gambaran pengetahuan perawat dalam penanganan awal ...1,2-6 kasus per 100.000 orang per tahun pada...
Post on 21-Aug-2021
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2020
Gambaran Pengetahuan Perawat Dalam Penanganan Awal Tension
Pneumothorax di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Kabupaten Karanganyar
1)Aditya Heru Siswanto, 2)Setyawan, 3)Martina Eka Chanyaningtyas
1) Mahasiswa Prodi SI Keperawatan STIKES Kusuma Husada Surakarta
2) Dosen Prodi SI Keperawatan STIKES Kusuma Husada Surakarta
3) Dosen Prodi SI Keperawatan STIKES Kusuma Husada Surakarta
ABSTRAK
Pasien menderita trauma, merupakan pasien yang mengalami
pneumothorax, penyebab tersering dari pneumotoraks akibat kecelakaan lalu
lintas. Kurangnya pengetahuan untuk mengetahui tanda dan gejala dari
pneumothorax terdesak menyebabkan banyak penderita meninggal setelah atau
dalam perjalanan menuju ke rumah sakit. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran pengetahuan perawat dalam penanganan awal tension
pneumothorax di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Karangan.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik sampling
menggunakan total sampling. Sampel penelitian adalah pegawai yang bekerja di
Ruang IGD RSUD Kabupaten Karanganyar sebanyak 18 orang. Uji analisa data
menggunakan analisis univariate.
Hasil penelitian gambaran pengetahuan perawat dalam penanganan awal
tension pneumothorax di RSUD Kabupaten Karanganyar dan mayoritas baik
sebesar 12 responden (66,7%), kategori cukup 4 responden (22,2%) dan kurang
sebesar 2 responden (11,1%).
Kata kunci : pengetahuan, perawat, tension pneumothorax
Daftar Pustaka : 34 (1996-2014)
2
BACHELOR’S DEGREE PROGRAM IN NURSING
KUSUMA HUSADA COLLEGE OF HEALTH SCIENCES OF SURAKARTA
2020
Aditya Heru Siswanto
OVERVIEW OF NURSES’ KNOWLEDGE ABOUT EARLY HANDLING OF
TENSION PNEUMOTHORAX AT LOCAL GENERAL HOSPITAL OF
KARANGANYAR REGENCY ABSTRACT
Trauma patients are those experiencing pneumothorax. It frequently
happens due to traffic accident. The less knowledge about the signs and symptoms
of tension pneumothorax cause many of its bearers to die after or during on-the-
way to hospitalThe objective of this research is to investigate overview of nurses’
knowledge about early handling of tension pneumothorax at Local General
Hospital of Karanganyar Regency.
This research used the descriptive qualitative research method. Total
sampling was used to determine its samples. They consisted of all of the nurses
posted at Emergency Installation of General Hospital of Karanganyar Regency as
many as 18. The data of the research were analyzed by using the univariate
analysis.
The result of the analysis shows that 12 nurses (66.7%) had good
knowledge, 4 nurses (22.2%) had fairly good knowledge, and 2 nurses (11.1%)
had less good knowledge about early handling of tension pneumothorax.
Keywords: Knowledge, nurses, tension pneumothorax
References: 34 (1996-2014)
Surakarta, February 01st, 2020
Translated from the original,
The Language Center (UPT Bahasa)
of Sebelas Maret University
Head,
Dr. Herianto Nababan, S.S., M.Hum,
NIP197401282002121003
This translation was conducted by the Language Center
(UPT Bahasa) of Sebelas Maret University (a state university)
Jalan Ir. Sutami No. 36A Kentingan, Surakarta 57126
Indonesia
Phone: +62.271.632.418. Facsimile: +62.271.632414
Email: translation.uptbahasa@gmail.com
3
PENDAHULUAN
Kejadian cidera dada merupakan
salah satu trauma yang sering terjadi,
jika tidak di tangani dengan benar akan
menyebabkan kematian, kejadian trauma
dada terjadi seperempat dari jumlah
kematian akibat trauma yang terjadi,
serta sekitar sepertiga dari kematian
yang terjadi di berbagai rumah sakit.
Kecelakaan kendaraan bermotor paling
sering menyebabkan terjadinya trauma
pada toraks. Cidera yang diakibatkan
oleh kecelakaan seperti cidera dada
antara lain, tension pneumothorax,
pneumothorax terbuka, flail chest,
hematotorax, tamponade jantung.
Tingkat morbiditas mortalitas akan
meningkat dan menjadi penyebab
kematian kedua di dunia pada tahun
2020 menurut WHO (Word Health
Organization) (Purnawaba dan Suarjaya,
2013).
Pneumotoraks spontan sering
terjadi pada usia muda, dengan insidensi
puncak pada dekade ketiga kehidupan
(20-40 tahun). Insidensinya sama antara
pneumotoraks primer dan sekunder,
namun pria lebih banyak terkena
dibanding wanita dengan perbandingan
6:1. Pada pria, resiko pneumotoraks
spontan akan meningkat pada perokok
berat dibanding non perokok.
Pneumotoraks spontan primer biasanya
terjadi pada anak laki-laki yang tinggi,
kurus dan usia 10-30 tahun. Insidens
pada usia tertentu: 7,4-18 kasus per
100.000 orang per tahun pada laki-laki
1,2-6 kasus per 100.000 orang per tahun
pada perempuan. Pneumotoraks spontan
sekunder puncak kejadian di usia 60-65
tahun insidensi 6,3 kasus per 100.000
orang per tahun pada laki-laki 2,0 kasus
per 100.000 orang per tahun pada
perempuan 26 per 100.000 pasien
dengan penyakit paru obstruktif kronik
per tahun (McCool FD, 2015).
Kejadian pneumothoraks di
Indonesia berkisar antara 2,4-17,8 per
100.000 per tahun. Beberapa
karakteristik pada pneumotoraks antara
lain: laki-laki lebih sering daripada
wanita (4: 1); Paling sering pada usia
20–30 (4,14) tahun Pneumothoraks
spontan yang timbul pada umur lebih
dan 40 tahun sering disebabkan oleh
adanya bronkitis kronik dan empisema
(Cermin Dunia Kedokteran No. 101,
2015). DI Rumah sakit di Semarang,
distribusi penderita pneumothoraks
spontan tipe primer terbanyak terlihat
pada rentang usia 21 – 30 tahun
sebanyak 17 kasus, sedangkan distribusi
penderita pneumothoraks spontan tipe
sekunder terbanyak terlihat pada rentang
usia 31 – 40 tahun sebanyak 15 kasus.
Ditemukan 59 kasus penderita
pneumothoraks spontan yang disertai
penyakit paru (42.8%) dan 79 kasus
penderita pneumothoraks spontan yang
tidak disertai penyakit paru (57.2%).
Penyakit paru yang ditemukan
menyertai pneumothoraks spontan
4
antara lain : tuberkulosis (29.0%), asma
(5.8%), bronkopneumoni (4.3%),
pneumonia (2.2%), emfisema paru,
infiltrat paru (1.5%), karsinoma paru,
sindroma aspirasi mekonium, dan
bronkiektasis (0.7%) (Nugroho, 2015).
Berdasarkan data dari rekam
medik di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Kabupaten Karanganyar pada
bulan Januari 2019 terdapat 6 pasien
tension pneumothorax. Penanganan
yang selama ini dilakukan jika tension
pneumothorax terjadi, hal pertama yang
harus dilakukan tim medis adalah
melakukan needle thoracocentesis, yaitu
tindakan memasukkan jarum bernomor
besar, sekitar 14 atau 16, ke bagian
dada, tepatnya pada interkostal dua lurus
dari mid klavikula, sekitar dua tulang
rusuk, hal tersebut dilakukan supaya
udara yang terjebak di dalam rongga
dada bisa keluar. Study pendahuluan di
RSUD Kabupaten Karanganyar
khususnya di ruang IGD diketahui
bahwa apabila terjadi tension
pneumothorax pada pasien, yang
dilakukan pertama kali adalah
menusukkan jarum ke dadanya tepatnya
pada interkostal dua lurus dari mid
klavikula, hal ini dengan orientasi agar
nyawa pasien bisa terselamatkan.
Langkah berikutnya adalah dilakukan
pemasangan slang dada (chest tube) di
sela tulang iga kelima di antara garis
aksilaris anterior dan midaksilaris.
Pemasangan slang juga dilakukan pada
pasien pneumothorax akibat trauma.
Selagi menjalani pemulihan, pemberian
oksigen melalui masker dilakukan jika
pasien mengalami kesulitan bernapas.
RSUD Karanganyar memiliki
jumlah perawat yang bertugas di
Instalasi Gawat Darurat sebanyak 18
perawat, dua diantaranya dalam
penanganan awal tension pneumothorax
tidak diketahui sebagaimana yang telah
ditentukan dalam Standar Operasional
Prosedur (SOP) penanganan awal
tension pneumothorax sebagai
penanganan pasien gadar di ruang gawat
darurat. Namun demikian, saat
dilakukan tanya jawab tentang
pengertian tension pneumothorax
perawat mengerti dan mengungkapkan
bahwa tension pneumothorax adalah
“penimbunan udara diikuti peningkatan
tekanan di dalam rongga pleura” namun
ketika diberikan pertanyaan tentang apa
itu tension pneumothorax dan
bagaimana penanganan awal tension
pneumothorax pada setiap pasien
perawat menjawab “penanganan awal
tension pneumothorax itu sebagai
penanganan yang pertama pada pasien
tension pneumothorax dengan
pemeriksaan apakah ada obstruksi jalan
napas disebabkan benda asing, fraktur
tulang wajah dan bila perlu pemasangan
collar neck. Hai ini dapat dilakukan
dengan benar asal perawat dapat
mengacu pada SOP penanganan awal
tension pneumothorax di rumah sakit.
5
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka dalam penelitian ini akan diteliti
tentang gambaran pengetahuan perawat
dalam penanganan awal tension
pneumothorax di Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Kabupaten
Karanganyar.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian
deskriptif kuantitatif. Populasi dalam
penelitian ini adalah perawat IGD di
RSUD Kabupaten Karanganyar.
Sampel dalam penelitian ini sebanyak 18
responden dengan teknik pengambilan
sampel adalah total sampling. Teknik
analisis menggunakan analisis univariat.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Analisis Univariat
Tabel 1. Distribusi responden menurut
Usia
Usia Frekuensi
(F)
Prosentase
(%)
< 25 th 3 16,7
26 – 35 th 13 72,2
> 36 th 2 11,1
Jumlah 18 100,0 Sumber : Data Primer yang diolah
Tabel 1 Distribusi responden
penelitian ini menunjukkan mayoritas
berusia
Tabel 2. Distribusi responden menurut
Jenis Kelamin
Jenis
Kelamin
Frekuensi
(F)
Prosentase
(%)
Laki-laki 12 66,7
Perempuan 6 33,3
Jumlah 18 100,0
Sumber : Data Primer yang diolah
Tabel 2 Distribusi frekuensi
tentang jenis kelamin responden
sebagian besar adalah laki-laki sebanyak
12 responden (66,7%), sedangkan
perempuan sebesar 6 responden
(33,3%).
Tabel 3. Distribusi responden menurut
tingkat pendidikan
Pendidikan Frekuensi
(F)
Prosentase
(%)
D3 3 16,7
S1 7 38,9
Ners 8 44,4
Jumlah 18 100,0 Sumber : Data Primer yang diolah
Tabel 3 Distribusi frekuensi
tentang tingkat pendidikan
menunjukkan mayoritas memiliki
latar belakang tingkat pendidikan
Ners sebanyak 8 responden (44,4%).
6
Tabel 4. Distribusi responden menurut
pelatihan penanganan keperawatan
Pelatihan
penanganan
keperawatan
pneumotoraks
Frekuensi
(F)
Prosentase
(%)
Sudah dapat
pelatihan
11 61,1
Belum dapat
pelatihan
7 38,9
Jumlah 18 100.0
Sumber : Data Primer yang diolah
Tabel 4 Distribusi frekuensi
tentang responden yang sudah
mendapat pelatihan penanganan
keperawatan pneumotoraks
menunjukkan sebanyak 11 responden
(61,1%).
Tabel 5. Distribusi responden menurut
Massa Kerja
Masa
Kerja
Frekuensi
(F)
Prosentase
(%)
< 3 tahun 8 44,4
> 3 tahun 10 55,6
Jumlah 18 100,0 Sumber : Data Primer yang diolah
Tabel 5 Distribusi frekuensi
tentang masa kerja responden
menunjukkan mayoritas lama kerja
responden lebih dari 3 tahun
sebanyak 10 responden (55,6%).
Tabel 6. Distribusi frekuensi
pengetahuan perawat dalam
penanganan awal tension
pneumothorax
Pengetahuan
perawat
dalam
penanganan
awal tension
pneumothora
x
Frekuensi
(F)
Prosenta
se (%)
Baik 12 66,7
Cukup 4 22,2
Kurang 2 11,1
Jumlah 18 100.0
Sumber : Data Primer yang diolah
Tabel.6 Distribusi frekuensi
tentang gambaran pengetahuan
perawat dalam penanganan awal
tension pneumothorax yang
dikategorikan dalam 3 kategori yaitu
baik, cukup, kurang. Pengetahuan
perawat dalam penanganan awal
tension pneumothorax mayoritas
mempunyai pengetahuan yang
termasuk kategori baik sebesar 12
responden (66,7%).
Pembahasan
Karakteristik Responden
1. Usia
Hasil penelitian menunjukkan
gambaran pengetahuan perawat
dalam penanganan awal tension
pneumothorax di Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Kabupaten
7
Karanganyar mayoritas berusia 26
sampai 35 tahun sebanyak 13
responden (72,2%). Umur antara 21
sampai dengan 35 tahun merupakan
usia yang produktif, maka distribusi
tenaga perawat dalampenanganan
awal tension pneumathorax di RSUD
Kabupaten Karanganyar merupakan
usia yang produktif. Menurut
Purwanto (2005) bahwa saat yang
paling produktif dalam masa hidup
seseorang untuk mencapai puncak
karirnya berbeda-beda tergantung
jenis pekerjaan dan individu yang
bersangkutan. Pekerjaan-pekerjaan
yang membutuhkan kekuatan,
kecepatan dan kecermatan gerak usia
yang paling efektif adalah sekitar 25
sampai 29 tahun. Usia semakin
meningkat akan meningkat pula
kebijaksanaan kemampuan seseorang
dalam mengambil keputusan,
berpikir rasional, mengendalikan
emosi, dan bertoleransi terhadap
pandangan orang lain, sehingga
berpengaruh terhadap peningkatan
kinerjanya (Kumajas, Warouw dan
Bawotong, 2014).
2. Jenis Kelamin
Karakteristik responden dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa
perawat dalam penanganan awal
tension pneumothorax di Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD)
Kabupaten Karanganyar mayoritas
adalah laki-laki sebanyak 12
responden (66,7%). Hal ini
menunjukkan bahwa pasien dengan
kasus tension pneumothorax di
RSUD Kabupaten Karanganyar
sebagian besar didominasi pasien
laki-laki daripada perempuan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Berck (2010)
penumotoraks iatrogenik merupakan
tipe pneumotoraks yang sangat
sering terjadi, dengan insidensi usia
biasanya lebih sering pada pria
dibandingkan wanita.
3. Pendidikan
Karakteristik responden dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa
perawat dalam penanganan awal
tension pneumothorax di Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD)
Kabupaten Karanganyar
menunjukkan latar belakang
pendidikan D3 sebesar 3 responden
(16,7%) dan S1 sebanyak 7
responden (38,9%), dan pendidikan
NERS sebanyak 8 responden
(44,4%). Dilihat dari latar belakang
pendidikan responden lebih banyak
8
pendidikan NERS. Menurut
Nurachmah (2000) bahwa untuk
menjadi perawat professional pemula
adalah lulusan Diploma 3
Keperawatan, sedangkan perawat
professional harus Sarjana (Ners).
Notodmodjo (2003), menyatakan
bahwa orang-orang yang memiliki
pendidikan yang lebih tinggi akan
memiliki pengetahuan yang lebih
tinggi pula jika dibandingkan dengan
orang-orang yang memiliki
pendidikan yang rendah dan melalui
pendidikan seseorang dapat
meningkatkan kematangan
intelektual sehingga dapat membuat
keputusan dalam bertindak.
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pendidikan
memberikan pengetahuan bukan saja
yang langsung dengan penanganan
awal tension pneumothorax, tetapi
juga landasan untuk
mengembangkan diri serta
kemampuan memanfaatkan semua
sarana yang ada di sekitar untuk
kelancaran tugas. Tenaga
keperawatan yang berpendidikan
tinggi motivasinya akan lebih baik
karena telah memiliki pengetahuan
dan wawasan penanganan awal
tension pneumothorax yang lebih
luas dibandingkan dengan perawat
yang berpendidikan rendah. Hasil
penelitian ini didukung oleh
penelitian
4. Pelatihan Penanganan tension
pneumothorax
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa responden yang sudah
mendapatkan pelatihan penanganan
keperawatan pneumotoraks di RSUD
Karanganyar sebanyak 11 responden
(61,1%) sedangkan yang 7 responden
(38,9%) belum mendapatkan
pelatihan. Hal ini menunjukkan
bahwa sebagian besar responden
sudah mendapatkan ilmu
pengetahuan dan prakteik dalam
penanganan tension pneumothoraxt,
dengan adanya pelatihan tersebut
sangat mendukung responden dalam
memberikan kemampuanan
penanganan pada pasien tension
pneumothorax.
Penelitian yang dilakukan oleh
Khadijah (2018) penatalaksanaan
fisioterapi dilakukan sebanyak 6 kali
terapi di RS Paru dr. Ario Wirawan
Salatiga pada pasien dengan
diagnosa medis pneumothorax
bilateral. Dalam penanganan
9
modalitas fisioterapi yang diberikan
adalah infra red, chest physiotherapy
(Postural drainage, breathing
exercise (pursed lip breathing),
tappotement, latihan batuk efektif,
dan segmental breathing exercise),
dan latihan aktivitas dan kemampuan
fungsional. Metode tersebut
digunakan untuk mengalirkan
sputum ke saluran pernapasan yang
lebih besar, mengeluarkan sputum
dari saluran pernapasan, mengurangi
sesak napas, normalisasi pola
pernapasan, peningkatan ekspansi
thoraks, serta peningkatan aktivitas
dan kemampuan fungsional. Selain
terapi diatas, diharapkan keluarga
dapat melaksanakan edukasi di
rumah yang telah diajarkan oleh
fisioterapis seperti posisi tidur sesuai
dengan latihan postural drainage agar
hasil memuaskan sesuai yang
diharapkan.
Pemberian infra red dapat
meningkatkan suhu kulit dan
peredaran darah lokal. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa
adanya perubahan yang signifikan
pada penurunan tonus otot yang
spasme (Ke et al., 2012). Dari
penjelasan diatas maka penulis
tertarik untuk melakukan
penatalaksanaan fisioterapi dengan
modalitas infra red, massage, dan
chest physiotherapy untuk mengatasi
gangguan yang dialami oleh
penderita pneumothorax bilateral.
5. Masa Kerja
Karakteristik responden dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa
perawat dalam penanganan awal
tension pneumothorax di Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD)
Kabupaten Karanganyar sebagian
besar dengan masa kerja lebih dari 3
tahun sebanyak 10 responden
(55,6%). Menurut Nursalam (2009)
bahwa semakin banyak masa kerja
perawat maka semakin banyak
pengalaman perawat tersebut dalam
memberikan asuhan keperawatan
yang sesuai dengan standar atau
prosedur tetap yang berlaku.
Hasil penelitian yang didapat,
maka peneliti berpendapat makin
lama tenaga kerja bekerja dalam
penanganan awal tension
pneumothorax, makin banyak
pengalaman dan pengetahuan yang
dimiliki tenaga kerja yang
bersangkutan. Sebaliknya, makin
singkat masa kerja dalam
10
penangangan awal tension
pneumothorax, makin sedikit
pengalaman dan pengetahuan yang
diperoleh. Pengalaman bekerja dalam
penanganan awal tension
pneumothorax banyak memberikan
keahlian dan keterampilan kerja.
Sebaliknya, terbatasnya pengalaman
kerja mengakibatkan tingkat keahlian
dan keterampilan yang dimiliki
makin rendah. Pengalaman bekerja
merupakan modal utama seseorang
untuk terjun dalam bidang tertentu.
Gambaran Pengetahuan Perawat
Dalam Penanganan Awal Tension
Pneumothorax
Karakteristik responden dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa
pengetahuan perawat dalam
penanganan awal tension
pneumothorax dikategorikan 3 yaitu
baik, cukup, kurang. Pengetahuan
perawat dalam penanganan awal
tension pneumothorax mayoritas
mempunyai pengetahuan termasuk
kategori baik sebesar 12 responden
(66,7%). Pengetahuan perawat dalam
memberikan penanganan awal
tension pneumothorax di RSUD
Karanganyar menunjukkan bahwa
perawat mampu memberi tindakan
pada pasien tension pneumothorax
sesuai dengan Standar Operasional
Prosedur Keperawatan.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pelatihan penanganan
keperawatan tension pneumothorax
di RSUD Karanganyar menunjukkan
bahwa 10 responden (55,6%)
memperoleh kategori baik.
Penanganan pasien tension
pneumothorax dengan memberikan
pemasangan Water Seal Dra inage
(WSD) untuk tetap mempertahankan
tekanan negatif dari cavum pleura
sehingga pengembangan paru
sempurna. Pemasangan WSD akan
menimbulkan problematika
fisioterapi, yaitu adanya perubahan
pada mekanika pernafasan/alat-alat
gerak pernafasan, dan juga akan
menyebabkan penurunan toleransi
aktivitas. Penanganan fisioterapi
untuk menangani imapirement diatas
adalah dengan (1) breathing
exercise, yang ditujukan untuk
meningkatkan oksigenasi serta
meningkatkan dan mempertahankan
kekuatan dan daya tahan otot
pernafasan, (2) deep breathing
exercise atau bisa disebut juga
11
Thoracic Expansion Exercise (TEE),
(Tracker dan Webber, 1996).
Pengetahuan Identifikasi awal
tentang gejala pneumotorak sangat
diperlukan untuk memberikan
bantuan hidup dasar pada pasien
pneumotoraks. Karena penanganan
awal yang tepat pada penderita
pneumotoraks sangatlah penting
untuk mencegah terjadi kematian.
Dikatakan pada sebuah penelitian
yang dikutip oleh Punarbawa dan
Suarjaya (2016) penanganan awal
pada 85 % penderita pneumotorak
dapat ditangani dengan
menggunakan manover bantuan
hidup dasar tanpa memerlukan
tindakan pembedahan.
Untuk mengidentifikasi gejala
pnemutoraks, terlebih dahulu kita
harus mengetahui manifestasi klinis
dan kriteria diagnosis dari
pneumotoraks. Pertama-tama melihat
penyebab dari terjadinya
pneumotoraks untuk mengetahui
tipe-tipe pneumotoraks apa yang
kemungkinan terjadi ada penderita.
Diluar rumah sakit mungkin kita
akan menemukan lebih banyak
kejadian pneumotoraks yang
diakibatkan oleh terjadinya trauma,
trauma yang terjadi bisa secara
langsung melukai dinding dada
ataupun secara tidak langsung.
Penyebab tersering dari
pneumotoraks yang bisa didapatkan
akibat kecelakaan lalu lintas, akibat
tingginya kecepatan kendaraan
bermotor mengakibatkan resiko
terjadinya kecelakaa semakin,
sehingga trauma yang terjadi akan
semakin parah. Jika kita menemukan
penderita ditempat kejadian,
identifikasi terlebih dahulu. Akibat
benturan yang keras terhadap dinding
dada penderita akan mengeluhkan
nyeri pada dinding dadanya.
Disamping itu dilihat juga apakah
ada atau tidak perlukaan yang terjadi
pada dinding dada, untuk mengetahui
apakah terdapat luka terbuka pada
dinding dada penderita yang bisa
menimbulkan pneumotoraks terbuka.
Sesak napas akan terjadi pada
penderita pneumotoraks akibat udara
yang mulai masuk mengisi rongga
pleura. Jika terus berlanjut penderita
akan terlihat gelisah akibat kesulitan
bernapas. Usaha dari tubuh untuk
mengkompensasi akibat sesak napas
yang terjadi adalah bernapas yang
cepat (takipneu) dan denyut nadi
12
yang meningkat (takikardia). Udara
yang masuk kedalam rongga pleura
ini akan menyebakan terjadi
pendesakan pada parenkim paru-paru
hingga menjadi kolaps, jadi yang
mengisi rongga dada yang
mengalami pneumotoraks adalah
udara, pada saat diperiksa dengan
mengetuk dinding dada akan
terdengar suara hipersonor, akibat
akumulasi udara pada rongga pleura.
Kolapsnya paru-paru yang terdesak
oleh udara yang berada di rongga
pleura ini menyebabkan proses
ventilasi dan oksigenasi berkurang
atau malah tidak terjadi, sehingga
jika didengarkan dengan stetoskop
suara napas tidak terdengar (Jain
D.G, Gosari S.N, dan Jain D.D,
2008).
Insiden pneumotoraks tidak
diketahui secara pasti dipopulasi,
dikarenakan pada literatur-literatur,
angka insidennya di masukan pada
insiden cedera dada atau trauma
dada. Sebuah penelitian mengatakan
5,4% dari seluruh pasien menderita
trauma, merupakan pasien yang
mengalami pneumotoraks.
Kurangnya pengetahuan untuk
mengetahui tanda dan gejala dari
pneumotoraks terdesak menyebabkan
banyak penderita meninggal setelah
atau dalam perjalanan menuju
kerumah sakit. Penanganan
pneumotoraks terdesak dapat
dilakukan dengan bantuan hidup
dasar tanpa memerlukan tindakan
pembedahan, sebelum mengirim
pasien ke pusat pelayanan medis
terdekat, sehingga disini diperlukan
pengatuhan untuk identifikasi awal
dari gejala pneuomotoraks terdesak,
memberikan bantuan hidup dasar,
dan mengirimnya ke tempat
pelayanan medis terdekat, untuk
mengurangi tingkat mobiditas dan
mortalitas (Sharma A, 2008).
Pengetahuan yang baik
menunjukkan bahwa perawat Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD)
Kabupaten Karanganyar telah
membekali diri tentang penanganan
awal tension pneumothorax yang
diperlukan dalam bekerja
memberikan pelayanan keperawatan
kepada pasien di Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Kabupaten
Karanganyar. Pengetahuan yang
baik akan menimbulkan seseorang
lebih mampu dan bersedia menerima
tanggung jawab (Gibson dkk, 1996),
13
dengan pengetahuan yang baik
tentang penanganan awal tension
pneumothorax akan dilakukan
dengan benar sesuai prosedur yang
telah di tetapkan dan penuh tanggung
jawab sehingga mengurangi angka
kematian pasien tension
pneumothorax yang setiap tahunnya
meningkat. Kurangnya pengetahuan
untuk mengetahui tanda dan gejala
dari pneumothorax terdesak
menyebabkan banyak penderita
meninggal setelah atau dalam
perjalanan menuju ke rumah sakit
(Punarwaba dan Suarjaya, 2013).
Pneumothorax adalah keadaan
terdapatnya udara atau gas dalam
rongga pleura. Pada keadaan ormal
rongga pleura tidak berisi udara,
supaya paru-paru leluasa
mengembang terhadap rongga dada.
Pneumothorax dapat terjadi secara
spontan dan traumatik (Hisyam dan
Budiono, 2009).
Simpulan
1. Karakteristik responden perawat
Rumah Skait Umum Daerah
(RSUD) Kabupaten Karanganyar
mayoritas berusia antara 26
sampai 35 tahun sebanyak 13
responden (72,2%), sebagian
besar adalah laki-laki 12
responden (66,7%), latar belakang
pendidikan mayoritas Ners
sebanyak 8 responden (44,4%),
masa kerja mayoritas lebih dari 3
tahun sebanyak 10 responden
(55,6%), dan responden yang
sudah mendapat pelatihan
penanganan tension
pneumothorax sebanyak 11
responden (61,1%).
2. Gambaran pengetahuan perawat
dalam penanganan awal tension
pneumothorax di RSUD
Kabupaten Karanganyar
dikategorikan dalam 3 kategori
yaitu baik, cukup, kurang.
Pengetahuan perawat dalam
penanganan awal tension
pneumothorax mayoritas
mempunyai pengetahuan yang
termasuk kategori baik sebesar 12
responden (66,7%), kategori
cukup 4 responden (22,2%) dan
kurang sebesar 2 responden
(11,1%).
14
Saran
1. Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat
digunakan sebagai bahan
masukan bagi perawat terhadap
pengetahuan perawat dalam
penanganan awal tension
pneumothorax meningkatkan
pelayanan keperawatan di ruang
triage Instalasi Gawat Darurat.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Setelah dilakukan penelitian ini
diharapkan dapat menambah
pengetahuan, pengalaman, dan
wawasan mengenai gambaran
pengetahuan perawat dalam
penanganan tension
pneumothorax di RSUD
Kabupaten Karanganyar.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan sebagai referensi
atau titik tolak tambahan bila
diadakan penelitian lebih lanjut
khususnya bagi perawat dalam
penanganan tension
pneumothorax.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2010). Prosedur
Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
Berck, M. (2010). Pneumothorax.
http://nefrologyners.wordpr
ess.com/2010/11/
03/pneumothorax-2/
Bosswick, John A., Jr.
(2009). Perawatan Gawat
Darurat. Jakarta : EGC
Daryanto. (2014). Pendekatan
Pembelajaran Saintifik
Kurikulum 2013. Yogyakarta:
Gava Media.
Corwin, E.J. (2009). Buku Saku
Patofisiologi. Ed.3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Gilbert, Gregory., D’Souza, Peter.,
Pletz, Barbara. (2009). Patient
assessment routine medical
care primary and secondary
survey. San Mateo County
EMS Agency.
Henry M, Arnold T, Harvey J.
(2008). BTS Guidelines for The
Management of Spontaneous
Pneumothorax. Thorax 2008;
58(2):39-52.
Hidayat, A. A. (2008). Pengantar
Konsep Dasar Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Hidayat,A. A. (2010). Metode
Penelitian Keperawatan dan
Tekhnik Analisis Data. Jakarta:
Salemba Medika.
15
Hisyam B, Budiono E. Pneumotoraks
Spontan. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata K M, Setiati S,
editors. (2009). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Ed 4.
Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Kowalak, Jennifer P. (2011). Buku
Ajar Patofisiologi : “SISTEM
PERNAPASAN-
PNEUMOTHORAKS : BAB.7-
Hal.253 :EGC-Jakarta, 2011
Kusnanto. (2014). Pengantar Profesi
dan Praktik Keperawatan
Profesional. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. (2010). Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi III
Jilid 1. Jakarta : Media
Aesculapius FKUI.
McCool FD, Rochester DF, (2011).
Pneumothorax. Error!
Hyperlink reference not valid.
Muttaqin, A. (2008). Asuhan
Keperawatan pada Klien
dangan Gangguan System
Pernapasan. Jakarta: Salemba
Medika.
Notoatmodjo. S. (2010). Metode
Penelitian Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Polit, D.F., & Beck, C.T. (2010).
Nursing research principles
and methods (7th ed.).
Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins
Punarwarba, I.W.A., dan Suarjaya,
P.P., (2013). Identifikasi Awal
dan Bantuan Hidup Dasar
Pada Pneumothoraks.
Bagian/SMF Ilmi
anastesiologi dan Terapi
Intensif, Fakultas Kedokteran,
Universitas Udayana/Rumah
SakitUmum Pusat Sanglah
Denpasar.
Setiadi. (2008). Metode Penelitian
untuk Ilmu Keperawatan.
Yogyakarta : Graha ilmu
Streubert, H.J., & Carpenter, D.R.
(2008). Qualitatif research in
nursing advamcing the
humanistic imperative (3ed ed.).
Philadephia; Lippincott.
Sudoyo, Aru W (2009). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II,
Ed. IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departeman Ilmu
Penyakit Dalam. Fakultas
Kedokteran UI.
Sugiyono, (2010). Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif, R & D.
Bandung: Alfabeta.
Suwignyo. (2009). Pengaruh
Manajemen Asuhan
Keperawatan dan Motivasi
Berprestasi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Thygerson, Alton. (2011). First aid
5th edition. Alih bahasa dr.
Huriawati Hartantnto. Ed. Rina
Astikawati. Jakarta : PT.
Gelora Aksara Pratama.
Wawan, A dan Dewi, M. 2010. Teori
dan Pengukuran Pengetahuan ,
16
Sikap dan Perilaku Manusia..
Yogyakarta : Nuha Medika
Widjaya DP, Amin Z, Suprayitno,
Afifi R dan Shatri H. (2014).
Karakteristik dan Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi
Kesintasan Pasien
Pneumotoraks di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Indonesian Journal of CHEST
(Critical and Emergency
Medicine). Vol. 1, No. 3, July -
September 2014.
Gibson, JK.et al. (1996). Perilaku
Struktur Proses Jilid 1Edisi
ke-8. Jakarta: Bina Aksara
Rupa
Jain D.G, Gosari S.N, dan Jain D.D,
2008).
Khadijah, S (2018). Penatalaksanaan
Fisioterapi Pada Kasus
Pneumothorax Bilateral di RS
Paru DR. Ario Wirawan
Salatiga. Skripsi. Surakarta:
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Kumajas, Warouw dan Bawotong,
(2014). Hubungan
Karakteristik Individu
Dengan Kinerja Perawat di
Ruang Rawat Inap Penyakit
Dalam RSUD Datoe
Binangkang Kabupaten
Bolaang Mongondow. Jurnal
Kesehatan. Program Studi
Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi. Persatuan Perawat
Indonesia Kota Manado.
Notoadmodjo, S. 2003. Pendidikan
dan Perilaku Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Nurachmah, E. (2000). Legislasi
Keperawatan. Makalah
Seminar Sehari PSIK.
Yogyakarta: UGM.
Nursalam. (2009). Konsep &
Penerapan Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan
Edisi 2. Jakarta : Salemba
Medika
Nursalam (2009)
Punarbawa dan Suarjaya (2016)
Sharma A, (2008). Effect of
Segmental Breathing
Exercises On Chest
Expansion In Empyema
Patients; Indian Journal of
Physiotherapy and
Occupational Therapy, July;
volume 3(4) ;17-20.
Tracker dan Webber, (1996).
Pneumothorax. In: Murray
JF &Nadel JA (eds).
Textbook of Respiratory
Medicine. Philadelphia: WB
Saunders Co.
top related