kebijakan politikislam pemerintah hindia belanda ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/rumila...
Post on 16-Nov-2020
14 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA
TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH HAJI TAHUN 1859 M
Tesis
Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat
guna memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum)
dalam Program Studi Sejarah Peradaban Islam
Konsentrasi Islam di Indonesia
Oleh:
RUMILA SARI
NIM. 211 030 1156
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) RADEN FATAH
PALEMBANG
2014
2
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Haji merupakan rukun Islam kelima yang diwajibkan atas setiap Muslim yang merdeka,
baligh dan mempunyai kemampuan serta paling tidak satu kali dalam seumur hidup
untuk melaksanakannya (Damasqy, 2006: 168). Allah Swt memerintahkan supaya
hamba-Nya melaksanakan ibadah haji, sebagaimana firman-Nya yang berbunyi:
Artinya: Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) makam Ibrahim;
Barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari
(kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan
sesuatu) dari semesta alam (Q.S Ali Imran: 97).
Begitu juga sabda Nabi Muhammad Saw dalam hadisnya yang diriwayatkan
oleh imam Ahmad yang artinya sebagai berikut:
Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw telah bersabda: “Hendaklah kamu
segera mengerjakan haji, maka sesungguhnya seseorang tidak akan menyadari
sesuatu halangan yang akan merintanginya” (Muslim, 1995: 200).
Dengan demikian, haji adalah kewajiban bagi setiap orang yang beragama
Islam.Mengerjakan ibadah haji hanya diwajibkan satu kali saja dalam seumur hidup,
tetapi tidak ada larangan untuk mengerjakan lebih dari satu kali.
Ibadah haji merupakan ritual tahunan umat Islam seluruh dunia. Ibadah haji
terasa istimewa karena tidak semua kaum muslim wajib melaksanakannya. Dalam
3
dokrin Islam, hanya orang-orang yang memiliki kemampuan wajib
menunaikannya.Secara normatif, kewajiban haji bersifat multidimensional yaitu adanya
kesiapan psikologis, kemampuan fisik dan materi.Keharusan yang bersifat
multidimensional ini dalam realitas sosialnya justru tidak menyurutkan semangat
masyarakat untuk melaksanakan ritual haji, bahkan lebih dari satu kali.Demikian
istimewanya posisi haji, hingga masyarakat menempatkannya sebagai ritual yang dalam
konteks sosiologis seolah-olah menempati urutan teratas.
Seorang yang telah menunaikan haji dianggap telah sempurna imannya sehingga
ia dihormati di tengah masyarakat, karena telah berhasil melaksanakan penuh rukun
Islam. Para haji pun menempati kelas menengah dalam stratifikasi masyarakat
Indonesia.Mereka menjadi agen perubahan, pengendali sosial dan sebagai oposisi
terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda (Hendry, 2013: 1).
Stratifikasi Sosial secara umum memiliki arti perbedaan masyarakat atas
lapisan-lapisan (kelas-kelas secara bertingkat). Kelas tersebut dapat terbentuk, karena
tergantung sedikit banyaknya jumlah sesuatu yang dihargai oleh masyarakat. Misalnya,
Jika masyarakat lebih menghargai materi, maka kelas yang paling tinggi adalah orang-
orang yang dapat mengumpulkan materi sebanyak mungkin. Sedangkan mereka yang
sedikit atau tidak memiliki materi, maka mereka berada pada kelas paling bawah (Ian,
1986: 132). Senada dengan Sorokin bahwa, stratifikasi sosial adalah perbedaan
penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat
(hierarki). Sedangkan menurut Cuber, ia mendefinisikan bahwa stratifikasi sosial
sebagai suatu pola yang ditempatkan di atas kategori dari hak-hak yang berbeda (Ayu,
2009:04). Kelas sosial dibagi menjadi tiga, yaitu kelas sosial atas,kelas sosial menengah
dankelas sosial bawah.Kelas sosial atas, biasanya mendapat penghormatan atau di
hormati oleh kelas sosial dibawahnya, karena beberapa keunggulan yang dimiliki kelas
sosial atas. Misalnya, kedudukan sosialnya maupun kekayaanya, setiap kelas sosial
4
yang ada, biasanya memiliki kebiasaan dan perilaku dan gaya hidup yang tidak
sama.Para haji yang menduduki kelas menengah dalam tatanan masyarakat, ternyata
mempunyai pengaruh terhadap masyarakat pada umumnya. Para haji dianggap memiliki
kapasitas karena dihormati dan dapat dijadikan panutan. Sehingga melihat peluang
demikian, maka disebabkan oleh kelas masyarakat di bawah kelas para haji, maka
terbuka peluang bagi para haji dalam mengajak masyarakat untuk melawan pemerintah.
Menurut pandangan Van Bruinessen, ibadah haji selain bertujuan untuk
memperoleh legitimasi politik bagi orang-orang tertentu, juga sebagai jalan untuk
menambah ilmu di tanah suci. Berhaji secara umum untuk memenuhi kewajiban syariat
Islam bagi yang mampu, juga menjadikannya media kesempatan untuk mencari ilmu,
karena Mekah merupakan pusat keilmuan dunia Islam. Sepulang dari pencarian ilmu
ini, dapat berpengaruh terhadap proses pembaharuan agama di Indonesia (Martin,
1997:124).
Daendels dan Raffles, menganggap perjalanan ibadah haji ke Mekah sebagai
bahaya politik, berdasarkan pengetahuan mereka yang sangat terbatas tentang Islam.
Mereka menganggap orang-orang yang telah menjalankan ibadah haji sebagai pendeta.
Pada tahun 1810, Daendels mengeluarkan keputusan yang memerintahkan “pendeta
Islam itu” agar memperoleh paspor untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain
guna menghindari gangguan (Doues dan Kaptein, 1997: 6).
Pada tahun 1811, melalui surat edaran pemerintah Inggris memperingatkan
penduduk terhadap para “sayid” atau “pendeta-pendeta pribumi” dan menyebut mereka
sebagai “penghasut” (Doues dan Kaptein, 1997: 7). Sayid dan pendeta-pendeta yang
dimaksud di atas, adalah para haji. Pemerintah Inggis, sengaja memberikan pemahaman
demikian kepada masyarakat, agar masyarakat menjauhi para haji. Jelas pemahaman
demikian, di latar belakangi oleh para haji yang dianggap berbahaya terhadap
pemerintah Inggris.
5
Pada masa penjajahan Belanda, penyelenggaraan ibadah haji dilakukan untuk
menarik hati rakyat, sehingga mengesankan bahwa Pemerintah Hindia Belanda tidak
menghalangi umat Islam melaksanakan ibadah haji. Meskipun dengan keterbatasan
fasilitas, dimana pengangkutan jamaah haji dilakukan dengan kapal Kongsi Tiga. yaitu
kapal dagang yang biasa digunakan untuk mengangkut barang dagangan. Demikian juga
tempat istirahat jamaah haji di kapal, sama halnya dengan apabila kapal tersebut
mengangkut ternak (Depag, 2013: 4).
Antusiasme sebagian umat Islam yang selalu “rindu haji”, dianggap sebagai
barometer ketakwaan dan eksistensi kemampuan finansialnya. Fenomena di masyarakat,
mengindikasikan bahwa setelah berhaji, orang yang sudah berhaji menilai dirinya suci
dan bebas dosa. Masyarakat Indonesia pra kemerdekaan, menganggap ibadah haji bukan
hanya sebagai syarat untuk memenuhi rukun Islam, melainkan juga sebagai media
motivasi bangsa Indonesia untuk melawan para penjajah pada waktu itu yaitu media
politik (Hendry, 2013: 2). Politik adalah suatu segi khusus dari kehidupan masyarakat,
menyangkut soal kekuasaan yaitu upaya memperoleh kekuasaan, usaha
mempertahankan kekuasaan, penggunaan kekuasaan, dan juga bagaimana menghambat
penggunaan kekuasaan. Politik juga mencakup aspek negara, kekuasaan (force) dan
kelakuan politik (Syarbaini, 2002: 13). Oleh sebab itu, haji digunakan sebagai salah satu
jalan media politik, Mekah adalah pertemuan semua umat Islam sedunia sehingga
terjalinlah komunikasi politik antar jamaah haji Indonesia dengan jamaah lainnya,
terutama umat Islam Mesir. Dari sini diharapkan, pelaksanaan ibadah haji memberikan
andil dalam melawan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
Kebijakan pemerintah Belanda mengenai ibadah haji pada abad ke-19 awal telah
ditetapkan dengan resolusi-resolusi tahun 1825 dan 1835. Resolusi 1825 yang diarahkan
pada pembatasan ibadah haji sebanyak mungkin, ditetapkan pembayaran F. 110,- untuk
paspor ibadah haji yang wajib dimiliki, jumlah uang yang sangat besar pada zaman itu.
6
Melalui “surat-surat rahasia” para Residen (golongan pejabat kolonial Belanda) di Jawa,
pemerintah memberitahukan agar meminimalisasi atas permohonan paspor haji. Para
bupati diharuskan secara efektif menggunakan pengaruhnya terhadap penduduk agar
membendung semangat berlebihan untuk haji (Doues dan Kaptein, 1997: 8). Resolusi
yang dibuat tahun 1825 dan 1835 ini, mulai terlihat bahwa pelaksanaan ibadah haji
dipersulit oleh pemerintah.
Padatahun 1859, pemerintah Hindia Belanda menetapkan kebijakan haji.
Pemerintah menyebutkan kebijakan yang ditetapkan, sebagai alat untuk
memperkenalkan langkah-langkah baru misalnya penyalahgunaan “gelar haji”, banyak
jamaah haji tidak pernah kembali dan pengadaan nafkah tidak memadai bagi keluarga
yang ditinggalkan. Pemerintah tidak pernah sungguh-sungguh meneliti, apakah sebab-
sebab yang digunakan untuk membenarkan ordonansi tahun 1859 itu memang tepat
(Doues dan Kaptein, 1997: 9).
Ciri-ciri paling mencolok dari ordonansi tersebut adalah:
1. Calon jamaah haji harus mempunyai surat keterangan dari seorang bupati,
bahwa ia mempunyai dana memadai untuk perjalanan pulang pergi. Di samping
itu, bahwa nafkah bagi keluarga yang ditinggalkan cukup terjamin.
2. Sekembalinya dari Mekah, para jamaah haji tersebut harus menjalankan ujian
atau ujian haji yang harus membuktikan bahwa dia benar-benar telah
mengunjungi Mekah.
3. Jika telah lulus ujian itu, dia dibenarkan untuk menyandang “gelar haji” dan
memakai busana haji khusus (Doues dan Kaptein, 1997: 9).
Dimaksud dengan ordonansi di atas adalah peraturan pemerintah Hindia Belanda
terhadap para jamaah haji. Dapat dipahami dari ordonansi yang dibuat oleh pemerintah
Hindia Belanda tersebut, tidak terlihat bahwa adanya kesan pelarangan yang disebabkan
akan terjadinya pan Islam. Ordonansi dibuat hanya sebatas himbauan untuk
menindaklanjuti hal buruk yang akan terjadi terhadap keluarga yang ditinggalkan oleh
orang-orang yang ingin melaksanakan ibadah haji, namun kenyataannya tidaklah
demikian.
7
Menurut Nurchamid, kebijakan adalah keputusan atau peraturan yang dibuat oleh
yang berwenang untuk mengatasi masalah, sehingga diharapkan tujuan organisasi dapat
dicapai dengan baik. Ciri-ciri utama kebijakan adalah suatu peraturan atau ketentuan
yang dapat mengatasi masalah (Nurchamid, 2009: 29). Dalam hal ini orang yang
berwenang mengeluarkan kebijakan adalah pemerintah Hindia Belanda, karena ia yang
berkuasa. Sedangkan menurut Winarno, kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu (what ever governments choose to do or not
do). Kebijakan pemerintah Hindia Belanda tentang ibadah haji terhadap masyarakat
Indonesia, merupakan suatu pilihan yang harus dilakukan. Pemerintah menganggap jika
kebijakan itu tidak dibuat, maka akan berdampak buruk terhadap pemerintah.
Studi tentang permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan politik pemerintah
Hindia Belanda terhadap umat Islam di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari sisi
historisnya. Dalam hal ini, terdapat dualisme kepentingan antara pihak Belanda dan
masyarakat pribumi yang mayoritas beragama Islam. Di satu pihak, pemerintah kolonial
berusaha memperkuat dan mempertahankan dominasi dan hemegoninya. Sedangkan di
pihak lain, umat Islam Indonesia berjuang melepaskan diri dari penguasaan
kolonialisme tersebut.
Salah satu faktor mudahnya bangsa Eropa melakukan intervensi terhadap
kehidupan umat Islam disebabkan adanya persaingan politis dan ekonomis di antara
kerajaan-kerajaan Islam. Selain itu, adalah kejelian pihak kolonial dalam memanfaatkan
struktur sosial masyarakat lokal yang berbeda dalam pemahaman Islam. Dengan
menerapkan agitasi politik, institusi politik Islam pun akhirnya takluk di tangan pihak
kolonial. Tentu saja memberi pengaruh signifikan terhadap kondisi sosial umat Islam,
baik dalam bidang politik, ekonomi maupun agama dan budaya (Huda, 2007: 98).
Pemerintah kolonial Belanda juga menghadapi kenyataan, bahwa mayoritas
penduduk pribumi adalah beragama Islam. Dalam hal ini timbulnya perlawanan, seperti
8
perang Paderi (1821-1827) dan perang Diponegoro (1825-1830, yang tidak bisa
dilepaskan kaitannya dengan ajaran Islam. Namun, karena tidak dimilikinya
pengetahuan yang tepat dan komprehensif mengenai Islam, pemerintah kolonial
Belanda tidak berani melakukan intervensi kepada Islam secara langsung (De Haan,
1912: 747). Dalam masalah ini, kebijakan pemerintah kolonial Belanda memperlihatkan
ambiguitas yang terkonstruksi oleh kombinasi kontradiktif antara “rasa takut” dan
“harapan yang berlebihan”. Pada satu sisi, pihak Belanda sangat khawatir terhadap
timbulnya pemberontakan di kalangan umat Islam yang fanatik, terutama orang-orang
Indonesia yang telah naik haji di Mekah. Sementara di sisi lain, pihak Belanda sangat
optimis atas keberhasilan misi Kristenisasi yang diharapkan dapat menyelesaikan secara
tuntas semua persoalan yang berkaitan dengan Islam (Jacques, 2003: 100).
Seiring dengan motivasi untuk memperkuat dominasi dan hegemoni di Hindia
Belanda, kajian Islam dan masyarakat pun dipelajari secara ilmiah di negara Belanda.
Hal ini terbukti dengan diselenggarakannya kajian Indologie yang dimaksudkan untuk
mengetahui secara lebih jauh dan mendalam tentang seluk beluk pribumi Indonesia
(Jacques, 2003: 100). Melalui kajian tersebut, secara teoritis diharapkan bisa dihasilkan
suatu rumusan kebijakan politik yang efektif dalam mengurus dan mengendalikan
pemerintahan di kalangan pribumi Indonesia.
Menghadapi permasalahan Islam di Indonesia tersebut, peneliti dari Belanda
yaitu Snouck Hurgronje menjelaskan konsep Islam politiknya dengan menyusun
kategorisasi terhadap ajaran Islam sebagai berikut: Pertama, bidang agama murni atau
ibadah. Kedua, bidang sosial kemasyarakatan, dan ketiga, bidang politik. Ketiga
kategori di atas, masing-masing menuntut alternatif yang berbeda (Suminto, 1985: 12).
Untuk alternatif pemecahan kategori pertama, pemerintah kolonial Belanda
harus memberikan kebebasan kepada umat Islam dalam melaksanakan ajaran
agamanya, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan mereka. Kemudian dalam bidang
9
sosial kemasyarakatan, pemerintah perlu memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku
dengan cara menggerakkan rakyat agar mereka mendekati Belanda. Sementara dalam
bidang politik, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat
pada fanatisme dan Pan-Islamisme (Suminto, 1985: 12).
Salah satu implikasi signifikan Islam Politiek, yang diterapkan dalam
pemerintah kolonial Belanda terhadap Islam adalah tertutupnya kebebasan dan
kesempatan untuk berpolitik bagi umat Islam. Terlebih setelah kegagalan perang
Diponegoro (1825-1830), kegagalan perang ini berakibat bergesernya orientasi para
elite kerajaan Jawa, dari politik ke bidang sosial budaya (Burger, 1956: 20).
Sejalan dengan pandangan di atas, Snouck Hurgronje mempunyai anggapan
bahwa sebagian masyarakat muslim pribumi yang berhaji telah terdistorsi untuk
memperoleh kehormatan, yang ditunjukkan dari pemakaian sorban dan pakaian haji.
Sebagian yang lain memanfaatkan kesempatan menuntut ilmu di luar negeri dan bagi
kalangan muda menjadikan haji sebagai jendela dunia yang bisa melihat perkembangan
di luar. Sedangkan faktor lain dalam melaksanakan haji, yaitu dalam bahasa Snouck
menyatakan karena adanya “kekecewaan dalam urusan duniawi dan kejenuhan hidup
(Suminto, 1985: 3).”
Snouck juga memandang para haji sebagai potensi yang subversif, sehingga ia
membuat sebuah peraturan yang diberlakukan antara tahun 1825 dan 1852 yang
bertujuan untuk mencegah ibadah haji dengan menetapkan biaya paspor naik haji yang
cukup besar senilai 110 F. Pembatasan-pembatasan pada tahun 1859, yang
mengharuskan setiap calon jamaah haji untuk memperoleh sebuah sertifikat dari bupati
yang menunjukkan kemampuan finansialnya untuk membiayai kepulangan dan para
tanggungannya di rumah (Doues dan Kaptein, 2003: 6).
Para haji dan ulama adalah golongan orang-orang yang pertama-tama dicurigai
pada saat meletusnya gerakan-gerakan anti-Eropa. Jadi, ada sebuah relevansi dari
10
ketegangan antara pemerintah dan para pemimpin keagamaan. Oleh sebab itu, setiap
ada kesempatan untuk mengeksploitasi perpecahan, Belanda dengan giatnya
menyokong para pemimpin sekuler adat untuk melawan pemimpin Muslim. Oleh
karena itu, lazim bagi para jamaah haji Hindia Belanda untuk membandingkan catatan-
catatan di Mekah, tentang ketidakadilan-ketidakadilan yang dilakukan terhadap umat
muslim oleh pemerintah Hindia Belanda (Doues dan Kaptein, 2003: 6).
Menurut Moore, ketidakadilan disebabkan ada tiga masalah dalam kelompok,
yaitu otoritas, pembagian kerja dan distribusi barang dan jasa (yaitu perwujudan
kesamaan). Ketidakwajaran dari tiga hal ini pertanda bahwa adanya ketidakadilan.
Secara hipotesis dapat diperkirakan, bahwa ketidakadilan dapat menyebabkan berbagai
reaksi yang terjadi, mulai dari sikap apatis rakyat sampai dengan melakukan perlawanan
(Abdullah, 2010: 325). Bentuk perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat, terutama
para haji dianggap mampu mengubah ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah
Hindia Belanda yaitu ketidakadilan untuk mendeka dalam berbagai aspek kehidupan.
Berbagai keluhan ini menyatu, memberikan image jelek kepada pemerintah
Hindia Belanda. Dalam harian pers muslim Timur Tengah, Hurgronje diperingatkan
bahwa pemerintah Hindia Belanda sering kali dicemooh sebagai musuh umat muslim.
Sementara dalam buku-buku geografi yang digunakan di sekolah-sekolah Turki dan
Arab, pemerintah Hindia Belanda disebut sebagai sebuah kekuasaan yang tidak
mengenal prinsip-prinsip toleransi, sehingga di bawah kekuasaan tersebut berjuta-juta
umat muslim menderita (Dick, 2003: 6). Penderitaan yang dirasakan oleh masyarakat,
yaitu menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Ancaman yang diyakini Belanda akan menimbulkan Pan-Islam terhadap
pemerintahannya, terutama dipengaruhi oleh para haji yang kembali dari Mekah,
ternyata benar-benar terjadi (Doues dan Kaptein, 2003: 7). Hal tersebut terbukti dengan
terjadinya pemberontakan Bantam pada tahun 1850, yang didukung oleh para pemimpin
11
keagamaan distrik Cilegon, hingga akhirnya pemberontakan tersebut ditumpas oleh
pasukan Belanda. Sejumlah ulama melarikan diri dari Cilegon dan sebagian dari mereka
memimpin pemberontakan di Lampung. Pemberontakan hanya dapat dihentikan ketika
pemimpinnya Haji Wachia tertangkap melalui penyerahan kekuasaan dari Belanda
pada tahun 1856. Di Palembang pun masyarakat melakukan pemberontakan terbuka
antara tahun 1848 sampai dengan tahun 1859. Bentuk perlawanan bersifat keagamaan,
karena perkembangannya yang semakin kuat, yaitu desas desus yang disebarkan oleh
para jamaah haji yang baru pulang dari Mekah (Klerck, 1938: 279-284). Perlawanan di
Palembang tersebut pun, mendapat bantuan dari Jambi yang dipimpin oleh sultan Taha
Safi’uddin, ia menolak untuk menyatakan kesetiaannya kepada Belanda dan juga
menolak usaha-usaha Belanda untuk merundingkan sebuah perjanjian dengannya
(Doues dan Kaptein, 2003: 11).
Pada bulan Nopember tahun 1858, sebuah ekspedisi Belanda menduduki ibu
kota kesultanan Taha Jambi, pertempuran hampir tidak pernah berakhir. Pemberontakan
juga terjadi di Banjarmasin, para pemimpin Banjarmasin memulai pemberontakan
dengan menentang sultan yang didukung Belanda (1859-1863). Di sini pun para
pemimpin semakin menggantungkan diri pada kaum ulama untuk menumbuhkan
dukungan rakyat (Doues dan Kaptein, 2003: 11). Dalam periode tahun 1850-an,
serangkaian gerakan anti Belanda tampak memiliki hubungan.
Mengamati pengaruh besar yang diberikan oleh jamaah haji yang kembali dari
Mekah terhadap fanatisme keagamaan masyarakat, sehingga menimbulkan gejolak di
hati masyarakat untuk melakukan perlawanan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jelas,
jamaah haji yang kembali dari Mekah menjadi motivator dan juga panutan terhadap
masyarakat, khususnya masyarakat yang beragama Islam untuk melakukan berbagai
pergerakan yang terjadi di mana-mana.
12
Pareto (1848-1928), percaya bahwa setiap masyarakat yang dikendalikan oleh
sekelompok lain dan kelompok tersebut mempunyai kualitas yang diperlukan, maka
mereka bisa menjangkau pusat kekuasaan yang diinginkan (Varma, 1987: 202). Dalam
hal ini para haji mempunyai kapasitas dalam menumbuhkan semangat masyarakat untuk
melawan Hindia Belanda. Karena mereka dihormati dan jadi panutan di tengah
masyarakat.
Menurut teori struktural fungsional Dahrendorf, bahwa masyarakat pada
dasarnya merupakan jaringan dari bagian-bagian yang saling terkait, setiap bagian
menyumbang pada pemeliharaan sistem secara keseluruhan. Masyarakat pada dasarnya
akan selalu bergerak ke arah interaksi yang mempersatukan (integrative). Integrasi
merupakan bentuk dasar interaksi masyarakat (Ian, 1986: 199).
Dalam hubungannya dengan dominasi pemerintah Hindia Belanda terhadap
bangsa Indonesia pada umumnya, maka terjalinnya persatuan masyarakat yang dimotori
oleh para haji. Sehingga, munculnya interaksi kekuatan untuk bersatu melawan
pemerintah Hindia Belanda.
Mengamati perkembangan penulisan sejarah, hingga saat ini penulisan sejarah
khususnya mengenai ibadah haji dalam politik Indonesia amat minim. Walaupun ada,
penelitian hanya dilakukan oleh orang-orang asing, seperti Snouck Hurgronje.
Penelitian-penelitian yang telah ada, banyak membahas fenomena ibadah haji di masa
sekarang saja dan tidak mendiskripsikan bagaimana peranan dari orang-orang yang
melaksanakan ibadah haji terhadap kemerdekaan bangsa. Kenyataannya, orang-orang
yang melaksanakan ibadah haji, ketika mereka kembali ke tanah air mereka mempunyai
andil dalam pergerakan perlawanan melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Dari berbagai latar belakang dan alasan di atas, menumbuhkan keinginan penulis
untuk memilih subjek penelitian dan penulisan dengan judul “Kebijakan Politik Islam
Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 1859 M.”
13
Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka yang menjadi pokok penelitian adalah Bagaimana
Kebijakan Politik Islam Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Pelaksanaan Ibadah Haji
Tahun 1859 M?. Untuk mempermudah permasalahan pokok tersebut dirumuskan sub-
sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi masyarakat Hindia Belanda sebelum lahirnya kebijakan
politik Islam terhadap pelaksanaan ibadah Haji tahun 1859 M?
2. Bagaimana latar belakang lahirnya kebijakan politik Islam terhadap
pelaksanaan ibadah haji tahun 1859 M?
3. Bagaimanadampak kebijakan politik Islam Hindia Belanda terhadap
pelaksanaan ibadah Haji tahun 1859 M?
Peristiwa yang akan diteliti ini berlokasi di Indonesia pada umumnya dan terjadi
pada tahun 1859 M hal ini dibatasi karena tahun ini pemerintah Hindia-Belanda
membuat kebijakan ordonasi mengenai jamaah haji. Pembatasan jelas diperlukan karena
suatu penelitian akan bermanfaat jika dilakukan secara terbatas, tidak mengalami
perluasan dalam penulisan.
Tujuan Penelitian
Bertolak dari rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui kondisi masyarakat Hindia-Belanda sebelum lahirnya kebijakan
politik Islam terhadap pelaksanaan ibadah Haji tahun 1859 M.
2. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya kebijakan politik Islam terhadap
pelaksanaan Ibadah haji tahun 1859 M.
3. Untuk mengetahui dampak kebijakan politik Islam Belanda terhadap pelaksanaan
ibadah Haji tahun 1859 M.
14
Kegunaan Penelitian
Lazimnya penggunaan penelitian untuk dua kepentingan, yaitu untuk pengembangan
ilmu dan problem solving maka kegunaan yang dimaksud terdiri dari:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memberikan
kontribusi berupa tambahan wawasan terhadap masyarakat tentang sejarah Indonesia,
khususnya sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan pemerintahHindia
Belanda, salah satunya dimotori oleh para jamaah haji yang kembali dari Mekah.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan:
a. Memberikan penjelasan mengenai kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda
tentang ibadah haji.
b. Memberikan uraian mengenai situasi dan kondisi Hindia Belanda.
c. Dapat dijadikan bahan rujukan oleh peneliti selanjutnya, baik itu mahasiswa
pascasarjana IAIN Raden Fatah maupun masyarakat pada umumnya.
Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang tentang ibadah haji telah ada sebelumnya, namun penelitian yang
meneliti tentang “Kebijakan Politik Islam Pemerintah Hindia Belanda Terhadap
Pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 1859” belum ada.Buku yang berjudul ”Politik Islam
Hindia Belanda” yang disusun olehAqib Suminto (1996), menjelaskan tentang
bagaimana politik pemerintah kolonial Belanda untuk menghadapi politik Islam
masyarakat Indonesia. Dari peperangan hingga datangnya Snouck Hurgronje ke
Indonesia, yang awalnya tidak ingin mencampuradukkan politik dengan agama, namun
pada akhirnya pemerintah kolonial Belanda merasa terusik dengan kegiatan keagamaan
masyarakat khususnya kegiatan ibadah haji yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia.
Buku yang berjudul ”Indonesia dan Haji” yang disusun oleh Dick Douwes dan
Nico Kaptein yang diterjemahkan oleh Soearso Soekarno (1997), menjelaskan tentang
15
kumpulan tulisan ilmiah orang-orang Belanda terhadap ibadah haji yang dilakukan oleh
masyarakat Indonesia dari berbagai aspek. Misalnya,ibadah haji dan fungsinya di
Indonesia” dan juga ”mempertaruhkan jiwa dan harta jemaah haji dari Hindia Belanda
pada abad ke-19.”
Disertasi “The Muhammadiyah Movement and Its Controversy with Christian
Mission in Indonesia” yang disusun oleh Alwi Shihab (1995), mengkaji tentang
permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah Belanda terhadap Islam
yang direkomendasikan oleh Snouck Hurgronje yang mendeskripsikan tentang struktur
pemerintah kolonial Belanda, kebijakan keamanan, ketertiban, kebijakan pembimbingan
dan kebijakan Belanda terhadap Islam. Kebijakan yang disarankan oleh Snouck yang
didasarkan pada tiga kategori, yaitu masalah ritual keagamaan, masalah lembaga-
lembaga sosial Islam dan masalah politik.
Jurnal yang berjudul “Kebijakan Politik Islam Hindia Belanda” yang disusun
oleh Syefriyeni (2003), mengkaji tentang kebijakan politik Islam pemerintah Hindia-
Belanda, terutama kebijakan yang dibuat oleh Snouck Hurgronje. Berdasarkan
pengamatan Snouck, maka ditetapkan kebijakan terhadap penduduk pribumi yang
diistilahkan dengan Islam politik. Kebijakan yang dianggap dapat meredam masyarakat
pribumi, yang berlatar belakang agama Islam agar tetap dalam kondisi terjajah.
Dari telaah atas tulisan terdahulu yang relevan, belum ada yang membahas
secara detail mengenai ”Kebijakan Politik Pemerintah Hindia Belanda Terhadap
Pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 1859 M.” Terutama bagaimana ibadah haji yang
menjadi motivasi media penggerak masyarakat Islam Indonesia, juga memberikan
pengaruh untuk melawan pemerintah kolonial Belanda.
16
Kerangka Teori
Pemerintah Belanda berhasil menguasai Hindia Belanda setelah menaklukkan Inggris
melalui Traktat London. Penguasaan pemerintah Belanda terhadap Hindia Belanda
menyebabkan terjadi stratifikasi sosial (pelapisan masyarakat) ke dalam sistem
pemerintahan, baik secara politik maupun ekonomi. Adanya stratifikasi sosial dalam
kehidupan masyarakat Hindia Belanda, menyebabkan adanya pembagian kelas. Kondisi
seperti ini melahirkan lembaga-lembaga baru dalam pemerintahan di Hindia Belanda.
Adanya stratifikasi sosial dalam kehidupan masyarakat Hindia Belanda sehingga
melahirkan pembagian masyarakat ke dalam lapisan-lapisan atau kelas-kelas. Menurut
Soekanto, stratifikasi sosial merupakan suatu pembedaan penduduk atau masyarakat ke
dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas
tinggi, kelas-kelas menengah dan kelas bawah (Soekanto 1982: 198). Dalam kasus ini,
masyarakat Hindia Belanda berada dalam kelas bawah dan pemerintah Belanda berada
dalam kelas atas. Hal ini menyebabkan hilangnya peranan para elit Hindia Belanda
dalam pemerintahan.
Menurut teori elit yang dikembangkan oleh Pareto dengan konsep sirkulasi elit.
Dalam setiap masyarakat ada gerakan yang tidak dapat ditahan dari individu-individu
dan elit-elit kelas atas hingga bawah dan dari tingkat bawah ke tingkat atas yang
melahirkan suatu peningkatan yang luar biasa pada unsur yang melorotkan kelas-kelas
yang memegang kekuasaan dan pihak lain justru meningkatkan unsur superior pada
kelompok lain. Hal ini, tersisihnya kelompok-kelompok elit yang ada dalam masyarakat
dan akibatnya keseimbangan masyarakat pun menjadi terganggu (Varma 2007: 201).
Pemerintah menjadi kelompok yang unggul, sehingga masyarakat Indonesia merasa
tersisihkan dan terjadinya kesenjangan social di tengah masyarakat.
Teori elit politik juga dikembangkan oleh Gaetano Mosca (1858-1941). Ia
menggunakan teori pergantian elit. Karektristik yang membedakan elit adalah
17
kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik, sekali kelas yang
memerintah tersebut kehilangan kecakapannya dan orang-orang di luar kelas tersebut
menunjukkan kecakapan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa
kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa yang baru. Hal
ini menyebabkan terjadinya perubahan yang tidak dapat dihindari. Seperti, penguasaan
minoritas atas mayoritas dilakukan dengan cara terorganisasi, yang menempatkan
mayoritas tetap berdiri saja di belakang, apalagi kelompok minoritas biasanya terdiri
dari individu-individu yang superior (Varma 2007: 203-204).
Adanya elit baru turut melahirkan pertentangan antar elit. Pertentangan tersebut
didasarkan atas khotomi pembagian wewenang dalam perserikatan yang dikoordinasi
secara memaksa dapat disebut sebagai asumsi dasar. Asumsi ini ditambahkan sebuah
proposisi bahwa posisi yang dilengkapi dengan wewenang yang berbeda dalam
perserikatan yang menyebabkan terjadinya pertentangan orang yang memegangnya.
Antara pemegang posisi dominan dan pemegang posisi yang ditundukkan mempunyai
kepentingan tertentu yang berlawanan subtansi dan pelaksanaannya (Dahrendorf 1986:
21). Tujuan mereka untuk mengambil keuntungan dari posisi yang diduduki masing-
masing.Pemerintah Hindia Belanda mempunyai wewenang penuh terhadap wilayah
jajahannya, hal ini yang menyebabkan masyarakat Indonesia merasa tertindas, karena
pemerintah bisa melakukan apa saja yang ia kehendaki. Dalam hal ini termasuk dengan
diberlakukannya penekanan yaitu melalui kebijakan-kebijakan pelaksanaan ibadah haji.
Dalam konteks ini, teori struktur fungsional menganggap masyarakat sebagai
suatu organisme besar yang tersusun dari bagian-bagian yang masing-masing memiliki
kedudukan, peranan serta fungsi masing-masing. Antara fungsi dan peranan yang satu
saling berhubungan satu sama lain, saling pengaruh-mempengaruhi, saling melengkapi
dan saling mengisi, dan secara keseluruhan bersama-sama menentukan kehidupan atau
eksistensi dari masyarakat tersebut sebagai sistem sosial. Durkheim melihat bahwa
18
bagian yang saling berhubungan tersebut tersusun dalam bentuk struktur, di mana
masing-masing memerankan fungsinya sendiri, juga memberikan support pada fungsi
dari bagian yang lain, sehingga tampak secara keseluruhan di dalam sistem hidup
(Tambaruka 1999: 96).
Menurut Durkheim, integrasi diartikan sebagai keadaan keseimbangan. Sebab
kajian sesungguhnya dari sosiologi, yaitu fakta sosial tertentu secara umum yang
mencangkup keseluruhan masyarakat dan berdiri serta terpisah dari manivestasi
individu (Kahmad 2006: 58). Fakta sosial hanya dapat dilihat melalui konformitas
individu-individu kepadanya. Karena fakta sosial menjelaskan tiga macam karakteristik.
Pertama, gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu. Kedua, fakta itu memaksa
individu. Menurutnya, individu dipaksa, dibimbing, didorong atau dengan cara tertentu
dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya.Ketiga, fakta itu
bersifat umum dan tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat. Jadi dapat dikatakan
bahwa fakta sosial itu milik bersama bukan sifat individu. Meskipun fakta sosial tidak
dapat dilihat secara individu, namun struktur aturan-aturan kebudayaan ini nyata bagi
individu yang perilakunya ditentukan oleh fakta sosial. Sebab fakta sosial memiliki
eksistensi yang independen dalam masyarakat (Jones 2010: 45).
Parson juga mengembangkan teori struktur fungsional dengan model ekuilibrium.
Menurut Parson, sistem sosial yang berlaku bagi masyarakat ada empat macam, yaitu
penyesuaian, pencapaian hasil, persatuan atau keutuhan dan pemeliharaan. Fase-fase
tersebut memberikan sumbangan dan fungsinya secara keseluruhan untuk
mempertahankan eksistensi mereka. Jika stabilitas terganggu, akan tetapi dibiarkan
maka akan menimbulkan ketidakstabilan dalam kehidupan masyarakat (Tambaruka
1999: 98).
Parson memberikan asumsi-asumsi mengenai ketertiban dan keserasian, maka
gejala yang tertib dan tidak serasi dengan mudah digolongkan ke dalam kategori
19
abnormal atau patologis. Asumsi inilah kemudian mendapat kritikan tajam dari
Lockwood, mekanisme-mekanisme yang menyebabkan terjadinya konflik tidak dapat
dicegah. Contoh dalam kasus pertentangan antara elit tradisional, para haji dengan
kolonial Belanda.
Teori konflik merupakan anti tesis dari teori struktur fungsional. Menurut
Lockwood, konflik merupakan perselisihan atau permusuhan antara individu dan
kelompok dalam masyarakat karena interes terhadap kepentingan tertentu, jika ada
tertib sosial maka konflik adalah kenyataan yang melekat pada masyarakat (Tambaruka
1999: 102). Pandangan konflik, didasarkan atas tanggapan bahwa masyarakat senantiasa
selalu dalam keadaan berubah.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu karena terciptanya
perubahan sosial. Perubahan sosial disebabkan adanya konflik-konflik kepentingan.
Menurut Marx, teori konflik memandang bahwa sistem sosial dibagi menjadi dua
macam, yaitu kelompok penindas dan kelompok yang ditindas. Hubungan kedua
kelompok tersebut bersifat eksploitatif. Kelompok berkuasa selalu memberlakukan
nilai-nilai dan pandangan atas kelompok yang dikuasai. Hal ini dilakukan oleh
kelompok berkuasa agar tidak mengganggu stabilitas sistem yang dijalankan. Namun,
kelompok yang ditindas tidak begitu saja menerima kekerasan dari kelompok yang
berkuasa. Kemudian kelompok yang ditindas menghimpun diri untuk bersama-sama
mengubah sistem sosial yang ada (Tambaruka 1999: 101). Semua ini dilakukan demi
terciptanya perubahan dalam masyarakat. Perubahan tersebut, dapat tercapai jika adanya
seorang pemimpin yang membela rakyat.
Menurut Weber, munculnya seorang pemimpin dalam suatu masyarakat yang
membangun karena ia memiliki sifat karismatis, yaitu sifat yang timbul karena
kesaktian atau kekuatan yang dianggap luar biasa yang melekat atau seseorang yang
menurun sebagai warisan dari leluhurunya. Karisma ditentukan dari pengakuan para
20
pengikutnya. Karisma yang dimiliki tersebut sehingga para pengikutnya senantiasa
menaati dan tunduk terhadap pemimpin tersebut (Abdullah 1997: 40).
Weber mengklasifikasi kepemimpinan menjadi tiga jenis otoritas. Pertama,
otoritas karismatik, yaitu berdasarkan jabatan dan kewibaan pribadi.Otoritas karismatis
dapat bertahan selama dapat dibuktikan keampuhannya dalam masyarakat. Kedua,
otoritas tradisional, yaitu dimiliki berdasarkan pewarisan. Ketiga, otoritas legal-rasional
yang dimiliki berdasarkan jabatan dan kemampuannya (Abdurrahman 2007: 30).
Kemampuan seseorang dalam memimpin terlihat ketika terjadi krisis dalam suatu
daerah yang sedang dipimpin. Untuk mengatasi krisis yang terjadi maka dibutuhkan
sebuah pergerakan. Karisma yang dimiliki oleh para haji sangat berpengaruh di tengah
masyarakat. Para haji dianggap orang yang mempunyai ilmu agama yang tinggi,
sehingga mereka dihormati dan dengan demikian sangat mudah bagi para haji untuk
memberikan pengaruh kepada masyarakat. Kedudukan para haji yang dianggap berilmu,
mempunyai ketaatan dan pengetahuan agama yang mendalam, sehingga karisma yang
ada dalam diri para haji semakin memberikan pengaruh besar terhadap masyarakat,
yaitu peluang untuk menggerakkan masyarakat untuk melawan penjajah.
Menurut Situmorang, pergerakan merupakan tindakan atau agitasi terencana yang
dilakukan sekelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada
suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan
lembaga masyarakat yang ada.Dalam sosiologi, gerakan tersebut di atas diklarifikasikan
sebagai suatu bentuk perilaku kolektif tertentu yang diberi nama gerakan sosial. Sebagai
sebuah aksi kolektif, umur gerakan tentu sama tuanya dengan perkembangan peradaban
manusia (Situmorang, 2007: 1).
Gerakan lahir dari situasi dalam masyarakat karena adanya ketidakadilan dan
sikap sewenang-wenang terhadap masyarakat. Dengan kata lain, gerakan sosial lahir
dari reaksi terhadap sesuatu yang tidak diinginkan rakyat atau menginginkan perubahan
21
kebijakan karena dinilai tidak adil. Gerakan sosial merupakan gerakan yang lahir dari
prakarsa masyarakat dalam menuntut perubahan dalam institusi,kebijakan atau struktur
pemerintahan. Disini terlihat tuntutan perubahan itu lahir karena melihat kebijakan yang
ada tidak sesuai dengan konteks masyarakat yang ada maupun bertentangan dengan
kepentingan masyarakat secara umum(Lofland, 2003 : 50).
Gerakan itu dilahirkan oleh kondisi yang memberikan kesempatan bagi gerakan
itu. Jadi ada sekelompok besar rakyat yang terlibat secara sadar untuk menuntaskan
sebuah proses perubahan sosial. Selanjutnya gerakan sosial ini gelombang pergerakan
dari individu-individu, kelompok yang mempunyai tujuan yang sama yaitu suatu
perubahan sosial. Indikasi awal untuk menangkap gejala sosial tersebut adalah dengan
mengenali terjadinya perubahan-perubahan pada semua elemen (Lofland, 2003 : 50).
Dari beberapa teori di atas, maka dapat dikatakan bahwa pemerintah Belanda
mengambil alih otoritas elit di tengah masyarakat Indonesia. Para elit terdahulu baik elit
tradisional maupun elit legal rasional merasa tersisikan, sehingga masyarakat merasa
dibuat lemah dan merasa tertindas. Para haji dianggap mempunyai karisma yang kuat,
sehingga bisa mempengaruhi masyarakat untuk membuat sebuah gerakan terhadap
pemerintah. Para haji menggunakan fungsi stratifikasi mereka dalam masyarakat dengan
baik, terbukti munculnya pergerakan yang berujung kepada pemberontakan.
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian sendiri adalah suatu metode studi melalui penyelidikan yang hati-hatidan
sempurna terhadap suatu masalahsehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap
masalah tersebut (Hilway, 1956: 22). Senada dengan Nazir, menurutnya penelitian
adalah Percobaan yang hati-hati dan kritis untuk menemukan sesuatu yang baru (Nazir,
1988: 10).
22
Menurut Arikunto, penelitian dapat digolongkan atau dibagi ke dalam beberapa
jenis berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, di antaranya adalah penelitian berdasarkan:
Pendekatan, tujuan, tempat, bidang ilmu yang diteliti, dan teknik yang digunakan
(Arikunto: 1988: 125). Berdasarkan jenis penelitian tersebut, maka penelitian ini
diidentifikasi berdasarkan ragam tersebut:
Pertama, dilihat dari jenis pendekatan yang digunakan oleh penulis yaitu dengan
cara heuristik (Muhajir, 1994: 12). Heuristik merupakan keterampilan menemukan,
menangani dan memperinci bibliografi atau mengklasifikasikan dan merawat catatan-
catatan (Abdurrahman, 2012:104).
Kedua,penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang
ada dan memaparkan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi. Ketiga,penelitian ini
menggunakan penelitian kepustakaan (Library Reseach,) yaitu penelitian yang
dilaksanakan dengan cara mencari teori-teori, konsep, generalisasi-generalisasi yang
dapat dijadikan sebagai landasan teoritis untuk penelitian yang akan dilakukan dan
dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan) dari penelitian sebelumnya.
Keempat,bidang studi yang diteliti oleh penulis adalah bidang studi penelitian sosial
yaitu penelitian sejarah (historicalreseach) bertujuan untuk merekonstruksi masa
lampau secara sistematis dan objektif dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, serta
menganalisis bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan kesimpulan yang kuat
(Suryabrata.1997:16).
2. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis data
Jenisdata yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dengan
model penelitian kepustakaan (library research), data kualitatif adalah suatu prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati. Sedangkan menurut Kirk dan Miller, kualitatif adalah
23
tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergabung pada
pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-
orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya (Moleong, 1991: 2-3).
Penelitian kualitatif memiliki sejumlah ciri yaitu latar alamiah, manusia sebagai alat
(instrument), metode kualitatif, analisa data secara induktif, teori dari dasar, deskriptif,
lebih mementingkan proses daripada hasil, adanya batas yang ditentukan oleh fokus,
adanya kriteria khusus untuk keabsahan data, desain yang bersifat sementara, hasil
penelitian dirundingkan dan disepakati bersama (Moleong, 1991: 4-8).
b. Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sekunder. Sumber
data primer, yaitu data yang didapat secara langsung, yang mungkin dapat dilihat dari
naskah-naskah kuno, buku-buku, tesis-tesis, disertasi dan artikel-artikel yang membahas
secara khusus tentang masalah yang diteliti, antara lain Buku Historiografi Haji
Indonesia karya Shaleh Putuhena (2007), buku Lintasan Sejarah Perjalanan Haji di
Indonesia karya Harahap (1989), buku Indonesia dan Haji karya Dick Douwes dan Niko
Kaptein (1997), buku Berhaji di Masa Kolonial karya M. Dien Majid (2008), buku
Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VIII (1993) dan buku Politik Hindia Belanda
karya Aqib Suminto (1985).
Sumber data sekunder, yaitu data yang didapat tidak secara langsung, seperti:
hasil penelitian sebelumnya yang tertuang dalam tulisan, jurnal-jurnal media massa dan
media elektronik (seperti data yang diperoleh melalui Internet). Sumber skunder yakni
tulisan yang berupa sintesis dari beberapa penelitian. Memang benar, secara subjek
buku sekunder bukanlah buku khusus yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Namun terkadang informasi yang diberikannya, mempunyai andil sendiri dan
bermanfaat bagi penulis. Apalagi buku skunder tersebut memberikan informasi yang
berbeda dari buku primer yang ada.
24
Untuk pengumpulan sumber-sumber tersebut digunakan metode sejarah yaitu
Heuristik dan verifikasi:
1)Heuristik
Heuristik adalah langkah berburu dan mengumpulkan berbagai sumber yang
terkait dengan data yang diteliti(Suryabrata.1997:65). Oleh karena itu, heuristik tidak
memiliki peraturan-peraturan umum. Heuristik merupakan keterampilan dalam
menemukan, menangani dan memperinci bilbiografi, atau mengklasifikasi dan merawat
catatan-catatan (Abdurahman, 2012:104).
Berdasarkan jenis penelitiannya, labaratorium penelitian ini adalah
perpustakaan, maka alat heuristik yang digunakan adalah katalog-katalog. Kegiatan
katalog dilakukan dengan membaca bilbiografis yang terkait dengan Kebijakan politik
Islam Belanda terhadap pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 1859 M. Akan tetapi, sumber
tetulis itu tidak selamanya terkoleksi secara rapi. Ternyata sumber-sumber itu terdapat
pada koleksi swasta atau perorangan, maka yang terpenting ialah dapat diketahui
tempat-tempat atau dimana koleksi dokumen-dokumen itu tersedia (Abdurahman,
2012:104-105).
2) Verifikasi
Adapun langkah verifikasi (kritik) yang dilakukan oleh peneliti dalam rangka
mengkritik sumber data diakukan dengan kritik eksteral dan internal. Pertama, kritik
eksternal, penulis akan menanyakan apakah sumber data tersebut otentik, akurat dan
relevan. Kedua, kritik internal, penulis akan menguji motif, keberat sebelahan, dan
keterbatasan penulis data yang mungkin melebih-lebihkan atau mengabaikan sesuatu
dan memberikan informasi yang terpalsu. Kesemua langkah tersebut diambil penulis
agar penelitian ini menjadi tertib, ketat dan kritis.
25
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data, maka penulis menggunakan teknik studi dokumen,
dengan kegiatan membaca, mencatat dan mengkategori data menurut sub-sub masalah.
Tujuan pengkategorian ini, agar tidak terjadi kekeliruan dan dapat memudahkan peneliti
dalam penyusunan hasil penelitian (Pulungan: 2013).Menurut Bungin, metode dokumen
adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi
penelitian sosial untuk menelusuri data historis (Bungin, 2007: 121).
4. Tehnik Analisis Data
a.Tehnik Deskriptif Analisis
Analisis data adalah proses penghimpunan atau pengumpulan, pemodelan
transformasi data dengan tujuan untuk menyoroti dan memperoleh informasi yang
bermanfaat, memberikan saran, kesimpulan dan mendukung pembuatan keputusan
(Usman, 2004: 74). Dalam hal ini, penulis menggunakan analisis data kualitatif yakni
teknik mengkritisasi data informasi tertulis dari para ahli menyangkut permasalahan
yang saat ini sedang diteliti (Bungin, 2007: 39).
b. Interpretasi
Setelah data dikritik maka data tersebut dirangkai agar mempunyai bentuk dan
struktur. Pada langkah ini penulis menguraikan dan mengembangkan data yang telah
diperoleh. Kemudian memberi penafsiran untuk merekonstruksi sejarah sehingga dapat
dimengerti (Maskur, 2006:17).
Data yang telah diperoleh dari Perpustakaan IAIN Raden Fatah, Perpustakaan
Daerah Sumatera Selatan, Perpustakaan Pascasarjana IAIN, Perpustakaan Fakultas
Adab dan sumber-sumber lainnya. Peneliti akan melakukan perbandingan dengan data
tersebut dan melakukan rangkaian secara abstrak untuk membentuk struktur penulisan
yang baik.
26
a. Pendekatan Penelitian
Untuk memahami data yang lebih mendalam maka penelitian ini diperlukan
menggunakan pendekatan yaitu pendekatan sosiologi, politik dan keagamaan.
1) Pendekatan Sosiologis
Digunakannya pendekatan ini menurut Weber adalah bertujuan untuk memahami arti
subjektif dari kekuasaan sosial, bukan semata-mata menyelidiki arti objektifnya. Dari
sini, tampaklah bahwa fungsionalisasi sosiologi mengarahkan pengkajian sejarah pada
pencarian arti yang dituju oleh tindakan individual berkenaan dengan peristiwa-
peristiwa kolektif sehingga pengetahuan teoretislah yang akan mampu membimbing
sejarawan dalam menemukan motif-motif dari suatu tindakan atau faktor-faktor dari
suatu peristiwa (Abdurrahman, 2011: 11-12).
2) Pendekatan Politikologis
Pendekatan politikologis, digunakannya pendekatan ini yaitu dimana dalam proses
politik biasanya masalah kepemimpinan dipandang sebagai faktor penentu dan
senantiasa menjadi tolak ukur. Untuk itu, penting diketahui klasifikasi kepemimpinan
yang secara umum telah dibedakan oleh Max Weber dalam tiga jenis otoritas yaitu:
pertama, otoritas karismatik yaitu berdasarkan pengaruh dan kewibawaan pribadi.
Kedua, otoritas tradisional yang dimiliki berdasarkan pewarisan dan ketiga, otoritas
legal-rasional, yang dimiliki berdasarkan jabatan dan kemampuannya (Dudung, 2011:
30).
3) Pendekatan Keagamaan
Agama secara subtantif bearti dilihat dari esensinya yang sering dipahami sebagai suatu
kepercayaan, sehingga menjelaskan religiusitas masyarakat adalah berdasarkan tingkat
ortodoksi dan ritual keagamaan. Bahkan, lebih berpusat pada bentuk-bentuk tradisional
sesuatu agama. Sementara itu dalam definisinya secara fungsional agama dilihat dalam
segi-segi peran. Fungsi yang diperankan merupakan kriteria untuk mengidentifikasi dan
27
mengklasifikasi suatu fenomena agama. Pada umumnya fungsi tersebut biasa
dikategorikan menjadi fungsi manifest, yaitu fungsi yang didasari dan dikehendaki oleh
sesuatu pola sosial atau lembaga (Abdurrahman, 2011: 20-21).
Historiografi
Langkah akhir dalam penelitian sejarah adalah historiografi. Langkah akhir ini adalah
langkah final dari rangkaian penelitian yang dilakukan. Sebagai tahap akhir, penulis
berusaha menyajikan hasil penelitian sebaik mungkin dalam bentuk sejarah sebagai
sebuah peristiwa yang dituangkan. Dalam penulisan ini disusun berdasarkan kronologi
atau peristiwa dan sebab akibat. Historiografi menjadi sarana mengkomunikasikan
hasil-hasil penelitian yang diungkap, diuji (verifikasi) dan diintepretasi. Rekontruksi
sejarah akan menjadi eksis apabila hasil-hasil pendirian tersebut ditulis
(Daliman,2012:99).
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian yang berjudul “Kebijakan Politik Islam
Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 1859” terdiri
enam bab,dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan yang menjelaskan tentang latarbelakang,rumusan
masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, kerangka teori,metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Landasan teori penelitian, membahas Kebijakan, Politik, Hindia Belanda,
Pelaksanaan dan Ibadah Haji.
Bab III adalah kondisi masyarakat Hindia Belanda, membahas tentang kondisi
politik, ekonomi dan sosial-keagamaan di Hindia Belanda tahun 1859 M.
28
Bab IV adalah kebijakan pemerintah Hindia Belanda tahun 1859 M, membahas
tentang latar belakang munculnya kebijakan, isi kebijakan dan faktor-faktor yang
menyebabkan pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan politik tentang
pelaksanaan ibadah haji yaitu sebab-sebab munculnya kebijakan tersebut.
Bab V adalah dampak kebijakan politik Islam pemerintah Hindia Belanda tahun
1859 M, membahas lahirnya politik Islam jamaah dan penurunan jumlah jamaah haji.
Bab VI merupakan simpulan berisi simpulan, saran dan rekomendasi.
29
BAB 2
LANDASAN TEORI
Pengertian Kebijakan
Menurut kamus bahasa Inggris, kebijakan berasal dari kata “policy”, kata policy
diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan mengenai tujuan-tujuan,
yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan, partai politik, dan lain-lain.
Kebijakan juga diartikan sebagai pernyataan-pernyataan mengenai kontrak penjaminan
atau pernyataan tertulis (Hornby, 1995: 893). Pengertian ini mengandung arti bahwa
yang disebut kebijakan adalah mengenai suatu rencana, pernyataan tujuan, kontrak
penjaminan dan pernyataan tertulis baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, partai
politik, dan lain-lain. Dengan demikian siapapun dapat terkait dalam suatu kebijakan.
Menurut kamus bahasa Indonesia, kebijakan adalah kepandaian, kemahiran,
kebijaksanaan, rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar serta dasar rencana
dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang
pemerintahan, organisasi dan sebagainya), pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau
maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran, garis
haluan.
Menurut Nurchamid, kebijakan adalah keputusan atau peraturan yang dibuat oleh
yang berwenang untuk mengatasi masalah, sehingga diharapkan tujuan organisasi dapat
dicapai dengan baik. Ciri-ciri utama kebijakan adalah suatu peraturan atau ketentuan
yang dapat mengatasi masalah (Nurchamid, 2009: 29). Sedangkan Menurut Winarno,
kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
(what ever governments choose to do or not do).
30
Kebijakan merupakan upaya untuk memecahkan, mengurangi mencegah suatu
masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah (Syahrir, 1988: 660).
Kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi
pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Anderson,
1978: 33).
Pengertian Politik
Politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti
itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua
yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan
politikos yang berarti kewarganegaraan (Kartono, 1996: 63).
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, politik merupakan hal-hal yang
berkenaan dengan tata Negara atau urusan yang mencakup siasat dalam pemerintahan
negara (Muda, 2006: 200). Politik adalah suatu segi khusus dari kehidupan masyarakat
yang menyangkut soal kekuasaan. Tumpuan kajiannya terhadap daya upaya
memperoleh kekuasaan, usaha mempertahankan kekuasaan, penggunaan kekuasaan, dan
juga bagaimana menghambat penggunaan kekuasaan. Politik juga mencakup aspek
Negara, kekuasaan (force) dan kelakuan politik (Syarbaini, 2002: 13).
Menurut Surbakti, politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat
dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang
kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu (Surbakti,
1999: 1). Sedangkan menurut Kartono, politik adalah aktivitas perilaku atau proses yang
menggunakan kekuasaan untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan-
keputusan yang sah berlaku di tengah masyarakat (Kartono, 1996: 64).
31
Menurut Syahrial, di dalam bukunya “Sosiologi dan Politik”kata politik terbagi
menjadi sebagai berikut:
a. Menunjuk segi kehidupan manusia untuk kekuasaan (power
relation).Misalnya kebebasan politik, kejahatan politik, kegiatan politik, dan
hal-hal politik.
b. Tujuan yang hendak dicapai (goals). Misalnya politik keuangan, luar negeri,
dalam negeri, ekonomi, dan lain-lain (Syarbaini, 2002: 13).
Sejak awal, hingga perkembangan terakhir ada sekurang-kurangnya lima
pandangan politik. Pertama, politik ialah usaha-usaha yang ditempuh warga Negara
untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik ialah segala
hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik
ialah sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan
kekuasaan dan masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam
rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang sangat penting (Syarbaini,
2002: 14-15).
Pengertian Hindia Belanda
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata Hindia Belanda berasal dari dua kata
Hindia dan Belanda. Hindia berasal dari kata India yang bearti adalah Samudera.
Sedangkan Belanda adalah negara kerajaan (negeri di Eropa Barat yang berbatasan
dengan Belgia dan Jerman Barat, orang atau bangsa yang mendiami Nederland, bahasa
dan bangsa Belanda (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005:112).
HindiaBelanda (bahasa Belanda: Nederlands (ch)-Indië) adalah sebuah wilayah
koloni Belanda yang diakui secara hukum de jure dan de facto. Kepala negara Hindia
Belanda adalah Ratu/ Raja Belanda dengan perwakilannya yang berkuasa penuh
32
seorang Gubernur-Jendral. Hindia Belanda juga merupakan wilayah yang tertulis dalam
Undang-undang Kerajaan Belanda tahun 1814 sebagai wilayah berdaulat Kerajaan
Belanda, diamandemen tahun 1848, 1872, dan 1922 menurut perkembangan wilayah
Hindia Belanda. Hindia Belanda dahulu kala adalah sebuah jajahanBelanda, sekarang
disebut Indonesia. Jajahan Belanda ini bermula dari properti Vereenigde Oostindische
Compagnie (atau VOC) yang antara lain memiliki Jawa dan Maluku serta beberapa
daerah lain semenjak abad ke-17. Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1798, semua
properti VOC menjadi milik pemerintah Republik Batavia (Wikipedia, 2014:1).
Hindia Belanda merupakan pemerintahan kolonial Belanda yang secara de jure
berkuasa atas kepulauan Indonesia sejak keruntuhan VOC tahun 1799. Kekuasaan
tertinggi pemerintahan terletak pada Gubernur Jendral. Pemerintahan Hindia Belanda
ini berhasil mempertahankan kekuasaannya sampai tahun 1942 dan baru runtuh setelah
penyerbuan pasukan Jepang dalam perang Dunia II. Setelah pemerintahan Jepang
berakhir, Belanda berusaha menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia
(Ensiklopedi Nasional Indonesia 1989: 433).
Pengertian Pelaksanaan
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pelaksanaan adalah proses, cara, perbuatan
melaksanakan (rancangan dan keputusan): beliau meninjau pembangunan jalan di
wilayahnya; kegiatan ini merupakan salah satu Garis-Garis Besar Haluan
Negara.Pelaksanaan merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu badan atau
wadah secara berencana, teratur dan terarah guna mencapai tujuan yang diharapkan.
Menurut Westa, pelaksanaan merupakan aktifitas atau usaha-usaha yang
dilaksanakan untuk melaksanakan semua rencana dan kebijaksanaan yang telah
dirumuskan dan ditetapkan dengan dilengkapi segala kebutuhan, alat-alat yang
diperlukan, siapa yang melaksanakan, dimana tempat pelaksanaannya mulai dan
33
bagaimana cara yang harus dilaksanakan (Westa, 1985: 17). Sedangkan menurut
Abdullah, Pelaksanaan merupakan aktifitas atau usaha-usaha yang dilaksanakan
(Abdullah, 1987: 5).
Ibadah Haji
Pengertian Ibadah Haji
Kata haji berasal dari bahasa Arab yang awalnya bearti “maksud” atau “keinginan” dan
sinonim dengan kata “al-qashd”. Dalam bentuk kata kerja, kata “hajja” mengandung
arti menyengaja sesuatu, memaknai, melaksanakan dan berdoa (Rasyid, 1954: 240). Di
samping itu kata ini mengandung makna berkunjung dan berziarah yang memiliki
makna, nilai dan signifikasi tertentu. Dari sini timbul makna turunannya yaitu
bermaksud untuk mengunjungi tempat tertentu untuk melaksanakan ritual di dalamnya
(Sutar at al, 2006: 66). Selain itu, Kata haji dikenal juga dalam bahasa Ibrani, yang
berarti melakukan perjalanan keliling dalam suatu pesta. Karena tawaf itu biasanya
terjadi pada puncak upacara keagamaan.
Menurut etimologi, haji berarti “pergi, berkunjung” atau “ziarah ke suatu tempat”
(Majid 2008: 19). Haji juga dapat juga diartikan “menuju dan menziarahi suatu tempat.
Maksudnya adalah ziarah ke Baitullah Mekah, untuk melaksanakan ibadah dengan cara
tertentu, dalam waktu dan tempat tertentu (Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah,
1996:334).
Menurut terminologi, haji adalah ibadah yang dilakukan dengan mengunjungi
Baitullah (Ka’bah) pada waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu. Waktu
pelaksanaannya dimulai dari bulan Syawal, Zulqaidah dan sampai puncaknya pada
bulan Zulhijjah (Halim 2002: 84). Sedangkan menurut Madjid, haji merupakan ziarah
bearti berkunjung, ke Baitullah, Ka’bah untuk melaksanakan ibadah dengan cara
tertentu yang dilaksanakan pada Sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah sampai terbit
34
pajar hari kesepuluh atau yang disebut Yaum An nahr (Hari Raya Haji), dalam waktu
dan tempat tertentu. Meskipun setelah Yaum an Nahr itu masih ada aktifitas ibadah haji,
seperti melempar jumrah, tahallul dan tawaf ifadah(Madjid 2008: 19).
Haji tidak hanya sekedar berkunjung ke tempat suci Mekah, melainkan
mengingatkan manusia pada bangunan Ka’bah sebagai wujud kebesaran-Nya, yang
dapat dilihat oleh manusia dan sekaligus berorientasi pada perubahan dalam arti
keyakinan pada diri seseorang, baik memandang dirinya maupun mempertebal
keimanan pada Allah SWT (Madjid 2008: 20).
Syarat Haji
Syarat ibadah haji merupakan seperangkat ketentuan yang mesti dimiliki oleh seseorang
yang akan melaksanakan ibadah, baik ketentuan tersebut berkenaan dengan sah atau
tidaknya ibadah haji (Halim, 2008: 427). Syarat sahnya haji ada dua, pertama yang
berkaitan dengan keislaman seseorang dan waktu pelaksanaannya. Haji dikatakan sah
apabila seseorang itu berpredikat muslim, walaupun belum dewasa (mumayyiz) berusia
enam tahun lebih dan sudah dapat membedakan yang baik dan yang buruk, hendaknya
meniatkan ihram haji atas namanya sendiri. Tetapi jika masih kecil, dapat diwakilkan
mengucapkan niat ihram kemudian bersama-sama melaksanakan apa yang harus
dikerjakan dalam haji itu. Kedua, berkaitan dengan waktu pelaksanaan ibadah haji,
mulai Syawal dan Sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah sampai terbit fajar hari
kesepuluh atau disebut YaumAn Nahr (Hari Raya Idhul Adha). Sedangkan ibadah haji
yang telah dilaksanakan dengan sempurna, memenuhi syarat, rukun diikuti dengan
kekhusukan sehingga memperoleh haji mabrur (Majid, 2008:24-25).
Syarat wajib haji ada lima macam. Pertama, orang Islam yang diwajibkan
melaksanakan ibadah haji adalah orang Islam. Kedua, mencapai usia baligh. Anak kecil
yang belum baliqh tidak diwajibkan melaksanakan ibadah, meskipun hajinya sah setelah
ia mumayyiz. Ketiga, berakal sehat. Tidak ada kewajiban untuk melaksanakan ibadah
35
haji bagi orang gila dan tidak sah pula hajinya. Keempat, merdeka. Hamba sahaya
(budak) tidak diwajibkan melaksanakan ibadah karena haji memerlukan waktu yang
panjang. Jika mereka memaksakan untuk pergi maka kepentingan tuannya akan
terabaikan. Kelima, istitha’ah atau memiliki kemampuan dari segi fisik, harta dan
keamanan (Halim 2008: 428).
Rukun Haji
Rukun haji adalah rangkaian ibadah yang harus dilaksanakan dalam ibadah haji. Tidak
dilaksanakannya satu dari rangkaian ibadah haji yang sedang dilaksanakan oleh
seseorang dan walaupun ibadah hajinya batal, orang itu harus menuntaskan rukun-rukun
haji-haji yang tersisa serta mengulang ibadah hajinya pada tahun berikutnya (Halim
2008: 386).
Adapun rukun-rukun haji tersebut, sebagai berikut:
a. Ihram
Ihram adalah niat untuk melaksanakan haji. Dengan melakukan ihram,
seseorang telah memasuki saat berkakunya larangan-larangan haji. Ihram dimulai
dengan dengan melafazkan niat (Halim 2008: 158).
b. Wuquf di ‘Arafah
Wuquf adalah hadir di Arafah pada waktu tertentu dengan syarat-syarat tertentu
dalam rangka melaksanakan ibadah yang merupakan rangkaian ibadah haji (Halim,
2008: 510).
c. Thawaf
Thawaf adalah mengelilingi Ka’bah dengan niat ibadah sebanyak tujuh kali
putaran yang dimulai dari sejajar Hajar Aswas dengan posisi Ka’bah berada di
sebelah kiri orang yang berthawaf atau berlawanan dengan arah jarum jam (Halim,
2008: 470).
36
d. Sa’i
Sa’i adalah berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan bukit Marwah sebanyak
tujuh kali yang dimulai dari bukit Shafa dan diakhiri di bukit Marwah dengan niat
ibadah karena Allah (Halim, 2008: 395).
e. Tahallul
Tahalallul berasal dari bahasa Arab halla yang berarti halal. Tahallul artinya
boleh, “dihalalkan”, atau “menghalalkan beberapa larangan”. Tahallul berarti
keluar dari keadaan ihram karena telah selesai melaksanakan amalan haji
seluruhnya atau sebagiannya yang ditandai dengan mencukur atau menggunting
beberapa (paling sedikit tiga) helai rambut (Halim, 2008: 434).
Wajib Haji
Wajib haji adalah amalan-amalan yang wajib dilakukan oleh seseorang dalam ibadah
haji yang apabila ditinggalkan menyebabkan timbulnya kewajiban membayar dam
(denda), tetapi sampai membatalkan ibadah haji (Halim, 2008: 504).
Adapun amalan yang wajib dilakukan dalam ibadah haji tersebut adalah:
a. Ihram dari miqatzamani (waktu-waktu yang ditentukan bagi seseorang yang
akan melaksanakan ibadah haji atau waktu memulai ihram, yaitu bulan Syawal,
Zulqaidah dan sembilan hari pertama bulan Zulhijjah. Sedangkan miqat makani
(tempat yang ditentukan untuk memulai ihram dan berniat ibadah haji).
b. Melontar jumrah ‘Aqabah pada tanggal 10 Zulhijjah setelah datang dari Mina
dan melontar ketiga jumrah, yaitu: jumrah Ula, jumrah Wustha dan jumrah
Kubra (Halim, 2008: 504).
c. Berada di Muzdalifah walaupun sebentar dengan syarat harus berada di sana
pada waktu tengah malam setelah wuquf di ‘Arafah.
d. Bermalam di Mina minimal tanggal 11 dan 12 Zulhijjah.
37
e. Sa’i antara Shafa dan Marwah
f. Mencukur dan memendekkan rambut
g. Melaksanakan thawaf
h. Wuquf di Arafah (Halim, 2008: 505-506).
Hikmah Haji
Hikmah secara etimologi berarti mengetahui keunggulan sesuatu melalui suatu
pengetahuan, sempurna, bijaksana dan sesuatu yang tergantung kepadanya akibat
sesuatu yang terpuji. Menurut istilah, hikmah merupaan suatu motivasi dalam
pensyari’atan hukum dalam rangka pencapaian suatu kemaslahatan atau menolak suatu
kemafsadatan. Berdasarkan pengertian di atas maka hikmah haji. Pertama,
menghilangkan dosa. Kedua, memperteguh dan memperbaharui keimanan kepada Allah
swt. Karena, orang yang melaksanakan ibadah haji, mereka mengetahui dan merasakan
betapa beratnya perjuangan Nabi Ibrahim dan istrinya Siti Hajar serta anaknya Nabi
Ismail dalam membangun rumah Allah (Ka’bah) sebagai pusat peribadatan umat
Islam.Ketiga, mempertebal rasa kesabaran dan memperdalam rasa kepatuhan terhadap
ajaran-ajaran agama. Karena selama menjalankan ibadah haji, jamaah haji merasakan
betapa berat perjuangan yang harus dihadapi untuk mendapatkan keridhaan Allah swt.
Keempat, menimbulkan rasa syukur yang sedalam-dalamnya atas segala karunia Allah
Swt kepada hambanya sehingga mempertebal rasa pengabdian kepada Allah swt.
Kelima, memupuk rasa persatuan di kalangan umat Islam. Dengan adanya keseragaman
rangkaian pelaksanaan ibadah haji memberikan pelajaran, bahwa umat Islam
mempunyai visi dan misi, yaitu menegakkan syariat Islam (Halim 2008: 140).
Keenam, bermanfaat dari segi ekonomi. Sebab ibadah haji sangat banyak
memberikan manfaat bagi para pedagang dan umat Muslim yang hidup di bawah angka
kemiskinan. Daging-daging yang telah disembelih sebagai dam (denda) dari jamaah,
38
dikirimkan ke berbagai negara yang di dalamnya terdapat umat Islam yang miskin.
Ketujuh, pelajaran tentang fungsi manusia sebagai pemimpin dan pelindung makhluk
Tuhan lainnya. Maksudnya selama memakain pakaian ihram, sejumlah larangan yang
harus diindahkan oleh jamaah haji. Hal ini menandakan bahwa manusia berfungsi
sebagai pelindung makhluk-makhluk Allah serta memberikan kesempatan seluas
mungkin untuk mencapai tujuan penciptaannya. Pada akhirnya, manusia betul-betul
dirasakan sebagai rahmat bagi sekalian makhluk yang ada di muka bumi (Halim 2008:
141-142).
Menurut Hasbullah Bakry, hikmah dari haji adalah:
a. Pertemuan umat Islam dari segala penjuru dunia di Mekkah dan sekitarnya
adalah dengan dengan tujuan yang sama beribadah kepada Allah, sehingga
menghilangkan perasaan kebangsaan dan kesukuan serta warna kulit.
b. Pertukaran peradaban terjadi dalam pertemuan tersebut, walaupun tidak
sekaligus pengaruh suatu bangsa Muslim yang satu segera ditiru dan
dilakukan oleh bangsa muslim yang lain.
c. Walaupun banyak mazhab dalam masyarakat Muslim, perbedaan mazhab
makin tidak meruncing akibat pertemuan umat Islam di musim haji.
d. Solidaritas antar Muslimin mengenai penderiataan bangsa masing-masing
sangat dirasakan sebagai penderitaan bersama, dan semakin dikuatkan di masa
pelaksanaan haji (Bakry, 1988: 129-130).
39
BAB 5
DAMPAK KEBIJAKAN POLITIK ISLAM BELANDA
TERHADAP PELAKSANAAN IBADAH HAJI TAHUN 1859 M
Lahirnya Politik Islam Jamaah Haji
Peningkatan jumlah jamaah haji Hindia Belanda yang berangkat ke Mekah menjadi
perhatian khusus pemerintah Belanda, sehingga perlu adanya kebijakan untuk mengatur
pelaksanaan haji. Dalam pelaksanaannya, haji di Hindia Belanda banyak sekali
menerima peraturan-peraturan dari pemerintah kolonial Belanda. Seperti yang
diinstruksikan oleh Daendels, ia merupakan Gubernur Jenderal pertama yang
memerintahkan agar jamaah haji memakai paspor atau pas jalan, dengan alasan agar
jamaah mendapatkan keamanan dan ketertiban dalam menjalankan ibadah haji.
Meskipun masih ada alasan politik lain yang lebih diutamakan. Lebih jelas seperti yang
dikemukakan oleh Tomas Stamford Raffles:
Ibadah haji ke Mekah sebagai salah satu bahaya politik, ia beranggapan bahwa
para haji itu setelah pulang dianggap oleh masyarakat sebagai orang suci dan
mempunyai kekuatan gaib (supernatural power), karena itu dikhawatirkan
mempengaruhi masyarakat dan menghimpun kekuatan untuk menentang orang
Barat (Rahim, 1998: 179).
Ketakutan kolonial Belanda terhadap besarnya pengaruh haji terhadap gerakan
nasionalis membuat pemerintah Hindia Belanda membuat berbagai kebijakan politik
yang kemudian dikenal dengan politik Islam Hindia Belanda. Awalnya pemerintah
Belanda tidak berani mencampuri agama secara langsung, dengan kata lain netral
terhadap agama. Sikap Belanda dalam hal ini menurut Aqib Suminto (1985: 9) dalam
bukunya yang berjudul “Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor Inlandsche
Zaken”:
40
“Sikap tersebut terbentuk oleh kombinasi kontradiktif antara rasa takut dan
harapan yang berlebihan”. Di satu pihak Belanda sangat khawatir akan
timbulnya pemberontakan orang-orang Islam fanatik, sementara di pihak lain
Belanda sangat optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera
menyelesaikan semua persoalan, dalam hal ini Islam sangat ditakuti.”
Pemerintah Belanda sangat mengkhawatirkan para jamaah haji yang akan
melaksanakan ibadah haji. Kekhawatiran tersebut diakibatkan adanya rasa takut yang
menyelimuti pemerintah Belanda setelah para haji pulang dari Mekah. Pemerintah
Belanda melihat bahwa pemberontakan yang terjadi dipelopori oleh para haji. Untuk itu,
pemerintah Belanda selalu mengawasi gerak-gerik para calon haji sebelum mereka
menunaikan ibadah haji. Pengawasan pemerintah Belanda kepada para haji terlihat
dengan adanya ordonansi tahun 1859. Ordonansi tersebut menjelaskan tentang
bagaimana pelaksanaan ibadah haji di Hindia Belanda. Penetapan ordonansi tahun 1859
oleh pemerintah Belanda disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya antusiasme
masyarakat begitu tinggi untuk melaksanakan ibadah haji. Oleh karena itu, pemerintah
Belanda mengatur segala macam bentuk keperluan dan kebutuhan dalam melakukan
ibadah haji. Hal ini dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk mengurangi masyarakat
untuk pergi haji ke Baitullah. Kedua, pemerintah Belanda menggunakan kapal yang
muatannya sedikit sehingga hanya sedikit para calon haji yang pergi dan mereka harus
rela berdesak-desakan di dalam kapal. Ketiga, adanya calon jamaah haji yang
menunaikan ibadah haji melalui Singapura, Penang maupun Bombay yang dianggap
lebih mudah dan murah. Para haji yang berangkat dari Singapura, Penang dan Bombay
hanya diminta membayar harga tiket kapal. Oleh karena itu pemerintah Belanda
mempertegaskan kebijakan yang lebih sulit untuk menunaikan ibadah haji, salah satu
caranya adalah harus mendapat izin dari kepala daerah masing-masing dan mengurus
berbagai macam peraturan yang tertulis dari pemerintah Belanda.
Ketiga faktor di atas yang menyebabkan pemerintah Belanda harus ikut campur
urusan haji di Hindia Belanda. Keikutersertaan pemerintah Belanda dalam pengawasan
41
tentang pelaksanaan ibadah haji berdampak akan penurunan jumlah para haji ke Mekah.
Pengawasan tersebut mulai dari adanya pemeriksaan segala bentuk perlengkapan dari
calon jamaah haji sebelum menunaikan ibadah haji sampai adanya pengaturan tentang
perjalanan yang telah disepakati oleh pemerintah Belanda. Dalam perjalanan menuju
Mekah, pemerintah Belanda sudah menyediakan kapal bagi para haji.
Pada waktu yang telah ditentukan, para jamaah haji naik kapal sesuai dengan
yang tercantum dalam tiket untuk perjalanan menuju ke Mekah. Para haji berangkat dari
pelabuhan haji Hindia Belanda menggunakan kapal haji milik perusahaan Belanda
(Putuhena 2007: 175). Dalam kapal tersebut para haji harus berdesak-desakan dengan
para haji lain. Bahkan lebih ironisnya banyak jamaah haji yang meninggal dunia
sebelum sampai ke tanah suci (batitullah). Mereka yang tewas dalam perjalanan ke
tanah suci karena faktor kelelahan yang disebabkan perjalanan yang begitu jauh sampai
ke tempat tujuan. Perjalanan ke tanah suci memakan waktu yang begitu lama yaitu 20
sampai 25 hari (Putuhena 2007: 137).
Setelah sampai di Mekah, para haji melaksanakan ibadah haji sesuai dengan
tuntunan Islam. Dalam menjalankan ibadah haji, para haji Hindia Belanda berjumpa
dengan para haji dari berbagai negara di belahan dunia. Perjumpaan itu telah membuka
pemahaman dan pengetahuan bagi para haji Hindia Belanda tentang makna perlawanan
terhadap kaum penjajah. Terutama pertemuan dengan jamaah yang pada waktu itu
mempunyai nasib yang sama yaitu sama-sama dalam keadaan menjadi negara jajahan
atau dijajah. Oleh karena itu, terjalinlah hubungan dan interaksi jamaah haji dengan
gerakan pan-Islamisme di Mekah, terutama jamaah haji yang telah terpengaruh oleh ide
Pan Islam Jamaluddin al-Afghani yang menjadi pelopor gerakan perjalanan politik
dunia Islam. Pengertian Pan Islamisme secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia
Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama yang dikepalai oleh seorang khalifah
(Suminto, 1986: 80). Akan tetapi, Pan Islamisme dalam pengertian yang luas adalah
42
kesadaran untuk bersatu bagi umat Islam yang terikat oleh kesamaan agama yang
membentuk solidaritas sedunia (Setiawan, 1990:82).
Gerakan Pan Islamisme yang diusung oleh Jamaluddin al-Afghani (Nurdi, 2008:
22), setidaknya memiliki lima prinsip dalam kerja dakwahnya yang terlahir pada
peristiwa ibadah haji:
1. Menghapuskan kebodohan yang membelenggu kaum Muslimin.
2. Berusaha keras untuk mengikis taqlid dan menganjurkan ijtihad demi menggali
hikmah, ilmu Allah dan Sunnah Rasulullah.
3. Membangkitkan kesadaran umat Islam untuk menentang penjajahan Barat yang
dipelopori Inggris pada saat itu.
4. Fungsi ulama harus dikembalikan sebagai lentera bagi kaum Muslimin.
5. Perjuangan demi terlaksananya keadilan sosial, keadilan ekonomi dan keadilan
politik harus diperjuangkan di mana saja kaum Muslimin berada.
Dapat disimpulkan bahwa gerakan Pan Islamisme yang diusung oleh Jamaluddin
Al-Afghani dengan lima prinsip di atas berguna bagi para haji. Lima prinsip tersebut
banyak memberi pencerahan bagi para haji, karena prinsip-prinsip di atas membuat
sebagian dari para haji berniat untuk memperdalam ilmu agama di Mekah maupun
Madinah, kemudian mereka menetap di sana untuk sementara waktu. Para haji belajar
kepada guru-guru tersohor di daerah tersebut, ilmu yang didapatkan tidak hanya sekedar
ilmu agama saja, tetapi juga pengalaman dan wawasan ide serta gagasan revolusioner
yang akhirnya mempengaruhi karektristik para haji.
Orang Islam yang pernah menunaikan ibadah haji ataupun pernah lama
bermukim di Mekah mempunyai peran penting dalam kehidupan masyarakat Hindia
Belanda. Setelah pulang dari Mekah, Para haji biasanya menjadi kiai atau guru yang
memiliki sejumlah pengikut di tanah air. Sebagai kiai atau guru agama, para haji
tersebut mengajarkan kepada masyarakat pribumi apa yang telah mereka peroleh dari
Mekah dan Madinah. Dengan menjadi kiai atau guru agama maka mempermudah para
haji mendekatkan diri mereka kepada masyarakat. Seorang yang telah menunaikan haji
dianggap telah sempurna imannya sehingga ia dihormati di tengah masyarakat, karena
43
telah berhasil melaksanakan penuh rukun Islam. Dengan demikian, para haji menjadi
kelompok elit agama dan mereka menjadi agen perubahan, pengendali sosial dan
sebagai oposisi terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda (Hendry, 2013: 1).
Para jamaah haji yang langsung pulang ke tanah air maupun menetap betul-betul
mendapatkan pencerahan politik berkat ibadah hajinya di Mekah, mereka yang pulang
haji menjadi kiai berani melawan pemerintah kafir Belanda. Inilah yang menyebabkan
Belanda menghawatirkan dampak haji secara politis. Pemerintah Belanda pernah
melarang umat Islam Hindia Belanda berhaji, hal ini dilakukan pemerintah Belanda
untuk mengurangi jumlah para jamaah haji. Menurut pemerintah Belanda hal itu
merupakan jalan yang terbaik, dibandingkan mereka menembak mati para jamaah haji
(Suminto, 1996:22). Namun di sisi lain, dengan kepulangan para haji dari Mekah
membawa perubahan bagi masyarakat, karena para haji yang pulang tersebut
membentuk sebuah gerakan pembaharuan yang dipengaruhi oleh gerakan reformasi
Pan-Islamisme.
Menurut Deliar Noer (1990: 8), gerakan pembaharuan di Hindia Belanda tidak
pernah lepas dari perkembangan dunia pada umumnya. Dengan kata lain, gerakan
pembaharuan di Hindia Belanda dipengaruhi oleh gerakan reformasi Pan-Islamisme
Timur Tengah. Hal yang senada juga dikemukakan oleh Pieter Korver (1986: 20)
bahwa:
“Pada tahun-tahun permulaan abad ini, suatu gerakan reformasi Islam yang
berpengaruh mulai tumbuh di Hindia Belanda, sebagai suatu bagian yang hakiki
dari perjuangan pergerakan nasional kepulauan tersebut pada waktu itu.
Diilhami oleh ahli fikir Islam yang berhaluan modern, seperti Jamaluddin Al-
Afgani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) di Timur Tengah”.
Gerakan reformasi Hindia Belanda berasal dari para haji yang pulang dari Timur
Tengah. Mereka terinspirasi dari prinsip-prinsip dakwah Pan Islamisme. Seperti,
membangkitkan kesadaran umat Islam untuk menentang penjajahan Barat maupun
perjuangan demi terlaksananya keadilan sosial, keadilan ekonomi dan keadilan politik
44
harus diperjuangkan oleh kaum Muslimin. Prinsip-prinsip di atas yang membuat para
haji di Hindia Belanda bersemengat untuk melawan pemerintah Belanda demi mencapai
keadilan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mengajak
rakyat bersatu untuk melakukan perlawanan.
Para haji yang mengorganisir pergerakan perlawanan terhadap kolonial Belanda
menjadi semakin garang. Menurut Clifford Greetz pergerakan perlawanan besar yang
diorganisir oleh para haji yaitu pemberontakan kaum Paderi di Minangkabau,
pemberontakan Diponegoro di Jawa Tengah, pemberontakan Banten di Jawa Barat dan
pemberontakan Aceh (Saridjo, 182: 54-55).
Situasi ini erat kaitanya dengan sikap curiga dan kekhawatiran yang berlebihan
Belanda terhadap umat Islam. Masalah Islam semakin lama semakin kuat dan
mendominasi setiap aspek, yang pada akhirnya menjadi ancaman yang sangat
ditakutkan oleh Belanda. Hal ini terlihat pada hubungan dengan negara luar, terutama
para haji Hindia Belanda dengan Arab sangat membahayakan pemerintahan Belanda.
Belanda khawatir apabila suatu saat, orang Hindia Belanda menghimpun kekuatan
dengan negara luar untuk menghancurkan Belanda. Dalam kondisi ini, Pemerintah
Hindia Belanda menyimpulkan bahwa hubungan Mekah dengan Hindia Belanda
melalui jamaah haji, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kondisi perpolitikan di
tanah air. Kekhawatiran Belanda akan adanya ide-ide perang jihad dan Pan-Islamisme
akan membahayakan keberadaan mereka di Hindia Belanda (Harahap, 1984: 9).
Kekhawatiran dan ketakutan Belanda terhadap gerakan yang dimotori oleh para
haji memang sangat beralasan. Oleh sebab itu, para haji mendapatkan pengawasan
khusus dari Belanda. Para pejabat Belanda selalu mencurigai para haji, karena fanatisme
umat Islam terhadap para haji sangat mudah berubah menjadi fanatisme politik. Ketika
terjadi perlawanan terhadap kaum penjajah, para haji mampu mengkoordinir dan
45
mempersatukan semua elemen masyarakat dan membawa misi Pan-Islamisme
(Bruneissen 1995: 333).
Berbagai perlawanan yang dilakukan oleh kaum haji dan ulama terhadap
kolonial, akhirnya menyebabkan pemerintah Hindia Belanda berusaha membatasi
perjalanan haji ke Mekah. Kepercayaan masyarakat yang terlalu fanatik pada para haji,
ditakutkan dapat membawa pengaruh negatif bagi eksistensi Belanda di negeri
jajahannya yaitu Hindia Belanda. Terutama dalam masalah perhajian, para haji
dicurigai, dianggap fanatik dan sering memberontak. Pemerintah Belanda kemudian
mengeluarkan berbagai aturan yang bertujuan untuk membatasi dan mempersulit umat
Islam menunaikan haji ke Mekah (Suminto, 1996: 10). Oleh karena itu, untuk lebih
membatasi gerak umat Islam maka dikeluarkanlah Resolusi tahun 1825. Tetapi,
peraturan ini tidak sepenuhnya ditaati, karena dalam pelaksanaannya dianggap banyak
merugikan jamaah haji. Atas dasar Resolusi tahun 1825 dilihat masih banyak
kekurangannya, maka pemerintah Belanda melakukan penyempurnaan dalam berbagai
hal-hal yang dianggap lemah. Peraturan perubahan itu dibuat pada tahun 1827, 1830,
1831, 1850 dan 1859. Perubahan yang sangat mendasar setelah tahun 1825 hanya
terdapat pada ordonansi 1859 (Majid, 2008: 83).
Walaupun berbagai kebijakan dan ordonansi dibuat untuk membendung
pengaruh gerakan perlawanan melawan kolonial, akan tetapi pengaruh Pan-Islamisme
lebih kental di jiwa masyarakat Islam Hindia Belanda. Di fase awal, perlawanan para
haji menggunakan konsep jihad fi sabilillah untuk melakukan perlawanan terhadap
kolonial Belanda. Ajaran jihad menjadi prioritas para haji abad ke-18 yang mana umat
Islam mengalami imperialisme kolonial. Anjuran untuk jihad datang dari Abdus Somad
al-Palembani dan Daud bin Abdullah al-Fatani, yang sebagian besar hidupnya
dihabiskan di Haramain. Al-Palembani dan al-Fatani adalah ulama Indonesia yang
belajar di Mekah dan menetap di sana, merupakan ulama yang anti penjajah, anti
46
Belanda dan anti kafir. Pengaruh yang dilakukan oleh Al-Palembani dan al-Fatani
dengan jalan mengirim surat ke raja-raja Jawa untuk jihad melawan Belanda (Azra,
1994:283).
Gerakan Pan-Islamisme tidak berhasil menggalang kesatuan umat Islam dunia,
akan tetapi semangat Pan-Islam tetap hidup sehingga membangkitkan berbagai
organisasi Islam regional dan internasional, tak terkecuali Hindia Belanda yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari pergerakan tersebut.
Konsep ajaran jihad fi sabilillah keagamaan mulai berubah mengarah kepada
patriotisme kebangsaan, akan tetapi perjuangan patriotisme kebangsaan tetap
berlandaskan pada konsep jihad fi sabilillah dalam ajaran Islam. Patriotisme adalah
semangat cinta tanah air atau sikap seseorang yang rela mengorbankan segala-galanya
untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya (Suprapto et. al 2007: 38). Patriotisme
merupakan jiwa dan semangat cinta tanah air yang melengkapi eksistensi nasionalisme.
Sekelompok manusia yang menghuni bumi Indonesia wajib bersatu, mencintai dengan
sungguh-sungguh dan rela berkorban membela tanah air Indonesia sebagai bangsa yang
merdeka. Lebih jauh lagi, patriotisme adalah bagian dari paham kebangsaan dalam
nasionalisme Indonesia (Bakry, 2010: 145).
Patriotisme meliputi sikap-sikap bangga akan pencapaian bangsa, bangga akan
budaya bangsa, adanya keinginan untuk memelihara ciri-ciri bangsa dan latar belakang
budaya bangsa. Rashid, (2004: 05), menyebutkan beberapa nilai patriotisme, yaitu:
kesetiaan, keberanian, rela berkorban, kecintaan pada bangsa dan negara. Dalam
penelitian ini, diambil dua aspek pokok dalam patriotisme, yaitu kesetiaan dan kerelaan
untuk berkorban.
Sebagai penduduk yang mayoritas beragama Islam, masyarakat Hindia Belanda
beranggapan bahwa penjajah yaitu pemerintah Belanda dengan sebutan ‘kafir’, karena
tidak seiman, merugikan masyarakat dan mengganggu ketenangan hidup masyarakat.
47
Pemahaman agama dengan semboyan ‘cinta tanah air’ merupakan bagian dari iman,
menjadi semangat untuk mendorong dengan menumpas penjajahan.
Dengan demikian menurut penulis, perjalanan haji di Hindia Belanda yang
awalnya merupakan ritual ibadah, pada fase kelanjutannya berubah mengarah pada
upaya mencari ilmu dan politik. Haji sebagai peran politik memiliki andil yang sangat
besar bagi pergerakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Hubungan ulama Timur
Tengah dan ulama Melayu membuka “kran” pengetahuan dan perjuangan umat Islam
pribumi. Selain itu, pengaruh Pan-Islamisme memberikan ide segar bagi jamaah haji
Hindia Belanda untuk melakukan perlawanan. Walaupun Pan-Islamisme tidak berhasil
menyatukan umat Islam dunia, akan tetapi pengaruhnya membangkitkan semangat jihad
dan patriotisme bagi masyarakat pribumi Hindia Belanda.
Penurunan Jumlah Jamaah Haji
Setelah kebijakan terdahulu yang diterapkan gagal dilaksanakan, pemerintah kembali
melaksanakan langkah-langkah baru dalam pelaksanaan ibadah haji yang kemudian
dikenal dengan Ordonansi 1859. Latar belakang lahirnya ordonansi ini karena
penyalahgunaan gelar haji dan adanya sebagian jamaah haji tidak kembali ke tanah air.
Akibatnya menimbulkan masalah sosial di masyarakat bagi keluarga yang ditinggalkan.
Pelaksanaan politik Islam Hindia Belanda tentang kebijakan haji (Majid, 2008: 95).
Adapun ciri-ciri mencolok dari ordonansi atau beslit tahun 1859 baru itu ialah:
1. Calon jamaah haji harus mempunyai surat keterangan dari seorang Bupati
bahwa ia mempunyai dana memadai untuk perjalanan pulang pergi dan nafkah
bagi keluarga yang ditinggalkan cukup terjamin.
2. Sekembalinya dari Mekah, haji tersebut harus menjalankan ujian, atau ujian
haji, yang harus membuktikan bahwa dia benar-benar telah mengunjungi
Mekah.
3. Hanya bila telah lulus ujian itu, dia dibenarkan untuk menyandang “gelar
haji” dan memakai busana haji khusus (Doues dan Kaptein, 1997: 9).
Kebijakan ordonansi 1859 secara tidak langsung memberikan dampak pada
keteraturan dalam pelaksanaan haji. Keteraturan ini menurut penulis dapat lihat dari
48
hasil catatan-catatan jumlah jamaah haji yang dilakukan oleh para bupati di berbagai
daerah. Dengan catatan ini, hingga saat ini menjadi referensi bagi para sejarawan untuk
mengetahui perkembangan dan sejarah haji di Hindia Belanda.
Secara administratif dibuatnya ordonansi 1859 merupakan upaya untuk
melindungi umat Islam dari perilaku-perilaku yang bertentangan dengan syariat Islam.
Seperti meninggalkan bekal dan cukup ekonomi bagi orang yang melaksanakan haji
maupun yang ditinggalkan. Kemampuan seorang yang melaksanakan ibadah haji secara
syariat telah ditekankan oleh Allah dalam firman-Nya dalam Al-Quran surah Al-Imran
ayat 97:
Artinya: ”Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim,
barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah Dia; mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah, barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan
sesuatu) dari semesta alam” (QS. Al-Imran: 97).
Ayat di atas merupakan landasan bagi umat Islam dalam pelaksanaan ibadah
haji. Agar memiliki kemampuan secara finansial. Diwajibkan ibadah haji ke Mekah
seorang Muslim hanya satu kali dalam hidupnya jika mampu atau sanggup membiayai
perjalanan dan keadaan rumah tangga tidak terganggu karena kepergian cukup lama
(Majid, 2008: 25-26). Selain itu, pelaksanaan ujian bagi orang yang melaksankan haji
bertujuan untuk menghindari orang-orang yang berangkat haji hanya sampai di
Singapura atau dikenal dengan haji Singapura (Putuhena, 2007: 284-285).
Secara resmi Gubernur Jenderal mengeluarkan ordonansi tahun 1859. Agar
semua mengetahui dan melaksanakan aturan tersebut. Maklumat tersebut bertujuan
mempertegas peraturan-peraturan sebelumnya. Namun secara politik, aturan atau
ordonansi yang dikeluarkan berupaya untuk menekan jumlah jamaah haji yang
49
berangkat ke Mekah. Akan tetapi kebijakan dan ordonansi tahun 1859 yang
diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda belum dilaksanakan secara optimal
(Majid, 2008: 95). Meskipun kebijakan dan ordonansi tahun 1859 belum berjalan secara
efektif sesuai dengan keinginan pemerintah Belanda. Namun di sisi lain, dengan adanya
kebijakan dan ordonansi tersebut memiliki pengaruh yang besar bagi pemerintah
Belanda. Setelah adanya ordonansi tahun 1859 pada akhirnya jumlah jamaah haji
mengalami penurunan. Sebagaimana yang tertera dalam tabel di bawah ini:
Tabel: 1
Jamaah Haji Hindia Belanda tahun 1853-1860
No Tahun Jumlah Jamaah Haji
1 1853 1.113
2 1854 1.448
3 1855 1.668
4 1856 3.057
5 1857 2.381
6 1858 3.862
7 1859 2.052
8 1860 1.417
Jumlah 16.998
Sumber: Kolonial Veslag tahun 1855 sampai 1898 dan J. Verdenbregt “The
Haddj. Some of its features and functions in Indonesia”, BK/118, 1962
hal. 141-145 (Rahim, 1998: 184-187)
Turun naik jumlah jamaah haji di atas ditentukan oleh berbagai faktor seperti
keamanaan di perjalanan di Tanah Suci serta kecocokan musim. Di samping itu
disebabkan berbagai perubahan-perubahan kebijakan pemerintah kolonial dari
pelaksanaan politik haji itu sendiri sehingga rakyat sulit untuk melaksanakan ibadah
haji. Pengaruh tersebut tampak sekali dari tabel yang dijelaskan di atas (Rahim, 1998:
183).
Tabel 1 di atas menunjukkan naik turun jamaah haji setelah ditetapkan peraturan
Beslit 3 Mei 1852 no. 9 ketika Duymaer Van Twist menjadi Gubernur Jenderal (1851-
1856). Dalam keputusan itu di mana terhadap jamaah haji dibebaskan biaya pas jalan
dan denda. Kemudian terbitnya peraturan baru tahun 1859 yang berisi tentang (1) pas
50
jalan tetap diwajibkan tapi gratis dalam pelaksanaannya (2) calon haji harus
membuktikan kepada Kepala Daerah bahwa ia mempunyai uang yang cukup untuk
perjalanannya pulang dan pergi dan untuk biaya keluarga yang ditinggalkan (3) setelah
kembali dari Mekah para jamaah haji diuji oleh Bupati/Kepala Daerah atau petugas
yang ditunjuk dan hanya yang lulus diperkenankan memakai gelar dan pakaian haji.
Dalam tabel di atas tampak perkembangan jamaah haji Hindia Belanda semenjak
tahun 1853-1860. Tahun 1853 merupakan tahun dilonggarkannya ketentuan wajib
membayar pas jalan dan denda bagi yang tidak membeli pas jalan. Kelonggaran ini
nampaknya mempunyai pengaruh terhadap peningkatan jumlah jamaah haji Hindia
Belanda yang berangkat ke Mekah. Data tahun 1853 sampai tahun 1856 adalah masa
berlakunya peraturan tahun 1852 menunjukkan grafik yang meningkat bagi jamaah haji
Hindia Belanda dari jumlah jamah 1113 orang tahun 1853 menjadi 3057 tahun 1856
(Rahim, 1998: 186).
Data tahun 1857 jumlah jamaah haji menurun menjadi 2381 dari jumlah 3057
tahun 1856, hal ini disebabkan pada tahun 1857 terjadinya istilah Indian Mutiny, yaitu
pemberontakan massal di India. Dengan adanya pemberontakan itu kekhawatiran
pemerintah Belanda terhadap jamaah haji menghangat kembali dan menjadi perdebatan
di Parlemen Belanda, akibat perdebatan itu telah melahirkan peraturan baru tentang haji
yaitu ordonansi tahun 1859. Selanjutnya penurunan jumlah jamaah haji itu terus
menurun mulai dari tahun 1859 sampai dengan tahun 1860. Namun penurun itu,
penyebabnya adalah peraturan tahun 1857 tersebut yang berisi 3 (tiga) item itu
dilaksanakan secara penuh mulai pada tahun 1859, dan peraturan tersebut dirasa oleh
jamaah haji Hindia Belanda sangat memberatkan, terutama dalam hal memperlihatkan
uang jaminan baik untuk biaya berangkat haji maupun biaya keluarga yang
ditinggalkan, begitu juga keharusan mengikuti ujian setelah pulang dari tanah suci
Mekah.
51
Namun jika dibandingkan dari tahun 1853, jumlah jamaah sebanyak 1113 dan
pada tahun 1860 jumlah jamaah haji Hindia Belanda berjumlah 1417, meskipun di
tengah perjalanannya dari tahun 1853 sampai tahun 1860 terdapat naik turun jumlah
jamaah, dapat disimpulkan bahwa pemerintah kolonial Belanda berhasil dalam
membendung dan membatasi arus jamaah haji yang berangkat ke Mekah, setelah dibuat
peraturan-peraturan 1859 tentang pelaksanaan jamaah haji.
Penurunan jumlah jamaah haji setelah ditetapkannya ordonansi tahun 1859
disebabkan ada dua faktor, yaitu ekonomi dan politik. Secara ekonomi, penurunan
jumlah jamaah haji ke tanah suci kemungkinan disebabkan oleh masyarakat pribumi
yang hidup di bawah kemiskinan. Masyarakat pribumi ketika itu penghasilan mereka
mengalami penurunan, baik mereka yang memiliki perdagangan maupun perkebunan.
Hasil perkebunan mereka dibeli oleh pemerintah Belanda dengan harga yang murah
ataupun perkebunan yang mereka tanam tidak berhasil sampai panen.
Secara politik, penurunan jumlah jamaah haji disebabkan dari politik sistem
cultuurstelsel yang dijalankan pemerintah Belanda. Sebagai pekerja cultuurstelsel,
rakyat tidak bisa bekerja dengan orang lain untuk mencari tambahan lebih atau juga
mereka tidak bisa bercocok tanam untuk diri mereka sendiri sehingga para calon haji
tidak mampu membayar dan mencicil biaya ibadah haji. Dengan itu, berkurangnya para
calon haji ke tanah suci.
Penurunan jumlah jamaah haji Hindia Belanda ke Mekah, di satu sisi
menguntungkan dan di sisi lain merugikan bagi pemerintah Belanda sendiri.
Keuntungan pemerintah Belanda dari penurunan jumlah para jamaah haji karena
berkurangnya semangat fanatisme rakyat terhadap kolonial, sehingga berkurangnya
jumlah rakyat untuk melakukan perlawanan dalam bentuk perang yang dipelopori oleh
para haji. Sedangkan kerugian pemerintah Belanda dari penurunan jumlah para haji
52
adalah berkurangnya income atau pemasukan bagi pemerintah Belanda maupun Hindia
Belanda.
Dengan data ini dapat penulis simpulkan bahwa setelah dibuat peraturan tahun
1859 tentang pelaksanaan ibadah haji, ternyata antusias masyarakat Hindia Belanda
untuk menunaikan haji mengalami penurunan. Terlihat jelas penurunan jamaah haji
tahun 1860 berjumlah 1417, di mana sebelumnya tahun 1859 berjumlah 2052 jamaah
haji. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Belanda berdampak positif. Karena dengan
adanya kebijakan tersebut pemerintah Belanda berhasil menekan jumlah jamaah haji.
Hal ini terlihat dari berkurangnya jumlah jamaah haji setelah adanya ordonansi tahun
1859 yang dilakukan oleh pemerintah Belanda.
53
BAB 6
SIMPULAN
Simpulan
Kebijakan Politik Hindia Belanda Terhadap Pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 1859 di
atas, dapat ditarik kesimpulan: Pertama, kondisi masyarakat Hindia Belanda pada
umumnya berada di kelas bawah. Setelah adanya penguasaan bangsa asing (Belanda)
atas Hindia Belanda menyebabkan Hindia Belanda berada di bawah kekuasaan
pemerintah Belanda. Penguasaan tersebut berdampak adanya pembagian kelas dalam
masyarakat Hindia Belanda, baik secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi,
penguasaan bangsa asing (Belanda) menyebabkan mayoritas penduduk pribumi hidup di
bawah kemiskinan sehingga untuk makan sehari-hari sangat sulit. Hasil sumber daya
alam yang melimpah di Hindia Belanda dikuasai penuh oleh pemerintah Belanda
sehingga terjadinya eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Selain itu, untuk
menambah perekonomian di belahan Eropa, pemerintah Belanda mewajibkan sistem
kerja paksa kepada penduduk pribumi kelas bawah. Secara politik, penguasaan Belanda
atas Hindia Belanda mengakibatkan hilangnya peranan para elit tradisional di dalam
pemerintahan Hindia Belanda. Karena pemerintah Belanda menggantikan posisi atau
jabatan para elit tradisional dengan pejabat dari Eropa. Hal ini mengakibatkan semakin
tersisihnya para elit tradisional di dalam pemerintahan. Bukan hanya para elit tradisional
yang merasakan imbas dari sistem pemerintahan Belanda, tetapi para haji yang ingin
melaksanakan ibadah haji ke tanah suci. Pemerintah Belanda mengawasi gerak para haji
dengan cara membuat kebijakan tentang pelaksanaan haji. Keikutsertaan pemerintah
Belanda dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat Hindia Belanda sehingga para
haji tidak bebas untuk menunaikan ibadah haji.
54
Kedua, ordonansi haji tahun 1859 lahir dari kegagalan berbagai kebijakan politik
haji kolonial Belanda dalam upaya mengurangi antusias masyarakat Hindia Belanda
yang akan melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Selain itu, ordonansi dibuat dengan
alasan adanya ketakutan dan kekhawatiran pemerintah Belanda terhadap para haji
setelah pulang dari Mekah. Pemerintah Belanda menganggap para haji yang pulang dari
Mekah menjadi tokoh agama yang sangat dihormati dan mereka membentuk gerakan
perlawanan terhadap pemerintah Belanda.
Ada dua faktor yang menyebabkan lahirnya Ordonasi haji tahun 1859. Pertama,
faktor interen meliputi ketakutan dan kehawatiran kolonial Belanda terhadap Islam atau
haji phobia/ Islam phobia danbesarnya jumlah jamaah haji yang berangkat ke Mekah
akan berdampak berkurangnya kas negara. Kedua, faktor eksternal meliputi,
penyalahgunaan gelar haji, meningkatnya jumlah jamaah haji dan perlawanan kelompok
Haji.
Ketiga, lahirnya ordonansi tahun 1859, memiliki dampak terhadap pelaksanaan
haji di Hindia Belanda. Dengan adanya kebijakan haji tahun 1859 tentang pelaksanaan
haji, pemerintah Belanda berhasil mengurangi jumlah para haji untuk ke tanah suci.
Penurunan jumlah para haji ke tanah suci menyebabkan berkurangnya fanatisme rakyat
terhadap para kolonial Belanda. Hal ini menyebabkan berkurangnya pergerakan
perlawanan yang dipelopori oleh para haji. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
kebijakan haji tahun 1859 membawa pengaruh positif bagi pemerintah Belanda.
Meskipun di sisi lain, dengan adanya penurunan jumlah para haji akan mengurangi
income atau pemasukan bagi pemerintah Belanda.
Saran-saran
Berdasarkan apa yang telah diungkapkan di atas mengenai “Kebijakan Politik Islam
Belanda terhadap Pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 1859”. Untuk itu penulis
memberikan saran-saran sebagai berikut:
55
a. Kebijakan pemerintah Belanda terhadap pelaksanaan haji tahun 1859
dilatarbelakangi oleh antusiasme masyarakat untuk melaksanakan ibadah haji.
Dengan adanya kebijakan dan ordonansi tersebut bertujuan untuk mengurangi
masyarakat untuk menunaikan ibadah haji. Karena para haji dianggap
pemerintah Belanda sebagai orang yang suci dan sering melakukan
pemberontakan. Dengan demikian, diharapkan masyarakat Hindia Belanda sadar
bahwa kebijakan dan ordonansi tersebut merugikan para calon haji.
b. Dampak kebijakan politik Islam Belanda terhadap pelaksanaan ibadah haji tahun
1859 terlihat dari adanya penurunan jumlah para calon haji ke tanah suci.
Penurunan tersebut secara ekonomi disebabkan adanya penurunan hasil
perkebunan dan perdagangan masyarakat menurun dan mengurangi income bagi
pemerintah Belanda. Sedangkan secara politik pemerintah Belanda berhasil
menurunkan jumlah para haji ke Mekah dengan sistem paksa yang dijalankan.
Dengan itu diharapkan penduduk Hindia Belanda sadar bagaimana kebijakan
yang dijalankan oleh pemerintah Belanda merugikan masyarakat.
Rekomendasi
Berdasarkan pada apa yang telah diungkapkan di atas mengenai “Kebijakan Politik
Islam Belanda Terhadap Pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 1859” , untuk itu penulis
memberikan rekomendasi hasil penelitian tersebut. Pertama, kepada pembaca dan
masyarakat yang mencintai sejarah sosial dan politik Islam agar terus membaca tentang
pergerakan haji yang terus berjuang membela tanah air ini dari para penjajah. Kedua,
kepada para peneliti agar terus mengkaji dan meneliti tentang kehidupan sosial-politik
Islam yang ada di Indonesia, karena negeri ini merupakan laboratorium besar dalam
penelitian sosial-politik keagamaan.
top related