kandidiasis
Post on 23-Oct-2015
31 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Kandidiasis oral merupakan infeksi oportunistik di rongga mulut yang disebabkan oleh
pertumbuhan abnormal dari jamur Kandida albikan. Kandida albikan ini sebenarnya merupakan
flora normal rongga mulut, namun berbagai faktor seperti penurunan sistem kekebalan tubuh
maupun pengobatan kanker dengan kemoterapi, dapat menyebabkan flora normal tersebut
menjadi patogen.
2.1 KANDIDIASIS ORAL
2.1.1 Defenisi, etiologi, epidemiologi
Kandidiasis oral merupakan salah satu penyakit pada rongga mulut berupa lesi merah dan
lesi putih yang disebabkan oleh jamur jenis Kandida sp, dimana Kandida albikan merupakan
jenis jamur yang menjadi penyebab utama. Kandidiasis oral pertama sekali dikenalkan oleh
Hipocrates pada tahun 377 SM, yang melaporkan adanya lesi oral yang kemungkinan disebabkan
oleh genus Kandida. Terdapat 150 jenis jamur dalam famili Deutromycetes, dan tujuh
diantaranya ( C.albicans, C. tropicalis, C. parapsilosi, C. krusei, C. kefyr, C. glabrata, dan C.
guilliermondii ) dapat menjadi patogen, dan C. albican merupakan jamur terbanyak yang
terisolasi dari tubuh manusia sebagai flora normal dan penyebab infeksi oportunistik. Terdapat
sekitar 30-40% Kandida albikan pada rongga mulut orang dewasa sehat, 45% pada neonatus, 45-
65% pada anak-anak sehat, 50-65% pada pasien yang memakai gigi palsu lepasan, 65-88% pada
orang yang mengkonsumsi obat-obatan jangka panjang, 90% pada pasien leukemia akut yang
menjalani kemoterapi, dan 95% pada pasien HIV/AIDS.
Kandidiasis oral dapat menyerang semua umur, baik pria maupun wanita. Meningkatnya
prevalensi infeksi Kandida albikan ini dihubungkan dengan kelompok penderita HIV/AIDS,
penderita yang menjalani transplantasi dan kemoterapi maligna. Odds dkk ( 1990 ) dalam
penelitiannya mengemukakan bahwa dari penderita HIV/AIDS, sekitar 44.8% adalah penderita
kandidiasis.
2.1.2 Faktor resiko
Pada orang yang sehat, Kandida albikan umumnya tidak menyebabkan masalah apapun
dalam rongga mulut, namun karena berbagai faktor, jamur tersebut dapat tumbuh secara
berlebihan dan menginfeksi rongga mulut. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua, yaitu
a. Patogenitas jamur
Beberapa faktor yang berpengaruh pada patogenitas dan proses infeksi Kandida adalah
adhesi, perubahan dari bentuk ragi ke bentuk hifa, dan produksi enzim ekstraseluler. Adhesi
merupakan proses melekatnya sel Kandida ke dinding sel epitel host. Perubahan bentuk dari ragi
ke hifa diketahui berhubungan dengan patogenitas dan proses penyerangan Kandida terhadap sel
host. Produksi enzim hidrolitik ekstraseluler seperti aspartyc proteinase juga sering dihubungkan
dengan patogenitas Kandida albikan.
b. Faktor Host
Faktor host dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor lokal dan faktor sistemik.
Termasuk faktor lokal adalah adanya gangguan fungsi kelenjar ludah yang dapat menurunkan
jumlah saliva. Saliva penting dalam mencegah timbulnya kandidiasis oral karena efek
pembilasan dan antimikrobial protein yang terkandung dalam saliva dapat mencegah
pertumbuhan berlebih dari Kandida, itu sebabnya kandidiasis oral dapat terjadi pada kondisi
Sjogren syndrome, radioterapi kepala dan leher, dan obat-obatan yang dapat mengurangi sekresi
saliva. Pemakaian gigi tiruan lepasan juga dapat menjadi faktor resiko timbulnya kandidiasis
oral. Sebanyak 65% orang tua yang menggunakan gigi tiruan penuh rahang atas menderita
infeksi Kandida, hal ini dikarenakan pH yang rendah, lingkungan anaerob dan oksigen yang
sedikit mengakibatkan Kandida tumbuh pesat. Selain dikarenakan faktor lokal, kandidiasis juga
dapat dihubungkan dengan keadaan sistemik, yaitu usia, penyakit sistemik seperti diabetes,
kondisi imunodefisiensi seperti HIV, keganasan seperti leukemia, defisiensi nutrisi, dan
pemakaian obat-obatan seperti antibiotik spektrum luas dalam jangka waktu lama, kortikosteroid,
dan kemoterapi.
2.1.3 Klasifikasi dan Gambaran Klinis
Gambaran klinis kandidiasis oral tergantung pada keterlibatan lingkungan dan interaksi
organisme dengan jaringan pada host. Adapun kandidiasis oral dikelompokkan atas tiga, yaitu :
1. Akut, dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
a. Kandidiasis Pseudomembranosus Akut
Kandidiasis pseudomembranosus akut yang disebut juga sebagai thrush, pertama sekali
dijelaskan kandidiasis ini tampak sebagai plak mukosa yang putih, difus, bergumpal atau seperti
beludru, terdiri dari sel epitel deskuamasi, fibrin, dan hifa jamur, dapat dihapus meninggalkan
permukaan merah dan kasar. Pada umumnya dijumpai pada mukosa pipi, lidah, dan palatum
lunak. Penderita kandidiasis ini dapat mengeluhkan rasa terbakar pada mulut. Kandidiasis
seperti ini sering diderita oleh pasien dengan sistem imun rendah, seperti HIV/AIDS, pada pasien
yang mengkonsumsi kortikosteroid, dan menerima kemoterapi. Diagnosa dapat ditentukan
dengan pemeriksaan klinis, kultur jamur, atau pemeriksaan mikroskopis secara langsung dari
kerokan jaringan
Gambar 1. Kandidiasis Pseudomembranosus Akut pada lidah dan mukosa bukal pasien
b. Kandidiasis Atropik Akut.
Kandidiasis jenis ini membuat daerah permukaan mukosa oral mengelupas dan tampak
sebagai bercak-bercak merah difus yang rata. Infeksi ini terjadi karena pemakaian antibiotik
spektrum luas, terutama Tetrasiklin, yang mana obat tersebut dapat mengganggu keseimbangan
ekosistem oral antara Lactobacillus acidophilus dan Kandida albikan. Antibiotik yang
dikonsumsi oleh pasien mengurangi populasi Lactobacillus dan memungkinkan Kandida tumbuh
subur. Pasien yang menderita Kandidiasis ini akan mengeluhkan sakit seperti terbakar.
Gambar 2. Kandidiasis Atropik Akut
2. Kronik, dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Kandidiasis Atropik Kronik
Disebut juga “denture stomatitis” atau “alergi gigi tiruan”. Mukosa palatum maupun
mandibula yang tertutup basis gigi tiruan akan menjadi merah, kondisi ini dikategorikan sebagai
bentuk dari infeksi Kandida. Kandidiasis ini hampir 60% diderita oleh pemakai gigi tiruan
terutama pada wanita tua yang sering memakai gigi tiruan selagi tidur.
Gambar 3. Kandidiasis Atropik Kronik
b. Kandidiasis Hiperplastik Kronik
Infeksi jamur timbul pada mukosa bukal atau tepi lateral lidah berupa bintik-bintik putih
yang tepinya menimbul tegas dengan beberapa daerah merah. Kondisi ini dapat berkembang
menjadi displasia berat atau keganasan, dan kadang disebut sebagai Kandida leukoplakia.
Bintik-bintik putih tersebut tidak dapat dihapus, sehingga diagnosa harus ditentukan dengan
biopsi. Kandidiasis ini paling sering diderita oleh perokok.
Gambar 4. Kandidiasis Hiperplastik Kronik
c. Median Rhomboid Glositis
Median Rhomboid Glositis adalah daerah simetris kronis di anterior lidah ke papila
sirkumvalata, tepatnya terletak pada duapertiga anterior dan sepertiga posterior lidah. Gejala
penyakit ini asimptomatis dengan daerah tidak berpapila.
Gambar 5. Median Rhomboid Glositis
3. Keilitis Angularis
Keilitis angularis merupakan infeksi Kandida albikan pada sudut mulut, dapat bilateral
maupun unilateral. Sudut mulut yang terkena infeksi tampak merah dan pecah-pecah, dan terasa
sakit ketika membuka mulut. Keilitis angularis ini dapat terjadi pada penderita defisiensi vitamin
B12 dan anemia defisiensi besi.
2.1.4 Perawatan
Pada pasien yang kesehatan tubuhnya normal, seperti perokok dan pemakai gigi tiruan,
perawatan kandidiasis oral relatif mudah dan efektif, namun pasien yang mengkonsumsi
antibiotik jangka panjang, dan pasien dengan sistem imun tubuh rendah yang mendapat
perawatan kemoterapi dimana infeksi jamur mau tidak mau akan timbul, maka perawatan
kandidiasisnya lebih spesifik. Adapun perawatan kandidiasis oral yaitu dengan menjaga
kebersihan rongga mulut, memberi obat- obatan antifungal baik lokal maupun sistemik, dan
berusaha menanggulangi faktor predisposisi, sehingga infeksi jamur dapat dikurangi.
Kebersihan mulut dapat dijaga dengan menyikat gigi maupun menyikat daerah bukal dan
lidah dengan sikat lembut. Pada pasien yang memakai gigi tiruan, gigi tiruan harus direndam
dalam larutan pembersih seperti Klorheksidin, hal ini lebih efektif dibanding dengan hanya
meyikat gigi tiruan, karena permukaan gigi tiruan yang tidak rata dan poreus menyebabkan
Kandida mudah melekat, dan jika hanya menyikat gigi tiruan tidak dapat menghilangkannya.
Pemberian obat-obatan antifungal juga efektif dalam mengobati infeksi jamur. Terdapat
dua jenis obat antifungal, yaitu pemberian obat antifungal secara topikal dan sistemik.
Pengobatan antifungal topikal pada awal abad 20 yaitu dengan menggunakan gentian violet,
namun karena perkembangan resisten dan adanya efek samping seperti meninggalkan stain pada
mukosa oral, sehingga obat itu diganti dengan Nystatin yang ditemukan pada tahun 1951 dan
Amphotericin B pada tahun 1956. Obat-obat tersebut bekerja dengan mengikat sterol pada
membran sel jamur, dan mengubah permeabilitas membran sel. Nystatin merupakan obat
antifungal yang paling banyak digunakan. Obat antifungal sistemik digunakan pada pasien yang
tidak mempan terhadap obat antifungal topikal dan pada pasien dengan resiko tinggi menderita
infeksi sistemik.
Selain menjaga kebersihan rongga mulut dan memberi obat-obatan antifungal pada
pasien, faktor predisposisi juga harus ditanggulangi. Penanggulangan faktor predisposisi meliputi
pembersihan dan penyikatan gigi tiruan secara rutin dengan menggunakan cairan pembersih,
seperti Klorheksidin, mengurangi rokok dan konsumsi karbohidrat, mengunyah permen karet
bebas gula untuk merangsang pengeluaran saliva, menunda pemberian antibiotik dan
kortikosteroid, menangani penyakit yang dapat memicu kemunculan kandidiasis seperti
penanggulangan penyakit diabetes, HIV, dan leukemia.
2.2 PENDERITA LEUKEMIA AKUT YANG MENJALANI KEMOTERAPI
2.2.1 Leukemia Akut dan Perawatannya dengan Kemoterapi
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang,
ditandai oleh proliferasi sel-sel leukosit, dimana ada gangguan dalam pengaturan sel leukosit
tersebut. Leukosit dalam darah berproliferasi secara tidak teratur dan tidak terkendali dan
fungsinya pun menjadi tidak normal.
Insiden leukemia rata-rata 4-4.5 kasus/tahun/100.000 anak dibawah 15 tahun. Di Jakarta
pada tahun 1994, insiden leukemia mencapai 2.76/100.000 anak dengan usia 1-4 tahun, dan
sepanjang tahun 2002, berdasarkan data RSU Dr. Soetomo, dijumpai 70 kasus leukemia baru.
Penyebab leukemia akut masih belum diketahui, namun anak-anak yang menderita cacat
genetik mempunyai resiko lebih tinggi untuk menderita penyakit ini. Beberapa faktor resiko
seperti sindrom imunodefisiensi, disfungsi kronis pada sumsum tulang, terpapar radiasi, obat-
obatan dan kimia, serta virus, juga dapat menyebabkan leukemia. Kelainan yang menjadi ciri
khas leukemia yaitu asal mula pembentukan sel. Terdapat bukti bahwa leukemia akut dimulai
dari sel tunggal yang berproliferasi sampai mencapai sejumlah populasi sel yang dapat
terdeteksi. Walaupun etiologi leukemia pada manusia belum diketahui secara pasti, tetapi pada
penelitian terhadap binatang percobaan, ditemukan bahwa penyebabnya mempunyai kemampuan
melakukan modifikasi nukleus DNA, dan kemampuan ini meningkat bila terdapat suatu kelainan
genetik. Pengamatan ini menguatkan anggapan bahwa leukemia dimulai dari suatu mutasi
somatik yang mengakibatkan terbentuknya sel abnormal.
Pasien dengan leukemia akut menunjukkan tanda dan gejala yang berhubungan dengan
gangguan hematopoiesis dari keterlibatan perkembangan sumsum tulang yang semakin buruk.
Keadaan seperti anemia, trombositopenia, dan neutropenia umumnya menyertai penyakit
leukemia ini. Anemia dapat mengakibatkan lelah, pusing, sesak nafas, dan pucat. Pasien dengan
trombositopenia dapat menderita petekia, purpura, dan pendarahan. Demam dan infeksi juga
sering timbul karena neutropenia. Disamping itu, akibat terbentuknya populasi sel leukemia yang
makin lama makin banyak akan menimbulkan dampak buruk bagi produksi sel normal dan bagi
faal tubuh maupun dampak karena infiltrasi sel leukemia melalui peredaran darah ke dalam
organ tubuh. Rongga mulut pun tidak luput dari dampak infiltrasi sel leukemia tersebut. Rongga
mulut dapat menjadi salah satu organ pertama yang dapat memperlihatkan tanda-tanda dan atau
gejala yang pada akhirnya mengarah kepada diagnosis penyakit ini. Defisiensi imunologi dan
hematologi leukemia dikaitkan dengan manifestasi oral yang mencakup pembesaran gingiva,
pendarahan, dan infeksi oral ( termasuk didalamnya infeksi jamur, virus, dan bakteri ).
Pembesaran gingiva terjadi karena adanya inflamasi dan infiltrasi dari sel leukosit yang
atipikal dan imatur. Depresi produksi platelet dan adanya trombositopenia menyebabkan
purpura dan kecenderungan terjadinya pendarahan. Kegagalan mekanisme pertahanan selular
karena penggantian sel darah putih oleh sel leukemik menyebabkan tingginya kemungkinan
untuk infeksi. Infeksi oral merupakan salah satu komplikasi oral paling serius bagi pasien
leukemia. Infeksi bakteri, virus, dan jamur dapat menyebabkan sakit dan kerusakan jaringan
setempat. Sebagai tambahan, salah satu komplikasi infeksi, yaitu sepsis merupakan penyebab
kematian terbesar pada penderita leukemia akut. Infeksi kandida oral relatif umum diderita oleh
pasien leukemia, dan kandidiasis peseudomembranosus adalah kasus yang paling sering
ditemukan. Karena kekebalan tubuh semakin menurun, maka atropi dan invasi kandidiasis dapat
terjadi. Infeksi sering tidak dapat dikontrol sampai leukosit pasien meningkat.
Oleh sebab itu, pasien yang telah didiagnosa menderita penyakit leukemia ini harus
sesegera mungkin ditangani. Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan
suportif meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan komplikasi,
antara lain : pemberian tranfusi darah atau trombosit, pemberian antibiotik, pemberian obat untuk
meningkatkan granulosit, obat antifungal, pemberian nutrisi yang baik, dan pendekatan aspek
psikososial.
Terapi kuratif bertujuan untuk menyembuhkan leukemia itu sendiri yaitu berupa
perawatan dengan kemoterapi. Perawatan kemoterapi pertama untuk anak penderita leukemia
dilakukan oleh Farber dkk pada akhir tahun 1940. Obat kemoterapi pertama yang dugunakan
adalah Aminopterin ( antagonis dari asam folat ), dan sekarang ini, telah semakin dikembangkan
berbagai jenis obat-obatan kemoterapi, seperti Methotrexate, Doxorubicin, Mercaptopurine,
Fluorouracil, dan Cyclophosphamide. Kemoterapi pada leukemia akut terdiri dari tiga fase, yaitu
induksi dimana fase ini bertujuan untuk membunuh sel kanker dengan agen sitotoksik, seperti
Dexamethasone, Vincristine, L-asparaginase, dan Antrasiklin, kemudian fase yang kedua yaitu
konsolidasi yang berfokus kepada membunuh sisa-sisa sel leukemia, di tahap ini digunakan obat-
obat seperti Methotrexate dosis tinggi dengan atau tanpa 6- Mercaptopurine, L-asparaginase
dosis tinggi, kombinasi Dexamethasone, Vincristine Doxorubicin, dan Tioguanin, dengan atau
tanpa Cyclophosphamide, dan fase ketiga adalah rumatan, yaitu terapi pemeliharaan dimana fase
ini bertujuan untuk mencegah perluasan kembali sisa-sisa sel leukemia, terapi rumatan ini
menggunakan Mercaptopurine setiap hari dan Methotrexate sekali seminggu.
2.2.2 Efek Terapeutik Kemoterapi pada Rongga Mulut
Kemoterapi merupakan obat anti kanker yang berfungsi menghambat dan
menghancurkan kerja sel kanker. Sel yang sehat membelah dan tumbuh dalam bentuk dan
fungsi yang normal. Berbeda dengan sel kanker dimana mereka tumbuh tidak terkontrol dan
memiliki bentuk dan fungsi abnormal. Sel kanker kemudian berkontak dengan sel yang sehat,
menghancurkan sel sehat tersebut dan memperbanyak diri. Sel kanker inilah yang menjadi target
obat kemoterapi. Kemoterapi akan menyebabkan sel kanker tersebut hancur, namun beberapa
jenis sel sehat yang sedang membelah atau tumbuh juga akan mengalami kerusakan. Bedanya,
sel kanker akan mengalami kerusakan lebih parah dibanding kerusakan pada sel sehat. Setelah
beberapa periode 1-3 minggu, sel sehat pulih dan sel kanker juga akan pulih kembali tetapi
mengalami kerusakan berarti, sehingga atas dasar inilah kemoterapi digunakan. Selain memiliki
sisi positif, kemoterapi juga tidak lepas dari efek samping. Sel-sel yang paling terkena dampak
kemoterapi adalah sel-sel sehat yang sedang tumbuh dan cepat membelah, seperti sel-sel darah,
sumsum tulang, saluran pencernaan, folikel rambut. Dengan demikian, untuk mencegah
kerusakan permanen dari sel sehat, kemoterapi tidak diberikan sekaligus 4-8 siklus. Hal ini
dimaksudkan untuk memulihkan sel sehat, dan di lain pihak berangsur mengecilkan sel kanker.
Kemoterapi terdiri dari obat-obatan yang diberikan kepada pasien untuk mengganggu
pertumbuhan sel kanker. Ada tiga metode umum pemberian kemoterapi, yaitu:
a. Kemoterapi oral
Metode pemberian kemoterapi secara oral merupakan metode paling mudah dilakukan
dan paling tidak menyakitkan dari metode yang lainnya. Obat diberikan dalam bentuk pil,
kapsul, atau cairan. Metode ini sangat baik diberikan kepada pasien anak, kecuali pada anak
yang memiliki kesulitan menelan pil atau kapsul. Pada pasien seperti ini, lebih baik memberikan
obat dalam sediaan cair daripada menggerus obat dalam bentuk pil dan memasukkannya ke
dalam makanan pasien, karena pasien pada umumnya memiliki kondisi mulut yang tidak enak
dan kehilangan napsu makan, ditambah lagi rasa pil yang telah digerus tadi tidak sepenuhnya
tertutup oleh rasa makanan.
b. Intramuskular
Metode pemberian obat kemoterapi secara intramuskular adalah dengan memberi
suntikan terhadap otot ( bokong, lengan, atau paha ) atau tulang belakang pasien. Suntikan pada
tulang belakang diberikan untuk menghancurkan sel-sel kanker yang dapat menembus tulang
belakang. Suntikan ini akan menimbulkan rasa panas ketika obat disuntikkan.
c. Intravena
Metode ini dilakukan dengan cara obat kemoterapi langsung disuntikkan pada pembuluh
darah pasien. Pasien dengan leukemia biasanya menerima sejumlah suntikan intravena. Cara ini
sedikit menyakitkan pasien, karena selain mendapat suntikan oleh jarum, cara ini juga
menimbulkan sensasi terbakar sesaat ketika obat disuntikkan. Apabila terjadi kebocoran vena,
maka obat ini akan sangat membakar kulit dan dapat merusak pembuluh darah. Oleh karena itu,
dokter merekomendasikan bahwa sebaiknya dilakukan operasi minor kepada pasien untuk
memasukkan kateter atau port implant. Hal ini memungkinkan pasien untuk menerima
kemoterapi dirumah dan menghindari suntikan kemoterapi.
Kemoterapi secara umum menyebabkan mual, muntah, kehilangan nafsu makan,
kehilangan berat badan, kerontokan rambut, dan sel darah hitung rendah ( yang dapat
menyebabkan anemia dan resiko infeksi bertambah ), dan lain-lain. Efek samping dari
kemoterapi bervariasi tergantung jenis obat. Misalnya, obat kemoterapi golongan senyawa alkil,
contohnya Cyclophosphamide, Chlorambucil, dan Melphalan, dapat menyebabkan penekanan
sumsum tulang dan sistem kekebalan tubuh, rambut rontok, mengurangi kesuburan, dan
menyebabkan leukemia. Obat kemoterapi golongan antimetabolit, seperti Methotrexate,
Cytarabine, Fludarabine, 6-Mercaptopurine, dan 5-Fluorouracil juga menimbulkan efek
samping yang sama seperti yang ditimbulkan oleh golongan senyawa alkil, namun obat anti
metabolit ini tidak meningkatkan resiko leukemia. Obat kemoterapi golongan antimitotik yaitu
Vincristine, Paclitaxel, Vinorelbine, Docetal, dan Abraxane juga menimbulkan efek samping
yang sama dengan yang ditimbulkan oleh golongan alkil, disamping itu, obat golongan
antimitotik ini juga dapat merusak syaraf.
Selain daripada efek samping yang telah disebutkan diatas, obat-obat kemoterapi juga
dapat menimbulkan masalah pada rongga mulut. Beberapa obat kemoterapi dapat menyebabkan
komplikasi oral, seperti Bleomicyn, Busulfan, Carboplatin, Cisplatin, Cytosine-arabinoside,
Daunorubisin, Doxorubisine, Epipodophyllotoxines, Fluorouracil, 5-Fluorouracil, Methotrexate,
dan Vinblastine.
Komplikasi oral sering ditemui pada pasien yang menerima terapi antikanker dan
komplikasi ini dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan, penundaan perawatan,
pengurangan dosis obat, serta defisiensi nutrisi. Disisi lain, keadaan umum pasien juga dapat
berpengaruh terhadap peningkatan resiko komplikasi oral akibat kemoterapi, diantaranya umur
pasien, status nutrisi, tipe keganasan, perawatan rongga mulut sebelum dan sesudah kemoterapi,
dan jumlah neutropil. Pasien yang lebih muda memiliki resiko efek samping kemoterapi lebih
besar karena pada usia itu pertumbuhan dan pembelahan sel berlangsung lebih cepat. Pasien
yang menderita penyakit keganasan hematologi, kebersihan rongga mulut yang buruk dan telah
ada penyakit periodontal, status nutrisi yang buruk, dan jumlah neutropil rendah.
menunjukkan insiden komplikasi oral yang lebih tinggi selama mendapat kemoterapi. Beberapa
studi telah menunjukkan bahwa insiden komplikasi oral pada pasien yang mendapat kemoterapi
adalah sebanyak 42 % dengan insiden tertinggi diderita oleh pasien dengan leukemia akut dan
non-hodgkin’s Lymphoma.
Efek kemoterapi terhadap rongga mulut dapat terjadi melalui dua cara, yaitu obat
kemoterapi secara langsung mempengaruhi jaringan mulut, disebut dengan stomatotoksisitas
langsung, dan karena adanya perubahan pada jaringan lain seperti perubahan pada sumsum
tulang sehingga menimbulkan komplikasi oral, efek ini disebut dengan stomatotoksisitas tidak
langsung
A. Stomatotoksisitas langsung
Stomatotoksisitas langsung terjadi karena adanya aksi sitotoksik dari obat kemoterapi
pada sel mukosa mulut yang dapat menghambat pembentukan epitel basal yang baru sehingga
menghasilkan mukosa mulut yang tipis dan atropi. Pasien akan merasa tidak nyaman karena
mukosa mulut mengalami eritema dan ulser. Stomatotoksisitas langsung ini terutama terjadi pada
permukaan mukosa oral yang tidak berkeratin, seperti pada mukosa labial dan bukal, lidah, dasar
mulut, dan palatum lunak. Bentuk stomatotoksistas ini biasanya timbul tujuh hari setelah
pemberian kemoterapi. Obat kemoterapi yang dapat menimbulkan efek stomatotoksisitas
langsung ini meliputi Methotrexate, Adriamicyn, 5-fluorouracil, Bleomicyn, dan Cytosine
arabinoside.Efek stomatotoksisitas langsung ini dapat menyebabkan gangguan pada mukosa
mulut, seperti : mukositis, xerostomia, neurotoksisitas.
B. Stomatotoksisitas tidak langsung
Stomatotoksisitas tidak langsung merupakan hasil dari efek obat kemoterapi terhadap sel
lain selain sel mukosa mulut. Sel target paling utama adalah sel pada sumsum tulang.
Mielosupresi sebagai manifestasi dari leukopenia, neutropenia, trombositopenia, dan anemia,
merupakan akibat umum dari bentuk efek stomatotoksisitas tidak langsung dari obat kemoterapi.
Perubahan rongga mulut biasanya dapat diamati setelah 12-16 hari pemberian obat kemoterapi
pada titik terendah jumlah sel darah putih saat pasien dalam keadaan neutropenia berat.
Stomatotoksisitas tidak langsung dari kemoterapi ini dapat menimbulkan infeksi dan pendarahan
pada rongga mulut.
a. Infeksi
Infeksi virus, bakteri, dan jamur umum terjadi pada pasien yang mendapat perawatan
kemoterapi, terlebih-lebih pada pasien dengan sistem imun tubuh yang rendah.
1. Infeksi virus
Herpes simplex virus adalah infeksi virus yang paling umum terjadi pada pasien kemoterapi,
selain Cytomegalovirus, Varicella zoster, dan virus Ebstein Barr. Sejak awal tahun 1980, para
ahli di kedokteran gigi telah memaparkan sebanyak 37-68% infeksi virus di rongga mulut akibat
kemoterapi adalah disebabkan oleh virus HSV-1.5 HSV menimbulkan ulser yang besar pada
palatum, menyebabkan rasa sakit dan cenderung lama sembuh, dan pada bibir dapat ditemukan
vesikel.30,32 HSV timbul 18 hari setelah kemoterapi.
2. Infeksi bakteri
Infeksi bakteri sering menambah angka kematian pada pasien imunosupresi, ini dikarenakan
rongga mulut merupakan pintu masuk dari segala jenis bakteri yang dapat mengakibatkan
septikemia. Streptococcus viridans adalah jenis bakteri normal rongga mulut yang sering terlibat
dalam septikemia.30 Suatu studi melaporkan bahwa dari 59 pasien yang diteliti, terdapat
streptococcus viridans pada 40% kasus septikemia, dan 8% diantara pasien-pasien tersebut
mengalami kematian. Infeksi bakteri dapat terjadi pada gigi, gingiva dan mukosa oral.
3. Infeksi jamur
Telah dilaporkan sebanyak 40% pasien dengan penyakit keganasan hematologi menderita
infeksi jamur. Infeksi jamur pada pasien imunosupresi disebabkan oleh Kandida albikan, yang
menimbulkan kandidiasis. Plak keputihan yang dapat diangkat pada permukaan mukosa yang
kemudian akan meninggalkan bercak kemerahan dan kasar merupakan ciri-ciri dari kandidiasis
karena efek tidak langsung dari kemoterapi. Biasanya kandidiasis ini terletak didaerah mukosa
bukal, lidah, palatum lunak, dan sudut-sudut mulut.
b. Pendarahan
Agen kemoterapi dapat menyebabkan trombositopenia yang dapat menimbulkan
pendarahan pada intra oral.29,30 Pendarahan dapat mengakibatkan gusi berdarah, petekia pada
gingiva, mukosa bukal, lidah, dasar mulut, pada palatum keras dan lunak, dan ekimosis di daerah
lidah dan dasar mulut
top related