beli murabahah adalah jual beli barang seharga modal
pembelian/kulakan ditambah keuntungan yang disepakati.
Misalnya, sesorang membeli barang kemudian menjualnya kembali
dengan keuntungan tertentu. Berapa besar keuntungan tersebut dapat
dinyatakan dalam nominal rupiah tertentu atau dalam bentuk persentase
dari harga pembeliannya, misalnya 10% atau 20%.
11
Murabahah adalah satu jenis jual beli yang dibenarkan oleh syariah
dan merupakan implementasi muamalat tijariyah (interaksi bisnis). Adapun
dasar hukum kebolehan jual beli murabahah adalah sebagai berikut:
Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 275 “Dan Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba “ dan surat An-Nisa’ ayat 29 “Hai orang –
orang yang beriman janganlah kalian memakan harta sesamamu dengan jalan
yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela
diantara kamu “.
Di samping itu beberapa hadis nabi juga mendukung keabsahan
murabahah, yaitu hadis riwayat Aisyah r. a. Bahwa ketika Rasululah SAW
ingin hijrah, Abu Bakar ra membeli dua ekor unta, kemudian Rasulullah SAW
berkata “serahkan salah satunya untukku (dengan harga yang sepadan/tauliyah)?
Abu Bakar menjawab “ya dia untukmu tanpa sesuatu apapun” Kemudian
rasulullah mengatakan ”Kalau tanpa harga jual (tsaman), maka tidak jadi saya
ambil” (HR. Bukhari dan Ahmad).
Ketentuan yang harus dipenuhi dalam jual beli murabahah
meliputi hal-hal berikut:
1). Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah
dimiliki/hak kepemilikan telah berada di tangan penjual. Artinya
bahwa keuntungan dan resiko barang tersebut ada pada penjual
sebagai konsekuensi dari kepemilikan yang timbul dari akad yang
sah.
2). Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal (harga
pembelian/kulakan) dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan
dalam jual beli (capital outlay) pada suatu komoditi, semuanya harus
diketahui oleh pembeli saat akad; dan ini merupakan salah satu syarat
sah murabahah.
3). Ada informasi yang jelas tentang keuntungan baik nominal maupun
persentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat
sah murabahah.
12
4). Dalam sistem murabahah, penjual boleh menetapkan syarat kepada
pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak pada barang,
tetapi lebih baik syarat seperti itu tidak ditetapkan, karena
pengawasan barang merupakan kewajiban penjual disamping untuk
menjaga kepercayaan.
5). Transaksi pertama (antara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah,
jika tidak sah maka tidak boleh jual beli secara murabahah (antara
pembeli pertama yang menjadi penjual kedua dengan pembeli
murabahah), karena murabahah adalah jual beli dengan harga
pertama disertai tambahan keuntungan.
6). Apabila penjual hendak mewakilkan kepada pembeli untuk membeli
barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan
setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.
7). Penjual dibolehkan meminta pembeli untuk membayar uang muka
saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
8). Apabila pembeli menolak barang, maka biaya riil penjual harus
dibayar dari uang muka.
9). Apabila nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung
oleh penjual, maka penjual dapat meminta kembali sisa kerugiannya
kepada pembeli.
2. Jual beli Salam
Jual beli salam dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan
dengan jual beli pesanan. Secara terminologis, para ulama fiqh
mendefinisikannya dengan : “Menjual suatu barang yang penyerahannya
ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran
modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan di kemudian hari.
Jual beli salam diperbolehkan berdasarkan firman Allah dalam
surat Al-Baqarah, 2:282:
13
“Wahai orang yang beriman! apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya..”.
Ibnu Abbas sahabat rasulullah saw, menyatakan bahwa ayat ini
mengandung hukum jual beli pesanan yang ketentuan waktunya harus
jelas. Alasan lainnya adalah sabda rasulullah saw yang berbunyi.
“Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan
takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang
diketahui. (HR. al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, An-Nasa’I, at-Tirmizi, dan
Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
Sabda rasulullah saw ini muncul ketika beliau pertama kali hijrah ke
madinah, dimana penduduk Madinah telah melakukan jual beli pesanan
ini. Oleh Rasulullah saw jual beli seperti ini diakui asal jelas akadnya, jelas
ciri-ciri yang dipesan dan waktunya ditentukan.
Sebagaimana jual beli pada umumnya, jual beli salam hanya akan
sah bila dilakukan sesuai dengan rukun dan syaratnya. Adapun rukun
jual beli salam yaitu; a. pembeli (Muslam), penjual (Muslam alaih), modal
atau uang (al-tsaman), barang (Muslam fihi), dan ucapan (shighat).
Sedangkan syarat jual beli salam adalah:
1. Pihak yang berakad salam, pembeli (Muslam), penjual (Muslam alaih),
disyaratkan harus (a) cakap hukum; (b) baligh; (c) berakal; dan (d)
sukarela.
2. Modal atau uang (al-tsaman), (a) hendaknya jelas harganya baik berupa
uang barang atau manfaat; (b) modal harus segera diserahkan pada
saat akad; (c) modal tidak boleh dalam bentuk utang, karena akan
mengakibatkan jual beli utang dengan utang; (d) modal tidak boleh
berupa pembebasan utang penjual, karena akan menimbulkan riba.
3. Barang (Muslam fihi). (a) Tidak termasuk barang yang diharamkan; (b)
barang harus jelas spesifikasinya (jenis, warna, sifat, dan lain-lain); (c)
jelas ukurannya (timbangan, panjang, kualitas dan kuantitas); (d)
barang harus berwujud sehingga dapat diakui sebagai hutan; (e)
14
barang harus jelas waktu dan tempat penyerahannya; (f) pembeli tidak
boleh menjual barang sebelum menerimanya dan tidak boleh menukar
barang kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan; (g) barang
harus bisa diidentifikasi secara jelas untuk mengurangi kesalahan
akibat kurangnya pengetahuan tentang macam-macam barang
tersebut, baik kualitas maupun kuantitas; (h) penjual tidak boleh
meminta tambahan harga jika ia menyerahkan barang dengan kualitas
yang lebih tinggi; (i) jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas
yang lebih rendah, dan pembeli rela memerimanya, maka ia tidak
boleh menuntut pengurangan harga (diskon); (j) penjual dapat
menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang telah disepakati
dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan,
dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga; (k) jika semua atau
sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau
kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia
memiliki dua pilihan: (1) membatalkan kontrak dan meminta kembali
uangnya; (2) menunggu sampai barang tersedia.
4. Shighat akad: (a) dilakukan dengan jelas dan disebutkan secara spesifik
dengan siapa berakad; (b) antara ijab qabul harus selaras baik dalam
spesifikasi barang maupun harga yang disepakati; (c) tidak
mengandung hal-hal yang bersifat menggantungkan keabsahan
transaksi pada kejadian yang akan datang.
Terdapat beberapa perbedaan antara jual beli salam dengan jual beli biasa
yang dikemukakan para ulama fiqh, diantaranya adalah :
a. Harga barang dalam jual beli salam tidak boleh dirubah dan harus
diserahkan seluruhnya waktu akad berlangsung. Berbeda dengan jual
beli biasa, pembeli boleh membayar barang yang ia beli dengan utang
penjual pada pembeli. Dalam artian, utang dianggap lunas dan barang
diambil oleh pembeli.
15
b. Harga yang diberikan berbentuk uang tunai bukan berbentuk cek
mundur, karena uang tersebut merupakan modal untuk membantu
produsen, berbeda dengan jual beli biasa dimana harga yang
diserahkan boleh berbentuk cek mundur.
c. Pihak produsen tidak dibenarkan menyatakan bahwa uang pembeli
dibayar kemudian, karena jika ini terjadi, maka jual beli ini tidak lagi
bernama jual beli salam. Sedangkan dalam jual beli biasa produsen
boleh berbaik hati untuk menunda penerimaan harga barang ketika
barang telah selesai dan diserahkan.
d. Menurut ulama Hanafi, modal/harga boleh dijamin oleh seseorang
yang hadir waktu akad dan penjamin ini bertanggung jawab
membayar harga saat itu juga. Akan tetapi menurut Zufar ibn Huzail,
pakar fiqh Hanafi, harga itu tidak boleh dijamin oleh seseorang karena
adanya jaminan ini akan menunda pembayaran harga yang harus
dibayarkan tunai waktu akad. Dalam jual beli biasa persoalan harga
yang dijamin oleh seseorang atau dibayar dengan jaminan tidaklah
menjadi masalah asal keduanya sepakat.
3. Jual Beli Istishna’
Musthafa Ahmad al-Zarqa` mendifinisikan istishna’ sebagai “akad
penjualan barang yang bersifat manufacture (barang hasil
olahan/kerajinan), dengan kewajiban bagi penjual untuk menghadirkan
barang tersebut, dengan materilnya berasal dari pihak penjual dengan
spesifikasi dan harga yang telah disepakati”. Sedangkan Menurut
Wahbah al-Zuhaily, Istishna’ adalah akad dengan pihak pengrajin untuk
mengerjakan suatu barang (pesanan) tertentu, di mana materi dan biaya
produksi menjadi tanggung jawab pihak pengrajin.
Dari dua pengertian terakhir dapat diambil kesimpulan bahwa
istishna’` bukan hanya sekedar “janji” dan objek dalam kontrak ini adalah
sebuah properti untuk memenuhi kebutuhan yang dipesan oleh pembeli
16
dengan barang (yang diperjualbelikan) tidak ada pada saat akad. Dalam
akad istishna’ hanya berlaku pada objek barang yang dapat dibuat
(melalui proses produksi) dan tidak berlaku pada barang seperti padi,
jagung, kapas, buah-buahan dan lain-lain, serta objek barang harus dapat
dispesifikasikan dengan jelas hal ini ditujukan untuk menghindari unsur
gharar (ketidakjelasan).
Dasar hukum istishna’ berdasarkan petunjuk dalam Al-Qur`an
pada surat al-Kahf (18) ayat 94, yang bercerita tentang Zulqarnain ketika
seseorang memesan kepadanya untuk dibuatkan benteng (penghalang)
antara mereka dengan orang-orang Ya`juj dan Ma`juj. ”Ya
Zulkarnain!sesungguhnya Ya`juj dan Ma`juj itu adalah orang-orang perusak
bumi, maka maukah engkau terima kami berikan upeti (Kharajan) dengan syarat
engkau adakan antara kami dan mereka itu suatu tembok (penghalang).”
Komentar terhadap ayat ini, Ibn Abbas berkata bahwa “Kharajan “berarti
sebuah upah/imbalan yang besar. Berdasarkan pendapat al-Ashgar, ayat
ini menggambarkan petunjuk yang ada dalam Al-Qur`an terhadap
legalitas istishna’. Pendapat ini berdasarkan pada sebuah prinsip bahwa:
“segala perintah atau larangan berasal dari seseorang yang
tercantum/terekam dalam Al-Qur`an adalah benar kecuali jika Al-Qur`an
dengan jelas melarangnya”. Adalah tidak mungkin Allah
menginformasikan sesuatu yang salah kepada kita tanpa menjelaskan
ketidak-legal-an dan ketidak-benarannya.
Keabsahan istishna’ didasarkan juga kepada As-Sunnah, bahwa
Nabi Muhammad pernah memesan kepada seorang pengrajin untuk
dibuatkan sebuah cincin. Hadis tersebut telah diriwayatkan oleh banyak
sahabat diantaranya Umar ibn Khatab ra.
Namun, menurut Hanafiyah kebolehan istishna’ berdasarkan pada
istihsan dan bukan berdasarkan Qiyas atau kaidah umum yang berlaku
dalam jual beli.
17
Menurut Abu Hanifah, bai` al-istishna’ pada dasarnya termasuk
akad yang dilarang karena bertentangan dengan semangat bai` secara
qiyas. Meskipun demikian, mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna’
berdasarkan istihsan dan bukan berdasarkan qiyas dikarenakan alasan-
alasan berikut: pertama, masyarkat telah mempraktikkan bai` al-istishna’
secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali; kedua, di
dalam syariah dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas
berdasarkan ijma` ulama. Keberadaan bai` al-istishna’ didasarkan atas
kebutuhan masyarakat, dan bai` al-istishna’ sah sesuai dengan aturan
umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan
nash atau aturan syariah.
Menurut jumhur kebolehan istishna’ cukup dengan meng-qiyas-
kannya dengan bai` as-salam, maka secara umum dasar hukum yang
berlaku pada bai` as-salam juga berlaku pada bai` al-istishna’.
Rukun dalam istishna’ pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan
rukun yang ada pada jual beli biasa dan jual beli salam, adapun rukun jual
beli istishna’ adalah:
1. Pembeli/ pemesan (Mushtani`)
2. Penjual/pembuat barang/produsen (Shani`)
3. Modal/uang (al-tsaman)
4. Barang/jasa/spesifikasi barang yang akan dipesan (Mashnu`)
5. Sighot (ijab-qobul)
6. Harga barang
Sedangkan syarat-syarat jual beli istishna’ tidak berbeda jauh
dengan syarat jual beli salam dengan tambahan:
1. Hendaknya berang yang dipesan dijelaskan jenis, kadar, dan sifatnya.
2. Pemesanan itu termasuk hal sering dilakukan kebanyakan orang,
seperti pesanan perabot rumah tangga, sepatu, perlengkapan
kendaraan dan lain-lain.
18
3. Produsen (Shanni`) memiliki kapasitas dan kesanggupan untuk
membuat/mengadakan barang yang dipesan.
4. Pembayaran dapat dilakukan kemudian hari (tidak diharuskan pada
saat kontrak atau akad) Produk yang dipesan berupa hasil pekerjaan
atau kerajinan (manufacturable) yang mana masyarakat lazim
memesannya, seperti sepatu, baju, mesin-mesin pabrik, dan lain-lain
5. Menurut pendapat Abu Hanifah, waktu penyerahan/pengadaan
produk tidak dibatasi (jika dibatasi menjadi akad salam). Tetapi dalam
aplikasi saat ini waktu penyerahan menjadi syarat yang wajib
dilakukan saat akad berlangsung, hal ini untuk menghindari
terjadinya konflik antara Mustani` dengan Sani.`
Walaupun jual beli istishna’ memiliki banyak kesamaan dengan
jual beli salam, tetapi para ahli fiqh tetap membedakan antara keduanya
dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Barang yang dipesan (al-mabi’) dalam jual beli salam bersifat al-dain
(sesuatu yang menjadi tangungan/dzimmah), sedangkan objek
istishna’ bersifat al-ain (sesuatu yang bisa ditentukan atau ditunjuk
wujud bendanya, seperti istishna’ alat-alat rumah tangga, sepatu, atau
bejana.
2. Dalam akad salam harus dibatasi jangka waktunya, seperti sebulan
atau lebih dari itu. Ketentuan ini menurut Hanafiyah tidak berlaku
pada akad istishna’. Akan tetapi kedua murid Abu Hanifah: Abu
Yusuf dan al-Syaibani berpendapat istishna’ sah baik ditentukan
waktunya maupun tidak.
3. Akad salam bersifat mengikat (lazim), tidak boleh dibatalkan kecuali
atas kesepakatan kedua belah pihak, sedang akad istishna’ tidak
bersifat mengikat. Demikian ini menurut Hanafiyah. Sedangkan
menurut jumhur akad salam dan istishna’ sama-sama bersifat
mengikat.
19
4. Ra’su mal (harga pokok) dalam akad salam harus dibayarkan secara
kontan dalam majelis akad. Dalam istishna’ harga pokok cukup
dibayarkan pada saat akad berupa uang muka, sebagian dari harga
seperti setengah atau sepertiganya, demikian pendapat madzhab
Hanabilah.
4. Jual Beli Mata uang (Sharf).
Arti harfiah dari sharf adalah penambahan, penukaran,
penghindaran, pemalingan atau transaksi jual beli. Menurut Wahbah al
Zuhaili, Al sharf secara bahasa berarti Al ziyadah (tambahan). Sedangkan
menurut istilah Al Sharf adalah:
“Jual beli uang dengan uang, baik yang sejenis atau berbeda jenis” maksudnya
adalah jual beli emas dengan emas, atau perak dengan perak, atau emas
dengan perak, baik fungsinya sebagai perhiasan (masughan) maupun
sebagai uang/alat tukar (naqdan).
Atas dasar pengertian di atas, sharf merupakan akad jual beli mata
uang baik dengan sesama mata uang yang sejenis (misalnya rupiah
dengan rupiah) maupun yang tidak sejenis (misalnya rupiah dengan
dollar atau sebaliknya).
Dasar hukum keabsahan melakukan jual beli uang (sharf) terdapat
dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma,
Firman Allah, QS. al-Baqarah [2]: 275: “ "…Dan Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…."
Juga terdapat pada beberapa hadis Nabi sebagai berikut:
“(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,
sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan
syarat harus)sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah
sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.” HR. Muslim, Abu Daud, Tirmizi,
Nasa'i, dan Ibn Majah)
“(Jual beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai.”
20
(HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad). “Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak
tunai).” (HR. Muslim)
Di samping itu, para ulama sepakat (ijma') bahwa akad al-sharf
disyari'at-kan dengan syarat-syarat sebagai berikut: Pertama, tidak untuk
spekulasi (untung-untungan), kedua, ada kebutuhan transaksi atau untuk
berjaga-jaga (simpanan), ketiga, apabila transaksi dilakukan terhadap mata
uang sejenis maka nilainya harus sama (al-tamatsul) dan secara tunai (at-
taqabudh) sebelum kedua belah pihak (penjual dan pembeli) berpisah serta
tidak ada khiyar syarat, keempat, apabila berlainan jenis maka harus
dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi
dilakukan dan secara tunai.
Dalam praktiknya, ada berbagai macam bentuk jual beli mata uang
terutama jual beli valuta asing. Akan tetapi tidak semua bentuk yang ada
tersebut diperbolehkan menurut hukum Islam. Adapun bentuk-bentuk
jual beli mata uang sekaligus kedudukan hukumnya adalah sebagai
berikut:
Pertama, Transaksi Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan
valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau
paling lambat penyelesaiannya dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya
adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap
sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan
transaksi internasional.
Kedua, Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan
valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan
untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu
tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah
harga yang diperjanjikan (muwa'adah) dan penyerahannya dilakukan di
kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum
21
tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk
forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).
Ketiga, Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau
penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan
pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward.
Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
Keempat, Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak
dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus
dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu
atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur
maisir (spekulasi).
E. Aplikasi Akad Jual Beli di Lembaga Keuangan Syari’ah
Lembaga keuangan syariah baik bank maupun non-bank harus
memiliki produk yang berfareasi sebagaimana halnya produk yang ada di
bank konvensional, sehingga masyarakat memiliki pilihan yang beragam
ketika bertransaksi di lembaga keuangan syariah. Akan tetapi produk
yang beragam tersebut harus diimbangi dengan kepatuhan terhadap
prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh syari’ah Islam. Fatwa DSN-
MUI adalah satu diantara rujukan utama dalam memenuhi kepatuhan
tersebut. Berdasarkan fatwa DSN-MUI produk-produk lembaga keuangan
keuangan untuk memenuhi kepatuhannya terhadap prinsip syari’ah
dapat menggunakan akad jual beli, seperti murabahah, salam, istishna
dan sharf.
1. Akad Murabahah di Perbankan Syariah
Murabahah adalah akad penyediaan barang berdasarkan prinsip
jual beli, dimana bank membelikan kebutuhan barang nasabah
(investasi/modal kerja) dan bank menjual kembali kepada nasabah
ditambah dengan keuntungan yang disepakati.
22
Praktek murabahah di bank syari’ah memerhatikan ketentuan
sebagai berikut:
a. Ketentuan umum murabahah dalam bank syari’ah
1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas
riba
2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah
3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang
yang telah disepakati kualifikasinya
4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank
sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian dailakukan secara hutang
6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan)
dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam
kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang
kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut
pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad
tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan
nasabah.
9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli
barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan
setelah barang, secara prinsip menjadi ilik bank.
b. Ketentuan Murabahah bagi Nasabah
1. Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang
atau asset kepada bank
2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih
dahulu asset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
23
3. Bank kemudian menawarkan asset tersebut kepada nasabah dan
nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang
telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat;
kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk
membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal
pemesanan.
5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil
bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung
oleh bak, bak dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada
nasabah.
7. Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternative dari
uang muka, maka.
a. jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia
tinggal membayar sisa harga.
b. jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank
maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bak akibat
pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah
wajib melunasi kekurangannya.
c. Jaminan dalam Murabahah
1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan
pesanannya.
2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang
dapat dipegang.
d. Utang dalam Murabahah
1. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi
murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang
dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika
nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau
24
kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya
kepada bank.
2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran
berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah
tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia
tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta
kerugian itu diperhitungkan.
4. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas
riba
e. Penundaan Pembayaran dalam Murabahah
1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda
penyelesaian utangnya.
2. Jika nasabah menunda nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
f. Bangkrut dalam Murabahah
Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan
utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup
kembali, atau berdasarkan kesepakatan.
g. Skema Murabahah di Perbankan Syari’ah
25
1. Nasabah dan bank melakukan negosiasi untuk pembelian mobil.
2. Bank membeli mobil ke show room secara tunai.
3. Bank menjual mobil kepada nasabah secara cicil dengan
memberitahukan harga pokok dan marginnya.
4. Nasabah membayar kepada bank secara cicil dalam jangka waktu
tertentu sesuai kesepakatan.
2. Akad Salam di Perbankan Syari’ah
Akad salam adalah akad pembelian suatu hasil produksi (komoditi) untuk
pengiriman yang ditangguhkan dengan pembayaran segera sesuai dengan
persyaratan tertentu atau penjualan suatu komoditi untuk pengiriman
yang ditangguhkan dengan pembayaran segera/di muka.
Praktek salam di bank syari’ah memerhatikan ketentuan sebagai
berikut:
a. Ketentuan Pembayaran Uang Cash
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,
barang atau manfaat.
2. Dilakukan saat kontrak disepakati (in advance)
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk ibra’ (pembebasan hutang)
b. Ketentuan Barang
1. Harus Jelas ciri-cirinya/spesifikasi dan dapat diakui sebagai hutang
2. Penyerahan dilakukan kemudian
3. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
4. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum barang tersebut
diterimanya (qabadh). Ini prinsip dasar jual beli
5. Tidak boleh menukar barang, kecualai dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
26
c. Penyerahan Barang Sebelum Atau Tepat Waktu
1. Penjual wajib menyerahkan barang tepat waktu dgn kualitas &
kuantitas yang disepakati.
2. Bila penjual menyerahkan barang, dengan kualitas yang lebih tinggi,
penjual tidak boleh meminta tambahan harga
3. Jika penjual menyerahkan barang dgn kualitas lebih rendah, dan
pembeli rela menerimanya, maka pembeli tidak boleh meminta
pengurangan harga (diskon).
4. Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang
disepakati dengan syarat : kualitas dan jumlah barang sesuai dengan
kesekapatan dan tidak boleh menuntut tambahan harga.
5. Jika semua/sebagian barang tidak tersedia tepat pada waktu
penyerahan atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela
menerimanya, maka pembeli memiliki dua pilihan:
a. Membatalkan kontrak dan meminta kembali uang
b. Menunggu sampai barang tersedia
d. Perselisihan
Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka
persoalannya diselesaikan melalui pengadilan Agama sesuai dengan UU
No 3/2006 setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Para
pihak dapat juga memilih BASYARNAS dalam penyelesaian
sengketa.Tetapi jika lembaga ini yang dipilih dan disepakatyi sejak awal,
maka tertutup lah peranan PA.
27
e. Skema Salam di Perbankan Syari’ah
3. Istishna’ di Perbankan Syari’ah
Istishna adalah suatu kontrak jual beli antara pembeli (mustasni’)
dan penjual (shani’) di mana pembeli memesan barang (mashnu’) dengan
kriteria yang jelas dan harganya dapat diserahkan secara bertahap.
Praktek istishna di bank syari’ah memerhatikan ketentuan sebagai
berikut:
a. Ketentuan tentang Pembayaran
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa
uang, barang, atau manfaat.
2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang (ibra’)
b. Ketentuan tentang Barang
1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3. Penyerahannya dilakukan kemudian.
4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan
berdasarkan kesepakatan.
28
5. Pembeli (pembeli, mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum
menerimanya.
6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan
kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk
melanjutkan atau membatalkan akad.
c. Ketentuan Lain:
1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan,
hukumnya mengikat.
2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di
atas berlaku pula pada jual beli istishna’.
3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Pengadilan Agama setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Namun para
pihak dapat memilih Badan Arbitrasi Syari’ah
d. Skema Istishna’ di Perbankan Syari’ah
29
1. A memesan 1000 pakaian seragam Pemda, kpd B (bank Islam),
dengan pembayaran cicilan i.e 2 kali bayar , maka terjadilah akad
istisna’ pertama Dalam akad itu A menyerahkan sebagian harga
sebagai DP
2. B (Bank Islam) memesan pembuatan 1000 pakaian seragam kpd
Tukang jahit, Maka terjadilah akad istishna’ kedua Dalam akad itu
B juga menyerahkan DP kepada C .
3. Setelah pakiaan selesai dibuat, C menyerahkannya kpd A.
4. Sharf (jual beli valuta asing) di Perbankan syari'ah
Sharf adalah jual beli atau pertukaran antara mata uang suatu
negara dengan mata uang negara lainnya. Misalnya antara Rupiah dengan
Dollar Amerika, Yen Jepang dengan Euro dan sebagainya.
Dunia perbankan termasuk bank syariah sebagai lembaga
keuangan yang menfasilitasi perdagangan internasional (ekspor-impor)
tidak dapat terhindar dari keterlibatan di pasar valuta asing (foreign
exchange). Hukum transaksi yang dilakukan oleh sebagian bank syariah
dalam muamalah jual beli valuta asing tidak dapat dilepaskan dari
ketentuan syariah mengenai Sharf. Bentuk transaksi internasional
pertukaran valuta asing yang biasa dilakukan bank syariah harus
naqdan/spot.
top related