kti arum tri utami - · pdf filed. prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset ... dipahami...
Post on 12-Feb-2018
232 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENERAPAN TERAPI BERMAIN PUZZLE TERHADAP PERILAKU
KOOPERATIF ANAK USIA PRA SEKOLAH PADA ASUHAN
KEPERAWATAN An. D SELAMA HOSPITALISASI
DI RUANG CEMPAKA RSUD Dr. SOEDIRAN
MANGUN SUMARSO WONOGIRI
DISUSUN OLEH :
ARUM TRI UTAMI
NIM. P13. 007
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
i
PENERAPAN TERAPI BERMAIN PUZZLE TERHADAP PERILAKU
KOOPERATIF ANAK USIA PRA SEKOLAH PADA ASUHAN
KEPERAWATAN An. D SELAMA HOSPITALISASI
DI RUANG CEMPAKA RSUD Dr. SOEDIRAN
MANGUN SUMARSO WONOGIRI
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DISUSUN OLEH :
ARUM TRI UTAMI
NIM. P13. 007
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan judul “Penerapan Terapi Bermain Puzzle Terhadap Perilaku
Kooperatif Anak Usia Pra Sekolah Pada Asuhan Keperawatan An. D Selama
Hospitalisasi di Ruang Cempaka RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso
Wonogiri”
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat:
1. Ns. Wahyu Rima Agustin, M.Kep, selaku ketua STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di
STIKes Kusuma Husada Surakarta.
2. Ns. Meri Oktariani M. Kep, selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan
yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes
Kusuma Husada Surakarta.
3. Ns. Alfyana Nadya R. M. Kep, selaku Sekretaris Program Studi DIII
Keperawatan yag telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat
menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta.
4. Ns. Amalia Senja M. Kep, selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai
penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-
v
masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi
demi sempurnanya studi kasus ini.
5. Ns. Diyah Ekarini, S. Kep, selaku dosen penguji yang telah membimbing
dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman
dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
6. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya
serta ilmu yang bermanfaat.
7. Kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat
untuk menyelesaikan pendidikan.
8. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma
Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-
persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta, 11 Mei 2016
Arum Tri Utami
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME ............................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iv
DAFTAR ISI ................................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ....................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan ................................................................... 3
C. Manfaat Penulisan ................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori ....................................................................... 6
1. Fraktur ............................................................................ 6
2. Konsep hospitalisasi ....................................................... 11
3. Perilaku kooperatif ......................................................... 21
4. Terapi bermain ................................................................ 25
B. Kerangka teori ....................................................................... 31
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek aplikasi riset ............................................................... 32
B. Tempat dan waktu ................................................................. 32
C. Media dan alat yang digunakan ............................................. 32
D. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset ........................ 32
E. Alat ukur evauasi dari aplikasi tindakan berdasarkan riset .... 33
vii
BAB IV LAPORAN KASUS
A. Pengkajian ............................................................................. 36
B. Pemeriksaan Penunjang Lab .................................................. 42
C. Terapi ..................................................................................... 42
D. Analisa Data .......................................................................... 42
E. PrioritasDiagnosaKeperawatan ............................................. 43
F. RencanaKeperawatan ............................................................ 43
G. Implementasi ......................................................................... 45
H. Evaluasi ................................................................................. 48
BAB V PEMBAHASAN
A. Pengkajian ............................................................................. 51
B. Perumusan masalah keperawatan .......................................... 54
C. Perencanaan ........................................................................... 58
D. Implementasi ......................................................................... 61
E. Evaluasi ................................................................................. 66
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................ 69
B. Saran ...................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
viii
DAFTAR TABEL
1. Tabel 3.1 Lembar Observasi 35
ix
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 2.1 Kerangka Teori 32
2. Gambar 4.1 Genogram 40
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Usulan Judul
Lampiran 2 : Lembar Konsultasi
Lampiran 3 : Surat Pernyataan
Lampiran 4 : Jurnal
Lampiran 5 : Asuhan Keperawatan
Lampiran 6 : Log Book
Lampiran 7 : Pendelegasian
Lampiran 8 : Lembar Observasi
Lampiran 9 : Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 10 : SOP Terapi Bermain Puzzle
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Anak merupakan bagian dari keluarga dan masyarakat. Anak yang sakit
dapat menimbulkan suatu stres bagi anak itu sendiri maupun keluarga
(Setiawan et al, 2014). Menurut penelitian di Amerika Serikat, diperkirakan
lebih dari 5 juta anak menjalani hospitalisasi karena prosedur pembedahan
dan lebih dari 50% dari jumlah tersebut, anak mengalami kecemasan dan
stres. Diperkirakan juga lebih dari 1,6 juta anak usia antara 2-6 tahun
menjalani hospitalisasi disebakan karena injury dan berbagai penyebab
lainnya (National Hospital Discharge Survey, 2004 dalam Apriliawati, 2011).
Saat anak dirawat dirumah sakit (hospitalisasi) memaksa anak untuk
berpisah dari lingkungan yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan
menyenangkan, yaitu lingkungan rumah, permainan, dan teman bermainnya.
Perawatan di rumah sakit sering kali dipersepsikan anak pra sekolah sebagai
hukuman sehingga anak akan merasa malu, bersalah, atau takut. Oleh karena
itu, hal ini menimbulkan reaksi agresif dengan marah dan berontak, ekspresi
verbal dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja sama dengan
perawat, apabila kondisi itu terjadi maka akan mempengaruhi proses
perawatan saat di rumah sakit (Supartini, 2004).
Dalam mengatasi dampak hospitalisasi pada anak, perawat memegang
peran penting untuk membantu orang tua menghadapi permasalahan yang
12
berkaitan dengan perawatan anak di rumah sakit. Fokus intervensi
keperawatan yang dilakukan adalah meminimalkan stressor, memberikan
dukungan psikologis pada anak dan anggota keluarga selama anak dirawat di
rumah sakit (Supartini, 2004, dalam Marasaoly, 2009).
Terapi bermain adalah bagian perawatan pada anak yang merupakan
salah satu intervensi yang efektif bagi anak untuk menurunkan atau mencegah
kecemasan sebelum dan sesudah tindakan operatif. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa didalam perawatan pasien anak, terapi bermain merupakan
suatu kegiatan didalam melakukan asuhan keperawatan yang sangat penting
untuk mengurangi efek hospitalisasi bagi pertumbuhan dan perkembangan
anak selanjutnya (Nursalam, 2005).
Anak memerlukan media untuk dapat mengekspresikan perasaannya
sehingga mampu bekerja sama dengan petugas kesehatan selama dalam
perawatan. Media yang digunakan adalah melalui kegiatan permainan. Alat
permainan yang dirancang dengan baik akan lebih menarik anak dari pada
alat permainan yang tidak didesain dengan baik. Anak TK biasanya
menyukai alat permainan dengan bentuk yang sederhana dan tidak rumit dan
berwarna terang. Salah satu contoh permainan yang menarik yaitu permainan
puzzle, karena puzzle dapat meningkatkan daya pikir anak dan konsentrasi
anak. Melalui puzzle anak akan dapat mempelajari sesuatu yang rumit serta
anak akan berpikir bagaimana puzzle ini dapat tersusun dengan rapi
(Alfiyanti, 2010).
13
Puzzle merupakan permainan yang membutuhkan kesabaran dan
ketekunan anak dalam merangkainya. Oleh karena itu lambat laun, mental
anak juga terbiasa untuk bersikap tenang, tekun dan sabar dalam
menyelesaikan sesuatu. Kepuasan yang didapat saat ia menyelesaikan puzzle
merupakan salah satu pembangkit motivasi untuk mencoba hal-hal yang baru
baginya, keberhasilannya menyusun puzzle akan membangkitkan rasa
percaya diri dan kooperatif anak, dapat menambah rasa aman pada anak.
Bermain puzzle dapat dimainkan di dalam ruangan dan juga dapat dimainkan
oleh anak yang dalam keadaan sehat maupun sakit.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas tentang pemberian terapi
bermain puzzle pada anak usia pra sekolah selama hospitalisasi, penulis
tertarik untuk mengaplikasikan tindakan pemberian terapi bermain puzzle
untuk meningkatkan perilaku kooperatif anak selama hospitalisasi di rumah
sakit.
B. Tujuan masalah
1. Tujuan Umum
Mengaplikasikan tindakan Pemberian Terapi Bermain Puzzle Terhadap
Tingkat Kooperatif Anak Usia Pra Sekolah Selama Hospitalisasi.
2. Tujuan Khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada An. D selama
hospitalisasi
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada An. D
14
c. Penulis mampu menyusun rencana Asuhan Keperawatan pada An.D
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada An. D
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada An. D
f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian terapi bermain
terhadap tingkat kooperatif An. D selama hospitalisasi.
C. Manfaat penulisan
1. Bagi pendidikan
Hasil karya ilmiah ini dapat menjadi bahan tambahan ilmu bagi institusi
dalam pemberian terapi bermain puzzle terhadap perilaku kooperatif anak
usia pra sekolah selama hospitalisasi.
2. Bagi penulis
Hasil dari karya ilmiah ini dapat menjadi pengalaman belajar dalam
meningkatkan pengetahuan dalam keterampilan penulis khususnya dalam
bidang aplikasi riset pemberian terapi bermain puzzle terhadap perilaku
kooperatif anak usia pra sekolah selama hospitalisasi.
3. Bagi rumah sakit
Sebagai bahan masukan dan menambah referensi untuk lebih
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan terutama dalam pemberian
terapi bermain puzzle terhadap perilaku kooperatif anak usia pra sekolah
selama hospitalisasi.
15
4. Bagi Profesi keperawatan
Menghadirkan laporan aplikasi hasil riset khususnya tentang pemberian
terapi bermain puzzle terhadap perilaku kooperatif pada anak usia pra
sekolah selama hospitalisasi.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Fraktur
a. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan
oleh rudapaksa (Sjamsuhidayat, 2005).
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang-tulang rawan
sendi, tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial
(Rasjad, 2007).
b. Etiologi
Menurut Sachdeva (1996) dalam Jitowiyono (2012) penyebab
fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1) Cedera Traumatik
2) Fraktur Patologik
c. Patofisiologi
Fraktur terjadi apabila ada suatu trauma yang mengenai tulang,
dimana trauma tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang, ada
dua fraktor yang mempengaruhi terjadinya fraktur yaitu ekstrinsik
(meliputi kecepatan, sedangkan durasi trauma yang mengenai tulang,
17
arah dan kekuatan), intrinsik (meliputi, kapasitas mengenai tulang
mengabsorsi energi trauma, kelenturan, kekuatan adanya densitas
tulang-tulang, yang dapat menyebabkan terjadinya patah tulang
bermacam-macam antara lain langsung dan tidak langsung (Rasjad,
2007).
d. Manifestasi klinis
Deformitas, bengkak, echumosis dari perdarahan
subculaneous, spasme otot, spasme involunters dekat fraktur,
tenderness/kehalusan, nyeri, kehilangan sensasi (mati rasa),
pergerakan abnormal, shock hipovolemik, krepitasi (Rasjad, 2007).
e. Penatalaksanaan
1) Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling
tulang
2) Pemasangan gips : merupakan bahan kuat yang dibungkuskan
disekitar tulang yang patah
f. Komplikasi
Kerusakan arteri, kompartement sindrom, fat embolism
sindrom, infeksi, avaskuler nekrosis, shock, osteomylitis (Rasjad,
2007).
g. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
a) Identitas klien
b) Keluhan utama
18
c) Riwayat penyakit sekarang
d) Riwayat penyakit dahulu
e) Riwayat penyakit keluarga
f) Riwayat lingkungan Pemeriksaan fisik
2) Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen fisik
b) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
integritas stuktur tulang
c) Cemas berhubungan dengan status kesehatan
3) Intervensi Keperawatan
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen fisik
Tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24 jam diharapkan nyeri hilang atau berkurang
Kriteria hasil :
(1) pasien tidak mengeluh nyeri
(2) skala nyeri berkurang 1-2
(3) pasien tampak rileks
Intervensi
(1) kaji status nyeri klien (PQRST)
(2) berikan posisi yang nyaman (semi fowler)
(3) ajarkan teknik relaksasi nafas dalam
(4) kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat
analgetik
19
Rasional
(1) mengkaji status nyeri klien
(2) mengurangi rasa nyeri agar lebih nyaman
(3) mengurangi rasa nyeri secara farmakologi
b) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
integritas stuktur tulang
Tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x
24 jam diharapkan tingkat mobilisasi optimal
Kriteria hasil:
(1) pasien meningkat dalam aktivitas fisik
(2) memverbalkan perasaan dalam meningkatkan kekuatan
dan kemampuan berpindah
Intervensi
(1) kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
(2) dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi
(3) ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
(4) konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana
ambulasi sesuai dengan kebutuhan
Rasional
(1) mengetahui tingkat pasien dalam melakukan aktivitas
(2) memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan
20
(3) gerakan aktif memberikan kekuatan otot
(4) peningkatan kemampuan mobilisasi dari latihan ahli
fisioterapi
c) Cemas berhubungan dengan status kesehatan
Tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x
24 jam diharapkan kecemasan pasien dapat teratasi
Kriteria hasil
(1) pasien mampu mengidentifikasi dan mengungkapakan
gejala cemas
(2) mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan
teknik untuk mengontrol cemas
(3) tanda-tanda vital dalam batas normal
(4) postur tubuh, ekspresi wajah dan tingkat aktivitas
menunjukkan berkurangan kecemasan
Intervensi
(1) kaji tingkat kecemasan pasian
(2) temani pasien untuk memberikan keamanan
(3) bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan
kecemasan
(4) mengobservasi tanda-tanda vital
(5) kolaborasi pemberian obat untuk kecemasan
Rasional
(1) mengetahui tingkat kecemasan pasien
21
(2) agar pasien lebih rileks
(3) membantu pasien agar mengenal situasi apa saja yang
dapat menimbulkan kecemasannya
(4) untuk mengurangi kecemasan.
2. Konsep Hospitalisasi
a. Definisi hospitalisasi
Hospitalisasi merupakan kebutuhan klien untuk dirawat
karena adanya perubahan atau gangguan fisik, psikis, social dan
adaptasi terhadap lingkungan. Sakit dan dirawat dirumah sakit
merupakan krisis utama yang tampak pada anak. Anak yang dirawat
dirumah sakit akan mudah mengalami krisis dan masalah seperti
anak mengalami stres, dan anak mempunyai sejumlah keterbatasan
dalam mekanisme koping. Reaksi anak dalam mengatasi krisis
tersebut dipengaruhi oleh tingkat perkembangan usia, pengalaman
sebelumnya terhadap proses sakit dan dirawat, system dukungan
(supportsystem) yang tersedia, serta ketrampilan koping dalam
menangani stress (Wong, 2009).
Hospitalisasi adalah masuknya individu ke rumah sakit
sebagai pasien dengan berbagai alasan seperti untuk pemeriksaan
diagnostik, prosedur operasi, perawatan medis, pemberian obat dan
menstabilkan atau pemantauan kondisi tubuh (Coctello, 2008).
Penyakit dan hospitalisasi seringkali menjadi krisis pertama
yang harus dihadapi anak, terutama usia satu tahunan, sangat rentan
22
terhadap krisis penyakit dan hospitalisasi karena stres akibat
perubahan dari keadaan sehat dan rutinitas lingkungan serta karena
anak memiliki jumlah mekanisme koping yang terbatas untuk
menyelesaikan stresor (Hockenbery & Wilson, 2009).
b. Stresor hospitalisasi
Stresor utama dari hospitalisasi antara lain adalah cemas
akibat perpisahan, kehilangan kendali, cidera tubuh dan adanya
nyeri. Reaksi anak terhadap krisis-krisis tersebut dipengaruhi oleh
usia perkembangan, pengalaman sebelumnya tentang penyakit,
perpisahan atau hospitalisasi, ketrampilan koping yang dimiliki
anak, keparahan diagnosis, dan sistem pendukung yang ada
(Hockenbery & Wilson, 2009).
Adapun stresor utama dari hospitalisasi dan reaksi anak
prasekolah menurut Wong (2009) adalah sebagai berikut:
1) Cemas akibat perpisahan
Kecemasan pada anak akibat perpisahan dengan orang tua
atau orang yang menyayangi merupakan sebuah mekanisme
pertahanan dan kerakteristik normal dalam perkembangan anak
(Mendez et al., 2008, dalam Ramdaniati, 2011). Jika perpisahan
itu dapat dihindari, maka anak-anak akan memiliki kemampuan
yang besar untuk menghadapi stres lainya. Perilaku utama yang
ditampilkan anak sebagai respon dari kecemasan akibat
perpisahan ini terdiri atas tiga fase (Wong, 2009), yaitu:
23
a) Fase protes (protest)
Pada fase protes anak-anak bereaksi secara agresif
terhadap perpisahan dengan orang tua. Anak menangis dan
berteriak memanggil orang tuanya, menolak perhatian dari
orang lain, dan sulit dikendalikan, perilaku yang dapat
diamati pada anak usia prasekolah antaralain menyerang
orang asing secara verbal, misal dengan kata “pergi”
menyerang orang asing secara fisik,misalnya memukul atau
mencubit; mencoba kabur; mencoba menahan orang tua
secara fisik agar tetap menemaninya. Perilaku tersebut
dapat berlangsung dari beberapa jam hingga beberapa hari.
Protes dengan menangis dapat terus berlangsung dan hanya
berhenti jika lelah. Pendekatan orang asing dapat
mencetuskan peningkatan stres.
b) Fase putus asa
Pada fase putus asa, tangisan berhenti dan mulai
muncul depresi. Anak kurang aktif, tidak tertarik untuk
bermain atau terhadap makanan dan menarik diri dari orang
lain. Perilaku yang dapat diobservasi adalah tidak aktif,
menarik diri dari orang lain, depresi, sedih, tidak tertarik
terhadap lingkungan, tidak komunikatif, mundur ke perilaku
awal seperti menghisap ibu jari atau mengompol. Lama
24
perilaku tersebut berlangsung bervariasi. Kondisi fisik anak
dapat memburuk karena menolak untuk makan, minum atau
bergerak.
b) Fase pelepasan
Anak menjadi lebih tertarik pada lingkungan sekitar,
bermain dengan orang lain dan tampak membentuk
hubungan baru. Perilaku yang dapat diobservasi adalah
menunjukan peningkatan minat terhadap lingkungan
sekitar, berinteraksi dengan orang asing atau pemberi
asuhan yang dikenalnya, membentuk hubungan baru namun
dangkal, tampak bahagia. Biasanya terjadi setelah
perpisahan yang terlalu lama dengan orang tua. Hal tersebut
merupakan upaya anak untuk melepaskan diri dari perasaan
yang kuat terhadap keinginan akan keberadaan orang
tuanya.
2) Kehilangan kendali
Kehilangan kendali yang dirasakan anak saat di rawat
dirumah sakit merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
jumlah stres anak. Kurangnya kendali akan meningkatkan
persepsi ancaman dan dapat mempengaruhi keterampilan koping
anak-anak (Hockenbery & Wilson, 2009, dalam Apriliawati,
2011).Kontrol diri pada anak bersifat menetap karena anak
berada di luar lingkungan normalnya.Kehilangan kontrol dapat
25
menyebabkan perasaan tidak berdaya sehingga dapat
memperdalam kecemasan dan ketakutan (Monaco, 1995, dalam
Ramdaniati, 2011).
3) Cidera tubuh
Ketidaknyamanan secara fisik yang dialami anak saat
hospitalisasi merupakan salah satu kondisi yang mungkin akan
dihadapi selain perpisahan dengan rutinitas dan orang tua,
lingkungan yang asing, serta kehilangan kontrol (Pilliteri, 2009
dalam Ramdaniati, 2011). Konsep nyeri dan penyakit yang
dimiliki oleh seorang anak akan berbeda bergantung dari tingkat
perkembangannya begitu pula dengan respon terhadap nyeri.
Perkembangan kognitif anak menentukan pola pikir dan konsep
terhadap sakit dan rasa nyeri (Wong, 2009).
Reaksi-reaksi tersebut dipengaruhi oleh usia
perkembangan anak, pengalaman dirawat sebelumnya,
mekanisme koping anak dan sistem pendukung yang ada
(Wong, 2009).
a) Usia perkembangan anak
Reaksi anak terhadap sakit berbeda-beda sesuai
tingkat perkembangan anak. Semakin muda usia anak, maka
akan semakin sulit bagi anak untuk menyesuaikan diri
dengan pengalaman dirawat di rumah sakit (Supartini,
2004).
26
b) Pengalaman dirawat di rumah sakit sebelumnya
Anak yang baru pertama kali mengalami perawatan di
rumah sakit, dan kurangnya dukungan dari keluarga bahkan
petugas kesehatan akan menimbulkan kecemasan.
Pengalaman yang tidak menyenangkan anak akan
menyebabkan anak takut dan trauma (Supartini, 2004).
Pengalaman hospitalisasi yang lalu selalu menimbulkan
dampak bagi pasien terutama anak-anak.Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa distres emosional pada
anak-anak sering muncul selama menjalani hospitalisasi
atau setelahnya (Luthfi, 2009, dalam Wijayanti, 2009).
c) Mekanisme koping
Pemahaman anak-anak dan mekanisme koping yang
digunakan pada saat hospitalisasi dipengaruhi oleh stresor
individu pada tiap fase perkembangan.Stresor yang utama
adalah perpisahan, kehilangan kontrol, bagian tubuh yang
cedera, dan perilaku anak.Setiap anak mempunyai reaksi
mekanisme koping berbeda dalam menjalani hospitalisasi
(Leifer, 2003, dalam Wijayanti, 2009). Mekanisme koping
utama anak prasekolah adalah regresi. Anak pra sekolah
akan bereaksi terhadap perpisahan dengan regresi dan
menolak untuk bekerja sama (Muscari, 2005).
27
d) Sistem pendukung
Anak akan mencari dukungan yang ada dari orang
lain untuk melepaskan tekanan akibat penyakit yang
dideritanya. Anak biasanya akan meminta dukungan kepada
orang terdekat denganya. Perilaku ini ditandai dengan
permintaan anak untuk ditunggui selama dirawat di rumah
sakit, didampingi saat dilakukan perawatan padanya, minta
dipeluk saat merasa takut dan cemas bahkan saat merasa
ketakutan (Ariffiani, 2008 dalam Utami, 2012).
c. Respon anak terhadap hospitalisasi
Jovan (2007) menguraikan reaksi anak dan orang tua terhadap
hospitalisasi, sebagai berikut :
1) Reaksi anak pada hospitalisasi
a) Masa bayi (0-1 tahun), dampak perpisahan berpengaruh
pada rasa percaya diri dan kasih sayang. Anak usia lebih
dari 6 bulan akan terjadi stanger anxiety atau cemas dengan
respon menangis keras, pergerakan tubuh yang banyak,
ekspresi wajah yang tidak menyenangkan.
b) Masa todler (2-3 tahun), sumber stres yang utama adalah
cemas akibat perpisahan. Respon perilaku anak menurut
tahapannya adalah:
28
(1) tahap protes, responnya berupa menangis, menjerit,
menolak perhatian orang lai.
(2) tahap putus asa, respon anak adalah menangis
berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat
bermain, sedih, apatis.
(3) tahap pengingkaran (denial), anak mulai menerima
perpisahan, membina hubungan secara dangkal, anak
mulai menyukai lingkungannya.
c) Masa prasekolah (3 sampai 6 tahun), reaksi yang sering
muncul antara lain: menolak makan, sering bertanya,
menangis pelan, tidak kooperatif terhadap petugas
kesehatan atau perawatan di rumahsakit, kehilangan
kontrol, dan pembatasan aktivitas. Sering kali dipersepsikan
anak sekolah sebagai hukuman. Sehingga ada perasaan
malu, takut sehingga menimbulkan reaksi agresif, marah,
berontak, tidak mau bekerja sama dengan perawat.
d) Masa sekolah (6 sampai 12 tahun). Perawatan di rumah
sakit memaksakan meninggalkan lingkungan yang dicintai,
keluarga, kelompok sosial sehingga menimbulkan
kecemasan. Kehilangan kontrol berdampak pada perubahan
peran dalam keluarga, kehilangan kelompok sosial,
perasaan takut akan kematian, dan kelemahan fisik. Reaksi
nyeri bisa digambarkan secara verbal dan non verbal.
29
e) Masa remaja (12 sampai 18 tahun) anak remaja begitu
percaya dan terpengaruh oleh kelompok sebayanya. Saat
masuk rumah sakit anak akan timbul rasa cemas karena
perpisahan, sehingga terjadi pembatasan aktifitas.
Kehilangan kontrol akan muncul reaksi anak untuk menolak
perawatan/tindakan yang dilakukan, tidak kooperatif
dengan petugas. Perasaan sakit akibat perlukaan
menimbulkan respon anak banyak bertanya, menarik diri,
menolak kehadiran orang lain.
2) Reaksi orang tua terhadap hospitalisasi
Perasaan yang muncul dalam hospitalisasi adalah takut
dan cemas, perasaan sedih dan frustasi. Takut akan kehilangan
anak yang dicintainya akan menimbulkan rasa cemas orang tua
terhadap prosedur yang menyakitkan, informasi buruk tentang
diagnosa medis, perawatan yang tidak direncanakan, dan
pengalaman perawatan sebelumnya. Perasaan sedih muncul
karena kondisi terminal anak, dan perilaku isolasi atau tidak
mau didekati orang lain. Perasaan frustasi muncul karena
kondisi yang tidak mengalami perubahan, reaksi orang tua
terhadap hal ini adalah memperlihatkan perilaku tidak
kooperatif, putus asa, menolak tindakan, menginginkan pulang
secara paksa. Reaksi saudara kandung terhadap perawatan anak
di rumah sakit adalah marah, cemburu, benci, dan rasa bersalah.
30
d. Dampak hospitalisasi
Hospitalisasi bagi anak tidak hanya akan berdampak pada anak
tersebut, tetapi kepada orang tua serta saudara-saudaranya. Berikut
ini adalah dampak hospitalisasi terhadap anak dan orang tua yaitu:
1) Anak
Perubahan perilaku merupakan salah satu dampak
hospitalisasi pada anak. Anak bereaksi terhadap stres pada saat
sebelum, selama dan setelah proses hospitalisasi. Perubahan
perilaku yang dapat diamati pada anak setelah pulang dari
rumah sakit adalah merasa kesepian, tidak mau lepas dari orang
tua, menuntut perhatian dari orang tua dan takut perpisahan
(Supartini, 2004). Dampak negatif hospitalisasi juga
berhubungan dengan lamanya rawat inap, tindakan invasif yang
dilakukan serta kecemasan orang tua. Respon yang biasa muncul
pada anak akibat hospitalisasi antaralain regresi, cemas karena
perpisahan, apatis, takut, dan gangguan tidur terutama terjadi
pada anak yang berusia kurang dari 7 tahun (Melnyk, 2000,
dalam Ramdaniati, 2011).
2) Orang tua
Perasaan orang tua tidak boleh diabaikan karena apabila
orang tua stres, hal ini akan membuat orang tua tidak dapat
31
merawat anaknya dengan baik dan akan menyebabkan anak
akan menjadi semakin stres (Supartini, 2000 dalam Supartini,
2004). Takut, cemas dan frustasi merupakan perasaan yang
banyak diungkapkan oleh orang tua. Takut dan cemas dapat
berkaitan dengan keseriusan penyakit dan prosedur medis yang
dilakukan. Sering kali kecemasan yang paling besar berkaitan
dengan trauma dan nyeri yang terjadi pada anak. Perasaan
frustasi sering berhubungan dengan prosedur dan pengobatan,
ketidaktahuan tentang peraturan rumah sakit, rasa tidak diterima
oleh petugas, prognosis yang tidak jelas, atau takut mengajukan
pertanyaan (Wong, 2009).
3. Perilaku Kooperatif
a. Definisi kooperatif
Sikap kooperatif adalah tingkat individu dalam melihat
dirinya sendiri sebagai bagian dari anggota masyarakat. Individu
yang bersikap kooperatif ditandai dengan sikap empati, toleransi,
penuh kasih sayang, saling mendukung, serta mempunyai prinsip
yang kuat (Videbeck, 2008).
b. Klasifikasi tingkat kooperatif menurut Wright.
Menurut Wright (1975, dalam Muthu & Sirvakhumar, 2009)
tingkat kooperatif anak dibagi menjadi 3 skala yaitu:
1) Skala 1: Kooperatif, meliputi:
a) Anak menunjukan sedikit takut dan cukup rileks
32
b) Mempunyai hubungan yang baik dengan perawat dan tim
c) Anak tertarik dengan prosedur tindakan dan santai
dengansituasi yang ada.
2) Skala 2: Anak kurang mampu bersikap kooperatif meliputi:
a) Anak yang masih terlalu muda usianya (kurang dari 3
tahun) dan emosinya belum matang
b) Anak yang mempunyai kelemahan tertentu atau kondisi
cacat
c) Keparahan kondisi anak tidak memungkinkan bersikap
kooperatif seperti anak normal dengan usia yang sama.
3) Skala 3: Anak mempunyai sikap potensi kooperatif
Anak ini berbeda dengan anak yang kurang mampu
bersikap kooperatif karena mereka mempunyai kemampuan
untuk bekerja sama. Hal ini dapat terjadi bila adanya
pendekatan serta komunikasi yang baik, sehingga anak yang
mula-mula tidak kooperatif dapat berubah tingkah lakunya
menjadi kooperatif dan dapat dirawat.
c. Penampilan anak yang mempunyai sikap potensi kooperatif yaitu:
1) Tingkah laku atau sikap yang tidak terkontrol (Uncontrolled
Behaviour), meliputi: tingkah laku pada tipe ini dapat
ditemukan pada usia pra sekolah (3 samapi 6 tahun), anak
menangis, menendang, dan memukul.
2) Tingkah laku atau sikap melawan (Defiant Behavior), meliputi:
33
Anak tetap menolak perawatan, bersikap protes, anak keras
kepala dan manja, gagal berkomunikasi.
3) Tingkah laku atau sikap melawan (Timid Behavior), sikap
pemalu merupakan gabungan antara uncontrolled behavior dan
defiant behafior tetapi ketika menggabungkannya tidak benar
maka akan kembali kepada sikap yang tidak terkontrol. Sikap
timid behavior terdiri dari:
a) Anak menangis dan merengek, tapi tidak sampai histeris
b) Over protektif terhadap lingkungan
c) Mengisolasi diri tanpa kontak dengan orang asing
d) Kagum terhadap orang asing dan terhadap situasi yang
aneh.
4) Tingkah laku atau sikap tegang (Tense cooperative Behavior),
meliputi:
a) Anak menerima dan kooperatif terhadap perawatan
b) Ketegangan biasanya ditunjukan dengan bahasa tubuh
c) Mata pasien mengikuti gerakan mata perawat atau tim
kesehatan lain
d) Ketika berbicara suaranya bergetar
e) Telapak tangan dan alis mata berkeringat.
5) Sikap merengek (Whining Behavior), meliputi:
a) Anak merengek tetapi mau melakukan prosedur tindakan
dengan bujukan
34
b) Anak sering mengeluh sakit
c) Merengek merupakan mekanisme kompensasi untuk
mengontrol rasa sakit
d) Menangis dapat terkontrol, konstan, tidak keras kepala,
biasanya hanya mengeluarkan air mata.
d. Faktor yang mempengaruhi terhadap sikap kooperatif anak :
1) Usia
Anak usia pra sekolah mempersepsikan hospitalisasi sebagai satu
hukuman sehingga anak akan merasa malu, merasa bersalah,
dan takut. Tindakan dan prosedur di rumah sakit dianggap
mengancam integritas tubuhnya. Hal ini menimbulkan reaksi
agresif dengan marah, berontak, tidak mau bekerjasama dengan
perawat, dan ketergantungan dengan orang tua (Suprtini, 2004).
Hasil penelitian Handayani dan Puspitasari (2009) menunjukan
peningkatan sikap kooperatif yang paling tinggi pada anak usia
4 sampai 5 tahun.
2) Jenis kelamin
Hasil penelitian Handayani dan Puspitasari (2009) menunjukkan
jenis kelamin perempuan lebih mengalami peningkatan sikap
kooperatif dibandingkan laki-laki.
3) Pengalaman dirawat di rumah sakit
Apabila anak pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan
selama dirawat di rumah sakit sebelumnya, maka akan
35
menyebabkan anak menjadi takut dan trauma sehingga anak
tidak kooperatif dengan perawat dan dokter. Begitu juga
sebaliknya apabila anak di rumah sakit mendapatkan perawatan
yang baik dan menyenangkan, maka anak akan lebih kooperatif
kepada perawat dan dokter (Supartini, 2004).
4. Terapi bermain
a. Definisi bermain
Bermain digunakan sebagai terapi dalam proses penyembuhan
pasien anak karena diyakini mampu untuk menghilangkan berbagai
batasan, hambatan dalam diri, stres dan frustasi, karena bermain
memiliki efek healing (penyembuhan). Terapi bermain merupakan
suatu proses penyembuhan dengan metode bermain yang digunakan
pada anak yang mempunyai masalah emosi, khususnya pada anak
usia 3-12 tahun, dengan tujuan mengubah tingkah laku anak yang
tidak sesuai menjadi tingkah laku yang diharapkan. Nurjaman
(2006) mengemukakan setelah melewati usia balita, anak yang
sering diajak bermain akan lebih kooperatif dan mudah diajak
bekerjasama, sebaliknya jika anak kurang diajak bermai, anak akan
kurang memiliki stimulasi, menjadi seperti ditelantarkan, kurang
peka terhadap sekitarnya, sulit percaya pada orang lain dan curiga
apabila memasuki lingkungan baru.
Permainan juga merupakan media komunikasi antara anak
dengan orang lain, termasuk dengan perawat atau petugas kesehatan
36
di rumah sakit. Perawat dapat mengkaji perasaan dan pikiran anak
melalui ekspresi non verbal yang ditunjukkan selama melakukan
permainan atau melalui interaksi yang ditunjukkan anak dengan
orang tua dan teman bermainnya.
b. Tujuan terapi bermain
Menurut Supartini (2004) bermain sebagai terapi mempunyai
tujuan sebagai berikut :
1) Untuk melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang
normal, pada saat sakit anak mengalami gangguan dalam
pertumbuhan dan perkembangannya. Selama anak dirawat di
rumah sakit, kegiatan stimulasi terhadap pertumbuhan dan
perkembangan masih harus tetap dilanjutkan untuk menjaga
kesinambungannya.
2) Mengekspresikan perasaan, keinginan dan fantasi serta ide-
idenya. Permainan adalah media yang sangat efektif untuk
mengekspresikan perasaan yang tidak menyenangkan selama di
rumah sakit.
3) Mengembangkan kreativitas dan kemampuan memecahkan
masalah. Permainan akan menstimulasi daya pikir, imajinasi
dan fantasinya untuk menciptakan sesuatu seperti yang ada
dalam pikiranya.
4) Dapat beradaptasi secara efektif terhadap stress karena sakit
dan dirawat di rumah sakit. Bermain dapat mengalihkan rasa
37
sakit sehingga dapat menurunkan rasa cemas, takut, nyeri, dan
muntah.
c. Prinsip bermain
Menurut Supartini (2004), terapi bermain yang dilaksanakan
di rumah sakit tetap harus memperhatikan kondisi kesehatan anak.
Ada beberapa prinsip permainan pada anak di rumah sakit, yaitu :
1) Permainan tidak boleh bertentangan dengan pengobatan yang
sedang dijalankan pada anak. Apabila anak harus tirah baring,
harus dipilih permainan yang dapat dilakukan di tempat tidur,
dan anak tidak boleh diajak bermain dengan kelompoknya di
tempat bermain khusus yang ada di ruangan rawat.
2) Permainan yang tidak membutuhkan banyak energi, singkat
dan sederhana. Pilih jenis permainan yang tidak melelahkan
anak, menggunakan alat permainan yang ada pada anak atau
yang tersedia di ruangan. Kalaupun akan membuat suatu alat
permainan, pilih yang sederhana supaya tidak melelahkan anak.
3) Permainan harus mempertimbangkan keamanan anak. Pilih alat
permainan yang aman untuk anak, tidak tajam, tidak
merangsang anak untuk berlari-lari dan bergerak secara
berlebihan.
4) Melibatkan orang tua, satu hal yang harus diingat bahwa orang
tua mempunyai kewajiban untuk tetap melangsungkan upaya
stimulasi tumbuh kembang pada anak walaupun sedang dirawat
38
di rumah sakit, termasuk dalam aktifitas bermain anaknya.
Perawat hanya bertindak sebagai fasilitator sehingga apabila
permainan diinisiasi oleh perawat, orang tua harus terlibat
secara aktif dan mendampingi anak mulai dari awal permainan
sampai mengevaluasi hasil permainan anak bersama dengan
perawat dan orang tua anak lainya.
d. Jenis permainan individu
Anak usia pra sekolah (3 tahun sampai 6 tahun) mempunyai
motorik yang kasar dan halus yang lebih matang dari pada anak usia
toddler. Anak usia pra sekolah lebih aktif, kreatif dan imajinatif.
Jenis permainan individu yang menggunakan kemampuan
motorik(skill play) banyak dipilih anak usia prasekolah. Untuk itu
jenis alat permainan yang tepat diberikan pada anak, misalnya
mobil-mobilan, balok-balok besar, puzzle kayu, kertas gambar,
telepon mainan, mainan alat memasak, dan lain-lain.
1) Puzzle
Salah satu permainan edukatif yang dapat
mengoptimalakan kemamapuan dan kecerdasan anak adalah
bermain puzzle. Selain dapat merangsang kecerdasan, juga
merangsang kreativitas anak. Puzzle merupakan suatu masalah
atau misteri yang dipecahkan dengan kepandaian dan
kreativitas. Solusi untuk puzzle mungkin membutuhkan pola
yang sudah ada dan menciptakan aturan khusus. Puzzle
39
berdasar pada proses penyelidikan dan penemuan untuk
menyelesaikan yang mungkin dapat dipecahkan lebih cepat
oleh mereka yang mempunyai kemampuan deduktif yang
bagus.
a) Manfaat bermain puzzle
Ada beberapa manfaat bermain puzzle :
(1) Mengasah otak
Puzzle adalah cara yang baik untuk mengasah
otak, melatih sel-selnya dan melatih memecahkan
masalah. Dengan mencoba beberapa cara
memasangkan kepingan berupa potongan-potongan
gambar maka anak akan dilatih untuk berfikir kreatif.
(2) Melatih koordinasi mata dan tangan
Puzzle dapat melatih koordinasi mata dan tangan
anak. Mereka harus mencocokkan keping-keping
puzzle dan menyusunnya menjadi satu gambar.
Permainan ini membantu anak mengenal bentuk dan
ini merupakan langkah menuju pengembangan
ketrampilan membaca.
(3) Melatih nalar
Puzzle dalam bentuk manusia akan melatih nalar
mereka. Mereka akan menyimpulkan dimana letak
kepala, tangan, kaki dan lain-lain sesuai dengan logika.
40
Memadukan atau memasangkan kepingan puzzle
membantu anak secara aktif mengembangakan
kemampuan membuat kesimpulan (dari sebuah
masalah), memahami logika sebab-akibat dan gagasan
bahwa objek yang utuh sebenarnya tersusun dari
bagian-bagian yang kecil
(4) Melatih kesabaran
Puzzle juga dapat melatih kesabaran anak dalam
menyelesaikan suatu tantangan.
(5) Pengetahuan
Dari puzzle anak akan belajar, misalnya
puzzletentang warna dan bentuk. Anak dapat belajar
tentang warna-warna dan bentuk yang ada, di usia pra
sekolah perhatian anak terhadap ciri fisik objek
(bentuk, warna, tekstur dan lainya) semakin detail.
Pengetahuan yang diperoleh dari cara ini lebih
mengesankan bagi anak dibanding dengan pengetahuan
yang dihafalkan. Anak juga dapat belajar konsep dasar,
binatang, alam sekitar, jenis buah, alphabet dan lain-
lain.
41
B. Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Sumber : Wong (2009), Coctello (2008), Jovan (2007), Wright (1975, dalam Muthu
& Sirvakhumar, 2009), Nurjaman (2006), Supartini (2004).
Hospitalisasi
Dampak hospitalisasi
Terapi bermain puzzle
Perilaku kooperatif
42
BAB III
METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek Aplikasi Riset
Subjek dari aplikasi jurnal ini adalah anak usia pra sekolah 3-6 tahun
yang mengalami hospitalisas di ruang rawat inap keperawatan anak RSUD
Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.
B. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri
di ruang rawat inap keperawatan anak pada tanggal 04 Januari – 16 Januari
2016.
C. Media dan Alat yang Digunakan
Media dan alat yang digunakan dalam aplikasi riset ini adalah :
1. Lembar observasi
2. Permainan puzzle
D. Prosedur Tindakan Berdasarkan Aplikasi Riset
Prosedur tindakan yang dilakukan pada aplikasi riset adalah sebagai
berikut :
1. Fase Orientasi :
a. Memberi salam atau menyapa klien.
43
b. Memperkenalkan diri.
c. Menjelaskan tujuan tindakan.
d. Menjelaskan langkah prosedur.
e. Menanyakan persetujuan atau kesiapan klien.
2. Fase Kerja :
a. Menyiapkan alat (lembar observasi dan permainan puzzle).
b. Mengatur posisi yang nyaman menurut pasien sesuai kondisi pasien.
c. Meminta anak untuk membongkar pasang puzzle.
d. Melakukan pengamatan tingkah laku anak.
e. Melakukan evaluasi pada anak.
f. Merapikan alat.
g. Cuci tangan.
3. Fase Terminasi :
a. Mengevaluasi tindakan.
b. Menyampaikan RTL.
c. Berpamitan.
d. Dokumentasi.
E. Alat Ukur Evaluasi dari Aplikasi Tindakan Berdasarkan Riset
Alat ukur perilaku kooperatif ini berupa lembar pedoman observasi
tingkat kooperatif anak selama menjalani perawatan. Untuk mengukur tingkat
kooperatif anak selama menjalani perawatan, maka para responden
44
diobservasi berdasarkan pedoman observasi yang telah disusun oleh peneliti
sebelumnya yaitu Lia Herliana (2001) dan Dewi Listyorini (2006).
Tabel 3.1
No Respon anak Ya Tidak
A
1
Kecemasan karena perpisahan
Anak menangis kuat saat ditinggalkan
bapak/ibu
2 Anak tidak mau menjawab
pertanyaan perawat
3 Anak tidak mau ditemani/ditolong
orang lain selain bapak ibunya
4 Anak tampak tegang
5 Anak menyerang dengan rasa marah
dan mengatakan “pergi”
6 Anak tidak mau bermain
7 Anak tidak mau minum obat, dan
makan walaupun ibu ada
didekatnya
8 Anak tampak sedih dan murung
B
9
Kecemasan karena hilang kendali
Anak cepat marah, mudah menangis
dan rewel
10 Anak menolak permainan
45
11 Anak menarik diri dari hubungan
dengan orang di sekitarnya
12 Anak sangat tergantung dengan orang
tuanya
C
13
Kecemasan karena perlukaan
Anak menangis
14 Anak mengatupkan bibir
15 Anak menggigit bibir
16 Anak menendang
17 Anak berlari keluar
18 Anak memukul orang yang berada
didekatnya
Penyimpulan lembar observasi
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan alat ukur berupa
lembar observasi. Dan untuk mengetahui perilaku kooperatif anak usia pra
sekolah selama hospitalisasi, lembar observasi yang digunakan tertutup
dengan alternatif pilihan 2 jawaban (ya/tidak) Skala pengukuran pengetahuan
adalah jika jawaban ya diberi nilai atau skor 1 dan bila jawaban tidak diberi
nilai atau skor 0.
Keterangan :
Untuk mengetahui sejauh mana tingkat kooperatifan anak selama
hospitalisasi yaitu dengan menggunakan lembar observasi tingkat kooperatif
46
yang terdiri dari 18 pengamatan respon anak yang dibagi menjadi 3
kelompok, hasil: Ya= 1
Tidak= 0
Mean= 9
Kooperatif= <9
Tidak kooperatif= >9
BAB IV
LAPORAN KASUS
Dalam bab ini penulis akan melaporkan asuhan keperawatan yang dilakukan
pada An. D dengan post operasi orif di Bangsal Cempaka RSUD Dr. Soediran
Mangun Sumarso Wonogiri, selama 3 hari, mulai pada tanggal 05-07 Januari
2016. Asuhan keperawatan ini meliputi pengkajian data, analisa data, diagnosa
keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi dan evaluasi keperawatan.
Pasien masuk pada tanggal 04 Januari 2016 pukul 16.00 WIB. Pengkajian
47
dilakukan pada tanggal 05 Januari 2016 pada pukul 12.30 WIB. Pengkajian yang
dilakukan pada pasien menggunakan metode pengkajian autoanamnesa dan
alloanamnesa.
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Hasil dari data pengkajian tersebut didapat identitas klien bernana
An. D, tanggal lahir 08 agustus 2010, umur 5 tahun, alamat eromoko,
diagnosa medis post operasi orif, identitas penanggung jawab, nama Tn.
T, umur 35 tahun, alamat eromoko.
2. Keluhan utama
Keluhan utama nyeri di kaki kanan bawah lutut.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dari poli orto dengan keluhan post operasi orif dikaki
kanan, sebelumnya satu tahun lalu di pasang orif karena terjatuh saat
berlari, ibu pasien mengatakan kaki anaknya nyeri belum berari
menggerakkan kakinya.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pada saat kehamilan ibu, ibu An. D mengatakan bahwa ini anak
pertamanya yang lahir pada tanggal 08 agustus 2010, saat melahirkan
pada usia kehamilan 40 minggu, ibu An. D mengatakan kesehatan saat
48
kehamilan baik-baik saja, ibu An. D mengatakan selalu memeriksakan
kehamilannya dan hanya mengkonsumsi obat dari bidan, ibu An. D
mengatakan melahirkan secara normal, dengan berat badan bayi 3000
gram, panjang badan 49 cm, kondisi kesehatan baik tidak ada
penggunaan oksigen, apgar skor 9 dan tidak ada kelainan bawaan,
penyakit sebelumnya operasi atau cidera, ibu An. D mengatakan
sebelumnya satu tahun yang lalu An. D jatuh saat berlari kemudian
dipasang orif dikaki kanan bawah lutut, ibu An. D mengatakan tidak ada
penyakit menular dalam keluarganya, respon hospitalisasi An. D saat
hospitalisasi An. D tampak takut saat perawat atau dokter akan
melakukan tindakan, Ibu An. D mengatakan anaknya tidak memiliki
alergi, pola aktivitas dan latihan sebelum dan sesudah sakit aktivitas
masih dibantu orang tua.
Ibu An. D mengatakan anaknya sudah mendapak imunisasi dasar
lengkap seperti polio, BCG, hepatitis, dan campak yang diberikan sesuai
bulan, ibu An. D mengatakan apabila setelah diberi imunisasi biasanya
anak akan rewel dan demam.
5. Pertumbuhan dan perkembangan
Pertumbuhan dan perkembangan An. D didapatkan data, berat
badan An. D saat lahir 3000 gram, saat usia 6 bulan 6000 gram,
kemudian usia satu tahun 9000 gram dan berat badan sekarang 14 kg,
usia tumbuh gigi dan tanggal gigi, ibu An. D mengatakan anaknya mulai
tumbuh gigi pada usia 8 bulan, mulai bisa mengontrol kepala pada usia
49
10 bulan, sekarang An. D baru bersekolah TK, ibu An. D mengatakan
interaksi dengan teman sebaya dan orang dewasa baik dan aktif,
kemudian perkembangan anaknya cukup baik sesuai dengan usianya.
6. Kebiasaan
Pola tingkah laku An. D cukup baik, jam tidur kadang tidak teratur,
toileting masih dibantu.
7. Riwayat nutrisi dan cairan
Ibu An. D mengatakan anaknya diberi ASI dari lahir sampai usia 2
tahun, kemudian setelah itu diberi susu formula selama 1 tahun, mulai
diberi makanan pendamping pada usia 6 bulan, nafsu makan An. D baik.
8. Riwayat kesehatan keluarga
Genogram :
An.D (5th)
50
Ket :
: laki-laki
: perempuan
: pasien
: garis keturunan
: tinggal serumah
Pengkajian penyakit keturunan didapatkan orangtua An.D
mengatakan tidak ada keturunan di keluarganya yang mempunyai
penyakit menurun. Pengkajian riwayat kesehatan lingkungan orangtua
An. D mengatakan lingkungan rumahnya cukup bersih, ventilasi udara
cukup, ayah An. D merokok.
9. Riwayat sosial
Pengkajian riwayat sosial didapatkan hasil, Ibu An. D mengatakan
mereka tinggal serumah dengan neneknya, lingkungan rumah bersih ada
ventilasi, jumlah kamar dirumahnya ada empat, ibu An.D mengatakan,
An. D sekolah TK dan ayahnya wiraswasta sedangkan ibu An. D sebagai
ibu rumah tangga, semua kularganya beragama islam dan melakukan
sholat 5 waktu serta berdoa
10. Fungsi keluarga
Pengkajian menurut fungsi keluarga, interaksi dalam keluarganya
cukup baik dan menjalankan perannya masing-masing dengan baik,
51
dalam keluarganya penuh kasih sayang tidak ada permusuhan saling
berdiskusi apabila ada masalah, ibu An. D mengatakan suami dan
kakeknya yang membuat keputusan dalam keluarganya, komunikasi
sangat penting dalam keluarganya dan jarak antar anggota keluarganya
cukup dekat saling membuat nyaman satu sama lain.
11. Riwayat seksual
Pada perkembangan seksual An. D, Ibu An. D mengatakan anaknya
sudah dapat membedakan laki-laki dan perempuan.
12. Pengukuran pertumbuhan
Setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan hasil, panjang badan
An. D 86 cm, lingkar dada 46 cm, berat badan 14 kg, lingkar lengan 12
cm, lingkar kepala 40 cm.
13. Pemeriksaan fisik
Setelah dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital pada An. D
didapatkan hasil, suhu tubuh 370C, pernafasan 26x/ menit, denyut nadi
100x/menit, tekanan darah 100/60 mmHg. Keadaan umum An. D
composmetis, nutrisi baik, saat sakit tingkah laku An. D kurang aktif,
selama sakit perkembangan An. D tidak ada masalah, warna kulit An.D
sawo matang, tekstur halus, turgor kulit baik, warna rambut hitam bersih
tidak ada ketombe, warna kuku putih bening, tekstur keras tidak ada
clubing, tidak ada pembesaran kelenjar limfe, bentuk kepala mecochepal,
warna sklera putih, warna kornea hitam, konjungtiva anemis, gerakan
52
mata normal, telinga bersih tidak ada serumen, kemampuan pendengaran
baik, tidak ada cuping hidung, warna bibir sedikit pucat, warma membran
mukosa merah, warna gusi merah, jumlah gigi 20, gerakan lidah normal,
tidak ada pembesaran kelenjar limfe dan tyroid, pemeriksaan paru :
bentuk dada simetris kanan kiri, vocal fremitus teraba kanan kiri, sonor,
tidak ada suara tambahan, pemeriksaan jantung : ictus cordis tidak
tampak teraba di ICS 5, pekak, bunyi jantung I-II murni, pemeriksaan
abdomen: simetris tidak kembung, bising usung 10x/ menit, suara
timpani, tidak ada nyeri tekan, keadaan anus normal, bentuk punggung
simetris tidak ada perubahan warna, jumlah jari tangan normal, terpasang
infus RL 12 tpm ditangan kiri.
B. Pemeriksaan laboratorium
Pada tanggal 05 januari 2016 didapatkan hasil pemeriksaan
laboratorium yaitu, Lekosit 5.7 k/uL (nilai normal 4.1-10.9 k/uL), limfosid
2.2 R2 37.9 %L (nilai normal 0.6-4.1), MID 0.6 9.8% M (nilai normal 0.0-
1.8), GRAN 3.0 R3 32.3% G (nilai normal 2.0-7.8), eritrosit 4.62 M/uL (nilai
normal 4.20-6.30 M/uL), hemoglobin 11.9 g/dL (nilai normal 12.0-18.0
g/dL), hematrokrit 35.5 % (nilai normal 37.0-51.0 %), eritrosit 76.9 fL (nilai
normal 80.0-97.0 fL), MCH 25.8 pg (nilai normal 26.0-32.0 pg), CHC 33.5
g/dL (nilai normal 31.0-36.0 g/dL), RDW 15.6 % (nilai normal 11.5-14.5 %),
53
trombosit 249 k/uL (nilai normal 140-440 k/uL), MPV 6.5 fL (nilai normal
0.0-99.8 fL).
C. Terapi
Selama sakit An. D diberi terapi obat yaitu, RL 12 tpm untuk
menambah cairan, ceftazidime 250/12 jam untuk mengatasi infeksi-infeksi
yang disebabkan oleh kuman, paracetamol 250/12 jam untuk mengatasi nyeri
ringan pada sakit kepala, sakit gigi dan menurunkan demam.
D. Analisa Data
Setelah dilakukan analisa data terhadap hasil pengkajian diperoleh
diagnosa keperawatan utama adalah nyeri akut berhubungan dengan agen
cidera fisik, ditandai dengan data subjektif An. D mengatakan kakinya sakit,
nyeri seperti tertusuk-tusuk, nyeri diare luka post operasi orif dikaki kanan
bawah lutut, skala nyeri 6, nyeri hilang timbul, data objektif An. D tampak
meringis kesakitan.
Diagnosa keperawatan kedua adalah hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang, ditandai dengan
data subjektif ibu An. D mengatakan kaki kanan anaknya belum bisa
digerakkan, data objektif pasien tampak lemas berbaring ditempat tidur
aktivitas dibantu orang tua.
Diagnosa keperawatan ketiga adalah cemas berhubungan dengan status
kesehatan, ditandai dengan data subjektif ibu An. D mengatakan anaknya
54
masih belum berani menggerakkan kaki kanannya, data objektif pasien
tampak cemas belum berani menggerakkan kaki kanannya, tekanan darah
100/60 mmHg, pernafasan 26x/ menit denyut nadi 100x/ menit, suhu 370C.
E. Prioritas Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan rumusan masalah keperawatan di atas dapat
memprioritaskan diagnosa keperawatan utama yaitu nyeri akut berhubungan
dengan agen cidera fisik, diagnosa keperawatan kedua hambatan mobilitas
fisik berhubungan dengan kerusakan integritas stuktur tulang, diagnosa
keperawatan ketiga cemas berhubungan dengan preses penyakit.
F. Rencana Keperawatan
Rencana keperawatan yang dilakukan pada An. D untuk diagnosa
keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik dengan tujuan
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri
akut pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil : pasien tidak mengeluh nyeri,
skala nyeri berkurang 2-1, pasien tampak rileks. Intervensi yang akan
dilakukan yaitu kaji status nyeri klien (PQRST), berikan posisi yang nyaman
(semi fowler), ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, kolaborasi dengan tim
dokter dalam pemberian obat analgetik, dengan rasional mengkaji status nyeri
klien, mengurangi rasa nyeri agar lebih nyaman, mengurangi rasa nyeri secara
farmakologi.
55
Rencana keperawatan yang dilakukan pada An. D untuk diagnosa
hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas stuktur
tulang dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24
jam diharapkan tingkat mobilisasi optimal dengan kriteria hasil : pasien
meningkat dalam aktivitas fisik, memverbalkan perasaan dalam
meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah. Intervensi yang akan
dilakukan yaitu kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, dampingi dan
bantu pasien saat mobilisasi, ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan
berikan bantuan jika diperlukan, konsultasikan dengan terapi fisik tentang
rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan, dengan rasional mengetahui
tingkat pasien dalam melakukan aktivitas, memelihara fleksibilitas sendi
sesuai kemampuan, gerakan aktif memberikan kekuatan otot, peningkatan
kemampuan mobilisasi dari latihan ahli fisioterapi.
Rencana keperawatan yang dilakukan pada An. D untuk diagnosa
cemas berhubungan dengan status kesehatan dengan tujuan setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan kecemasan pasien dapat
teratasi dengan kriteria hasil: pasien mampu mengidentifikasi dan
mengungkapakan gejala cemas, mengidentifikasi, mengungkapkan dan
menunjukkan teknik untuk mengontrol cemas, tanda-tanda vital dalam batas
normal, postur tubuh, ekspresi wajah dan tingkat aktivitas menunjukkan
berkurangnya kecemasan, intervensi yang akan dilakukan kaji tingkat
kecemasan pasian, temani pasien untuk memberikan keamanan, bantu pasien
mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan, mengobservasi tanda-tanda
56
vital, kolaborasi pemberian obat untuk kecemasan, dengan rasional
mengetahui tingkat kecemasan pasien, agar pasien lebih rileks, membantu
pasien agar mengenal situasi apa saja yang dapat menimbulkan
kecemasannya, untuk mengurangi kecemasan.
G. Tindakan Keperawatan/ Implementasi
Tindakan keperawatan hari pertama dilakukan pada tanggal 05 januari
2016 dengan diagnosa keperawatan nyeri berhubungan dengan agen cidera
fisik, mengkaji status nyeri klien berdasarkan pengkajian (PQRST) jam 12.30
didapatkan respon subjektif, An. D mengatakan kakinya sakit, nyeri seperti
ditusuk-tusuk, nyeri diarea luka post operasi orif di kaki kanan bawah lutut,
skala nyeri 6, nyeri hilang timbul, data objektif An. D tampak meringis
kesakitan, jam 12.50 mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, data
subjektif ibu An. D mengatakan kaki kanan anaknya belum bisa digerakkan,
data objektif pasien tampak lemas berbaring ditempat tidur aktivitas dibantu
orang tua, jam 13.05 mengkaji tingkat kecemasan pasien, data subjektif ibu
An. D mengatakan anaknya masih belum berani menggerakkan kaki
kanannya, data objektif pasien tampak cemas belum berani menggerakkan
kaki kanannya, jam 13.30 menemani pasien untuk memberikan keamanan,
data subjektif An.D mengatakan ingin ditemani, data objektif An. D tampak
ditemani (bermain puzzle) An.D tampak belum kooperatif, nilai tingkat
kooperatifannya 12, tekanan darah 100/60 mmHg, pernafasan 26x/menit
denyut nadi 100x/menit, suhu 370C.
57
Tindakan keperawatan hari kedua dilakukan pada tanggal 06 januari
2016, jam 08.00 mengkaji status nyeri klien, data subjektif An. D mengatakan
kakinya masih sakit, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri diarea luka post
operasi orif di kaki kanan bawah lutut, skala nyeri turun menjadi 4, nyeri
hilang timbul , data objektif An. D tampak meringis kesakitan, jam 08.30
mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam, data subjektif An. D mengatakan
bersedia untuk melakukan relaksasi nafas dalam, data objektif An. D tampak
lebih nyaman, jam 08.45 memberikan posisi yang nyaman (semi fowler), data
subjektif An. D mengatakan bersedia untuk diberikan posisi yang nyaman,
data objektif An. D tampak lebih nyaman, jam 09.00 mengkolaborasikan
pemberian obat (ceftazidime), data subjektif An. D mengatakan bersedia
untuk diberi obat, data objektif obat sudah masuk, jam 10.00 mengajarkan
pasien bagaimana merubah dan berikan bantuan, data subjektif An. D
mengatakan bersedia untuk merubah atau menggerakkan kakinya, data
objektif An. D tampak sedikit demi sedikit menggerakkan kakinya, jam
10.30 mendampingi dan bantu pasien saat mobilisasi, data subjektif An. D
mengatakan bersedia melakukan latihan fisik, data objektif An. D tampak
belajar berdiri dan berjalan, jam 13.13 menemani pasien untuk memberikan
keamanan, data subjektif An. D mengatakan bersedia untuk ditemani, data
objektif An. D tampak sudah mulai kooperatif (bermain puzzle), nilai
kooperatif 7, tekanan darah 102/62 mmHg, pernafasan 24x/menit, denyut
nadi 102x/menit, suhu 36,20C.
58
Tindakan keperawatan hari ketiga dilakukan pada tanggal 07 januari
2016, jam 08.30 mengkaji status nyeri klien, data subjektif An. D mengatakan
kakinya sudah tidak terlalu sakit, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri diarea
luka post operasi orif dikaki kanan bawah lutut, skala nyeri turun menjadi 2,
nyeri hilang timbul, data objektif An. D tampak nyaman, 09.00
mengkolaborasi pemberian obat analgetik (paracetamol), data subjektif An. D
mengatakan bersedia untuk diberi obat , data objektif obat tampak sudah
masuk, jam 10.00 mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, data
subjektif An. D mengatakan kakinya sudah bisa untuk berjalan, data objektif
An. D tampak sudah bisa berdiri dan berjalan, jam 13.00 mendampingi pasien
untuk mengurangi kecemasan, data subjektif An. D mengatakan bersedia
untuk ditemani, data objektif An. D tampak sudah kooperatif bersedia untuk
ditemani (bermain puzzle), nilai kooperatif 3, tekanan darah 98/60 mmHg,
pernafasan 26x/menit, denyut nadi 100x/menit, suhu 360C.
H. Evaluasi Tindakan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, hasil evaluasi dilakukan pada
tanggal 05 januari 2016 jam 14.00 dengan menggunakan metode SOAP
(Subyektif, Obyektif, Assessment, Planning), untuk diagnosa nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera fisik, data subjektif An. D mengatakan
kakinya sakit, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri diarea luka post operasi orif
dikaki kanan bawah lutut, skala nyeri 6, nyeri hilang timbul, data objektif
59
pasien merintih kesakitan, masalah belum teratasi, intervensi dilanjutkan, kaji
status nyeri klien, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, berikan posisi
nyaman (semi fowler), kolaborai dengan tim dokter dalam pemberian obat
analgetik.
Evaluasi untuk diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik b.d
kerusakan integritas struktur tulang, data subjektif ibu An. D mengatakan
kaki kanan anaknya belum bisa digerakkan, data objektif An. D tampak lemas
berbaring ditempat tidur, aktivitas dibantu orang tua, masalah belum teratasi,
intervensi dilanjutkan, kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, dampingi
dan bantu pasien saat mobilisasi, ajarkan pasien bagaimana merubah posisi
dan berikan bantuan jika diperlukan, konsultasikan dengan terapi fisik tentang
rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
Evaluasi untuk diagnosa cemas berhubungan dengan status kesehatan,
data subjektif ibu An. D mengatakan anaknya belum berani untuk
menggerakkan kakinya, data objektif An. D tampak bingung dan cemas
belum kooperatif, nilai kooperatif 12, tekanan darah 100/60 mmHg,
pernafasan 26x/ menit denyut nadi 100x/ menit, suhu 370C, masalah belum
teratasi, intervensi dilanjutkan, kaji tingkat kecemasan pasien, temani pasien
untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut, bantu pasien mengenal
situasi yang menimbulkan kecemasan, kolaborasi pemberian obat untuk
kecemasan, mengobservasi tanda-tanda vital.
Hasil evaluasi hari kedua dilakukan pada tanggal 06 januari 2016 jam
14.00, untuk diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik, data
60
subjektif An. D mengatakan kakinya masih sakit, nyeri seperti ditusuk-tusuk,
nyeri diarea luka post operasi orif dikaki kanan bawah lutut, skala nyeri turun
menjadi 4, nyeri hilang timbul, data objektif pasien meringis kesakitan,
masalah teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan, kaji status nyeri klien,
ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, berikan posisi nyaman (semi fowler),
kolaborai dengan tim dokter dalam pemberian obat analgetik.
Evaluasi untuk diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan kerusakan integritas stuktur tulang, data subjektif ibu
An. D mengatakan kaki kanan anaknya sudah bisa digerakkan sedikit demi
sedikit, data objektif An. D tampak sudah bisa menggerakkan kakinya,
masalah teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan, kaji kemampuan pasien
dalam mobilisasi, dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi, ajarkan pasien
bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan.
Evaluasi untuk diagnosa cemas berhubungan dengan status kesehatan,
data subjektif ibu An. D mengatakan anaknya sudah tidak cemas lagi, data
objektif An.D tampak sudah mulai kooperatif, mau ditemani (bermain
puzzle), nilai kooperatif 7, tekanan darah 102/62 mmHg, pernafasan
24x/menit, denyut nadi 102x/menit, suhu 36,20C, masalah teratasi sebagian,
intervensi dilanjutkan, kaji tingkat kecemasan pasien, temani pasien untuk
memberikan keamanan dan mengurangi takut.
Hasil evaluasi hari ketiga dilakukan pada tanggal 07 januari 2016 jam
14.00, untuk diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik, data
subjektif An. D mengatakan kakinyasudah tidak terlalu sakit, nyeri terasa
61
ditusuk-tusuk, nyeri diarea luka post operasi orif dikaki kanan bawah lutut,
skala nyeri turun menjadi 2, nyeri hilang timbul, data objektif pasien tampak
lebih nyaman, masalah teratasi sebagian, discharge planning, ajarkan teknik
relaksasi nafas dalam.
Evaluasi untuk diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang, data subjektif An.
D mengatakan kaki kanannya sudah bisa digerakkan, data objektif An. D
tampak sudah bisa menggerakkan kakinya, masalah teratasi, discharge
planning, aktivitas dibantu atau didampingi orang tua.
Evaluasi untuk diagnosa cemas berhubungan dengan status kesehatan,
data subjektif ibu An. D mengatakan anaknya sudah tidak cemas lagi, data
objektif An.D tampak sudah kooperatif, mau ditemani (bermain puzzle) nilai
kooperatif 3, tekanan darah 98/60 mmHg, pernafasan 26x/menit, denyut nadi
100x/menit, suhu 360C, masalah teratasi, intervensi dihentikan.
BAB V
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membahas tentang asuhan keperawatan
An. D dengan post operasi orif di Ruang Cempaka RSUD Dr. Soediran
Mangun Sumarso Wonogiri. Pembahasan pada bab ini terutama
membahas adanya kesesuaian maupun kesenjangan antara teori dengan
62
kasus. Asuhan keperawatan ini melalui tahap, pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi.
A. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang klien, agar dapat
mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah kebutuhan kesehatan dan
keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan (Deden, 2012).
Hasil pengkajian pada An. D yang dilakukan pada tanggal 05 Januari 2016
pada pukul 12.30 WIB melalui metode alloanamnesa dan autoanamnesa,
observasi langsung, pemeriksaan fisik, menelaah catatan medis dan catatan
perawat dokter mendiagnosa An. D mengalami post operasi orif. Menurut
teori Smelter (2001) dalam Jitowiyono & Kristiyanasari (2012) salah satu
penatalaksanaan bedah ortopedi pada pasien fraktur adalah ORIF (Open
Reduction and Internal Fixation). ORIF diartikan sebagai stabilisasi tulang
patah yang telah direduksi atau perbaikan tulang terusan penjajaran insisi
pembedahan yang sering kali memasukkan internal viksasi terhadap fraktur
dengan kawat, sekrup, peniti plates batang intramedulasi, dan paku.
Pada pengkajian yang dilakukan pada An. D didapat keluhan utama
An.D mengatakan kakinya sakit, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri diarea luka
post operasi orif di kaki kanan bawah lutut, skala nyeri 6, nyeri hilang timbul,
pasien tampak meringis kesakitan. Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri,
hilangnya fungsi atau deformitas tulang, pemendekan ektremitas, krepitus
63
(adanya derik tulang), pembengkakan lokal dan perubahan warna (Brunner &
Suddarth, 2005).
Pada pasien post operasi seringkali mengalami nyeri hebat meskipun
tersedia obat-obatan analgesik yang efektif, namun nyeri post operasi tidak
dapat diatasi dengan baik, sekitar 50% pasien tetap mengalami nyeri sehingga
dapat mengganggu kenyamanan pasien (Wals, 2008).
Rasa nyeri merupakan stresor yang dapat menimbulkan stres dan
ketegangan dimana individu dapat berespon secara biologis dan perilaku yang
menimbulkan respon fisik dan psikis. Pada respon fisik pasien post operasi
meliputi perubahan keadaan umum, wajah, denyut nadi, pernafasan, suhu
badan, dan apabila nafas semakin berat dapat menyebabkan colaps
kardiovaskuler dan syok, sedangkan respon psikis akibat nyeri dapat
merangsang respon stres yang dapat mengurangi sistem imun dalam
peradangan, serta dapat menghambat penyembuhan respon yang lebih parah
akan mengarah pada ancaman merusak diri (Corwin, 2001 dalam Syaiful dan
Rachmawan, 2014).
Menurut International Association for the Study of Pain, IASP (2011)
mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman sensori dan emosional yang
tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau
potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi
kerusakan. Sedangkan menurut Mustawan (2008) nyeri merupakan keluhan
yang paling sering diungkapkan pasien dengan tindakan pembedahan atau
operasi. Pengkajian nyeri yang dilakukan penulis mengacu pada teori
64
karakteristik nyeri (PQRST) mengacu pada Provoking inciden : Apakah ada
peristiwa yang menjadi factor prepitasi nyeri. Quality of pain : Seperti apa
rasa nyeri yang dirasakan pasien. Apakah seperti terbakar, berdenyut/
menusuk. Region Radiation, relief : Apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar/menyebar dan dimana rasa sakit terjadi. Saverity (scale
ofpain): Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan pasien, bisa berdasarkan
skala nyeri/pasien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya. Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari/siang hari (Nasrul Effendy, 1995:2-3)
dalam Wijaya & Putri (2013).
Hasil pengkajian pola aktivitas dan latihan didapatkan hasil, sebelum
sakit maupun selama sakit An. D mengatakan semua aktivitas seperti
makan/minum, toileting, berpakaian, mobilisasi ditempat tidur, berpindah dan
ambulasi/ROM masih dibantu orang tua. Menurut Wijaya & Putri (2013)
pada pola aktifitas dan latihan pada pasien fraktur atau post operasi
mengalami perubahan/gangguan sehingga kebutuhan pasien perlu dibantu
oleh perawat/ keluarga.
Pemeriksaan tanda-tanda vital pada An. D didapatkan hasil, suhu tubuh
370C, pernafasan 26x/menit, denyut nadi 100x/menit, tekanan darah 100/60
mmHg, pemeriksaan paru : bentuk dada simetris kanan kiri, vocal fremitus
teraba kanan kiri, sonor, tidak ada suara tambahan, pemeriksaan jantung :
ictus cordic tidak tampak teraba di ICS 5, pekak, BJ I-II murni, pemeriksaan
abdomen : simetris tidak kembung, bising usung 10x/ menit, suara thympani,
65
tidak ada nyeri tekan, keadaan anus normal, bentuk punggung simetris tidak
ada perubahan warna, jumlah jari tangan normal. Selama sakit An. D diberi
terapi obat yaitu, RL 12 tpm untuk menambah cairan, ceftazidime 250/12 jam
untuk mengatasi infeksi-infeksi yang disebabkan oleh kuman, paracetamol
250/12 jam untuk mengatasi nyeri ringan pada sakit kepala, sakit gigi dan
menurunkan demam.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinik tentang respon individu,
keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan aktual atau potensial,
sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan
keperawatan (Nursalam, 2005). Pada teori yang didapat penulis, diagnosa
keperawatan yang sering muncul pada pasien post operasi orif antara lain
nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik, hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan dan cemas berhubungan dengan proses penyakit
(Herdman, 2012).
Diagnosa keperawatan yang diambil oleh penulis pada tanggal 05
Januari 2016 adalah nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (post
operasi orif), yang telah disesuaikan dengan diagnosa keperawatan NANDA.
Pada kasus An. D terjadi nyeri akut yaitu pengalaman sensori dan emosional
yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang actual
atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa
(International Association for the Study of Pain) awitan tiba-tiba atau lambat
66
dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau
diprediksi dan berlangsung kurang dari 6 bulan (Herdman, 2012).
Nyeri yang dialami An. D berkaitan dengan nyeri akut yang terjadi
adanya luka insisi bekas pembedahan (Perry & Potter, 2006). Batasan
karakteristik menurut teori yang ada yaitu perubahan tekanan darah,
perubahan frekuensi jantung, perubahan frekuensi pernafasan,
mengekspresikan perilaku (gelisah, merengek, menangis, waspada iritabilitas
mendesal), perubahan posisi untuk menghindari nyeri, sikap melindungi area
nyeri (Herdman, 2012). Pada An. D batasan karakteristik yang ditemukan
meliputi data subyektif klien mengatakan kakinya sakit, nyeri seperti
tertusuk-tusuk, nyeri diare luka post operasi orif dikaki kanan bawah lutut,
skala nyeri 6, nyeri hilang timbul, data objektif An. D tampak meringis
kesakitan.
Penulis memprioritaskan diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen
cidera biologis sebagai diagnosa pertama. Alasan penulis memprioritaskan
masalah nyeri akut sebagai prioritas pertama, karena berdasarkan pada
keaktualan masalah yang sesuai dengan tipe-tipe diagnosa keperawatan.
Menurut Carpenito (2002) dalam Setiadi (2012: 40), bahwa terdapat 5 tipe
diagnosa yaitu aktual, risiko, kemungkinan, kesejahteraan, dan sindrom.
Diagnosa aktual adalah menyajikan keadaan yang secara klinis telah di
validasi melalui batasan karakteristik mayor yang dapat diidentifikasi, karena
nyeri dapat mengganggu kebutuhan rasa aman dan nyaman serta merupakan
67
masalah yang paling utama maka harus didahulukan daripada kebutuhan yang
lain.
Diagnosa keperawatan kedua adalah hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang, ditandai dengan
data subjektif ibu An. D mengatakan kaki kanan anaknya belum bisa
digerakkan, data objektif pasien tampak lemas berbaring ditempat tidur
aktivitas dibantu orang tua.Sehingga penulis mengambil diagnosa hambatan
mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang.
Dimana hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik
tubuh atau satu atau lebih ektremitas secara mandiri dan terarah (Nurarif &
Kusuma 2013). Batasan karakteristik hambatan mobilitas fisik yaitu kesulitan
membolak-balikkan posisi, dispnea setelah beraktivitas, perubahan cara
berjalan, pergerakan lambat (Herdman, 2012).
Diagnosa keperawatan ketiga adalah cemas berhubungan dengan status
kesehatan, ditandai dengan data subjektif ibu An. D mengatakan anaknya
masih belum berani menggerakkan kaki kanannya, data objektif pasien
tampak cemas belum berani menggerakkan kaki kanannya, tekanan darah
100/60 mmHg, pernafasan 26x/menit denyut nadi 100x/menit, suhu 370C.
Menurut Wong (2002) dalam Hermiati dan Marita (2013), perawatan
dirumah sakit yang dialami oleh seorang anak dapat menimbulkan berbagai
pengalaman yang sangat traumatik dan penuh dengan kecemasan. Cemas
yang muncul dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti lingkungan fisik
rumah sakit antara lain bangunan atau ruang rawat, alat-alat, bau yang khas,
68
pakaian putih, petugas kesehatan maupun lingkungan sosial, seperti sesama
pasien anak ataupun interaksi dan sikap petugas kesehatan itu sendiri.
Perasaan seperti takut, cemas, tegang, nyeri dan perasaan yang tidak
menyenangkan lainya, sering kali dialami anak. Efek hospitalisasi pada anak
sering dialami oleh anak saat mengalami perawatan dirumah sakit. Dampak
negatif dari perubahan lingkungan sangat berpengaruh terhadap upaya
perawatan dan pengobatan yang sedang dijalani pada anak. Reaksi anak
selama hospitalisasi yang dimunculkan pada anak akan berbeda antara satu
dengan lainnya, reaksi yang sering muncul antara lain: menolak makan,
sering bertanya, menangis pelan, tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan
atau perawatan di rumah sakit kehilangan kontrol, dan pembatasan aktivitas.
Sering kali dipersepsikan anak sekolah sebagai hukuman. Sehingga ada
perasaan malu, takut sehingga menimbulkan reaksi agresif, marah, berontak,
tidak mau bekerja sama dengan perawat (Suryanti, 2011).
C. Intervensi keperawatan
Penulis menyusun rencana tindakan dalam diagnosa keperawatan nyeri
akut, hambatan mobilitas fisik dan kecemasan berdasarkan NIC (Nursing
Intervention Classification) dengan menggunakan metode ONEC (Observasi,
Nursing Intervention, Education, Collaboration). Tujuan dan kriteria hasil ini
disusun berdasarkan NOC (Nursing Output Classification) dengan
menggunakan metode SMART (Spesific, Measurable, Achievable, Realistic,
Time) (Dermawan, 2012).
69
Tujuan dari perencanaan tindakan untuk diagnosa nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera biologis adalah setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri hilang atau berkurang dengan
kriteria hasil pasien tidak mengeluh nyeri, skala nyeri berkurang 2-1, pasien
tampak rileks. Pada intervensi yang pertama yaitu kaji status nyeri klien
PQRST dimana Provocate adalah faktor yang menimbulkan nyeri dan
mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri, Quality adalah kualitas nyeri,
Region adalah perjalanan ke daerah lain, Skala adalah intensitas skala nyeri,
Time adalah menjelaskan waktu dan frekuensi nyeri. Hal ini dilakukan sesuai
dengan teori dalam pengkajian karakteristik nyeri (PQRST) untuk
mengetahui pemicu nyeri, kualitas nyeri, lokasi nyeri, intensitas nyeri, dan
waktu frekuensi nyeri (Saputra, 2013).
Pada intervensi yang kedua yaitu berikan posisi yang nyaman, yang
bertujuan untuk mengatur posisi saat istirahat (Supadi, 2008). Intervensi yang
ketiga yaitu anjurkan relaksasi nafas dalam jika timbul nyeri, relaksasi
merupakan metode yang efektif untuk mengurangi nyeri pada klien yang
mengalami nyeri, dapat mengurangi ketegangan otot, rasa jenuh, dan
kecemasan sehingga mencegah menghebatnya stimulasi nyeri (Eni, 2006).
Pada intervensi yang keempat yaitu kolaborasi pemberian obat
analgesik pereda nyeri, pemberian analgesik yang dapat menyebabkan
penurunan nyeri karena obat ini bekerja pada ujung saraf perifer di daerah
yang mengalami cidera, dengan menurunkan kadar mediator peradangan yang
dibangkitkan oleh sel-sel yang mengalami cidera (Tamsuri, 2012).
70
Tujuan dan perencanaan keperawatan untuk diagnosa hambatan
mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas stuktur tulang
dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan tingkat mobilisasi optimal dengan kriteria hasil : pasien
meningkat dalam aktivitas fisik, memverbalkan perasaan dalam
meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah. Intervensi yang akan
dilakukan yaitu kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, dampingi dan
bantu pasien saat mobilisasi, ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan
berikan bantuan jika diperlukan, konsultasikan dengan terapi fisik tentang
rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan, dengan rasional mengetahui
tingkat pasien dalam melakukan aktivitas, memelihara fleksibilitas sendi
sesuai kemampuan, gerakan aktif memberikan kekuatan otot, peningkatan
kemampuan mobilisasi dari latihan ahli fisioterapi.
Tujuan dari perencanaan tindakan untuk diagnosa kecemasan
berhubungan dengan status kesehatan adalah setelah dilakukan keperawatan
selama 3x24 jam diharapkan kecemasan pasien dapat teratasi dengan kriteria
hasil : pasien mampu mengidentifikasi dan mengungkapakan gejala cemas,
mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan teknik untuk
mengontrol cemas, tanda-tanda vital dalam batas normal, postur tubuh,
ekspresi wajah dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangan kecemasan,
dengan rasional mengetahui tingkat kecemasan pasien, agar pasien lebih
rileks, membantu pasien agar mengenal situasi apa saja yang dapat
menimbulkan kecemasannya, untuk mengurangi kecemasan.
71
Pada intervensi yang ketiga yaitu dorong keluarga untuk menemani
anak dengan rasional menurunkan kecemasan dan kegelisahan pasien
(Wilkinson, 2012), yakinkan kembali pasien dengan sentuhan dan sikap
empatik secara verbal dan non-verbal dengan rasional mengurangi ansietas
pada pasien (Green Setyowati, 2006). Di dalam intervensi ini penulis
menerapkan terapi bermain puzzle untuk meningkatkan kooperatif anak
selama hospitalisasi dirumah sakit. Sikap kooperatif adalah tingkat individu
dalam melihat dirinya sendiri sebagai bagian dari anggota masyarakat.
Individu yang bersikap kooperatif ditunjukan dengan sikap empati, toleransi,
penuh kasih sayang, saling mendukung, serta mempunyai prinsip yang kuat
(Videbeck, 2008). Untuk mengetahui sejauh mana tingkat kooperatif anak
selama hospitalisasi yaitu dengan menggunakan lembar observasi tingkat
kooperatif yang terdiri dari 18 pengamatan respon anak yang dibagi menjadi
3 kelompok, hasil : ya=1, tidak=0, mean : 9, kooperatif=<9, tidak
kooperatif=>9. Bermain digunakan sebagai terapi dalam proses
penyembuhan pasien anak karena diyakini mampu untuk menghilangkan
berbagai batasan, hambatan dalam diri, stres dan frustasi, karena bermain
memiliki efek healing (penyembuhan). Terapi bermain merupakan suatu
proses penyembuhan dengan metode bermain yang digunakan pada anak
yang mempunyai masalah emosi, khususnya pada anak usia 3-12 tahun,
dengan tujuan mengubah tingkah laku anak yang tidak sesuai menjadi
tingkah laku yang diharapkan. Nurjaman (2006) mengemukakan setelah
melewati usia balita, anak yang sering diajak bermain akan lebih kooperatif
72
dan mudah diajak bekerjasama, sebaliknya jika anak kurang diajak bermain,
anak akan kurang memiliki stimulasi, menjadi seperti ditelantarkan, kurang
peka terhadap sekitarnya, sulit percaya pada orang lain dan curiga apabila
memasuki lingkungan baru. Permainan juga merupakan media komunikasi
antara anak dengan orang lain, termasuk dengan perawat atau petugas
kesehatan di rumah sakit. Perawat dapat mengkaji perasaan dan pikiran anak
melalui ekspresi non verbal yang ditunjukkan selama melakukan permainan
atau melalui interaksi yang ditunjukkan anak dengan orang tua dan teman
bermainnya.
Pada intervensi yang keempat yaitu berikan obat untuk mengurangi
kecemasan dengan rasional untu menurunkan angka kecemasan pada pasien.
D. Implementasi keperawatan
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Fokus dari
intervensi keperawatan antara lain : mempertahankan daya tahan tubuh,
mencegah komplikasi, menemukan perubahan sistem tubuh, mencegah
komplikasi, menemukan perubahan sistem tubuh, memantapkan hubungan
klien dengan lingkungan, implementasi pesan dokter (Setiadi, 2012).
Berdasarkan masalah keperawatan tersebut diatas perawat melakukan
implementasi dan evaluasi selama 3 hari sesuai tujuan, kriteria hasil, dan
intervensi yang telah dibuat berdasarkan NIC dan NOC.
Penulis melakukan implementasi untuk diagnosa nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera biologis selama 3 hari. Tindakan yang
73
pertama mengkaji status nyeri (PQRST) penulis mengkaji status nyeri klien
didapatkan respon subjektif, An. D mengatakan kakinya sakit, nyeri seperti
ditusuk-tusuk, nyeri diarea luka post operasiorif di kaki kanan bawah lutut,
skala nyeri 6, nyeri hilang timbul, data objektif An. D tampak meringis
kesakitan,
Tindakan keperawatan kedua penulis memberikan posisi yang nyaman
(semi fowler), data subjektif An. D mengatakan bersedia untuk diberikan
posisi yang nyaman, data objektif An. D tampak lebih nyaman. Dalam teori
memberikan posisi yang nyaman, bertujuan untuk mengatur posisi saat
istirahat (Supadi, 2008).
Tindakan keperawatan ketiga penulis mengajarkan relaksasi nafas
dalam, didapatkan respon subjektif mengatakan bersedia untuk melakukan
relaksasi nafas dalam, data objektif An. D tampak lebih nyaman. Didalam
teori relaksasi merupakan metode yang efektif untuk mengurangi nyeri pada
klien yang mengalami nyeri, dapat mengurangi ketegangan otot, rasa jenuh,
dan kecemasan sehingga mencegah menghebatnya stimulasi nyeri (Eni,
2006).
Tindakan keempat penulis memberikan injeksi sesuai advice dokter
(paracetamol 250 mg), didapatkan respon subjektif An. D mengatakan
bersedia untuk diberi obat, data objektif obat sudah masuk. Didalam teori
pemberian analgesik yang dapat menyebabkan penurunan nyeri karena obat
ini bekerja pada ujung saraf perifer di daerah yang mengalami cidera, dengan
74
menurunkan kadar mediator peradangan yang dibangkitkan oleh sel-sel yang
mengalami cidera (Tamsuri, 2012).
Diagnosa yang kedua adalah hambatan mobilitas fisik berhubungan
dengankerusakan integritas stuktur tulang. Tindakan keperawatan pertama
yang dilakukan adalah mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi dengan
data subjektif ibu An. D mengatakan kaki kanan anaknya belum bisa
digerakkan, data objektif pasien tampak lemas berbaring ditempat tidur
aktivitas dibantu orang tua. Hambatan mobilitas fisik merupakan keterbatasan
pada pergerakan fisik tubuh atau satu atau lebih ekstremitas secara mandiri
dan terarah (Herdman, 2012).
Tindakan keperawatan kedua penulis mengajarkan pasien bagaimana
merubah posisi dan berikan bantuan dengan data subjektif An. D mengatakan
bersedia untuk merubah atau menggerakkan kakinya, data objektif An. D
tampak sedikit demi sedikit menggerakkan kakinya. Melatih dan
mengembalikan aktivitas tertentu sehingga pasien dapat kembali normal dan
atau dapat memenuhi kebutuhan gerak harian (Susan, 2004).
Tindakan keperawatan ketiga penulis mendampingi dan bantu pasien
saat mobilisasi dengan data subjektif An. D mengatakan bersedia melakukan
latihan fisik, data objektif An. D tampak belajar berdiri dan berjalan.
Mobilisasi sangat penting dalam percepatan hari rawat dan mengurangi
resiko-resiko karena tirah baring lama seperti terjadinya dekubitus,
kekakuan/penegangan otot-otot diseluruh tubuh dan sirkulasi darah dan
pernafasan terganggu, juga adanya gangguan peristaltik maupun berkemih.
75
Sering kali dengan keluhan nyeri, klien tidak mau melakukan mobilisasi
ataupun tidak berani merubah posisi. Disinilah peran perawat sebagai
edukator dan motivator kepada klien sehingga klien tidak mengalami suatu
komplikasi yang tidak diinginkan (Carpenito, 2009).
Pasien yang mengalami mobilisasi pada umumnya akan mengalami
gangguan syaraf sensorik maupun motorik pada area tubuh. Mobilisasi
dibedakan menjadi dua yaitu mobilisasi temporer yang disebabkan oleh
trauma reversibel pada sistem muskuloskeletal seperti dislokasi sendi dan
tulang. Mobilisasi permanen biasanya disebabkan oleh rusaknya sistem syaraf
yang reversibel.
Diagnosa yang ketiga adalah kecemasan b.d status kesehatan.
Implementasi yang dilakukan adalah. Tindakan keperawatan yang pertama
yaitu mengkaji tingkat kecemasan pasien, didapatkan respon subjektif ibu An.
D mengatakan anaknya masih belum berani menggerakkan kaki kanannya,
data objektif pasien tampak cemas belum berani menggerakkan kaki
kanannya.
Tindakan keperawatan kedua penulis menemani pasien untuk
memberikan keamanan, data subjektif An. D mengatakan ingin ditemani, data
objektif An. D tampak ditemani (bermain puzzle), ditindakan ini penulis
menerapkan terapi bermain puzzle untuk meningkatkan kooperatif anak
selama hospitalisasi, dalam tindakan ini penulis tidak mengalami kesulitan,
untuk hari pertama pemberian terapi bermain puzzle An. D masih belum
kooperatif, nilai kooperatif 12, setelah menerapkan terapi bermain puzzle
76
selam 3 hari An. D mulai kooperatif nilai kooperatif 3 ditandai dengan
tingkah laku An. D saat perawat atau tenaga medis akan melakukan tindakan.
Menurut Wong (2003) dalam Marasaloy (2008) terapi bermain
merupakan media bagi anak yang tidak kooperatif selama menjalani
perawatan dirumah sakit, agar anak tersebut bisa bekerja sama dengan
perawat maupun tenaga medis yang sedang melakukan tindakan.
Bermain merupakan suatu aktivitas bagi anak yang menyenangkan dan
merupakan suatu metode bagaimana mereka mengenal dunia. Bagi anak
bermain tidak sekedar mengisi waktu, tetapi merupakan kebutuhan anak
seperti halnya makanan, perawatan, cinta kasih dan lain-lain. Anak-anak
memerlukan berbagai variasi permainan untuk kesehatan fisik, mental dan
perkembangan emosinya (Supartini, 2004). Salah satu contoh permainan yang
menarik yaitu permainan puzzle, karena puzzle dapat meningkatkan daya pikir
anak dan konsentrasi anak. Melalui puzzle anak akan dapat mempelajari
sesuatu yang rumit serta anak akan berfikir bagaimana puzzle ini dapat
tersusun dengan rapi (Alfiyanti, 2010). Setelah anak dilakukan terapi bermain
puzzle di rumah sakit tidak hanya memberikan rasa senang pada anak, tetapi
juga akan membantu anak mengekspresikan perasaan, pikiran cemas, takut,
sedih tegang dan nyeri (Barokah A, dkk, 2012).
Setelah memberikan terapi bermain puzzle anak tampak kooperatif,
sehingga dapat meminimalkan kecemasan pada anak saat hospitalisasi.Hal ini
menunjukkan bahwa penerapan bermain puzzle untuk meningkatkan
kooperatif anak selama hospitalisasi dirumah sakit, sesuai dengan jurnal yang
77
telah diteliti dalam penelitian ini berpengaruh terhadap respon kecemasan
anak yang mengalami hospitalisasi (Kubsch, 2000 dalam sulistiyani, 2009).
E. Evaluasi
Tahap evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana
tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan
dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga dan tenaga
kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien
dalam mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap
perencanaan (Setiadi, 2012).
Tindakan keperawatan yang dilakukan selama tiga hari sudah dilakukan
sesuai dengan pengelolaan asuhan keperawatan serta berkolaborasi dengan
tim kesehatan lain. Hasil evaluasi yang sudah didapatkan pada diagnosa
pertama masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera
fisik teratasi sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan. Kriteria
hasil yamg diharapkan adalah pasien sudah tidak mengeluh nyeri, skala nyeri
berkurang 2-1, pasien tidak meringis kesakitan menahan nyeri. Evaluasi dari
tindakan yang dilakukan dengan metode SOAP (Subyektif, Obyektif,
Asessment, Planning) diperoleh hasil sebagai berikut untuk subjektif An. D
mengatakankakinya sudah tidak terlalu sakit, kualitas nyeri seperti tertusuk-
tusuk, nyeri diarea luka post operasi orif, skala nyeri 2, nyeri sewaktu-waktu,
objektif An.D tampak rilek,analisa masalah keperawatan teratasi, dicharge
planning : ajarkan teknik relaksasi nafas dalam ketika nyeri muncul.
78
Hasil evaluasi yang sudah didapatkan pada diagnosa kedua masalah
keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
integritas stuktur tulang teratasi pada hari ketiga sesuai dengan tujuan dan
kriteria hasil yang diharapkan. Evaluasi dari tindakan yang dilakukan dengan
metode SOAP (Subyektif, Obyektif, Asessment, Planning) diperoleh hasil
sebagai berikut untuk subjektif An. Dmengatakan kakinya sudah bisa
digerakkan, objektif An. D tampak sudah menggerakkan kakinya, analisa
masalah keperawatan teratasi, planning keperawatan dilanjutkan yaitu
aktivitas dibantu atau didampingi orang tua.
Hasil evaluasi yang sudah didapatkan pada diagnosa ketiga masalah
keperawatan kecemasan berhubungan dengan status kesehatan teratasi karena
sudah sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan. Evaluasi dari
tindakan yang dilakukan dengan metode SOAP (Subyektif, Obyektif,
Asessment, Planning) didapatkan hasil sebagai berikut subjektif orangtua
An.D mengatakan anaknya tidak cemas lagi, objektif An. D tampak sudah
kooperatif, setelah penulis menerapkan terapi bermain puzzle salam 3 hari,
respon hospitalisasi An. D sudah kooperatif nilai kooperatif 3, TD : 98/60
mmhg, Nadi : 100x/menit, Suhu : 360C, RR : 26x/menit, analisa masalah
keperawatan teratasi, planning keperawatan dihentikan pasien pulang.
79
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis melakukanpemberian terapi bermain puzzle terhadap
tingkat kooperatif selama menjalani keperawatandirumah sakit An. D dengan
post operasiorif di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri, maka
penulis dapat menarik kesimpulan :
1. Pengkajian
Setelah penulis melakukan pengkajian didapatkan data sebagai
berikut, keluhan utama An. D mengatakan post operasiorif di kaki kanan
bawah lutut. An. D datang dari poliorto dengan keluhan post operasiorif
dikaki kanan, sebelumnya satu tahun lalu di pasang orif karena terjatuh
saat berlari, ibu pasien mengatakan kaki anaknya nyeri belum berani
menggerakkan kakinya.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dtemukan pada An. D yaitu nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera fisik, diagnosa keperawatan
keduahambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
stuktur tulang, diagnosa keperawatan ketiga cemas berhubungan dengan
proses penyakit.
80
3. Rencana keperawatan
Pada rencana keperawatan yang dilakukan pada An. D untuk
diagnosa keperawatan pertama yaitu nyeri akut berhubungan dengan
agen cidera fisik dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri akut pasien dapat teratasi dengan
kriteria hasil : pasien tidak mengeluh nyeri, skala nyeri berkurang 1-2,
pasien tampak rileks. Intervensi yang akan dilakukan yaitu kaji status
nyeri klien (PQRST), berikan posisi yang nyaman (semi fowler), ajarkan
relaksasi nafas dalam, kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian
obat analgetik, dengan rasional mengkaji status nyeri klien, mengurangi
rasa nyeri agar lebih nyaman, mengurangi rasa nyeri secara farmakologi.
Pada rencana keperawatan kedua yang dilakukan pada An. D untuk
diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
integritas stuktur tulang dengan tujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan tingkat mobilisasi optimal
dengan kriteria hasil : pasien meningkat dalam aktivitas fisik,
memverbalkan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan
berpindah. Intervensi yang akan dilakukan yaitu kaji kemampuan pasien
dalam mobilisasi, dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi, ajarkan
pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan,
konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan
kebutuhan, dengan rasional mengetahui tingkat pasien dalam melakukan
aktivitas, memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan, gerakan aktif
81
memberikan kekuatan otot, peningkatan kemampuan mobilisasi dari
latihan ahli fisioterapi.
Pada rencana keperawatan ketiga yang dilakukan pada An. D untuk
diagnosa cemas berhubungan dengan status kesehatan dengan tujuan
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
kecemasan pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil : pasien mampu
mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas, mengidentifikasi,
mengungkapkan dan menunjukkan teknik untuk mengontrol cemas,
tanda-tanda vital dalam batas normal, postur tubuh, ekspresi wajah dan
tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan, dengan rasional
mengetahui tingkat kecemasan pasien, agar pasien lebih rileks,
membantu pasien agar mengenal situasi apa saja yang dapat
menimbulkan kecemasan, untuk mengurangi kecemasan.
4. Implementasi keperawatan
Implementasi diagnosakeperawatanpertamayang dilakukan,
mengkaji status nyeri (PQRST), memberikanposisi yang nyaman,
menganjurkanrelaksasinafasdalamjikatimbulnyeri,
danberkolaborasidengandokterpemberian analgesic.
Implementasi diagnosa keperawatan kedua yang dilakukan,
mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, mendampingi dan bantu
pasien saat mobilisasi, mengajarkan pasien bagaimana merubah posisi
dan berikan bantuan jika diperlukan, mengkonsultasikan dengan terapi
fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
82
Implementasi diagnosa keperawatan ketiga yaitu mengkaji tingkat
kecemasan pasien, menemani pasien untuk memberikan keamana dan
mengurangi takut, mengobservasi tanda-tanda vital.
5. Evaluasi keperawatan
Evaluasi untuk diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen
cidera fisik, data subjektif An. D mengatakan kakinyasudah tidak terlalu
sakit, nyeri seperti tertusuk-tusuk, nyeri diarea luka post operasi lepas
orif dikaki kanan bawah lutut, skala nyeri turun menjadi 2, nyeri hilang
timbul, data objektif pasien tampak lebih nyaman, masalah teratasi
sebagian, dischargeplanning, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam.
Evaluasi untuk diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan kerusakan integritas stuktur tulang, data subjektif
An. D mengatakan kaki kanannya sudah bisa digerakkan, data objektif
An. D tampak sudah bisa menggerakkan kakinya, masalah teratasi,
dischargeplanning, aktivitas dibantu atau didampingi orang tua.
Evaluasi untuk diagnosa cemas berhubungan dengan status
kesehatan, data subjektif ibu An. D mengatakan anaknya sudah tidak
cemas lagi, data objektif An. D tampak sudah kooperatif, mau ditemani
(bermain puzzle) nilai kooperatf 3, masalah teratasi, intervensi
dihentikan.
6. Analisa
Hasil analisa penerapan terapi bermain puzzleuntuk meningkatkan
kooperatif anak selama hospitalisasi, didapatkan data subjektif An.D
83
mengatakan ingin ditemani, data objektif An. D tampak ditemani
(bermain puzzle), ditindakan ini penulis menerapkan terapi bermain
puzzle untuk meningkatkan kooperatif anak selama hospitalisasi, dalam
tindakan ini penulis tidak mengalami kesulitan, untuk hari pertama
pemberian terapi bermain puzzle An. D masih belum kooperatif, nilai
kooperatif 12, setelah menerapkan terapi bermain puzzle selam 3 hari
An.D mulai kooperatif nilai kooperatif 3 ditandai dengan perilaku
kooperatif An. D saat perawat atau tenaga medis akan melakukan
tindakan.
B. Saran
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada anak dengan post
operasi orif, penulis memberikan usulan dan masukan positif pada bidang
kesehatan antara lain :
1. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan (Rumah Sakit)
Diharapkan asuhan keperawatan pada anak saat dilakukan
perawatan dirumah sakit tetap memperhatikan aspek psikososial anak
dengan memberikan ruang khusus untuk bermain anak.
2. Bagi Tenaga Kesehatan Khususnya Perawat
Diharapkan tenaga kesehatan melakukan pendekatan lebih intensif
pada anak untuk mendapatkan kepercayaan anak serta menjadikan anak
kooperatif terhadap tindakan keperawatan. Pelaksanaan terapi bermain
84
(puzzle)sangat efektif dilakukan perawat untuk meningkatkan kooperatif
anak selama perawatan dirumah sakit.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat selalu meningkatkan mutu dalam pembelajaran
untuk menghasilkan perawat-perawat yang lebih profesional, inovatif,
terampil dan lebih berkualitas.
85
DAFTAR PUSTAKA
Alfiyanti, N. (2010). Upaya Meningkatkan Daya Pikir Anak Melalui Permainan
Edukatif. http://etd.eprints.ums.ac.id/9837/1/A520085042.pdf Diakses pada
tanggal 17 Desember 2015.
Apriliawati, A. (2011). Pengaruh Biblioterapi Terhadap Tingkat Kecemasan
Anak Usia Sekolah yang Menjalani Hospitalisasi di Rumah Sakit Islam
Jakarta. Tesis. Depok: Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Peminatan Keperawatan Anak Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
Barokah A, dkk. 2012. Pengaruh Terapi Bermain Puzzle Terhadap Perilaku
Kooperatif Anak Usia Pra Sekolah Selama Hospitalisasi di RSUD Tugurejo.
Brunner & Suddarth. 2005. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 2
edisi 8. Jakarta : EGC.
Dermawan. Deden. 2012. Proses Keperawatan : Penerapan Konsep dan Kerangka
Kerja. Gusyen Publishing. Yogyakarta.
Corwin, EJ. 2014. Buku Saku Patifisiologi, 3 edn. EGC : Jakarta.
Coctello, A. M. (2008). Hospitalization. Diunduh dari
http.//www.amswer.com/topic/hospitalization. Pada tanggal 15 Desember
2015.
Hockenberry, J. M., dan Wilson, D. (2009). Essentials op pediatric nursing.
St.
Louis : Mosby An Affiliti of Elsevier inc.
Jitowiyono S. dan Kristiyanasari. W. 2012. Asuhan Keperawatan Post Operasi.
2nd
ed. Nuha Medika, Yogyakarta.
Jovan. (2007). Hospitalisasi. Diambil pada tanggal 17 Desember 2015, Avaible:
http://jovandc.multiply.com
Marasaoly, Suryanti. (2009). Skripsi : Pengaruh Terapi Bermain Puzzle terhadap
dampak Hospitalisasi pada Anak Usia Pra Sekolah di Ruang Anggrek 1
Rumah Sakit Kepolisian Pusat R. S Sukanto. Jakarta : Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran”. Tersedia pada
http://www.library.unpvj.ac.id/indek.php/p=showdetail&id=3278. Diakses
pada tanggal 17 Desember 2015
86
Muscari, Mary E. 2005. Panduan Belajar: Keperawatan Pediatrik Ed.3.
Jakarta:
EGC.
Muatawan, Zulaik. 2008. Hubungan Penggunaan Mekanisme Koping Dengan
Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi Fraktur Fremur di Unit
Orthopedi RSU Islam Kustati Surakarta. Skripsi. Surakarta : Fakultas Ilmu
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Nurarif H. A & Kusuma. 2013. NANDA NIC-NOC. Jilid 1. Med Action.
Yogyakarta.
Nursalam, Rekawati, S., dan Utami, S. (2005). Asuhan keperawatan bayi dan
anak. Jakarta : Salemba Medika
Potter, P. A, & Perry, A. G. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan :
Konsep,Proses dan Praktek Volume I, Edisi 4. Jakarta : EGC
Puspitasari, N. P. D dan Handayani, R. D. (2008). Pengaruh terapi bermain
terhadap tingkat kooperatif selama menjalani perawatan pada anak usia
pra sekolah di rumah sakit panti rapih jogjakarta. Diakses dari
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/127/jtptunimus.gld-rohmadanni-6346-
1-rahma.pdf. Diunduh pada tanggal 16 Desember 2015
Ramdaniati, Sri. 2011. Analisis Determinan Kejadian Takut Pada Anak Pra
Sekolah dan Sekolah yang Mengalami Hospitalisasi di Ruang Rawat Anak
RSU Blud dr. Slamet Garut. Tesis. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan
Program Magister Keperawatan Universitas Indonesia.
Rasjad Chairuddin. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi Edisi III, PT. Yarsif
Watampore, Jakarta.
Saputra, Lyndon. 2013. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : Bina
Rupa Aksara
Setiadi. 2012. Konsep & Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan Teori dan
Pratik. Graha Ilmu : Yogyakarta.
Sjamsuhidayat, R Wim de jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC.
Supartini, Y. (2004). Buku ajar : Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta :
EGC
Tamsuri A. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Buku Kedokteran : EGC.
87
T. Heather Herdman, PhD, Rn. Nanda Internasional Diagnosa Keperawatan
Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. EGC. Jakarta
Utami, Resti. 2012. Hubungan Penerapan Atraumatic Care Dengan Tingkat
Kepuasan Orang Tua Anak Selama Proses Hospitalisasi di Ruang Anak
Rumah Sakit Daerah Balung Jember. Skripsi. Jember: Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Jember.
Videbeck, Sheila L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa, Jakarta : EGC.
Wals. 2008. Distraksi dan Relaksasi Suatu Teknik Untuk Mengatasi Nyeri.
Jakarta : Salemba Medika, hal 112.
Wijayanti, Pradita Dwi. 2009. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Regresi
Anak Prasekolah Saat Hospitalisasi di Rumah Sakit Anak dan Bunda
Harapan Kita Jakarta. Skripsi. Jakarta: Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Wilkinson, J. M, & Ahem N. R. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan
Diagnosa NANDA NIC-NOC. Edisi Kesembilan. Jakarta : EGC.
Wong, Donna L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.
Wong, D. L., Hockenberry, J. M., Caton, Wilion, D., Winkelslein, M. L., dan
Sihwartz. P. (2009). Buku ajar : Keperawatan Pediatrik. Edisi 6 (Alih
bahasa : Hartono. A., Kusmiasih. S., dan Setiawan). Jakarta : EGC.
top related