kebijakan politikislam pemerintah hindia belanda ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/rumila...

55
1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH HAJI TAHUN 1859 M Tesis Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) dalam Program Studi Sejarah Peradaban Islam Konsentrasi Islam di Indonesia Oleh: RUMILA SARI NIM. 211 030 1156 PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) RADEN FATAH PALEMBANG 2014

Upload: others

Post on 16-Nov-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

1

KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA

TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH HAJI TAHUN 1859 M

Tesis

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat

guna memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum)

dalam Program Studi Sejarah Peradaban Islam

Konsentrasi Islam di Indonesia

Oleh:

RUMILA SARI

NIM. 211 030 1156

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) RADEN FATAH

PALEMBANG

2014

Page 2: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

2

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Haji merupakan rukun Islam kelima yang diwajibkan atas setiap Muslim yang merdeka,

baligh dan mempunyai kemampuan serta paling tidak satu kali dalam seumur hidup

untuk melaksanakannya (Damasqy, 2006: 168). Allah Swt memerintahkan supaya

hamba-Nya melaksanakan ibadah haji, sebagaimana firman-Nya yang berbunyi:

Artinya: Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) makam Ibrahim;

Barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan

haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang

sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari

(kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan

sesuatu) dari semesta alam (Q.S Ali Imran: 97).

Begitu juga sabda Nabi Muhammad Saw dalam hadisnya yang diriwayatkan

oleh imam Ahmad yang artinya sebagai berikut:

Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw telah bersabda: “Hendaklah kamu

segera mengerjakan haji, maka sesungguhnya seseorang tidak akan menyadari

sesuatu halangan yang akan merintanginya” (Muslim, 1995: 200).

Dengan demikian, haji adalah kewajiban bagi setiap orang yang beragama

Islam.Mengerjakan ibadah haji hanya diwajibkan satu kali saja dalam seumur hidup,

tetapi tidak ada larangan untuk mengerjakan lebih dari satu kali.

Ibadah haji merupakan ritual tahunan umat Islam seluruh dunia. Ibadah haji

terasa istimewa karena tidak semua kaum muslim wajib melaksanakannya. Dalam

Page 3: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

3

dokrin Islam, hanya orang-orang yang memiliki kemampuan wajib

menunaikannya.Secara normatif, kewajiban haji bersifat multidimensional yaitu adanya

kesiapan psikologis, kemampuan fisik dan materi.Keharusan yang bersifat

multidimensional ini dalam realitas sosialnya justru tidak menyurutkan semangat

masyarakat untuk melaksanakan ritual haji, bahkan lebih dari satu kali.Demikian

istimewanya posisi haji, hingga masyarakat menempatkannya sebagai ritual yang dalam

konteks sosiologis seolah-olah menempati urutan teratas.

Seorang yang telah menunaikan haji dianggap telah sempurna imannya sehingga

ia dihormati di tengah masyarakat, karena telah berhasil melaksanakan penuh rukun

Islam. Para haji pun menempati kelas menengah dalam stratifikasi masyarakat

Indonesia.Mereka menjadi agen perubahan, pengendali sosial dan sebagai oposisi

terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda (Hendry, 2013: 1).

Stratifikasi Sosial secara umum memiliki arti perbedaan masyarakat atas

lapisan-lapisan (kelas-kelas secara bertingkat). Kelas tersebut dapat terbentuk, karena

tergantung sedikit banyaknya jumlah sesuatu yang dihargai oleh masyarakat. Misalnya,

Jika masyarakat lebih menghargai materi, maka kelas yang paling tinggi adalah orang-

orang yang dapat mengumpulkan materi sebanyak mungkin. Sedangkan mereka yang

sedikit atau tidak memiliki materi, maka mereka berada pada kelas paling bawah (Ian,

1986: 132). Senada dengan Sorokin bahwa, stratifikasi sosial adalah perbedaan

penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat

(hierarki). Sedangkan menurut Cuber, ia mendefinisikan bahwa stratifikasi sosial

sebagai suatu pola yang ditempatkan di atas kategori dari hak-hak yang berbeda (Ayu,

2009:04). Kelas sosial dibagi menjadi tiga, yaitu kelas sosial atas,kelas sosial menengah

dankelas sosial bawah.Kelas sosial atas, biasanya mendapat penghormatan atau di

hormati oleh kelas sosial dibawahnya, karena beberapa keunggulan yang dimiliki kelas

sosial atas. Misalnya, kedudukan sosialnya maupun kekayaanya, setiap kelas sosial

Page 4: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

4

yang ada, biasanya memiliki kebiasaan dan perilaku dan gaya hidup yang tidak

sama.Para haji yang menduduki kelas menengah dalam tatanan masyarakat, ternyata

mempunyai pengaruh terhadap masyarakat pada umumnya. Para haji dianggap memiliki

kapasitas karena dihormati dan dapat dijadikan panutan. Sehingga melihat peluang

demikian, maka disebabkan oleh kelas masyarakat di bawah kelas para haji, maka

terbuka peluang bagi para haji dalam mengajak masyarakat untuk melawan pemerintah.

Menurut pandangan Van Bruinessen, ibadah haji selain bertujuan untuk

memperoleh legitimasi politik bagi orang-orang tertentu, juga sebagai jalan untuk

menambah ilmu di tanah suci. Berhaji secara umum untuk memenuhi kewajiban syariat

Islam bagi yang mampu, juga menjadikannya media kesempatan untuk mencari ilmu,

karena Mekah merupakan pusat keilmuan dunia Islam. Sepulang dari pencarian ilmu

ini, dapat berpengaruh terhadap proses pembaharuan agama di Indonesia (Martin,

1997:124).

Daendels dan Raffles, menganggap perjalanan ibadah haji ke Mekah sebagai

bahaya politik, berdasarkan pengetahuan mereka yang sangat terbatas tentang Islam.

Mereka menganggap orang-orang yang telah menjalankan ibadah haji sebagai pendeta.

Pada tahun 1810, Daendels mengeluarkan keputusan yang memerintahkan “pendeta

Islam itu” agar memperoleh paspor untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain

guna menghindari gangguan (Doues dan Kaptein, 1997: 6).

Pada tahun 1811, melalui surat edaran pemerintah Inggris memperingatkan

penduduk terhadap para “sayid” atau “pendeta-pendeta pribumi” dan menyebut mereka

sebagai “penghasut” (Doues dan Kaptein, 1997: 7). Sayid dan pendeta-pendeta yang

dimaksud di atas, adalah para haji. Pemerintah Inggis, sengaja memberikan pemahaman

demikian kepada masyarakat, agar masyarakat menjauhi para haji. Jelas pemahaman

demikian, di latar belakangi oleh para haji yang dianggap berbahaya terhadap

pemerintah Inggris.

Page 5: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

5

Pada masa penjajahan Belanda, penyelenggaraan ibadah haji dilakukan untuk

menarik hati rakyat, sehingga mengesankan bahwa Pemerintah Hindia Belanda tidak

menghalangi umat Islam melaksanakan ibadah haji. Meskipun dengan keterbatasan

fasilitas, dimana pengangkutan jamaah haji dilakukan dengan kapal Kongsi Tiga. yaitu

kapal dagang yang biasa digunakan untuk mengangkut barang dagangan. Demikian juga

tempat istirahat jamaah haji di kapal, sama halnya dengan apabila kapal tersebut

mengangkut ternak (Depag, 2013: 4).

Antusiasme sebagian umat Islam yang selalu “rindu haji”, dianggap sebagai

barometer ketakwaan dan eksistensi kemampuan finansialnya. Fenomena di masyarakat,

mengindikasikan bahwa setelah berhaji, orang yang sudah berhaji menilai dirinya suci

dan bebas dosa. Masyarakat Indonesia pra kemerdekaan, menganggap ibadah haji bukan

hanya sebagai syarat untuk memenuhi rukun Islam, melainkan juga sebagai media

motivasi bangsa Indonesia untuk melawan para penjajah pada waktu itu yaitu media

politik (Hendry, 2013: 2). Politik adalah suatu segi khusus dari kehidupan masyarakat,

menyangkut soal kekuasaan yaitu upaya memperoleh kekuasaan, usaha

mempertahankan kekuasaan, penggunaan kekuasaan, dan juga bagaimana menghambat

penggunaan kekuasaan. Politik juga mencakup aspek negara, kekuasaan (force) dan

kelakuan politik (Syarbaini, 2002: 13). Oleh sebab itu, haji digunakan sebagai salah satu

jalan media politik, Mekah adalah pertemuan semua umat Islam sedunia sehingga

terjalinlah komunikasi politik antar jamaah haji Indonesia dengan jamaah lainnya,

terutama umat Islam Mesir. Dari sini diharapkan, pelaksanaan ibadah haji memberikan

andil dalam melawan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.

Kebijakan pemerintah Belanda mengenai ibadah haji pada abad ke-19 awal telah

ditetapkan dengan resolusi-resolusi tahun 1825 dan 1835. Resolusi 1825 yang diarahkan

pada pembatasan ibadah haji sebanyak mungkin, ditetapkan pembayaran F. 110,- untuk

paspor ibadah haji yang wajib dimiliki, jumlah uang yang sangat besar pada zaman itu.

Page 6: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

6

Melalui “surat-surat rahasia” para Residen (golongan pejabat kolonial Belanda) di Jawa,

pemerintah memberitahukan agar meminimalisasi atas permohonan paspor haji. Para

bupati diharuskan secara efektif menggunakan pengaruhnya terhadap penduduk agar

membendung semangat berlebihan untuk haji (Doues dan Kaptein, 1997: 8). Resolusi

yang dibuat tahun 1825 dan 1835 ini, mulai terlihat bahwa pelaksanaan ibadah haji

dipersulit oleh pemerintah.

Padatahun 1859, pemerintah Hindia Belanda menetapkan kebijakan haji.

Pemerintah menyebutkan kebijakan yang ditetapkan, sebagai alat untuk

memperkenalkan langkah-langkah baru misalnya penyalahgunaan “gelar haji”, banyak

jamaah haji tidak pernah kembali dan pengadaan nafkah tidak memadai bagi keluarga

yang ditinggalkan. Pemerintah tidak pernah sungguh-sungguh meneliti, apakah sebab-

sebab yang digunakan untuk membenarkan ordonansi tahun 1859 itu memang tepat

(Doues dan Kaptein, 1997: 9).

Ciri-ciri paling mencolok dari ordonansi tersebut adalah:

1. Calon jamaah haji harus mempunyai surat keterangan dari seorang bupati,

bahwa ia mempunyai dana memadai untuk perjalanan pulang pergi. Di samping

itu, bahwa nafkah bagi keluarga yang ditinggalkan cukup terjamin.

2. Sekembalinya dari Mekah, para jamaah haji tersebut harus menjalankan ujian

atau ujian haji yang harus membuktikan bahwa dia benar-benar telah

mengunjungi Mekah.

3. Jika telah lulus ujian itu, dia dibenarkan untuk menyandang “gelar haji” dan

memakai busana haji khusus (Doues dan Kaptein, 1997: 9).

Dimaksud dengan ordonansi di atas adalah peraturan pemerintah Hindia Belanda

terhadap para jamaah haji. Dapat dipahami dari ordonansi yang dibuat oleh pemerintah

Hindia Belanda tersebut, tidak terlihat bahwa adanya kesan pelarangan yang disebabkan

akan terjadinya pan Islam. Ordonansi dibuat hanya sebatas himbauan untuk

menindaklanjuti hal buruk yang akan terjadi terhadap keluarga yang ditinggalkan oleh

orang-orang yang ingin melaksanakan ibadah haji, namun kenyataannya tidaklah

demikian.

Page 7: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

7

Menurut Nurchamid, kebijakan adalah keputusan atau peraturan yang dibuat oleh

yang berwenang untuk mengatasi masalah, sehingga diharapkan tujuan organisasi dapat

dicapai dengan baik. Ciri-ciri utama kebijakan adalah suatu peraturan atau ketentuan

yang dapat mengatasi masalah (Nurchamid, 2009: 29). Dalam hal ini orang yang

berwenang mengeluarkan kebijakan adalah pemerintah Hindia Belanda, karena ia yang

berkuasa. Sedangkan menurut Winarno, kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu (what ever governments choose to do or not

do). Kebijakan pemerintah Hindia Belanda tentang ibadah haji terhadap masyarakat

Indonesia, merupakan suatu pilihan yang harus dilakukan. Pemerintah menganggap jika

kebijakan itu tidak dibuat, maka akan berdampak buruk terhadap pemerintah.

Studi tentang permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan politik pemerintah

Hindia Belanda terhadap umat Islam di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari sisi

historisnya. Dalam hal ini, terdapat dualisme kepentingan antara pihak Belanda dan

masyarakat pribumi yang mayoritas beragama Islam. Di satu pihak, pemerintah kolonial

berusaha memperkuat dan mempertahankan dominasi dan hemegoninya. Sedangkan di

pihak lain, umat Islam Indonesia berjuang melepaskan diri dari penguasaan

kolonialisme tersebut.

Salah satu faktor mudahnya bangsa Eropa melakukan intervensi terhadap

kehidupan umat Islam disebabkan adanya persaingan politis dan ekonomis di antara

kerajaan-kerajaan Islam. Selain itu, adalah kejelian pihak kolonial dalam memanfaatkan

struktur sosial masyarakat lokal yang berbeda dalam pemahaman Islam. Dengan

menerapkan agitasi politik, institusi politik Islam pun akhirnya takluk di tangan pihak

kolonial. Tentu saja memberi pengaruh signifikan terhadap kondisi sosial umat Islam,

baik dalam bidang politik, ekonomi maupun agama dan budaya (Huda, 2007: 98).

Pemerintah kolonial Belanda juga menghadapi kenyataan, bahwa mayoritas

penduduk pribumi adalah beragama Islam. Dalam hal ini timbulnya perlawanan, seperti

Page 8: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

8

perang Paderi (1821-1827) dan perang Diponegoro (1825-1830, yang tidak bisa

dilepaskan kaitannya dengan ajaran Islam. Namun, karena tidak dimilikinya

pengetahuan yang tepat dan komprehensif mengenai Islam, pemerintah kolonial

Belanda tidak berani melakukan intervensi kepada Islam secara langsung (De Haan,

1912: 747). Dalam masalah ini, kebijakan pemerintah kolonial Belanda memperlihatkan

ambiguitas yang terkonstruksi oleh kombinasi kontradiktif antara “rasa takut” dan

“harapan yang berlebihan”. Pada satu sisi, pihak Belanda sangat khawatir terhadap

timbulnya pemberontakan di kalangan umat Islam yang fanatik, terutama orang-orang

Indonesia yang telah naik haji di Mekah. Sementara di sisi lain, pihak Belanda sangat

optimis atas keberhasilan misi Kristenisasi yang diharapkan dapat menyelesaikan secara

tuntas semua persoalan yang berkaitan dengan Islam (Jacques, 2003: 100).

Seiring dengan motivasi untuk memperkuat dominasi dan hegemoni di Hindia

Belanda, kajian Islam dan masyarakat pun dipelajari secara ilmiah di negara Belanda.

Hal ini terbukti dengan diselenggarakannya kajian Indologie yang dimaksudkan untuk

mengetahui secara lebih jauh dan mendalam tentang seluk beluk pribumi Indonesia

(Jacques, 2003: 100). Melalui kajian tersebut, secara teoritis diharapkan bisa dihasilkan

suatu rumusan kebijakan politik yang efektif dalam mengurus dan mengendalikan

pemerintahan di kalangan pribumi Indonesia.

Menghadapi permasalahan Islam di Indonesia tersebut, peneliti dari Belanda

yaitu Snouck Hurgronje menjelaskan konsep Islam politiknya dengan menyusun

kategorisasi terhadap ajaran Islam sebagai berikut: Pertama, bidang agama murni atau

ibadah. Kedua, bidang sosial kemasyarakatan, dan ketiga, bidang politik. Ketiga

kategori di atas, masing-masing menuntut alternatif yang berbeda (Suminto, 1985: 12).

Untuk alternatif pemecahan kategori pertama, pemerintah kolonial Belanda

harus memberikan kebebasan kepada umat Islam dalam melaksanakan ajaran

agamanya, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan mereka. Kemudian dalam bidang

Page 9: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

9

sosial kemasyarakatan, pemerintah perlu memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku

dengan cara menggerakkan rakyat agar mereka mendekati Belanda. Sementara dalam

bidang politik, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat

pada fanatisme dan Pan-Islamisme (Suminto, 1985: 12).

Salah satu implikasi signifikan Islam Politiek, yang diterapkan dalam

pemerintah kolonial Belanda terhadap Islam adalah tertutupnya kebebasan dan

kesempatan untuk berpolitik bagi umat Islam. Terlebih setelah kegagalan perang

Diponegoro (1825-1830), kegagalan perang ini berakibat bergesernya orientasi para

elite kerajaan Jawa, dari politik ke bidang sosial budaya (Burger, 1956: 20).

Sejalan dengan pandangan di atas, Snouck Hurgronje mempunyai anggapan

bahwa sebagian masyarakat muslim pribumi yang berhaji telah terdistorsi untuk

memperoleh kehormatan, yang ditunjukkan dari pemakaian sorban dan pakaian haji.

Sebagian yang lain memanfaatkan kesempatan menuntut ilmu di luar negeri dan bagi

kalangan muda menjadikan haji sebagai jendela dunia yang bisa melihat perkembangan

di luar. Sedangkan faktor lain dalam melaksanakan haji, yaitu dalam bahasa Snouck

menyatakan karena adanya “kekecewaan dalam urusan duniawi dan kejenuhan hidup

(Suminto, 1985: 3).”

Snouck juga memandang para haji sebagai potensi yang subversif, sehingga ia

membuat sebuah peraturan yang diberlakukan antara tahun 1825 dan 1852 yang

bertujuan untuk mencegah ibadah haji dengan menetapkan biaya paspor naik haji yang

cukup besar senilai 110 F. Pembatasan-pembatasan pada tahun 1859, yang

mengharuskan setiap calon jamaah haji untuk memperoleh sebuah sertifikat dari bupati

yang menunjukkan kemampuan finansialnya untuk membiayai kepulangan dan para

tanggungannya di rumah (Doues dan Kaptein, 2003: 6).

Para haji dan ulama adalah golongan orang-orang yang pertama-tama dicurigai

pada saat meletusnya gerakan-gerakan anti-Eropa. Jadi, ada sebuah relevansi dari

Page 10: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

10

ketegangan antara pemerintah dan para pemimpin keagamaan. Oleh sebab itu, setiap

ada kesempatan untuk mengeksploitasi perpecahan, Belanda dengan giatnya

menyokong para pemimpin sekuler adat untuk melawan pemimpin Muslim. Oleh

karena itu, lazim bagi para jamaah haji Hindia Belanda untuk membandingkan catatan-

catatan di Mekah, tentang ketidakadilan-ketidakadilan yang dilakukan terhadap umat

muslim oleh pemerintah Hindia Belanda (Doues dan Kaptein, 2003: 6).

Menurut Moore, ketidakadilan disebabkan ada tiga masalah dalam kelompok,

yaitu otoritas, pembagian kerja dan distribusi barang dan jasa (yaitu perwujudan

kesamaan). Ketidakwajaran dari tiga hal ini pertanda bahwa adanya ketidakadilan.

Secara hipotesis dapat diperkirakan, bahwa ketidakadilan dapat menyebabkan berbagai

reaksi yang terjadi, mulai dari sikap apatis rakyat sampai dengan melakukan perlawanan

(Abdullah, 2010: 325). Bentuk perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat, terutama

para haji dianggap mampu mengubah ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah

Hindia Belanda yaitu ketidakadilan untuk mendeka dalam berbagai aspek kehidupan.

Berbagai keluhan ini menyatu, memberikan image jelek kepada pemerintah

Hindia Belanda. Dalam harian pers muslim Timur Tengah, Hurgronje diperingatkan

bahwa pemerintah Hindia Belanda sering kali dicemooh sebagai musuh umat muslim.

Sementara dalam buku-buku geografi yang digunakan di sekolah-sekolah Turki dan

Arab, pemerintah Hindia Belanda disebut sebagai sebuah kekuasaan yang tidak

mengenal prinsip-prinsip toleransi, sehingga di bawah kekuasaan tersebut berjuta-juta

umat muslim menderita (Dick, 2003: 6). Penderitaan yang dirasakan oleh masyarakat,

yaitu menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan.

Ancaman yang diyakini Belanda akan menimbulkan Pan-Islam terhadap

pemerintahannya, terutama dipengaruhi oleh para haji yang kembali dari Mekah,

ternyata benar-benar terjadi (Doues dan Kaptein, 2003: 7). Hal tersebut terbukti dengan

terjadinya pemberontakan Bantam pada tahun 1850, yang didukung oleh para pemimpin

Page 11: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

11

keagamaan distrik Cilegon, hingga akhirnya pemberontakan tersebut ditumpas oleh

pasukan Belanda. Sejumlah ulama melarikan diri dari Cilegon dan sebagian dari mereka

memimpin pemberontakan di Lampung. Pemberontakan hanya dapat dihentikan ketika

pemimpinnya Haji Wachia tertangkap melalui penyerahan kekuasaan dari Belanda

pada tahun 1856. Di Palembang pun masyarakat melakukan pemberontakan terbuka

antara tahun 1848 sampai dengan tahun 1859. Bentuk perlawanan bersifat keagamaan,

karena perkembangannya yang semakin kuat, yaitu desas desus yang disebarkan oleh

para jamaah haji yang baru pulang dari Mekah (Klerck, 1938: 279-284). Perlawanan di

Palembang tersebut pun, mendapat bantuan dari Jambi yang dipimpin oleh sultan Taha

Safi’uddin, ia menolak untuk menyatakan kesetiaannya kepada Belanda dan juga

menolak usaha-usaha Belanda untuk merundingkan sebuah perjanjian dengannya

(Doues dan Kaptein, 2003: 11).

Pada bulan Nopember tahun 1858, sebuah ekspedisi Belanda menduduki ibu

kota kesultanan Taha Jambi, pertempuran hampir tidak pernah berakhir. Pemberontakan

juga terjadi di Banjarmasin, para pemimpin Banjarmasin memulai pemberontakan

dengan menentang sultan yang didukung Belanda (1859-1863). Di sini pun para

pemimpin semakin menggantungkan diri pada kaum ulama untuk menumbuhkan

dukungan rakyat (Doues dan Kaptein, 2003: 11). Dalam periode tahun 1850-an,

serangkaian gerakan anti Belanda tampak memiliki hubungan.

Mengamati pengaruh besar yang diberikan oleh jamaah haji yang kembali dari

Mekah terhadap fanatisme keagamaan masyarakat, sehingga menimbulkan gejolak di

hati masyarakat untuk melakukan perlawanan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jelas,

jamaah haji yang kembali dari Mekah menjadi motivator dan juga panutan terhadap

masyarakat, khususnya masyarakat yang beragama Islam untuk melakukan berbagai

pergerakan yang terjadi di mana-mana.

Page 12: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

12

Pareto (1848-1928), percaya bahwa setiap masyarakat yang dikendalikan oleh

sekelompok lain dan kelompok tersebut mempunyai kualitas yang diperlukan, maka

mereka bisa menjangkau pusat kekuasaan yang diinginkan (Varma, 1987: 202). Dalam

hal ini para haji mempunyai kapasitas dalam menumbuhkan semangat masyarakat untuk

melawan Hindia Belanda. Karena mereka dihormati dan jadi panutan di tengah

masyarakat.

Menurut teori struktural fungsional Dahrendorf, bahwa masyarakat pada

dasarnya merupakan jaringan dari bagian-bagian yang saling terkait, setiap bagian

menyumbang pada pemeliharaan sistem secara keseluruhan. Masyarakat pada dasarnya

akan selalu bergerak ke arah interaksi yang mempersatukan (integrative). Integrasi

merupakan bentuk dasar interaksi masyarakat (Ian, 1986: 199).

Dalam hubungannya dengan dominasi pemerintah Hindia Belanda terhadap

bangsa Indonesia pada umumnya, maka terjalinnya persatuan masyarakat yang dimotori

oleh para haji. Sehingga, munculnya interaksi kekuatan untuk bersatu melawan

pemerintah Hindia Belanda.

Mengamati perkembangan penulisan sejarah, hingga saat ini penulisan sejarah

khususnya mengenai ibadah haji dalam politik Indonesia amat minim. Walaupun ada,

penelitian hanya dilakukan oleh orang-orang asing, seperti Snouck Hurgronje.

Penelitian-penelitian yang telah ada, banyak membahas fenomena ibadah haji di masa

sekarang saja dan tidak mendiskripsikan bagaimana peranan dari orang-orang yang

melaksanakan ibadah haji terhadap kemerdekaan bangsa. Kenyataannya, orang-orang

yang melaksanakan ibadah haji, ketika mereka kembali ke tanah air mereka mempunyai

andil dalam pergerakan perlawanan melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Dari berbagai latar belakang dan alasan di atas, menumbuhkan keinginan penulis

untuk memilih subjek penelitian dan penulisan dengan judul “Kebijakan Politik Islam

Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 1859 M.”

Page 13: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

13

Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, maka yang menjadi pokok penelitian adalah Bagaimana

Kebijakan Politik Islam Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Pelaksanaan Ibadah Haji

Tahun 1859 M?. Untuk mempermudah permasalahan pokok tersebut dirumuskan sub-

sub masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi masyarakat Hindia Belanda sebelum lahirnya kebijakan

politik Islam terhadap pelaksanaan ibadah Haji tahun 1859 M?

2. Bagaimana latar belakang lahirnya kebijakan politik Islam terhadap

pelaksanaan ibadah haji tahun 1859 M?

3. Bagaimanadampak kebijakan politik Islam Hindia Belanda terhadap

pelaksanaan ibadah Haji tahun 1859 M?

Peristiwa yang akan diteliti ini berlokasi di Indonesia pada umumnya dan terjadi

pada tahun 1859 M hal ini dibatasi karena tahun ini pemerintah Hindia-Belanda

membuat kebijakan ordonasi mengenai jamaah haji. Pembatasan jelas diperlukan karena

suatu penelitian akan bermanfaat jika dilakukan secara terbatas, tidak mengalami

perluasan dalam penulisan.

Tujuan Penelitian

Bertolak dari rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui kondisi masyarakat Hindia-Belanda sebelum lahirnya kebijakan

politik Islam terhadap pelaksanaan ibadah Haji tahun 1859 M.

2. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya kebijakan politik Islam terhadap

pelaksanaan Ibadah haji tahun 1859 M.

3. Untuk mengetahui dampak kebijakan politik Islam Belanda terhadap pelaksanaan

ibadah Haji tahun 1859 M.

Page 14: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

14

Kegunaan Penelitian

Lazimnya penggunaan penelitian untuk dua kepentingan, yaitu untuk pengembangan

ilmu dan problem solving maka kegunaan yang dimaksud terdiri dari:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memberikan

kontribusi berupa tambahan wawasan terhadap masyarakat tentang sejarah Indonesia,

khususnya sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan pemerintahHindia

Belanda, salah satunya dimotori oleh para jamaah haji yang kembali dari Mekah.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan:

a. Memberikan penjelasan mengenai kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda

tentang ibadah haji.

b. Memberikan uraian mengenai situasi dan kondisi Hindia Belanda.

c. Dapat dijadikan bahan rujukan oleh peneliti selanjutnya, baik itu mahasiswa

pascasarjana IAIN Raden Fatah maupun masyarakat pada umumnya.

Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang tentang ibadah haji telah ada sebelumnya, namun penelitian yang

meneliti tentang “Kebijakan Politik Islam Pemerintah Hindia Belanda Terhadap

Pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 1859” belum ada.Buku yang berjudul ”Politik Islam

Hindia Belanda” yang disusun olehAqib Suminto (1996), menjelaskan tentang

bagaimana politik pemerintah kolonial Belanda untuk menghadapi politik Islam

masyarakat Indonesia. Dari peperangan hingga datangnya Snouck Hurgronje ke

Indonesia, yang awalnya tidak ingin mencampuradukkan politik dengan agama, namun

pada akhirnya pemerintah kolonial Belanda merasa terusik dengan kegiatan keagamaan

masyarakat khususnya kegiatan ibadah haji yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Buku yang berjudul ”Indonesia dan Haji” yang disusun oleh Dick Douwes dan

Nico Kaptein yang diterjemahkan oleh Soearso Soekarno (1997), menjelaskan tentang

Page 15: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

15

kumpulan tulisan ilmiah orang-orang Belanda terhadap ibadah haji yang dilakukan oleh

masyarakat Indonesia dari berbagai aspek. Misalnya,ibadah haji dan fungsinya di

Indonesia” dan juga ”mempertaruhkan jiwa dan harta jemaah haji dari Hindia Belanda

pada abad ke-19.”

Disertasi “The Muhammadiyah Movement and Its Controversy with Christian

Mission in Indonesia” yang disusun oleh Alwi Shihab (1995), mengkaji tentang

permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah Belanda terhadap Islam

yang direkomendasikan oleh Snouck Hurgronje yang mendeskripsikan tentang struktur

pemerintah kolonial Belanda, kebijakan keamanan, ketertiban, kebijakan pembimbingan

dan kebijakan Belanda terhadap Islam. Kebijakan yang disarankan oleh Snouck yang

didasarkan pada tiga kategori, yaitu masalah ritual keagamaan, masalah lembaga-

lembaga sosial Islam dan masalah politik.

Jurnal yang berjudul “Kebijakan Politik Islam Hindia Belanda” yang disusun

oleh Syefriyeni (2003), mengkaji tentang kebijakan politik Islam pemerintah Hindia-

Belanda, terutama kebijakan yang dibuat oleh Snouck Hurgronje. Berdasarkan

pengamatan Snouck, maka ditetapkan kebijakan terhadap penduduk pribumi yang

diistilahkan dengan Islam politik. Kebijakan yang dianggap dapat meredam masyarakat

pribumi, yang berlatar belakang agama Islam agar tetap dalam kondisi terjajah.

Dari telaah atas tulisan terdahulu yang relevan, belum ada yang membahas

secara detail mengenai ”Kebijakan Politik Pemerintah Hindia Belanda Terhadap

Pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 1859 M.” Terutama bagaimana ibadah haji yang

menjadi motivasi media penggerak masyarakat Islam Indonesia, juga memberikan

pengaruh untuk melawan pemerintah kolonial Belanda.

Page 16: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

16

Kerangka Teori

Pemerintah Belanda berhasil menguasai Hindia Belanda setelah menaklukkan Inggris

melalui Traktat London. Penguasaan pemerintah Belanda terhadap Hindia Belanda

menyebabkan terjadi stratifikasi sosial (pelapisan masyarakat) ke dalam sistem

pemerintahan, baik secara politik maupun ekonomi. Adanya stratifikasi sosial dalam

kehidupan masyarakat Hindia Belanda, menyebabkan adanya pembagian kelas. Kondisi

seperti ini melahirkan lembaga-lembaga baru dalam pemerintahan di Hindia Belanda.

Adanya stratifikasi sosial dalam kehidupan masyarakat Hindia Belanda sehingga

melahirkan pembagian masyarakat ke dalam lapisan-lapisan atau kelas-kelas. Menurut

Soekanto, stratifikasi sosial merupakan suatu pembedaan penduduk atau masyarakat ke

dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas

tinggi, kelas-kelas menengah dan kelas bawah (Soekanto 1982: 198). Dalam kasus ini,

masyarakat Hindia Belanda berada dalam kelas bawah dan pemerintah Belanda berada

dalam kelas atas. Hal ini menyebabkan hilangnya peranan para elit Hindia Belanda

dalam pemerintahan.

Menurut teori elit yang dikembangkan oleh Pareto dengan konsep sirkulasi elit.

Dalam setiap masyarakat ada gerakan yang tidak dapat ditahan dari individu-individu

dan elit-elit kelas atas hingga bawah dan dari tingkat bawah ke tingkat atas yang

melahirkan suatu peningkatan yang luar biasa pada unsur yang melorotkan kelas-kelas

yang memegang kekuasaan dan pihak lain justru meningkatkan unsur superior pada

kelompok lain. Hal ini, tersisihnya kelompok-kelompok elit yang ada dalam masyarakat

dan akibatnya keseimbangan masyarakat pun menjadi terganggu (Varma 2007: 201).

Pemerintah menjadi kelompok yang unggul, sehingga masyarakat Indonesia merasa

tersisihkan dan terjadinya kesenjangan social di tengah masyarakat.

Teori elit politik juga dikembangkan oleh Gaetano Mosca (1858-1941). Ia

menggunakan teori pergantian elit. Karektristik yang membedakan elit adalah

Page 17: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

17

kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik, sekali kelas yang

memerintah tersebut kehilangan kecakapannya dan orang-orang di luar kelas tersebut

menunjukkan kecakapan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa

kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa yang baru. Hal

ini menyebabkan terjadinya perubahan yang tidak dapat dihindari. Seperti, penguasaan

minoritas atas mayoritas dilakukan dengan cara terorganisasi, yang menempatkan

mayoritas tetap berdiri saja di belakang, apalagi kelompok minoritas biasanya terdiri

dari individu-individu yang superior (Varma 2007: 203-204).

Adanya elit baru turut melahirkan pertentangan antar elit. Pertentangan tersebut

didasarkan atas khotomi pembagian wewenang dalam perserikatan yang dikoordinasi

secara memaksa dapat disebut sebagai asumsi dasar. Asumsi ini ditambahkan sebuah

proposisi bahwa posisi yang dilengkapi dengan wewenang yang berbeda dalam

perserikatan yang menyebabkan terjadinya pertentangan orang yang memegangnya.

Antara pemegang posisi dominan dan pemegang posisi yang ditundukkan mempunyai

kepentingan tertentu yang berlawanan subtansi dan pelaksanaannya (Dahrendorf 1986:

21). Tujuan mereka untuk mengambil keuntungan dari posisi yang diduduki masing-

masing.Pemerintah Hindia Belanda mempunyai wewenang penuh terhadap wilayah

jajahannya, hal ini yang menyebabkan masyarakat Indonesia merasa tertindas, karena

pemerintah bisa melakukan apa saja yang ia kehendaki. Dalam hal ini termasuk dengan

diberlakukannya penekanan yaitu melalui kebijakan-kebijakan pelaksanaan ibadah haji.

Dalam konteks ini, teori struktur fungsional menganggap masyarakat sebagai

suatu organisme besar yang tersusun dari bagian-bagian yang masing-masing memiliki

kedudukan, peranan serta fungsi masing-masing. Antara fungsi dan peranan yang satu

saling berhubungan satu sama lain, saling pengaruh-mempengaruhi, saling melengkapi

dan saling mengisi, dan secara keseluruhan bersama-sama menentukan kehidupan atau

eksistensi dari masyarakat tersebut sebagai sistem sosial. Durkheim melihat bahwa

Page 18: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

18

bagian yang saling berhubungan tersebut tersusun dalam bentuk struktur, di mana

masing-masing memerankan fungsinya sendiri, juga memberikan support pada fungsi

dari bagian yang lain, sehingga tampak secara keseluruhan di dalam sistem hidup

(Tambaruka 1999: 96).

Menurut Durkheim, integrasi diartikan sebagai keadaan keseimbangan. Sebab

kajian sesungguhnya dari sosiologi, yaitu fakta sosial tertentu secara umum yang

mencangkup keseluruhan masyarakat dan berdiri serta terpisah dari manivestasi

individu (Kahmad 2006: 58). Fakta sosial hanya dapat dilihat melalui konformitas

individu-individu kepadanya. Karena fakta sosial menjelaskan tiga macam karakteristik.

Pertama, gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu. Kedua, fakta itu memaksa

individu. Menurutnya, individu dipaksa, dibimbing, didorong atau dengan cara tertentu

dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya.Ketiga, fakta itu

bersifat umum dan tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat. Jadi dapat dikatakan

bahwa fakta sosial itu milik bersama bukan sifat individu. Meskipun fakta sosial tidak

dapat dilihat secara individu, namun struktur aturan-aturan kebudayaan ini nyata bagi

individu yang perilakunya ditentukan oleh fakta sosial. Sebab fakta sosial memiliki

eksistensi yang independen dalam masyarakat (Jones 2010: 45).

Parson juga mengembangkan teori struktur fungsional dengan model ekuilibrium.

Menurut Parson, sistem sosial yang berlaku bagi masyarakat ada empat macam, yaitu

penyesuaian, pencapaian hasil, persatuan atau keutuhan dan pemeliharaan. Fase-fase

tersebut memberikan sumbangan dan fungsinya secara keseluruhan untuk

mempertahankan eksistensi mereka. Jika stabilitas terganggu, akan tetapi dibiarkan

maka akan menimbulkan ketidakstabilan dalam kehidupan masyarakat (Tambaruka

1999: 98).

Parson memberikan asumsi-asumsi mengenai ketertiban dan keserasian, maka

gejala yang tertib dan tidak serasi dengan mudah digolongkan ke dalam kategori

Page 19: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

19

abnormal atau patologis. Asumsi inilah kemudian mendapat kritikan tajam dari

Lockwood, mekanisme-mekanisme yang menyebabkan terjadinya konflik tidak dapat

dicegah. Contoh dalam kasus pertentangan antara elit tradisional, para haji dengan

kolonial Belanda.

Teori konflik merupakan anti tesis dari teori struktur fungsional. Menurut

Lockwood, konflik merupakan perselisihan atau permusuhan antara individu dan

kelompok dalam masyarakat karena interes terhadap kepentingan tertentu, jika ada

tertib sosial maka konflik adalah kenyataan yang melekat pada masyarakat (Tambaruka

1999: 102). Pandangan konflik, didasarkan atas tanggapan bahwa masyarakat senantiasa

selalu dalam keadaan berubah.

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu karena terciptanya

perubahan sosial. Perubahan sosial disebabkan adanya konflik-konflik kepentingan.

Menurut Marx, teori konflik memandang bahwa sistem sosial dibagi menjadi dua

macam, yaitu kelompok penindas dan kelompok yang ditindas. Hubungan kedua

kelompok tersebut bersifat eksploitatif. Kelompok berkuasa selalu memberlakukan

nilai-nilai dan pandangan atas kelompok yang dikuasai. Hal ini dilakukan oleh

kelompok berkuasa agar tidak mengganggu stabilitas sistem yang dijalankan. Namun,

kelompok yang ditindas tidak begitu saja menerima kekerasan dari kelompok yang

berkuasa. Kemudian kelompok yang ditindas menghimpun diri untuk bersama-sama

mengubah sistem sosial yang ada (Tambaruka 1999: 101). Semua ini dilakukan demi

terciptanya perubahan dalam masyarakat. Perubahan tersebut, dapat tercapai jika adanya

seorang pemimpin yang membela rakyat.

Menurut Weber, munculnya seorang pemimpin dalam suatu masyarakat yang

membangun karena ia memiliki sifat karismatis, yaitu sifat yang timbul karena

kesaktian atau kekuatan yang dianggap luar biasa yang melekat atau seseorang yang

menurun sebagai warisan dari leluhurunya. Karisma ditentukan dari pengakuan para

Page 20: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

20

pengikutnya. Karisma yang dimiliki tersebut sehingga para pengikutnya senantiasa

menaati dan tunduk terhadap pemimpin tersebut (Abdullah 1997: 40).

Weber mengklasifikasi kepemimpinan menjadi tiga jenis otoritas. Pertama,

otoritas karismatik, yaitu berdasarkan jabatan dan kewibaan pribadi.Otoritas karismatis

dapat bertahan selama dapat dibuktikan keampuhannya dalam masyarakat. Kedua,

otoritas tradisional, yaitu dimiliki berdasarkan pewarisan. Ketiga, otoritas legal-rasional

yang dimiliki berdasarkan jabatan dan kemampuannya (Abdurrahman 2007: 30).

Kemampuan seseorang dalam memimpin terlihat ketika terjadi krisis dalam suatu

daerah yang sedang dipimpin. Untuk mengatasi krisis yang terjadi maka dibutuhkan

sebuah pergerakan. Karisma yang dimiliki oleh para haji sangat berpengaruh di tengah

masyarakat. Para haji dianggap orang yang mempunyai ilmu agama yang tinggi,

sehingga mereka dihormati dan dengan demikian sangat mudah bagi para haji untuk

memberikan pengaruh kepada masyarakat. Kedudukan para haji yang dianggap berilmu,

mempunyai ketaatan dan pengetahuan agama yang mendalam, sehingga karisma yang

ada dalam diri para haji semakin memberikan pengaruh besar terhadap masyarakat,

yaitu peluang untuk menggerakkan masyarakat untuk melawan penjajah.

Menurut Situmorang, pergerakan merupakan tindakan atau agitasi terencana yang

dilakukan sekelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada

suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan

lembaga masyarakat yang ada.Dalam sosiologi, gerakan tersebut di atas diklarifikasikan

sebagai suatu bentuk perilaku kolektif tertentu yang diberi nama gerakan sosial. Sebagai

sebuah aksi kolektif, umur gerakan tentu sama tuanya dengan perkembangan peradaban

manusia (Situmorang, 2007: 1).

Gerakan lahir dari situasi dalam masyarakat karena adanya ketidakadilan dan

sikap sewenang-wenang terhadap masyarakat. Dengan kata lain, gerakan sosial lahir

dari reaksi terhadap sesuatu yang tidak diinginkan rakyat atau menginginkan perubahan

Page 21: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

21

kebijakan karena dinilai tidak adil. Gerakan sosial merupakan gerakan yang lahir dari

prakarsa masyarakat dalam menuntut perubahan dalam institusi,kebijakan atau struktur

pemerintahan. Disini terlihat tuntutan perubahan itu lahir karena melihat kebijakan yang

ada tidak sesuai dengan konteks masyarakat yang ada maupun bertentangan dengan

kepentingan masyarakat secara umum(Lofland, 2003 : 50).

Gerakan itu dilahirkan oleh kondisi yang memberikan kesempatan bagi gerakan

itu. Jadi ada sekelompok besar rakyat yang terlibat secara sadar untuk menuntaskan

sebuah proses perubahan sosial. Selanjutnya gerakan sosial ini gelombang pergerakan

dari individu-individu, kelompok yang mempunyai tujuan yang sama yaitu suatu

perubahan sosial. Indikasi awal untuk menangkap gejala sosial tersebut adalah dengan

mengenali terjadinya perubahan-perubahan pada semua elemen (Lofland, 2003 : 50).

Dari beberapa teori di atas, maka dapat dikatakan bahwa pemerintah Belanda

mengambil alih otoritas elit di tengah masyarakat Indonesia. Para elit terdahulu baik elit

tradisional maupun elit legal rasional merasa tersisikan, sehingga masyarakat merasa

dibuat lemah dan merasa tertindas. Para haji dianggap mempunyai karisma yang kuat,

sehingga bisa mempengaruhi masyarakat untuk membuat sebuah gerakan terhadap

pemerintah. Para haji menggunakan fungsi stratifikasi mereka dalam masyarakat dengan

baik, terbukti munculnya pergerakan yang berujung kepada pemberontakan.

Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian sendiri adalah suatu metode studi melalui penyelidikan yang hati-hatidan

sempurna terhadap suatu masalahsehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap

masalah tersebut (Hilway, 1956: 22). Senada dengan Nazir, menurutnya penelitian

adalah Percobaan yang hati-hati dan kritis untuk menemukan sesuatu yang baru (Nazir,

1988: 10).

Page 22: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

22

Menurut Arikunto, penelitian dapat digolongkan atau dibagi ke dalam beberapa

jenis berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, di antaranya adalah penelitian berdasarkan:

Pendekatan, tujuan, tempat, bidang ilmu yang diteliti, dan teknik yang digunakan

(Arikunto: 1988: 125). Berdasarkan jenis penelitian tersebut, maka penelitian ini

diidentifikasi berdasarkan ragam tersebut:

Pertama, dilihat dari jenis pendekatan yang digunakan oleh penulis yaitu dengan

cara heuristik (Muhajir, 1994: 12). Heuristik merupakan keterampilan menemukan,

menangani dan memperinci bibliografi atau mengklasifikasikan dan merawat catatan-

catatan (Abdurrahman, 2012:104).

Kedua,penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang

ada dan memaparkan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi. Ketiga,penelitian ini

menggunakan penelitian kepustakaan (Library Reseach,) yaitu penelitian yang

dilaksanakan dengan cara mencari teori-teori, konsep, generalisasi-generalisasi yang

dapat dijadikan sebagai landasan teoritis untuk penelitian yang akan dilakukan dan

dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan) dari penelitian sebelumnya.

Keempat,bidang studi yang diteliti oleh penulis adalah bidang studi penelitian sosial

yaitu penelitian sejarah (historicalreseach) bertujuan untuk merekonstruksi masa

lampau secara sistematis dan objektif dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, serta

menganalisis bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan kesimpulan yang kuat

(Suryabrata.1997:16).

2. Jenis dan Sumber Data

a. Jenis data

Jenisdata yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dengan

model penelitian kepustakaan (library research), data kualitatif adalah suatu prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari orang-orang

dan perilaku yang dapat diamati. Sedangkan menurut Kirk dan Miller, kualitatif adalah

Page 23: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

23

tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergabung pada

pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-

orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya (Moleong, 1991: 2-3).

Penelitian kualitatif memiliki sejumlah ciri yaitu latar alamiah, manusia sebagai alat

(instrument), metode kualitatif, analisa data secara induktif, teori dari dasar, deskriptif,

lebih mementingkan proses daripada hasil, adanya batas yang ditentukan oleh fokus,

adanya kriteria khusus untuk keabsahan data, desain yang bersifat sementara, hasil

penelitian dirundingkan dan disepakati bersama (Moleong, 1991: 4-8).

b. Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sekunder. Sumber

data primer, yaitu data yang didapat secara langsung, yang mungkin dapat dilihat dari

naskah-naskah kuno, buku-buku, tesis-tesis, disertasi dan artikel-artikel yang membahas

secara khusus tentang masalah yang diteliti, antara lain Buku Historiografi Haji

Indonesia karya Shaleh Putuhena (2007), buku Lintasan Sejarah Perjalanan Haji di

Indonesia karya Harahap (1989), buku Indonesia dan Haji karya Dick Douwes dan Niko

Kaptein (1997), buku Berhaji di Masa Kolonial karya M. Dien Majid (2008), buku

Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VIII (1993) dan buku Politik Hindia Belanda

karya Aqib Suminto (1985).

Sumber data sekunder, yaitu data yang didapat tidak secara langsung, seperti:

hasil penelitian sebelumnya yang tertuang dalam tulisan, jurnal-jurnal media massa dan

media elektronik (seperti data yang diperoleh melalui Internet). Sumber skunder yakni

tulisan yang berupa sintesis dari beberapa penelitian. Memang benar, secara subjek

buku sekunder bukanlah buku khusus yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Namun terkadang informasi yang diberikannya, mempunyai andil sendiri dan

bermanfaat bagi penulis. Apalagi buku skunder tersebut memberikan informasi yang

berbeda dari buku primer yang ada.

Page 24: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

24

Untuk pengumpulan sumber-sumber tersebut digunakan metode sejarah yaitu

Heuristik dan verifikasi:

1)Heuristik

Heuristik adalah langkah berburu dan mengumpulkan berbagai sumber yang

terkait dengan data yang diteliti(Suryabrata.1997:65). Oleh karena itu, heuristik tidak

memiliki peraturan-peraturan umum. Heuristik merupakan keterampilan dalam

menemukan, menangani dan memperinci bilbiografi, atau mengklasifikasi dan merawat

catatan-catatan (Abdurahman, 2012:104).

Berdasarkan jenis penelitiannya, labaratorium penelitian ini adalah

perpustakaan, maka alat heuristik yang digunakan adalah katalog-katalog. Kegiatan

katalog dilakukan dengan membaca bilbiografis yang terkait dengan Kebijakan politik

Islam Belanda terhadap pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 1859 M. Akan tetapi, sumber

tetulis itu tidak selamanya terkoleksi secara rapi. Ternyata sumber-sumber itu terdapat

pada koleksi swasta atau perorangan, maka yang terpenting ialah dapat diketahui

tempat-tempat atau dimana koleksi dokumen-dokumen itu tersedia (Abdurahman,

2012:104-105).

2) Verifikasi

Adapun langkah verifikasi (kritik) yang dilakukan oleh peneliti dalam rangka

mengkritik sumber data diakukan dengan kritik eksteral dan internal. Pertama, kritik

eksternal, penulis akan menanyakan apakah sumber data tersebut otentik, akurat dan

relevan. Kedua, kritik internal, penulis akan menguji motif, keberat sebelahan, dan

keterbatasan penulis data yang mungkin melebih-lebihkan atau mengabaikan sesuatu

dan memberikan informasi yang terpalsu. Kesemua langkah tersebut diambil penulis

agar penelitian ini menjadi tertib, ketat dan kritis.

Page 25: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

25

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data, maka penulis menggunakan teknik studi dokumen,

dengan kegiatan membaca, mencatat dan mengkategori data menurut sub-sub masalah.

Tujuan pengkategorian ini, agar tidak terjadi kekeliruan dan dapat memudahkan peneliti

dalam penyusunan hasil penelitian (Pulungan: 2013).Menurut Bungin, metode dokumen

adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi

penelitian sosial untuk menelusuri data historis (Bungin, 2007: 121).

4. Tehnik Analisis Data

a.Tehnik Deskriptif Analisis

Analisis data adalah proses penghimpunan atau pengumpulan, pemodelan

transformasi data dengan tujuan untuk menyoroti dan memperoleh informasi yang

bermanfaat, memberikan saran, kesimpulan dan mendukung pembuatan keputusan

(Usman, 2004: 74). Dalam hal ini, penulis menggunakan analisis data kualitatif yakni

teknik mengkritisasi data informasi tertulis dari para ahli menyangkut permasalahan

yang saat ini sedang diteliti (Bungin, 2007: 39).

b. Interpretasi

Setelah data dikritik maka data tersebut dirangkai agar mempunyai bentuk dan

struktur. Pada langkah ini penulis menguraikan dan mengembangkan data yang telah

diperoleh. Kemudian memberi penafsiran untuk merekonstruksi sejarah sehingga dapat

dimengerti (Maskur, 2006:17).

Data yang telah diperoleh dari Perpustakaan IAIN Raden Fatah, Perpustakaan

Daerah Sumatera Selatan, Perpustakaan Pascasarjana IAIN, Perpustakaan Fakultas

Adab dan sumber-sumber lainnya. Peneliti akan melakukan perbandingan dengan data

tersebut dan melakukan rangkaian secara abstrak untuk membentuk struktur penulisan

yang baik.

Page 26: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

26

a. Pendekatan Penelitian

Untuk memahami data yang lebih mendalam maka penelitian ini diperlukan

menggunakan pendekatan yaitu pendekatan sosiologi, politik dan keagamaan.

1) Pendekatan Sosiologis

Digunakannya pendekatan ini menurut Weber adalah bertujuan untuk memahami arti

subjektif dari kekuasaan sosial, bukan semata-mata menyelidiki arti objektifnya. Dari

sini, tampaklah bahwa fungsionalisasi sosiologi mengarahkan pengkajian sejarah pada

pencarian arti yang dituju oleh tindakan individual berkenaan dengan peristiwa-

peristiwa kolektif sehingga pengetahuan teoretislah yang akan mampu membimbing

sejarawan dalam menemukan motif-motif dari suatu tindakan atau faktor-faktor dari

suatu peristiwa (Abdurrahman, 2011: 11-12).

2) Pendekatan Politikologis

Pendekatan politikologis, digunakannya pendekatan ini yaitu dimana dalam proses

politik biasanya masalah kepemimpinan dipandang sebagai faktor penentu dan

senantiasa menjadi tolak ukur. Untuk itu, penting diketahui klasifikasi kepemimpinan

yang secara umum telah dibedakan oleh Max Weber dalam tiga jenis otoritas yaitu:

pertama, otoritas karismatik yaitu berdasarkan pengaruh dan kewibawaan pribadi.

Kedua, otoritas tradisional yang dimiliki berdasarkan pewarisan dan ketiga, otoritas

legal-rasional, yang dimiliki berdasarkan jabatan dan kemampuannya (Dudung, 2011:

30).

3) Pendekatan Keagamaan

Agama secara subtantif bearti dilihat dari esensinya yang sering dipahami sebagai suatu

kepercayaan, sehingga menjelaskan religiusitas masyarakat adalah berdasarkan tingkat

ortodoksi dan ritual keagamaan. Bahkan, lebih berpusat pada bentuk-bentuk tradisional

sesuatu agama. Sementara itu dalam definisinya secara fungsional agama dilihat dalam

segi-segi peran. Fungsi yang diperankan merupakan kriteria untuk mengidentifikasi dan

Page 27: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

27

mengklasifikasi suatu fenomena agama. Pada umumnya fungsi tersebut biasa

dikategorikan menjadi fungsi manifest, yaitu fungsi yang didasari dan dikehendaki oleh

sesuatu pola sosial atau lembaga (Abdurrahman, 2011: 20-21).

Historiografi

Langkah akhir dalam penelitian sejarah adalah historiografi. Langkah akhir ini adalah

langkah final dari rangkaian penelitian yang dilakukan. Sebagai tahap akhir, penulis

berusaha menyajikan hasil penelitian sebaik mungkin dalam bentuk sejarah sebagai

sebuah peristiwa yang dituangkan. Dalam penulisan ini disusun berdasarkan kronologi

atau peristiwa dan sebab akibat. Historiografi menjadi sarana mengkomunikasikan

hasil-hasil penelitian yang diungkap, diuji (verifikasi) dan diintepretasi. Rekontruksi

sejarah akan menjadi eksis apabila hasil-hasil pendirian tersebut ditulis

(Daliman,2012:99).

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian yang berjudul “Kebijakan Politik Islam

Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 1859” terdiri

enam bab,dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang menjelaskan tentang latarbelakang,rumusan

masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, kerangka teori,metode

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Landasan teori penelitian, membahas Kebijakan, Politik, Hindia Belanda,

Pelaksanaan dan Ibadah Haji.

Bab III adalah kondisi masyarakat Hindia Belanda, membahas tentang kondisi

politik, ekonomi dan sosial-keagamaan di Hindia Belanda tahun 1859 M.

Page 28: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

28

Bab IV adalah kebijakan pemerintah Hindia Belanda tahun 1859 M, membahas

tentang latar belakang munculnya kebijakan, isi kebijakan dan faktor-faktor yang

menyebabkan pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan politik tentang

pelaksanaan ibadah haji yaitu sebab-sebab munculnya kebijakan tersebut.

Bab V adalah dampak kebijakan politik Islam pemerintah Hindia Belanda tahun

1859 M, membahas lahirnya politik Islam jamaah dan penurunan jumlah jamaah haji.

Bab VI merupakan simpulan berisi simpulan, saran dan rekomendasi.

Page 29: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

29

BAB 2

LANDASAN TEORI

Pengertian Kebijakan

Menurut kamus bahasa Inggris, kebijakan berasal dari kata “policy”, kata policy

diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan mengenai tujuan-tujuan,

yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan, partai politik, dan lain-lain.

Kebijakan juga diartikan sebagai pernyataan-pernyataan mengenai kontrak penjaminan

atau pernyataan tertulis (Hornby, 1995: 893). Pengertian ini mengandung arti bahwa

yang disebut kebijakan adalah mengenai suatu rencana, pernyataan tujuan, kontrak

penjaminan dan pernyataan tertulis baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, partai

politik, dan lain-lain. Dengan demikian siapapun dapat terkait dalam suatu kebijakan.

Menurut kamus bahasa Indonesia, kebijakan adalah kepandaian, kemahiran,

kebijaksanaan, rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar serta dasar rencana

dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang

pemerintahan, organisasi dan sebagainya), pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau

maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran, garis

haluan.

Menurut Nurchamid, kebijakan adalah keputusan atau peraturan yang dibuat oleh

yang berwenang untuk mengatasi masalah, sehingga diharapkan tujuan organisasi dapat

dicapai dengan baik. Ciri-ciri utama kebijakan adalah suatu peraturan atau ketentuan

yang dapat mengatasi masalah (Nurchamid, 2009: 29). Sedangkan Menurut Winarno,

kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu

(what ever governments choose to do or not do).

Page 30: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

30

Kebijakan merupakan upaya untuk memecahkan, mengurangi mencegah suatu

masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah (Syahrir, 1988: 660).

Kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi

pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Anderson,

1978: 33).

Pengertian Politik

Politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti

itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua

yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan

politikos yang berarti kewarganegaraan (Kartono, 1996: 63).

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, politik merupakan hal-hal yang

berkenaan dengan tata Negara atau urusan yang mencakup siasat dalam pemerintahan

negara (Muda, 2006: 200). Politik adalah suatu segi khusus dari kehidupan masyarakat

yang menyangkut soal kekuasaan. Tumpuan kajiannya terhadap daya upaya

memperoleh kekuasaan, usaha mempertahankan kekuasaan, penggunaan kekuasaan, dan

juga bagaimana menghambat penggunaan kekuasaan. Politik juga mencakup aspek

Negara, kekuasaan (force) dan kelakuan politik (Syarbaini, 2002: 13).

Menurut Surbakti, politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat

dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang

kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu (Surbakti,

1999: 1). Sedangkan menurut Kartono, politik adalah aktivitas perilaku atau proses yang

menggunakan kekuasaan untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan-

keputusan yang sah berlaku di tengah masyarakat (Kartono, 1996: 64).

Page 31: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

31

Menurut Syahrial, di dalam bukunya “Sosiologi dan Politik”kata politik terbagi

menjadi sebagai berikut:

a. Menunjuk segi kehidupan manusia untuk kekuasaan (power

relation).Misalnya kebebasan politik, kejahatan politik, kegiatan politik, dan

hal-hal politik.

b. Tujuan yang hendak dicapai (goals). Misalnya politik keuangan, luar negeri,

dalam negeri, ekonomi, dan lain-lain (Syarbaini, 2002: 13).

Sejak awal, hingga perkembangan terakhir ada sekurang-kurangnya lima

pandangan politik. Pertama, politik ialah usaha-usaha yang ditempuh warga Negara

untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik ialah segala

hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik

ialah sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan

kekuasaan dan masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan

perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam

rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang sangat penting (Syarbaini,

2002: 14-15).

Pengertian Hindia Belanda

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata Hindia Belanda berasal dari dua kata

Hindia dan Belanda. Hindia berasal dari kata India yang bearti adalah Samudera.

Sedangkan Belanda adalah negara kerajaan (negeri di Eropa Barat yang berbatasan

dengan Belgia dan Jerman Barat, orang atau bangsa yang mendiami Nederland, bahasa

dan bangsa Belanda (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005:112).

HindiaBelanda (bahasa Belanda: Nederlands (ch)-Indië) adalah sebuah wilayah

koloni Belanda yang diakui secara hukum de jure dan de facto. Kepala negara Hindia

Belanda adalah Ratu/ Raja Belanda dengan perwakilannya yang berkuasa penuh

Page 32: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

32

seorang Gubernur-Jendral. Hindia Belanda juga merupakan wilayah yang tertulis dalam

Undang-undang Kerajaan Belanda tahun 1814 sebagai wilayah berdaulat Kerajaan

Belanda, diamandemen tahun 1848, 1872, dan 1922 menurut perkembangan wilayah

Hindia Belanda. Hindia Belanda dahulu kala adalah sebuah jajahanBelanda, sekarang

disebut Indonesia. Jajahan Belanda ini bermula dari properti Vereenigde Oostindische

Compagnie (atau VOC) yang antara lain memiliki Jawa dan Maluku serta beberapa

daerah lain semenjak abad ke-17. Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1798, semua

properti VOC menjadi milik pemerintah Republik Batavia (Wikipedia, 2014:1).

Hindia Belanda merupakan pemerintahan kolonial Belanda yang secara de jure

berkuasa atas kepulauan Indonesia sejak keruntuhan VOC tahun 1799. Kekuasaan

tertinggi pemerintahan terletak pada Gubernur Jendral. Pemerintahan Hindia Belanda

ini berhasil mempertahankan kekuasaannya sampai tahun 1942 dan baru runtuh setelah

penyerbuan pasukan Jepang dalam perang Dunia II. Setelah pemerintahan Jepang

berakhir, Belanda berusaha menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia

(Ensiklopedi Nasional Indonesia 1989: 433).

Pengertian Pelaksanaan

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pelaksanaan adalah proses, cara, perbuatan

melaksanakan (rancangan dan keputusan): beliau meninjau pembangunan jalan di

wilayahnya; kegiatan ini merupakan salah satu Garis-Garis Besar Haluan

Negara.Pelaksanaan merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu badan atau

wadah secara berencana, teratur dan terarah guna mencapai tujuan yang diharapkan.

Menurut Westa, pelaksanaan merupakan aktifitas atau usaha-usaha yang

dilaksanakan untuk melaksanakan semua rencana dan kebijaksanaan yang telah

dirumuskan dan ditetapkan dengan dilengkapi segala kebutuhan, alat-alat yang

diperlukan, siapa yang melaksanakan, dimana tempat pelaksanaannya mulai dan

Page 33: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

33

bagaimana cara yang harus dilaksanakan (Westa, 1985: 17). Sedangkan menurut

Abdullah, Pelaksanaan merupakan aktifitas atau usaha-usaha yang dilaksanakan

(Abdullah, 1987: 5).

Ibadah Haji

Pengertian Ibadah Haji

Kata haji berasal dari bahasa Arab yang awalnya bearti “maksud” atau “keinginan” dan

sinonim dengan kata “al-qashd”. Dalam bentuk kata kerja, kata “hajja” mengandung

arti menyengaja sesuatu, memaknai, melaksanakan dan berdoa (Rasyid, 1954: 240). Di

samping itu kata ini mengandung makna berkunjung dan berziarah yang memiliki

makna, nilai dan signifikasi tertentu. Dari sini timbul makna turunannya yaitu

bermaksud untuk mengunjungi tempat tertentu untuk melaksanakan ritual di dalamnya

(Sutar at al, 2006: 66). Selain itu, Kata haji dikenal juga dalam bahasa Ibrani, yang

berarti melakukan perjalanan keliling dalam suatu pesta. Karena tawaf itu biasanya

terjadi pada puncak upacara keagamaan.

Menurut etimologi, haji berarti “pergi, berkunjung” atau “ziarah ke suatu tempat”

(Majid 2008: 19). Haji juga dapat juga diartikan “menuju dan menziarahi suatu tempat.

Maksudnya adalah ziarah ke Baitullah Mekah, untuk melaksanakan ibadah dengan cara

tertentu, dalam waktu dan tempat tertentu (Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah,

1996:334).

Menurut terminologi, haji adalah ibadah yang dilakukan dengan mengunjungi

Baitullah (Ka’bah) pada waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu. Waktu

pelaksanaannya dimulai dari bulan Syawal, Zulqaidah dan sampai puncaknya pada

bulan Zulhijjah (Halim 2002: 84). Sedangkan menurut Madjid, haji merupakan ziarah

bearti berkunjung, ke Baitullah, Ka’bah untuk melaksanakan ibadah dengan cara

tertentu yang dilaksanakan pada Sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah sampai terbit

Page 34: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

34

pajar hari kesepuluh atau yang disebut Yaum An nahr (Hari Raya Haji), dalam waktu

dan tempat tertentu. Meskipun setelah Yaum an Nahr itu masih ada aktifitas ibadah haji,

seperti melempar jumrah, tahallul dan tawaf ifadah(Madjid 2008: 19).

Haji tidak hanya sekedar berkunjung ke tempat suci Mekah, melainkan

mengingatkan manusia pada bangunan Ka’bah sebagai wujud kebesaran-Nya, yang

dapat dilihat oleh manusia dan sekaligus berorientasi pada perubahan dalam arti

keyakinan pada diri seseorang, baik memandang dirinya maupun mempertebal

keimanan pada Allah SWT (Madjid 2008: 20).

Syarat Haji

Syarat ibadah haji merupakan seperangkat ketentuan yang mesti dimiliki oleh seseorang

yang akan melaksanakan ibadah, baik ketentuan tersebut berkenaan dengan sah atau

tidaknya ibadah haji (Halim, 2008: 427). Syarat sahnya haji ada dua, pertama yang

berkaitan dengan keislaman seseorang dan waktu pelaksanaannya. Haji dikatakan sah

apabila seseorang itu berpredikat muslim, walaupun belum dewasa (mumayyiz) berusia

enam tahun lebih dan sudah dapat membedakan yang baik dan yang buruk, hendaknya

meniatkan ihram haji atas namanya sendiri. Tetapi jika masih kecil, dapat diwakilkan

mengucapkan niat ihram kemudian bersama-sama melaksanakan apa yang harus

dikerjakan dalam haji itu. Kedua, berkaitan dengan waktu pelaksanaan ibadah haji,

mulai Syawal dan Sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah sampai terbit fajar hari

kesepuluh atau disebut YaumAn Nahr (Hari Raya Idhul Adha). Sedangkan ibadah haji

yang telah dilaksanakan dengan sempurna, memenuhi syarat, rukun diikuti dengan

kekhusukan sehingga memperoleh haji mabrur (Majid, 2008:24-25).

Syarat wajib haji ada lima macam. Pertama, orang Islam yang diwajibkan

melaksanakan ibadah haji adalah orang Islam. Kedua, mencapai usia baligh. Anak kecil

yang belum baliqh tidak diwajibkan melaksanakan ibadah, meskipun hajinya sah setelah

ia mumayyiz. Ketiga, berakal sehat. Tidak ada kewajiban untuk melaksanakan ibadah

Page 35: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

35

haji bagi orang gila dan tidak sah pula hajinya. Keempat, merdeka. Hamba sahaya

(budak) tidak diwajibkan melaksanakan ibadah karena haji memerlukan waktu yang

panjang. Jika mereka memaksakan untuk pergi maka kepentingan tuannya akan

terabaikan. Kelima, istitha’ah atau memiliki kemampuan dari segi fisik, harta dan

keamanan (Halim 2008: 428).

Rukun Haji

Rukun haji adalah rangkaian ibadah yang harus dilaksanakan dalam ibadah haji. Tidak

dilaksanakannya satu dari rangkaian ibadah haji yang sedang dilaksanakan oleh

seseorang dan walaupun ibadah hajinya batal, orang itu harus menuntaskan rukun-rukun

haji-haji yang tersisa serta mengulang ibadah hajinya pada tahun berikutnya (Halim

2008: 386).

Adapun rukun-rukun haji tersebut, sebagai berikut:

a. Ihram

Ihram adalah niat untuk melaksanakan haji. Dengan melakukan ihram,

seseorang telah memasuki saat berkakunya larangan-larangan haji. Ihram dimulai

dengan dengan melafazkan niat (Halim 2008: 158).

b. Wuquf di ‘Arafah

Wuquf adalah hadir di Arafah pada waktu tertentu dengan syarat-syarat tertentu

dalam rangka melaksanakan ibadah yang merupakan rangkaian ibadah haji (Halim,

2008: 510).

c. Thawaf

Thawaf adalah mengelilingi Ka’bah dengan niat ibadah sebanyak tujuh kali

putaran yang dimulai dari sejajar Hajar Aswas dengan posisi Ka’bah berada di

sebelah kiri orang yang berthawaf atau berlawanan dengan arah jarum jam (Halim,

2008: 470).

Page 36: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

36

d. Sa’i

Sa’i adalah berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan bukit Marwah sebanyak

tujuh kali yang dimulai dari bukit Shafa dan diakhiri di bukit Marwah dengan niat

ibadah karena Allah (Halim, 2008: 395).

e. Tahallul

Tahalallul berasal dari bahasa Arab halla yang berarti halal. Tahallul artinya

boleh, “dihalalkan”, atau “menghalalkan beberapa larangan”. Tahallul berarti

keluar dari keadaan ihram karena telah selesai melaksanakan amalan haji

seluruhnya atau sebagiannya yang ditandai dengan mencukur atau menggunting

beberapa (paling sedikit tiga) helai rambut (Halim, 2008: 434).

Wajib Haji

Wajib haji adalah amalan-amalan yang wajib dilakukan oleh seseorang dalam ibadah

haji yang apabila ditinggalkan menyebabkan timbulnya kewajiban membayar dam

(denda), tetapi sampai membatalkan ibadah haji (Halim, 2008: 504).

Adapun amalan yang wajib dilakukan dalam ibadah haji tersebut adalah:

a. Ihram dari miqatzamani (waktu-waktu yang ditentukan bagi seseorang yang

akan melaksanakan ibadah haji atau waktu memulai ihram, yaitu bulan Syawal,

Zulqaidah dan sembilan hari pertama bulan Zulhijjah. Sedangkan miqat makani

(tempat yang ditentukan untuk memulai ihram dan berniat ibadah haji).

b. Melontar jumrah ‘Aqabah pada tanggal 10 Zulhijjah setelah datang dari Mina

dan melontar ketiga jumrah, yaitu: jumrah Ula, jumrah Wustha dan jumrah

Kubra (Halim, 2008: 504).

c. Berada di Muzdalifah walaupun sebentar dengan syarat harus berada di sana

pada waktu tengah malam setelah wuquf di ‘Arafah.

d. Bermalam di Mina minimal tanggal 11 dan 12 Zulhijjah.

Page 37: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

37

e. Sa’i antara Shafa dan Marwah

f. Mencukur dan memendekkan rambut

g. Melaksanakan thawaf

h. Wuquf di Arafah (Halim, 2008: 505-506).

Hikmah Haji

Hikmah secara etimologi berarti mengetahui keunggulan sesuatu melalui suatu

pengetahuan, sempurna, bijaksana dan sesuatu yang tergantung kepadanya akibat

sesuatu yang terpuji. Menurut istilah, hikmah merupaan suatu motivasi dalam

pensyari’atan hukum dalam rangka pencapaian suatu kemaslahatan atau menolak suatu

kemafsadatan. Berdasarkan pengertian di atas maka hikmah haji. Pertama,

menghilangkan dosa. Kedua, memperteguh dan memperbaharui keimanan kepada Allah

swt. Karena, orang yang melaksanakan ibadah haji, mereka mengetahui dan merasakan

betapa beratnya perjuangan Nabi Ibrahim dan istrinya Siti Hajar serta anaknya Nabi

Ismail dalam membangun rumah Allah (Ka’bah) sebagai pusat peribadatan umat

Islam.Ketiga, mempertebal rasa kesabaran dan memperdalam rasa kepatuhan terhadap

ajaran-ajaran agama. Karena selama menjalankan ibadah haji, jamaah haji merasakan

betapa berat perjuangan yang harus dihadapi untuk mendapatkan keridhaan Allah swt.

Keempat, menimbulkan rasa syukur yang sedalam-dalamnya atas segala karunia Allah

Swt kepada hambanya sehingga mempertebal rasa pengabdian kepada Allah swt.

Kelima, memupuk rasa persatuan di kalangan umat Islam. Dengan adanya keseragaman

rangkaian pelaksanaan ibadah haji memberikan pelajaran, bahwa umat Islam

mempunyai visi dan misi, yaitu menegakkan syariat Islam (Halim 2008: 140).

Keenam, bermanfaat dari segi ekonomi. Sebab ibadah haji sangat banyak

memberikan manfaat bagi para pedagang dan umat Muslim yang hidup di bawah angka

kemiskinan. Daging-daging yang telah disembelih sebagai dam (denda) dari jamaah,

Page 38: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

38

dikirimkan ke berbagai negara yang di dalamnya terdapat umat Islam yang miskin.

Ketujuh, pelajaran tentang fungsi manusia sebagai pemimpin dan pelindung makhluk

Tuhan lainnya. Maksudnya selama memakain pakaian ihram, sejumlah larangan yang

harus diindahkan oleh jamaah haji. Hal ini menandakan bahwa manusia berfungsi

sebagai pelindung makhluk-makhluk Allah serta memberikan kesempatan seluas

mungkin untuk mencapai tujuan penciptaannya. Pada akhirnya, manusia betul-betul

dirasakan sebagai rahmat bagi sekalian makhluk yang ada di muka bumi (Halim 2008:

141-142).

Menurut Hasbullah Bakry, hikmah dari haji adalah:

a. Pertemuan umat Islam dari segala penjuru dunia di Mekkah dan sekitarnya

adalah dengan dengan tujuan yang sama beribadah kepada Allah, sehingga

menghilangkan perasaan kebangsaan dan kesukuan serta warna kulit.

b. Pertukaran peradaban terjadi dalam pertemuan tersebut, walaupun tidak

sekaligus pengaruh suatu bangsa Muslim yang satu segera ditiru dan

dilakukan oleh bangsa muslim yang lain.

c. Walaupun banyak mazhab dalam masyarakat Muslim, perbedaan mazhab

makin tidak meruncing akibat pertemuan umat Islam di musim haji.

d. Solidaritas antar Muslimin mengenai penderiataan bangsa masing-masing

sangat dirasakan sebagai penderitaan bersama, dan semakin dikuatkan di masa

pelaksanaan haji (Bakry, 1988: 129-130).

Page 39: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

39

BAB 5

DAMPAK KEBIJAKAN POLITIK ISLAM BELANDA

TERHADAP PELAKSANAAN IBADAH HAJI TAHUN 1859 M

Lahirnya Politik Islam Jamaah Haji

Peningkatan jumlah jamaah haji Hindia Belanda yang berangkat ke Mekah menjadi

perhatian khusus pemerintah Belanda, sehingga perlu adanya kebijakan untuk mengatur

pelaksanaan haji. Dalam pelaksanaannya, haji di Hindia Belanda banyak sekali

menerima peraturan-peraturan dari pemerintah kolonial Belanda. Seperti yang

diinstruksikan oleh Daendels, ia merupakan Gubernur Jenderal pertama yang

memerintahkan agar jamaah haji memakai paspor atau pas jalan, dengan alasan agar

jamaah mendapatkan keamanan dan ketertiban dalam menjalankan ibadah haji.

Meskipun masih ada alasan politik lain yang lebih diutamakan. Lebih jelas seperti yang

dikemukakan oleh Tomas Stamford Raffles:

Ibadah haji ke Mekah sebagai salah satu bahaya politik, ia beranggapan bahwa

para haji itu setelah pulang dianggap oleh masyarakat sebagai orang suci dan

mempunyai kekuatan gaib (supernatural power), karena itu dikhawatirkan

mempengaruhi masyarakat dan menghimpun kekuatan untuk menentang orang

Barat (Rahim, 1998: 179).

Ketakutan kolonial Belanda terhadap besarnya pengaruh haji terhadap gerakan

nasionalis membuat pemerintah Hindia Belanda membuat berbagai kebijakan politik

yang kemudian dikenal dengan politik Islam Hindia Belanda. Awalnya pemerintah

Belanda tidak berani mencampuri agama secara langsung, dengan kata lain netral

terhadap agama. Sikap Belanda dalam hal ini menurut Aqib Suminto (1985: 9) dalam

bukunya yang berjudul “Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor Inlandsche

Zaken”:

Page 40: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

40

“Sikap tersebut terbentuk oleh kombinasi kontradiktif antara rasa takut dan

harapan yang berlebihan”. Di satu pihak Belanda sangat khawatir akan

timbulnya pemberontakan orang-orang Islam fanatik, sementara di pihak lain

Belanda sangat optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera

menyelesaikan semua persoalan, dalam hal ini Islam sangat ditakuti.”

Pemerintah Belanda sangat mengkhawatirkan para jamaah haji yang akan

melaksanakan ibadah haji. Kekhawatiran tersebut diakibatkan adanya rasa takut yang

menyelimuti pemerintah Belanda setelah para haji pulang dari Mekah. Pemerintah

Belanda melihat bahwa pemberontakan yang terjadi dipelopori oleh para haji. Untuk itu,

pemerintah Belanda selalu mengawasi gerak-gerik para calon haji sebelum mereka

menunaikan ibadah haji. Pengawasan pemerintah Belanda kepada para haji terlihat

dengan adanya ordonansi tahun 1859. Ordonansi tersebut menjelaskan tentang

bagaimana pelaksanaan ibadah haji di Hindia Belanda. Penetapan ordonansi tahun 1859

oleh pemerintah Belanda disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya antusiasme

masyarakat begitu tinggi untuk melaksanakan ibadah haji. Oleh karena itu, pemerintah

Belanda mengatur segala macam bentuk keperluan dan kebutuhan dalam melakukan

ibadah haji. Hal ini dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk mengurangi masyarakat

untuk pergi haji ke Baitullah. Kedua, pemerintah Belanda menggunakan kapal yang

muatannya sedikit sehingga hanya sedikit para calon haji yang pergi dan mereka harus

rela berdesak-desakan di dalam kapal. Ketiga, adanya calon jamaah haji yang

menunaikan ibadah haji melalui Singapura, Penang maupun Bombay yang dianggap

lebih mudah dan murah. Para haji yang berangkat dari Singapura, Penang dan Bombay

hanya diminta membayar harga tiket kapal. Oleh karena itu pemerintah Belanda

mempertegaskan kebijakan yang lebih sulit untuk menunaikan ibadah haji, salah satu

caranya adalah harus mendapat izin dari kepala daerah masing-masing dan mengurus

berbagai macam peraturan yang tertulis dari pemerintah Belanda.

Ketiga faktor di atas yang menyebabkan pemerintah Belanda harus ikut campur

urusan haji di Hindia Belanda. Keikutersertaan pemerintah Belanda dalam pengawasan

Page 41: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

41

tentang pelaksanaan ibadah haji berdampak akan penurunan jumlah para haji ke Mekah.

Pengawasan tersebut mulai dari adanya pemeriksaan segala bentuk perlengkapan dari

calon jamaah haji sebelum menunaikan ibadah haji sampai adanya pengaturan tentang

perjalanan yang telah disepakati oleh pemerintah Belanda. Dalam perjalanan menuju

Mekah, pemerintah Belanda sudah menyediakan kapal bagi para haji.

Pada waktu yang telah ditentukan, para jamaah haji naik kapal sesuai dengan

yang tercantum dalam tiket untuk perjalanan menuju ke Mekah. Para haji berangkat dari

pelabuhan haji Hindia Belanda menggunakan kapal haji milik perusahaan Belanda

(Putuhena 2007: 175). Dalam kapal tersebut para haji harus berdesak-desakan dengan

para haji lain. Bahkan lebih ironisnya banyak jamaah haji yang meninggal dunia

sebelum sampai ke tanah suci (batitullah). Mereka yang tewas dalam perjalanan ke

tanah suci karena faktor kelelahan yang disebabkan perjalanan yang begitu jauh sampai

ke tempat tujuan. Perjalanan ke tanah suci memakan waktu yang begitu lama yaitu 20

sampai 25 hari (Putuhena 2007: 137).

Setelah sampai di Mekah, para haji melaksanakan ibadah haji sesuai dengan

tuntunan Islam. Dalam menjalankan ibadah haji, para haji Hindia Belanda berjumpa

dengan para haji dari berbagai negara di belahan dunia. Perjumpaan itu telah membuka

pemahaman dan pengetahuan bagi para haji Hindia Belanda tentang makna perlawanan

terhadap kaum penjajah. Terutama pertemuan dengan jamaah yang pada waktu itu

mempunyai nasib yang sama yaitu sama-sama dalam keadaan menjadi negara jajahan

atau dijajah. Oleh karena itu, terjalinlah hubungan dan interaksi jamaah haji dengan

gerakan pan-Islamisme di Mekah, terutama jamaah haji yang telah terpengaruh oleh ide

Pan Islam Jamaluddin al-Afghani yang menjadi pelopor gerakan perjalanan politik

dunia Islam. Pengertian Pan Islamisme secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia

Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama yang dikepalai oleh seorang khalifah

(Suminto, 1986: 80). Akan tetapi, Pan Islamisme dalam pengertian yang luas adalah

Page 42: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

42

kesadaran untuk bersatu bagi umat Islam yang terikat oleh kesamaan agama yang

membentuk solidaritas sedunia (Setiawan, 1990:82).

Gerakan Pan Islamisme yang diusung oleh Jamaluddin al-Afghani (Nurdi, 2008:

22), setidaknya memiliki lima prinsip dalam kerja dakwahnya yang terlahir pada

peristiwa ibadah haji:

1. Menghapuskan kebodohan yang membelenggu kaum Muslimin.

2. Berusaha keras untuk mengikis taqlid dan menganjurkan ijtihad demi menggali

hikmah, ilmu Allah dan Sunnah Rasulullah.

3. Membangkitkan kesadaran umat Islam untuk menentang penjajahan Barat yang

dipelopori Inggris pada saat itu.

4. Fungsi ulama harus dikembalikan sebagai lentera bagi kaum Muslimin.

5. Perjuangan demi terlaksananya keadilan sosial, keadilan ekonomi dan keadilan

politik harus diperjuangkan di mana saja kaum Muslimin berada.

Dapat disimpulkan bahwa gerakan Pan Islamisme yang diusung oleh Jamaluddin

Al-Afghani dengan lima prinsip di atas berguna bagi para haji. Lima prinsip tersebut

banyak memberi pencerahan bagi para haji, karena prinsip-prinsip di atas membuat

sebagian dari para haji berniat untuk memperdalam ilmu agama di Mekah maupun

Madinah, kemudian mereka menetap di sana untuk sementara waktu. Para haji belajar

kepada guru-guru tersohor di daerah tersebut, ilmu yang didapatkan tidak hanya sekedar

ilmu agama saja, tetapi juga pengalaman dan wawasan ide serta gagasan revolusioner

yang akhirnya mempengaruhi karektristik para haji.

Orang Islam yang pernah menunaikan ibadah haji ataupun pernah lama

bermukim di Mekah mempunyai peran penting dalam kehidupan masyarakat Hindia

Belanda. Setelah pulang dari Mekah, Para haji biasanya menjadi kiai atau guru yang

memiliki sejumlah pengikut di tanah air. Sebagai kiai atau guru agama, para haji

tersebut mengajarkan kepada masyarakat pribumi apa yang telah mereka peroleh dari

Mekah dan Madinah. Dengan menjadi kiai atau guru agama maka mempermudah para

haji mendekatkan diri mereka kepada masyarakat. Seorang yang telah menunaikan haji

dianggap telah sempurna imannya sehingga ia dihormati di tengah masyarakat, karena

Page 43: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

43

telah berhasil melaksanakan penuh rukun Islam. Dengan demikian, para haji menjadi

kelompok elit agama dan mereka menjadi agen perubahan, pengendali sosial dan

sebagai oposisi terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda (Hendry, 2013: 1).

Para jamaah haji yang langsung pulang ke tanah air maupun menetap betul-betul

mendapatkan pencerahan politik berkat ibadah hajinya di Mekah, mereka yang pulang

haji menjadi kiai berani melawan pemerintah kafir Belanda. Inilah yang menyebabkan

Belanda menghawatirkan dampak haji secara politis. Pemerintah Belanda pernah

melarang umat Islam Hindia Belanda berhaji, hal ini dilakukan pemerintah Belanda

untuk mengurangi jumlah para jamaah haji. Menurut pemerintah Belanda hal itu

merupakan jalan yang terbaik, dibandingkan mereka menembak mati para jamaah haji

(Suminto, 1996:22). Namun di sisi lain, dengan kepulangan para haji dari Mekah

membawa perubahan bagi masyarakat, karena para haji yang pulang tersebut

membentuk sebuah gerakan pembaharuan yang dipengaruhi oleh gerakan reformasi

Pan-Islamisme.

Menurut Deliar Noer (1990: 8), gerakan pembaharuan di Hindia Belanda tidak

pernah lepas dari perkembangan dunia pada umumnya. Dengan kata lain, gerakan

pembaharuan di Hindia Belanda dipengaruhi oleh gerakan reformasi Pan-Islamisme

Timur Tengah. Hal yang senada juga dikemukakan oleh Pieter Korver (1986: 20)

bahwa:

“Pada tahun-tahun permulaan abad ini, suatu gerakan reformasi Islam yang

berpengaruh mulai tumbuh di Hindia Belanda, sebagai suatu bagian yang hakiki

dari perjuangan pergerakan nasional kepulauan tersebut pada waktu itu.

Diilhami oleh ahli fikir Islam yang berhaluan modern, seperti Jamaluddin Al-

Afgani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) di Timur Tengah”.

Gerakan reformasi Hindia Belanda berasal dari para haji yang pulang dari Timur

Tengah. Mereka terinspirasi dari prinsip-prinsip dakwah Pan Islamisme. Seperti,

membangkitkan kesadaran umat Islam untuk menentang penjajahan Barat maupun

perjuangan demi terlaksananya keadilan sosial, keadilan ekonomi dan keadilan politik

Page 44: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

44

harus diperjuangkan oleh kaum Muslimin. Prinsip-prinsip di atas yang membuat para

haji di Hindia Belanda bersemengat untuk melawan pemerintah Belanda demi mencapai

keadilan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mengajak

rakyat bersatu untuk melakukan perlawanan.

Para haji yang mengorganisir pergerakan perlawanan terhadap kolonial Belanda

menjadi semakin garang. Menurut Clifford Greetz pergerakan perlawanan besar yang

diorganisir oleh para haji yaitu pemberontakan kaum Paderi di Minangkabau,

pemberontakan Diponegoro di Jawa Tengah, pemberontakan Banten di Jawa Barat dan

pemberontakan Aceh (Saridjo, 182: 54-55).

Situasi ini erat kaitanya dengan sikap curiga dan kekhawatiran yang berlebihan

Belanda terhadap umat Islam. Masalah Islam semakin lama semakin kuat dan

mendominasi setiap aspek, yang pada akhirnya menjadi ancaman yang sangat

ditakutkan oleh Belanda. Hal ini terlihat pada hubungan dengan negara luar, terutama

para haji Hindia Belanda dengan Arab sangat membahayakan pemerintahan Belanda.

Belanda khawatir apabila suatu saat, orang Hindia Belanda menghimpun kekuatan

dengan negara luar untuk menghancurkan Belanda. Dalam kondisi ini, Pemerintah

Hindia Belanda menyimpulkan bahwa hubungan Mekah dengan Hindia Belanda

melalui jamaah haji, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kondisi perpolitikan di

tanah air. Kekhawatiran Belanda akan adanya ide-ide perang jihad dan Pan-Islamisme

akan membahayakan keberadaan mereka di Hindia Belanda (Harahap, 1984: 9).

Kekhawatiran dan ketakutan Belanda terhadap gerakan yang dimotori oleh para

haji memang sangat beralasan. Oleh sebab itu, para haji mendapatkan pengawasan

khusus dari Belanda. Para pejabat Belanda selalu mencurigai para haji, karena fanatisme

umat Islam terhadap para haji sangat mudah berubah menjadi fanatisme politik. Ketika

terjadi perlawanan terhadap kaum penjajah, para haji mampu mengkoordinir dan

Page 45: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

45

mempersatukan semua elemen masyarakat dan membawa misi Pan-Islamisme

(Bruneissen 1995: 333).

Berbagai perlawanan yang dilakukan oleh kaum haji dan ulama terhadap

kolonial, akhirnya menyebabkan pemerintah Hindia Belanda berusaha membatasi

perjalanan haji ke Mekah. Kepercayaan masyarakat yang terlalu fanatik pada para haji,

ditakutkan dapat membawa pengaruh negatif bagi eksistensi Belanda di negeri

jajahannya yaitu Hindia Belanda. Terutama dalam masalah perhajian, para haji

dicurigai, dianggap fanatik dan sering memberontak. Pemerintah Belanda kemudian

mengeluarkan berbagai aturan yang bertujuan untuk membatasi dan mempersulit umat

Islam menunaikan haji ke Mekah (Suminto, 1996: 10). Oleh karena itu, untuk lebih

membatasi gerak umat Islam maka dikeluarkanlah Resolusi tahun 1825. Tetapi,

peraturan ini tidak sepenuhnya ditaati, karena dalam pelaksanaannya dianggap banyak

merugikan jamaah haji. Atas dasar Resolusi tahun 1825 dilihat masih banyak

kekurangannya, maka pemerintah Belanda melakukan penyempurnaan dalam berbagai

hal-hal yang dianggap lemah. Peraturan perubahan itu dibuat pada tahun 1827, 1830,

1831, 1850 dan 1859. Perubahan yang sangat mendasar setelah tahun 1825 hanya

terdapat pada ordonansi 1859 (Majid, 2008: 83).

Walaupun berbagai kebijakan dan ordonansi dibuat untuk membendung

pengaruh gerakan perlawanan melawan kolonial, akan tetapi pengaruh Pan-Islamisme

lebih kental di jiwa masyarakat Islam Hindia Belanda. Di fase awal, perlawanan para

haji menggunakan konsep jihad fi sabilillah untuk melakukan perlawanan terhadap

kolonial Belanda. Ajaran jihad menjadi prioritas para haji abad ke-18 yang mana umat

Islam mengalami imperialisme kolonial. Anjuran untuk jihad datang dari Abdus Somad

al-Palembani dan Daud bin Abdullah al-Fatani, yang sebagian besar hidupnya

dihabiskan di Haramain. Al-Palembani dan al-Fatani adalah ulama Indonesia yang

belajar di Mekah dan menetap di sana, merupakan ulama yang anti penjajah, anti

Page 46: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

46

Belanda dan anti kafir. Pengaruh yang dilakukan oleh Al-Palembani dan al-Fatani

dengan jalan mengirim surat ke raja-raja Jawa untuk jihad melawan Belanda (Azra,

1994:283).

Gerakan Pan-Islamisme tidak berhasil menggalang kesatuan umat Islam dunia,

akan tetapi semangat Pan-Islam tetap hidup sehingga membangkitkan berbagai

organisasi Islam regional dan internasional, tak terkecuali Hindia Belanda yang

merupakan bagian tak terpisahkan dari pergerakan tersebut.

Konsep ajaran jihad fi sabilillah keagamaan mulai berubah mengarah kepada

patriotisme kebangsaan, akan tetapi perjuangan patriotisme kebangsaan tetap

berlandaskan pada konsep jihad fi sabilillah dalam ajaran Islam. Patriotisme adalah

semangat cinta tanah air atau sikap seseorang yang rela mengorbankan segala-galanya

untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya (Suprapto et. al 2007: 38). Patriotisme

merupakan jiwa dan semangat cinta tanah air yang melengkapi eksistensi nasionalisme.

Sekelompok manusia yang menghuni bumi Indonesia wajib bersatu, mencintai dengan

sungguh-sungguh dan rela berkorban membela tanah air Indonesia sebagai bangsa yang

merdeka. Lebih jauh lagi, patriotisme adalah bagian dari paham kebangsaan dalam

nasionalisme Indonesia (Bakry, 2010: 145).

Patriotisme meliputi sikap-sikap bangga akan pencapaian bangsa, bangga akan

budaya bangsa, adanya keinginan untuk memelihara ciri-ciri bangsa dan latar belakang

budaya bangsa. Rashid, (2004: 05), menyebutkan beberapa nilai patriotisme, yaitu:

kesetiaan, keberanian, rela berkorban, kecintaan pada bangsa dan negara. Dalam

penelitian ini, diambil dua aspek pokok dalam patriotisme, yaitu kesetiaan dan kerelaan

untuk berkorban.

Sebagai penduduk yang mayoritas beragama Islam, masyarakat Hindia Belanda

beranggapan bahwa penjajah yaitu pemerintah Belanda dengan sebutan ‘kafir’, karena

tidak seiman, merugikan masyarakat dan mengganggu ketenangan hidup masyarakat.

Page 47: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

47

Pemahaman agama dengan semboyan ‘cinta tanah air’ merupakan bagian dari iman,

menjadi semangat untuk mendorong dengan menumpas penjajahan.

Dengan demikian menurut penulis, perjalanan haji di Hindia Belanda yang

awalnya merupakan ritual ibadah, pada fase kelanjutannya berubah mengarah pada

upaya mencari ilmu dan politik. Haji sebagai peran politik memiliki andil yang sangat

besar bagi pergerakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Hubungan ulama Timur

Tengah dan ulama Melayu membuka “kran” pengetahuan dan perjuangan umat Islam

pribumi. Selain itu, pengaruh Pan-Islamisme memberikan ide segar bagi jamaah haji

Hindia Belanda untuk melakukan perlawanan. Walaupun Pan-Islamisme tidak berhasil

menyatukan umat Islam dunia, akan tetapi pengaruhnya membangkitkan semangat jihad

dan patriotisme bagi masyarakat pribumi Hindia Belanda.

Penurunan Jumlah Jamaah Haji

Setelah kebijakan terdahulu yang diterapkan gagal dilaksanakan, pemerintah kembali

melaksanakan langkah-langkah baru dalam pelaksanaan ibadah haji yang kemudian

dikenal dengan Ordonansi 1859. Latar belakang lahirnya ordonansi ini karena

penyalahgunaan gelar haji dan adanya sebagian jamaah haji tidak kembali ke tanah air.

Akibatnya menimbulkan masalah sosial di masyarakat bagi keluarga yang ditinggalkan.

Pelaksanaan politik Islam Hindia Belanda tentang kebijakan haji (Majid, 2008: 95).

Adapun ciri-ciri mencolok dari ordonansi atau beslit tahun 1859 baru itu ialah:

1. Calon jamaah haji harus mempunyai surat keterangan dari seorang Bupati

bahwa ia mempunyai dana memadai untuk perjalanan pulang pergi dan nafkah

bagi keluarga yang ditinggalkan cukup terjamin.

2. Sekembalinya dari Mekah, haji tersebut harus menjalankan ujian, atau ujian

haji, yang harus membuktikan bahwa dia benar-benar telah mengunjungi

Mekah.

3. Hanya bila telah lulus ujian itu, dia dibenarkan untuk menyandang “gelar

haji” dan memakai busana haji khusus (Doues dan Kaptein, 1997: 9).

Kebijakan ordonansi 1859 secara tidak langsung memberikan dampak pada

keteraturan dalam pelaksanaan haji. Keteraturan ini menurut penulis dapat lihat dari

Page 48: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

48

hasil catatan-catatan jumlah jamaah haji yang dilakukan oleh para bupati di berbagai

daerah. Dengan catatan ini, hingga saat ini menjadi referensi bagi para sejarawan untuk

mengetahui perkembangan dan sejarah haji di Hindia Belanda.

Secara administratif dibuatnya ordonansi 1859 merupakan upaya untuk

melindungi umat Islam dari perilaku-perilaku yang bertentangan dengan syariat Islam.

Seperti meninggalkan bekal dan cukup ekonomi bagi orang yang melaksanakan haji

maupun yang ditinggalkan. Kemampuan seorang yang melaksanakan ibadah haji secara

syariat telah ditekankan oleh Allah dalam firman-Nya dalam Al-Quran surah Al-Imran

ayat 97:

Artinya: ”Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim,

barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah Dia; mengerjakan

haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang

sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah, barangsiapa mengingkari

(kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan

sesuatu) dari semesta alam” (QS. Al-Imran: 97).

Ayat di atas merupakan landasan bagi umat Islam dalam pelaksanaan ibadah

haji. Agar memiliki kemampuan secara finansial. Diwajibkan ibadah haji ke Mekah

seorang Muslim hanya satu kali dalam hidupnya jika mampu atau sanggup membiayai

perjalanan dan keadaan rumah tangga tidak terganggu karena kepergian cukup lama

(Majid, 2008: 25-26). Selain itu, pelaksanaan ujian bagi orang yang melaksankan haji

bertujuan untuk menghindari orang-orang yang berangkat haji hanya sampai di

Singapura atau dikenal dengan haji Singapura (Putuhena, 2007: 284-285).

Secara resmi Gubernur Jenderal mengeluarkan ordonansi tahun 1859. Agar

semua mengetahui dan melaksanakan aturan tersebut. Maklumat tersebut bertujuan

mempertegas peraturan-peraturan sebelumnya. Namun secara politik, aturan atau

ordonansi yang dikeluarkan berupaya untuk menekan jumlah jamaah haji yang

Page 49: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

49

berangkat ke Mekah. Akan tetapi kebijakan dan ordonansi tahun 1859 yang

diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda belum dilaksanakan secara optimal

(Majid, 2008: 95). Meskipun kebijakan dan ordonansi tahun 1859 belum berjalan secara

efektif sesuai dengan keinginan pemerintah Belanda. Namun di sisi lain, dengan adanya

kebijakan dan ordonansi tersebut memiliki pengaruh yang besar bagi pemerintah

Belanda. Setelah adanya ordonansi tahun 1859 pada akhirnya jumlah jamaah haji

mengalami penurunan. Sebagaimana yang tertera dalam tabel di bawah ini:

Tabel: 1

Jamaah Haji Hindia Belanda tahun 1853-1860

No Tahun Jumlah Jamaah Haji

1 1853 1.113

2 1854 1.448

3 1855 1.668

4 1856 3.057

5 1857 2.381

6 1858 3.862

7 1859 2.052

8 1860 1.417

Jumlah 16.998

Sumber: Kolonial Veslag tahun 1855 sampai 1898 dan J. Verdenbregt “The

Haddj. Some of its features and functions in Indonesia”, BK/118, 1962

hal. 141-145 (Rahim, 1998: 184-187)

Turun naik jumlah jamaah haji di atas ditentukan oleh berbagai faktor seperti

keamanaan di perjalanan di Tanah Suci serta kecocokan musim. Di samping itu

disebabkan berbagai perubahan-perubahan kebijakan pemerintah kolonial dari

pelaksanaan politik haji itu sendiri sehingga rakyat sulit untuk melaksanakan ibadah

haji. Pengaruh tersebut tampak sekali dari tabel yang dijelaskan di atas (Rahim, 1998:

183).

Tabel 1 di atas menunjukkan naik turun jamaah haji setelah ditetapkan peraturan

Beslit 3 Mei 1852 no. 9 ketika Duymaer Van Twist menjadi Gubernur Jenderal (1851-

1856). Dalam keputusan itu di mana terhadap jamaah haji dibebaskan biaya pas jalan

dan denda. Kemudian terbitnya peraturan baru tahun 1859 yang berisi tentang (1) pas

Page 50: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

50

jalan tetap diwajibkan tapi gratis dalam pelaksanaannya (2) calon haji harus

membuktikan kepada Kepala Daerah bahwa ia mempunyai uang yang cukup untuk

perjalanannya pulang dan pergi dan untuk biaya keluarga yang ditinggalkan (3) setelah

kembali dari Mekah para jamaah haji diuji oleh Bupati/Kepala Daerah atau petugas

yang ditunjuk dan hanya yang lulus diperkenankan memakai gelar dan pakaian haji.

Dalam tabel di atas tampak perkembangan jamaah haji Hindia Belanda semenjak

tahun 1853-1860. Tahun 1853 merupakan tahun dilonggarkannya ketentuan wajib

membayar pas jalan dan denda bagi yang tidak membeli pas jalan. Kelonggaran ini

nampaknya mempunyai pengaruh terhadap peningkatan jumlah jamaah haji Hindia

Belanda yang berangkat ke Mekah. Data tahun 1853 sampai tahun 1856 adalah masa

berlakunya peraturan tahun 1852 menunjukkan grafik yang meningkat bagi jamaah haji

Hindia Belanda dari jumlah jamah 1113 orang tahun 1853 menjadi 3057 tahun 1856

(Rahim, 1998: 186).

Data tahun 1857 jumlah jamaah haji menurun menjadi 2381 dari jumlah 3057

tahun 1856, hal ini disebabkan pada tahun 1857 terjadinya istilah Indian Mutiny, yaitu

pemberontakan massal di India. Dengan adanya pemberontakan itu kekhawatiran

pemerintah Belanda terhadap jamaah haji menghangat kembali dan menjadi perdebatan

di Parlemen Belanda, akibat perdebatan itu telah melahirkan peraturan baru tentang haji

yaitu ordonansi tahun 1859. Selanjutnya penurunan jumlah jamaah haji itu terus

menurun mulai dari tahun 1859 sampai dengan tahun 1860. Namun penurun itu,

penyebabnya adalah peraturan tahun 1857 tersebut yang berisi 3 (tiga) item itu

dilaksanakan secara penuh mulai pada tahun 1859, dan peraturan tersebut dirasa oleh

jamaah haji Hindia Belanda sangat memberatkan, terutama dalam hal memperlihatkan

uang jaminan baik untuk biaya berangkat haji maupun biaya keluarga yang

ditinggalkan, begitu juga keharusan mengikuti ujian setelah pulang dari tanah suci

Mekah.

Page 51: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

51

Namun jika dibandingkan dari tahun 1853, jumlah jamaah sebanyak 1113 dan

pada tahun 1860 jumlah jamaah haji Hindia Belanda berjumlah 1417, meskipun di

tengah perjalanannya dari tahun 1853 sampai tahun 1860 terdapat naik turun jumlah

jamaah, dapat disimpulkan bahwa pemerintah kolonial Belanda berhasil dalam

membendung dan membatasi arus jamaah haji yang berangkat ke Mekah, setelah dibuat

peraturan-peraturan 1859 tentang pelaksanaan jamaah haji.

Penurunan jumlah jamaah haji setelah ditetapkannya ordonansi tahun 1859

disebabkan ada dua faktor, yaitu ekonomi dan politik. Secara ekonomi, penurunan

jumlah jamaah haji ke tanah suci kemungkinan disebabkan oleh masyarakat pribumi

yang hidup di bawah kemiskinan. Masyarakat pribumi ketika itu penghasilan mereka

mengalami penurunan, baik mereka yang memiliki perdagangan maupun perkebunan.

Hasil perkebunan mereka dibeli oleh pemerintah Belanda dengan harga yang murah

ataupun perkebunan yang mereka tanam tidak berhasil sampai panen.

Secara politik, penurunan jumlah jamaah haji disebabkan dari politik sistem

cultuurstelsel yang dijalankan pemerintah Belanda. Sebagai pekerja cultuurstelsel,

rakyat tidak bisa bekerja dengan orang lain untuk mencari tambahan lebih atau juga

mereka tidak bisa bercocok tanam untuk diri mereka sendiri sehingga para calon haji

tidak mampu membayar dan mencicil biaya ibadah haji. Dengan itu, berkurangnya para

calon haji ke tanah suci.

Penurunan jumlah jamaah haji Hindia Belanda ke Mekah, di satu sisi

menguntungkan dan di sisi lain merugikan bagi pemerintah Belanda sendiri.

Keuntungan pemerintah Belanda dari penurunan jumlah para jamaah haji karena

berkurangnya semangat fanatisme rakyat terhadap kolonial, sehingga berkurangnya

jumlah rakyat untuk melakukan perlawanan dalam bentuk perang yang dipelopori oleh

para haji. Sedangkan kerugian pemerintah Belanda dari penurunan jumlah para haji

Page 52: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

52

adalah berkurangnya income atau pemasukan bagi pemerintah Belanda maupun Hindia

Belanda.

Dengan data ini dapat penulis simpulkan bahwa setelah dibuat peraturan tahun

1859 tentang pelaksanaan ibadah haji, ternyata antusias masyarakat Hindia Belanda

untuk menunaikan haji mengalami penurunan. Terlihat jelas penurunan jamaah haji

tahun 1860 berjumlah 1417, di mana sebelumnya tahun 1859 berjumlah 2052 jamaah

haji. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Belanda berdampak positif. Karena dengan

adanya kebijakan tersebut pemerintah Belanda berhasil menekan jumlah jamaah haji.

Hal ini terlihat dari berkurangnya jumlah jamaah haji setelah adanya ordonansi tahun

1859 yang dilakukan oleh pemerintah Belanda.

Page 53: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

53

BAB 6

SIMPULAN

Simpulan

Kebijakan Politik Hindia Belanda Terhadap Pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 1859 di

atas, dapat ditarik kesimpulan: Pertama, kondisi masyarakat Hindia Belanda pada

umumnya berada di kelas bawah. Setelah adanya penguasaan bangsa asing (Belanda)

atas Hindia Belanda menyebabkan Hindia Belanda berada di bawah kekuasaan

pemerintah Belanda. Penguasaan tersebut berdampak adanya pembagian kelas dalam

masyarakat Hindia Belanda, baik secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi,

penguasaan bangsa asing (Belanda) menyebabkan mayoritas penduduk pribumi hidup di

bawah kemiskinan sehingga untuk makan sehari-hari sangat sulit. Hasil sumber daya

alam yang melimpah di Hindia Belanda dikuasai penuh oleh pemerintah Belanda

sehingga terjadinya eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Selain itu, untuk

menambah perekonomian di belahan Eropa, pemerintah Belanda mewajibkan sistem

kerja paksa kepada penduduk pribumi kelas bawah. Secara politik, penguasaan Belanda

atas Hindia Belanda mengakibatkan hilangnya peranan para elit tradisional di dalam

pemerintahan Hindia Belanda. Karena pemerintah Belanda menggantikan posisi atau

jabatan para elit tradisional dengan pejabat dari Eropa. Hal ini mengakibatkan semakin

tersisihnya para elit tradisional di dalam pemerintahan. Bukan hanya para elit tradisional

yang merasakan imbas dari sistem pemerintahan Belanda, tetapi para haji yang ingin

melaksanakan ibadah haji ke tanah suci. Pemerintah Belanda mengawasi gerak para haji

dengan cara membuat kebijakan tentang pelaksanaan haji. Keikutsertaan pemerintah

Belanda dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat Hindia Belanda sehingga para

haji tidak bebas untuk menunaikan ibadah haji.

Page 54: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

54

Kedua, ordonansi haji tahun 1859 lahir dari kegagalan berbagai kebijakan politik

haji kolonial Belanda dalam upaya mengurangi antusias masyarakat Hindia Belanda

yang akan melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Selain itu, ordonansi dibuat dengan

alasan adanya ketakutan dan kekhawatiran pemerintah Belanda terhadap para haji

setelah pulang dari Mekah. Pemerintah Belanda menganggap para haji yang pulang dari

Mekah menjadi tokoh agama yang sangat dihormati dan mereka membentuk gerakan

perlawanan terhadap pemerintah Belanda.

Ada dua faktor yang menyebabkan lahirnya Ordonasi haji tahun 1859. Pertama,

faktor interen meliputi ketakutan dan kehawatiran kolonial Belanda terhadap Islam atau

haji phobia/ Islam phobia danbesarnya jumlah jamaah haji yang berangkat ke Mekah

akan berdampak berkurangnya kas negara. Kedua, faktor eksternal meliputi,

penyalahgunaan gelar haji, meningkatnya jumlah jamaah haji dan perlawanan kelompok

Haji.

Ketiga, lahirnya ordonansi tahun 1859, memiliki dampak terhadap pelaksanaan

haji di Hindia Belanda. Dengan adanya kebijakan haji tahun 1859 tentang pelaksanaan

haji, pemerintah Belanda berhasil mengurangi jumlah para haji untuk ke tanah suci.

Penurunan jumlah para haji ke tanah suci menyebabkan berkurangnya fanatisme rakyat

terhadap para kolonial Belanda. Hal ini menyebabkan berkurangnya pergerakan

perlawanan yang dipelopori oleh para haji. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

kebijakan haji tahun 1859 membawa pengaruh positif bagi pemerintah Belanda.

Meskipun di sisi lain, dengan adanya penurunan jumlah para haji akan mengurangi

income atau pemasukan bagi pemerintah Belanda.

Saran-saran

Berdasarkan apa yang telah diungkapkan di atas mengenai “Kebijakan Politik Islam

Belanda terhadap Pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 1859”. Untuk itu penulis

memberikan saran-saran sebagai berikut:

Page 55: KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA ...repository.radenfatah.ac.id/6337/1/RUMILA SARI.pdf · 1 KEBIJAKAN POLITIKISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA TERHADAPPELAKSANAAN IBADAH

55

a. Kebijakan pemerintah Belanda terhadap pelaksanaan haji tahun 1859

dilatarbelakangi oleh antusiasme masyarakat untuk melaksanakan ibadah haji.

Dengan adanya kebijakan dan ordonansi tersebut bertujuan untuk mengurangi

masyarakat untuk menunaikan ibadah haji. Karena para haji dianggap

pemerintah Belanda sebagai orang yang suci dan sering melakukan

pemberontakan. Dengan demikian, diharapkan masyarakat Hindia Belanda sadar

bahwa kebijakan dan ordonansi tersebut merugikan para calon haji.

b. Dampak kebijakan politik Islam Belanda terhadap pelaksanaan ibadah haji tahun

1859 terlihat dari adanya penurunan jumlah para calon haji ke tanah suci.

Penurunan tersebut secara ekonomi disebabkan adanya penurunan hasil

perkebunan dan perdagangan masyarakat menurun dan mengurangi income bagi

pemerintah Belanda. Sedangkan secara politik pemerintah Belanda berhasil

menurunkan jumlah para haji ke Mekah dengan sistem paksa yang dijalankan.

Dengan itu diharapkan penduduk Hindia Belanda sadar bagaimana kebijakan

yang dijalankan oleh pemerintah Belanda merugikan masyarakat.

Rekomendasi

Berdasarkan pada apa yang telah diungkapkan di atas mengenai “Kebijakan Politik

Islam Belanda Terhadap Pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 1859” , untuk itu penulis

memberikan rekomendasi hasil penelitian tersebut. Pertama, kepada pembaca dan

masyarakat yang mencintai sejarah sosial dan politik Islam agar terus membaca tentang

pergerakan haji yang terus berjuang membela tanah air ini dari para penjajah. Kedua,

kepada para peneliti agar terus mengkaji dan meneliti tentang kehidupan sosial-politik

Islam yang ada di Indonesia, karena negeri ini merupakan laboratorium besar dalam

penelitian sosial-politik keagamaan.