das garang flood risk assessment
Post on 30-Dec-2014
49 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
MODUL 4: WATERSHED ANALYSIS SYSTEM
STUDI KASUS
FLASH FLOOD RISK ASSESMENT AND RISK MANAGEMENT
(Dosen: Prof. Dr. HA Sudibyakto, MS)
Oleh:
Kelompok 1
1. Bayu
2. Esti Rahayu (12/338559/PGE/00976)
3. Lilik Nugrahaeni (12/338624/PGE/00985)
4. Wisudarahman
MAGISTER PERENCANAAN PENGELOLAAN
PESISIR DAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
CHAPTER 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bencana merupakan suatu kondisi sebagai akibat yang terjadi ketika
ancaman mengenai suatu wilayah beserta penduduk yang ada di dalamnya
yang rentan. Seringkali, bencana yang terjadi menimbulkan kerusakan bagi
lingkungan di sekitar pusat bencana tersebut. kerusakan yang terjadi akibat
bencana tersebut bisa terjadi secara mendadak maupun perlahan, tidak saja
memberikan dampak secara langsung, tetapi juga berdampak tidak langsung.
Dampak secara langsung misalnya korban jiwa, kerusakan rumah dan
infrastruktur, gangguan psikologis, dan lain-lain. Sedangkan dampak tidak
langsung antara lain hilang atau rusaknya fungsi-fungsi produksi seperti area
persawahan, pabrik dan pusat industri, jaringan transportasi, serta pasar.
Selanjutnya kondisi seperti ini dapat merusak sistem pasar, kemampuan daya
beli, dan pertumbuhan ekonomi (Blaikie, et.al., 1994).
Di sisi lain, suatu wilayah tidak bisa lepas dari suatu kondisi yang
berisiko dari ancaman terjadinya suatu bencana. Kondisi fisik suatu wilayah,
karakter masyarakatnya, serta kondisi eksternal seperti hubungan wilayah
tersebut dengan wilayah-wilayah bisa mempertajam risiko yang harus dihadapi
oleh suatu wilayah tertentu. Dalam pembahasan mengenai manajemen
bencana, risiko merupakan prediksi kondisiatau akibat yang akan terjadi akibat
hubungan antara ancaman dan kerentanan dari objek yang terkena dampak
tersebut.
Kedua hal tersebut yaitu bencana maupun ancaman bencana (hazards)
serta risiko yang harus dihadapi oleh suatu wilayah memerlukan perhatian serta
upaya-upaya yang merujuk pada tindakan pasca bencana agar dampak bencana
dapat dikurangi. Hal ini diupayakanuntuk mengurangi adanya korban jiwa,
meminimalisir kerusakan yang terjadi pada sarana dan prasarana umum,
maupun akses terhadap unit-unit produksi wilayah. Upaya-upaya dalam
mengelola bencana yang menekankan pada pendekatan dengan pendugaan
serta pencegahan biasa dikenal sebagai manajemen risiko (Kotze & Holloway,
1998).
Daerah aliran sungai merupakan wilayah yang rentan terhadap
berbagai bencana. Banjir merupakan fenomena alam yang sering terjadi dan
dihadapi banyak daerah. Fenomena banjir terjadi akibat tidak tertampungnya
aliran air pada badan-badan air atau sungai, sehingga meluap dan menggenangi
daerah sekitarnya. Belakangan ini, kejadian banjir cenderung makin meningkat
dengan intensitas yang semakin tinggi dan magnitude banjir semakin besar. Di
kota Semarang, bukan saja banjir yang terjadi akibat meluapnya air dari saluran
drainase akibat curah hujan yang tinggi atau banjir ‘rob’ yang terjadi akibat
pasang air laut. Namun juga terkena banjir bandang (flash food). Banjir
bandang besar telah terjadi beberapa kali di Kota Semarang. Berdasarkan hasil
penelitian, banjir bandang telah melanda Daerah Aliran Sungai (DAS) Garang
terjadi sebanyak lima kali, yaitu pada tahun 1963, 1990, 2000, 2002 dan 2008.
Tidak menutup kemungkinan terjadi lagi banjir bandang besar pada masa yang
akan datang, seiring meningkatkan curah hujan di daerah hulu DAS Garang.
Faktor utama penyebab banjir bandang di DAS Garang adalah curah
hujan. Sementara perubahan penggunaan lahan tidak berpengaruh signifikan
terhadap banjir bandang. Banjir bandang besar dan sangat besar terjadi ketika
curah hujan di DAS Garang Hulu dan DAS Garang Tengah berupa hujan
sangat lebat melebihi 100 mm/hari, yang terjadi dalam waktu bersamaan.
Sekitar 90% banjir bandang di DAS Garang berupa bandang kecil dan bandang
sedang, sementara 10% lainnya berupa bandang besar dan sangat besar. Banjir
bandang di DAS Garang cenderung makin berbahaya karena debit puncak
cenderung meningkat dan waktu mencapai flash cenderung semakin pendek.
Bila dilihat dari ketinggian tempat nampak bahwa Kota Semarang
berada pada pada posisi yang rendah 0-5 mdpl. Selain posisi yang rendah
banyak daerah resapan yang telah berubah fungsi untuk pemukiman dan
pabrik. Bahkan pada kawasan disepanjang pantai semarang banyak yang
ditimbun dengan mengorbankan tambak serta tanaman bakau untuk
memperluas bangunan pabrik atau dibuat perumahan. Daerah hulu DAS telah
mengalami perubahan penggunaan lahan yang sangat cepat, dimana banyak
lahan pertanian dan tegalan yang berubah fungsi menjadi pemukiman dan
pabrik, bahkan di Kota Semarang banyak dijumpai kantong air ditutup untuk
pemukiman dengan mengambil tanah galian dari bukit yang mestinya
berfungsi sebagai daerah resapan air. Di bagian hilir DAS, terutama wilayah
pantai dari Kendal sampai Demak terdapat tanaman bakau yang telah rusak,
terdesak oleh bangunan dan infrastruktur lainnya.
Bencana, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tidak akan berarti
bencana jika tidak dikaitkan dengan komunitas atau masyarakat yan tinggal di
sekitar pusatbencana. Tidak terkecuali dengan banjir bandang yang memiliki
hubungan yang sangat erat dengan kapasitas komunitas yang tinggal di sekitar
pusat bencana. Kerugian akibat bencana cenderung terjadi pada komunitas
yang rentan, dan akan membuat komunitas semakin rentan. Kerentanan
komunitas diawali oleh kondisi-kondisi lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi
yang tidak aman. Kondisi tidak aman tersebut terjadi oleh tekanan-tekanan
dinamis baik internal maupun eksternal.
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat kerentanan (vulnerability) banjir di DAS
Garang.
2. Untuk mengetahui kapasitas (coping capacities) masyarakat dan lembaga
dalam menghadapi banjir.
3. Untuk mengetahui risiko (risk) banjir di DAS Garang.
4. Untuk mengkaji manajemen risiko banjir di DAS Garang.
CHAPTER 2. KONDISI WILAYAH DAS GARANG
A. Gambaran Umum DAS Garang
1. Wilayah Administrasi
DAS Garang secara administratif berada pada 3 (tiga) wilayah
yaitu di Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, dan Kota Semarang.
Gambar 1. Peta Wilayah Administrasi DAS Garang
Secara astronomis, DAS Garang membentang dari 110°18'28" BT
sampai 110°25'59" BT dan antara 6°56'46'' LS sampai dengan 7°11'47'' LS
dengan luas keseluruhan DAS Garang adalah 21.277,36 hektar. Dari
gambar di atas nampak bahwa Kota Semarang memiliki luas wilayah paling
besar yaitu sebesar 53,82% dari luas DAS Garang, sedangkan Kabupaten
Semarang sebesar 33,38% dan Kabupaten Kendal sebesar 12,79%. Batas
DAS Garang adalah sebagai berikut:
Utara : Laut Jawa,
Timur : Kabupaten Demak,
Selatan : Kabupaten Semarang
Barat : Kabupaten Kendal
DAS Garang dibagi menjadi empat (4) sub DAS yaitu DAS
Garang Hulu, DAS Kreo, DAS Kripik dan DAS Garang Hilir atau Banjir
Kanal Barat. Aliran sungai berasal dari Sungai Kreo, Sungai Kripik dan
Sungai Garang Hulu yang menyatu menjadi Sungai Garang pada bagian
hilir DAS, sehingga bentuknya menyerupai botol dimana pada hulu DAS
menggelembung dan menyempit pada bagian hilirnya.
2. Kondisi Fisik DAS Garang
Kondisi Iklim
DAS Garang termasuk dalam wilayah dengan iklim tropis dan
bertemperatur sedang. Suhu udara rata-rata adalah 29˚ C dan curah hujan
rata-rata 1669,121mm/tahun. Curah hujan yang tinggi banyak terdapat di
Kabupaten Semarang dengan rata-rata 2.669 mm/tahun, sedangkan di Kota
Semarang curah hujan rata-ratanya 495,36 mm/tahun (BLH Prov. Jateng,
2009).
Kemiringan Lereng
DAS Garang memiliki kemiringan lereng yang bervariasi dari
datar, bergelombang, berbukit sampai bergunung. Wilayah datar berada
di bagian hilir DAS, daerah bergunung berada di bagian hulu DAS
sedangkan daerah bergelombang dan berbukit berada diantara hulu dan
hilir. Tempat tertinggi berada di Gunung Ungaran dengan ketinggian
±1.900 m di atas permukaan air laut, sedangkan tempat terendah berada
di muara Sungai Garang di Kecamatan Semarang Barat.
Kemiringan lereng lahan di DAS Garang tersajii pada tabel di
bawah ini.
Tabel 1. Kemiringan Lereng Lahan di DAS Garang
Kondisi Tanah
Kondisi tanah di wilayah DAS Garang didominasi oleh jenis
tanah latosol dan regosol sedangkan selebihnya berupa aluvial, grumusol
dan mediteran. Pada bagian sub DAS Garang Hulu didominasi oleh tanah
latosol dan regosol dengan sedikit grumusol dan mediteran. Demikian
pula dengan sub DAS Kreo dan Kripik. Untuk sub DAS Garang Hilir
didominasi oleh jenis tanah aluvial dan mediteran.
Kondisi tanah di DAS Garang tersaji pada gambar di bawah ini.
Gambar 2. Peta Jenis Tanah di DAS Garang
Penggunaan Lahan
Penutupan Lahan di DAS Garang berdasarkan Citra Satelit Tahun
2009 yang diolah oleh BP DAS Pemali Jratun tersaji pada gambar di bawah
ini.
Gambar 3. Peta Penutupan Lahan di DAS Garang
Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa pada segmen I
sebagian besar lahan merupakan pertanian lahan kering dan pertanian
lahan kering bersemak, diikuti hutan dan permukiman. Segmen II
didominasi oleh pertanian lahan kering bersemak dan permukiman,
begitu juga pada segmen III, sedangkan pada segmen IV terdapat
pertanian lahan kering, pertanian lahan kering bersemak, sawah, serta
sedikit bagian permukiman. Segmen V didominasi dengan pertanian
lahan kering sedangkan segmen VI dan VII seluruhnya merupakan
wilayah permukiman.
B. Sosial Ekonomi Kemasyarakatan
Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk DAS Garang adalah 1.657.798 jiwa dengan rincian
jumlah penduduk laki-laki sebanyak 814.444 jiwa. Sedangkan jumlah
penduduk Kota Semarang yang merupakan zona rawan banjir memiliki jumlah
penduduk 1.543.557 jiwa yang terdiri dari penduduk perempuan sebanyak
776.111 jiwa dan penduduk laki-laki sebanyak 767.446 jiwa.
Status kesehatan masyarakat dapat ditunjukkan dengan angka
morbiditas yaitu suatu angka yang menunjukkan tingkat kesakitan atau
banyaknya orang yang sakit/mempunyai keluhan sakit tentang kondisi
badannya. Status kesehatan Masyarakat tersebut memiliki hubungan yang erat
dengan tahapan kondisi pembangunan sosial ekonomi dan lingkungan, dimana
hubungan antara pombangunan sosial ekonomi dan lingkungan dengan status
kesehatan masyarakat dapat bersifat timbal balik (Sulistyani, 2010).
1. Pada wilayah Urban penyakit yang dominan yaitu ISPA, Diare, Disenfii,
Kulit dan mata untuk kelompok umur >60 tahun.
2. Pada wilayah Rural penyakit yang dominan ISPA, Diare, Kulit dan mata
untuk kelompok umur 0-4 tahun.
3. Pada wilayah pantai penyakit yang dominan yaitu ISPA (>60 tahun),
Diare (45-54tahun dan> 60 tahun), Disentri (0-4tahun, 5-14 tahun, 55 -60
tahun dan > 60 tahun), Kulit (5-l4 tahun, 55-60 tahun dan > 60 tahun) dan
mata (> 60 tahun).
4. Pada wilayah peralihan ISPA dan Diare untuk kelompok umur 55-60 tahun,
ISPA, mata dan disentri untuk kelompok umur 45-54 tahun.
5. Pada wilayah pegunungan ISPA (0-4 tahun,5-14 tahun, 15-44 tahun, 45-54
tahun), Diare (0-4 tahun, 5- 14 tahun, l5-44 tahun, 45-54 tahun, >60
tahun), Disentri (15-44 tahun, 45-54 tahun, 55-60 tahun), Kulit (0-4
tahun, 5-14 tahun, 45-54 tahun) dan mata semua kelompok umur.
CHAPTER 3. TINGKAT KERENTANAN (VULNERABILITY) BANJIR DI
DAS GARANG
Kerentanan (vulnerability) adalah kondisi-kondisi yang ditentukan oleh
faktor atau proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang meningkatkan
kecenderungan (susceptibility) sebuah komunitas terhadap dampak bahaya (ISDR
2004). Tingkat kerentanan merupakan suatu hal penting untuk diketahui sebagai
salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana alam, karena
bencana baru akan terjadi bila bahaya alam terjadi pada kondisi yang rentan.
Pendapat lain menyatakan bahwa kerentanan lebih menekankan aspek manusia di
tingkat komunitas yang langsung berhadapan dengan ancaman (bahaya) sehingga
kerentanan menjadi faktor utama dalam suatu tatanan sosial yang memiliki risiko
bencana lebih tinggi apabila tidak didukung oleh kemampuan (capacity).
Kapasitas adalah suatu kombinasi antara semua kekuatan dan sumberdaya yang
tersedia di dalam sebuah komunitas, masyarakat atau lembaga yang dapat
mengurangi tingkat resiko atau dampak suatu bencana (ISDR, 2004).
Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan perkiraan tingkat
kerusakan terhadap fisik bila ada faktor berbahaya (hazard) tertentu. Tingkat
kerentanan fisik dapat dilihat dari berbagai indikator sebagai berikut: persentase
kawasan terbangun, kepadatan bangunan, persentase bangunan konstruksi darurat,
jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM, dan
jalan kereta api. Apabila persentase dari berbagai indikator rendah, maka
dikatakan wilayah tersebut rentan terhadap bencana yang ada.
Kerentanan sosial menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan terhadap
keselamatan jiwa/kesehatan penduduk apabila ada bahaya. Kerentanan sosial
dapat dilihat menggunakan indikator antara lain kepadatan penduduk, laju
pertumbuhan penduduk, persentase penduduk usia tua-balita dan penduduk
wanita. Jika melihat kondisi sosial saat ini, terdapat bencana non-alam seperti
rentannya kondisi sosial masyarakat terhadap kerusuhan, tingginya angka
pengangguran, instabilitas politik dan tekanan ekonomi.
Kerentanan ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknya
kegiatan ekonomi yang terjadi bila terjadi ancaman bahaya. Indikator yang dapat
kita lihat menunjukkan tingginya tingkat kerentanan ini misalnya adalah
persentase rumahtangga yang bekerja di sektor rentan dan persentase rumah
tangga miskin. Wilayah yang mempunyai tingkat kerentanan tinggi akan
berpengaruh terhadap tingginya risiko bencana yang terjadi di wilayah tersebut
(BAKORNAS PBP, 2002).
A. Kerentanan Fisik
B. Kerentanan Sosial
C. Kerentanan Ekonomi
CHAPTER 4. KAPASITAS (COPING CAPACITIES) MASYARAKAT DAN
LEMBAGA MENGHADAPI BANJIR
Kapasitas (coping capacities) mengacu pada suatu cara dimana dengan
cara tersebut orang atau organisasi menggunakan sumber daya dan kapasitas
untuk menghadapi dampak yang ditimbulkan bencana (De Leon dan Jul, 2006).
Salah satu komponen analisis resiko bencana adalah kemampuan pihak-pihak
terkait baik masyarakat maupun pemerintah dalam menangani bencana. Cara
pandang masyarakat dan pihak-pihak terkait di dalamnya akan mempengaruhi
bagaimana mereka merespons dan mengantisipasi datangnya bencana.
A. Mitigasi Struktural
Mitigasi struktural menggunakan beberapa variabel yang dapat
dijadikan indikator dalam menentukan kesiapsiagaan warga masyarakat desa
dan pemerintah desa dalam menghadapi banjir bandang. Keberadaan bangunan
pelindung, mekanisme perbaikan infrastruktur desa, serta bagaimana proses
perbaikan dan kesiapan setiap rumah tangga dalam mengantisipasi bencana
menjadi acuan dalam menentukan tingkat coping capacity fisik. Mitigasi
struktural yang telah dilakukan dalam menghadapi banjir DAS Garang adalah
adanya bangunan bendung Simongan untuk mengendalikan banjir di kawasan
Banjir Kanal Barat. Bendungan ini terus dilakukan perbaikan dan peninggian
untuk mengantisipasi banjir.selain itu Pemerintah Semarang juga melakukan
normalisasi Sungai Garang, pembangunan DAM Jatibarang pada sub DAS
Kreo, pembangunan embung di sub DAS Beringin, dan drainase perkotaan
(Uliyah, 2012).
Gambar 4. Bendung Simongan
B. Coping Capacity Sosial
Coping capacity masyarakat pada aspek sosial ini dikaji dengan
menganalisis sistem sosial masyarakat dalam menghadapi banjir bandang
terutama bagaimana masyarakat melakukan perbaikan rumah dan infrastrukstur
yang rusak, tingkat pengetahuan masyarakat mengenai banjir bandang serta
jenis bantuan pemerintah dalam membantu warga menghadapi banjir bandang.
Upaya adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat sekitar Sungai
Garang adalah renovasi dan peninggian pondasi rumah atau pembuatan lantai
dua untuk mencegah rumah tergenang total dan tak bisa ditinggali saat terjadi
banjir. Tingkat pengetahuan masyarakat terhadap banjir di DAS Garang dirasa
masih minim, dimana masih kurangnya partisipasi masyarakat dalam
penanganan masalah banjir. Hilangnya rasa handarbeni masyarakat terhadap
Sungai Garang mengakibatkan kurangnya rasa kepedulian untuk menjaga
kondisi alami DAS Garang, sebagai contoh masih ada warga bantaran yang
membuang sampah dan buang air besar di Sungai Garang dan menganggap itu
wajar (Susena,1997). Hal ini tentu saja menambah kerentanan sosial
masyarakat terhadap bahaya banjir. Sosialisasi dan ajakan untuk memelihara
Sungai Garang mulai banyak dilakukan,baik oleh LSM atau oleh pemerintah.
Hubungan sosial antar masyarakat di bantaran Sungai Garang masih baik,
dengan adanya ronda dan bersih sungai dan selokan (Dewi,2007)
C. Coping Capacity Ekonomi
Tingkat coping capacity ekonomi dianalisis berdasarkan variabel
dampak banjir bandang terhadap aktivitas masyarakat, bentuk bantuan modal
usaha dan padat karya dalam usaha perbaikan kerusakan akibat banjir bandang
serta ketersediaan anggaran untuk biaya perbaikan terhadap kerusakan banjir
bandang.
Upaya secara ekonomi yang dilakukan masyarakat dalam menghadapi
banjir adlah dengan menyimpan uang mereka di bank, agar mereka memiliki
simpanan saat harus melakukan recovery pasca banjir. Selain itu masyarakat
akan memindahkan barang-barang berharga mereka ke tempat yang lebih
aman, baik itu pada lantai dua rumah mereka atau ke tempat saudara. Mereka
juga kebanyakan memiliki lebih dari satu mata pencaharian (Dewi, 2007).
CHAPTER 5. RISIKO (RISK) BANJIR DI DAS GARANG
Risiko (risk) adalah probabilitas timbulnya konsekuensi yang merusak
atau kerugian yang sudah diperkirakan (hilangnya nyawa, cederanya orang-orang,
terganggunya harta benda, penghidupan dan aktivitas ekonomi, atau rusaknya
lingkungan) yang diakibatkan oleh adanya interaksi yang ditimbulkan alam atau
diakibatkan manusia serta kondisi yang rentan (ISDR, 2004). Menurut Cardona
(2003) risiko bencana didefinisikan sebagai potensi kerugian baik berupa
kematian, keterancaman jiwa, kerugian materi dan gangguan kegiatan sosial
ekonomi masyarakat yang ditimbulkan akibat bencana. Sedangkan Smith Dan
Petley (2009) mendefinisikan penilaian risiko sebagai suatu proses evaluasi
tentang pentingnya risiko baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Penilaian
risiko kuantitatif adalah proses yang dipahami oleh minoritas masyarakat dan
penilaian ini belum diterapkan pada semua bahaya lingkungan. Jadi, terkadang
penilaian kuantitatif hanya mengukur satu bahaya lingkungan saja. Kondisi yang
demikian membuat tingkat ketidakpastian yang berhubungan dengan estimasi
biaya tinggi, bahkan ketika risiko telah diukur. Semua perkiraan risiko perlu
dinyatakan dalam cara yang lebih mudah diakses orang awam untuk menjelaskan
apa yang dimaksud oleh ketidakpastian yang terkait dengan perkiraan yang telah
dilakukan.
Penilaian atau analisis risiko bencana bertujuan untuk mengidentifikasi
wilayah berdasarkan tingkat risikonya terhadap bencana. Hasil analisis menjadi
acuan dalam perumusan penanggulangan dampak negatif terjadinya bencana.
Tolerable risk merupakan tingkat kerugian yang dirasakan oleh masyarakat atau
pihak berwenang yang relevan untuk ditoleransi ketika mengelola risiko. Risiko
yang ditoleransi berupa konsep yang sangat kompleks dan dinamis karena tingkat
risiko yang dapat ditoleransi sebenarnya bervariasi menurut berbagai faktor. Ini
termasuk tingkat keparahan risiko itu sendiri, ssifat dampak potensial, tingkat
pemahaman tentang risiko, kebiasaan orang-orang yang terpengaruh dengan
risiko, manfaat yang terkait dengan risio dan bahaya serta manfaat terkait dengan
alternatif skenario (Smith dan Petley, 2009). Risiko merupakan variabel yang
terdiri atas faktor hazard, vulnerability, dan coping capacity. Penilaian risiko
menggunakan formula:
Risk = (hazard x vulnerability)/coping capacity
Sumber: White et al, 2005
CHAPTER 6. MANAJEMEN RISIKO BANJIR DI DAS GARANG
Berbagai potensi bahaya alam, termasuk banjir bandang tidak secara
langsung menyebabkan bencana yang dihadapi masyarakat. Kejadian bencana
merupakan akibat dari kombinasi keterbukaan, kerentanan, dan kurangnya
persiapan masyarakat terhadap potensi bencana (ISDR, 2010). Upaya dalam
pengurangan risiko bencana haruslah memadukan upaya mitigasi dan adaptasi
yang terkait langsung dengan pembangunan berkelanjutan sebagai upaya untuk
mengurangi risiko terhadap kerugian dan penghidupan masyarakat serta
peningkatan daya tahan (resilience) masyarakat terhadap berbagai potensi
bencana.
Manajemen risiko adalah proses dimana risiko dievaluasi sebelum
strategi diperkenalkan untuk mengelola dan memitigasi ancaman. Manajemen
risiko, pada awalnya secara keseluruhan dikelola oleh pemerintah secara nasional
melalui penetapan undang-undang dan kebijakan. Namun pada perkembangannya
pemerintah secara aktif perlu mendorong keterlibatan aktif masyarakat dalam
mitigasi bencana (Smith dan Petley, 2009)
DAFTAR PUSTAKA
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
(BAKORNAS PBP). 2002. Arahan Mitigasi Bencana. Jakarta
Blaikie, P., Wisner B., Cannon T., Davis I. 1994. At Risk: natural Hazards,
People’s Vulnerability and Disaster Second Edition. Routlede: London
and New York
Cardona. 2003. The Need for Rethinking The Concepts of Vulnerability and Risk
from A Holistic Perspective: Necessary Review and Critism for Effective
Risk Management.
De Leon, Juj. C.V. 2006. Vulnerability A Conceptual and Methodological Review.
Bornheim, Germany
Dewi, Anggraini. 2007. Community Based Analysis of Coping With Urban
Flooding- a Case Study in Semarang, Indonesia. International Institute
for Geo-Information and Earth Observation: Enschede, The Netherland
ISDR. 2004. Living with Risk: A Global review of Disaster Reduction Initiatives
Kotze and Holloway. 1998. Reducing Risk: Participatory Learning Activities for
Disaster Mitigation in Southern Africa. Durban, South Africa
Smith, K., dan Petley D.N. 2009. Environmental hazards: Assessing Risk And
Reducing Disaster. Fifth Edition, Routledge: New York USA
Sulistyani. 2010. Status Kesehatan Masyarakat dan Kualitas Lingkungan pada
DAS Garang Kabupaten dan Kota Semarang. Semarang: FKM UNDIP
Susena.1997. Pengaruh Tingkat Sosial Ekonomi Penduduk di Sekitar Kali Garang
terhadap Pencemaran Perairan Kali Garang Semarang. Laporan
Penelitian. Politeknik UNDIP: Semarang
Uliyah, Lulu.2012. Indepth Report-Belajar Upaya Adaptasi Perubahan Iklim dari
Semarang. Yayasan Satu Dunia
White, P., Pelling, M., Sen, K., Seddon, D., Russel, S., dan Few, R. 2005.
Disaster Risk Reduction. A Development Concern. DFID
top related